ekonomi publik (dana, pajak dan anggaran)

13
Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008 Modul Perhitungan Potensi Pajak dan Retribusi Daerah Muhammad Yusri Zamhuri* A. Pendahuluan Sejak diimplementasikan UU No.34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah, melalui PP No 65 tentang pajak daerah dan 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah, pada kenyataannya belum membawa perubahan yang berarti pada optimalisasi dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Terdapat beberapa penyebab, antara lain, rendahnya kemampuan daerah dalam membuat strategi pengumpulan dan pemetaan potensi pajak dan retribusi, lemahnya aspek dukungan kelembagaan. Disamping itu, teknik yang digunakan untuk melakukan pemetaan, manajemen, regulasi pajak dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah belum menciptakan hasil yang optimal. Perhitungan dan pemetaan potensi pajak dan retribusi yang benar akan menghasilkan data potensi kapasitas fiskal daerah yang akurat, dan ini merupakan syarat perlu dalam melakukan perencanaan optimalisasi penerimaan daerah. Disamping itu, estimasi potensi pajak dan retribusi yang tepat juga akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat pada upaya pajak (tax effort) berikutnya. Hasil penerimaan daerah dikatakan optimal bilamana total penerimaan (total collection) sama dengan kapasitas fiskal atau potensi pajak dan retribusi yang ada, tetapi bilamana ditemukan atau terjadi bahwa realisasi penerimaan pajak dan retribusi (tax and surcharges collection) pada tahun tertentu melebihi dari potensi kapasitas terhitung pada tahun tersebut, maka estimasi potensi kapasitas adalah lebih rendah (under estimate) terhadap potensi kapasitas sesungguhnya. Sebaliknya, bilamana realisasi penerimaan pajak dan retribusi lebih *Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Upload: muhammad-arifandi

Post on 16-Feb-2016

231 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Tentang Tax Effort

TRANSCRIPT

Page 1: Ekonomi Publik (Dana, Pajak dan Anggaran)

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

Modul

Perhitungan Potensi Pajak dan Retribusi DaerahMuhammad Yusri Zamhuri*

A. Pendahuluan

Sejak diimplementasikan UU No.34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah, melalui PP No 65 tentang pajak daerah dan 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah, pada kenyataannya belum membawa perubahan yang berarti pada optimalisasi dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Terdapat beberapa penyebab, antara lain, rendahnya kemampuan daerah dalam membuat strategi pengumpulan dan pemetaan potensi pajak dan retribusi, lemahnya aspek dukungan kelembagaan. Disamping itu, teknik yang digunakan untuk melakukan pemetaan, manajemen, regulasi pajak dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah belum menciptakan hasil yang optimal.

Perhitungan dan pemetaan potensi pajak dan retribusi yang benar akan menghasilkan data potensi kapasitas fiskal daerah yang akurat, dan ini merupakan syarat perlu dalam melakukan perencanaan optimalisasi penerimaan daerah. Disamping itu, estimasi potensi pajak dan retribusi yang tepat juga akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat pada upaya pajak (tax effort) berikutnya. Hasil penerimaan daerah dikatakan optimal bilamana total penerimaan (total collection) sama dengan kapasitas fiskal atau potensi pajak dan retribusi yang ada, tetapi bilamana ditemukan atau terjadi bahwa realisasi penerimaan pajak dan retribusi (tax and surcharges collection) pada tahun tertentu melebihi dari potensi kapasitas terhitung pada tahun tersebut, maka estimasi potensi kapasitas adalah lebih rendah (under estimate) terhadap potensi kapasitas sesungguhnya. Sebaliknya, bilamana realisasi penerimaan pajak dan retribusi lebih kecil dari potensi kapasitasnya, maka yang perlu diperbaiki adalah peningkatan manajemen pengumpulan.

Modul ini bertujuan untuk memberikan metode perhitungan potensi pajak dan retribusi daerah. Pembahasan diawali dengan tax coverage bagi propinsi, kabupaten dan kota sesuai dengan ketentuan pada UU nomor 34 tahun 2000 dan PP nomor 65 dan nomor 66 tahun 2001. Kemudian secara berturut-turut pembahasan mengenai efektifitas penerimaan pajak dan retribusi dari sisi administrator; pendekatan perhitungan potensi pajak dan retribusi daerah; dasar perhitungan potensi pajak dan retribusi daerah; dan contoh kasus perhitungan potensi pajak dan retribusi daerah.

B. Pajak dan Retribusi Propinsi dan Kabupaten/Kota

Seperti yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan sebelumnya, bahwa produk hukum terkait dengan perpajakan daerah adalah UU No. 34 tahun 2000 dan PP nomor 65 dan 66 tahun 2001. Merujuk pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, maka terdapat 11 pajak daerah yang terdiri atas 5 pajak propinsi dan 6 kabupaten/kota. Kelima pajak propinsi yang dimaksud adalah 1). pajak kenderaan

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Page 2: Ekonomi Publik (Dana, Pajak dan Anggaran)

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

bermotor; 2). bea balik nama kenderaan bermotor; 3). pajak bahan bakar kenderaan bermotor; 4). pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan; dan 5). pajak baru lainnya. Sedangkan enam pajak kabupaten dan kota adalah 1). pajak hotel dan restoran; 2). pajak hiburan; 3). pajak reklame; 4). pajak penerangan jalan; 5) pajak penghasilan dan pengelolaan galian golongan C; 6). Pajak baru lainnya.

Selain itu, pemerintah daerah pada tingkat kabupaten dan kota, juga diperkenankan memungut pajak tambahan selama masih memenuhi kriteria yang terdapat dalam UU No.34 tahun 2000 tersebut. Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah a). Bersifat pajak dan bukan retribusi; b). Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; c). Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; d). Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek pajak pusat; e). Potensinya memadai; f). Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; g). Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan h). Menjaga kelestarian lingkungan.

C. Efektifitas Penerimaan dari Sisi Administrator

Pertanyaan mendasar dalam sisi efektifitas penerimaan pajak dan retribusi daerah adalah mengapa penerimaan aktual selalu bervariasi dari tahun ke tahun. Salah satu alasan atas jawaban pertanyaan tersebut adalah aspek kapasitas administratif. Terdapat beberapa aspek penting dalam menilai kapasitas administratif yaitu aspek kompotensi, kreatifitas dan persepsi. Aspek kompetensi mencerminkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan oleh administrator atas aspek-aspek perpajakan. Dengan kompotensi yang dimiliki, administrator pajak dan retribusi daerah dapat melakukan kreasi dalam penciptaan dan pengelolaan pajak dan retribusi daerah.

Penguasaan teknologi bagi administrator perpajakan akan meningkatkan efektifitas penerimaan pajak dan retribusi. Perkembangan teknologi komputer dan informatika menjadi salah satu alasan urgensi reformasi sistem administrasi perpajakan. Dengan demikian maka kebutuhan pemerintah daerah untuk menerapkan sistem administrasi perpajakan yang berbasis teknologi terkini sudah menjadi kebutuhan. Aplikasi sistem perpajakan berbasis teknologi ini akan mendorong terciptanya administrasi perpajakan yang transparan, dan memperkecil peluang munculnya moral hazard untuk melakukan penyimpangan pajak oleh administrator perpajakan. Pada sisi lain, wajib pajak dapat melakukan pembayaran dan pelaporan kewajiban pajaknya dengan menggunakan media komputer melalui sistem on-line.

Sistem administrasi perpajakan yang berbasis teknologi juga mengakomodasi pengembangan dan pemanfaatan sistem spasial perpajakan. Dengan memetakan wajib pajak dan obyek pajak dapat memudahkan sistem pengumpulan dan pemantauan pembayaran pajak.

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Page 3: Ekonomi Publik (Dana, Pajak dan Anggaran)

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

D. Pendekatan Perhitungan Potensi Pajak dan Retribusi Daerah

Secara garis besar terdapat dua pendekatan perhitungan potensi pajak dan retribusi daerah yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro dilakukan untuk memproyeksi besarnya potensi penerimaan pemerintah propinsi, kabupaten dan pemerintah kota dimasa yang akan datang. Proyeksi dilakukan dengan cara proxy terhadap basis pajak (tax base) dari sejumlah jenis pajak daerah yang ada. Hasil proyeksi ini mencerminkan kemampuan potensi fiskal (fiscal capacity) bagi pementah propinsi, kabupaten dan kota yang bersangkutan. Terdapat empat jenis pengukuran kapasitas fiskal, yaitu 1). Koleksi penerimaan (revenue collection); 2). Pendapatan per kapita (per capita income); 3). Produk Regional Bruto (Gross Regional Product); 4). Sistem perpajakan representatif (Representative Tax System/RTS), Martinez dan Boex (1997).

1. Pengumpulan Penerimaan (Revenue Collection)

Pengukuran kapasitas fiskal dengan revenue collection, menetapkan bahwa penerimaan yang diterima pada tahun lalu dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan potensi kapasitas pajak pada tahun berjalan. Terdapat beberapa kelemahan yang timbul dari metode ini. Pertama, perbandingan revenue collection dari tahun ke tahun tidak viable sebagai representasi dari kapasitas fiskal tahun berjalan, tetapi lebih representatif sebagai elemen penting untuk dasar pembagian grant. Kedua, penggunaan penerimaan sebagai proksi atas kapasitas fiskal untuk alokasi pemerataan grant akan dapat menyebabkan tendensi yang tidak baik terhadap pemerintah daerah agar menurunkan penerimaan selama tahun berjalan dengan tujuan untuk mendapatkan bantuan pada tahun (periode) yang akan datang.

2. Pendapatan Per Kapita (Per Capita Income)

Pengukuran pendapatan per kapita juga dapat digunakan sebagai salah satu ukuran kapasitas perpajakan. Pengukuran dengan metode ini telah dipakai secara luas karena cenderung sederhana dan mudah. Namun, pendekatan pendapatan per kapita ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat mencakup seluruh basis pajak yang ada pada tiap wilayah.

3. Produk Regional Bruto (Gross Regional Product/GRP)

Pengukuran GRP sebagai ukuran kapasitas perpajakan lebih komprehensif dibandingkan dengan pengukuran pendapatan per kapita. Pada pendekatan ini GRP didefinisikan sebagai nilai tambah atas barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu wilayah pada periode tertentu. Selama GRP didefinisikan juga sebagai pendapatan total dari pembayar pajak, maka GRP merupakan subjek pajak dari pemerintah daerah. Pendekatan ini dikritik karena masih terlalu umum. Disamping itu GRP mencakup output yang tidak termasuk dalam basis pajak.

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Page 4: Ekonomi Publik (Dana, Pajak dan Anggaran)

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

4. Sistem Perpajakan Representatif (Representative Tax System/RTS)

Pendekatan ini menggunakan proksi yang lebih baik dengan menggunakan variabel-variabel yang terdekat dengan basis pajaknya. Pendekatan ini dilakukan dengan pengumpulan data penerimaan dan basis pajak atas tiap daerah. Setelah kita mendapatkan penerimaan dan proksi atas basis pajak, kita dapat mengukur upaya fiskal dengan membandingkan penerimaan pajak dengan estimasi kapasitas pajak. Nilai ini kemudian yang dijadikan sebagai kemampuan fiskal propinsi, kabupaten/kota. RTS dilakukan dengan cara meregresi dari fungsi yang merupakan proksi dari masing-masing jenis pajak yang ada. RTS dengan regresi lebih baik sebab tingkat pajak yang dihasilkan dari estimasi ini telah menangkap varians distribusi data.

Jika pemerintah kabupaten memiliki kewenangan atas 5 kategori pajak termasuk pajak galian tambang golongan C, pajak hotel, pajak hiburan, pajak penerangan jalan, pajak air tanah. Dengan basis pajak masing-masing jenis pajak tersebut akan menghasilkan 5 model regresi sebagai berikut:

TbgC = b0 + b1*Basispjk TbgC ……………….…… 1HR = b0 + b1*Basispjk HR ……………………..2Hibur = b0 + b1*BasispjkHibur ………………….….3JLn = b0 + b1*Basispjk Industry –Retail ……………………..4JLn-Air = b0 + b1*BasispjkPenduduk……….………….…5

dimana:

TbgC adalah potensi pajak tambang golongan C Basispjk TbgC adalah proksi basis pajak untuk tambang golongan C HR adalah potensi pajak hotel dan restoran Basispjk HR adalah proksi basis pajak hotel dan restoran Hibur adalah potensi pajak hibranBasispjkHibur adalah proksi basis pajak hiburanJLn adalah potensi pajak penerangan jalan Basispjk Industry –Retail adalah proksi basis pajak penerangan jalan JLn-Air adalah potensi pajak penerangan jalan dan air tanah BasispjkPenduduk adalah proksi basis pajak penerangan jalan dan air tanahb0, b1 adalah parameter yang akan diestimasi yaitu β0, β1.

Kapasitas pajak (kapasitas fiskal) dapat diperoleh dengan menjumlahkan 5 model persamaan sebelumnya sehingga,

Kapasitas Pajak/fiskal = β0 + β1*Basispjk TbgC + β0 + β1*Basispjk HR + β0 +

β1*BasispjkHibur + β0 + β1*Basispjk Industry -Retail + β0 +

β1*BasispjkPenduduk

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Page 5: Ekonomi Publik (Dana, Pajak dan Anggaran)

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

Tabel 1: Basis Pajak dengan Cara ProksiKomponen Pajak Proksi Basis Pajak

Pajak Hotel & Restoran Jumlah kunjungan x service facility X tax ratePajak bahan bakar kendaraan Konsumsi bahan bakar per literPajak lisensi kendaraan Pribadi

Jumlah registrasi lisensi mobil pribadi

Pajak lisensi kendaraan Pribadi

Jumlah registrasi lisensi mobil pribadi

Pajak properti tempat tinggal Nilai pasar property Pajak Reklame Letak, luas, lama,………..Pajak galian tambang ………………………

Upaya Pajak (Tax Effort)

Upaya pajak dapat didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan pajak/ retribusi dengan kapasitas fiskal suatu propinsi, kabupaten/kota. Secara sederhana dapat ditulis sebagai berikut:

Tax Effort (TE) = {Total tax collection (TC) / Fiscal capacity (FC)}atau

TE = (TC/FC)

Terdapat tiga alternatif hasil TE yang bisa terjadi yaitu masing-masing TE = 1; TE < 1; dan TE > 1. Pertama, bilamana hasil perhitungan menunjukkan bahwa TE = 1, ini berarti bahwa penerimaan sesuai dengan kapasitas/potensi pajak dan retribusi yang ada. Bilamana perhitungan kapasitas adalah akurat maka, TE = 1 menunjukkan pengelolaan pengumpulan pajak dan retribusi adalah efektif. Kedua, bilamana TE < 1, artinya penerimaan lebih kecil dari potensi kapasitas pajak dan retribusi. Jika terjadi demikian maka terdapat masalah pada manajemen pengumpulan pajak dan retribusi. Sejumlah kemungkinan penyebab antara lain adanya penghindaran pajak (tax aversion) oleh wajib pajak; adanya moral hazar yang dilakukan oleh pengumpul dan lain-lain. Dan ketiga, bilamana TE > 1, artinya penerimaan lebih besar dari potensi pajak dan retribusi. Jika terjadi demikian maka hasil estimasi atas kapasitas fiskal dibawah potensi yang sesungguhnya (under estimate). Hal ini juga mengandung pengertian bahwa masih ada potensi penerimaan dari sumber-sumber pajak dan retribusi yang belum teridentifikasi pada proses estimasi potensi kapasitas fiskal yang dilakukan.

Pendekatan mikro perhitungan potensi pajak dan retribusi daerah dilakukan dengan cara melakukan assessment terhadap pembayar pajak, retribusi potensial. Kegiatan-kegiatan Assessment tersebut antara lain: a). Mencermati dan mempelajari undang-undang dan peraturan yang ada; b). Melakukan identifikasi situasi; c). Menetapkan formulasi perhitungan potensi pajak dan retribusi.

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Page 6: Ekonomi Publik (Dana, Pajak dan Anggaran)

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

E. Dasar Perhitungan Potensi Pajak dan Retribsi Daerah

Dengan pendekatan mikro, potensi suatu penerimaan pajak dapat dihitung dengan mengalikan tarif suatu pajak dengan basis pajak. Dengan demikian formulasi perhitungan potensi pajak adalah sebagai berikut:

Potensi penerimaan = Tarif pajak X Basis pajak

Langkah-langkah penetapan basis pajak untuk setiap jenis pajak dan retribusi berbeda untuk setiap jenis pajak dan retribusi yang berbeda. Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh perhitungan potensi pajak hotel dan restoran, retribusi pasar, dan pajak reklame.

1. Contoh Perhitungan Potensi Pajak Hotel Sahid Maju

Perhitungan potensi pajak hotel diawali dengan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a). Identifikasi jumlah dan kategori hotel; b). Menetapkan sampel (bila diperlukan): c). Melakukan observasi tentang kelas kamar/jenis kamar, tarif, jumlah kamar, tingkat hunian kamar. Dengan data awal mengenai kelas kamar, tarif kamar dan jumlah kamar seperti pada tabel 1 berikut:

Tabel 2. Kelas, Tarif dan Jumlah Kamar Hotel Sahid MajuKelas Kamar Tarif Kamar Jumlah Kamar

Superior 176.00 12Deluxe 147.000 9Standar 121.800 29

Catatan: jumlah kamar 43 dengan tingkat hunian rata-rata 37 persen (16 kamar)

Berdasarkan data tabel 1 tersebut, dapat dihitung rata-rata hunian hotel Sahid Maju dengan metode Mean dan Weighted Mean (rata-rata tertimbang).

Tabel 3. Perhitungan Rata-rata Hunian dengan Metoda Mean Situasi Jumlah Kamar

Terpakai (JKT)Rumus

Ramai (peak season) 28 Rata-rata = JKT

n= 45 / 3 = 15

Normal (normal season) 10Sepi (low season) 7Jumlah (n) 45

Tabel 4.1. Perhitungan Rata-rata Hunian dengan Metode Weighted Mean Situasi (JKT) Frekuensi – Jumlah

hari (w)JKT x w Rumus

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Page 7: Ekonomi Publik (Dana, Pajak dan Anggaran)

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

Ramai 28 135 3780 Rata-rata tertimbang = JKT x w

w= 5760 / 360 =

16

Normal 10 135 1350Sepi 7 90 630Jumlah (n) 360 5760

Tabel 4.2. Perhitungan Rata-rata Hunian dengan Metode Weighted Mean Situasi Jumlh Kmr Terpakai Frekwensi (%) Rata-rata Rumus

Ramai 28 0.4 11.2 Rata-rata tertimbang = JKT x w

w= 16,6 / 1 = 16,6

Normal 10 0.4 4Sepi 7 0.2 1.4Jumlah 1 16.6

Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata hunian tersebut, maka langkah selanjutnya untuk menghitung potensi pajak hotel Sahid Maju adalah menghitung tarif rata-rata per kamar, dan hasilnya dikalikan dengan jumlah kamar terpakai dengan tarif kamar rata-rata, jumlah hari dalam sebulan (30 hari) dan setahun 360 hari, tarif pajak hotel. Tarif pajak hotel ditentukan melalui peraturan pemerintah daerah (misalnya 10 %). Dengan demikian maka:

Tarif Rata-rata = {(12 x 176400) + (2 x 147000) + (29 x 121800)}/{43} = 5.943.000/43 = Rp 138.200

Potensi Pajak = 16 kamar x Rp 138.200 x 360 hari x 10% = Rp 79.603.200 per tahun

2. Contoh Perhitungan Potensi Pajak Reklame

A. Jenis-jenis objek pajak reklame adalah sebagai berikut :a. Reklame papan/billboardb. Reklame megtron/vidiotron/large electronic displayc. Reklame kain d. Reklame melekat/stikere. Reklame selebaranf. Reklame berjalan/kendaraang. Reklame udara (menggunakan gas, laser, pesawat dll)h. Reklame suarai. Reklame slide atau reklame filmj. Reklame peragaan

B. Dasar Pengenaan Pajak Reklame

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin

Page 8: Ekonomi Publik (Dana, Pajak dan Anggaran)

Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 2008

Basis pajak reklame dihitungan dengan dasar nilai sewa reklame. Sedangkan nilai sewa reklame dihitung berdasarkan proksi nilai variabel berikut:a. Besarnya biaya pembuatan dan pemasangan reklameb. Besarnya biaya pemeliharaan reklamec. Lama pemasangan reklamed. Jenis reklamee. Nilai strategis lokasi (berdasarkan kawasan, ukuran reklame, fungsi

jalan, dan lain-lain)

C. Formula Perhitungan Potensi Pajak Reklame

Formula perhitungan potensi pajak reklame adalah:

Potensi Penerimaan = Tarif pajak reklame x nilai sewa reklame

3. Contoh Perhitungan Retribusi Pasar Umum

Perhitungan potensi restribusi pasar umum dapat digunakan formula sebagai berikut :

[(LKS x TR) + (LLS x TR) + (RLA x JPA x TR)] x [ S Aktivitas Pasar Sebulan x 12]LKS : Luas kiosLLS : Luas losRLA : Rerata luas areal arahan per pedagangJPA : Jumlah pedagang arahanTR : Tarif Retribusi

Informasi yang dikumpulkan untuk menetapkan basis restribusi adalah sebagai berikut :

a. Fasilitas pasarb. Jenis daganganc. Jumlah petugas pemungutd. Tarif retribusie. Jumlah kios dan losf. Luas areal lahang. Jumlah pedagang arahanh. Data penerimaan retribusi tahunan.

F. Workshop: Potensi Perhitungan Pajak dan Retribusi Daerah

Referensi 1.

*Dosen tetap Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin