ekonomi hijau

14
EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY), SINERGI EKOLOGI DAN EKONOMI DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Shanada Julistiadi/15411098 Mata Kuliah PL 2101 Lingkungan dan Sumber Daya Alam Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa No.10 Bandung 40132 Indonesia ([email protected] ) ABSTRAK Sejak Laporan Brundtlandt dirilis pada tahun 1980 yang kemudian diikuti oleh KTT Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada tahun 1992, visi pembangunan berkelanjutan selalu diperbincangkan. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 telah menghasilkan dokumen yang berisi visi bersama para kepala negara maupun pemerintahan untuk memperbaharui komitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), perekenomian, sosial dan lingkungan hidup. Mereka menyadari bahwa untuk mengaplikasikan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan dukungan dari seluruh pihak agar tercipta pembangunan berkelanjutan di segala aspek. Sebagai langkah lanjut, Indonesia menghimbau segera diwujudkannya green economy di setiap negara. Ekonomi hijau (green ekonomi) merupakan bentuk sinergis dari kepentingan ekologi dan ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan. Kata kunci : Laporan Brundlandt, KTT Rio, pembangunan berkelanjutan, green economy/ ekonomi hijau, ekologi. I. PENDAHULUAN Menurut laporan Brundtland, Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang mengkompromikan diri pada pembangunan masa depan tanpa mengorbankan EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY), SINERGI EKOLOGI DAN EKONOMI DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 1

Upload: shanada-julistiadizen

Post on 24-Nov-2015

83 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY), SINERGI EKOLOGI DAN EKONOMI DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY), SINERGI EKOLOGI DAN EKONOMI DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Shanada Julistiadi/15411098Mata Kuliah PL 2101 Lingkungan dan Sumber Daya AlamSekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan KebijakanInstitut Teknologi Bandung, Jl. Ganesa No.10 Bandung 40132 Indonesia ([email protected])

ABSTRAK

Sejak Laporan Brundtlandt dirilis pada tahun 1980 yang kemudian diikuti oleh KTT Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada tahun 1992, visi pembangunan berkelanjutan selalu diperbincangkan. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 telah menghasilkan dokumen yang berisi visi bersama para kepala negara maupun pemerintahan untuk memperbaharui komitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), perekenomian, sosial dan lingkungan hidup. Mereka menyadari bahwa untuk mengaplikasikan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan dukungan dari seluruh pihak agar tercipta pembangunan berkelanjutan di segala aspek. Sebagai langkah lanjut, Indonesia menghimbau segera diwujudkannya green economy di setiap negara. Ekonomi hijau (green ekonomi) merupakan bentuk sinergis dari kepentingan ekologi dan ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan.

Kata kunci : Laporan Brundlandt, KTT Rio, pembangunan berkelanjutan, green economy/ ekonomi hijau, ekologi.

I. PENDAHULUAN

Menurut laporan Brundtland, Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang mengkompromikan diri pada pembangunan masa depan tanpa mengorbankan generasi selanjutnya namun tetap dapat membuat kemajuan pada saat ini. Laporan Brundtland mengambil peranan penting dengan mengarahkan perspektif negara-negara di dunia dalam suatu hubungan keadaan saling ketergantungan antara ekonomi dan lingkungan, hal ini diperkuat dengan akan pembenaran laporan ini oleh komunitas internasional dalam Earth Summit 1992. Premis utama laporan Brundtland menyatakan bahwa sikap negara selalu menjadikan kebijakan ekonomi sebagai hal sentral, sementara kebijakan lingkungan menjadi bagian periperal, sehingga telah membuat keadaan lingkungan yang semakin lama terdegradasi oleh kebijakan ekonomi. Oleh karena itu, Brundtland memberikan rekomendasi dalam akhir laporannya bahwa setiap pemerintah suatu negara harus membuat terobosan dalam implementasi kebijakan ekonomi dengan melakukan clean production, yaitu produksi yang menggunakan sumber daya alam dengan efektif dan menghindari pencemaran atau polusi.(Eckersley, Markets, The States and Environment : Towards Integration, 1995)Perspektif konstruktifisme dapat membantu menjelaskan prospek pembangunan nasional Indonesia mengenai konsep Green Economy. Sering kali istilah ekologi dan ekonomi ditempatkan secara bersebarangan. Ketika ekologi dijadikan dasar argumentasi penyelamatan lingkungan, ekonomi diposisikan sebagai alasan bagi manusia untuk merusak lingkungan. Padahal ekologi dan ekonomi mempunyai akar kata yang sama, yaitu oikos, yang artinya rumah tangga. Yang satu mendekatinya secara logos yang berorientasi pengetahuan, yang lainnya mendekatinya secara namein, yang berorientasi pada pengaturan. Objek ekologi dan ekonomi sebenarnya sama, yaitu rumah tangga atau dalam konteks ini adalah tempat untuk kita tinggal dan hidup. Dalam sebuah bangunan konstruksi sosial, dalam pengertian bahwa tingkah laku suatu aktor akan dipengaruhi oleh suatu wacana yang melekat dalam suatu struktur(Wendt, 1992). Secara sederhana, perilaku Indonesia dalam melakukan pembangunan nasional yang berorientasi terhadap lingkungan telah dipengaruhi oleh suatu wacana, yaitu Green Economy. Wacana yang telah mengalami konstruksi sosial melalui melalui proses sosialiasi terus-menerus setiap konferensi terkait pembangunan berkelanjutan, dimana sebenarnya wacana tersebut telah melekat dalam sturktur internasional yaitu nilai, prinsip, norma dan hasil keputusan yang telah dibuat oleh hirarki internasional yang mana dalam konteks ini adalah Earth Summit. Namun dalam Indegenous Factor, kepentingan nasional ikut mempengaruhi arah implementasi pembangunan nasional Indonesia itu sendiri(Onuf, 1997).20 tahun pasca Earth Summit dan laporan Brundtland, negara-negara berkumpul kembali menegaskan pentingnya pembangunan berkelanjutan dalam sebuah kerangka wacana Green Economy (ekonomi hijau) RIO+20. Konsep utama ekonomi hijau mengenai integrasi ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan yang memiliki karakteristik objektif penekanan dalam pemberantasan kemiskinan. Berdasarkan konsep yang menjadi kepentingan Indonesia juga, maka keterlibatan Indonesia dalam Earth Summit RIO+20 adalah sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Hal ini dibuktikan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 atau INPRES NO 5 tahun 2010 yang menggambarkan setidaknya 4 prioritas nasional yang sangat sesuai dengan implementasi pembangunan berkelanjutan dengan penekanan pada penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan, energi dan pengelolaan lingkungan hidup serta penanggulangan bencana.Penipisan Sumber Daya Alam (termasuk energi fosil) yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berorientasi kepada Sumber Daya Alam yang tidak berkelanjutan. Bencana alam (seperti banjir, erosi, tanah longsor) yang memilki arti bahwa terjadi degradasi lingkungan dan gangguan social yang berdampak pada ketidakpastian pertumbuhan ekonomi, penurunan kualitas udara dan air karena alih fungsi lahan menjadi kawasan industri yang menghasilkan polusi, kecenderungan kenaikan efek gas rumah kaca sedangkan kawasan hutan Indonesia semakin gundul, perilaku produksi dan konsumsi pasar yang tidak berorientasi pada lingkungan hidup, bahkan pada tahap pengambilan keputusan dalam kepentingan politik yang mengalami keterbatasan instrumen kebijakan kurang memprioritaskan teknis pembangunan berkelanjutan. Artinya, ketidakstabilan dalam pengambilan kebijakan pun menjadi dampak realitas paling menyakitkan terlepas dari aspek material lingkungan maupun ekonomi yang berpengaruh secara langsung. Berdasarkan penyederhanaan sebuah wacana dalam sebuah realitas tersebut, maka dapat ditemukan bahwa Green Economy memang diperlukan dalam pembangunan nasional Indonesia demi keberlanjutan masa depan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan BerkelanjutanPembangunan kota yang berkelanjutan adalah suatu proses dinamis yang berlangsung secara terus-menerus; merupakan respon terhadap tekanan perubahan ekonomi, lingkungan, dan sosial, dan budaya. Proses dan kebijakannya tidak sama pada setiap kota, tergantung pada kota-kotanya. Salah satu tantangan terbesar konsep tersebut saat ini adalah menciptakan keberlanjutan, termasuk didalamnya keberlanjutan sistem politik dan kelembagaan sampai pada strategi, program, dan kebijakan sehingga pembangunan kota yang berkelanjutan dapat terwujud menjadi kota yang baik dan nyaman bagi warga negaranya.Akan tetapi tantanggan terbesar dari Pembangunan berkelanjutan ini adalah menghadapin pertumbuhan penduduk yang besar ataupun daerah padat dengan penduduknya, Bagaimanapun akan membutuhkan area yang besar, sehingga akan menimbulkan masalah dengan alam, untuk itu juga harus diadakan pembangunan perkotaan yang berwawasan lingkungan. Dikarenankan perencanaan pembangunan kota harus memperhatikan aspek Alam dan lingkungan sebagaimana konsep E. Howard dengan garden cittynya. "Kota besar bukanlah tempat yang cocok untuk tempat tinggal jika persoalan lingkungannya diabaikan.

Perwujudan kota berkelanjutan ( The World Commision on Environment and Development, 1987) antara lain:a) Kota berkelanjutan dibangun dengan kepedulian dan memperhatikan aset-aset lingkungan alam, memperhatikan penggunaan sumber daya, meminimalisasi dampak kegiatan terhadap alam.b) Kota berkelanjutan berada pada tatanan regional dan global, tidak peduli apakah besar atau kecil, tanggung jawabnya melewati batas-batas kota.c) Kota berkelanjutan meliputi areal yang lebih luas, dimana individu bertangguang jawab terhadap kota.d) Kota berkelanjutan memerlukan aset-aset lingkungan dan dampaknya terdistribusi secara lebih merata.e) Kota berkelanjutan adalah kota pengetahuan, kota bersama, kota dengan jaringan internasional.f) Kota berkelanjutan akan memperhatikan konservasi, memperkuat dan mengedepankan hal-hal yang berkaitan dengan alam dan lingkungang) Kota berkelanjutan saat ini lebih banyak kesempatan untuk memperkuat kualitas lingkungan skala lokal, regional, dan global.Untuk dapat menciptakan suatu kota yang berkelanjutan, diperlukan lima prinsip dasar, yaitu :* ekologi,* ekonomi,* equity (pemerataan),* engagement (peran serta), dan* energi (Budiharjo, 1996).

Pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu tujuan yang dilatarbelakangi sebuah visi akan keseimbangan dalam keterkaitan antara ekonomi, sosial, lingkungan, dan kebudayaan (ekologi) guna membangun masyarakat yang stabil, makmur, dan berkualitas.Dalam hal perencanaan kota selain memperhatikan aspek lingkungan, juga harus memperhatikan dan menguasai sistem sosial dari masyarakat tersebut, hal ini di perlukan guna memudahkan pendekatan ke dalam masyarakat untuk menjelaskan program apa yang akan di rencanaakan ke depan.

Beberapa persyaratan yang harus dicapai dalam merealisasikan pembangunan yang berkelanjutan berdasarkan (Haeruman, 1997) antara lain:a) Dalam konteks ekonomi, pembangunan harus menghindari upaya-upaya untuk memperkaya satu kelompok yang akan menyebabkan kemiskinan bagi kelompok-kelompok lainnya.b) Dalam konteks fisik tetapi tidak dalam konteks sosial ekonomi. Sehingga dalam pembangunan berkelanjutan, keadilan dan persamaan benar-benar menjadi dasar yang wajib diterapkan.c) Dalam konteks ekologis, pembangunan selayaknya menjaga, memperbaiki, dan memulihkan sumber daya alam yang dimiliki, baik pada daerah-daerah yang dimanfaatkan secara produktif maupun pada daerah-daerah marginal.d) Dalam konteks sosial, diperlukan suatu solidaritas, koordinasi dalam tindakan, serta partisipasi oleh berbagai sektor dan individu. Untuk itu diperlukan suatu pembenahan kelembagaan, pembagian tanggung jawab dan kerjasama yang baik dari para pembuat keputusan.

Pembangunan Berkelanjutan Berbasis EkologiUntuk menciptakan sistim yang berkelanjutan berbasis lingkungan atau ekoligi maka kita harus mampu memelihara sumberdaya agar tetap dalam keadaan stabil, menghindari terjadinya eksploitasi alam agar tumbuhan dapat melakukan fungsi penyerapan secara sempurna. Selain itu konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lain yang tidak termasuk dalam sumber daya ekonomi. Keberlanjutam ekologis merupakan prasyarat untuk pembangunan dan keberlanjutan kehidupan manusia. Keberlanjutan ekologis akan menjamin keberlanjutan ekosistem bumi, dan untuk menjamin keberlanjutan tersebut, digunakanlah beberapa cara yaitu :

1. Memelihara integritas tatanan lingkungan agar sistem penunjang kehidupan di bumi tetap terjamin, dan system produktifitas, adaptabilitas, dan pemulihan air, tanah, dangar udara agar keberlanjutan kehidupan tetap berjalan. Ada tiga aspek yang harus diperhatikan untuk memelihara Integritas tatanan lingkungan yaitu : a) Adanya dukunganb) Adanya daya asimilatifc) Terpenuhinya keberlanjutan sumberdayaSelanjutnya untuk melaksanakan kegiatan yang tidak mengganggu integritas tatanan lingkungan kita harus melakukan : hindarkan konveksi alam dan modifikasi ekosistem, kurangi konversi lahan subur, dan jangan membuang limbah yang melampaui asimilatif lingkungan.

2. Memelihara keanekaragaman hayati pada keanekaragaman kehidupan yang menentukan keberlanjutan proses ekologis.terdapat 3 aspek keanekaragaman hayati : aspek genetika, aspek spesiaes, dan tatanan lingkungan. Dan untuk mengkonversikan keanekaragaman hayati tersebut, perlu hal-hal berikut yaitu : a) Menjaga ekosistem alam dan area yang representative tentang kekhasan sumber daya hayati agar tidak dimodifikasikan.b) Memelihara seluas mungkin area ekosistem yang dimodifikasikan untuk keanekaragaman dan keberlanjutan keanekaragaman spesies.c) Konservatif terhadap konversi lahan pertanian.

Pengelolaan pembangunan yang berwawasan lingkunagn merupakan hal yang penting untuk keberlanjutan ekosistem.dan hal ini dapat dilaksanakan dengan : pencegahan pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan pemuluhan ekosistem serta sumberdaya alam yang rusak, selanjutnya yaitu dengan meningkatkan kapasitas produksi dari ekosistem alam dan binaan manusia.

Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Ekologi Dan EkonomiAktivitas ekonomi pasti membutuhkan alam sebagai sumber daya utama. Namun, aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia saat ini sudah berlebihan sehingga membuat alam mengalami kerusakan. Panayatou (2000) membenarkan hal tersebut dalam tesisnya bahwa pertumbuhan ekonomi berdampak pada degradasi lingkungan. Alasan pertama, ialah kapasitas lingkungan yang terbatas untuk menampung limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi. Dan, kedua adalah keterbatasan sumber daya alam yang tidak bisa diperbaruhi. Dan "Dunia ini sanggup untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia, namun tidak untuk kerakusannya." (Mahatma Gandhi)Bermula dari revolusi industri Inggris pada awal abad 19, kaum serakah mulai mengalami peningkatan "kerakusan" dengan menganggap bahwa alam memang benar-benar disediakan untuk "kepentingan" mereka. Terjadilah invansi besar-besaran atas alam. Mereka melakukan invansi ke negara-negara Dunia Ketiga yang sedang berkembang, yang dikenal sebagai negara-negara kaya sumber daya alam. Indonesia pun tidak luput dari invansi negara-negara serakah tersebut. Dalam perjalannya, Indonesia malah semakin tidak bisa melepaskan diri dan menjadi "anak emas" para penguasa kapital itu. Terbukti pola pembangunan yang dijalankan negara kita selama ini hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tanpa melihat masalah ekologi yang mempengaruhi kesejahteraan rakyat.2EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY), SINERGI EKOLOGI DAN EKONOMI DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

1EKONOMI HIJAU (GREEN ECONOMY), SINERGI EKOLOGI DAN EKONOMI DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Gambar 2.1 Interaksi antara Ekonomi dan Ekologi (Hanley et al., 2001:5)

Sumber: http://fitriwardhono.files.wordpress.com/2012/04/gambar-4.jpgGambar 2.2 Interaksi Terus Menerus antara Dimensi Ekonomi, Sosial, dan Ekologis

III. PEMBAHASAN

Strategi pembangunan nasional pemerintah saat ini cukup jelas dalam menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada lingkungan hidup. Pembangunan nasional bertujuan untuk menghasilkan kesejahteraan, keadilan dan meningkatkan partisipatif demokrasi. Oleh karena itu, keserasian antara kesejahteraan dan keadilan ditambah dengan perlindungan terhadap lingkungan dituangkan dalam konsep pro growth, pro job, pro poor dan pro environment.Merujuk pada UU No 17 Tahun 2007 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka dengan jelas dapat dilihat bahwa prioritas pembangunan nasional Indonesia menginginkan pembangunan berkelanjutan dalam penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan, energi dan perlindungan lingkungan serta pengelolaan bencana(Bappenas, 2010). Indonesia memerlukan arah pembangunan jangka panjang dengan arah prioritas secara menyeluruh untuk menciptakan masyarakat yang di dalamnya terdapat kesejahteraan dan keadilan serta keserasian demokrasi demi terus diwujudkannya kepastian pembangunan berkelanjutan yang jelas, tidak hanya dalam periode kepemimpinan Negara tiap lima tahun yang rentan mengalami perubahan, namun terus berkesinambungan sehingga arah pembangunan Indonesia tidak mudah berubah karena faktor politik. Yang pada kenyataannya, faktor politik harusnya menjadi alat promosi pembangunan nasional yang mendukung perlindungan lingkungan yang utama.Meskipun regulasi dalam pemerintahan menunjukan etiket baik dalam pembangunan berkelanjutan, fakta lapangan Indonesia sendiri dalam kesungguhan pembangunan berkelanjutan sangat bertolak belakang. Melihat perbandingan dalam kemiskinan, ketahanan pangan, energi dan perlindungan lingkungan (semua adalah bagian prioritas pembangunan nasional) adalah hal yang sifatnya interdependensi, paradigma pembangunan yang telah terbentuk beberapa tahun dalam demokrasi tidak dapat diubah hanya dengan strategi regulasi atau semangat menggebu-gebu pemerintah menggalakan konsep green economy. Namun diperlukan penyelarasan antara akselarasi pertumbuhan ekonomi dan proteksi lingkungan hidup. Contoh yang akan ditekankan penulis adalah terhadap prioritas pembangunan nasional mengenai energi. Ketergantungan industri, rumah tangga, transportasi dan pertanian akan energi sebagai contoh, menujukan bahwa Indonesia tetap menggunakan bahan bakar fosil yaitu batu bara dan minyak bumi dibandingkan menggunakan bahan bakar lain yang ramah lingkungan (Biodiesel, panas bumi atau sinar matahari). Bahan bakar fosil adalah bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui, dan khusus bagi Indonesian tergolong sebagai negara pengimpor salah satu bahan bakar fosil, yaitu minyak bumi. Konsumsi bahan bakar fosil sebagai sumber energi bagi industri, rumah tangga, transportasi dan pertanian mengalami peningkatan permintaan, yang juga semakin diselaraskan oleh pemerintah melalui subsidi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Jelas hal ini adalah langkah bertolak belakang dari pembangunan berkelanjutan yang beorientasi terhadap lingkungan. Biaya sosial dan biaya lingkungan yang ditimbulkan melalui diselaraskan permintaan energi fosil dengan subsidi pemerintah berdampak pada pendidikan pasar secara tidak langsung akan ketergantungan dan pemborosan terhadap energi fosil yang disebabkan karena harga murah , sekaligus pasar ikut berpartisipasi dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Dampak yang sangat sulit untuk diubah karena perliaku pasar yang telah terbiasa dimanjakan oleh sumber energi fosil yang tersubsidi. Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini beserta pemangku kebijakan harus berpartisipasi dengan lebih aktif untuk mendorong perubahan perilaku pasar. Namun negara tidak dapat memaksa untuk mengubah perilaku pasar dengan intervensi terhadap perilaku ekonomi secara masif, karena dampak yang ditimbulkan bersifat rentan dan sistemik terhadap pembangunan. Sebagai contoh intervensi masif yaitu rencana kenaikan tarif BBM (Bahan Bakar Minyak) april lalu yang meningkatkan tensi politik yang kemudian merambat pada berhentinya buruh bekerja, demonstrasi atau pemboikotan SPBU, yang justru membuat pembangunan terhambat dan hasilnya cenderung merugikan pertumbuhan ekonomi dan proteksi lingkungan. Oleh karena itu, strategi khususnya dalam mengintervensi pasar harus dikaji lebih dalam untuk mereduksi segala bentuk kerentanan konflik yang ditimbulkan oleh karenanya.

market based instrument, new economic instrument such as environmental taxes charges subsidies and tradable emission permits but also other policy tools that directly and inderctly structure the market place in ways that make commercial decisions are more compatible with public policy objectives(Eckersley, Markets, The States and Environment : Towards Integration, 1995)

Memberikan subsidi terhadap akselerasi ekonomi yang meskipun memberikan pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia memang tidak ada salahnya, namun hal itu membentuk perilaku pasar yang tidak akan memepertimbangkan perlindungan terhadap lingkungan. Dampak yang ditimbulkan oleh karena itu adalah biaya sosial seperti ketergantungan dan pemborosan juga biaya lingkungan yaitu kerusakan lingkungan akibat akselerasi ekonomi.Strategi yang paling reliabel bagi Indonesia adalah bagaimana negara mengintervensi keadaan pasar melalui pengkoreksian pasar demi merubah perilaku kebijakan ekonomi yang mengabaikan biaya lingkungan atau mengintegrasikan biaya ekologi melalui pajak dan membentuk paradigma lingkungan sebagai usaha bisnis . Secara sederhana, negara harus memainkan peran dominan dalam memipin dan memutarbalikan paradigma pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya memberikan subsidi demi akselarasi ekonomi semata, menjadi paradigma pemberian pajak lingkungan akibat akselerasi ekonomi. Dengan begitu, pemerintah Indonesia dapat memperkuat upaya proteksi lingkungan dengan pajak lingkungan tersebut misalnya adalah keuntungan bahwa Indonesia dapat menggunakan pajak lingkungan untuk mengembangkan teknologi lain (Research and Development) untuk membuat energi terbarukan yang ramah lingkungan juga tetap memperhatikan kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Mempromosikan pembangunan infrstruktur pembangunan berkelanjutan misalnya dengan mengurangi kemacetan dengan membentuk regulasi alternatif untuk pembangunan jalan, efisiensi energi dalam pembangunan gedung.Implikasi secara tidak langsung sebagai hasil yang akan didapatkan apabila strategi diatas dapat dijalankan adalah bahwa biaya sosial, biaya ekonomi dan biaya ekoologi dapat diselaraskan dengan arah pembangunan nasional negara kita. Peningkatan kualitas hidup masyrakat, dapat perlahan melepaskan diri dari ketergantungan energi global (ketidakpastian harga minyak dunia misalnya) dan pertumbuhan ekonomi yang memiliki ketahanan lingkungan akan Indonesia miliki sekaligus mengurangi kemiskinan dalam masyarakat.

IV. KESIMPULAN

Improving energy efficiency typically reduced energy costs and thereby increased rather than decrease energy useWilliam Stanley Jevons (York, 2006)

Pembangunan berkelanjutan, Green Economy dan energi adalah hal pokok yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, bentuk hubungan timbal balik diantara hal ini akan menimbulkan sebuah paradoks. Paradoks William Stanley Jevons menyatakan bahwa meskipun kita meningkatkan efisiensi pengurangan penggunaan energi, namun justru permintaan akan semakin besar. Sama halnya ketika Pembangunan negara ini akan berorientasi terhadap perlindungan lingkungan, maka pasar (masyarakat) meningkatkan permintaan mereka akan konsep Green Economy. Asumsi Jevons memang ada benarnya dalam merefleksikan pembangunan nasional kita, pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan menjadi bagian dari paradoks tersebut, meskipun proteksi lingkungan kita dan pertumbuhan ekonomi kita baik dalam konteks menyesuaikan dengan konsep Green Economy. Prospek pembangunan nasional Green Economy juga akan menjadi paradoks seperti yang dikemukakan paradoks Jevons. Oleh karena itu, strategi yang diperlukan bukan hanya ketika ingin membuat pembangunan nasional dengan tatanan Green Economy terlaksana, namun juga strategi untuk menanggulangi aftermath (hasil) dari penerapan pembangunan nasional dengan wacana Green Economy.

V. DAFTAR PUSTAKA

Eckersley, R. (2010). Green Theory. In M. K. Tim Dunne, International Relations Theories : Discipline and Diversity (p. 258). oxford: Oxford University Press.Eckersley, R. (1995). Markets, The States and Environment : Towards Integration. Melbourne: MACMILLAN EDUCATION AUSTRALIA PTY LTD.Onuf, N. (1997). Constructivism : A Users Manual. In K. B. Denemark, A Constructivist Manifesto. In Constituting International Political Economy (p. 7). Columbia: University of South Carolina Press.Wendt, A. (1992).Anarchy What The States Make Of It : The Social Construction of Power Politics.The MIT Press.Bappenas. (2009). Pembangunan Aparatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2009-2014. Jakarta: 2010.http://www.earthsummit2012.org/blog/item/272-towards-a-green-economy-leadership-for-the-clean-revolutionhttp://qushayalidrus.blogspot.com/2013/08/pembangunan-kota-berkelanjutan.htmlhttp://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-12-II-P3DI-Juni-2012-69.pdfhttp://iplbi.or.id/2013/06/kota-ekologinomis-sinergi-ekologi-dan-ekonomi-dalam-pembangunan-kota/http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57892/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=5