ekologi, relung pakan, dan strategi adaptasi kelelawar...

175
EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG KEBUMEN JAWA TENGAH FAHMA WIJAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: phungnhi

Post on 18-Aug-2018

252 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI

KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG

KEBUMEN JAWA TENGAH

FAHMA WIJAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi : Ekologi, Relung Pakan, dan

Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen, Jawa

Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2011

Fahma Wijayanti

NRP: G361060011

EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI

KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG

KEBUMEN JAWA TENGAH

FAHMA WIJAYANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Biologi Mayor Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Penguji pada Ujian Tertutp: Prof. Dr. Ani Mardistuti, MSc

(Departemen KSHE, Fakultas Kehutanan IPB)

: Prof. Wasmen Manalu, PhD

(Departemen Anatomi, Fisiologi, dan

Farmakologi FKH, IPB).

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Henry Bastaman MES.

(Deputi Kemeterian Negara Lingkungan Hidup

Bidang Pembinaan Sarana Teknik Lingkungan

Dan Peningkatan Kapasitas)

: Dr. Ir. Novianto Bambang Wawandono, MSi.

Direktur Konservasi Dan Keanekaragaman Hayati

Kementerian Kehutanan RI)

ABSTRACT

The existence of cave dwelling bats of karst area need to be conserved, because bats have important roles for the ecosystem inside the cave as well as outside the cave. The objectives of this research were to know the biodiversity of cave dwelling bats, to identify physical factors which influenced the preference roosting place, to determine the prey preference of cave dwelling bats, to observe structural and physiological adaptation of the cave dwelling bats and to propose the karst management strategy based on the conservation status of bats. This study was conducted from September 2008 to July 2010 in twelve caves in Gombong karst area, Central Java. The sample of the bats were picked up at the roosting place during the day. The physical and microclimate parameters were measured under the bat roosts, three times in February, June and October 2009. Stomach gut content was collected and dissolved in aquadest. The material of insect were sorted and identified under microscope and compare to the insects that were collected by light trap in bat foraging area. The polen were collected from the intestine of fruit bats. Blood was taken from the interfemoral vein of bats. Lungs removed from body and were made preparations for histology. The diameter of alveoli was observed under the microscope. Then the amount of erythrocyte was counted by using hemocytometer and hemoglobin content was measured using Sahli’s method. The data was analyzed by ANOVA, Principle Component Analysis (PCA), Redundancy Analysis (RDA), Canonical Correspondence Analysis (CCA), Hybrid Canonical Correspondence Analysis (HCCA) and multiple regression. The result showed: 1) Fifteen spesies (eleven spesies of Microchiroptera and four spesies of Megachiroptera) indicated known in this research. 2) The microclimate factors which influenced the preference roosting place were the sound intensity, the distance from the cave mouth, the temperature, the humidity and the light intensity. The insects in gut content of insectivorous bats belong to 10 orders, distributed into 29 families. Otherwise pollen in gut content of frugivorous bats belong to 9 families, distributed into 33 spesies of plant. The niche overlap index between spesies of bats that occupy in one cave was less than 30%. The diameter of alveoli significantly correlated with humidity, temperature and ammonia levels. The amount of erythrocyte increased by the increase of humidity, decrease in the temperature and the increase of ammonia level. This tendency also revealed in hemoglobin change. Gombong karst area proposed as a karst region class I based on Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MEM/2000

Key words: bats. Karst Gombong, roost preference, diet, adaptation, conservation.

 

 

 

RINGKASAN

FAHMA WIJAYANTI. Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen Jawa Tegah. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, HADI SUKADI ALIKODRA, dan IBNU MARYANTO

Persoalan yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst dapat menyebabkan ekosistem karst tidak lagi memberikan manfaat ekonomi dan fungsi ekologi. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya konservasi ekosistem karst. Hal ini hanya dapat dipenuhi jika pengetahuan yang mendasari kestabilan ekosistem karst ini dapat dipahami dengan baik. Penelitian ini menjawab beberapa aspek yang berkaitan dengan kelelawar penghuni gua di Karst Gombong. Aspek-aspek tersebut meliputi: biodiversitas dan struktur komunitas kelelawar gua; pola pemilihan sarang; relung pakan; serta adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar gua. Dari hasil penelitian tersebut dirancang strategi konservasi ekosistem gua, sehingga keberadaan kelelawar sebagai kunci penyedia energi ekosistem (key factor in cycle energy) dalam gua dan pemegang peran ekologis lainnya bagi ekosistem luar gua dapat dipertahankan.

Hasil penelusuran gua menunjukkan dari dua belas gua yang diteliti, sepuluh gua dihuni kelelawar, dua gua tidak dihuni kelelawar. Jenis-jenis kelelawar yang bersarang pada gua-gua tersebut terdiri atas empat jenis kelelawar Megachiroptera dan sebelas jenis kelelawar Microchiroptera. Hasil Redundancy Analysis (RDA) menunjukkan semakin panjang, tinggi, dan lebar lorong gua, semakin tinggi kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan kemerataan jenis kelelawar. Sebaliknya, jumlah pintu dan ventilasi gua tidak berkorelasi nyata. Gua dengan lorong sempit hanya dapat dihuni oleh jenis tertentu saja, yaitu jenis yang mampu malakukan manuver dengan baik. Sebaliknya, gua dengan lorong lebar, dapat dihuni kelelawar dengan kemampuan lebih beragam. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sevcik (2003) pada Plecotus auritus dan P. austriacus yang membuktian P. auritus lebih unggul mengeksploitasi habitat, karena lebih mampu melakukan manuver terbang. Semakin panjang, tinggi dan lebar lorong gua, semakin tinggi kelimpahan dan keanekaragaman jenis kelelawar yang dapat bersarang didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Maguran (1988) bahwa semakin luas habitat, semakin banyak jumlah dan jenis biota yang dapat hidup di dalamnya. Penelitian Schnitzler et al. (2003) membuktikan ketika terbang menuju lokasi sarang dan tempat pencarian makan, kelelawar cenderung menggunakan jalur yang sama. Hal ini menyebabkan jumlah pintu dan ventilasi gua tidak berpengaruh pada struktur komunitas kelelawar.

Hasil Canonical Component Analysis (CCA) menunjukkan lima parameter yang berpengaruh pada pemilihan sarang kelelawar berturut-turut dari yang paling kuat sampai yang paling lemah pengaruhnya adalah: intensitas suara, jarak dari pintu gua, suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya. Berikut adalah beberapa alasan mengapa faktor faktor tersebut berpengaruh. 1) Hasil penelitian Schnitzler et al. (2003) membuktikan bahwa di ruang tertutup kelelawar lebih sulit menganalisis gelombang pantul (ekolokasi). Oleh kerena itu, di ruang tertutup seperti di dalam gua, gangguan suara sedikit saja akan menyebabkan kelelawar gagal menganalisis gelombang pantul. 2) Kelelawar yang mampu terbang dengan

manuver yang baik cenderung memilih lokasi sarang pada jarak yang jauh dari lorong gua karena lebih aman dari gangguan manusia. Sebaliknya kelelawar yang tidak mampu melewati lorong gua yang panjang memilih sarang di lokasi yang dekat dari pintu gua untuk memudahkan kelelawar tersebut keluar atau masuk ke dalam sarang. 3) Kelelawar merupakan homoikiloterm (suhu tubuh konstan) yang mempunyai batas toleransi sempit pada suhu lingkungan. Batas toleransi tersebut berbeda antara satu jenis kelelawar dan jenis lainnya, sehingga kelelawar memilih sarang yang sesuai dengan batas toleransi tubuhnya. 4) Membran petagium (sayap) kelelawar tersusun atas lapisan kulit tipis yang sangat peka pada kekeringan. Hal ini menyebabkan kelelawar yang mempunyai membran petagium tipis memilih lokasi sarang yang lembap, sedangkan yang memiliki membran petagium tebal mampu bersarang di lokasi gua yang cenderung kering. 5) Megachiroptera cenderung menggunakan penglihatannya untuk berorientasi pada ruang. Oleh karena itu jenis-jenis kelelawar Megachiroptera cenderung memilih lokasi di dalam gua yang mempunyai intensitas cahaya tinggi. Sebaliknya, jenis-jenis Microchiroptera lebih menggunakan kemampuan ekolokasinya untuk berorientasi pada ruang sehingga tidak memerlukan cahaya. Berdasarkan faktor mikroklimat yang berpengaruh tersebut, terdapat lima kelompok kelelawar. Setiap kelompok memiliki pola pemilihan sarang yang spesifik.

Kelelawar insektivora di Karst Gombong memangsa 29 famili serangga yang termasuk ke dalam 10 ordo, sedangkan kelelawar frugivora di Karst Gombong memakan polen 33 species tumbuhan yang termasuk dalam sembilan famili. Berdasarkan pemilihan pakannya tersebut, kelelawar Microchiroptera berkelompok menjadi lima kelompok, masing masing kelompok memangsa serangga dengan karakteristik berbeda. Kelelawar Megachiroptera mengelompok menjadi tiga kelompok, masing masing kelompok memilih ukuran polen berbeda dan berasal dari bunga dengan tipe tertentu. Hasil penghitungan indeks kesamaan relung pakan menunjukkan kelelawar yang berasosiasi dalam satu gua yang sama memiliki nilai indeks kesamaan relung pakan kecil (< 30%). Hal ini membuktikan bahwa jenis-jenis yang berasosiasi tersebut tidak berkompetisi memperebutkan makanan. Hal ini menjawab pertanyaan, mengapa satu gua dapat dihuni oleh beberapa jenis kelelawar dengan jumlah populasi yang sangat tinggi.

Hasil penelusuran sarang kelelawar membuktikan beberapa jenis-jenis kelelawar mampu bertahan hidup dalam sarang dengan kondisi dingin, lembap, rendah oksigen, dan tinggi kadar amonia. Hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi hewan mamalia. Penelitian ini menunjukkan adanya adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar yang bersarang pada kondisi suhu rendah, lembap, dan kadar amonia tinggi, yaitu dengan diameter alveolus sempit, rasio jumlah eritrosit/bobot tubuh tinggi dan rasio kadar hemoglobin/bobot tubuh tinggi. Pada kondisi udara dingin, lembap dan tinggi kadar amonia kelelawar membutuhkan lebih banyak energi untuk menghangatkan tubuh dan memproduksi zat antibodi. Oleh karenanya, sel tubuh membutuhkan lebih banyak oksigen. Diameter alveolus yang menyempit diperlukan agar absorbsi oksigen oleh pembuluh darah efektif. Jumlah eritrosit dan hemoglobin yang tinggi diperlukan agar kebutuhan sel akan oksigen segera terpenuhi akibat meningkatnya laju respirasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Karst Gombong perlu dilindungi karena memiliki keunikan ekosistem, dihuni oleh spesies yang terancam punah,

memiliki kanekaragaman spesies yang tinggi, memiliki fungsi perlindungan hidrologi dan potensial untuk wisata alam. Upaya perlindungan di Karst Gombong ini dapat dicapai dengan strategi konservasi. Konservasi sumber daya alam tersebut akan berhasil bila dilakukan atas dasar hasil penelitian yang akurat. Agar dapat dijadikan pedoman bagi semua unsur yang terlibat dalam pemanfaatan kawasan Karst Gombong, maka perlu ditetapkan status kawasan Karst Gombong sesuai dengan hasil penelitian di lapangan dan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan temuan pada penelitian ini kawasan Karst Gombong dapat diusulkan sebagai Kawasan karst kelas I sesuai dengan Kepmen ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 pasal 11. Hal ini karena kawasan Karst Gombong terbukti merupakan penyimpan air bawah tanah, merupakan ekosistem unik, habitat satwa khas dan satwa terancam punah, serta berpotensi wisata. Gua Macan, Gua Celeng, Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah dan Gua Petruk berfungsi menyimpan air bawah tanah, memiliki dekorasi indah/speleotom aktif, habitat fauna khas/ unik, dan habitat fauna terancam punah. Oleh karenanya untuk mempertahankan fungsi ekologis gua dan komunitas biota yang dilindungi, ke-delapan gua tersebut perlu ditetapkan sebagai gua konservasi dan ditetapkan sebagai zona inti/zona perlindungan. Zona inti merupakan zona atau kawasan yang dilindungi dan kegiatan manusia dikendalikan secara ketat. Gua-gua yang ditetapkan sebagai zona inti tersebut dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata dengan persyaratan khusus, yaitu dikelola sesuai dengan kebutuhan anatomi dan fisiologis kelelawar yang menghuni di dalamnya. Untuk menjamin kecukupan pakan kelelawar dan juga untuk mempertahankan mikroklimat di dalam gua kawasan hutan dan semak sekitar lima kilometer di luar zona inti perlu diusulkan sebagai zona penyangga/zona pemanfaatan tradisional. Pada zona penyangga kegiatan manusia diperkenankan tetapi, dengan pengendalian dan memenuhi ciri berkelanjutan. Kata kunci : Kelelawar, gua karst, relung pakan, adaptasi, strategi konservasi.

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar

Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen, Jawa Tengah Nama : Fahma Wijayanti NRP : G361060011 Program Studi : Biologi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MSc Prof. Ris. Dr. Ibnu Maryanto Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian : 24 Mei 2011 Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Maret 1969 sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara, dari pasangan Prof. Dr. Hadjid Harna Widagdo dan Sudarsini. Menikah pada tahun 1993 dengan Nur Muhammad Busro, SE dan dikaruniai tiga orang putri : Iftina Amalia (16 tahun), Adelia Khairunnisa (10 tahun), dan Alysa Ilmi Aulia (4 tahun). Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto lulus tahun 1993. Pendidikan Pascasarjana ditempuh di Program Studi Biologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, lulus tahun 2001. Kesempatan melanjutkan program doktor pada Program Studi Biologi IPB diperoleh pada tahun 2006 dengan bantuan biaya pendidikan Program Doktor dari Departemen Agama RI. Penulis pertama kali bekerja sebagai dosen pada Universitas Muhammadiayah Hamka (UHAMKA) pada tahun 1994 dan pernah menjabat sebagai ketua Program Studi Pendidikan Biologi pada tahun 1999 s/d 2003. Pada tahun 2002 penulis diangkat sebagai dosen PNS di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pada tahun 2004 s/d 2006 pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Biologi.

Selama mengikuti program S3 di IPB karya ilmiah berjudul Komunitas fauna Gua Petruk dan Gua Jatijajar telah disajikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Biologi Indonesia di Malang pada tahun 2009, dan karya ilmiah berjudul Biodiversity and Pattern of Roosting Preference of Cave Dwelling Bats: Case Study at Several Caves in Gombong Karst Area, Kebumen, Central Java telah disajikan pada International 2nd South East Asian Bats Conference pada tanggal 6 Juni 2011 di Bogor. Tiga artikel telah diterbitkan yaitu: 1) Pengaruh Fisik Gua Pada Struktur Komunitas Kelelawar di Jurnal Biologi Lingkungan Volume 4 Nomor 1, April 2010; 2) Keanekaragaman Jenis Kelelawar serta Kondisi Mikroklimat Habitatnya pada Beberapa Gua di Kabupaten Kebumen di Jurnal Biologi Lingkungan Volume 4 Nomor 2, Oktober 2010; dan 3) Eritrosit dan Hemoglobin pada Kelelawar Gua di Kawasan Karst Gombong Kebumen Jawa Tengah di Jurnal Biologi Indonesia Volume 7 Nomor 11, Juni 2011. Sementara satu karya ilmiah lain sedang dalam proses penerbitan berjudul The Diet of Insectivorous Cave Dwelling Bats Based on Stomach Content di Journal of Tropical Biology yang akan terbit pada 2012.

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat dan hidayah Allah yang maha pemurah, penyusunan disertasi berjudul Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen Jawa Tengah ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA selaku ketua komisi pembimbing, Prof.Dr. H.S.Alikodra MSc, dan Prof. Ris. Dr. Ibnu Maryanto, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, petunjuk, dan motivasi sejak penyusunan proposal penelitian sampai pada penyempurnaan disertasi ini.

Banyak pihak telah ikut dalam pelaksanaan penelitian ini dan membantu penyelesaian disertasi baik di lapangan (Karst Gombong), di Jakarta, maupun di Bogor. Segala bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun materil, dengan segala kerendahan hati penulis berkenan mengucapkan terima kasih. Kiranya segala bantuan tersebut tercatat sebagai ibadah, dan mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. Dalam melaksanakan penelitian maupun penulisan disertasi ini, apabila terdapat tingkah laku, tutur kata, sikap, maupun perbuatan penulis yang tidak berkenan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini mungkin masih mengandung kekurangan atau kesalahan, meskipun penulis sudah berusaha sedimikian rupa untuk menyempurnakannya. Dengan berlapang dada kepada semua pihak yang mengetahui kekurangan atau kesalahan dalam disertasi ini, penulis sangat mengharapkan, menghormati, dan menghargai segala saran, kritikan, dan masukan-masukan untuk penyempurnaannya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Bogor, Mei 2011 Penulis

ix 

 

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv

PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

Latar Belakang ....................................................................................... 1 Rumusan Masalah .................................................................................. 3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 4 Hipotesis Penelitian ............................................................................... 4 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................... 5

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 7

BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAAN SARANG KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH ....................................................................... 30

Abstract .................................................................................................. 30 Pendahuluan ........................................................................................... 31 Bahan dan Metode ................................................................................. 32 Hasil ....................................................................................................... 39 Pembahasan ........................................................................................... 48 Kesimpulan ............................................................................................ 55 Saran ...................................................................................................... 56

ANALISIS RELUNG PAKAN KELELAWAR INSEKTIVORA (Subordo: Microchiroptera) DAN KELELAWAR FRUGIVORA (Subordo: Megachiroptera) YANG BERSARANG DI GUA-GUA KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH ......................... 57

Abstract .................................................................................................. 57 Pendahuluan ........................................................................................... 57 Bahan dan Metode ................................................................................. 59 Hasil ....................................................................................................... 62 Pembahasan ........................................................................................... 77 Kesimpulan ............................................................................................ 84 Saran ...................................................................................................... 84

ADAPTASI STRUKTURAL DAN FISIOLOGI PERNAPASAN KELELAWAR PENGHUNI GUA: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH .......... 85

Abstract .................................................................................................. 85 Pendahuluan ........................................................................................... 85 Bahan dan Metode ................................................................................. 88

 

Hasil ....................................................................................................... 91 Pembahasan ........................................................................................... 98 Kesimpulan ............................................................................................ 103 Saran ...................................................................................................... 103

PEMBAHASAN UMUM ............................................................................... 104 Pentingnya Upaya Konservasi bagi Ekosistem Karts Gombong ........... 104 Perhatian Pemerintah terhadap Ekosistem Karts Gombong .................. 107 Usulan Strategi Konservasi Ekosistem Karts Gombong ....................... 109

KESIMPULAN ............................................................................................... 116

SARAN …………………………………………………………………… ... 116

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 117

LAMPIRAN .................................................................................................... 124

xi 

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kondisi fisik gua dan struktur komunitas kelelawar ............................. 40

2. Jenis dan kelimpahan kelelawar pada gua-gua yang dihuni kelelawar. . 41      

3. Struktur komunitas kelelawar di setiap gua ........................................... 42

4. Hasil pengukuran mikroklimat sarang kelelawar .................................. 45

5. Urutan parameter fisik mikroklimat yang mempengaruhi pemilihan sarang kelelawar .................................................................................... 46

6. Pengelompokan kelelawar berdasarkan pola pemilihan sarang ............ 47

7. Hasil analisis isi perut kelelawar Microchiroptera ................................. 63

8. Karakteristik serangga pakan: bobot tubuh, panjang tubuh (berdasarkan serangga pembanding) dan kekerasan eksoskeleton (berdasarkan Aguirre et al. 2003) ........................................................... 64

9. Nilai kesamaan relung pakan (Morsita index) antarjenis kelelawar pada semua gua ..................................................................................... 67

10. Nilai kesamaan relung pakan (niche overlap) dan nilai uji chi square antarjenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua yang sama .......... 68

11. Persentase polen pada saluran pencernaan tiap jenis kelelawar ............ 70

12. Jenis tanaman berdasarkan tipe bunga .................................................. 73

13. Jenis tanaman berdasarkan ukuran polen .............................................. 74

14. Nilai kesamaan relung pakan dan uji chi square antarjenis kelelawar Megachiroptera ...................................................................................... 77

15. Hasil uji korelasi Spearman hubungan antara diameter alveolus, jumlah eritrosit, dan kadar hemoglobin dengan kelembapan, suhu, kadar oksigen, dan kadar amonia ............................................................ 92

16. Hasil pengukuran mikroklimat sarang, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan diameter alveolus kelelawar ........................................ 93

xii 

 

17. Hasil uji Tukey perbandingan diameter alveolus antarkoloni kelelawar 94

18. Hasil uji Tukey perbedaan rasio jumlah eritrosit per gram bobot badan antarkoloni kelelawar ............................................................................ 95

19. Hasil uji Tukey perbedaan rasio kadar hemoglobin per gram bobot badan antarkoloni kelelawar ................................................................... 97

20. Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1 ( IUCN 2001) ........................................................................................ 104

21. Pedoman pengelolaan gua berdasarkan identifikasi fungsi gua ............ 108

22. Matriks kondisi fisik dan biota di gua-gua Karts Gombong .................. 111

23. Usulan pemanfaatan ruang gua berdasarkan jenis kelelawar yang bersarang dan prasyarat ekofisiologi yang dibutuhkan .......................... 112

xiii 

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema kerangka pemikiran ................................................................... 6

2. Formasi awal terbentuknya karst ........................................................... 8

3. Geomorfologi karst ................................................................................. 10

4. Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar ....................................... 11

5. Suplai energi ke dalam gua ................................................................... 13

6. Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia ....................................... 14

7. Struktur rangka kelelawar ....................................................................... 16

8. Organ pernapasan mamalia .................................................................... 25

9. Alveolus dan kapiler darah tempat difusi oksigen dan karbon dioksida 26

10. Struktur kimia hemoglobin ................................................................... 27

11. Peta citra satelit LANDSAT Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah ............................................................................................ 32

12. Alat pemetaan roosting kelelawar dan pengukuran mikroklimat gua ... 33

13. Pemetaan gua dengan metode foreward ................................................ 35

14. Pengukuran kadar amonia udara ............................................................ 36

15. Metode penghitungan populasi kelelawar pada tiap sarang .................... 36

16. Pengambilan sampel kelelawar ............................................................... 37

17. Jenis-jenis kelelawar yang ditemukan pada setiap gua ......................... 41

18. Redundancy Analysis (RDA) hubungan kelimpahan (N), kekayaan jenis (S), keanekaragaman jenis (H), dan kemerataan jenis (E) kelelawar dengan panjang lorong gua (PG), lebar lorong gua (LG), tinggi lorong gua (TG), jumlah pintu gua (P), dan jumlah ventilasi gua (V) .......................................................................................................... 43

19. Grafik analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) jenis kelelawar berdasarkan kondisi fisik mikroklimat sarang ........................ 47

xiv 

 

20. Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar berdasarkan serangga pakannya ............................................................. 66

21. Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar berdasarkan polen yang dimakan ......................................................... 71

22. Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA) pemilihan pakan jenis kelelawar Frugivora berdasarkan bentuk mahkota bunga ............. 75

23. Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA) pemilihan pakan jenis kelelawar Frugivora berdasarkan ukuran polen ............................. 75

24. Proses pembedahan dan perendaman paru-paru dalam laritan Bouin .... 90

25. Patung deorama cerita pewayangan Rama dan Shinta di lorong Gua Jatijajar ................................................................................................... 106

26. Usulan zonasi kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen .............. 115

xv 

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Gambar jenis-jenis kelelawar penghuni gua Karst Gombong................. 124

2. Peta sebaran sarang kelelawar di gua-gua Karst Gombong ................... 128

3. Serangga pakan kelelawar insektivora/Microchiroptera ....................... 140

4. Polen tumbuhan sumber pakan kelelawar ............................................... 143

5. Gambar penampang melintang sayatan histologi alveolus kelelawar ..... 148

6. Nilai loading factor komponen Principle Component Analysis  (PCA) jenis kelelawar berdasrkan jenis serangga pakannya dengan tiga komponen utama .................................................................................... 152

7 Nilai loading factor komponen Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar berdasarkan polen tumbuhan pakannya ......................... 153

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu

bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem

karst adalah kesatuan komunitas mahluk hidup dengan berbagai faktor

lingkungan yang terdapat pada suatu kawasan dengan batuan dasar berupa batu

gamping atau kapur. Ciri khas kawasan karst adalah adanya celah sinkholes

(sarang air), sungai bawah tanah, dan gua (Samodra 2006). Celah sinkholes dan

sungai bawah tanah pada ekosistem karst dapat menyimpan banyak air, sehingga

ekosistem karst berfungsi sebagai reservoar air (Vermeulen & Whitten 1999).

Selain itu, ekosistem karst juga berfungsi sebagai habitat biota khas gua karena

kondisi unik gua karst yang hanya dapat dihuni oleh fauna tertentu saja

(Epsinasa & Vuong 2008).

Menurut BAPPENAS (2003), terdapat sekitar 15.4 juta hektar kawasan

karst di wilayah Indonesia atau sekitar 10% dari seluruh luas daratan Indonesia.

Selama ini, pemerintah dan masyarakat memanfaatkan ekosistem karst tersebut

sebagai sumber pendapatan, di antaranya untuk kegiatan pertambangan dan obyek

wisata. Namun, pemanfaatan dua sektor ini belum didukung oleh dasar ilmu

pengetahuan (technopreunership) yang kuat, sehingga pemanfaatannya sering kali

menimbulkan persoalan. Menurut Ko (1999), persoalaan utama yang timbul

akibat pemanfaatan ekosistem karst adalah : 1) Adanya perubahan bentang alam

(landscape) dan struktur geologi karst akibat penambangan batu gamping; 2)

Menurunnya debit air bawah tanah akibat berkurangnya porositas batuan karst;

dan 3) Hilangnya keanekaragaman biota khas gua, akibat habitatnya rusak atau

terganggu.

Persoalan yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst tersebut dapat

menyebabkan ekosistem karst tidak lagi memberikan manfaat ekonomi dan

fungsi ekologi. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya konservasi

ekosistem karst. Hal ini hanya dapat dipenuhi jika pengetahuan yang mendasari

kestabilan ekosistem karst ini dapat dipahami dengan baik.

2

Penelitian untuk mendukung pemanfaatan ekosistem karst secara lestari

masih sangat sedikit. Selain itu, beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di

kawasan karst di Indonesia terutama hanya terfokus pada struktur geologi karst

saja. Penelitian mengenai komunitas biologi belum banyak dilakukan, padahal

komunitas biologi memegang peran penting dalam keseimbangan ekosistem karst.

Atas dasar alasan tersebut, penelitian mengenai komunitas biologi pada ekosistem

karst mutlak diperlukan.

Salah satu komunitas biologi yang berperan penting dalam ekosistem

karst adalah fauna troglozene, yaitu fauna yang bersarang di dalam gua, tetapi

mencari makan di luar gua (Epsinasa & Vuong 2008). Menurut Whitten et al.

(1999), hewan troglozene utama pada gua-gua karst di Indonesia adalah

kelelawar. Sebagai hewan troglozene, kelelawar mensuplai energi ke ekosistem

gua dengan guano (feses kelelawar) dan bangkainya. Tanpa kehadiran kelelawar,

aliran energi ke dalam ekosistem gua akan terhenti dan keanekaragaman biota

gua akan hilang.

Selain berperan penting dalam kestabilan ekosistem gua, kelelawar juga

memegang fungsi ekologi penting bagi ekosistem luar gua. Peran kelelawar bagi

ekosistem luar gua adalah sebagai pemencar biji, penyerbuk berbagai jenis

tumbuhan dan pengendali/predator serangga hama tanaman. Penelitian Tan et al.

(1998) membuktikan kelelawar Cynopterus brachyotis (Subordo:

Megachiroptera) di Bangi Malaysia memakan buah dan menyebarkan biji 17

famili tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan. Penelitian Razakarivony et al.

(2005) di Malagasy membuktikan beberapa kelelawar subordo Microchiroptera

yang bersarang di gua (Hipposideros commersoni, Miniopterus manavi dan

Myotis goudoti) memakan serangga ordo Isoptera, Hymenoptera, Cooleoptera,

Lepidoptera, Orthoptera, Hemiptera, dan Homoptera. Anggota ordo serangga

tersebut tercatat sebagai serangga hama tanaman. Oleh sebab itu, hilangnya

komunitas kelelawar di dalam gua karst tidak hanya dapat menghancurkan

ekosistem dalam gua, tetapi juga dapat mempengaruhi ekosistem luar gua.

Potensi ekonomi ekosistem karst menyebabkan eksploitasi ekosistem

karst tidak dapat dihindari. Akibat eksploitasi untuk tujuan ekonomi ini,

ekosistem karst menanggung risiko yang cukup tinggi, salah satunya adalah

3

sarang kelelawar di gua yang telah dipertahankan dari generasi ke generasi tidak

lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini karena kondisi fisik gua telah

berubah, menjadi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kelelawar. Oleh karena itu,

agar keberadaan kelelawar di gua dapat dipertahankan, diperlukan informasi yang

akurat mengenai segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan kelelawar gua.

Penelitian ini akan menjawab beberapa aspek yang berkaitan dengan

kelelawar penghuni gua. Aspek-aspek tersebut meliputi biodiversitas dan struktur

komunitas kelelawar gua, pola pemilihan sarang, relung pakan, serta adaptasi

struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar gua. Dari hasil penelitian

tersebut dirancang strategi konservasi ekosistem gua, sehingga keberadaan

kelelawar sebagai kunci penyedia energi ekosistem (key factor in cycle energy)

dalam gua dan pemegang peran ekologis lainnya bagi ekosistem luar gua dapat

dipertahankan.

Rumusan Masalah

Ekosistem karst berperan penting sebagai reservoar air dan habitat fauna

khas gua (Samodra 2006; Epsinasa & Vuong 2008). Akibat eksploitasi dan

pemanfaatan gua untuk kepentingan ekonomi yang kurang berwawasan

lingkungan, keberadaan dan peran ekosistem karst menjadi terancam. Salah satu

ancaman dari pemanfaatan ekosistem gua adalah rusaknya struktur gua (Ko

1999). Di samping permasalahan struktur gua, terdapat permasalahan lain yang

tidak kalah pentingnya akibat pemanfaatan gua. Permasalahan tersebut adalah

permasalahan komunitas biologi. Eksploitasi gua dengan kegiatan pertambangan

dan pengambilan guano sudah pasti merusak fisik gua dan mengancam komunitas

fauna gua. Demikian pula dengan pemanfaatan gua karst sebagai objek wisata.

Walaupun secara fisik tidak merusak struktur gua, kedatangan pengunjung dan

fasilitas wisata yang dibangun dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan

fauna gua. Salah satu fauna gua yang terancam akibat pemanfaatan gua tersebut

adalah kelelawar. Untuk meminimalisir dampak pemanfaatan gua karst pada

komunitas kelelawar, diperlukan penelitian mengenai ekologi, relung pakan,

strategi adaptasi dan strategi konservasinya. Luaran penelitian ini adalah 1)

biodiversitas kelelawar gua, 2) pola pemilihan sarang kelelawar gua, 3) kesamaan

relung pakan kelelawar gua, 4) strategi adaptasi struktural dan fisilogi pernapasan

4

kelelawar gua, dan 5) strategi konservasi ekosistem Karst Gombong. Apabila

luaran di atas berhasil dicapai dengan baik, maka dapat dibuat pola pemanfaatan

gua yang tepat, yang dapat mempertahankan komunitas kelelawar dan

ekosistemnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengkaji biodiversitas kelelawar penghuni gua berdasarkan faktor-faktor

fisik gua di beberapa gua Karst Gombong.

b. Mengidentifikasi faktor mikroklimat gua yang berpengaruh pada pemilihan

sarang kelelawar gua.

c. Mengidentifikasi pakan kelelawar gua dan menentukan kesamaan relung

(niche overlap) pakan kelelawar yang berasosiasi dalam satu gua yang

sama.

d. Mengkaji adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan kelelawar yang

bersarang di gua-gua Karst Gombong.

e. Merancang strategi konservasi ekosistem Karst Gombong.

Hipotesis penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah :

a. Keanekaragaman, kelimpahan, dan kemerataan jenis kelelawar dipengaruhi

secara nyata oleh panjang lorong, lebar lorong, tinggi lorong, serta jumlah

pintu, dan jumlah ventilasi gua.

b. Pola pemilihan sarang kelelawar gua dipengaruhi oleh jarak dari mulut

gua, tinggi atap gua, suhu, kelembapan udara, intensitas cahaya, kecepatan

angin, intensitas suara, kadar oksigen, dan kadar amonia di sekitar sarang.

c. Asosiasi bersarang dalam satu gua oleh beberapa jenis kelelawar dapat

dilakukan oleh jenis-jenis kelelawar yang memiliki indeks kesamaan relung

pakan yang kecil (< 50%).

d. Adaptasi kelelawar terhadap kondisi ruang gua yang dingin, lembap, rendah

oksigen, dan kadar amonia tinggi menentukan struktur dan fisiologi organ

pernapasan, yaitu diameter alveolus sempit (< 100µm), rasio jumlah

5

eritrosit/ bobot badan tinggi ( > 0.3 juta/ml /gr bobot badan) dan rasio kadar

hemoglobin/bobot badan tinggi ( > 0.9 g/ml /gr bobot badan).

Ruang Lingkup Penelitian

Secara sistematik, ruang lingkup penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Namun, tahapan penelitian dilakukan secara bertahap mulai dari penelitian

tentang biodiversitas kelelawar, hingga strategi konservasi ekosistem karst

dilakukan secara rinci melalui beberapa topik penelitian sebagai berikut :

Penelitian 1 : Biodiversitas dan pola pemilihan sarang kelelawar penghuni gua:

Studi kasus di gua-gua Karst Gombong Kabupaten Kebumen

Jawa Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan a, b, dan e.

Penelitian 2 : Analisis relung pakan kelelawar insectivora ( Subordo

Microchiroptera) dan kelelawar frugivora (Subordo:

Megachiroptera) yang bersarang di Gua Karst Gombong.

Penelitian ini untuk mencapai tujuan c dan e.

Penelitian 3 : Adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan kelelawar penghuni

gua di Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa

Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan d dan e.

Penelitian 4 : Strategi konservasi ekosistem gua Karst Gombong. Penelitian ini

untuk mencapai tujuan e dan tertuang dalam pembahasan umum.

6

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran

PERAN DAN FUNGSI KAWASAN KARST DI PANTAI SELATAN JAWA - Sebagai reservoar air terutama untuk wilayah Jawa bagian selatan - Sebagai habitat biota khas gua

PERMASALAHAN STRUKTUR GUA KARST: 1. Pemanfaatan gua sebagai tambang batu gamping dan guano

PERMASALAHAN KOMUNITAS BIOLOGI: 1. Kurangnya informasi fauna gua

karst 2. Pemanfaatan gua karst yang

tidak lestari

ANCAMAN BAGI KOMUNITAS FAUNA GUA

STATUS FAUNA GUA DAN SARANGNYA - Keanekaragaman dan struktur

komunitas kelelawar gua - Pola pemilihan sarang

kelelawar

1. Karakteristik gua sebagai sarang kelelawar 2. Pola pemilihan sarang kelelawar 3. Pola asosiasi dalam komunitas (Sharing resources) 4. Strategi adaptasi kelelawar gua

STRATEGI ADAPTASI FAUNA GUA - Pemilihan relung pakan - Adaptasi struktur organ

pernapasan - Adaptasi fisiologi pernapasan

Strategi konservasi kelelawar gua Action plan yang ramah lingkungan : - Pemanfaatan berdasarkan persyaratan

- Pemilihan gua sebagai objek Pertambangan atau objek ekotourisme - Zonasi kawasan karst

7

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Karst

Karstifikasi

Kata karst berasal dari bahasa Yugoslavia dan diperkenalkan oleh Cvijic

seorang geolog asal Jerman pada tahun 1850. Kata karst tersebut mengacu pada

kawasan batu gamping di Kota Trieste, Slovenia, Yugoslavia (Wirawan 2005).

Sampai saat ini, kata karst telah digunakan secara internasional dan telah diserap

secara utuh sebagai kata bahasa Indonesia. Salah satu definisi karst yang

dikemukakan oleh ahli geologi adalah bentang alam (landscape) pada lempeng

batuan gamping yang dibentuk oleh pelarutan batuan gamping. Pelarutan batu

gamping tersebut menghasilkan bentukan karst dengan ciri celah sinkhole

(lubang lari air), sungai bawah tanah, dan gua (Hamilton & Smith 2006;

Samodra 2006).

Proses terbentuknya karst (karstifikasi) berlangsung selama jutaan tahun

melalui peristiwa yang melibatkan faktor-faktor geologi, fisika, kimia, dan

biologi. Karstifikasi diawali dengan pergerakan lempeng bumi yang bersifat

dinamis. Pergerakan lempeng bumi tersebut menyebabkan lempeng saling

bertabrakan dan menghasilkan gaya tektonik yang mendorong sebagian lempeng

ke atas. Peristiwa ini menyebabkan sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan

yang mengandung kapur (kalsium karbonat) terangkat dari dasar laut ke

permukaan (Gimes 2001). Menurut Yunqiu et al. (2006) biota laut tersebut

antara lain, koral (Pontes, Neandrina, Acropora, Siderastrea, Ginoid), Briozoa,

ganggang (Halimeda, Lithothamniam, Penicillus, Acialaria, Neomen),

Foraminifera, dan Moluska. Peristiwa yang disebabkan oleh gaya tektonik ini

menghasilkan deretan bukit kapur/gamping di permukaan laut. Gaya-gaya

tektonik tersebut dapat menyebabkan terjadinya patahan dan retakan yang saling

berasosiasi. Lempeng batuan yang terdeformasi oleh gaya-gaya tektonik ini

merupakan area yang sangat potensial untuk masuknya aliran air dan

terbentuknya perangkap-perangkap air (Eberhard 2006). Formasi awal

terbentuknya karst tersaji pada Gambar 2.

8

Gambar 2 Formasi awal terbentuknya karst (Sumber: Subterra 2004)

Setelah proses yang disebabkan oleh gaya tektonik, peristiwa selanjutnya

adalah pelarutan batuan karbonat oleh asam lemah. Reaksi karbon dioksida

(CO2) di udara dengan air hujan (H20) menghasilkan H2CO3 yang bersifat asam

lemah. Larutan tersebut mengalir melalui aliran air permukaan (run off) dan

akan melarutkan batu gamping sehingga terbentuk celah. Lebih rinci Samodra

(2006) menjelaskan reaksi kimia pelarutan batu gamping oleh asam lemah adalah

sebagai berikut :

H2O + CO2 H2CO3

H2CO3 HCO3 + H+

HCO3 + CaO CaCO3 + H2O

CaCO3 + H2O + CO2 CaH2C2O6

Celah yang dihasilkan oleh pelarutan tersebut semakin besar dari waktu ke waktu

sampai membentuk patahan dan rongga yang disebut karen (patahan), sinkhole

(lubang lari air), collapse sink/doline (rongga), dan gua (Gimes 2001). Gaya

tektonik yang terjadi pada masa berikutnya menyebabkan rongga dan gua saling

berasosiasi satu sama lain membentuk sistem perguaan dengan lorong yang

panjang (Samodra 2006). Persyaratan yang harus dipenuhi supaya lempeng

karen

9

batu gamping dapat membentuk morfologi karst menurut Hamilton & Smith

(2006) adalah : 1) lempeng batuan gamping mempunyai ketebalan yang cukup,

2) berada di wilayah dengan curah hujan tinggi, 3) batuan gamping banyak

mengandung celah atau rongga, 4) berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan

lingkungan di sekitarnya.

Geomorfologi karst

Ahli geologi membagi geomorfologi karst menjadi karst luar atau exokarst

dan karst dalam atau endokarst (gua). Exokarst/epikarst dicirikan dengan: 1)

adanya bukit-bukit kapur berbentuk kerucut atau kubah, 2) permukaan kasar

berlubang-lubang membentuk dolina (cekungan), dan 3) adanya endapan

sedimen lempung berwarna merah hasil pelapukan batu gamping (Samodra

2006). Selain itu menurut Roemantyo & Noerdjito (2006), exokarst biasanya

tertutup oleh lapisan tanah yang tipis yang umumnya berasal dari batuan kapur

yang hancur dan terdekomposisi secara mekanik dan kimiawi. Lapisan tanah

tipis tersebut sebagian terkumpul pada cekungan. Proses pengayaan nutrisi pada

lapisan tanah exokarst dapat terjadi oleh adanya debu vulkanis, ataupun aliran air

hujan yang membawa humus dari tempat lain. Akibatnya exokarst dapat

ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan tertentu.

Endokarst (gua) menurut Hamilton & Smith (2006) merupakan ruang

dengan sirkulasi udara terbatas dan sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak

ada cahaya. Selain itu, menurut Wirawan (2005), ruang dalam gua biasanya

dilengkapi dengan ornamen-ornamen gua. Ornamen tersebut merupakan hasil

pengendapan kalsium karbonat (CaCO3) yang sebelumnya terlarutkan oleh

peristiwa karstifikasi. FINSPAC (1993) membagi ornamen-ornamen dalam gua

menjadi: 1) stalaktit, yaitu endapan kapur yang menggelantung pada langit-langit

gua, 2) stalakmit, yaitu endapan kapur yang terdapat pada lantai gua, 3) tiang

(column), yaitu pertemuan antara stalaktit dan stalakmit yang membentuk tiang,

4) tirai (drip curtain/drapery), yaitu endapan yang berbentuk lembaran tipis

vertikal, pada atap gua yang miring, dan 5) teras (travertin), yaitu endapan

kalsium karbonat pada lantai gua yang bertingkat sehingga membentuk

terrasering. Geomorfologi karst tersaji pada Gambar 3.

10

Gambar 3 Geomorfologi karst (Sumber: FINSPAC 1993)

Hamilton & Smith (2006) membagi lingkungan dalam gua berdasarkan

pengaruh sinar matahari menjadi 3 mintakat, yaitu 1) mintakat I adalah mintakat

di dalam gua yang sinar matahari dapat masuk dan iklim dalam gua masih

dipengaruhi oleh iklim luar gua, 2) mintakat II adalah mintakat di dalam gua

yang tidak ada sinar matahari yang masuk, tetapi iklim di dalam mintakat tersebut

masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua, dan 3) mintakat III adalah mintakat

yang tidak ada sinar matahari dan iklim di dalam mintakat ini stabil, tidak

dipengaruhi oleh fluktuasi iklim di luar gua. Contoh denah pembagian mintakat

pada Gua Jatijajar dapat dilihat pada Gambar 4.

Menurut Russo et al. (2003) dinding dan atap gua merupakan penyangga

efektif yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan lingkungan luar gua. Oleh

karenanya, lingkungan dalam gua memiliki mikroklimat yang berbeda dari luar

gua. Menurut Samodra (2006) mikroklimat dalam gua cenderung lebih dingin

dan lebih lembap. Hal ini karena 1) adanya aliran sungai di lantai gua; 2) adanya

air rembesan di atap gua; 3) tidak ada sinar matahari, dan 4) sirkulasi udara

terbatas. Selain itu menurut Russo et al. (2003) mikroklimat tersebut dapat

berbeda antara satu zona (mintakat) dan zona lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh

pengaruh sinar matahari, formasi gua, dan keberadaan mahluk hidup di

dalamnya. Penelitian Baudinette et al. (1994) di Gua Kelelawar dan Gua

11

Robertson Afrika Selatan membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah

besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3oC.

Gambar 4 Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar (Sumber : DISPARBUD

Kabupaten Kebumen 2004 yang telah dimodifikasi)

Tipe-tipe gua

Aliran air merupakan faktor utama dalam pembentukan gua karst.

Karenanya menurut Hamilton & Smith (2006), berdasarkan penetrasi air pada

dinding dan atap gua, dapat dibedakan tiga-tipe gua karst, yaitu 1) gua fosil,

adalah gua karst yang pada dinding dan atapnya tidak ada lagi penetrasi air. Hal

ini menyebabkan pertumbuhan ornamen-ornamen gua terhenti dan mikroklimat

gua cenderung lebih kering dibandingkan tipe gua karst lainnya; 2) gua vedosa:

gua karst yang berada pada sarang air (water table) yang datar. Tipe gua ini

ditandai dengan sedikitnya penetrasi air pada atap gua sehingga tidak banyak

ditemukan ornamen gua. Oleh karena berada pada sarang air datar, maka banyak

terbentuk mata air di dinding gua. Banyaknya mata air tersebut menyebabkan

mikroklimat di dalam gua cenderung dingin dan lembap; 3) gua pheartic adalah

gua karst yang berada pada bidang miring, yang penetrasi air pada atap gua

berlangsung sangat efektif. Tipe gua ini ditandai dengan banyaknya tetesan air

12

pada atap gua dan biasanya lantai gua dilalui sungai bawah tanah. Ornamen gua

membentuk formasi yang kompleks dan masih aktif berkembang. Keberadaan

sungai bawah tanah dan banyaknya tetesan air pada atap gua menyebabkan gua

pheartic dingin dan lembap (Samodra 2006).

Pada gua fosil, vedosa maupun pheartic terbentuk zonasi atau mintakat-

mintakat. Mintakat tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya mulut gua,

banyaknya ventilasi gua maupun formasi gua. Gua tipe pheartic memiliki

formasi gua yang lebih kompleks dibandingkan tipe gua lainnya (Samodra 2006).

Hal ini disebabkan lorong gua yang berliku-liku, adanya aliran sungai, dan

banyaknya ornamen-ornamen gua. Kondisi ini menghasilkan mintakat III yang

lebih luas, yaitu mintakat gelap dengan suhu dan kelembapan stabil tidak

dipengaruhi suhu luar gua.

Gua dapat diartikan sebagai ruang /lorong yang berada di bawah permukaan

tanah. Selain tipe-tipe gua karst yang telah dijelaskan di atas, menurut Ko (2004)

terdapat tiga tipe gua lain, yaitu 1) gua lava: gua yang terbentuk karena aktivitas

vulkanik atau gunung berapi, 2) gua litoral /gua laut: gua yang terbentuk kerena

gelombang laut yang memecah karang di pantai, dan 3) gua sandstone: gua yang

terbentuk karena erosi air dan angin pada batuan pasir. Ketiga tipe gua tersebut

memiliki lorong pendek, formasi gua sederhana, dan cahaya matahari dapat

masuk hampir keseluruh bagian lorong gua. Karena itu tidak terdapat mintakat-

mintakat seperti halnya pada gua karst dan tidak membentuk ekosistem yang

kompleks.

Komunitas fauna gua karst

Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang memisahkan lingkungan

dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut tidak tembus sinar

matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan tumbuhan hijau

(autotrof) tidak ditemukan. Meskipun demikian, menurut Ko (2004), ruang

dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena sumber energi

didatangkan dari luar gua melalui unsur hara yang terlarut dalam aliran air, debu

zat-zat organik yang terbawa oleh udara serta bahan nutrisi yang berasal dari

13

hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di luar gua (hewan

Troglozene).

Menurut Ko (2004), di kawasan karst penghubung utama antara ekosistem

luar gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia. Jenis-jenis

burung di antaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo

tahitica), sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar).

Menurut Whitten et al. (1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di

gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar

tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu gua. Secara sederhana suplai

energi ke dalam gua disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Suplai energi ke dalam gua (Sumber: Subterra 2004)

Berdasarkan sumber energinya, jenis-jenis fauna yang hidup di gua menurut

Ko (2004) dibedakan menjadi: 1) necrophagus, yaitu fauna pemakan bangkai 2)

cocroaphagus, yaitu fauna pemakan kotoran/feses 3) parasit, yaitu fauna yang

hidup pada fauna lain dan 4) predator, yaitu fauna pemakan fauna lain. Penelitian

McCure (1985) di Gua Batu Malaysia mendapatkan necrophagus terdiri atas :

lalat (Muscoidae:Insekta) dan semut (Formicidae: Insekta); cocroaphagus terdiri

atas ekor pegas (Collembola: Insekta/Hexapoda), kumbang (Stratiomyiidae:

Insekta), kecoa (Blattidae: Insekta), kumbang (Tineidae: Insekta), jangkerik

(Gryllothalpidae: Insekta) dan jangkerik (Gryllidae: Insekta); parasit terdiri atas :

14

kutu (Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas : kala jengking

(Scorpionidae: Arachnida) , semut (Formicidae: Inseta) dan ular (Elaphe taeniura:

Reptilia). Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan

ekor pegas (Collembola: Insekta), lalat (Diptera:Insekta), kecoa

(Blatodea:Insekta), dan kumbang (Colleoptera:Insekta) sebagai pemakan guano.

Fauna-fauna tersebut kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan laba-

laba (Arachnidae: Decapoda). Dunn (1978) mendapatkan rantai makanan di

dalam Gua Anak Takun Malaysia seperti pada Gambar 6.

GUANO

Gambar 6 Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia (Dunn, 1978)

Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua harus

beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan

waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008)

menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai

alat gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar

berkembang; 4) mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat.

Menurut Suyanto (2001) dan Espinasa & Vuong (2008) berdasarkan

tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi :

1) Troglobit, yaitu hewan yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai

dengan kondisi gua yang gelap, seperti tidak berpigmen dan lebih

KELELAWAR (CHIROPTERA)

lalat (Muscoidae)

kumbang (Lathridiidae)

jangkerik (Gryllidae)

kecoa (Blattidae

kala jengking (Scorpionodae)

laba-laba (Arachnidae)

semut (Formicidae)

ular (Boidae)

kodok (Anura)

ekor Pegas/ Collembola

15

berfungsinya indera peraba, penciuman, dan pendengaran. Troglobit

merupakan penghuni tetap gua yang tidak dapat hidup di habitat lain. Oleh

karena itu, hewan troglobit merupakan kelompok yang paling fragil di

antara kelompok lainnya. Espinasa & Vuong (2008) mendapatkan serangga

troglobit: Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico.

Menurut Whitten et al. (1999) fauna troglobit yang sering ditemukan di

gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kepiting (Sesarmoides jacobsoni:

Crustacea ), Udang putih (Macrobrachium poeti: Crustacea) dan ikan buta

(Puntius binotatus: Osteicthyes). Penelitian Wijayanti (2001) di Gua Petruk

dan Gua Jatijajar Jawa Tengah mendapatkan fauna troglobit: ikan buta

(Amblyopsis spelaeus: Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium pilimanus:

Crustacea), laba-laba gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea), dan

kumbang gua (Eustra saripaensis: Insekta). Hasil penelitian Rachmadi

(2003) di gua Karst Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna

troglobit: kalajengking gua (Chaerilus sabinae: Scorpionidae), kepiting gua

(Cancrocaeca xenomorpha: Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoides

emdi: Crustacea), isopoda gua (Cirolana marosina: Isopoda), kumbang gua

(Eustra saripaensis:Insecta), dan ekor pegas gua (Pseudosinella maros:

Insecta).

2) Troglozene, yaitu fauna yang secara teratur masuk ke dalam gua untuk

berlindung, beristirahat, dan berkembang biak, tetapi mencari makan di luar

gua. Meskipun hanya sebagian hidupnya berada di dalam gua, hewan

troglozene telah beradaptasi dengan kondisi gua yang gelap. Menurut

Vermeulen & Whitten (1999), fauna troglozene mempunyai kemampuan

echolokasi, yaitu kemampuan menangkap gelombang pantul (gema)

berfrekuensi ultrasonik (>20 KHz). Echolokasi ini berguna untuk

mendeteksi mangsa dan orientasi ruang tanpa mengunakan mata.

Kelompok fauna troglozene merupakan spesies kunci dalam ekosistem gua,

karena fauna troglozene memindahkan energi dari luar gua ke dalam gua.

Fauna troglozene yang sering ditemukan di gua karst di Indonesia adalah

burung walet (Collocalia fuciphaga/Aerodramus fuciphagus), burung sriti

(Hirundo tahitica), dan kelelawar (ordo Chiroptera) (Whitten et al. 1999).

16

3) Troglophil, yaitu fauna yang hidup di dalam gua, tetapi belum mengalami

modifikasi khusus. Fauna ini selama hidupnya berada dalam gua, tetapi

jenis yang sama juga ditemukan di luar gua. Bila terjadi gangguan di dalam

gua, fauna troglophil dapat pindah ke habitat luar gua. Penelitian Castillo et

al. (2009) di Los Ricos Cave, Queretaro, Mexico mendapatkan kodok

(Eleutherodactylus longipes: Anura) sebagai fauna troglophil yang secara

musiman memasuki gua. Menurut Whitten et al. (1999) jangkerik

(Rhapidophora dammarmani: Insekta), kumbang (Collasoma scrutater:

Insekta), laba-laba (Liphistius sp: Arachnidae), dan keong (Thiara scabra:

Gastropoda) merupakan troglophil yang sering dijumpai di gua-gua karst di

Pulau Jawa.

Kelelawar sebagai Kelompok Fauna Troglozene

Kelelawar merupakan fauna troglozene utama di gua-gua karst di Indonesia

(Whitten et al.1999; dan Suyanto 2001). Kelelawar adalah Mamalia yang

termasuk dalam ordo Chiroptera. Ciri khas ordo ini adalah tulang telapak tangan

(metacarpal) dan tulang jari (digiti) mengalami pemanjangan sehingga berfungsi

sebagai kerangka sayap. Sayap tersebut terbentuk dari selaput tipis (petagium)

yang membentang antara tulang-tulang telapak dan jari tangan sampai sepanjang

sisi tubuh (Nowak 1994; Altringham 1996). Nowak (1994) menggambarkan

struktur rangka kelelawar seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Struktur rangka kelelawar (Sumber : Nowak 1994)

digiti 1

digiti 2

digiti 3

digiti 4

digiti 5

petagium

17

Ordo Chiroptera terdiri atas 2 subordo, yaitu Megachiroptera dan

Microchiroptera. Kedua subordo ini diduga tidak mempunyai hubungan

kekerabatan dan merupakan hasil evolusi konvergen, yaitu evolusi yang terjadi

pada dua spesies yang berbeda tetapi beradaptasi dengan cara yang sama

sehingga menghasilkan morfologi yang mirip (Altringham 1996). Salah satu

alasan yang mendukung adalah : saraf superior colliculus (s.c) kanan pada otak

tengah Microchiroptera mengatur retina mata kiri dan sebaliknya s.c kiri mengatur

retina mata kanan. Hal ini ditemukan pada semua Mamalia, kecuali primata. Pada

Megachiroptera, saraf superior colliculus kanan otak tengah mengatur retina mata

kiri dan mata kanan sekaligus. Keadaan ini hanya ditemukan pada Primata,

Dermoptera, dan Megachiroptera (Corbet & Hill 1992; Altringham 1996). Karena

alasan tersebut maka diduga Megachiroptera berasal dari nenek moyang Primata,

sedangkan Microchiroptera diduga berasal dari nenek moyang bukan Primata.

Penelitian HanGuan et al. (2006) tentang philogenetika kelelawar juga

mendapatkan bahwa kelelawar Megachiroptera memiliki kekerabatan lebih dekat

dengan primata dibandingkan dengan Microchiroptera. Saat ini diketahui

terdapat 18 famili, 192 genus dan sekitar 1111 jenis kelelawar yang ada di dunia

(Safi & Kerth 2004). Menurut Suyanto et al. (1998) terdapat 10 famili, 49 genus,

dan sekitar 151 jenis terdapat di Indonesia.

Anggota subordo Megachiroptera makanan utamanya adalah buah

(frugivora), selain itu juga memakan serbuk sari (polen) dan nektar. Subordo ini

terdiri atas 1 famili, yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies (Nowak

1994). Menurut Altringham (1996) anggota subordo Megachiroptera memiliki

ukuran yang relatif besar (bobot minimum 10 gram maksimum 1500 gram dengan

bentangan sayap maksimum 1700 mm); memiliki mata besar; telinga tidak

memiliki tragus; moncong sederhana dan ekor tidak berkembang; jari kedua dan

jari ketiga terpisah relatif jauh dan memiliki cakar pada jari kedua, kecuali pada

Eonycteris, Dobsonia, dan Neopterix.

Anggota subordo Microchiroptera kebanyakan pemakan serangga

(insectivora). Selain itu, ada juga yang penghisap darah (sanguivora), misalnya

Desmodus vampirus; dan penghisap madu misalnya (Leptonycteris curasoae).

Subordo ini terdiri atas 17 famili, 150 genus, dan 945 spesies. Ciri

18

Microchiroptera adalah berukuran kecil (bobot minimum 2 gram, maksimum 196

gram dengan bentangan sayap maksimum 70 mm); memiliki mata kecil; telinga

memiliki tragus (tonjolan dari dalam daun telinga) atau anti tragus (tonjolan dari

luar daun telinga); jari sayap tidak bercakar dan moncong sangat bervariasi,

terutama famili Rhinolophidae dan Hipposideridae memiliki daun hidung

(noselea) yang kompleks.

Klasifikasi kelelawar menurut Corbet & Hill (1992) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Chiroptera

Subordo : Megachiroptera

Famili : Pteropodidae

Subordo : Microchiroptera

Famili : Rhinolophidae, Hipposideridae,

Megadermatidae, Craseonycteridae,

Rhinopomatidae, Nycteridae, Emballonuridae,

Phyllostomidae, Mormoopidae, Noctilionidae,

Furipteridae, Thyropteridae, Mystacinidae,

Myzopodidae, Vespertilionidae, Molosidae dan

Natalidae

Menurut Nowak ( 1994), kelelawar ditemukan di seluruh permukaan bumi,

kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terpencil. Kemampuan terbang kelelawar

merupakan faktor penting dalam persebaran hewan ini. Selain itu, jenis pakannya

sangat bervariasi sehingga memungkinkan hidup di berbagai tipe habitat. Menurut

Altringham (1996), sekitar 200 spesies kelelawar ditemukan di Madagaskar dan

Afrika; 300 spesies ditemukan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah; 240

jenis ditemukan di Asia dan Australia; dan sekitar 40 spesies ditemukan di

Amerika Utara dan Eropa. Menurut Suyanto et al. (1998), di Indonesia terdapat

151 jenis kelelawar. Jenis-jenis tersebut menyebar di seluruh kepulauan

19

Indonesia. Lebih lanjut Kunz & Pierson (1994) menjelaskan bahwa kelelawar

merupakan Mamalia paling berhasil, karena dapat ditemukan di berbagai tipe

habitat dengan ketinggian mulai 10 m dpl sampai 3000 m dpl. Winkelmann et al.

(2000) meneliti penggunaan habitat oleh kelelawar Synconycteris australis di

Papua New Guinea. Menurut Winkelmann et al. (2000) faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan kelelawar pada suatu habitat ialah 1)

struktur fisik habitat, 2) iklim mikro habitat, 3) ketersediaan pakan dan sumber

air, 4) keamanan dari predator, 5) kompetisi, dan 6) ketersediaan sarang.

Perilaku bersarang

Sarang merupakan salah satu komponen penting dalam hidup kelelawar.

Kebanyakan jenis kelelawar hidup berkoloni dalam bersarang dan pencarian

makan. Menurut Zukal et al. (2005) beberapa keuntungan hidup dalam koloni

adalah adanya transfer informasi, keamanan pada predator, keberhasilan

reproduksi, dan thermoregulasi. Altringham (1996) menjelaskan tiga perilaku

produk transfer informasi yang dilakukan dalam koloni kelelawar, yaitu 1)

mengikuti (following behaviour), yaitu perilaku yang menyebabkan anggota

dalam koloni bersama-sama menuju suatu lokasi tempat pencarian makan atau

tempat bersarang; 2) penanda hubungan sosial (sosial signal), yaitu pemahaman

signal-signal intensional, termasuk signal tanda bahaya; 3) belajar (learning

behaviour), yaitu proses pembelajaran dari induk ke anak yang menyebabkan

kelelawar muda mampu mengembangkan teknik pencarian makan, menghindar

dari predator, serta hal-hal yang menguntungkan bagi kehidupannya. Willis &

Brigham (2004) meneliti pembagian sarang (roost sharing) dan kebersamaan

sosial (sosial cohesion) kelelawar Eptesicus fuscus (Microchiroptera) di Cypres

Hill Canada. Hasil penelitian membuktikan bahwa interaksi sosial dan kerja sama

intraspesifik dalam koloni dapat menghasilkan ketahanan terhadap gangguan

predator dan cuaca buruk. Penelitian Baudinette et al. (1994) di Gua Kelelawar

dan Gua Robertson Australia membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan

jumlah besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3oC. Pada musim dingin,

keadaan ini menguntungkan kelelawar karena mengurangi energi yang diperlukan

untuk menghangatkan tubuh.

20

Setiap jenis kelelawar mempunyai beberapa alternatif dalam memilih

lokasi sarang, di antaranya adalah pohon yang tinggi, di balik batu, di atap rumah,

dan di dalam gua. Menurut Altringham (1996), pemilihan sarang mempengaruhi

distribusi lokal dan global, kepadatan, strategi pencarian makan, strategi kawin,

struktur sosial, dan pergerakan musiman. Menurut Zahn & Hager (2005) proses

yang terlibat dalam memilih tempat bersarang cukup kompleks. Ketersediaan

tempat bersarang yang cocok misalnya, akan mempengaruhi perilaku pencarian

makan, tetapi perilaku bersarang sendiri juga dipengaruhi oleh kelimpahan dan

penyebaran makanan.

Menurut Baudinette et al. (1994), Russso et al. (2003), dan Willis &

Brigham (2004), dengan memilih sarang, kelelawar dapat memperoleh beberapa

keuntungan, yaitu perlindungan dari cuaca buruk, perlindungan dari predator,

memperkecil energi termoregulasi, keberhasilan reproduksi, serta transfer

informasi tempat mencari makan dan tempat bersarang. Penelitian Willis &

Brigham (2004) dan juga penelitian Seckerdieck et al. (2005) membuktikan

bahwa kelelawar mempunyai home instink yang kuat, sarang yang dipilih

kelelawar dipertahankan sampai beberapa generasi. Namun demikian apabila

sarang mendapat ganggguan dan kelelawar tidak nyaman dan aman, sarang ini

akan ditinggalkan (Willis & Brigham 2004).

Menurut Altringham (1996), kebanyakan kelelawar pemakan buah

(Megachiroptera) bersarang di pohon dengan jumlah koloni besar. Pohon sarang

Megachiroptera biasanya tinggi dan besar, tetapi tidak berdaun rimbun. Menurut

Campbell et al. (1996), pohon tempat bersarang kelelawar biasanya menyediakan

akses yang mudah menuju tempat pencarian makan (central place foraging) dan

mempunyai pencahayaan yang cukup bagi perkembangan anakan. Penelitian

Storz et al. (2000) pada sarang kelelawar Cyanopterus sphinx (Megachiroptera) di

India Barat mendapatkan tanaman palem (Caryota urens : Palmaea) ditempati

oleh 1 individu jantan dewasa, 37 individu betina dewasa, dan 33 individu anakan.

Penelitian Soegiharto & Kartono (2009) mendapatkan kelelawar Megachiroptera:

Pteropus vampirus menempati tanaman kelapa (Cocos nucifera: Palmaea), kepuh

(Sterculia foetida: Malvaceae), dan kapuk (Ceiba pentandra: Malvaceae) di

21

Kebun Raya Bogor. Tanaman yang dipilih memiliki ketinggian yang cukup untuk

menghindar dari gangguan predator serta bertajuk relatif lebar dan mendatar.

Jenis Megachiroptera yang bersarang di gua biasanya dalam koloni kecil

atau bahkan hanya satu individu saja. Jenis-jenis tersebut adalah Rousettus

amplexicaudatus, Megaderma lyra dan Eonysteris spelaea (Suyanto 2001).

Penelitian Doyle (1979) di Gua Pondok Malaysia mendapatkan Eonycteris

spelaea dengan jumlah dua puluh individu dan Megaderma lyra hanya lima

individu bersarang dalam gua.

Sebaliknya, ordo Microchiroptera bersarang di pohon dalam jumlah sedikit.

Microchiroptera lebih menyukai bersarang di bangunan buatan manusia, di celah

batuan atau di gua dibandingkan pada dahan pohon. Penelitian Campbell et al.

(1996) di hutan Pasific Nortwest Amerika Serikat mendapatkan kelelawar

Lasionycteri noctivagans (Vespertilionidae: Microchiroptera) bersarang pada

pohon pinus (Pinus ponderosa: Pinaceae) dan pinus putih (Pinus monticola:

Pinaceae). Law & Chidel (2002) meneliti sarang dan ekologi pencarian makan

kelelawar Kerivoula papuensis (Vespertilionidae : Microchiroptera) di hutan

hujan New South Wales Australia. Sebanyak 11 individu kelelawar ditangkap di

sekitar hutan dan dipasangi radiotracking. Lima puluh empat persen (54%) di

antaranya bersarang di pohon yang jaraknya 5.2 km dari sungai, dan dua puluh

tiga persen (23%) bersarang di pohon yang jaraknya 2.7 km dari sungai, dua puluh

tiga persen (23%) bersarang dipohon yang jaraknya 2 km. Jumlah individu dalam

koloni sarang ternyata tidak lebih dari 10 individu. Tanaman yang digunakan

sebagai sarang adalah pohon jeruk (Flindersia australis: Rutaceae). Russo et al.

(2003) meneliti seleksi sarang oleh kelelawar jenis Barbastella barbastellus

(Vespertilionidae: Microchiroptera) di hutan Italia. Tanaman pada hutan yang

tidak ditebang lebih banyak dihuni kelelawar Barbastella barbastellus daripada

di hutan yang telah mengalami penebangan. Hal ini karena di hutan yang belum

ditebang lebih banyak terdapat tanaman tua (hampir mati) dengan kulit kayu

mengelupas, tinggi, dan sedikit daun.

Kebanyakan jenis Microchiroptera bersarang di gua dalam jumlah besar.

Menurut Altringham (1996) dan Zahn & Hager (2005) beberapa jenis kelelawar

memilih gua sebagai tempat bersarang karena kondisi gua yang lembap, suhu

22

stabil, dan jauh dari kebisingan. Dengan kondisi demikian, kelelawar kelompok

Microchiroptera dapat meminimalkan kekurangan air akibat evaporasi, dapat

memilih suhu yang tepat untuk tubuhnya, dan dapat menghindari kebisingan yang

dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan kematian. Menurut Ruczynsi et al.

(2007) kelelawar Microchiroptera memiliki alat pendengaran yang sangat

sensitif pada gelombang suara, terutama gelombang pantul (echolokasi)

berfrekuensi ultrasonik ( > 20 KHerzt).

Hasil penelitian Seckerdieck et al. (2005) membuktikan bahwa koloni

kelelawar betina Rhinolopus hipposideros (Rhinolophidae : Microchiroptera)

pada masa produktif cenderung memilih ruang bawah tanah dengan suhu rata

rata 2oC lebih dingin dan lebih stabil dibandingkan lokasi lainnya. Pada masa

hamil dan menyusui, sebenarnya kelelawar lebih membutuhkan suhu hangat.

Meskipun lebih dingin, ruang bawah tanah lebih dipilih sebagai tempat bersarang

karena mempunyai suhu stabil. Penelitian Zahn & Hager (2005) juga

menunjukkan bahwa kelelawar jenis Myotis daubentonii (Vespertilionidae:

Microchiroptera) ditemukan bereproduksi di gua-gua di Eropa Tengah yang juga

dijadikan tempat bersarang bagi kelelawar muda dan jantan dewasa. M.

daubentonii jantan biasanya menempati lokasi yang lebih dingin dibandingkan

M. daubentonii betina.

Apriandi et al. (2008) melakukan penelitian pada kelelawar penghuni gua di

Karst Cibinong. Hasil penelitan menunjukkan dalam satu gua ditemukan dua

koloni kelelawar Hipposideros larvatus (Hipposideridae: Microchiroptera)

bersarang di satu gua yang sama. Tiap jenis kelelawar memilih sarang dalam gua

dengan jarak dari mulut gua berbeda. Hasil penelitian Maryanto &

Maharadatunkamsi (1991) pada gua-gua di Pulau Sumbawa mendapatkan jenis

Rhinolophus luctus (Rhinolopodidae: Microchiroptera) menyukai tempat

bersarang di ujung gua. Dunn (1978) mendapatkan Hipposideros diadema

(Hipposideridae: Microchiroptera) dan H.armiger di atap gua pada jarak 200 kaki

dari mulut Gua Anak Takun Malaysia. Dengan memilih sarang jauh dari mulut

gua, kelelawar dapat terhindar dari gangguan manusia dan predator serta dapat

memilih mikroklimat yang stabil dan sesuai bagi tubuhnya. Tetapi, pemilihan

sarang dengan jarak jauh dari mulut gua harus didukung oleh kemampuan

23

orientasi ruang dalam keadaan gelap dan kemampuan terbang dalam ruang dengan

banyak rintangan. Penelitian Safi & Kerth (2004) pada 35 jenis kelelawar

Microchiroptera di zona temperate Eropa dan Amerika Utara menunjukkan bahwa

kelelawar yang mempunyai tulang-tulang jari (phalanges) sayap panjang hanya

mampu mengeksploitasi habitat dengan kanopi terbuka. Sebaliknya kelelawar

yang memiliki tulang jari sayap pendek, lebih mampu mengeksploitasi habitat

berkelok-kelok dan banyak rintangan. Oleh karena itu, kelelawar yang mampu

bersarang pada lokasi jauh dari mulut gua kemungkinan adalah kelelawar dengan

tulang jari sayap pendek.

Adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan

Kondisi ruang gua yang sempit, sirkulasi udara terbatas, dan banyak dihuni

kelelawar menyebabkan udara dalam gua menjadi rendah oksigen (hypoxic),

tinggi karbon dioksida (hypercapnic), dan tinggi gas amonia (Baudinette et al.

1994). Keadaan ini kurang menguntungkan bagi hewan gua karena: 1)

kurangnya oksigen dapat menyebabkan respirasi terhambat (Guyton 1995); 2)

tingginya karbon dioksida dapat menyebabkan afinitas hemoglobin pada oksigen

menurun (Guyton 1995); dan 3) tingginya konsentrasi gas amonia (NH3) dapat

menyebabkan gangguan metabolisme, iritasi epitel organ pernapasan serta

gangguan fisiologi saraf (Hutabarat et al. 2000). Oleh karena itu, agar dapat

bertahan hidup dalam gua, kelelawar harus beradaptasi pada keadaan tersebut.

Hal ini sesuai dengan pendapat Alikodra (2010) bahwa untuk bertahan hidup dan

berkembang dalam suatu habitat, hewan harus mengembangkan strategi, di

antaranya strategi adaptasi pada habitat.

Penelitian Baudinette et al. (1994) di Afrika Selatan membuktikan bahwa

kelelawar Miniopterus schreibersii (Vespertilionidae: Microchiroptera) dapat

hidup pada gua dengan kondisi udara rendah oksigen (hypoxic) dan tinggi karbon

dioksida (hypercapnic). Jumlah populasi kelelawar yang besar pada gua tersebut

menyebabkan oksigen yang digunakan untuk respirasi lebih besar dibandingkan

oksigen yang masuk ke dalam gua. Sebaliknya karbon diokasida yang dihasilkan

dari proses respirasi menambah jumlah karbon dioksida yang terperangkap di

dalam gua (Baudinette et al. 1994).

24

Menurut Suyanto (2001), kelelawar juga dapat bertahan hidup pada gua

dengan kandungan amonia tinggi. Penelitian Sridhar et al. (2006) mendapatkan

urin dan feses (guano) kelelawar Hipposideros speoris (Hipposideridae:

Microchiroptera) tersusun atas 5.7 ± 1.5% nitrogen (N) berbentuk amonia (NH3).

Amonia tersebut merupakan hasil katabolisme protein. Amonia dalam guano

dapat menguap menjadi gas bercampur dengan komponen udara lainnya. Hal ini

menyebabkan kandungan amonia udara meningkat tajam (Shidar et al. 2006).

Hutabarat (2000) melakukan penelitian pada karyawan pabrik lateks yang terkena

paparan amonia sebesar 500 ppm sampai 600 ppm selama 60 hari. Hasil

penelitian menunjukkan karyawan yang terkena paparan amonia mengalami

gejala sebagai berikut : tenggorokan kering (80%); jalan pernapasan kering

(73.3%); mata perih (66.67%); batuk (53.3%); dan pingsan (6.67%). Menurut

Suyanto (2001) kelelawar gua dapat bertahan pada kandungan amonia udara

mencapai 5000 ppm, sedangkan manusia hanya mampu bertahan pada kandungan

amonia udara maksimum sebesar 100 ppm.

Penelitian tentang strategi adaptasi kelelawar yang bersarang di gua dengan

kondisi dingin dan lembap pernah dilakukan oleh Baudinette et al. (2000) di

Australia. Hasil penelitian menunjukkan laju respirasi kelelawar Macroderma

gigas (Megadermatidae: Microchiroptera) dan Rhinonycteris aurantias

(Hipposideridae: Microchiroptera) menyesuaikan dengan suhu dan kelembapan

udara dalam gua. Pada saat kondisi udara kering dan dingin (kelembapan <60%

dan suhu < 5.6oC) laju respirasi sama dengan pada saat kondisi udara lembap dan

hangat ( kelembapan > 80% ;suhu > 9.8oC). Tetapi bila kondisi udara lembap

dan dingin (kelembapan < 60% dan suhu < 9o) laju respirasinya meningkat

tajam. Meningkatnya laju respirasi tersebut merupakan strategi agar tubuh tetap

hangat. Namun demikian, sejauh ini belum ada penelitian mengenai strategi

adaptasi fisiologi dan anatomi pernapasan kelelawar untuk bertahan hidup pada

kondisi hypoxic, hypercapnic, dan tinggi amonia.

Menurut Frandson (1992) organ respirasi Mamalia terdiri atas: 1) lubang

hidung (nasale), berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembapkan udara

yang masuk ke dalam organ pernapasan; 2) laring, berfungsi melindungi jalan

napas bawah dari obstruksi (masuknya) benda asing; 3) trakhea, berfungsi

25

menghantarkan udara ke paru-paru; 4) bronchus, merupakan percabangan trakhea;

dan 5) alveolus, merupakan membran tempat pertukaran oksigen dan karbon

dioksida. Organ pernapasan hewan Mamalia dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Organ pernapasan Mamalia (Sumber: Campbell et al. 2002)

Bagian terpenting dari organ pernapasan adalah alveolus, yaitu tempat

oksigen berdifusi ke dalam sel dan karbon dioksida berdifusi keluar sel. Menurut

Guyton (1995), dinding alveolus sangat tipis dan di dalamnya banyak terdapat

kapiler darah yang saling berhubungan. Kondisi demikian memudahkan

pertukaran gas antara membran alveolus dan membran kapiler darah. Difusi

oksigen dari alveolus ke dalam kapiler darah dan difusi karbon dioksida dengan

arah berlawanan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Alveolus dan kapiler darah tempat difusi oksigen dan karbon dioksida

(Sumber: Campbell et al. 2002)

26

Menurut Guyton (1995) pertukaran gas respirasi melewati membran

alveolus berlangsung sangat efektif. Hal ini karena permukaan membran alveolus

sangat tipis. Selain itu, dengan bentuk seperti gelembung-gelembung udara, luas

permukaan membran menjadi sangat besar. Hasil penelitian Setiadi (2000)

menunjukkan kelelawar Scotophilus kuhli (Vespertilionidae: Microchiroptera)

memiliki alveolus lebih kecil dan rapat dibandingkan alveolus tikus (Mus

musculus). Menurut Plopper & Adams (1993), alveolus beberapa Mamalia

berukuran kecil dan rapat sehingga permukaan respirasinya lebih luas. Permukaan

respirasi yang luas menyebabkan paru-paru mampu mengikat oksigen lebih

banyak (Plopper & Adams 1993). Menurut Guyton (1995), luas permukaan

membran alveolus ini dapat berkurang karena rusaknya dinding alveolus.

Kerusakan tersebut di antaranya adalah karena emfisema, yaitu keadaan alveolus

bersatu disebabkan terpapar gas racun atau karena infeksi kuman.

Setelah oksigen berdifusi dari alveolus ke kapiler darah dan karbon

dioksida berdifusi dari kapiler darah ke alveolus, selanjutnya oksigen akan

diangkut oleh darah ke seluruh jaringan tubuh oleh sel darah merah (eritrosit).

Karena adanya unsur hemoglobin dalam eritrosit, maka eritrosit dapat mengikat

oksigen dan karbon dioksida. Menurut Ganong (2001), eritrosit Mamalia

berbentuk cakram bikonkaf. Cakram bikonkaf tersebut memiliki permukaan yang

relatif luas untuk pertukaran oksigen.

Menurut Ganong (2001) jumlah eritrosit juga berbeda antara satu individu

dengan individu lainnya. Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit hewan

adalah kondisi nutrisi, aktivitas fisik, umur, dan lingkungan. Selain itu, menurut

Ganong (2001), penurunan kadar oksigen (hipoksia) akan merangsang ginjal

untuk melepaskan enzim eritrogenin (erythrogenin). Selanjutnya, enzim tersebut

akan mengaktifkan eritropoietinogen yang merupakan prekusor dalam

pembentukan eritopoietin. Di dalam sumsum tulang, eritropoietin akan

meningkatkan jumlah sel bakal (stem cell). Sel bakal ini akan menjadi prekusor

darah merah dan selanjutnya menjadi sel darah merah (Ganong 2001). Menurut

Guyton (1995), binatang yang terpapar oksigen rendah selama bertahun tahun

menunjukkan peningkatan jaringan hipoksik dan peningkatan jumlah sel darah

merah sampai 20%.

27

Kemampuan sel darah merah mengikat oksigen disebabkan adanya

hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul protein yang berikatan dengan

porphyrin. Di bagian tengah molekul porphyrin tersebut terdapat satu atom besi

(Fe). Menurut Ganong (2001) hemoglobin Mamalia tersusun atas empat subunit

protein berbentuk globul (bola). Satu subunit dapat membawa satu molekul

oksigen, dengan demikian setiap molekul hemoglobin dapat membawa empat

molekul oksigen. Struktur hemoglobin dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Struktur kimia hemoglobin (Sumber: Campbell et al. 2002)

Menurut Ganong (2001) hemoglobin yang mengikat oksigen disebut

oksihemoglobin. Afinitas (daya ikat) hemoglobin pada oksigen dipengaruhi oleh

suhu tubuh, keasaman (pH) darah, dan konsentrasi bahan-bahan kimia dalam

darah. Pada keadaan suhu udara rendah, tekanan oksigen tinggi dan keasaman

darah tinggi, afinitas hemoglobin pada oksigen meningkat. Sebaliknya pada

kondisi tekanan oksigen rendah, suhu tinggi, dan keasaman rendah afinitas

hemoglobin pada oksigen menurun (Ganong 2001). Menurut Guyton (1995),

dalam keadaan normal, 100 ml darah manusia mengandung 15 gram hemoglobin

yang mampu mengangkut 0.03 gram oksigen. Penelitian Fatmawati (2007),

mendapatkan kandungan hemoglobin anjing (Canis familiaris) 11.8 ± 1.13 g/mm3.

Menurut Frandson (1992) jumlah hemoglobin hewan Mamalia berada pada

kisaran 12 – 18 g/mm3.

28

Kesamaan relung (niche overlap) pakan Kelelawar dari jenis (species) berbeda dapat memanfaatkan gua yang sama

sebagai sarang. Hal ini dibuktikan oleh: penelitian Dunn (1978) yang

mendapatkan jenis Hipposideros armiger, H. cineraceus, Rhinolophus affinis dan

R. malayanus di Gua Anak Takun Malaysia; penelitian Zukal et al. (2005) yang

mendapatkan jenis Myotis myotis dan Rhinolophus hipposideros di Gua

Katerinska Cekoslvakia; dan penelitian Apriandi et al. (2008) yang mendapatkan

jenis Miniopterus australis, Myotis adversus dan Rhinolophus affinis di Gua

Gudawang Bogor. Menurut Kunz (1982) dan Willis & Brigmann (2004) sarang

yang dipilih kelelawar memiliki akses yang mudah pada sumber pakan. Oleh

karena itu, apabila jenis-jenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua tersebut

bergantung pada sumber pakan yang sama, akan terjadi kompetisi, terutama bila

ketersediaan sumber pakan terbatas. Sebaliknya, bila sumber pakan berbeda,

kompetisi tidak terjadi.

Menurut Cox (2002), penggunaan relung yang sama (niche overlap)

menyebabkan interaksi kompetitif, yaitu tiap populasi yang berkompetisi

memberikan pengaruh yang merugikan bagi pesaingnya (competitor). Menurut

Reynold & Ludwig (1984) nilai niche overlap berkisar antara nol (0) sampai

dengan satu (1). Apabila nilai niche overlap pakan mendekati satu berarti kedua

jenis hewan tersebut memiliki pakan yang sama dan berpotensi untuk

berkompetisi.

Kelelawar anggota subordo Megachiroptera adalah pemakan buah

(frugivora) ataupun serbuk sari (polinator), sedangkan anggota subordo

Microchiroptera kebanyakan pemakan serangga (insektivora). Menurut

Altringham (1996), berdasarkan strategi pencarian makannya, kelelawar

dibedakan menjadi tipe spesialis (selektif) dan opportunis (generalis). Kelelawar

tipe spesialis hanya memakan jenis tertentu. Tipe ini bisa menghabiskan banyak

waktu dan energi dalam pencarian makan, tetapi makanan yang didapatkan

memiliki profit (nilai gizi) tinggi. Tipe opportunis menghabiskan lebih sedikit

waktu dan energi dalam pencarian makannya, tetapi makanan yang didapatkan

mungkin lebih sedikit nilai gizinya dibandingkan kelelawar tipe spesialis.

Beberapa Megachiroptera, misalnya Rousettus amplexicaudatus (Pteropodidae:

29

Makrochiroptera) adalah pemakan buah tipe oportunis, sedangkan Macroglosus

sabrinus (Pteropodidae: Makrochiroptera) adalah tipe spesialis. Menurut Nowak

(1994) R. amplexicaudatus memakan jambu biji (Psidium guajava), pisang (Musa

paradisiaca); sawo (Manilkara kauki), dan buah masak lainnya. Sedangkan

Macroglosus sabrinus terspesialissasi untuk memakan nectar bunga durian

(Durio zibethinus) dan bunga patai (Parkis speciosa) (Nowak 1994).

Microchiroptera adalah pemakan serangga dengan tipe spesialis ataupun

oportunis. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Razakarivony et al. (2005)

yang meneliti makanan kelelawar jenis Myzopoda aurita (Myzopodidae:

Microchiroptera) di Madagaskar. Pada saat ngengat (Lepidoptera) melimpah,

prosentase ngengat dalam feses juga meningkat. Hasil penelitian ini

membuktikan bahwa kelelawar ini memanfaatkan kesempatan (oportunis) dalam

memilih jenis makanannya.

30

BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAN SARANG

KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN

KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN

JAWA TENGAH

ABSTRACT

The existence of cave dwelling bats of karst area need to be conserved, because bats have important roles for the ecosystem inside as well as outside the cave. The objectives of this research were to know the biodiversity of cave dwelling bats; the physical factors influencing the community structure of the bats and the physical factors influencing the preference roosting place. This study was conducted from September 2008 to March 2009 in twelve caves in Gombong Karst Area, Central Java. The mapping of the roosting place was carried out using forward method. The sample of the bats were picked up at the roosting place during the day. The physical and microclimate parameters were measured under the bat roosts, three times in February, June and October 2009. The data were analyzed by ANOVA, Redundancy analysis (RDA) and canonical correspondence analysis (CCA). The result showed: 1) Fifteen species (eleven species of Microchiroptera and four spesies of Megachiroptera) indicated known in this research. 2) The length, height, and width of the cave corridor influenced the community structure of the bats; 3) The microclimate factors which influenced the roosting place preference were the sound intensity, the distance from the cave entrance, the temperature, the humidity, and the light intensity. Based on the factors mentioned, there were five goup of bats, each of which has specific patterns of roosting preference. Key words: cave, bat, roosting preference, Gombong karst.

Pendahuluan

Kawasan Karst Gombong terletak di Jawa Tengah bagian selatan, tepatnya

pada 7°27'-7°50' LS dan 109°22' - 109°50' BT. Menurut Whitten et al. (1999),

Paparan Sunda awalnya merupakan lautan tropik dangkal yang dasarnya banyak

mengendap kalsium karbonat yang dihasilkan oleh binatang berkerangka kapur

dan foraminifera. Dasar laut tersebut terdorong ke atas oleh gaya tektonik,

akibatnya terbentuk barisan bukit karst. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Pusat

Survei Geologi Badan Geologi Nasional (2006), bahwa Karst Gombong berada di

atas batuan gamping yang mengandung fosil biota laut: Radiolaria, Hedbergella,

Ratalipora dan Bolivisoides cf. exculpta. Pelarutan batu gamping ini berlanjut

31

dengan proses abrasi sehingga menghasilkan gua yang bercabang-cabang, gelap,

lembap, temperatur stabil, dan sirkulasi udara terbatas.

Di kawasan Karst Gombong terdapat sekitar 112 gua karst, dan lebih dari 60

gua di antaranya dihuni kelelawar (DISPARHUB Kebumen 2004). Menurut

Boudinette et al. (1994), Duran & Centano (2002), dan Twente (2004), dinding

dan atap gua membentuk fisik dan mikroklimat yang berbeda antara satu gua

dengan gua lainnya. Perbedaan fisik dan mikroklimat tersebut menyebabkan

setiap gua membentuk ekosistem yang unik dan dihuni oleh keanekaragaman jenis

fauna yang khas. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut diduga setiap gua di

kawasan Karst Gombong akan memiliki keanekaragaman jenis kelelawar berbeda.

Namun, belum ada hasil penelitan yang menunjukkan ke arah itu.

Hasil-hasil penelitian mengenai kelelawar di luar Indonesia membuktikan

bahwa tiap jenis kelelawar cenderung memilih sarang di dalam gua dengan

kondisi yang sesuai bagi kebutuhan tubuhnya. Penelitian Zahn & Hager (2005)

mendapatkan Myotis daubentonii jantan menempati lokasi yang lebih dingin

dibandingkan M. daubentonii betina di gua-gua di Eropa Tengah. Penelitian

Duran & Centano (2002) membuktikan kelelawar Pteronotus quadridens

bersarang di gua dengan suhu 28oC s/d 35oC, dan Erophylla sezekorni bersarang

di gua dengan suhu 25 oC s/d 28 oC. Di samping itu, diduga terdapat faktor-faktor

fisik dan mikroklimat lain selain suhu yang mempengaruhi pemilihan sarang

kelelawar di gua-gua Karst Gombong.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengkaji biodiversitas kelelawar

penghuni gua berdasarkan faktor-faktor fisik gua di Karst Gombong; 2)

Mengidentifikasi faktor mikroklimat gua yang berpengaruh terhadap pola

pemilihan sarang kelelawar gua. Hipotesis penelitian ini adalah : 1) )

Keanekaragaman, kelimpahan, dan kemerataan jenis kelelawar dipengaruhi secara

nyata oleh panjang lorong, tinggi lorong, serta jumlah pintu, dan jumlah ventilasi

gua; 2) Pola pemilihan sarang kelelawar gua dipengaruhi oleh jarak dari pintu

gua, tinggi atap gua, suhu, kelembapan, kecepatan angin, intensitas cahaya,

intensitas suara, kadar oksigen, dan kadar amonia di sekitar sarang.

32

Bahan dan Metode

Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan pada September 2008 s/d Maret 2009. Lokasi

penelitian di kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah yang

terletak pada koordinat 7°36' - 7°48' LS dan 109°24' - 109°28' BT (Gambar 11).

Gambar 11 Peta citra satelit LANDSAT Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Sumber: ESALab PPLH IPB 2010)

Pengamatan dilakukan di 12 gua yang terdapat di kawasan Karst Gombong,

yaitu Gua Macan (07O39.745LS/109O26.163 BT); Gua Celeng (07O42.380LS/

109O23.624 BT); Gua Dempo (07O40.195LS/109O25.632 BT); Gua Inten

(07O40.211LS/109O25.592 BT); Gua Jatijajar (07O39.994LS/109O25.262 BT);

33

Gua Kampil (07O42.389LS/109O23.836 BT); Gua Kemit (07O42.247LS/

109O23.638 BT); Gua Liyah (07O42.392LS/109O23.838 BT); Gua Petruk

(07O42.315LS/109O24.130BT); Gua Sigong (07O42.487LS/109O23.389 BT); Gua

Tiktikan (07O40.166LS/109O25.595BT); dan Gua Tratag (07O42.267LS/

109O23.66BT). Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Mamalia PUSLIT

Biologi LIPI Cibinong.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan adalah chloroform dan alkohol 70%. Alat yang

digunakan adalah: Global Positioning System (GPS) merk Garmin; altimeter merk

Krisbow, kompas merk Sunto; pita ukur (50 m); mist net; hand net; harp trap;

kantong spesimen; bambu; timbangan digital; jangka sorong; lux meter;

anemometer; sound level meter; digital thermometer; digital hygrometer; oksigen

meter; generator; pompa vacum; dan air quality checker (Gambar 12).

Gambar 12 Alat pemetaan roosting kelelawar dan pengukuran mikroklimat gua

Cara kerja

Sebelum menentukan gua pengamatan, dilakukan survei pendahuluan

dengan tujuan mencari informasi mengenai kondisi umum, sebaran gua, jumlah

gua, dan tipe gua di kawasan Karst Gombong. Survei pendahuluan dilakukan

dengan cara menjelajah kawasan Karst Gombong dan mencari data sekunder ke

PEMDA Kabupaten Kebumen; Dinas Pariwisata dan Perhubungan Kabupaten

34

Kebumen; serta ke Badan Geologi Nasional di Bandung. Penentuan gua

pengamatan dilakukan dengan metode purposive random sampling, yaitu gua

pengamatan ditentukan sebanyak 10% dari seluruh gua yang ada. Berdasarkan

survei pendahuluan diketahui bahwa di kawasan Karst Gombong terdapat 112

gua. Maka ditentukan sekitar 10% atau dua belas gua sebagai objek penelitian.

Dua belas gua tersebut dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan panjang

lorong gua, yaitu lorong gua pendek (kurang dari 100 m) sebanyak tiga gua (Gua

Tiktikan, Gua Tratag, Gua Sigong); lorong gua sedang (antara 100 m s/d 200 m)

sebanyak tiga gua (Gua Macan, Gua Dempo, Gua Kampil); lorong gua panjang

(antara 200 m s/d 350 m) sebanyak tiga gua (Gua Inten, Gua Kemit, Gua

Jatijajar), dan lorong gua sangat panjang (lebih dari 350 m) sebanyak tiga gua

(Gua Petruk, Gua Celeng, Gua Liyah).

Titik koordinat setiap gua ditentukan dengan menggunakan GPS.

Permeating lokasi sarang kelelawar dilakukan dengan menelusuri semua lorong

gua, mulai dari mulut/pintu gua (entrance) sampai ujung gua (duck). Metode

pemetaan yang digunakan adalah metode foreward (HIKESPI 2004) yang

dilakukan dengan cara sebagai berikut: orang pertama berdiri di titik pertama

(mulut gua) dan orang kedua di titik kedua (belokan/simpangan); setelah

pembacaan alat selesai, orang pertama berdiri di titik kedua, orang kedua di titik

ketiga (belokan/simpangan berikutnya). Begitu seterusnya sampai titik terakhir di

ujung gua (Gambar 13). Berdasarkan kriteria BCRA (British Cave Researche

Association) grade pemetaan yang dihasilkan dengan metode ini adalah grade III

(Subterra 2004). Hal ini karena alat yang digunakan terbatas pada kompas dan pita

ukur, dimana derajat kesalahan pengukuran sudut adalah ± 2.5o, dan derajat

kesalahan pengukuran jarak ± 50 cm (Subterra 2004).

35

Gambar 13 Pemetaan gua dengan metode foreward (Hikespi 2004)

Parameter fisik gua yang diukur adalah: panjang lorong gua, lebar lorong

gua, tinggi lorong gua, jumlah mulut gua dan jumlah ventilasi gua. Panjang

lorong gua diukur mulai dari mulut gua sampai ujung gua dengan menggunakan

pita meter. Bila terdapat percabangan lorong gua, semua percabangan tersebut

juga diukur dan hasil pengukurannya dijumlahkan. Lebar lorong gua diukur

dengan cara sebagai berikut: ditentukan lima lokasi di dalam lorong gua secara

acak, kelima lokasi tersebut diukur lebarnya (tegak lurus dari satu dinding gua ke

dinding lain yang berseberangan) menggunakan pita meter, kemudian dihitung

rata-ratanya. Tinggi lorong gua juga diukur pada lima lokasi yang dipilih secara

acak dan dihitung rata-ratanya. Cara yang dilakukan bergantung pada kondisi

gua. Cara tersebut adalah: 1) menggunakan tali rafia yang diikat dengan batu,

batu dilempar tegak lurus hingga menyentuh atap gua, panjang tali rafia yang

terbawa lemparan batu diukur (cara ini dilakukan pada gua yang mempunyai atap

tinggi dan sedikit stalaktit); 2) menggunakan 3 potongan bambu yang disambung

fleksibel (cara ini dilakukan pada gua yang mempunyai atap tidak terlalu tinggi).

Mengingat tingkat kesulitan yang cukup tinggi, pengukuran fisik gua hanya

dilakukan satu kali, yaitu pada bulan Februari sampai Maret 2009.

Pengukuran parameter fisik mikroklimat sarang dilakukan di bawah

sarang kelelawar pada jarak terdekat dari sarang yang mungkin terjangkau.

Pengukuran kadar amonia udara dilakukan dengan cara: udara di bawah sarang

kelelawar dihisap menggunakan pipa vacum dan dialirkan ke pingel yang telah

Step III

Step II

Step I

36

berisi absorban NH3 selama 120 menit (Gambar 14). Larutan absorban yang telah

bercampur dengan NH3 dari udara dipindahkan ke dalam tabung yang tertutup

rapat. Pembacaan konsentrasi NH3 dilakukan di laboratorium dengan

menggunakan spektrofotometer. Pengukuran parameter lingkungan sarang

kelelawar diulang sebanyak 3 kali pada bulan yang berbeda (Februari; Juni;

Oktober 2009). Kecuali pengukuran amonia udara hanya dilakukan satu kali

(Maret 2010).

Gambar 14 Pengukuran kadar amonia udara

Estimasi jumlah kelelawar di setiap sarang dilakukan dengan menghitung

langsung (direct count) kelelawar di sarangnya. Penghitungan dilakukan pada

siang hari (10.00 WIB s/d 15.00 WIB) saat kelelawar bersarang di dalam gua

dengan cara (Saroni 2005) : 1) Diukur luas sarang dengan membuat proyeksi

sarang ke lantai gua; 2) Tiap satu sarang dibuat tiga kuadrat secara acak masing-

masing berukuran 1 meter persegi; 3) Pada setiap kuadrat dihitung jumlah

kelelawar; 4) Jumlah kelelawar tiap sarang adalah luas sarang dikalikan jumlah

kelelawar rata- rata pada setiap kuadrat (Gambar 15).

.

Gambar 15 Metode penghitungan populasi kelelawar pada tiap sarang

kuadrat I

kuadrat III

1m

kuadrat II

37

Pengambilan sampel kelelawar dilakukan pada setiap sarang. Cara yang

dilakukan bergantung pada kondisi gua (formasi gua, keberadaan stalaktit dan

tinggi atap gua). Cara tersebut adalah : 1) menggunakan hand net, apabila formasi

gua sederhana dan sarang terjangkau hand net; 2) menggunakan mist net yang

dipasang di sekitar mulut gua, apabila sarang pada posisi tinggi, dan lorong gua

lebar; 3) menggunakan harpa trap yang dipasang di mulut gua, apabila sarang

berada pada posisi tinggi dan lorong gua sempit (Gambar 16).

a) hand net b) mist net c) harpa trap

Gambar 16 Pengambilan sampel kelelawar

Jumlah minimal sampel kelelawar yang diambil pada setiap sarang adalah

lima ekor. Sampel kelelawar yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantong

blacu, kemudian dilakukan pengukuran morfometri untuk identifikasi awal.

Setelah itu sampel dibius dengan menggunakan chloroform dan direndam dalam

alkohol 70%. Identifikasi sampel dilakukan di laboratoriun Mamalia LIPI

Cibinong dengan menggunakan buku kunci identifikasi Mamalia: The Mammals

of the Indomalayan Region: a Systematic Review (Corbet & Hill 1992).

Analisis data

Kelimpahan populasi kelelawar pada setiap sarang dihitung dengan cara

pendugaan berdasarkan luas sarang, dengan rumus (Saroni 2005):

P= D x L

Keterangan : P= kelimpahan populasi kelelawar (individu) D= kepadatan ( individu/meter2) L= luas hunian (meter2 ).

38

Struktur komunitas yang diamati meliputi: kelimpahan, indeks

keanekaragaman jenis (H’), kekayaan jenis (S), dan indeks kemerataan jenis (E).

Untuk menentukan indeks keanekaragaman jenis kelelawar pada setiap gua

digunakan rumus indeks keanekaragaman (H’) Shannon & Wiener (Magurran

2004) sebagai berikut:

H’= - ∑ ( ni/N) ln (ni/N)

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke i N = Jumlah total individu Indeks keanekaragaman jenis kelelawar ini dihitung menggunakan software

ecological methodology versi 5.1.

Indeks kemerataan jenis kelelawar dianalisis dengan digunakan indeks

kemerataan Simpson (E), dengan rumus sebagai berikut (Magurran 2004):

E = H’/ ln S

Keterangan : E = indeks kemerataan H’ = indeks keanekaragaman S = jumlah spesies

Indeks kemerataan jenis kelelawar dihitung menggunakan software ecological

methodology versi 5.1.

Kecenderungan hubungan antara parameter fisik gua dengan struktur

komunitas kelelawar dianalisis dengan analisis multivariat RDA (Redundancy

analysis). RDA merupakan penjabaran dari regesi linear berganda memakai

model linear dengan variabel X dan Y. Adapun parameter fisik gua yang

dianalisis adalah panjang lorong gua, tinggi lorong gua, lebar lorong gua, jumlah

ventilasi, dan jumlah pintu gua. RDA dihitung menggunakan software Canoco for

windows 4.5 (Leps & Smilauer 1999; Koneri 2007). Untuk mengetahui nilai

korelasi faktor fisik gua dengan struktur komunitas kelelawar dilakukan uji

korelasi Spearmen dengan taraf kepercayaan 95% menggunakan software SPSS

versi 15.

Pengaruh mikroklimat gua terhadap pemilihan sarang kelelawar, dianalisis

dengan analisis multivariat CCA (canonical correspondence analysis)

menggunakan software canoco for windows 4.5. Penggunaan metode CCA ini

39

bertujuan untuk menentukan hubungan dalam bentuk grafik serta mengungkap

informasi maksimum dari suatu matriks data dengan faktor lingkungan secara

bersamaan. Matriks data tersebut terdiri atas jenis kelelawar dan faktor

lingkungan yang terdiri atas 9 parameter yaitu; jarak dari mulut gua, tinggi

sarang, suhu, kelembapan, intensitas cahaya, intensitas suara, kecepatan angin,

persentasi oksigen udara, dan kadar amonia udara. Untuk mengurutkan

mikroklimat yang paling berpengaruh terhadap pemilihan sarang kelelawar

digunakan RDA (Redundancy analysis) dengan metode forward selection dan

diuji menggunakan monte carlo permutation dengan 199 permutasi acak (Leps &

Smilauer 1999; Koneri 2007).

Hasil

Biodiversitas dan sebaran sarang kelelawar

Hasil penelusuran gua menunjukkan bahwa dari dua belas gua yang diteliti,

sepuluh gua dihuni kelelawar, dan dua gua tidak dihuni kelelawar. Jenis-jenis

kelelawar yang bersarang pada gua-gua tersebut terdiri atas empat jenis kelelawar

Megachiroptera dan sebelas jenis kelelawar Microchiroptera. Kelelawar

Megachiroptera terdiri atas: Cynopterus horsfieldii Gay, 1843 Cynopterus

brachyotis (Muller, 1838); Rousettus amplexicaudatus (Geoffroy, 1810); dan

Eonycteris spelaea (Dobson,1871). Kelelawar Microchiroptera terdiri atas

(Chaerophon plicata (Buchannan,1800), Hipposideros ater Templeton, 1848;

Hipposideros cf.ater; Hipposideros sp; Hipposideros bicolor (Temminck, 1834);

Hipposideros sorenseni Kitchener & Maryanto, 1993; Hipposideros diadema

(Geoffroy,1813); Rhinilophus borneensis Peters, 1861; Rhinolophus affinis

Horsfield, 1823; Miniopterus australis Tomes, 1858; dan Miniopterus

schreibersii (Kuhl, 1819). Gambar jenis-jenis kelelawar yang ditemukan dapat

dilihat pada Lampiran 1.

Gua Petruk paling banyak dihuni oleh kelelawar yaitu sembilan jenis,

diikuti oleh Gua Celeng (4 jenis), Gua Dempo, Gua Liyah, Gua Inten, Gua Kemit,

Gua Jatijajar (masing-masing 3 jenis), Gua Macan (2 jenis), Gua Sigong dan Gua

Tratag (1 jenis). Gua Tiktikan dan Gua Kampil tidak dihuni kelelewar. Kondisi

fisik gua dan struktur komunitas kelelawar yang ditemukan di gua-gua Karst

40

Gombong tersaji pada Tabel 1. Jenis dan kelimpahan kelelawar yang ditemukan

pada gua-gua yang dihuni kelelawar dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 17.

Peta sebaran sarang kelelawar pada setiap gua dapat dilihat pada Lampiran

2. Berdasarkan peta tersebut, dapat diketahui bahwa sarang kelelawar tersebar

mulai dari mulut gua sampai bagian terdalam gua. Ada indikasi beberapa jenis

kelelawar hanya menempati satu sarang dalam satu gua. Hal menarik ditemukan

di Gua Jatijajar, yaitu H. sorenseni (Subordo: Microchiroptera) ditemukan dalam

dua sarang yang letaknya berjauhan, sementara di gua-gua lainnya satu jenis

kelelawar hanya menempati satu sarang dalam satu gua.

Tabel 1 Kondisi fisik gua dan struktur komunitas kelelawar

Nama Gua

Fisik gua Struktur komunitas kelelawar PL (m)

LL (m)

TL (m)

P

V

N (ekor)

S

H'

E

Gua Sigong 40 4.8 1.8 1 0 3.7±1.15 1 0 - Gua Tiktikan 58 8.2 3.1 1 0 0 0 0 - Gua Tratag 68 8.4 2.6 2 4 2.0±1.20 1 0 - Gua Dempo 104 18 8.9 3 4 82.5±14.80 3 0.47±0.07 0.39±0.03 Gua Kampil 104 4.4 3.1 1 0 0 0 0 - Gua Macan 185 10.4 4.2 2 1 98.3±11.59 2 0.16±0.09 0.53±0.02 Gua Inten 208 18 14.2 1 2 1008.3±7.10 3 1.02±0.01 0.67±0.01 Gua Kemit 210 10.2 6.8 1 0 1266.6±44.00 3 0.85±0.16 0.55±0.08 Gua Jatijajar 310 12.8 12.6 3 3 802.0±52.40 3 0.93±0.10 0.58±0.07 Gua Liyah 380 22 8.4 2 2 715.0±125.60 3 1.03±0.01 0.65±0.01 Gua Celeng 410 26 6.2 1 0 876.0±26.00 4 0.91±0.08 0.05±0.13 Gua Petruk 420 32 14.2 2 3 4540.6±45.00 9 1.49±0.09 0.21±0.01 Keterangan: PL= panjang lorong gua P = jumlah pintu gua S = jumlah jenis LL= lebar lorong gua V= ventilasi gua H’= indeks keanekaragaman jenis TL= tinggi lorong gua N = kelimpahan E = indeks kemerataan

Kelelawar subordo Megachiroptera yang paling banyak ditemukan

sarangnya adalah E. spelaea (5 sarang), diikuti oleh R. amplexicaudatus (3

sarang); C. brachyotis (3 sarang), dan C. horsfieldii (1 sarang). Kelelawar

Microchiroptera yang paling banyak ditemukan sarangnya berturut-turut adalah

H. sorenseni (8 sarang); C. plicata (2 sarang) dan H. larvatus (2 sarang).

Sedangkan M. australis; M. schreibersi; R. affinis dan R. borneensis masing-

masing hanya ditemukan satu sarang.

41

Tabel 2 Jenis dan kelimpahan kelelawar pada gua-gua yang dihuni kelelawar

Keterangan: 1= anggota subordo Megachiroptera

2 = anggota subordo Microchiroptera

Jenis

Sigong

Tratag

Dempo

Macan

Inten

Kemit

Jatijajar

Liyah

Celeng

Petruk

C. brachiotis1 6.0±0.00 2.9±1.52 4.2±3.30 2.5±1.00 C. horsfieldii1 5.3±1.15

E.spelaea1 3.6±1.15 2.0±0.00 3.3±0.95 4.0±2 4.0±3.05 R. amplexicaudatus1 4.5±2.12 5.3±0.71 3.3±0.50

C. plicata2 606.6±120.55 3137.3±254.34Hipposideros sp2 205.3±84.03

H.ater2 135.5±82.92 H.cf. ater2 577.0±67.99 H.bicolor2 467.0±157.42

H. diadema2 18.5±50. H. sorenseni2 76.0±16.97 96.0±12.00 458.0±70.08 313.2±97.62 365.0±80.62 263.3±148.08 115.0±96.40 M. australis2 488.7±20.96

M. schreibersii2 388.0±99.97 R. affinis2 550.0±73.93

R. borneensis2 50.0±8.64

02468

101214161820

Gua Sigo

ng

Gua Ti

ktika

n

Gua Tr

atag

Gua D

empo

Gua Kam

pil

Gua M

acan

Gua In

ten

Gua Kem

it

Gua Ja

tijajar

Gua Li

yah

Gua C

eleng

Gua Petr

uk

R. borneensisR. affinisM. schreibersiiM. australisH. sorenseniH. diademaH.bicolorH.cf. ater H.aterHipposideros spC. plicataR. amplexicaudatusE.spelaeaC. horsfieldiiC. brachiotis

Gambar 17 Sebaran jenis kelelawar yang ditemukan pada setiap gua

Struktur komunitas kelelawar

Struktur komunitas yang dimaksud adalah keberadaan kelelawar dalam

konteks ruang yang meliputi kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan

indeks kemerataan jenis. Kelimpahan dan indeks keanekaragaman jenis kelelawar

tertinggi terdapat di Gua Petruk, sedangkan indeks kemerataan jenis tertinggi di

Gua Inten. Rata-rata dan standar deviasi struktur komunitas kelelawar di semua

gua tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Struktur komunitas kelelawar di setiap gua (n=3)

Lokasi

Kelimpahan (N)

Kekayaan Jenis (S)

Indeks keanekaragaman

(H')

Indeks kemerataan

(E) Gua Sigong 3.60±1.15 1 0 - Gua Tiktikan 0 0 0 - Gua Tratag 2.00±1.20 1 - - Gua Dempo 82.50± 14.80 3 0.47±0.070 0.40±0.030 Gua Kampil 0 0 0 - Gua Macan 98.30± 11.591 2 0.16±0.090 0.53±0.020 Gua Inten 1008.30± 71.50 3 1.02±0.010 0.67±0.010 Gua Jatijajar 802.00± 52.40 3 0.93±0.100 0.59±0.070 Gua Liyah 715.00±125.60 3 1.03±0.010 0.66±0.010 Gua Celeng 876.32±265.70 4 0.91±0.083 0.48±0.130 Gua Petruk 4540.61±457.80 9 1.49±0.090 0.21±0.009

kelim

paha

n (lo

g n+

1)

43

Hasil RDA hubungan antara struktur komunitas kelelawar dengan parameter

fisik gua menunjukkan bahwa panjang lorong gua (PG), lebar lorong gua (LG)

dan tinggi lorong gua (TG) berkorelasi nyata (P<0.05) dengan kelimpahan (N),

indeks keanekaragaman jenis (H’), dan indeks kemerataan jenis kelelawar (E).

Namun, jumlah pintu (P) dan jumlah ventilasi gua (V) tidak berkorelasi nyata

(P>0.05) dengan kelimpahan (N), indeks keanekaragaman jenis (H’), dan indeks

kemerataan jenis kelelawar (E). Panjang panah pada Gambar 18 menunjukkan

kekuatan korelasi antara variabel. Variabel dengan arah panah yang sama

berkorelasi positif, arah panah berlawanan berkorelasi negatif, arah panah tegak

lurus tidak berkorelasi. Nilai sudut antara dua panah menggambarkan nilai

korelasi kedua variabel. Semakin sempit sudut yang terbentuk antara dua variabel

maka semakin tinggi korelasinya, semakin tumpul semakin rendah korelasinya.

Hasil RDA disajikan pada Gambar 18.

-0.2 1.0

-0.6

0.6

E

S

H.

N

PGLG

TG

P

V

Gambar 18 Redundancy anlysis(RDA ) hubungan kelimpahan (N), kekayaan

jenis (S), keanekaragaman jenis (H’), dan kemerataan jenis (E) kelelawar dengan panjang lorong gua (PG), lebar lorong gua (LG), tinggi lorong gua (TG), jumlah pintu gua (P), dan jumlah ventilasi gua (V).

Gambar 18 menunjukkan bahwa kelimpahan (N) berkorelasi positif dengan

panjang lorong gua, lebar lorong gua dan tinggi lorong gua. Korelasi tertinggi

adalah dengan panjang lorong gua (RS=0.827; P< 0.05). Kekayaan jenis

berkorelasi positif dengan panjang lorong gua, lebar lorong gua dan tinggi lorong

gua. Korelasi tertinggi adalah dengan panjang lorong gua (RS=0.884; P< 0.05).

Indeks keanekaragaman jenis (H’) berkorelasi positif dengan panjang lorong gua,

Axi

s 2 (2

2 %

)

Axis 1 (45.9 %)

44

lebar lorong gua, dan tinggi lorong gua. Korelasi tertinggi adalah dengan lebar

lorong gua (RS=0.898; P < 0.05). Indeks kemerataan jenis (E) berkorelasi positif

dengan panjang lorong gua, lebar lorong gua, dan tinggi lorong gua. Korelasi

tertinggi adalah dengan lebar lorong gua (RS=0.757; P < 0.05). Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa semakin panjang, lebar dan tinggi lorong gua

menyebabkan semakin banyak jumlah populasi kekelawar, semakin tinggi

keanekaragaman jenis, dan semakin merata sebaran kelelawar yang bersarang di

dalamnya. Sebaliknya, hasil uji RDA menunjukkan tidak adanya korelasi

signifikan (P>0.05) antara kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks

kemerataan jenis kelelawar dengan jumlah ventilasi dan jumlah pintu gua. Artinya

kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis kelelawar

di gua-gua Karst Gombong tidak dipengaruhi oleh banyaknya jumlah pintu dan

jumlah ventilasi gua.

Hal menarik terlihat pada dua gua yang mempunyai lorong pendek (<

100m) yaitu Gua Sigong dan Gua Tratag. Kedua gua tersebut dihuni oleh

kelelawar, tetapi hanya satu jenis Megachiroptera dan jumlahnya sangat sedikit ( <

4 ekor). Sementara gua lain, yaitu Gua Kampil yang mempunyai lorong sedang

(100m s/d 200m) sama sekali tidak dihuni kelelawar.

Pola pemilihan sarang kelelawar

Hasil pengukuran mikroklimat sarang kelelawar pada setiap gua dapat

diterangkan sebagai berikut : di Gua Macan, C.brachyotis bersarang di lokasi

dengan jarak 2 ± 0.7 m, tinggi 8.8 ± 0.6 m, suhu 2 ± 0.7oC, kelembapan 54.6 ±

1.15%, intensitas cahaya 81.4 ± 50 lux, intensitas suara 289.5 ± 115 db, kecepatan

angin 0.001 ± 0 m/s, kadar oksigen 21.1 ± 0.57 %, dan kadar amonia udara 944 ±

0 ppm. Secara lengkap, hasil pengukuran mikroklimat sarang semua jenis

kelelawar pada setiap gua dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil analisis RDA dengan metode seleksi langkah maju (forward

selection) menunjukkan terdapat lima parameter fisik mikroklimat yang

mempengaruhi pemilihan sarang kelelawar, yaitu jarak dari pintu gua, suhu,

kelembapan, intensitas cahaya, dan intensitas suara. Dari ke-lima parameter

tersebut yang paling dominan mempengaruhi pemilihan sarang oleh kelelawar

45

adalah intensitas suara, karena mempunyai eigenvalue tertinggi, diikuti oleh jarak

dari pintu gua, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya (Tabel 5).

Tabel 4 Hasil pengukuran mikroklimat sarang kelelawar (rata-rata dan standar

deviasi, n= 3, kecuali NH3, n=1)

Jenis Gua J

T

S

K

IC

IS

KA

O2

NH3

(m) (m) (oC) (%) (lux) (db) (m/s) (%) (ppm)

C_b1 Macan 2.0±0.70 8.8±0.60 27.7±0.30 54.6±1.15 81.4±50.00 289.5±11.50 0.0±0.00 21.1±0.57 944

C_b1 Liyah 2.0±0.75 8.6±0.85 27.1±0.10 53.5±1.9.0 55.7±0.30 62.3±15.50 18.6±9.60 20.9±0.1 1110

C_b1 Tratag 1.4±0.00 12.0±0.00 28.2±0.20 56.4±0.00 406.2±0.00 82.1±0 14.2±0.00 20.9±0.00 210

C_b1 Petruk 0.3±0.10 11.0±1.10 27.2±0.30 53.6±2.67 273.7±11.00 257.3±75.2 20.3±11.00 20.9±0.00 1340

C_h1 Jatijajar 5.8±0.55 11.6±1.80 29.9±0.70 56.6±0.50 202.9±17.00 89.5±8.14 23.4±11.00 20.9±0.00 940

E_s1 Celeng 13.1±1.10 11.4±0.90 28.0±0.10 62.5±2.00 3.73±0.50 11.07±2.36 0.001±0.00 21.2±0.09 1100

E_s1 Inten 12.6±0.90 11.0±0.60 28.1±0.30 60.5±0.47 7.4±4.50 16.9±3.22 0.1±0.09 20.9±0.06 1020

E_s1 Dempo 13.7±1.20 11.2±1.70 28.8±0.10 59.9±1.50 2.8±2.30 43.4±4.00 2.1±1.50 21.0±0.00 722

E_s1 Sigong 11.3.0±3.00 11.13±2.0 28.3±0.01 61.7±0.78 9.1±0.86 101.4±19.0 1.6±1.30 21.0±0.17 128

R_a1 Macan 8.2±0.10 11.0±0.8 28.2±0.09 52.7±0.42 40±0.07 65±10.70 21.8±2.40 20.9±0.00 1108

R_a1 Dempo 9.0±0.20 11.7±1.0 27.5±0.10 53.6±0.56 81.7±10.00 195.4±36.0 9.8±8.40 20.9±0.00 640

R_a1 Petruk 20.5±2.80 17.7±0.6 27.1±0.10 56.2±1.40 83.8±6.80 93.2±34.00 15.7±11.00 21.1±0.11 640

C_p2 Celeng 158.6±8.00 20.0±1.00 29.5±0.40 69.1`±1.00 0.1±0.10 25.5±20.60 0.0±0.00 21.9±0.48 1288

C_p2 Petruk 106.8±4.00 26.5±5.00 29.3±0.20 68.9±1.68 0.0±0.00 22.6±9.10 0.5±1.09 22.0±0.05 2810

Hsp2 Jatijajar 160.5±2.00 2.5±0.20 29.0±0.00 79.6±0.60 0.0±0.00 33.8±43.00 0.0±0.00 21.9±3.30 1580

Hsp2 Kemit 307.0±3.00 3.7±0.60 29.1±0.00 77.6±0.50 0.0±0.00 3.4±0.22 0.0±0.00 22.4±0.45 1562

H_a2 Petruk 261.0±40.00 1.425±0.0 26.6±0.10 77.7±0.50 0.0±0.00 11.8±6.09 0.0±0.00 22.1±0.05 1890

Hca2 Petruk 308.5±1.00 3.6±0.40 26.4±0.40 77.5±0.40 0.0±0.00 4.05±2.20 1.3.0±0.50 21.8±0.16 1690

H_b2 Petruk 243.9±6.00 1.55±0.40 28.7±0.20 74.7±0.90 0.5±0.10 21.0±0.22 0.0±0.00 22.1±0.05 2190

H_d2 Petruk 158.3±1.00 8.5±0.97 28.2±0.16 79.2±1.22 0.0±0.00 5.6±0.90 0.0±0.00 22.0±0.00 2120

H_s2 Macant 93.6±10.00 8.0±0.80 28.0±0.05 70.6±2.30 0.0±0.00 0.2±0.00 0.0±0.00 21.7±0.60 2160

H_s2 Celeng 85.3±6.10 9.8±1.10 27.9±0.33 68.6±2.30 0.0±0.00 8.79±6.45 0.0±0.00 22.2±0.72 2160

H_s2 Dempo 80.1±8.30 6.7±0.14 28.1±0.12 69.3±1.06 11.5±1.4 5.5.0±6.60 1.1±0.42 21.1±0.14 2664

H_s2 Jatijajar 121.7±3.00 7.4±0.70 27.7±0.32 71.3±1.16 59.6±33 23.4±18.60 0.4±0.40 21.2±0.80 1230

H_s2 Jatijajar 88.3±6.50 6.8±0.65 27.5±0.12 70.2±0.20 32.03±17 38.3±21.00 0.3±0.05 21.9±3.30 1140

H_s2 Kemit 15.5±3.10 11.2±0.80 28.3±0.21 63.8±1.30 5.5±1.09 64.6±3.60 26.3±5.3 21.4±0.5 1100

H_s2 Kemit 120.6±10.00 7.1±0.80 28.2±0.30 70.6±1.15 0.0±0.00 10.2±9.00 0.0±0.00 22.1±1.01 1486

H_s2 Liyah 131.4±10.00 6.8±0.22 28.05±0.0 69.4±0.68 0.1±0.01 5.9±5.00 0.0±0.00 22.1±0.30 1653

H_s2 Petruk 75.8±11.00 6.0±0.80 27.9±0.10 70.0±0.86 0.1±0.01 21.5±2.70 15.2±12.00 21.4±0.10 2090

M_a2 Inten 100.6±8.00 10.0±1.73 27.4±0.50 74.0±0.67 0.1±0.01 6.1±3.38 0.0±0.00 20.9±0.16 3180

M_s2 Liyah 135±46.00 16.7±6.60 28.95±1.0 65.2±3.70 0.1±0.01 18.6±10 0.0±0.00 21.9±0.30 1872

R_af2 Inten 199.7±1.00 3.9±0.57 30.2±0.50 69.0±0.49 0.0±0.00 4.6±2.80 0.0±0.00 21.9±0.57 3310

R_b2 Petruk 385±5.70 4.85±0.00 28.1±0.00 81.1±1.21 0.0±0.00 0.0±0.00 0.0±0.00 22.0±0.02 561

Keterangan : R =Sarang kelelawar P = Dugaan populasi J= Jarak dari mulut gua T = Tinggi sarang S= Suhu K=Kelembapan udara

C_p = C.plicata H_a= H. ater Hca= H.cf.ater H_b = H.bicolor H_d= H.diadema Hsp= Hipposideros,sp

Raf= R.affinis R_b= R. borneensis C_b= C.brachyotis C_h= C. horsfieldii E_s=E .spelaea R_a=R. Amplexicaudatus

46

IC= Intensitas cahaya IS= Intensitas suara KA= Kecepatan angin

H_s=H.sorenseni M_a = M.australis M_s= M.schreibersii

1 = Anggota Megachiroptera 2 = Anggota Microchiroptera

Tabel 5 Urutan parameter fisik mikroklimat yang mempengaruhi pemilihan sarang kelelawar

Parameter Mikroklimat Urutan F λ Pvalue

Intensitas suara 1 10.21 0.09 0.0050* Jarak 2 5.69 0.05 0.0050*

Suhu 3 4.89 0.04 0.0050*

Kelembapan 4 1.98 0.02 0.0200*

Intensitas cahaya 5 1.84 0.01 0.0100*

Amonia 6 1.53 0.01 0.1100

Tinggi 7 1.41 0.01 0.1600

Angin 8 1.31 0.01 0.2200

Oksigen 9 0.96 0.00 0.2300

Keterangan : F = F rasio; λ= nilai eigenvalue; * = berbeda nyata (P<0.05). Data diperoleh dari analisis RDA dengan metode seleksi langkah maju (forward selection), dan diuji dengan menggunakan Monte Carlo permutation dengan 199 permutasi acak.

Faktor fisik mikroklimat yang mempengaruhi pemilihan (preferensi) sarang

untuk setiap jenis kelelawar dapat diterangkan dengan CCA (Canonical

correspondence analysis). Hasil CCA disajikan dalam bentuk grafik pada

Gambar 19. Gambar tersebut menunjukkan hubungan antara jenis kelelawar

dengan parameter fisik mikroklimat sarang berdasarkan 3 axis. Secara bersama-

sama axis 1, axis 2, dan axis 3 dapat menerangkan varian data sebesar 78.4% dari

varian total. Hasil CCA tersebut menunjukkan pengelompokan jenis-jenis

kelelawar berdasarkan kecenderungan pemilihan sarangnya menjadi lima

kelompok. Berdasarkan kecenderungan tersebut tampak adanya pola pemilihan

sarang yang spesifik oleh setiap kelompok.

Kelompok 1 adalah C. brachyotis, C. horsfieldii, E. spelaea dan R.

amplexicaudatus, yaitu kelompok kelelawar yang memilih sarang di lokasi yang

bising (intensitas suara > 20 db), dekat dari pintu gua (<50m), panas (suhu

>28.5oC), kering (kelembapan < 65%), dan terang (intens sinar >50 lux).

Kelompok lainnya, memilih sarang dengan pola yang berbeda. Kelompok yang

memiliki kecenderungan sama dalam memilih sarang diduga memiliki kesamaan

47

dalam hal anatomi dan fisiologi. Secara lengkap pola pemilihan sarang kelelawar

dapat dilihat pada Tabel 6.

a) Grafik hubungan axis 1 dan axis 2 b) Grafik hubungan axis 1 dan axis 3 Gambar 19 Grafik analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) jenis kelelawar

berdasarkan kondisi fisik mikroklimat sarang. 1=C.plicata; 2 = H.ater; 3 = H.cf.ater; 4 = H.bicolor; 5= H.diadema; 6= H.larvatus; 7=H.sorenseni; 8 = M.australis; 9 = M.schreibersii; 10= R.affinis; 11 = R. borneensis; 12 = C.brachyotis;13 = C. horsfieldi 14 = E .spelaea; 15= R.amplexicaudatus; A= Jarak dari mulut gua; B = Tinggi dari lantai gua; C= Suhu D= Kelembapan ;E= Intensitas cahaya ; F= Intensitas suara; G= Kecepatan angin H = Oksigen I = Amonia.

Tabel 6 Pengelompokan kelelawar berdasarkan pola pemilihan sarang

Kelompok Jenis kelelawar Intensitas suara (db)

Jarak dari pintu gua

(m)

Suhu (oC)

Kelembapan (%)

Intensitas sinar (lux)

I C.brachyotis C.horsfieldii E.spelaea R.amplexicaudatus

≥ 20 (bising)

≤ 50 (dekat )

≥28.5 (panas)

≤65 (kering)

≥ 50 (terang)

II H.sorenseni 0.5 s/d 20 (sunyi)

50 s/d 150 (sedang)

≤28.5 (dingin)

65 s/d 75 (lembap)

5 s/d 50 (gelap)

III M.schreibersii R.affinis

≤0.5 (sangat sunyi)

150 s/d 250

(jauh)

≥28.5 (panas)

65 s/d 75 (lembap)

5 s/d 50 (gelap)

IV C.plicata H.cf.ater Hipposideros sp H.bicolor

0.5 s/d 20 (sunyi)

150 s/d 250

(jauh )

≤28.5 (dingin)

≥75 (sangat lembap)

≤5 (sangat gelap)

V H.ater R.borneensis

≤0.5 (sangat sunyi)

≥250 (sangat jauh)

≤28.5 (dingin)

≥75 (sangat lembap)

≤5 (sangat gelap)

-0.6 1.0

0.6

12

7

1514

18

10

6

9

4

53

2

11

A

B3C

D

E F

GH

I

AX

IS 3

( 1

0.4

%)

AXIS 1 (45.9%)

-0.6 1.0

-0.8

1.0

12

7

14

1

910

6 8

4

53

2

A

B

C

D E

FG

I

11

15

AXIS 1 (45.9 %)

AX

IS 2

(2

2 %

)

H 13

48

Pembahasan

Jumlah semua jenis kelelawar yang ditemukan di gua-gua Karst Gombong

mencapai 15 jenis atau 10% dari 151 jenis yang pernah dilaporkan terdapat di

Indonesia (Suyanto et al. 1998). Bila dibandingkan dengan penelitian yang

dilakukan di kawasan karst lain di Indonesia maupun di luar Indonesia, jumlah

jenis yang ditemukan dalam penelitian ini tergolong tinggi. Di Indonesia,

penelitian Maryanto & Maharadatunkamsi (1991) di gua-gua Karst Sumbawa,

mendapatkan delapan jenis kelelawar, penelitian Saroni (2005) di gua-gua

kawasan Karst Sangkulirang-Mangkaliat Kalimantan Timur mendapatkan

sembilan jenis kelelawar, penelitian Pujirianti (2006) di gua-gua kawasan Karst

Alas Purwo mendapatkan 13 jenis kelelawar, dan penelitian Apriandi et al. (2008)

di gua-gua kawasan Karst Gudawang Bogor mendapatkan 10 jenis kelelawar. Di

luar Indonesia, penelitian Furman & Ozgul (2002) mendapatkan delapan jenis

kelelawar di Karst Istambul Turki, dan penelitian Parsons et al. (2002)

mendapatkan 11 jenis kelelawar di Britain Inggris. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa Karst Gombong menyimpan kekayaan jenis kelelawar yang

cukup tinggi.

Banyaknya jumlah jenis yang ditemukan dalam penelitian ini disebabkan

gua-gua di kawasan Karst Gombong memiliki ukuran dan geomorfologi yang

berbeda-beda, sehingga terbentuk lingkungan fisik yang sangat bervariasi. Setiap

kondisi lingkungan gua yang berbeda menghasilkan mikro habitat unik yang

dihuni jenis kelelawar berbeda-beda. Selain itu ketersediaan pakan dan sumber

air di kawasan Karst Gombong juga mendukung banyak jenis kelelawar untuk

hidup dan bertahan. Gua-gua yang diteliti seluruhnya berada di lingkungan hutan

karst yang dikelilingi oleh lahan pertanian. Menurut Riswan et al. (2006) vegetasi

hutan karst di kawasan Karst Gombong terdiri atas 187 jenis tumbuhan yang

termasuk dalam 125 marga dan 60 suku tumbuhan. Jenis-jenis tanaman tersebut

menyediakan pakan bagi kelelawar.

Jumlah jenis kelelawar dalam satu gua yang ditemukan di gua-gua karst di

Indonesia pada penelitian-penelitian sebelumnya, antara satu sampai enam jenis

kelelawar (Maryanto & Maharadatunkamsi 1991; Saroni 2005; Pujirianti 2006;

Apriandi 2006). Beberapa hasil penelitian pada kawasan karst lain di luar

49

Indonesia mendapatkan jumlah yang bervariasi antara satu sampai tiga jenis

kelelawar dalam satu gua. Misalnya penelitian Seckerdieck et al. (2005) di Gua

Alterberga Jerman hanya mendapatkan satu jenis kelelawar: Rhinolophus

hipposideros (Microchiroptera) bersarang dalam satu gua. Penelitian Dunn

(1978) di Gua Anak Takun Malaysia; penelitian Duran & Centano (2002) di Gua

Bonita India Barat ; dan penelitian Zukal et al. (2005) di Gua Katerinska

Chekoslovakia masing-masing menemukan dua jenis kelelawar bersarang dalam

satu gua. Penelitian Zahn dan Hager (2005) mendapatkan tiga jenis kelelawar

bersarang dalam satu gua yang berlokasi di Bavaria Jerman. Dalam penelitian ini

terdapat satu gua, yaitu Gua Petruk yang dihuni oleh sembilan jenis kelelawar.

Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan penemuan-penemuan sebelumnya.

Banyaknya jenis kelelawar yang ditemukan di Gua Petruk disebabkan

variasi lingkungan yang terbentuk di Gua Petruk. Hal ini sesuai dengan pendapat

Castillo et al. (2009) bahwa kondisi lingkungan di dalam satu gua dapat berbeda

antara satu zona (mintakat) dengan zona lainnya, dan dapat menyebabkan

pemisahan mikroklimat dalam ruang gua. Pemisahan mikroklimat tersebut dapat

mengundang keanekaragaman jenis mahluk hidup.

Megachiroptera yang ditemukan dalam penelitian, dua jenis di antaranya

yaitu Cynopterus horsfieldi dan Cynopterus brachiotis, tidak pernah didapatkan

bersarang di gua karst pada penelitian sebelumnya baik yang dilakukan di

Indonesia maupun di luar Indonesia. Kedua jenis kelelawar tersebut lebih sering

ditemukan bersarang di pepohonan, sesuai dengan hasil penelitian Ruczynski et

al. (2007) dan Soegiharto & Kartono (2009). Menurut Altringham (1996),

kelelawar genus Cynopterus memilih bersarang di pepohonan karena

mengandalkan penglihatannya untuk mengenali lingkungan. Ditemukannya jenis

C. horsfieldii dan C. brachyotis hanya dalam penelitian ini, menunjukkan gua-

gua yang dihuni jenis tersebut intensitas cahayanya tinggi, sehingga masih

memungkinkan C. horsfieldii dan C. brachyotis menggunakan penglihatannya.

Hal ini didukung oleh hasil pengukuran mikroklimat sarang, terbukti C.

horsfielsdii memilih sarang di tempat yang terang (intensitas cahaya > 50 lux).

Sementara, dua jenis Megachiroptera lainnya yaitu R.amplexicaudatus dan E.

spelaea pernah ditemukan bersarang di dalam gua karst pada beberapa penelitian

50

sebelumnya (Maryanto & Maharadatunkmsi 1991; Suyanto 2001; Pujirianti

2006). Menurut Altringham (1996), R. amplexicaudatus dan E. spelaea mampu

menggunakan ekholokasi untuk memahami ruang, meskipun kemampuan

ekholokasinya tidak sebaik kelelawar Microchiroptera. Hal ini menyebabkan R.

amplexicaudatus dan E. spelaea sering ditemukan bersarang di dalam gua dengan

kondisi gelap ataupun terang.

Ke-lima genus Microchiroptera yang ditemukan dalam penelitian ini

seluruhnya pernah dilaporkan bersarang di gua-gua karst di luar Indonesia

maupun di Indonesia (Dunn 1978; Maryanto & Maharadatunkamsi 1991; Furman

& Ozgul 2002; Parsons et al. 2002; Seckerdieck et al. 2004; Zahn dan Hager

2005; Saroni 2005; Pujirianti 2006 dan Apriandi et al. 2008). Hal ini

menunjukkan genus tersebut merupakan penghuni gua yang sudah teradaptasi

dengan kondisi lingkungan gua. Menurut Altringham (1996) dan Zahn & Hager

(2005), beberapa jenis Microchiroptera memilih gua sebagai sarang karena

kondisi gua lembap, suhu stabil dan jauh dari kebisingan. Dengan kondisi

demikian kelelawar dapat meminimalkan kekurangan air akibat evaporasi, dapat

memilih suhu yang tepat untuk tubuhnya, dan dapat menghindari kebisingan yang

dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan kematian. Kondisi gua yang gelap

tidak menjadi masalah bagi kelelawar Microchiroptera. Hal ini karena

Microchiroptera memiliki ekholokasi, yaitu kemampuan mendeteksi benda-

benda di sekitarnya, dengan menggunakan gelombang pantul (echo/ gema)

berfrekuensi ultrasonik. Ekholokasi ini menyebabkan dalam kondisi gelap,

kelelawar mampu berorientasi terhadap ruang gua (Verboom et al. 1999; Ulrich

et al. 2003).

Berdasarkan jumlah temuan sarang (Gambar 16), kelelawar

Megachiroptera yang paling banyak ditemukan sarangnya adalah E. spelaea.

Microchiroptera yang paling banyak ditemukan sarangnya adalah H. sorenseni.

Hal ini menunjukkan, meskipun membutuhkan kondisi lingkungan tertentu,

kondisi lingkungan yang diinginkan oleh kedua kelelawar tersebut tersedia di

banyak gua di Karst Gombong. Sebaliknya, C. horsfieldii (Megachiroptera), M.

australis; M. schreibersi; R. affinis dan R. borneensis hanya ditemukan di satu

51

gua. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis kelelawar tersebut menghendaki

kondisi lingkungan yang spesifik yang hanya tersedia di satu gua saja.

Hal menarik ditemukan di Gua Jatijajar, dimana kelelawar H. sorenseni

(Subordo: Microchiroptera) ditemukan dalam dua sarang yang letaknya berjauhan,

sementara di gua-gua lainnya satu jenis kelelawar hanya menempati satu sarang.

Hal ini dapat dijelaskan dengan hasil penelitian Rossiter et al. (2002) yang

menguji genetik 15 individu betina Rhinolophus ferrumequinum (Rhinolophidae :

Microchiroptera) di Barat Daya Britain dengan menggunakan microsatellite.

Hasilnya menunjukkan, individu jenis sama tetapi berasal dari koloni berbeda

memiliki jarak genetik antara 0.17 – 0.64. Sementara, individu yang berasal dari

satu koloni yang sama memiliki jarak genetik mendekati nol (0.03). Hal ini

menunjukkan anggota koloni yang sama memiliki hubungan kekerabatan yang

sangat dekat atau berasal dari induk yang sama sedangkan koloni yang berbeda,

meskipun dari jenis yang sama memperlihatkan hubungan kekerabatan yang

cukup jauh atau berasal dari induk yang berbeda. Berdasarkan pernyataan

tersebut, dapat diduga bahwa dua koloni H. sorenseni yang ditemukan di Gua

Jatijajar merupakan koloni yang berasal dari induk yang berbeda.

Hasil RDA menunujukkan semakin panjang, tinggi, dan lebar lorong gua,

semakin tinggi kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan kemerataan jenis

kelelawar. Hal ini sesuai dengan pendapat Maguran (2004) bahwa semakin luas

habitat, semakin banyak mahluk hidup yang dapat hidup di dalamnya. Lebih

lanjut Baudinette et al. (1994) menjelaskan bahwa lorong gua yang panjang dapat

menyebabkan pemisahan mikroklimat ruang gua. Semakin banyak mikroklimat

yang terbentuk, maka semakin banyak jenis kelelawar yang dapat bersarang di

ruang-ruang tersebut. Hasil penelitian Sevcik (2003) pada kelelawar Plecotus

auritus dan P. austriacus telah mampu menerangkan mengapa semakin lebar

lorong gua, semakin tinggi indeks keanekaragaman jenis kelelawar. Menurut

Sevcik (2003), P. auritus lebih leluasa melakukan manuver daripada P.

austriacus. Akibatnya P. auritus memiliki keunggulan tersendiri dalam eksploitasi

habitat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa gua dengan

lorong sempit hanya dapat dihuni oleh jenis tertentu saja, yaitu jenis yang mampu

malakukan manuver dengan baik. Sebaliknya pada gua dengan lorong lebar, dapat

52

dihuni kelelawar dengan kemampuan lebih beragam. Akibatnya, semakin lebar

lorong gua, maka semakin banyak jenis yang dapat bersarang di dalamnya.

Gua-gua dengan lorong pendek (< 100m) dapat dihuni oleh Megachiroptera.

Sementara Microchiroptera hanya menghuni gua dengan panjang lorong lebih

dari 100 meter. Hal ini karena gua dengan lorong pendek hanya memiliki

mikroklimat dengan kondisi panas, terang, kering dan bising. Berdasarkan hasil

identifikasi mikroklimat sarang, diketahui bahwa kondisi ini tidak disukai oleh

Microchiroptera, sementara Megachiroptera dapat bertahan dengan kondisi

tersebut. Hal menarik terlihat di Gua Kampil yang memiliki panjang lorong lebih

dari 100 meter, lebar lorong 4.2 meter dan tinggi lorong 3.1 meter. Di gua tersebut

tidak ditemukan kelelawar. Diduga ada faktor lain, selain faktor fisik dan

mikroklimat gua yang menyebabkan gua tersebut tidak dihuni kelelawar. Faktor

tersebut adalah gangguan oleh manusia. Berdasarkan hasil pengamatan, di lorong

Gua Kampil ditemukan bekas galian yang ditinggalkan oleh penambang ilegal.

Kegiatan penambangan tersebut diduga mengganggu kelelawar, dan

menyebabkan gua tersebut tidak dihuni kelelawar.

Tidak berpengaruhnya jumlah pintu gua dan jumlah ventilasi gua pada

struktur komunitas kelelawar (kelimpahan, keanekaragaman jenis, dan

kemerataan jenis) disebabkan meskipun mempunyai beberapa pintu dan ventilasi,

semua jenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua cenderung menggunakan

satu pintu atau ventilasi yang sama untuk keluar masuk gua. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Schnitzler et al. (2003) yang membuktikan ketika terbang

menuju lokasi sarang dan tempat pencarian makan, kelelawar cenderung

menggunakan jalur yang sama. Transfer informasi penggunaan jalur terbang ini

dilakukan dari orang tua (induk) kepada anak melalui perilaku mengikuti

(following behavior).

Hasil CCA menunjukkan lima parameter yang berpengaruh pada pemilihan

sarang kelelawar berturut-turut dari yang paling kuat sampai yang paling lemah

pengaruhnya adalah: intensitas suara, jarak dari pintu gua, suhu, kelembapan dan

intensitas cahaya. Penelitian Schnitzler et al. (2003) membuktikan durasi sinyal

ekholokasi yang digunakan oleh kelelawar Nyctalus noctula dan Rhinolophus

ferrumequinum di habitat tertutup lebih panjang daripada di habitat terbuka. Hal

53

ini karena, di ruang tertutup gema yang dihasilkan lebih kompleks sehingga

kelelawar lebih sulit menganalisis gelombang pantul (ekholokasi). Oleh kerena

itu, di ruang tertutup seperti di dalam gua, gangguan suara sedikit saja akan

menyebabkan kelelawar gagal menganalisis gelombang pantul. Akibatnya,

beberapa jenis kelelawar yang memiliki pendengaran sangat sensitif memilih

sarang dengan intensitas suara mendekati nol, sedangkan jenis-jenis kelelawar

yang pendengarannya kurang sensitif dapat bersarang di lokasi dengan intensitas

suara tinggi.

Jarak dari pintu gua merupakan parameter kedua setelah intensitas suara

yang berpengaruh nyata pada pemilihan sarang kelelawar. Hal ini karena untuk

dapat terbang dalam lorong gua yang panjang dan sempit, dibutuhkan gerakan

manuver yang baik. Sebagai akibatnya, dalam memilih lokasi sarang, kelelawar

yang mampu terbang dengan manuver yang baik cenderung memilih lokasi sarang

pada jarak yang jauh dari lorong gua karena lebih aman dari gangguan manusia.

Sebaliknya, kelelawar yang tidak mampu melewati lorong gua yang panjang

memilih sarang di lokasi yang dekat dari pintu gua untuk memudahkan kelelawar

tersebut keluar atau masuk ke dalam sarang.

Suhu merupakan parameter fisik mikroklimat urutan ke-tiga yang

berkorelasi nyata pada pemilihan sarang kelelawar. Penelitian Zukal et al. (2005)

membuktikan bahwa kelelawar Myotis myotis and Rhinolophus hipposideros

memilih ruang yang hangat (20oC s/d 26oC) ketika melakukan hibernasi di musim

dingin. Hal ini karena kelelawar merupakan homoikioterm (suhu tubuh konstan)

yang mempunyai batas toleransi sempit pada suhu lingkungan. Batas toleransi

tersebut berbeda antara satu jenis kelelawar dengan jenis lainnya, sehingga setiap

jenis kelelawar memilih sarang yang sesuai dengan batas toleransi tubuhnya.

Kelembapan merupakan parameter urutan ke-empat yang berkorelasi nyata

pada pemilihan sarang kelelawar. Menurut Baudinete et al. (1994) membran

petagium (sayap) kelelawar tersusun atas lapisan kulit tipis yang sangat peka pada

kekeringan. Hal ini menyebabkan kelelawar yang mempunyai membran petagium

tipis memilih lokasi sarang yang lembap, sedangkan yang memiliki membran

petagium tebal mampu bersarang di lokasi gua yang cenderung kering.

Berdasarkan kekuatan korelasinya, intensitas cahaya merupakan parameter

54

terakhir yang berkorelasi pada pemilihan sarang kelelawar. Megachiroptera

cenderung menggunakan penglihatannya untuk berorientasi pada ruang. Oleh

karena itu, jenis-jenis kelelawar Megachiroptera cenderung memilih lokasi di

dalam gua yang mempunyai intensitas cahaya tinggi. Sebaliknya, jenis-jenis

Microchiroptera lebih menggunakan kemampuan ekholokasinya untuk

berorientasi pada ruang, sehingga tidak memerlukan cahaya dan memilih sarang

di ruang gua yang intensitas cahayanya rendah.

Hasil analisis CCA menunjukkan 5 kelompok kelelawar berdasarkan

kecenderungan pola pemilihan sarangnya. Kelompok I seluruhnya adalah anggota

Megachiroptera. Menurut Altringham (1996) kebanyakan kelelawar pemakan

buah (Magachiroptera) lebih sering bersarang di pohon daripada di gua. Hal ini

karena kelelawar Megachiroptera masih mengandalkan penglihatan daripada

ekholokasi, sehingga untuk berorientasi pada lingkungan masih dibutuhkan

cahaya. Pola pemilihan sarang oleh Megachiroptera ini menyebabkan

Megachiroptera dapat menghuni gua dengan panjang lorong kurang dari 100

meter, misalnya di Gua Sigong dan Gua Tratag. Karena gua-gua yang lorongnya

pendek biasanya hanya memiliki ruang dengan mikroklimat panas, terang, kering

dan bising.

Kelompok II, hanya terdiri atas kelelawar H. sorenseni. Berdasarkan hasil

pemetaan sarang, kelompok ini paling banyak ditemukan di gua-gua Karst

Gombong (8 sarang). Hal ini menunjukkan, kondisi lingkungan sarang yang

diinginkan oleh kelelawar tersebut (dingin, lembap, gelap, dan sunyi) paling

banyak tersedia di gua-gua Karst Gombong. Sejauh ini belum ada penelitian

yang menjelaskan kecenderungan pemilihan sarang jenis tersebut, kecuali

penelitian di Karst Gombong ini.

Kelompok III terdiri atas M. schreibersii dan R. affinis. Hasil penelitian ini

didukung oleh hasil penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Apriandi et al. (2008)

yang mendapatkan jenis R. affinis di beberapa gua Karst Gudawang Bogor berada

pada jarak rata rata 180 m dari pintu gua, suhu 27.5oC dan kelembapan 96%.

Kelompok IV terdiri atas C. plicata, H.cf. ater, Hipposideros sp, dan H. bicolor.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Twente (2004) yang

mendapatkan C. plicata dengan jumlah ribuan ekor di kubah gua di Istambul

55

Turki berada pada jarak 200 m dari pintu gua , suhu 27.5oC. Kelompok V terdiri

atas H. ater dan R. borneensis. Pemilihan sarang R. borneensis yang ditemukan

dalam penelitian ini (berjarak > 250 m dari pintu gua) sedikit berbeda dari hasil

penelitian Saroni (2005) yang mendapatkan jenis tersebut bersarang pada jarak

152 m dari pintu gua, suhu 25oC dan kelembapan 85%.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan :

1. Jenis-jenis kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong ada 15 jenis,

yaitu 4 jenis Megachiroptera terdiri atas Cynopterus horsfieldii Gay, 1843;

Cynopterus brachyotis (Muller, 1838); Rousettus amplexicaudatus (Geoffroy,

1810); Eonycteris spelaea (Dobson,1871), dan 11 jenis Microchiroptera

terdiri atas Chaerophon plicata (Buchannan,1800), Hipposideros ater

Templeton, 1848; Hipposideros cf.ater; Hipposideros sp; Hipposideros

bicolor (Temminck, 1834); Hipposideros sorenseni Kitchener & Maryanto,

1993; Hipposideros diadema (Geoffroy,1813); Rhinilophus borneensis

Peters, 1861; Rhinolophus affinis Horsfield, 1823; Miniopterus australis

Tomes, 1858; dan Miniopterus schreibersii (Kuhl, 1819). Kelimpahan,

indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan jenis kelelawa di gua-gua Karst

Gombong berkorelasi nyata dengan panjang lorong gua, lebar gua, dan tinggi

lorong gua. Semakin panjang, lebar, dan tinggi lorong gua, maka semakin

tinggi kelimpahan, keanekaragaman jenis, dan kemerataan jenis

kelelawarnya. Sementara jumlah pintu gua dan jumlah ventilasi gua tidak

berkorelasi nyata dengan struktur komunitas kelelawar.

2. Parameter fisik yang paling berpengaruh pada pemilihan sarang kelelawar

berturut-turut adalah : intensitas suara, jarak dari mulut gua, suhu,

kelembapan, dan intensitas cahaya. Berdasarkan perameter tersebut terdapat

5 kelompok kelelawar yang memililih tempat bersarang dengan pola yang

spesifik.

56

Saran

1. Karst Gombong perlu diusulkan sebagai kawasan konservasi, mengingat

kawasan karst tersebut memiliki keanekaragaman jenis kelelawar yang tinggi.

2. Perlu dibuat zonasi pemanfaatan ruang gua berdasarkan pola pemilihan

sarang sesuai dengan informasi ilmiah yang didapat dari penelitian ini.

57

ANALISIS RELUNG PAKAN

KELELAWAR INSEKTIVORA (Subordo: Microchiroptera)

DAN KELELAWAR FRUGIVORA (Subordo: Megachiroptera)

YANG BERSARANG DI GUA-GUA KARST GOMBONG

KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH

ABSTRACT

The research aims to determine the diet of cave dwelling bats in Gombong Karst Area, Kebumen, Central Java. The research was done in June 2009 to March 2010. Stomach contents was collected and dissolved in aquadest. The material of insect were sorted and identified under microscope and compare to the insects that were collected by light trap in bat foraging area. The polen were collected from the intestine of fruit bats. The data were analyzed by Principle Component Analysis (PCA), chi square and niche overlap index. There were found eleven species of insectivorous bat and five species of frugivorous bat (four of those frugivorous bats roost in cave). The insects in gut content of insectivorous bats belong to 10 orders, distributed into 29 families. Otherwise, pollen in gut content of frugivorous bats belong to 9 families, distributed into 33 species of plant. Based on prey preference, the insectivorous bats can be classified into four goups. Based on flower and polen preference, the frugivorous bats can be classified into three goups. The niche overlap index between species of bats that occupy in one cave was less than 30%.

Key words : bat, insectivorus, frugivorous, cave,niche overlap index.

Pendahuluan

Ketersediaan pakan menentukan kelimpahan dan keberadaan kelelawar di

suatu habitat (Feeler & Pierson, 2002; Russso et al. 2003). Oleh karena itu,

kelelawar cenderung memilih sarang yang dekat dengan sumber pakan atau

memiliki akses pada sumber pakan. Hal ini dibuktikan oleh beberapa hasil

penelitian terdahulu. Menurut Law & Chidel (2002), Kerivoula papuensis

(Microchiroptera) bersarang pada jarak maksimum 2.1 km dari tempat pencarian

makannya di hutan hujan di New South Wales. Hodgkison et al. (2004)

membuktikan Balionycteris maculata mencari makan pada jarak satu kilometer di

sekitar sarangnya. Penelitian Agosta (2002) membuktikan Eptesicus fuscus

memilih sarang di dekat permukiman manusia, dan hasil analisis isi perut

menunjukkan bahwa makanannya adalah serangga yang banyak terdapat di

58

sekitar lampu penerangan permukiman tersebut. Demikian pula halnya dengan

kelelawar yang bersarang di gua-gua karst. Menurut Furman & Ozgul (2002),

selain memenuhi persyaratan fisik yang sesuai dengan tubuh kelelawar, gua yang

dipilih oleh kelelawar harus memiliki akses pada sumber pakan.

Hasil penelitian lain mengenai sarang kelelawar di gua-gua karst

menunjukkan bahwa satu gua dapat dihuni oleh beberapa jenis kelelawar. Duran

& Centano (2002) mendapatkan kelelawar insektivora Pteronotus quadridiens

dan Erophylla quadridiens bersarang dalam satu gua di Gua Bonita, Los Perez.

Furman & Ozgul (2002) mendapatkan tiga sampai lima jenis kelelawar bersarang

dalam satu gua di Istambul Turki. Apriandi et al. (2008) mendapatkan tiga

sampai delapan jenis kelelawar bersarang dalam satu gua di Karst Gudawang

Bogor. Mengingat gua tersebut harus memiliki akses pada sumber makanannya,

diduga jenis-jenis kelelawar yang bersarang dalam gua yang sama mencari makan

di tempat yang sama. Sejauh ini belum ada penelitian yang menjelaskan

pembagian relung pakan kelelawar yang bersarang di gua karst dan seberapa

besar kompetisi pakan di antara jenis-jenis kelelawar yang bersarang dalam satu

gua tersebut. Informasi dasar ini sangat diperlukan dalam upaya melestarikan

kelelawar. Terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan gua sebagai habitat

sarang dan pengelolaan habitat pencarian makannya.

Menurut Chairunnisa (1997) diduga Microchiroptera berasal dari nenek

moyang Rodensia yang cenderung insektivora, sedangkan Megachiroptera berasal

dari nenek moyang Primata yang cenderung frugivora. Hal ini didukung oleh

pendapat Altringham (1996) bahwa anggota subordo Microchiroptera sebagian

besar adalah pemakan serangga, sedangkan anggota subordo Megachiroptera

makanan utamanya adalah buah (frugivora). Selain itu menurut Nowak (1994)

selain memakan buah sebagai pakan utamanya, kelelawar Megachiroptera juga

memakan serbuk sari (polen) dan madu sebagi pakan tambahan (sumber protein).

Oleh karena itu, relung pakan kelelawar Microchiroptera dapat dianalisis

berdasarkan serangga yang dimakan oleh kelelawar Microchiroptera, dan relung

pakan Megachiroptera dapat dianalisis berdasarkan polen yang dimakan oleh

Megachiroptera.

59

Tujuan penelitian ini adalah : mengidentifikasi pakan kelelawar insektifora

dan kelelawar frugivora penghuni gua dan menentukan kesamaan relung pakan

kelelawar yang berasosisasi dalam satu gua yang sama. Hipotesis penelitian ini

adalah : asosiasi bersarang dalam satu gua oleh beberapa jenis kelelawar dapat

dilakukan oleh jenis-jenis yang memiliki indeks kesamaan relung pakan kecil (<

50%).

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2009 s/d Maret 2010 di sepuluh

gua yang dihuni kelelawar di Kawasan Karst Gombong Selatan, Kabupaten

Kebumen, Jawa Tengah, yaitu: Gua Celeng, Gua Dempo, Gua Inten, Gua

Jatijajar, Gua Kemit, Gua Liyah, Gua Macan, Gua Petruk, Gua Sigong, dan Gua

Tratag. Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Hewan Pusat Penelitian

Sumberdaya Hayati dan Biodiversitas (PPSHB) IPB Bogor.

Bahan yang digunakan adalah chloroform, alkohol 70%, gliserin dan cat

kuku. Alat yang digunakan adalah: mist net, harpa trap, hand net, insect net, light

trap, alat bedah, mikroskop cahaya merk olympus, mikrometer merk olympus,

sentrifuge, kaca objek, kaca penutup, kaca arloji, pipet, pinset, gelas ukur,

cawan petri, tabung reaksi, lampu spiritus, kertas hisap, dan kertas label.

Pengambilan sampel kelelawar Microchiroptera dilakukan di setiap sarang,

masing-masing sebanyak 5 s/d 10 individu. Sampel diambil dengan

menggunakan hand net, mist net ataupun harpa trap sesaat setelah kelelawar

kembali dari pencarian makan (pukul 05.00 s/d 06.00 WIB). Kelelawar yang

tertangkap segera dibius dan dimasukkan ke dalam alkohol 70%. Pengambilan

sampel Megachiroptera dilakukan di lokasi pencarian makan, hal ini untuk

mencegah tindakan destruktif, mengingat jumlah individu Megachiroptera yang

bersarang di gua hanya berkisar 2 s/d 6 individu saja. Apabila sampel diambil di

lokasi sarang, dikhawatirkan jumlahnya semakin berkurang. Sampel diambil di

tiga lokasi pencarian makan (di persawahan Desa Ayah; di hutan lindung

Candirenggo; dan di sekitar permukiman Desa Jatijajar) sebanyak 5 s/d 10

individu setiap jenis dengan menggunakan mist net dan harpa trap.

Penangkapan serangga sebagai bahan pembanding dalam proses identifikasi

isi perut Microchiroptera, dilakukan dengan menggunakan light trap yang

60

dipasang di tiga lokasi pencarian makan kelelawar, yaitu di persawahan Desa

Jatijajar, di hutan lindung Desa Candi Renggo, dan di sekitar permukiman Desa

Jatijajar.

Pengamatan isi perut dilakukan dengan cara: 1) Sampel yang tertangkap

segera dibius dengan chloroform dan direndam dalam alkohol 70%; 2) Sampel

dibedah viseral, dan saluran pencernaan mulai dari kerongkongan (osefagus)

hingga anus dikeluarkan dari tubuh; 3) Isi saluran pencernaan dikumpulkan pada

cawan petri dan dilarutkan dengan aquadest sampai terpisah antara lemak,

kotoran, dan sisa-sisa tubuh serangga; 4) Sisa-sisa tubuh serangga diamati di

bawah mikroskop perbesaran 10 X 10 kemudian diidentifikasi dengan kunci

identifikasi serangga oleh Whitaker (1988) dan kunci identifikasi serangga

(Borror et al. 1996), serta dibandingkan dengan serangga hasil koleksi di area

pencarian makan kelelawar.

Identifkasi isi perut Megachiroptera dilakukan dengan cara (Soegiharto et

al. 2010): 1) Sampel kelelawar dibedah dan saluran pencernaan dikeluarkan dari

tubuh; 2) Isi saluran pencernaan ditampung di cawan petri dan direndam dalam

alkohol 70%, kemudian disentrifugasi dengan putaran 2000 rpm selama 30

menit; 3) Cairan alkohol yang terpisah dengan endapan isi perut dibuang dan

diganti dengan alkohol yang baru. Sentrifugasi dan pencucian dengan alkohol ini

dilakukan sebanyak tiga kali; 4) Endapan yang dihasilkan diletakan di gelas objek

sebanyak satu tetes, ditetesi dengan gliserol, kemudian ditutup dengan kaca

penutup. Pada bagian tepinya direkatkan menggunakan cat kuku; 5) Dilakukan

identifikasi polen di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x dan 400x dengan

menggunakan buku kunci identifikasi polen (Erdtman 1952).

Analisis data

Transformasi data dilakukan untuk mengubah skala pengukuran data asli

menjadi bentuk lain sehingga data dapat memenuhi asumsi-asumsi yang

mendasari analisis ragam. Pada penelitian ini digunakan transformasi arcsin (n +

0.5) dikarenakan data tersaji dalam proporsi (persentase) dan banyak data yang

bernilai nol (Syahid 2009)

61

Variasi pakan kelelawar dianalisis menggunakan analisis statistik

multivariat yang didasarkan pada analisis komponen utama (Principal Component

Analysis) (Ludwig & Reynolds 1988). Analisis Komponen Utama merupakan

metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan dalam bentuk

grafik, maksimum informasi yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data

yang dimaksud terdiri atas jenis kelelawar (pada baris) dan jenis pakan sebagai

variabel kuantitatif (kolom). Analisis Komponen Utama ini menggunakan

software SPSS versi 15.

HCCA (Hybrid Canonical Correspondence Analysis) digunakan untuk

menganalisis kecenderungan kelelawar Megachiroptera memilih pakannya

berdasarkan jenis tanaman, tipe mahkota bunga dan ukuran polen. Untuk analisis

HCCA digunakan software canoco for windows 4.5 ( Leps & Smilauer 1999).

Uji chi kuadrat (chi square) digunakan untuk mengetahui apakah terdapat

perbedaan yang nyata antara jenis pakan kelelawar satu dengan lainnya. Hipotesis

yang digunakan adalah:

H0 = pakan kelelawar satu dengan yang lain tidak berbeda nyata.

H1= pakan kelelawar satu dengan yang lain berbeda nyata.

Nilai chi square dihitung dengan rumus (Ludwig & Reynold 1988):

Keterangan:

X2 = chi square

Xi = banyaknya jenis serangga pakan pada kelelawar jenis ke i

µi = banyaknya jenis serangga yang diharapkan pada kelelawar jenis-i

Jika X2 hitung < X2 tabel maka H0 diterima, jika X2 hitung > X2 tabel maka H1

diterima. Uji chi square dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 15.

Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis kesamaan relung pakan

kelelawar adalah metode niche overlap index (Ludwig & Reynolds 1988), yaitu

metode yang didasarkan pada kesamaan proporsi jenis pakan yang ditemukan di

saluran pencernaan hewan yang dibandingkan. Persamaan yang digunakan adalah

persamaan simplified Morsita index dengan rumus sebagai berikut (Ludwig &

Reynolds 1988):

X2 = ∑ (Xi - µi)2

µi

62

2∑ PijPik

CH = ∑ Pij

2 + Pik

2

Keterangan: CH = indeks simplified morisita antara kelelawar jenis ke-j dan kelelawar jenis

ke-k Pij = proporsi famili serangga yang digunakan oleh kelelawar jenis ke-j (n/N) Pik = proporsi famili serangga yang digunakan oleh kelelawar jenis ke-k (n/N) n = jumlah famili serangga seluruhnya Penghitungan nilai indeks kesamaan relung pakan ini menggunakan software

ecological methodology versi 5.1.

Hasil

Relung pakan kelelawar insektivora

Hasil analisis isi perut, ditemukan 29 famili serangga yang termasuk dalam

sepuluh ordo. Kelelawar jenis H. sorenseni memakan paling banyak serangga dari

famili berbeda ( 17 famili); diikuti oleh Hipposideros sp (8 famili); M.

schreibersii (6 famili); C. plicata (8 famili); H. bicolor (5 famili); M.australis (6

famili); R.affinis (5 famili) H.diadema (5 famili); H.ater (4 famili); H.cf. ater (4

famili); dan R. borneensis (1 famili). Serangga yang ditemukan dan proporsi

temuan pada setiap jenis kelelawar di semua sarang tersaji pada Tabel 7.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap serangga yang dikoleksi di lokasi

pencarian makan kelelawar (Lampiran 3), serta hasil studi pustaka berdasarkan

Aguirre et al. (2002), dapat diketahui karakteristik serangga pakan yang meliputi

bobot tubuh, panjang tubuh, dan kekerasan eksoskeleton serangga pakan.

Karakteristik serangga pakan dapat dilihat pada Tabel 8.

Hasil Principle Component Analysis (PCA) dengan 3 komponen utama

dapat menggambarkan 85% dari varian total. Komponen 1,2,dan 3 masing masing

menerangkan 47.5%, 23.5%, 14.0%. Nilai loading faktor dari masing masing

komponen dapat dilihat pada Lampiran 6. Penggambaran hasil PCA dengan 3

komponen utama dapat dilihat pada Gambar 20.

63

Tabel 7 Hasil analisis isi perut kelelawar Microchiroptera (Proporsi temuan = jumlah temuan material sisa serangga ke-i dibagi jumlah seluruh material serangga yang ditemukan)

Keterangan: A= C. plicata B=H. sorenseni C= Hipposideros sp D= M. schreibersii E= M. australis F= R. affinis G= H. bicolor H= H. diadema I=H. ater J= H.cf.ater K= R. borneensis

Jenis Pakan Proporsi temuan

No Ordo Famili A B C D E F G H I J K

1 Coleoptera Scarabidae 0,12 0,16 0,14 0,00 0,00 0,00 0,00 0,11 0,00 0,00 0,00 2 Coleoptera Clambidae 0,00 0,00 0,22 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3 Coleoptera Unknown 8a 0,05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,10 0,00 0,00 0,00 0,00 0,004 Coleoptera Unknown2a 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,39 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 Coleoptera Rhisodidae 0,23 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6 Coleoptera Unknown 7a 0,09 0,03 0,06 0,00 0,00 0,00 0,00 0,21 0,00 0,00 0,007 Coleoptra Staphilinidae 0,00 0,02 0,00 0,00 0,05 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8 Diptera Tipulidae 0,00 0,12 0,00 0,00 0,17 0,00 0,00 0,00 0,33 0,00 0,00 9 Diptera Cullicidae 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,03 0,00 0,00

10 Diptera Unknown 9a 0,00 0,03 0,00 0,12 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,16 0,00 11 Hemiptera Unknown 11a 0,00 0,00 0,00 0,00 0,15 0,07 0,00 0,16 0,25 0,23 0,00 12 Hemiptera Miridae 0,00 0,00 0,00 0,32 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,0013 Homoptera Flugoriidae 0,00 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 14 Homoptera Delphaciidae 0,00 0,09 0,00 0,18 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 15 Homoptera Unknown 10a 0,00 0,00 0,00 0,06 0,12 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,0016 Hymenoptera Agaonidae 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,00 17 Hymenoptera Unknown 4a 0,07 0,04 0,00 0,15 0,00 0,00 0,28 0,00 0,00 0,00 0,00 18 Hymenoptera Formycidae 0,26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,23 0,0019 Isoptera Unknown 1a 0,00 0,00 0,00 0,18 0,15 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 20 Isoptera Unknown 1b 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 21 Lepidoptera Unknown 5a 0,11 0,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,48 0,00 0,39 0,00 0,0022 Lepidoptera Unknown 6 0,00 0,06 0,00 0,00 0,37 0,00 0,00 0,00 0,00 0,39 0,00 23 Orthoptera Acredidae 0,07 0,15 0,18 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 24 Orthoptera Gryllidae 0,00 0,13 0,00 0,00 0,00 0,27 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 25 Orthoptera Gylothalpidae 0,00 0,05 0,10 0,00 0,00 0,00 0,00 0,37 0,00 0,00 0,00 26 Neuroptera Myrmeteonidae 0,00 0,09 0,06 0,00 0,00 0,00 0,08 0,16 0,00 0,00 0,00 27 Neuroptera Unknown 8a 0,00 0,00 0,13 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 28 Neuroptera Mantisipidae 0,00 0,00 0,10 0,00 0,00 0,17 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 29 Trichoptera Unknown 3a 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,08 0,00 0,00 0,00 0,00

Jumlah sampel (n) 8 3 3 3 3 9 16 5 4 5 1

64

Tabel 8 Karakteristik serangga: bobot tubuh, panjang tubuh (berdasarakan serangga pembanding ) dan kekerasan eksoskeleton (berdasarkan Aguirre et al. 2002)

Keterangan : * kekerasan tubuh diukur oleh Aguirre et al. (2002) menggunakan Isometric Kistler force transducer

Gambar 20 menunjukkan adanya pengelompokan kelelawar berdasarkan

pemilihan pakannya menjadi lima kelompok yaitu:

1. Kelompok I terdiri atas C. plicata, Hipposideros sp dan H. sorenseni adalah

kelompok yang menyukai Coleoptera_Scarabidae, Coleoptera_Clambidae,

Coleoptera_Unknown8a,Orthoptera_Acredidae, Neuroptera_ Unknown 12a,

dan Neuroptera_Myrmeteonidae. Berdasarkan karakteristik serangga (Tabel

8), kelompok ini adalah kelompok yang cenderung menyukai serangga

No Ordo Famili Bobot (g) Panjang (mm)

Kekerasan eksoskeleton

(N)* 1 Coleoptera Scarabidae 2.12±0.89 30.62±4.13 34.02±11.35 2 Coleoptera Clambidae 0.54±0.02 1.2±0.5 - 3 Coleoptera Unknown 8a - - - 4 Coleoptera Unknown2a - - - 5 Coleoptera Rhisodidae 0.68±0.1 1.5±4 24.96±12 6 Coleoptera Unknown 7a 1.29±22 22±6 44.68±4.2 7 Coleoptra Staph ilinidae 1.64±0.3 25±1.8 - 8 Diptera Tipulidae 0.06 12±6 - 9 Diptera Cullicidae 0.02 4.1±2.2 0.88±0.02 10 Diptera Unknown 9a - - - 11 Hemiptera Unknown 11a - - - 12 Hemiptera Miridae - 8±4 2.18±0.21 13 Homoptera Flugoriidae - - - 14 Homoptera Delphaciidae 0.08±0.03 15.00±1.00 1.67±0.38 15 Homoptera Unknown 10a - - - 16 Hymenoptera Agaonidae 0.031±0.02 2.1±0.8 - 17 Hymenoptera Unknown 4a - 8±4.0 - 18 Hymenoptera Formycidae 0.02±0 2.2±1.0 - 19 Isoptera Unknown 1a - - - 20 Isoptera Unknown 1b - - - 21 Lepidoptera Unknown 5a - - 1.75±1.24 22 Lepidoptera Unknown 6 - - - 23 Orthoptera Acredidae 0.73±0.16 53.25±17.17 7.45±3.20 24 Orthoptera Gryllidae 0.58±0.08 30±-10 7.30 25 Orthoptera Gylothalpidae 0.56±0.12 30±5 8.60 26 Neuroptera Myrmeteonidae 0.13±0.02 35±10 6.88±12 27 Neuroptera Unknown 8a - - - 28 Neuroptera Mantisipidae 0.22±0.18 28.6±3.2 - 29 Trichoptera Unknown 3a - - -

Jumlah sampel (n)

65

berukuran besar (bobot > 0.5 g, panjang > 20 mm) dan keras (kekerasan

eksoskeleton > 7.5 N)

2. Kelompok II terdiri atas H.diadema adalah kelelawar yang menyukai

Coleoptera_Unknown 7a dan Orthoptera_Gryllothalpidae Berdasarkan

karakteristik serangga (Tabel 8), kelompok ini adalah kelompok yang sama

dengan kelompok I, cenderung menyukai serangga berukuran besar (bobot

> 0.5 g, panjang > 20 mm) dan keras (kekerasan eksoskeleton > 7.5 N).

3. Kelompok III terdiri atas M. schreibersii, M. australis, H.cf.ater, R.

borneensis adalah kelompok yang menyukai Diptera_unknown 9a,

Hemiptera_Unknown 11a, dan Lepidoptera_Unknown 6a. dan Isoptera_

Unknown 1a . Berdasarkan karakteristik serangga (Tabel 8), kelompok ini

adalah kelompok yang cenderung menyukai serangga berukuran sedang

(panjang 5mm s/d 20 mm) dan lunak (kekerasan eksoskeleton < 7.5 N)

4. Kelompok IV terdiri atas R. affinis adalah kelompok yang menyukai

Coleoptera_Unknown 8a, Coleoptera_Unknown 2a, Orthoptera_Gryllidae

dan Neuroptera_Mantisipidae. Berdasarkan karakteristik serangga (Tabel

8), kelompok ini cenderung menyukai serangga berukuran kecil (bobot <

0.5 g, panjang < 20 mm) dan keras (kekerasan eksoskeleton > 7.5 N).

5. Kelompok V terdiri atas H. bicolor dan H. ater adalah kelompok kelelawar

yang menyukai Lepidoptera Unknown 5a, Trichoptera_unknown 3a,

Hymenoptera_Unknown4a, Hymenoptera _agaonidae. Berdasarkan

karakteristik serangga (Tabel 8), kelompok cenderung menyukai serangga

berukuran kecil ( panjang < 5 mm) dan lunak (kekerasan eksoskeleton < 7.5

N)

66

Gambar 20 Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar berdasarkan serangga pakannya a. Hubungan antara axis 1 dan axis 2 b. Hubungan antara axis 1 dan axis 3

Keterangan :

1. C. plicata 2. H. sorenseni 3. Hipposideros sp 4. M.schreibersii 5. M. australis 6. R. affinis 7. H. bicolor 8. H. diadema 9. H. ater 10. H.cf.ater 11. R. borneensis

a. Coleoptera_Scarabidae b. Coleoptera_Clambidae c. Coleoptera_Unknown 8a d. Coleoptera_Unknown 2a e. Coleoptera_Unknown 7a f. Diptera_ Cullicidae g. Homoptera_Flugoridae h. Hymenoptera_Formicidae i. Hymenoptera_Unknown 4a j. Isoptera_Unknown 1b k. Lepidoptera_Unknown 5a l. Orthoptera_Acredidae m. Orthoptera_Gryllidae n. Orthoptera_Gryllothalpidae o. Neoroptera_Myrmeteonidae p. Neuroptera_Unknown 12a q. Neoroptera_Mantisipidae r. Trichoptera_Unknown 3a

Nilai kesamaan relung pakan antarkelelawar insektivora yang ditemukan

dalam penelitian ini berkisar antara 0 sampai 0.683. Nilai kesamaan relung pakan

tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9 dapat dijelaskan bahwa

nilai kesamaan relung pakan tertinggi adalah antara kelelawar C. plicata dengan

-0.4 1.2-0.4

1.0

a

b

c

d

e

fg

h

i

j

k

l

m

n o

p

q

r

1

23

45

6

7

8

9

10

11

PC 1 (47.5%) -0.4 1.2

-1.0

1.0

a

b

c

d

e

f g

h i

j

k

l

m

no

p

q

r

12

3

4 5

6

7

8

910 11

PC 2

(23.

5 %

)

PC1 (47.5%) PC

3 (1

4.0

%)

ba

67

H. sorenseni ( 0.683). Angka ini menunjukkan 68.3% pakan kelelawar C. plicata

sama dengan H. sorenseni. Selanjutnya kelelawar yang memiliki nilai kesamaan

pakan tinggi berturut-turut adalah H. sorenseni dengan H. diadema (0.679); C.

plicata dengan Hipposideros sp (0.578), H. sorenseni dengan Hipposideros sp

(0.52.8); M. australis dengan H.cf.ater (0.469); dan Hipposideros sp dengan H.

diadema (0.436).

Tabel 9 Nilai kesamaan relung pakan (morsita index) antarjenis kelelawar pada semua gua

H_a

H_cfa

H_b

H_d

H_s

H_sp

M_s

M_a

R_a

R_b

C_p 0.191 0.174 0.221 0.265 0.683 0.578 0.156 0.000 0.155 0.000

H_a 0.206 0.240 0.205 0.332 0.000 0.043 0.246 0.110 0.000

H_cfa 0.000 0.128 0.186 0.000 0.240 0.469 0.178 0.000

H_b 0.095 0.301 0.040 0.000 0.000 0.000 0.000

H_d 0.679 0.436 0.00 0.181 0.000 0.000

H_s 0.528 0.246 0.323 0.163 0.000

H_sp 0.00 0.000 0.079 0.000

M_s 0.181 0.000 0.260

M_a 0.148 0.000

R_a 0.000

Keterangan: A= C. plicata, B= H. sorenseni, C=Hipposideros sp, D= M. schreibersii, E= M. australis F= R. affinis G=H. bicolor H= H. diadema I=H. ater J= H.cf.ater K=R. borneensis

Nilai niche overlap (kesamaan relung) pakan dapat menunjukkan adanya

kompetisi pakan antara jenis yang dibandingkan. Untuk mengetahui kesamaan

relung pakan antarjenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua yang sama,

dilakukan perhitungan nilai kesamaan relung pakan dan uji chi square antarjenis

kelelawar yang bersarang dalam satu gua. Nilai kesamaan relung pakan antara

kelelawar C.plicata dengan H.sorenseni yang bersarang di Gua Celeng adalah

0.045 atau hanya 4.5% makanan C.plicata sama dengan makanan H.sorenseni.

Hasil uji chi square menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (X2 hitung > X2

tabel df =1; P<0.05) jenis makanan C.plicata dengan H.sorenseni. Hasil perhitungan

nilai kesamaan relung pakan antarjenis kelelawar dan hasil uji chi square

antarjenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua dapat dilihat pada Tabel 10.

68

Berdasarkan Tabel 10 terlihat bahwa jenis-jenis kelelawar insektivora

yang bersarang dalam satu gua yang sama memiliki nilai kesamaan relung pakan

yang kecil. Nilai tersebut tidak lebih dari 0.30, kecuali antara jenis kelelawar yang

bersarang di Gua Kemit. Hal ini menunjukkan bahwa kelelawar yang bersarang

dalam satu gua tersebut memiliki kesamaan pakan tidak lebih dari 30%, kecuali

di Gua Kemit.

Tabel 10 Nilai kesamaan relung pakan (niche overlap) dan nilai uji chi square antarjenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua yang sama

Niche Overlap Pakan Chi square

1 Gua Celeng C.plicata : H.sorenseni 0.054 4.97 * 2 Gua Jatijajar H.sorenseni R2 : H.sorenseni R4 0.168 5.98* H.sorenseni R2 : Hipposideros sp 0.000 3.86 * H.sorenseni R4 : Hipposideros sp 0.196 3.81* 3 Gua Inten M.australis : R.affinis 0.048 4.91* 4 Gua Liyah M.schreibersii : H.sorenseni 0.161 3.88* 5 Gua Kemit H.sorenseni : Hipposideros sp 0.471 1.88 ns 6 Gua Petruk H.bicolor : C.plicata 0.221 5.98* H.bicolor : H.sorenseni 0.000 5.96* H.bicolor : H.diadema 0.095 3.99* H.bicolor : H.ater 0.240 5.92* H.bicolor : H.cf.ater 0.000 3.84 * H.bicolor : R.borneensis 0.000 5.68* C.plicata : H.sorenseni 0.196 3.89* C.plicata : H.diadema 0.028 4.87* C.plicata : H.ater 0.167 3.85* C.plicata : H.cf.ater 0.000 5.96* C.plicata : R.borneensis 0.000 5.98* H.sorenseni : H.diadema 0.000 5.92* H.sorenseni : H.ater 0.293 3.80* H.sorenseni : H.cf.ater 0.253 3.812* H.sorenseni : R.borneensis 0.050 4.21* H.diadema : H.ater 0.205 5.12* H.diadema : H.cf.ater 0.128 3.96* H.diadema : R.borneensis 0.000 5.86* H.ater : R.borneensis 0.000 5.99* H.ater : H.cf.ater 0.206 5.78

Keterangan :

* = berbeda nyata (x2 hitung > x2 tabel, df=1) ns = tidak berbeda nyata (x2

hitung < x2 tabel, df=1) Relung pakan kelelawar frugivora

Jenis kelelawar frugivora/ Megachiroptera yang ditemukan bersarang di

gua-gua Karst Gombong terdiri atas 4 jenis, yaitu Rousettus amplexicaudatus;

Eonycteris spelaea; Cynopterus brachyotis dan Cynopterus horsfieldii. Namun,

69

untuk keperluan analisis relung pakan kelelawar Megachiroptera, sampel

ditangkap di lokasi pencarian makan (tiga lokasi). Hal ini karena jumlah individu

tiap sarang hanya 1 s/d 6 individu saja. Dalam penangkapan sampel tersebut, juga

berhasil ditangkap satu jenis kelelawar Megachiroptera yang tidak bersarang di

gua, yaitu Macroglossus sobrinus. Dengan demikian dalam analisis relung pakan

kelelawar Megachiroptera ini, terdapat 5 jenis kelelawar yang dianalisis relung

pakannya.

Setelah dilakukan identifikasi polen yang ditemukan di dalam saluran

pencernaan, diperoleh 33 species tumbuhan yang termasuk dalam sembilan famili.

Berdasarkan polen yang ditemukan, polen tumbuhan yang paling banyak

dikonsumsi adalah polen tumbuhan anggota famili Fabaceae (Acasia sp.),

Myrtaceae (Syzygium malaccense, Syzygium aqueum, Psidium guajava), dan

Bombacaceae (Ceiba sp1, Ceiba sp2). Persentase keberadaan polen pada saluran

pencernaan setiap jenis kelelawar frugivora dapat dilihat pada Tabel 11.

Hasil PCA berdasarkan polen yang ditemukan pada isi perut

Megachiroptera menggunakan 3 komponen utama dapat menjelaskan 88.536%

dari total varian. Komponen utama I menjelaskan 41.485%, kompenen utama II

menjelaskan 27.370%, komponen utama III menjelaskan 19.68%. Nilai loading

faktor dari masing masing komponen setelah direduksi menjadi 3 komponen

utama dapat dilihat pada pada Lampiran 7. Penggambaran hasil analisis PCA

dengan 3 axis tertera pada Gambar 21.

70

Tabel 11 Persentase polen pada saluran pencernaan tiap jenis kelelawar (n=8)

No Ordo Famili Species Jumlah temuan (%) R_a E_s C_b C_h M_s

1 Arales Aracaceae Cocos sp2 0.00 0.00 0.00 12.50 0.00 2 Asterales Asteraceae Cyathocline

purpurea 0.00 0.00 0.00 0.00 7.14 3 Asterids Icacinaceae Gomphandra

coriacea 5.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4 Fabales Fabaceae Acacia sp. 4.00 6.67 5.00 2.50 4.00 5 Gentianales Apocynaceae Stemmadenis sp1. 0.00 0.00 0.00 0.00 7.14 6 Gentianales Apocynaceae Stemmadenis sp2. 0.00 0.00 0.00 0.00 1.437 Geraniales Euphorbiaceae Bac caurea

courtallensis 0.00 6.67 0.00 2.50 0.00 8 Hymenophilales Hymenophyllaceae Trichomones

pinnatum 5.00 0.00 0.00 0.00 4.299 Lamiales Lemiaceae Ocimum

americanum 5.00 3.33 0.00 0.00 7.1410 Malvales Bombacaceae Ceiba Sp1 34.00 12.33 4.60 2.50 0.00 11 Malvales Bombacaceae Ceiba Sp2 5.00 5.00 5.00 0.00 3.57 12 Myrtales Myrtaceae Psidium guajava 1.00 6.67 5.00 2.50 5.00 13 Myrtales Myrtaceae Syzygium aqueum 1.00 33.3 16.00 2.50 0.00 14 Myrtales Myrtaceae Syzygium

malaccense L. 5.00 5.00 10.00 0.00 4.29 15 Myrtales Myrtaceae Psidium sp2 0.00 1.00 50.00 0.00 0.00 16 Myrtales Myrtaceae Syzygium sp1 0.00 1.67 0.00 0.00 0.00 17 Myrtales Myrtaceae Syzygium

thwaitesii 0.00 0.00 0.00 12.50 0.00 18 Myrtales Myrtaceae Syzygium sp2 0.00 0.00 0.00 0.00 7.14 19 Palmales Aracaceae Cocos nucifera 0.00 0.00 5.00 0.00 0.00 20 Pinales Dacrydiaceae Dacrydium

bidwilii 0.00 0.00 0.00 12.50 0.00 21 Poales Gaminae Poaceae sp. 15.00 16.7 0.00 12.50 5.00 22 Poales Graminae Dendrocalamus sp. 0.00 0.00 0.00 0.00 3.57 23 Ranunculales Menispermaceae Tinospora

cordifolia 0.00 1.67 0.00 12.50 0.00 24 Solanales Solanaceae Solanum sp. 10.00 0.00 0.00 0.00 3.50 25 Urticales Moraceae Artocarpus sp. 0.00 0.00 0.00 0.00 7.14 26 Urticales Moraceae Ficus nervosa 0.00 0.00 0.00 0.00 1.43 27 Urticales Moraceae Ficus sp. 0.00 0.00 0.00 0.00 5.00 28 Vitales Leeaceae Leea asiatica L. 0.00 0.00 0.00 12.50 0.00 29 Boraginaceae Cordia wallichii 0.00 0.00 0.00 0.00 1.43 30 Unknown1 5.00 0.00 0.00 12.50 0.00 31 Unknown2 0.00 0.00 0.00 0.00 7.14 32 Unknown3 0.00 0.00 0.00 0.00 7.1433 Unknown4 0.00 0.00 0.00 0.00 7.14

Keterangan : R_a= R.amplexicaudatus E_s = E.spelaea C_b= C.brachyotis C_h= C.horsfieldii

Myrtales Myrtales M_s = M.sobrinus

71

Gambar 21 Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar

berdasarkan polen yang dimakan a. Hubungan antara PC 1 dengan PC 2 b. Hubungan antara PC 1 dengan PC 3

Keterangan: 1= R.amplexicaudatus 2= E.spelaea 3= C.brachyotis 4=C.horsfieldii 5=M.sobrinus A=Acasia sp B= Psidium guajava C= Syzygium aqueum D=Syzygium malaccense E=Solanum sp F= Poaceae G=Baccaurea courtallensis H=Cordia wallichii I=Ocimum americanum J=Ceoba sp1 K=Ceiba Sp2 L= Dendrocalamus sp M= Umknown1 N=Cocos nucifera O=Artocarpus sp P=Cyathocline purpurea Q= Unkown2 R=Unknown3 S=Ficus nervosa T= Unknown4 U=temmadensis sp1 V=Psidium Sp2 W= Cocos Sp2 X=Tinospora cordifolia Y= Syzygium sp1 Z=Dacrydium bidilii aa=Eugenea thwaitesii bb=Leea asiatica cc=Stemmadenis sp2 dd=Eugenea sp2 ee=Tricomones pinnatum ff=Gomphandra coriacea gg=Ficus sp

Berdasarkan Gambar 21 terlihat jenis-jenis kelelawar Megachiroptera dalam

memilih polen sebagai makanannya memiliki kecenderungan (kesukaan) sebagai

berikut:

1. R.amplexicaudatus, cenderung menyukai polen Solanum sp, Tricomones

pinatum, Gomphandra coiriacea dan Ceiba sp1.

2. E. Spelaea, cenderung menyukai polen Ceiba sp2, Baccaurea

courtallensis dan Syzygium aqueum .

3. C.brachyotis, cenderung menyukai polen Cocos nucifera, Syzygium

malaccense, Psidium guajava, Ciba sp2, dan Psidium sp2

4. C.horsfieldii, cenderung menyukai polen Dacridium bidwilii, Cocos sp2,

Syzygium thwasitesii, Tinospora cordifolia, dan Lee asiatica

-1.0 1.5

-1.0

1.0

A

BC

D

E

F

G

HI

J

K

L

M

N O PQ

R

S

T

UV

WX

Y

Z

aabb

ccdd

eeff

gg

1

2

34

5

PC 1= 41.485 %

PC 3

= 19

.68

%,

-1.0 1.5

-1.0

0.8

A

B

C DE F

G H

I

J K

L

M

N

OP

Q R

S

T U

V

W X

Y

Z aabb

cc dd

ee

ff

gg

1 2

3

4

5

PC 1= 41.485 %

PC 2

= 2

7.37

0 %

,

72

5. M. sobrinus, cenderung menyukai polen: Ficus nervosa, Stemmodenis

sp1, ficus sp, Dendrocalamus sp,Unknown4, Cyathocline purpurea,

Stemodenis sp2, dan Syzygium sp2.

Berdasarkan Van Steenis (2006), tipe bunga (bentuk kelopak bunga) dari 33

jenis tanaman yang dikunjungi oleh kelelawar Megachiroptera di atas, dapat

dikelompokkan menjadi delapan bentuk, yaitu tabung, lonceng, cawan, corong,

bulir majemuk, mangkuk, membulat, dan simetri labiatus (kupu-kupu). Tipe

bunga dari jenis-jenis tanaman yang dikunjungi kelelawar Megachiroptera di

Karst Gombong dapat dilihat pada Tabel 12.

Berdasarkan ukurannya, polen yang dikonsumsi oleh kelelawar

Megachiroptera yang ditemukan dalam penelitian ini, dapat dikelompokkan

menjadi polen berukuran kecil (diameter < 40 µm); polen berukuran sedang

(diameter antara 40 s/d 60 µm ) dan polen berukuran besar (diameter > 60 µm)

(Lampiran 4). Pengelompokan tanaman berdasarkan ukuran polennya dapat

dilihat pada Tabel 13.

Pengelompokan jenis kelelawar berdasarkan jenis tanaman dan bentuk

mahkota bunga berdasarkan HCCA dengan 3 axis dapat dilihat pada Gambar 22a

dan 22b. Variasi data yang dapat diterangkan adalah 90.5%. Axis 1 menerangkan

66.0%; axis = 11.6%, dan axis 3= 12.9%. HCCA jenis kelelawar berdasarkan

jenis tanaman dan ukuran polen dengan 3 axis dapat dilihat pada Gambar 23a dan

23b. Variasi data yang dapat diterangkan adalah 96.522%, axis 1 menerangkan

43.6%, axis 2 = 39.28%, dan axis 3 = 13.59%.

73

Tabel 12 Jenis tanaman berdasarkan tipe bunga Bentuk kelopak Jenis tanaman tabung lonceng cawan corong bulir

majemuk mangkuk Mem-

bulat kupu- kupu

Acacia sp. √

Psidium guajava L. √

Syzygium aqueum √

Syzygium malaccense L.

Solanum sp. √

Poaceae sp. √

Baccaurea courtallensis √

Cordia wallichii √

Ocimum americanum √

Ceiba Sp1 √

Ceiba Sp2 √

Dendrocalamus sp. √

Unknown1

Cocos nucifera √

Artocarpus sp. √

Cyathocline purpurea √

Unknown2

Unknown3

Ficus nervosa √

Unknown4

Stemmadenis sp1. √

Psidium sp2 √

Cocos sp2 √

Tinospora cordifolia √

Syzygium sp1 √ √

Dacrydium bidwilii √

Syzygium thwaitesii √

Leea asiatica L. √

Stemmadenis sp2.

Syzygium sp2 √

Trichomones pinnatum √

Gomphandra coriacea √

Ficus sp. √

74

Tabel 13 Jenis tanaman berdasarkan ukuran polen Ukuran polen

Jenis tanaman Polen kecil (diameter < 40 µm)

Polen sedang (diameter 40 µm-60 µm )

Polen besar (diameter > 60 µm)

Acacia sp. √

Psidium guajava L. √

Syzygium aqueum √

Syzygium malaccense L. √

Solanum sp. √

Poaceae sp. √

Baccaurea courtallensis √

Cordia wallichii √

Ocimum americanum √

Ceiba Sp1 √

Ceiba Sp2 √

Dendrocalamus sp. √

Unknown1 √

Cocos nucifera √

Artocarpus sp. √

Cyathocline purpurea √

Unknown2 √

Unknown3 √

Ficus nervosa √

Unknown4 √

Stemmadenis sp1. √

Psidium sp2 √

Cocos sp2 √

Tinospora cordifolia √

Syzygium sp1 √

Dacrydium bidwilii √

Syzygium thwaitesii √

Leea asiatica L. √

Stemmadenis sp2. √

Syzygium sp2 √

Trichomones pinnatum √

Gomphandra coriacea √

Ficus sp. √

75

Gambar 22 Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA) pemilihan pakan jenis kelelawar frugivora berdasarkan bentuk mahkota bunga a. Hubungan antara axis 1 dan axis 2 b. Hubungan antara axis 1 dan axis 3

a b Gambar 23 Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA) pemilihan pakan

jenis kelelawar frugivora berdasarkan ukuran polen a. Hubungan antara axis 1 dan axis 2 b. Hubungan antara axis 1 dan axis 3

-0.6 1.0

-0.81

2

3

4

5

tabung

bulir_mj

kupu-kupu

corong

mangkuk

membulat

lonceng

cawan

Axis 1 (60 %)

Axi

s 2 (

(11.

6 %

)

a -0.6 1.0

-1.0

1.0

1

2

3 45

tabung bulir_mj

kupu-kupu

corong

mangkuk membulat

lonceng

cawan

Axis 1 (60 %) A

xis 3

((12

.9%

) b

-1.0 1.0

-1.0

1.0sedang

besar

kecil

1

2

3

4

5

Axis 1 (43.6 %)

Axi

s 2 (3

9.28

%)

-1.0 1.0

-1.0

1.0

sedang besar

kecil

1

2 3

4

5

Axi

s 3 ((

13.5

9%)

1.0

Axis 1 (43.6 %)

76

Gambar 22a, 22b, 23a dan 23b menunjukkan adanya kecenderungan

memilih bentuk mahkota bunga dan ukuran polen, menjadi 3 kelompok kelelawar

yaitu :

1. Kelompok 1, R. amplexicaudatus dan E. spelaea cenderung memilih

polen berukuran sedang (diameter 40 µm - 60 µm ) dari bunga

berbentuk mangkuk, bulir majemuk, dan membulat.

2. Kelompok 2, C. brachyotis cenderung memilih polen berukuran besar

(diameter > 60 µm ) dari bunga berbentuk cawan.

3. Kelompok 3, C. horsfieldii dan M. sobrinus cenderung memilih

polen berukuran kecil (diameter < 40 µm) dari bunga bentuk lonceng

dan corong.

Hasil penghitungan nilai kesamaan relung pakan menunjukkan nilai

kesamaan relung pakan (niche overlap) antara R. amplexicaudatus dan E. spelaea

adalah 0.48. Hal ini berarti bahwa 48% pakan R. amplexicaudatus sama dengan

pakan E. spealea. Hasil uji chi square (X2) antarjenis Megachiroptera berdasarkan

jenis polen yang dimakannya menunjukkan bahwa pakan kelelawar R.

amplexicaudatus tidak berbeda nyata (xhitung > x tabel, df=1) dari pakan kelelawar E.

spelaea, pakan kelelawar C. brachyotis, pakan C. horsfieldii, dan pakan kelelawar

M. sobrinus. Pakan antarjenis kelelawar lainnya juga menunjukkan tidak adanya

perbedaan yang nyata, kecuali antara kelelawar C.horsfieldii dan M. sobrinus.

Nilai kesamaan relung pakan C. horsfieldii dan M. sobrinus 0.397 dan hasil uji

chi square menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (xhitung > x tabel, df=1). Nilai

kesamaan relung pakan dan hasil uji chi square antarjenis kelelawar

Megachiroptera dapat dilihat pada Tabel 14.

Berdasarkan Tabel 14 dapat dijelaskan bahwa nilai kesamaan relung pakan

tertinggi adalah antara R. amplexicaudatus dengan E. spelaea yaitu 0,837. Hal ini

berarti 83,7% polen yang dimakan kedua jenis kelelawar tersebut sama. Nilai

kesamaan relung pakan berikutnya yang tinggi adalah antara R. amplexicaudatus

dengan C. horsfieldii (0.786) dan antara C. brachyotis dangan C. horsfieldii

(0.628). Sementara nilai kesamaan relung pakan antara M. sobrinus dengan semua

jenis kelelawar lainnya kurang dari 50%, bahkan kesamaan relung pakan M.

sobrinus dengan C. horsfieldii hanya 0.397. Hasil uji chi square menunjukkan

77

bahwa berdasarkan polen yang dimakan, antarjenis kelelawar Megachiroptera

tidak berbeda nyata (x hitung > x tabel, df=1), kecuali antara M. sobrinus dengan C.

horsfieldii polen yang dimakan berbeda nyata.

Tabel 14 Nilai kesamaan relung pakan dan uji chi antarjenis kelelawar

Megachiroptera

E_s C_b C_h M_s

N_o X2 N_o X2 N_o X2 N_o X2

R._a 0.837 4.037 ns 0.624 0.003ns 0.786 0,063ns 0,499 0.310ns

E_s - - 0.435 1.700ns 0.534 0.224ns 0.452 0.056ns

C_b - - 0.628 0.76 ns 0.458 1.360 ns

C_h - - 0.397 4.9*

M_s - -

Keterangan: R_a= Rousettus amplexicaudatus, E_s= Eonycteris spelaea, C_b=

Cynopterus brachyotis, C_h=Cynopterus horsfieldi, M_s= Macroglosuss sobrinus N_o = indeks niche overlap X2 = nilai chi square * = berbeda nyata (x hitung > x tabel, df=1) ns = tidak berbeda nyata (x hitung > x tabel, df=1)

Pembahasan

Serangga pakan kelelawar insektivora yang ditemukan pada penelitian ini

terdiri atas 29 famili yang termasuk dalam delapan ordo. Dari delapan ordo

serangga pakan tersebut keseluruhannya pernah ditemukan dalam isi perut

kelelawar Microchiroptera pada penelitian-penelitian sebelumnya. Razakarivony

et al. (2005) mendapatkan ordo Orthoptera, Hemiptera, Araneae dan Homoptera

pada pencernaan kelelawar Emballonuridae sp, Hipposideros commersoni,

Triaenops rufus, Miniopterus manavi dan Myotis goudoti di Madagascar. Agosta

(2002) mendapatkan Coleoptera, Lepidoptera, Hymenoptera, Hemiptera, Diptera,

dan Lepidoptera pada pencernaan kelelawar Eptesicus fuscus di Amerika Utara.

Aguirre et al.(2003) mendapatkan Coleoptera, Odonata,Orthoptera, Lepidoptera,

Homoptera, dan Arachnida pada penceraan sepuluh jenis Microchiroptera di

Taman Nasional Espiritu Bolivia. Hal ini menunjukkan serangga yang ditemukan

dalam penelitian ini merupakan serangga yang biasa dimakan kelelawar

Microchiroptera/insektivora.

78

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat kecenderungan kelelawar

Microchiroptera dalam memilih pakannya. Menurut Razakarivony et al. (2005),

kecenderungan (kesukaan) dalam pemilihan pakan ini ditentukan oleh strategi

pencarian makan (foraging strategy), fisiologi dan anatomi tubuh, serta

kelimpahan makanan. Menurut Altringham (1996), dalam strategi pencarian

makan, kelelawar dikelompokkan menjadi tipe spesialis (selektif) dan

opportunis. Kelelawar tipe spesialis hanya memangsa jenis tertentu dengan profit

tinggi. Tipe ini bisa menghabiskan banyak waktu dan energi dalam mencari

makan, dan hanya memilih makanan dengan kriteria tertentu saja. Kelelawar tipe

opportunis menghabiskan lebih sedikit waktu dan energi dalam pencarian

makannya, karena memakan banyak jenis makanan, tetapi keuntungan (profit)

yang didapatkan mungkin lebih sedikit dibandingkan kelelawar tipe spesialis.

Dalam penelitian ini, tampaknya kelelawar H. sorenseni dan Hipposideros sp

merupakan tipe oportunis, karena memakan banyak famili serangga. Sementara R.

affinis, H. diadema, H. ater, H.cf. ater, dan R. borneensis adalah tipe selektif,

karena hanya memilih satu sampai lima famili serangga sebagai makanannya.

Hasil analisis PCA menunjukkan lima kelompok kelelawar

Microchiroptera berdasarkan makanan kesukaannya. Adanya

kecenderungan/kesukaan pada serangga pakan dengan karakteristik khas ini

sejalan dengan penelitian Aguirre et al.(2003) dan Zhang et al. (2005). Menurut

Aguirre (2003), kekerasan serangga dan ukuran serangga yang dipilih ditentukan

oleh kekuatan rahang dan morfologi gigi kelelawar. Menurut Zhang et al. (2005)

terdapat korelasi antara besar tubuh kelelawar dengan besar mangsa, dimana

kelelawar T. pachypus yang bertubuh lebih besar dari pada kelelawar T. robustula

memakan serangga berukuran lebih besar dibandingkan serangga yang dimakan T.

robustula.

Selain tingkat kekerasan dan besar tubuh, diduga ketinggian terbang

serangga juga berpengaruh pada pemilihan pakan kelelawar. Menurut

Altringham (1996), terdapat dua kategori cara pencarian makan kelelawar, yaitu

aerial hawking dan flycatching. Aerial hawking dilakukan dengan cara

mendeteksi keberadaan mangsa, mengejar dan memakannya sambil terbang.

Flycatching dilakukan dengan cara mendeteksi keberadaan mangsa dari

79

ketinggian, mengejar, menangkap, membawanya kembali ke tempat yang tinggi

dan kemudian memakannya. Kelelawar yang berperilaku makan aerial hawking

cenderung memangsa serangga yang terbang tinggi, sebaliknya flycatching

dilakukan oleh kelelawar yang memangsa serangga tanah atau yang terbang

rendah (Altringham 1996). Dalam penelitian ini, ketinggian terbang serangga

pakan tidak teramati. Namun, berdasarkan komunikasi pribadi dengan ahli

serangga di Museum Zoologi LIPI (Sutrisno H. 12 November 2010, komunikasi

pribadi) diketahui bahwa kebanyakan anggota ordo Lepidoptera, Orthoptera,

Coleoptera, dan Diptera cenderung berada di dekat permukaan tanah, sedangkan

anggota ordo Hemiptera, Homoptera, Trichoptera, dan Hymenoptera dapat

terbang tinggi dari permukaan tanah. Dengan demikian dapat diduga kelelawar

C.plicata, H.sorenseni, Hipposideros sp dan H.diadema, termasuk jenis yang

berperilaku flycatching, sementara R. borneensis, H. bicolor, H. ater, H.cf. ater

dan M. schreibersii termasuk jenis yang berperilaku aerial hawking. Jenis

lainnya, yaitu R. affinis dan M. australis termasuk jenis yang berperilaku

kombinasi keduanya flycatching, dan aerial hawking.

Menurut Ludwig & Reynolds (1988) nilai kesamaan relung pakan berkisar

antara nol sampai satu. Semakin mendekati nilai satu, berarti semakin tinggi

kesamaan pakan kedua jenis hewan yang dibandingkan, atau kedua jenis hewan

tersebut memakan makanan yang sama. Sebaliknya, nilai kesamaan relung pakan

mendekati nol berarti kedua jenis hewan memakan makanan yang berbeda. Nilai

kesamaan relung pakan kelelawar Microchiroptera yang ditemukan tergolong

kecil. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terjadi overlap pakan pada

kelelawar Microchiroptera yang bersarang di gua-gua Karst Gombong. Hal ini

karena masing-masing jenis menyukai makanan yang berbeda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asosiasi bersarang dalam satu gua

terjadi antara jenis-jenis kelelawar yang memiliki nilai kesamaan relung pakan

(nilai niche overlap) kecil. Nilai kesamaan relung pakan tersebut tidak melebihi

30 %, kecuali di Gua Kemit 47.1%. Menurut Cox (2002) penggunaan relung

yang sama (niche overlap) menyebabkan interaksi kompetitif, dimana tiap

populasi yang berkompetisi memberikan pengaruh yang merugikan bagi

pesaingnya (competitor). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kompetisi

80

makanan tidak terjadi antara jenis-jenis Microchiroptera yang bersarang dalam

satu gua yang sama. Hasil penelitian ini dapat menjawab pertanyaan mengapa

kelelawar insektivora (Microchiroptera) yang bersarang dalam satu gua dapat

bertahan dari generasi ke generasi dan mencapai jumlah populasi yang tinggi

tanpa berkompetisi memperebutkan makanan. Meskipun mencari makanan di

lokasi yang sama, kelelawar tersebut membagi relung pakannya dan memilih

makanan dengan karakteristik berbeda. Hal ini diperkuat dengan hasil temuan

bahwa nilai niche overlap pakan antarjenis kelelawar insektivora yang bersarang

dalam satu gua, lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai kesamaan relung

pakan antarjenis kelelawar yang bersarang pada gua berbeda. Sebagai contoh

adalah antara H. sorenseni dengan Hipposideros sp. Nilai niche overlap antara

H. sorenseni dengan Hipposideros sp. yang bersarang pada gua berbeda adalah

0.528. Sementara nilai niche overlap pakan H. sorenseni dengan Hipposideros sp

yang bersarang bersama di Gua Jatijajar adalah 0.169 . Demikian pula halnya

dengan C. plicata dengan H. sorenseni. Nilai niche overlap antara C. plicata

dengan H. sorenseni yang bersarang pada gua berbeda adalah 0.683. Namun

nilai niche overlap antara C. plicata dengan H. sorenseni yang bersarang bersama

di Gua Celeng adalah 0.054. Hal ini mengindikasikan, dua jenis kelelawar

insektivora yang bersarang dalam satu gua, membagi relung pakannya untuk

menghindari kompetisi.

Kesamaan jenis pakan lebih dari 30% (yaitu: 47.9%) ditemukan antara

H.sorenseni dengan Hipposideros sp yang bersarang bersama di Gua Kemit.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, berdasarkan jenis-jenis serangga yang

dimakan, kelelawar H. sorenseni dengan Hipposideros sp dapat digolongkan

sebagai jenis kelelawar oportunis karena memakan banyak jenis serangga.

Berdasarkan hasil pengamatan, Gua Kemit berada di Hutan Lindung Kawasan

Karst Gombong Selatan sebelah Timur. Vegetasi di wilayah tersebut lebih

didominasi oleh semak belukar daripada pepohonan. Berbagai jenis serangga

terutama ordo Coleoptera dan Orthoptera terlihat melimpah di semak belukar

tersebut pada saat penelitian ini dilakukan. Karena pakan tersedia dalam jumlah

banyak, kesamaan relung pakan yang tinggi antara kedua jenis kelelawar tersebut

tidak menyebabkan kompetisi negatif.

81

Menurut Altringham (1996) kelelawar subordo Megachiroptera tidak

mempunyai hubungan kekerabatan dengan kelelawar subordo Microchiroptera.

Salah satu alasan yang mendukung adalah : Saraf superior colliculus (s.c) kanan

pada otak tengah Microchiroptera mengatur retina mata kiri dan sebaliknya s.c

kiri mengatur retina mata kanan. Hal ini ditemukan pada semua Mamalia kecuali

Primata. Pada Megachiroptera, saraf superior colliculus kanan otak tengah

mengatur retina mata kiri dan mata kanan sekaligus. Keadaan ini hanya

ditemukan pada Primata, Dermoptera dan Megachiroptera (Altringham 1996).

Terpisahnya kekerabatan Megachiroptera dengan Microchiroptera ini dipertegas

oleh Han Guan et al. (2006) yang meneliti filogenetik kelelawar, bahwa

Megachiroptera memiliki kekerabatan lebih dekat dengan primata daripada

dengan Microchiroptera. Oleh karena berbeda kekerabatan, perilaku makan

kelelawar Microchiroptera jauh berbeda dengan kelelawar Megachiroptera.

Menurut Chairunnisa (1997) diduga Megachiroptera berasal dari nenek moyang

bangsa Primata yang cenderung frugivora, sedangkan Microchiroptera berasal dari

nenek moyang Rodensia yang cenderung insektivora.

Famili tumbuhan yang ditemukan dalam pencernaan Megachiroptera pada

penelitian ini, beberapa di antaranya pernah ditemukan di saluran pencernaan

Megachiroptera pada penelitian-penelitian sebelumnya. Di antaranya adalah

penelitian Tan et al. (1998) yang mendapatkan famili Myrtaceae dan

Euphorbiaceae pada kelelawar C. Brachyotis dan penelitian Soegiharto et al.

(2010) yang mendapatkan polen tumbuhan Bombacaceae, Fabaceae, Myrtaceae

dan Euphorbiaceae pada pencernaan kelelawar Cynopterus minutus, C.

brachyotis, C.titthaheilus, M. sobrinus dan R. amplexicaudatus.

Polen tumbuhan yang paling banyak dijumpai dalam saluran pencernaan

kelelawar Megachiroptera adalah dari famili Myrtaceae (83,3%), Bombacaceae

(83,3%) dan Fabaceae (83,3%). Myrtaceae (jambu-jambuan), Bombacaceae

(kapuk), dan Fabaceae (akasia) merupakan tumbuhan yang biasa ditemukan pada

daerah-daerah hutan karst. Hasil foto satelit citra LANDSAT (Lampiran 2),

terlihat dua per tiga dari Karst Gombong adalah hutan karst dan kebun campur.

Di antara hutan tersebut terdapat persawahan dan permukiman penduduk.

Berdasarkan hasil penelitian Riswan et al. (2006) jenis tumbuhan yang dijumpai

82

di hutan kasrt Gombong terdiri atas 187 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 125

famili dan 60 ordo. Jenis-jenis tersebut merupakan jenis asli hutan karst, seperti

Alstonia scholaris (pulai), Piper aduncum (sirih-sirihan), dan Saccharum

spontaneum (glagah) serta tumbuh-tumbuhan yang ditanam untuk maksud

reboisasi yang disarankan oleh PERHUTANI yaitu pohon serba guna yang

bernilai ekonomi. Famili tumbuhan yang ditemukan di saluran pencernaan

kelelawar Megachiroptera yang ditemukan pada penelitian ini, sebagain besar

termasuk dalam daftar famili tumbuhan hutan Karst Gombong yang telah

diidentifikasi oleh Riswan et al. (2006) tersebut. Di antaranya adalah Fabaceae,

Myrtaceae, Euphorbiacea, Aracaceae, Moraceae, Asteraceae, Bombacaceae, dan

Apocynaceae. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelelawar

Megachiroptera berperan penting dalam kelangsungan hidup tanaman hutan Karst

Gombong karena membantu penyerbukannya.

Berdasarkan polen tumbuhan yang dimakan, hasil analisis PCA

menunjukkan R. amplexicaudatus, E. spelaea, C. brachyotis, C. horsfieldii dan M.

sobrinus memiliki kecenderungan memilih polen dari tumbuhan yang berbeda.

Namun demikian, hasil perhitungan nilai kesamaan relung pakan dan uji chi

square menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak nyata, kecuali antara

C.horsfieldii dan M.sobrinus.

Berdasarkan karakteristik bunga dan ukuran polen, hasil HCCA

menunjukkan adanya pengelompokan jenis kelelawar menjadi 3 kelompok.

Menurut Barth (1991) secara alami koevousi bunga Angiosfermae beradaptasi

pada hewan penyerbuk, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, hasil penelitian

ini menunjukkan adanya kesesuaian morfologi moncong kelelawar dengan

morfologi bunga. Bila dilihat morfologi moncongnya, kelompok 1, yaitu R.

amplexicaudatus dan E. spelaea bermoncong pendek, sehingga cenderung

memilih polen berukuran sedang (diameter 40 µm - 60 µm ) dari bunga

berbentuk mangkuk, bulir majemuk, dan membulat. Kelompok 2 C. brachyotis

bermoncong besar dan lebar, sehingga cenderung memilih polen berukuran besar

dari bunga berbentuk cawan. Kelompok 3 yaitu C. horsfieldii, dan M. sobrinus

bermoncong ramping dan panjang, cenderung memilih polen berukuran kecil dari

bunga berbentuk tabung dan corong. Namun, hasil penelitian ini sedikit berbeda

83

dari hasil penelitian Soegiharto et al. (2010) yang membuktikan bahwa

karakteristik tumbuhan yang diserbuki kelelawar memiliki bunga berwarna putih,

ukuran polen besar, dan banyak, bentuk mahkota bunga mangkuk, menghasilkan

nektar banyak, dan mengeluarkan bau menyengat.

Nilai kesamaan relung pakan antarjenis kelelawar Megachiroptera yang

ditemukan tinggi ( > 43%), kecuali antara C.horsfieldii dengan M. sobrinus ( < 43

%). Demikian pula halnya dengan hasil uji chi kuadrat, menunjukkan bahwa

berdasarkan polen yang dimakannya, antara jenis-jenis kelelawar Megachiroptera

tidak berbeda nyata, kecuali antara C.horsfieldii dengan M. sobrinus. Hal ini

menunjukkan adanya kesamaan pakan antara jenis-jenis tersebut. Meskipun

memiliki kesamaan relung pakan yang tinggi, diduga kompetisi negatif antarjenis-

jenis Megachiroptera di Karst Gombong tidak terjadi. Hal ini karena kelelawar

Megachiroptera memiliki wilayah jelajah yang luas dalam pencarian pakannya.

Sebagaimana dinyatakan oleh Kunz & Pierson (1994) bahwa kelelawar

Megachiroptera mampu menjelajah dengan jarak 28 km dalam satu kali

pencarian makannya. Selain itu kawasan Karst Gombong seluruhnya berada di

areal hutan lindung yang menyediakan pakan cukup banyak bagi kelelawar

Megachiroptera.

Kesimpulan

1. Berdasarkan kesukaannya pada serangga pakan, kelelawar insektivora di

Karst Gombong dibagi menjadi lima kelompok yaitu: kelompok 1 adalah

C. plicata, Hipposideros sp, dan H. sorenseni cenderung memilih serangga

berukuran besar dan keras; kelompok 2 adalah H.diadema yang juga

cenderung memilih serangga berukuran besar dan keras tetapi dari jenis

yang berbeda dengan kelompok 1; kelompok 3 adalah M. Schreibersii, M.

australis, H.cf. ater, R.borneensis, cenderung memilih serangga berukuran

sedang dan lunak; kelompok 4 adalah R. affinis , cenderung memilih

serangga berukuran kecil dan keras; kelompok 5 adalah H. bicolor dan H.

ater cenderung memilih serangga berukuran kecil dan lunak. Berdasarkan

kesukaan pada polen tumbuhan, kelelawar frugivora di Karst Gombong

dibagi menjadi tiga kelompok: kelompok 1 adalah R. amplexicaudatus

84

dan E. spelaea yang cenderung memilih polen berukuran sedang

(diameter 40 µm - 60 µm ) dari bunga berbentuk mangkuk, bulir majemuk

dan membulat; kelompok 2 adalah C. brachyotis yang cenderung memilih

polen berukuran besar (diameter > 60 µm ) dari bunga berbentuk cawan,

dan kelompok 3 adalah C. horsfieldii dan M. sobrinus yang cenderung

memilih polen berukuran kecil (diameter < 40 µm) dari bunga bentuk

lonceng dan corong.

2. Nilai kesamaan relung pakan antarjenis kelelawar insektivora yang

bersarang dalam satu gua kurang dari 30%. Berarti kompetisi pakan

antarjenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua relatif kecil.

Saran

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kelimpahan serangga

pakan dan waktu kemunculan serangga tersebut, sehingga dapat diketahui

pengaruh kelimpahan serangga pada pemilihan relung pakan dan pembagian

relung pakan berdasarkan waktu.

2. Keanekaragaman jenis tumbuhan di hutan lindung dan kebun campur yang

berada di sekitar gua, perlu dijaga kelestariannya. Mengingat hutan tersebut

mnyediakan pakan bagi kelelawar yang bersarang di gua-gua karst.

85

ADAPTASI STRUKTURAL DAN FISIOLOGI PERNAPASAN

KELELAWAR PENGHUNI GUA:

STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG

KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH

ABSTRACT

The purpose of this study was to observe the structural and physiological adaptation of the cave bats conducted from September 2009 to March 2010 in Karst Gombong, Kebumen Regency, Central Java. In each cave where the bats roosting, the temperature, also the humidity, oxygen level, and amonia level were measured. Three individual samples were caught from every bat roost during the day when the bats were staying in their roosts. Blood was taken from the vein interfemoral of bats. Then the erythrocyte count was measured by using hemocytometer and hemoglobin content was measured using Sahli’s method. Lungs removed from body and were made preparations for histology. The diameter of alveoli was observed under the microscope. The data were analyzed using ANOVA and multiple regessions. It was concluded from this study that humidity, temperature, and amonia correlated significantly with erythrocyte and hemoglobin content. The diameter of alveoli significantly correlated with humidity, temperature, and amonia levels. The amount of erythrocyte increased by the increase of humidity, decrease in the temperature, and the increase of amonia level. This tendency also revealed in hemoglobin change. Key words : cave bat, adaptation, alveolus, erythrocyte, hemoglobin. Pendahuluan

Hasil penelitian membuktikan bahwa mikroklimat lingkungan di sekitar

sarang berpengaruh pada pemilihan sarang oleh kelelawar. Hal ini karena setiap

jenis kelelawar memilih sarang sesuai dengan kebutuhan fisiologis tubuhnya.

Berkaitan dengan persyaratan mikroklimat tersebut, beberapa jenis kelelawar

terbukti dapat bersarang di dalam gua dengan kondisi rendah oksigen, lembap,

tinggi karbon dioksida, dan tinggi kadar amonia. Keadaan ini sebenarnya kurang

menguntungkan bagi kelelawar, karena beberapa hasil penelitian pada hewan

Mamalia membuktikan bahwa: 1) Kekurangan oksigen dapat menyebabkan

kematian sel dan gangguan metabolisme (Kunz & Nagy 1988); 2) Paparan gas

amonia (NH3) dapat menyebabkan iritasi epitel organ pernapasan serta gangguan

fisiologi saraf (Hutabarat, 2002); dan 3) Berada pada lingkungan bersuhu

rendah dan kelembapan udara tinggi dapat menyebabkan gangguan psikomotorik

86

dan terhambatnya aktivitas kerja enzim (Baudinette et al. 2000). Namun, karena

mampu beradaptasi, kelelawar dapat bertahan hidup dan berkembang dalam

sarang dengan kondisi tidak menguntungkan. Bahkan menurut Furman & Ozgul

(2002), sarang kelelawar tersebut dipertahankan dari generasi ke generasi.

Kelelawar merupakan hewan troglozene (bersarang di dalam gua, mencari

makan di luar gua), sehingga tidak semua aktivitas harian kelelawar dilakukan di

dalam gua. Namun, menurut Zahn & Hager (2005) kelelawar berada di sarangnya

minimal delapan jam dalam satu hari. Beberapa hasil penelitian pada Mamalia

lain, mengindikasikan paparan gas racun lebih dari dua jam dapat menyebabkan

gangguan pernapasan. Heinrich et al. (1986) meneliti pengaruh gas emisi

pembakaran bensin pada sistem pernapasan hamster (Cricetulus barabensis) dan

tikus (Mus musculus). Hasil penelitian menunjukkan paparan gas emisi selama

120 menit menyebabkan edema paru, yaitu penimbunan cairan serosa atau

serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveolus

(Heinrich et al. 1986). Hutabarat (2002) melakukan penelitian pada karyawan

pabrik latexs yang terkena paparan amonia sebesar 500 ppm sampai 600 ppm

selama empat jam per hari dalam 60 hari. Hasil penelitian menunjukkan,

karyawan tersebut mengalami gejala tenggorokan kering (80%), mata perih

(66.67%), batuk (53.3%), dan pingsan (6.67%). Oleh karena itu, apabila tidak

beradaptasi, kelelawar yang berada dalam gua delapan jam per hari selama

hidupnya, sangat beresiko mengalami gangguan pernapasan.

Strategi adaptasi kelelawar yang bersarang di gua dengan suhu udara dingin

dan lembap pernah diteliti oleh Baudinette et al.(2000) di Australia. Hasil

penelitian menunjukkan laju respirasi kelelawar Macroderma gigas

(Microchiroptera) dan Rhinonycteris aurantias (Microchiroptera) menyesuaikan

suhu dan kelembapan udara dalam gua. Pada saat kondisi udara kering dan

dingin (kelembapan <60% dan suhu < 5.6oC) laju respirasi sama dengan pada

saat kondisi udara lembap dan hangat (kelembapan > 80% ;suhu > 9.8oC) yaitu

1.96 ± 0.08 BMR (1 BMR/ Basal Metabolic Rate = 1 ml O2 g-1 h-1). Tetapi bila

kondisi udara lembap dan dingin (kelembapan <60% dan suhu < 9o) laju

respirasinya meningkat tajam, yaitu 13.47± 0.44 BMR. Meningkatnya laju

respirasi tersebut merupakan strategi agar tubuh tetap hangat. Namun, sejauh ini

87

belum ada penelitian yang menjelaskan adaptasi struktural dan fisiologi

pernapasan kelelawar sebagai strategi untuk bertahan hidup di gua dengan

kondisi udara dingin, lembap, kadar amonia tinggi, dan kadar oksigen rendah.

Informasi ilmiah ini sangat diperlukan terutama untuk merancang strategi

pelestarian kelelawar yang tepat, sesuai dengan kebutuhan fisio-ekologinya.

Perbedaan diameter alveolus, jumlah eritosit dan kadar hemoglobin

antarkoloni kelelawar yang bersarang di lingkungan dengan kondisi udara

berbeda, dapat dijadikan indikator dalam memahami strategi adaptasi struktural

dan fisiologi pernapasan kelelawar. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian

terdahulu. Menurut Ganong (2001), semakin banyak dan kecil diameter alveolus,

semakin luas permukaan membran alveolus dan semakin banyak oksigen dan

karbon dioksida yang dapat dipertukarkan. Hasil penelitian Setiadi (2000) pada

kelelawar Scotophilus kuhli (Vespertilionidae: Mikrochiroptera) membuktikan

alveolus Scotophilus kuhli lebih kecil dan rapat dibandingkan alveolus tikus (Mus

musculus). Menurut Setiadi (2000), sebagai Mamalia terbang, kebutuhan oksigen

Scotophilus kuhli lebih banyak dibandingkan kebutuhan oksigen Mus musculus,

akibatnya pertukaran gas di alveous Scotophilus kuhli berlangsung lebih efektif

daripada pertukaran gas di alveolus Mus musculus. Menurut Ganong (2001)

penurunan kadar oksigen (hipoksia) akan merangsang ginjal untuk melepaskan

enzim erythrogenin yang memacu pembentukan sel darah merah. Binatang yang

terpapar oksigen rendah selama bertahun-tahun menunjukkan peningkatan

jaringan hipoksik dan peningkatan jumlah sel darah merah sampai 20% (Ganong

1995). Karena alasan tersebut di atas, diduga kelelawar yang bersarang di gua

yang dingin, lembap, kadar oksigen rendah dan kadar amonia tinggi beradaptasi

dengan diameter alveolus kecil, jumlah eritrosit tinggi dan kadar hemoglobin

tinggi.

Tujuan penelitian ini adalah : mengkaji adaptasi struktural dan fisiologi

pernapasan kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong. Hipotesis

penelitian ini adalah: adaptasi kelelawar terhadap kondisi gua yang dingin,

lembap, rendah kadar oksigen, dan tinggi kadar amonia menentukan struktur dan

fisiologi organ pernapasan, yaitu diameter alveolus sempit (< 100 µm) rasio

88

jumlah eritrosit/bobot badan tinggi (> 0.3 juta ml/g bobot badan) dan rasio kadar

hemoglobin/bobot badan tinggi (> 0,9 g/ml/g bobot badan).

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan pada September 2009 s/d Maret 2010. Lokasi

penelitian di tujuh goa yang terdapat di kawasan Karst Gombong Kabupaten

Kebumen Jawa Tengah yaitu Gua Petruk, Gua Celeng, Gua Kemit, Gua Jatijajar,

Gua Inten, Gua Liyah dan Gua Dempo. Pengamatan laboratorium dilakukan di

laboratorium hewan PPSHB PAU IPB, dan Laboratorium Fisiologi dan Anatomi

FKH IPB.

Bahan yang digunakan adalah chloroform, larutan fisiologis NaCl 0.9%,

HCl 0.1 N, aquadest, sampel darah, antikoagulan Ethylene Diamine Tetraacetic

Acid (EDTA), alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, larutan bouin, parafin,

xylol dan pewarna Hematoksilin Eosin (HE). Alat yang digunakan adalah hand

net, mist net dan harpa net, peralatan bedah; timbangan digital, mikroskop

(Olympus), jangka sorong digital (Krisbow), spuit, kapas, venoject (Therumo,

Japan) berisi EDTA, tabung reaksi, gelas objek, kaca penutup, pipet eritrosit,

aspirator, kamar hitung hemocytometer, tabung Sahli, mikrotom putar, pisau

mikrotom ukuran 5 µm dan blok parafin, dan mikrometer.

Cara kerja

Pengukuran mikroklimat udara dilakukan di sekitar sarang kelelawar pada

jarak terdekat yang mungkin terjangkau. Parameter mikroklimat yang diukur

adalah: suhu, kelembapan udara relatif, kadar oksigen, dan kadar amonia udara.

Sampel kelelawar Microchiroptera ditangkap di sarangnya di dalam gua,

sedangkan sampel Megachiroptera ditangkap di sekitar gua (Megachiroptera tidak

dapat ditangkap di dalam gua karena berjumlah sedikit/ maksimal 6 ekor). Sampel

yang dipilih adalah kelelawar dewasa berjenis kelamin jantan, sebanyak 3 ekor

setiap sarang. Pengukuran mikroklimat sarang dan penangkapan sampel dilakukan

pada siang hari pada saat kelelawar berada di sarangnya.

Penghitungan jumlah eritrosit dan hemoglobin dilakukan dengan cara: darah

diambil dari vena interfemoral sebanyak 1 ml menggunakan spuit ukuran 1 ml

89

(Kunz & Nagy 1988). Darah yang terambil segera dimasukkan ke dalam tabung

venoject yang telah berisi EDTA. Penghitungan jumlah eritrosit dilakukan dengan

cara (Sastradipradja 1989): 1) Sampel darah dihisap menggunakan pipet eritrosit

hingga tanda tera 0.5 pada aspirator; 2) Ujung pipet eritrosit dibersihkan

menggunakan kertas tissu, selanjutnya pengencer hayem dihisap hingga tanda tera

101 pada aspirator; 3) Pipet digerakkan memutar dengan membentuk arah angka

delapan selama tiga menit; 4) Larutan yang tidak tercampur dibuang dengan

menempelkan kertas tissu pada ujung pipet; 5) Satu tetes larutan diteteskan ke

dalam hemositometer; 6) Dilakukan penghitungan jumlah sel eritrosit yang

terdapat pada lima kotak eritrosit hemositometer (satu kotak kanan atas, satu

kotak kiri atas, satu kotak kiri bawah, satu kotak kiri bawah dan satu kotak

tengah) di bawah mikroskop perbesaran 40 X 10. Jumlah eritrosit kelelawar

adalah jumlah total eritrosit dalam lima kotak hemositometer dikali 10 4 /mm3

(Sastradipradja 1989) .

Pengukuran kadar hemoglobin darah dilakukan dengan metode Sahli yaitu

(Sastradipradja 1989) : 1) Larutan HCl 0.1 N diteteskan pada tabung Sahli sampai

tanda tera 1.0; 2) Sampel darah dihisap dengan mengunakan pipet Sahli sampai

tanda tera 2.0; 3) Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung Sahli dan

dibiarkan selama 3 menit; 4) Larutan ditambah dengan aquades sedikit demi

sedikit sambil diaduk dengan pengaduk Sahli hingga warna larutan sama dengan

warna standar hemoglobinometer pada kit Sahli; 5) Nilai kadar hemoglobin (g/ml)

adalah angka yang tertera pada tabung hemoglobin.

Kelelawar yang sudah diambil sampel darahnya segera dibius dengan

chloroform dan dilakukan pembedahan. Paru-paru dikeluarkan dari tubuh dan

direndam dalam larutan Bouin selama 24 jam, setelah itu dipindahkan ke dalam

larutan alkohol 70% untuk kemudian dilakukan proses pembuatan preparat

histologi (Gambar 24).

Pembuatan preparat histologi dilakukan dengan cara (Sobota & Hemmersen

1993): 1) Paru-paru dipotong sebesar 0.5 cm2, kemudian didehidrasi untuk

menarik air dari jaringan dengan cara direndam dalam larutan alkohol bertingkat

70% (selama 24 jam); 80% (selama 24 jam) dan 90% (selama 12 jam); 2)

Potongan paru-paru yang telah didehidrasi dijernihkan dengan cara direndam

90

dalam xylol selama 30 menit; 3) Potongan paru-paru yang sudah dijernihkan,

dilakukan infiltrasi dengan parafin cair dalam inkubator parafin; 4) Dilakukan

embedding (penanaman) pada blok parafin; 5) Dilakukan pemotongan dengan

mikrotom putar dengan ketebalan 5 µm; 6) Sayatan diletakkan pada gelas objek

dan dilakukan pewarnaan dengan Hematoxcillin Eosin (HE).

a b c

Gambar 24 Proses pembedahan dan perendaman paru-paru dalam larutan Bouin a. situs viscerum setelah dilakukan pembedahan longitidinal

ventral. b. Paru paru setelah dikeluarkan dari tubuh. c. Perendaman dalam larutan Bouin

Pengukuran diameter alveolus dilakukan dengan cara: 1) Mikrometer

dipasang pada lensa okuler dan dilakukan kalibrasi skala dengan perbesaran 40 x

10; 2) Alveolus dipilih secara acak pada lima lapang pandang, setiap lapang

pandang diukur 10 alveolus.

Analisis data

Transformasi data dilakukan untuk mengubah skala pengukuran data asli

menjadi bentuk lain sehingga data dapat memenuhi asumsi-asumsi yang

mendasari analisis ragam. Pada penelitian ini digunakan transformasi log (n+1),

dikarenakan data tersaji dalam sebaran tidak normal (Gaspersz 1995). Selain itu

jumlah eritrosit dan kadar amonia dianalisis berdasarkan proporsi per gam bobot

badan, hal ini karena sampel kelelawar yang diamati memiliki bobot tubuh yang

sangat beragam.

Perbedaan diameter alveolus, jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin

antarkoloni kelelawar yang bersarang pada ruang gua yang berbeda, dianalisis

dengan sidik ragam (ANOVA). Untuk melihat perbedaan antarkoloni kelelawar

dilakukan uji lanjut Tukey pada tingkat selang kepercayaan 95%. Hubungan

91

antara kondisi udara di sekitar sarang (suhu, kelembapan, kadar oksigen dan kadar

amonia) dengan diameter alveolus, jumlah eritrosit, dan kadar hemoglobin

dianalisis dengan uji korelasi Spearman, uji ANOVA, uji Tukey dan uji regesi

linear berganda (multiple regession) pada tingkat selang kepercayaan 95 %.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 17

(Gaspersz 1995).

Hasil

Sebanyak 40 sampel kelelawar dewasa berjenis kelamin jantan berhasil

ditangkap dan dilakukan pengamatan pada diameter alveolus, jumlah eritrosit, dan

kadar hemoglobinnya. Kelelawar tersebut berasal dari 14 sarang (14 koloni) yang

tersebar di tujuh gua. Setelah dilakukan identifikasi, diketahui kelelawar tersebut

terdiri atas tiga jenis Megachiroptera (Cynopterus brachyotis (Muller, 1838);

Rousettus amplexicaudatus (E.Geoffroy, 1810); dan Eonycteris spelaea

(Dobson,1871) dan delapan jenis kelelawar Microchiroptera (Chaerophon plicata

(Buchannan,1800), Hipposideros ater Templeton, 1848; Hipposideros cf. ater;

Hipposideros sp; Hipposideros sorenseni Kitchener & Maryanto, 1993,

Rhinolophus affinis Horsfield, 1823; Miniopterus australis Tomes, 1858; dan

Miniopterus schreibersii (Kuhl, 1819)).

Hasil pengukuran mikroklimat udara di sekitar sarang Chaerophon plicata

yang berada di Gua Petruk menunjukkan kelembapan udara = 70.4± 0.1% , suhu

udara= 29.5±0.1%, kadar oksigen= 22.0± 0.8%, dan kadar amonia= 2810 ppm.

Setelah dilakukan pengamatan pada sampel kelelawar, diketahui bobot tubuh

Chaerophon plicata tersebut adalah 12.8± 0.75 g (n=3), jumlah eritrosit=

4.080.000± 200.000 /ml (n=3), dan kadar hemoglobin =12.4 ± 0.5 g/ml (n=3).

Hasil pengukuran pada sayatan histologi paru-paru, menunjukkan diameter

alveolus kelelawar ini adalah = 114.2 ± 24 µm (n=50). Hasil pengukuran

mikroklimat sarang, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin dan diameter alveolus

koloni kelelawar lainnya dapat dilihat pada Tabel 16.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan: 1) Diameter alveolus berkorelasi

nyata dengan kadar amonia (R=-0.342,P<0.05), tetapi tidak berkorelasi nyata

dengan suhu, kelembapan dan kadar oksigen; 2) Rasio jumlah eritrosit per gram

92

bobot badan berkorelasi nyata dengan suhu (R= -305, P<0.05), kelembapan (R=

0.793, P<0.05) dan kadar amonia (R= 0.847, P< 0.05), tetapi tidak berkorelasi

nyata dengan suhu dan kadar oksigen; 3) Rasio kadar hemoglobin berkorelasi

nyata dengan kelembapan (R=0.769, P< 0.05) dan kadar amonia (R= 0.911, P<

0.05), tetapi tidak berkorelasi nyata dengan suhu dan kadar oksigen. Hasil uji

korelasi Spearman dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Hasil uji korelasi Spearman hubungan antara diameter alveolus, jumlah eritrosit, dan kadar hemoglobin dengan kelemabapan, suhu, kadar oksigen, dan kadar amonia

Kelembapan Suhu Kadar

Oksigen Kadar

Amonia

Diameter alveolus

Correlation Coefficient

-.298

-.131

-.103

-.342(*)

Sig. (2-tailed) .061 .422 .528 .031

N 40 40 40 40

Eritrosit Correlation Coefficient .793(**) -.305(*) .200 .874(**)

Sig. (2-tailed) .000 .020 .217 .000

N 40 40 40 40

Hemoglobin Correlation Coefficient .769(**) -.014 .187 .911(**)

Sig. (2-tailed) .000 .933 .249 .000

N 40 40 40 40

Keterangan : * berbeda nyata

** berbeda sangat nyata

Hasil uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan nyata diameter alveolus

antarkoloni kelelawar (Fhit=499; df=39; P<0.5). Perbandingan diameter alveolus

antarkoloni kelelawar dapat dilihat pada hasil uji Tukey yang tersaji pada Tabel

17. Berdasarkan tabel tersebut terlihat adanya perbedaan signifikan diameter

alveolus antarkoloni kelelawar, terutama antarkoloni kelelawar yang bersarang

di lingkungan berkadar amonia tinggi (C.plicata, R.affinis, M.australis dan M

schreibersii) dibandingkan dengan kelelawar yang bersarang di lingkungan

93

Tabel 16 Hasil pengukuran mikroklimat sarang, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan diameter alveolus kelelawar (rata-rata dan standar deviasi. n=3)

A

B

C (g)

D (%)

E oC

F (%)

G Ppm

H juta/ml

I g/ml

J (µm)

K juta/ml/g

L g/m/g

C_pli

Petruk R4

12.8±0.75

80.4 ±0.00

30.8 ±0.00

22.8 ±0.52

3310

13.0±0.20

13.0 ±0.20

114.2±120

0.39±0.03

1.13±0.04

H_at

Petruk R7

6.0± 0.28

77.2 ±0.20

26.4 ±0.34

22.0 ±0.48

2490

2.9±0.26

8.83±0.20

128.8±3.20

0.47±0.02

1.42±0.08

H.cf_at

Petruk R8

6.7± 0.14

75.5±2.10

27.5±2.12

21.8±0.28

2340

6.1±4.13

9.00±0.28

130.4±12.00

0.47±0.01

1.34±0.01

Hip_sp

Kampil R3

17.1± 0.24

70.8±1.10

27.9±0.18

22.07±0.52

1901

4.8±0.49

12.4±0.81

131.5±24.00

0.29±0.03

0.90±0.06

H_so1

Celeng R4

14.7±1.42

71.8±1.10

27.9±0.18

22.0±0.52

1901

4.1±0.90

12.47±0.80

143.9±8.70

0.30±0.04

0.96±0.06

H_so2

Jatijajar R2

13.7± 0.5

70.4±0.00

27.8±0.00

22.8±0.00

1830

3.5±0.10

11.7±0.7

140.8±16.00

0.25±0.03 0.85±0.01

H_so3

Petruk R3

14.3± 0.45

72.2±0.00 28.6±0.00 21.6±0.00 2090 4.2±0.30

12.6±1.10 138.4±26.00 0.29±0.01 0.88±0.03

M_aus

Inten R2

5.25± 0.21

64.0±0.2

26.7±0.11

22.1±0.16

1872

3.6±0.45

9.8±0.30

118.1±10.00

0.69±0.01

1.65±0.08

M_sch

Liyah R2

10.7±0.70

74.1±0.00 27±0.00 20.9±0.05 3180 3.2±0.21

8.65±0.07 123.5±22.00 0.33±0.02 0.80±0.02

R_aff

Inten R3

11.4±0.35

70.0±0.00

29.53±0.11

22.0±0.80

2810

12.4±0.52

12.4±0.50

112.2±11.00

0.32±0.01

0.96±0.07

C_bra

Liyah R1

37.0±1.46

54.8±1.20 27.24±0.21 21.0±0.10 1202 13.2±0.90

13.2±0.90 169.3±26.00 0.12±0.01 0.37±0.03

E_spa

Dempo R2

38.9±6.32

63.0±0.80

28.2±0.21

21.9±0.83

1103

13.3±1.50

13.3±1.50

158.2±12.00

0.11±0.01

0.34±0.04

R_amp

Petruk R2

83.2 ±1.4

56.8±0.00

27.0±0.00

20.9±0.00

640

16.15±2.80

14.0±0.30 144.8±16.00

0.06±0.03

0.19±0.02

Keterangan : A= spesies kelelawar B= goa lokasi sarang C=bobot badan D= kelembapan E= suhu udara F= kadar oksigen G= kadar ammonia H = jumlah eritrosit I = kadar hemoglobin J= diameter alveolus K= rasio jumlah eritrosit/ bobot badan L=rasio kadar hemoglobin / bobot badan Hip_sp=Hipposideros sp C_bra=C.brachyotis H_so = H.sorenseni E_spa =E.spelaea C_pli= C.plicata M_aus=M.australis R_amp = R.amplexicaudatus H_at = H.ater M_sch=M.Schreibersii Hcf_at= H.cf.ater R_aff=R.affinis

94

berkadar amonia rendah (Hipposideros sp, H.sorenseni1, C.brachiotis, E.speleae

dan R.amplexicaudatus).

Tabel 17 Hasil uji Tukey perbandingan diameter alveolus antarkoloni kelelawar

C_pl1

H_at

H.cf_a

Hip_sp

H_s_1

H_s-2

H_s-3

M_au

M_sc

R_af

C_br

E_sp

R_a

C_pl 1

* * * * * * ns ns * * * *

H_at 1

ns * * * * * * * * * *

H.cf_a1

* * * * * * * * * *

Hp_sp11

Ns * * * * * * * *

H_s-11

ns

ns

ns

*

*

*

*

*

H_s_21

ns

*

*

*

*

*

*

H_s_31

* * * * * *

M_au1

*

ns

*

*

*

M_sc2 * * * *

R_af 2 * * *

C_br 2 ns ns

E_sp2 ns

Keterangan : ns= tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 *= berbeda nyata pada taraf 0.05

1 = Microcheroptera 2 = Megachiroptera

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman (Tabel 16), terbukti bahwa

diameter alveolus berkorelasi nyata dengan kadar amonia, dan tidak berkorelasi

nyata dengan suhu, kelembapan, dan kadar oksigen. Korelasi antara diameter

alveolus dengan kadar amonia bersifat negatif (R= -0,342, P< 0,05), artinya

semakin tinggi kadar amonia, diameter alveolus kelelawar semakin kecil. Bentuk

hubungan antara kelembapan, suhu, kadar oksigen, dan kadar amonia dengan

diameter alveolus kelelawar dapat dijelaskan dengan persamaan regesi linear

berganda sebagai berikut:

Y= 245.8 + 0.121 X1 + 0.006 X2 – 0.209X3 – 0.828 X4

(R= 0.838; F= 4.72; P=0.03)

Y = diameter alveolus X1 = suhu

95

X2 = kelembapan X3 = kadar oksigen X4 = kadar amonia

Berdasarkan hasil uji koreasi Spearman dan uji regesi linear berganda di

atas, dapat disimpulkan bahwa kelelawar yang bersarang di tempat yang kadar

amonianya tinggi memiliki diameter alveolus lebih kecil dibandingkan kelelawar

yang bersarang di tempat yang rendah kadar amonianya. Hal ini menunjukkan

kelelawar yang bersarang di lingkungan dengan kadar amonia tinggi beradaptasi

dengan cara diameter alveolus mengecil. Gambar alveolus kelelawar yang diamati

dapat dilihat pada Lampiran 5.

Hasil uji Anova menunjukkan adanya perbedaan yang nyata jumlah eritrosit

antarkoloni kelelawar (Fhit=5.205; df=39; P<0.05). Perbandingan jumlah

eritrosit antarkoloni kelelawar dapat dilihat pada hasil uji Tukey yang disajikan di

Tabel 18.

Tabel 18 Hasil uji Tukey perbedaan rasio jumlah eritrosit per gram bobot badan

antarkoloni kelelawar

H_at Hcf_a H_sp H_s-1 H_s-2 H_s-3 M_au M_sc R_af C_br E_sp R_am

C_pl1 * * * * ns ns ns ns ns * * *

H_at1 ns * * * ns ns ns ns * * *

H.cf_a1 * * ns ns ns ns ns * * *

H_sp1

ns ns ns ns * * ns * *

H_s-11 ns ns ns ns ns ns ns *

H_s_21 ns ns ns ns ns * *

H_s-31 * ns ns ns ns *

M_au1 ns ns ns * *

M_sc1 ns * * *

R_af2 ns * ns

C_b2 ns ns

E_spa2 ns Keterangan : ns= tidak berbeda nyata pada tingkat selang kepercayaan 95% *= berbeda nyata pada tingkat selang kepercayaan 95%.

1 = Microcheroptera 2 = Megachiroptera Berdasarkan Tabel 18, terlihat adanya perbedaan nyata jumlah eritrosit

antarkoloni kelelawar, terutama antarkoloni kelelawar yang bersarang di gua yang

suhunya rendah, kelembapan udaranya tinggi, dan kadar amonianya tinggi

96

(H. ater, H. cf. ater , dan M. schreibersii) dibandingkan jumlah eritrosit kelelawar

yang bersarang di gua yang suhunya tinggi, kelembapan udaranya rendah, dan

kadar amonianya rendah (H. sorenseni 1, E. spelaea, C. brachyotis dan R.

amplexicaudatus). Hal ini sesuai dengan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel

16, yang menunjukkan adanya korelasi nyata antara jumlah eritrosit kelelawar

dengan suhu, kelembapan udara, dan kadar amonia. Bentuk hubungan antara

kadar eritrosit kelelawar dengan suhu, kelembapan, kadar oksigen dan kadar

amonia dapat dijelaskan dengan persamaan regesi linear berganda sebagai

berikut:

Y= 1601471.037 – 0.487 X1 + 0.384 X2 – 0.043X3 + 0.732X4

(R= 0.962; F= 24.6; P= 0.00).

Y= diameter alveolus X1 = suhu X2 = kelembapan X3 = kadar oksigen X4 = kadar amonia

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 16 tampak bahwa

korelasi antara jumlah eritrosit dengan suhu udara bersifat negatif (R= -305,

P<0.05), artinya kelelawar yang bersarang di tempat bersuhu rendah mempunyai

jumlah eritrosit lebih tinggi dibandingkan kelelawar yang bersarang di tempat

bersuhu tinggi. Korelasi antara jumlah eritrosit dengan kelembapan udara bersifat

positif (R= R= 0.793, P<0.05), artinya kelelawar yang bersarang di tempat

berkelembapan udara tinggi memiliki jumlah eritrosit lebih tinggi dibandingkan

kelelawar yang bersarang di tempat berkelembapan udara rendah. Demikian pula

halnya dengan kadar amonia. Korelasi antara jumlah eritrosit dengan kadar

amonia berkorelasi positif, artinya kelelawar yang bersarang di tempat berkadar

amonia tinggi memiliki jumlah eritrosit lebih tinggi dibandingkan kelelawar yang

bersarang di tempat berkadar amonia rendah. Persamaan regesi linear berganda

menunjukkan jumlah eritrosit bertambah seiring dengan menurunnya suhu udara,

bertambahnya kelembapan udara dan meningkatnya kadar amonia. Hal ini

membuktikan adanya adaptasi fisiologi kelelawar terhadap mikroklimat dingin,

lembap dan kadar amonia tinggi yaitu dengan jemlah eritrosit yang meningkat.

97

Hasil uji ANOVA menunjukkan kadar hemoglobin antarkoloni kelelawar

berbeda nyata (F=13.48; df=39;P<0.05). Hasil uji Tukey perbandingan kadar

hemoglobin antarkoloni kelelawar dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Hasil uji Tukey perbandingan rasio kadar hemoglobin per gram bobot

badan antarkoloni kelelawar H_a H.cf_a H_sp H_s-1 H_s-2 H_s-3 M_au M_sc R_af C_br E_sp R_am

C_pl1 *

*

ns

ns

ns

ns

*

ns

ns

ns

* *

H_a1 ns * * * * ns ns * * * *

H.cf_a1 * ns * * ns ns * * * *

H_sp1

ns ns ns * * ns ns ns ns

H_s-11 ns ns * * * ns ns ns

H_s_21 ns * ns * ns ns ns

H_s-31 * * * ns ns ns

M_au1 * ns * * *

M_sc1 ns ns * *

R_af2 * * ns

C_br2 ns ns

E_sp2 ns Keterangan : ns= tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 *= berbeda nyata pada taraf 0.05

1 = Microcheroptera 2 = Megachiroptera

Tabel 19 menunjukkan adanya perbedaan nyata kadar hemoglobin

antarkoloni kelelawar, terutama antarkoloni kelelawar yang bersarang di tempat

yang kelembapan udaranya tinggi dan kadar amonianya tinggi (C.plicata,

H.ater, H.cf.ater , dan M.schreibersii) dibandingkan jumlah eritrosit kelelawar

yang bersarang di tempat yang kelembapan udaranya rendah dan kadar amonianya

rendah (H.sorenseni, E.spelaea, C.rachiotis dan R.amplexicaudatus). Hal ini

sesuai dengan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 16, yang menunjukkan

adanya korelasi nyata antara kadar hemoglobin kelelawar dengan kelembapan

udara dan kadar amonia. Sementara itu, kadar hemoglobin dengan suhu dan kadar

oksigen tidak berkorelasi nyata. Bentuk hubungan antara kadar hemoglobin

kelelawar dengan suhu, kelembapan, kadar oksigen, serta kadar amonia dapat

dijelaskan dengan persamaan regesi linear berganda sebagai berikut :

Y= 2.93 – 0.492 X1 + 0.546 X2 – 0.031X3 + 0.600 X4

(R= 0.982; F= 54.98; P= 0.00).

98

Y= kadar hemoglobin X1 = suhu X2 = kelembapan X3 = kadar oksigen X4 = kadar amonia

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 16, tampak bahwa

korelasi antara kadar hemoglobin dan kelembapan udara bersifat positif, artinya

kelelawar yang bersarang di tempat berkelembapan udara tinggi memiliki kadar

hemoglobin lebih tinggi dibandingkan kelelawar yang bersarang di tempat

berkelembapan udara rendah. Demikian pula halnya dengan kadar amonia.

Korelasi antara kadar hemoglobin dengan kadar amonia bersifat positif, artinya

kelelawar yang bersarang di tempat berkadar amonia tinggi memiliki kadar

hemoglobin lebih tinggi dibandingkan dengan kelelawar yang bersarang di gua

dengan kadar amonia rendah. Persamaan regesi linear berganda menunjukkan

kadar amonia bertambah seiring dengan menurunnya suhu, bertambahnya

kelembapan udara dan bertambahnya kadar amonia. Hal ini membuktikan adanya

adaptasi fisiologi kelelawar yang bersarang di tempat dengan kelembapan tinggi

dan kadar amonia tinggi yaitu dengan kadar hemoglobin meningkat.

Pembahasan

Hasil pengukuran suhu di sekitar sarang kelelawar, menunjukkan semua

sarang berada dalam kisaran suhu optimal untuk hewan Mamalia yaitu 25oC s/d

30 oC . Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa suhu lingkungan

optimal untuk Mamalia di daerah tropis berkisar antara 25oC s/d 32oC. Hasil

pengukuran kadar oksigen menunjukkan tidak terjadi penurunan kadar oksigen

pada sarang kelelawar yang berada di dalam gua. Hal ini berbeda dengan hasil

penelitian Baudinette et al. (1994) di gua-gua di Australia yang mendapatkan

kondisi udara di sekitar sarang kelelawar yang berada di dalam gua memiliki

kadar oksigen 10% lebih rendah dibandingkan kadar oksigen di luar gua. Pada gua

karst yang diamati dalam penelitian ini, kadar oksigen tidak menurun karena pori-

pori karst pada dinding dan atap gua dapat dilewati udara sehingga oksigen dapat

masuk melalui pori-pori tersebut. Masuknya udara melalui pori-pori karst ini

menyebabkan oksigen yang berkurang karena digunakan oleh kelelawar, dapat

99

bertambah lagi. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini kadar oksigen tidak

berpengaruh pada diameter alveolus, jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin,

karena kadar oksigen udara di semua sarang berada dalam kisaran normal ( >

20.9%).

Hasil pengukuran kelembapan udara menunjukkan beberapa sarang

memiliki kelembapan udara tinggi ( mencapai 80%). Tingginya kelembapan

udara di beberapa sarang kelelawar tersebut disebabkan banyaknya rembesan air

di dinding dan atap gua, serta adanya aliran sungai bawah tanah. Sebagai

pembanding, menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No. 24 tahun 2001, batas

optimal kelembapan udara relatif di lingkungan kerja manusia adalah 45% s/d

56% (DEPKES RI 2001). Hasil pengukuran kadar amonia di beberapa lokasi

sarang kelelawar juga menunjukkan kadar amonia yang tinggi (mencapai 3310

ppm). Tingginya kadar amonia tersebut berasal dari urine dan feses kelelawar.

Penelitian Sridhar et al. (2006) mendapatkan urin dan feses (guano) kelelawar

Hipposideros speoris (Hipposideridae: Mikrochiroptera) tersusun atas 5.7 ± 1.5%

nitrogen (N) berbentuk amonia (NH3). Amonia dalam guano ini dapat menguap

menjadi gas bercampur dengan komponen udara lainnya. Hal ini menyebabkan

kandungan amonia udara meningkat tajam (Shidar et al. 2006). Sebagai

pembanding, menurut Peraturan Pemerintah RI No 46 Tahun 1999, kadar amonia

udara yang boleh ada pada udara ambien normal tidak lebih dari 60 µg/m3 atau

60 ppm (KLH 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan, bila dibandingkan

dengan lingkungan manusia, kelembapan dan kadar amonia di beberapa sarang

kelelawar jauh di atas batas normal. Oleh karena itu, agar dapat bertahan hidup

dalam sarang tersebut, kelelawar perlu beradaptasi. Hal ini sesuai dengan

pendapat Alikodra (2010) bahwa untuk bertahan di suatu habitat, hewan harus

mengembangkan strategi adaptasi.

Hasil penelitian ini membuktikan adanya adaptasi struktural organ

pernapasan kelelawar sebagai strategi untuk dapat bertahan hidup di sarang

dengan kadar amonia tinggi. Hal ini dibuktikan dengan adanya korelasi yang

nyata antara diameter alveolus kelelawar dengan kadar amonia. Kelelawar yang

bersarang di gua berkadar amonia tinggi, memiliki diameter alveolus lebih kecil

dibandingkan kelelawar yang bersarang di gua berkadar amonia rendah. Menurut

100

Guyton (1995), dinding alveolus sangat tipis dan di dalamnya banyak terdapat

kapiler darah. Kondisi demikian memudahkan pertukaran gas antara alveolus

dengan kapiler darah. Menurut Plopper & Adams (1993), alveolus yang

berukuran kecil dan rapat, menyebabkan permukaan membran respirasi menjadi

lebih luas. Permukaan membran respirasi yang luas menyebabkan paru-paru

mampu mengikat oksigen lebih banyak (Plopper dan Adams 1993). Selain itu

menurut Guyton (1995), semakin sempit diameter alveolus, semakin besar

tekanan parsialnya, hal ini menyebabkan semakin cepat absorbsi oksigen oleh

kapiler darah. Kemampuan mengikat oksigen lebih banyak dan absorbsi oksigen

lebih cepat diperlukan oleh kelelawar yang bersarang di lingkungan berkadar

amonia tinggi, karena kelelawar memerlukan lebih banyak energi untuk memacu

terbentuknya limfosit dan zat antibodi. Hasil penelitian Setiadi (2000)

menunjukkan kelelawar Scotophilus kuhli (Vespertilionidae: Mikrochiroptera)

memiliki diameter alveolus lebih kecil dan rapat dibandingkan alveolus tikus

(Mus musculus), karena sebagai Mamalia terbang, kelelawar membutuhkan energi

lebih banyak dibandingkan tikus.

Dalam fisiologi pernapasan Mamalia, setelah oksigen berdifusi ke kepiler

darah, oksigen akan diangkut oleh darah ke seluruh jaringan tubuh oleh sel darah

merah (eritrosit). Kemampuan eritrosit mengangkut oksigen disebabkan adanya

pigmen respirasi atau hemoglobin (Frandson 1992). Menurut Campbell et al.

(2002) oksigen sangat tidak larut dalam air sehingga untuk mengangkut oksigen,

diperlukan hemoglobin. Hemoglobin tersebut terdiri atas empat subunit protein

berbentuk globul (bola), setiap globul memiliki satu gugus hem dengan satu atom

besi (Fe). Atom besi inilah yang dapat mengikat oksigen. Semakin banyak jumlah

eritrosit, semakin banyak kadar hemoglobin dalam darah Mamalia, semakin

banyak oksigen yang dapat ditransportasikan.

Jumlah eritrosit kelelawar Microchiroptera yang ditemukan dalam

penelitian ini berkisar antara 2.9 juta/ml s/d 13.03 juta/ ml, dan jumlah eritrosit

kelelawar Megachiroptera yang ditemukan dalam penelitian ini berkisar antara

13.2 juta/ml s/d 16.15 juta/ml. Riedesel (1977) mencatat hasil-hasil penelitian

mengenai eritrosit beberapa jenis kelelawar adalah sebagai berikut : Myotis

sodalis 9.5 juta/ml; Nyctalus noctula 10.61 juta/ml s/d 14.38 juta/ml; Tadarida

101

brasiliensis mexicana 10.11 juta/ml s/d 16.53 juta/ml; Desmodus rotundus

murinus 8.20 juta/ml s/d 12.39 juta/ml dan Eptesicus fuscus 11.96 juta/ml. Bila

dibandingkan dengan penelitian terdahulu, jumlah eritrosit kelelawar yang

ditemukan dalam penelitian ini berada dalam kisaran yang lebih luas ( 2.9 juta/ml

s/d 16.15 juta/ml). Jumlah eritrosit yang sangat bervariasi ini disebabkan sampel

kelelawar yang diteliti memiliki ukuran tubuh dan habitat yang sangat bervariasi

pula. Menurut Ganong (2001), faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit hewan

adalah kondisi nutrisi, aktivitas fisik, umur dan lingkungan (Ganong 2001).

Cunningham (2002) menjelaskan jumlah eritrosit jenis-jenis hewan Mamalia

sebagai berikut : kucing (Felis felis domesticus) 6 juta/ ml-8 juta/ml; sapi (Bos

javanicus) 6 juta/ ml -8 juta/ml; anjing (Canis familiaris) 6 juta/ml s/d 8 juta/ml ;

kambing (Capra aegagus) 13 juta/ml s/d 14 juta/ml; babi (Sus barbatus) 6 juta/ml

s/d 8juta/ml ; dan kelinci (Lepus negicollis) 5.5 juta/ml s/d 6.5 juta/ml. Bila

dibandingkan dengan Mamalia lain, jumlah eritrosit kelelawar jauh lebih tinggi

dibandingkan jumlah eritrosit Mamalia lain. Menurut Altringham (1996), pada

waktu terbang kelelawar membutuhkan banyak energi sehingga lebih banyak

oksigen yang dikonsumsi. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan oksigen

yang besar, kelelawar memiliki jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan

Mamalia lain.

Hasil penelitian ini membuktikan adanya adaptasi fisiologi pernapasan oleh

kelelawar yang bersarang di tempat yang dingin, lembap dan berkadar amonia

tinggi yaitu dengan peningkatan rasio jumlah eritrosit per bobot badan dan rasio

kadar hemoglobin per bobot badan. Rasio jumlah eritrosit per bobot badan

kelelawar yang bersarang di gua yang dingin dan lembap, lebih tinggi

dibandingkan rasio jumlah eritrosit per bobot badan kelelawar yang bersarang di

gua yang hangat dan kering. Hal ini karena kelelawar yang bersarang pada tempat

dingin dan lembap harus memacu metabolisme tubuhnya agar tubuh tetap hangat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Baudinette et al. (2000) yang

membuktikan, kelelawar yang bersarang pada kondisi udara dingin dan lembap

mengalami peningkatan laju respirasi hingga 13.47± 0.44 BMR (Basal Metabolic

Rate = 1 ml O2 g-1 h1). Menurut Atringham (1996), kelelawar merupakan

hewan homoikiloterm. Thermoregulasi kelelawar menyebabkan suhu tubuh tetap

102

hangat, walaupun berada di lingkungan yang dingin. Meningkatnya laju respirasi

yang didukung oleh meningkatnya jumlah eritrosit merupakan salah satu bentuk

thermoregulasi kelelawar di lingkungan yang dingin agar suhu tubuh tetap hangat.

Rasio jumlah eritrosit per gram bobot badan kelelawar yang bersarang di

gua berkadar amonia tinggi, juga lebih banyak dibandingkan rasio jumlah eritrosit

per gram bobot badan kelelawar yang bersarang di gua yang kadar amonianya

rendah. Menurut Guyton (1995), masuknya zat racun ke dalam darah dapat

menurunkan afinitas (daya ikat) oksigen oleh hemoglobin. Hal ini dapat

menyebabkan sel kekurangan oksigen (hipoksia). Sebagai bentuk strategi adaptasi

pada keadaan ini, kelelawar memacu produksi sel eritrositnya. Mekanisme

peningkatan jumlah eritrosit dalam tubuh Mamalia adalah sebagai berikut

(Ganong 2001): penurunan kadar oksigen (hipoksia) akan merangsang ginjal

untuk melepaskan enzim eritrogenin (erythrogenin). Selanjutnya enzim tersebut

akan mengaktifkan eritropoietinogen yang merupakan prekusor dalam

pembentukan eritopoietin. Di dalam sumsum tulang, eritropoietin akan

meningkatkan jumlah sel bakal (stem cell). Sel bakal ini akan menjadi prekusor

darah merah dan selanjutnya menjadi sel darah merah (Ganong 2001). Selain itu

menurut Guyton (1995), apabila zat asing masuk ke dalam tubuh, tubuh akan

membentuk antibodi dan meningkatkan jumlah sel limfosit untuk menghancurkan

zat asing. Oleh karena itu, apabila amonia masuk ke dalam tubuh, kelelawar

membutuhkan lebih banyak energi untuk memacu peningkatan antibodi dan sel

limfosit tersebut. Kebutuhan energi yang banyak ini diimbangi dengan

peningkatan jumlah eritrosit.

Peningkatan kadar hemoglobin kelelawar sejalan dengan peningkatan

jumlah eritrosit. Oleh karena itu, kelelawar yang bersarang di gua dengan kondisi

udara dingin, lembap, dan amonia tinggi memiliki kadar hemoglobin lebih tinggi

dibandingkan kelelawar yang bersarang di gua dengan kondisi hangat, kering, dan

kadar amonia rendah. Peningkatan kadar hemoglobin tersebut merupakan

strategi agar laju respirasi meningkat. Dengan demikian, suhu tubuh dapat

dipertahankan dan masuknya racun ke dalam tubuh dapat segera dinetralisir.

Selain itu menurut Campbell et al. (2002) kadar hemoglobin yang tinggi

merupakan adaptasi hewan untuk menyimpan oksigen. Hal ini dibuktikan pada

103

Mamalia air : anjing laut Weddell, yang mampu menyimpan 70% kebutuhan

oksigennya dalam darah. Dengan kadar hemoglobin yang tinggi, kelelawar dapat

menyimpan oksigen dalam jumlah besar dan kekurangan oksigen dapat dihindari.

Riedesel (1977) mencatat hasil-hasil penelitian mengenai hemoglobin

beberapa jenis kelelawar adalah sebagai berikut: Nyctalus noctula 11.1 g/ml;

Myotis myotis 10.9 g/ml; Plecotus auritus 9.8 g/ml; Myotis nattereri 10.9; dan

Artibeus lituratus 17.0 g/ml. Menurut Guyton (1995) dalam keadaan normal 1 ml

darah manusia mengandung 14 gram (14 g/mm3) hemoglobin yang mampu

mengangkut 0.03 gram oksigen. Penelitian Nugraha (2007) mendapatkan

kandungan hemoglobin anjing (Canis familiaris) usia 3 sampai 7 bulan berkisar

5.77 s/d 10.94 g/mm3. Fatmawati (2007) mendapatkan hemoglobin anjing ras

Dobermean dewasa berkisar 11.8 ± 1.13 g/mm3. Bila dibandingkan dengan hewan

Mamalia lain, kadar hemoglobin dalam darah kelelawar yang ditemukan dalam

penelitian ini cenderung lebih tinggi. Hal ini karena, sebagai Mamalia terbang

kelelawar membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan Mamalia lain.

Kesimpulan

Strategi adaptasi struktural dan fisiologi kelelawar yang bersarang di gua

dengan kondisi udara dingin, lembap dan kadar amonia tinggi adalah dengan

diameter alveolus yang kecil, jumlah eritrosit meningkat dan kadar hemoglobin

meningkat.

Saran

Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dalam rangka memahami

strategi adaptasi kelelawar penghuni gua. Oleh karena itu masih diperlukan

penelitian lebih lanjut yang meliputi : struktur trakhea, struktur jantung,

hematologi darah, serta laju metabolisme kelelawar penghuni gua.

104

PEMBAHASAN UMUM

Pentingnya upaya konservasi bagi ekosistem Karst Gombong

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di gua-gua Karst Gombong hidup

lima belas jenis kelelawar, yang terdiri atas empat jenis Megachiroptera, dan

sebelas jenis Microchiroptera. Hal ini menunjukkan bahwa Karst Gombong

menyimpan kekayaan jenis kelelawar yang jauh lebih tinggi dibandingkan karst

lain yang berada di Indonesia maupun di luar Indonesia, yaitu di Karst Sumbawa

delapan jenis (Maryanto & Maharadatunkamsi 1991), di Karst Sangkulirang-

Mangkaliat Kalimantan Timur sembilan jenis (Saroni 2005), di Karst Istambul

Turki: delapan jenis (Furman & Ozgull 2002) dan di Karst Britain Inggis: sebelas

jenis (Parsons et al. 2002).

Lima belas jenis kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong

tersebut, delapan jenis di antaranya termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan

Red List IUCN versi 3.1 (IUCN 2001). Satu jenis termasuk dalam kategori

vulnerable, satu jenis termasuk dalam kategori near threatened dan enam jenis

termasuk dalam kategori lower risk /least concern. Status kelelawar berdasarkan

Red List IUCN versi 3.1 dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1

(IUCN 2001)

Jenis Kelelawar

Status Konservasi

(Red List IUCN versi 3.1)

Keterangan status

H. sorenseni Vulnerable Memiliki risiko tinggi untuk punah di alam karena penurunan jumlah populasi yang tinggi dan penyebaran yang sangat terbatas.

M. schreibersii Near threatened Diperkirakan akan terancam punah dalam waktu dekat

H. ater M. australis H. bicolor R. borneensis R. affinis R. amplexicaudatus

Lower risk / least concern

Tidak memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam critically endangered, endangered, vulnerable ataupun near threatened karena memiliki risiko rendah untuk punah.

105

Hasil analisis relung pakan membuktikan bahwa kelelawar

Microchiroptera yang bersarang di Karst Gombong merupakan predator 29 famili

serangga yang berpotensi sebagai hama pertanian sedangkan kelelawar

Megachiroptera yang ditemukan di Karst Gombong merupakan polinator 33

genus tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi. Menurut

John et al. (1990) suatu kawasan perlu dilindungi atas dasar beberapa kriteria

yaitu 1) Karakteristik atau keunikan ekosistem; 2) Spesies khusus yang diminati,

bernilai penting, kelangkaan atau terancam 3) Memiliki keanekaragaman spesies

tinggi 4) Landskap atau ciri geofisik yang bernilai eksotik; 5) Fungsi

perlindungan hidrologi; 6) Potensial untuk wisata alam; 7) Tempat peninggalan

budaya. Berdasarkan kriteria tersebut, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

Karst Gombong perlu dilindungi karena memiliki keunikan ekosistem, dihuni oleh

spesies yang terancam, memiliki kanekaragaman spesies yang tinggi, memiliki

fungsi perlindungan hidrologi, dan potensial untuk wisata alam.

Selama ini pengelolaan gua yang dilakukan PEMDA Kabupaten Kebumen

lebih terfokus pada pemanfaatan gua sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah

(PAD), yaitu dengan memanfaatkan gua karst sebagai objek wisata. Sejak tahun

1976, PEMDA Kabupaten Kebumen telah mengembangkan Gua Jatijajar sebagai

objek wisata minat umum. Selanjutnya pada tahun 1984 Gua Petruk juga

ditetapkan sebagai objek wisata. Namun, berbeda dari Gua Jatijajar, Gua Petruk

ditetapkan sebagai objek wisata minat khusus. Menurut Dinas Pariwisata

Kabupaten Kebumen (2004), objek wisata alam minat umum adalah kawasan

yang memiliki keindahan alam dan dikelola untuk menarik wisatawan sebanyak

mungkin. Objek wisata minat khusus adalah kawasan wisata yang dikelola bagi

wisatawan dengan persyaratan khusus, misalnya kegiatan penelusuran gua yang

memerlukan peralatan standar dan pemandu yang terampil. Sangat disayangkan,

pemanfaatan Gua Jatijajar dan Gua Petruk untuk tujuan wisata tersebut, selama ini

masih belum dilandasi oleh dasar ilmu pengetahuan yang kuat sehingga sangat

berisiko menimbulkan kerusakan ekosistem. Hal ini terlihat pada pengelolaannya

yang lebih berorientasi bisnis tanpa mempertimbangkan resiko kerusakan

ekosistem. Sebagai contoh, untuk menarik kedatangan wisatawan di Gua Jatijajar,

pada dinding dan atap gua dipasang lampu penerangan dan dibuat berbagai

106

deorama yang menggambarkan cerita pewayangan Rama dan Shinta (Gambar 25).

Selain itu, di luar gua juga dibangun berbagai fasilitas wisata seperti pasar

souvenir, taman bermain, panggung hiburan dan jalan. Hasil penelitian ini

membuktikan bahwa di Gua Jatijajar bersarang (dihuni) lima jenis kalelewar, dan

dua jenis di antaranya (R.amplexicaudatus dan H.sorenseni) termasuk dalam

jenis-jenis yang perlu dilindungi berdasarkan Red List IUCN versi 3.1. Dalam

memilih sarangnya, jenis-jenis kelelawar tersebut memerlukan persyaratan fisik

mikroklimat yang spesifik, sesuai dengan fisiologis tubuhnya. Pembangunan

fasilitas wisata di Gua Jatijajar dapat menyebabkan perubahan mikroklimat gua

menjadi tidak sesuai lagi dengan kondisi yang dibutuhkan kelelawar. Kondisi ini

akan mengakibatkan kepunahan jenis-jenis kelelawar tersebut. Berapa lama hal ini

akan terjadi sangat bergantung pada besarnya tekanan pada gua ini. Oleh karena

itu PEMDA Kabupaten Kebumen harus mempertimbangkan pola pengelolaan

yang diterapkan selama ini.

Gambar 25 Patung deorama cerita pewayangan Rama dan Shinta di

lorong Gua Jatijajar (Foto: Wijayanti 2010)

Di Gua Petruk, meskipun ditetapkan sebagai objek wisata minat khusus,

jumlah wisatawan yang menelusuri gua tidak dibatasi. Apalagi pada

pelaksanaannya tidak ada tata tertib yang mengatur aktivitas penelusuran gua

tersebut. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Gua Petruk dihuni oleh

sembilan jenis kelelawar dengan kelimpahan yang sangat tinggi. Di antara

107

sembilan jenis tersebut, lima jenis di antaranya termasuk jenis yang perlu

dilindungi berdasarkan Red List IUCN versi 3.1. Kedatangan wisatawan dengan

perilaku dan jumlah yang tidak terkontrol sangat berisiko mengganggu

kenyamanan kelelawar, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kepunahan jenis

kelelawar tersebut. Sebetulnya risiko ini dapat di minimalisir apabila objek wisata

gua dikelola sesuai dengan persyaratan mikroklimat yang dibutuhkan kelelawar.

Persyaratan mikroklimat tersebut telah diketahui melalui hasil penelitian ini.

Untuk itu diperlukan kebijakan PEMDA yang mendukung ke arah pengelolaan

gua yang sesuai dengan persyaratan mikroklimat yang dibutuhkan sebagaimana

telah diketahui dari hasil penelitian ini.

Perhatian pemerintah terhadap ekosistem Karst Gombong

Menyadari sifat ekosistem karst yang unik dan rentan, sudah seharusnya

pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada

kelestariannya. Perhatian pemerintah pusat pada Karst Gombong mulai terlihat

sejak tahun 1987. Pada tahun tersebut, Dirjen PHKA (saat itu bernama Dirjen

PHPA) melakukan identifikasi fungsi gua di Provinsi Jawa Tengah, termasuk di

Karst Gombong, dan mengeluarkan pedoman pengelolaan gua berdasarkan hasil

identifikasi fungsi gua. Menurut pedoman pengelolaan tersebut, suatu gua bisa

ditetapkan sebagai gua konservasi, gua pendidikan, gua wisata, gua sumber air,

gua budaya, dan gua tambang berdasarkan kriteria pokok seperti tercantum pada

Tabel 21. Namun, identifikasi fungsi gua yang dilaksanakan pada tahun 1987

tersebut tidak pernah tuntas hingga saat ini sehingga rekomendasi pengelolaan

gua sesuai dengan pedoman yang ada tidak pernah terwujud. Dari 112 gua yang

ada di Karst Gombong hanya 3 gua yang teridentifikasi, yaitu Gua Jatijajar, Gua

Petruk, dan Gua Liyah, dan itupun baru sampai pada pemetaan lorong gua dan

identifikasi geohidrologi gua. Oleh karenanya, hingga saat ini, pedoman

pengelolaan gua tersebut hanya menjadi konsep saja bagi pengelola kawasan

Karst Gombong.

108

Tabel 21 Pedomaan pengelolaan gua berdasarkan identifikasi fungsi gua Jenis Gua

Jenis Gua

Potensi utama Menyimpan

Air Dekorasi

gua indah/speleotom

aktif

Habitat satwa

khas/unik

Habitat satwa

terancam punah

Geohidrologi langka

Terdapat fosil/peninggalan

budaya

Konservasi ± ± + + ± +

Sumber air + - - - - -

Wisata

umum

± + ± - ± ±

Wisata minat

khusus

± + + ± ± ±

Laboratorium

pengetahuan

± + + + + +

Gua budaya - - - - - +

Tambang dan

produksi

- - - - - -

Keterangan : + mutlak harus ada

± boleh ada boleh tidak ada

- tidak ada

Pada tahun 2004 perhatian Pemerintah RI pada kawasan Karst Gombong

mulai terlihat lagi. Hal ini ditandai dengan dicanangkannya wilayah geologi

Gunung Sewu dan Gombong Selatan sebagai kawasan konservasi ekokarst pada

tanggal 6 Desember 2004 (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kebumen 2004).

Sebagai implikasi dari pencanangan ini, Departemen Kehutanan melakukan

intensifikasi penghijauan di lahan Karst Gombong Selatan, dan Dinas Pariwisata

dan Budaya Kabupaten Kebumen menyusun naskah pengembangan ekowisata

karst di wilayah Kebumen. Sebagai puncaknya, tanggal 14 November 2006,

Presiden RI menetapkan kawasan karst Karang Sembung, bagian dari Karst

Gombong, sebagai kawasan cagar alam geologi karena kawasan ini memiliki

keunikan dan kelengkapan fenomena geologi yang jarang dijumpai di dunia

(Pusat Survei Geologi Departemen ESDM 2006). Namun demikian, perhatian

pemerintah pada Karst Gombong sejauh ini hanya terfokus pada ekosistem

exokarst (luar gua) dan stuktur geologi gua saja, sementara kelestarian ekosistem

endokarst (dalam gua) masih belum diperhatikan.

Penunjukkan Karst Gombong Selatan sebagai kawasaan konservasi

exokarst, memacu Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen untuk menggali

109

potensi ekosistem Karst Gombong. Pada tahun 2004, Dinas Pariwisata dan

Budaya Kabupaten melakukan survei gua di seluruh kawasan Karst Gombong

(DISPARHUB Kabupaten Kebumen 2004). Meskipun survei yang dilakukan

hanya sebatas identifikasi titik koordinat gua dan letak administratif gua, hasil

survei ini telah berhasil memberikan informasi penting mengenai jumlah dan

sebaran gua-gua karst di kawasan Karst Gombong. Melalui informasi ini,

sebetulnya dapat digali lebih dalam kondisi ekosistem gua-gua di kawasan Karst

Gombong. Dengan demikian, gua-gua yang telah teridentifikasi tersebut dapat

dikelola sesuai dengan potensi yang ada. Namun, sangat disayangkan, antusias

PEMDA Kebumen untuk menggali lebih jauh ekosistem gua-gua di Karst

Gombong sangat rendah. Akibatnya, hasil inventarisasi gua yang telah dilakukan

tujuh tahun lalu hanya berfungsi sebagai data base tanpa diikuti dengan

kebijakan pengelolaannya.

Usulan strategi konservasi ekosistem Karst Gombong

Upaya perlindungan di Karst Gombong dapat dicapai dengan strategi

konservasi. Menurut Alikodra (1988) yang dimaksud dengan konservasi adalah

upaya pengelolaan sumber daya alam yang menjamin: a) perlindungan pada

berlangsungnya proses-proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan; b)

pengawetan sumber daya alam dan keanekaragaman sumber plasma nutfah; dan

c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan lingkungannya. Konservasi

sumberdaya alam tersebut akan berhasil bila dilakukan atas dasar hasil penelitian

yang akurat. Hasil penelitian ini perlu dijadikan pedoman dalam upaya

konservasi ekosistem gua di kawasan Karst Gombong.

Pelestarian kawasan karst harus bersifat lintas sektoral dan melibatkan

berbagai unsur masyarakat yang terlibat dalam kawasan karst tersebut. Agar dapat

dijadikan pedoman bagi semua unsur yang terlibat dalam pemanfaatan kawasan

Karst Gombong, maka perlu ditetapkan status kawasan Karst Gombong sesuai

dengan hasil penelitian di lapangan dan berpedoman pada peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia.

Hingga saat ini peraturan normatif yang berkaitan langsung dengan

pengelolaan kawasaan karst di indonesia hanya Kepmen ESDM Nomor 1456

110

K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst. Menurut

Samodra (2006) meskipun masih bersifat sektoral, Keputusan Menteri ini

membuka kesempatan sektor lain untuk menyempurnakannya.

Berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 pasal 11,

kawasan karst dibagi menjadi : kawasan karst kelas I, kawasan karst kelas II, dan

kawasan karst kelas III. Kawasan kelas I merupakan kawasan yang memiliki

salah satu atau lebih kriteria berikut :

a. Berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah secara tetap (permanen)

dalam bentuk akuifer, sungai bawah tanah, telaga ataupun danau

bawah tanah yang keberadaannya mencukupi fungsi umum hidrologi.

b. Mempunyai gua-gua dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya

mepunyai jaringan baik tegak ataupun mendatar.

c. Gua-gua mempunyai speleotem aktif dan atau peninggalan sejarah

sehingga berpotensi dikembangkan sebagai objek wisata dan budaya.

d. Mempunyai kandungan flora dan fauna khas yang memenuhi arti

fungsi sosial, ekonomi, serta pengembangan ilmu pengetahuan.

Kawasan karst kelas II merupakan kawasan yang memiliki salah satu atau semua

kriteria berikut :

a. Berfungsi sebagai penimbun air bawah tanah, berupa daerah

tangkapan air hujan yang mempengaruhi naik turunnya muka air

bawah tanah di kawasan karst, sehingga masih memegang fungsi

umum hidrologi

b. Mempunyai jaringan lorong-lorong bawah tanah hasil bentukan

sungai dan gua yang sudah kering, mempunyai speleotem yang sudah

tidak aktif dan menjadi tempat tinggal tetap fauna yang semuanya

memberi nilai dan manfaat ekonomi.

Kawasan karst kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria

sebagaimana dimaksud dalam kriteria kelas I dan kriteria kelas II.

Sebelum penelitian ini dilakukan, status kawasan Karst Gombong belum

dapat ditetapkan karena belum cukup data yang mendukung penetapan status

kawasan tersebut. Namun, berdasarkan temuan pada penelitian ini, kawasan Karst

Gombong dapat diusulkan sebagai kawasan karst kelas I sesuai dengan Kepmen

111

ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000 pasal 11. Hal ini karena kawasan Karst

Gombong terbukti merupakan penyimpan air bawah tanah, merupakan ekosistem

unik, habitat satwa khas dan satwa terancam punah, serta berpotensi wisata.

Setelah kawasan karst ditetapkan Kawasan Karst kelas I, gua-gua di

kawasan Karst Gombong harus dimanfaatkan sesuai dengan kondisi fisik dan

status komunitas biota yang terkandung di dalamnya. Matriks pada Tabel 22 dapat

menggambarkan kondisi fisik dan biota dua belas gua yang dikaji dalam

penelitian ini.

Tabel 22 Matriks kondisi fisik dan biota di gua-gua Karst Gombong Komponen Pertimbangan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11

12

1. berfungsi penyimpan air bawah tanah

+ + - + + - + + + - - -

2. Dekorasi gua indah /speleotom aktif

+ + - + + - + + + - - -

3. habitat fauna khas/unik

+ + + + + - + + + - - -

4. habitat fauna terancam punah

+ + + + + - + + + - - -

5. terdapat peninggalan budaya

- - - - - - - - - - - -

Keterangan: 1= Gua Macan 2= Gua Celeng 3 = Gua Dempo 4 = Gua Inten 5= Gua Jatijajar 6= Gua Kampil 7 = Gua Kemit 8 = Gua Liyah 9= Gua Petruk 10= Gua Sigong 11= Gua Tratag 12 = Gua Tiktikan

Berdasarkan matriks tersebut terlihat bahwa Gua Macan, Gua Celeng, Gua

Dempo, Gua Inten, Gua Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah, dan Gua Petruk

berfungsi menyimpan air bawah tanah, memiliki dekorasi indah/speleotom aktif,

habitat fauna khas/ unik, dan habitat fauna terancam punah. Oleh karenanya,

untuk mempertahankan fungsi ekologis gua dan komunitas biota yang

dilindungi, ke-delapan gua tersebut perlu ditetapkan sebagai gua konservasi.

Sebagai gua konservasi, ke-delapan gua tersebut dapat dimanfaatkan sebagai

objek wisata dengan persyaratan khusus tetapi tidak boleh dimanfaatkan untuk

kegiatan pertambangan. Sebaliknya, Gua Kampil, Gua Sigong, Gua Tratag dan

Gua Tiktikan tidak berfungsi menyimpan air tanah, tidak memiliki speleotom

112

aktif, bukan habitat fauna khas/ unik, dan bukan habitat fauna terancam punah.

Oleh karenanya, keempat gua tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan

pertambangan dengan syarat tidak merusak struktur gua. Apabila Gua Macan,

Gua Celeng, Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah, dan

Gua Petruk akan dimanfaatkan sebagai gua wisata alam (ekotourism), bentuk

wisata yang dapat dikembangakan adalah wisata minat khusus yang

pengelolaannya berdasarkan pada prasyarat ekofisiologi yang dibutuhkan

kelelawar sebagaimana telah diketahui dari hasil penelitian ini. Dengan cara

demikian diharapkan jenis-jenis kelelawar yang bersarang di dalamnya dapat

dipertahankan.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa dalam memilih sarang,

terdapat lima faktor fisik yang berpengaruh nyata, yaitu intensitas suara,

kelembaban udara, suhu udara, intensitas cahaya, dan jarak dari pintu gua. Untuk

mempertahankan keberadaan kelelawar, ruang gua yang dihuni kelelawar

tersebut, harus dikelola sesuai dengan persyaratan mikroklimat yang dibutuhkan

kelelawar. Dari hasil penelitian ini dapat diusulkan pemanfaatan ruang gua sesuai

dengan kebutuhan kelelawar tersebut. Usulan pemanfaatan ruang gua yang

digunakan sebagai sarang kelelawar tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.

Ekosistem dalam gua tidak dapat dipisahkan degan ekosistem luar gua. Oleh

karena itu, upaya pelestarian kawasan karst perlu dilakukan secara holistik dan

terpadu antara ekosistem dalam gua dan ekosistem luar gua. Untuk maksud

tersebut perlu ditetapkan zonasi kawasan Karst Gombong. Zonasi kawasan karst

ini harus menjadi acuan dalam pemanfaatan dan pengeloaan kawasan Karst

Gombong oleh semua unsur yang terkait.

Tabel 24 Usulan pemanfaatan ruang gua berdasarkan jenis kelelawar yang bersarang dan prasyarat ekofisiologi yang dibutuhkan

Ruang sarang kelelawar

Prasyarat mikroklimat Usulan pengelolaan ruang gua

C.brachyotis C.horsfieldii E.spelaea R.amplexicaudatus

Intensitas suara ≥ 2 db Suhu ≥28.5oC Kelembaban ≤65% Intensitas cahaya ≥ 50 lux

- Boleh dikunjungi manusia. - Pada dinding dan atap gua boleh dilakukan pembangunan untuk menarik wisatawan, dengan syarat pembangunan tersebut

113

Menurut Cughley & Gunn 1995, zonasi dalam kawasan perlindungan

sangat diperlukan agar dalam kawasan tersebut dapat dilakukan kegiatan

pelestarian sekaligus pemanfaatan oleh manusia. Zonasi dalam kawasan Karst

Gombong diusulkan meliputi zona inti/zona perlindungan dan zona

penyangga/zona pemanfaatan tradisional. Zona inti merupakan zona yang

kawasan tersebut dilindungi dan kegiatan manusia dikendalikan secara ketat dan

tidak diperbolehkan adanya kegiatan penambangan. Zona penyangga merupakan

kawasan yang menyangga kelestarian zona inti. Penetapan zona penyangga di

kawasan Karst Gombong ini, selain untuk menjamin kecukupan pakan kelelawar

juga untuk mempertahankan mikroklimat di dalam gua. Karena menurut Samodra

(2006), keadaan di dalam gua sangat ditentukan oleh vegetasi, tanah, dan air di

luar gua. Masyarakat sekitar dapat memenfaatkan zona penyangga dengan

tidak merusak struktur gua. - Pada lorong gua boleh dipasang lampu penerangan.

H.sorenseni

Intensitas suara:0.5 s/d 20 db Suhu ≤ 28.5oC Kelembapan : 65 s/d 75% Intensitas cahaya : 5 s/d 50 lux

- Boleh dikunjungi manusia tetapi jumlah dan kegiatannya diawasi dengan ketat. - Dinding dan atap gua tidak boleh Dilakukan pembangunan - Pada lorong gua tidak boleh dipasang lampu penerangan.

C.plicata H.cf.ater Hipposideros sp

Intensitas suara 0.5 s/d 20 db Suhu≤28.5oC Kelembapan ≥75% Intensitas cahaya ≤5 lux

- Boleh dikunjungi manusia tetapi jumlah dan kegiatannya diawasi dengan ketat

- Tidak boleh ada pembangunan di dalam maupun di luar gua

- Tidak boleh dipasang lampu penerangan

M.schreibersii R.affinis

Intensitas suara ≤0.5 db Suhu ≥28.5oC Kelembapan :65 s/d 75% Intensitas cahaya : 5 s/d 50 lux

- Tidak boleh dikunjungi manusia - Tidak boleh dilakukan pembangunan pada dinding dan atap gua - Tidak boleh dipasang lampu penerangan

H.ater R.borneensis

Intensitas suara ≤0.5 db Suhu ≤28oC Kelembapan ≥75% Intensitas cahaya ≤5 lux

- Tidak boleh dikunjungi manusia - Tidak boleh ada pembangunan baik

di dalam maupun di luar gua - Tidak boleh dipasang lampu

penerangan

114

kegiatan ekonomi tradisional seperti penggembalaan hewan ternak atau

mengambil hasil hutan tanpa menebang.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa delapan gua di kawasan

Karst Gombong merupakan habitat sarang kelelawar terancam punah. Gua-gua

tersebut adalah Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jatijajar, Gua Petruk, Gua Kemit,

Gua Liyah, Gua Macan, dan Gua Celeng. Selain itu, ke-delapan gua tersebut juga

memiliki speleotem aktif dan berfungsi sebagai penyimpan air. Karena itu, ke-

delapan gua tersebut perlu diusulkan sebagai zona inti.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa makanan kelelawar

Microchiroptera yang bersarang di gua-gua Karst Gombong adalah 29 famili

serangga yang termasuk dalam 10 ordo. Serangga-serangga tersebut hidup di

persawahan, semak belukar, dan hutan karst yang berada di sekitar gua.

Kelelawar Megachiroptera yang ditemukan dalam penelitian ini terbukti

mengunjungi 33 genus tumbuhan yang termasuk dalam sembilan famili untuk

memakan polennya. Tumbuhan tersebut adalah tumbuhan yang hidup di hutan

karst dan perkebunan yang berada di sekitar gua. Oleh karena itu, untuk

mendukung kehidupan kelelawar, kawasan sekitar gua yang merupakan tempat

pencarian makan kelelawar perlu ditetapkan sebagai zona penyangga/ zona

pemanfaatan tradisonal.

Penelitian Law & Chidel (2004) membuktikan bahwa Kerivoula papuensis

(Microchiroptera) bersarang pada jarak maksimum 2.1 km dari tempat pencarian

makannya di hutan hujan di New South Wales. Feelers & Pierson (2002)

membuktikan kelelawar Corynorhinus townsendii (Microchiroptera) mencari

makan dengan jarak ± 10.2 km dari sarangnya di karst California. Zahn et al. 2005

membuktikan Myotis myiotis (Microchiroptera) mencari makan dengan jarak 2.5

sampai dengan 8.9 km dari sarangnya. Dalam penelitian ini, tidak diteliti jarak

pencarian makan kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong. Namun,

berdasarkan hasil penelitian terdahulu, hutan dan semak dengan jarak 5 km s/d 8

km di sekitar zona inti perlu diusulkan sebagai zona penyangga. Usulan zonasi

kawasan Karst Gombong dapat dilihat pada peta satelit Lansat yang tersaji pada

Gambar 26. Apabila semua pihak yang terkait dalam pemanfaatan kawasan Karst

115

Gombong berpegang pada zonasi yang diusulkan ini, diharapkan kelestarian

kelelawar sekaligus ekosistem karst secara keseluruhan dapat dipertahankan.

Gambar 26 Usulan zonasi kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen

116

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan :

1. Biodiversitas kelelawar di kawasan Karst Gombong tinggi, dan terdiri dari

kelelawar yang termasuk dalam Red List IUCN Versi 3.1 sehingga perlu

dilakukan upaya perlindungan

2. Gua-gua yang ada di kawasan Karst Gombong memiliki kondisi

mikroklimat berbeda, sehingga pengelolaannya harus disesuaikan dengan

kebutuhan kelelawar.

3. Asosiasi bersarang (roosting) menunjukkan gambaran asosiasi yang tidak

menyebabkan kompetisi negatif

4. Strategi adaptasi kelelawar untuk bertahan hidup di gua dengan kondisi

dingin, lembab dan tinggi kadar amonia adalah dengan alveolus

menyempit, jumlah eritrosit tinggi dan kadar hemoglobin tinggi

5. Karst Gombong perlu diusulkan sebagai Kawasan karst kelas I sesuai

dengan Kepmen ESDM Nomor 1456 K/20/MEM/2000. Gua Macan, Gua

Celeng, Gua Dempo, Gua Inten, Gua Jati jajar, Gua Kemit, Gua Liyah,

dan Gua Petruk perlu ditetapkan sebagai zona inti, mengingat gua-gua

tersebut dihuni oleh jenis-jenis kelelawar yang perlu dilidungi menurut

Red List IUCN versi 3.1, dan kawasan hutan di sekitar gua-gua tersebut

perlu ditetapkan sebagai zona penyangga mengingat kawasan tersebut

merupakan tempat pencarian makan kelelawar.

SARAN

1. Hasil penelitian ini perlu dijadikan pedoman dalam pengelolaan kawasan

Karst Gombong oleh semua fihak yang terkait.

2. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai habitat pencarian pakan

kelelawar gua, guna menentukan zona penyangga yang lebih tepat di

kawasan Karst Gombong

3. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai percontohan dalam

pengelolaan kawasan karst lain yang ada di Indonesia.

117

DAFTAR PUSTAKA

Agosta SJ. 2002. Habitat use, diet and roost selection by the big brown bat

(Eptesicus fuscus) in North America: a case for conserving an abundant spesies. Mam Review. 32:179-198.

Aguirre LF, Herrel A, Van Damme R & Matthysen E. 2002. Ecomorphological analysis of tropic niche partioning in a tropical savana bat community. Proceeding of the Royal Society of London. 269:1271-1278.

Aguirre LF, Herrel A, Van Damme R & Matthysen E. 2003. The implications of food hardness for diet in bats. Functional Ecology. 17: 201-212.

Alikodra HS. 1988. Konservasi Sumber Daya Alam. Diktat Kuliah. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. IPB Press. Bogor.

Altringham JD. 1996. BATS. Biologi and Behaviour. Oxford University Press. New York.

Apriandi J, Kartono AP & I Maryanto. 2008. Keanekaragaman dan kekerabatan jenis kelelawar berdasarkan kondisi mikroklimat tempat bertenger pada beberapa goa di kawasan Gua Gudawang. J. Biol. Indo. 5(2): 121-134

Arita HT. 1996. The conservation of cave-roosting bats in Yacatan, Mexico. Biological Conservation. 12: 188-194.

[BAPPENAS] Badan Perencana Pembangunan Nasional. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2010. LIPI Press. Bogor.

Barth FG. 1991. Insect and Flowers. The Biology of a Partnership. Princeton University Press. New Jersey.

Bartonicka T & Zukal J. 2003. Flight activity and habitat use of four bat spesies in a small town revealed bats revisited: feedback controls both a decrease and an increase in call frequency . Mamm.Biol. 5: 282-290.

Baudinette RV, Wlls RT, Sanderson KJ & Clark B. 1994. Microclimat conditions in maternity caves of the Bent-wing bat Miniopterus schreibersii: an attempt restoration of a former maternity site. Wildl. Res. 21: 607-619

Baudinette RV, Churchill SK, Christian KA, Nelson JE & Hudson PJ. 2000. Energy, water balance and the roost microenvironment in three Australian cave-dwelling bats (Microchiroptera). J. Comp. Phy. Biol. 170: 439-446

Borror DJ, Triplehorn & Johnson NF. 1996. An Introduction to The Study of Insects. Sixth edition. Saunders College Publishing.

Campbell LA, Hallet JG & O’Connel MA. 1996. Conservation of bats in managed forest: use of roost by brown bats. Eptesicus fuscus, conform to the fission- fusion model. Animal Behaviour. 68: 495-505.

Campbell NA, Reece JB & Mitchell LG. 2002. Biologi. Edisi kelima. Jilid 1. Penerjemah: Rahayu Lestari et al. Terjemahan dari Biology. Erlangga. Jakarta.

Castillo AE, Meneses GC, Davilla-Montes MJ, Anaya MM & Leon PR. 2009. Seasonal distribution and circadian activity in the troglophile long-footed robber frog Eleutherodactylus longipes (Anura: Brachycephalidae) at Los

118

Riscos Cave, Queretaro, Mexico: Field and laboratory studies. J. Cave and Karst Studies 71(1):121-128

Caughley G & Gunn A. 1995. Conservation Biology in Theory and Practice. Blackwell Science. Canada.

Chairunnisa. 1997. Studi komparatif morfologi saluran pencernaan kelelawar pemakan serangga (Scotophilus kuhli) dan kelelawar pemakan buah (Cynopterus brachyotis). Tesis. Progam Studi Biologi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Corbet GB & JE Hill. 1992. The mammal of the Indomalayan region. Asystematic review. Natural history museum publications. Oxford University Press.

Cox GW. 2002. General Ecology. Laboratory Manual. Mc Gaw-Hill Higher Education. New York.

Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiologi. Edisi ke-3. WB Saunders company. Philadelphia.

Departemen Kehutanan Republik Indonesia.1987. Pola pengelolaan fungsi gua berdasarkan hasil identifikasi fungsi gua di Provinsi Jawa Tengah. Laporan. Proyek Pembinaan Kelestarisn Sumber Daya Alam Hayati Pusat. DIRJEN PHPA. Bogor.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Pedoman Tata Laksana Lingkungan Kerja . DEPKES RI. Jakarta.

[DISPARHUB] Dinas Pariwisata dan Perhubungan Kabupaten Kebumen (2004). Laporan hasil survei goa di di wilayah Kabupaten Kebumen. Dinas

Pariwisata dan Perhubungan Kebumen. Doyle ME. 1979. Factor affecting distribution of fauna in Gua Pondok. The

Malayan Nature J. 25: 21-26. Dunn FL. 1978. Gua Anak Takun ecological observation. The Malayan Nature J.

19(1): 75-87 Duran AR & Centano JAS. (2002) Temperature selection by tropical bats

roosting in caves. J. Thermal Biol. 28: 465-468. Eberhard SM. 2006. Ecology and hidrology of a threatened gound water

dependent ecosystem: the jewel cave karst system in Western Australia. Helictite. J. Austrlia Speleological Research. 39(1):21-22.

Epsinasa L & Vuong NH. 2008. A new spesies of cave adapted Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) from Sistema Huautla, Oaxaca, Mexico: The tenth deepest cave in the world. J. cave and karst studies 70 (2): 289-298.

Erdtman G. 1952. Polen Morphology and Taxonomy : An Introduction to the Study Polen and Spores. Copenhagen. Munksgard.

ESALab PPLH IPB 2010. Kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen (Peta citra satelit LANDSAT).PPLH IPB. Bogor. 3 lembar.

Fatmawati F. 2007. Gambaran hematology anjing pelacak operasional ras dobermen di Subdit Satwa POLRI Depok. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

Feeler GM & Pierson ED. 2002. Habitat use and foraging behavior of Townsend’s big-eared bat (Corynorhinus townsendii) in coastal California. J.Mamm. 83 (1) : 167-177.

[FINSPAC] Federation of Indonesian Speleological Activities. 1993. Java caves. Report of a visit to Indonesian by Australian and British cavers. Finspac. Bogor.

119

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi IV. Penerjemah: B.Srigandono dan K Praseno. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Furman A & Ozgul A. 2002. Distribution of cave dwelling bats and conservation status of undergound habitats in the Istanbul area. Ecological Research. 17: 69-77.

Ganong WF. 2001. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-3. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.

Gasperszs V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Jilid 2. Tarsito. Bandung.

Gimes KG. 2001. Syngenetic karst in Australlia: a review. Helictite J. Austral Spel. Res 39 (2): 27-38.

Guyton AC. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi ke- III. Alih bahasa: Petrus Andrianto. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta.

Hamilton E & Smith. 2006. Thinking about karst and world heritage. Helictite J. Australia speleological research. 39 (2): 51-54.

HanGuan AK, Esa Y, Sallehin AA, Ryan JR, Julaihi AM, Kumaran JV & Abdullah MT. 2006. Roosting ecology and social organization of geater horsehoe bat (Rhinolophus ferrumequinum). Behav. Ecol Sociobiol. 51: 510-518.

Heinrich U, Muhle H & Takenaka S. 1986. Chronic effects on the respiratory tract of hamsters, mice and rats after long-term inhalation of high-concentrations of filtered and unfiltered diesel-engine emissions. Anatomy and Physiologi. 6: 383-395.

[HIKESPI] Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia. 2004. Kursus tingkat dasar, lanjutan dan diklat speleologi caving, kumpulan makalah dan peraga kursus. HIKESPI. Bogor.

Hodgkison R, Balding ST, Zubaid A & Kunz TH. 2004. Habitat structure, wing morphology, and the horseshoe bats revisited: feedback controls both a decrease and an increase in call insectivorous bats. J.Applied Ecology. 39: 605-617.

Hutabarat IO.2002. Analisis dampak gas amonia dan klorin pada faal paru pekerja pabrik sarung tangan “X” di Medan. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat USU. Medan.

[IUCN] The International Union for Concervation of Nature Spesies Survival Commission. 2001. IUCN Red List Catagories and Criteria. Version 3.1. IUCN. Switzerland.

John, Mackinnon K, Child G & Thorsell JM. 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Penerjemah: Harry harsono Amir. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Keller V & Bollmann K. 2004. From red list to spesies of conservation concern. Conservation biology. 18(6): 1636-1644.

Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral no.1456 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Kawasan Karst.

[KLH] Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2003. Himpunan Peraturan Perundang Undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah Buku II. Jakarta.

120

Koneri, R. 2007. Bioekologi dan konservasi kumbang lucanid (Coleoptera: Lucanidae) di hutan gunung salak, Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Ko RKT. 1999. Dampak Penambangan pada Ekosistem Karst. Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia. Bogor.

Ko RKT. 2004. Pengertian kawasan karst sebagai suatu sistem energi. Makalah kunci pada lokakarya nasional karst di banda aceh Juli 2004. Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesa. Bogor.

Kunz TH & Nagy KA. 1988. Methods of energy budget analysis. Dalam : Ecological and Behavioral Methods for The Study of Bats. Kunz TH, editor. Smithonsonian Institution Press. Washington D.C. London.

Kunz TH & Pierson ED. 1994. Bats of the world. An Introduction. Dalam : Walker’s Bats of the World.The John Hopkins University press. Baltimore and London

Law B & Chidel M. 2002. Tracks and riparian zones facilitate the use of Australian regrowth forest by acquisition in echolocating bats. Trends in Ecol. and Ev. 18 (8): 386-394.

Leps J & Smilauer. 1999. Multivariate Analysis of Ecolocical Data. Faculty of Biological Science University of South Bohemia.

Ludwig JA & Reynolds JE. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methodts and Computing. John wiley London.

Maguran AE. 1988. Ecological diversity and its measurement. Croom Helm Limited. London.

Maguran AE. 2004. Measuring biological diversity. Malden: Blackwell Publishing.

Mancina CA, Balseiro F & Herrera LG. 2005. Polen digestion by nectarivorous and frugivorous Antillean bats. Mamm.Bol. 70 (5): 282-290

Maryanto I & Maharadatunkamsi. 1991. Kecenderungan jenis jenis kelelawar dalam memilih tempat bertengger pada beberapa gua di Kabupaten Sumbawa. Media Konservasi. 3:29-34

McCure HE.1985. Microcosm of batu caves. Malay Nat. J. 19(1): 65-74. Metzner W, S Zhang & Smotherman M. 2002. Doppler-shift compensation

behavior in horseshoe bats revisited: feedback controls both a decrease and an increase in call frequency . J. Exp Biol. 205: 1607–1616.

Meyer CF, Schwarz CJ & Fahr J. 2004. Activity pattern and habitat preference of insectivorous bats in a Microchiroptera based on stomach contents. Mamm. Biol. 70(5): 312-316

Nugraha KN. 2007. Gambaran darah anjing kampung jantan (Canis familiaris) umur 3 sampai 7 bulan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan IPB.Bogor.

Nowak RM.1994. Walker’s bats of the word. The Johns Hopkins University Press. Baltimore and London.

Parsons KN, Jones G, Watts ID & Geenaway G. 2002. Swarming of bats at Under- gound sites in Britain-implications for conservation. Biol.Cons. 111:63-70.

Plopper CG & Adams DR.1993. Respiratory System Dalam: Textbook of veterinary histology. Edisi IV. Dellmann HD. Editor. A Wavarley Company. Tokyo.

121

Pujirianti I. 2006. Keanekaragaman jenis dan pola penggunaan ruang bertengger kelelawar di beberapa goa di Taman nasional alas Purwo Jawa Timur. Skripsi. Depertemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

Pusat Survei Geologi Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2006. Panduan Geowisata Daerah Kebumen dan Sekitarnya. Departemen ESDM. Jakarta

Rachmadi. 2003. Keanekaragaman Arthropoda di gua Ngerong, Tuban, Jawa Timur, Zoo Indo. 29: 19-26.

Razakarivony V, Rajemison B & Goodman SM. 2005. The diet of Malagsy Microchiroptera based on stomach contents. Mamm. Biol. 70(5): 312-316.

Riedesel ML. 1977. Blood physiology. Dalam: Biology of Bats. Volume III. William A. Wimsatt, editor. Academic press. New York.

Riswan R, Noerdjito M & Rachman I. 2006 Vegetasi hutan karst: Kasus kawasan Gombong Selatan-Ayah Kebumen. Dalam : Manajemen Bioregional : Karst, masalah dan pemecahannya. Dilengkapi kasus Jabodetabek. Maryanto, Noerdjito M dan Ubaidillah R, editor. Bogor: PUSLIT Biologi. LIPI..

Roemantyo & Noerdjito M. 2006. Vegatasi hutan karst: Kasus kawasan Gombong Selatan, Ayah, Kebumen, Jawa Tengah. Dalam : Manajemen Bioregional : Karst, masalah dan pemecahannya. Dilengkapi kasus Jabodetabek. Maryanto, Noerdjito M dan Ubaidillah R, editor. Bogor: PUSLIT Biologi. LIPI.

Rossiter SJ, Jones G, Ransome RD & Barratt EM. 2002. Related structure and kin biased foraging in Nyctalus noctula. J. Experimental Biology. 210: 3607-3615.

Ruczynski I, Kalko EKV &Siemers BM. 2007. The sensory basis of roost finding in a forest bat. Mam Biol. 26: 162-163

Russo D, Cistrone L, Jones G & Mazzoleni S. 2003. Roost Selection by Barbastelle Bats in beech Woodland of Central Italy. J. Biologycal Conservation. 117: 73-81.

Safi K & Kerth G. 2004. A comparative analysis of specialization and extinction risk in temperate-zone bats. Conservation Biology. 18(5): 262-269.

Samodra H. 2006. Hubungan antara struktur geologi dengan pembentukan sistem pergoaan : Studi kasus di segmen karst Cigudeg. Dalam : Manajemen Bioregional : Karst, masalah dan pemecahannya. Dilengkapi kasus Jabodetabek. Maryanto I, Noerdjito M dan Ubaidillah R, editor. Bogor: PUSLIT Biologi. LIPI.

Saroni. 2005. Penyusunan metode pendugaan populasi kelelawar penghuni goa: Studi kasus di Kawasan Karst Sangkulirang Mangkaliat Kabupaten Kutai Timur. Skripsi. Depertemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB Bogor.

Sastradipradja 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. Depdikbud. Dirjen. Dikti. PAU Ilmu hayat.IPB.

Schnitzler HU, Moss CF & Denzinger A. 2003. From spatial orientation to food acquisition in echolocating bats. Trends in ecology and evolution. 18 (8): 386-394.

122

Seckerdieck A, Walther B & Halle S. 2005. Alternative use of two different roost types by a maternity colony of the lesser horseshoe bat (Rhinolophus hipposideros). Mam. Biol. 8: 216-224.

Setiadi H. 2000. Morfologi saluran pernapasan kelelawar pemakan serangga (Scotophilus kuhlii, Leach 1821) dengan tinjauan khusus pada trakhea dan paru-paru. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

Sevcik M. 2003. Does wing morphology reflect different foraging strategies in sibling bat spesies sibling bat spesies zone bats: Plecotus auritus and P austriacus ?. Fol. Zool. 52: 672-679

Sinaga MH, Achmadi AS & Maryanto I. 2006. Peran kelelawar gua dalam keseimbangan ekosistem. Dalam : Manajemen Bioregional : Karst, maslah dan pemecahannya. Dilengkapi kasus Jabodetabek. Maryanto, Noerdjito M dan Ubaidillah R, editor. Bogor: PUSLIT Biologi. LIPI.

Sobotta & Hammersen F.1993. Histologi. Atlas Berwarna Anatomi Mikroskopik. Edisi III. Penerjemah: Petrus Andrianto. Penerbit buku kedokteran EGK. Jakarta.

Soegiharto S & AP Kartono. 2009. Karakteristik tipe pakan kelelawar pemakan buah dan nektar di daerah perkotaan: studi kasus di Kebun Raya Bogor. J. Biol Indo. 6 (1): 119-130.

Soegiharto S, Kartono AP & Maryanto I. 2010 Pengelompokkan kelelawar pemakan buah dan nektar berdasarkan karakteristik jenis pakan polen di Kebun Raya Bogor. J. Biol. Indon. 6 (2): 225-235.

Sridhar KR, Ashwini KW, Seena S & Sreepada KS. 2006. Manure qualilities of guano of incectivorous cave bat Hippsideros speoris. Tropical and subtropical agoecosystems. 6: 103-110.

Storzt JF, Bhat HB & Kunz TH. 2000. Social structure of polygynous tent-making bat, Cyanopterus sphinx (Megachiroptera) J. Zool. 251:151-165.

Subterra. 2004. Grade Pemetaan Goa. http://www.subterra.or.id Diunduh : 14 Maret 2009.

Surono. 2006. Petrologi batuan karbonat pembentuk karst. Dalam : Manajemen Bioregional : Karst, masalah dan pemecahannya. Dilengkapi kasus Jabodetabek. Maryanto, Noerdjito M dan Ubaidillah R. Editor. Bogor: PUSLIT Biologi. LIPI.

Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi. LIPI

Suyanto A, Yoneda M, Maryanto I, Maharadatunkamsi & Sugardjito J. 1998. Cheklist of the mammals of Indonesia. LIPI-JICA. Bogor.

Syahid A. 2009. Transformasi Data. http://abdulsyahid forum.blogspot.com /2009/04/ transformasi-data.html. Diunduh 20 Juni 2009.

Tan KH, Zuabid A & Kunz TH. 1998. Food habits of Cynopterus brachyotis (Muller) (Chiroptera: Pteropodidae) in Peninsular Malaysia. J. Trop Ecol. 14: 299-307.

Twente Jr JW. 2004. Some aspects of habitat selection and other behavior of cavern dwelling bats. Ecology. 36(4): 706-732.

Ulrich HS, Cynthia FM & Annette D. 2003. From spatial orientation to food acquisition in echolocating bats. Trend in Ecol and Ev. 18 (8): 386-394

123

Van Steenis CGGJ. 2006. Flora. Untuk sekolah di Indonesia. Terjemahan : Moeso S, Soenarto H, Soeryo SA, Wibisono dan Margono P. PT Pranya Paramita. Jakarta.

Verboom B, Boonman AM & Limpens HJGA. 1999. Acoustic perception of landscape elements by the pond bat ( Myotis dasycneme). J. Zoology. 248 : 59-66

Vermeulen J & Whitten T. 1999. Biodiversity and Cultural Property in The Management of Limestone Resources, Lesson from East Asia. The World Bank, Washington DC.

Watt A. 1982. Illustrated Dictionary of Geology. Libraire du lban, Longman York.

Whitaker Jr JO. 1988. Food Habits Analysis of Insectivorous Bats. Thomas H. Kunz, editor. Ecologycal and Behavioral Methods for The Study of Bats. Smithsonian Institution. Uniteted States of Amerika.

Whitten T, Soeriaatmadja RE & Suraya AA. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Seri Ekologi Indonesia. Jilid II. Kartikasari SN, editor. Alih bahasa : SN Kartikasari, TB Utami & A Widiantoro. Prenhallindo. Jakarta.

Wijayanti. 2001. Komunitas fauna Gua Petruk dan Gua Jatijajar Kabupaten kebumen Jawa Tengah. Tesis. Progam Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta.

Willis CKR & Brigham. M. 2004. Roost switching, roost sharing and social cohesion : Forest-dwelling big brown bats, Eptesicus fuscus, conform to the fission-fusion model. Animal Behavior 68: 495-505.

Winkelmann JR, Bonaccorso FJ & Strickler TL. 2000. Home range of southern blossom bat, Syconycteris australis in Papua New Guinea. Tropical Biology. 66: 126-132.

Wirawan R. 2005. Pengelolaan kawasan karst (Studi kasus kawasan karst Gua Pawon Desa Gunungmasigit Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Jawa Barat). Tesis. Progam Studi Ilmu Lingkungan Progam Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta.

Yoder JA, Joshua B, Benoit, Crhistensen BS & Hobbs HH. 2009. Entomopathogenic fungi carried by the cave orb weaver spider, meta ovalis (Araneae, Tetragnathidae) with implications for mycoflora transfer to cave crickets. J. cave and karst studies 70 (2): 786-792.

Yunqiu X, Cheng , Yong L & Zhenping D. 2006. Environmental reconstruction of karst using a honey suckle spesies widely used in traditional Chinese medicine. Helictite J. Australia speleological research. 39 (2): 47-50.

Zahn A & Hager I. 2005. A cave dwelling colony of Myotis daubentonii in Bavaria, Germani. J. Mam. Biol. 70 : 242-165.

Zhang L, Jones G, Rossiter S, Ades G, Liang B & Zhang S. 2005. Diet of flat headed bats, Tylonycters zone bats. Cons. Biol.18 (5) 482-489.

Zukal J, Berkova H & Rehak Z. 2005. Activity shelter selection by Myotis myotis and Rhinolophus hipposideros hibernating in the katerinska cave. J. Mam Biol 70: 271-281.

124

Lampiran 1 Gambar jenis-jenis kelelawar penghuni gua Karst Gombong Subordo Megachiroptera:

Cynopterus brachyotis

Cynopterus horsfieldii

Eonycteris spelaea

Rousettus amplexicaudatus

125

Subordo Microchiroptera:

Hipposideros ater

Hipposideros cf. ater

Hipposideros bicolor

Hipposideros sorenseni

126

Hipposideros sp

Rhinolophus affinis

Rhinolophus borneensis

Hipposideros diadema

127

Miniopterus schreibersii

Chaerophon plicata

Minioptrus australis

128

Lampiran 2 Peta sebaran sarang kelelawar di gua-gua Karst Gombong

129

130

131

132

133

134

135

136

137

138

139

140

Lampiran 3 Serangga pakan kelelawar insektivora / Microchiroptera

Acredideae (Orthoptera) Gryllidae (Orthoptera

Mantisipidae (Neuroptera)

Myrmeteonidae (Neroptera)

Delphaciidae (Homoptera) Flugoriidae (Homoptera)

Scarabidae (Coleoptera) Lisodidae (Coleoptera)

141

Gryllothalpidaea (Orthoptera) Staphilinidae (Coleoptera)

Tipulidae (Diptera) Hymenoptera

Miridae (Hemiptera) Formicidae ( Hymenoptera)

Coleoptera (Lygaeidae) Eurymiideae (Hemiptera)

142

Coleoptera Homoptera

143

Lampiran 4 Polen tumbuhan sumber pakan kelelawar

No Gambar pollen Famili Species Index P/E

Ukuran (µm)

Bentuk

1. Fabaceae

Acacia sp. 83,3 62,5 : 75 Polen Besar

suboblate

2. Myrtaceae

Psidium guajava L.

100 50 : 50 Polen Sedang

Prolate spheroidal

3. Myrtaceae

Syzygium aqueum

100 50 : 50 Polen sedang

Prolate spheroidal

4. Myrtaceae

Syzygium malaccense L.

100 50 : 50 Polen sedang

Prolate spheroidal

5. Solanaceae

Solanum sp.

100 50 : 50 Polen sedang

Prolate spheroidal

6. Gaminae

Poaceae sp. 100 100 : 100 Polen sangat besar

Prolate spheroidal

7. Euphorbiaceae

Baccaurea

courtallensis

100 37,5 : 37,5 Polen sedang

Prolate spheroidal

144

8. Boraginaceae

Cordia wallichii

100 100 : 100 Polen sangat besar

Prolate spheroidal

9. Lemiaceae

Ocimum

americanum

100 62,5 : 62,5 Polen besar

Prolate spheroidal

10. Bombacaceae

Ceiba Sp1

100 50 : 50 Polen sedang

Prolate spheroidal

11. Bombacaceae

Ceiba Sp2 100 25 : 25 Polen kecil

Prolate spheroidal

12. Gaminae

Dendrocalamus sp.

100 62,5 : 62,5 Polen besar

Prolate spheroidal

13. Unknown1

100 37,5 : 37,5 Polen sedang

Prolate spheroidal

14. Aracaceae

Cocos nucifera

100 75 : 75 Polen besar

Prolate spheroidal

145

15. Moraceae

Artocarpus sp. 100 75 : 75 Polen besar

Prolate spheroidal

16. Asteraceae

Cyathocline purpurea

120 75 : 62,5 Polen besar

Subprolate

17. Unknown2

100 50 : 50 Polen sedang

Prolate spheroidal

18. Unknown3

40 50 : 125 Polen besar

Peroblate

19. Moraceae

Ficus nervosa 100 12,5 : 12,5 Polen kecil

Prolate spheroidal

20. Unknown4

100 50 : 50 Polen sedang

Prolate spheroidal

21. Apocynaceae Stemmadenis sp1. 83,3 62,5 : 75 Polen besar

suboblate

146

22. Myrtaceae

Psidium sp2 100 75 : 75 Polen besar

Prolate spheroidal

23. Aracaceae

Cocos sp2 100 75 : 75 Polen besar

Prolate spheroidal

24. Menispermaceae

Tinospora

cordifolia

100 62,5 : 62,5 Polen besar

Prolate spheroidal

25. Myrtaceae

Syzygium sp1

100 75 : 75 Polen besar

Prolate spheroidal

26. Dacrydiaceae

Dacrydium bidwilii

200 75 : 37,5 Polen besar

Prolate

27. Myrtaceae

Syzygium thwaitesii

100 25 : 25 Polen kecil

Prolate spheroidal

147

.

28. Leeaceae

Leea asiatica L.

100 75 : 75 Polen besar

Prolate spheroidal

29. Apocynaceae

Stemmadenis sp2. 100 50 : 50 Polen besar

Prolate spheroidal

30. Myrtaceae

Syzygium sp2

100 75 : 75 Polen besar

Prolate spheroidal

31. Hymenophyllaceae

Trichomones

pinnatum

100 62,5 : 62,5 Polen besar

Prolate spheroidal

32. Icacinaceae

Gomphandra

coriacea

100 37,5 : 37,5 Polen sedang

Prolate spheroidal

33. Moraceae

Ficus sp.

40 25 : 62,5 Polen sedang

Peroblate

148

Lampiran 5 Gambar penampang melintang sayatan histologi alveolus kelelawar 1. Alveolus C. Plicata

a. perbesaran 10 X 10 b. perbesaran 10 X 40

2. Alveolus M.australis

a. perbesaran 10 X 10 b. perbesaran 10 X 40 3. Alveolus M.schreibersii

a. Perbesaran 10 X 10 b. Perbesaran 10 X 40

149

4. Alveolus R.affinis

a Perbesaran 10 X 10 b. Perbesaran 10 X 40

5. Alveolus H.sorenseni

a. Perbesaran 10 X 10 b. Perbesaran 10 X 40

6. Alveolus Hipposideros sp

a. Perbesaran 10 X 10 b. Perbesaran 10 X 40

150

7.Alveolus H.ater

a. Perbesaran 10 X 10 b. Perbesaran 10 X 40

8. Alveolus H.cf ater

a. Perbesaran 10 X 10 b. Perbesaran 10 X 40

9.Alveolus C.brachyotis

a. Perbesaran 10 X 10 b. Perbesaran 10 X 40

151

10. Alveolus E.spelaea

a. Perbesaran 10 X 10 b. Perbesaran 10 X 40

152

Lampiran 6 Nilai loading factor komponen Principle Component Analysis (PCA)

jenis kelelawar berdasarkan jenis serangga pakannya dengan tiga

komponen utama

Serangga

pakan Component 1 2 3 Col_Sca -.031 -.230 .792 Col_8a .918 -.079 -.023 Col_2a .963 -.028 -.127 Col_7a -.158 -.195 .843 Col_Sta -.296 -.344 -.536 Dip_cul -.463 .042 -.139 Hym_Aga -.088 .926 -.088 Hym_4a -.099 .901 -.066 Hym_For Iso_1b

-.052 .012

-.403 .034

.094

.533 Lep_5a -.185 .781 -.061 Lep_5b -.332 -.408 -.592 Ort_Gil .900 -.058 -.174 Ort_Gy -.162 -.145 .797 Neu_Myr -.293 .466 .524 Neu_8a .048 -.139 .481 Neu_Man .915 -.093 .114 Tria_3a -.088 .926 -.088

153

Lampiran 7 Nilai loading factor komoponen Principle Component Analysis

(PCA) jenis kelelawar berdasarkan polen tumbuhan pakannya

Polen tumbuhan Component 1 2 3

A .584 .680 -.296 B .220 .440 -.806 C -.399 .449 -.563 D -.188 .854 -.218 E .085 .218 .971 F -.318 -.227 .415 G .666 .025 -.353 H .995 .071 -.010 I .732 .353 .494 J -.410 .297 .846 K -.106 .984 .129 L .995 .071 -.010 M -.291 -.922 .251 N -.333 .403 -.458 O .995 .071 -.010 P .995 .071 -.010 Q .995 .071 -.010 R .995 .071 -.010 S .995 .071 -.010 T .995 .071 -.010 U .995 .071 -.010 V -.337 .408 -.463 W -.185 -.974 -.122 X -.219 -.958 -.172 Y -.220 .312 -.357 Z -.185 -.974 -.122 aa -.185 -.974 -.122 bb -.185 -.974 -.122 cc .995 .071 -.010 dd .995 .071 -.010 ee .521 .218 .822 ff -.257 .188 .947 gg -.257 .188 .947