edisi xl

1
Edisi XL / Februari 2015 Koran Tempel ini diterbitkan oleh Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) INOVASI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Penanggung Jawab: Imam Abu Hanifah. Staf Redaksi: Miftahu Ainin Jariyah, Agil Subangkit, Ali Zia Husnul Labib, Imam Abu Hanifah. Editor: Rachmad Imam Tarecha, Latifatun Nasihah, Salis Fahrudin, Imam Abu Hanifah. Layouter: Salis Fahrudin. Alamat Redaksi: Gedung Jendral Besar H. Mohammad Soeharto Lt.1 UIN Maliki Malang. Jl. Gajayana 50 Malang (65145). Email: [email protected], 17 Februari 2015 Oleh Ali Zia Husnul Labib Kesadaran Sampah Damaikan Perseteruan Antar Suku KORBAN PERS? GUNAKAN HAK JAWAB Event Car Free Day (CFD) menjadi alat kampanye pengurangan emisi karbon di beberapa kota. Di Malang, acara tersebut dihelat setiap hari minggu di kawasan Idjen Boulovard. Sejak 05.30 sampai 10.00 WIB tidak boleh ada satupun kendaraan bermotor yang melintas. Kelonggaran lalu lintas ini pun dimanfaatkan ratusan hingga ribuan orang untuk menghabiskan waktunya. Banyak orang mengisi kegiatan seperti senam, jalan-jalan, atau membawa serta hewan peliharaanya. “Ada gula, ada semut” istilah ini kiranya pas untuk menggambarkan kondisi di CFD. Berjubalnya orang yang lalu lalang mengundang para pedagang menjajankan dagangannya. Di sekitar kawasan CFD juga berlangsung pasar minggu. Ujung-ujungnya bisa ditebak, sampah-sampah plastik terlihat berserakan dimana-mana. Tidak adanya tempat sampah yang memadai menjadi masalahnya. Seperti yang dikatakan Ida, salah satu pengunjung CFD, ”Ya saya buang sampah sembarangan, mau gimana lagi, gak ada tempat sampah di sekitar,” dalihnya. Alhasil disetiap akhir kegitan CFD yang dibaktikan untuk lingkungan ini menyisakan sampah yang berserakan. Permasalahan sampah pulalah yang menjadi salah satu latar belakang diadakannya acara “Deklarasi Bulan Cinta Damai, Alam dan Lingkungan” (15/2). Acara tersebut berlangsung di depan Monumen Pahlawan TRIP dan diramaikan oleh kurang lebih 27 komunitas, seperti Neolath Community, Komunitas Kresek, Topeng Malang, dan Save Street Children. Acara tersebut diisi dengan jalan bersama, sekaligus membersihkan sampah yang beserakan di jalanan. ”Dengan membawa kresek dan kardus lalu memungut sampah, membiasakan individu- individu untuk cinta terhadap alamnya,” papar Imam Muslich, anggota Neolath Community. Dwi, salah seorang petugas kebersihan CFD menuturkan, bahwa tempat sampah di area CFD memang sangat minim. Hal ini dikarenakan setiap rumah yang berada di kawasan CFD tidak diperbolehkan untuk membuat tempat pembuangan sampah di depan rumah yang terbuat dari batu bata. “Ini arahan langsung dari pemerintah kota,” tuturnya. Menurut Dwi, salah satu cara yang dilakukan pemerintah kota untuk menanggulangi masalah sampah ini ialah dengan mempekerjakan Sembilan orang petugas kebersihan di kawasan CFD. “Dibanding membuat tempat sampah, lebih baik memperkerjakan kita, toh adanya tempat sampah belum tentu mereka buang sampah pada tempatnya,” terang Dwi. Kesadaran membuang sampah itulah yang tak kalah penting untuk dimiliki setiap pengunjung. Menurut Ida, ia seringkali sengaja membuang sampah sembarangan. Hal tersebut bahkan kerap dilakukannya diluar kesadarannya karena sudah menjadi kebiasaan. “Padahal saya tahu kalau itu bukanlah hal baik dan terkadang itu menjadi kebiasaan,” tambahnya.[] Oleh Imam Abu Hanifah Deklarasi Perdamaian Tak Mau Diintervensi Terik matahari mulai menyengat saat Imam Muslich membuka acara deklarasi Bulan Cinta Damai dan Lingkungan Alam di Bhumi Arema, “Salam Satu Jiwa Aremaaaa” teriaknya. Gelaran acara minggu pagi itu (15/2) diramaikan oleh 27 komunitas yang terbagi dalam 45 kelompok komunitas. Diantaranya Komunitas Peduli Malang, Raggae, Save Street Children, Neolath Community, Fotografi, dan Prasna Paramita. Bertempat di depan Makam Pahlawan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), masing- masing komunitas menampilkan aksinya tanpa memakai atribut sponsor. Baliho-baliho pun terpampang tanpa satupun logo sponsor baik produk maupun partai tertentu. “Memang kami tidak ada sponsor. Coba cari kalau ada lapor saya,” ujar Muslich bersemangat. Pria yang tergabung dalam Neolath Community itu memaparkan bahwa acara ini mengajak siapapun tanpa embel-embel promosi. Ia mengakui ada beberapa politisi yang menawarkan bantuan dana, “Yawes, tak biayain,” ujarnya menirukan salah satu politisi yang menawarkan dana. "Kalau politisi pasti punya kepentingan. Kami tidak ingin terjebak dalam masalah itu," paparnya. Pengakuan Muslich menyiratkan bahwa ia dan kawan-kawannya tak ingin diintervensi oleh pihak manapun. Karena tujuan para politisi maupun perusahaan yang ingin dicantumkan logonya adalah untuk menyebarkan pandangan, ideologi, maupun memperkenalkan suatu produk barang yang baru. Komunikasi melalui tanda- tanda atau logo tertentu dibahas dalam ilmu semiotika. Ferdinand De Saussure menjelaskan dalam semiotika, terdapat tanda dan penanda dalam logo tersebut. Tanda bisa berupa warna, isyarat, objek akan mempresentasikan sesuatu, sedangkan penandanya berupa makna yang dapat diartikan dari tanda tersebut. Pencantuman logo yang berfungsi sebagai tanda itu akan membuat masyarakat mengenal, mengingat dan bahkan mendukung kelompok yang logonya dicantumkan sebagai bentuk penanda atau makna. Makna-makna inilah yang tidak diinginkan Muslich sebagai bentuk intervensi. Padahal, bukan rahasia umum lagi bila sponsor tertentu selalu meminta logonya dipasang di semua atribut panitia maupun peserta. Acara dengan jumlah massa yang banyak tentu akan menguntungkan sponsor karena dagangannya dapat dikenal banyak orang atau para politisi dapat mencitrakan diri di mata masyarakat. Perilaku penawaran dan pencitraan tersebut sejatinya tak lebih sebagai perilaku pemasaran.[] UAPM / Hanik “Sebagai makhluk Tuhan yang beradab, kita perlu berdamai dengan sesama manusia, lingkungan dan alam sekitar,” ucap Imam Muslich, pendiri komunitas Neolath dalam pembukaan acara Bulan Cinta Damai Lingkungan Alam (15/02). Acara yang digelar di depan monumen pahlawan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) ini, disebut sebagai usaha menciptakan perdamaian di Bhumi Arema. “Tidak peduli apa agama kalian, dari mana asal kalian, jika kalian sudah ada di Bhumi Arema, maka hanya ada satu kata, salam satu jiwa!” seru Imam. Acara ini pun dimaksudkan untuk meredam kericuhan antara mahasiswa asal Sumba dan Flores yang kerap kali terjadi di Malang. “Sumba dengan Sumba namun berbeda suku, Sumba dengan flores, mereka semua tak akur hingga ke Malang” jelas Imam. Ia lalu bercerita, di akhir bulan Januari kemarin, sesama mahasiswa yang berasal dari Sumba tapi berbeda suku berkelahi di kelas. Penyebabnya karena perbedaan pengartian kata. Perkelahian itu pun berakhir di jeruji besi. Data yang dihimpun Surabaya.tribunnews.com juga mencatat pernah terjadi bentrok antara mahasiswa Sumba dan mahasiswa ambon pada Mei lalu. Pihak berwajib akhirnya berhasil mendamaikan kedua kubu melalui negosiasi. Hal semacam itu yang tak diinginkan Imam. Menurutnya, penyelesaian pertikaian mahasiswa antar suku tidak selalu harus dengan jalan proses hukum, namun bisa dengan pendekatan budaya. Pendekatan budaya bisa dengan menyesuaikan budaya yang dibawa oleh mahasiswa asal Sumba dan Flores dengan budaya Malang. Silius, salah satu mahasiswa asal Sumba yang juga ikut dalam acara itu berharap Malang bebas dari kerusuhan. “Kami mohon maaf. Kami dari timur kemarin-kemarin seringkali buat kerusuhan,” ujarnya. Ia dan teman- temannya sekarang ingin menunjukkan pada warga Malang kalau mereka juga bisa menjaga nama baik kota Malang. Senada dengan Silius, Angga Setiawan sebagai warga asli Malang yang juga hadir pada acara itu menginginkan 'mahasiswa timur' bisa hidup berdampingan dengan warga malang. “Tawuran itu nggak penting. Yang penting bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri dengan warga Malang agar dapat hidup berdampingan,” ucap Angga.[] Oleh Miftahu Ainin dan Agil Subangkit HADIRILAH LAUNCHING MAJALAH INOVASI XXXI Hari / Tanggal : Rabu, 25 Februari 2015 Tempat : Depan Gedung Soeharto Pukul : 07.00 - selesai Gratis! Gratis! Gratis!

Upload: aran

Post on 22-Jul-2016

214 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Edisi XL

Edisi XL / Februari 2015

Koran Tempel ini diterbitkan oleh Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) INOVASI UIN Maulana Malik Ibrahim MalangPenanggung Jawab: Imam Abu Hanifah. Staf Redaksi: Miftahu Ainin Jariyah, Agil Subangkit, Ali Zia Husnul Labib, Imam Abu Hanifah.Editor: Rachmad Imam Tarecha, Latifatun Nasihah, Salis Fahrudin, Imam Abu Hanifah. Layouter: Salis Fahrudin.Alamat Redaksi: Gedung Jendral Besar H. Mohammad Soeharto Lt.1 UIN Maliki Malang.Jl. Gajayana 50 Malang (65145). Email: [email protected],

17 Februari 2015

Oleh Ali Zia Husnul Labib

Kesadaran Sampah Damaikan Perseteruan Antar Suku

KORBAN PERS?GUNAKAN HAK JAWAB

Event Car Free Day (CFD) menjadi alat kampanye pengurangan emisi karbon di beberapa kota. Di Malang, acara tersebut dihelat setiap hari minggu di kawasan Idjen Boulovard. Sejak 05.30 sampai 10.00 WIB tidak boleh ada satupun kendaraan bermotor yang melintas. Kelonggaran lalu lintas ini pun dimanfaatkan r a tusan h ing g a r ibuan o rang un tuk menghabiskan waktunya. Banyak orang mengisi kegiatan seperti senam, jalan-jalan, atau membawa serta hewan peliharaanya. “Ada gula, ada semut” istilah ini kiranya pas untuk menggambarkan kondisi di CFD. Berjubalnya orang yang lalu lalang mengundang para pedagang menjajankan dagangannya. Di sekitar kawasan CFD juga berlangsung pasar minggu. Ujung-ujungnya bisa ditebak, sampah-sampah plastik terlihat berserakan dimana-mana.

Tidak adanya tempat sampah yang memadai menjadi masalahnya. Seperti yang dikatakan Ida, salah satu pengunjung CFD, ”Ya saya buang sampah sembarangan, mau gimana lagi, gak ada tempat sampah di sekitar,” dalihnya. Alhasil disetiap akhir kegitan CFD yang dibaktikan untuk lingkungan ini menyisakan sampah yang berserakan.

Permasalahan sampah pulalah yang menjadi salah satu latar belakang diadakannya acara “Deklarasi Bulan Cinta Damai, Alam dan Lingkungan” (15/2). Acara tersebut berlangsung di depan Monumen Pahlawan TRIP dan diramaikan oleh kurang lebih 27 komunitas,

seperti Neolath Community, Komunitas Kresek, Topeng Malang, dan Save Street Children. Acara tersebut diisi dengan jalan bersama, sekaligus membersihkan sampah yang beserakan di jalanan. ”Dengan membawa kresek dan kardus lalu memungut sampah, membiasakan individu-individu untuk cinta terhadap alamnya,” papar Imam Muslich, anggota Neolath Community.

Dwi, salah seorang petugas kebersihan CFD menuturkan, bahwa tempat sampah di area CFD memang sangat minim. Hal ini dikarenakan setiap rumah yang berada di kawasan CFD tidak diperbolehkan untuk membuat tempat pembuangan sampah di depan rumah yang terbuat dari batu bata. “Ini arahan langsung dari pemerintah kota,” tuturnya.

Menurut Dwi, salah satu cara yang dilakukan pemerintah kota untuk menanggulangi masalah sampah ini ialah dengan mempekerjakan Sembilan orang petugas kebersihan di kawasan CFD. “Dibanding membuat tempat sampah, lebih baik memperkerjakan kita, toh adanya tempat sampah belum tentu mereka buang sampah pada tempatnya,” terang Dwi.

Kesadaran membuang sampah itulah yang tak kalah penting untuk dimiliki setiap pengunjung. Menurut Ida, ia seringkali sengaja membuang sampah sembarangan. Hal tersebut bahkan kerap dilakukannya diluar kesadarannya karena sudah menjadi kebiasaan. “Padahal saya tahu kalau itu bukanlah hal baik dan terkadang itu menjadi kebiasaan,” tambahnya.[]

Oleh Imam Abu Hanifah

Deklarasi Perdamaian Tak Mau Diintervensi

Terik matahari mulai menyengat saat Imam Muslich membuka acara deklarasi Bulan Cinta Damai dan Lingkungan Alam di Bhumi Arema, “Salam Satu Jiwa Aremaaaa” teriaknya. Gelaran acara minggu pagi itu (15/2) diramaikan oleh 27 komunitas yang terbagi dalam 45 kelompok komunitas. Diantaranya Komunitas Peduli Malang, Raggae, Save Street Children, Neolath Community, Fotografi, dan Prasna Paramita. Bertempat di depan Makam Pahlawan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), masing-masing komunitas menampilkan aksinya tanpa memakai atribut sponsor. Baliho-baliho pun terpampang tanpa satupun logo sponsor baik produk maupun partai tertentu.

“Memang kami tidak ada sponsor. Coba cari kalau ada lapor saya,” ujar Muslich bersemangat. Pria yang tergabung dalam Neolath Community itu memaparkan bahwa acara ini mengajak siapapun tanpa embel-embel promosi. Ia mengakui ada beberapa politisi yang menawarkan bantuan dana, “Yawes, tak biayain,” ujarnya menirukan salah satu politisi yang menawarkan dana. "Kalau politisi pasti punya kepentingan. Kami tidak ingin terjebak dalam masalah itu," paparnya.

Pengakuan Muslich menyiratkan bahwa ia dan kawan-kawannya tak ingin diintervensi oleh pihak manapun. Karena tujuan para politisi

maupun perusahaan yang ingin dicantumkan logonya adalah untuk menyebarkan pandangan, ideologi, maupun memperkenalkan suatu produk barang yang baru. Komunikasi melalui tanda-tanda atau logo tertentu dibahas dalam ilmu semiotika.

Ferdinand De Saussure menjelaskan dalam semiotika, terdapat tanda dan penanda dalam logo tersebut. Tanda bisa berupa warna, isyarat, objek akan mempresentasikan sesuatu, sedangkan penandanya berupa makna yang dapat diartikan dari tanda tersebut. Pencantuman logo yang berfungsi sebagai tanda itu akan membuat masyarakat mengenal, mengingat dan bahkan mendukung ke lompok yang log onya dicantumkan sebagai bentuk penanda atau makna. Makna-makna inilah yang tidak diinginkan Muslich sebagai bentuk intervensi.

Padahal, bukan rahasia umum lagi bila sponsor tertentu selalu meminta logonya dipasang di semua atribut panitia maupun peserta. Acara dengan jumlah massa yang banyak tentu akan menguntungkan sponsor karena dagangannya dapat dikenal banyak orang atau para politisi dapat mencitrakan diri di mata masyarakat. Perilaku penawaran dan pencitraan tersebut sejatinya tak lebih sebagai perilaku pemasaran.[]

UAPM / Hanik

“Sebagai makhluk Tuhan yang beradab, kita perlu berdamai dengan sesama manusia, lingkungan dan alam sekitar,” ucap Imam Muslich, pendiri komunitas Neolath dalam pembukaan acara Bulan Cinta Damai Lingkungan Alam (15/02). Acara yang digelar di depan monumen pahlawan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) ini, disebut sebagai usaha menciptakan perdamaian di Bhumi Arema. “Tidak peduli apa agama kalian, dari mana asal kalian, jika kalian sudah ada di Bhumi Arema, maka hanya ada satu kata, salam satu jiwa!” seru Imam.

Acara ini pun dimaksudkan untuk meredam kericuhan antara mahasiswa asal Sumba dan Flores yang kerap kali terjadi di Malang. “Sumba dengan Sumba namun berbeda suku, Sumba dengan flores, mereka semua tak akur hingga ke Malang” jelas Imam. Ia lalu bercerita, di akhir bulan Januari kemarin, sesama mahasiswa yang berasal dari Sumba tapi berbeda suku berkelahi di kelas. Penyebabnya karena perbedaan pengartian kata. Perkelahian itu pun berakhir di jeruji besi. Data yang dihimpun Surabaya.tribunnews.com juga mencatat pernah terjadi bentrok antara mahasiswa Sumba dan mahasiswa ambon pada Mei lalu. Pihak berwajib akhirnya

berhasil mendamaikan kedua kubu melalui negosiasi.

Hal semacam itu yang tak diinginkan Imam. Menurutnya, penyelesaian pertikaian mahasiswa antar suku tidak selalu harus dengan jalan proses hukum, namun bisa dengan pendekatan budaya. Pendekatan budaya bisa dengan menyesuaikan budaya yang dibawa oleh mahasiswa asal Sumba dan Flores dengan budaya Malang.

Silius, salah satu mahasiswa asal Sumba yang juga ikut dalam acara itu berharap Malang bebas dari kerusuhan. “Kami mohon maaf. Kami dari timur kemarin-kemarin seringkali buat kerusuhan,” ujarnya. Ia dan teman-temannya sekarang ingin menunjukkan pada warga Malang kalau mereka juga bisa menjaga nama baik kota Malang. Senada dengan Silius, Angga Setiawan sebagai warga asli Malang yang juga hadir pada acara itu menginginkan 'mahas i swa t imur ' b i sa h idup berdampingan dengan warga malang. “Tawuran itu nggak penting. Yang penting bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri dengan warga M a l a n g a g a r d a p a t h i d u p berdampingan,” ucap Angga.[]

Oleh Miftahu Ainin dan Agil Subangkit

HADIRILAH LAUNCHING

MAJALAH INOVASI XXXI

Hari / Tanggal : Rabu, 25 Februari 2015Tempat : Depan Gedung Soeharto

Pukul : 07.00 - selesai

Gratis!Gratis!Gratis!