ekonomi jalan

107
ANALISIS DA TERHADAP S DENGAN CON (Studi DEPARTEMEN E FAKUL IN AMPAK KEMACETAN LALU LINT SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JAL NTINGENT VALUATION METHOD (C i Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat) RENDY DWI SAPTA EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUN LTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN NSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 TAS LAN CVM) NGAN

Upload: fauzan-asyiyyan

Post on 23-Jan-2016

32 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ekonomi

TRANSCRIPT

Page 1: Ekonomi jalan

ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL EKONOMI

DENGAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)(Studi Kasus

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGANFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

IS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN

CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat)

RENDY DWI SAPTA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGANFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2009

IS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS PENGGUNA JALAN

CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

Page 2: Ekonomi jalan

RINGKASAN

RENDY DWI SAPTA. Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan dengan Contingent Valuation Method (CVM)(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Jumlah kendaraan bermotor di Kota Bogor semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Pertambahan jumlah kendaraan menyebabkan kemacetan. Kemacetan dilihat dari dampak sosial membuat stress, kesal, lelah hingga waktu yang terbuang. Dampak kemacetan dari sisi ekonomi jelas lebih terlihat dari sisi manfaat yang hilang dan biaya yang harus dikeluarkan. Kemacetan membuat pengguna kendaraan bermotor harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk pembelian bahan bakar. Masyarakat yang bekerja juga kehilangan pendapatan mereka karena terlambat masuk kantor.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukanlah penelitian ini. Adapun permasalahan yang dikaji adalah 1) Apakah dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat terjadi kemacetan? 2) Berapa besarnya pengeluaran bahan bakar pengguna jalan bila terkena kemacetan dibandingkan dengan tidak terkena kemacetan? 3) Berapa besarnya pendapatan yang hilang akibat kemacetan? 4) Berapa besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat dari nilai kompensasi (WTA) yang bersedia mereka terima dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut. Manfaatnya agar masyarakat dapat mengetahui nilai kerugian akibat kemacetan. Selain itu, perhitungan kerugian BBM dan hilangnya pendapatan diharapkan dapat menambah informasi kerugian yang lebih spesifik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Contingent Valuation Method (CVM). Metode ini memiliki kemampuan untuk mengestimasi manfaat lingkungan dari berbagai sisi.

Berdasarkan hasil penelitian, kemacetan mengakibatkan pengguna jalan merasakan stress, waktu terbuang, mengurangi jam belajar atau jam kerja, pemborosan bensin, dan hilangnya pendapatan. Pengeluaran pembelian BBM dalam kondisi lalu lintas normal untuk pengguna mobil adalah sebesar Rp 13.933,25, sedangkan motor Rp 13.238,32. Namun apabila mereka terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi sebesar Rp 19.171,12 dan motor Rp 18.221,38. Kerugian yang ditanggung adalah sebesar Rp 5.237,87 per mobil dan Rp 4.983,06 per motor. Selanjutnya, perhitungan pendapatan yang hilang akibat kemacetan untuk pengendara mobil adalah sebesar Rp 6.301,00, pengguna sepeda motor Rp 2.800,58, sedangkan pengguna angkutan umum Rp 2.254,05 setiap harinya. Total pendapatan yang hilang dari pengguna jalan adalah Rp 11.356,12. Total hilangnya pendapatan akibat kemacetan di Kota Bogor adalah Rp 7.377.321.660,00 per hari.

Penggunaan metode CVM menghasilkan nilai rata-rata WTA yang diekspresikan responden untuk pengguna mobil sebesar Rp 12.963,56, pengguna motor Rp 7.265,71, dan penumpang angkutan umum Rp 5.225,23.Variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya nilai WTA pengguna jalan secara signifikan adalah variabel pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, umur, durasi terkena kemacetan, jarak tujuan perjalanan, dan kategori pengguna jalan.

Page 3: Ekonomi jalan

ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN

DENGAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat)

Oleh:

RENDY DWI SAPTA

H44052626

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Fakultas Ekonomi dan ManajemenInstitut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGANFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2009

Page 4: Ekonomi jalan

Judul Skripsi : Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap

Sosial Ekonomi Pengguna Jalan dengan Contingent

Valuation Method (CVM)

(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat)

Nama : Rendy Dwi Sapta

NRP : H44052626

Menyetujui,Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS

NIP: 19650212 199003 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir.Akhmad Fauzi, MSc

NIP: 19620421 198603 1 003

Tanggal Lulus :

Page 5: Ekonomi jalan

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL

EKONOMI PENGGUNA JALAN DENGAN CONTINGENT VALUATION

METHOD (CVM) (Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat)” BELUM PERNAH

DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN

MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK

TERTENTU. SAYA JUGA MENGATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR

HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN

YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN

KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM

NASKAH.

Bogor, Agustus 2009

Rendy Dwi Sapta

H44052626

Page 6: Ekonomi jalan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Maret 1987 dan merupakan

anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Tasman Nussa dan Ibu Siti

Djubaidah. Saat ini penulis tinggal bersama kedua orang tua di Cilodong, Kota

Depok.

Penulis mengawali pendidikan di TK Kusuma Bangsa KOSTRAD

Cilodong pada tahun 1991 dan pada tahun 1993 melanjutkan ke jenjang yang

lebih tinggi di SDN Kalibaru III Sukmajaya Depok. Setelah lulus pada tahun

1999, penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN I Cibinong Kabupaten Bogor dan

pada tahun yang sama pula, penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah

atas di SMAN 6 Kota Bogor. Tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa

Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Setelah setahun di Tingkat Persiapan

Bersama IPB, penulis melanjutkan ke Departemen Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen sebagai program mayor dan

Pengelolaan Jasa Lingkungan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan sebagai

program minor, Institut Pertanian Bogor.

Selama perkuliahan, penulis pernah aktif menjadi anggota dalam

organisasi intern kampus, yaitu REESA dan BASH. Selain itu, penulis juga

pernah dipercaya menjabat sebagai ketua BASH periode 2007-2008.

Page 7: Ekonomi jalan

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Adapun judul dari skripsi ini

adalah Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial Ekonomi

Pengguna Jalan dengan Contingent Valuation Method (CVM) (Studi Kasus:

Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi ini membahas mengenai dampak sosial

ekonomi masyarakat, khususnya pengguna jalan di Kota Bogor. skripsi ini juga

menghitung perubahan pengeluaran BBM pengguna jalan akibat terjadinya

kemacetan, pendapatan yang hilang, serta mengestimasi nilai Willingness to

Accept (WTA) pengguna jalan dimana WTA dilihat sebagai besarnya kerugian

dari dampak yang dirasakan oleh pengguna jalan.

Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan

skripsi ini, mulai dari persiapan hingga penulisan. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca, Wassalam.

Bogor, Agustus 2009

Penulis

Page 8: Ekonomi jalan

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat

dan karunia-Nya selama penulis menyusun skripsi ini. Skripsi ini tidak akan

pernah terwujud jika tidak ada orang-orang hebat di sekitar penulis, untuk itu

penulis ingin memberikan ucapan terima kasih penulis yang ditujukan kepada:

1. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen pembimbing akademik dan

skripsi yang telah mengarahkan penulis dalam melakukan penelitian dan

menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Ahyar Ismail ,M.Agr dan Adi Hadianto ,SP selaku dosen penguji

sidang skripsi atas segala masukan yang berharga.

3. Papa dan mama tersayang, Mila, Iman, Icha, Bian atas segala doa, kasih

sayang, bimbingan, dan dukungan yang luar biasa kepada penulis. Tidak lupa

pula adik tercinta, Afra Wardatul Rajwa Zubeta.

4. Nenek tercinta, Alm. Umi Sani yang dulu pernah berujar kalau beliau ingin

suatu saat ada cucunya yang diwisuda di IPB.

5. Uncu dan keluarga (Tante Mira, Uul, Fika) atas segala dukungannya yang

sangat membantu penulis saat memasuki IPB.

6. Teruntuk yang tersayang, Resna Yulisthia yang selalu setia menemani dan

membantu setiap saat. PS. Luv u.

7. Penghuni 279 Corp. Kibi. Saudara seatap (Pram, Jawa, Robot). Sabrut, Koink,

Beru, Hanz, Ubi, Yayang, Petruk.

8. Spesial buat Rehan, Ucok, Diki, Qoffa yang sangat banyak membantu. Hatur

nuhun akang untuk semuanya..

9. Pulunk, Dika, Wisnu, Ammar, Boai, Ambon.

10. Remapa 6 : Doyok, Acoz, dan warga Hegarsari serta teman KKP : Era, Isti,

Dewi, Ucok.

11. Para sahabat ESL 42 yang selalu membantu penulis: Danti, Ani, Rani, Eta,

Gita, Asri, Miun, Tata, Tri, Ratih, Kamila, Mpe, Irvan, Ata, Gareng dan

semuanya. Terima kasih untuk pengalaman hebat bersama kalian.

Page 9: Ekonomi jalan

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR..................................................................................... v

DAFTAR ISI.................................................................................................. vii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii

I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.................................................................................. 11.2. Perumusan Masalah .......................................................................... 51.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 81.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 91.5. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 9

II.TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10

2.1. Teori Transportasi .......................................................................... 102.1.1. Definisi Transportasi ............................................................ 102.1.2. Pengertian dan Fungsi Transportasi Perkotaan. ................... 112.1.3. Definisi Kemacetan Transportasi ......................................... 11

2.2. Peranan Sosial Ekonomi Transportasi............................................ 122.2.1. Peranan Sosial Transportasi.................................................. 122.2.2. Peranan Ekonomi Transportasi............................................. 13

2.3. Teori Ekonomi Mengenai Barang Publik dan Eksternalitas .......... 132.4. Penilaian Ekonomi Dampak Lingkungan....................................... 16

2.4.1. Contingent Valuation Method (CVM).................................. 192.4.2. Willingness to Accept (WTA)............................................... 22

2.5. Penelitian Terdahulu yang Terkait ................................................. 23

III. KERANGKA PEMIKIRAN................................................................. 27

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis.......................................................... 273.1.1. Perhitungan Nilai Tengah Contoh ........................................ 343.1.2. Regresi Linear Berganda ...................................................... 35

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional................................................... 36

IV. METODE PENELITIAN .................................................................... 40

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................... 404.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 404.3. Metode Pengambilan Sample ......................................................... 404.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data........................................... 414.5. Perhitungan Nilai Rata-Rata........................................................... 424.6. Model Regresi Berganda ................................................................ 424.7. Pengujian Parameter....................................................................... 44

Page 10: Ekonomi jalan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI .......................................................... 49

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .............................................. 495.1.1. Keadaan Umum Kota Bogor ................................................ 495.1.2. Kependudukan ...................................................................... 50

5.2. Transportasi dan Lalu Lintas di Kota Bogor .................................. 525.2.1. Volume Kendaraan Bermotor .............................................. 525.2.2. Sumber Volume Kendaraan Bermotor................................. 525.2.3. Infrastruktur Lalu Lintas ...................................................... 535.2.4. Manajemen Lalu Lintas ....................................................... 555.2.5. Kemacetan di Kota Bogor.................................................... 55

5.3. Karakteristik Responden ................................................................ 565.3.1. Jenis Kelamin....................................................................... 565.3.2. Usia ...................................................................................... 575.3.3. Pendidikan............................................................................ 585.3.4. Jenis Pekerjaan..................................................................... 595.3.5. Tingkat Pendapatan.............................................................. 595.3.6. Pengguna Jalan..................................................................... 60

VI. DAMPAK KEMACETAN TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN ............................................................................ 61

6.1. Analisis Dampak Kemacetan terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan ............................................................................... 61

6.2. Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Jalan bila Terkena Kemacetan Dibandingkan dengan Tidak Terkena Kemacetan ...................................................................................... 65

6.2. Perhitungan Besarnya Pendapatan yang Hilang Akibat Kemacetan ...................................................................................... 67

VII. ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT (WTA) PENGGUNA JALAN TERHADAP KEMACETAN ............................................... 71

7.1. Willingness to Accept (WTA) Pengguna Jalan terhadap Kemacetan ...................................................................................... 71

7.1. Analisis Willingness to Accept (WTA) dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) ........................................... 72

7.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTA Pengguna Jalan ............................................................................... 76

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 83

8.1. Kesimpulan..................................................................................... 838.2. Saran……....................................................................................... 84

IX. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 85

LAMPIRAN................................................................................................... 88

Page 11: Ekonomi jalan

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jumlah dan Pertumbuhan Rata-Rata Motor dan Mobil di Kota Bogor Tahun 2004-2007...................................................................... 4

2. Perbandingan Metode Valuasi Ekonomi terhadap KebijakanLingkungan........................................................................................ 20

3. Penelitian Terdahulu yang Terkait .................................................... 26

4. Metode Pengolahan Data................................................................... 41

5. Indikator Pengukuran WTA .............................................................. 44

6. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan di Kota Bogor Tahun 2007........................................................................................ 50

7. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah................... 51

8. Kontribusi Sektor Terbesar PDRB Kota Bogor Tahun 2008 ............ 51

9. Perhitungan Pengeluaran Rata-Rata Responden untuk Pembelian BBM .................................................................................................. 66

10. Perhitungan Pendapatan yang Hilang................................................ 69

11. Alasan Ketidaksediaan Responden Mengungkapkan Kerugian........ 74

12. Distribusi Besaran WTA Pengguna Jalan ......................................... 74

13. Hasil Analisis WTA Responden........................................................ 77

Page 12: Ekonomi jalan

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Indonesia Tahun 2001-2005... 3

2. Klasifikasi Valuasi Non-Market ........................................................ 18

3. Tahapan dalam Menggunakan CVM................................................. 31

4. Diagram Alur Kerangka Pemikiran................................................... 39

5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin....................... 57

6. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ...................................... 57

7. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .............. 58

8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan..................... 59

9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan.............. 60

10. Karakteristik Responden Berdasarkan Penggunaan Kendaraan........ 60

11. Persepsi Pengguna Jalan Mengenai Dampak Kemacetan ................. 62

12. Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Pengguna Jalan Mengungkapkan Kerugian Akibat Kemacetan ................................. 71

13. Dugaan Bid Curve WTA Pengguna Jalan terhadap Kemacetan ....... 75

Page 13: Ekonomi jalan

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ......................................................................... 89

2. Kuisioner Penelitian ............................................................................ 90

3. Hasil Regresi Berganda WTA Responden Terhadap Kemacetan ......... 1

4. Foto-Foto Kemacetan di Kota Bogor .................................................. 94

Page 14: Ekonomi jalan

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan berbagai sektor industri yang semakin pesat menjadi mesin

pendorong bagi pembangunan ekonomi. Pesatnya pertumbuhan industri turut

mendorong eksploitasi sumberdaya alam dan berbagai praktik teknologi yang

memacu konsumsi berlebihan sehingga mengakibatkan merosotnya lingkungan.

Isu lingkungan saat ini menjadi salah satu perhatian utama di berbagai belahan

dunia. Hal ini tidak hanya dihadapi oleh negara-negara maju, tetapi sudah mulai

merambah ke negara-negara berkembang.

Isu lingkungan merupakan imbas dari kegiatan manusia dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah untuk saling

berinteraksi dengan sesama manusia atau sistem kebutuhan lainnya dimana hal ini

ditunjang oleh sektor transportasi. Transportasi membuat mobilitas manusia

menjadi lebih cepat, aman, nyaman, dan terintegrasi. Transportasi berkembang

mengikuti fenomena yang timbul di dalam masyarakat akibat penggalian

sumberdaya, penemuan teknologi baru, perkembangan struktur masyarakat, dan

bertambahnya jumlah penduduk. Selain itu, kebutuhan manusia untuk

mengunjungi suatu tempat juga turut mempengaruhi tumbuhnya sektor

transportasi.

Fungsi sektor transportasi akan merangsang peningkatan pembangunan

ekonomi. Hal ini disebabkan antara fungsi sektor transportasi dan pembangunan

ekonomi mempunyai hubungan kausal (timbal balik). Sistem transportasi yang

baik memberi kemudahan akses ke berbagai kawasan sehingga menunjang

Page 15: Ekonomi jalan

2

pertumbuhan sektor ekonomi, khususnya kawasan perkotaan yang ditengarai

dengan semakin menguatnya konsentrasi penduduknya. Sebaliknya, peningkatan

pertumbuhan ekonomi juga telah meningkatkan peranan sektor transportasi dalam

menunjang pencapaian sasaran pembangunan dan hasilnya.

Tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia saat ini mencapai

4,1% per tahun atau lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk

nasional yang hanya 1,8% per tahun. Sampai akhir tahun 1995 diperkirakan 45%

dari jumlah penduduk nasional berada di wilayah perkotaan atau 90 juta dari

sekitar 200 juta penduduk dimana 60,5% dari penduduk perkotaan tersebut tinggal

di kota-kota besar, metropolitan, dan megapolitan. Melihat gejala seperti itu, dapat

diperkirakan pada tahun 2018 penduduk perkotaan akan mencapai 52% atau

sekitar 140 juta jiwa penduduk perkotaan dari sekitar 270 juta jiwa penduduk

Indonesia.1

Sektor transportasi di Indonesia juga turut mengikuti gejala tersebut

dimana pertumbuhan kendaraan bermotornya meningkat cukup tinggi, yaitu

mencapai 19,3% per tahun. Komposisi terbesar adalah sepeda motor yaitu 71,80%

dari jumlah kendaraan bermotor pada periode 2004-2005 dan tingkat

pertumbuhannya mencapai 30% dalam lima tahun terakhir. Rasio jumlah sepeda

motor dan penduduk di Indonesia mencapai 1:8 pada akhir tahun 2005.2

Setiap tahun jumlah kendaraan roda dua bertambah sekitar 12% sedangkan

kendaraan roda empat hanya 6,9%. Jumlah kendaraan bermotor yang tercatat di

Kepolisian RI diperkirakan sebanyak 38,16 juta unit pada tahun 2005.

1 Anonim. 2009. Dinamika Pertumbuhan Perkotaan. www.bps.com. Diakses pada Selasa,

3 Februari 2009.2 Ibid. Pertumbuhan Kendaraaan Bermotor.

Page 16: Ekonomi jalan

Komposisinya terdiri atas: 71,8% sepeda motor, 8,5% sedan, 2,6% truk, dan

17,1% bis, seperti yang tersaji pada Gambar 1.

Sumber: Statistik Indonesia 2007 dari BPS

Gambar 1. Pertumbuhan2005

Sementara itu, merujuk data

bermotor di Kota Bogor juga

11.850 ha dengan panjang jalan 783.412 km

jumlah kendaraan yang semakin lama

ada 3.506 unit angkot yang diijinkan ber

ratusan angkot dari Kabupaten Bogor yang trayek op

wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot se

beban kepadatan lalu lintas Kota Bogor, karena masih ada 46.034

roda empat pribadi dan 73.145

hilir mudik setiap harinya

berbagai jenis kendaraan

terutama dari wilayah Jabodetabek, Sukab

0

50000

100000

150000

200000

250000

2001

nya terdiri atas: 71,8% sepeda motor, 8,5% sedan, 2,6% truk, dan

17,1% bis, seperti yang tersaji pada Gambar 1.

Sumber: Statistik Indonesia 2007 dari BPS

. Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Indonesia Tahun

merujuk data Kepolisian Kota Bogor, jumlah kendaraan

di Kota Bogor juga semakin meningkat. Luas Kota Bogor yang hanya

dengan panjang jalan 783.412 km sudah padat untuk menampung

jumlah kendaraan yang semakin lama melebihi carrying capacity jalan.

angkot yang diijinkan beroperasi di dalam kota, ditambah lagi

Kabupaten Bogor yang trayek operasinya masih memasuki

Jumlah angkot sebanyak itu tidak hanya menjadi b

lintas Kota Bogor, karena masih ada 46.034 unit

roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan roda dua serta ratusan becak yang

nya. Jumlah tersebut masih ditambah lagi dengan mobilit

berbagai jenis kendaraan dari luar Kota Bogor yang masuk wilayah Kota Bogor,

terutama dari wilayah Jabodetabek, Sukabumi, Cianjur, Bandung

2002 2003 2004 2005

3

nya terdiri atas: 71,8% sepeda motor, 8,5% sedan, 2,6% truk, dan

Tahun 2001-

, jumlah kendaraan

Kota Bogor yang hanya

sudah padat untuk menampung

jalan. Saat ini

dalam kota, ditambah lagi

erasinya masih memasuki

menjadi bagian dari

unit kendaraan

kendaraan roda dua serta ratusan becak yang

dengan mobilitas

luar Kota Bogor yang masuk wilayah Kota Bogor,

Bandung, dan

Sedan

Sepeda MotorBis/Minibis

Truk

Page 17: Ekonomi jalan

4

sebagainya.3 Jumlah dan pertumbuhan rata-rata motor dan mobil di Kota Bogor

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah dan Pertumbuhan Motor dan Mobil di Kota Bogor Tahun 2004-2007

Tahun Jumlah Motor (unit) Jumlah Mobil (unit) Total Pertumbuhan (%)

2004-2005 71.241 43.326 9,07

2005-2006 80.966 45.598 12,01

2006-2007 117.450 49.540 31,06

Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2008 dari BPS

Pertambahan kendaraan bermotor periode 2006-2007 mencapai lebih dari

30.000 unit dan 90% diantaranya merupakan kendaraan roda dua atau sepeda

motor, sedangkan pertambahan kendaraan roda empat hanya sekitar 3.000 unit per

tahun. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang signifikan terjadi pada tahun yang

sama dimana tingkat pertumbuhannya jauh meningkat dibandingkan tahun

sebelumnya yaitu mencapai 31,06%, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor

dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai 17,3% per tahun. Peningkatan sektor

transportasi ini menyebabkan terjadinya kemacetan di Kota Bogor. 4

Masyarakat Kota Bogor, dalam hal ini adalah pengguna jalan, selalu

dihadapkan dengan kemacetan lalu lintas sehingga mereka menganggap

kemacetan adalah bagian dari rutinitas hidup. Padahal saat mereka terjebak dalam

kemacetan, banyak manfaat yang hilang. Kemacetan dilihat dari dampak

sosialnya dapat membuat seseorang stress, lelah, terlambat ke sekolah atau ke

kantor, sampai menurunnya kualitas udara.

3 Anonim. 2009. Kendaraan Berplat Non-F Marak di Bogor. www.drtlhbogorkab.go.id. Diakses pada Minggu, 8 Februari 2009.

4 Anonim. 2009. Pertumbuhan Kendaraan di Kota Bogor. www.bogornews.com/mod. =spot&op=viewarticle&artid=97. Diakses pada Selasa, 27 Februari 2009.

Page 18: Ekonomi jalan

5

Dampak kemacetan terhadap ekonomi jelas lebih terlihat dari sisi manfaat

yang hilang dan biaya yang dikeluarkan. Kemacetan membuat laju kendaraan

melambat atau bahkan terhenti (stuck position). Kondisi ini membuat penggunaan

Bahan Bakar Minyak (BBM) meningkat karena mesin menyala lebih lama

sehingga pengendara harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk

pembelian BBM. Masyarakat yang bekerja juga kehilangan jam kerja mereka

karena terlambat masuk kantor sehingga akhirnya pendapatan mereka juga turut

berkurang.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu adanya studi yang

mengkaji tentang besarnya dampak sosial ekonomi pengguna jalan dilihat dari

perubahan pengeluaran untuk BBM saat lalu lintas normal dibandingkan dengan

saat terjebak kemacetan, hilangnya pendapatan akibat kemacetan, dan berapa

besarnya kerugian pengguna jalan jika ada kompensasi yang diberikan akibat

terjebak kemacetan. Penggunaan Willingness to Accept (WTA) digunakan untuk

mengetahui besarnya kompensasi yang bersedia diterima pengguna jalan, terkait

dengan dampak sosial ekonomi yang dirasakan setiap individu. Besarnya WTA

ini mencerminkan besarnya kerugian individu pengguna jalan.

1.2. Perumusan Masalah

Seiring dengan perubahan waktu, jumlah penduduk di Kota Bogor

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga kebutuhan akan transportasi

juga semakin bertambah. Pemenuhan transportasi dengan peningkatan jumlah alat

transportasi milik pribadi maupun massal, menjadi hal yang harus dipenuhi agar

mobilitas penduduk dapat berjalan baik sehingga berdampak positif bagi aktivitas

sosial maupun ekonomi. Peningkatan jumlah alat transportasi di Kota Bogor

Page 19: Ekonomi jalan

6

awalnya dilakukan dengan menambah jumlah angkot pada beberapa ruas jalan.

Hal ini dilakukan karena ruas jalan di Kota Bogor dianggap relatif sempit untuk

dilewati kendaraan umum skala besar seperti bis. Namun di sisi lain, semakin

bertambahnya alat transportasi juga mengurangi jarak lintasan antar kendaraan di

jalan raya, sehingga semakin lama terjadi kemacetan. Masalah kemacetan telah

mengganggu aktifitas masyarakat, khususnya aktifitas ekonomi.

Masalah kemacetan merupakan masalah yang sulit dicari solusinya bagi

kota-kota besar. Permasalahan yang sering terjadi di kota besar biasanya muncul

karena kebutuhan transportasi lebih besar daripada prasarana transportasi yang

tersedia, atau prasarana tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Kemacetan terjadi bukan hanya karena banyaknya kendaraan tetapi juga

dipengaruhi oleh jumlah orang (penumpang) yang berada di jalanan, seperti

halnya yang terjadi di Kota Bogor.

Hasil investigasi Radar Bogor (2008), diketahui bahwa jumlah kendaraan

yang masuk Kota Bogor setiap harinya rata-rata mencapai 9.360 unit. Persentase

jumlah kendaraan pribadi dari luar Kota Bogor yang masuk setiap harinya sekitar

35% dari jumlah kendaraan pribadi yang ada di Kota Bogor sedangkan kendaraan

pribadi berplat-F di Kota Bogor tercatat berjumlah 38.994 unit.5 Tingkat

kemacetan di Kota Bogor sudah mulai mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Kemacetan tidak hanya terjadi pada jam pulang dan berangkat kerja saja, pada

jam-jam biasa pun beberapa ruas jalan di kota hujan ini tetap macet, misalnya

Jalan Sukasari-Tajur, Jalan Bubulak-Dramaga, Jalan Sempur-IR, Jalan Djuanda-

5 Hasil penelusuran tim wartawan Radar Bogor (Ridwan, Faisal Hilmi, Hendra Sudrajat,

Wandi Yusuf, Lucky, Rita, dan Ratna Kartika), 7 Juli 2008.

Page 20: Ekonomi jalan

7

Sudirman, Jalan Soleh Iskandar (Jalan Baru), Kedung Halang, Merdeka-Semeru

(Pasar Mawar), dan lainnya. Kemacetan terparah terjadi di ruas Jalan Mayor

Oking-Jembatan Merah-Merdeka, yakni mulai pukul 17.00 sampai 21.30.6

Kemacetan juga diperparah dengan masalah tata ruang Kota Bogor yang

kurang baik. Pusat dan sub-pusat aktivitas dalam tata ruang kawasan perkotaan

memang jelas terlihat, tetapi struktur yang terjadi tidak tertata dengan baik.

Kemacetan lalu lintas menunjukkan terjadinya ketidakcocokan antara lokasi

tempat tinggal dengan tempat kerja atau tempat fasilitas lain. Penataan ruang yang

baik diperlukan untuk dapat menjadikan pelayanan perkotaan yang dapat

dinikmati oleh warga kota sehingga ketidakcocokan antara tempat tinggal dan

fasilitas pelayanan perkotaan dapat dikurangi hingga sekecil mungkin.

Kondisi kemacetan mempengaruhi efisiensi perpindahan dari satu tempat

ke tempat lainnya, baik berupa barang maupun manusianya itu sendiri. Kemacetan

juga menaikkan biaya transportasi karena konsumsi BBM meningkat. Dampak

bagi penggunanya sendiri, kemacetan menyebabkan hilangnya opportunity cost.

Waktu yang seharusnya bisa mereka maksimalkan untuk aktifitas ekonomi atau

yang lainnya, kini banyak dihabiskan di jalanan, sehingga mereka kehilangan

benefit tertentu seperti biaya, waktu, tenaga, dan lain sebagainya.

Berdasarkan berbagai masalah yang dihadapi, penelitian ini lebih

difokuskan untuk membahas mengenai kerugian akibat kemacetan lalu lintas,

khususnya yang terjadi di Kota Bogor. Kemacetan lalu lintas yang berdampak

6 Hasil wawancara penulis dengan petugas DLLAJ Terminal Baranangsiang dan Aiptu

Wahyu W. R. Bagian Dikiasa (Pendidikan dan Rekayasa Lalu Lintas) Polresta Bogor, 6 Februari 2009.

Page 21: Ekonomi jalan

8

pada sosial ekonomi pengguna jalan inilah yang dikaji. Berdasarkan uraian di

atas, beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat terjadi

kemacetan lalu lintas ?

2. Berapa besarnya pengeluaran BBM pengguna jalan bila terkena kemacetan

dibandingkan dengan tidak terkena kemacetan ?

3. Berapa besarnya pendapatan pengguna jalan yang hilang akibat kemacetan ?

4. Berapa besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat dari

nilai kompensasi (WTA) yang bersedia mereka terima dan faktor-faktor apa

saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini mempunyai beberapa tujuan yang ingin

dicapai, yaitu:

1. Menganalisis dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat

terjadi kemacetan lalu lintas.

2. Menghitung besarnya pengeluaran BBM pengguna jalan bila terkena

kemacetan dibandingkan dengan tidak terkena kemacetan.

3. Menghitung besarnya pendapatan pengguna jalan yang hilang akibat

kemacetan.

4. Mengestimasi besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat

dari nilai kompensasi (WTA) yang bersedia mereka terima dan faktor-faktor

apa saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut.

Page 22: Ekonomi jalan

9

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan berguna

sebagai:

1. Masyarakat bisa secara langsung melihat nilai nominal dari kerugian akibat

kemacetan lalu lintas.

2. Akademisi penelitian, khususnya dalam menganalisis fenomena yang sering

terjadi di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak-pihak yang

terkait dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan

transportasi, khususnya regulasi mengenai manajemen transportasi.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian mengenai dampak kemacetan lalu lintas dilakukan di Kota

Bogor melalui pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Adapun ruang

lingkup dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini hanya dilakukan terhadap pengguna jalan di Kota Bogor.

2. Penelitian hanya fokus pada dampak ekonomi berupa dampak terhadap

individu pengguna jalan, pengeluaran BBM, dan hilangnya pendapatan.

3. Dampak perubahan atau kerusakan kualitas lingkungan secara menyeluruh

terhadap ekonomi masyarakat seperti dampak terhadap kesehatan yang pada

akhirnya terkait dengan biaya pengobatan serta segi sosial berupa perilaku

pengguna jalan tidak diteliti

Page 23: Ekonomi jalan

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Transportasi

Sistem transportasi erat kaitannya dengan keadaan ekonomi suatu wilayah

karena pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi kondisi sistem

transportasi yang ada di wilayah tersebut. Sistem transportasi yang baik akan

mempermudah pergerakan mobilitas perekonomian baik produksi, distribusi,

maupun konsumsi. Teori transportasi saat ini menempatkan sistem transportasi

sebagai bagian yang tak terpisahkan dari infrastruktur desa maupun kota.

Pembangunan sistem transportasi ini membentuk integrasi antar wilayah.

Kegiatan pemindahan suatu barang atau manusia sekalipun dapat cepat dilakukan

dengan transportasi. Seperti halnya pengiriman barang dari suatu wilayah yang

tidak memiliki barang tersebut sehingga wilayah yang tidak memiliki barang

tersebut sebelumnya dapat menikmati utilitas dari barang tersebut.

2.1.1. Definisi Transportasi

Transportasi merupakan turunan dari kombinasi tata guna lahan yang

saling membutuhkan yang kemudian membentuk suatu pergerakan dari guna

lahan satu ke guna lahan yang lain. Peningkatan intensitas perubahan tata guna

lahan menambah beban transportasi di sebuah kota. Beban transportasi bila tidak

diimbangi dengan penyediaan prasarana yang memadai akan menimbulkan

permasalahan. Salah satu bentuk dari permasalahan tersebut adalah kemacetan

(Miro dalam Astati, 1998).

Transportasi di darat ada beberapa macam, mulai dari kendaraan tidak

bermesin seperti sepeda, delman, andong, becak, dan sebagainya, serta kendaraan

Page 24: Ekonomi jalan

11

bermesin seperti motor dan mobil. Masyarakat biasanya menggunakan

transportasi pribadi seperti mobil pribadi, sewaan, ataupun motor untuk

memenuhi kebutuhan akan transportasi. Pengguna jalan yang tidak memiliki

kendaraan pribadi dapat menggunakan transportasi massal, seperti bus, angkot,

ojek, dan lain sebagainya. Transportasi massal (public transportation) adalah

transportasi yang digunakan secara umum dengan pengenaan biaya bagi yang

memanfaatkan jasanya. Jenis transportasi ini bisa mengangkut penumpang dalam

jumlah relatif banyak.7

2.1.2. Pengertian dan Fungsi Transportasi Perkotaan

Transportasi perkotaan dalam batas pengertian wilayah perkotaan adalah

semua aktivitas perjalanan yang berada di wilayah tersebut. Implisit dari

pengertian tersebut adalah: (i) ada orang yang diangkut, (ii) tersedia kendaraan

sebagai alat angkut, dan (iii) ada jalan yang dapat dilalui. Fungsi transportasi yang

disebut Siregar dalam Astati (1998) adalah sebagai pengangkutan untuk

menambah nilai sumberdaya menjadi lebih tinggi di tempat tujuan daripada

asalnya yang berupa nilai tempat (place utility) dan nilai waktu (time utility). Hal

ini berarti serupa dengan konsep opportunity cost.

2.1.3. Definisi Kemacetan Transportasi

Kemacetan merupakan suatu indikasi dimana permintaan kendaraan yang

melintas di jalan mendekati atau melebihi kapasitas desain infrastruktur

transportasi. Jumlah kendaraan yang melintasi suatu jalan mendekati kapasitas

fisik fasilitas jalan yang ada dan membuat kecepatan berlalu lintas akan semakin

melambat sehingga kemampuan keseluruhan perlintasan di jalan tersebut menjadi

7Anonim. 2008. Pengelolaan Sistem Transportasi Kota. www.scribd.com./go.id/ contents/th_2008.htm. Diakses pada 3 Februari 2009.

Page 25: Ekonomi jalan

12

turun (Wikipedia, 2000). Menurut definisi teknik tata lalu lintas yang dimaksud

dengan macet atau kemacetan lalu lintas adalah suatu kondisi dimana arus lalu

lintas terhambat namun masih berjalan.

Definisi lainnya adalah bahwa kemacetan lalu lintas terjadi saat

kendaraan-kendaraan yang berada pada satu ruas jalan harus memperlambat laju

kendaraannya, kemacetan lalu lintas akan berhubungan dengan pergerakan

kendaraan di suatu ruas jalan (Morlok dalam Pangaribuan, 2005). Kemacetan

bukan hanya disebabkan oleh perilaku berkendara pengguna jalan, tetapi

kemacetan juga dapat terjadi karena beberapa alasan, diantaranya:

1. Arus kendaraan yang melewati jalan telah melampaui kapasitas jalan.

2. Adanya perbaikan jalan.

3. Bagian jalan tertentu yang longsor.

4. Terjadi banjir sehingga memperlambat kendaraan.

5. Perilaku pemakai jalan yang tidak taat lalu lintas.

6. Terjadi kecelakaan lalu lintas sehingga terjadi gangguan kelancaran.

7. Kesalahan teknis dari rambu lalu lintas.

2.2. Peranan Sosial Ekonomi Transportasi

2.2.1. Peranan Sosial Transportasi

Transportasi juga menyentuh aspek sosial dengan manfaatnya semisal

dengan pemukiman yang awalnya kecil, seiring berjalannya waktu, penduduknya

menjadi bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk maka membuat kebutuhan

akan transportasi juga akan ikut naik, sehingga wilayah menjadi ramai dan

berkembang. Perkembangan ini dapat dilihat dari produktivitas penduduk yang

semakin meningkat.

Page 26: Ekonomi jalan

13

Produktivitas penduduk juga meningkatkan daerah pemukiman untuk

tempat tinggal mereka. Tempat pemukiman ini sangat erat hubungannya dengan

transportasi. Sedikit pengaruh saja, dapat menimbulkan efek yang lebih besar.

Seperti halnya perbaikan transportasi yang berpengaruh nyata sehingga penduduk

dapat merasakan perubahan perbaikan akses ke suatu wilayah maupun perbaikan

dari suatu kegiatan seperti pengangkutan dan pendidikan (Morlok dalam

Pangaribuan, 2005).

2.2.2. Peranan Ekonomi Transportasi

Ekonomi pada hakikatnya terhubung dengan produksi, distribusi, dan

konsumsi terhadap manusia. Hal ini juga sama halnya dengan peranan transportasi

bagi ekonomi. Peranan ekonomi dalam transportasi diantaranya (Morlok dalam

Pangaribuan, 2005):

1. Transportasi memperbesar jangkauan akan sumberdaya yang dibutuhkan oleh

suatu daerah, sehingga suatu daerah dapat memungkinkan mendapat

sumberdaya yang lebih murah, yang sebelumnya tidak ada menjadi ada

dengan adanya akses oleh transportasi.

2. Pemakaian sumberdaya lebih efisien karena ada pengkhususan dan pembagian

kerja yang baik.

3. Adanya transpotasi membuat penyaluran barang-barang kebutuhan tersalur

dengan baik dan sampai tujuannya.

2.3. Teori Ekonomi Mengenai Barang Publik dan Eksternalitas

Barang publik merupakan suatu jenis barang dimana setiap orang dapat

menikmati utilitas yang diberikannya dan orang tersebut tidak dapat dikeluarkan

dari komunitas pengguna (non-excludable), dengan kata lain barang publik juga

Page 27: Ekonomi jalan

14

dapat diartikan sebagai barang yang tidak ada seorang pun dapat dikecualikan

dalam pemakaiannya. Nilai manfaat perubahan suatu barang publik, termasuk

seluruh unsur manfaat yang ada padanya harus ikut dimasukkan, inilah yang

disebut sebagai nilai total (total value). Kebanyakan barang publik adalah berupa

barang lingkungan seperti halnya jalan raya. Manfaat suatu barang lingkungan

dapat dibagi menjadi empat (Widayanto, 2001), yaitu:

1. Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)

Misalnya hasil tangkapan perikanan atau produksi hutan berupa kayu. Manfaat

ini mudah dihitung sebagai manfaat yang diperoleh dari suatu sumberdaya

alam dan biaya peluang dari sumberdaya tersebut (opportunity cost). Artinya

manfaat dari barang tersebut bisa langsung dirasakan.

2. Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value)

Merupakan manfaat fungsional dari proses ekologi yang terus menerus

memberikan manfaat dari peranannya dalam lingkungan atau barang dan jasa

yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung

dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut.

3. Nilai Guna Pilihan (Option Value)

Potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam

yang dapat dimanfaatkan di waktu mendatang dengan asumsi sumberdaya

tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen.

4. Nilai Keberadaan (Existence Value)

Nilai keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang

dapat diambil daripadanya. Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai religius yang

melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam.

Page 28: Ekonomi jalan

15

5. Nilai Warisan (Bequest Value)

Nilai dari suatu sumberdaya atau suatu ekosistem karena keberadaannya yang

dapat dipertahankan untuk diberikan kepada generasi yang akan datang.

Nilai warisan dan keberadaan,pertama kali disarankan oleh Krutilla dalam Hanley

(1993) dan mungkin muncul dalam diri responden.

Keberadaan barang publik yang dapat digunakan secara bebas oleh semua

pihak, dimana seringkali aktivitas penggunaannya oleh suatu pihak memberikan

dampak kepada aktivitas pihak lain. Keadaan tersebut dinamakan eksternalitas.

Eksternalitas secara umum diartikan sebagai dampak yang terjadi oleh pihak yang

melakukan suatu kegiatan.

Menurut Rosen (1998), eksternalitas terjadi ketika aktivitas seseorang

memberikan dampak bagi orang lain di luar mekanisme pasar. Eksternalitas

disebabkan karena harga pasar berbeda dengan sosial cost yang terjadi akibat

adanya inefisiensi dalam alokasi sumberdaya yang terbagi menjadi empat

karakteristik, yaitu:

1. Eksternalitas dapat disebabkan oleh konsumen yang bertindak sama seperti

pabrik.

2. Eksternalitas yang menyatakan hubungan timbal balik.

3. Eksternalitas positif.

4. Eksternalitas khusus akibat penggunaan public goods.

Mangkoesoebroto (1993) mendefinisikan eksternalitas sebagai keterkaitan

suatu kegiatan dengan kegiatan yang lain yang tidak melalui mekanisme pasar.

Eksternalitas terjadi bila suatu kegiatan menimbulkan manfaat dana atau biaya

bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan mereka. Eksternalitas terbagi

menjadi dua berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yaitu eksternalitas negatif

Page 29: Ekonomi jalan

16

dan eksternalitas positif. Eksternalitas positif adalah dampak menguntungkan dari

suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya

kompensasi dari pihak yang diuntungkan, sedangkan eksternalitas negatif adalah

apabila dampaknya bagi orang lain yang tidak menerima kompensasi yang

sifatnya merugikan. Eksternalitas dalam suatu aktivitas dapat menimbulkan

inefisiensi apabila tindakan yang mempengaruhi pihak lain akibat dilakukannya

aktivitas tersebut tidak tercermin dalam sistem harga.

2.4. Penilaian Ekonomi Dampak Lingkungan

Penilaian terhadap dampak lingkungan akan melibatkan penilaian terhadap

analisis biaya dan manfaat terhadap sumberdaya alam. Salah satu tantangan yang

dihadapi para pembuat kebijakan adalah bagaimana menilai suatu sumberdaya

alam secara menyeluruh. Hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang

yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga dari jasa yang ditimbulkan

oleh sumberdaya tersebut (Fauzi, 2004)

Setiap kegiatan atau kebijakan selalu timbul adanya biaya dan manfaat

sebagai akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Dasar untuk menyatakan

bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak, memerlukan suatu

perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio. Pemberian nilai

(harga) terhadap dampak suatu kegiatan atau kebijakan terhadap lingkungan juga

diperlukan untuk kelayakan kebijakan tersebut.

Dampak suatu kegiatan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung.

Dampak langsung atau primer merupakan dampak yang timbul sebagai akibat dari

tujuan utama kegiatan atau kebijakan, baik berupa biaya maupun manfaat.

Dampak tersebut merupakan kerusakan atau degradasi lingkungan yang dapat

Page 30: Ekonomi jalan

17

menyusutkan laju pembangunan ekonomi. Hal ini sangat mudah dimengerti

karena kerusakan lingkungan akan menurunkan tingkat produktivitas sumberdaya

alam, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah sosial

ekonomi dalam masyarakat yang pada gilirannya, semua itu harus dipikul dengan

biaya yang tinggi (Fauzi, 2004).

Alasan penting untuk penilaian lingkungan yaitu berkaitan dengan

kebijakan makro, dan bagi keputusan alokasi faktor produksi demi efisiensi pada

tingkat mikro. Nilai manfaat atau kerusakan yang timbul dari suatu kegiatan pada

tingkat makro dapat dinyatakan dalam persentase tertentu dari nilai Produk

Domestik Bruto (PDB), sehingga dapat digunakan untuk menyatakan layak atau

tidaknya kegiatan tersebut dari segi ekonomi makro secara keseluruhan.

Sedangkan pada tingkat mikro, perhitungan biaya dan manfaat suatu kegiatan

sangat menentukan layak tidaknya suatu kegiatan bagi pelaksana ekonomi

(pemrakarsa) sebagai investor individual (Suparmoko, 2002).

Valuasi ekonomi pada dasarnya secara umum dapat didefinisikan yaitu

suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang

dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar

(market prices) tersedia atau tidak. Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya

berlandaskan pada ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang

menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Berdasarkan pemikiran ini,

penilaian individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih keinginan

membayar (Willingness to Pay = WTP) dengan biaya untuk menyuplai barang dan

jasa tersebut.

Page 31: Ekonomi jalan

18

Secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dipasarkan dapat

digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi

yang mengandalkan harga implisit dimana WTP terungkap melalui model yang

dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang mengandalkan keinginan

membayar yang terungkap (revealed WTP). Beberapa teknik yang termasuk ke

dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility

Model.

Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei

dimana WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan

secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam

kelompok ini adalah Contingent Valuation Method (CVM). Umumnya nilai suatu

barang lingkungan dihitung dengan kedua kelompok valuasi ini. Bagan klasifikasi

valuasi non-market dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Fauzi (2004)

Gambar 2. Klasifikasi Valuasi Non-Market

Menurut Yakin (1997) metode penilaian ekonomi terhadap barang lingkungan

sampai saat ini telah berkembang sekitar 15 jenis dan metode pada gambar diatas

termasuk di dalamnya.

Valuasi Non-Market

Contingent Valuation Random Utility Model Contingent Choice

Travel Cost Hedonic Pricing Random Utility Model.

Langsung/survey (Expressed WTP)

Tidak Langsung (Revealed WTP)

Page 32: Ekonomi jalan

19

2.4.1. Contingent Valuation Method (CVM)

Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) pertama kali dikenalkan

oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di

Miami. Pendekatan ini baru populer sekitar pertengahan 1970-an ketika

pemerintah AS mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumberdaya alam.

Pendekatan ini disebut tergantung (contingent) karena pada prakteknya informasi

yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Pendekatan CVM

dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik eksperimental melalui

simulasi permainan serta dengan teknik survei.

Metode ini pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama,

keinginan membayar (willingness to pay = WTP) dari masyarakat, misalnya

terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dll), dan kedua, keinginan

menerima (willingness to accept = WTA) kerusakan suatu lingkungan. Bila

individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan

dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar

yang maksimum (maximum willingness to pay) untuk memperoleh barang

tersebut. Sebaliknya jika individu yang ditanya memiliki hak atas sumberdaya,

maka pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima kompensasi

yang paling minimum (minimum willingness to accept) atas hilang atau rusaknya

sumberdaya yang dimilikinya. Metode ini juga diakui sebagai pendekatan yang

cukup baik untuk mengukur WTP ataupun WTA. Berikut adalah perbandingan

beberapa metode valuasi ekonomi terhadap kebijakan lingkungan seperti yang

dijelaskan pada Tabel 2.

Page 33: Ekonomi jalan

20

Tabel 2. Perbandingan Metode Valuasi Ekonomi terhadap KebijakanLingkungan

KriteriaMetode

Validitas Reabilitas Comprehensive Kelengkapan

Hedonic Price Model

Sedang Sedang Rendah Sedang

Contingent Valuation Method

Sedang Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sedang

Travel Cost Method Sedang Sedang Rendah Tinggi

Sumber: Hoevenagel dalam Yakin (1997)

Melihat ruang lingkup penerapannya, CVM memiliki kemampuan yang

besar untuk mengestimasi manfaat lingkungan dari berbagai sisi. Metode ini

pernah diterapkan pada berbagai kasus lingkungan seperti polusi udara, polusi air,

kecelakaan reaktor nuklir, pemburuan binatang, kepadatan konservasi dan

preservasi lahan, rekreasi, limbah beracun, populasi ikan, dan sebagainya. Metode

ini menggunakan pendekatan secara langsung yang pada dasarnya menanyakan

kepada masyarakat berapa besarnya maksimum WTP untuk manfaat tambahan

dan atau berapa besarnya minimum WTA sebagai kompensasi dari kerusakan

barang lingkungan.

1. Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM)

Hal menarik dari CVM adalah secara teknik dapat diaplikasikan pada semua

kondisi dan memiliki dua hal yang penting, yaitu:

a. Seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat.

b. Dapat diaplikasikan pada kebanyakan konteks kebijakan lingkungan.

Hal yang paling penting dari CVM adalah penggunaannya dalam berbagai

macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat. Secara

khusus CVM menyarankan bahwa nilai keberadaan barang-barang lingkungan

Page 34: Ekonomi jalan

21

merupakan hal yang penting untuk diketahui. Jika CVM dibandingkan dengan

teknik penilaian lain, CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi non-

use value.

2. Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM)

Ada beberapa kelemahan yang dimiliki CVM dalam pelaksanaannya.

Kelemahan utamanya adalah bias nilai yang dihasilkan bisa overstate atau

understate secara sistematis dari nilai yang sebenarnya. Bias yang timbul

dapat terjadi karena strategi yang keliru, misalnya jika dalam kuisioner

dinyatakan bahwa responden akan dipungut biaya untuk perbaikan

lingkungan, maka responden cenderung memberi nilai yang understate.

Sebaliknya jika dinyatakan bahwa wawancara hanya untuk penelitian

hipotesis belaka, maka responden cenderung memberi nilai yang overstate

dari nilai yang sebenarnya. Bias lainnya dalam CVM terdiri dari:

a. Strategic Bias muncul akibat dari ketidakjujuran responden yang mencoba

memanipulasi hasil dari analisis dan mempengaruhi kebijakan pemerintah

di masa yang akan datang.

Solusi: desain alat survei sebaik mungkin sehingga memperkecil

kemungkinan hasil survei yang dilihat akan digunakan sebagai sumber

kebijakan di masa yang akan datang.

b. Information Bias muncul dari kurangnya informasi oleh pewawancara

pada pilihan yang ditawarkan.

Solusi: desain yang berhati-hati dari alat survei dan alat penjelas yang

tepat.

Page 35: Ekonomi jalan

22

c. Instrument Bias muncul akibat dari reaksi subyek survei pada alat

pembayaran yang dipilih atau pilihan yang ditawarkan.

Solusi: desain alat sedemikian rupa sehingga alat pembayaran dan aspek

lainnya dari kuisioner tidak mempengaruhi tanggapan subyek wawancara.

d. Starting Point Bias muncul pada kasus bidding game. Sebagai contoh,

pilihan dari harga awal atau selang harga yang dipilih oleh pewawancara

mungkin mempengaruhi hasil wawancara, juga dikarenakan oleh saran

pada subyek akan jawaban benar atau dikarenakan subyek yang menjadi

bosan dengan proses wawancara.

Solusi: desain alat survei sedemikian rupa sehingga pertanyaan open-

ended memungkinkan dan starting point yang realistis.

e. Hypothetical Bias muncul karena hipotetik alami dari situasi yang

dikondisikan dengan reaksi dari subyek terhadap kondisi tersebut. Subyek

mungkin tidak menanggapi proses survei dengan serius dan jawaban yang

mereka berikan cenderung tidak memenuhi pertanyaan yang diajukan.

Solusi: desain alat survei sedemikian hingga memaksimisasi “realitas” dari

situasi yang akan diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk

kekonsistenan dari responden.

2.4.2. Willingness to Accept (WTA)

Kesediaan untuk menerima (WTA) merupakan suatu ukuran dalam konsep

penilaian ekonomi dari barang lingkungan. Ukuran ini memberikan informasi

tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat atas

penurunan kualitas lingkungan di sekitarnya yang setara dengan biaya perbaikan

kualitas lingkungan tersebut. Penilaian barang lingkungan dari sisi WTA

Page 36: Ekonomi jalan

23

menanyakan berapa jumlah minimum uang yang bersedia diterima oleh seseorang

setiap bulan atau setiap tahunnya sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan

lingkungan.

Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penghitungan WTA untuk

menilai peningkatan atau kemunduran kondisi lingkungan antara lain:

1. Menghitung jumlah yang bersedia diterima oleh individu untuk mengurangi

dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan.

2. Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin

menurunnya kualitas lingkungan.

3. Melalui suatu survei untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat

menerima dana kompensasi dalam rangka mengurangi dampak negatif pada

lingkungan atau untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik.

Penghitungan WTA dapat dilakukan secara langsung (direct method) melalui

survei dan secara tidak langsung (indirect method) dengan menghitung nilai dari

penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi.

2.5. Penelitian Terdahulu yang Terkait

Pangaribuan (2005) dalam penelitiannya yang berjudul ”Perhitungan

Perbedaan Biaya Kemacetan pada Sekitar Kawasan Pengendalian Lalu Lintas”,

menghitung besarnya biaya kemacetan yang seharusnya dibebankan kepada

pemilik kendaraan pribadi yang memasuki kawasan pengendalian lalu lintas di

wilayah DKI Jakarta serta jalan di sekitar kawasan pengendalian lalu lintas pada

jam 16.30 sampai jam 19.00. Seluruh ruas-ruas jalan yang ditinjau terdapat bahwa

volume kendaraan yang berada di kawasan pengendalian lalu lintas terjadi

penurunan rata-rata sebesar 26,11%, sedangkan di sekitar kawasan pengendalian

Page 37: Ekonomi jalan

24

lalu lntas terjadi peningkatan volume kendaraan rata-rata sebesar 49,88% antara

tahun 2003-2005. Hal ini terjadi karena adanya pertumbuhan kendaraan serta

perpindahan arus kendaraan akibat adanya kebijakan 3 in 1 pada sore hari.

Besarnya biaya kemacetan yang dibebankan kepada pengguna kendaraan

pribadi yang melewati kawasan pengendalian lalu lintas sore pada tahun 2003

sebesar Rp 308,89 - Rp 1.541,23 per km, sedangkan biaya pada tahun 2005

sebesar Rp 70,282 - Rp 1.656,129 per km. Persentase perbedaan biaya yang harus

dibayar pengguna kendaraan pribadi pada kawasan pengendalian lalu lintas rata-

rata turun sekitar 274,24%, sedangkan biaya kemacetan yang harus dibayar

pengguna kendaraan pribadi yang melewati sekitar kawasan pengendalian lalu

lintas pada sore hari pada tahun 2003 antara Rp 1,018 - Rp 406,112 per km. Biaya

kemacetan pada tahun 2005 pada ruas jalan sekitar kawasan pengendalian lalu

lintas pada sore hari antara Rp 18,48 - Rp 596,76 per km. Persentase perbedaan

biaya yang harus dibayar pengguna kendaraan pribadi pada sekitar kawasan

pengendalian lalu lintas rata-rata naik sekitar 416%. Biaya kemacetan pada suatu

kawasan yang ditinjau akibat adanya pertambahan volume kendaraan dan

perpindahan arus akibat kebijakan 3 in 1 meningkat sebesar Rp 1.496,25 atau

sekitar 1,47%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Silalahi (2001) yang berjudul ”Kajian

Pendapatan Usaha Transportasi Angkutan Kota Bogor” menyimpulkan bahwa

pola pendapatan dan pengeluaran sopir angkot dipengaruhi beberapa faktor, yaitu

pengalaman, merek kendaraan, umur kendaraan, jam kerja, jumlah rit, dan

pemakaian bensin per rit. Pemakaian bensin dalam operasional kendaraan per rit

menjadi rujukan dalam menghitung kerugian akibat kemacetan dimana

Page 38: Ekonomi jalan

25

pengeluaran biaya untuk bensin semakin meningkat saat operasional dengan

kondisi normal tetapi harga BBM meningkat.

Penelitian yang dilakukan oleh Astati (1998) adalah menghitung biaya

kemacetan pada kawasan pengendalian lalu lintas. Penelitian ini menghitung

biaya yang harus dibebankan kepada pengguna jalan apabila melewati kawasan

pengendalian lalu lintas. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan yang

terjadi akibat penggunaan kendaraan pribadi pada kawasan tersebut.

Perhitungan biaya kemacetan dilakukan dengan pendekatan pricing atau

congestion charging. Pendekatan ini menjelaskan mengenai biaya rata-rata

(average cost) dari seorang pemakai jalan dan biaya marjinal (marjinal cost).

Hasil perhitungannya, besarnya biaya kemacetan lalu lintas ini dinyatakan sebagai

fungsi dari volume kendaraan dalam smp (satuan mobil penumpang) per jam.

Besarnya biaya kemacetan dinyatakan dalam satuan rupiah per km untuk setiap

kendaraan. Total biaya kemacetan yang dibebankan kepada pemakai kendaraan

pribadi sebesar biaya yang ditentukan per km dikalikan dengan panjang jalan

yang dilintasi oleh kendaraan pribadi tersebut. Hasil yang didapat adalah sebesar

Rp 833,20 per kendaraan untuk memasuki kawasan pengendalian lalu lintas.

Keterkaitan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah

pendekatan yang digunakan untuk menghitung biaya rata-rata perjalanan

seseorang dalam menggunakan kendaraan dan perhitungan pendapatan yang

hilang akibat kemacetan. Namun yang membedakannya adalah bahwa dalam

penelitian ini juga menggunakan metode yang berbeda, yaitu Contingent

Valuation Method (CVM) dimana metode ini mengestimasi kerugian sosial

Page 39: Ekonomi jalan

26

ekonomi pengguna jalan secara subyektif. Deskripsi singkat dari penelitian

terdahulu yang terkait dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penelitian Terdahulu yang Terkait

No. Nama Judul Tulisan Deskripsi Alat Analisis

1. Pangaribuan (2005)

Perhitungan Perbedaan Biaya Kemacetan padaSekitar Kawasan Pengendalian Lalu Lintas

Menghitung perbedaan biaya kemacetan yang dikenakan kepada pengemudi kendaraan pribadi yang memasuki kawasan pengendalian lalu lintas dan kawasan di sekitarnya akibat kebijakan 3 in 1

Pricing atauCongestion Charging

2. Silalahi (2001)

Kajian Pendapatan Usaha Transportasi Angkutan Kota Bogor

Mengestimasi pola pendapatan dan pengeluaran sopir angkot dipengaruhi beberapa faktor, yaitu pengalaman, merek kendaraan, umur kendaraan, jam kerja, jumlah rit , dan pemakaian bensin per rit

Expenditure Method

3. Astati(1998)

Perhitungan Biaya Kemacetan di Wilayah Pengendalian Lalu Lintas di Wilayah DKI Jakarta

Menghitung biaya kemacetan yang dikenakan kepada pengemudi kendaraan pribadi yang memasuki kawasan pengendalian lalu lintas

Congestion Pricing

Page 40: Ekonomi jalan

27

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Metode CVM yang digunakan dalam penelitian ini memiliki beberapa

tahapan dalam implementasinya. Tahapan-tahapan ini nantinya akan mengarahkan

penelitian ini untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan, yaitu WTA dari

pengguna jalan yang terkena kemacetan. Selain itu, tahapan-tahapan ini membuat

pelaksanaan CVM menjadi sistematis dalam pelaksanaannya sehingga hasil yang

didapatkan akan sesuai dengan tujuan utama penelitian ini dan juga untuk

menghindari bias yang terjadi dalam penelitian. Berikut adalah tahapan-tahapan

dalam penggunaan CVM (Mitchell dan Carson, 1989):

1. Asumsi yang Digunakan dalam Pendekatan Willingness to Accept (WTA)

Pelaksanaan pengumpulan nilai WTA dari setiap responden memerlukan

beberapa asumsi, yaitu:

a. Responden yang bersedia menerima kompensasi atau terlibat dalam

menilai lingkungannya, mengenal dengan baik kondisi lingkungannya dan

dapat memahami dan menentukan pilihan yang ada dengan tepat.

b. Nilai WTA yang diberikan responden merupakan nilai minimum yang

bersedia diterima responden jika kompensasi yang diberikan benar-benar

dilaksanakan.

c. Pemerintah setempat bersedia untuk memberikan kompensasi atas

penurunan pelayanan atau kualitas lingkungan jalan.

d. Responden dipilih secara random dari populasi yang terkena damapak

penurunan kualitas lingkungan.

Page 41: Ekonomi jalan

28

2. Metode Mempertanyakan Nilai Willingness to Accept (WTA)

Terdapat empat metode bertanya (elicitation method) yang digunakan untuk

memperoleh penawaran besarnya nilai WTP atau WTA responden (Hanley

dan Spash, 1993), yaitu:

a. Metode Tawar Menawar (Bidding Game)

Penggunaan bidding game untuk mencari WTA individu bisa dilakukan,

dimana kuisioner menyarankan penawaran pertama dan responden setuju

dengan jumlah yang akan mereka terima. Prosedur lebih lanjut ialah nilai

awal (the starting point price) diturunkan untuk melihat apakah responden

masih mau menerima hal tersebut, dan seterusnya sampai responden

menyatakan menolak untuk menerima pada tawaran yang diajukan.

Penawaran terakhir yang disetujui responden merupakan nilai minimum

dari WTA mereka.

b. Metode Pertanyaan Terbuka (Open-Ended Question)

Metode ini dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden

berapa jumlah maksimal uang yang ingin dibayarkan atau jumlah minimal

uang yang ingin diterima akibat perubahan kualitas lingkungan.

Kelebihannya adalah responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa

mempengaruhi nilai yang akan diberikan dan metode ini tidak

menggunakan nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak menimbulkan

bias titik awal (starting point bias). Kelemahan metode ini adalah kurang

akuratnya nilai yang diberikan dan variasi yang dihasilkan terlalu besar.

Page 42: Ekonomi jalan

29

c. Metode Kartu Pembayaran (Payment Card)

Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari

berbagai nilai kemampuan untuk membayar atau kesediaan menerima,

dimana responden dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang

sesuai dengan preferensinya. Metode ini pada awalnya dikembangkan

untuk mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar.

d. Metode Pertanyaan Pilihan Dikotomi (Close-Ended Referendum)

Metode ini menawarkan responden jumlah uang tertentu dan menanyakan

apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang tersebut untuk

memperoleh peningkatan kualitas lingkungan.

3. Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method (CVM)

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam organisasi

pengoperasian CVM, yaitu:

a. Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realistik.

b. Alat pembayaran yang digunakan dan atau ukuran kesejahteraan sebaiknya

tidak kontroversial dengan ethics di masyarakat.

c. Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang

lingkungan yang dimaksud dalam kuisioner dan alat pembayaran untuk

penawaran mereka.

d. Jika memungkinkan, ukuran WTA sebaiknya dicari, karena responden

sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka

terima.

e. Ukuran contoh yang cukup besar, sebaiknya dipilih untuk memperoleh

selang kepercayaan dan reabilitas.

Page 43: Ekonomi jalan

30

f. Pengujian kebiasan, sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk

memperkecil strategic bias.

g. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.

h. Diperlukan pengetahuan dengan pasti jika contoh memiliki karakteristik

yang sama dengan populasi dan penyesuaian diperlukan.

i. Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali untuk melihat jika mereka

setuju dengan harapan yang tepat. Nilai minimum dari 15% untuk Radjusted

direkomendasikan oleh Mitchell dan Carson (1989).

4. Hipotesis dalam Pendekatan Willingness to Accept (WTA)

Berdasarkan kerangka pemikiran dan perumusan masalah penelitian, maka

dapat dikembangkan hipotesis penelitian yaitu:

a. Masyarakat yang mau berpartisipasi aktif dalam upaya memperbaiki

kualitas lingkungan adalah mayarakat yang merasakan manfaat langsung

dari berkurangnya manfaat yang diterima.

b. Nilai WTA dari responden yang peduli pada perbaikan kualitas

lingkungan lebih tinggi daripada nilai WTA dari responden yang tidak

memiliki kepedulian terhadap perbaikan kualitas lingkungan.

c. Besarnya nilai WTA responden lebih dipengaruhi oleh faktor sosial

ekonomi daripada faktor-faktor lainnya.

5. Tahapan untuk Memperoleh Nilai Willingness to Accept (WTA)

Penelitian dengan menggunakan CVM memerlukan beberapa tahapan untuk

memperoleh nilai Willingness to Accept (WTA). Mulai dari membuat pasar

hipotetik hingga pengevaluasian penggunaan metode ini. Keterangan lebih

lanjut dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 44: Ekonomi jalan

31

Gambar 3. Tahapan dalam Menggunakan CVM

keterangan:

Tahap Pertama: Menyusun Pasar Hipotetik

Hipotesis pasar dibuat dengan skenario bahwa pemerintah Kota Bogor

memberlakukan suatu kebijakan dalam manajemen transportasi darat dengan

tujuan mengganti kerugian kemacetan. Adapun kebijakan itu adalah pemberian

kompensasi terhadap kendaraan yang terkena kemacetan sebagai bentuk tanggung

jawab pemerintah atas kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan. Setiap

kendaraan akan dinilai insentif atas kemacetan yang terjadi, dimana kompensasi

tersebut adalah biaya pengganti dari kerugian yang mereka tanggung akibat

terjadinya kemacetan. Besarnya kompensasi atau WTA akan ditanyakan kepada

Definisi kemacetan

Willingness to Accept (WTA)MasyarakatKemacetan

CVMDampak

kemacetan

Pasar hipotetik

Mengevaluasi nilai CVM

Pengumpulan data-dataPenawaran

Menghitung WTA rata-rata

Page 45: Ekonomi jalan

32

responden atas pemberlakuan kebijakan tersebut dimana WTA tersebut

mencerminkan besarnya kerugian individu dalam rupiah, sehingga pertanyaan

yang sesuai untuk skenario di atas adalah:

Tahap Kedua: Memperoleh Penawaran

Jika alat survei telah dibuat, maka survei dilakukan dengan cara

wawancara langsung. Secara individu, responden ditanya besarnya minimum

WTA mereka untuk menerima dampak dari penurunan kulaitas lingkungan, yang

dalam hal ini digunakan open-ended question, yaitu dilakukan dengan

menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah minimal uang yang ingin

diterima akibat kemacetan.

Tahap Ketiga: Menghitung Nilai Rata-Rata dari WTA

Jika nilai WTA telah didapat, maka diperlukan perhitungan rata-ratanya,

termasuk di dalamnya nilai mean dan median. Ukuran nilai median tidak

dipengaruhi oleh penawaran (bids) yang besar dalam batas atas tingkat

distribusinya. Tahap ini biasanya diabaikan adanya penawaran sanggahan (protes

bids), dimana yang dimaksud dengan penawaran sanggahan adalah respon dari

responden yang bingung untuk menentukan jumlah yang mereka ingin terima

karena mereka tidak mempunyai keinginan untuk ikut serta dalam kebijakan

pemerintah ini.

“Bersediakah bapak/ibu/saudara/i untuk berpartisipasi dalam kebijakan

pemerintah berupa pemberian kompensasi terhadap pengguna jalan yang

mengalami kemacetan dengan menerima kompensasi tersebut ?”

Page 46: Ekonomi jalan

33

Tahap Keempat: Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan proses dimana penawaran rata-rata

dikonversikan ke dalam bentuk nilai total populasi. Bentuk ini termasuk seluruh

komponen dari nilai relevan yang ditemukan. Keputusan dalam pengumpulan data

ditentukan oleh:

1. Pilihan terhadap populasi yang relevan. Tujuannya untuk mengidentifikasi: (a)

pihak yang utilitasnya dipengaruhi secara signifikan oleh kelancaran lalu

lintas, (b) pihak yang pernah merasakan dampak dari kemacetan.

2. Berdasarkan rata-rata contoh ke rata-rata populasi, nilai rata-rata contoh dapat

digandakan oleh jumlah rumah tangga dalam populasi, N, meskipun akan

timbul kebiasan, sebagai contoh adanya tingkat pendapatan tertinggi dan

terendah. Jika variabel ini telah dimasukkan ke dalam kurva penawaran,

estimasi penawaran rata-rata populasi, µ, dapat diturunkan dengan

memasukkan nilai populasi yang relevan ke dalam kurva penawaran. Nilai ini

dapat digandakan dengan N.

3. Pilihan dari pengumpulan periode waktu yang menghasilkan manfaat. Ini

tergantung pada pola CVM yang akan dipakai. Setiap kasus dari aliran

manfaat dan biaya dari waktu ke waktu memang cukup panjang, masyarakat

dikonfrontasikan dengan keperluan penggunaan preferensi saat ini untuk

mengukur tingkat preferensi saat ini untuk mengukur tingkat preferensi di

masa depan, sebagaimana adanya implikasi discounting.

Tahap Kelima: Pengevaluasian CVM

Hal ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan dalam

pengaplikasian CVM. Apakah hasil survei mengandung tingkat penawaran

Page 47: Ekonomi jalan

34

sanggahan yang tinggi? Apakah ada bukti bahwa responden benar-benar mengerti

mengenai pasar hipotetik? Seberapa besar tingkat kesalahan responden dalam

menjawab pertanyaan yang diajukan? Seberapa baik pasar hipotetik yang

digunakan untuk menangkap setiap aspek dalam barang lingkungan? Asumsi apa

yang digunakan untuk dapat menghasilkan nilai rata-rata dan bentuk

pengumpulan penawaran? Seberapa baik penanganan permasalahan yang terjadi

diasosiasikan dengan CVM ?.

3.2. Perhitungan Nilai Tengah Contoh

Penyelidikian segugus data kuantitatif akan sangat terbantu apabila kita

mendefinisikan ukuran-ukuran numerik yang menjelaskan cirri-ciri data yang

penting. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah penggunaan nilai tengah atau

nilai rata-rata, baik terhadap contoh maupun populasi.

Rata-rata merupakan suatu ukuran pusat data bila data itu diurutkan dari

yang terkecil hingga yang terbesar atau sebaliknya. Misalkan x1, x2, …, xn, tidak

harus semuanya berbeda, merupakan sebuah contoh terhingga berukuran n, maka

nilai tengah contohnya adalah (Walpole, 1982):

= ∑ xketerangan:

= nilai tengah contoh (nilai rata-rata)

= banyaknya contoh

Xi = peubah bebas yang menjelaskan peubah tak bebas Y

= 1,2,3,...,n yaitu banyaknya peubah bebas dalam fungsi

Page 48: Ekonomi jalan

35

3.3. Regresi Linier Berganda

Menurut Gujarati (2003), analisis regresi berkenaan dengan studi

ketergantungan variabel, variabel tak bebas, pada satu atau lebih variabel, variabel

yang menjelaskan (explanatory variables), dengan maksud menaksir dana atau

meramalkan nilai rata-rata hitung (mean) atau rata-rata variabel tidak bebas,

dipandang dari segi nilai yang diketahui atu tetap. Persamaan regresi merupakan

persamaan matematik yang memungkinkan kita meramalkan nilai-nilai suatu

peubah tak bebas dari nilai-nilai satu atau lebih peubah bebas (Walpole, 1982)

Metode statistik inferensia yang digunakan yaitu model regresi linier

berganda dengan metode pendugaan kuadrat terkecil OLS (Ordinary Least

Square) yang didasarkan pada asumsi:

1. Nilai rata-rata pengganggu sama dengan nol, yaitu E (εi) = 0, untuk setiap i,

dimana i = 1,2,3,...,n. Artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari εi

tergantung pada Xi tertentu adalah 0.

2. Varian (εi) = E (εi2) = δ2, sama untuk semua kesalahan pengganggu

(Homoskedastisitas). Artinya bahwa varian εi untuk setiap i yaitu varian

bersyarat untuk εi adalah suatu angka konstan positif yang sama dengan δ2.

3. Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu, berarti Cov (εi, εj) = 0,

untuk i ≠ j.

4. Variabel bebas X1,X2,.....,Xk konstan dalam sampling yang terulang dan bebas

dari kesalahan pengganggu εi, E (Xi εi) = 0.

5. Tidak ada multikolinearitas, yang berarti tidak ada hubungan linier yang nyata

antara variabel-variabel bebas.

Page 49: Ekonomi jalan

36

Secara umum, fungsi regresi berganda dituliskan sebagai berikut (Walpole, 1982):

Y = b0 + ΣbiXi + Ei

keterangan:

Y = peubah tak bebas

b0 = intersep

bi = parameter penduga Xi

Xi = peubah bebas yang menjelaskan peubah tak bebas Y

Ei = pengaruh sisa (error term)

i = 1,2,3,...,n yaitu banyaknya peubah bebas dalam fungsi

3. 4. Kerangka Pemikiran Operasional

Penulis membuat alur berpikir untuk memudahkan pelaksanaan penelitian.

Adapun alur berpikir yang dibuat oleh penulis dapat dilihat sebagai berikut:

Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 ha atau 0,27% dari luas provinsi

Jawa Barat. Saat ini, Kota Bogor mengalami pertumbuhan kendaraan yang cukup

tinggi. Hasil survei terdapat sekitar 3.506 unit angkot yang diijinkan beroperasi

didalam kota, ditambah ratusan angkot Kabupaten Bogor yang trayek operasinya

masih memasuki wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot sebanyak itu menjadi

bagian dari beban kepadatan lalu lintas yang harus dipikul Kota Bogor, karena

masih ada 46.034 unit kendaraan roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan

roda dua serta ratusan becak yang hilir mudik setiap hari di jalan-jalan Kota

Bogor. Jumlah tersebut masih ditambah dengan mobilitas berbagai jenis

kendaraan luar Kota Bogor yang keluar masuk wilayah Kota Bogor.

Kemacetan lalu lintas merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari

lagi dengan populasi kendaraan sebanyak ini. Kemacetan semakin lama semakin

memberikan masalah yang akhirnya yang paling parah terkena dampak adalah

Page 50: Ekonomi jalan

37

masalah lingkungan. Masalah lingkungan yang ada berdampak pula pada sosial

ekonomi masyarakat, khususnya para pengguna jalan.

Dampak yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadi kemacetan

tidaklah kecil. Berbagai kerugian baik dari segi kesehatan, pencemaran udara,

stress saat macet, pengeluaran yang meningkat untuk membeli BBM, hilangnya

pendapatan, dan berbagai kerugian lainnya merupakan dampak yang harus

ditanggung masyarakat pengguna jalan, khususnya pengguna jalan. Mengingat

besarnya dampak yang harus diterima, maka diperlukan analisis mengenai

kerugian pengguna jalan.

Kompensasi merupakan cerminan besarnya kerugian pengguna jalan yang

terjebak kemacetan, oleh karena itu diperlukan penelitian untuk menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhi WTA masyarakat untuk menerima kompensasi

yang diberikan. Analisis ini akan menggunakan analisis regresi berganda.

Penilaian ekonomi mengenai kemacetan dengan mencari nilai WTA pengguna

jalan juga akan dikaji yang dilakukan dengan menggunakan tahapan-tahapan

dalam CVM dan analisis regresi berganda. Metode dan analisis tersebut akan

diperoleh nilai WTA pengguna jalan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Perhitungan pengeluaran pengguna jalan difokuskan pada pengeluaran

BBM yang digunakan. Perhitungan ini akan menghitung besarnya perbandingan

penggunaan BBM bila kendaraan terkena kemacetan dengan kendaraan tidak

terkena kemacetan, begitu pula dengan perhitungan pendapatan yang hilang.

Seluruh analisis dan metode yang digunakan merupakan kesatuan dalam

pendekatan CVM. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

tentang kebijakan apa yang seharusnya diterapkan dalam mengurangi kemacetan

Page 51: Ekonomi jalan

38

dan dampaknya bagi sosial ekonomi masyarakat. Penelitian ini juga dapat

memberikan informasi mengenai besarnya kerugian akibat kemacetan yang

sebelumnya tidak diketahui nilai nominalnya, untuk mempermudah pelaksanaan

penelitian, dibuatlah alur berpikir yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 52: Ekonomi jalan

39

= Ruang lingkup penelitian

Gambar 4. Diagram Alur Kerangka Pemikiran

Transportasi di Kota Bogor

Kendaraan Pribadi Mass TransportationKendaraan Industri/Usaha

Jumlah Kendaraan yang Semakin Meningkat

Over Carrying CapacityPerilaku Berkendara yang Tidak Tertib

Kemacetan

Masalah Lingkungan

Dampak Sosial Ekonomi

Dampak Sosial Kemacetan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya WTA

Besarnya WTA

Analisis Regresi Berganda

Analisis Deskriptif-Kualitatif

CVM

Nilai Kerugian Sosial Ekonomi Pengguna Jalan Akibat Kemacetan

Pengeluaran Bahan Bakar dan Hilangnya Pendapatan

Metode Kuantitatif

Page 53: Ekonomi jalan

40

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan

lokasi dilakukan secara sengaja dengan mempertimbangkan: (1) Penelitian ini

cocok diterapkan pada daerah sub-urban seperti Kota Bogor, (2) Kota Bogor

merupakan salah satu kota yang mengalami kemacetan lalu lintas dari waktu ke

waktu, (3) Adanya kesesuaian data yang diharapkan dapat mendukung dan

mewujudkan tujuan penelitian yang diajukan. Pengambilan data primer melalui

kuisioner dilakukan pada bulan Februari 2009 hingga Juli 2009.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer, data sekunder, dan didukung

dengan pendekatan kualitatif. Data primer didapatkan dengan cara memberikan

kuisioner kepada pengguna jalan dan melakukan pengamatan langsung di lokasi

penelitian.. Jenis data lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder. Jenis data sekunder diambil dari beberapa instansi yang terkait dengan

objek penelitian seperti BPS Kota Bogor,, BAPPEDAL, DLLAJ Kota Bogor,

SAMSAT Kota Bogor, Dinas Tata Ruang Kota Bogor, perpustakaan, internet

serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dalam penelitian ini..

4.3. Metode Pengambilan Sample

Teknik pengambilan jumlah sample dalam penelitian ini menggunakan

non-probability sampling method karena jumlah populasi pengguna jalan tidak

diketahui secara pasti. Pengambilan sample dilakukan secara purposive dimana

setiap responden yang ditemui diasumsikan sebagai pengguna jalan dan pernah

Page 54: Ekonomi jalan

41

mengalami kemacetan di Kota Bogor. Banyaknya responden dalam penelitian ini

berjumlah 551 orang yang terdiri dari 144 responden pengguna mobil pribadi, 110

orang sopir angkot, 181 pengendara sepeda motor, dan sisanya sebanyak 116

orang adalah penumpang angkutan umum. Jumlah sample yang diambil mengacu

pada penelitian-penelitian CVM sebelumnya dimana jumlah responden yang

diambil berkisar 500 hingga 1000 responden (Mitchell dan Carson, 1989).

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan

deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk melihat dampak sosial dari

kemacetan lalu lintas melalui kuisioner dan indepth interview, sedangkan metode

kuantitatif menggunakan rumus nilai tengah contoh. Metode CVM digunakan

untuk mengestimasi besarnya nilai WTA pengguna jalan. Selanjutnya untuk

menentukan tingkat validitas, reabilitas, dan signifikansi dalam penggunaan

CVM, dilakukan pengujian secara regresi dengan program Minitab 14 for

Windows. Berikut adalah metode pengolahan data untuk setiap tujuan penelitian

seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Metode Pengolahan Data

No. Tujuan Penelitian Alat Analisis Teknik Pengumpulan Data

1. Mengevaluasi dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat terjadi kemacetan

Deskriptif-Kualitatif

Kuisioner dan Indepth interview

2. Menghitung besarnya pengeluaran biaya BBM dan pendapatan yang hilang

Kuantitatif Kuisioner

3. Mengestimasi besarnya nilai WTA pengguna jalan

CVM Kuisioner dan Indepth interview

4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA

Analisis Regresi Bergandadengan Minitab 14 for Windows

Kuisioner

Page 55: Ekonomi jalan

42

4.5. Perhitungan Nilai Rata-Rata

Perhitungan besarnya pengeluaran untuk pembelian BBM pengguna jalan

saat kendaraan mereka berada pada lalu lintas lancar dan saat kemacetan

dilakukan dengan cara mengagregatkan jumlah pengeluaran seluruh responden

saat kendaraan mereka berada pada lalu lintas lancar dan saat kendaraan berada

dalam kemacetan lalu dibagi dengan jumlah responden. Rata-rata pengeluaran

pengguna jalan dapat dicari dengan rumus nilai tengah contoh (Walpole, 1982),

yaitu:

keterangan:

= rata-rata pengeluaran pengguna jalan saat lalu lintas normal∗= rata-rata pengeluaran pengguna jalan saat lalu lintas macetc = pengeluaran pengguna jalan saat lalu lintas normalc* = pengeluaran pengguna jalan saat lalu lintas macet

i = 1,2,3,...,n yaitu banyaknya peubah bebas dalam fungsi

n = jumlah responden

4.6. Model Regresi Berganda

Model ekonometrika yang baik harus memenuhi tiga kriteria yaitu kriteria

ekonometrika, statistika, dan ekonomi. Berdasarkan kriteria ekonometrika, model

harus sesuai dengan asumsi klasik, artinya harus terbebas dari gejala

heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas (Gujarati, 2003).

Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji F, uji t, dan

koefisien determinasi (R2).

Berdasarkan kriteria ekonomi, tanda dan besarnya variabel-variabel

eksogen dalam model harus sesuai dengan hipotesis, kecuali pada kondisi-kondisi

= ∑ = ∗= ∑ ∗=

Page 56: Ekonomi jalan

43

tertentu yang bisa dijelaskan. Metode statistik inferensia yang digunakan yaitu

model regresi linier berganda dengan metode pendugaan kuadrat terkecil OLS

(Ordinary Least Square) yang didasarkan pada asumsi yang ada.

Karena asumsi-asumsi model regresi berganda terpenuhi, maka pendugaan

faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya WTA dari pengguna jalan sesuai

dengan model regresi berganda, sehingga dengan mengganti variabel-variabel

independent yang mempengaruhi WTA sebagai variabel dependent, maka

digunakan fungsi WTA sebagai berikut (Hanley dan Spash, 1993):

WTA = f (α0 +α1 Z1 +α2 Z2+α3 Z3+α4 Z4+α5 Z5+α6 Z6+ α7 Z7+α8 Z8 + Є)

keterangan:

α0 = Intersepα1... α8 = Koefisien regresiZ1 = Tingkat pendidikan Z2 = Tingkat pendapatan Z3 = Jenis pekerjaanZ4 = UmurZ5 = Frekuensi terkena kemacetanZ6 = Durasi terkena kemacetanZ7 = Jarak tujuan perjalananZ8 = Kategori pengguna jalanЄ = Galat

Variabel-variabel di atas dimasukkan ke dalam model karena dianggap

mempunyai pengaruh pada besarnya WTA yang akan diungkapkan (expressed

WTA) oleh responden. Variabel-variabel tersebut juga merupakan salah satu

komponen dalam melakukan perhitungan dalam penelitian ini. Keterangan untuk

setiap variabel yang berada pada model dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 57: Ekonomi jalan

44

Tabel 5. Indikator Pengukuran WTAVariabel Keterangan Variabel Cara Pengukuran

WTA Willingness to Accept (Rp) Responden ditanyakan besarnya kompensasi yang bersedia mereka terima melalui open-ended question

Z1 Tingkat pendidikan (Tahun) Responden ditanyakan jenjang pendidikan mereka mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Z2 Tingkat pendapatan (Rp) Responden diminta untuk menjawab rata-rata pendapatan.Kisaran tersebut dikelompokan menjadi 1 juta hingga > 5 juta rupiah.

Z3 Jenis pekerjaan Menanyakan responden mengenai profesi mereka. Jenis pekerjaan dibedakan menjadi, PNS, Karyawan swasta, PengusahaatauWiraswasta dan sebagainya.

Z4 Umur (Tahun) Responden ditanyakan lansung umur mereka

Z5 Frekuensi terkena kemacetan Responden ditanyakan berapa kali mengalami kemacetan dalam setiap hari perjalanan mereka.

Z6 Durasi kemacetan (Menit) Menanyakan kepada responden durasi waktu saat terjebak dalam kemacetan.

Z7 Jarak tujuan perjalanan (Km) Menanyakan kepada responden jarak tempuh daerah asal ke lokasi tujuan perjalanan.

Z8 Kategori pengguna jalan Pengguna jalan ini dikategorikan menjadi pengguna mobil pribadi, sopir angkutan umum, pengendara sepeda motor, dan penumpang angkutan umum

4.7. Pengujian Parameter

Model akan diuji berdasarkan hipotesis yang diajukan. Pengujian hipotesis

berdasarkan statistik bertujuan untuk melihat nyata tidaknya variabel-variabel

bebas yang dipilih terhadap variabel tak bebas yaitu WTA. Pengujian ini

menggunakan nilai-P (P-value). Berdasarkan nilai-P dapat diketahui berapa

persen variabel-variabel bebas berpengaruh terhadap variabel tak bebas WTA.

Selain itu, untuk memeriksa kebaikan dari model yang telah dibuat, dilakukan

pengujian statistika lainnya, seperti:

Page 58: Ekonomi jalan

45

1. Uji Keandalan

Uji ini dilakukan dalam evaluasi pelaksanaan CVM. Berhasil tidaknya

pelaksanaan CVM dilihat dengan nilai koefisien determinasi (R2) dari OLS

(Ordinary Least Square) WTA. Nilai koefisien determinasi (R2) untuk barang

lingkungan yang belum mempunyai harga dapat ditolerir sampai batas

minimum 15% (Mitchell dan Carson, 1989), dimana:

H0: Model tidak berpengaruh terhadap respon (WTA)

H1: Model berpengaruh terhadap respon (WTA)

P-value < 0.15 tolak Ho

2. Uji Statistik F

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel (Zi secara

bersama-sama terhadap variabel tidak bebasnya). Prosedur pengujiannya

antara lain (Ramanathan, 1997):

H0: β1 = β2 = β3 = ... = βk = 0

H1: β1 = β2 = β3 = ... = βk ≠ 0

= /( − 1) / ( − 1)dimana:

JKK = Jumlah Kuadrat Untuk nilai Tengah KolomJKG = Jumlah Kuadrat Galatn = Jumlah Sampelk = Jumlah Peubah

Jika F < tabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Zi) secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya

Jika F > tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Zi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya

Page 59: Ekonomi jalan

46

3. Uji Statistik t

Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh masing-masing

variabel bebasnya (Zi) mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat setempat

sebagai peubah tidak bebas, prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut

(Ramanathan, 1997):

H0: βi = 0, artinya variabel bebas (Zi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya

H1: βi ≠ 0, artinya variabel bebas (Zi) b rpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya

( ) = βi − 0SβiJika t < t tabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Zi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya

Jika t > t tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Zi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya

4. Uji Terhadap Kolinear Ganda (Multicolinearity)

Model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah

multicolinearity, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar variabel bebas.

Menurut Koutsoyiannis dalam Ramanathan (1997), deteksi adanya

multicolinearity dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membandingkan

besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial

antar dua peubah bebas (r2). Hal ini dapat dibuat suatu matriks koefisien

determinasi parsial antar peubah bebas. Kolinear ganda dapat dianggap tidak

masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas tidak

melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar

semua peubah secara simultan. Namun, multicolinearity dianggap sebagai

Page 60: Ekonomi jalan

47

masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas

melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi

berganda antar semua peubah secara simultan, atau secara matematis dapat

dituliskan dalam pertidaksamaan berikut:

, > , … ,Masalah multicolinearity juga dapat dilihat langsung melalui ouput komputer,

dimana jika nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multicolinearity.

5. Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi metode pendugaan metode kuadrat terkecil adalah

heteroskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan.

Pelanggaran atas asumsi homokedastisitas adalah heteroskedastisitas.

Pendeteksian adanya masalah ini, maka dilakukan pengujian terhadapanya

seperti yang disarankan oleh Goldfeld dan Quandt dalam Ramanathan (1997).

Contoh amatan diurutkan menurut peubah-peubah bebasnya kemudian dibagi

dua anak contoh dengan pemisah contoh berjumlah 16 untuk contoh ukuran

60. Kedua contoh anak tersebut masing-masing diregresikan kemudian

dihitung jumlah kuadrat galat (JKG) dari masing-masing regresi tersebut.

Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh pertama dikonotasikan

(JKG1). Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh kedua dikonotasikan

(JKG2). Statistik ujinya adalah:

= 12Jika tidak ada masalah heteroskedastisitas maka nilai F-hitung akan menuju 1.

Masalah heteroskedastisitas masih dapat ditolerir jika F-hitung < F tabel

Page 61: Ekonomi jalan

48

dengan derajat bebas v1 = v2 = (n-c-2k)/2 dimana n adalah jumlah contoh, c

adalah jumlah contoh pemisah, dan k adalah jumlah parameter yang diduga.

6. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi antar anggota serangkaian penelitian yang

diurutkan menurut waktu (time series) atau ruang (cross section) atau

terdapatnya unsur error yang berurutan dalam model (tidak acak).

Autokorelasi dapat terjadi apabila terdapat bias spesifikasi yaitu adanya

variabel penting yang tidak dimasukkan ke dalam model. Konsekuensi

autokorelasi adalah signifikansi, yang artinya uji F dan uji t menjadi kurang

kuat dan taksiran terlalu rendah. Pendeteksian autokorelasi dapat dilakukan

dengan metode grafik dan uji d Durbin-Watson. Berdasarkan hipotesis

diharapkan model terbebas dari masalah autokorelasi. Apabila hipotesis

didefinisikan sebagai berikut:

H0: Tidak Autokorelasi

H1: Autokorelasi

P-value > taraf nyata terima Ho

Page 62: Ekonomi jalan

49

V. GAMBARAN UMUM LOKASI

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1. Keadaan Umum Kota Bogor

Letak geografis Kota Bogor yang sejuk berada pada 106’ 48’ BT dan 6’

26’ LS. Kota Bogor saat ini tidak hanya sebagai kota peristirahatan, pendidikan,

dan penelitian tapi juga sebagai kota bisnis dan jasa yang terus berkembang

dengan pesat. Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 ha atau 0,27% dari luas

provinsi Jawa Barat. Kota Bogor ini terdiri dari enam kecamatan, yaitu

Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor

Tengah, dan Tanah Sareal, yang meliputi 68 kelurahan. Kepadatan tertinggi ada di

Kecamatan Bogor Tengah yaitu sebesar 13.047 jiwa per km2 dan terendah ada di

Kecamatan Bogor Selatan 5.547 jiwa per km2 (BPS Kota Bogor, 2007).

Kota Bogor mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena Kota Bogor

merupakan salah satu kota penyangga Jakarta sebagai ibukota negara. Pemerintah

kota membangun dan mengembangkan Kota Bogor sebagai kota jasa yaitu kota

yang menyediakan berbagai jasa untuk memenuhi kebutuhan penduduk mulai dari

ekonomi, sosial, hingga edukasi dan rekreasi dikarenakan tidak memiliki

sumberdaya alam yang tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan Kabupaten

Bogor.

Panjang jalan di Kota Bogor semakin bertambah seiring meningkatnya

jumlah penduduk dan alat transportasi. Pembagunan infrastruktur ini dilakukan

untuk mengimbangi kebutuhan sarana penunjang transportasi. Data yang

diperoleh dari BPS Kota Bogor untuk panjang jalan yang telah ada adalah

Page 63: Ekonomi jalan

50

564.200 km pada tahun 2004 dan pada akhir 2007 yang lalu meningkat menjadi

749.210 km. Kondisi jalan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan di Kota Bogor Tahun 2007

KeadaanStatus Jalan

Jumlah (Km)Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kab/Kota

I. Jenis Permukaan

a. Diaspal 34,199 - 677,093 711,292b. Kerikil - - 15,219 15,219c. Tanah - - 3,823 3,823d. Beton/Conblock - - 53,078 53,078e. Tidak dirinci - - - -

Jumlah 34,199 - 749,213 783,412

II. Kondisi Jalan

a. Baik 24,266 - 230,780 255,046b. Sedang 8,546 - 419,676 428,222c. Rusak 1,387 - 78,589 79,976d. Rusak berat - - 20,168 20,168

Jumlah 34,199 - 749,213 783,412

III. Kelas jalan

a. Kelas Ib. Kelas IIc. Kelas IIId. Kelas III Ae. Kelas III Bf. Kelas III Cg. Kelas Tidak

Dirinci

-------

-------

-------

-------

Jumlah 34,199 - 749,213 783,412

200620052004

34,19933,81033,810

010,1206,358

739,213576,665580,427

773,412620,595620,595

Sumber: Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor 2007 dari BPS

5.1.2 Kependudukan

Menurut data yang diperoleh dari BPS Kota Bogor (2006), jumlah

penduduk yang tercatat yaitu sebanyak 879.138 jiwa yang terdiri dari 444.508

laki-laki dan 434.630 perempuan dengan jumlah rumah tangga sebanyak 194.357

Page 64: Ekonomi jalan

51

kepala keluarga (KK). Kepadatan penduduk Kota Bogor yaitu sebesar 7,149 jiwa

per km2. Rekapitulasi jumlah penduduk dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan WilayahKecamatan di Kota Bogor Tahun 2006

KecamatanJenis kelamin

TotalLaki-laki Perempuan

Bogor Selatan 87.426 83.482 170.908Bogor Timur 44.609 44.628 89.237Bogor Utara 77.264 76.579 153.843Bogor Tengah 53.481 52.594 106.075Bogor Barat 99.133 96.675 195.808Tanah Sareal 82.595 80.672 163.267

Total 444.508 434.630 879.1382005 431.862 423.223 855.0852004 424.819 406.752 831.5712003 419.252 401.455 820.7072002 397.820 391.603 789.423

Sumber: Bogor Dalam Angka 2006 dari BPS Kota Bogor

Penduduk Kota Bogor mengalami pertambahan jumlah penduduk yang

cukup pesat, yaitu hampir 30.000 jiwa per tahunnya. Pertambahan penduduk

paling banyak dari pendatang, atau penduduk yang pindah dan menetap.

Penduduk bekerja pada beberapa sektor yang menjadi denyut nadi perekonomian

Kota Bogor. Sektor-sektor inilah yang memberi kontribusi bagi PDRB Kota

Bogor. Kota Bogor memiliki beberapa sektor kegiatan perekonomian yang

dominan dalam memberikan kontribusi PDRB tahun 2002, seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Kontribusi Sektor Terbesar PDRB Kota Bogor Tahun 2008No. Sektor Kontribusi (%)

1. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 31,512. Industri Pengolahan 26,733. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 11.994. Pengangkutan dan Komunikasi 10,495. Bangunan 8,25

Sumber: Buku PDRB Tahun 2008 dari BPS Kota Bogor

Page 65: Ekonomi jalan

52

5.2. Transportasi dan Lalu Lintas di Kota Bogor

5.2.1. Volume Kendaraan Bermotor

Pertumbuhan kendaraan di Kota Bogor saat ini sangat tinggi. Merujuk data

Polres Kota Bogor, bahwa jumlah kendaraan bermotor semakin meningkat tajam.

Padahal luas Kota Bogor yang hanya 11.850 ha dengan panjang jalan 783.412 km,

sudah mulai padat untuk menampung jumlah kendaraan yang ada.

Perkembangan kendaraan bermotor dalam lima tahun terakhir di Kota

Bogor rata-rata 17,3 persen per tahun. Pertambahan kendaraan bermotor baru

setiap tahun mencapai rata-rata hampir 30.000 unit, lebih dari 90% diantaranya

kendaraan roda dua atau sepeda motor, sedangkan pertambahan kendaraan roda

empat hanya sekitar 3.000 unit per tahun. Hal ini tentu menunjukkan besarnya

potensi kemacetan yang semakin tinggi.

Saat ini ada 3.506 unit angkot yang dijinkan beroperasi di dalam kota,

ditambah ratusan angkot Kabupaten Bogor yang trayek operasinya masih

memasuki wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot sebanyak itu menjadi bagian dari

beban kepadatan lalu lintas yang harus dipikul Kota Bogor, karena masih ada

46.034 unit kendaraan roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan roda dua

serta ratusan becak yang hilir mudik setiap hari di jalan-jalan Kota Bogor. Jumlah

tersebut masih harus ditambah dengan mobilitas berbagai jenis kendaraan luar

Kota Bogor yang keluar masuk wilayah Kota Bogor, terutama dari berbagai

wilayah Jabodetabek, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan sebagainya.

5.2.2. Sumber Volume Kendaraan Bermotor

Jumlah kendaraan yang ada tidak hanya asli Kota Bogor atau yang berplat-

F, sumber kendaraan lain juga datang dari berbagai daerah di sekitar Kota Bogor.

Jumlah kendaraan yang masuk Kota Bogor setiap harinya rata-rata mencapai

Page 66: Ekonomi jalan

53

10.080 unit (9.360 unit kendaraan pribadi dan 720 unit kendaraan umum). Jumlah

kendaraan pribadi yang berasal dari Jakarta melalui Tol Jagorawi rata-rata 10-15

unit per menit. Jika dirata-ratakan maka jumlah kendaraan pribadi yang masuk

mencapai 720 unit per jam. Apabila jumlah tersebut dikalikan dengan jumlah jam

efektif pengoperasian kendaraan, maka jumlah kendaraan pribadi berplat non-F

yang masuk di Bogor mencapai 9.360 unit.

Intensitas kendaraan umum berplat non-F yang masuk melalui Tol

Jagorawi mencapai empat hingga tujuh unit per lima menit. Jika dirata-ratakan

maka jumlah kendaraan umum yang masuk sebanyak 60 unit per jam. Jumlah

tersebut jika dikalikan dengan jam efektif pengoperasian kendaraan maka

jumlahnya mencapai 720 unit. Persentase jumlah kendaraan pribadi dari luar

Bogor yang masuk ke Kota Bogor setiap harinya sekitar 35% dari jumlah

kendaraan pribadi yang ada di Kota Bogor.

Jumlah kendaraan pribadi berplat F di Kota Bogor tercatat 38.994 unit,

dengan rincian kendaraan jenis sedan non objek 7.426 unit, sedan objek 3.103

unit, minibus 21.121 unit, mikrobus 109 unit, bus 12 unit, pick up 5.026 unit, light

truck 1.727 unit, truk 316 unit dan tangki 154 unit. Jumlah kendaraan umum dari

luar Kota Bogor yang masuk ke Terminal Baranangsiang tercatat 350 unit per hari

dan masih ada sekitar 370 unit yang hanya numpang lewat. Rinciannya, 80% dari

jumlah bus yang masuk Terminal Baranangsiang merupakan bus-bus berplat B.

5.2.3. Infrastruktur Lalu Lintas

Secara umum pembangunan infrastruktur Kota Bogor sudah cukup baik.

Akses jalan ke berbagai wilayah kota sudah tertata dengan baik, walaupun masih

ada beberapa jalan yang rutenya terlalu jauh. Komposisi atribut lalu lintas seperti

Page 67: Ekonomi jalan

54

rambu lalu lintas, marka jalan, separator, trotoar, dan yang lainnya, telah

terakomodir oleh pihak Dinas Perhubungan maupun oleh Polres Kota Bogor.

Volume kendaraan yang bertambah terus-menerus membuat infrastruktur

lalu lintas yang ada saat ini dirasa masih kurang. Pemerintah Kota Bogor mulai

mengantisipasi dengan membuat jalan tol yang langsung menuju pusat kota. Hal

ini dilakukan karena kapasitas jalan yang ada di Kota Bogor telah mendekati batas

ambang sehingga tidak memadai lagi.

Optimalisasi peran dan fungsi Terminal Baranangsiang sebagai pusat

trasportasi telah dilakukan berbagai pembenahan, seperti pemindahan saluran,

pipa beton, perbaikan trotoar, perbaikan jalan samping masuk terminal, dan

pengaspalan. Anggaran penyempurnaan Terminal Baranangsiang pada tahun 2004

telah menyerap dana sebesar Rp 98,471 juta. Upaya pemecahan masalah lalu

lintas juga telah dibangun Sub-Terminal Bubulak dengan luas keseluruhan

mencapai 11.850 m2. Kegiatan tersebut menyerap dana sebesar Rp 4,04 milyar

yang dikeluarkan melalui belanja rutin sebesar Rp 2,229 milyar, dan belanja

pembangunan sebesar Rp 1,740 milyar.

Optimalisasi penataan fungsi sub-terminal juga turut dilakukan dalam

pembangunan sarana penunjang yang meliputi pelebaran dan pelapisan hotmix

pada beberapa ruas jalan persimpangan sekitar terminal dengan luas total

mencapai 13.168,5 m2, pembuatan median seluas 641 m2, pembuatan trotoar

seluas 702,5 m2, pembuatan pita beton sepanjang 737,8 m2, pembuatan pagar

terminal, pembuatan gorong-gorong sepanjang tiga meter, pembuatan pembatas

kecepatan kendaraan. Selain itu, dibuat pula sarana seperti traffic light, marka

jalan, rambu lalu lintas, dan penerangan jalan umum (PJU).

Page 68: Ekonomi jalan

55

Pembiayaan untuk pengadaan dan perawatan sarana dan prasarana lalu

lintas menyerap dana yang tidak sedikit. Anggaran tahun 2004 untuk penataan

transportasi saja menyerap biaya sebesar Rp 19.294.947.000,00 yang bersumber

dari APBD Kota Bogor sebesar Rp 10.166.947.00,00 yang terdiri dari biaya

operasional Rp 4.916.335.000,00, belanja modal Rp 5.520.612.000,00, dan dari

APBD provinsi sebesar Rp 6.730.000.000,00. Pembiayaan ini juga mendapat

tambahan dari APBN sebesar Rp 2.398.000.000,00.

5.2.4. Manajemen Transportasi

Manajemen lalu lintas di Kota Bogor tidak jauh berbeda dengan

manajemen lalu lintas yang ada di kota lainnya. Pemberian izin operasional

kendaraan umumnya sangat lemah. Hal ini dicerminkan dengan banyaknya

angkutan kota yang beroperasi setiap harinya. Selain itu, peremajaan angkutan

kota yang sudah habis umur operasionalnya terus dilakukan tanpa adanya

pengurangan jumlah angkot yang sudah ada. Walaupun sudah ada program

pemerintah kota untuk mengurangi kepadatan lalu lintas dengan program

Transpakuan, namun bila jumlah angkot tidak dikurangi hal ini sama saja artinya

tidak ada solusi.

5.2.5 Kemacetan di Kota Bogor

Kapasitas jalan yang ada di Kota Bogor telah mendekati batas ambang

sehingga tidak memadai lagi. Batas ambang pada ruas jalan atau volume capacity

ratio (VCR) di Jalan Merdeka dengan nilai VCR berkisar antara 0,40 hingga 1,74.

Padahal ambang batas yang baik secara teknis berada di bawah angka 0,50.

Kemacetan di Kota Bogor tidak hanya terjadi pada jam pulang dan

berangkat kerja saja tetapi pada jam-jam biasa pun beberapa jalur jalan di kota

Page 69: Ekonomi jalan

56

hujan ini tetap macet, misalnya Jalan Sukasari-Tajur, Jalan Bubulak-Dramaga,

Jalan Sempur-IR, Djuanda-Sudirman, Jalan Soleh Iskandar (Jalan Baru), Kedung

Halang, dan Merdeka-Semeru (Pasar Mawar). Kemacetan terparah di Kota Bogor

memang terjadi di Jalan Mayor Oking-Jembatan Merah-Merdeka, yakni mulai

pukul 17.00 sampai 21.30 WIB dimana volume kendaraan yang melintas pada

ruas jalan tersebut rata-rata berjumlah 36 unit per menit. Jika dikalikan dengan

durasi kemacetannya, maka jumlah kendaraan yang terjebak kemacetan mencapai

9.720 unit.

5.3 Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden di Kota Bogor diperoleh berdasarkan

survei yang dilakukan terhadap 551 pengguna jalan yang ditemui peneliti.

Karakteristik dari responden sangat bervariasi. Karakteristik umum responden ini

dinilai dari beberapa variabel, meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan formal,

pekerjaan, tingkat pendapatan, dan kategori pengguna jalan.

5.3.1. Jenis Kelamin

Sebagian besar responden yang ditemui pada saat survei adalah laki-laki,

yaitu sebanyak 436 orang (79,13%) sedangkan responden berkelamin perempuan

sebanyak 115 orang (20,87%). Hal ini dikarenakan saat pengambilan sampel,

peneliti lebih banyak mengambil responden yang menggunakan kendaraan pribadi

dimana pengguna kendaraan pribadi ini didominasi oleh laki-laki. Perbandingan

responden laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 70: Ekonomi jalan

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Gambar 5. Karakteristik Responden Be

5.3.2. Usia

Tingkat usia para responden

bervariasi, mulai dari usia sekolah hingga usia lanjut. Distribusi usia berkisar

antara 15 tahun hingga 60 tahun

sebaran usia 21-30 tahun yaitu sebanyak

responden keseluruhan)

66 orang (11,98% dari jumlah responden keseluruhan), responden yang berusia

31-40 tahun berjumlah

responden yang berusia 41

responden keseluruhan), responden yang berusia 51

(3,81% dari jumlah responden keseluruhan). Perbandingan distribusi usia

responden di Kota Bogor pada saat penelitian tahun 2009 dapat dilihat pada

Gambar 6.

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Gambar 6. Karakteristik

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

usia para responden pengguna jalan di Kota Bogor

dari usia sekolah hingga usia lanjut. Distribusi usia berkisar

tahun hingga 60 tahun dan jumlah responden tertinggi terdapat pada

30 tahun yaitu sebanyak 226 orang (41,02% dari jumlah

responden keseluruhan). Responden yang berusia antara 15-20 tahun berjumlah

% dari jumlah responden keseluruhan), responden yang berusia

40 tahun berjumlah 137 orang (24,86% dari jumlah responden keseluruhan),

responden yang berusia 41-50 tahun berjumlah 101 orang (18,33% dari jumlah

responden keseluruhan), responden yang berusia 51-60 tahun berjumlah

% dari jumlah responden keseluruhan). Perbandingan distribusi usia

responden di Kota Bogor pada saat penelitian tahun 2009 dapat dilihat pada

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

79.13%

20.87%

11.98%

41.02% 24.86%

18.33%3.81%

57

pengguna jalan di Kota Bogor cukup

dari usia sekolah hingga usia lanjut. Distribusi usia berkisar

jumlah responden tertinggi terdapat pada

% dari jumlah

20 tahun berjumlah

% dari jumlah responden keseluruhan), responden yang berusia

% dari jumlah responden keseluruhan),

3% dari jumlah

60 tahun berjumlah 21 orang

% dari jumlah responden keseluruhan). Perbandingan distribusi usia

responden di Kota Bogor pada saat penelitian tahun 2009 dapat dilihat pada

L

P

15-20

21-30

31-40

41-50

51-60

Page 71: Ekonomi jalan

5.3.3. Pendidikan

Tingkat pendidikan responden di Kota Bogor bervariasi, mulai dari yang

hanya lulusan sekolah dasar

memperlihatkan responden dengan tingkat pendidikan

terbesar, yaitu sebanyak

tingkat pendidikan hingga

berpendidikan SMP dan

SD. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan di Kota Bogor cukup baik, karena

sudah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang tersedia. Perbandingan

persentase tingkat pendidik

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Gambar 7. Karakteristik

5.3.4. Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi.

secara acak mulai dari pelajar, PNS,

Mayoritas pekerjaan responden adalah

adalah part timer yang jumlahnya sebanyak

keseluruhan responden. Sebanyak

responden ada yang berprofesi sebagai pegawai swasta, wiraswasta sebanyak

orang responden termasuk di dalamnya adalah pedagang dan pengusaha. Pelajar

57%

Tingkat pendidikan responden di Kota Bogor bervariasi, mulai dari yang

hanya lulusan sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Data yang terkumpul

responden dengan tingkat pendidikan SMA memiliki jumlah

terbesar, yaitu sebanyak 313 orang (57%). Sebanyak 167 orang (30%)

tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi, sebanyak 50 responde

berpendidikan SMP dan 21 orang (4%) berpendidikan hanya mencapai jenjang

SD. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan di Kota Bogor cukup baik, karena

sudah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang tersedia. Perbandingan

persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi. Penulis mengambil responden

secara acak mulai dari pelajar, PNS, sopir angkutan umum, hingga wiraswasta.

Mayoritas pekerjaan responden adalah pegawai swasta, termasuk di dalamnya

yang jumlahnya sebanyak 12 orang atau 2% dari jumlah

ruhan responden. Sebanyak 165 responden atau 30% dari keseluruhan

responden ada yang berprofesi sebagai pegawai swasta, wiraswasta sebanyak

orang responden termasuk di dalamnya adalah pedagang dan pengusaha. Pelajar

4%9%

57%

30%

58

Tingkat pendidikan responden di Kota Bogor bervariasi, mulai dari yang

yang terkumpul

memiliki jumlah

(30%) mencapai

responden (9%)

berpendidikan hanya mencapai jenjang

SD. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan di Kota Bogor cukup baik, karena

sudah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang tersedia. Perbandingan

rdasarkan Tingkat Pendidikan

Penulis mengambil responden

wiraswasta.

, termasuk di dalamnya

orang atau 2% dari jumlah

% dari keseluruhan

responden ada yang berprofesi sebagai pegawai swasta, wiraswasta sebanyak 73

orang responden termasuk di dalamnya adalah pedagang dan pengusaha. Pelajar

sd

smp

sma

pt

Page 72: Ekonomi jalan

dan mahasiswa sebanyak 142 responden

Perbandingan persentase jumlah responden pada setiap jenis pekerja

dilihat pada Gambar 8.

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Gambar 8. Karakteristik

5.3.5. Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan tertinggi reponden berada pada

1.000.000,00 hingga Rp

atau 42% dari keseluruhan responden. Tingkat pendapatan ini menunju

bahwa kebanyakan responden merupakan pegawai swasta atau buruh yang tingkat

pendapatannya disesuaikan dengan tingkat upah minimum. Beberapa responden

ada pula yang masih memiliki pendapatan di bawah satu juta, yaitu sopir angkutan

umum dan para buruh (2

pendapatannya melebihi level tertinggi yang diajukan (

merupakan para pengusaha

pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar

30%

mahasiswa sebanyak 142 responden juga diikutsertakan dalam penelitian ini.

sentase jumlah responden pada setiap jenis pekerja

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan tertinggi reponden berada pada selang

00,00 hingga Rp 2.000.0000,00 per bulan yaitu sebanyak 231

% dari keseluruhan responden. Tingkat pendapatan ini menunju

bahwa kebanyakan responden merupakan pegawai swasta atau buruh yang tingkat

pendapatannya disesuaikan dengan tingkat upah minimum. Beberapa responden

ada pula yang masih memiliki pendapatan di bawah satu juta, yaitu sopir angkutan

(26% dari keseluruhan responden). Responden yang tingkat

pendapatannya melebihi level tertinggi yang diajukan (>Rp 5.000.000

merupakan para pengusaha, yaitu sebanyak sepuluh responden. Distribusi tingkat

pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 9.

8%

30%

13% 21%

26%2%

PNS

Pegawai Swasta

Wiraswasta

Sopir

Pelajar/Mahasiswa

Part Timer

59

diikutsertakan dalam penelitian ini.

sentase jumlah responden pada setiap jenis pekerjaan dapat

asarkan Jenis Pekerjaan

selang Rp

responden

% dari keseluruhan responden. Tingkat pendapatan ini menunjukkan

bahwa kebanyakan responden merupakan pegawai swasta atau buruh yang tingkat

pendapatannya disesuaikan dengan tingkat upah minimum. Beberapa responden

ada pula yang masih memiliki pendapatan di bawah satu juta, yaitu sopir angkutan

% dari keseluruhan responden). Responden yang tingkat

Rp 5.000.000,00)

responden. Distribusi tingkat

Pegawai Swasta

Wiraswasta

Pelajar/Mahasiswa

Part Timer

Page 73: Ekonomi jalan

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Gambar 9. Karakteristik

5.3.6. Pengguna Jalan

Para responden yang merupakan pengguna jalan kota

berbagai kendaraan untuk transportasi mereka. Mulai dari menggunakan angkutan

umum seperti angkot, sepeda motor, serta mobil pribadi. Pengguna jalan tertinggi

dari responden ialah sepeda motor

menunjukkan bahwa para pengguna jalan menganggap bahwa dengan

motor, mobilitas mereka dapat berjalan lebih cepat. Persentase jumlah responden

yang diwawancara sebagai pengguna jalan dapat dilihat pada Gambar

Sumber: Data Primer Diolah oleh

Gambar 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Penggunaan Kendaraan

33%

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

Pengguna Jalan

Para responden yang merupakan pengguna jalan kota Bogor menggunakan

berbagai kendaraan untuk transportasi mereka. Mulai dari menggunakan angkutan

umum seperti angkot, sepeda motor, serta mobil pribadi. Pengguna jalan tertinggi

sepeda motor, yaitu 33% dari jumlah responden. Hal ini

nunjukkan bahwa para pengguna jalan menganggap bahwa dengan

, mobilitas mereka dapat berjalan lebih cepat. Persentase jumlah responden

yang diwawancara sebagai pengguna jalan dapat dilihat pada Gambar 10

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Karakteristik Responden Berdasarkan Penggunaan Kendaraan

26%

42%

14%

11%5%2%

30%

16%

21% Mobil Pribadi

Angkot

Sepeda Motor

Penumpang Angkutan Umum

60

Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

Bogor menggunakan

berbagai kendaraan untuk transportasi mereka. Mulai dari menggunakan angkutan

umum seperti angkot, sepeda motor, serta mobil pribadi. Pengguna jalan tertinggi

ponden. Hal ini

nunjukkan bahwa para pengguna jalan menganggap bahwa dengan sepeda

, mobilitas mereka dapat berjalan lebih cepat. Persentase jumlah responden

10.

Karakteristik Responden Berdasarkan Penggunaan Kendaraan

< 1 juta

1-2 juta

2-3 juta

3-4 juta

4-5 juta

> 5 juta

Mobil Pribadi

Angkot

Sepeda Motor

Penumpang Angkutan Umum

Page 74: Ekonomi jalan

61

VI. DAMPAK KEMACETAN TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN

6.1. Analisis Dampak Kemacetan terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan

Kemacetan lalu lintas telah menjadi fenomena umum di daerah perkotaan.

Beberapa faktor spesifik seperti jumlah penduduk, urbanisasi, penambahan

pemilikan kendaraan, dan penambahan jumlah perjalanan juga turut menambah

masalah kemacetan lalu lintas. Penambahan jumlah penduduk dan urbanisasi

biasanya terjadi di negara yang sedang berkembang.

Perkembangan Kota Bogor yang pesat menyebabkan lebih banyak

penduduk yang datang dan menetap. Hal ini bisa dilihat dengan berkembangnya

jumlah pemukiman penduduk di berbagai wilayah di Kota Bogor. Penduduk ini

memerlukan tempat tinggal yang akan menyebabkan kota menjadi lebih padat.

Mobilitas penduduk meningkatkan kebutuhan akan angkutan umum. Sesuai

dengan peningkatan pendapatan penduduk, pemilikan kendaraan dan jumlah

perjalanan juga akan meningkat sehingga menghasilkan lebih banyak kebutuhan

akan fasilitas dan pelayanan transportasi. Faktor-faktor ini turut pula mempercepat

peningkatan kemacetan lalu lintas di Kota Bogor.

Kemacetan merupakan salah satu indikasi dari ketidakaturan pemanfaatan

atau aturan atas suatu barang publik yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak,

misalnya jalan raya. Keberadaan suatu barang publik dimana setiap orang berhak

untuk menggunakan atau mengambil manfaatnya tanpa bisa dilarang oleh

pengguna lainnya. Akhirnya kondisi ini dapat menyebabkan tragedy of common

yaitu penurunan manfaat dari suatu barang publik yang harus ditanggung oleh

Page 75: Ekonomi jalan

62

semuanya akibat dari pemanfaatan seseorang atau kelompok terhadap barang

publik tersebut.

Hasil penelitian terhadap 551 responden di Kota Bogor menunjukkan

bahwa kemacetan merupakan situasi yang sangat merugikan sehingga berdampak

pada sosial ekonomi pengguna jalan itu sendiri. Dampak dari kemacetan berbeda-

beda dari setiap responden yang ditemui. Umumnya, setiap responden yang

pernah mengalami kemacetan, langsung memberikan pernyataan negatif. Dampak

kemacetan terhadap sosial ekonomi pengguna jalan dilihat dari jenis pekerjaan

pengguna jalan tersaji pada Gambar 11.

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Gambar 11. Persepsi Pengguna Jalan Mengenai Dampak KemacetanBerdasarkan Jenis Pekerjaan

Gambar 11 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menyatakan

setuju bahwa kemacetan menguras waktu pengguna jalan dan merasakan dampak

sosial ekonomi yang bersamaan, tidak hanya waktu yang terkuras dan stress tetapi

4334 40 34

0

149

85

116

157

5960

18

36

62

7

90

520

100110

131

90 85

105

00

20

40

60

80

100

120

140

160

180

Menguras Waktu Mengurangi jam kerja/belajar

Stress Boros Bensin Mengurangi Pendapatan

PNS Pegawai Swasta Pengusaha Sopir angkutan umum Pelajar/Mahasiswa

Page 76: Ekonomi jalan

63

juga meyebabkan boros bensin dan sebagainya. Hilangnya waktu merupakan

opportunity cost yang harus ditanggung pengguna jalan, padahal waktu yang

hilang tersebut dapat digunakan untuk aktivitas lainnya yang dapat mendatangkan

benefit, baik sosial maupun ekonomi bagi pengguna jalan itu sendiri. Responden

yang menyatakan merasakan stress saat terjebak kemacetan adalah sebanyak 473

orang atau 85,8% dari keseluruhan responden. Rincian untuk responden yang

merasakan stress adalah 43 PNS (100% dari jumlah PNS yang menjadi

responden), sebanyak 149 pegawai swasta (84,2% dari jumlah pegawai swasta

yang menjadi responden), dan masing-masing untuk sopir angkutan umum,

pelajar atau mahasiswa, dan pengusaha memiliki persentase sebesar 82,2%,

77,6%, dan 92,3% dari kelompok responden masing-masing.

Hal ini jelas mengindikasikan bahwa sebagian besar pengguna jalan

merasakan stress saat mereka terjebak dalam kemacetan. Kinerja mengendarai

kendaraan menjadi lebih berat saat berada dalam kemacetan karena mereka harus

menggas dan mengerem lebih sering. Selain membuat perjalanan lebih lama

dibandingkan dengan kondisi normal, kemacetan juga membuat badan lelah dan

berdampak pada emosi pengguna jalan sehingga ada dari mereka yang

menggerutu, kesal, marah, dan akhirnya stress.

Dampak lain yang teridentifikasi adalah kemacetan mengurangi jam

belajar atau bekerja. Aktivitas-aktivitas lain yang ditunjang oleh transportasi juga

mengalami dampak yang negatif apabila transportasi mengalami kemacetan,

misalnya saja pendidikan. Kegiatan belajar mengajar akan terganggu dengan

adanya kemacetan. Sebanyak 90 orang responden (63%) atau lebih dari setengah

responden pelajar dan mahasiswa menyatakan bahwa mereka selalu terlambat jika

Page 77: Ekonomi jalan

64

terjebak macet, sehingga terlambat masuk kelas dan kehilangan jam belajar

mereka.

Hal ini tentu sangat merugikan karena pendidikan merupakan suatu hal

yang tak ternilai harganya. Para siswa tentu tidak mau kehilangan jam belajar

mereka di sekolah hanya karena terlambat datang akibat terjebak kemacetan.

Dampak pendidikan ini tidak dapat diukur secara pasti, karena nilai dari aspek

pendidikan itu sendiri memiliki berbagai manfaat yang intangible sehingga

kemacetan itu sendiri secara potensial menurunkan produktivitas dan kualitas

hidup. Begitu pula dengan para pekerja yang harus rela pendapatannya dipotong

karena terlambat.

Dampak kemacetan yang juga signifikan terlihat pada boros bensin.

Hampir seluruh responden setuju bahwa kemacetan hanya membuat boros

konsumsi bensin kendaraan. Diagram pegawai swasta menunjukkan persepsi

tertinggi untuk dampak ini, yaitu sebanyak 157 orang (88,7% dari responden

pegawai swasta). Hal ini dikarenakan sebagian besar pegawai swasta pergi ke

tempat kerja dengan menggunakan kendaraan pribadi sehingga mereka merasakan

benar dampak kemacetan tersebut terhadap konsumsi bensin kendaraan mereka.

Para sopir angkutan umum mengeluhkan pendapatan mereka berkurang

karena sering terjebak kemacetan. Sebanyak 110 orang sopir angkutan umum

yang dipilih sebagai responden (94,8% dari jumlah responden sopir angkutan

umum) menyatakan mereka harus menambah uang bensin agar beroperasi seperti

biasanya atau mereka harus mengurangi operasional rit kendaraan dari yang

biasanya empat atau lima rit menjadi tiga rit.

Page 78: Ekonomi jalan

65

6.2. Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Jalan bila Terkena Kemacetan Dibandingkan dengan Tidak Terkena Kemacetan

Kemacetan yang sering terjadi tidak hanya berdampak pada sisi sosial

pengguna jalan saja, namun tentunya pada kendaraan yang digunakan pengguna

jalan. Kemacetan akan mempengaruhi setiap perjalanan, baik perjalanan untuk

bekerja maupun perjalanan bukan untuk bekerja. Hal itu akan mempengaruhi

pergerakan orang dan arus barang. Kendaraan yang melaju pada lalu lintas

normal, tidak terjebak kemacetan, biasanya mengkonsumsi BBM sesuai dengan

efisiensi mesin kendaraan dalam mengkonsumsi BBM. Kendaraan bermotor

biasanya ditunjukkan dengan perbandingan per satu liter bensin dengan jarak yang

dapat ditempuhnya, misalnya konsumsi satu liter bensin untuk delapan kilometer

untuk jenis kendaraan mobil, tetapi efisiensi kendaraan ini juga dipengaruhi oleh

jenis mobil, kapasitas cc mesin, dan merk mobil tersebut.

Kendaraan roda dua seperti sepeda motor, penggunaan bahan bakarnya

lebih efisien daripada mobil. Konsumsi untuk sepeda motor dengan kondisi mesin

normal minimal dapat menempuh 20 km untuk penggunaan satu liter bensin.

Hasil dari penelitian terhadap 551 responden terdapat 254 pengguna mobil, 181

pengguna sepeda motor, dan sisanya sebanyak 116 orang adalah penumpang

angkutan umum. Sebanyak 435 responden pengguna kendaraan mobil dan motor

(responden penumpang angkutan umum tidak masuk dalam perhitungan) dihitung

pengeluaran biaya BBM mereka saat kendaraan melaju dengan normal

dibandingkan dengan saat terjebak kemacetan, dengan menggunakan rumus nilai

tengah contoh maka didapat rata-rata kerugian individu pengguna jalan seperti

yang terlihat pada Tabel 9.

Page 79: Ekonomi jalan

66

Tabel 9. Perhitungan Pengeluaran Rata-Rata Responden untuk Pembelian BBM

Pengeluaran Rata-Rata Mobil (254 unit) Motor (181 unit)

Pengeluaran rata-rata normal per kendaraan Rp 13.933,25 Rp 5.082,87

Pengeluaran rata-rata macet per kendaraan Rp 19.171,12 Rp 7.172,65

Rata-rata kerugian per kendaraan Rp 5.237,87 Rp 2.089.78

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Hasil perhitungan pengeluaran pengguna kendaraan bermotor untuk

pembelian BBM dengan rumus perhitungan rata-rata, dalam kondisi lalu lintas

normal didapat sebesar Rp 13.933,25 per mobil. Namun apabila terjebak

kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi Rp 19.171,12 per mobil

karena konsumsi BBM menjadi meningkat. Begitu pula pada kendaraan jenis

sepeda motor dimana pengeluaran responden untuk pembelian BBM dalam

kondisi lalu lintas normal didapat sebesar Rp 5.082,87 per motor. Namun apabila

mereka terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi Rp 7.172,65.

Meningkatnya pengeluaran ini merupakan kerugian yang harus ditanggung

oleh setiap pengguna kendaraan baik mobil maupun motor. Kerugian yang

ditanggung pengguna jalan adalah selisih antara rata-rata pengeluaran kemacetan

per kendaraan dengan rata-rata pengeluaran normal per kendaraan, yaitu sebesar

Rp 5.237,87 untuk setiap mobil sedangkan motor sebesar Rp 2.098,78, sehingga

total kerugian BBM kendaraan bermotor akibat kemacetan adalah Rp 7.336,65.

Jika nilai tersebut dikalikan dengan jumlah kendaraan bermotor yang

terjebak kemacetan pada salah satu titik kemacetan yang ada di Kota Bogor,

misalnya kemacetan di ruas jalan Mayor Oking-Jembatan Merah-Merdeka pada

peak hours pukul 17.00-21.30 dengan rata-rata volume kendaraan sebanyak 36

unit per menit, maka kerugian BBM akibat kemacetan adalah Rp 71.312.238,00

setiap peak hours. Jumlah kerugian tersebut hanya untuk satu titik kemacetan saja.

Page 80: Ekonomi jalan

67

Namun, bila dikalikan dengan seluruh titik kemacetan di Kota Bogor yang

jumlahnya sekitar 10 titik kemacetan, dengan asumsi bahwa volume kendaraan

pada setiap titik kemacetan sama dengan volume kendaraan di Merdeka, maka

total kerugian BBM akibat kemacetan adalah sebesar Rp 713.122.380,00 per hari.

Berarti potensi ekonomi yang hilang dari penggunan BBM akibat kemacetan di

Kota Bogor mencapai Rp 256.724.056.800,00 per tahun.

Potensi nilai ekonomi yang hilang ini merupakan nilai yang sangat besar

untuk kota yang termasuk daerah sub-urban. Bila Kota Bogor dibandingkan

dengan kota-kota lainnya di Indonesia, misalnya saja Kota Batam, potensi

ekonomi yang hilang ini lebih besar karena Kota Batam yang dikenal sebagai kota

perdagangan yang cukup maju, kerugian BBM akibat kemacetan hanya sebesar

Rp 246 milyar per tahun.8

6.3. Perhitungan Besarnya Pendapatan yang Hilang Akibat Kemacetan

Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak lepas dari peranan sektor

transportasi. Kehadiran sarana tansportasi dalam menunjang berbagai aktivitas

masyarakat, khususnya aktivitas ekonomi telah memberikan berbagai keuntungan

bagi kegiatan ekonomi maupun pelaku kegiatan ekonomi tersebut. Transportasi

membuat distribusi barang serta mobilitas pelaku ekonomi menjadi lebih cepat,

nyaman, dan efisien. Namun, bila terjadi kemacetan dalam transportasi,

dampaknya juga akan turut mempengaruhi aktivitas ekonomi dan produktivitas

masyarakat.

8 Anonim. 2009. Macet, Rugi 246 Milyar. www.batamcyberzone.com. Diakses pada 15 Agustus 2009.

Page 81: Ekonomi jalan

68

Pekerja yang terjebak kemacetan kehilangan jam kerja mereka karena

terlambat menuju tempat kerja, yang pada akhirnya mengurangi pendapatan

mereka pula. Apabila seseorang terlambat masuk kerja, biasanya perusahaan akan

memberikan pemotongan gaji berdasarkan berapa lama seseorang itu terlambat,

karena pendapatan mereka dihitung berdasarkan jam kerja mereka. Para pedagang

atau wiraswasta yang terlambat menuju tempat usaha mereka, menjadi telat

membuka usaha mereka, padahal mungkin saja ada pembeli yang ingin membeli

namun karena masih tutup, mereka urung melakukannya.

Beberapa responden menyatakan pendapatan mereka berkurang karena

seringnya terjadi kemacetan. Pengeluaran yang semakin meningkat untuk

operasional kendaraan mengurangi pendapatan individu. Contohnya para sopir

angkutan umum. Para sopir angkutan umum mengalami penurunan pendapatan

karena mereka harus membeli BBM yang lebih banyak untuk mengoperasikan

kendaraan mereka. Misalnya, untuk lima rit operasi biasanya hanya 20 liter bensin

atau setara Rp 90.000,00. Namun karena sering terkena macet, mereka harus

menambah 5 liter lagi atau mereka harus mengurangi operasional kendaraan

mereka, dari yang seharusnya 5 rit sehari bisa menjadi 4 rit sehari dimana kedua

tindakan tersebut mengurangi pendapatan mereka.

Berikut adalah perhitungan terhadap 328 responden pengguna kendaraan

bermotor (209 pengguna mobil dan 119 pengguna sepeda motor) dan 38

penumpang angkutan umum yang pendapatannya hilang akibat keterlambatan

masuk kerja, dengan asumsi bahwa PNS dan pelajar atau mahasiswa tidak masuk

dalam perhitungan karena walau terjebak kemacetan karena keterlambatan tidak

mempengaruhi pendapatan mereka, seperti yang terlihat pada Tabel 10.

Page 82: Ekonomi jalan

69

Tabel 10. Perhitungan Pendapatan Pengguna Jalan yang HilangMobil Motor Penumpang angkutan umum

Total durasi kemacetan (menit) 18.280 4.625 11910

Jumlah responden 209 119 38

Rata-rata durasi kemacetan (menit) 87,46 38,87 31,34

UMR Kota Bogor tahun 2008 Rp 830.000,00

Jam kerja 1 bulan (24 hari x 8 jam) 192 jam

Pendapatan (UMR : jam kerja) Rp 4.323,00 per jam (Rp 72,05 per menit)

Pendapatan yang hilang (Rp) 6.301,49 2.800,58 2.254,05

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Data yang diperoleh dari 366 responden mengenai rata-rata durasi

kemacetan yang dialami pengguna jalan adalah 87,46 menit untuk mobil,

pengguna sepeda motor berdurasi 38,87 menit, dan penumpang angkutan umum

berdurasi 31,34 menit. Upah minimum regional (UMR) Kota Bogor yang sebesar

Rp 830.000,00 digunakan sebagai dasar pendapatan terendah yang dapat dijadikan

sebagai dasar perhitungan agregat secara regional. Apabila jam kerja seseorang

dalam satu bulan (24 hari kerja, delapan jam per hari) adalah 192 jam, maka

pendapatan satu jam kerja seseorang adalah Rp 4.323,00 sehingga pendapatan

pengguna jalan yang hilang jika terjebak kemacetan untuk pengendara mobil

adalah Rp 6.301,00, pengguna sepeda motor adalah Rp 2.800,58, sedangkan

pengguna angkutan umum sebesar Rp 2.254,05. Sehingga total pendapatan yang

hilang dari seluruh pengguna jalan akibat kemacetan adalah Rp 11.356,12. Jika

nilai tersebut dikalikan dengan jumlah angkatan kerja di Kota Bogor pada tahun

2008 yang berjumlah sekitar 649.634 jiwa, maka kerugian hilangnya pendapatan

akibat kemacetan mencapai Rp 7.377.321.660,00 setiap harinya.

Hilangnya potensi ekonomi ini merupakan nilai yang tidak pernah

diketahui masyarakat sebelumnya. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian ini

Page 83: Ekonomi jalan

70

setidaknya masyarakat bisa mengetahui kerugian nominal yang hilang dari

pendapatan mereka jika mereka selalu terjebak dalam kemacetan sehingga

masyarakat bisa mengeliminir waktu mereka yang terbuang agar tidak hilang

akibat kemacetan. Bagi pemerintah Kota Bogor sendiri, potensi ekonomi ini

menghilangkan pemasukan mereka dari sektor pajak penghasilan penduduknya.

Page 84: Ekonomi jalan

VII. ANALISIS PENGGUNA JALAN

7.1 Willingness to Accept

Analisis WTA

dilakukan dengan cara menanyakan kepada

kesediaan mereka untuk

tanggung akibat kemacetan yang terjadi

bersedia pengguna jalan

kemacetan di Kota Bogor

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Gambar 12. Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Mengungkapkan Kerugian Akibat

Berdasarkan hasil wawancara dengan 551 orang responden, sebanyak 533

orang diantaranya menyatakan bersedia

sedangkan 18 lainnya menyatakan tidak bersedia. Jumla

bersedia mengeluarkan nilai WTA diidentifikasi sebagai penawaran sanggahan.

Alasan responden tidak

pada Tabel 11.

ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT (WTA) PENGGUNA JALAN TERHADAP KEMACETAN

Accept (WTA) Pengguna Jalan terhadap Kemacetan

pengguna jalan terhadap kemacetan di Kota Bogor

dilakukan dengan cara menanyakan kepada 551 orang responden mengenai

kesediaan mereka untuk mengungkapkan kerugian atas kemacetan yang mereka

tanggung akibat kemacetan yang terjadi. Distribusi pilihan bersedia dan tidak

gguna jalan yang mengekspresikan kerugian mereka akibat

di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 12.

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Pengguna Jalan Mengungkapkan Kerugian Akibat Kemacetan

Berdasarkan hasil wawancara dengan 551 orang responden, sebanyak 533

orang diantaranya menyatakan bersedia mengungkapkan nilai kerugian mereka

nnya menyatakan tidak bersedia. Jumlah responden yang tidak

bersedia mengeluarkan nilai WTA diidentifikasi sebagai penawaran sanggahan.

tidak bersedia mengeluarkan nilai WTA mereka dapat dilihat

97%

3%

Bersedia

Tidak bersedia

71

(WTA) TERHADAP KEMACETAN

Kemacetan

kemacetan di Kota Bogor

orang responden mengenai

atas kemacetan yang mereka

. Distribusi pilihan bersedia dan tidak

yang mengekspresikan kerugian mereka akibat

Pengguna Jalan

Berdasarkan hasil wawancara dengan 551 orang responden, sebanyak 533

mengungkapkan nilai kerugian mereka

h responden yang tidak

bersedia mengeluarkan nilai WTA diidentifikasi sebagai penawaran sanggahan.

dapat dilihat

Bersedia

Tidak bersedia

Page 85: Ekonomi jalan

72

Tabel 11. Alasan Ketidaksediaan Responden Mengungkapkan Nilai Kerugian Akibat Kemacetan

Alasan Frekuensi (orang) Persentase (%)Tidak Peduli 2 11,10Tidak Perlu 5 27,80Tidak Dapat Dinilai dengan Uang 11 61,10

Jumlah 18 100,00Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Penjelasan dari Tabel 11 adalah bahwa alasan ketidaksediaan responden

mengungkapkan nilai kerugian mereka adalah didasari oleh persepsi mereka

terhadap kerugian akibat kemacetan. Sebanyak dua responden menyatakan bahwa

mereka tidak peduli dengan kerugian yang mereka tanggung akibat kemacetan.

Lima responden menyatakan kompensasi tidak perlu dilakukan karena menurut

mereka kerugian tersebut tidak perlu dikonversikan dalam nilai nominal.

Sedangkan 11 reponden sisanya menyatakan bahwa kerugian yang mereka

tanggung akibat kemacetan seperti hilangnya waktu, stress, dan sebagainya tidak

bisa dinilai dengan uang atau kerugian mereka sangatlah besar sehingga mereka

tidak bisa mengungkapkan besarnya kerugian mereka dalam bentuk nominal

uang.

7.2. Analisis Willingness to Accept (WTA) dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM)

Analisis Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan di Kota Bogor

dilakukan dengan cara menanyakan kepada 551 responden mengenai besarnya

kompensasi yang bersedia mereka terima atas dampak kemacetan yang mereka

alami, dimana WTA mencerminkan nilai kerugian individu pengguna jalan.

Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) dalam penelitian ini digunakan

untuk menganalisis WTA tersebut. Hasil pelaksanaan enam langkah kerja dalam

pendekatan CVM adalah sebagai berikut:

Page 86: Ekonomi jalan

73

1. Membangun Pasar Hipotetis (Setting Up The Hypothetical Market)

Responden diberikan informasi bahwa pemerintah Kota Bogor akan

memberlakukan suatu kebijakan baru dalam manajemen transportasi darat

dengan tujuan untuk memperbaiki mekanisme lalu lintas di lapangan. Adapun

kebijakan itu adalah pemberian kompensasi terhadap kendaraan yang terkena

kemacetan, karena kemacetan yang terjadi tidak dapat terhindarkan. Setiap

responden akan dinilai kompensasi yang diterimanya atas kemacetan yang

terjadi. Kompensasi tersebut adalah biaya pengganti dari kerugian yang

mereka rasakan akibat terjadinya kemacetan. Kompensasi ini mencerminkan

besarnya nilai kerugian individu pengguna jalan.

2. Memperoleh Nilai WTA (Obtaining Bids)

Berdasarkan pertanyaan yang ditawarkan dalam kuisioner melalui metode

open-ended question, maka diperoleh nilai dana kompensasi yang bersedia

diterima pengguna jalan bila terjebak kemacetan. Hasil perhitungan statistik

memperoleh nilai median WTA responden sebesar Rp 10.000,00. Nilai

tersebut merupakan median dari seluruh responden. Selain itu, pengolahan

data statistik juga menunjukkan standar deviasi WTA responden sebesar

5838.436.

3. Menghitung Dugaan Nilai Rata-Rata WTA (Estimating Mean WTA)

Pasar hipotetis yang dibuat dan dalam pelaksanaan penelitian hipotesis

tersebut dijelaskan kepada responden, maka akan didapat nilai penawaran atau

lelang (bids). Nilai penawaran inilah yang akan menjadi dasar penentuan nilai

rataan WTA. Nilai rataan WTA didasarkan pada nilai rataan (mean) dari

Page 87: Ekonomi jalan

74

distribusi besaran WTA responden. Data distribusi besaran WTA responden

disajikan pada Tabel 12.

Tabel 11. Distribusi Besaran WTA Pengguna Jalan

Mobil Motor Penumpang Angkutan Umum

Σ WTA (Rp) 3.202.000 1.271.500 580.000

Frekuensi (orang) 247 175 111

Rata-Rata WTA (Rp) 12.963,56 7.265,71 5.225,23Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Dugaan nilai WTA responden berdasarkan data WTA yang diekspresikan 533

responden (sebanyak 18 responden tidak mengekspresikan WTA mereka,

sehingga tidak masuk dalam perhitungan) menghasilkan nilai rata-rata WTA

pengguna jalan sebesar Rp 12.963,56 untuk mobil, Rp 7.265,71 untuk motor,

dan Rp 5.225,23 untuk penumpang angkutan umum. Nilai tersebut

mencerminkan besarnya kerugian setiap individu pengguna jalan yang terkena

kemacetan.

4. Menduga Bid Curve

Kurva lelang (Bid Curve) WTA dapat dibentuk dengan beberapa cara, salah

satu cara untuk membuat kurva lelang (Bid Curve) WTA adalah dengan cara

menggunakan jumlah kumulatif dari jumlah individu yang menjawab suatu

nilai WTA. Asumsi dari cara ini adalah individu yang bersedia menerima

suatu nilai WTA tertentu akan bersedia pula menerima suatu nilai WTA yang

lebih besar, jumlah kumulatif tersebut akan semakin banyak dan sejajar

dengan semakin meningkatnya nilai WTA. Sehingga dengan cara ini, kurva

lelang (Bid Curve) WTA dari pengguna jalan apabila terjadi kemacetan dapat

tergambar pada Gambar 13.

Page 88: Ekonomi jalan

75

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

Gambar 13. Dugaan Bid Curve WTA Pengguna Jalan terhadap Kemacetan

5. Menentukan Total WTA (Agregating Data)

Hasil perhitungan distribusi besaran WTA dapat dilihat pada Tabel 12.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai rata-rata WTA setiap pengguna

jalan untuk kategori pengguna mobil sebesar Rp 12.963,56, pengguna sepeda

motor Rp 7.265,71, dan penumpang angkutan umum Rp 5.225,23. Jika setiap

nilai WTA tersebut dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Bogor pada

tahun 2006 yaitu sebanyak 879.138 jiwa, dengan asumsi bahwa setiap

penduduk adalah juga sebagai pengguna jalan, maka total nilai WTA Kota

Bogor yang tercermin sebagai kerugian pengguna jalan untuk pengguna mobil

(49.540 pemilik mobil) adalah Rp 642.214.762,40, pengguna motor (117.450

pemilik motor) Rp 853.357.639,50, dan penumpang angkutan umum (712.148

pengguna angkutan umum) Rp 3.721.137.094,00. Sehingga total WTA

pengguna jalan di Kota Bogor adalah Rp 5.216.709.496,00. Nilai tersebut

dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pemerintah Kota Bogor

dalam pengambilan kebijakan untuk mengurangi kemacetan yang ada.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Besar WTA(Rp) 2000 4000 4500 5000 6000 7000 9000 1000 1500 2000 2100 2300 2500 3000

Frekuensi (orang) 2 1 4 179 1 1 1 183 58 93 1 1 3 5

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

Page 89: Ekonomi jalan

76

6. Evaluasi Pelaksanaan CVM

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diperoleh nilai R2 = 19.9%.

Penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir

nilai R2 sampai dengan 15%, oleh karena itu hasil pelaksanaan CVM dalam

penelitian ini masih dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya

(reliable).

7.3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTA PenggunaJalan

Fungsi Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan di Kota Bogor

diamati dengan memasukkan delapan variabel bebas (independent variable) yang

diduga mempengaruhi Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan sebagai

variabel tak bebas (dependent variable). Delapan variabel tersebut adalah

pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, umur, frekuensi terkena kemacetan,

durasi terkena kemacetan, jarak tujuan perjalanan, dan kategori pengguna jalan.

Model fungsi Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan di Kota Bogor

dibangun dengan analisis regresi berganda.

Hasil pengolahan nilai WTA responden diperoleh bahwa model yang

dihasilkan dalam penelitian ini tergolong baik karena nilai R2 yang dihasilkan

bernilai 19,9%. Nilai tersebut mengartikan bahwa keragaman WTA responden

sebesar 19,9% dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya sebesar 80,1%

dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Hasil estimasi parameter model fungsi

Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan di Kota Bogor dapat dilihat pada

Tabel 13.

Page 90: Ekonomi jalan

77

Tabel 12. Hasil Analisis WTA Responden

Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009

* pada tingkat kepercayaan 99%

** pada tingkat kepercayaan 95%

Secara serentak, variabel-variabel bebas berpengaruh nyata terhadap model.

Model yang dihasilkan juga telah diuji multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan

autokorelasi. Hasil dari uji tersebut adalah sebagai berikut:

1. Uji Keandalan

Uji ini dilakukan dalam evaluasi pelaksanaan CVM dimana berdasarkan hasil

analisis regresi berganda, diperoleh nilai R2 sebesar 19.9% dimana P-value <

0.15 tolak Ho

H0: Model tidak berpengaruh terhadap respon (WTA)

H1: Model berpengaruh terhadap respon (WTA)

2. Uji Heteroskedastisitas

Uji heterokedastisitas dilakukan dengan Uji Bartlett (Bartlett test). Hasil uji

kehomogenan raga ini menghasilkan T statistic sebesar 17,3 dan p-value =

0,241, dengan membuat hipotesis:

Variabel Koefisien SE Coef T p-value VIF

C 9171 2399 3.82 0.000Pendidikan 1065,3 345.2 3.09 0.002* 1.2Pendapatan 1070.1 273.5 3.91 0.000* 2.1Jenis Pekerjaan -705.3 219.2 -3.22 0.001* 1.7Umur -112.72 32.41 -3.48 0.001* 2.1Frekuensi Terkena Kemacetan

166.5 212.8 0.78 0.434 1.4

Durasi Terkena Kemacetan 640.5 210.8 3.04 0.002* 1.3Jarak Tujuan Perjalanan 466.5 182.5 2.56 0.011** 1.3Kategori Pengguna Jalan -673.0 253.0 -2.66 0.008* 1.5

R-Sq 19,9

R-Sq(adj) 18,7

S.E. Regression 5263.67

Sum Squared Resid 14518078525

Durbin-Watson Stat 1.88883

Page 91: Ekonomi jalan

78

Ho:homoskedastisitas

H1:heteroskedastisitas

maka, p-value > taraf nyata (1%) terima Ho. Hasil uji heteroskedastisitas

dapat dilihat pada Lampiran 3.

3. Uji Autokorelasi

Uji ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya korelasi antara serangkaian

data menurut waktu (time series) atau menurut ruang (time section).

Pendeteksian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Runs Test dimana

p-value yang didapat sebesar 0,022 yang pada taraf nyata 1% dimana p-value

> taraf nyata, sehingga tidak ada autokorelasi

4. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat Variance Inflation Factor

(VIF). Jika VIF lebih besar dari 10 maka dapat dinyatakan terdapat

multikoliniearitas. Besarnya nilai VIF antar peubah bebas dapat dilihat pada

Tabel 12. Nilai VIF setiap variabel bebas pada Tabel 13 bernilai kurang dari

10. Hal ini mengindikasikan seluruh variabel terbebas dari terjadinya

multikolinearitas.

Model yang didapat untuk menerangkan fungsi Willingness to Accept

(WTA) pengguna jalan di Kota Bogor adalah model yang memenuhi kriteria

secara ekonomi, statistika, dan ekonometrika. Berdasarkan hal tersebut maka

model terbaik yang dihasilkan dalam analisis ini adalah:

WTA = 9171 + 1065,3 Pedidikan + 1070,1 Pendapatan – 705,3 Jenis

Pekerjaan – 112,72 Umur + 166,5 Frekuensi Terkena Kemacetan +

640,5 Durasi Terkena Kemacetan + 466,5 Jarak Tujuan Perjalanan -

673 Pengguna

Page 92: Ekonomi jalan

79

Variabel bebas yang mempengaruhi model pada tingkat kepercayaan 99% adalah

variabel pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, umur, durasi terkena kemacetan,

dan kategori pengguna jalan. Sedangkan jarak tujuan perjalanan berpengaruh

nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Adapun variabel-variabel tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Pendidikan

Variabel pendidikan memiliki nilai p-value sebesar 0,002 yang artinya bahwa

variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α =

1%. Nilai koefisien pendidikan sebesar 1065,3 yang bertanda positif (+)

mengartikan bahwa jika tingkat pendidikan responden semakin tinggi atau

meningkat sebesar satu satuan, maka nilai WTA yang diberikan semakin

tinggi pula atau naik sebesar Rp 1.065,3. Hal ini dapat disebabkan bahwa pola

pikir dengan pendidikan yang lebih tinggi akan lebih menganggap bahwa

kemacetan bukan hanya merupakan kerugian waktu semata melainkan

nilainya lebih tinggi akibat hilangnya opportunity cost dari waktu.

2. Pendapatan

Pendapatan responden adalah pendapatan yang diterima dalam waktu satu

bulan yang terdiri dari penghasilan tetap. Variabel tingkat pendapatan

memiliki nilai p-value sebesar 0,000 yang artinya bahwa variabel ini

berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 1%. Nilai

koefisien pendapatan sebesar 1070,1 yang bertanda positif (+) mengartikan

bahwa jika tingkat pendapatan responden semakin tinggi atau meningkat

sebesar satu satuan, maka nilai WTA yang diberikan semakin meningkat pula

atau naik sebesar Rp 1.070,1. Hal ini dapat terjadi bila responden kehilangan

Page 93: Ekonomi jalan

80

waktunya untuk bekerja karena terjebak kemacetan, sehingga akan kehilangan

jam kerja mereka dan akhirnya pendapatannya juga akan hilang. Jumlah

kehilangan pendapatan akan semakin besar seiring semakin lamanya mereka

terjebak dalam kemacetan. Nilai kompensasi tersebut harus menyesuaikan

dengan pendapatannya yang semakin banyak hilang.

3. Pekerjaan

Variabel jenis pekerjaan yang juga berpengaruh nyata pada taraf α = 1%,

dimana variabel ini memiliki nilai p-value sebesar 0,001. Variabel kategori

pengguna jalan memiliki nilai koefisien sebesar 705,3 dan bertanda negatif (-)

yang artinya semakin variatif jenis pekerjaan pengguna jalan yang terjebak

kemacetan atau variasi jenis pekerjaan naik sebesar satu satuan, maka nilai

WTA yang diekspresikan akan semakin rendah atau turun sebesar Rp 705,3.

Hal ini mungkin dipengaruhi bahwa kemacetan yang diisi dengan variasi jenis

pekerjaan pengguna jalan yang lebih banyak membuat responden memberikan

nilai yang semakin kecil dibandingkan bila kemacetan tersebut hanya dialami

oleh pengguna dengan jenis pekerjaan tertentu saja, dimana jenis pekerjaan

tertentu ini biasanya cenderung mengarah ke nilai yang lebih besar.

4. Umur

Variabel umur responden juga berpengaruh nyata pada taraf α = 1%, dimana

variabel ini memiliki nilai p-value sebesar 0,001. Variabel umur memiliki nilai

koefisien sebesar 112,72 dan bertanda negatif (-) yang artinya semakin tua

umur pengguna jalan atau umurnya meningkat sebesar satu satuan, maka

responden tersebut akan memberikan nilai WTA yang semakin rendah atau

menurun sebesar Rp 112,72. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pola pemikiran

Page 94: Ekonomi jalan

81

responden yang semakin dewasa, dimana saat mereka mengekspresikan nilai

kerugian mereka, terlebih dahulu mereka mengkalkulasikannya sehingga nilai

WTA yang ekspresikan tidak sembarangan. Berbeda dengan responden remaja

yang langsung mengeluarkan nilai WTA mereka secara spontan yang

umumnya lebih besar dari responden dewasa.

5. Durasi Terkena Kemacetan

Variabel rata-rata durasi terkena kemacetan berpengaruh nyata karena

memiliki p-value sebesar 0,002. Nilai koefisien sebesar 640,5 dan bertanda

positif (+) pada variabel ini mengindikasikan bahwa semakin lama seseorang

terkena kemacetan atau durasi kemacetannya meningkat sebesar satu satuan,

maka responden tersebut akan memberikan nilai WTA yang semakin tinggi

atau meningkat sebesar Rp 640,5. Hal ini karena semakin lama seseorang

terjebak dalam kemacetan, maka waktu yang ia miliki semakin banyak yang

terbuang sehingga menyebabkan semakin banyak pula opportunity cost yang

hilang. Semakin banyak benefit yang hilang, maka nilai kesediaan menerima

kompensasi akan semakin besar pula.

6. Pengguna Jalan

Variabel lain yang juga berpengaruh nyata pada taraf α = 1% adalah kategori

pengguna jalan, dimana variabel ini memiliki nilai p-value sebesar 0,008.

Variabel kategori pengguna jalan memiliki nilai koefisien sebesar 673 dan

bertanda negatif (-) yang artinya semakin variatif jenis pengguna jalan atau

variasinya naik sebesar satu satuan, maka responden tersebut akan

memberikan nilai WTA yang semakin rendah atau turun sebesar Rp 673,00.

Hal ini mungkin dipengaruhi oleh berbagai jenis kendaraan yang mereka

Page 95: Ekonomi jalan

82

gunakan. Artinya jika kemacetan dialami oleh berbagai jenis kendaraan, maka

nilai WTA yang diberikan akan cenderung menurun dibandingkan bila

kemacetan tersebut hanya dialami oleh jenis pengguna jalan tertentu saja

misalnya mobil saja atau motor saja.

7. Jarak Tujuan Perjalanan

Variabel jarak lokasi tujuan perjalanan memiliki nilai p-value sebesar 0,011

yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA

responden pada taraf α = 5%. Nilai koefisien sebesar 466,5 dan bertanda

positif (+) berarti bahwa jika jarak tujuan perjalanan responden semakin jauh

atau meningkat sebesar satu satuan, maka responden tersebut akan

memberikan nilai WTA yang lebih tinggi atau naik sebesar Rp 466,5. Hal ini

dapat jelas terlihat bahwa dengan jarak lokasi yang ia tempuh dengan kondisi

normal, ia bisa mencapai tujuan dengan cepat. Namun bila terjebak macet,

dengan lokasi yang sama, perjalanan mereka akan semakin lama dan

memakan biaya yang lebih besar pula. Sehingga opportunity cost yang harus

diganti juga semakin besar.

Adapun salah satu variabel yang tidak berpengaruh secara nyata pada

batas toleransi kepercayaan sebesar 20%, yaitu frekuensi terkena kemacetan.

Variabel ini memiliki nilai p-value sebesar 0,434 yang artinya nilai ini lebih besar

dari 0,20. Hal ini mungkin disebabkan pengguna jalan yang sering melewati titik

kemacetan dapat mencari jalan alternatif lain yang frekuensi kemacetannya lebih

sedikit untuk menghindari kemacetan agar lebih cepat mencapai tujuan, sehingga

variabel ini tidak berpengaruh terhadap model.

Page 96: Ekonomi jalan

83

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpulan

1. Kemacetan mengakibatkan pengguna jalan merasakan stress, waktu terbuang,

mengurangi jam belajar atau jam kerja, pemborosan bensin, dan hilangnya

pendapatan.

2. Pengeluaran pembelian BBM dalam kondisi lalu lintas normal untuk

pengguna mobil adalah sebesar Rp 13.933,25 sedangkan motor Rp 5.082,87.

Namun apabila mereka terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat

menjadi sebesar Rp 19.171,12 per mobil dan Rp 7.172,65 per motor. Kerugian

yang ditanggung adalah sebesar Rp 5.237,87 per mobil dan Rp 2.098,78 per

motor. Potensi ekonomi BBM yang hilang akibat kemacetan yang ditanggung

Kota Bogor setiap tahunnya mencapai Rp 256.724.056.800,00.

3. Pendapatan yang hilang akibat kemacetan untuk pengendara mobil adalah

sebesar Rp 6.301,00, pengguna sepeda motor Rp 2.800,58, sedangkan

pengguna angkutan umum Rp 2.254,05 setiap harinya. Total pendapatan yang

hilang dari pengguna jalan adalah Rp 11.356,12. Total hilangnya pendapatan

akibat kemacetan di Kota Bogor adalah Rp 7.377.321.660,00 per hari.

4. Nilai rata-rata WTA yang diekspresikan responden untuk pengguna mobil

sebesar Rp 12.963,56, pengguna sepeda motor Rp 7.265,71, dan penumpang

angkutan umum Rp 5.225,23. Variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya

nilai WTA pengguna jalan secara signifikan adalah variabel pendidikan,

pendapatan, jenis pekerjaan, umur, durasi terkena kemacetan, jarak tujuan

perjalanan, dan kategori pengguna jalan.

Page 97: Ekonomi jalan

84

8.2. Saran

1. Peningkatan sarana dan prasarana jalan raya serta transit serta perawatan jalan

agar mengurangi kemacetan dengan cara memperlebar jalan, menambah lajur

lalu lintas, dan membuat separator atau marka jalan.

2. Pengurangan jumlah angkot dengan cara pembatasan umur angkot dan tidak

ada peremajaan angkot sehingga trayek angkot dapat dibekukan agar jumlah

angkot dapat berkurang.

3. Mengembangkan transportasi publik, sehingga transportasi massal yang lebih

penting untuk mengangkut penumpang secara massal dapat bergerak secara

efektif sementara penggunaan kendaraan pribadi bisa digeser.

4. Perlu lebih banyak lagi penelitian mengenai dampak kemacetan baik terhadap

masyarakat maupun terhadap lingkungan agar masyarakat dapat menyadari

dan mengubah pemakaian kendaraan agar lebih efisien serta mengambil peran

dalam mengurangi kemacetan yang ada.

Page 98: Ekonomi jalan

85

IX. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Dinamika Pertumbuhan Perkotaan. www.bps.com. Diakses pada Selasa, 3 Februari 2009.

_______. 2009. Kendaraan Berplat Non-F Marak di Bogor. drtlh.bogorkab.go.id. Diakses pada Minggu, 8 Februari 2009.

_______. 2009. Macet, Rugi 246 Milyar. www.batamcyberzone.com. Diakses

pada 15 Agustus 2009.

_______.2009. Pengelolaan Sistem Transportasi Kota. www.scribd.com. go.id/ contents/th_2008.htm. Diakses pada Selasa, 3 Februari 2009.

_______. 2009. Pertumbuhan Kendaraan di Kota Bogor. www.bogornews.com. viewarticle&artid=97. Diakses pada Selasa, 27 Februari 2009.

Astati, Ni Ketut Sri. 1998. Perhitungan Biaya Kemacetan Di Kawasan Pengendalian Lalu Lintas Di Kawasan DKI Jakarta. Tesis. Program Pascasarjana Bidang Ilmu Teknik Program Studi Teknik Sipil. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia, Jakarta.

Ayu, Evry Rhamadhani. 2004. Willingnes To Pay Masyarakat Terhadap Perbaikan Ekosistem Hutan Mangrove Muara Angke Jakarta Utara Melalui Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) Dengan Analisis Regresi Logit. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian Dan Sumberdaya. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Biro Pusat Statistik 2008. ‘Bogor Dalam Angka 2008’. BPS, Kota Bogor.

Biro Pusat Statistik 2008. ‘Indonesia Dalam Angka 2007’. BPS, Kota Bogor

Biro Pusat Statistik 2005. ‘Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Kor Tahun 2004’. BPS, Jakarta.

Chaeriawati, 2004. Analisis Permintaan Angkutan Kota serta Kaitannya Terhadap Tata Ruang Wilayah Kotamadya Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 99: Ekonomi jalan

86

Direktorat Jendral Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. 1999. Perencanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Departemen Dalam Negeri,Jakarta.

Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pustaka Gramedia Utama, Jakarta.

Field, B.C. 1994. Environmental Economics: An introduction. McGraw-Hill Book Co, USA.

Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometric 4th ed. Mc Graw Hill-Irvine New York, USA.

Hafkamp, Wilhelmus A. 1984. Economic-Environmental Modeling in a National Regional Sistem: An Operational with Multi-Layer Projection. Elsevier Science Publisher B. V, Amsterdam.

Hanley, N dan C. L. Spash. 1993. Cost-Benefit Analysis and Environment. Edward Elgar Publishing Limited, England.

Lating, Abidin. 1997. Sumberdaya Alam dan Pembangunan Ekonomi. PT. Danar Wijaya, Semarang.

Mangkoesoebroto, G. 1997. Ekonomi Publik. Gajah Mada University Press,Yogyakarta.

Marito, Vininta Harianja. 2006. Analisis Willingness To Accept Masyarakat Terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantardebang Dengan Pendekatan Contingent Valuation Method. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian Dan Sumberdaya. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Maynard M. Huftschmidt, David James, Anton D. Meister, Blair T. Bower, JohnDixon. 1983. Environment, Natural Sistems, and Development: An Economic Valuation Guide. The John Hopkins University Press. Baltimore.

Mitchell, Robert Cameron, dan Richard T. Carson. 1989. Using Surveys to Value Public Goods: The Contingent Valuation Method. Resources for The Future, Washington D. C.

Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 3. The World Bank, Washington DC.

Pangaribuan, Gerhard P. 2005. Perhitungan Perbedaan Biaya Kemacetan Pada Sekitar Wilayah Pengendalian Lalu Lintas. Tesis. Program Pascasarjana Bidang Ilmu Teknik Program Studi Teknik Sipil. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia, Jakarta.

Page 100: Ekonomi jalan

87

Ramanathan. 1997. Introductory Econometrics with Application. The Dryden Press, New York.

Rosen, Harvey S. dan Michael L. Katz. 1998. Microeconomics. McGraw-Hill Book Co, USA.

Setyono, Budi. 1991. Kuantifikasi Kemacetan Lalu Lintas Pada Beberapa Koridor Padat Di Jakarta. Skripsi. Program Studi Transportasi Jurusan Sipil. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia, Jakarta.

Silalahi, Ahmad D. 2001. Kajian Pendapatan Usaha Transportasi Angkutan Kota Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suparmoko dan Maria R. Suparmoko. Ekonomika Lingkungan. 2000, BPFE Yogyakarta. Hal. 101-132.

Suparmoko, M. 2002. Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Konsep dan Metode Penghitungan). LPPEM Wacana Mulia, Jakarta.

Tietenberg, T. 1995. Environmental and Natural Resources Economics. HarperCollins Publishers, Inc, New York.

Walpole, R. E. 1982. Pengantar Statistika. Bambang Sumantri (Penerjemah). Terjemahan dari: Introduction to Statistics. Gramedia pustaka utama, Jakarta.

Widayanto, I. 2001. Analisis Kebijakan Memperbaiki Kualitas Air Brantas Dengan Menggunakan Metode Contingent Valuation. Tesis. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta.

Wikipedia. 2000. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas: Kemacetan. www.wikipedia.com. Rabu, 4 Februari 2009 pukul 22.55 WIB

Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan: Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Akademia Presindo, Jakarta.

Page 101: Ekonomi jalan

88

LAMPIRAN

Page 102: Ekonomi jalan

89

Lampiran 1.

Gambar. Peta Lokasi Penelitian

Page 103: Ekonomi jalan

1

Lampiran 2. Kuisioner Penelitian

KUISIONER DAMPAK KEMACETAN

ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN MELALUI PENDEKATAN

CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)(Studi Kasus : Kota Bogor, Jawa Barat)

Terima kasih atas partisipasi Anda untuk menjadi salah satu responden dalam pengisian kuisioner ini. Kuisioner ini merupakan instrumen penelitian yang dilakukan oleh :

Peneliti/NIM : Rendy Dwi Sapta/ H44052626Departemen : Ekonomi Sumberdaya dan LingkunganFakultas : Ekonomi dan ManajemenUniversitas : Institut Pertanian BogorUntuk memenuhi tugas penyelesaian Skripsi Program Sarjana. Saya sangat menghargai

kejujuran Anda dalam mengisi kuisioner ini dan menjamin kerahasiaan Anda. Atas kerjasamanya, saya ucapkan terima kasih

PENILAIAN TERHADAP KEMACETAN

1. Apakah anda sering terjebak kemacetan ?a. Tidak pernah b. Jarang c. Kadang-kadang d. Selalu e. Sering

2. Berapa kali anda terkena macet saat menuju tempat tujuan ?a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. 4 kali e. 5 kali

3. Berapa lama biasanya anda terkena kemacetan ?a. 5 menit b. 15 menit c.10 menit d. 20 menit e. >20 menit (sebutkan)……menit

4. Waktu tempuh dari daerah asal ke tempat tujuan saat lalu lintas normal ? Sebutkan! (perkiraan dalam menit atau jam) …..

5. Jarak tempuh dari daerah asal ke tempat tujuan ?(Sebutkan!)

6. Seberapa sering anda melewati jalan yang terjadi kemacetan?a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Jarang e. Tidak pernah

7. Perasaan yang anda rasakan saat terjadi kemacetan ?a. Stress b. Biasa saja c. Diam saja d. Tidak peduli e. Senang/bahagia

8. Dampak lain yang anda tanggung karena terjadi kemacetan (jawaban boleh lebih dari satu) ?a. Boros bensin c. Waktu terbuangb. Biaya perawatan mobil meningkat d. Kesehatan menurun/sakit

9. Berapa biaya yang anda keluarkan jika lalu lintas lancar ? (Biaya dari asal ke tujuan boleh dalam bentuk uang atau liter bensin)

10.Berapa biaya yang anda keluarkan jika terjadi kemacetan ? (Biaya dari asal ke tujuan boleh dalam bentuk uang atau liter bensin)

Page 104: Ekonomi jalan

2

SKENARIO

JIKA PEMERINTAH KOTA BOGOR MEMBERLAKUKAN SUATU KEBIJAKAN BARU DALAM MANAJEMEN TRANSPORTASI DARAT DENGAN TUJUAN UNTUK MEMPERBAIKI MEKANISME LALU LINTAS DI LAPANGAN. ADAPUN KEBIJAKAN ITU ADALAH PEMBERIAN KOMPENSASI TERHADAP KENDARAAN YANG TERKENA KEMACETAN.

INFORMASI TENTANG KESEDIAAN MENERIMA KOMPENSASI

1. Apakah anda setuju jika kemacetan merupakan situasi yang merugikan?a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Tidak peduli

2. Alasan anda (jawaban boleh lebih dari satu)?a. Menguras waktu c. Membuat stress e. Mengurangi pendapatanb. Mengurangi jam kerja/belajar d. Menghabiskan biaya (boros bensin)

3. Jika pemerintah mau mengganti kerugian anda karena terjebak kemacetan, apakah anda bersedia menerima kompensasi tersebut ?a. Ya b. Tidak

4. Berapa besarnya kompensasi yang bersedia anda terima ?(Sebutkan)

KARAKTERISTIK RESPONDEN PENGGUNA JALAN

1. Jenis kelamin : L/P

2. Umur :……..Tahun

3. Status pernikahan : Belum/Sudah menikah

4. Pendidikan formal terakhir :a. SD/sederajat b. SLTP/sederajat c. SLTA/sederajat d. Perguruan Tinggi

5. Pekerjaan :a. PNS c. Pengusaha/Wiraswasta e. Pelajar/mahasiswab. Sopir d. Pegawai Swasta f. Lainnya (sebutkan) ……..

6. Rata-rata pendapatan utama per bulan :a. < 1 juta c. 2 juta – 3 juta e. 4 juta – 5 jutab. 1 juta – 2 juta d. 3 juta – 4 juta f. > 5 juta. Sebutkan besarnya Rp……..

7. Apakah ada penghasilan tambahan selain penghasilan utama?a. Ada, besarnya Rp……… b. Tidak

8. Jumlah tanggungan keluarga :a. Tidak ada b. Ada, …… orang (sebutkan!)

9. Apakah anda memiliki kendaraan pribadi ?a. Ya, sebutkan merknya (contoh : Honda Jazz/Honda Supra X) ….b. Tidak

Page 105: Ekonomi jalan

1

Lampiran 3. Hasil Regresi Berganda WTA Responden Terhadap Kemacetan di Kota Bogor

Regression Analysis: WTA versus Pendidikan, Pendapatan ..

The regression equation is

WTA = 9171 + 1065,3 Pendidikan + 1070,1 Pendapatan – 705,3 Jenis Pekerjaan –

112,72 Umur + 166,5 Frekuensi Terkena Kemacetan + 640,5 Rata-Rata

Durasi Terkena Kemacetan + 466,5 Jarak Lokasi Tujuan - 673 Pengguna

Predictor Coef SE Coef T P VIFConstant 9171 2399 3.82 0.000Pendidikan 1065.3 345.2 3.09 0.002 1.2Pendapatan 1070.1 273.5 3.91 0.000 2.1Jenis Pekerjaan -705.3 219.2 -3.22 0.001 1.7Umur -112.72 32.41 -3.48 0.001 2.1Frekuensi terkena kemacetan 166.5 212.8 0.78 0.434 1.4Rata-rata durasi terkena kemacetan 640.5 210.8 3.04 0.002 1.3Jarak lokasi tujuan 466.5 182.5 2.56 0.011 1.3Pengguna -673.0 253.0 -2.66 0.008 1.5

S = 5263.67 R-Sq = 19.9% R-Sq(adj) = 18.7%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F PRegression 8 3616384889 452048111 16.32 0.000Residual Error 524 14518078525 27706257Total 532 18134463415

Source DF Seq SSPendidikan 1 1060445877Pendapatan 1 1011398507Jenis Pekerjaan 1 82733272Umur 1 61784273Frekuensi terkena kemacetan 1 406905884Rata-rata durasi terkena kemacetan1 527566937Jarak lokasi tujuan dari daerah 1 269581141Pengguna 1 195968997

Unusual Observations

Obs Pendidikan Y Fit SE Fit Residual St Resid 1 3.00 30000 17348 1001 12652 2.45R14 3.00 20000 14755 1428 5245 1.04 X76 1.00 10000 13692 1224 -3692 -0.72 X80 3.00 20000 9303 744 10697 2.05R95 4.00 20000 21326 1366 -1326 -0.26 X

Page 106: Ekonomi jalan

2

149 1.00 5000 5538 1190 -538 -0.10 X156 2.00 15000 16351 1195 -1351 -0.26 X193 4.00 25000 11240 815 13760 2.65R212 4.00 30000 14970 576 15030 2.87R230 2.00 20000 9113 584 10887 2.08R248 3.00 20000 8921 572 11079 2.12R275 3.00 20000 8642 522 11358 2.17R283 3.00 20000 9488 632 10512 2.01R290 4.00 30000 17338 746 12662 2.43R311 1.00 20000 7131 804 12869 2.47R332 3.00 30000 12382 827 17618 3.39R334 3.00 20000 8253 556 11747 2.24R344 3.00 30000 11343 720 18657 3.58R346 3.00 20000 7548 521 12452 2.38R374 1.00 20000 9642 942 10358 2.00R434 3.00 20000 7873 601 12127 2.32R465 3.00 23000 8972 609 14028 2.68R467 3.00 20000 9139 561 10861 2.08R468 3.00 20000 8860 609 11140 2.13R473 3.00 20000 6986 521 13014 2.48R506 3.00 20000 9357 779 10643 2.04R507 3.00 20000 9470 791 10530 2.02R508 3.00 20000 8829 792 11171 2.15R

R denotes an observation with a large standardized residual.X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 1.88883

Uji Kehomogenan Ragam

Uji Bartlett (Bartlett test)T statistic = 17,3P value = 0,241P-value > taraf nyata terima Ho, homoskedastisitas

Ho:homoskedastisitasH1:heteroskedastisitas

Uji Kebebasan (Autokorelasi)

Runs test for RESI1

Runs above and below K = -1.19500E-11

The observed number of runs = 235The expected number of runs = 260.722224 observations above K, 309 belowP-value = 0.022

P-value > taraf nyata terima Ho,

H0:tidak autokorelasiH1:autokorelasi

Page 107: Ekonomi jalan

94

Lampiran 4. Foto-Foto Kemacetan di Kota Bogor