eduard dan ernest douwes dekker

27
Eduard Douwes Dekker Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar. Roman Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam. Roman itu bercorak satir politik, ditulis oleh Eduard Douwes Dekker di bawah pseudonim Multatuli (latin: aku telah banyak menderita). Ia jadi pusat perhatian karena menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Lebak nan miskin di tengah hiruk- pikuk kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negeri jajahan. Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi. Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup

Upload: mustakim

Post on 27-May-2015

2.475 views

Category:

Education


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Eduard dan ernest douwes dekker

Eduard Douwes Dekker

Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di

Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula

dengan nama pena Multatuli adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar.

Roman Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam. Roman itu bercorak

satir politik, ditulis oleh Eduard Douwes Dekker di bawah pseudonim Multatuli (latin: aku telah

banyak menderita). Ia jadi pusat perhatian karena menghadirkan realitas kehidupan masyarakat

Lebak nan miskin di tengah hiruk-pikuk kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negeri

jajahan.

Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan

kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja

Setiabudi. Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup

besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan

berpendidikan.

Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan

jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan lancar

karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan

Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung

mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang.

Page 2: Eduard dan ernest douwes dekker

Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan

dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan

di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di

sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah

masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak

dilupakannya selama hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian

hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan

masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan

Paul van 't Veer dalam biografi Multatuli.

Patung Eduard Dekker di Amsterdam, Belanda.

Ketika ayahnya pulang dari perjalanannya, dilihatnya perubahan kehidupan dan

keadaan dalam diri Eduard. Hal ini melahirkan niat pada diri ayahnya untuk membawanya dalam

sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan

dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau

berpendidikan rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839

tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan

bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai

pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia

melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatera Barat dan oleh Gubernur

Jendral Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang

kontrolir.

Page 3: Eduard dan ernest douwes dekker

Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan.

Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih

cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban tugas

pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi. Namun

ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia meninggalkannya. Atasannya

yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan kerugian yang besar dalam kas

pemerintahannya.

Sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya

kerugian kas pemerintahan, Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur

Sumatera Barat Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-

apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia

direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan "uang tunggu".

Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard menjalin asmara dengan Everdine van

Wijnbergen, gadis turunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846, Eduard yang

saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar sementara di kantor asisten residen Purwakarta,

menikah dengan Everdine. Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di

Natal, Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah sehingga pada 1846 ia diangkat

menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor residen

Purworejo. Prestasinya membuat dia diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von

Schmidt auf Altenstadt menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Namun

karena Eduard tidak memiliki diploma sebagai syarat ditempatkannya sebagai pejabat tinggi

pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun

Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap istimewa

dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan permohonan

kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi kerjanya.

Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas di Natal

dianggap sebagai kesalahan pegawai muda yang dapat dimaafkan.

Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di

Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Eduard merasa cocok

dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di

Bogor di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna

Page 4: Eduard dan ernest douwes dekker

perubahan dalam sistem hukum kolonial. Karirnya meningkat menjadi asisten residen, yang

merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Eduard

menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada Februari 1851.

Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di kalangan

ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur Maluku yang memiliki

kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar bawahannya tidak dapat

menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga

mendapatkan izin cuti ke negeri Belanda. Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di

pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.

Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan

baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering mengalami kekalahan di meja judi.

Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali ke

Batavia pada tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi

asisten residen Lebak di sebelah selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung

pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab.

Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan

lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya.

Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat

menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan

selama 30 tahun, ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran

pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya.

Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang

diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.

Dekker bukan ambtenar yang selalu membuat laporan palsu demi pujian dari atasan,

atau hidup cari selamat demi gaji bulanan. Ia manusia yang benar pada tempat yang salah. Bukan

saja penindasan sang bupati yang digugatnya, tapi juga kekuasaan kolonial yang membiarkan

rakyat terus terhimpit kesusahan. “Saya tak suka menggugat siapa pun, tapi kalau harus, biar dia

kepala tentu saya akan gugat,” ujar Max Havelaar, menunjukkan sikap teguh berpendirian.

Edwuard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada

rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang

Page 5: Eduard dan ernest douwes dekker

dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada

rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang terlalu murah.

Belum saja satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis

surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-

kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi

yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah

desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini

membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita

kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang

kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan

kepada rakyat.

Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard

sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, namun menolak permintaan Eduard. Dengan

demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J.

Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana,

Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan

permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.

Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya

untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang sukses

berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa untuk bekerja di sana. Istri

dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.

Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun

tidak lama kemudian dia keluar. Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru

bahasa di Konsulat Perancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya untuk menjadi

kaya di meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.

Page 6: Eduard dan ernest douwes dekker

Sampul cetakan pertama Max Havelaar tahun 1860.

Gagal menjadi pegawai, namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi pengarang,

berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip

di antaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai

asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan

cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar

yang kemudian menjadi terkenal.

Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa

sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat khususnya di

kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya.

Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang berarti lambat laun Eduard

dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.

Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'.

Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "'Aku sudah menderita cukup banyak'" atau "'Aku

sudah banyak menderita'"; di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat

yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di

Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-

lebihan.

Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang

isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat,

karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya

Page 7: Eduard dan ernest douwes dekker

Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses. Walaupun kualitas literatur

Multatuli diperdebatkan, ia disukai oleh Carel Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Ia terus

menulis dan menerbitkan buku-buku berjudul Ideen yang terdiri dari tujuh bagian antara tahun

1862 dan 1877, dan juga mengandung novelnya Woutertje Pieterse serta Minnebrieven pada

tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya adalah satir keras.

Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Pada akhir

hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya sebagai

anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba

untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam

volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik,

masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang

melainkan hanya menulis berbagai surat-surat. Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke

Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

Pengaruh dalam sastra Hindia Belanda dan Indonesia

Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok

Angkatan Pujangga Baru, namun ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia.

Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan

eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan juga kepada adat, kekuasaan

dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Bila Multatuli dalam Max

Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan

akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya dalam

puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang dihadapi

Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakekatnya; keduanya putus asa dan

terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.

Dalam budaya populer

Max Havelaar ISBN 0-14-044516-1 – buku ini telah diangkat menjadi film tahun 1988

dengan judul yang sama, disutradarai oleh Alphonse Marie Rademaker dan melibatkan

beberapa artis Indonesia, misalnya Rima Melati. Film ini tidak populer di Indonesia, bahkan

sempat dilarang beredar oleh pemerintahan Orde Baru setelah beberapa saat diputar di

gedung bioskop.

Page 8: Eduard dan ernest douwes dekker

Karya-karyanya

1843 - De eerloze (naskah drama, kemudian diterbitkan sebagai De bruid daarboven (1864))

1859 - Geloofsbelydenis (diterbitkan dalam jurnal pemikir bebas De Dageraad)

1860 - Indrukken van den dag

1860 - Max Havelaar of de koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy

1860 - Brief aan Ds. W. Francken z.

1860 - Brief aan den Gouverneur-Generaal in ruste

1860 - Aan de stemgerechtigden in het kiesdistrikt Tiel

1860 - Max Havelaar aan Multatuli

1861 - Het gebed van den onwetende

1861 - Wys my de plaats waar ik gezaaid heb

1861 - Minnebrieven

1862 - Over vrijen arbeid in Nederlandsch Indië en de tegenwoordige koloniale agitatie

(brochure)

1862 - Brief aan Quintillianus

1862 - Ideën I (terdapat pula yang berupa novel De geschiedenis van Woutertje Pieterse)

1862 - Japansche gesprekken

1863 - De school des levens

1864-1865 - Ideën II

1864 - De bruid daarboven. Tooneelspel in vijf bedrijven (naskah drama)

1865 - De zegen Gods door Waterloo

1865 - Franse rymen

1865 - Herdrukken

1865 - Verspreide stukken (diambil dari Herdrukken)

1866-1869 - Mainzer Beobachter

1867 - Een en ander naar aanleiding van Bosscha's Pruisen en Nederland

1869-1870 - Causerieën

1869 - De maatschappij tot Nut van den Javaan

1870-1871 - Ideën III

1870-1873 - Millioenen-studiën

1870 - Divagatiën over zeker soort van Liberalismus

Page 9: Eduard dan ernest douwes dekker

1870 - Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsch Indië

1871 - Duizend en eenige hoofdstukken over specialiteiten (esai satir)

1872 - Brief aan den koning

1872 - Ideën IV (terdapat pula dalam naskah drama Vorstenschool)

1873 - Ideën V

1873 - Ideën VI

1874-1877 - Ideën VII

1887 - Onafgewerkte blaadjes

1891 - Aleid. Twee fragmenten uit een onafgewerkt blyspel (naskah drama)

1897 - Max Havelaar of de Koffiveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappy (editor

Willem Frederik Hermans)

Sumber:

Wikipedia

Majalah historia online

Sumber-sumber terkait lainnya

Page 10: Eduard dan ernest douwes dekker

Ernest Douwes Dekker

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes

Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di Pasuruan, Hindia-Belanda, 8 Oktober

1879 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah

seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.

Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang

kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan, aktivis politik, serta

penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang merdeka. Setiabudi

adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr.

Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

Ernest adalah anak ketiga (dari empat bersaudara) pasangan Auguste Henri Edouard Douwes

Dekker (Belanda totok), seorang pialang bursa efek dan agen bank,[1] dan Louisa Margaretha

Neumann, seorang Indo dari ayah Jerman dan ibu Jawa. Dengan pekerjaannya itu, Auguste

termasuk orang yang berpenghasilan tinggi. Ernest, biasa dipanggil "Nes" oleh orang-orang

dekatnya atau "DD" oleh rekan-rekan seperjuangannya, masih terhitung saudara dari pengarang

buku Max Havelaar, yaitu Eduard Douwes Dekker (Multatuli), yang merupakan adik kakeknya.[2] Olaf Douwes Dekker, cucu dari Guido, saudaranya, menjadi penyair di Breda, Belanda.

DD menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda

pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi

Page 11: Eduard dan ernest douwes dekker

(keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini kandas pada

tahun 1919 dan keduanya bercerai.

Kemudian DD menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo

keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan

kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan DD. Dari perkawinan ini mereka tidak

dikaruniai anak. Di saat DD dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus berpisah,

dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan

seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih

dahulu. Tidak jelas apakah DD mengetahui pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan

tetap berkirim surat namun tidak dibalas.

Sewaktu DD "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia menjadi dekat

dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang

berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian menemani DD yang menggunakan nama samaran

pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah

menikah dengan Djafar, DD tidak lama kemudian menikahi Nelly, pada tahun 1947. DD

kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi

Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh Sukarno. Sepeninggal DD, Haroemi menikah dengan

Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.

Walaupun mencintai anak-anaknya, DD tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan

idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada

kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan

yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua

anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula

semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia.

Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS

di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Willem III, suatu sekolah elit di Batavia. Selepas lulus

sekolah ia bekerja di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia

menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela

mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-

pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu

Page 12: Eduard dan ernest douwes dekker

"Padjarakan" di Kraksaan sebagai laboran.[1] Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen

karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani. Akibatnya, ia dipecat.

Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat ke Afrika

Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris.[2] Ia bahkan

menjadi warga negara Republik Transvaal.[1] Beberapa bulan kemudian kedua saudara laki-

lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon. Di

sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka

akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya.

DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen pengiriman

KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani

menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia

Belanda, pada tahun 1903.

Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat

ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai

merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan

di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan

kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya

menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun

1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche

Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet

der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia

Belanda") kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir

Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het

spoedigst zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan

koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali

kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar

intelijen penguasa.[3]

Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para

perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo,

untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi

Page 13: Eduard dan ernest douwes dekker

nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di

Yogyakarta.

Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut membidani

lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk

memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda. Di

dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari

organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.

Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak terlibat di

dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni ("totok" atau

trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi kunci pemerintah

karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi menengah dengan gaji

lumayan tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang lebih tinggi daripada

pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena pemerintah koloni mulai

memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo.

Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi karena mereka dibayar lebih rendah.

Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD untuk memasukkan idenya tentang

pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang

bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original,

karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.

Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan gagasan

suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang.

Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di kalangan kecil saja, karena

sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum Indo direndahkan oleh

kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh pribumi.

Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912 Nes

bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai

berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia").[1][4] Kampanye ke

beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat.

Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di

kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap

dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir

Page 14: Eduard dan ernest douwes dekker

kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun

kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als ik eens Nederlander was"

(Seandainya aku orang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD dan Cipto

mendukung Suwardi.

Universitas Zurich, tempat Ernest Douwes Dekker menempuh pendidikan tingginya.

Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor di Universitas Zürich,

Swiss, dalam bidang ekonomi. Di sini ia tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar doktor

diperoleh secara agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-rendahnya", menurut istilah salah

satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi dengan kaum revolusioner India, ia

ditangkap di Hong Kong dan diadili dan ditahan di Singapura (1918). Setelah dua tahun

dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda 1920.

Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan

organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia

menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta sikap

kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar

mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang

terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch Europeesch

Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan "De tien geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan

"Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai "liga

yang konyol dan kekanak-kanakan".

Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti "Een Natie

in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het buitenlandsche kapitaal"

(Bangsa kita dan modal asing).

Page 15: Eduard dan ernest douwes dekker

Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut

Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di kalangan

anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan yang progresif

(menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). NIP akhirnya

bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.

Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan

petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena

dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde

cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang.

Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis hasutan di

surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur De

Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis "Membebaskan negeri ini

adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya kecewa adalah ternyata alasan

penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan "mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan

ke DD). Setelah melalui pembelaan yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.

Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung meninggalkan kegiatan

jurnalistik dan menyibukkan diri dalam penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan

penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya. Prestasinya cukup

mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan bahkan mampu menjawab

beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa pertanyaan tertulis.

Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia

kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di

Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa

Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan

pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi

pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita

oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai

mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea

dan Tiongkok. DD kemudian juga dilarang mengajar.

Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar

Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang

Page 16: Eduard dan ernest douwes dekker

wakil pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda masih trauma

akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan masalah ekonomi akibat krisis

keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa

(Europaeer).

Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940

mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa

lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau", akhirnya ikut digaruk

karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indocina Perancis. Ia juga dituduh

komunis.

DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Di sana ia

ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne

("Padang Yahudi").[2] Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat

pemukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang yang

membuat keonaran.

Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang waktu itu sudah

memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini kehidupannya sangat

tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat dilakukannya melalui Palang

Merah Internasional dan harus melalui sensor.

Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera

dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke

Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel,

seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia

juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari

petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta,

ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.

Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik

Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet

Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia

menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan

dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir

Page 17: Eduard dan ernest douwes dekker

sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di

mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.

Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di

Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara

Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah

diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.

Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak

akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian

menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya

"Djiwa Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain

adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar

konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.

Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29

Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar

dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung

utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya

dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.

Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah

kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan

pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").

Referensi

Doel, H.W. van den 'Douwes Dekker, Ernest François Eugène (1879-1950)' Biografisch

Woordenboek van Nederland.

Voer, P.W. van der 2006. The lion and the gadfly. Dutch colonialism and the spirit of E.F.E.

Douwes Dekker. KITLV Publisher.

Lapian, A.B. "Danudirdja Setiabuddhi, 1879-1950. Tokoh Indo yang Antikolonial". Resensi atas

buku Het leven van E.F.E. Douwes Dekker dari Frans Glissenaar yang dimuat di Kompas daring.