efek antioksidan vitamin c terhadap tikus (rattus ... · namun kesadaran untuk berhenti...
TRANSCRIPT
4
TINJAUAN PUSTAKA
Rokok
Ketergantungan terhadap rokok sudah menjadi pembicaraan secara global
yang dapat menyebabkan kecacatan, penyakit, produktivitas menurun dan juga
kematian. Namun kesadaran untuk berhenti mengkonsumsi rokok sangat sulit
dilakukan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain gencarnya
industri rokok untuk mengiklankan produknya tanpa memberikan keterangan
yang jelas tentang bahaya rokok dan juga banyaknya petani tembakau yang harus
dialihkan profesinya untuk tidak menanam tembakau. Asap rokok merupakan
aerosol heterogen dari pembakaran tembakau, komponen dalam rokok dan
pembungkusnya. Setiap batang rokok mengandung banyak bahan kimia
diantaranya adalah nikotin, karbon monoksida dan tar yang bersifat karsinogenik
dan dapat membentuk radikal bebas, seperti nitrit oksida (NO) dan nitrit peroksida
(NO2) (Widodo 2006). Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh asap
rokok berupa penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis, tukak lambung dan tukak
usus, kanker, chronic obstructive pulmonary disease (COPD) dan lain-lain
(Susanna et al. 2003).
Rokok kretek bisa disamakan dengan sebuah pabrik bahan kimia. Setiap
batang rokok kretek yang dibakar akan menghasilkan berbagai macam bahan
kimia. Secara umum bahan kimia yang dihasilkan tersebut dapat dibedakan
menjadi tiga golongan bahan yang berbahaya, yaitu nikotin, tar dan karbon
monoksida (CO).
Nikotin adalah bahan dasar yang dapat menimbulkan sifat ketergantungan
fisik dan psikis bagi perokok aktif atau disebut dengan kecanduan. Nikotin yang
terkandung dalam rokok adalah sebesar 0,5-3 nanogram dan semuanya diserap
sehingga dalam cairan darah didalam cairan darah ada sekitar 40-50 nanogram
nikotin setiap 1 ml. Selain masuk dalam aliran darah, pada paru-paru nikotin akan
menghambat aktivitas silia.
Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang
merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-
paru. Kadar tar dalam rokok antara 0,5-35 mg/batang. Tar merupakan suatu zat
5
karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada saluran pernapasan dan paru-
paru yang terdiri dari dua fase yaitu fase tar dan fase gas. Pada fase tar merupakan
pembentuk radikal bebas seperti quinon, semiquinon dan hydroquinon dalam
bentuk matriks polimer. Pada fase gas mengandung nitrit oxida dan nitrit
peroksida yang dapat mengubah oksigen menjadi radikal bebas superoksida dan
selanjutnya menjadi radikal bebas hidroksil yang sangat merusak.
Karbon monoksida merupakan produk pembakaran karbon yang tidak
sempurna dari unsur arang atau karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang rokok
dapat mencapai 3-6%. Gas ini mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin
yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen. Sehingga
sel tubuh akan kekurangan oksigen karena darah yang beredar miskin akan
oksigen dan kaya akan karbon monoksida. Sel tubuh yang kekurangan oksigen
akan melakukan spasme, yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila hal ini terus
berlangsung terus-menerus maka pembuluh darah akan mudah rusak. Rokok juga
mengandung sejumlah bahan reaktif molekuler kimia seperti reaktif oksigen dan
zat radikal (Church & Pryor 1985). Pada asap rokok terdapat beberapa jenis bahan
pembentuk radikal bebas diantaranya adalah aldehida, epoxida, peroksida, quinon,
semiquinon dan hydroquinon (Droge 2002).
Radikal Bebas
Pada abad ke 19 istilah radikal bebas diperuntukan bagi kelompok-
kelompok atom yang membentuk suatu molekul dalam keadaan bebas. Pada abad
ke 20 Moses Gomberg (1866) menemukan istilah radikal bebas diartikan sebagai
molekul tidak stabil dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di
orbit luarnya. Radikal bebas merupakan elektron yang terlepas karena proses
oksidasi. Dalam usaha untuk menggantikan elektron yang hilang itu maka radikal
bebas mengikat dan menghancurkan sel-sel yang sehat. Hal ini karena sel yang
sehat merupakan tempat yang cocok bagi radikal bebas untuk melakukan
pemanjangan rantai tubuhnya (Weber et al. 1994).
Menurut Droge (2002) bahwa radikal bebas dapat bersumber dari tiga hal,
yaitu: 1) Dari lingkungan bersumber dari asap rokok, asap kendaraan, pestisida
dan racun, dari sisa pembuangan; 2) Berasal dari dalam tubuh yaitu proses
6
metabolisme energi; 3) Dari radikal itu sendiri yaitu berusaha memperoleh
elektron dari molekul lain sehingga terbentuklah radikal bebas baru yang
kehilangan elektronnya. Bila reaksi berlanjut terus maka terjadilah suatu reaksi
berantai (chain reaction) sampai radikal bebas itu hilang oleh reaksi dengan
radikal bebas lain atau sistem antioksidan tubuh (Gambar 1).
Gambar 1 Reaksi berantai dari radikal bebas.
Radikal bebas dapat bersifat positif, negatif dan netral. Mereka terbentuk
secara normal dalam reaksi biokimia, tetapi bila berlebihan atau tidak terkontrol
maka dapat menimbulkan kerusakan pada daerah yang luas dari makromolekul
(Suyatna 1989). Menurut Araujo et al. (1998), radikal bebas dapat terbentuk
secara in-vivo dan in-vitro yaitu dengan pemecahan satu molekul normal secara
homolitik menjadi dua, kehilangan satu elektron dari molekul normal dan
penambahan elektron pada molekul normal. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa
secara biologis radikal bebas dalam tubuh berupa radikal superoksida (superoxide
radical), radikal hydroksil (hydroxyl radical), radikal peroksil (peroxyl radical),
hydrogen peroksida (hydrogen peroxide), oksigen tunggal (single oxygen), nitrit
oksida (nitric oxide), nitrit peroksida (peroxinitrite) dan asam hipoklor
(hypochlorous acid).
Radikal bebas bersifat sangat reaktif sehingga dapat menimbulkan
perubahan kimiawi dan merusak berbagai komponen sel hidup seperti protein,
lipid dan nukleutida. Pada protein, radikal bebas dapat menyebabkan fragmentasi
sehingga mempercepat terjadinya proteolisis, Pada lipid dapat menyebabkan
reaksi peroksidasi yang akan mencetus proses otokatalik dan pada nukleutida
7
dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur DNA dan RNA sehingg terjadi
mutasi atau sitotoksisitas (Gitawati 1995). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa
kerusakan sel oleh radikal bebas didahului oleh kerusakan membran sel dengan
proses sebagai berikut: 1) Terjadi ikatan kovalen antara radikal bebas dengan
komponen membran, sehingga terjadi perubahan struktur dari fungsi reseptor; 2)
Oksidasi gugus tiol pada komponen membran oleh radikal bebas yang
menyebabkan proses transpor lintas membran terganggu; 3) Reaksi peroksidasi
lipid dan kolesterol membran yang mengandung asam lemak tidak jenuh majemuk
(PUFA). Hasil peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas berpengaruh
langsung terhadap kerusakan membran sel antara lain struktur dan fungsi dalam
keadaan yang lebih ekstrim yang akhirnya akan menyebabkan kematian sel.
Jumlah radikal bebas dalam batas tertentu akan bersifat positif karena
berperan penting bagi kesehatan dan fungsi tubuh dalam memerangi peradangan
dan membunuh penyakit seperti bakteri. Namun demikian apabila radikal bebas
yang dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan selulernya maka
radikal bebas tersebut akan berakibat negatif. Hal ini disebabkan karena radikal
bebas tersebut akan menyerang sel itu sendiri. Struktur sel yang berubah akan
merubah fungsi dari bagian tersebut dan hal tersebut akan berpengaruh pula pada
proses munculnya penyakit (Sauriasari 2006).
Masuknya radikal bebas ke dalam tubuh dapat melalui pernapasan,
lingkungan luar yang tidak sehat dan makanan yang berlemak (Kumalaningsih
2007). Selain itu pada kondisi stres dapat meningkatkan jumlah peroksisom pada
jaringan seperti pada ginjal kera Jepang, yang mengakibatkan peningkatan
produksi radikal bebas didalam tubuhnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan
terjadinya penurunan kandungan antioksidan endogen seperti superoksida
dismutase (Wresdiyati & Makita 1995).
Menurut Shahidi (1997) dan Hariyatmi (2004) pada kondisi stres imbangan
normal antara produksi radikal bebas (senyawa oksigen reaktif) dengan
kemampuan pertukaran antioksidan mengalami gangguan sehingga
menggoyahkan sebuah rantai reduksi oksidasi normal. Hal tersebut dapat
mengakibatkan kerusakan oksidatif jaringan. Keadaan ini diduga sebagai salah
8
satu faktor pendorong terjadinya beberapa penyakit sistemik seperti katarak,
arteriosklerosis atau yang dikenal dengan jantung koroner, kerusakan hati,
diabetes, kanker dan penuaan dini. Kerusakan jaringan tubuh juga tergantung pada
beberapa faktor, antara lain target molekuler, tingkat stres yang terjadi,
mekanisme yang terlibat, serta waktu dan sifat alami dari sistem yang diserang.
Menurut Kumalaningsih (2007) bahwa penyakit jantung koroner disebabkan
karena molekul besar lemak yang disebut LDL teroksidasi oleh radikal bebas
mengendap di pembuluh darah jantung. Hal ini akan menyebabkan aliran darah
terganggu sehingga sebagian sel-sel jantung tidak cukup makanan dan mati.
Katarak disebabkan karena kerusakan protein pada lensa mata akibat elektronnya
diambil oleh radikal bebas sehingga protein yang terdapat pada sel-sel jaringan
menjadi rusak. Kanker terjadi karena adanya serangan radikal bebas pada DNA
dan RNA dalam sel sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan sel yang
abnormal yang menyebabkan kerusakan jaringan dan penuaan dini. Hal tersebut
akan berakibat berkurangnya elastisitas jaringan kolagen dan otot sehingga kulit
menjadi keriput dan timbul bintik-bintik pigmen kecoklatan. Radikal bebas
tersebut dapat merusak komponen membran sel yang berupa fosfolipid, kolesterol
dan protein. Fosfolipid dan kolesterol, mengandung asam lemak tak jenuh ganda
(linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang sangat peka terhadap serangan radikal
bebas terutama radikal hidroksil. Radikal hidroksil ini dapat menimbulkan reaksi
berantai yang dikenal dengan peroksidasi lemak (Suryohudoyo 1995; Kartikawati
1999). Akibat akhir dari reaksi ini adalah terputusnya rantai asam lemak menjadi
senyawa yang bersifat toksik terhadap sel dan jaringan seperti aldehid. Selain itu
dapat pula terjadi ikatan silang antara dua rantai asam lemak dari rantai peptida
sehingga mengakibatkan rusaknya membran sel dan muncul penyakit-penyakit
degeneratif (Halliwell 1992).
Antioksidan
Radikal bebas merupakan produk normal dari proses metabolisme. Selama
makanan dioksidasi untuk menghasilkan energi, sejumlah radikal bebas juga
terbentuk dan efeknya dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh
(endogen) dalam jumlah yang berimbang (Hariyatmi 2004).
9
Tubuh manusia atau pun hewan dalam keadaan normal mempunyai sistem
antioksidan yang dapat menangkal aksi radikal bebas, yaitu sistem proses
enzimatis dan nonenzimatis. Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah
senyawa-senyawa pemberi elektron. Dalam pengertian klasik, istilah antioksidan
menunjukkan senyawa yang memiliki berat molekul rendah yang dapat
menginaktivasi reaksi rantai dari peroksidasi lipid dengan mencegah terbentuknya
radikal peroksida. Dalam arti biologi dan kedokteran, istilah tersebut digunakan
dalam pengertian yang luas, meliputi enzim yang dapat mendetoksifikasi
senyawa-senyawa oksigen reaktif (Kartikawati 1999).
Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat
memberikan elektronnya dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas tanpa
mengganggu dan memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan
dapat menetralisir atau menghancurkan radikal bebas dengan cara berinteraksi
langsung dengan oksidan atau radikal bebas, mencegah pembentukan jenis
oksigen reaktif, mengubah oksigen reaktif menjadi kurang toksik dan
memperbaiki kerusakan yang timbul. Antioksidan bekerja sebagai sebuah sistem
untuk menghentikan kerusakan akibat radikal bebas. Oleh karena itu, para ahli
nutrisi menyarankan agar kita sering mengkonsumsi produk yang mengandung
banyak variasi antioksidan, kombinasi vitamin, mineral, dan zat berkhasiat
lainnya (Sizer & Whitney 2000).
Berdasarkan fungsinya antioksidan dapat dibedakan menjadi: 1)
Antioksidan primer yaitu antioksidan yang berfungsi untuk mencegah
terbentuknya radikal bebas baru, dengan merubah radikal bebas menjadi molekul
yang stabil sebelum bereaksi misalnya enzim superoksida dismutase; 2)
Antioksidan sekunder yaitu senyawa yang berfungsi menangkap radikal bebas
serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang
lebih besar misalnya vitamin E, C dan β-karoten; 3) Antioksidan tersier yaitu
senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan
radikal bebas misalnya enzim metionin sulfoksidan reduktase; 4) oxygen
scavanger yaitu senyawa yang mengikat oksigen sehingga tidak menyebabkan
terjadinya reaksi oksidasi misalnya vitamin C dan 5) chelators/sequestranst yaitu
10
senyawa pengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi misalnya
asam sitrat dan asam amino (Kumalaningsih 2007).
Berdasarkan penghasil/penyedianya, maka antioksidan dapat dibagi menjadi
tiga janis yaitu :
1. Antioksidan yang dibuat oleh tubuh kita sendiri yang disebut juga antioksidan
endogen yang berupa enzim antara lain; superoksida dismutase (SOD),
glutathione peroxidase (GSH Px ) dan katalase.
2. Antioksidan alami yang diperoleh dari tumbuhan atau hewan seperti tokoferol,
vitamin C, betakaroten, flavonoid dan senyawa fenolik, dan
3. Antioksidan sintetik yang dibuat dari bahan-bahan kimia seperti butylated
hroayanisole (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), tert butil hidroksi quinon
(TBHQ), dan propil galat (PG) (Kumalaningsih 2007).
Secara umum mekanisme kerja dari antioksidan adalah menghambat
oksidasi lemak. Menurut (Kumalaningsih 2007) bahwa oksidasi lemak terjadi
melalui beberapa tahap yaitu tahap inisiasi, dimulai dengan pembentukan radikal
asam lemak yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil
dan sangat reaktif akibat hilangnya satu atom hydrogen, dengan reaksi sebagai
berikut :
ROOH + logam (n)+ ROO˙ + logam (n)+ + H+
X˙ + RH R˙ + XH
Selanjutnya tahap propagasi yaitu radikal asam lemak akan bereaksi dengan
oksigen membentuk radikal peroksil dengan reaksi sebagai berikut:
R˙ + O2 ROO˙
ROO˙ + RH ROOH + R˙
dan tahap terminasi yaitu radikal peroksil yang telah terbentuk kemudian
menyerang asam lemak sehingga menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam
lemak baru, dengan reaksi sebagai berikut:
ROO˙ + ROO˙ ROOR + O2
11
ROO˙ + R˙ ROO
R˙ + R˙ RR
Prekursor molekul untuk memulai proses ini umumnya berupa produk
hidroperoksida (ROOH), maka oksidasi lemak merupakan rangkaian reaksi
bercabang dengan berbagai efek yang memiliki potensi untuk merusak.
Antioksidan bereaksi dengan radikal bebas melalui berbagai cara yaitu: 1)
Pembersihan senyawa oksigen reaktif atau penurunan konsentrasinya secara lokal
(eliminating oxygen); 2) Pembersihan ion logam katalitik (immobilizing catalysts
or metal ions); 3) Pembersih radikal bebas yang berfungsi sebagai inisiator seperti
hidroksil (OH˙); 4) Peroksil (ROO˙) dan alkoksil (RO˙) (terminating chain
reaction); 4) Pemutus rantai dari rangkaian reaksi yang diinisiasi oleh radikal
bebas dan peredam reaksi serta pembersih single oksigen (inhibiting radical-
generating enzymes) (Gutteridge 1995; Kartikawati 1999).
Pencegahan pembentukan radikal bebas yang reaktif dapat dilakukan antara
lain dengan pemunahan zat awalnya yang berupa peroksida ataupun hasil
metabolisme oksigen oleh enzim superoksida dismutase,nkatalase dan glutation
peroksidase. Enzim ini dalam mengendalikan tahap awal radikal bebas yang
terbentuk memerlukan bantuan meniral Mn, Cu, Zn dan Se. Pemunahan dapat
pula melalui zat gizi yang berperan sebagai antioksidan. Zat gizi tersebut telah
banyak diteliti diantaranya adalah vitamin E, A (β-karoten) dan vitamin C (Berry
1992). Pemunahan radikal bebas hanya dapat dilakukan bila tepat waktu, tepat
tempat dan tepat dosis (Kartikawati 1999).
Vitamin C
Istilah vitamin C pertama kali ditemukan, ketika orang mulai meneliti ilmu
gizi pada 250 tahun yang lalu, disaat para dokter berusaha untuk menyembuhkan
penyakit scurvy pada beberapa kelompok pelaut Inggris, mereka diberi beberapa
bahan/zat yang berbeda-beda yaitu cuka, air laut, belerang dan jeruk atau lemon.
Mereka yang diberi jeruk dapat sembuh dalam waktu yang singkat. Kemudian
informasi ini digunakan oleh angkatan laut Inggris dan menganjurkan prajuritnya
12
mengkonsumsi jeruk setiap hari. Kemudian diberi nama vitamin asam askorbut
yang artinya tanpa sariawan (Sizer & Whitney 2000).
Vitamin C atau L-asam ascorbut merupakan antioksidan larut air dan
menjadi bagian dari pertahanan tubuh pertama terhadap oksigan reaktif dalam
plasma dan sel. Vitamin C ini memiliki formula (C6 H 8O6 ) dengan berat molekul
(BM) sebesar 176.13. Dalam keadaan murni berbentuk kristal putih, mudah larut
air, mudah teroksidasi dan secara reversibel membentuk asam dehidro-L-asam
askorbut yang kehilangan dua atom hidrogen (Zakaria et al. 1996).
Purwantaka et al. (2005) menyatakan bahwa vitamin C mampu menangkap
radikal bebas hydroksil. Hal ini dikarenakan vitamin C memiliki gugus pendonor
elektron berupa gugus enadiol seperti yang tertuang pada (Gambar 1).
(a) (b) (c)
Gambar 2 Struktur molekul Vitamin C dengan gugus enadiol. (a. Model), (b. Gugus vitamin C (ascorbic acid) sebelum teroksidasi) dan (c. Gugus kimia vitamin C (dehydroascorbic acid) teroksidasi (UK Food Standart Agency 2007).
Gugus ini terletak pada atom C
2 dan C
3. Adanya gugus ini memungkinkan
vitamin C mampu menangkap radikal hidroksil. Oleh karena itu perlu dicoba
pengaruh vitamin C ini terhadap kemampuannya dalam menetralisir radikal bebas
akibat asap rokok.
Meskipun diketahui antioksidan ini bersifat baik, apabila jumlahnya
berlebihan dapat berbahaya bagi tubuh. Vitamin C yang berlebihan akan
berpotensi menjadi vitamin C radikal yang bersifat radikal bebas, sehingga
glutation tidak cukup untuk menetralkannya. Selain itu, kelebihan vitamin C
(sintetis) akan membuat ginjal bekerja semakin keras dan mengakibatkan
terbentuknya batu ginjal, serta mampu mengubah keseimbangan basa dan
mempengaruhi kerja vitamin E (Sizer & Whitney 2000).
13
Vitamin C merupakan laktosa dengan enam rantai karbon yang disintesis
dari glukosa di dalam hati oleh sebagian mamalia selain manusia, karena manusia
tidak memiliki enzym gulonolactone oxidase yang penting untuk sintesis asam
ascorbut. Vitamin C mampu memberikan elektron dan mereduksi agen karena
bentuk fisiologi dan biokimianya. Vitamin C menyumbangkan dua elektronnya
dari rantai ganda antara dua dan tiga molekul karbon dari enam molekul karbon
(Padayatty et al. 2003). Dijelaskan pula bahwa, vitamin C disebut sebagai
antioksidan karena dengan elektron yang didonorkan itu dapat mencegah
terbentuknya senyawa lain dari proses oksidasi dengan melepaskan satu rantai
karbon. Namun, Setelah memberikan elektron pada radikal bebas, vitamin C akan
teroksidasi menjadi semidehydroascorbut acid atau radikal ascorbyl yang relatif
stabil. Sifat inilah yang mungkin menjadikannya sebagai antioksidan atau dengan
kata lain bahwa ascorbic acid dapat bereaksi dengan radikal bebas, reaksi tersebut
dapat mereduksi radikal bebas yang reaktif menjadi tidak reaktif. Radikal bebas
yang mengalami reduksi dari yang reaktif menjadi tidak reaktif disebut scavenger
atau squencsing. Oleh karena itu ascorbic acid, baik untuk radikal bebas
scavenger karena sifat kimianya.
Radikal ascorbyl tidak dapat bertahan lama dengan elektron tunggalnya.
Dengan kehilangan dua elektronnya radikal ascorbyl akan berubah menjadi
bentuk dehydroascorbut acid yang berbeda secara struktural tapi bentuk yang
dominan secara in-vivo, belum diketahui, seperti yang terlihat pada (Gambar 2c).
Vitamin C dalam bentuk radikal ascorbyl dan dehydroascorbic acid bertindak
sebagai penetral dari berbagai jenis oksidan dalam sistem biologis termasuk
oksigen, superoksida, radikal hydroksil, hypochlorous, reaktif nitrogen species,
logam besi dan tembaga (Tolbert 1982; Padayatty et al. 2003).
Vitamin C berfungsi sebagai antioksidan, dan juga memiliki fungsi lain
yaitu menjaga dan memacu kesehatan pembuluh-pembuluh kapiler, kesehatan gigi
dan gusi, membantu penyerapan zat besi dan dapat menghambat produksi
natrosamin, satu zat pemicu kanker. Vitamin C mampu pula membuat jaringan
penghubung tetap normal dan membantu penyembuhan luka serta meningkatkan
respon imun (William 2004). Vitamin C juga diperlukan untuk melindungi
molekul-molekul dalam tubuh seperti protein, lipid, karbohidrat dan asam nukleat
14
(DNA dan RNA) (Carr & Frei 1999). Selain itu juga vitamin C dapat berperan
penting dalam produksi tiroksin yang merangsang laju metabolisme basal dan
temperatur tubuh (Sizer & Whitney 2000).
Menurut hasil penelitian Simon et al. (2003) individu dengan rendah
vitamin C dalam darah akan mudah terinfeksi bakteri Heliobacter pylori yaitu
bakteri yang menyebabkan tukak lambung dan meningkatkan resiko kanker usus.
Kebutuhan individu akan vitamin C sangat bervariasi tergantung pada usia dari
individu tersebut (Tabel 1). Tetapi kebutuhan akan vitamin C akan berubah bila
kondisi individu berubah akibat penyakit, misalnya penderita scurvy
membutuhkan 10 mg/hari, common cold (selesma) membutuhkan 250 mg/hari
sedangkan penyakit yang diakibatkan oleh asap rokok terutama yang berhubungan
dengan cairan darah membutuhkan lebih dari 400 mg/hari (Gokce et al. 1999).
Tabel 1 Kebutuhan vitamin C menurut usia berdasarkan RDA (Recommended Dietary Allowance ) (Food and Nutrition Board 2000)
Usia Kebutuhan vit.C mg/hari
0-6 bulan 40 (AI)
7-12 bulan 50 (AI)
1-3 tahun 15 mg/hari
4-8 tahun 25 mg/hari
9-13 tahun 45 mg/hari
14-18 dan orang dewasa 75-90 mg/hari
Vitamin C dapat diperoleh dalam bentuk pil dan juga diperoleh secara alami
dari makanan berupa buah dan sayuran. Vitamin C dalam bentuk pil sudah
mengalami tiga generasi yaitu generasi pertama asam ascorbat, generasi kedua
adalah vitamin C penyangga dan generasi ketiga adalah ester C generasi
penyempurnaan dari generasi sebelumnya (Kumalaningsih 2007). Selain itu
vitamin C juga banyak terdapat pada buah-buahan, salah satunya adalah mangga.
Setiap 100 gr bagian mangga masak yang dapat dimakan memasok vitamin C
sebanyak 41 mg. Mangga muda bahkan mengandung hingga 65 mg. Berarti,
dengan mengkonsumsi mangga ranum 150 gram atau mangga golek 200 gr (1/2
15
buah ukuran kecil), kecukupan vitamin C yang dianjurkan untuk laki-laki dan
perempuan dewasa per hari (masing-masing 60 mg) dapat terpenuhi. Secara teori
dikatakan bahwa vitamin C berpengaruh negatif bila pemakaian lebih dari 100 mg
per hari (2-3 gr per hari) dapat mengakibatkan batu ginjal, mengubah
keseimbangan basa dan mengurangi kerja vitamin E. Mekanisme penyerapan
vitamin C yang diteliti pada hewan percobaan seperti mencit, hamster dan tikus
membutuhkan suatu sistem transport aktif. Vitamin C siap diabsorbsi jika jumlah
yang masuk kecil, namun jika jumlah yang masuk berlebihan maka penyerapan
lewat usus menjadi terbatas.
Hematologi
Sistem sirkulasi merupakan sistem transport yang mengantarkan oksigen
dan berbagai zat yang diabsorbsi dari traktus gastrointestinal menuju ke jaringan
serta mengembalikan karbon dioksida ke paru dan hasil metabolisme lain menuju
ginjal. Sistem ini juga berperan dalam pengaturan suhu tubuh dan mendistribusi
hormon serta berbagai zat lain yang mengatur fungsi sel. Unsur seluler dari darah
terdiri dari butir darah merah, butir darah putih dan trombosit yang tersuspensi di
dalam plasma. Pada tikus mengandung 7.2-9.6 x 106/mm3 butir darah merah, 5-13
x 103/mm3 butir darah putih dan 15-18 g % hemoglobin (Purwanti 2005).
a. Butir darah merah (BDM)
Butir darah merah merupakan sel darah yang paling banyak jumlahnya.
Butir darah merah mempunyai fungsi utama adalah untuk mentranspor
hemoglobin selanjutnya membawa oksigen ke dalam sirkulasi. Sel ini berbentuk
lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada mamalia, sel ini
kehilangan intinya sebelum memasuki peredaran darah. Pada keadaan yang
menyebabkan jumlah oksigen yang ditranspor ke jaringan berkurang biasanya
meningkatkan kecepatan pembentukan sel darah merah (Guyton 1996). Produksi
butir darah merah dikontrol oleh mekanisme umpan balik negatifyang sensitif
terhadap jumlah oksigen yang mencapai jaringan melalui darah.
16
b. Butir darah putih (BDP)
Tubuh mempunyai sistem pertahanan untuk melawan berbagai agen toksik
dan infeksi yang dikenal dengan butir darah putih (leukosit). Butir darah putih
yang terdapat dalam darah, meliputi neutrofil, limfosit (dalam jumlah besar)
eosinofil, basofil dan monosit (dalam jumlah kecil). Proses pertahanan tersebut
dilakukan dengan cara menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis
(neutrofil) dan membentuk antibodi (limfosit). Proses fagositosis dapat terjadi
apabila: a) permukaan partikel kasar, memungkinkan peningkatan fagositosis; b)
sebagian besar zat alamiah tubuh mempunyai muatan permukaan elektronegatif
dan oleh karena itu menolak fagosit yang juga mempunyai muatan permukaan
elektronegatif. Sebaliknya jaringan yang mati dan partikel-partikel asing
mempunyai muatan elektropositif sehingga merupakan bahan untuk fagosit; c)
tubuh mempunyai cara khusus untuk mengenali benda asing tertentu (fungsi
sistem imun). Dalam keadaan terpapar rokok, jumlah butir darah putih mengalami
peningkatan untuk mengfagosit benda asing, namun bila jumlahnya tidak
terkontrol maka akan mengfagosit sel-sel yang sehat.
c. Hemoglobin (Hb)
Pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah hewan
vertebrata adalah hemoglobin. Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk
bulat yang terdiri empat sub unit. Setiap sub unit mengandung satu bagian heme
yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin
yang mengancung besi. Polipeptida itu secara kolektif sebagai bagian globin dari
molekul hemoglobin (Guyton 1996).
Hemoglobin bertugas mengikat oksigen untuk membentuk
oksihemoglobin, yang kemudian beredar dalam tubuh untuk mencukupi keperluan
oksigen tubuh. Pengikatan hemoglobin terhadap oksigen dapat dipengaruhi oleh
PH, suhu, konsentrasi fosfogliserat dalam sel darah merah dan H+. Dalam hal ini
H+ akan berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin tanpa
Oksigen (hemoglobin terdeoksi), sehingga menurunkan afinitas hemoglobin
terhadap O2 dengan menggeser posisi empat rantai peptida. Apabila darah terpajan
17
pada aneka macam obat dan agen-agen pengoksidasi lain, baik in vitro atau in
vivo maka besi ferro (Fe2+) dalam molekul tersebut dikonversi menjadi besi ferri
(Fe3+) membentuk methemoglobin. Methemoglobin berwarna tua dan kalau
jumlahnya besar dalam sirkulasi, methemoglobin menyebabkan perubahan warna
kehitaman pada kulit. Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin
membentuk karbon monoksihemoglobin. Afinitas hemoglobin untuk O2 jauh lebih
rendah dari pada afinitasnya dengan CO2 sehingga dapat menurunkan kapasitas
darah sebagai pengangkut O2. Dengan pemberian vitamin C dapat membantu
pelepasan Fe2+ dari ferritin (Fe3+) (Ganong 2001).
d. Hematokrit (PCV)
Hematokrit adalah persentase darah berupa sel. Tahanan aliran darah tidak
hanya ditentukan oleh radius pembuluh darah tapi juga oleh viskositas darah.
Pada pembuluh darah besar, peningkatan hematokrit menyebabkan peningkatan
yang cukup besar dari viskositas. Akan tetapi pembuluh darah yang kecil seperti
arteriol, kapiler dan venula, viskositas berubah lebih sedikit per unit perubahan
dalam hematokrit dibandingkan dengan pembuluh darah besar. Viskositas juga
dipengaruhi oleh komposisi plasma dan daya tahan sel terhadap deformasi
(Ganong 2001). Makin besar persentase sel dalam darah, maka makin besar
hematokritnya sehingga makin banyak pergeseran diantara lapisan-lapisan darah
dan pergeseran inilah yang menentukan viskositas. Peningkatan viskositas dapat
mengakibatkan aliran darah melalui pembuluh sangat lambat.