edisi vi/ april 2015 komunitas - psp3...

8
EDISI VI/ APRIL 2015 Menu Hari Ini Pahlawan di Tanah Kupang Hal ….8 Dari PSP3-IPB untuk Indonesia Komunitas SOSIOLOG Anthony Gidens menyebut dunia seakan berlari tunggang-langgang. Ia menjelaskan tentang perubahan sosial yang terus terjadi di banyak lini. Namun sejauh manapun peradaban manusia bergerak, satu hal yang harus tersedia adalah pangan. Manusia selalu butuh desa. Desa yang saya maksudkan di sini bukanlah desa dalam pengertian ruang atau wilayah. Desa yang saya maksudkan adalah desa dalam pengertian holistik, di dalamnya terdapat interaksi antara manusia dan ekologis, serta menyediakan sumber kehidupan bagi manusia di berbagai titik. Entah kenapa, peradaban kita seakan-akan melingkar di kota. Sejak sains modern muncul sebagai anak kandung dari tradisi pencerahan ala Eropa, kota- kota tumbuh dengan pesatnya. Kota menjadi jantung pemerintahan dan pemukiman. Sementara desa perlahan ditinggalkan. Tantangan terbesar kita hari ini adalah bagaimana mengembalikan denyut peradaban di level desa dan bagaimana mengembalikan seluruh dinamika sosial dan ekonomi untuk pengembangan desa. Tentu saja, proses tersebut harus dimulai dari pergeseran paradigma. Kita harus berani melakukan revolusi cara pandang yang selama ini melihat kota sebagai pusat. Saatnya menjadikan desa sebagai pusat sembari menata ulang bangunan pengetahuan, filsafat, serta sains yang bisa menjadi jawaban atas berbagai persoalan.Proses mengubah paradigma itu adalah tanggung jawab kita semua. Dr Sofyan Sjaf, Pemimpin Redaksi Menggeser Paradigma Quo Vadis Pendidikan Vokasi BEBERAPA bulan silam, Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan (PSP3) menggelar diskusi bertemakan pendidikan vokasi. Diskusi ini menghadirkan Prof Yonny Koesmaryono, Prof Eriyatno, Dr Bagus P Purwanto, dan dimoderatori oleh Dr Lala M Kolopaking. Diskusi ini masih aktual dan terasa gaungnya hingga kini. Betapa tidak, di saat pembangunan mulai dilaksanakan di pinggiran serta titik terluar, pendidikan masih menjawab kebutuhan bagi masyaraat yang berada di perkotaan. Pendidikan belum dikembangkan untuk menjawab problem di pedesaan, yakni bagaimana bisa menjadi senjata bagi masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan. “Pendidikan vokasi menjadi sangat strategis untuk mempercepat pembangunan di era pemerintahan baru. Apalagi pemerintah ini punya komitmen untuk memulai dari pinggiran,” kata Dr Lala M Kolopaking. Pendidikan vokasi adalah pendidikan yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan tertentu. Di Indonesia, pendidikan vokasi mencakup program pendidikan diploma 1, diploma 2, diploma 3, dan diploma 4 yang setara dengan program pendidikan akademik strata 1. Lulusan pendidikan vokasi diharapkan siap memberikan kontribusi bagi pembangunan. Berlanjut ke halaman 2 Riset PSP3 di Tahun 2015 Hal …. 3 Uji Coba Drone di Cisarua Hal ….4

Upload: vuongque

Post on 26-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

E D I S I V I / A P R I L 2 0 1 5

Menu Hari Ini

Pahlawan di Tanah Kupang

Hal ….8

Dari PSP3-IPB untuk Indonesia Komunitas

SOSIOLOG Anthony Gidens menyebut dunia seakan berlari tunggang-langgang. Ia menjelaskan tentang perubahan sosial yang terus terjadi di banyak lini. Namun sejauh manapun peradaban manusia bergerak, satu hal yang harus tersedia

adalah pangan. Manusia selalu butuh desa. Desa yang saya maksudkan di sini bukanlah desa dalam pengertian ruang atau wilayah. Desa yang saya maksudkan adalah desa dalam pengertian holistik, di dalamnya terdapat interaksi antara manusia dan ekologis, serta menyediakan sumber kehidupan bagi manusia di berbagai titik. Entah kenapa, peradaban kita seakan-akan melingkar di kota. Sejak sains modern muncul sebagai anak kandung dari tradisi pencerahan ala Eropa, kota-kota tumbuh dengan pesatnya. Kota menjadi jantung pemerintahan dan pemukiman. Sementara desa perlahan ditinggalkan. Tantangan terbesar kita hari ini adalah bagaimana mengembalikan denyut peradaban di level desa dan bagaimana mengembalikan seluruh dinamika sosial dan ekonomi untuk pengembangan desa. Tentu saja, proses tersebut harus dimulai dari pergeseran paradigma. Kita harus berani melakukan revolusi cara pandang yang selama ini melihat kota sebagai pusat. Saatnya menjadikan desa sebagai pusat sembari menata ulang bangunan pengetahuan, filsafat, serta sains yang bisa menjadi jawaban atas berbagai persoalan.Proses mengubah paradigma itu adalah tanggung jawab kita semua.

Dr Sofyan Sjaf, Pemimpin Redaksi

Menggeser Paradigma

Quo  Vadis  Pendidikan  Vokasi  BEBERAPA bulan silam, Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan (PSP3) menggelar diskusi bertemakan pendidikan vokasi. Diskusi ini menghadirkan Prof Yonny Koesmaryono, Prof Eriyatno, Dr Bagus P Purwanto, dan dimoderatori oleh Dr Lala M Kolopaking. Diskusi ini masih aktual dan terasa gaungnya hingga kini. Betapa tidak, di saat pembangunan mulai dilaksanakan di pinggiran serta titik terluar, pendidikan masih menjawab kebutuhan bagi masyaraat yang berada di perkotaan. Pendidikan belum dikembangkan untuk menjawab problem di pedesaan, yakni bagaimana bisa menjadi senjata bagi masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan.

“Pendidikan vokasi menjadi sangat strategis untuk mempercepat pembangunan di era pemerintahan baru. Apalagi pemerintah ini punya komitmen untuk memulai dari pinggiran,” kata Dr Lala M Kolopaking. Pendidikan vokasi adalah pendidikan yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan tertentu. Di Indonesia, pendidikan vokasi mencakup program pendidikan diploma 1, diploma 2, diploma 3, dan diploma 4 yang setara dengan program pendidikan akademik strata 1. Lulusan pendidikan vokasi diharapkan siap memberikan kontribusi bagi pembangunan.

Berlanjut ke halaman 2

Riset PSP3 di Tahun 2015

Hal …. 3

Uji Coba Drone di Cisarua

Hal ….4

2

EDISI VI/ APRIL 2015 NEWSLETTER PSP3-IPB

KOMUNITAS adalah newsletter yang diterbitkan oleh Unit Diseminasi dan Manajemen Pengetahuan, Pusat Studi Pembangunan, Pertanian, dan Pedesaan (PSP3), IPB yang bertujuan untuk menyebarkan gagasan-gagasan konstruktif demi perubahan sosial. Penanggung Jawab: Dr. Ir. Lala Kolopaking, Pemimpin Redaksi: Dr Sofyan Sjaf, Redaktur: Yusran Darmawan, Syafar Supardjan, Riza Hariwahyudi, Anom, Turasih, Cilla Apriande, Mu’min “Ganteng” Fahimuddin, Helmy “Tampan” Mihardja. Alamat Redaksi: Gedung Utama Kampus IPB Baranangsiang, Jalan Raya Pajajaran, Bogor 16144. Email: [email protected]

2

banyak. Memang, seringkali ada musim paceklik. Tapi, kita punya banyak pangan alternatif, mulai dari kedelai hingga jagung. “Yang harus kita lakukan adalah mengembangkan SDM di pedesaan, Teknologi bisa digerakkan oleh SDM yang mumpuni. Kita perlu kembangkan komunitas yang menjadi mitra IPB,” lanjutnya. Pertanyaan yang kemudian mencuat adalah bisakah masyarakat desa menjadi subyek pembangunan tatkala tak ada penguatan kapasitas dalam bentuk pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan serta praksis di lapangan? Prof Eriyatno mencoba menjawab pertanyaan itu. “Saya masih memiliki kekhawatiran bahwa secara sadar kita menanamkan neoliberalisme dalam pendidikan kita. Kita harus melihat kembali, tidak ada yang mengedepankan kerjasama. Kita kurang memberikan kerjasama. Visi vokasi adalah kerjasama. Pendidikan kita membuat segmentasi lulusan, pintar di kota, agak pintar di kabupaten, dan bodoh di desa. Inilah kondisi akademik kita. Dalam gotong royong kita menciptakan pendidikan yang maju bersama,” katanya. Pendapat ini jelas menarik sebab bermakna perlunya menyiapkan pendidikan yang menjawab kebutuhan masyarakat desa. Memosisikan manusia sebagai pusat bermakna bahwa mengarahkan pendidikan sebagai bagian dari proses pemanusiaan. Untuk itu, aspek identifikasi kebutuhan dasar menjadi penting, lalu menyusun satu Salah satu peserta, Prof Muladno, melihat pentingnya membangun mimpi sebagai negara yang memenuhi kebutuhan pangan. “Saat ini, kami sedang menjalankan pengembangan kawasan peternakan ini. Kami membangun Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) sebagai suatu gerakan sosial yang dimulai dengan membina 500 peternak. Dalam hal materi, teori hanya 5 persen, sedangkan praktek 95 persen,” katanya.(*)

1

Pendidikan vokasi diyakini sebagai jawaban atas semakin mendesaknya kebutuhan di level desa. Akan tetapi tafsiran tentang pendidikan vokasi itu yang kerap menimbulkan beragam interpretasi. Pertanyaan berikutnya, apakah Institut Pertanian Bogor (IPB) telah mengembangkan pendidikan vokasi yang tepat dalam koridor keberpihakan pembangunan ke wilayah terkecil? Dr Bagus P Purwanto banyak memaparkan tentang kiprah program diploma di IPB dalam hal pengembangan pendidikan vokasi yang berorientasi pada praktek. “Saat ini, kurikulum pendidikan diploma kita diarahkan pada 20 persen teori, dan sebanyak 80 persen praktek,“ katanya. Ia juga menjelaskan bahwa kurikulum di level diploma senantiasa menyesuaikan dnegan dinamika dan perkembangan masyarakat. “Kami senantiasa mengadakan evaluasi dan penyesuaian berdasarkan kebutuhan dari instansi yang menjadi mitra kami dalam mengembangkan program,” katanya. Ia juga menjelaskan tentang kondisi paling aktual di program diploma, yakni 18 program keahlian untuk D-3, sebanyak 7 keahlian untuk D-2, serta 11 keahlian untuk D-1. Tantangan besar yang dihadapi adalah bagaimana membumikan pendidikan vokasi untuk menjawab hal-hal yang tengah dihadapi masyarakat di level desa. Seiring dengan keluarnya Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, masyarakat desa diharapkan bisa menjadi subyek utama pelaksanaan pembangunan. Tak hanya itu, Prof Yonny mengungkapkan beberapa kenyataan yang snagat ironis. Beberapa pangan kita justru diimpor. “Data BPS sangat mengejutkan, Pangan kita, utamanya gandum, justru diimpor dalam jumlah besar. Padahal, semuanya bisa diusahakan di dalam negeri,” katanya. Prof Yonny melanjutkan, Indonesia banyak tertinggal dari negara lain. Padahal, sumberdaya negeri ini sangat

Dari halaman 1 Prof Yonny (kiri) dan Dr Lala M Kolopaking

3

EDISI VI/ APRIL 2015 NEWSLETTER PSP3-IPB

Riset PSP3 di Tahun 2015

2

Selain kementerian, kerjasama penelitian akan dilakukan dengan sejumlah pemerintah kabupaten. Di antaranya adalah Pandeglang (Banten), Mamasa (Sulawesi Barat), Ciamis (Jawa Barat), Sukabumi (jawa Barat), Bangka Belitung (Babel), dan Buton Selatan (Sulawesi Tenggara). Beberapa di antara pemerintah kabupaten itu telah lama menjadi kemitraan dengan PSP3. Tak hanya itu, di tahun 2015 ini, PSP3 juga akan menggelar riset dengan dua NGO internasional. Mereka adalah The Nature Conservacy (TNC) untuk kerjama pemetaan potensi daerah, serta UNDP mengenai eco-labelling. Kerjasama ini mengindiksikan pentingnya membangun basis data pengetahuan di masa-masa

mendatang. Jika dilihat dari sisi tema penelitian, tahun 2015 ini, penelitian yang paling bayak dilakukan adalah pemetaan potensi daerah. Hal ini dianggap penting sebab inovasi atas pemetaan terus berkembang serta selalu ada pengayaan metodologi. Tahun ini pula, PSP3

mengembangkan teknologi drone desa sebagai bagian dari

teknologi inklusif yang bisa digunakan masyarakat desa secara partisipatif. Dalam diskusi itu, Sofyan melihat bahwa riset hanyalah instrumen untuk menggapai beberapa hal yang lebih substansial. Di antaranya adalah bagaimana menjadikan riset sebagai pintu masuk bagi working paper, publikasi, serta mendorong perubahan sosial sesuai dengan visi lembaga. “Tahun lalu kita telah menerbitkan empat buku dan empat film dokumenter. Tahun ini kita harus mengulangi, sekaligus melampauinya. Riset kita tak hanya dipublikasi, tapi juga bisa mendorong perubahan sosial. Memang, ini tak mudah. Namun selagi kita memelihara semangat dalam diri kita, tak ada satupun kendala yang akan menjadi rintangan,” katanya.(*)

1

Di tahun 2015 ini, Pusat Studi Pembangunan, Pertanian, dan Pedesaan (PSP3) memiliki sjumlah agenda penelitian. Jika dipilah, maka agenda riset mendatang akan didominasi oleh kerjasama dengan beberapa kementerian, pemerintah kabupaten, dan Non Governmental Organization (NG). “Tahun ini kita akan mengerjakan riset bersama beberapa instansi. Di satu sisi, kita sudah terbiasa mengerjakan berbagai riset, akan tetapi di sisi lain, kita harus memikirkan sesuatu yang lain, sesuatu yang barangkali lebih substansial,” kata Sekretaris PSP3 Dr Sofyan Sjaf pada pertemuan dengan semua asisten peneliti, pekan silam. Hal substansial yang dimaksud adalah mengolah beberapa hasil riset menjadi publikasi yang berkontribusi pada penguatan wacana pedesaan di tanah air. Sofyan menyayangkan jika riset PSP3 tidak bisa dikembangkan menjadi buku, working paper, jurnal ilmiah serta beberapa rekomendasi untuk kebijakan pemerintah. “Yang harus kita kembangkan adalah bagaimana memandang semua riset kita sebagai langkah-langkah kecil untuk merencanakan sesuatu yang punya jejak abadi di masa mendatang,” katanya. Rapat itu juga memetakan beberapa rencana riset yang akan dilakukan. Pada tahun 2015 ini, riset akan banyak dilakukan dengan pihak kementerian, dalam hal ini Kemeterian Desa, Trasmigrasi, dan PDT terkait program drone desa. Lainnya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait pendidikan vokasi melalui Sekolah Peternakan Rakyat (SPR), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait pemetaan potensi daerah, serta Badan Pertahanan Negara (BPN) yang akan bekerjasama untuk membangun sistem informasi dan pemetaan lahan berkelanjutan.

Laporan: M Syafar Supardjan (Peneliti PSP3-IPB)

KERJASAMA   RISET   PSP3   TAHUN   2015.   Kementerian:   (1)   Kementerian   Desa,   Transmigrasi   dan   Pembangunan   Daerah  Tetinggal,   (2)   Kementerian   Dalam   Negeri,   (3)   Kementerian   Pendidikan   dan   Kebudayaan,   (3)   Badan   Pertahanan   Nasional  (BPN).   PEMERINTAH   KABUPATEN:     (1)   Mamasa   -­‐-­‐   Sulawesi   Barat,   (2)   Ciamis   -­‐-­‐   Jawa   Barat,   (3)   Bangka   Belitung,   (4)  Pandeglang-­‐   Jawa  Barat,     (5)  Sukabumi  -­‐   Jawa  barat,   (6)  Buton  Selatan  (Sulawesi  Tenggara),   (7)  Bali,   (8)  dll.  NGO:   (1)  The  Nature  Conservacy  (TNC),  (2)  UNDP.    

4

EDISI VI/ APRIL 2015 NEWSLETTER PSP3-IPB

Menatap Bumi Melalui Drone

2

pohon sawit yang kami lewati sebentar lagi akan masuk fase generatif. Hingga ke Desa Cisarua, Sukamaju, perjalanan kami tempuh kurang lebih dua jam. Perjalanan terhambat oleh kondisi jalan. Sejak dari tikungan hingga ke lokasi desa jalan yang kami tempuh rusak berat bahkan sudah tak beraspal. Tetapi kondisi jalan tertutupi oleh pemandangan persawahan dan gunung yang indah. Sawah-sawah terhampar luas menghijau dilembah gunung. Gunung-gunung itu berdiri kokoh seolah sedang menjaga kekayaan alam yang ada dikaki-kakinya. Setelah kurang lebih dua jam perjalanan, rombongan sampai ke lokasi tujuan. Kami langsung dijemput oleh Pak Said, contact person yang telah lama

menunggu. Kami langsung diarahkan ke saung uztad Jalal untuk istrahat sejenak meluruskan sendi yang kaku selama perjalanan. Udaranya begitu segar disini dengan pemandangan alam yang indah. Rupa-rupanya saung Ustad Jalal tepat bersisian dengan Taman Nasional Halimun Salak. Istrahat kami semakin sempurna saat disajikan kopi dan jagung rebus. “Begitu tenangnya berada disini, jauh dari hiruk pikuk kota. Mungkin ini yang dicari oleh orang-orang yang berkendara plat B tadi” bisikku dalam hati Pandanganku terlempar hingga ke ujung gunung paling jauh. Diantaranya masih terdapat vegetasi yang masih alami dan ada pula lahan yang telah diolah dengan sistem tera sering. Rasa decak kagum akan kebesaran Ilahi terus bergumul di dadaku melihat bentang landscape yang luar biasa. “Menurut GPS kita berada diketinggian 750 m dpl” kata Elson tiba-tiba memecah lamunanku sambil menyodorkan layar GPS digenggamannya. “Gimana menurutmu

melihat lokasi ini” tanyaku pada Aidil. Ia adalah tim perancang sekaligus penerbang drone desa di SDD. “Ini tantangan baru bagi saya bang, soalnya landscape nya terlalu berbukit-bukit” jawab Aidil. Tidak lama kemudian kami tiba di sebuah tanah lapang untuk di jadikan stasiun terbang. Sebelum terbang Aidil lalu memperkenalkan drone desa kepada tim dan masyarakat yang hadir.

1

Hari Minggu tanggal 29 Maret 2015, kami berkumpul masih pagi buta di depan kampus IPB Darmaga. Robongan kami terdiri delapan orang dibawah komando Pak Sofyan. Dua buah mobil Toyota Avanza yang kami gunakan telah siap full tank untuk mengantarkan kami ke tujuan. Segala peralatan terbang dan peralatan lainnya telah siap pula di mobil Pak Sofyan. Disinilah titik start rombongan tim Sekolah Drone Desa (SDD) PSP3-IPB untuk melakukan uji coba terbang drone desa. Tujuan kami adalah Desa Cisarua, Kec. Sukamaju, Kabu-paten Bogor. Menurut contact person kami yang telah berada disana, untuk menuju lokasi sebaiknya sebelum matahari terbit agar terhindar dari macet. Terlebih lagi di hari minggu. Entah me-ngapa setiap tanggal merah kenderaan ber-pelat B sangat ramai berjubel menyusuri setiap sudut bogor. Untuk berlibur katanya. Mesin mobil telah di turn on, bekal dan segala perlengkapan telah siap. Perlahan driver menginjak pedal gas dan mobil kami melaju dengan stabil. Sisi kanan kiri jalan dipenuhi bangunan padat namun masih belum ramai seperti biasanya. Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan, mobil yang kami tumpangi mengambil tikungan ke kiri. Beberapa kilometer dari ujung tikungan, nuansa agraris mulai pekat. Mata kita disuguhkan pemandangan perkebunan sawit yang dikelola oleh PTPN. Pohon-pohon sawit berbaris kokoh laksana tentara yang sedang upacara. Dibagian bawahnya sangat rimbun dan teduh karena ujung-ujung daun antar pohon sawit telah bersentuhan. Pohon-

Laporan: Muh Mu’min Fahimuddin, (Peneliti PSP3-IPB)

5

EDISI VI/ APRIL 2015 NEWSLETTER PSP3-IPB

2

Uji coba terbang drone desa lalu dinjutkan di Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga. Di Desa Cikarawang dilakukan uji coba terbang drone desa tipe QC dan SW. Saat uji coba diperoleh citra atau foto udara yang berkualitas baik. Drone Desa dapat menghasilkan citra udara terkait lahan yang menjadi sumber data dasar geospasial desa. Data dasar citra udara ini diolah dengan analisis spasial untuk menganalisis isu-isu strategis desa dan penyusunan program2 strategis pembangunan desa. Isu-isu strategis di desa yang bisa di dekati dengan Drone Desa adalah penataan ruang desa, daya dukung lahan desa, ketersediaan pangan, mitigasi kebencanaan, pemetaan potensi desa, profil desa, dan lain sebagainya. Selain itu,

Drone Desa dapat digunakan untuk perencanaan dan pengelolaan Kawasan Perdesaan. Berdasarkan uji coba yang dilakukan, hasil citra udara Drone Desa memiliki resolusi yang lebih baik dari citra satelit sekelas Worldview dan Quickbird. Tak terasa hari sebentar lagi gelap. Drone desa telah cukup lama menjelajahi udara. Rasa capek dan lelah kami terobati

dengan pengalaman berharga yang diperoleh. Data-data hasil terbang telah siap untuk diolah dan dianalisis. Kami lalu bergegas mengemasi peralatan sebelum hari menjadi betul-betul gelap. Kami semua menyimpan asa yang sama. Semoga dengan Drone Desa bisa ikut membantu dan berkontribusi dalam menemukan solusi atas permasalahan desa di bangsa ini. Mari Wujudkan desa yang Mandiri dan Sejahtera...!!

1

Drone Desa ini merupakan hasil rakitan sendiri Tim Sekolah Drone Desa (SDD) PSP3-IPB. Ada dua tipe drone desa yang dirakit oleh tim SDD-PSP3 IPB. Pertama tipe Quad Copter (QC) dan kedua tipe Sky Walker (SW). Tipe Quad Copter terdiri dua ukuran yakni diameter 45 cm dan diameter 65 cm. QC 45 memiliki bobot 2 kg dengan tinggi jangkauan terbang maksimal 300 meter selama 20-30 menit. Kecepatan terbang rata-rata 25 m/s. QC 45 digunakan untuk drone pemantau daerah sekitar sekitar. Hasil pantauan QC 45 menjadi data awal bagi tim terkait lokasi untuk menentukan luasan areal terbang, ketinggian terbang, stasiun dan hal-hal teknis lainnya. Selain itu hasil pantauan QC 45 juga menjadi informasi penunjang untuk menentukan jalur tracking terbang melalui Mission Planner. QC 65 memiliki bobot 2,5 kg dengan ketinggian terbang hingga 500 m dengan kecepatan terbang rata-rata 30 m/s. QC 65 dapat terbang selama 30 menit dengan hasil capture 60 ha. QC 65 digunakan untuk areal maksimal 100 ha dalam sehari. Sky walker (SW) memiliki bobot 3 kg dengan lebar sayap 1,9 m. SW digunakan untuk ketinggian terbang 300 – 500 m. sekali terbang selama 30-45 menit dengan luasan capture 700 ha dan kecepatan 60 m/s. SW digunakan untuk pemetaan lahan diatas 1000 ha. Tapi sayang di Desa Cisarua, Kec. Sukamaju tidak dapat dilakukan penerbangan dengan mission planner karena di lokasi tidak dideterksi sinyal. Akibatnya tidak dapat ditemukan lokasi desa di mission planner ataupun terkoneksi dengan google map. Namun demikian penerbangan drone desa tetap dilakukan bersama masyarakat.

“Isu-isu strategis di desa yang bisa di dekati dengan Drone Desa adalah penataan ruang desa, daya dukung lahan desa, ketersediaan

pangan, mitigasi kebencanaan, pemetaan potensi desa, profil desa, dan lain sebagainya.

Selain itu, Drone Desa dapat digunakan untuk perencanaan dan pengelolaan

Beberapa peneliti Pusat studi Pembangunan, Pertanian, dan Pedesaan (PSP3) IPB berpose di sela-sela uji coba menerbangkan drone desa

6

EDISI VI/ APRIL 2015 NEWSLETTER PSP3-IPB

Rampung, Riset Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

2

daerah, seyogyanya mengembangkan media yang bertujuan untuk melakukan proses komunikasi dan koordinasi untuk sosialisasi regulasi terkait tanah. Yang seharusnya dibangun adalah sistem informasi pertanahan yang kokoh dan menyediakan beragam informasi. Upaya yang dilakukan adalah: (1) Memberdayakan berbagai institusi (kementerian, lembaga, dan SKPD) di berbagai aras agar akses pada sumber data LP2B; (2) Meningkatkan partisipasi pemangku-kepentingan dalam media komunikasi dan koordinasi; (3) Meningkatkan kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan sistem informasi LP2B; (4) Menjalin simpul-simpul jaringan dengan kompleksitas

yang rendah di berbagai aras sistem informasi LP2B; dan (5) Memelihara kelembagaan

(maintenance) untuk mengurangi kemerosotan kapasitas kelembagaan sistem informasi LP2B. Untuk membangun dan mengembangkan kelembagaan sistem informasi LP2B maka Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan lembaga vertikal di bawahnya, yaitu Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang provinsi dan Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang kabupaten/kota menjadi “Unit Kliring” sistem informasi LP2B di berbagai aras: pusat (nasional), provinsi, dan kabupaten/kota.

Nantinya, berbagai kementerian dan lembaga di tingkat pusat, dan SKPD di aras provinsi dan kabupaten/kota menjadi “Unit Produksi” dalam sistem informasi LP2B. Pola relasi antara “Unit Kliring” dan “Unit Produksi” baik secara horizontal dan vertikal menjadi “media” atau “simpul-jaringan” komunikasi dan koordinasi baik secara personal, institusional, dan on-line system untuk memperkuat sumberdaya manusia dan kelembagaan kementerian, lembaga, dan SKPD dalam operasionalisasi sistem informasi LP2B.(*)

1

TIM peneliti Pusat Studi Pembangunan, Pertanian dan Pedesaan (PSP3) merampungkan satu riset mengenai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Riset ini dilakukan di Mojokerto, Gresik, dan Sidoarjo. Mereka yang ikut dalam tim riset ini adalah Dr Ir Baba Barus, Sofyan Sjaf, Julio Adi Santoso, Tony Fredian Nasdian, La Ode Samsul Iman, Suci Armelia Sanur, dan Riza Hariwahyudi. Kajian ini berawal dari temuan lapangan tentang banyaknya permasa-lahan terkait penguasaan pemili-kan lahan akibat pertumbuhan pendidik. Banyak lahan pertanian yang dialihfung-sikan menjadi perumahan atau-pun ruko. Keba-nyakan lahan dimiliki para pe-ngusaha, dan sedikit sekali yang dimiliki oleh petani. Kalaupun lahan itu dimiliki petani, maka biasanya akan dijual ketika keadaan ekonominya mendesak. Bersama tim pene-liti, saya ikut ke lapangan penelitian demi mengidentifikasi berbagai data, lalu menyusun rekomendasi bersama. Tim peneliti lalu merekomendasikan agar pemerintah segera campur tangan untuk menyelamatkan lahan pertanian tersebut. Pemerintah harusnya membangun satu basis data yang kuat melalui LP2B agar kelak lahan tersebut tidak habis serta bisa menjamin ketersediaan beras di masyarakat. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agraria dan

Tata Ruang serta instansi di

Laporan: Riza Hariwahyudi (Peneliti PSP3-IPB)

"Pertanian adalah soal hidup matinya suatu bangsa"

-- Bung Karno, Presiden RI pertama saat peresmian kampus IPB Baranangsiang, 27 April 1952

7

EDISI VI/ APRIL 2015 NEWSLETTER PSP3-IPB

Dua peneliti PSP3, Aidil dan Helmy, tengah menyiapkan squadcopter

MATAHARI  belum  lagi  nampak  ketika  peneliti  Pusat  Studi   Pembangunan,   Pertanian,   dan   Pedesaan  (PSP3)   IPB   memulai   hari.   Di   Desa   Cisarua,  Kecamatan   Sukamaju,   Kabupaten   Bogor,   para  peneliti   bersiap-­‐siap   untuk   melakukan   uji   coba  menerbangkan  drone  dan  skywalker.      Mereka   yang   muda   itu   dipandu   oleh   hasrat   untuk  memberdayakan  desa.  Ada  semangat  dan  keyakinan  bahwa   teknologi   drone   bisa  membantu  masyarakat  desa  untuk  membuat  perencanaan  yang  matang  bagi  desanya.   Ada   pengharapan   tentang   desa-­‐desa   yang  kuat,   memiliki   basis   data   dan   pengetahuan   yang  kokoh,   serta   bisa   menjawab   berbagai  permasalahan.    

Saat  Uji  Coba  Drone  

Teks dan foto: Yusran Darmawan

Para peneliti menyiapkan skywalker (kiri). Salah satu hasil pemotretan melalui drone (bawah)

Para peneliti itu dipandu satu keyakinan bahwa segala niat baik, pastilah akan membawa manfaat bagi orang lain. Bahwa setiap gagasan pastilah akan selalu menemukan jalannya untuk bergerak. Teks dan Foto: Mu’min “Ganteng” Fahimuddin

Para Pahlawan di Tanah Kupang

2

mengunjungi banyak desa demi menemukan lalu melestarikan benih sorgum lokal, padi hitam, jewawut, jelai, padi merah, jagung merah, jagung ungu, jagung pulut, wijen hitam, wijen coklat. Tanaman ini memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik dari beras. Sayangnya, tanaman itu mulai langka di Flores.

Harapan yang dianyamnya terus ditebar ke mana-mana. Dari rumah sederhana yang ditinggalinya, alumnus fakultas hukum sebuah universitas di Malang ini lalu menebar inspirasi ke mana-mana. Ia memberikan bibit gratis hasil kebunnya kepada petani agar ikut menanam tanaman-tanaman lokal. “Daratan Flores 70 persen

adalah lahan kering, tidak bisa mengandalkan beras. Saya berharap bisa membantu banyak orang” ungkapnya.

Sebuah inspirasi memang selalu memiliki kaki-kaki untuk bergerak. Ia membentuk kelompok tani yang bernama Cinta Alam Pertanian serta mengajak petani untuk kembali menanam tanaman pangan lokal. Kini, ia mendampingi tujuh kelompok petani di Flores Timur, Ende, Manggarai Barat dan Nagekeo. Total luas lahan petani yang didampingi Mama Loretha sudah mencapai kurang lebih 11 hektar. Loretha memberi kontribusi pada upaya untuk melawan krisis pangan dengan bertumpu pada penguatan pangan lokal.

***

Mama Loretha adalah satu dari sekian banyak pribadi-pribadi hebat di Kupang. Selain dirinya, ada pula anak muda yang tergabung dalam Geng Motor Imut yang setia mengajari warga desa mengenai ternak. Ada pula anak-anak muda yang membuat gerakan Kupang Berkebun demi membantu warga untuk mengembangkan perkebunan di tengah kota. Terselip kisah tentang mereka yang bekerja diam-diam

untuk menghijaukan hutan serta mengembalikan keanekaragaman hayati.

Di Tanah Kupang, saya beruntung sebab bisa bertemu sejumlah pahlawan yang bekerja secara diam-diam, dan tanpa publikasi, demi melihat negeri ini menjadi lebih baik. Saat itu, saya memikirkan rumusan perubahan yakni Ideas + Action = Change. Rumus ini sangatlah inspiratif sebab semua perubahan besar selalu dimulai dari gagasan sederhana yang kemudian diwujudkan dalam tindakan-tindakan kecil. Ide ibarat tanaman yang dipupuk oleh i angan-angan untuk melakukan sesuatu. Tanpa tindakan, maka ide akan terperangkap dalam lemari sejarah dan kehilangan momentum untuk berdetak dijantung perubahan.

Pada pribadi seperti Mama Loretha, kita menyandarkan harapan bahwa bangsa ini kuat bukan karena para politisinya yang memenuhi media dengan iklan tentang kehebatan atau serta kekayaan berlipat-lipat. Bangsa ini akan kokoh sebab di dalamnya terdapat sejumlah manusia-manusia biasa yang bertindak luar biasa demi menghadirkan senyum di wajah orang lain. Mereka menguatkan hati serta jiwa bangsa. Merekalah pahlawan-pahlawan sejati yang bekerja untuk negeri.

Yusran Darmawan

1

DI tengah lahan kering bumi Nusa Tenggara Timur (NTT), di tengah padang-padang terbuka bumi Flobamora yang merindukan air hujan, di tengah batu-batu bertanah yang sukar ditanami dan menyisakan kekeringan, terdapat sejumlah pribadi hebat yang menjadi inspirasi zamannya. Mereka adalah warga biasa yang tak dikalahkan oleh keadaan. Mereka adalah oasis di tengah kekeringan yang menjadi mata air kecemerlangan serta simbol atas mereka yang mendedikasikan dirinya untuk orang banyak. Mereka menyadarkan kita semua bahwa republik ini masih punya harapan.

***

PEREMPUAN itu bernama Maria Loretha. Usianya sekitar 40-an tahun. Beberapa hari lalu, ia datang ke Kupang sambil membawa beberapa jenis benih. Ia menyusun bibit sorgum, jewawud, serta beberapa benih lokal lalu meletakkannya di atas meja. Pada pertemuan yang diadakan oleh Oxfam, sebuah lembaga yang concern dengan isu perubahan iklim, Maria datang untuk ikut berbagi pengalaman.

Tadinya saya tak tahu apa profesinya. Saat memperkenalkan diri, ia menyebut dirinya sebagai petani di Adonara, Flores. Tak ada sedikitpun rasa minder ketika memperkenalkan diri. Di saat banyak orang merasa malu berprofesi sebagai petani, ia justru menyebutnya dengan penuh kebanggaan. Mulanya ia tak banyak berbicara. Namun saat mulai berkisah, saya tiba-tiba saja melihat untaian inspirasi pada kisah-kisah sederhana yang dikemukakannya.

Di saat banyak orang tak ingin menjadi petani, ia justru memilih profesi itu. Lahan kering di Adonara menjadi tantangan pertama yang harus ditaklukannya. Ia lalu memutar otak demi menemukan solusi atas lahan kering.

Namun, sebagaimana dikatakan Mahatma Gandhi, alam memang selalu murah hati kepada manusia. Di tahun 2005, Maria Loretha lalu menemukan inspirasi untuk menanam pangan khas wilayah itu seperti sorgum dan jewawut. Pilihan ini dianggapnya strategis sebab tanaman itu telah lama tumbuh dan menjadi pangan utama di wilayah itu. Hanya saja, tanaman ini seakan terabaikan sebab masyarakat beralih untuk mengonsumsi beras yang didatangkan dari luar. Pantas saja jika warga NTT sering mengalami krisis pangan.

Mama Loretha, demikian ia disapa, berpikir bahwa krisis pangan mulai terjadi sejak masyarakat beralih menjadi pengonsumsi beras. Di saat pasokan beras dari luar berkurang, krisis pangan bisa merebak bak jamur di musim hujan. “Saya berpikir bahwa jika saja masyarakat setia dengan pangan lokal yang merupakan anugrah Tuhan sejak wilayah ini terbentuk, maka mustahil ada krisis pangan di sini,” katanya dengan penuh semangat.

Di Dusun Waiotan, Desa Pajiniang, Mama Loretha merenda harapan. Ia lalu berburu benih lokal untuk diselamatkan serta disedekahkan kepada bumi lewat proses menanam. Ia