dyspnea keperawatan

83
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum yang dimaksud dengan dispneu adalah kesulitan bernapas. Kesulitan bernapas ini terlihat dengan adanya kontraksi otot-otot pernapasan tambahan. Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan tetapi dapat pula terjadi dengan cepat. Kesulitan bernapas disebabkan karena suplai oksigen kedalam jaringan tubuh tidak sebanding dengan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Dispneu, sensasi sesak napas atau pernapasan tidak memadai, adalah keluhan yang paling umum dari pasien dengan penyakit kardiopulmonari. Evaluasi keluhan rumit oleh fakta bahwa dalam beberapa keadaan sesak napas adalah konsekuensi normal menguras tenaga. Lebih jauh lagi, persepsi sesak napas bervariasi antara individu-individu pada tingkat yang sama kebugaran dan bekerja dan bahkan dalam individu yang sama melakukan pekerjaan yang sebanding pada waktu yang berbeda. Pada penyakit Negara, persepsi dispneu dapat sangat bervariasi diantara individu. Akibatnya, penilaian subyektif sensasi dispneu harus menyeimbangkan konsep kerja dan ventilasi fisiologis permintaan dengan persepsi individu sesak napas. Makalah ini akan membahas tentang “ Asuhan Keperawatan pada Klien Dispneu” beserta terapinya. 1.2 Batasan Masalah 1

Upload: muh-dian-juliansyah

Post on 28-Oct-2015

726 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

dyspnea

TRANSCRIPT

Page 1: Dyspnea keperawatan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum yang dimaksud dengan dispneu adalah kesulitan bernapas.

Kesulitan bernapas ini terlihat dengan adanya kontraksi otot-otot pernapasan

tambahan. Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan tetapi dapat pula

terjadi dengan cepat. Kesulitan bernapas disebabkan karena suplai oksigen

kedalam jaringan tubuh tidak sebanding dengan oksigen yang dibutuhkan oleh

tubuh.

Dispneu, sensasi sesak napas atau pernapasan tidak memadai, adalah

keluhan yang paling umum dari pasien dengan penyakit kardiopulmonari.

Evaluasi keluhan rumit oleh fakta bahwa dalam beberapa keadaan sesak napas

adalah konsekuensi normal menguras tenaga. Lebih jauh lagi, persepsi sesak

napas bervariasi antara individu-individu pada tingkat yang sama kebugaran

dan bekerja dan bahkan dalam individu yang sama melakukan pekerjaan yang

sebanding pada waktu yang berbeda. Pada penyakit Negara, persepsi dispneu

dapat sangat bervariasi diantara individu. Akibatnya, penilaian subyektif sensasi

dispneu harus menyeimbangkan konsep kerja dan ventilasi fisiologis

permintaan dengan persepsi individu sesak napas.

Makalah ini akan membahas tentang “ Asuhan Keperawatan pada Klien

Dispneu” beserta terapinya.

1.2 Batasan Masalah

Dalam menyusun makalah ini, dibatasi pada Asuhan Keperawatan pada

Ny. ”S” dengan Dispneu beserta terapi dan pelaksanaanya di Ruang Interna

RSD Dokter Haryoto Lumajang.

1.3 Tujuan

a. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada Ny ”S” dengan Dispneu di Ruang

Interna RSD Dokter Haryoto Lumajang

b. Dapat mengerti dan paham terhadap efek terapeutik dan efek samping obat

yang diberikan pada Ny ”S” dengan Dispneu di Ruang Interna RSD Dokter

Haryoto Lumajang.

1

Page 2: Dyspnea keperawatan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar

Dispnea atau sesak nafas merupakan keadaan yang sering ditemukan

pada penyakit paru maupun jantung. Bila nyeri dada merupakan keluhan yang

paling dominan pada penyakit paru. Akan tetapi kedua gejala ini jelas dapat

dilihat pada emboli paru,bahkan sesak napas merupakan gejala utama pada

payah jantung.

Secara umum yang dimaksud dispnea adalah kesulitan

bernapas,kesulitan bernapas ini terlihat dengan adanya kontraksi dari otot-otot

pernapasan tambahan. Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan

tetapi dapat pula terjadi dengan cepat.

Berat ringannya dispnea tidak dapat diukur dan kadang-kadang sulit

untuk dinilai, sehingga dokter yang memeriksa akan timbul pertanyaan sebagai

berikut:

Dispnea merupakan suatu perasaan yang subyektif dari pasien atau

berhubungan dengan suatu penyakit.

Apakah yang dinilai ini bukannya suatu takipnea atau hiperpnea atau suatu

tipe pernapasan yang lain, misalnya pernapasan cheyne stoke.

Apakah yang terjadi bukannya hanya suatu rasa nyeri saja, sehingga

penderita takut untuk bernapas dalam.

Sulit untuk menilai apakah suatu dispnea bersifat fisiologi atau patologi.

Akan tetapi terdapat beberapa pegangan untuk menilai dispnea yang patologi,

yakni sebagai berikut:

Berdasarkan riwayat penyakit apakah dispnea tersebut terjadi secara

mendadak.

Apakah dispnea tersebut terjadi secara berulang (recurrent).

Waktu terjadinya dispnea menentukan pula apakah setelah bekerja berat

atau terjadi tiba-tiba pada tengah malam.

Sedangkan berdasarkan riwayat penyakit yang mendukung terjadimya

dispnea yang bersifat subyektif, yakni bila terjadinya dispnea berhubungan

banyak dengan umur, seperti misalnya dalam menjalankan pekerjaan yang

tidak sebanding dengan usia.

2

Page 3: Dyspnea keperawatan

2.1.1 Klasifikasi Dispnea

Dispnea dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Inspiratori dispnea, yakni kesukaran bernapas pada waktu inspirasi

yang disebabkan oleh karena sulitnya udara untuk memasuki paru-

paru.

Ekspiratori dispnea, yakni kesukaran bernapas pada waktu

ekspirasi yang disebabkan oleh karena sulitnya udara yang keluar

dari paru-paru.

Kardiak dispnea, yakni dispnea yang disebabkan primer penyakit

jantung.

Exertional dispnea, yakni dispnea yang disebabkan oleh karena

olahraga.

Exspansional dispnea, dispnea yang disebabkan oleh karena

kesulitan exspansi dari rongga toraks.

Paroksismal dispnea, yakni dispnea yang terjadi sewaktu-waktu,

baik pada malam maupun siang hari.

Ortostatik dispnea, yakni dispnea yang berkurang pada waktu posisi

duduk.

Pembagian tersebut di atas tidak berdasarkan atas klasifikasi

etiologi maupun tipe dispnea, akan tetapi istilah-istilah tersebut sering

dipergunakan.

Berdasarkan etiologi maka dispnea dapat dibagi menjadi 4

bagian, yakni:

Kardiak dispnea, yakni dispnea yang disebabkan oleh karena adanya

kelainan pada jantung.

Pulmunal dispnea, dispnea yang terjadi pada penyakit jantung.

Hematogenous, dispnea yang disebabkan oleh karena adanya asidosis,

anemia atau anoksia, biasanya dispnea ini berhubungan dengan

exertional (latihan).

Neurogenik, dispnea terjadi oleh karena kerusakan pada jaringan otot-

otot pernapa

2.1.2 Fisiologi

Yang dimaksud dengan dispnea adalah kesulitan bernapas yang

disebabkan karena suplai oksigen ke dalam jeringan tubuh tidak

sebanding dengan oksigen kedalam jaringan tubuh tidak sebanding

dengan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh.

2.1.3 Patofisiologi dari dispnea yakni:

3

Page 4: Dyspnea keperawatan

Kekurangan oksigen (O2)

a. Penyebab dari kekurangan oksigen dapat di bagi atas:

Tekanan oksigen inspirasi yang rendah, misalnya pada

tempat yang sangat tinggi, respirasi dengan gas-gas yang

berbahaya, ruang dekompresi, atau karena bertambahnya

volume dead space.

Gangguan konduksi maupun difusi gas ke paru-paru.

Gangguan pertukaran gas dan hipoventilasi.

b. Pertukaran gas di dalam paru-paru normal, tetapi kadar oksigen

didalam paru-paru berkurang.

c. Stagnasi dari aliran darah.

Kelebihan Karbon Dioksida (CO2)

Karena terdapatnya shunting pada COPD sehingga menyebabkan

terjadinya aliran dari kanan ke kiri.

Tingkat-Tingkat Dispnea

Dispnea dapat dibagi atas dua dasar, yakni:

Atas dasar klinis

Pembagian ini berdasarkan New York Heart Association dan dapat

dibagi menjadi empat tingkatan, yakni:

Tingkat 1 : bila dispnea tidak membatasi aktivitas artinya kebutuhan

oksigen baik pada masa istirahat maupun pada masa setelah latihan

dapat dikompensasi oleh paru-paru.

Tingkat 2 : terjadi pembatasan yang ringan darin fungsi paru,

artinya pada penderita yang melakukan aktivitas fisik dapat terjadi

dispnea, akan tetapi pada waktu istirahat tidak terjadi dispnea.

Tingkat 3 : aktivitas fisik penderita sangat terbatas dan dengan

aktivitas fisik yang ringan saja sudah dapat menimbulkan sesak

napas.

Tingkat 4 : dispnea terjadi pada keadaan istirahat. Kerja yang ringan

akan memperberat keadaan dispneanya.

Atas Dasar Pemeriksaan Paru-Paru

Dispnea dapat dibagi menjadi dua, yakni:

Obstruksi dispnea, yakni dispnea yang terjadi karena adanya

kelainan dari fungsi obstruksi paru.

Berdasarkan nilai restriktif maka dispnea dapat dibagi atas

(angka-angka di bawah adalah presentase dari normal):

- Restriktiif normal

4

Page 5: Dyspnea keperawatan

- Restriktif ringan sampai sedang

- Restriktif sedang

- Restriktif berat

Atas Dasar Terjadinya

Dispnea dapat dibagi menjadi dua, yakni:

o Dispnea yand terjadi mendadak, biasanya disebabkan oleh

karena emboli paru, pneumothoraks, atau obstruksi jalan napas.

o Dispnea yang terjadi secara perlahan-lahan, biasanya disebabkan

oleh karna payah jantung dan efusi pleura.

Atas Dasar Respirasi

Dispnea dapat dibagi menjadi dua, yakni:

o Dispnea inspirasi

o Dispnea ekspirasi

Evaluasi

Dari pemeriksaan fisik terlihat bahwa pasien menggunakan otot-otot

pernapasan tambahan. Ekspirasi maupun inspirasi tergantung kepada

tipe dari dispnea. Pemeriksaan yang dilakukan adalah sangat luas,

akan tetapi dapat digolongkan menjadi 7 bagian, yakni:

o Tanda-tanda yang menyokong pada paru-paru

- Wheezing

- Ronchi

o Tanda-tanda yang menyokong adanya dispnea

- Cuping hidung yang bergerak

- Sianosis

o Pemeriksaan laboratorium

- EKG

o Pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas.

o Pemeriksaan skantigrafi.

o Pemeriksaan pemeriksaan infasif jantung.

5

Page 6: Dyspnea keperawatan

2.2. Asuhan Keperawatan

1. Riwayat Kesehatan

Riwayat kesehatan yang dikaji meliputi data saat ini dan masalah

yang lalu. Perawat mengkaji klien atau keluarga dan berfokus kepada

manifestasi klinik dari keluhan utama, kejadian yang membuat kondisi

sekarang ini, riwayat perawatan dahulu, riwayat keluarga dan riwayat

psikososial.

Riwayat kesehatan dimulai dari biografi klien, dimana aspek

biografi yang sangat erat hubungannya dengan gangguan oksigenasi

mencakup usia, jenis kelamin, pekerjaan (terutama yang berhubungan

dengan kondisi tempat kerja) dan tempat tinggal. Keadaan tempat tinggal

mencakup kondisi tempat tinggal serta apakah klien tinggal sendiri atau

dengan orang lain yang nantinya berguna bagi perencanaan pulang

(“Discharge Planning”).

 

a. Keluhan Utama

Keluhan utama akan menentukan prioritas intervensi dan

mengkaji pengetahuan klien tentang kondisinya saat ini. Keluhan

utama yang biasa muncul pada klien gangguan kebutuhan oksigen dan

karbondioksida antara lain : batuk, peningkatan produksi sputum,

dyspnea, hemoptysis, wheezing, Stridor dan chest pain.

1) Batuk (Cough)

Batuk merupakan gejala utama pada klien dengan penyakit

sistem pernafasan. Tanyakan berapa lama klien batuk (misal 1

minggu, 3 bulan). Tanyakan juga bagaimana hal tersebut timbul

dengan waktu yang spesifik (misal : pada malam hari, ketika

bangun tidur) atau hubungannya dengan aktifitas fisik. Tentukan

batuk tersebut apakah produktif atau non produktif, kongesti,

kering.

2) Peningkatan Produksi Sputum.

Sputum merupakan suatu substansi yang keluar bersama

dengan batuk atau bersihan tenggorok. Trakeobronkial tree secara

normal memproduksi sekitar 3 ons mucus sehari sebagai bagian

dari mekanisme pembersihan normal (“Normal Cleansing

Mechanism”). Tetapi produksi sputum akibat batuk adalah tidak

normal. Tanyakan dan catat warna, konsistensi, bau dan jumlah

dari sputum karena hal-hal tersebut dapat menunjukkan keadaan

6

Page 7: Dyspnea keperawatan

dari proses patologik. Jika infeksi timbul sputum dapat berwarna

kuning atau hijau, sputum mungkin jernih, putih atau kelabu. Pada

keadaan edema paru sputum akan berwarna merah mudah,

mengandung darah dan dengan jumlah yang banyak.

3) Dyspnea

Dyspnea merupakan suatu persepsi kesulitan untuk

bernafas/nafas pendek dan merupakan perasaan subjektif klien.

Perawat mengkaji tentang kemampuan klien untuk melakukan

aktifitas. Contoh ketika klien berjalan apakah dia mengalami

dyspnea ?. kaji juga kemungkinan timbulnya paroxysmal nocturnal

dyspnea dan orthopnea, yang berhubungan dengan penyakit paru

kronik dan gagal jantung kiri.

4) Hemoptysis

Hemoptysis adalah darah yang keluar dari mulut dengan

dibatukkan. Perawat mengkaji apakah darah tersebut berasal dari

paru-paru, perdarahan hidung atau perut. Darah yang berasal dari

paru biasanya berwarna merah terang karena darah dalam paru

distimulasi segera oleh refleks batuk. Penyakit yang menyebabkan

hemoptysis antara lain : Bronchitis Kronik, Bronchiectasis, TB

Paru, Cystic fibrosis, Upper airway necrotizing granuloma, emboli

paru, pneumonia, kanker paru dan abses paru.

5) Chest Pain

Chest pain (nyeri dada) dapat berhubungan dengan

masalah jantung dan paru. Gambaran yang lengkap dari nyeri dada

dapat menolong perawat untuk membedakan nyeri pada pleura,

muskuloskeletal, cardiac dan gastrointestinal. Paru-paru tidak

mempunyai saraf yang sensitif terhadap nyeri, tetapi iga, otot,

pleura parietal dan trakeobronkial tree mempunyai hal tersebut.

Dikarenakan perasaan nyeri murni adalah subjektif, perawat harus

menganalisis nyeri yang berhubungan dengan masalah yang

menimbulkan nyeri timbul.

b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Perawat menanyakan tentang riwayat penyakit pernafasan

klien. Secara umum perawat menanyakan tentang :

1) Riwayat merokok : merokok sigaret merupakan penyebab penting

kanker paru-paru, emfisema dan bronchitis kronik. Semua

7

Page 8: Dyspnea keperawatan

keadaan itu sangat jarang menimpa non perokok. Anamnesis harus

mencakup hal-hal :

a) Usia mulainya merokok secara rutin.

b) Rata-rata jumlah rokok yang dihisap perhari.

c) Usia melepas kebiasaan merokok.

2) Pengobatan saat ini dan masa lalu

3) Alergi

4) Tempat tinggal

c. Riwayat Kesehatan Keluarga

Tujuan menanyakan riwayat keluarga dan sosial pasien penyakit

paru-paru sekurang-kurangnya ada tiga, yaitu :

1) Penyakit infeksi tertentu : khususnya tuberkulosa, ditularkan

melalui satu orang ke orang lainnya; jadi dengan menanyakan

riwayat kontak dengan orang terinfeksi dapat diketahui sumber

penularannya.

2) Kelainan alergis, seperti asthma bronchial, menunjukkan suatu

predisposisi keturunan tertentu; selain itu serangan asthma

mungkin dicetuskan oleh konflik keluarga atau kenalan dekat.

3) Pasien bronchitis kronik mungkin bermukim di daerah yang polusi

udaranya tinggi. Tapi polusi udara tidak menimbulkan bronchitis

kronik, hanya memperburuk penyakit tersebut.

 

2. Review Sistem (Head to Toe)

a. Inspeksi

1) Pemeriksaan dada dimulai dari thorax posterior, klien pada posisi

duduk.

2) Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi dengan yang

lainnya.

3) Tindakan dilakukan dari atas (apex) sampai ke bawah.

4) Inspeksi thorax poterior terhadap warna kulit dan kondisinya,

skar, lesi, massa, gangguan tulang belakang seperti : kyphosis,

scoliosis dan lordosis.

5) Catat jumlah, irama, kedalaman pernafasan, dan kesimetrisan

pergerakan dada.

6) Observasi type pernafasan, seperti : pernafasan hidung atau

pernafasan diafragma, dan penggunaan otot bantu pernafasan.

8

Page 9: Dyspnea keperawatan

7) Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I)

dan fase ekspirasi (E). ratio pada fase ini normalnya 1 : 2. Fase

ekspirasi yang memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada

jalan nafas dan sering ditemukan pada klien Chronic Airflow

Limitation (CAL)/COPD

8) Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter anteroposterior

(AP) dengan diameter lateral/tranversal (T). ratio ini normalnya

berkisar 1 : 2 sampai 5 : 7, tergantung dari cairan tubuh klien.

9) Kelainan pada bentuk dada :

a) Barrel Chest

Timbul akibat terjadinya overinflation paru. Terjadi

peningkatan diameter AP : T (1:1), sering terjadi pada klien

emfisema.

b) Funnel Chest (Pectus Excavatum)

Timbul jika terjadi depresi dari bagian bawah dari sternum.

Hal ini akan menekan jantung dan pembuluh darah besar,

yang mengakibatkan murmur. Kondisi ini dapat timbul pada

ricketsia, marfan’s syndrome atau akibat kecelakaan kerja.

c) Pigeon Chest (Pectus Carinatum)

Timbul sebagai akibat dari ketidaktepatan sternum, dimana

terjadi peningkatan diameter AP. Timbul pada klien dengan

kyphoscoliosis berat.

d) Kyphoscoliosis

Terlihat dengan adanya elevasi scapula. Deformitas ini akan

mengganggu pergerakan paru-paru, dapat timbul pada klien

dengan osteoporosis dan kelainan muskuloskeletal lain yang

mempengaruhi thorax.

Kiposis : meningkatnya kelengkungan normal kolumna

vertebrae torakalis menyebabkan klien tampak bongkok.

Skoliosis : melengkungnya vertebrae torakalis ke lateral,

disertai rotasi vertebral

10) Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan pergerakan

atau tidak adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit

pada paru atau pleura.

11) Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama inspirasi,

yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas.

 

9

Page 10: Dyspnea keperawatan

b. Palpasi

Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan

mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasi keadaan kulit dan

mengetahui vocal/tactile premitus (vibrasi).

Palpasi thoraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji

saat inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.

Kaji juga kelembutan kulit, terutama jika klien mengeluh

nyeri.

Vocal premitus : getaran dinding dada yang dihasilkan ketika

berbicara.

 

c. Perkusi

Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi

pulmoner, organ yang ada disekitarnya dan pengembangan

(ekskursi) diafragma.

Jenis suara perkusi :

Suara perkusi normal :

Resonan

(Sonor)

Dullness

Tympany

: bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada jaringan

paru normal.

: dihasilkan di atas bagian jantung atau paru.

: musikal, dihasilkan di atas perut yang berisi udara.

Suara Perkusi Abnormal :

Hiperresonan

 

Flatness

: bergaung lebih rendah dibandingkan dengan

resonan dan timbul pada bagian paru yang

abnormal berisi udara.

: sangat dullness dan oleh karena itu nadanya lebih

tinggi. Dapat didengar pada perkusi daerah paha,

dimana areanya seluruhnya berisi jaringan.

 

d. Auskultasi

Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup

mendengarkan suara nafas normal, suara tambahan (abnormal), dan

suara.

Suara nafas normal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui

jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih

Suara nafas normal :

10

Page 11: Dyspnea keperawatan

a) Bronchial : sering juga disebut dengan “Tubular sound” karena

suara ini dihasilkan oleh udara yang melalui suatu tube (pipa),

suaranya terdengar keras, nyaring, dengan hembusan yang lembut.

Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasi, dan tidak ada

henti diantara kedua fase tersebut. Normal terdengar di atas trachea

atau daerah suprasternal notch.

b) Bronchovesikular : merupakan gabungan dari suara nafas

bronchial dan vesikular. Suaranya terdengar nyaring dan dengan

intensitas yang sedang. Inspirasi sama panjang dengan ekspirasi.

Suara ini terdengar di daerah thoraks dimana bronchi tertutup oleh

dinding dada.

c) Vesikular : terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi.

Inspirasi lebih panjang dari ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti

tiupan.

Suara nafas tambahan :

d) Wheezing : terdengar selama inspirasi dan ekspirasi, dengan

karakter suara nyaring, musikal, suara terus menerus yang

berhubungan dengan aliran udara melalui jalan nafas yang

menyempit.

e) Ronchi : terdengar selama fase inspirasi dan ekspirasi, karakter

suara terdengar perlahan, nyaring, suara mengorok terus-menerus.

Berhubungan dengan sekresi kental dan peningkatan produksi

sputum

f) Pleural friction rub : terdengar saat inspirasi dan ekspirasi.

Karakter suara : kasar, berciut, suara seperti gesekan akibat dari

inflamasi pada daerah pleura. Sering kali klien juga mengalami

nyeri saat bernafas dalam.

g) Crackles

Fine crackles : setiap fase lebih sering terdengar saat inspirasi.

Karakter suara meletup, terpatah-patah akibat udara melewati

daerah yang lembab di alveoli atau bronchiolus. Suara seperti

rambut yang digesekkan.

Coarse crackles : lebih menonjol saat ekspirasi. Karakter suara

lemah, kasar, suara gesekan terpotong akibat terdapatnya cairan

atau sekresi pada jalan nafas yang besar. Mungkin akan berubah

ketika klien batuk.

 

11

Page 12: Dyspnea keperawatan

3. Pengkajian Psikososial

Kaji tentang aspek kebiasaan hidup klien yang secara signifikan

berpengaruh terhadap fungsi respirasi. Beberapa kondisi respiratory

timbul akibat stress.

Penyakit pernafasan kronik dapat menyebabkan perubahan dalam

peran keluarga dan hubungan dengan orang lain, isolasi sosial, masalah

keuangan, pekerjaan atau ketidakmampuan.

Dengan mendiskusikan mekanisme koping, perawat dapat mengkaji

reaksi klien terhadap masalah stres psikososial dan mencari jalan

keluarnya.

 

4. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan gangguan

oksigenasi yang mencakup ventilasi, difusi dan transportasi, sesuai dengan

klasifikasi NANDA (2005) dan pengembangan dari penulis antara lain :

1. Bersihan Jalan nafas tidak efektif (Kerusakan pada fisiologi

Ventilasi)

Adalah suatu kondisi dimana individu tidak mampu untuk batuk secara

efektif.

2. Kerusakan pertukaran gas (Kerusakan pada fisiologi Difusi)

Kondisi dimana terjadinya penurunan intake gas antara alveoli dan

sistem vaskuler

3. Pola nafas tidak efektif (Kerusakan pada fisiologi Transportasi)

Adalah Suatu kondisi tidak adekuatnya ventilasi berhubungan dengan

perubahan pola nafas. Hiperpnea atau hiperventilasi akan

menyebabkan penurunan PCO2

2.3 Prinsip Pemberian Obat

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian obat secara umum

adalah sebagai berikut :

1. Tepat Penderita

Dalam memberikan obat, harus memastikan dan memeriksa

identitas klien pada setiap kali pemberian obat. Apakah obat yang diberikan

sesuai dengan penderitanya.

12

Page 13: Dyspnea keperawatan

2. Tepat Obat

Sebelum memberikan obat pada klien, perlu membaca kembali label

obat serta interaksi obat dan memastikan kembali bahwa klien menerima

obat yang telah diresepkan sesuai dengan penyakit yang derita.

Dalam memberikan obat pada klien, sebaiknya mengecek obat pada

saat menerima resep, akan memberikan pada klien dan pada saat pemberian

pada klien agar tidak terjadi kesalahan memberikan obat.

3. Tepat Dosis

Memastikan dan memeriksa dosis tertentu yang telah diresepkan

dokter untuk klien dengan penyakit tertentu agar tidak terjadi over dosis

atau under dosis yang dapat menimbulkan efek yang tidak dingin (efek

skunder)

4. Tepat Waktu

Memberikan obat yang telah diresepkan pada waktu-waktu tertentu

serta memperhatikan kapan obat tersebut diberikan, sebelum makan atau

sesudah makan. Misal: obat x diberikan dengan dosis harian 2 x sehari

sebelum makan

5. Waspada

Waspada terhadap efek samping yang ditimbulkan obat.

2.4 Terapi Obat- Obatan

2.4.1 Ringer Laktat (Cairan Kristaloid)

Cara Kerja Obat

Natrium klorida merupakan garam yang berperan penting

dalam memelihara tekanan osmosis darah jaringan; Kalium Klorida

merupakan garam terpilih untuk hipokalemia yang disertai

hipokalemia; Natrium Laktat merupakan garam yang dibutuhkan

untuk pelayanan darurat terhadap metabolik asidosis ; Kalsium klorida

merupakan garam yang penting untuk menjaga fungsi normal otot dan

saraf

Indikasi

Sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang dalam keadaan

asam basa berkesetimbangan atau asidosis ringan. Sebagai pilihan

utama untuk mengatasi kehilangan cairan dalam keadaan darurat.

Terapi pemeliharaan keseimbangan cairan pada keadaan pra, intra dan

13

Page 14: Dyspnea keperawatan

pasca operasi; untuk mengatasi dehidrasi cairan interstisial yang

diberikan setelah pemberian pengganti cairan koloid.

Cara Pemberian

Injeksi intravena dengan kecepatan alir = 2,5 ml/kg BB/jam,

yaitu sekitar 60 tetes / 70 kg BB/ menit atau 180 ml/ 70 kg BB/jam

Kontra Indikasi

Penderita dengan hiperhidrasi, hipernatremia, hiperkalimia

penderita dengan gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati dan

asidosis laktat.

Efek Samping

– Reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara

pemberiannya, termasuk timbunya panas, iritasi, infeksi pada

tempat penyuntikan, trombosit atau flebitis vena yang meluas

dari tempat penyuntikan dan ekstravasasi.

– Bila terjadi reaksi efek samping, pemakaian harus dihentikan

dan dilakukan evaluasi terhadap penderita.

Perhatian

Jangan dicampur dengan larutan yang mengandung fosfat

jangan digunakan bila botol rusak, larutan keruh atau berisi partikel.

Peringatan

Hati-hati bila diberikan pada penderita payah jantung, odem

dengan retensi natrium sepsis parah, keadaan pra-pasca trauma,

kerusakan hati, hiperkalemia dan keadaan retensi kalium. Pemberian

secara intravena dapat menimbulkan solute overloading yang

menibulkan pengeceran konsentrasi elektrolit serum. Overdehidrasi,

keadaan kongesti dan edem plumonan.

2.4.2 Ranitidin

Indikasi

Ranitidi digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan

deudenum akut, refluk esofagitis, keadaan hipersekresi asam lambung

patologis seperti pada sindroma ZollingerEllison. Hipersekresi pasca

bedah.

Dosis dan Cara Pemakaian

Terapi oral

Dewasa : Tukak lambung, deudenum dan refluk esofagitis,

sehari 2 kali 1 tablet atau dosis tunggal 2 tablet menjelang tidur

14

Page 15: Dyspnea keperawatan

malam, selama 4-8 minggu. Untuk hipersekresi patologis, sehari 2-3

kali 1 tablet. Bila keadaan paah dosis dapat ditingkatkn sampai 6 tablet

sehari dalam dosis terbagi. Dosis pemeliharaan sehari 1 tablet pada

malam hari. Pada penderita gangguan fungsi ginjal dan kleren kretinin

kurang dari 50 mg/menit, dosis sehari 1 tablet.

Terapi parenteral

Diberikan i.m. atau i.v. atau infus secara perlahan atau

intermiten untuk penderita rawat inap dengan kondisi hipersekretori

patologi atau tukak usus duabelas jari yang tidak sembuh-sembuh, atau

bila terapi oral tidak memungkinkan.

Dosis dewasa :

Injeksi i.m. atau i.v. intermiten: 50mg setiap 6-8 jam jika

diperlukan, obat dapat diberikan lebih sering, dosis tidak boleh

melebihi 400 mg sehari. Jika ranitidine diberikan secara infus, 150mg

ranitidine diinfuskan dengan kecepatan 6,25 mg/jam selama lebih dari

24 jam, pada penderita dengan sindrom Zollinger-Ellison atau kondisi

hipersekretori lain, infus selalu dilalui dengan kecepatan 1 mg/kg per

jam. Jika setelah 4 jam penderita masig sakit, atau sekresi asam

lambung masih besar dari 10 mEq/jam,dosis ditambah 0,5 mg/kg per

jam, lalu ukur kembali sekresi asam lambung. Pada penderita gagal

ginjal dengan kliren kreatinin kurang dari 50 menit, dosis i.m. atau

i.v. yang dianjurkan adalah 50 mg setiap 18-24 jam. Jika diperlukan,

ubah dengan hati-hati interval dosis dari setiap 24 jam menjadi setiap

12 jam.

Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap ranitidine

Efek Samping

Kadang-kadang terjadi nyeri kepala, malaise, mialgia, mual dan

pruritus.

Konstipasi, pusing,sakit perut.

Konfusion, hiperprolaktinemia, gangguan fungsi seksual, hepatitis

(jarang).

Rasa sakit di daerah peyuntikan pada pemberian secara i.m.

Rasa terbakar pada pemberian secara i.v.

Peringatan dan Perhatian

Keamana pemakaian pada wanita hamil dan menyusui balum

dapat dipastikan.

15

Page 16: Dyspnea keperawatan

Pemberian harus hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi

hati dan ginjal.

Pemberian ranitidine pada penderita keganasan lambung dapat

menutupi gejala-gejala penyakit ini.

Keamanan dan efektifitas pada anak-anak belum dapat dipastikan

(estabilised).

Pengobatan penunjang akan mencegah kambuhnya tukak (ulkus).

Hindari penggunaan pada penderita yang memiliki riwayat porfiria

akut.

2.4.3 Lasix

Farmakologi :

Golongan diuretik kuat. Digunakan dalam pengobatan oedema paru

akibat gagal jantung kiri. Pemberian intravena mengurangi sesak napas

dan prabeban lebih cepat dari mula kerja diresisnya. Diuretika ini juga

digunakan pada pasien gagal jantung yang telah berlangsung lama.

Diuretika kuat menghambat resorpsi cairan dalam tubulus ginjal.

Komposisi :

Furosemida 10 mg/ml injeksi; 40 mg/tablet.

Indikasi :

Oedema, oliguria karena gagal ginjal.

Peringatan :

Kehamilan dan menyusui, dapat menyebabkan hipokalemia dan

hiponatremia, memperburuk diabetes mellitus dan asam urat, gagal

hati, pembesaran prostat, porifiria.

Kontraindikasi :

Keadaan prakoma akibat sirosis hati, gagal ginjal dengan anuria. Gagal

ginjal akut, komahepatikum, hipokalemia.

Efek samping :

Gangguan gastrointestinal, neprokalsinosis pada bayi prematur.

Hiponatremia, hiokalemia, hipomagnesemia, alkalosis hipokloremik,

ekskresi kalsium meningkat, hipotensi, hiperglikemia; kadar kolesterol

dan trigliserida plasma meningkat sementara. Jarang terjadi ruam kulit,

fotosensitifitas dan depresi sumsum tulang (hentikan pengobatan),

pankreatitis (dengan dosis parenteral yang besar), tinitus dan ketulian

(biasanya karena pemberian dosis parenteral yang besar dan cepat

serta pada gangguan ginjal).

Interaksi obat :

16

Page 17: Dyspnea keperawatan

Bekerja dalam 1 jam setelah pemberian oral dan diuresis sempurna

dalam 6 jam. Setelah pemberian intravena menunjakkan efek puncak

dalam waktu 30 menit.

Pendosisan :

Oral, oedema, dosis awal 40 mg pada pagi hari, pemeliharaan 20 mg

sehari atau 40 mg selang sehari, tingkatkan sampai 80 mg pada

oedema yang resisten; anak 1 – 3 mg/kgBB sehari. Oliguria, dosis

awal 250 mg sehari, jika diperlukan dosis lebih besar, tingkatkan

bertahap dengan 250 mg, dapat diberikan setiap 4 – 6 jam sampai

maksimal dosis himgga 2 g (jarang digunakan). Injeksi (IM/IV) lambat

(tidak lebih dari 4 mg/menit) dosis awal 20 – 50 mg; anak 0,5 – 1,5

mg/kgBB sampai dosis maksimal sehari 20 mg. Infus intra vena pada

oliguria, dosis awal 250 mg selama 1 jam (tidak lebih dari 4

mg/menit). Dosis efektif (sampai 1 g) dapat diulang setiap 24 jam.

Sediaan, nama paten dan nama dagang :

- Dos 5 ampul @ 2 ml, dos 25 ampul @ 2 ml; tablet 10 x 10.

- Furosemide (Generik) Tablet 40 mg

- Arsiret (Meprofarm) Tablet 40 mg

- Diurefo (Pyridam) Tablet 40 mg

- Farsiretik (Ifars) Tablet 40 mg

- Farsix (Pratapa Nirmala) cairan injeksi 10 mg/ml; Tablet 40 mg

- Furosix (Pertiwi Agung) Cairan injeksi 10 mg/ml; Tablet 40 mg

- Gralixa (Graha) Tablet 20 mg, 40 mg

- Husamid (Gratia Husada) Kaptabs 40 mg

- Impugan (Dumex Alpharma Indonesia) Tablet 40 mg

- Lasix (Hoechst Marion Roussel Indonesia) Cairan injeksi 20 mg/2

ml; Tablet 40 mg

- Ureix (Sanbe) Tablet Ss. 40 mg

- Yekasix (Yekatria) Tablet 40 mg

2.4.4 Ketorolac

Kemasan & No Reg :.

Ketorolac 10 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. :

GKL0808514843A1

Ketorolac 30 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. :

GKL0808514843B1

Farmakologi :.

17

Page 18: Dyspnea keperawatan

Farmakodinamik

Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini

merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas

antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine

menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik

yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.

Uji Klinis

Beberapa penelitian telah meneliti efektivitas analgesik Ketorolac

tromethamine intramuskular pada dua model nyeri pasca bedah akut; bedah

umum (ortopedik, ginekologik dan abdominal) dan bedah mulut (pencabutan

M3 yang mengalami impaksi). Penelitian ini merupakan uji yang dirancang

paralel, dosis tunggal primer, yang membandingkan Ketorolac tromethamine

dengan Meperidine (Phetidine) atau Morfin yang diberikan secara

intramuskular. Pada tiap model, pasien mengalami nyeri sedang hingga berat

pada awal penelitian. Jika dibandingkan dengan Meperidine 50 dan 100 mg,

atau Morfin 6 dan 12 mg pada pasien yang mengalami nyeri pasca bedah,

Ketorolac tromethamine 10, 30 dan 90 mg menunjukkan pengurangan nyeri

yang sama dengan Meperidine 100 mg dan Morfin 12 mg. Onset aksi

analgesiknya sebanding dengan Morfin. Durasi analgesia Ketorolac

tromethamine 30 mg dan 90 mg lebih lama daripada narkotik. Berdasarkan

pertimbangan efektivitas dan keamanan setelah dosis berulang, dosis 30 mg

menunjukkan indeks terapetik yang terbaik. Suatu penelitian multisenter,

multi-dosis (20 dosis selama 5 hari), pasca bedah (bedah umum)

membandingkan Ketorolac tromethamine 30 mg dengan Morfin 6 dan 12 mg

dimana tiap obat hanya diberikan bila perlu. Efek analgesik keseluruhan dari

Ketorolac tromethamine 30 mg berada di antara Morfin 6 mg dan 12 mg,

walaupun perbedaan antara Ketorolac tromethamine 30 mg dan Morfin 12

mg tidak bermakna secara statistik. Tidak tampak adanya depresi napas

setelah pemberian Ketorolac tromethamine pada uji klinis kontrol. Ketorolac

tromethamine tidak menyebabkan konstriksi. Pada pasien pasca bedah,

dibandingkan dengan plasebo : Ketorolac tromethamine tidak menyebabkan

kantuk dan dibandingkan dengan Morfin, Ketorolac lebih sedikit

menyebabkan kantuk.

Farmakokinetik

Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah

18

Page 19: Dyspnea keperawatan

pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma

sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu

paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang

lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada

konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah

pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear.

Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam

sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan.

Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata

0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-

hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata

6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak

mengubah hemodinamik pasien.

Indikasi

Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap

nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total

Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral

dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik

alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari.

Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri

atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat

mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat

biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.

Kontra Indikasi

Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini,

karena ada kemungkinan sensitivitas silang.

Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian

Asetosal atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain.

Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.

Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.

Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.

Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau

bronkospasme.

Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.

Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.

19

Page 20: Dyspnea keperawatan

Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160

mmol/L).

Riwayat asma.

Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau

hemostasis inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin

dosis rendah (2.500–5.000 unit setiap 12 jam).

Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.

Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.

Anak < 16 tahun.

Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam

vesikulobulosa.

Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).

Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika

hemostasis benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan.

Dosis :.

Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus

intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15

detik. Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal.

Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa,

kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2

jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya

disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi :

Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular

dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat

meningkat pada penggunaan jangka panjang.

Dewasa

Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan

10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif

terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa

dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang

berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih dari 2

hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat

mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total

kombinasi tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia,

gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg).

20

Page 21: Dyspnea keperawatan

Instruksi dosis khusus

Pasien lanjut usia Ampul : Untuk pasien yang usianya lebih dari 65 tahun,

dianjurkan memakai kisaran dosis terendah: total dosis harian 60 mg tidak

boleh dilampaui (lihat Perhatian).

Anak-anak : Keamanan dan efektivitasnya pada anak-anak belum

ditetapkan. Oleh karena itu, Ketorolac tidak boleh diberikan pada anak di

bawah 16 tahun. Gangguan ginjal : Karena Ketorolac tromethamine dan

metabolitnya terutama diekskresi di ginjal, Ketorolac dikontraindikasikan

pada gangguan ginjal sedang sampai berat (kreatinin serum > 160 mmol/l);

pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat menerima dosis yang lebih

rendah (tidak lebih dari 60 mg/hari IV atau IM), dan harus dipantau ketat.

Analgesik opioid (mis. Morfin, Phetidine) dapat digunakan bersamaan, dan

mungkin diperlukan untuk mendapatkan efek analgesik optimal pada periode

pasca bedah awal bilamana nyeri bertambah berat. Ketorolac tromethamine

tidak mengganggu ikatan opioid dan tidak mencetuskan depresi napas atau

sedasi yang berkaitan dengan opioid. Jika digunakan bersama dengan

Ketorolac ampul, dosis harian opioid biasanya kurang dari yang dibutuhkan

secara normal. Namun efek samping opioid masih harus dipertimbangkan,

terutama pada kasus bedah dalam sehari.

Efek Samping

Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan Ketorolac IM 20

dosis dalam 5 hari.

Insiden antara 1 hingga 9% :

Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea.

Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat.

Peringatan dan Perhatian

Seperti obat analgesik anti-inflamasi nonsteroid lainnya, Ketorolac dapat

menyebabkan iritasi, ulkus, perforasi atau perdarahan gastrointestinal

dengan atau tanpa gejala sebelumnya dan harus diberikan dengan

pengawasan ketat pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit saluran

gastrointestinal. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan selama

kehamilan, persalinan, kelahiran, dan pada ibu menyusui.

Peringatan khusus mengenai inkompatibilitas:

21

Page 22: Dyspnea keperawatan

Ketorolac ampul tidak boleh dicampur dalam volume kecil (mis. dalam

spuit) dengan Morfin sulfat, Phetidine hydrochloride, Promethazine

hydrochloride atau Hydroxyzine hydrochloride karena akan terjadi

pengendapan Ketorolac tromethamine. Ketorolac ampul kompatibel dengan

larutan normal saline, 5% dekstrosa, Ringer, Ringer-laktat, atau larutan

Plasmalyte. Kompatibilitas dengan obat lain tidak diketahui.

Perhatian

Efek Renal : Sama seperti obat lainnya yang menghambat biosintesis

prostaglandin, telah dilaporkan adanya peningkatan urea nitrogen serum dan

kreatinin serum pada uji klinis dengan Ketorolac tromethamine.

Efek Hematologis : Ketorolac menghambat agregasi trombosit dan dapat

memperpanjang waktu perdarahan. Ketorolac tidak mempengaruhi hitung

trombosit , waktu protrombin (PT) atau waktu tromboplastin parsial (PTT).

Pasien dengan gangguan koagulasi atau yang sedang diberi terapi obat yang

mengganggu hemostasis harus diawasi benar-benar saat diberikan Ketorolac.

Efek Hepar : Bisa terjadi peningkatan borderline satu atau lebih tes fungsi

hati. Pasien dengan gangguan fungsi hati akibat sirosis tidak mengalami

perubahan bersihan Ketorolac yang bermakna secara klinis. Ketorolac

tromethamine tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai medikasi prabedah,

untuk mendukung anestesi atau analgesia obstetri. Belum ada data klinis

mengenai keamanan dan efektivitas pemberian bersama Ketorolac

tromethamine dengan obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya. Ketorolac tidak

dianjurkan digunakan secara rutin bersama dengan obat anti-inflamasi

nonsteroid lain, karena adanya kemungkinan efek samping tambahan.

Untuk pasien gangguan ginjal ringan : Fungsi ginjal harus dipantau pada

pasien yang diberi lebih dari dosis tunggal IM, terutama pada pasien tua.

Retensi cairan dan edema: Pernah dilaporkan terjadinya retensi cairan dan

edema pada penggunaan Ketorolac. Oleh karena itu, Ketorolac harus hati-

hati diberikan pada pasien gagal jantung, hipertensi atau kondisi serupa.

Interaksi Obat

Pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus hati-hati

karena beberapa obat yang menghambat sintesis prostaglandin

dilaporkan mengurangi bersihan Methotrexate, sehingga memungkinkan

peningkatan toksisitas Methotrexate.

Penggunaan bersama NSAID dengan Warfarin dihubungkan dengan

22

Page 23: Dyspnea keperawatan

perdarahan berat yang kadang-kadang fatal. Mekanisme interaksi

pastinya belum diketahui, namun mungkin meliputi peningkatan

perdarahan dari ulserasi gastrointestinal yang diinduksi NSAID, atau

efek tambahan antikoagulan oleh Warfarin dan penghambatan fungsi

trombosit oleh NSAID. Ketorolac harus digunakan secara kombinasi

hanya jika benar-benar perlu dan pasien tersebut harus dimonitor secara

ketat.

ACE inhibitor karena Ketorolac dapat meningkatkan risiko gangguan

ginjal yang dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, terutama

pada pasien yang telah mengalami deplesi volume.

Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap Furosemide kira-kira

20% pada orang sehat normovolemik.

Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila

sedang memakai Ketorolac misalnya antibiotik aminoglikosida.

Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadik selama penggunaan

Ketorolac bersama dengan obat-obat anti-epilepsi.

Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila Ketorolac diberikan pada

pasien yang sedang menggunakan obat psikoaktif.

Anak-anak

Keamanan dan efektivitas pada anak belum ditetapkan.

Lanjut usia

Pasien di atas 65 tahun dapat mengalami efek samping yang lebih besar

daripada pasien muda. Risiko yang berkaitan dengan usia ini umum terdapat

pada obat yang menghambat sintesis prostaglandin. Seperti halnya dengan

semua obat, pada pasien lanjut usia harus dipakai dosis efektif yang

terendah.

Penyalahgunaan dan ketergantungan fisik

Ketorolac tromethamine bukan merupakan agonis atau antagonis narkotik.

Subjek tidak memperlihatkan adanya gejala subjektif atau tanda objektif

putus obat bila dosis intravena atau intramuskular dihentikan tiba-tiba.

Lain-lain

Penyimpanan:

Simpan pada suhu di bawah 30°C, lindungi dari cahaya.

HARUS DENGAN RESEP DOKTER

2.4.5 Captopril

KOMPOSISI

23

Page 24: Dyspnea keperawatan

CAPTOPRIL 12,5 mg

Tiap tablet mengandung:

Kaptopril 12,5 mg

CAPTOPRIL 25 mg

Tiap tablet mengandung:

Kaptopril 25 mg

CAPTOPRIL 50 mg

Tiap tablet mengandung:

Kaptopril 50 mg

Farmakologi:

Kaptopril terutama bekerja pada sistem RAA (Renin-Angiotensin-

Aldosteron), sehingga efektif pada hipertensi dengan PRA (Plasma Renin

Activity) yang tinggi yaitu pada kebanyakan hipertensi maligna, hipertensi

renovaskular dan pada kira-kira 1/6-1/5 hipertensi essensial.

Kaptopril juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan

juga pada hipertensi dengan PRA yang rendah. Obat ini juga merupakan

antihipertensi yang efektif untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi

kombinasi lain. Kombinasi dengan tiazid memberikan efek aditif

sedangkan kombinasi dengan blocker memberikan efek yang kurang

aditif.

Indikasi:

Untuk pengobatan hipertensi sedang dan berat yang tidak dapat

diatasi dengan pengobatan kombinasi lain.

Kaptopril dapat dipergunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan

obat antihipertensi lain terutama tiazid.

Payah jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol

dengan diuretik dan digitalis.

Kontraindikasi:

Hipersensitif terhadap kaptopril dan obat-obat ACE inhibitor lainnya.

Dosis:

Dewasa:

Hipertensi : Dosis awal adalah 12,5 mg-25 mg, 2-3 kali sehari.

Bila setelah 2 minggu belum diperoleh penurunan tekanan darah, maka

dosis dapat ditingkatkan sampai 50 mg, 2-3 kali sehari.

24

Page 25: Dyspnea keperawatan

Gagal jantung : Dosis awal adalah 25 mg, 3 kali sehari, sebaiknya

dimulai dengan 12,5 mg, 3 kali sehari.

Efek samping:

Umumnya kaptopril dapat ditoleransi dengan baik.

Efek samping yang dapat timbul adalah ruam kulit, gangguan

pengecapan, neutropenia, proteinuria, sakit kepala, lelah/letih dan

hipotensi.

Efek samping ini bersifat dose related dengan pemberian dosis kaptopril

kurang dari 150 mg per hari, efek samping ini dapat dikurangi tanpa

mengurangi khasiatnya.

Efek samping lain yang pernah dilaporkan: umumnya asthenia,

gynecomastia.

Kardiovaskular : cardiac arrest, cerebrovascular accident/insufficiency,

rhythm disturbances, orthostatic hipotension,

syncope.

Dermatologi : bullous pemphigus, erythema multiforme exfoliative

dermatitis.

Gastrointestinal : pankreatitis, glossitis, dispepsia.

Hepatobiliary : jaundice, hepatitis, kadang-kadang nekrosis, cholestasis.

Metabolit : symptomatic hyponatremia.

Musculoskeletal : myalgia, myasthenia.

Nervous/psychiatric : ataxia, confusion, depression, nervousness,

somnolence.

Respiratory : bronchospasm, eosinophilic pneumonitis, rhinitis, blurred

vision, impotence.

Seperti ACE inhibitor lainnya dapat menyebabkan sindroma termasuk:

myalgia, arthralgia, interstitial nephritis, vasculitis, peningkatan ESR.

Peringatan dan perhatian:

1. Neutropenia/agranulositosis:

Neutropenia akibat pemberian kaptopril (jumlah neutrofil kurang dari

1000/mm3) 2 kali berturut-turut, bertahan selama obat diteruskan,

insidensinya 0,02% (1/4544) pada penderita dengan fungsi ginjal

(kreatinin serum > 2 mg/dl), dan menjadi 7,2% (8/111) pada penderita

dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit vaskular kolagen seperti

lupus (SLE) atau skleroderma.

25

Page 26: Dyspnea keperawatan

Neutropenia muncul dalam 12 minggu pertama pengobatan, dan

reversibel bila pengobatan dihentikan (90% penderita dalam 3

minggu) atau dosisnya diturunkan.

Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan juga penderita yang

mendapat obat-obat lain yang diketahui dapat menurunkan leukosit

(obat-obat sitotoksik, imunosupressan, fenilbutazon dan lain-lain),

harus dilakukan hitung leukosit sebelum pengobatan setiap 2 minggu

selama 3 bulan pertama pengobatan dan periodik setelah itu.

Mereka juga harus diberi tahu agar segera melapor kepada dokternya

bila mengalami tanda-tanda infeksi akut (faringitis, demam), karena

mungkin merupakan petunjuk adanya neutropenia.

2. Proteinuria/sindroma nefrotik:

Proteinuria yang lebih dari 1 g sehari terjadi pada 1,2% (70/5769)

penderita hipertensi yang diobati dengan kaptopril.

Diantaranya penderita tanpa penyakit ginjal/proteinuria sebelum

pengobatan, insidensinya hanya 0,5% (19/3573) yakni 0,2% pada

dosis kaptopril < 150 mg sehari dan 1% pada dosis kaptopril > 150 mg

sehari. Pada penderita dengan penyakit ginjal/proteinuria sebelum

pengobatan, insidensinya meningkat menjadi 2,1% 946/2196), yakni

1% pada dosis kaptopril > 150 mg sehari. Sindroma nefrotik terjadi

kira-kira 1/5 (7/34) penderita dengan proteinuria.

Data mengenai insiden proteinuria pada penderita GJK belum ada.

Glumerulopati membran ditemukan pada biopsi tetapi belum tentu

disebabkan oleh kaptopril karena glumerulonefritis yang subklinik

jugma ditemukan pada penderita hipertensi yang tidak mendapat

kaptopril. Proteinuria yang terjadi pada penderita tanpa penyakit ginjal

sebelumnya pengobatan tidak disertai dengan gangguan fungsi ginjal.

Proteinuria biasanya muncul setelah 3-9 bulan pengobatan (range 4

hari hingga 22 bulan). Pada sebagian lagi, proteinuria menetap

meskipun obat dihentikan. Oleh karena itu pada penderita dengan

risiko tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan protein dalam urin sebelum

pengobatan, sebulan sekali selama 9 bulan pertama pengobatan dan

periodik setelah itu.

3. Gagal ginjal/akut:

Fungsi ginjal dapat memburuk akibat pemberian kaptopril pada

penderita dengan gangguan fungsi ginjal sebelum pengobatan. Gejala

ini muncul dalam beberapa hari pengobatan; yang ringan (kebanyakan

26

Page 27: Dyspnea keperawatan

kasus) reversibel atau stabil meski pengobatan diteruskan, sedangkan

pada yang berat dan progresif, obat harus dihentikan. Gejala ini akibat

berkurangnya tekanan perfusi ginjal oleh kaptopril, dan karena

kaptopril menghambat sintesis A II intrarenal yang diperlukan untuk

konstriksi arteriola eferen ginjal guna mempertahankan filtrasi

glomerulus pada stenosis arteri ginjal. Gagal ginjal yang akut dan

progesif terutama terjadi pada penderita dengan stenosis arteri tinggi

tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi

ginjal tunggal 93/8). Karena itu pada penderita dengan risiko tinggi

tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi

ginjal (kreatinin serum dan BUN), dan dosis kaptopril dimulai

serendah mungkin. Bila terjadi azotemia yang progresif, kaptopril

harus dihentikan dan gejala ini reversibel dalam 7 hari.

4. Morbiditas dan mortalitas pada fetus dan neonatus:

Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat

menyebabkan gangguan/kelainan organ pada fetus atau neonatus.

Apabila pada pemakaian obat ini ternyata wanita itu hamil, maka

pemberian obat harus dihentikan dengan segera. Pada kehamilan

trimester II dan III dapat menimbulkan gangguan antara lain;

hipotensi, hipoplasia-tengkorak neonatus, anuria, gagal ginjal

reversibel atau irreversibel dan kematian.

Juga dapat terjadi oligohidramnion, deformasi kraniofasial,

perkembangan paru hipoplasi, kelahiran prematur, perkembangan,

retardasi intrauteri, patenduktus arteriosus.

Bayi dengan riwayat dimana selama didalam kandungan ibunya

mendapat pengobatan penghambat ACE, harus diobservasi intensif

tentang kemungkinan terjadinya hipotensi, oliguria dan hiperkalemia.

Interaksi obat:

Pemberian obat diuretik hemat kalium (spironolakton-triamteren,

anulona) dan preparat kalium harus dilakukan dengan hati-hati

karena adanya bahaya hiperkalemia.

Penghambat enzim siklooksigenase sepeti indometasin, dapat

menghambat efek kaptopril.

Disfungsi neurologik pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang

diberi kaptopril dan simetidin.

Kombinasi kaptopril dengan allopurinol tidak dianjurkan, terutama

gagal ginjal kronik.

27

Page 28: Dyspnea keperawatan

2.4.6 Digoxin

MEKANISME: Digoxin meningkatkan kekuatan dan kekuatan

kontraksi jantung, dan berguna dalam pengobatan gagal jantung. Digoksin

meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dengan menghambat

aktivitas dari enzim (ATPase) yang mengontrol pergerakan kalsium,

natrium dan kalium dalam otot jantung. ATPase menghambat peningkatan

kalsium dalam otot jantung dan karena itu meningkatkan kekuatan

kontraksi jantung. Digoxin listrik juga memperlambat konduksi antara

atrium dan ventrikel jantung dan berguna dalam mengobati abnormal

ritme atrium cepat seperti atrial fibrilasi, atrial bergetar, dan atrial

takikardia. (Secara abnormal ritme atrium cepat dapat disebabkan oleh

serangan jantung, kelebihan hormon tiroid , alkohol, infeksi, dan banyak

kondisi lain.) Selama ritme atrium cepat, sinyal-sinyal listrik dari atrium

cepat menyebabkan kontraksi ventrikel. Rapid ventrikel kontraksi tidak

efisien dalam memompa darah yang mengandung oksigen dan nutrisi ke

dalam tubuh, menyebabkan gejala kelemahan, sesak napas, pusing, dan

bahkan sakit dada. Digoxin mengurangi gejala ini dengan menghalangi

konduksi listrik antara atrium dan ventrikel, sehingga memperlambat

kontraksi ventrikel. The FDA approved digoxin in 1975. Digoxin disetujui

FDA pada tahun 1975.

Persiapan: Tablet: 0,125, dan 0,25 mg; Elixir: 0.05, 0.25, dan 0,1

mg / ml.

STORAGE: Digoxin harus disimpan pada suhu kamar, 59-86 F (15-30 C)

dan terlindung dari cahaya.

Diresepkan untuk: Digoxin digunakan untuk ringan hingga sedang

kongestif gagal jantung dan untuk mengobati sebuah irama jantung

abnormal disebut atrial fibrilasi.

Dosis: Digoxin dapat diambil dengan atau tanpa makanan.

Digoxin terutama dihilangkan oleh ginjal, sehingga dosis digoksin

harus dikurangi pada pasien dengan disfungsi ginjal. Digoxin darah

digunakan untuk menyesuaikan dosis untuk menghindari toksisitas. Dosis

awal yang biasa adalah 0,0625-0,25 mg per hari, tergantung pada usia dan

fungsi ginjal. Dosis dapat ditingkatkan setiap dua minggu untuk mencapai

respon yang dikehendaki.

28

Page 29: Dyspnea keperawatan

Interaksi Obat: Obat-obatan seperti verapamil (calan, Verelan, Verelan

PM, Isoptin, Isoptin SR, Covera-HS), quinidine (Quinaglute, Quinide),

Amiodarone (Cordarone), indometasin (Indocin, Indocin-SR), alprazolam

(Xanax, Xanax XR, Niravam), spironolactone (aldactone), dan

itraconazole (Sporanox) dapat meningkatkan kadar digoxin dan risiko

toksisitas. [misalnya propranolol (Inderal, Inderal LA) atau calcium

channel blockers (misalnya, verapamil), yang juga mengurangi denyut

jantung, dapat menyebabkan perlambatan denyut jantung.

Diuretic-induced [misalnya, dengan furosemide (Lasix)] penurunan

kalium darah atau magnesium tingkat dapat mempengaruhi pasien untuk

digoxin-induced ritme jantung abnormal. Saquinavir (Invirase) dan

ritonavir (Norvir) meningkatkan jumlah digoksin dalam tubuh dan dapat

menyebabkan toksisitas digoxin.

KEHAMILAN: Tidak ada penelitian yang memadai pada wanita

hamil.

NURSING IBU: Digoxin di dalam ASI yang dikeluarkan pada

konsentrasi sama dengan konsentrasi dalam darah ibu. Namun, jumlah

total digoksin yang akan diserap dari air susu ibu oleh bayi mungkin tidak

cukup untuk menyebabkan efek. Caution should be exercised by nursing

mothers who are taking digoxin. Perhatian harus dilakukan oleh ibu-ibu

menyusui yang mengambil digoxin.

Efek Samping: Efek samping yang umum adalah mual, muntah, sakit

kepala, pusing, kulit ruam, dan perubahan mental. Banyak efek samping

digoksin tergantung dosis dan terjadi ketika tingkat darah di kisaran

terapeutik yang sempit. Oleh karena itu, digoxin efek samping dapat

dihindari dengan menjaga kadar darah dalam tingkat terapeutik. Efek

samping yang serius yang berhubungan dengan digoxin termasuk blok

jantung, denyut jantung yang cepat, dan memperlambat detak jantung.

Digoxin juga telah dikaitkan dengan gangguan visual (penglihatan kabur

atau kuning), sakit perut, dan pembesaran payudarara. Pasien dengan

kadar kalium darah rendah dapat mengembangkan toksisitas digoxin

bahkan ketika kadar digoxin tidak dianggap tinggi. Demikian pula, tinggi

kalsium dan magnesium rendah kadar darah dapat meningkatkan toksisitas

digoksin dan menghasilkan gangguan serius dalam irama jantung.

29

Page 30: Dyspnea keperawatan

2.4.7 Acetil salicylacid

- Nama & Struktur Kimia : Merupakan ester salisilat dari asam.

C9H8O4

Golongan/Kelas Terapi

Analgesik Non Narkotik

 

Nama Dagang

- Aptor - Aspilets - Aspimec

- Astika - Bodrexin - Cardio Aspirin

- Procardin - Restor - Thrombo Aspilets

Indikasi

Nyeri :

Sakit kepala, nyeri-nyeri ringan lain yang berhubungan dengan adanya inflamasi.

Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian

Nyeri & Demam :

Penyakit Inflamasi :

Dosis awal : 2,4-3,6g/hari dalam dosis terbagi dapat ditingkatkan 325mg-1,2g/hari.

Dosis pemeliharaan : 3,6-5,4g/hari.

Gejala Juvenile Arthritis :

Dosis awal :

Anak-anak dengan BB < 25kg : 60-130mg/kg BB/hari.

Anak-anak dengan BB > 25kg : 2,4-3,6g/hari dalam dosis terbagi

Dewasa : 650mg-1,3g setiap 8 jam, tidak lebih dari 3,9g/hari.

Kontraindikasi

Alergi terhadap Aspirin dan golongan salisilat

Efek Samping

Reye's syndrome : Iritasi lambung karena bersifat asam.

Pengaruh

Terhadap Kehamilan : -

Terhadap Ibu Menyusui : -

30

Page 31: Dyspnea keperawatan

Terhadap Anak-anak : Reyes Syndrome.

Terhadap Hasil Laboratorium : -

Parameter Monitoring

Bentuk Sediaan

Tablet Salut Tahan Asam 80 mg, 100 mg, 160 mg, Tablet Biasa 500 mg.

Peringatan

Reye's syndrome pada anak Swamedikasi nyeri dan demam.

Kasus Temuan Dalam Keadaan Khusus

Informasi Pasien

Minum setelah makan dengan satu gelas air / susu.

Mekanisme Aksi

Asetilasi enzim PGHS.

Monitoring Penggunaan Obat

Munculnya efek samping.

31

Page 32: Dyspnea keperawatan

BAB III

DATA DAN ASUHAN KEPERAWATAN

3. 1 DATA

3.1.1 Catatan Harian Dokter

Ny”S” RM : 007116

No Tanggal Jam Keadaan Klinis Pengobatan

1. 26-02-

10

05.50 Data subyektif:

Sesak (+) 3 hari, nafas

ngongsrong (+) 2 hari,

mua (+), muntah (-),

panas (+), batuk (+).

Data obyektif:

Keadaan umum: sedang,

kesadaran

composmentis.

Tekanan darah: 110/80

mm Hg

Nadi: 100x/menit

RR: 32x/menit

Thorax: ronchi +/+

Wheezing -/-

Abdomen: dalam bata

normal.

Extremitas: akral hangat

A: obs. dispnea

Infus RL 15 tetes per menit

Pasang O2

Pasang DC

Posisi semi fowler

Injeksi: ranitidine 2x1 ampul

Exstra lasix ½ ampul

ECG, GPA

Lab: DL, OT, PT, ureum kreatinin.

2. 27-02-

10

16.45 Sesak(+) - Imobilisasi

- O2 nasal kanul : 2 liter per

menit

- Semifowler

- Ketorolac 3x1 ampul

- Ranitidine 3x1 ampul

- Lasik 3x1 ampul

- Per oral: Digoxin 1x 0,25

- Captopril 2x6,25

- Observasi vital sign

32

Page 33: Dyspnea keperawatan

3

4.

28-02-

10

01-03-

10

08.00

07.00

Data subyektif:

Sesak (+) 3 hari, nafas

ngongsrong (+) 2 hari,

mua (+), muntah (-),

panas (+), batuk (+).

Data obyektif:

Keadaan umum: sedang,

kesadaran

composmentis.

Tekanan darah: 110/80

mm Hg

Nadi: 100x/menit

RR: 32x/menit

Thorax: ronchi +/+

Wheezing -/-

Abdomen: dalam bata

normal.

Extremitas: akral hangat

A: obs. dispnea

Data subyektif:

Sesak (+) hari, nafas

ngongsrong (+) hari,

mua (+), muntah (-),

panas (+), batuk (+).

Data obyektif:

Keadaan umum:

lemah , kesadaran

composmentis.

Tekanan darah:

80/50mm Hg

Nadi: 92x/menit

RR: 22x/menit

Suhu: 36 C

Thorax: ronchi +/+

Wheezing -/-

Abdomen: dalam bata

- Imobilisasi

- O2 nasal kanul : 2 liter per

menit

- Semifowler

- Ketorolac 3x1 ampul

- Ranitidine 3x1 ampul

- Lasik 3x1 ampul

- Per oral: Digoxin 1x 0,25

Captopril 2x6,25

Observasi vital sign

Per oral:

Digoxin 0,25 mg

Captopril 12,5 mg

33

Page 34: Dyspnea keperawatan

5

6

02-03-

10

03-03-

10

07.00

normal.

Extremitas: akral hangat

A: obs. Disp

Data subyektif:

Sesak (-) hari, nafas

ngongsrong (+) , mual

(+), muntah (-), panas

(+), batuk (+).

Data obyektif:

Keadaan umum:

lemah , kesadaran

composmentis.

Tekanan darah:

80/50mm Hg

Nadi: 92x/menit

RR: 22x/menit

Suhu: 36 C

Thorax: ronchi +/+

Wheezing +/+

Abdomen: dalam bata

normal.

Extremitas: akral hangat

A: obs. Dispnea

Data subyektif:

Sesak (-) hari, nafas

ngongsrong (+) , mual

(+), muntah (-), panas

(+), batuk (+).

Data obyektif:

Keadaan umum:

lemah , kesadaran

composmentis.

Tekanan darah:

80/50mm Hg

Nadi: 92x/menit

Acetil salicylad 80 mg

- Ranitidine 2x1 ampule

- Ketorolac stop

- Paru tidak dilanjutkan/selesai.

- Terapi lain-lain tetap.

34

Page 35: Dyspnea keperawatan

RR: 22x/menit

Suhu: 36 C

Thorax: ronchi +/+

Wheezing +/+

Abdomen: dalam bata

normal.

Extremitas: akral hangat

A: obs. Dispnea

- Paru tidak dilanjutkan/selesai.

- Terapi lain-lain tetap.

3.1.2 Lembar Instruksi Dokter dan Laporan Perawat/Bidan

Instruksi dokter laporan perawat/bidan

Tanggal/jam Isi paraf nama terang dokter Tanggal/jam Isi paraf nama

terang perawat

Malam

20.00 wib

Batuk(+)

Terapi : RL

Injeksi : (-)

28/2/10

Sore

Malam

28/2/10

sore

Keadaan umum

lemah sesak(+)

Terapi : infus

RL

Injeksi

ketorolac

Injeksi

ranitidine.

Keadaan umum

lemah,batuk,ses

ak

Terapi: infus

RL, injeksi

ranitidine.

Keadaan umum

lemah sesak(+)

Terapi : infus

RL

Injeksi

35

Page 36: Dyspnea keperawatan

Malam

01/03/10

Sore

ketorolac

Injeksi

ranitidine

Keadaan umum

lemah,batuk,ses

ak

Terapi: infus

RL, injeksi

ranitidine.

Keadaan umum

lemah sesak(+)

Terapi : infus

RL

Injeksi

ketorolac

Injeksi

ranitidine

Keadaan umum:

lemah,batuk(+)

Terapi: infus

RL,

Injeksi lasix,

injeksi

ranitidine.

36

Page 37: Dyspnea keperawatan

3.1.3 Data Laboratorium

Ny.S

Tanggal : 27-02-10 RM: 007116

Jenis PemeriksaanHasil

PenelitianNormal Metode

Hematologi

1. Hemoglobin

2. Leukosit

3. Eritrosit

4. Laju endap darah

5. Hematokrit

6.Trombosit

7. Diffount

11,6

5,940

3,87

50

35

114.000

0/0/0/65/17/

8

P 13,0 – 18,0 mg/dl

L 14,0 – 18,0 mg/dl

3500 – 1000 /cmm

L 4,5 – 6,5 juta/cmm

P 3,0 – 6,0 juta/cmm

L 0 – 5 /jam

P 0 – 7 /jam

L 40 – 54 %

P 35 – 47 %

150.000 – 450.000

1 – 2 /0 – 1/ 3 – 5/54-62/25 –

33/3 – 7

Floweytometri

Westergen

Floweytometri

FAAL HATI

8. SGOT

9. SGPT

19

25

Up to 37 m /ml

Up to 40 m /ml

IFCC

IFCC

ELEKTROLIT ISE

10. Kalium serum

11. Natrium serum

12. Clorida serum

4,0

137

98

3,5 – 5,2 m Mol / I

135 – 146 m Mol / I

94 – 111 m Mol / I

ISE

ISE

ISE

FAAL GINJAL

13. BUN

14. Serum Kreatinin

15. Uric acid

14,5

1,04

5,6

10 – 20 mg / dl

P 0,7 – 1,2 mg/dl

L 0,8 – 1,5 mg /dl

P 1,9 – 5,1 mg/dl

L3,1 – 7,9 mg/dl

Bartelot

Jaffe

PAP

LEMAK

16. Cholesterol

17. Trigiiserida

18. HDL cholesterol

19. LDL kholesterol

99

104

19

59

< 250 mg/dl

60 – 165 mg/dl

> 35 mg/dl

< 150 mg/dl

600 – PAP

GPO – PAP

CHOD – PAP

CHOD – PAP

37

Page 38: Dyspnea keperawatan

KADAR LEMAK

20. Gula Darah Puasa 104 63 – 115 mg/dl

3.1.4 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan / penampilan / kesan umum klien :

Keadaan lemah, akral hangat, klien terpasang infuse, klien terpasang

kateter

2. Tanda – tanda vital

- Suhu tubuh : 36,5° C

- Denyut nadi : 92 x /menit

- Tekanan darah : 110/80 mmHg

- Respirasi : 32 x /menit

3. Pemeriksaan fisik

Kepala : Bentuk simetris, tidak ada lesi

Rambut : Penyebaran merata, panjang, kotor dan beruban

Wajah : Bentuk oval

Mata : Tidak ikterus

Hidung : Tidak terpasang NGT

Telinga : Bentuk simetris, tidak ada nodul

Mulut dan facing : Mulut kering dan kotor

Leher : Tidak ada pembesaran

4. Pemeriksaan Integumen / kulit dan kuku :

Kulit keriput, akral hangat, hidrasi kulit kurang, CRT < 2 detik, kuku tidak

sianosis

5. Pemeriksaan payudara

Tidak dilakukan pemeriksaan secara spesifik

6. Pemeriksaan Thorak dan Dada :

Bentuk Thmrak normal chest, stridor (-)

7. Pemeriksaan Paru

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris

Palpasi : Vocal vemitus kanan / kiri

Peckusi : Terdengar suara resonan

Auskultasi : Ronchi +/+. Whezing (-)

8. Pemeriksaan Jantung :

A / BT II ICS 2 kanan : S1, S2 tunggal

P / BT II ICS 2 kiri : S2 tunggal

T / BT I ICS 3 kiri : terdengar suara Ronchi +/+

38

Page 39: Dyspnea keperawatan

M / BT ICS 5 kiri : Whezing (-)

9. Pemeriksaan Abdomen :

Inspeksi : tidak ada bayangan vena, bentuk datar

Palpasi : terdenagar suara tympani

Perkusi : tidak terdapat nyeri tekan

Auskultasi : Bising usus lemah

10. Pemeriksaan kelamin dan daerah sekitar :

a. Pemeriksaan genetalia

Tidak ada pemeriksaan secara klinis

b. Pemeriksaan anus

Tidak ada pemeriksaan klinis

3.2 Asuhan Keperawatan

3.2.1 Pengkajian

A. Identitas Klien Dan Keluarga

Inisial Pasien : Ny. S.

Umur : 56 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : -

Status : Kawin

Golongan darah : B

Inisial Informan : Tn. B

Hubungan Keluarga : Suami

Umur : 60 tahun

Alamat : JL. Seruji RT 04 RW 01

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

B. Riwayat Pekerjaan Keluarga

1. Keluarga Utama

- Keluhan saat MRS

Pasien datang ke rumah sakit RSD dr. Haryoto dengan keluhan sesak

dan mengalami kesulitan dalam bernapas.

- Keluhan saat ini

Pasien mengatakan sulit bernapas dan sesak

2. Riwayat penyakit sekarang

39

Page 40: Dyspnea keperawatan

Suami pasien mengatakan istrinya sesak sekitar 2 hari yang lalu, dan

suaminya membawa ke rumah sakit RSD dr. Haryoto Lumajang.

3. Riwayat penyakit masa lalu

Pasien sering sesak

4. Pola fungsi kesehatan :

a. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan

Keluarga pasien mengatakan, sebelum MRS jika ada keluarga

yang sakit langsung dibawah ke puskesmas.

b. Pola nutrisi dan metabolik

Sebelum MRS : pasien makan 3X sehari

Selama MRS : pasien hanya makan 5 sendok setiap makan

c. Pola eliminasi

Sebelum MRS : Pasien BAB : 1 x sehari

Pasien BAK : 4 – 6 x sehari

Saat MRS : Pasien tidak BAB sejak MRS

Pasien BAK dengan terpasang kateter

d. Pola tidur dan istirahat

Pasien hanya terbaring di tempat tidur

e. Pola Aktivitas dan Istirahat

Aktivtas pasien terganggu karena badrest total

f. Pola sensori dan pengetahuan

Penatalaksanaan kesehatan dalam keluarga cukup baik apabila

ada anggota keluarga yang sakit

g. Pola hubungan Interpersonal dan peran

Pasien tidak dapat menjalankan perannya sebagai ibu rumah

tangga.

h. Pola persepsi dan gambaran diri

- Gambaran diri : Pasien menerima keadaan sakitnya

dengan sedikit

pengelakan

- Ideal diri : Pasien pesimis akan lesembuhannya

- Identitas diri : Pasien mengaku bernama NY. S

- Harga diri : Harga diri pasien turun karena tidak

dapat menjalankan perannya.

- Peran : Pasien merasa sedih

40

Page 41: Dyspnea keperawatan

i. Pola preproduksi dan seksual

Tidak dilakukan pemeriksaan secara spesifik

j. Pola penanggulanagn stress

Pasien merasa cemas dengan penyakitnya

k. Pola nilai dan kepercayaan

Pasien beragama Islam dan aktivitas ibadanya terganggu

karena sakit yang dideritanya

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan / penampilan / kesan umum klien

Keadaan lemah, akral hangat, klien terpasang infuse, klien terpasang

kateter

2. Tanda – tanda vital

- Suhu tubuh : 36,5° C

- Denyut nadi : 92 x /menit

- Tekanan darah : 110/80 mmHg

- Respirasi : 32 x /menit

3. Pemeriksaan fisik

Kepala : Bentuk simetris, tidak ada benjolan

Rambut : Penyebaran merata, panjang, kotor, dan tidak

beruban

Wajah : Bentuk lonjong

Mata : Tidak Ikterus

Hidung : simetris

Telinga : Bentuk simetris, tidak ada nodul

Mulut dan faring : bibir lembab

Leher : Tidak ada pembesaran

4. Pemeriksaan Integumen / kulit dan kutu

Kulit keriput, akral hangat, CRT < 2 detik, kuku tidak sianosis

5. Pemeriksaan payudara

Tidak dilakukan pemeriksaan secara spesifik

6. Pemeriksaan Thoraks / Dada :

Bentuk thoraks normal chest stridor (-)

7. Pemeriksaan Paru

I : Pergerakan dinding dada simetris

P : Vocal vemitus kanan / kiri

P : Terdengar suara resonan

A : Ronchi +/+. Whezing (-)

41

Page 42: Dyspnea keperawatan

8. Pemeriksaan Jantung

A / BT II ICS 2 kanan : S1, S2 tunggal

P / BT II ICS 2 kiri : S2 tunggal

T / BT I ICS 3 kiri : terdengar suara Ronchi +/+

M / BT ICS 5 kiri : Whezing (-)

9. Pemeriksaan Abdoemen

I : tidak ada bayangan vena, bentuk datar

P : terdenagar suara tympani

P : tidak terdapat nyeri tekan

A : Porsing usus lemah

10. Pemeriksaan dan daerah sekitar

a. Pemeriksaan Genetalia

Tidak ada pemeriksaan secara klinis

b. Pemeriksaan Anus

Tidak ada pemeriksaan secara klinis

11. Pemeriksaan Muskulo ekeletal lekstemitas atas dan bawah

Akral hangat

Reflek patologi : Reflek fisiologi :

Cardok : -/- Patela : +/-

Babinski : +/- Achiles : +/-

Gordon : +/- Bisep : +/-

Opnhim : -/- Tricep : +/-

12. Pemeriksaan Neurologi

Eyes : 1 visual : 1 Motori : 1

Reflek patologi Reflek fisiologi

Cardoc : -/- Patela : +/-

Babinski : +/- Achiles : +/-

Gordon : +/- Bisep : +/-

Oponhim : -/- Trisep : +/-

D. Diagnosa Medis

S.C.F Digiti III Manus Sinistra Ruptur Tendon

42

Page 43: Dyspnea keperawatan

3.2.2 Analisa Data

Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien dispneu antara

lain :

a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan

bronkospasme (Lindajual C.;1995).

b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding

dada dan kelelahan akibat kerja pernafasan, (Hudak dan Gallo ;1997).

c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.

(Lindajual C;1995).

d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2,

peningkatan sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit,

(Susan Martin Tucker;1993).

e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan

ansietas, (Hudak dan Gallo;1997)..

f. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO2

hipoksemia, emosi terfokus pada pernafasan dan apnea tidur, (Hudak dan

Gallo;1997).

Resiko tinggi ketidak patuhan yang berhubungan dengan kurang

pengetahuan tentang kondisi dan perawatan diri saat pulang,(Susan Martin

Tucker;1993).

No DATA PENYEBAB MASALAH

1 Tanggal 26-02-10

Data Subyektif :

- Klien mengatakan sesak dan

sulit bernapas

Data Obyektif :

- Keadaan klien lemah

- Klien hanya terbaring

ditempat tidur

- Klien ngongsrong

- Klien sesak

- Klien terpasang O2

- Batuk

- Kesadaran : Komposmentis

- Tekanan darah : 110/80

Bronkospasme Ketidak efektifan

bersihan jalan napas

43

Page 44: Dyspnea keperawatan

mmHg

- Nadi : 100 x /menit

- Respirasi : 32 x /menit

- Suhu : 36,5°C

2 Tanggal 26-02-10

Data Subyektif :

- klien mengatakan sesak dan sulit

bernapas

Data Obyektif :

- Keadaan klien lemah

- Klien hanya terbaring

ditempat tidur

- Klien ngongsrong

- Klien sesak

- Klien terpasang O2

- Batuk

- Kesadaran : Komposmentis

- Tekanan darah : 110/80

mmHg

- Nadi : 100 x /menit

- Respirasi : 32 x /menit

- Suhu : 36,5°C

Distensi dinding

dada dan

kelelahan akibat

kerja pernapasan

Ketidak efektifan

pola napas

3. Tanggal 26-02-10

Data Subyektif :

- Klien mengatakan sesak dan

sulit bernapas

Data Obyektif :

- Keadaan klien lemah

- Klien hanya terbaring

ditempat tidur

retensi CO2,

peningkatan

sekresi,

peningkatan kerja

pernafasan dan

proses penyakit

Kerusakan

pertukaran gas

44

Page 45: Dyspnea keperawatan

- Klien ngongsrong

- Klien sesak

- Klien terpasang O2

- Batuk

- Kesadaran : Komposmentis

- Tekanan darah : 110/80

mmHg

- Nadi : 100 x /menit

- Respirasi : 32 x /menit

- Suhu : 36,5°C

3.2.3 Prioritas Masalah Keperawatan

No Dianogsa Tanggal Masuk Tanggal Teratasi

1

2

3

Ketidak efektifan bersihan jalan

nafas yang berhubungan dengan

bronkospasme

Ketidak efektifan pola nafas yang

berhubungan dengan distensi

dinding dada dan kelelahan akibat

kerja pernafasan

Kerusakan pertukaran gas yang

berhubungan dengan retensi CO2,

peningkatan sekresi, peningkatan

kerja pernafasan dan proses

penyakit

26-02-10

26-02-10

26-02-10

Belum teratasi

Belum teratasi

Belum teratasi

3.2.4 Rencana Tindakan Keperawatan

45

Page 46: Dyspnea keperawatan

No Dianogsa

Keperawatan

Tujuan dan

kriteria hasil

Intervensi Rasional

1 Ketidak

efektifan

bersihan jalan

nafas yang

berhubungan

dengan

bronkospasme

- Jalan napas

menjadi efektif

- menentukan

posisi yang

nyaman

sehingga

memudahkan

peningkatan

pertukaran gas.

- dapat

mendemontrasi

kan batuk

efektif

- dapat

menyatakan

strategi untuk

menurunkan

kekentalan

sekresi

- tidak ada suara

nafas tambahan

- Kaji warna, kekentalan

dan jumlah sputum

- Instruksikan klien pada

metode yang tepat

dalam mengontrol

batuk.

- Auskultasi paru

sebelum dan sesudah

tindakan

- Lakukan fisioterapi

dada dengan tehnik

drainage

postural,perkusi dan

fibrasi dada.

- Dorong dan atau

berikan perawatan

mulut

- Karakteristik

sputrum dapat

menunjukkan berat

ringannya obstruksi

- Batuk yang tidak

terkontrol

melelahkan dan

inefektif serta

menimbulkan

frustasi

- Berkurangnya suara

tambahan setelah

tindakan

menunjukan

keberhasilan

- Fisioterpi dada

merupakan strategi

untuk mengeluarkan

sekret.

- Hygiene mulut yang

baik meningkatkan

rasa sehat dan

mencegah bau mulut

2 Ketidak

efektifan pola

nafas yang

berhubungan

dengan distensi

dinding dada

dan kelelahan

akibat kerja

pernafasan

Klien

mendemontrasikan

pola nafas efektif

- Frekuensi nafas

yang efektif dan

perbaikan

pertukaran gas

pada paru

- Menyatakan

faktor

- Monitor frekuensi,

irama dan kedalaman

pernafasan

- Posisikan klien dada

posisi semi fowler

- Alihkan perhatian

individu dari pemikiran

- Takipnea, irama

yang tidak teratur

dan bernafas dangkal

menunjukkan pola

nafas yang tidak

efektif

- Posisi semi fowler

akan menurunkan

diafragma sehingga

memberikan

pengembangan pada

46

Page 47: Dyspnea keperawatan

penyebab dan

cara adaptif

mengatasi

faktor-faktor

tersebut

tentang keadaan

ansietas dan ajarkan

cara bernafas efektif

- Minimalkan distensi

gaster

- Kaji pernafasan selama

tidur

- Yakinkan klien dan

beri dukungan saat

dipsnea

organ paru

- Ansietas dapat

menyebabkan pola

nafas tidak efektif

- Distensi gaster dapat

menghambat

kontraksi diafragma

- Adanya apnea tidur

menunjukkan pola

nafas yang tidak

efektif

- Rasa ragu–ragu pada

klien dapat

menghambat

komunikasi

terapeutik.

3 Kerusakan

pertukaran gas

yang

berhubungan

dengan retensi

CO2,

peningkatan

sekresi,

peningkatan

kerja

pernafasan dan

proses

penyakit

Klien akan

mempertahankan

pertukaran gas dan

oksigenasi adekuat.

- Frekuensi nafas

16 – 20

kali/menit

- Frekuensi nadi

60-120

kali/menit

- Warna kulit

normal, tidak ada

dipnea dan GDA

dalam batas

norma

- Pantauan status

pernafasan tiap 4 jam,

hasil GDA, pemasukan

dan haluaran

- Tempatkan klien pada

posisi semi fowler

- Berikan terapi

intravena sesuai

anjuran

- Berikan oksigen

melalui kanula nasal 4

l/mt selanjutnya

sesuaikan dengan hasil

- untuk

mengidentisifikasi

indikasi kearah

kemajuan atau

penyimpangan dari

hasil klien

- posisi tegak

memungkinkan

ekspansi paru lebih

baik

- untuk

memungkinkan

rehidrasi yang cepat

dan dapat mengkaji

keadaan vaskuler

untuk pemberian

obat-obatan darurat

- pemberian oksigen

mengurangi beban

47

Page 48: Dyspnea keperawatan

PaO2

- Berikan pengobatan

yang telah ditentukan

serta amati bila ada

tanda-tanda toksisitas

otot-otot pernafasan

- pengobatanuntuk

mengembalikan

kondisi bronkus

seperti kondisi

sebelumnya

- untuk memudahkan

bernafas dan

mencegah etelektasis

3.2.5 Implementasi

Ny.”S” RM:007116

TANGGAL NO OX

KEP.

IMPLEMENTASI

26-02-10 1 - Mengkaji warna, kekentalan dan jumlah

sputum

- Menginstruksikan klien pada metode yang

tepat dalam mengontrol batuk.

- Mengauskultasi paru sebelum dan sesudah

tindakan

- Melakukan fisioterapi dada dengan tehnik

drainage postural,perkusi dan fibrasi dada.

- Mendorong dan atau berikan perawatan

mulut

- Kolaborasi :

26-02-10 2 - Memonitor frekuensi, irama dan kedalaman

pernafasan

48

Page 49: Dyspnea keperawatan

- Memposisikan klien dada posisi semi fowler

- Mengalihkan perhatian individu dari

pemikiran tentang keadaan ansietas dan

ajarkan cara bernafas efektif

- Meminimalkan distensi gaster

- Mengkaji pernafasan selama tidur

- Monitor frekuensi, irama dan kedalaman

pernafasan

- Posisikan klien dada posisi semi fowler

- Megalihkan perhatian individu dari

pemikiran tentang keadaan ansietas dan

ajarkan cara bernafas efektif

- meminimalkan distensi gaster

- Mengkaji pernafasan selama tidur

- Kolaborasi :

26-02-10 3 - Memantauan status pernafasan tiap 4 jam,

hasil GDA, pemasukan dan haluaran

- Menempatkan klien pada posisi semi fowler

- Memberikan terapi intravena sesuai anjuran

- Memberikan oksigen melalui kanula nasal 4

l/mt selanjutnya sesuaikan dengan hasil

49

Page 50: Dyspnea keperawatan

PaO2

- Memberikan pengobatan yang telah

ditentukan serta amati bila ada tanda-tanda

toksisitas

- Kolaborasi :

Catatan Perkembangan

Ny.”S” RM: 007116

No Tanggal Dianogsa Evaluasi

1 27-02-10 Ketidak efektifan

bersihan jalan nafas

yang berhubungan

dengan bronkospasme

S : - Klien mengatakan sesak dan

batuk

O : - Keadaan umum lemah

- Napas ngongsrong

- Ronchi (+)

- RR = 32x/mnt

- Tekanan darah : 120/60mmHg

- Nadi : 84x /menit

- Suhu : 36,5°C

A : - Masalah belum teratasi

P : - Pertahankan Interverensi

2 27-02-10 Ketidak efektifan

pola nafas yang

berhubungan dengan

distensi dinding dada

dan kelelahan akibat

kerja pernafasan

S : - Klien mengatakan sesak dan

batuk

O : -Keadaan umum lemah

- Klien masih terpasang O2

- Napas ngongsrong

- Ronchi (+)

- RR = 32x/mnt

- Tekanan darah : 120/60mmHg

- Nadi : 84x /menit

- Suhu : 36,5°C

A : - Masalah belum teratasi

P : - Pertahankan Intervensi

3 27-02-10 Kerusakan pertukaran

gas yang

berhubungan dengan

retensi CO2,

S : - Klien mengatakan sesak dan

batuk

O : - Keadaan umum lemah

50

Page 51: Dyspnea keperawatan

peningkatan sekresi,

peningkatan kerja

pernafasan dan proses

penyakit

- Napas ngongsrong

- Ronchi (+)

- RR = 32x/mnt

- Tekanan darah : 120/60mmHg

- Nadi : 84x /menit

- Suhu : 36,5°C

A : - Masalah belum teratasi

P : - Pertahankan Interverensi

51

Page 52: Dyspnea keperawatan

BAB IV

PEMBAHASAN

Dispnea atau sesak merupakan keadaan yang sering ditemukan pada penyakit

paru maupun penyakit jantung. Bila nyeri dada merupakan keluhan yang paling

dominan dalam infark jantung, maka dispnea (sesak napas) merupakan hal yang

dominan pada emboli paru,bahkan sesak napas merupakan gejala utama pada payah

jantung.

Secara umum yang dimaksud dengan dispnea adalah kesulitan bernafas.

Kesulitan bernafas ini terlihat dengan adanya kontraksi dari otot-otot pernapasan

tambahan. Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan tetapi dapat pula

terjadi dengan cepat.

Dari hasil pengkajian yang didapatkan pada tanggal 26 februari 2010 di

Ruang Interna RSD Dr. Haryoto Lumajang, Ny. “S” datang pada tanggal 26 februari

2010 jam 05.14 dengan kesadaran sedang,sesak (+) 3 hari, nafas ngongsrong, mual,

muntah, panas, batuk.. Maka dari hasil pemeriksaan yang diperoleh pada Ny. “S”

ditagakkan diagnosa medis Dyspneu. Dan diagnosa keperawatan yang didapatkan

pada Ny. “S

a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan bronkospasme

(Lindajual C.;1995).

b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada dan

kelelahan akibat kerja pernafasan, (Hudak dan Gallo ;1997).

c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.

(Lindajual C;1995).

d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan

sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit,(Susan Martin

Tucker;1993).

e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang

berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas,

(Hudak dan Gallo;1997)..

f. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO2 hipoksemia, emosi

terfokus pada pernafasan dan apnea tidur, (Hudak dan Gallo;1997).

Maka, untuk tindakan mandiri dilakukan tindakan keperawatan sesuai dengan

diagnosa keperawatan dan rencana tindakan keperawatan serta evaluasi pada Ny. “S”

seperti yang terterah di bab tiga pada Asuhan Keperawatan pada Ny “S”. Sedangkan

untuk tindakan kolaborasi, terapi yang diberikan pada Ny “S” di ruang Interna RSD

Dr. Haryoto Lumajang, antara lain :

52

Page 53: Dyspnea keperawatan

Ringer laktat

Diberikan secara r.v. dengan kecepatan aliran = 2,5 ml/kg BB/jam. Sebagai

pengganti cairan tubuh yang hilang dalam keadaan asam basa berketimbangan

atau asidasis ringan. Sebagai pilihan utama untuk mengatasi kehilangan cairan

dalam keadaan darurat pada Ny “S”.

Ranitidin

Diberikan secara IV dengan dosis 2x1 ampul. Ranitidin digunakan untuk

menyembuhkan tukak lambung dan duodenum akut dan refluks esofagitis atau

keadaan hiperskresi asam lambung patologis agar Ny “S” tidak mengalami

peningkatan asam lambung yang mengakibatkan muntah.

Lasix diberikan secara injeksi 40 mg/tablet

Golongan diuretik kuat. Digunakan dalam pengobatan oedema paru akibat gagal

jantung kiri. Pemberian intravena mengurangi sesak napas dan prabeban lebih

cepat dari mula kerja diresisnya. Diuretika ini juga digunakan pada pasien gagal

jantung yang telah berlangsung lama. Di gunakan pada Ny “S” untuk

menghambat resorpsi cairan dalam tubulus ginjal.

Ketorolac

Diberikan 10 mg injeksi. merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini

merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik

yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac menghambat sintesis prostaglandin dan

dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer agar tidak mempunyai efek

terhadap reseptor opiate pada Ny “S”.

Captopril

Diberikan dengan dosis awal 12,5 mg-25 mg, 2-3 kali sehari.captopril juga

efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan juga pada hipertensi

dengan PRA yang rendah. Obat ini juga merupakan antihipertensi yang efektif

untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi kombinasi lain. Kombinasi dengan

tiazid memberikan efek aditif sedangkan kombinasi dengan blocker memberikan

efek yang kurang aditif pada Ny ”S”.

Digoxin

Digoxin diberikan secara tablet pada Ny ”S” dengan dosis 0,125, dan 0,25 mg

dapat meningkatkan kekuatan dan kekuatan kontraksi jantung, dan berguna

dalam pengobatan gagal jantung. Dosis digoxin dapat diambil dengan atau tanpa

makanan.

Acetil salicylad

53

Page 54: Dyspnea keperawatan

Diberikan kepada Ny ”S” dengan dois awal 2,4-3,6 g/hari ,untuk

mengurangiSakit kepala, nyeri-nyeri ringan lain yang berhubungan dengan

adanya inflamasi.

Asuhan keperawatan yang diberikan pada Ny ”S” dengan diagnosa dyspnea di

ruang Interna RSD Dr. Haryoto Lumajang selama Ny ”S” masuk rumah sakit antara

lain tindakan mandiri keperawatan dan kolaborasi sudah sesuai dengan teori asuhan

keperawatan.

54

Page 55: Dyspnea keperawatan

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Perawat dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan diagnosa

keperawatan pada Ny “S” di ruang Interna RSD Dr. Haryoto Lumajang

sesuai dengan teori, mulai dari pengkajian, analisa data, intervensi,

implementasi dan evaluasi.

2. Perawat dapat mengerti dan memahami terhadap efek terapeutik dan efek

samping obat yang telah diberikan pada Ny “S” di ruang Interna RSD

Dr. Haryoto Lumajang dan terapi yang telah digunakan antara lain ringer

laktat, ranitidine ,lasix, ketorolac, captopril, digoxin, acetil salicylad.

5.2 Saran

Bagi perawat

Agar perawat lebih tepat dalam pemberian asuhan keperawatan sesuai

dengan intervensi, penguasaan keterampilan interpersonal intelektual dan

teknikal serta kolaborasi dengan tim medis.

55

Page 56: Dyspnea keperawatan

DAFTAR PUSTAKA

Tabrani. 1996. Prinsip Gawat Paru Edisi II. Jakarta: EGC

http://www.dexa-medica.com/ourproducts/prescriptionproducts/detail.php?

id=55&idc=8

http://www.hexpharmjaya.com/page/ketorolac.aspx   

http://blogs.unpad.ac.id/irman/?p=3

56