ekomorfologi belida

13
BAB II ISI A. Aspek biologi ikan belida Ikan belida tergolong ke dalam kelas Actinopterygii, Ordo Osteoglossiformes, famili Notopteridae, genus Chitala, spesies Chitala lopis (Nelson 1976; Kottelat et al. 1993; 1997), memiliki sinonim Notopterus chitala dengan nama internasional giant featherback. Di Indonesia ikan belida dikenal dengan nama belido (Sumatera) atau pipih (Kalimantan). Ciri-ciri morfologi ikan belida, berdasarkan Weber dan deBeaufort (1913); Kottelat et al. (1993; 1997), memiliki badan pipih dan memanjang dengan bagian punggung yang tampak membesar. Bagian perut berduri ganda dengan bagian ekor yang juga memanjang. Ukuran sisik kecil, berbentuk sikloid, pada samping badan membentuk gurat sisi. Bukaan mulut lebar, dibatasi rahang atas depan dan rahang atas. Rahang atas memanjang sampai bawah atau belakang mata. Sirip punggung kecil, terletak kira-kira direntang pertengahan sirip dubur yang bersatu dengan sirip ekor. Sirip perut yang bersatu pada dasarnya kecil (rudiment). Selaput insang (gill membrane) bersatu pada bagian dasarnya dan bebas dari isthmus dengan jari-jari selaput insang berjumlah 7-9. Saringan insang tidak banyak, kuat, ada serangkaian tonjolan pada bagian dalam lengkung insang yang pertama, struktur morfologis ikan belida. Pola warna terdiri dari 3 fase yaitu fase maculosus (150- 270 mm), seluruh badan ditutupi bintik bulat kecil. Banyak garis miring berbintik-bintik pada sirip dubur dan badan bagian belakang dan sebuah bintik hitam pada pangkal sirip badan (fase borneensis, 300-600 mm), tidak ada tanda-tanda

Upload: fendy-gazze

Post on 30-Nov-2015

185 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

struktur tubuh ikan belida untuk beradaptasi

TRANSCRIPT

Page 1: Ekomorfologi belida

BAB II

ISI

A. Aspek biologi ikan belida

Ikan belida tergolong ke dalam kelas Actinopterygii, Ordo Osteoglossiformes,

famili Notopteridae, genus Chitala, spesies Chitala lopis (Nelson 1976; Kottelat et al.

1993; 1997), memiliki sinonim Notopterus chitala dengan nama internasional giant

featherback. Di Indonesia ikan belida dikenal dengan nama belido (Sumatera) atau

pipih (Kalimantan).

Ciri-ciri morfologi ikan belida, berdasarkan Weber dan deBeaufort (1913);

Kottelat et al. (1993; 1997), memiliki badan pipih dan memanjang dengan bagian

punggung yang tampak membesar. Bagian perut berduri ganda dengan bagian ekor

yang juga memanjang. Ukuran sisik kecil, berbentuk sikloid, pada samping badan

membentuk gurat sisi. Bukaan mulut lebar, dibatasi rahang atas depan dan rahang atas.

Rahang atas memanjang sampai bawah atau belakang mata. Sirip punggung kecil,

terletak kira-kira direntang pertengahan sirip dubur yang bersatu dengan sirip ekor.

Sirip perut yang bersatu pada dasarnya kecil (rudiment). Selaput insang (gill

membrane) bersatu pada bagian dasarnya dan bebas dari isthmus dengan jari-jari

selaput insang berjumlah 7-9. Saringan insang tidak banyak, kuat, ada serangkaian

tonjolan pada bagian dalam lengkung insang yang pertama, struktur morfologis ikan

belida.

Pola warna terdiri dari 3 fase yaitu fase maculosus (150-270 mm), seluruh

badan ditutupi bintik bulat kecil. Banyak garis miring berbintik-bintik pada sirip dubur

dan badan bagian belakang dan sebuah bintik hitam pada pangkal sirip badan (fase

borneensis, 300-600 mm), tidak ada tanda-tanda lain kecuali bintik hitam pada

pangkal sirip dada (fase hypselonotus, > 600 mm); beberapa spesimen tidak memiliki

tanda-tanda pada badan (fase lopis, kisaran ukuran tidak dikenal) (Kottelat et al.

1993).

Ikan betina mempunyai bentuk tubuh yang pipih dengan pola pertumbuhan

allometrik, ikan betina lebih gemuk dibandingkan yang jantan (Sunarno, 2002). Untuk

pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, belida memangsa ikan, udang kecil, dan

serangga air yang ada di perairan tempat hidupnya. Oleh karena itu jenis ikan ini

termasuk ke dalam ikan karnivora atau pemakan daging. Aktivitasnya lebih banyak

pada malam hari dan pada siang hari lebih banyak bersembunyi di sekitar vegetasi.

Dengan demikian ikan belida termasuk ke dalam kelompok hewan nokturnal.

Belida akan memasuki usia dewasa setelah ukuran tubuh lebih dari 50 cm.

Fekunditas atau jumlah telur yang dihasilkan indukan betina dengan bobot 4-6 kg

Page 2: Ekomorfologi belida

berkisar antara 1.194-8.320 butir (Adjie & Utomo, 1994). Dalam setahun ikan belida

bisa memijah beberapa kali atau bersifat parsial. Tempat pemijahan biasanya di sekitar

ranting, daun, atau vegetasi yang ada di sekitarnya. Ikan jantan berjuang mulai dari

pembuatan sarang dari bahan ranting dan daun, dilanjutkan dengan menjaga telur

maupun anaknya.

B. Habitat

Belida merupakan ikan air tawar dari divisi primer, yaitu kelompok ikan yang

sama sekali tidak mempunyai toleransi terhadap salinitas (Darlington, 1957). Oleh

karena itu, jenis-jenis ikan dari divisi primer bisa digunakan sebagai petunjuk tentang

sejarah perkembangan bumi beserta sebaran faunanya (zoogeografi). Misalnya,

berdasarkan sebaran ikan belida yang bisa ditemukan di perairan wilayah Sumatera

dan Kalimantan maka bisa disimpulkan bahwa kedua pulau tersebut dulunya pernah

bersatu. Hal ini sejalan dengan pendapat Kottelat et al. (1993) bahwa pada jaman es

sekitar 12.000 tahun yang lalu daratan utama Asia dan Indonesia bagian barat

(Sumatera, Jawa dan Kalimantan) adalah menyatu, diantara Sumatera dan Kalimantan

terdapat sungai purba yaitu Sungai Sunda Raya. Bahkan bila dikaji lebih jauh bisa

diduga bahwa nenek moyang (ancient) ikan belida sudah ada sebelum benua Asia dan

Afrika terpisah. Habitat ikan belida pada perairan sungai, danau dan paparan banjir

dengan arus yang lambat sampai tenang. Berdasarkan bentuk tubuhnya (ekomorfologi)

yang pipih bisa diduga bahwa belida menyukai perairan yang terdapat vegetasi untuk

bersembunyi.

Ikan belida banyak ditemui di sungai yang banyak terdapat ranting atau kayu

dan perairan rawa banjiran yang berhutan (Adjie & Utomo, 1994). Ikan belida pada

siang hari biasa bersembunyi diantara vegetasi yang terdapat di habitatnya. Jenis ikan

ini sebenarnya relatif tehan terhadap kondisi perairan yang kurang menguntungkan

(rendah oksigen) karena bisa menghirup udara langsung dari udara.

Page 3: Ekomorfologi belida

C. Penyebaran

Penyebaran famili Notopteridae menurut Inuoe et al. (2009), meliputi

kawasan Afrika terutama bagian tengah (tropika), Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Kawasan Afrika meliputi negara-negara seperti; Kongo, Gabon, Zaire, Kamerun,

Republik Afrika Tengah, Sudan, Nigeria, Pantai Gading, Benin, Gambia, Cad dan

Sinegal. Kawasan Asia Selatan meliputi negara India, Banglades dan Pakistan.

Sedangkan kawasan Asia Tenggara meliputi negara-negara; Myanmar, Thailand

(Sungai Choupraya), Kamboja dan Laos (DAS Mekong), Malaysia dan Indonesia.

Penyebaran Notopteridae menurut Inoue et al. (2009). Penyebaran ikan belida

di wilayah Indonesia meliputi sungai-sungai besar beserta daerah aliran sungai, daerah

banjiran dan danau yang terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa.

Penyebaran jenis ikan tersebut diperkirakan terjadi pada zaman pleistosen, saat terjadi

susut laut akibat pendinginan suhu global. Pada saat itu Pulau Sumatera, Kalimantan

dan Jawa merupakan satu daratan dengan banyak sungai panjang mengalir berhulu di

Sumatera dan Jawa dengan muara di wilayah sebelah utara dan selatan Kalimantan.

D. Makanan

Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh

makanan yang tersedia, makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan

diserap oleh ikan sehingga dapat digunakan untuk menjalankan metabolisme

tubuhnya. Kebiasaan makanan (food habit) ikan penting untuk diketahui, karena

pengetahuan ini memberikan petunjuk tentang pakan dan selera organisme terhadap

makanan. Effendie (1997) mendefinisikan kebiasaan makanan sebagai kuantitas dan

kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain ukuran ikan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia,

habitat hidupnya, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran dan umur

ikan, periode harian mencari makanan dan jenis kompetitor (Hickley 1993 dalam

Satria dan Kartamihardja 2002).

Page 4: Ekomorfologi belida

Umumnya ikan memperlihatkan tingkat kesukaan terhadap jenis makanan

tertentu dan hal ini terlihat dari jenis makanan dominan yang ada dalam lambungnya

(Weatherley dan Gill 1987 dalam Effendie 1997). Natarajan dan Jhingran dalam

Effendie (1997) menyatakan bahwa untuk menentukan jenis organisme makanan yang

dimanfaatkan oleh ikan digunakan indeks bagian terbesar (Index of Preponderance),

yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik.

Nikolsky (1963) mengkategorikan makanan kedalam 4 kelompok, yaitu: (1) makanan

utama, makanan yang paling banyak ditemukan dalam saluran pencernaan; (2)

makanan pelengkap, makanan yang sering ditemukan dalam saluran pencernaan

dengan jumlah yang sedikit; (3) makanan tambahan, makanan yang jarang ditemukan

dalam saluran pencernaan dan jumlahnya sangat sedikit; dan (4) makanan pengganti,

makanan yang hanya dikonsumsi apabila makanan utama tidak tersedia.

Struktur anatomis pencernaan ikan berdasarkan jenis makanannya terlihat

pada Tabel 1. Ikan belida atau Chitala lopis oleh Welcomme (1979) dikelompokkan

ke dalam predator besar, pemakan ikan segala ukuran, udang dan kepiting. Adjie dan

Utomo (1994) menginformasikan komposisi makanan ikan belida di Lubuk Lampam

(Sungai Musi Provinsi Sumatera Selatan) terdiri dari: ikan kecil (50.02%) dan udang

(21.87%). Adjie dkk. (1999) melaporkan makanan ikan belida di Sungai Batanghari

Provinsi Jambi terdiri dari Ikan (50.02-78.94%), udang (3.61-21.87%), serangga

(0.09%), cacing (0.01%), gastropoda (0.01%), bahan tumbuhan (0.62-6.99%) dan

tidak teridentifikasi (0.62- 6.99%).

E. Pertumbuhan

Pengertian pertumbuhan secara umum adalah perubahan dimensi (panjang,

berat, volume, jumlah, dan ukuran) persatuan waktu baik individu maupun komunitas

(Effendie 2002). Pertumbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi

kesehatan individu, populasi, dan lingkungan (Moyle and Cech 2004). Pertumbuhan

ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang

mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan

penyakit (Effendie 1997), serta umur dan maturitas (Moyle and Cech 2004). Faktor

eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan

yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu,

oksigen terlarut, kadar amonia di perairan dan salinitas (Moyle and Cech 2004).

Pertumbuhan ikan direfleksikan melalui model pertumbuhan dan tipe

pertumbuhan. Beberapa metode perhitungan yang digunakan untuk menentukan

model pertumbuhan yaitu: Plot Gulland and Holt, Plot Ford-Walford, Metode

Chapman dan Plot Von Bertalanffy. Plot Gulland and Holt memiliki keunggulan nilai

Page 5: Ekomorfologi belida

Δt (interval waktu) tidak perlu menjadi konstanta. Keunggulan Plot Ford-Walford

adalah dapat mengestimasi nilai L∞ (Panjang Asimptote) dan K (koefisien

pertumbuhan) secara cepat, akan tetapi melalui metode yang dikembangkan oleh

Chapman, diketahui bahwa Plot Ford-Walford hanya bisa diaplikasikan jika observasi-

observasi yang dilakukan bersifat berpasangan karena nilai Δt menjadi suatu

konstanta. Metode yang dianggap lebih baik dari metode di atas adalah Plot Von

Bertalanffy karena dapat mengestimasi nilai K yang rasional, dengan catatan

digunakan suatu estimasi yang rasional dari L∞ (Sparre dan Venema 1999). Ikan

belida memiliki tipe pertumbuhan allometrik positif berdasarkan penelitian (Salam

and Sarif 1997) di Banglades.

F. Reproduksi

Reproduksi pada ikan berhubungan erat dengan fekunditas dan gonad sebagai

alat reproduksi seksualnya. Aspek biologi reproduksi menurut Nikolsky (1963), terdiri

dari rasio kelamin, frekuensi pemijahan, waktu pemijahan, ukuran ikan pertama kali

matang gonad dan tempat memijah. Ikan belida melakukan pemijahan di hutan rawa,

terbukti pada perairan tersebut banyak ikan yang sudah matang gonad (siap memijah)

(Utomo dan Asyari 1999), waktu pemijahannya diketahui terjadi pada bulan

November-Januari (Adjie dan Utomo 1994). Secara bertahap induk yang sudah

matang gonad beruaya dari sungai menuju daerah rawa banjiran, terutama hutan rawa

yang banyak ditumbuhi tanaman dengan substrat keras, seperti pohon-pohon yang

sudah mati sebagai tempat menempelkan telur.

Induk yang matang gonad adalah induk yang telah melakukan fase

pembentukan kuning telur (phase vitellogenesis) dan masuk ke fase dorman. Fase

pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning

telur (yolk) dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau

nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir,

sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut

fase istirahat (dorman). Menurut Woynarovich and Horvath (1980), bila rangsangan

diberikan pada saat ini akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, inti pecah

atau lebur, se!anjutnya terjadi ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi. Bila kondisi

lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak diberikan, telur yang dorman tersebut

akan mengalami degradasi atau gagal diovulasikan lalu diserap kembali oleh sel-sel

ovarium, telur yang demikian dikenal dengan oosit atresia.

Induk ikan belida menempelkan telurnya pada benda-benda yang berada 1.5-2

m, dibawah permukaan air, termasuk pada batang kayu baik yang masih hidup

maupun yang sudah mati (Adjie dan Utomo 1994). Batang kayu merupakan rumpon

Page 6: Ekomorfologi belida

bagi ikan kecil dan udang yang merupakan makanan utama ikan ini, sehingga pada

waktu melakukan pemijahan mudah mendapatkan makanan. Balon (1975) dalam

Welcomme (1979), menambahkan ikan belida termasuk kelompok ikan yang

membangun sarang dengan apa saja dan dimana saja, sejauh memenuhi strategi

reproduksinya. Ikan belida memiliki jumlah telur 260-6080 butir dengan diameter 0.15

– 3.76 mm di Sungai Batanghari Provinsi Jambi (Adjie dkk. 1999), 1194-8320 butir

telur dengan diameter telur 1.5-3.0 mm di Lubuk Lampam Provinsi Sumatera Selatan

(Adjie dan Utomo 1994) dan 1000 – 6000 butir telur di Kolam Patra Tani (Sunarno

dkk. 2003). Ukuran pertama kali ikan belida matang gonad adalah 40-50 cm (Sunarno

dkk. 2003).

G. Kualitas Perairan

Ikan belida membutuhkan kondisi lingkungan perairan untuk hidup, tumbuh

dan berkembangbiak. Kondisi lingkungan perairan yang dibutuhkan ikan belida

termasuk faktor fisika (suhu perairan, turbidity, kedalaman dan arus), kimia (oksigen

terlarut, pH, kesadahan dan amoniak) dan biologi perairan (riparian vegetasi).

Suhu perairan berpengaruh terhadap sintasan, reproduksi, pertumbuhan

organisme muda dan kompetisi (Krebs 1985). Bagi ikan yang hidup di perairan tawar,

perubahan suhu perairan pada musim penghujan memberikan tanda secara alamiah

untuk melakukan pemijahan, beruaya dan mencari makan. Menurut Wibowo dan

Sunarno (2006) suhu perairan yang sering dijumpai ikan belida berkisar antara 27–30

0C. Turbidity menggambarkan sifat optik air, turbidity yang tinggi dapat

mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernapasan, daya lihat

organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya di dalam air. Kecepatan

arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran, kedalaman, dan kelebaran dasar,

dinyatakan dengan satuan meter per detik (Odum 1963). Kedalaman perairan

dinyatakan dengan satuan meter, merupakan nilai variabel yang berkaitan langsung

dengan volume badan perairan.

Oksigen terlarut atau Disolved Oxigen (DO) merupakan gas O2 yang terlarut

dalam perairan (Jeffris and Mills 1996 in Effendi 2003). Konsentrasi oksigen terlarut

berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan

pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang

masuk kedalam air (Effendi 1997). Kandungan oksigen perairan yang sesuai untuk

ikan belida > 2 ppm (Wibowo dan Sunarno 2006).

Parameter pH air menunjukkan reaksi basa atau asam terhadap titk netral pH

7,0 (Schmittou 1991). Nilai pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia, pada

suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan ammonia yang tak terionisasi dan

Page 7: Ekomorfologi belida

bersifat toksik, dimana amonia yang tidak terionisasi lebih mudah diserap tubuh

organisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebbut dalam Effendi 1997).

Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar

7–8.5 (Effendi 2003). Ikan belida bisa hidup pada pH rendah maksimal pada pH 4

(Wibowo dan Sunarno 2006). Kristanto dan Subagja (2008), menduga terdapat

keterkaitan antara pH dan konduktivitas perairan dengan penempelan telur ikan belida.

Kesadahan adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau

dikenal dengan sebutan acid –neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di

dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Kesadahan berperan sebagai buffer

perairan terhadap perubahan pH yang drastis, kesadahan yang baik berkisar antara 40–

500 mg/L CaCO3 (Effendi 1997). Ikan belida beradaptasi pada kondisi perairan yang

memiliki kesadahan relatif rendah Adjie dkk. (1999).

H. Fluktuasi Asimetrik

Faktor lingkungan dapat menyebabkan perubahan struktur morfologis,

reproduksi dan kemampuan bertahan hidup ikan, sebagai mekanisme adaptasi

terhadap perubahan lingkungan (fenotipic plastisity) (Stearns 1983). Respon adaptif

yang dilakukan ikan terhadap lingkungan memiliki konsekuensi. Hal ini dapat terlihat

pada perbedaan bentuk, ukuran, jumlah dan ciri-ciri morfologi yang lain pada organ

tubuh yang berpasangan antara organ bagian kiri dan bagian kanan (Wilkins et al.

1995).

Perbedaan fenotip pada individu pada organ tubuh yang berpasangan dapat

menunjukkan fluktuasi asimetrik, yaitu adanya perbedaan antara karakter sisi kiri dan

sisi kanan yang menyebar secara normal dengan rata-rata yang mendekati nol sebagai

akibat dari ketidakmampuan individu untuk berkembang secara tepat dan normal (Van

Valen 1962).

Fluktuasi asimetri seringkali digunakan sebagai suatu ukuran stabilitas

perkembangan sebagai bentuk ekspresi gen, yakni kemampuan untuk mengatur

perkembangan dan menghasilkan target fenotipe meskipun ada gangguan lingkungan

(Waddington 1942; Van Valen 1962). Individu yang memiliki nilai fluktuasi asimetri

rendah memiliki keuntungan selektif dibandingkan dengan individu yang memiliki

nilai fluktuasi asimetri tinggi dan untuk itu nilai fluktuasi asimetri dipandang sebagai

bagian dari fitness (Jones 1987). Clarke (1995) melaporkan beberapa studi yang

mengungkapkan hubungan antara simetri individu dan komponen fitness seperti

kemampuan bertahan hidup, fekunditas, pertumbuhan dan kesuksesan kawin. Dalam

suatu kajian nilai fluktuasi asimetri dan fekunditas pada ikan brook stickleback (Culea

inconstans) ditemukan bahwa betina dengan perhitungan jari-jari lemah sirip dada

Page 8: Ekomorfologi belida

yang asimetrik menghasilkan lebih sedikit telur dibandingan betina yang memiliki

karakter simetrik (Hechter et al. 2000). Betina dengan jari-jari lemah sirip dada yang

simetrik memiliki 15% lebih banyak telur dalam sarang dibandingkan betina dengan

jumlah jari-jari lemah sirip dada yang asimetrik. Ovari betina simetri, memiliki rata-

rata lebih berat 6.5% dibandingkan ovari ikan yang asimetrik.

BAB. V

DAFTAR PUSTAKA

B.A. Whitton, Phylum Cyanophyta (Cyanobacteria), in: Jhon, D.M. B.A. Whitton,

A.J. Brook (Eds.), The freshwater alga flora of The British Isles: an

identification guide to freshwater and terestrial algae, Cambridge

University Press, Cambridge, 2002.

H.C. Bold, M.J. Wynne, Introduction to the algae structure and reproduction, 2nd ed.,

Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1985.

H.P Hutagalung, D. Setiapermana, S.H. Riyono (Eds.), Metode analisis air laut,

sedimen dan biota. Buku 2. Pusat Riset dan Pengembangan Oseanologi,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 1997.

L. Geitler, Cyanophyceae, Koeltz Scientific Books, Koenigstein, 1985.

M. Fakhrudin, Pendekatan ekohidrologi untuk pelestarian situ di Jabotabek. Gunawan

Pratama et.al 2000. Laporan teknik; Proyek riset, Pengembangan dan

pendayagunaan biota darat tahun 1999/2000. Pusat Riset & Pengembangan

Biologi – LIPI, Bogor, 2000.

M. Sachlan, Planktonologi, Universitas Diponegoro, Semarang, 1982.

M.M Watanabe, M. Kawachi, M. Hiroki, F. Kasai (Eds.), NIES-Collection. List of

strains. 8th ed., Microalgae and Protozoa. Microbial Culture Collection,

National Institute for Environmental Studies (NIES), Environmen Agency,

Japan, 2004.

M.M. Allen, Methods for cyanophyceae. in: J. R. Stein, (Eds.), Handbook of

phycological methods: culture methods and growth measurements,

Cambridge University Press, Cambridge, 1973.

N.B. Prihantini, Proceeding of Limnology National Seminar, Bogor, 2002.

Nofdianto, M. Badjoeri, Lukman, S.N. Satryo, Kondisi fisika-kimia beberapa situ di

sekitar Bogor, Jawa Barat. Dalam: F. Sulawesty, G.S. Haryani, H.

Wibowo, I.D.A. Sutapa, M. Fakhrudin, Nofdianto, T. Crisamadha, T.

Widiyanto (Eds.), Hasil-hasil riset Puslitbang Limnologi tahun 1998/1999.

Puslitbang Limnologi-Lembaga Ilmu.

Page 9: Ekomorfologi belida

P.R. Bell, Green plants their origin and diversity, Sioscorides press, Portland, 1992.

P.Sze, A biology of the algae, 3rd ed., WCB. McGraw-Hill, Boston 1998.