edisi 15, 2018 taxguide - mucglobal.com · cakupan manfaat pajak justru lebih luas ketimbang zakat...

10
TAXGuide Edisi 15, 2018 Enrich your Knowledge Siapa Berhak Jadi Kuasa Wajib Pajak? Reformasi Perizinan Usaha Jalan di Tempat? 5 3 8 Zakat dan Pajak Jalan Menuju Fitri

Upload: hoangdang

Post on 13-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TaxGuide 1

TAXGuideEdisi 15, 2018

Enrich your Knowledge

Siapa Berhak Jadi Kuasa Wajib Pajak?

Reformasi Perizinan Usaha Jalan di Tempat?

53

8

Zakat dan Pajak Jalan Menuju Fitri

Executive Management

Editorial Team

Design & Distribution

EditorialNotes

Sugianto Muhammad Razikun Karsino Wahyu Nuryanto Imam SubektiMeydawatiIka Fithriyadi

Agust SupriadiYasmine TiaraFhadhila R. PutriAsep Munazat ZatnikaCindy Miranti Novi AstutiRathihanda BatamNatasha Adelina

M. Trisna IndraM. Budhi KurniawanIksan Sadar

Tax Guide merupakan materi publikasi bulanan MUC Consulting Group, yang berisikan perkembangan informasi perpajakan dan akuntansi terkini. Redaksi menerima kontribusi naskah berupa foto dan opini yang berkaitan dengan dunia perpajakan dan akuntansi. Opini yang ditampilkan di Tax Guide tidak mempresentasikan pandangan MUC Consulting Group

Alamat Redaksi

MUC Building 4th floorJl. TB Simatupang 15, Tanjung Barat

Jakarta (12530)Phone: +6221 788 37111

Fax: +6221 788 37 666Email: [email protected]

Assalamulaikum Wr. Wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Selamat merayakan Hari Kemenangan, terutama bagi umat Muslim yang memperingati Idul Fitri, hari di mana manusia kembali kepada fitrah dan jati dirinya sebagai hamba Allah SWT.

Momentum hari raya ini menginspirasi Tax Guide untuk menulis soal pentingnya pajak sebagai salah satu instrumen menyucikan harta Wajib Pajak.

Untuk itu, kami memuat artikel terkait fenomena kepatuhan wajib pajak dari sudut pandang agama dan moral. Membayar pajak selama ini dianggap sebagai kegiatan formal warga dengan negara, padahal keberadaannya harus dipahami sebagai tanggung jawab sosial.

Selain itu, edisi kali ini juga menyajikan artikel yang menyoroti kebijakan reformasi perizinan usaha melalui Online Single Submission (OSS) yang terkesan jalan di tempat. Sebab, dari target peluncuran 20 Mei hingga saat ini OSS belum dapat diakses.

Kemudian, kami juga mengulas putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU KUP yang mengabulkan gugatan seorang advokat yang keberatan terhadap pasal yang membatasi kriteria kuasa Wajib Pajak. Keputusan itu menimbulkan polemik karena wilayah yang selama ini dikuasai oleh konsultan pajak menjadi terbuka bagi siapapun yang memahami perpajakan untuk bisa menjadi kuasa Wajib Pajak.

Pada rubrik infografis, kami memvisualisasikan mekanisme klaim zakat sebagai pengurang penghasilan neto (penghasilan kena pajak).

Akhir kata, kami segenap redaksi dan manajemen MUC Consulting Group mengucapkan selamat Idul Fitri 1439H. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga apa yang kami sampaikan dalam Tax Guide selama ini bisa memberikan pencerahan bagi kita semua, serta bermanfaat bagi pembaca sekalian. Selamat membaca. Wassalamualaikum, Wr. Wb.

Jakarta, Juni 2018

Imam Subekti

TaxGuide2

Sugianto Muhammad Razikun Karsino Wahyu Nuryanto Imam SubektiMeydawatiIka Fithriyadi

Agust SupriadiYasmine TiaraFhadhila R. PutriAsep Munazat ZatnikaCindy Miranti Novi AstutiRathihanda BatamNatasha Adelina

M. Trisna IndraM. Budhi KurniawanIksan Sadar

MUC Building 4th floorJl. TB Simatupang 15, Tanjung Barat

Jakarta (12530)Phone: +6221 788 37111

Fax: +6221 788 37 666Email: [email protected]

Bulan ini, ada momen keagamaan yang punya peran besar dalam menjaga relasi antara umat dan negara, terutama bagi kaum Muslim. Adalah bulan Ramadhan yang ditutup dengan Hari Raya Idul Fitri, hari kemenangan yang memberikan kesempatan bagi umat untuk kembali kepada fitrahnya atau naluri kemanusiaan yang bersih.

Zakat dan Pajak Jalan Menuju Fitri

Tentu saja hal ini terkait dengan serangkaian ibadah yang dilakukan oleh umat Islam yang salah satunya adalah zakat. Dalam konteks agama, zakat merupakan wujud empati umat terhadap kaum di sekitarnya yang kurang beruntung secara ekonomi dan sosial. Sedangkan dalam konteks bernegara, konsep zakat berlaku pula dalam sistem perpajakan modern di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Seperti yang dituturkan oleh Masdar Farid Masudi (2005), zakat-pun, dalam perkembangannya, sudah banyak dianggap sebagai administratif kelembagaan, bukan hanya berdasarkan komitmen kerohanian. Sejak zakat disyariatkan 14 abad silam, objek zakat pun berkembang, tak hanya untuk jenis penghasilan tertentu yang sifatnya wajib dizakati.

Zakat dipandang sebagai kewajiban umat kepada Tuhan dan, seperti halnya pajak, memiliki kaitan yang erat dengan tanggung jawab sosial. Satu sisi dipahami sebagai perintah yang harus ditaati, sisi lainnya sebagai kehendak yang harus diterima dengan keikhlasan.

Karenanya, wajar jika pemerintah—dalam hal ini otoritas pajak—menggunakan pendekatan moral hingga spiritual (agama) untuk menggugah dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Pendekatan-pendekatan religi banyak digunakan untuk mengubah paradigma Wajib Pajak yang mayoritas menganggap pajak sebagai pungutan yang memaksa ketimbang menjadikannya sebagai sebuah kewajiban dasar setiap warga negara.

Pajak merupakan alat negara dalam melakukan distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan, yang dapat didefinisikan berbeda tergantung pendekatannya. Dari kaca mata agama, pajak sejatinya merupakan sarana ibadah yang dapat dipersamakan dengan zakat atau sedekah yang dibayarkan secara sadar demi kemaslahatan bersama.

Cakupan manfaat pajak justru lebih luas ketimbang zakat atau sumbangan keagamaan karena manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat bawah tanpa melihat latar belakang agama, suku, warna kulit, ataupun status ekonomi.

TaxGuide 3

Dominasi pajak atas sumber pendapatan negara memang sudah tidak bisa ditawar lagi. Kondisi ini menimbulkan ketergantungan akut pada mayoritas negara di dunia terhadap penerimaan pajak, termasuk Indonesia. Namun, kepatuhan Wajib Pajak yang rendah menjadi masalah otoritas pajak, terutama di Indonesia.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), saat ini jumlah Wajib Pajak yang terdaftar sebanyak 38,6 juta. Jumlah tersebut sangat timpang jika dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang memiliki penghasilan atau bekerja yang terekam oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dimana, per Februari 2018, mencapai 127,07 juta.

Ketimpangan data pembayar pajak tersebut juga tercermin dari rasio penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio yang tercatat hanya 10,9% pada akhir tahun 2017. Angka tersebut sangat rendah dibandingkan dengan tax ratio negara-negara tetangga di Asia dan masih jauh dari target yang ingin dicapai pemerintah di tahun 2018 yakni 14% PDB.

B e r b a g a i upaya untuk menumbuhkan k e s a d a r a n warga negara untuk patuh m e m b a y a r pajak telah dan terus d i u p a y a k a n p e m e r i n t a h , mulai dari p e n d e k a t a n yang halus hingga yang tegas. Antara lain, yang baru-baru ini dilakukan adalah dengan memberikan pengampunan pajak atau tax amnesty. Antitesis dari kebijakan ini adalah dengan mengeluarkan ancaman paksa badan (gijzeling) dan juga pencekalan ke luar negeri bagi wajib pajak yang menunggak pajak.

Masalah penerimaan pajak ini sebetulnya tidak perlu menjadi serius apabila semua pihak memiliki pandangan yang sama akan keberadaan pajak, yaitu sebagai alat untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Ada banyak faktor yang memengaruhi persepsi pajak di mata masyarakat. Salah satunya adalah maraknya praktik korupsi uang pembayar pajak seperti yang pernah diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pajak periode 2011-2015 Fuad Rahmany.

Moralitas dalam Pajak

Upaya membangun kesadaran melalui pendekatan religi tidaklah salah karena hampir semua ajaran agama memang sudah mengenal konsep pajak atau iuran wajib yang diberikan umat kepada pemimpin atau yang berhak.

Beberapa waktu lalu, masyarakat sempat dibuat kaget oleh beredarnya leaflets yang disebarkan DJP. Di dalam leaflet itu,

termuat konten yang cukup sensitif karena mengutip sejumlah ayat dalam kitab suci. Pesan yang disampaikan di dalamnya adalah seruan kepada masyarakat untuk taat membayar pajak.

Pendekatan religi dilakukan untuk mengimbangi kampanye masif untuk taat pajak melalui penegakan hukum yang bersifat memaksa. Hal ini adalah sebuah upaya ekstra pemerintah yang patut untuk direnungkan bersama sebagai warga negara yang beragama.

Dalam perspektif perpajakan global, dikenal istilah tax morality. James Alm dan Benno Torgler dalam tulisannya, Do Ethics Matter? Tax Compliance and Morality, menjelaskan bahwa manusia tidak selalu bersifat egois dan selalu mementingkan diri sendiri.

Perilaku manusia juga dipengaruhi oleh aspek moral, norma-norma sosial, kewajaran, atau

faktor lain yang dapat disebut sebagai etika. Dengan melalui etika ini,

perilaku manusia bisa diarahkan untuk meningkatkan tax

compliance.

Sementara, Mohammad Rifky (2013) menulis

bahwa tax morality erat kaitannya dengan kepercayaan wajib pajak terhadap pemerintah dan rasa nasionalisme wajib pajak. Dalam hal ini, kepercayaan t e r s e b u t m e n y a n g k u t pelayanan publik, k e p e r c a y a a n

terhadap pemimpin, dan administrasi

perpajakan yang berkeadilan.

Kembali Suci

Setiap tahunnya, selalu ada ritual keagamaan yang sebenarnya

menyadarkan setiap manusia akan pentingnya menjaga keseimbangan empati

sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial. Hari raya Idul Fitri dan hari raya keagamaan lainnya sejatinya bisa

menjadi momentum bagi setiap insan untuk kembali ke fitrah dengan menunaikan zakat, pajak, atau sumbangan keagamaan lain yang sifatnya wajib.

Tentu harapannya adalah kepatuhan membayar pajak dan sumbangan keagamaan tidak hanya muncul saat momen besar keagamaan, tetapi dijaga konsistensi pembayarannya setiap menerima penghasilan.

Dengan semakin banyak rakyat yang patuh membayar pajak dengan benar, semakin banyak uang yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan. Pada akhirnya, semua pihak akan merasakan “kemenangan” seperti halnya kemenangan pribadi di hari yang suci. Masyarakat yang merasakan kemenangan akan menjadikan negaranya maju dan bermartabat seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.

Mari kita sempurnakan ibadah dengan meningkatkan kepedulian sosial terhadap sesama dengan menjadikan pajak sebagai sebuah keharusan, bukan beban. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H bagi umat Muslim dan yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin.

TaxGuide4

TaxGuide 5

Siapa Berhak Jadi

Kuasa Wajib Pajak?

Mahkamah Konstitusi belum lama ini mengabulkan gugatan seorang advokat—yang pernah tiga kali ditolak menjadi kuasa Wajib Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak. Adalah Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang menjadi pokok perkara uji materi.

Bunyi pasal tersebut adalah: Persyaratan serta pelaksanaan hak atau kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pendelegasian kewenangan dari undang-undang kepada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) itu dinilai inkonstitusional karena memberikan kewenangan yang berlebih kepada Menteri Keuangan. Dalam kasus yang dialami penggugat, implementasi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP oleh Menteri Keuangan dianggap membatasi hak konstitusional warga negara—dalam hal ini advokat—untuk menjadi kuasa Wajib Pajak.

Kewenangan yang dipersoalkan tersebut tertuang dalam PMK Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa. Menteri Keuangan, dalam PMK tersebut, menetapkan hanya konsultan pajak dan karyawan Wajib Pajak yang bisa menjadi kuasa Wajib Pajak. Dengan demikian, tertutup ruang untuk profesi selain keduanya untuk bisa menjadi kuasa Wajib Pajak. Syarat utama untuk menjadi seorang kuasa adalah konsultan pajak ataupun karyawan Wajib Pajak harus memahami dan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Untuk membuktikan hal tersebut, seorang konsultan pajak harus mengantongi Sertifikat Konsultan Pajak (SKP) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk sebagai bukti memiliki izin praktik berdasarkan tingkat keahliannya di bidang perpajakan (A, B, atau C). Adapun pra-syarat untuk mendapatkan SKP atau izin praktik adalah konsultan pajak harus lulus Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP). Ujian jenjang profesi konsultan pajak tersebut diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara USKP yang dibentuk oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Pensiunan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga dimungkinkan menjadi konsultan pajak atau kuasa Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu. Selain mempertimbangkan masa bakti di DJP, izin praktik dapat diberikan kepada pensiunan pegawai DJP setelah lulus ujian penyetaraan tingkat sertifikasi konsultan pajak.

Sedangkan, bagi karyawan Wajib Pajak, untuk membuktikan bahwa dirinya memahami perpajakan dan kompeten sebagai kuasa Wajib Pajak, karyawan tersebut harus bisa menunjukkan legalitas berupa sertifikat brevet di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan kursus brevet pajak; ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan minimal tingkat Diploma III yang diterbitkan oleh

TaxGuide6

Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A; atau SKP.

Syarat yang hampir sama juga berlaku untuk kuasa hukum Pengadilan Pajak. Selain wajib memiliki ijazah formal/sertifikat brevet, seorang kuasa hukum Pengadilan Pajak juga harus mengantongi izin kuasa hukum dari Ketua Pengadilan Pajak.

Apabila menilik kembali UU KUP, syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak adalah memahami masalah perpajakan. Artinya, siapa pun dimungkinkan menjadi kuasa Wajib Pajak sepanjang punya pemahaman yang mumpuni tentang masalah perpajakan. Sedangkan, pengaturan teknis yang dilakukan oleh Menteri Keuangan justru sebaliknya, membatasi siapa-siapa saja yang menurutnya layak mendampingi atau mewakili Wajib Pajak.

Dalam kasus ini, advokat penggugat dianggap tidak memenuhi kualifikasi Kuasa Wajib Pajak karena tidak punya izin praktik konsultan pajak—kendati yang bersangkutan telah mengantongi Sertifikat Perpajakan Brevet A dan B dari perguruan tinggi negeri ternama.

Implikasi

Dalam memutus perkara uji materi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, Mahkamah Konstitusi menilai implementasi dari pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya

berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara. Dengan kata lain, pasal tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang hanya mengatur hal-hal yang bersifat teknis terkait kuasa Wajib Pajak.

Permasalahannya, UU KUP tidak mengatur lebih rinci teknis dan kriteria orang yang dapat menjadi kuasa Wajib Pajak. UU KUP juga tidak mengatur dengan jelas standar pemahaman perpajakan yang harus dimiliki kuasa Wajib Pajak. Kewenangan lebih lanjut mengenai hal itu justru didelegasikan kepada Menteri Keuangan dengan menerbitkan PMK Nomor 229/PMK.03/2014 yang justru membatasi profesi kuasa Wajib Pajak.

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa pembatasan kuasa Wajib Pajak dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak. Namun, penetapan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa Wajib Pajak justru diserahkan sepenuhnya kepada Menteri Keuangan cq DJP, yang dalam keseharian pasti “berhadapan” dengan Wajib Pajak di lapangan.

Dengan demikian, bukan persyaratan atau pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa Wajib Pajak yang dipersoalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Melainkan lebih kepada pendelegasian kewenangan kepada Menteri Keuangan yang kebablasan karena dalam praktiknya justru rentan terjadi konflik kepentingan.

TaxGuide 7

Seharusnya, hal-hal terkait pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan, atau pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara diatur dalam regulasi setingkat undang-undang. Dalam hal kuasa Wajib Pajak, undang-undang sangat perlu menjabarkan kompetensi dan pemahaman yang harus dimiliki kuasa Wajib Pajak, termasuk persyaratan dan aturan pelaksana hak dan kewajibannya.

Preferensi

Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang berhak menjadi kuasa Wajib Pajak? Yang pasti, dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63/PUU-XV/2017, profesi kuasa Wajib Pajak tidak lagi bisa dimonopoli oleh konsultan pajak. Artinya, siapa pun—selama kompeten dan memahami perpajakan—dimungkinkan menjadi kuasa Wajib Pajak.

Namun, kompetensi dan pemahaman perpajakan ini akan terus menjadi perdebatan jika tidak jelas pembuktiannya. Artinya, tetap harus ada pengujian untuk membuktikan bahwa seseorang punya kompetensi dan pemahaman perpajakan yang cakap untuk menjadi kuasa Wajib Pajak. Selain itu, harus jelas pula institusi atau lembaga profesi yang berwenang menguji serta mengeluarkan sertifikasi dan izin praktik kuasa Wajib Pajak.

Karena lingkup jasa yang diberikan adalah perpajakan, idealnya, lulusan perguruan tinggi bidang perpajakan

mendapatkan akses yang lebih mudah untuk bisa menjadi kuasa Wajib Pajak. Setidaknya, kampus perpajakan bisa mengajarkan etika dan kurikulum serta menyelenggarakan ujian akhir yang berstandar profesi kuasa Wajib Pajak.

Seperti halnya pengacara yang dalam memberikan jasa hukum tunduk pada UU Advokat. UU tersebut mengatur secara rinci mulai dari definisi advokat, lingkup jasa hukum yang dapat diberikan pengacara, sanksi atas pelanggaran, hingga lembaga profesi yang berhak mengeluarkan izin praktik—dalam hal ini asosiasi profesi pengacara.

Terlepas dari bentuk regulasinya nanti, keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai Kuasa Hukum Wajib Pajak—yang menghapuskan monopoli konsultan pajak—tidak akan berdampak signifikan terhadap preferensi Wajib Pajak dalam menunjuk seorang kuasa. Toh, jumlah konsultan pajak saat ini yang berkisar 3.500 orang. Itu belum cukup proporsional untuk membela kepentingan pembayar pajak yang jumlahnya saat ini mendekati 40 juta Wajib Pajak.

Kompetensi, pemahaman terhadap persoalan perpajakan, serta jam terbang pasti akan menjadi pertimbangan-pertimbangan Wajib Pajak dalam memilih seorang kuasa di tengah pasar yang semakin terbuka lebar.

TaxGuide8

Reformasi Perizinan Usaha Jalan di Tempat?

TaxGuide 9

Upaya pemerintah melanjutkan reformasi di bidang investasi—dengan memangkas jumlah izin usaha dan meluncurkan sistem Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Eletronik (Online Single Submission)—masih terhambat ketidaksiapan dan masalah koordinasi lintas kementerian/lembaga pusat dan daerah.

Arah kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 Tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, ternyata tak mudah untuk dieksekusi. Sudah sembilan bulan sejak Perpres tersebut terbit pada 22 September 2017, sampai detik ini reformasi yang dijanjikan tak kunjung terealisasi. Padahal, target peluncuran sistem OSS telah ditetapkan pada Maret 2018, sebelum direvisi menjadi Mei 2018.

Satuan Tugas (Satgas)—yang dibentuk untuk meningkatkan pelayanan, pengawalan, penyelesaian hambatan, penyederhanaan, dan pengembangan sistem online dalam rangka percepatan pelaksanaan perizinan berusaha—justru saling lempar kesalahan.

Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian Darmin Nasution selaku Ketua Satgas Nasional menumpahkan kekesalannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) karena tidak siap melaksanakan OSS sesuai dengan tenggat waktu yang disepakati. Sementara BKPM beralasan, selain soal ketiadaan anggaran, banyak pemerintah daerah yang belum menyiapkan Satgas menjadi penyebab molornya peluncuran OSS (CNNIndonesia.com, 2018).

Konsep Ideal

Arah kebijakan reformasi perizinan investasi dan OSS sebenarnya cukup bagus. Tujuannya adalah untuk menyinergikan beberapa sistem perizinan yang dikelola oleh sejumlah kementerian/lembaga atau pemerintah daerah ke dalam sistem tunggal yang bernama OSS. Selain itu, pemerintah juga akan menjanjikan fasilitas sistem checklist di kawasan-kawasan ekonomi dan menerapkan sistem data sharing.

Untuk memastikan semua berjalan sesuai rencana, tergantung koordinasi dan eksekusi Satgas-Satgas lintas kementerian/lembaga, provinsi dan kabupaten/kota yang telah dibentuk melalui Perpres Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017. Komunikasi dan koordinasi semua Satgas nantinya akan terjadi dalam sebuah platform nasional yang bernama OSS.

Penggunaan sistem OSS ini juga secara otomatis akan menyederhanakan prosedur perizinan usaha, dari yang selama ini manual menjadi serba online sehingga diharapkan prosesnya lebih cepat dan mudah, atau selesai dalam waktu kurang dari satu jam.

Selama ini, calon investor bisa menghabiskan waktu hingga 3 (tiga) minggu untuk mengurus izin penanaman modal asing (PMA) di PTSP pusat (BKPM). Sementara untuk mendapatkan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) di PTSP tingkat provinsi atau daerah, prosesnya membutuhkan waktu sekitar 1 (satu) minggu. Sedangkan untuk memperoleh Angka Pengenal Impor (API) setidaknya perlu waktu sekitar 1 (satu) bulan.

Dengan beroperasinya OSS, calon investor hanya cukup sekali membuat TDP dan berlaku selama beroperasi. Dengan

demikian, investor tidak perlu melakukan perpanjangan TDP, selama masih melakukan kegiatan usaha.

Semua itu gambaran ideal dari reformasi perizinan usaha. Namun, konsep yang ditunggu-tunggu pelaku usaha ini tak kunjung berjalan karena sistem dan infrastruktur, serta kapabilitas sumber daya manusianya belum siap. Upaya pemerintah memperbaiki iklim investasi dengan mengharapkan ganjaran perbaikan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) pun terhambat dan masih jalan di tempat.

Ego Sektoral

Wacana untuk mengintegrasikan seluruh perizinan usaha ke dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebenarnya sudah cukup lama digaungkan. Alih-alih terintegrasi, yang terjadi justru tarik-ulur kepentingan antarkementerian/lembaga dan dengan pemerintah daerah. Dalam konteks ini, kita menghadapi masalah ego sektoral dari para pejabat negara yang takut kehilangan kewenangan.

Pun demikian dengan rencana mempermudah perizinan usaha melalui OSS. Wajar jika banyak kalangan—terutama pengusaha—meragukan kemampuan Satgas mengintegrasikan proses perizinan, baik di pusat maupun daerah melalui sistem tunggal OSS.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengakui bahwa konsep reformasi perizinan usaha yang diwacanakan pemerintah sangat baik. Namun, untuk mengimplementasikannya tidak akan mudah (Katadata, 2018).

Pesimisme Apindo cukup beralasan. Setidaknya ada sejumlah persoalan perizinan investasi yang selama ini menghambat kegiatan usaha dan itu menjadi “Pekerjaan Rumah” sangat berat bagi pemerintah untuk mencarikan solusinya.

Pertama, perizinan yang tidak sinkron dan tidak konsisten baik di tingkat pusat dan daerah, maupun antarkementerian/lembaga. Contoh kasus yang sering terjadi adalah masih terjadinya perbedaan penafsiran aturan investasi sehingga membingungkan pelaku usaha.

Kedua, proses perizinan yang tidak efisien dan tidak transparan sehingga menimbulkan ketidakpastian dan biaya tinggi bagi investor.

Upaya pemerintah untuk menjawab keluhan dan keraguan pelaku usaha melalui reformasi perizinan investasi tentu harus diapresiasi. Namun, tak cukup hanya pandai merancang kebijakan atau bermain wacana. Harapan publik terhadap sistem perizinan usaha yang lebih baik tentu bukan hanya sebatas ucapan “Almost there…” di tampilan situs OSS, melainkan “It’s here…” yang dibuktikan dengan beroperasinya sistem perizinan yang optimal sesuai janji.

TaxGuide10