dukungan sosial pada klien isolasi sosial dengan
TRANSCRIPT
DUKUNGAN SOSIAL PADA KLIEN ISOLASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN SOCIAL SUPPORT THEORY
Rahmi Imelisa, Achir Yani S. Hamid, dan Novy Helena C.D.
Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok,
Kota Depok, Indonesia
Abstrak Isolasi sosial merupakan salah satu gejala negatif pada klien dengan skizofrenia. Isolasi sosial yang dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan masalah lain yaitu halusinasi. Isolasi sosial perlu ditangani dengan memberikan latihan sosialisasi diantaranya dengan terapi Social Skill Training. Hasil akhir yang diharapkan adalah tanda dan gejala isolasi sosial menurun dan kemampuan bersosialisasi klien. Selain kemampuan klien sendiri, dukungan sosial dari orang-orang di sekitar klien memiliki dampak pada hasil akhir tadi. Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk menjelaskan manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien dengan isolasi sosial yang diberikan terapi Social Skill Training. Kerangka yang digunakan adalah Model Stres Adaptasi Stuart dan dilengkapi dengan Teori Social Support Schaffer untuk mengetahui dukungan sosial yang didapatkan klien pada tatanan rumah sakit dan komunitas. Analisa dilakukan pada 14 klien, yang terdiri dari 8 klien yang dirawat di rumah sakit dan 6 klien yang dirawat di rumah. Hasil analisa menunjukkan bahwa penurunan tanda dan gejala yang berhasil dicapai di komunitas lebih rendah dibandingkan dengan penurunan tanda dan gejala yang dicapai pada klien isolasi sosial di rumah sakit, dan peningkatan kemampuan sosialisasi responden yang dirawat di rumah sakit lebih besar dibandingkan dengan rata-rata peningkatkan kemampuan sosialisasi responden yang dirawat di komunitas. Saran dari Karya Ilmiah Akhir ini adalah untuk meningkatkan dukungan sosial di rumah sakit dan di komunitas, terutama untuk memberdayakan keluarga sebagai sumber utama pemberi dukungan sosial. Kata kunci: dukungan sosial; isolasi sosial; skizofrenia
Abstract
Social isolation is one of negative symptom to schiphrenic client. Prolonged social isolation will cause another problem that is hallucination. Social isolation need to be treated by train their social skill with Social Skill Training therapy. The expected outcome is decrease of social isolation sign and symptoms and increase of social skill. Beside the client’s skill, social support from another has an effect to those outcome. This Karya Ilmiah Akhir aim to explain the psychiatric spesialist nursing management to client with social isolation who has been treated with Social Skill Training. The Stuart Stress Adaptation Model and Schaffer Social Support Theory are used as the framework to describe futher about social support to the client at hospital and community setting. Sample of this paper is 14 clients comprises 8 client at hospital and 6 client at community. The result shows that decrease of sign and symptoms in client at community is lower than client at hospital, and the increasing social skill is bigger in
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
client at hospital than the client at community. This paper suggest to increase social support to the client in hospital and community, especially to empower family as the biggest resources of social support. Keyword: schizophrenia; social isolation; social support
Pendahuluan
Disfungsi sosial adalah tanda yang jelas dari skizofrenia. Gangguan pada fungsi sosial
merupakan salah satu kriteria diagnostik dari skizofrenia di dalam DSM-IV-TR (APA, 2000
dalam Townsend, 2009). Skizofrenia dapat berdampak langsung atau tidak langsung terhadap
sosialisasi klien. Sosialisasi klien dapat semakin buruk karena adanya faktor lain yaitu adanya
harga diri rendah (Stuart, 2009). Isolasi sosial sangat rentan terjadi pada seluruh klien dengan
skizofrenia karena dapat merupakan dampak langsung maupun tidak langsung dari masalah
lain ataupun lingkungan sosial di sekitar klien.
Isolasi sosial menurut NANDA 2012-2014 didefinisikan sebagai kesendirian yang dialami
oleh individu dan dirasakan mengganggu oleh orang lain dan sebagai kondisi yang negatif
atau mengancam (NANDA, 2012). Isolasi sosial terjadi saat seseorang tidak mampu
membangun hubungan yang kooperatif dan saling ketergantungan dengan orang lain (Stuart,
2009). Jika tidak diatasi dengan tepat, maka klien dengan isolasi sosial berisiko mengalami
gangguan persepsi sensori halusinasi yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku mencederai
diri sendiri ataupun orang lain (Keliat, Panjaitan & Helena, 2005).
Klien dengan isolasi sosial di RSJ memiliki sumber-sumber koping yang beragam yang dapat
digunakan klien untuk memperbaiki kemampuan sosialisasinya seperti adanya klien lain di
sekitar klien yang melakukan kegiatan bersama-sama dan teratur. Adanya perawat yang setiap
hari melakukan intervensi melalui komunikasi terapeutik. Dan tersedianya aktivitas lain
seperti Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) dan rehabilitasi.
Meningkatkan kesejahteraan klien dalam hal ini adalah perbaikan kondisi klien atau lebih
spesifiknya adalah meningkatnya sosialisasi klien, diperlukan berbagai dukungan yang dapat
memperkuat mekanisme koping klien. Seperti dinyatakan oleh Shumaker dan Brownell (1984
dalam Peterson & Bredow, 2004) bahwa dukungan sosial merupakan pertukaran sumber yang
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan klien sebagai penerima support.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Dukungan yang perlu ada bagi klien dengan isolasi sosial antara lain adalah dukungan
emosional, yang bisa didapatkan dari keluarga atau sesama klien. Dukungan informasi yang
diperlukan klien selama menghadapi kondisi stres, bisa diberikan oleh pemberi layanan
kesehatan. Dukungan lain berupa peralatan atau pelayanan kesehatan, seperti tersedianya
puskesmas, rumah sakit dan penggunaan obat-obatan. Dukungan penilaian dapat diberikan
oleh keluarga atau perawat dengan memberikan penguatan dan pendapat yang positif terhadap
perilaku positif klien.
Dukungan sosial dapat mempengaruhi status kesehatan, perilaku sehat, dan penggunaan
pelayanan kesehatan (Stewart, 1993 dalam Peterson & Bredow, 2004). Penyusun menemukan
bahwa peningkatan kemampuan sosialisasi klien yang diberikan terapi SST lebih baik dan
lebih cepat perubahannya pada klien yang dirawat di rumah sakit dibandingkan dengan klien
yang dirawat di komunitas.
Perbedaan sumber dukungan sosial dapat menjadi faktor yang membedakan perubahan klien
tersebut. Seperti disampaikan oleh Shumaker dan Brownell (1984 dalam Peterson & Bredow,
2004) bahwa dukungan sosial merupakan suatu pertukaran sumber-sumber antara pemberi
dan penerima yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penerima.
Teori yang dapat menjelaskan dukungan sosial dengan lebih jelas adalah teori yang
dikemukakan oleh Schaffer (2004) yaitu Social Support Theory. Teori ini menjelaskan
bagaimana dukungan sosial berhubungan dengan koping dan kesehatan. Pendekatan teori ini
dapat menjelaskan dukungan sosial yang ada di sekitar klien dan pengaruhnya terhadap
kondisi klien.
Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai manajemen asuhan
keperawatan spesialis jiwa pada klien dengan isolasi sosial yang diberikan terapi Social Skill
Training (SST) dengan menggunakan Social Support Theory dari Marjorie A. Schaffer.
Tinjauan Teoritis
Model Stress Adaptasi Stuart adalah model yang mengintegrasikan aspek biologis, psikologis,
sosial budaya, lingkungan dan aspek legal-etis dari pelayanan kepada pasien ke dalam satu
kerangka kerja untuk praktik (Stuart, 2009).
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Faktor predisposisi adalah faktor yang mempengaruhi baik tipe maupun jumlah sumber-
sumber yang dapat digunakan seseorang untuk menangani stress, yaitu biologis, psikologis
dan sosial budaya. Stressor presipitasi adalah stimulus yang menantang, membahayakan, atau
menuntut pada individu. Stressor ini dapat berasal (nature) dari faktor biologis, psikologis,
atau sosial budaya, dan dapat berasal (originate) dari lingkungan internal atau eksternal
seseorang. Selain mengkaji sumber stressor, waktu dan berapa banyak stressor perlu
diketahui. Penilaian stressor termasuk respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial.
Respon seseorang terhadap stressor dapat dikelompokkan ke dalam lima aspek, yaitu respon
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Respon kognitif adalah bagian penting dari
model ini (Monat & Lazarus, 1991 dalam Stuart, 2009). Faktor kognitif memegang peran
utama dalam adaptasi. Faktor ini mempertimbangkan dampak dari kejadian yang menjadi
stressor; pilihan pola koping; dan reaksi emosional, fisiologis, perilaku dan sosial seseorang.
Sumber koping adalah pilihan atau strategi yang membantu untuk menentukan apa yang dapat
dilakukan dan apa yang dipertaruhkan. Sumber koping diantaranya adalah aset ekonomi,
kemampuan dan keterampilan, teknik pertahanan, dukungan sosial, dan motivasi. Sumber
koping lain antara lain identitas ego yang kuat, komitmen terhadap jaringan sosial, stabilitas
budaya, sistem nilai dan keyakinan yang stabil, orientasi pada pencegahan, dan kekuatan
genetik dan konstitusional.
Shumaker dan Brownell (1984 dalam Peterson & Bredow, 2004) mendefinisikan dukungan
sosial sebagai pertukaran sumber-sumber yang dipandang oleh pemberi maupun penerima
dukungan dapat meningkatkan kesejahteraan penerima. Dukungan sosial dapat bersifat
structural, berfokus pada siapa yang memberikan dukungan, atau bersifat fungsional, dengan
memperhatikan aktivitas pemberi dukungan sosial (Callaghan & Morrissey, 1993; Norwood,
1996 dalam Peterson & Bredow, 2004). Sebagai tambahan, banyak karakteristik yang
mempengaruhi kualitas dan keadekuatan dukungan sosial, seperti stabilitas, arahan, dan
sumber dari dukungan (Stewart, 1989 dalam Peterson & Bredow, 2004). Jaringan sosial dapat
digambarkan melalui jumlah dan kategori dari orang yang menyediakan dukungan sosial:
anggota keluarga, teman dekat, tetangga, rekan kerja, dan profesional (Tardy, 1985 dalam
Peterson & Bredow, 2004).
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Dalam Teori Social Support Schaffer dijelaskan bahwa menurut House (1981 dalam Peterson
& Bredow, 2004), dukungan sosial terdiri dari dukungan emosional, informasional,
instrumental, dan penilaian. Dukungan emosional adalah perasaan disukai, dikagumi,
dihargai, atau dicintai (Norbeck, 1981 dalam Peterson & Bredow, 2004). Dukungan
instrumental adalah dukungan berupa alat-alat yang berguna, atau pelayanan (House, 1981
dalam Peterson & Bredow, 2004). Dukungan informasional adalah menyediakan informasi
selama klien mengalami stress (House, 1981 dalam Peterson & Bredow, 2004). Dukungan
penilaian yaitu penegasan atau pernyataan dari seseorang (Kahn & Antonucci, 1980 dalam
Peterson & Bredow, 2004).
Dukungan sosial juga dapat berkontribusi negatif terhadap kesejahteraan klien. Karakteristik
dukungan sosial negatif antara lain adalah jaringan sosial yang membuat klien tertekan atau
menyebabkan konflik, dukungan yang salah arah atau tidak ada dukungan, saran yang tidak
pantas, penghindaran dan ketidaksetujuan (Stewart, 1993 dalam Peterson & Bredow, 2004).
Mekanisme koping adalah berbagai usaha yang dilakukan sebagai manajemen stres.
Mekanisme koping dapat bersifat konstruktif dan dapat juga bersifat destruktif. Mekanisme
koping destruktif yang biasa digunakan oleh klien dengan isolasi sosial antara lain adalah
regresi, proyeksi, penyangkalan, menarik diri, introyeksi, represi dan disosiasi.
Dalam NANDA 2012-2014, isolasi sosial didefinisikan sebagai kesendirian yang dialami oleh
seseorang dan dirasakan menganggu oleh orang lain dan dipandang negatif atau dipandang
sebagai kondisi yang mengancam. Data subjektif pada klien dengan isolasi sosial antara lain
adalah menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain, merasa tidak aman berada
dengan orang lain, mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain, merasa bosan
dan lambat menghabiskan waktu, tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, dan
merasa tidak berguna. Sedangkan data objektif isolasi sosial adalah tidak memiliki teman
dekat, menarik diri, tidak komunikatif, tindakan berulang dan tidak bermakna, asyik dengan
pikirannya sendiri, tidak ada kontak mata, tampak sedih dan afek tumpul (Keliat, dkk, 2011).
Stigma juga menyebabkan hambatan dalam membangun hubungan dan berdampak negatif
terhadap kualitas hidup. Hal tersebut adalah penyebab utama isolasi sosial pada orang dengan
schizophrenia, dan seringkali berdampak pada seluruh anggota keluarga, yang memiliki
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
masalah sosial karena schizophrenia berakar dari rasa malu karena memiliki anggota keluarga
dengan penyakit ini. Stigma dan penolakan membuat orang tidak berani untuk berbicara.
Intervensi keperawatan jiwa dikelompokkan dalam intervensi generalis dan intervensi
spesialis. Intervensi generalis menggunakan standar yang telah disepakati di Indonesia yaitu
SAK (Standar Asuhan Keperawatan) Jiwa. Intervensi spesialis keperawatan jiwa dapat berupa
psikoterapi yang saat ini telah dikembangkan dengan sasaran individu, keluarga, dan
kelompok.
Terapi spesialis keperawatan yang diberikan pada klien dengan isolasi sosial adalah Social
Skill Training (SST). Terapi ini dikembangkan di Indonesia ke dalam 4 sesi, yaitu sesi 1:
latihan kemampuan berbicara; sesi 2: latihan menjalin persahabatan; sesi 3: latihan bekerja
sama dalam kelompok; dan sesi 4: latihan menghadapi situasi sulit. Menurut Eikens (2000
dalam Townsend, 2009) social skill training bertujuan untuk: 1) meningkatkan kemampuan
seseorang untuk mengekspresikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan; 2) mampu menolak
dan menyampaikan adanya suatu masalah; 3) mampu memberikan respon saat berinteraksi
sosial; 4) mampu memulai interaksi; 5) mampu mempertahankan interaksi yang telah terbina.
Metode Penelitian
Responden adalah 6 orang klien yang dirawat di rumah (Kelurahan Tanah Baru Bogor Utara),
dan 8 orang klien yang dirawat di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Karya tulis dilakukan
dengan rancangan pre-post test untuk mengukur tanda dan gejala isolasi sosial dan
kemampuan sosialisasi klien. Variabel tersebut diukur dengan menggunakan instrumen
checklist dengan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’ untuk mengukur tanda dan gejala isolasi sosial (13
item) dan instrumen checklist dengan jawaban ‘mampu’ dan ‘tidak mampu’ (21 item). Data
dikonversikan ke dalam instrumen berdasarkan format evaluasi asuhan keperawatan masing-
masing klien. Analisis dilakukan dengan menyajikan data mean, nilai minimal-maksimal, dan
standar deviasi.
Hasil Penelitian
Diketahui bahwa faktor biologis terbesar adalah faktor riwayat gangguan jiwa sebelumnya,
yaitu sebesar 92.9%. Sedangkan faktor psikologis yang terbesar menyebabkan responden
mengalami isolasi sosial adalah riwayat kegagalan/ kehilangan yaitu sebesar 50%. Responden
di rumah sakit lebih banyak mengalami riwayat kegagalan yaitu sebesar 62.5%, sedangkan
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
responden di komunitas lebih banyak memiliki faktor predisposisi kepribadian tertutup. Dan
faktor sosial budaya yang terbesar ditemukan adalah karena faktor pendidikan dan sosial
ekonomi yang rendah, yaitu sebesar 71.4%. Perbandingan antara responden di rumah sakit
dan di komunitas menunjukkan bahwa faktor predisposisi sosiokultural pada responden di
kedua tatanan tersebut adalah sama, yaitu karena status ekonomi yang rendah.
Berdasarkan sifatnya stressor yang paling besar adalah karena putus obat, yaitu sebesar
42.9%. Stressor putus obat ini terutama lebih jelas terkaji pada klien yang dirawat di tatanan
rumah sakit. Stressor presipitasi terbesar lainnya adalah karena masalah ekonomi, yaitu
sebesar 21.4%. Berdasarkan asal stressor, sebagian besar berasal dari internal responden
sendiri, baik pada tatanan rumah sakit dan tatanan komunitas, yaitu sebesar 78.6%. Waktu
munculnya stressor pada kedua tatanan sebagian besar lebih dari 6 bulan terakhir (85.7%) dan
sebagian besar responden (85.7%) memiliki lebih dari 2 stressor.
Didapatkan dari 13 tanda dan gejala yang diukur, rata-rata tanda dan gejala keseluruhan yang
dimiliki klien adalah 9 dari 13 tanda dan gejala. Rata-rata penilaian terhadap stressor pada
klien yang dirawat di rumah sakit adalah 8.75. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan
dengan rata-rata penilaian stressor klien yang dirawat di rumah, yaitu 9.33.
Pada tahap pengkajian 71.4% klien tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi isolasi sosial.
Sebagian klien di rumah sakit (50%) sudah mengetahui dan mampu mengatasi isolasi sosial.
Sedangkan klien di komunitas lebih banyak (83.3%) yang belum mengetahui dan belum
mampu mengatasi isolasi sosialnya. Sembilan puluh dua koma sembilan persen (92.9%)
keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi isolasi sosial pada klien. Pada kedua
tatanan kondisi ini tidak jauh berbeda, yaitu sebagian besar keluarga belum mengetahui dan
belum mampu merawat isolasi sosial klien.
Sumber koping berupa aset material yang dimiliki oleh seluruh responden adalah
keterjangkauan sarana pelayanan keseahatan, dan sumber terbesar berikutnya adalah 64.%
responden memiliki jamkesmas. Sebagian besar responden baik pada tatanan rumah sakit
maupun pada tatanan komunitas (71.4%) memiliki keyakinan yang negatif, yaitu merasa tidak
yakin akan kemampuannya sendiri untuk mengatasi masalahnya dan tidak merasa yakin untuk
sembuh.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Klien di rumah sakit lebih banyak yang merasa tidak dihargai/ dicintai, yaitu sebesar 62.5%,
sementara di komunitas sebaliknya, 83.3% klien mendapatkan dukungan emosional yaitu
merasa dicintai/ dihargai. Keseluruhan responden (100%) mendapatkan dukungan
informasional ini. Hanya 28.6% responden (4 orang) yang bekerja, termasuk klien yang
dirawat di rumah sakit sebelum responden dirawat di rumah sakit. Empat responden pula yang
memiliki dukungan berupa penghasilan keluarga yang dirasakan mencukupi. Keterjangkauan
pelayanan kesehatan didapatkan oleh seluruh responden dan sebagian besar responden
memiliki jamkesmas (64.3%). Hanya dua dari 8 klien di rumah sakit dan 2 dari 6 klien di
komunitas yang memiliki keyakinan positif akan kemampuan dan kesembuhannya.
Mekanisme koping yang banyak digunakan oleh responden adalah menarik diri. Sebagian
besar responden adalah klien dengan kepribadian yang tertutup dan jarang membicarakan
masalahnya kepada orang lain. Responden cenderung menghindar, menyendiri di kamar atau
banyak tidur saat menghadapi masalah.
Seluruh klien adalah klien dengan diagnosa medik skizofrenia. Diagnosa keperawatan
terbanyak yang menyertai klien dengan isolasi adalah diagnosa harga diri rendah. Seluruh
responden di rumah sakit berobat teratur, sedangkan responden di komunitas sebagian (50%)
belum berobat pada saat awal pengkajian. Dua orang responden di komunitas sudah berobat
tetapi tidak teratur dan hanya 1 responden yang berobat teratur.
Diketahui bahwa rata-rata tanda dan gejala isolasi sosial pada responden di rumah sakit
sebelum dilakukan intervensi adalah sebesar 8.75, sedangkan untuk responden di komunitas
adalah 9.33. Hal ini berarti bahwa tanda dan gejala isolasi sosial pada responden di komunitas
lebih besar jika dibandingkan dengan tanda dan gejala pada responden di rumah sakit.
Penurunan tanda dan gejala yang terjadi pada klien isolasi sosial di rumah sakit setelah
diberikan intervensi adalah 4.25. Sedangkan penurunan tanda dan gejala pada responden di
komunitas adalah 2.67. Hal ini berarti bahwa penurunan tanda dan gejala yang berhasil
dicapai di komunitas lebih rendah dibandingkan dengan penurunan tanda dan gejala yang
dicapai pada klien isolasi sosial di rumah sakit.
Diketahui bahwa rata-rata kemampuan sosialisasi responden di rumah sakit pada pengkajian
awal yaitu 2.88. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kemampuan sosialisasi
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
responden di komunitas pada awal pengkajian, yaitu 1.67. Peningkatan kemampuan sosialisasi
yang dicapai oleh responden di rumah sakit adalah sebesar 7.88. Sedangkan responden di
komunitas memiliki rata-rata peningkatan kemampuan sosialisasi sebesar 4.50. Hal ini berarti
bahwa peningkatan kemampuan sosialisasi responden yang dirawat di rumah sakit lebih besar
dibandingkan dengan rata-rata peningkatkan kemampuan sosialisasi responden yang dirawat
di komunitas.
Pembahasan
Faktor gender pada skizofrenia tidak berpengaruh secara signfikan, tetapi awal munculnya
berbeda. Pada klien pria kebanyakan muncul pada usia 18-25 tahun, sedangkan pada klien
wanita muncul pada usia 25-35 tahun (Fortinash, 2007). Hasil pengkajian karakteristik klien
menunjukkan bahwa seluruh klien saat dikaji berada pada rentang usia 25-65 tahun. Usia awal
25 tahun adalah kecenderungan usia awal munculnya skizofrenia yang menyebabkan isolasi
sosial pada wanita. Hal ini dapat bermakna bahwa klien sudah mengalami gangguan jiwa
bertahun-tahun, dan berlangsung terus-menerus hingga pada saat pengkajian dilakukan.
Faktor gender di mana yang banyak ditemukan adalah klien pria dapat disebabkan oleh
banyak hal seperti penemuan kasus yang dilakukan di ruang rawat pria. Salah satu teori
menyatakan bahwa wanita lebih terlindungi karena adanya faktor hormon, tetapi saat
mencapai menopause hormon ini berkurang, hal inilah yang menyebabkan skizofrenia lebih
banyak terjadi pada lansia wanita (Fortinash, 2007).
Faktor predisposisi lain yang ditemukan pada responden adalah faktor ekonomi. Menurut Ho,
Black, & Andreasen, 2003 (dalam Townsend, 2009), individu yang berasal dari golongan
sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami tanda dan gejala skizofrenia. Hal ini
dikarenakan karena lebih rentan menghadapi situasi yang menyebabkan stres dan rasa
ketidakberdayaan mengubah kemiskinan yang dihadapi.
Stuart (2009) menyatakan bahwa skizofrenia menempati rangking ke empat yang
menyebabkan beban di dunia. Gangguan ini dapat terjadi pada ras/etnik atau gender apapun.
Karakter klien yang ditemukan oleh penyusun dapat merupakan faktor predisposisi maupun
stressor presipitasi yang menyebabkan gangguan jiwa.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Faktor biologis terbesar adalah faktor riwayat gangguan jiwa sebelumnya, yaitu sebesar
92.9%. Hal ini menunjukkan bahwa klien sudah mengalami gangguan jiwa jauh sebelum
dirawat. Riwayat gangguan jiwa sebelumnya menunjukkan bahwa skizofrenia dialami oleh
klien dalam waktu yang berlangsung lama. Karena berlangsung dalam waktu yang lama,
skizofrenia menjadi beban bagi individu maupun bagi keluarga. Ho, Black dan Andreasen
(2003, dalam Townsend, 2009) menyatakan bahwa schizophrenia mungkin merupakan
masalah yang paling membingungkan dan paling tragis yang mengancam jiwa, dan mungkin
juga penyakit yang paling merusak. Schizophrenia dapat berefek terhadap individu, keluarga
dan juga menyebabkan beban ekonomi yang besar di masyarakat (Townsend, 2009).
Berdasarkan sifatnya stressor yang paling besar adalah karena putus obat, yaitu sebesar
42.9%. Stressor putus obat ini terutama lebih jelas terkaji pada klien yang dirawat di tatanan
rumah sakit. Stressor presipitasi terbesar lainnya adalah karena masalah ekonomi, yaitu
sebesar 21.4%. Berdasarkan asal stressor, sebagian besar berasal dari internal responden
sendiri, baik pada tatanan rumah sakit dan tatanan komunitas, yaitu sebesar 78.6%. Waktu
munculnya stressor pada kedua tatanan sebagian besar lebih dari 6 bulan terakhir (85.7%) dan
sebagian besar responden (85.7%) memiliki lebih dari 2 stressor.
Stuart (2009) menjelaskan bahwa stress dapat timbul dari kondisi yang kronis, diantaranya
adalah masalah dalam keluarga yang berlangsung terus-menerus, ketidakpuasan dalam
pekerjaan, dan kesendirian. Tekanan hidup biasanya dapat terjadi pada 4 area, yaitu masalah
yang berhubungan dengan pernikahan, masalah orang tua dengan anak remaja atau anak
dewasa awal, masalah berhubungan dengan ekonomi rumah tangga, dan pekerjaan yang
terlalu banyak atau ketidakpuasan dalam pekerjaan.
Mekanisme koping yang banyak digunakan oleh responden adalah menarik diri. Menarik diri
terjadi berhubungan dengan masalah dalam membangun kepercayaan dan preokupasi dengan
pengalaman internal responden (Stuart, 2009). Sebagian responden menyatakan jarang
menceritakan masalahnya kepada orang lain, bahkan kepada keluarganya sendiri. Hal ini
dapat terjadi karena klien tidak mudah percaya kepada orang lain. Hal ini dapat disebabkan
tidak tercapainya tugas perkembangan kepercayaan pada usia infant atau karena pengalaman
yang tidak menyenangkan klien berkaitan dengan membina kepercayaan dengan orang lain.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Sembilan puluh dua koma sembilan persen (92.9%) keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara
mengatasi isolasi sosial pada klien. Pada kedua tatanan kondisi ini tidak jauh berbeda, yaitu
sebagian besar keluarga belum mengetahui dan belum mampu merawat isolasi sosial klien.
Hal ini perlu menjadi perhatian karena seperti dinyatakan dalam Friedman (2010) bahwa salah
satu fungsi keluarga adalah fungsi perawatan. Fungsi perawatan mengemban fokus sentral
dalam keluarga yang berfungsi baik dan sehat. Agar keluarga dapat menjadi sumber
perawatan primer yang efektif mereka harus terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan
poses terapi secara total sehingga dibutuhkan kemitraan dengan profesional kesehatan baik
pada tingkat promotif, preventif dan kuratif (Friedman, 2010).
Hasil kenyataan di lapangan yang ditemukan oleh penulis menunjukkan bahwa sebagai
sumber koping keluarga kurang memberikan dukungan yang adekuat kepada klien. Data yang
ditemukan adalah keluarga belum tahu atau belum mampu merawat klien dengan isolasi
sosial, keluarga tidak mampu memberikan dukungan emosional dan penilaian yang baik
kepada klien. Tidak jarang keluarga menyangsikan kemampuan klien untuk berubah menjadi
lebih baik. Pernyataan keluarga yang meragukan kemampuan klien untuk bersosialisasi
sebaliknya dapat menjadi dukungan negatif bagi klien isolasi sosial.
Dukungan negatif dapat menurunkan harga diri klien (Peterson & Bredow, 2004). Hal ini
dapat semakin memperburuk kondisi isolasi sosial klien. Hal ini perlu mendapat perhatian
karena keluarga adalah unit terdekat dengan klien yang diharapkan menjadi sumber koping
utama bagi klien.
Sumber koping berupa aset material yang dimiliki oleh seluruh responden adalah
keterjangkauan sarana pelayanan kesehatan, dan sumber terbesar berikutnya adalah 64.%
responden memiliki jamkesmas. Sebagian besar responden baik pada tatanan rumah sakit
maupun pada tatanan komunitas (71.4%) memiliki keyakinan yang negatif, yaitu merasa tidak
yakin akan kemampuannya sendiri untuk mengatasi masalahnya dan tidak merasa yakin untuk
sembuh.
Cohen, Gottlieb dan Underwood (2001) menyatakan bahwa dukungan sosial berkontribusi
terhadap peningkatan perilaku sehat pada seseorang. Sumber-sumber sosial memperkuat
kemampuan yang dirasakan oleh klien dalam menghadapi situasi yang membuat stress
(Thoits, 1986 dalam Peterson & Bredow, 2004).
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Pelayanan kesehatan menjadi salah satu dukungan sosial bagi klien. Dengan keterjangkauan
sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan aksesnya dengan menggunakan jamkesmas untuk
klien yang sebagian besar memiliki status sosial ekonomi yang rendah akan sangat membantu
klien meningkatkan kesejahteraannya. Pengobatan dan intervensi yang diberikan oleh perawat
dan tenaga kesehatan lain menjadi sumber dukungan sosial lain yang menjadi sumber koping
bagi klien. Dengan memperbanyak sumber koping, maka diharapkan mekanisme koping klien
pun akan semakin adaptif.
Klien di rumah sakit lebih banyak yang merasa tidak dihargai/ dicintai, yaitu sebesar 62.5%,
sementara di komunitas sebaliknya, 83.3% klien mendapatkan dukungan emosional yaitu
merasa dicintai/ dihargai. Klien biasanya dibawa ke rumah sakit saat perilaku klien dirasakan
mengganggu atau berbahaya. Kebanyakan klien dibawa oleh keluarga dan bukan atas
keinginan klien mencari pertolongan . Hal ini disebabkan karena klien dengan skizofrenia
kehilangan rasa bahwa dirinya membutuhkan pertolongan atau tidak menyadari ada yang
salah dengan dirinya. Kondisi ini dinamakan anosognosia (Stuart, 2009).
Kondisi seperti ini menyebabkan klien merasa ditolak oleh keluarga dan masyarakat di
sekitarnya. Klien dibawa ke rumah sakit karena keluarga/ masyarakat ingin terhindar dari
klien. Sedangkan klien yang dirawat di komunitas, sebagian besar merasakan dukungan
emosional lebih besar karena perilaku klien tidak dirasakan mengganggu atau membahayakan
bagi keluarga, sehingga klien dirawat di rumah. Dengan perawatan yang dilakukan oleh
keluarga klien sendiri, klien akan merasakan lebih dicintai atau dihargai oleh keluarganya.
Dukungan informasional bisa didapatkan responden dari keluarga, perawat, kader atau
pemberi layanan kesehatan lainnya (Peterson & Bredow, 2004). Dukungan ini berupa
informasi mengenai cara menangani masalah isolasi sosial klien. Keseluruhan responden
(100%) mendapatkan dukungan informasional ini.
Teori Social Support menjelaskan bahwa perawat dapat memberikan dukungan informasional
dengan memberikan pengetahuan kepada klien mengenai cara perawatan dirinya atau
memberikan edukasi kepada anggota dari jaringan sosial klien (Peterson & Bredow, 2004).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kualitas dukungan sosial
dengan beban caregiver (Vrabec, 1997 dalam Peterson & Bredow, 2004). Dengan demikian,
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
jumlah konflik pada hubungan klien dapat menyebabkan dukungan sosial negatif yang dapat
menyebabkan stres dibandingkan kesejahteraan klien (Peterson & Bredow, 2004).
Dukungan instrumental adalah dukungan berupa alat-alat atau pelayanan yang berguna bagi
responden. Hanya 28.6% responden (4 orang) yang bekerja, termasuk klien yang dirawat di
rumah sakit sebelum responden dirawat di rumah sakit. Empat responden pula yang memiliki
dukungan berupa penghasilan keluarga yang dirasakan mencukupi. Keterjangkauan pelayanan
kesehatan didapatkan oleh seluruh responden dan sebagian besar responden memiliki
jamkesmas (64.3%).
Seluruh responden di rumah sakit berobat teratur, sedangkan responden di komunitas sebagian
(50%) belum berobat pada saat awal pengkajian. Dua orang responden di komunitas sudah
berobat tetapi tidak teratur dan hanya 1 responden yang berobat teratur. Pengobatan klien
dipengaruhi oleh akses klien terhadap pelayanan kesehatan, keyakinan klien terhadap
pengobatan dan faktor lain seperti perawat atau keluarga yang menjaga keteraturan klien
minum obat dan kontrol berobat.
Dukungan penilaian adalah dukungan berupa pernyataan terhadap tindakan atau pernyataan
seseorang. Dukungan penilaian ini dikaji berdasarkan keyakinan positif klien terhadap
kemampuan dan kesembuhannya. Hanya dua dari 8 klien (25%) di rumah sakit dan 2 dari 6
klien (33.3%) di komunitas yang memiliki keyakinan positif akan kemampuan dan
kesembuhannya.
Dukungan penilaian didapatkan oleh klien saat pemberi dukungan memberikan umpan balik
kepada klien atas perilaku adaptif yang telah dilakukan klien. Umpan balik menyebabkan
klien merasa yakin terhadap kemampuannya sendiri atau memiliki penilaian positif terhadap
dirinya (Peterson & Bredow, 2004). Penilaian terhadap dirinya sendiri ini penyusun kaji dari
keyakinan klien untuk sembuh. Karena klien yang merasa yakin untuk sembuh dapat berarti
bahwa klien percaya bahwa dirinya memiliki potensi dan kemampuan untuk mengubah
dirinya menjadi lebih adaptif.
Dukungan penilaian dapat membuat klien cenderung mempertahankan perilaku yang dinilai
baik tersebut dan akan mengaplikasikannya pada saat latihan bersosialisasi. Hasilnya adalah
penilaian klien terhadap dirinya akan lebih baik, dan diharapkan kemampuan sosialisasi klien
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
lebih meningkat. Umpan balik yang baik merupakan salah satu teknik terapeutik positive
reinforcement yang dapat meningkatkan kualitas hubungan perawat-klien. Teknik ini adalah
dengan memberikan penguatan positif terhadap perilaku klien yang sesuai (Suryani, 2002)
dengan cara memberikan pernyataan yang jujur kepada klien.
Diagnosa terbanyak yang menyertai klien dengan isolasi sosial adalah diagnosa harga diri
rendah. Kedua diagnosa ini seringkali berdampingan karena isolasi sosial dapat terjadi karena
harga diri rendah. Klien tidak mau bersosialisasi karena merasa dirinya lebih rendah atau lebih
buruk dari orang lain. Hal ini semakin memperburuk isolasi sosial yang dialami oleh klien.
Pemberian terapi SST kepada klien pada dasarnya memberikan dukungan informasional dan
dukungan penilaian. Dukungan informasional diberikan pada saat perawat mengajarkan klien
cara bersosialisasi yang baik. Dan dukungan penilaian diberikan oleh perawat saat perawat
memberikan umpan balik terhadap latihan yang sudah dilakukan klien. Terapi FPE dapat
meningkatkan fungsi keluarga sebagai sumber dukungan bagi klien. Dengan diberikan FPE
keluarga mengetahui cara merawat klien dan selanjutnya dapat memberikan dukungan
informasional kepada klien.
Memberikan informasi juga merupakan salah satu teknik komunikasi terapeutik. Teknik
terapeutik ini dilakukan karena perawat mengajarkan klien cara mengatasi masalah perawatan
diri klien atau bagaimana mencegah munculnya masalah lain pada klien. Seperti disampaikan
oleh Stuart (2009) bahwa teknik ini membantu dalam edukasi pasien mengenai aspek yang
relevan dengan kesejahteraan klien dan perawatan diri klien.
Terapi yang ditujukan kepada klien dan keluarga memberikan keuntungan lain yaitu
mengurangi beban keluarga. Keluarga yang mampu merawat klien akan berakibat kondisi
klien semakin baik, dan akan mengurangi stressor bagi keluarga. Seperti dinyatakan oleh
Tilden dan Galyen (1987 dalam Peterson & Bredow, 2004) menggambarkan teori pertukaran
sosial dan ekuitas yang menjelaskan bahwa aka nada beban biaya dalam sebuah hubungan
sosial. Pertukaran sosial diantaranya adalah penghargaan dan biaya; orang-orang akan
berperilaku yang membuatnya mendapatkan penghargaan yang banyak dengan biaya yang
sedikit.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Klien yang tidak minum obat sesuai resep atau yang tidak menyadari tanda-tanda munculnya
kembali penyakit atau yang tidak menyadari efek samping obat, adalah klien yang berisiko
untuk tidak mencapai hasil yang diharapkan, berisiko untuk reaksi terbalik dan berisiko
memiliki kualitas hidup yang rendah. Kepatuhan obat yang rendah menjadi masalah utama
yang menyebabkan masalah pembiayaan ekonomi pada masalah psikiatri (Schatzberg et al,
2007 dalam Stuart, 2009).
Kurangnya pembuatan keputusan bersama dengan klien menyebabkan kurangnya kepatuhan
(Deegan and Drake, 2006 dalam Stuart, 2009). Karena itu diperlukan manajemen pengobatan
yang efektif, yaitu yang memenuhi kriteria: 1) menggunakan pendekatan yang sistematis
menggunakan panduan penanganan terbaru, 2) melibatkan klien dan keluarga atau sistem
dukungan lain dalam membuat keputusan, 3) mengatasi semua gejala dengan rencana yang
spesifik dan dalam konteks kehidupan klien, 4) menggunakan regimen obat sesederhana
mungkin, 5) mengidentifikasi strategi yang khusus untuk meningkatkan kepatuhan, 6)
memantau hasil dan mendokumentasikan dan menyesuaikan pengobatan jika diperlukan
(Stuart, 2009).
Setelah dilakukan intervensi keperawatan spesialis jiwa, nilai rata-rata tanda dan gejala isolasi
sosial yang diamati menurun menjadi 5.43. Adapun penurunan yang dihasilkan didapatkan
rata-ratanya adalah sebesar 3.57. Artinya adalah ada sekitar 3-4 tanda dan gejala yang
berkurang setelah diberikan terapi. Penurunan tanda dan gejala dihasilkan setelah klien
diberikan intervensi generalis untuk isolasi sosial dan terapi spesialis SST. Beberapa klien
mendapatkan TAK dan keluarga mendapatkan FPE. Tanda dan gejala isolasi sosial pada klien
dapat terjadi karena selama diberikan terapi, klien dilatih untuk mengatasi masalah
sosialisasinya dan klien mempraktikkan latihan tersebut pada kondisi nyata di luar komunikasi
terapeutik dengan perawat.
Setelah mendapatkan intervensi rata-rata kemampuan sosialisasi klien meningkat menjadi
8.79. Peningkatan kemampuan sosialisasi yang dicapai adalah sebesar 6.43. Nilai ini berarti
bahwa ada sekitar 6-7 kemampuan yang berhasil ditambahkan. Semakin besar kemampuan
yang dimiliki oleh klien berarti bahwa klien memiliki potensi untuk mengurangi tanda dan
gejala isolasi sosial yang dimilikinya. Kemampuan bersosialisasi berbanding terbalik dengan
tanda dan gejala isolasi, yang berarti bahwa semakin tinggi kemampuan bersosialisasi maka
tanda dan gejala isolasi sosial akan semakin menurun.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Peningkatan kemampuan sosialisasi dapat terjadi karena klien telah mengetahui dan telah
dilatih bagaimana cara memperbaiki sosialisasinya melalui terapi generalis dan terapi spesialis
yang diberikan perawat. Dalam tatanan praktik, klien dapat menirukan perilaku praktisi
kesehatan yang terlibat dalam perawatan klien. Hal ini dapat terjadi secara alami dalam
lingkungan yang terapeutik. Hal ini dapat terjadi juga selama sesi terapi di mana klien melihat
demonstrasi dari perilaku yang baik berkaitan dengan masalah klien (Townsend, 2009).
Penurunan tanda dan gejala yang berhasil dicapai di komunitas lebih rendah dibandingkan
dengan penurunan tanda dan gejala yang dicapai pada klien isolasi sosial di rumah sakit. Hal
ini dapat disebabkan karena perbedaan lingkungan, di mana lingkungan di rumah sakit
merupakan lingkungan yang terapeutik, sedangkan lingkungan di komunitas belum terapeutik
atau bahkan merupakan sumber stressor bagi klien. Dalam Stuart (2009) dijelaskan bahwa
perbedaan yang sangat mendasar dari pelayanan rawat inap dengan pelayanan rawat jalan
yaitu bahwa lingkungan pada pelayanan rawat inap sangat terkontrol dan di lingkungan
tersebut lah terapi diberikan. Pelayanan berbasis rumah sakit menyediakan fasilitas yang
secara fisik melindungi klien dari kondisi sakit dan menakutkan.
Selain itu ketersediaan berbagai dukungan sosial pun dapat mempengaruhi hasil akhir ini.
Seperti dinyatakan oleh Cohen et al (2001 dalam Peterson & Bredow 2004), bahwa dukungan
sosial secara langsung mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis, saat seseorang
mengalami stres ataupun tidak.
Klien di rumah sakit seluruhnya telah mendapatkan terapi, sedangkan klien di komunitas
hanya 1 orang yang telah berobat dan rutin berobat. Hal ini pun mempengaruhi karena isolasi
sosial dapat merupakan dampak langsung dari penyakit skizofrenia. Hal ini terjadi karena
penurunan motivasi untuk bersosialisasi, sehingga terjadi isolasi sosial (Stuart, 2009).
Rata-rata kemampuan sosialisasi responden di rumah sakit lebih besar dibandingkan dengan
rata-rata kemampuan sosialisasi responden di komunitas. Hal ini dapat disebabkan karena
klien di rumah sakit sudah terpapar sebelumnya oleh terapi yang diberikan oleh perawat lain.
Sedangkan klien di tatanan komunitas belum pernah mendapatkan intervensi keperawatan,
berkaitan dengan program CMHN yang baru pertama kali dikembangkan di wilayah tersebut.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Peningkatan kemampuan sosialisasi responden yang dirawat di rumah sakit lebih besar
dibandingkan dengan rata-rata peningkatkan kemampuan sosialisasi responden yang dirawat
di komunitas. Lingkungan yang kondusif untuk melakukan terapi dan membudayakan terapi
dapat mempengaruhi keberhasilan terapi yang dilakukan pada klien dengan isolasi sosial.
Lingkungan yang kondusif yang membantu perbaikan gejala isolasi sosial dan peningkatan
kemampuan sosialisasi klien adalah lingkungan yang terapeutik. Lingkungan yang terapeutik
seharusnya dapat diwujudkan baik pada tatanan rumah sakit dan tatanan komunitas.
Faktor-faktor yang ada pada lingkungan di sekitar klien seperti interaksi sosial, kondisi fisik
lingkungan dan adanya jadwal kegiatan klien dapat menyebabkan reaksi yang berbalik pada
klien dengan isolasi sosial. Hal ini terjadi karena kondisi di lingkungan sekitar klien dapat
menjadi sumber stressor bagi klien (Townsend, 2009).
Lingkungan di rumah sakit memiliki stigma buruk yang lebih rendah dibandingkan dengan
stigma yang berkembang di masyarakat. Hal ini disebabkan karena lingkungan rumah sakit
difasilitasi dengan perawat dan pemberi layanan kesehatan lain yang bertujuan untuk
membuat klien lebih baik, sehingga stigma buruk yang akan menyebabkan kondisi klien lebih
buruk dapat diminimalisir.
Perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat membuat lingkungan menjadi terapeutik.
Townsend (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria sebuah lingkungan dapat
dikatakan terapeutik. Ada 6 kondisi yang menyebabkan sebuah lingkungan menjadi
terapeutik, yaitu: 1) kebutuhan fisiologis klien terpenuhi; 2) aktivitas fisik kondusif untuk
mencapai tujuan, yang dalam hal ini adalah penurunan tanda dan gejala isolasi sosial dan
peningkatan kemampuan sosialisasi klien; 3) keterlibatan klien dalam membuat keputusan; 4)
tugas yang diberikan kepada klien mempertimbangkan kemampuan klien; 5) terjadwalnya
aktivitas untuk berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok; dan 6) adanya keterlibatan
keluarga dan komunitas klien dalam terapi.
Dukungan sosial dapat diberikan oleh anggota keluarga, teman dekat, tetangga, rekan kerja,
atau tenaga profesional (Tardy, 1985 dalam Peterson & Bredow, 2004). Sumber dukungan
sosial yang paling sering berinteraksi dengan klien saat klien berada di rumah sakit adalah
perawat, dan sumber dukungan sosial yang paling sering berinteraksi dengan klien yang
dirawat di rumah adalah anggota keluarga.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Perawat di rumah sakit memahami teknik komunikasi terapeutik dengan memberikan umpan
balik berupa penilaian terhadap perubahan perilaku klien. Teknik menyampaikan umpan balik
baik terhadap perubahan perilaku klien baik semakin adaptif, belum adaptif ataupun semakin
maladaptif dapat disampaikan dengan memperhatikan respon klien. Dengan menggunakan
teknik-teknik terapeutik, kemungkinan perawat memberikan dukungan yang negatif dapat
diminimalisir.
Memberikan pujian yang realistis terhadap peningkatan kemampuan bersosialisasi klien,
dapat meningkatkan harga diri klien. Selanjutnya klien akan cenderung mempertahankan
perilaku untuk selanjutnya mempertahankan harga dirinya. Hal ini semakin mendukung terapi
yang dilakukan oleh perawat untuk mencapai tujuan yaitu menurunnya tanda dan gejala
isolasi sosial, serta meningkatnya kemampuan sosialisasi klien.
Keluarga di rumah yang belum mengetahui dan belum memahami cara merawat klien, dapat
menyebabkan dukungan yang negatif pada klien. Penulis menemukan beberapa keluarga
meragukan kemampuan klien untuk berubah dan menganggap bahwa isolasi sosial klien
adalah pengaruh kepribadian klien yang sulit bersosialisasi, atau keluarga menganggap bahwa
klien tidak akan sembuh. Pernyataan seperti ini dapat mempengaruhi harga diri klien yang
merasa dianggap tidak mampu dan tidak akan sembuh. Pada akhirnya klien akan menetap
pada kondisi isolasi sosial atau bahkan lebih buruk.
Kesimpulan
Klien di rumah sakit lebih banyak yang merasa tidak dihargai/ dicintai dibandingkan klien di
komunitas. Keseluruhan responden mendapatkan dukungan informasional berupa cara
merawat dari perawat. Hanya 28.6% responden (4 orang) yang bekerja, termasuk klien yang
dirawat di rumah sakit sebelum responden dirawat di rumah sakit. Empat responden pula yang
memiliki dukungan berupa penghasilan keluarga yang dirasakan mencukupi. Keterjangkauan
pelayanan kesehatan didapatkan oleh seluruh responden dan sebagian besar responden
memiliki jamkesmas (64.3%). Seluruh responden di rumah sakit berobat teratur, sedangkan
responden di komunitas sebagian (50%) belum berobat pada saat awal pengkajian. Dua orang
responden di komunitas sudah berobat tetapi tidak teratur dan hanya 1 responden yang berobat
teratur. Hanya dua dari 8 klien (25%) di rumah sakit dan 2 dari 6 klien (33.3%) di komunitas
yang memiliki keyakinan positif akan kemampuan dan kesembuhannya.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Seluruh klien mengalami isolasi sosial dan diagnosa keperawatan terbanyak yang menyertai
klien dengan isolasi sosial di kedua tatanan adalah diagnosa harga diri rendah. Gejala isolasi
sosial yang ditemukan pada seluruh responden adalah merasa bosan dan lambat menghabiskan
waktu, dan tampak sedih dan afek tumpul. Seluruh responden di rumah sakit sudah
mendapatkan pengobatan dan teratur minum obat, sedangkan responden di komunitas
sebagian belum mendapatkan pengobatan.
Penurunan tanda dan gejala yang berhasil dicapai di komunitas lebih rendah dibandingkan
dengan penurunan tanda dan gejala yang dicapai pada klien isolasi sosial di rumah sakit.
Peningkatan kemampuan sosialisasi responden yang dirawat di rumah sakit lebih besar
dibandingkan dengan rata-rata peningkatkan kemampuan sosialisasi responden yang dirawat
di komunitas.
Saran
Perawat diharapkan dapat meningkatkan intervensi kepada klien dengan mengikuti berbagai
pelatihan formal tentang cara memberikan dukungan sosial kepada klien dan keluarga, karena
perawat dapat menjadi sumber dukungan selain keluarga pada saat klien dirawat.
Pemberdayaan keluarga sebagai sumber koping terbesar klien dapat dilakukan dengan
berbagai upaya seperti memberikan penyuluhan kesehatan kepada klien, memberikan terapi
spesialis keluarga seperti Family Psychoeducation (FPE) atau Triangle Therapy. Perawat
CMHN di komunitas perlu mengembangkan berbagai strategi pendekatan kepada klien dan
keluarga agar klien mendapatkan intervensi yang sesuai.
Perawat CMHN diharapkan dapat meningkatkan peran Kader Kesehatan Jiwa yang sudah
terbentuk agar lebih meningkatkan kegiatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dengan
gangguan jiwa, dan agar memudahkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan untuk menfasilitasi
kemampuan sosialisasi klien.
Rumah sakit khususnya ruangan dapat meningkatkan sarana dan prasarana di ruangan agar
lingkungan yang terapeutik dan mendukung pelaksanaan terapi keperawatan dapat
dikembangkan, sesuai dengan kriteria lingkungan yang terapeutik. Hal yang perlu
diperhatikan diantaranya adalah lingkungan fisik yang mendukung untuk melakukan
komunikasi terapeutik dengan nyaman, dan lingkungan sosial di mana semua orang yang
berada di dalam lingkungan terapeutik dapat memberikan dukungan sosial kepada klien.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.
Setiap ruangan pun diharapkan dapat merancang kegiatan rutin agar dapat meningkatkan
keterlibatan keluarga dalam asuhan keperawatan pada klien. Intervensi kepada keluarga pun
diharapkan dapat ditingkatkan agar peran keluarga dapat lebih besar dalam memberikan
dukungan sosial pada klien.
Puskesmas diharapkan menambah sumber daya perawat untuk meningkatkan keterjangkauan
pelayanan dari perawat CMHN. Kemudahan akses untuk memperoleh pelayanan baik medis
maupun keperawatan perlu dipertimbangkan agar seluruh klien, khususnya klien dengan
gangguan jiwa seluruhnya mendapatkan pelayanan.
Kepustakaan
1. Balitbangkes. (2008). Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Depkes.
2. Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing (6th ed). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
3. Fortinash & Worret. (2007). Psychatric Nursing Care Plans (5th ed). St. Louis: Mosby
Elsevier.
4. Keliat, B.A. (2007). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).
Jakarta: EGC.
5. __________. (2010). Manajemen Keperawatan Jiwa Komunitas Desa Siaga: CMHN
(Intermediate Course). Jakarta: EGC.
6. NANDA International. (2010). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-
2011. Jakarta: EGC.
7. Peterson & Bredow. (2004). Middle Range Theories: Application to Nursing Research.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
8. Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing (9th ed). St.Louis,
Missouri: Mosby Elsevier.
9. Tim Keperawatan Jiwa FIK UI. (2011). Draft Modul Terapi. Depok: FIK UI.
10. Tim Keperawatan Jiwa FIK UI. (2011). Draft Scanning. Depok: FIK UI.
11. Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing (6th ed). Philadelphia: F.A.
Davis Company.
12. Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Dukungan sosial..., Rahmi Imellisa, FIK UI, 2013.