ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan
DESCRIPTION
Sumber daya kelautan memiliki sifat yang terbuka dan tidak dimiliki secara privat, sehingga setiap orang dapat mengakses tanpa memikirkan dampak keberlangsungan (sustainable)semua yang terdapat di dalamnya. Hukum dan aturan yang tegas perlu ditegakkan untuk mengoptimalkan sumber daya kelautan dan perikanan untuk kepentingan sekarang maupun masa datang.TRANSCRIPT
EKONOMI SUMBER DAYA KELAUTAN DANEKONOMI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN
PERIKANAN PERIKANAN
Oleh: Sulistiyanti
Lebih dari dua per tiga permukaan bumi tertutup oleh samudra.
Ekosistem perairan ini merupakan sumber dari berbagai macam produk dan jasa
yang bermanfaat bagi manusia dan ekologi bumi. Dari laut, manusia dapat
menggunakannya untuk perikanan komersial, perikanan rekreasi (termasuk ikan
hias untuk akuarium), wisata bahari, jasa transportasi, pengendalian atmosfer
bumi dan iklim, serta sebagai sumber pertambangan dan juga sumber energi.
Permukaan laut yang luas menyimpan energi yang luar biasa besarnya dalam
sistem ekologi bumi. Sumber daya kelautan menyediakan lahan kesempatan
kerja bagi banyak penduduk, terutama di negara-negara kepulauan yang
mempunyai wilayah perairan luas. Sifat laut yang memiliki akses terbuka
membuat sistem pengelolaannya lebih rumit dan seringkali timbul konflik di
antara pengguna. Terkadang batas wilayah perairan suatu negara tidak tampak,
sehingga dimasuki oleh penduduk negara lain, baik secara sengaja maupun tidak
sengaja.
Potensi dan Permasalahan Sumber Daya KelautanPotensi dan Permasalahan Sumber Daya Kelautan
Perilaku manusia dalam memanfaatkan potensi sumber daya laut telah
membuat beberapa spesies biota laut terancam punah. Fakta yang ditemukan
oleh International Union for Conservation of Nature/World Conservation Union
(IUCN) pada tahun 1997 saja, telah mengidentifikasi lebih dari 131 spesies ikan
1
laut terancam, termasuk 15 ikan laut dalam kondisi kritis (Baker, 1997). Di
Amerika Serikat misalnya, Ikan Halibut Atlantik telah hilang karena penangkapan
komersial pada awal 1900-an. Di pantai barat Amerika pada tahun 1930-an Ikan
Sardine juga telah kolaps. Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi di negara-negara
lain, sebagai akibat dari ‘overfishing’ yang dilakukan oleh manusia, yang
berdampak pada keberlanjutan kehidupan ikan (konsekuensinya beberapa ikan
terancam punah). Selama 1970-an hingga 1990-an, penangkapan ikan-ikan ini
mengalami peningkatan yang cukup intensif, disebabkan karena semakin
besarnya permintaan terhadap makanan laut.
Potensi sumber daya kelautan dan perikanan sangat bermanfaat tidak
hanya bagi manusia sendiri, tetapi juga bagi kelangsungan sistem ekologi bumi.
Kegiatan-kegiatan manusia yang dilakukan jauh dari laut pun dapat
memengaruhi keseimbangan ekosistem laut. Polutan-polutan yang dihasilkan
dalam proses kegiatan manusia telah menyebabkan berubahnya komposisi
lapisan udara dan mempengaruhi suhu permukaan laut. Penting sekali menjaga
kelestarian sistem ekologi dengan lebih mengendalikan eksploitasi sumber daya
dan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan pada setiap kegiatan manusia.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 75% wilayahnya berupa
perairan laut dengan panjang pantai mencapai 81.000 Km dan Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) seluas 5.800.000 Km2. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan
negara-negara lain, maka luas perairan Indonesia merupakan terbesar kedua
setelah Amerika Serikat (Sipuk, 2004). Potensi perikanan nasional hingga tahun
2007 berkisar 6,4 juta ton, 70% di antaranya berasal dari perikanan tangkap
(Kompas 28/03/2008). Dari jumlah itu, konsumsi domestik perikanan lebih dari
4,6 juta ton per tahun sedangkan ekspor 1,2 juta ton per tahun. Padahal, stok
perikanan yang boleh dimanfaatkan setiap tahun hanya 80% dari total stok untuk
keberlanjutan sumber daya perikanan. Dengan kondisi itu, Indonesia telah
mengalami penangkapan berlebihan (overfishing). Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) memperkirakan Indonesia akan memasuki krisis ikan pada tahun 2015,
jika tidak diupayakan penyelamatan ekosistem.
2
Banyak dari laut yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan manusia.
Potensi-potensi sumber daya laut itu meliputi: (i) sumber daya yang dapat
diperbaharui; (ii) sumber daya yang tidak dapat diperbaharui; (iii) energi
kelautan; dan (iv) jasa-jasa lingkungan. Lebih lanjut, potensi perikanan dan
kelautan di wilayah pesisir dan laut Indonesia yang dapat diperbarui meliputi:
perikanan laut, mariculture (rumput laut, kerang-kerangan dan mutiara),
perairan umum, budi daya tambak, budi daya air tawar, hutan mangrove, dan
terumbu karang. Hasil produksi perikanan terutama ikan laut sebagian besar
masih didominasi oleh perikanan tangkap. Hal ini disebabkan karena teknologi
budi daya laut masih kurang dikuasai oleh kebanyakan nelayan. Lagi pula dalam
budi daya laut membutuhkan modal yang tidak sedikit. Namun untuk beberapa
spesies tertentu seperti udang dan ikan bandeng dapat dibudidayakan di pantai
pesisir. Untuk spesies lainnya seperti ikan kerapu lokasi budi dayanya harus di
tengah laut.
Potensi perikanan telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi
manusia, baik langsung dikonsumsi sebagai sumber nutrisi, sebagai bahan baku
industri, untuk memenuhi kepuasan manusia sebagai sarana rekreasi, maupun
memberi manfaat sosial dalam penyediaan kesempatan kerja di sektor
perikanan. Lebih lanjut, di Indonesia sekitar 60% penduduknya bermukim di
wilayah pesisir. Tidak mengherankan bila banyak penduduk berkecimpung
sebagai nelayan, petani tambak, atau terlibat dalam pariwisata bahari. Lebih
lanjut, potensi-potensi sumber daya kelautan yang tidak dapat diperbarui
misalnya minyak dan gas, mineral dan bahan tambang. Dari hasil penelitian BPPT
pada tahun 1998, dari 60 cekungan minyak yang terkandung di Indonesia, sekitar
70% terdapat laut (Kusumastanto, 2003). Adapun potensi bahan tambang yang
terdapat di laut dan pesisir pantai adalah aluminium, mangan, tembaga,
zirconium, nikel, kobalt, biji besi dan lain sebagainya.
Potensi lainnya dari laut adalah energi kelautan seperti pasang-surut,
gelombang, angin, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Selain itu kelautan dapat melayani jasa-jasa
pariwisata, perhubungan dan kepelabuhanan serta penampung (penetralisir)
3
limbah. Pariwisata bahari merupakan jasa yang sangat menguntungkan bagi
perekonomian wilayah. Berbagai obyek dapat dikembangkan pada sektor ini
seperti misalnya wisata alam (pantai), keragaman flora dan fauna (biodiversity),
taman laut wisata alam (ecotourism), maupun wisata olah raga.
Melacak Masalah-Masalah KelautanMelacak Masalah-Masalah Kelautan
Jika dilihat dari luasnya perairan Indonesia dan besarnya potensi kekayaan
sumber daya alamnya, maka sudah selayaknya sumber daya tersebut dikelola
dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat umum dan secara khusus guna
penduduk pesisir. Akan tetapi upaya untuk memanfaatkan sumber daya alam
tersebut banyak terkendala oleh terbatasnya permodalan, teknologi
penangkapan, teknologi budi daya, teknologi pengolahan dan terbatasnya sarana
dan sarana produksi.
Gambaran penduduk pesisir di Indonesia merupakan kelompok masyarakat
miskin dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan terbatas. Pengetahuan
mereka dalam produksi ikan diperoleh dari alam atau pengetahuan turun
temurun dari keluarga. Ada banyak macam teknik produksi ikan tangkap yang
biasa digunakan nelayan. Pada umumnya nelayan tradisional menggunakan
jaring, bubu atau pancing, yang ‘ramah lingkungan’ tetapi hasil yang diperoleh
relatif sedikit dibanding alat tangkap lain yang lebih ‘modern’ tetapi tidak ramah
lingkungan.
Dengan peralatan yang relatif sederhana dan perahu-perahu kecil, para
nelayan tradisional ini melakukan kegiatan penangkapan ikan. Di lautan, mereka
bersaing dengan nelayan-nelayan ‘modern’ yang menggunakan kapal-kapal
penangkap besar dan peralatan-peralatan modern yang seringkali justru merusak
ekosistem laut. Kapal-kapal penangkap ini banyak yang menggunakan ‘trawl’
atau ada yang menyebut pukat harimau, bahkan ada yang menggunakan
potasium yang sangat tidak ramah lingkungan. Kapal-kapal besar ini bahkan ada
yang langsung memproses ikan hasil tangkapan di tengah lautan. Hasil tangkapan
dengan teknologi ini jauh lebih cepat dan banyak daripada penangkapan
4
tradisonal. Perahu kecil sebagai sarana produksi penangkapan ikan oleh nelayan
tradisional membatasi wilayah oprasional penangkapan ikan hanya di sekitar
pantai. Kapal nelayan kecil berbobot mati di bawah 5 GT hanya mampu mencari
ikan berjarak kira-kira enam mil laut dari garis pantai. Keterbatasan wilayah
oprasional nelayan manjadikan beberapa daerah mengalami ‘overfishing’ sedang
di wilayah lain yang perairannya sangat luas justru sedikit produksinya.
Peralatan dan metode penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan
berbeda. Nelayan dengan kapal besar sering menggunakan pukat harimau
(trowl), sedangkan nelayan kapal kecil lebih banyak menggunakan cara
tradisional. Hasil tangkapan dengan menggunakan ‘trowl’ lebih banyak
dibandingkan cara tradisional. Akan tetapi metode ini dapat merusak lingkungan
perairan dan dapat merusak jarring-jaring nelayan tradisional. Hal ini sering
menimbulkan konflik diantara nelayan tradisional dengan nelayan ‘trowl’.
Beberapa kasus konflik nelayan tradisional dengan nelayan ‘trowl’ dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 tersebut memperlihatkan adanya perbedaan dalam penggunaan
alat tangkap antara nelayan dengan kapal trawl dan nelayan kapal kayu serta
nelayan tradisional di Laut Arafuru, Maluku telah menimbulkan sengketa di
antara mereka. Demikian juga, yang terjadi di kawasan Ujung Pangkah, Gresik.
Nelayan dari kawasan Weru, Lamongan, berusaha menangkap ikan di wilayah
perairan Ujung Pangkah dengan menggunakan pukat harimau (yang sebenarnya
dilarang undang-undang), sedangkan nelayan Ujung Pangkah sendiri
menggunakan jaring lebar. Di perairan Batam, Selat Malaka, dan perairan
Bengkalis, Riau, konflik terjadi antara nelayan jaring batu dengan nelayan
tradisional. Penggunaan pukat harimau oleh nelayan di dekat Tanjung Berakit
dan sekitar pulau Telang Kepulauan Riau menyebabkan berkurangnya stok ikan
di wilayah tersebut sehingga menurunkan hasil tangkapan nelayan tradisional.
Lebih lanjut, di Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur, penggunaan pukat harimau
oleh kapal-kapal besar menyebabkan nelayan tradisional kalah bersaing dalam
perolehan ikan sehingga 3000 nelayan beralih profesi menjadi buruh bangunan
5
atau tukang ojek (Kompas, 27/03/2008). Dari kejadian-kejadian ini dapat
disimpulkan bahwa perbedaan dalam penggunaan alat tangkap dapat memicu
konflik di antara nelayan.
Tabel 1: Konflik Nelayan Tradisional dengan Nelayan ‘Trawl’
Periode Keterangan
27 Maret 2007 Kapal trawl yang beroprasi di Laut Arafuru, Maluku saling tabrak dengan nelayan kapal kayu dan nelayan tradisional
24 April 2007 Konflik antara nelayan jaring halus Kab. Langkat dengan nelayan Kampung Kurnia, Medan
21 Juni 2007 Konflik terjadi di kawasan Ujung Pangkah, Gresik Jatim, melibatkan nelayan dari Ujung Pangkah dan nelayan dari kawasan Weru, Lamongan. Sebagian nelayan Weru menggunakan pukat harimau, sedangkan nelayan Ujung Pangkah menggunakan jaring lebar.
26 Juni 2007 Konflik di Perairan Batam, Selat Malaka, antara nelayan jaring batu dengan nelayan tradisional rawai. Satu nelayan jaring batu tewas.
17 Januari 2008 Konflik penggunaan jaring batu di perairan Bengkalis, Riau.11 Februari 2008 Nelayan pemakai alat tradisional mengeluhkan penangkapan
ikan dengan pukat harimau di dekat Tanjung Berakit dan perairan sekitar pulau Telang, Kep. Riau.
Sumber: Kompas, 29 Maret 2008
Kegiatan Perikanan Kegiatan Perikanan Illegal, Unreported and UnregulatedIllegal, Unreported and Unregulated (IUU) (IUU)
Laut merupakan wilayah terbuka yang semua orang mudah untuk mema-
sukinya. Dalam kondisi yang ‘open access’ ini tidak mudah untuk menghalangi
atau mencegah akses berbagai pihak yang berkepentingan terhadap sumber
daya perikanan. Hal ini memicu terjadinya konflik sosial antar kelompok
masyarakat nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan di daerah
perairan mereka. Sumber daya perikanan merupakan sumber daya milik umum
(commons property recources) yang pemanfaatannya terbuka untuk siapapun.
Studi-studi antropologi maritim selama ini memperlihatkan bahwa sumber daya
perikanan di samping sebagai sumber daya milik umum, di beberapa bagian
dunia juga ditemukan adanya klaim pemilikan oleh kelompok-kelompok nelayan
6
yang mendiami suatu kawasan pesisir (Acheson; dalam Kusnadi 2002:110).
Dengan persepsi demikian, setiap individu atau kelompok masyarakat akan
berupaya untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan mereka melalui
eksploitasi sumber daya secara optimal. Akibatnya adalah terjadinya tragedy of
the commons berupa kelangkaan dan kerusakan sumber daya perikanan.
Selain menimbulkan masalah dalam akses sumber daya yang terkandung di
dalamnya, wilayah perairan yang terbuka luas juga menjadi prasarana lalu lintas
antar daerah. Sulit untuk mendeteksi kegiatan kapal-kapal yang melintas di area
ini. Tidak jarang di tengah lautan terjadi transaksi-transaksi ilegal, misalnya
penyelundupan minyak, solar, gas, dan juga perdagangan hasil tangkapan
perikanan (illegal fishing). Pelaku-pelaku kegiatan ini tidak hanya penduduk
dalam negeri, tetapi juga penduduk luar negeri. Pencurian-pencurian ikan dan
kegiatan ‘transhipment’ sulit terdeteksi kecuali dengan pengawasan yang ketat.
Direktorat Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan
dan Perikanan DKP, Ardius Zainuddin, menunjukkan bahwa sepanjang tahun
2006, kapal yang diperiksa 1.447 kapal yang ditengarai melakukan modus
pencurian. Dari jumlah itu, sekitar 132 kapal diproses hukum (Siagian; dalam
Sinar Harapan, 4/4/2007). Praktik penangkapan ikan illegal itu dilakukan di
sekitar perairan Papua, seperti Perairan Arafura, Samudra Pasifik bagian utara,
bahkan sampai pada perairan perbatasan dengan Papua Nugini. Kapal-kapal itu
berasal dari berbagai Negara, antara lain kapal berbendera Tiongkok, Thailand,
Filipina, Papua Nugini, Korea Selatan, Vietnam dan Indonesia sendiri. Kapal-kapal
ini telah melakukan kegiatan perikanan Illegal, Unreported and Unregulated
(IUU) di wilayah Perairan Indonesia. Di perairan Kalimantan Barat, Satuan
Kepolisian Perairan wilayah tersebut telah mengamankan Kapal Motor Thang
Long milik nelayan Vietnam setelah tertangkap mencuri ikan di perairan pulau
Tambelan, Kepulauan Riau. Lebih lanjut, modus pencurian ikan dengan
memalsukan dokumen kapal dilakukan oleh kapal ikan China Fu Yuan Yu F68
berbobot 2.000 GT. Selain melakukan penangkapan ikan secara illegal, mereka
juga memalsukan dokumen kapal dari Negara Selandia Baru. Penangkapan
7
dilakukan oleh kapal Hiu Macan 002 milik DKP saat terjadi transshipment dari KM
Bahari Makmur II.
Tabel 2: Kasus Pencurian Ikan1
Jumlah Lokasi Perairan Modus1 kapal penangkap dan 1 kapal pengangkut ikan
Laut Arafura Penukaran BBM dengan hasil tangkapan ikan
21 kapal penangkap dan 1 kapal pengangkut ikan
Laut Arafura Pengangkutan hasil tangkapan ke luar negeri secara illegal
3 kapal penangkap ikan Merauke, Papua Pengangkutan hasil tangkapan ke luar negeri secara illegal
2 kapal penangkap ikan Tual, Maluku Pengangkutan hasil tangkapan ke luar negeri secara illegal
Sumber: Kompas, 27 Maret 2008
Hasil tangkapan ikan oleh nelayan seharusnya didaratkan dulu di
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), sehingga dapat tercatat secara resmi. Akan
tetapi beberapa di antara nelayan langsung menjual hasil tangkapan mereka di
tengah laut untuk kemudian diangkut ke luar negeri. Sebagaimana ditunjukkan
dalam Tabel 2, sepanjang Januari hingga April 2008, kapal patroli hiu Macan 004
telah menemukan transaksi-transaksi illegal di wilayah-wilayah perairan Laut
Arafura, Merauke (Papua) dan Tual (Maluku). Hasil tangkapan di wilayah
perairan Laut Arafura, Merauke (Papua) dan Tual (Maluku), langsung diangkut ke
luar negeri (transhipment). Di Laut Arafura, ditemukan pertukaran hasil
tangkapan ikan dengan BBM.
Secara implisit, fakta ini memperlihatkan bahwa keuntungan yang
diperoleh nelayan lebih besar apabila mereka menjual langsung hasil tangkapan
di tengah samudra, daripada terlebih dulu mendaratkan ikannya. Apabila mereka
1 Kasus tersebut merupakan peristiwa yang ditemukan oleh Kapal Pengawas Patroli Hiu Macan 004.
8
mendaratkan ikannya terlebih dulu, mereka harus berbagi dengan ‘juragan’
pemilik kapal, dan memperoleh harga ikan menurut pedagang perantara.
Merujuk pada data FAO (Food and Agriculture Organization), kerugian
Indonesia akibat pencurian ikan diperkirakan mencapai Rp 30 triliun per tahun.
Dengan estimasi tingkat kerugian sekitar 25% dari total potensi perikanan yang
dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun. Sementara itu, data DKP
menunjukkan sepanajng tahun 2007 telah memproses hukum 184 kapal
perikanan dari 2.207 kapal ikan yang diperiksa oleh kapal pengawas. Jumlah itu
terdiri atas 89 kapal asing dan 95 kapal Indonesia. Kerugian Negara yang berhasil
diselamatkan diperkirakan mencapai Rp. 439,6 miliar (Antara 22/04/2008).
Sementara itu, perkembangan tindak pidana perikanan selama 2003 – 2007 telah
mengalami penurunan dari 322 kasus pada 2003 menjadi 116 kasus pada 2007
(lihat Tabel 3). Tabel 3 tersebut memperlihatkan bahwa tindak pidana dalam
kegiatan penangkapan ikan didominasi oleh masalah perizinan dan penggunaan
alat tangkap.
Tabel 3: Tindak Pidana Perikanan
Jenis Tindak Pidana Tahun2003 2004 2005 2006 2007
Tanpa izin 91 53 26 29 48Alat tangkap 44 70 36 19 3Tanpa izin dan alat tangkap 9 9 37 33 25Pemalsuan dokuman 6 2Dokumen tidak lengkap 15Penyetruman (ACCU) 54 1 1 34Bahan peledak/bom 18 9 9 2 1"Fishing ground" 40 7 24 8 9"Fishing ground" dan alat tangkap 16 14 18 1 1Pengangkutan ikan ("transhipment") 5 5 11 6 2Menampung ikan tidak sesuai SIKPI 4 1Tanpa keterangan jenis tindak pidana 39 2"Transhipment" dan alat tangkap 5Tidak ada "transmitter" 4Pencurian terumbu karang 2 1
9
Alat tangkap tidak sesuai izin (SIPI) 7Pengoprasian alat tangkap terlarangJumlah total 322 174 165 139 116Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007; dalam Kompas, 28 Maret 2008
Lebih lanjut, apabila dicermati, illegal fishing dapat terjadi karena beberapa
sebab (Karim; dalam Sinar Harapan, 12/01/2008). Pertama, perizinan yang tidak
beres. Masalah perizinan ini meliputi: i) pemalsuan perizinan, ii) duplikasi, dan iii)
tanpa adanya perizinan. Kedua, konspirasi bisnis tingkat tinggi antara pengusaha
domestik, pengusaha kapal asing, birokrasi, dengan oknum-oknum yang dekat
dengan elit penguasa. Mereka mempunyai kekuatan akses politik dan jaringan
“kekuasaan” yang sulit disentuh aparat keamanan sekalipun. Ada “komprador”
yang membekingi pelaku kejahatan ini dengan perlindungan dan kelancaran
pengeluaran izin. Ketiga, tumpang tindih kewenangan dalam mengeluarkan izin
usaha penangkapan. Pemerintah daerah kabupaten/kota mengeluarkan izin
untuk ukuran kapal penangkap ikan di bawah 10 GT. Sedangkan pemerintah
provinsi mengeluarkan izin untuk kapal 10-30 GT dan pemerintah pusat di atas
30 GT. Hal ini menjadi masalah tatkala kapal >30 GT beroprasi di perairan yang
wilayahnya kepulauan atau pulau, misalnya pulau Nias, Natuna, Banda, Sebatik
dan Mentawai. Apabila pemerintah daerah kabupaten/provinsi komplain
terhadap kapal-kapal tersebut, pemilik kapal dengan mudah mengelak karena
izinnya dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Keempat, ketidakjelasan data jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(Total Allowable Catch, TAC). Hal ini disebabkan (i) data yang digunakan kurang
valid (data produksi dan jenis tangkapan yang diambil dari sentral-sentral
pendaratan ikan, padahal sebagian besar tidak dilaporkan dan didaratkan di
pelabuhan perikanan); dan (ii) metode perhitungan yang digunakan
menggunakan Maximum Sustainable Yield (MSY), yang tidak cocok diterapkan
pada perairan tropis karena keragaman spesies tinggi dan kelimpahan rendah.
Kelima, lemahnya “posisi tawar politik” Indonesia dalam organisasi-organisasi
perikanan internasional, seperti Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) yang
10
mengatur penangkapan tuna di Samudra Hindia, Convention on the Conservation
of Southen Bluefin Tuna (CCSBT) yang mengatur penangkapan tuna sirip biru di
Samudra Pasifik dan Hindia, Multhi High Level Conference on the Conservation of
Higly Migratory Fish Stock in the Western and Central Pasific Ocean (MHLC) yang
merupakan organisasi perikanan regional di Samudra Pasifik bagian barat dan
Tengah serta Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Indonesia
tidak mampu mempermasalahkan pencurian ikan oleh nelayan Thailand, China,
Filipina, Korea ataupun Vietnam, yang diekspor ke Uni Eropa dan Jepang.
Keenam, aturan main berkaitan dengan perikanan masih bermasalah. UU
Perikanan, terutama Pasal 29 ayat 1 dan 2 masih memberi celah pada kapal asing
untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Indonesia juga belum menentukan
titik-titik batas perairan ZEE Indonesia, sehingga dapat dianggap sebagai wilayah
‘perairan internasional’ dan nelayan Indonesia dianggap illegal menangkap ikan
di perairan itu termasuk hasil tangkapannya.
Dampak Kegiatan Perikanan Dampak Kegiatan Perikanan Illegal, Unreported and UnregulatedIllegal, Unreported and Unregulated
(IUU)(IUU)
Produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2007 sekitar 4,94 juta
ton dan perikanan budidaya sekitar 3,08 juta ton menyumbang produk domestik
bruto sebesar 3% (Grahadyarini; dalam Kompas, 10/04/2008). Di Asia, Indonesia
hanya menduduki peringkat keempat sebagai eksportir perikanan sesudah China,
Thailand, dan Vietnam. Ekspor perikanan Vietnam kini sudah mencapai USD 3
miliar, sedangkan nilai ekspor perikanan Indonesia selama tahun 2007 hanya
USD 2,3 miliar dengan pasar ekspor terbesar adalah AS, Jepang, Uni Eropa.
Namun, untuk dapat meningkatkan ekspor perikanan, Indonesia dihadapkan
pada masalah yang serius dalam stok perikanan nasional. Tidak hanya Indonesia
yang menghadapi masalah dalam stok perikanan. Sebagaimana dikatakan oleh
Field (2001:243), mayoritas masalah-masalah yang dihadapi dalam perikanan
laut meliputi: (i) overfishing; (ii) overcapitalization; (iii) polusi perairan; dan (iv)
konflik kepentingan antar wilayah perairan.
11
Sebagaimana dicatat di depan, sifat perairan laut yang ‘open-access’
menyebabkan banyaknya jumlah nelayan penangkap ikan, baik dari daerah lokal
maupun dari luar daerah. Mereka tidak mengetahui dengan pasti stok perikanan
di wilayah tersebut, akan tetapi karena dianggap sebagai barang publik, mereka
berusaha memaksimumkan tangkapan mereka tanpa peduli terhadap
keberlanjutan ekosistem perairan. Hal ini membuat terjadinya tangkap lebih
(overfishing) yang membuat menurunnya stok beberapa spesies ikan, bahkan
ada yang terancam punah. Keadaan ini akan mengganggu ekosistem laut.
Keuntungan yang dapat diharapkan dari kegiatan perikanan ini membuat
para pemilik modal melakukan investasi di sektor perikanan. Investasi yang ber-
lebihan pada sektor ini membuat laut menjadi ‘ramai’ dan mengganggu
ekosistem perairan. Dari sini dapat diperhatikan bahwa industri pengolahan ikan
dapat langsung melakukan kegiatannya di tengah laut setelah memperoleh hasil
perikanan. Selanjutnya, tanpa kontrol terhadap akses penangkapan ikan, akan
menimbulkan masalah yang serius pada kondisi perikanan. Kerugian dari kondisi
‘common pool’ dalam perikanan mencakup penurunan hasil tangkapan,
penurunan pendapatan nelayan, overcapitalization melalui berlebihannya kapal
dan peralatan serta terlalu banyaknya tenaga kerja (Libecap, 1989:73). Lebih
lanjut, penangkapan perikanan di wilayah perairan Indonesia, baik yang legal
maupun yang tidak legal telah menyebabkan perubahan stok ikan. Status tingkat
ekspolitasi perikanan di wilayah perairan Indonesia yang dibagi ke dalam 9
wilayah perairan, ditunjukkan dalam Tabel 4.
Tabel 4: Tingkat Eksploitasi Sumber Daya Ikan
Di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia
Wilayah Pengelolaan
Jenis Ikan Status Stock
Keterangan
Selat Malaka
Demersal O Alat tangkap trawl, kedalaman >20 m, ilegal fishing?
Udang O Semua kategori spesies ilegal fishingPelagis kecil F Alat tangkap purse seine, ilegal fishingPelagis besar UN Terutama bagian utara
12
Laut Cina Selatan
Demersal F LCS bagian utara, ilegal fishing
Udang M Barat Kalimantan, lampara dasarSemua kategori spesies ilegal fishing
Pelagis kecil O Ilegal fishingPelagis besar UN Ilegal fishing
Laut Jawa
Demersal F Pesisir Kalimantan (kecuali >40 m)Udang F Utara pantai pesisir JawaPelagis kecil OPelagis besar UN Non purse seine, spesies tenggiri, tongkol
Laut Flores- SelatMakasar
Demersal F Termasuk perairan karangUdang O Pantai Timur KalimantanPelagis kecil M Kecuali ikan terbang (F)Pelagis besar UN
Laut Banda
Demersal U/UNUdang UNPelagis kecil M Purse seine, Kendari, Banda, SeramPelagis besar M Tuna long line
Laut Arafura
Demersal O Pemanfaatan intensif di ZEE oleh kapalperikanan dari bycatch pukat udang
Udang O Seluruh fishing ground telah dikenal dandimanfaatkan sepenuhnya.
Pelagis kecil M Pemanfaatan oleh armada pukat ikan danbycatch pukat udang
Pelagis besar UN
Teluk Tomini danLaut Maluku
Demersal M Ilegal fishingUdang -Pelagis kecil M Perlu sistem monitoring
Pelagis besar FKedalaman 0-150 m, perlu sistem monitoring, ikan phase juvenille banyak tertangkap
Samudra Pasifik dan Laut Sulawesi
Demersal UNUdang -Pelagis kecil UNPelagis besar O
Samudra Hindia A(Barat Sumatra)
Demersal F Fishing ground relatif sempit, deep sea belumterjamah (untapped)
Udang F Fishing ground relatif sempit, deep sea untapped
Pelagis kecil M Terutama pelagis kecil oseanik
Pelagis besar F Fashing ground di ZEE sampai ke laut bebas
13
Samudra Hindia B(Selatan Jawa-Nusa Tenggara)
Demersal F Fashing ground sangat sempit: deep sea; untapped
Udang F Fashing ground sangat sempit: deep sea; untapped
Pelagis kecil F Kapal pelagis kecil oseanik: UNPelagis besar F Fashing ground laut bebas di luar ZEE
Keterangan: - U: Under exploited- M : Moderate- F : Fully exploited- O : Over fishing- UN : Uncertain
Sumber: Balai Riset Perikanan Indonesia; dalam Wonua; Mari Bersahabat dengan alam, 30 Januari 2008
Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa wilayah perairan Indonesia
mengalami tingkat eksploitasi yang tidak merata, di beberapa tempat mengalami
overfishing, di tempat yang lain mengalami kekurangan penangkapan. Lebih
lanjut, hiruk pikuk kegiatan ekonomi di lautan dan wilayah pesisir, apakah itu
penangkapan ikan, pengolahan ikan, pariwisata bahari, eksploitasi mineral,
kegiatan penambangan dan lain-lain sengaja atau tidak akan membuat
terdepresiasinya kualitas perairan. Hal ini mengancam keseimbangan ekosistem
perairan laut.
Keresahan terhadap kelestarian perikanan tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia. Dalam pertemuan The World Summit on
Sustainable Development (WSSD) yang diselenggarakan di Johannesburg, Afrika
Selatan, pada Agustus 2002, dilakukan kajian 10 tahun sejak 1992 United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED) mengenai komitmen
global terhadap pembangunan berkelanjutan (Satia, 2003). Negosiasi WSSD
menghasilkan 2 dokumen utama; i) the Johannesburg Declaration on Sustainable
Development dan ii) the Plan of Implementation. Deklarasi yang disebutkan
pertama merupakan perbaruan komitmen politik dari the Rio Declaration on
Environment and Development yang diselenggarakan UNCED di Rio de Janeiro 3-
14 Juni 1992, mengenai semakin menipisnya stok ikan. Deklarasi ini mendorong
kerjasama regional, mengembangkan kerjasama internasional dan pembangunan
14
berkelanjutan, serta lebih memperhatikan bangsa berkembang dengan pulau-
pulau kecil dan negara kurang berkembang.
Deklarasi kedua, the Plan of Implementation, dialamatkan pada 5 wilayah;
perairan, energi, kesehatan, pertanian dan biodiversity (WEHAB). Pada kasus
perikanan, terdapat 5 hasil utama; i) Development and Implementation of
National and Regional Plans of Action to put into effect the IPOA-IUU Fishing, ii)
Development and Implementation of National and Regional Plans of Action to
put into effect the IPOA-Capacity, iii) Application of Ecosystem Approach, iv)
Restoration of Depleted Stocks (2015) dan v) Establishment of ‘representative
network’ of Marine Protected Areas. Perencanaan menekankan pada
pembangunan budi daya laut (aquaculture) dan perikanan skala kecil.
Selanjutnya Komisi Tuna Samudra Hindia/Indian Ocean Tuna Commission
(IOTC), dalam pertemuan tahunan ke-7 pada 2-6 Desember 2002 di Victoria,
Seychelles, menegaskan bahwa tuna Samudra Hindia, yang merupakan sumber
daya yang sangat bernilai, telah mengalami peningkatan penangkapan dengan
cepat, mendekati 1/3 dari total penangkapan tuna dunia (Pollard, 2003).
Menurut pandangan Executive Secretary IOTC, penangkapan lebih tuna Samudra
Hindia tidak hanya dilakukan dalam illegal fishing negara-negara non-anggota,
tetapi juga penangkapan oleh anggota sendiri. Masalah yang menjadi issue
utama dalam pertemuan ini meliputi; i) fleet capacity (overcapacity) dari anggota
IOTC, ii) kegiatan perikanan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) dan iii)
Monitoring, Control and Inspection (MCI) kapal-kapal dan pendaratan-
pendaratan ikan. Dalam pertemuan ini ditunjukkan informasi persediaan/stock
ikan dan solusi managemen. Resolusi lebih memperhatikan pada upaya-upaya
konservasi ikan dan pengurangan penangkapan khususnya ikan tuna Bigeye dan
tuna Yellowfin yang jumlahnya sudah semakin menipis.
Masalah yang tidak kalah rumitnya dalam pemanfaatan sumber daya
kelautan dan perikanan adalah masalah hak kepemilikan (property right). Spesies
ikan tertentu tidak hanya bergerak di wilayah perairan suatu negara, akan tetapi
terkadang mereka melakukan migrasi. Kepemilikan atas dasar wilayah menjadi
15
tidak jelas. Selain itu, sebagaimana umumnya barang publik, setiap orang merasa
berhak menggunakan dan memanfaatkannya untuk kepentingannya sendiri atau
kelompoknya. Umumnya masyarakat wilayah perairan di daerah-daerah tertentu
tidak menghendaki ‘orang luar’ mengambil manfaat di perairan mereka. Konflik-
konflik sosial akibat kurang tegasnya ‘property right’ ini sering terjadi dan
menimbulkan korban di antara mereka.
Aktivitas penangkapan ikan melibatkan banyak pihak yang saling terkait
secara fungsional dan substansial. Pihak-pihak tersebut adalah: 1) nelayan
pemilik perahu dan alat tangkap, 2) nelayan buruh, 3) pedagang ikan, 4) pemilik
toko yang menjadi pemasok kebutuhan melaut seperti bahan bakar, jaring,
lampu dan peralatan teknis lainnya. Masing-masing pihak mempunyai
kemampuan sumber daya yang saling bergantung dan saling membutuhkan. Di
antara mereka terikat oleh jaringan hubungan patron-klien, yang merupakan
wadah dan sarana yang menyediakan sumber daya jaminan sosial secara
tradisional untuk menjaga kelangsungan hidup nelayan (Kusnadi, 2007:11).
Kekuatan hubungan patron-klien ini dapat dilihat pada pola-pola relasi
sosial antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh, nelayan pemilik dengan
penyedia modal usaha, serta nelayan dengan pemilik toko yang menyediakan
kebutuhan hidup dan kebutuhan melaut. Kepemilikan sumber daya yang
berbeda di antara pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan penangkapan ikan ini
membuat pentingnya kerja sama yang harmonis di antara mereka. Hasil
tangkapan akan didistribusikan sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
Misalnya pada masyarakat nelayan Madura, pemilik perahu memperoleh 1/3
bagian dari seluruh hasil tangkapan, sisanya 2/3 dibagi untuk semua awak
perahu.
Masalah dalam Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Lainnya.Masalah dalam Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Lainnya.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa potensi sumber daya
kelautan tidak hanya perikanan, akan tetapi juga terumbu karang, hutan bakau,
mineral, bahan tambang, pariwisata, maupun pelabuhan, dan transportasi. Di
16
sini penulis tidak memfokuskan pembahasan pada potensi-potensi ini, namun
pada bagian ini akan dibahas sedikit permasalahan yang muncul akibat proses
ekstraksi sumber daya-sumber daya ini. Pengambilan terumbu karang secara
berlebihan demi memaksimumkan keuntungan dapat memengaruhi ekosistem
laut. Terumbu karang merupakan lokasi pembiakan ikan yang efektif, sehingga
berkurangnya terumbu karang ini dapat meningkatkan resiko kematian ikan.
Budi daya ikan di pesisir perairan Indonesia telah menggunakan lahan
tambak seluas 610.000 hektar, 394.000 hektar di antaranya merupakan alih
fungsi hutan bakau. Beralihnya hutan bakau menjadi lahan tambak ini telah
menghilangkan fungsi hutan bakau sebagai pelindung abrasi, tsunami, serta air
tanah agar tidak tercemar air laut. Sebagian besar cekungan yang mengandung
mineral terdapat di laut. Eksploitasi minyak, gas, dan mineral ini bila tidak
dilakukan secara hati-hati dapat menyebabkan pencemaran dan perubahan
ekosistem laut. Pengembangan sektor ini sebaiknya sedapat mungkin
meminimumkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Penambangan pasir yang mengandung biji besi memerlukan penggalian
lahan pasir, sehingga membuat lubang-lubang menganga di sepanjang pesisir
pantai. Rencana eksploitasi pasir besi di empat kecamatan di Kabupaten Kulon
Progo, Yogyakarta telah mengambil alih lahan pasir warga yang biasanya
digunakan untuk pertanian lahan pasir (Kompas, 27/03/2008). Pengembangan
eksploitasi pasir besi oleh perusahaan besar dalam negeri yang bekerja sama
dengan perusahaan asing, di sini telah menghilangkan kesempatan penduduk
untuk berproduksi dan berpenghasilan. Selain menawarkan produk-produk yang
bermanfaat bagi manusia, kelautan juga menawarkan pelayanan jasa pariwisata,
transportasi, dan pelabuhan. Banyak penduduk yang mengandalkan
penghasilannya dari sektor ini. Akan tetapi dengan semakin berkembangnya
kegiatan sektor ini, akan disertai dengan semakin kotornya lingkungan, polusi
dan terganggunya biota laut. Munculnya bangunan-bangunan di pesisir pantai
tak terelakkan lagi. Kegiatan ekonomi yang semakin berkembang di pesisir pantai
17
ini tidak dapat tidak diikuti oleh meningkatnya kepadatan penduduk wilayah
pesisir. Hal ini pada akhirnya turut menekan kehidupan biota laut.
Pola kehidupan manusia di darat pun dapat memengaruhi ekosistem laut.
Kegiatan-kegiatan ekonomi pertanian, misalnya, sisa-sisa pupuk yang digunakan
dalam pengembangan pertanian mengalir melalui sungai hingga pada akhirnya
sampai ke laut. Unsur nitrogen dan fosfor yang terkandung di dalamnya
menyuburkan pertumbuhan ganggang -yang disebut dengan proses
eutrophication-, sehingga menutup cahaya matahari di kedalaman laut.
Ditambah dengan tereduksinya oksigen di dalam laut oleh ganggang, hal ini
dapat meningkatkan mortalitas ikan terutama yang masih berupa larva. Kondisi
seperti ini telah terjadi di Barbados, Costa Rica, Indonesia, Madagascar, Filipina,
Panama dan Caribia (Baker, 1997). Lebih lanjut, Baker (1997) menyatakan bahwa
ancaman terbesar pada habitat laut datang dari darat, wilayah yang sebenarnya
jauh dari laut. Hampir 75% polusi pantai berasal dari darat.
Kebijakan dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan PerikananKebijakan dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
Di Indonesia, pengelolaan sumber daya ikan melalui penetapan sembilan
wilayah pengelolaan, penetapan jumlah dan jenis alat tangkap, pengaturan
perijinan pusat dan daerah, penetapan potensi serta jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). Akan tetapi aturan
ini belum mampu menjawab kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya ikan yang bertanggung jawab dan lestari. Hal ini disebabkan penetapan
data potensi dan pemanfaatannya melalui Komisi Stock Nasional Sumber Daya
Ikan Laut belum dapat ditentukan secara akurat. Permasalahan ini disebabkan
lemahnya pemantauan terhadap potensi dan kegiatan pemanfaatan sumber
daya ikan.
Penggunaan alat tangkap telah diatur dalam Keputusan Presiden No. 39
Tahun 1980, yaitu mengenai pelarangan alat tangkap ‘trawl’ di perairan
Indonesia. Penggunaan alat tangkap ini selain merusak ekosistem kedalaman
laut, juga sering merusak alat-alat tangkap tradisional nelayan kecil. Hal ini
18
banyak menimbulkan konflik-konflik sosial di antara nelayan. Peraturan ini
dipertegas dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 mengenai pelarangan
pemakaian pukat harimau. Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER. 17/MEN/2006 diatur mengenai usaha perikanan tangkap yang
mengharuskan Negara lain yang ingin melakukan penangkapan ikan di wilayah
perairan Indonesia harus juga membangun industri pengolahan di Indonesia
sehingga pemanfaatan sumber daya ikan diarahkan bagi kepentingan bangsa dan
Negara.
Akan tetapi, sekarang UU No. 31 tahun 2004 itu direvisi sendiri oleh Mentri
Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dengan menerbitkan Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (HP3) dan perizinan kembali penggunaan pukat harimau di
wilayah perbatasan perairan Kalimantan Timur (Kompas, 28/03/2008).
Menurutnya, izin penggunaan trawl berupa pukat hela di Kalimantan Timur
merupakan bentuk komitmen politik pemerintah untuk mengelola perikanan di
kawasan perbatasan. Penggunaan trawl merupakan akses nelayan Indonesia
untuk mengurangi dan mengimbangi nelayan asing, terutama Malaysia. Hal ini
sangat ditentang oleh nelayan setempat dan Wahana Lingkungan Hidup. Bila
peraturan ini diberlakukan, nelayan tradisional hanya memperoleh bagian kecil
saja dari perikanan laut, sedangkan nelayan pengusaha yang banyak
menggunakan kapal besar dan jangkauan jauh lebih banyak diuntungkan.
Dampak yang lebih berbahaya dari pemakaian alat tangkap trawl ini adalah
tercemarnya keseimbangan ekosistem laut.
Luasnya wilayah perairan Indonesia dan tingginya potensi pelanggaran
serta konflik di antara nelayan mendorong pemerintah mengembangkan sarana
untuk memonitor, mengawasi dan mengamati pemanfaatan sumber daya
kelautan dan perikanan. Adapun sarana yang telah dikembangkan adalah MCS
(Monitoring, Control and Surveillance), dan VMS (Vessel Monitoring Sistem),
selain armada-armada untuk patroli (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2003). Lebih lanjut, MCS meliputi aspek monitoring, control dan surveillance.
Aspek monitoring mencakup kegiatan dan analisis data untuk menilai
19
kelimpahan (abundance) dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan
(penangkapan, penanganan dan pemrosesan serta pengangkutan hasil
tangkapan). Aspek control mencakup penyusunan/pemberlakuan peraturan dan
perundang-undangan perijinan, pembatasan jumlah dan jenis kapal penangkap
dan alat tangkap, zonasi penangkaan dan lain-lain. Sementara itu, VMS
merupakan suatu sistem pemantauan yang bertujuan untuk mempermudah
inspeksi kapal-kapal di laut dengan cara mengidentifikasi kapal, memonitor posisi
kapal ikan yang beroprasi di perairan Indonesia, aktivitas kapal, jenis dan hasil
tangkapan serta informasi lainnya yang diperlukan untuk pengendalian sumber
daya kelautan dan perikanan.
PenutupPenutup
Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang
sangat besar sekali yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat
umumnya dan nelayan serta penduduk pesisir khususnya. Potensi ini dapat digali
dengan pengembangan pembangunan perikanan yang tidak merusak ekosistem
laut, pengembangan jasa pariwisata, pelayanan pelabuhan ataupun
pemanfaatan sumber-sumber mineral dan tambang. Akan tetapi dalam proses
pelaksanaan pemanfaatan potensi-potensi tersebut, dalam beberapa kasus
masih dilakukan dengan mengabaikan keseimbangan ekosistem laut demi
mencapai keuntungan yang tinggi. Ketidakseimbangan kepemilikan faktor
produksi antara nelayan tradisional dan nelayan pengusaha telah memicu
konflik-konflik social di antara mereka. Demikian juga dengan anggapan bahwa
sumber daya perikanan merupakan barang publik dan sifat laut yang ‘open-
access’ telah banyak menimbulkan konflik-konflik sosial. Akibat yang harus
ditanggung dari keadaan ini selain kerugian ekonomi juga kerugian lingkungan
akibat terlalu banyaknya ikan yang di tangkap (overfishing) sehingga
mengganggu keseimbangan ekosistem laut.
Pengambilan terumbu karang, pembukaan lahan tambak di pesisir pantai
yang menghilangkan hutan bakau, eksploitasi mineral, gas dan tambang pasir
20
serta meningkatnya pertumbuhan ganggang telah merusak keseimbangan
ekosistem laut. Demikian juga dengan bangunan-bangunan di pesisir pantai dan
meningkatnya kegiatan-kegiatan ekonomi untuk mendukung jasa pariwisata dan
pelabuhan, dapat menekan keseimbangan ekosistem laut. Berbahayanya
keberlanjutan keseimbangan ekosistem laut ini mengharuskan semua entitas di
Negara Indonesia untuk melakukan pengendalian dalam memanfaatkan potensi-
potensi kelautan dan perikanan.
21