ekstraksi karaginan

Upload: raaney-hapsari

Post on 14-Oct-2015

105 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Fikologi Laporan

TRANSCRIPT

EKSTRAKSI KARAGINAN

Oleh:Nama : Suminar Sundari Maharani HapsariNIM : B1J009013Kelompok : 2Rombongan : IIAsisten : Siti Novianti Eka Putri

LAPORAN PRAKTIKUM FIKOLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO2013I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keanekaragaman jenis rumput laut di perairan Indonesia cukup tinggi dan secara umum sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai makanan dan obat tradisional, dan tidak banyak memberikan kontribusi terhadap perekonomian mereka. Sementara itu, rumput laut dapat diolah atau diproses menjadi beberapa produk yang mempunyai nilai tambah seperti agar-agar, karaginan dan algin yang selama ini 80 % kebutuhan lokal masih diperoleh dari hasil impor.Potensi kelautan Indonesia yang luas belum semua termanfaatkan secara optimal, termasuk rumput laut. Harga jual hasil panen kering dari rumput laut hanya Rp 4.500kg. Harga jual rumput laut Indonesia untuk pasaran dunia masih termasuk rendah karena pengolahan pasca panen masih belurn sesuai dengan standar mutu intemasional. Nilai jual rumput laut akan lebih tinggi jika diolah menjadi produk olahannya seperti Alkali Treated Cottonii (ATC) dan karaginan. Pemanfaatan ATC maupun karaginan terus mengalami perkembangan di berbagai bidang. Namun demikian, industri-industri ATC dan karaginan yang ada di Indonesia belum dapat mencukupi permintaan pasar. Rendahnya mutu bahan baku dan teknologi pengolahan yang belum tepat merupakan salah satu kendala datam perkembangan industri pengolahan rumput laut di Indonesia, sehingga belum bisa bersaing di pasar dunia terutama untuk ATC dan karaginan. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu bahan baku adalah umur panen rumput laut yang berbeda-beda.Selain jenis rumput laut penghasil agar-agar, terdapat juga jenis lain yang cukup potensil dan banyak di perairan Indonesia yaitu Eucheuma sp. yang dapat menghasilkan karaginan dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai kegunanaan, dimana karaginan tersebut bersifat hidrocolloid, terdiri dari dua senyawa utama, senyawa pertama bersifat mampu membentuk gel dan senyawa kedua mampu menyebabkan cairan menjadi kental. Komponen tersebut pada hakekatnya adalah suatu polisakarida yang terdiri dari tiga kelompok besar : agar-agar, karaginan dan gelans yang memiliki beberapa sifat yang mirip dengan alginat pada ganggang coklat dan secara kolektif polisakarida dari ganggang tersebut dikenal sebagai phycocolloid (Istini Karaginan sampai saat ini belum diolah di Indonesia, walaupun bahan baku yang digunakan (Eucheuma cottonii) untuk membuat karaginan banyak terdapat di Indonesia.Ada beberapa varietas rumput laut penghasil karaginan (karaginofit) yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia, dan salah satunya adalah Eucheuma cottonii. Metode ekstraksi karaginan yang optimal dari rumput laut varietas Eucheuma cottonii perlu digali, agar impor karaginan dapat dikurangi, pendapatan petani dapat ditingkatkan, dan kalau berlebih dapat diekspor untuk meningkatkan devisa negara.

B. TujuanTujuan dari praktikum ekstraksi karaginan ini adalah untuk mengetahui proses ekstraksi karaginan dan perubahan-perubahan yang terjadi dari setiap tahapan dalam ekstraksi.

C. Tinjauan Pustaka

Rumput laut termasuk salah satu jenis tanaman perairan yang saat ini telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat Sulawesi Tengah dan mempunyai prospek untuk dikembangkan terutama rumput laut jenis Eucheuma cottoni. Rumput laut jenis E. cottonii selain memiliki daya tahan terhadap penyakit, juga mengandung karaginan kelompok kappa karaginan dengan kandungan yang relatif tinggi, yakni sekitar 50 % atas dasar berat kering (Winarno, 1996). Karaginan dari kelompok kappa (kappa karaginan) termasuk produk olahan rumput laut yang bernilai ekonomi tinggi, yakni 10 sampai 20 kali harga rumput laut (Marup, 2003). Kappa karaginan digunakan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, industri pangan dan industri lainnya (Mubarak et al., 1990).

Rumput laut termasuk salah satu jenis tanaman perairan yang saat ini telah banyak dibudidayakan oleh masyarakat Sulawesi Tengah dan mempunyai prospek untuk dikembangkan terutama rumput laut jenis Eucheuma cottoni. Saat ini, Sulawesi Tengah termasuk penghasil rumput laut terbesar ketiga di Indonesia setelah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008, produksi rumput laut jenis E. Cottonii mencapai 43.000 ton kering, naik sekitar 100 % dari tahun sebelumnya, yakni 21.000 ton kering pada tahun 2007 (Mappirantu, 2009)Karaginan merupakan suatu filakoid yang berupa polisakarida. Selain itu juga merupakan sumber hidrokoloid penting sehingga hasil ekstraksinya dapat digunakan sebagai penebal, pengemulsi, penstabil, pengental, dan pengikat substansi pada industri makanan, farmasi, kosmetik, tekstil, keramik, dan karet. Karaginan di pasaran merupakan tepung berwarna kekuning-kuningan. Karaginan mudah larut dalam air membentuk larutan kental atau jel yang tergantung dari proporsi fraksi kappa atau iota (Setyowati et al., 1998).Afrianto et al. (1993), menyatakan bahwa jika fotosintesis berjalan efektif, maka kandungan karaginan juga bias meningkat disamping peningkatan pertumbuhan. Hasil fotosintesis yang berupa polisakarida ini dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan hara. Permintaan karaginan di Indonesia semakin hari semakin meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini dikarenakan karaginan semakin banyak digunakan sebagai bahan pengental, pengemulsi, maupun pembentuk gel.Rumput laut penghasil karaginan seperti Eucheuma cottonii yang baru dipanen umumnya memiliki kadar air sekitar 85% dan harus segera dikeringkan hingga kadar air 30 - 35%, yang merupakan kadar air standar untuk kualitas ekspor. Rumput laut penghasil karaginan (Carragenophyte) dapat dengan mudah diolah menjadi semi-refined carrageenan (SRC) melalui proses alkalisasi. Oleh karena itu, SRC sering juga disebut alkali-modified flour (AMF) atau alkali-treated carrageenophyte (ATC). SRC atau ATC umumnya diolah dari spesies Kappaphycus alvarezii (Eucheuma cottonii) (Poncomulyo dan Taurino, 2006).

II. MATERI DAN METODEA. MateriAlat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain termometer, timbangan analitik, kertas pH, pompa vakum, pengaduk, stop watch, saringan 60 mesh, pipet, kain kasa, hot plate, beaker glass, blender, pressure cooker, labu ukr 100 ml, gelas ukur, dan oven. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Rumput laut Eucheuma cottonii, larutan KOH 10 %, Alkohol 95 %, NaCl 0,05 %, kaporit 0,25 % dan akuades. B. Metode1. Eucheuma cottonii kering ditimbang sebanyak 60 gram 2. Rumput laut direbus dalam pressure coocker pada suhu 1200 C selama 15 menit dengan perbandingan 1 : 15 (15 ml air ditambahkan ke dalam 1 gram rumput laut kering). Kemudian dihaluskan dengan blender dan ditambah air (900 C).3. Ekstraksi dilakukan dengan merebus rumput laut selama 6 jam dengan perbandingan 1 : 30. Nilai pH ekstraksi diatur dengan menambahkan larutan KOH sebanyak 10 %, sehingga didapat pH 8 9 .4. Hasil yang didapatkan kemudian disaring dengan menggunakan air kasa dalam keadaan panas untuk menghindari terjadinya pembentukan gel.5. Filtrat hasil penyaringan kemudian ditambahkan dengan 0,05% NaCl untuk memudahkan pengendapan.6. Pengendapan karaginan dilakukan dengan cara menuangkan filtrat ke dalam alkohol 95% dengan perbandingan 1:1 sedikit demi sedikit sambil diaduk selama 15 menit sehingga terbentuk serat-serat karaginan.7. Serat basah karaginan yang diperoleh kemudian direndam kembali dengan alkohol 95% selama 30 menit sehingga diperoleh serat-serat karaginan yang lebih kaku kemudian diperas lagi.8. Endapan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 600C sampai kering selama 15-20 jam kemudian ditimbang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Rendemen Karaginan Hasil Akhir x 100 % Hasil Awal

= 5 x 100 % 100

= 5 %

B . Pembahasan

Karagenan adalah polisakarida yang diekstraksi dari beberapa spesies rumput laut atau alga merah (rhodophyceae). Karagenan adalah galaktan tersulfatasi linear hidrofilik. Polimer ini merupakan pengulangan unit disakarida. Galaktan tersulfatasi ini diklasifikasi menurut adanya unit 3,6-anhydro galactose (DA) dan posisi gugus sulfat, seperti yang disajikan di gambar 1 (Campo et al. 2009). Tiga jenis karagenan komersial yang paling penting adalah karagenan iota, kappa dan lambda. Sedangkan karagenan mu adalah prekursor karagenan kappa, karagenan nu adalah prekursor iota. Jenis karagenan yang berbeda ini diperoleh dari spesies rhodophyta yang berbeda. Secara alami, jenis iota dan kappa dibentuk secara enzimatis dari prekursornya oleh sulfohydrolase. Sedangkan secara komersial, jenis ini diproduksi menggunakan perlakuan alkali atau ekstraksi dengan alkali. Karaginan adalah polisakarida sulfat galaktopyranose yang banyak digunakan dalam kedua produk non-makanan, makanan, dan sebagai pengental dan stabilisator. Termasuk ke dalam keluarga polisakarida galaktan yang juga termasuk agar, dan diproduksi oleh alga merah (Rhodophyta). Karaginan adalah galaktan sulfat linier dengan beta 3-terkait- D-galactopyranosyl residu dan 4-linked 3,6-anhydroalpha- D galactopyranosyl residu. Ada sekitar 15 jenis Karaginan yang berbeda dalam hal jumlah dan posisi kelompok sulfat dan adanya jembatan 3,6-anhydro substruktur. Karaginan telah heterogen strukturnya, yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis alga, tahap dalam siklus hidup, dan prosedur pengolahan (Henares, 2010).Karaginan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air panas atau larutan alkali pada temperatur tinggi. Karaginan juga merupakan campuran yang kompleks dari beberapa polisakarida dan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium, natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer diperoleh dari alga merah yaitu jenis utama penghasil karagenan Eucheuma spinosum, Eucheuma striatum, dan Eucheuma cottoni (Glicksman, 1983; Poncomulyo dan Taurino, 2006; Winarno, 1990).Dalam dunia industri dan perdagangan, karaginan memberikan banyak manfaat yaitu dalam industri farmasi dan makanan. Pada industri makanan, karaginan digunakan sebagai zat tambahan (additive) dalam proses pengolahan coklat, susu, puding, susu instant, dan makanan kaleng sedangkan pada industri farmasi, karaginan digunakan sebagai bahan pengental (suspensi), pengemulsi dan stabilizer dalam proses pembuatan pasta gigi, obat-obatan, minyak mineral, industri tekstil, cat dan keramik. Karaginan yang utama dalam bidang industri adalah untuk gelasi, pengentalan, stabilisator serta emulsifier (Asnawi, 2008; Winarno, 1990).Karagenan komersial memiliki berat molekul massa rerata berkisar 400.000 sampai 600.000 Da. Selain galaktosa dan sulfat, beberapa karbohidrat juga ditemui, seperti xylose, glucose, uronic acids, dan substituen seperti methyl esters dan grup pyruvate (Van De Velde et al, 2002). Saat ini jenis karagenan kappa didominasi dipungut dari rumput laut tropis Kappaphycus alvarezii, yang di dunia perdagangan dikenal sebagai Eucheuma cottonii. Eucheuma denticulatum (dengan nama dagang Eucheuma spinosum) adalah spesies utama untuk menghasilkan jenis karagenan iota. Karagenan lamda diproduksi dari spesies Gigartina dan Condrus (Van de Velde et al, 2002). Polimer alam ini memiliki kemampuan untuk membentuk gel secara thermo-reversible atau larutan kental jika ditambahkan ke dalam larutan garam sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pembentuk gel, pengental, dan bahan penstabil di berbagai industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, percetakan, dan tekstil (Van de Velde et al., 2002; Campo et al., 2009). Pembentukan DA atau pengurangan sulfat merupakan reaksi penting dan dikenal sebagai reaksi karagenan seperti yang ditunjukkan gambar 1, serta digunakan untuk meningkatkan sifat gelasi (Campo et al., 2009). Studi kecepatan reaksi pembentukan DA yang pernah dilakukan (Ciancia et al.; 1993; 1997; Navarro et al. 2005; 2007) mereaksikan ekstrak karagenan dengan alkali, dan belum meninjau peristiwa ekstraksi dan reaksi secara simultan. Dalam prakteknya, penambahan alkali dilakukan saat ekstraksi rumput laut. Montolalu et al. (2008) mempelajari pengurangan berat molekul dengan meningkatnya suhu (50-70oC) dan waktu ekstraksi (1, 3, 5 jam) Eucheuma cottonii.Rumput laut penghasil karaginan seperti Eucheuma cottoni yang baru dipanen umumnya memiliki kadar air sekitar 85% dan harus dikeringkan hingga kadar air 30-35%, yang merupakan kadar air standar untuk kualitas ekspor. Rumput laut penghasil karaginan dapat dengan mudah menjadi semi-refiend carrageenan (SRC) melalui proses alkalisasi, SRC sering juga disebut alkali-modified flour (AMF) atau alkali-treated carrageenophyte (ATC) (Suryaningrum et.al., 2003). Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Karaginan adalah suatu polisakarida dengan berat molekul besar, mengandung unit D-galaktosa yang berulang yaitu 3,6-anhydro-D-galaktosa (3,6-AG) dan D-galaktosa sulfat. Pengikatan D-galaktosa terjadi melalui rantai (1,3) dan ikatan (1,4) galaktosa. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii. Nama daerah cottonii umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional (Suwandi, 1992). Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati. Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan internasional sebagai penghasil ekstrak karaginan. Kadar karaginan dalam setiap spesies Eucheuma berkisar antara 54 73 % tergantung pada jenis dan lokasi tempat tumbuhnya. Oleh sebab itu, karaginan memakai rumput laut Eucheuma cottonii. Jenis ini asal mulanya didapat dari perairan Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina). Selanjutnya dikembangkan ke berbagai negara sebagai tanaman budidaya. Lokasi budidaya rumput laut jenis ini di Indonesia antara lain Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Atmadja et al., 1996).Menurut Atmadja et al. (1996), klasifikasi Eucheuma cotonii adalah sebagai berikut :Kingdom : PlantaeDivisi: RhodophytaKelas : RhodophyceaeOrdo: GigartinalesFamili : SolieraceaGenus : EucheumaSpecies: Eucheuma cotoniiCiri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris, permukaan licin, cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Suwandi, 1992). Penampakan thalli bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al., 1996).Berdasarkan metode ekstraksi karaginan yang digunakan, dapat diperoleh dari dua jenis ekstrak karaginan yaitu semi-refined (ATC) dan refined carrageenan . Metode ekstraksi karaginan semi-refined atau biasa disebut dengan ATC umumnya berasal dari rumput laut jenis Eucheuma cottoni. Proses produksi ATC dilakukan melalui proses pemanasan dalam larutan alkali pada suhu antara 65-80C, lebih rendah dari suhu yang digunakan pada metode ektraksi refined carrageenan yang menggunakan suhu antara 85-95C. Penggunaan suhu yang lebih rendah pada produksi SRC dimaksudkan agar karaginan yang terkandung dalam rumput laut tidak larut kedalam larutan alkali yang akan menurunkan rendemen SRC yang dihasilkan. Hasil dari produk SRC berbentuk chips dan ada pula yang berbentuk tepung (Yasita dan Intan, 2010).Karaginan murni (Refined Carrageenan / RC) merupakan hasil olahan rumput laut karaginofit. Karaginan murni didapatkan dari proses ekstraksi karaginan yang dilakukan dengan menggunakan air panas atau larutan alkali panas. Suasana alkalis dapat diperoleh dengan menambahkan larutan basa misalnya larutan NaOH, Ca(OH)2, atau KOH. Penelitian yang dilakukan Zulfriady dan Sudjatmiko (1995), menunjukkan bahwa ekstraksi karaginan menggunakan (KOH) berpengaruh terhadap kenaikan rendemen dan mutu karaginan yang dihasilkan. Volume air yang digunakan dalam ekstraksi sebanyak 10 - 50 kali dari berat rumput laut. Ekstraksi biasanya mendekati suhu didih yaitu sekitar 85 95C selama satu sampai beberapa jam (Yasita dan Intan, 2010). Penggunaan larutan alkali dalam proses ekstraksi mempunyai fungsi, yaitu membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhidro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel dan reaktivitas produk terhadap protein, membantu proses pemuaian (pembengkakan) jaringan sel-sel rumput laut yang mempermudah keluarnya karaginan dari dalam jaringan. Selain itu, pada penggunaan konsentrasi yang cukup tinggi, dapat menyebabkan terjadinya modifikasi struktur kimia karaginan akibat terlepasnya gugus 6-sulfat dari karaginan sehingga terbentuk residu 3,6-anhydro-D-galactose dalam rantai polisakarida. Hal ini akan meningkatkan kekuatan gel karaginan yang dihasilkan (Yasita dan Intan, 2010). Pemisahan karaginan dari bahan pengekstrak dilakukan dengan cara penyaringan dan pengendapan setelah proses ekstraksi. Penyaringan ekstrak karaginan umumnya masih menggunakan penyaringan konvensional yaitu kain saring dan filter press, dalam keadaan panas yang dimaksudkan untuk menghindari pembentukan gel. Pengendapan karaginan dapat dilakukan antara lain dengan metode gel press, KCl freezing, KCl press, atau pengendapan dengan alkohol. Penggunaan konsentrasi kalium (KCL) yang lebih tinggi akan membuat gel karaginan semakin meningkat. Ion kalium juga berpengaruh meningkatkan suhu cair dari suhu gelasi dari karaginan. Bila kation tersebut dihilangkan, maka karaginan tidak lagi mampu membentuk gel. Setelah itu dilakukan pengeringan karaginan basah dapat dilakukan dengan oven atau penjemuran. Pengeringan menggunakan oven dilakukan pada suhu 60C (Ghufran, 2003; Istini dan Zatnika, 1991).Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan diperoleh rendemen keraginan sebesar 5 %. Hasil tersebut menunjukkan hasil yang kurang optimal untuk jumlah berat kering. Kurang banyaknya karaginan yang didapatkan disebabkan adanya proses ekstraksi karaginan yang tidak sempurna, sehingga mengakibatkan berkurangnya jumlah karaginan yang di dapat. Sehingga hasilnya tidak sesuai dengan standar persyaratan minimum rendemen karaginan yang ditetapkan oleh Departemen Dinas Perikanan (2009), yaitu sebesar 25 %. Semakin besar bobot rendemen karginan maka semakin bagus kualitas dan standar mutunya.Menurut Suwandi (1992), proses ekstraksi karaginan pada dasarnya terdiri atas proses penyiapan bahan baku, ekstraksi karaginan dengan menggunakan bahan pengekstrak, pemurnian, pengeringan dan penepungan. Penyiapan bahan baku meliputi proses pencucian Eucheuma cottonii untuk menghilangkan pasir, garam mineral, dan benda asing yang masih melekat pada Eucheuma cottonii. Ekstraksi Eucheuma cottonii dilakukan dengan cara direbus selama 15 menit dengan perbandingan Eucheuma sp dengan air adalah 1:15 selama 15 menit dan blender. Kemudian rebus kembali dengan perbandingan 1:30 selama 2 jam. Ekstraksi biasanya mendekati suhu didih yaitu sekitar 9095oC selama satu sampai beberapa jam. Volume air yang digunakan dalam ekstraksi sebanyak 30-40 kali dari berat rumput laut. Kemudian menambahkan larutan basa misalnya larutan KOH sehingga pH larutan mencapai 8-9.Rendemen karaginan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang digunakan. Hasil produk akhir karaginan adalah 29 gram. Setelah dilakukan perhitungan, didapat bobot rendemen karaginan sebanyak 17.14%. Karaginan yang dihitung bobot rendemennya berupa tepung. Bobot ini dinilai cukup kecil karena kurang dari 25% dari bobot kering karaginan. Hal ini disebabkan karena rendahnya konsentrasi NaOH yang digunakan selama ekstraksi berlangsung menyebabkan pHnya semakin menurun sehingga kemampuan NaOH dalam mengekstrak juga semakin kecil. Jenis pengendap juga berpengaruh terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan, rendemen yang dihasilkan dengan pengendap jenis etanol lebih besar dibanding pengendap jenis Isopropyl Alkohol. Hal ini disebabkan karena etanol memiliki rantai carbon (C) lebih pendek (2) dibandingkan isopropyl alkohol yang memiliki rantai C berjumlah 3, yang artinya etanol lebih baik dalam mengekstrak rumput laut Eucheuma cottoni dan menghasilkan rendemen yang besar. Penambahan pemutih (H2O2) tidak memberikan pengaruh terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan (Sriatun, 1996).Faktor penyebab lain dari berkurangnya kandungan karaginan pada Eucheuma cottonii adalah siklus penen budidayanya di alam lebih pendek, sehingga thallus didominasi jaringan muda juga akibat dari pucuk-pucuk jaringan muda yang mengandung banyak air dan protein dibandingkan jaringan tua yang memiliki deposit karbohidrat yang lebih banyak sehingga mudah busuk dan terputus dan secara keseluruhan mengurangi kuantitas thallus dan secara khusus kandungan karaginan (Jamal, 2009). Adapun fungsi beberapa larutan yang dipakai dalam ekstraksi karaginan. Diantaranya adalah KOH berfungsi untuk menjaga stabilitas pH agar berkisar dari 8 hingga 9, Nacl berfungsi untuk menetralkan pH dan alkohol untuk mempercepat atau memudahkan pengendapan, sedangkan kaporit untuk memutihkan atau memucatkan rumput laut. Akuades juga dibutuhkan dalam proses ini yaitu sebagai pelarut. Selain fungsi larutan, beberapa perlakuan juga memiliki tujuan masing-masing. Berikut adalah fungsi dari masing-masing perlakuan:1. Pemblenderan dilakukan untuk mempermudah pembentukan serat karaginan.2. Pemanasan dilakukan untuk melunakkan dinding sel dari Eucheuma cottonii3. Perendaman memiliki tujuan sebagai berikut: Membuat rumput laut menjadi lunak dan komponen karaginan yang larut dalam air dapat larut dalam bahan perendam sehingga menyebabkan hasil baik jumlah rata-rata berat kering, tekstur, maupun warna. Menarik protein dan bahan lain seperti NaCl, kalium, yodium, dan tidak menutup kemungkinan sama halnya dengan zat warna. Rumput laut menjadi elastis dan tidak mudah pecah. Menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisiko kimia yang mengarah pada denaturasi dinding sel dari rumput laut tersebut. Perubahan komponen internal dalam proses perendaman menyebabkan rendemen karaginan yang diekstrak meningkat (Rahayu et al, 2004).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dan praktikum, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:1. Bobot rendemen karaginan sebesar 5 %.2. Tahapan ekstraksi karaginan adalah pencucian dan pembersihan, pengeringan, pemasakan (ekstraksi), pengepresan, pendinginan, pengeringan, dan perhitungan rendemen karaginan.3. Proses pembuatan karaginan meliputi, persiapan, perebusan, ekstraksi, penyaringan, pemucatan, pengendapan, perendaman, pengeringan, dan analisis hasil.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Evi Liviawati. 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bathara. Jakarta.

Asnawi. 2008. Pengaruh Kondisi Presipitasi Terhadap Rendemen Sifat Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma Cottoni. Surakarta.

Atmadja, W. S., Kadi, A., Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengendalian Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta.

Campo, V.L., Kawano,D.F., Silva Jnior, D.B., Ivone Carvalho, I., 2009, Carrageenans: Biological Properties, Chemical Modifications and Structural Analysis, Carbohydrate Polymers, 77, 167-180.

Ciancia, M.,. Matulewicz, M.C. and. Cerezo, A.S., 1997, Alkaline Modification of Carrageenans. Part III. Use of mild alkaline media and high ionic strengths, Carbohydrate Polymers, 32, 293-295

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah. 2009.

Henares, Bernadette M, Erwin P. Enriquez, Fabian M. Dayrit, and Nina Rosario L. Rojas. 2010. Iota-carrageenan hydrolysis by Pseudoalteromonas carrageenovora IFO12985. Philippine Journal of Science 139 (2): 131-138, December 2010 ISSN 0031 7683.

Istini, Sri, A. Zatnika dan Suhaimi. 2001. Manfaat Dan Pengolahaan Rumput Laut. BPP Teknologi, Jakarta.

Jamal, Endang. 2009. Pengaruh Warna Cahaya Berbeda Terhadap Kandungan Karaginan Kappaphycus alvarezii Varian Merah. Jurnal TRITON volume 5, nomor 2, hal 26-30.

Marup. F. 2003. Menggali Manfaat Rumput Laut. Harian Kompas 23 Juli 2003.

Mappirantu, 2009. Kajian Teknologi Pengolahan Karaginan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Skala Rumah Tangga. Media Litbang Sulteng 2 (1) : 01 06, ISSN : 1979 - 5971

Mubarak H, Soegiarto A, Sulistyo, Atmadja WS. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Puslitbangkan. IDRC-INFIS. 34 hlm.

Montolalu, R.I., Tashiro, Y., Matsukawa, S., and Ogawa, H., 2008, Effect of Extraction Parameters on Gel Properties of Carrageenan from Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta), J. App.Phycol., 20, 521-526.

Poncomulyo, T.H. Maryani dan L. Kristiana. 2006. Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Agro Media Pustaka, Jakarta.

Rahayu, U. H. Manik dan N. Dolaria. 2004. Pembuatan Karaginan Kering dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur, Vol. 3 No. 2 : 37-39.

Setyowati, B., B. Sasmita dan H. Nursyam. 1998. Pengaruh Jenis Rumput Laut dan Lama ekstraksi terhadap Peningkatan Kualitas karaginan. UNIBRAW. Malang.

Sriatun. 1996. Aspek Kimia Dalam Memanfaatkan Potensi Alga Merah (Rhodophyceae) Di Indonesia. Cakrawala Pendidikan Edisi Khusus Dies.Suryaningrum., D., Murdinah., Arifin M. 2000. Penggunaan kappa-karaginan sebagai bahan penstabil pada pembuatan fish meat loaf dari ikan tongkol (Euthyinnus pelamys. L). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol: 8/6.Suwandi. 1992. Isolasi dan Identifikasi Karaginan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii. Lembaga Penelitian Universitas Sumatra Utara. Medan.Van de Velde,.F.,Knutsen, S.H., Usov, A.I., Romella, H.S., and Cerezo, A.S., 2002, 1H and 13 C High Resolution NMR Spectoscopy of Carrageenans: Aplication in Research and Industry, Trend in Food Science and Technology, 13, 73-92.

Yasita, D dan Intan D. R., 2010. Optimasi Proses Ekstruksi pada Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Untuk Mencapai Food Grade. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.

Winarno FG., 1996, Teknologi Pengolahan Rumput Laut, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.