dubar[1]

14
1 erbagai indikator kesehatan di Kuba, sama atau lebih nggi dari AS. Harapan hidup di Kuba rata-rata 77 tahun, hanya setahun lebih rendah dari harapan hidup orang AS. Tahun 2007, angka kemaan bayi di Kuba 5,3 per seribu kelahiran, lebih rendah dari angka kemaan bayi di AS yang 6,37 per seribu kelahiran. Ada 6,5 orang dokter per seribu orang penduduk di Kuba, diband- ingkan dengan 2,4 orang dokter per seribu orang penduduk di AS. Digambarkan dengan cara lain, di Kuba tersedia seorang dokter bagi 155 orang pen- duduk, sedangkan di AS, tersedia seorang dokter bagi 417 orang penduduk (Hughes 2007; Brouwer 2009). Hebatnya lagi, ngkat kesehatan masyarakat begitu nggi di Kuba, dicapai dengan pelayanan kesehatan (health care) yang hanya 250 dollar AS per kapita, dibandingkan dengan 6000 dollar per kapita di AS, dan sekitar 3000 dollar per kapita di kebanyakan negara kaya (Hughes 2007).Ironisnya, keka topan Katrina memporakporan- dakan sejumlah negara bagian AS, dokter-dokter Kuba spontan datang membantu kor- SISI LAIN CHE GUEVARA : DOKTER PELETAK DASAR SISTIM KESEHATAN RAKYAT DI KUBA B DOENIA BAROE [ BACAAN UNTUK ORGANISER ] takan dunia polik yang mana solidaritas dan aksi sosial perlu dibicarakan terlebih dahulu dengan lembaga donor internasional dan struktur aparatus negara. Bukan kebetulan kalau LSM menjadi dominan dan tumbuh subur di beberapa negara di mana aksi perjuangan kelasnya sedang menurun dan rejim neo liberal sedang me- laju dengan kencangnya. Jelasnya laju pertumbuhan sejumlah LSM ditentukan oleh meningkatnya pendanaan dari luar negeri yaitu rejim neo-liberal dan meningkatnya angka kemiskinan di sebuah negara. Di sisi lain gerakan kiri revolusioner sedang men- galami kemunduran di mana banyak para gerilyawan dan akfis kiri revolusioner, akfis buruh, organisasi wanita rakyat telah dikooptasi oleh LSM. Mereka telah ditawari gaji yang nggi, kedudukan dan jaminan dari lembaga donor internasional dan undangan di konferensi interansional dan jaminan dak akan ditangkap dan disiksa oleh militer. Hal itu berbanding terbalik dengan gerakan sosial polik yang hanya mendapatkan sejumlah kecil keutungan material tapi mendapatkan respek yang besar dan idenpendensi serta yang lebih penng adalah kemerdekaan, kebebasan untuk menentang sistem ekonomi dan polik neo liberal. LSM dan bank-bank mulnasional pendukung mereka sering mempublikasikan newsleter yang menceritakan tentang kesuksesan dari koperasi usaha kecil dan konsep kemandirian mereka, tanpa mereka menyebutkan ngginya suku bunga, rendahnya daya konsumsi masyarakat serta impor yang membanjiri pasar dalam negeri, seper kasus Mexico saat ini. Mungkin kesuksesan mereka benar-benar nyata, tapi itu hanya berlaku bagi sebagian ke- cil kelompok orang miskin. Meningkatnya angka kejahatan dan kekerasan di daerah-daer- ah kerja mereka merupakan indikasi bahwa LSM belum berhasil meng-gankan gerakan sosial polik yang independen. Akhir kata, LSM merupakan bentuk baru dari penjajahan di bidang ekonomi dan kultural serta ketergantungan gaya baru. Proyek-proyek mereka didesain atau paling dak diten- tukan secara garis besar oleh lembaga donor internasional mereka. Mereka diurus dan dijaga oleh lembaga donor mereka dan dijual kepada rakyat. Evaluasi kerja mereka juga dilakukan oleh lembaga donor tersebut. Keka sudah jelas bahwa LSM adalah instrumen dari rejim neo-liberal, masih ada se- kelompok kecil orang yang mencoba memberikan alternaf yaitu perjuangan kelas dan polik an imperialisme. Tidak ada satupun dari mereka yang menerima dana bantu- an dari funding agency, dari pemerintah Amerika, Eropa maupun Bank Dunia. Mereka beru-saha menghubungkan kekuatan lokal ke arah perjuangan kelas melawan kekuasaan ne-gara. Mereka memberikan solidaritas polik kepada gerakan sosial yang terlibat dalam perjuangan kelas di berbagai sektor. Mereka mendukung perjuangan kaum wanita me-menangkan prespekf kelas. Mereka percaya bahwa organisasi lokal harus dibawa ke arah perjuangan nasional dan kepemimpinan nasional harus dibisa diterima oleh akvis di ngkat bawah.*** DITERBITKAN OLEH KOLEKTIF ORGANISER DAN PROPAGANDA RAKYAT

Upload: agung-bagindo-nugroho

Post on 16-Nov-2015

23 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

Terbitan Untuk Organiser

TRANSCRIPT

  • 1

    erbagai indikator kesehatan di Kuba, sama atau lebih tinggi dari AS. Harapan hidup di Kuba rata-rata 77 tahun, hanya setahun lebih rendah dari harapan hidup orang AS. Tahun 2007, angka kematian bayi di Kuba 5,3 per seribu kelahiran, lebih rendah dari angka kematian bayi di AS yang 6,37 per seribu kelahiran. Ada 6,5 orang dokter per seribu orang penduduk di Kuba, diband-

    ingkan dengan 2,4 orang dokter per seribu orang penduduk di AS.

    Digambarkan dengan cara lain, di Kuba tersedia seorang dokter bagi 155 orang pen-duduk, sedangkan di AS, tersedia seorang dokter bagi 417 orang penduduk (Hughes 2007; Brouwer 2009). Hebatnya lagi, tingkat kesehatan masyarakat begitu tinggi di Kuba, dicapai dengan pelayanan kesehatan (health care) yang hanya 250 dollar AS per kapita, dibandingkan dengan 6000 dollar per kapita di AS, dan sekitar 3000 dollar per kapita di kebanyakan negara kaya (Hughes 2007).Ironisnya, ketika topan Katrina memporakporan-dakan sejumlah negara bagian AS, dokter-dokter Kuba spontan datang membantu kor-

    SiSi Lain Che Guevara : Dokter PeLetak DaSar SiStim keSehatan rakyat Di kuba

    B

    DOENIA BAROE[ BACAAN UNTUK ORGANISER ]

    takan dunia politik yang mana solidaritas dan aksi sosial perlu dibicarakan terlebih dahulu dengan lembaga donor internasional dan struktur aparatus negara.Bukan kebetulan kalau LSM menjadi dominan dan tumbuh subur di beberapa negara di mana aksi perjuangan kelasnya sedang menurun dan rejim neo liberal sedang me-laju dengan kencangnya. Jelasnya laju pertumbuhan sejumlah LSM ditentukan oleh meningkatnya pendanaan dari luar negeri yaitu rejim neo-liberal dan meningkatnya angka kemiskinan di sebuah negara. Di sisi lain gerakan kiri revolusioner sedang men-galami kemunduran di mana banyak para gerilyawan dan aktifis kiri revolusioner, aktifis buruh, organisasi wanita rakyat telah dikooptasi oleh LSM. Mereka telah ditawari gaji yang tinggi, kedudukan dan jaminan dari lembaga donor internasional dan undangan di konferensi interansional dan jaminan tidak akan ditangkap dan disiksa oleh militer. Hal itu berbanding terbalik dengan gerakan sosial politik yang hanya mendapatkan sejumlah kecil keutungan material tapi mendapatkan respek yang besar dan idenpendensi serta yang lebih penting adalah kemerdekaan, kebebasan untuk menentang sistem ekonomi dan politik neo liberal. LSM dan bank-bank multinasional pendukung mereka sering mempublikasikan newsleter yang menceritakan tentang kesuksesan dari koperasi usaha kecil dan konsep kemandirian mereka, tanpa mereka menyebutkan tingginya suku bunga, rendahnya daya konsumsi masyarakat serta impor yang membanjiri pasar dalam negeri, seperti kasus Mexico saat ini.Mungkin kesuksesan mereka benar-benar nyata, tapi itu hanya berlaku bagi sebagian ke-cil kelompok orang miskin. Meningkatnya angka kejahatan dan kekerasan di daerah-daer-ah kerja mereka merupakan indikasi bahwa LSM belum berhasil meng-gantikan gerakan sosial politik yang independen.Akhir kata, LSM merupakan bentuk baru dari penjajahan di bidang ekonomi dan kultural serta ketergantungan gaya baru. Proyek-proyek mereka didesain atau paling tidak diten-tukan secara garis besar oleh lembaga donor internasional mereka. Mereka diurus dan dijaga oleh lembaga donor mereka dan dijual kepada rakyat. Evaluasi kerja mereka juga dilakukan oleh lembaga donor tersebut.Ketika sudah jelas bahwa LSM adalah instrumen dari rejim neo-liberal, masih ada se-kelompok kecil orang yang mencoba memberikan alternatif yaitu perjuangan kelas dan politik anti imperialisme. Tidak ada satupun dari mereka yang menerima dana bantu-an dari funding agency, dari pemerintah Amerika, Eropa maupun Bank Dunia. Mereka beru-saha menghubungkan kekuatan lokal ke arah perjuangan kelas melawan kekuasaan ne-gara. Mereka memberikan solidaritas politik kepada gerakan sosial yang terlibat dalam perjuangan kelas di berbagai sektor. Mereka mendukung perjuangan kaum wanita me-menangkan prespektif kelas. Mereka percaya bahwa organisasi lokal harus dibawa ke arah perjuangan nasional dan kepemimpinan nasional harus dibisa diterima oleh aktivis di tingkat bawah.***

    DITERBITKAN OLEH KOLEKTIF ORGANISER DAN PROPAGANDA RAKYAT

  • 2

    KESEHATAN, DEMOKRASI & HAK-HAK EKOSOSBUD : BELAJAR DARI RINTISAN DOKTER CHE

    If were going to have a successful democratic society, we have to have a well educated and healthy citizenryThomas JeffersonA few months ago, here in Havana, it happened

    that a group of newly graduated doctors did not want to go into the countrys rural areasand demanded remuneration before they would agree to go ...But what would have

    happened if instead of these boys, whose families generally were able to pay for their years of study, others of less fortunate means had just finished their schooling and were

    beginning the exercise of their profession? What would have occurred if two or three hundred campesinos had emerged, let us say by magic, from the university halls?What would have happend, simply, is that the cam-pesionos would have run, immediately and with unreserved enthusiasm, to help their

    brothers ... What would have happend is what will happen in six of seven years, when the new students, childre of workers and campesinos, receive professional degrees of all kind-

    sIf we medical workers and permit me to use once again a title which I had forgotten some time ago are successful, if we use this new weapon of solidarity ....Che Guevara,

    On Revolutionary Medicine, Havana, 19 Agustus 1960 (dalam Brouwer 2009)

    ban-korban topan itu. Walaupun rezim George Bush masih mempertahankan embargo ekonomi terhadap Kuba, mereka diminta memperpanjang masa pengabdiannya di AS.

    Padahal, Kuba sendiri belum lama sebelumnya dihantam topan yang menghancurkan juta rumah dan jaringan listrik, namun hanya tujuh orang dari 10 juta penduduk yang meninggal. Bukti kecanggihan Kuba dalam siaga bencana menghadapi topan di seputar Laut Karibia sudah juga dibuktikan brigade-brigade medis Kuba, waktu topan George dan Mitch menghantam Haiti, Honduras, dan Guatemala (Brouwer 2009; www.oxfamblogs.org/fp2/?p=102, diakses 3 Mei 2009). .. tingkat kesehatan Kuba tidak akan setinggi itu, seandainya seorang dokter tidak ikut memimpin Revolusi 1959, untuk mengubah Kuba dari negara kapitalis yang rasis, yang dibangun dari produsen tebu yang mengandalkan buruh keturunan budak dari Afrika, menjadi sebuah negara sosialis.

    Orang itu adalah Che Guevara.Dipetik dari makalah George Aditjondro untuk Kongres Nasional I Hukum Kesehatan di Jakarta, 27-29 Mei 2009 KESEHATAN, DEMOKRASI & HAK-HAK EKOSOSBUD: BELAJAR DARI RINTISAN DOKTER CHESelengkapnyaMakalah untuk Kongres Nasional I Hukum Kesehatan di Jakarta, 27-29 Mei 2009.

    PENGANTARApa hubungan antara kesehatan dengan demokrasi dan penegakan hak-hak ekososbud (ekonomi, sosial, dan budaya)? Sedikitnya, ada empat prinsip yang dapat ditarik dari relasi di antara ketiga hal itu. Pertama, menurut Thomas Jefferson, penulis Deklarasi Kemerdekaan AS, masyarakat yang demokratis memerlukan masyarakat yang sehat dan terdidik (www.righttohealthcare.org/Democracy.htm, diakses 3 Mei 2009).

    rendah dan bukan untuk perjuangan yang memberi mereka kesempatan mengontrol basis produksi dan kekayaan. Mereka hanya memfokuskan pada bantuan finansial secara teknis kepada orang miskin dan tidak melihat permasalahannya secara struktural dan mereka tidak mampu memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan rakyat miskin yang menjadi obyek mereka. LSM mencuri terminologi kaum kiri revolusioner yaitu peo-ple power, pemberdayaan, persamaan hak (gender equality), dan arus bawah (bottom up leadership). Mereka telah mencuri istilah-istilah dan memakainya dalam kerangka kolaborasi dengan negara donor dan lembaga pemerintah yang telah mensubordina-si mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa semangat kegiatan dan aktifitas mereka adalah pember- dayaan yang tidak pernah mampu memberdayakan sekelompok kecil masyarakat di lingkungan tertentu dengan sejumlah dana dan tenaga yang terbatas.LSM dan para manajer post Marxis mereka tenggelam dalam persaingan antar mere- ka sendiri untuk melakukan aktif- itas sosial politik yang bertujuan untuk memberikan pengaruh di antara kaum miskin, wanita dan kaum kulit berwarna. Ideologi mereka jauh dari sumber masalah dan jalan keluar dari kemiskinan yang menjadi obyek penelitian mereka. Mereka selalu menden-gung-dengungkan usaha-usaha kecil ( micro enterprises) sebagai jalan keluar, tanpa memperhitungkan eksploitasi oleh Bank Dunia. Di sisi lain, bantuan mereka juga menciptakan masalah di tengah masyrakat yang terbuai dengan bantuan-bantuan dan janji -janji muluk LSM, muncul persaingan di antara masyarakat juga untuk mencari simpati dari LSM dan melupakan solidaritas kelas di antara mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi dikalangan LSM dimana masing-masing kelompok berlomba-lomba untuk mendirikan LSM untuk mendapatkan dana dari luar negri. Ketika pada suatu saat proyek-proyek LSM ini menyurut karena mereka kehabisan ide atau ma salah internal lainnya, para lembaga donor justru mengalihkan pendanaan mereka kepada LSM yang jelas-jelas bekerja sama dengan pemerintah, dan mendesakkan kebijakan neo liberal dijalankan melalui LSM tersebut.Strategi Pemilu yang menjadi senjata utama kaum post marxis justru memberikan pelu-ang kepada partai politik yang disponsori oleh kaum neo-liberal dan media massa borjuis. Pendidikan politik tentang imperialisme dan hubungan kelas antara pemilik modal dan buruh sama sekali tidak menjadi agenda mereka. Mereka mengkooptasikan kaum miskin kepada agenda neo liberal dengan menekankan konsep kemandirian, mereka mencip-

  • 3

    Dengan demikian, urusan kesehatan bukan hanya urusan praktisi kesehatan (dokter, paramedis, laboran, apoteker), tapi urusan semua penentu alokasi anggaran maupun tunjangan kesehatan. Kedua, makin tinggi perhatian Negara serta segenap penyedia lapangan kerja bagi kesehatan para warga, pegawai, serdadu, polisi, dan buruh, hak-hak ekososbud para insan itu, khususnya Pasal 11, akan makin terpenuhi. Ketiga, sejak dirati-fikasi melalui UU No. 11/2005, pemerintah dan rakyat Indonesia wajib mengusahakan se-gala cara agar hak-hak ekososbud yang digariskan dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekososbud 1966 dapat diwujudkan. Keempat, makin demokratis sebuah Negara, makin besar kemungkinan Negara itu memperhatikan kesehatan warganya, sebagai perwujudan dari hak-hak ekososbud warganya. DEMOKRASI a la AS, ATAU DEMOKRASI a la KUBA?Pertanyaannya sekarang: demokrasi macam mana yang paling menjamin tingginya pen-ingkatan kesehatan masyarakat sebuah negara? Demokrasi liberal a la AS, yang sering dijadikan model bagi Indonesia? Ataukah demokrasi sentralistis a la Kuba, negara miskin yang sudah 40 tahun dihantam embargo perdagangan AS, kemudian kehilangan ban-tuan Uni Soviet setelah negara itu bubar? Berbagai indikator kesehatan di Kuba, sama atau lebih tinggi dari AS. Harapan hidup di Kuba rata-rata 77 tahun, hanya setahun lebih rendah dari harapan hidup orang AS. Tahun 2007, angka kematian bayi di Kuba 5,3 per seribu kelahiran, lebih rendah dari angka kematian bayi di AS yang 6,37 per seribu kelahi-ran. Ada 6,5 orang dokter per seribu orang penduduk di Kuba, dibandingkan dengan 2,4 orang dokter per seribu orang penduduk di AS.Digambarkan dengan cara lain, di Kuba tersedia seorang dokter bagi 155 orang pen-duduk, sedangkan di AS, tersedia seorang dokter bagi 417 orang penduduk (Hughes 2007; Brouwer 2009). Hebatnya lagi, tingkat kesehatan masyarakat begitu tinggi di Kuba, dicapai dengan pelayanan kesehatan (health care) yang hanya 250 dollar AS per kapita, dibandingkan dengan 6000 dollar per kapita di AS, dan sekitar 3000 dollar per kapita di kebanyakan negara kaya (Hughes 2007).Ironisnya, ketika topan Katrina memporakporan-dakan sejumlah negara bagian AS, dokter-dokter Kuba spontan datang membantu kor-ban-korban topan itu. Walaupun rezim George Bush masih mempertahankan embargo ekonomi terhadap Kuba, mereka diminta memperpanjang masa pengabdiannya di AS. Padahal, Kuba sendiri belum lama sebelumnya dihantam topan yang menghancurkan juta rumah dan jaringan listrik, namun hanya tujuh orang dari 10 juta penduduk yang meninggal. Bukti kecanggihan Kuba dalam siaga bencana menghadapi topan di seputar Laut Karibia sudah juga dibuktikan brigade-brigade medis Kuba, waktu topan George dan Mitch menghantam Haiti, Honduras, dan Guatemala (Brouwer 2009; www.oxfamblogs.org/fp2/?p=102, diakses 3 Mei 2009). Dari fakta-fakta di atas ternyata kita perlu sedikit hati-hati dengan label demokrasi, apalagi kalau suatu rezim hanya disebut demokratis apabila secara periodik menye-lenggarakan pemilu multi-partai, seperti Indonesia pasca-Soeharto. Sebab pemerintah-an oleh rakyat, sebagaimana makna demokrasi menurut bahasa Yunani, yakni demos = rakyat, dan kratos = memerintah (Elliott 1969: 120), tidak otomatis berarti, seluruh rakyat

    ingan umum, dan mengkooptasi para pemimpin yang ber-potensi dari proyek-proyek mereka. LSM tidak pernah turun membela para guru yang melawan kebijakan neo liberal yang memangkas anggaran pendidikan. Bisa dihitung dengan jari berapa kali LSM men-dukung pemogokan buruh dan protes menentang upah rendah dan pemotongan angga-ran untuk sektor publik. Karena anggaran pendidikan mereka didanai oleh pemerintahan neo liberal, mereka menolak memberikan solidaritas kepada para tenaga pendidik yang berjuang melawan pemerintah.Pada prakteknya, LSM atau ornop adalah organisasi yang pro pemerintah. Mereka menerima anggaran dari pemerintah asing, dan bekerja sebagai sub-kontraktor bagi pemerintahan mereka sendiri. Sering sekali mereka bekerja sama dengan lembaga pe-merintahan di dalam negeri maupun luar negri . Sub-kontrak yang mereka lakukan telah mengubah mereka menjadi sekelompok profesional yang pro bisnis. LSM tidak mampu memberikan program komprehensif untuk jangka waktu panjang seperti yang disediakan oleh negara kesejahteraan, hasil nyata yang dapat mereka berikan hanyalah pelayanan kepada sekolompok kecil orang di daerah tertentu saja. Yang terpenting program mereka dianggap layak jual bagi lembaga donor internasional, tidak penting nilainya di mata mas-yarakat yang mereka jadikan obyek. Dalam kasus ini LSM telah menghancurkan nilai-nilai demokrasi dengan mengambil alih semua program sosial ke tangan mereka dari rakyat dan mereka memilih pegawai dan pengurus yayasan tanpa melibatkan massa rakyat yang mereka jadikan obyek, jadi mereka mengangkat sekelompok orang yang tergantung pada kebijakan lembaga donor internasional.LSM mengalihkan perhatian rakyat dari perjuangan melawan anggaran pendapat-an dan belanja nasional demi melanggengkan anggaran yang disediakan untuk mereka. Sikap ini telah memberikan ruang gerak bagi kaum neo liberal untuk memotong anggaran subsidi sektor publik dan mengalihkannya untuk membayar hutang bank-bank besar maupun hutang para eksportir. Para kaum miskin membayar pajak kepada negara dan tidak memperoleh apa-apa, kelas buruh harus bekerja lembur tanpa dibayar, mereka menjadi obyek penelitian bagi LSM dan tidak pernah dibela oleh LSM. Ideologi kaum LSM adalah aktifitas sukarela untuk kepentingan sendiri (private voluntary acitivity), ideologi ini seakan-akan mengingkari peran pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk memelihara warga negara dan memberikan jaminan hidup yang layak, kebebasan dan jaminan atas kebahagian mereka. Yang dikampanyekan oleh kaum LSM adalah ide kaum neo liberal bahwa tanggung jawab pribadi untuk memecahkan masalah sosial dan penting nya kemampuan masing masing pribadi untuk memecahkan masalah sosial. Jadi mereka melipat gandakan penindasan pada kaum miskin, sudah dipaksa membayar pajak untuk membiayai proyek rejim neo liberal yang mana pajak itu hanya dipakai melayani kepentingan si kaya, disuruh pula memenuhi sendiri kebutuhan dasarnya sebagai warga negara.LSM DAN GERAKAN SOSIAL POLITIKLSM menekankan pada proyek-proyek yang tidak berorientasi aksi dan masuk dalam konteks gerakan masssa. Mereka hanya memobilisasi orang-orang pada tingkatan paling

  • 4

    ikut memerintah. Demokrasi dengan sistem multi-partai yang bergantian memerintah, sering dikuasai partai-partai besar yang elitnya berasal dari lapisan atas, sehingga pemer-intah pada hakekatnya hanya mewakili kepentingan kelas atas. Makanya demokrasi liberal sering juga disebut demokrasi borjuis. Demokrasi ini, sep-erti kata Marx, berakhir di gerbang pabrik (Giddens 1993: 499). Sebab buruh, sebagai warganegara, boleh memilih partai yang akan menguasai Negara, tapi begitu masuk kerja di pabrik, buruh harus tunduk kepada manajemen, yang mewakili kepentingan pemilik pabrik. Sebagai anti-tesis dari demokrasi liberal atau demokrasi borjuis, kebanyakan rezim sosia-lis hanya mengizinkan kehadiran satu partai saja. Kebebasan berpendapat dan berserikat tetap boleh diwujudkan, tapi di bawah payung partai tunggal itu, di mana kepentingan berbagai segmen masyarakat seperti buruh, tani, nelayan, pedagang kecil tetap terwakili. Begitu pula kelompok-kelompok minoritas etno- rasial. Makanya, demokrasi dengan sistem partai tunggal disebut demokrasi sosialis atau sentralisme demokratis (Wilczynski 1981: 139-40). Di Kuba, misalnya, berbagai ormas seperti Central de Trabajadores de Cuba (CTC, kon-federasi buruh Kuba), Federacion de Mujeres Cubanas (FMC, federasi perempuan Kuba), serta Associacion Nacional de Agricultores Pequenos (ANAP, himpunan nasional petani kecil), berjuang untuk menghapus diskriminasi terhadap penduduk keturunan Afrika (Serviat 1993: 89). Penghapusan diskriminasi rasial disusul dengan penghapusan diskrim-inasi gender. Federasi Perempuan Kuba, misalnya, berhasil mendesak parlemen Kuba mengeluarkan UU Keluarga (Family Code) pada Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 1973, yang menghapus beban ganda perempuan yang menikah atau hidup bersama seorang laki-laki. Kalau sebelumnya perempuan yang bekerja di pabrik atau kantor, sepulang ke rumah tetap harus bekerja melayani pasangannya, Family Code 1973 menentukan bahwa semua pekerjaan domestik harus dibagi secara adil antara laki-laki dan perempuan (Wald 1978: 29, 36, 254-7). BERKAT KEPELOPORAN DOKTER CheKendati demikian, tingkat kesehatan Kuba tidak akan setinggi itu, seandainya seorang dokter tidak ikut memimpin Revolusi 1959, untuk mengubah Kuba dari negara kapital-is yang rasis, yang dibangun dari produsen tebu yang mengandalkan buruh keturunan budak dari Afrika, menjadi sebuah negara sosialis. Orang itu adalah Che Guevara.Ernesto Guevara de la Serna, yang lebih populer dengan panggilan Che, lebih dikenal sebagai gerilyawan yang gugur di tangan serdadu Bolivia atas perintah Presiden AS, Lyndon B. Johnson, 9 Oktober 1967 (Ruiz 2004: 182). Namun orang sering lupa bahwa ia seorang dokter. Lahir di Rosario, Argentina, 14 Juni 1928, dari ayah keturunan Irlandia dan ibu keturunan Spanyol, pada masa kanak-kanak, ia terserang asma bronkitis. Barangkali, pengalaman pribadi bergumul dengan asma sampai dewasa, mendorong ia masuk FK Universitas Buenos Aires, dengan spesialisasi penyakit kulit atau dermatologi (Guevara 2007: 109). Sebelum lulus, ia mengajak kawan-nya, Alberto Granados, ahli farmasi dan bio-kimia, berboncengan motor keliling Argenti-

    Ketika semakin banyak orang yang menentang kebijakan neo liberal di awal tahun 80-an, Amerika Serikat dan Eropa serta Bank Dunia justru meningkatkan bantuan dana yang diberikan kepada LSM. Jadi ada hubungan antara bangkitnya gerakan anti neo-liberal-isme dan usaha untuk menghacurkan itu dengan cara menciptakan bentuk aksi sosial yang baru melalui LSM -LSM yang menjamur seperti di musim hujan. Dasar utama kerjasama di antara LSM dan Bank Dunia adalah mereka mempunyai musuh yang sama yakni konsep peran negara (statism). Kalau kaum Post Marxis mengkritik peran negara dari perspektif bahwa yang penting adalah membangun masyarakat sipil (civil society), sementara itu dari sayap kanan serangan dilancarkan atas nama kepentingan pasar (mar-ket). Pada kenyataannya, Bank Dunia, rejim neo-liberal dan lembaga donor internasional justru mengkooptasi dan mendorong LSM untuk melupakan konsep negara kesejahter-aan (welfare state) dengan menyalurkan jasa pelayanan sosial bagi kompen-sasi korban dari perusahaan multinasional. Dengan kata lain, rejim neo-liberal pada tingkatan atas (pusat) bekerja untuk menghancurkan masyarakat dengan membanjiri negara dunia ketiga dengan impor mereka, hutang luar negeri ataupun kredit lunak dan menghapus-kan kebijakan perburuhan yang demokratis, menciptakan jumlah tenaga kerja murah dan pengangguran. Di sisi lain LSM didorong untuk memberikan pendidikan dan training, proyek berdikari dan kemandirian, mengkooptasi pemimpin lokal dan meng-hancurkan perjuangan kelas.LSM telah menjadi bagian dari masyarakat neo liberal, dan jelas berhubungan dengan para petinggi neo-liberal dan mempersenjatai dirinya dengan kerja mereka yang destruk-tif di tingkatan bawah. Jelasnya, neo liberal mempunyai senjata berupa pisau bermata dua. Sayangnya, kebanyakan kaum kiri revolusioner hanya memfokuskan pada kaum neo liberal yang muncul dari atas dan luar negeri yaitu IMF dan Bank Dunia dan banyak kaum revolusioner yang melupakan neo liberalisme dari dalam dan dari bawah seperti LSM dan koperasi pengusaha kecil. Kegagalan mereka melihat ini adalah karena banyaknya bekas Marxis yang masuk ke LSM dan terjun di LSM. Post Marxis adalah ideologi, sementara community development sebagai tiket dari politik kelas menuju pengembangan komuni-tas , dari Marxis ke LSM.Ketika neo liberalisme berusaha memindahkan atau mengalihkan badan usaha milik neg-ara dan asset negara ke tangan swasta asing, LSM tidak pernah terlibat dalam perjuangan buruh melawan kebijakan ini, ataupun mencoba mengkritik. Sebaliknya mereka aktif di proyek proyek swasta kecil, mempromosikan usaha wiraswasta di tingkatan daerah dengan memfokuskan pada usaha koperasi kecil. LSM berusaha membangun jembatan penghubung antara kapitalis kecil dengan pengusaha besar yang memonopoli proses swastanisasi asset nasional dan asset publik, semuanya diatas namakan kepentingan masyarakat sipil dan mengurangi peran negara. Ketika kaum kapitalis menumpuk modal-nya serta membangun kerajaan bisnis mereka melalui proses swastanisasi , kelompok LSM pun kebagian keuntungan dengan mendapatkan sedikit bagian dari keuntungan itu untuk membiayai kantor mereka, uang transport, kompu-terisasi, seminar-seminar dan usaha kecil-kecilan. Hal yang paling penting untuk dicatat adalah peran LSM dalam men-depolitisasi sektor rakyat, menghancurkan peran pegawai negeri yang melayani kepent-

  • 5

    na, Chile, Peru, Kolombia, dan Venezuela. Di masa itulah ia berkenalan dengan penduduk asli Peru keturunan bangsa Inca, dan marah melihat mereka diperlakukan dengan kejam oleh investor asing. Ia juga marah melihat perlakuan terhadap para penderita di koloni lepra San Pablo (Peru) di tepi Sungai Amazon, sebelum kembali ke Buenos Aires untuk menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1953 (Ruiz 2004: 177-8; Guevara 2005: 13; Guevara 2007: 109).Segera setelah lulus, ia pindah ke Guatemala, mendukung perjuangan petani bangsa Maya merebut ribuan hektar tanah mereka yang dikuasai United Fruit Company (UFCo), yang berbasis di Boston, AS. Perjuangan reforma agraria yang didukung Presiden terpilih, Jacobo Arbenz Guzman, membangkitkan amarah John Foster Dulles, pemegang saham dan pengacara perkebunan pisang itu yang juga Menlu AS. Bersama saudara kandungnya, Allen Dulles, Kepala CIA dan Presiden UFCo waktu itu, John Foster Dulles menyiapkan dan membiayai pasukan bayaran yang menggulingkan Ar-benz di bulan Juni 1954. Arbenz digantikan oleh junta militer yang diketuai Carlos Castillo Armas, yang dilantik sebagai presiden Guatemala tanggal 8 Juli 1954. Junta militer pro-AS itu bertahan hingga tahun 1990an, dengan korban 200 ribuan jiwa (Gonzalez 1974: 115; Wald 1978: 265; Swift & DEC 1977: 64-7; Ruiz 2004: 178-9; Guevara 2005: 9; Sierra n.d.; The Social Medicine Journal, Nov. 2004). Che, yang di tahun 1953 bergabung dalam pemerintahan Arbenz, berhasil lolos ke Mex-ico, berkat bantuan Kedubes Argentina. Sebelumnya, ia mempersunting Hilda Gadea Acosta, seorang gadis Peru yang bekerja Albenz, dan memperoleh seorang anak perem-puan, Hildita (Guevara 2005: 9; Sierra n.d.). Sambil bekerja di klinik alergi RS Nasional Mexico, Che berkenalan dengan Raul dan Fidel Castro, yang sedang menyiapkan invasi kembali ke Kuba, untuk membebaskan negeri mereka dari kediktatoran Batista. Meskipun mengidap asma kronis, Che diterima se-bagai dokter pasukan. Selama bergerilya di Sierra (Pegunungan) Maestra, Che melatih para gerilyawan soal-soal persenjataan, jahit-menjahit, serta pembuatan sepatu, roti, dendeng, rokok, dan cerutu. Tahun 1958, ia memimpin operasi perebutan Santa Klara, Kuba Tengah, yang menentukan kemenangan terhadap pasukan diktator Batista. Melihat kemampuannya yang serba bisa, Castro mula-mula mengangkat Che menjadi Gubernur Bank Nasional, kemudian Menteri Perindustrian (Ruiz 2004: 180; Peterlinz 2004: 163-4; Guevara 2005: 9; Sierra n.d.). Selama bergerilya di Sierra Maestra, Che berkenalan dengan seorang gadis Kuba, Alei-da March de la Torre, yang dinikahinya di Havana tahun 1959, dan memperoleh empat orang anak: Aleida Jr, Camilo, Celia dan Ernesto Jr. (Guevara 2005: 9; Chrisafis 2002). Setelah enam tahun bekerjasama dengan Castro, perbedaan garis politik ekonomi kedua mantan gerilyawan itu semakin melebar. Castro terlalu tunduk pada para penasehat ekonomi Soviet, yang mendorong Kuba melakukan industrialisasi besar-besaran, khusus-nya produksi gula untuk dibarter dengan minyak bumi Uni Soviet. Che, sebaliknya, ingin membalikkan kiblat industrialisasi Kuba ke industri kecil dan menengah, untuk mening-katkan jumlah barang konsumen bagi rakyat dan meningkatkan nilai mata uang sehingga

    dengan Uni Soviet. Delapan tahun sejak runtuhnya Uni Soviet, perekonomian Amerika Latin telah kembali seperti saat mereka masih dijajah ratusan tahun yang lalu.Perjuangan anti imperialisme dewasa ini perlu melibatkan rekonstruksi tentang konsep bangsa, pasar domestik, dan produksi ekonomis dan hubungan kelas buruh dengan pro-duksi sosial dan konsumsi.DUA PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL: ORGANISASI KELAS DAN LSMUntuk meningkatkan mutu perjuangan anti imperialisme dan perjuangan melawan kom-prador baru dari dalam negeri, kita harus melampaui perdebatan ideologis dan kultural dalam tubuh kaum post Marxis sendiri dan juga gerakan rakyat.Dewasa ini neo-liberalisme beroperasi di dua lini yaitu ekonomi dan budaya politik, dan neo-liberalisme juga beroperasi di dua level yaitu tingkatan rejim dan tingkatan rakyat kelas bawah. Pada tingkatan atas neo-liberalisme, kebijakan neo-liberal dikemas dan dit-erapkan melalui agen-agen yang sudah mapan seperti Bank Dunia, IMF dengan bekerja sama dengan pemerintahan di Washington, Bonn dan Tokyo dan mengikut- sertakan rejim-rejim neo-liberal dan para eksportir besar, konglomerat besar dan bankir bankir ternama.Pada awal tahun 80-an, beberapa pihak rejim neo-liberal mulai menyadari bahwa kebi-jakan mereka telah menciptakan polarisasi di kalangan massa dan menciptakan keresa-han sosial yang berkepanjangan. Rejim neo-liberal pun mulai membiayai dan mempro-mosikan strategi paralel yang berasal dari arus bawah, promosi organisasi grass root, dan organisasi dengan ideologi anti State (negara) serta organisasi ini dipakai untuk masuk ke daerah-daerah potensial konflik, dengan tujuan menciptakan sosok malaikat penye-lamat. Jelas bahwa organisasi tersebut sangat tergantung pada sumber dana dari rejim neo-liberal dan akan terlibat secara langsung dalam persaingan dengan gerakan sosio politik lainnya untuk merebut kepemimpinan di tingkatan massa dan aktivis lokal. Pada akhir tahun 1990-an organisasi seperti ini digambarkan sebagai ornop (organisasi non pemerintah), berjumlah ribuan dan menerima uang sekitar 4 milyar dollar AS dari berb-agai penjuru dunia.Banyak orang yang bingung untuk memahami karakter NGO/LSM. Untuk memahami ini kita harus melihat ke belakang dari sejarah mereka di tahun 70-an ketika pemerintahan otoriter masih bercokol dengan kuat. Pada masa kediktatoran mereka sibuk memberikan bantuan kemanusiaan untuk menolong korban penindasan rejim militer dan mengecam pelanggaran hak asasi manusia. Pada masa ini LSM masih dipandang sebagai mitra bagi kekuatan kiri revolusioner, bahkan LSM pun dikategorikan sebagai kelompok progresif. Dalam tahap berikutnya mulai kelihatan batasan-batasan yang dimiliki oleh LSM, ketika mereka mengecam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rejim otoriter waktu itu, mereka seakan- akan melupakan pelanggaran hak asasi patron mereka yaitu Amerika dan Uni Eropa yang telah berjasa memberikan uang kepada mereka. Jadi den-gan kata lain, kekuatan asing yang mendanai mereka telah membatasi ruang gerak kritik dan aksi mereka untuk membela hak asasi manusia.

  • 6

    mencegah inflasi (Peterlinz 2004: 166-8; Ruiz 2004: 180; Newman 2006: 126). Perbedaan pendapat soal model pembangunan Kuba itu mengerucut dalam perdebatan terbuka antara sayap kiri yang mendukung model RRT, dipelopori oleh Che Guevara, dan sayap kanan yang mendukung model Soviet, terdorong oleh embargo AS. Cas-tro sendiri tidak mengambil sikap tegas dalam debat ini, yang akhirnya di tahun 1966 dimenangkan oleh tesis guevarista, setelah Che sendiri meninggalkan Kuba (Gonzalez 1974: 181-2). Selain pemikiran makro Che, yang baru disadari Castro setelah keruntuhan Uni Soviet (Newman 2006: 127), Menteri Perindustrian yang juga seorang dokter itu sangat peka terhadap kesehatan buruh pabrik. Sewaktu berkunjung ke sebuah pabrik sepatu, sebagai sesama penderita asma, Che sangat berempati dengan buruh-buruh yang meminta pemasangan kipas angin buat mengurangi debu yang mereka hirup tiap hari, sehingga banyak yang menderita asma dan TBC (Peterlinz 2004: 165-6).Makanya, Che minta diturunkan pangkatnya dari Menteri Perindustrian menjadi pemi-mpin pabrik, tapi tidak disetujui. Ketika konflik dengan Castro memuncak tahun 1965, dia menghilang secara misterius. Ternyata dia sudah kembali menyandang senjata dan mem-bantu gerakan pembebasan di Kongo, sambil membawa beberapa orang dokter Kuba (Brouwer 2009). Che kemudian ke Bolivia, di mana ia gugur di ujung peluru Sersan Mario Teran, pada tanggal 9 Oktober 1967. Dua dasawarsa kemudian, tahun 1997, jasadnya digali kembali dari bumi Bolivia, dan dikebumikan kembali di tanah air angkatnya, Kuba. Satu dasawarsa lagi, 9 Oktober 2007, di hari ulangtahun ke 40 kematian Che, media Kuba memberitakan kesuksesan operasi katarak terhadap Mario Teran, pembunuh Che, oleh seorang anggota Brigade Medis Kuba (Peterlinz 2004: 167; BBC News, 2 Okt. 2007).Namun sebelum meninggalkan Kuba, Che telah meletakkan dasar filosofis sistem keseha-tan sosialis Kuba dalam pidato, On Revolutionary Medicine di Havana, 19 Agustus 1960 (lihat Introduksi makalah ini). Berdasarkan semangat itulah pemerintah Kuba membangun sistem pelayanan kesehatan negeri itu. Sebelum Revolusi, hanya ada seorang dokter untuk 1051 orang penduduk. Ra-tio ini terus berkurang, ketika banyak dokter Kuba hijrah ke AS dan negara-negara kapital-is lain.Ketika Fakultas Kedokteran Universitas Havana dibuka kembali tahun 1959, hanya 23 dari 161 orang dosennya kembali untuk mengajar. Baru tahun 1975, rasio dokter per seribu penduduk Kuba, sebelum Revolusi, bisa dicapai kembali. Sepuluh tahun kemudian, Kuba menjalankan program Medicina General Integral (Kesehatan Umum Menyeluruh), di mana tim seorang dokter dan seorang perawat melayani 120 sampai 150 keluarga di setiap kelurahan. Tim kecil ini secara teratur mengunjungi semua keluarga, dengan me-madu pengobatan, pengumpulan statistik kesehatan setiap warga, pengobatan alternatif, dan pendidikan kesehatan bagi semua warga. Kerja tim-tim kesehatan keluarga ini didukung dengan pembangunan poliklinik, yang dilengkapi spesialis medis dan laboratorium dengan berbagai peralatan pencitraan. Se-tiap poliklinik dibangun untuk melayani antara 20 sampai 40 ribu orang warga (Brouwer 2009). Pelayanan kesehatan jasmani itu dibarengi pelayanan kesehatan mental setelah renovasi Hospital Psiquiatrico de la Habana (HPH) di pinggiran Havana, ibukota Kuba. Du-

    mana yang bisa diterima, membagikan dana untuk proyek penelitian tertentu, menyaring topik penelitian dari diskusi tentang perjuangan kelas dan perspektif perjuangan politik, dengan alasan yang dibuat-buat. Kaum Marxis selalu disingkirkan oleh mereka dalam konferensi ataupun seminar-seminar akademik dengan alasan forum akademik yang obyektif tidak bisa menerima para ideolog, sementara kaum post marxis sendiri ditem-patkan sebagai akademisi ataupun peneliti sosial yang independen.Kontrol mereka atas fasilitas intelektual, publikasi dan penerbitan, seminar-seminar dan konferensi serta pendanaan penelitian-penelitian telah memberikan kaum post-marxis kekuatan yang berarti, akan tetapi di sisi lain mereka justru jadi tergantung pada pendana mereka, dan berusaha sekeras mungkin menghindari konflik dengan funding agencies mereka.Kritik-kritik yang dilancarkan oleh intelektual Marxis memiliki keunggulan tersendiri da-lam menjelaskan dinamika dan perkembangan sosial. Secara taktis kaum marxis memang lemah, tapi secara strategis mereka jauh lebih kuat dibandingkan kaum post marxis.APAKAH GERAKAN ANTI IMPERIALISME SUDAH TAMAT?VDalam beberapa tahun terakhir gerakan anti imperialisme sudah menghilang dari panggung politik kaum marxis. Para bekas gerilyawan di Amerika Tengah telah berubah menjadi politikus yang hanya sibuk memikirkan Pemilu, dan para manajer LSM masih terus sibuk bicara di forum internasional tentang konsep mereka. Orang-orang miskin di Amerika Latin semakin dibebani hutang yang disalurkan oleh bank-bank Amerika, Jepang dan Uni-Eropa. Perusahaan-perusahaan milik negara, fasilitas umum, bank-bank dan kekayaan alam sudah terjual dengan harga murah ke tangan perusahaan Amerika, Eropa dan multinasional lainnya. Pada saat yang sama muncul pula generasi jutawan baru di Amerika Latin yang mempunyai simpanan di bank-bank Amerika dan Eropa. Ameri-ka-Serikat memiliki lebih banyak penasehat militer untuk daerah Amerika Latin, petugas anti-narkotik, ataupun polisi federal yang ditujukan langsung untuk mengawasi Amerika Latin. Menurut cerita dari beberapa orang bekas Sandinista dan bekas Farabundistas bah-wa semangat anti imperialisme telah luntur sejak perang dingin berakhir. Masalahnya bu-kan karena investasi asing maupun bantuan asing tidak mengalir lagi, tapi karena mereka gagal memahami bahwa investasi asing tersebut justru mengurangi upah buruh, meng-hancurkan sistem jaminan sosial dan merubah Amerika Latin menjadi ladang pertanian raksasa, lahan pertambangan raksasa dan daerah pasar bebas yang tidak memperdulikan kedaulatan bangsa, hak azasi manusia dan nasib jutaan orang.Kaum Marxis menekankan bahwa eksploitasi oleh kaum imperialis berakar dari hubun-gan produksi yang berkaitan dengan hubungan multilateral antara negara imperialis den-gan negara kapitalis yang tergantung pada mereka. Ambruknya Uni Soviet telah melem-pangkan jalan bagi kaum imperialis untuk melanjutkan eksploitasi mereka. Kaum Post Marxis dan bekas Marxis yang percaya bahwa dunia yang damai akan tercipta dengan cooperation tidak mampu mengerti akan intervensi Amerika Serikat di Panama, Irak, Somalia dan beberapa negara lainnya. Dinamika imperialisme justru lebih berhubungan dengan dinamika internal modal sendiri dibanding dengan dinamika persaingan mereka

  • 7

    cunge, pelopor pelayanan kesehatan mental itu, tadinya ahli pembiusan (anaesthecian), yang bergerilya bersama Che di Sierra Maestra. Berkat perjuangan sahabat Che itu, Kuba kini telah memiliki seribu orang psikiater, 200 orang di antaranya ahli psikiatri anak-anak. Mereka memadukan terapi emosional dan sosial, dengan polarisasi pendapat soal terapi electroconvulsive. Penyembuhan gangguan mental yang diderita para pasien dilakukan dengan mendorong mereka menari ballet, menata rambut, berbahasa, berhitung, memi-jat kaki, dan menciptakan kerajinan tangan, dengan melibatkan komunitas setempat (Col-linson & Turner 2002). Selain kawan seperjuangan di medan gerilya, keturunan langsung Che turut membangun potensi pelayanan medis Kuba. Aleida Guevara (48), putri sulung Che dari isteri keduanya, Aleida March de la Torre, menjadi dokter anak dengan spesialisi alergi. Dua orang adiknya menjadi pengacara, dan seorang menjadi dokter hewan den-gan spesialisasi lumba-lumba (Chrisafis 2002; Nakata 2008). Selain bekerja di RS Anak-Anak William Soler di Havana, dokter Aledia Guevara pernah menjadi anggota Brigade Kesehatan Kuba di Nikaragua dan Angola. Kini, setelah anak-anak perempuannya sudah besar semua, Aleida Guevara Jr. sering melanglang buana, memperjuangkan penghapusan embargo ekonomi AS dan pengembangan kesehatan kaum miskin di seluruh dunia. Sekaligus, berjuang menentang komersialisasi foto ayahn-ya di berbagai produk konsumen, yang bertentangan dengan filosofi sang dokter gerilya-wan (Chrisafis 2002; Jackson 2003; Nakata 2008; New Scientist, 9 Desember 2004).EKSPOR DOKTER KUBABerkat sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakatnya yang begitu maju, Kuba punya banyak dokter yang siap diekspor ke mancanegara. Pertenga-han 2000an, dari 70 ribu dokter produk pendidikan Kuba, lebih dari 28 ribu orang dokter Kuba tersebar di mancanegara, bersama tenaga medis lain (Anderson 2008; Brouwer 2009; New Scientist, 24 Desember 2004). Kehadiran dokter-dokter Kuba di mancanegara, yang dibiayai pemerintah Kuba (kecuali di Afrika Selatan, Argentina dan Venezuela), sela-lu dibarengi pengiriman mahasiswa kedokteran dari negara-negara itu ke fakultas-fakul-tas kedokteran di Kuba. Sebab kebijakan pemerintah Kuba adalah bahwa setiap dokter Kuba yang bertugas di negara tertentu, harus dapat digantikan oleh dokter-dokter muda dari negara itu, dalam jumlah dua sampai tiga kali lipat (Anderson 2008; Brouwer 2009).Kadang-kadang, sepulang dari pendidikan kedokteran Kuba yang rata-rata enam tahun, dokter-dokter muda itu masih mendapat pendidikan pasca-sarjana dari dokter-dokter Kuba yang masih bertugas di negeri asalnya. Ini dijalani oleh 347 orang dokter muda dari Honduras (idem).Dokter-dokter Honduras itu lulusan ELAM (Escuela Latinamericana de Medicina, atau Sekolah Kedokteran Amerika Latin) di Havana, yang sejak 2005 telah meluluskan 1500 sampai 1800 dokter asing. Selain dari Honduras, para mahasiswa asing berjumlah 24 ribu orang berasal dari Bolivia (5000), Timor Leste (698), Guatemala (448), Haiti (426), Ghana (188), Namibia (143), Gambia (134), Belize (113), Mali (109), Botswana (93), AS (100), Kepulauan Solomon (50), Kiribati (40), dan sejumlah negara lain. Maha-siswa AS disalurkan oleh Pastors for Peace, organisasi Kristen untuk solidaritas terhadap rakyat Kuba (Anderson 2008; Brouwer 2009; Buletin Lao Hamutuk, Agustus 2008: 6)

    yang akan dihabiskan dalam kerja sama di tengah rejim neo-liberal dan dominasi lem-ba-ga donor internasional. Mereka melihat perjuangan kelas hanyalah sebagai nostalgia masa lalu yang sudah tidak relevan lagi. Mereka mengatakan sudah muak dengan politik kuno, ideologi dan para politikus.Dilihat dari kulit luarnya mereka punya pendapat yang benar, mereka bisa dianggap benar karena mereka kaum post Marxis berhasil menyembunyikan peran mereka se-bagai mediator ataupun calo dari lembaga donor internasional dan berlomba-lomba untuk memajukan proposal yang bisa diterima oleh pendana mereka di luar negeri. Para pebisnis yayasan kemanusiaan di luar negeri yang menjadi mitra mereka, sebenarnya justru berhubungan dengan para calo neo-liberal; mereka memang memberikan training kepada sejumlah wanita miskin tapi untuk dipekerjakan pada perusahaan skala kecil yang mereka dirikan sendiri, yang mana perusahaan kecil itu merupakan sub-kontraktor dari perusahaan eksportir yang lebih besar.Politik dari para kaum post Marxis adalah politik komprador, mereka tidak menghasil-kan produk apapun yang bisa dimasukkan dalam produksi nasional, justru mereka men-coba menghubungankan lembaga donor mereka dengan buruh-buruh secara langsung, untuk melicinkan lajunya neo-liberalisme. Dalam hal ini, kaum post Marxis yang menjadi manajer sejumlah LSM adalah aktor politik paling utama atas training, workshop yang tidak memberikan kontribusi ekonomi apapun, baik menyumbang untuk Produk Nasi-onal Bruto (GNP) maupun mengurangi angka kemiskinan. Kegiatan mereka hanya bisa memecah belah rakyat dari perjuangan kelas ke arah gerakan yang moderat dan tidak efektif, sebuah bentuk gerakan yang berkolaborasi dengan para penindas.Dalam perspektif Marxis, perjuangan kelas dan konfrontasi terhadap borjuasi harus diba-ngun atas dasar kesadaran adanya pembagian kelas dalam masyarakat : antara orang-orang yang sibuk bermain tingkat keuntungan saham, nilai suku bunga, nilai sewa atau-pun jumlah pajak dan orang-orang yang harus berjuang untuk meningkatkan gaji mereka, investasi produksi dan jaminan sosial. Pandangan post Marxis telah membuah-kan hasil dan bisa kita lihat di mana-mana seperti konsentrasi pendapatan di tangan segelintir orang dan meningkatnya jurang perbedaan kaya-miskin semakin besar dibanding sepu-luh tahun yang lalu, semua itu terjadi setelah mereka sibuk dengan konsep kerjasama dan kemandirian ataupun usaha kecil. Saat ini bank seperti Inter Ameri-can Devel-opment Bank (IDB) memberi dana kepada perusahaan ekspor agrobisnis yang menindas dan meracuni jutaan petani dan buruh di perkebunan besar, di sisi lain bank ini justru memberikan pendanaan kepada proyek-proyek LSM yang memposisikan dirinya membe-la para petani dan buruh yang tertindas tersebut. Justru peran kaum Post Marxis dengan LSM telah menetralisir perjuangan politik di tingkatan massa dalam melawan kebijakan neo liberal yang dilancarkan oleh para petinggi dan politikus.Ideologi cooperation (kerja sama/gotong royong) justru dipakai untuk menghubungkan kaum miskin dengan kaum Post Marxis sebagai fasilitator menuju para pejabat di tingkat atas yang merupakan arstitek neo-liberalisme. Secara intelektual, kita bisa mengkategori-kan kaum post Marxis sebagai polisi intelektual yang bisa menentukan proyek penelitian

  • 8

    Kebanyakan mahasiswa asing mendapat beasiswa pemerintah Kuba, kecuali dari Afrika Selatan dan Venezuela. Venezuela, negeri Amerika Latin yang dipimpin Hugo Chavez, mantan tentara payung yang berjuang melepaskan negerinya dari penjajahan ekonomi AS, memasok kebutuhan minyak Kuba dengan harga murah, sebagai imbalan atas pen-empatan 30 ribu orang dokter dan tenaga medis Kuba. Mereka membangun program Barrio Adentro guna memperbaiki kesehatan 18 juta orang miskin di negara kaya minyak, yang kini membantu pendidikan kedokteran di Kuba (Soyomukti 2007: 124-8; Brouwer 2009).Dari sini dapat kita lihat bahwa ekspor tenaga medis Kuba bukan untuk menambah de-visa negara miskin itu, melainkan demi solidaritas kemanusiaan internasional, membantu memperbaiki kesehatan rakyat miskin di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan di Republik Demokrasi Timor Leste (RDTL). Segera sesudah gempa menghantam Bantul (DIY) dan Klaten (Jateng), 27 Mei tiga tahun lalu, 65 orang dokter Kuba separuhnya perempuan datang melayani sampai seribu orang pasien sehari. Mereka begitu pop-uler di kalangan penduduk, sehingga tim medis Kuba yang juga beranggotakan 70 orang perawat, laboran dan teknisi kesehatan diminta memperpanjang masa pelayanan mereka selama enam bulan (Fawthrop 2006). Itulah perkenalan pertama Indonesia dengan sistem dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat Kuba, yang selain melibatkan dokter dan tenaga medis lain, juga dilengkapi peralatan medis yang canggih.Kedua rumah sakit lapangan Brigade Medis Kuba dilengkapi peralatan rontgen, labo-ratorium, dan ruang operasi, sehingga dokter-dokter mereka dapat membedah tulang patah serta menangani gangguan kesehatan lain. Sampai medio Agustus 2006 mereka telah melayani 47 ribu pasien, serta menyelenggarakan 900 pembedahan dan imunisasi anti-tetanus terhadap 2000 orang pasien (idem). Kontribusi Brigade Medis Kuba buat membangun kesehatan rakyat Timor Leste jauh lebih besar lagi, mengingat hancurnya sebagian prasarana fisik dan meninggalnya sebagian penduduk negeri baru itu pasca referendum Agustus 1999. Sebagian besar dokter dan paramedis Indonesia kabur dari pos mereka sesudah kerusu-han pasca referendum itu. Kerjasama Kuba dan Timor Leste mulai dibicarakan oleh Pres-iden Fidel Castro dan Presiden Xanana Gusmao dalam KTT Non-Blok di Kuala Lumpur, Februari 2003. Akhir tahun itu sekelompok mahasiswa Timor Leste dikirim ke Kuba untuk kuliah kedokteran di sana, dan sekelompok kecil dokter Kuba dikirim ke Timor Leste di bulan April 2004. Tahun berikutnya, kunjungan tiga pejabat teras RDTL waktu itu -- Menlu Jose Ramos Horta, PM Mari Alkatiri, dan Menkes Rui Araujo -- semakin memantapkan kerjasama kedua negara kecil itu, yang berbuah seribu beasiswa bagi mahasiswa kedok-teran dari RDTL dan pengiriman 300 orang anggota Brigade Medis Kuba ke Timor Leste. Selama kurun waktu 2004 -2008, mereka telah melakukan 2,7 juta konsultasi, termasuk lebih dari sejuta kunjungan rumah; membantu 17.352 kelahiran, termasuk 848 dengan bedah caesar; melakukan 19.099 pembedahan, 193.942 test laboratorium dan 27.643 vaksinasi, serta menyelamatkan 11.406 nyawa (Anderson 2008).

    (aid) dan pelatihan (training) yang mereka berikan merupakan ungkapan belas kasihan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para misionaris Kristen ratusan tahun yang lalu.Kaum post marxis mencoba menekankan pentingnya kemandirian (self-help) dalam rangka menyerang kelompok yang mereka anggap tergantung pada negara dan ter-perangkap dalam hegemoni negara. Jadi mereka justru berlomba-lomba menggarap kelompok-kelompok yang menjadi korban dari proyek neo-liberalisme, dan mereka bisa menjadi santa klaus seperti itu karena mereka menerima subsidi yang cukup besar dari rekan-rekan mereka di Eropa dan Amerika Serikat. Konsep kemandirian mengede-pankan ide untuk mengganti pegawai yang digaji dengan tenaga sukarelawan ( volunteer) ataupun profesional bebas yang dikontrak untuk jangka pendek dalam proyek tertentu. Dasar pikiran dalam pandangan kaum Post-Marxis adalah mengubah solidari-tas menjadi kolaborasi dan subordinasi ke arah ekonomi makro neo liberalisme dengan fokus pandang yang dialihkan dari kelas berada ke arah kaum miskin yang tertindas.Sebaliknya konsep kaum Marxis tentang Solidaritas kelas adalah solidaritas di antara kaum sekelas dan solidaritas dari kaum tertindas (baik wanita, maupun kaum kulit ber-warna) melawan penindas dari dalam maupun luar negeri. Fokus utamanya bukanlah pada donasi yang justru memecah belah kelas dan menjinakkan sekelompok orang untuk waktu tertentu. Fokus dari kaum Marxis terhadap solidaritas adalah pada aksi bersama dari anggota dari kelas yang sama untuk membagi kesulitan ekonomi mereka secara ber-sama-sama dan berjuang untuk perbaikan hidup semuanya.Solidaritas kaum Marxis ini melibatkan kaum intelektual yang menulis dan berbicara atas nama gerakan sosial dalam konteks perjuangan, suka duka bersama dan menghadapi konsekuensi politik yang sama. Bandingkan dengan kaum post marxis yang membenam-kan diri mereka dalam institusi internasional, seminar-seminar akademik, ya-yasan-yayasan internasional, konferensi internasional dan laporan-laporan yang biro-kratis. Mereka menulis karya mereka dalam bahasa post-modernis yang cuma bisa dimengerti oleh pengarangnya sendiri.Bagi kaum Marxis, solidaritas adalah pembagian resiko kepada seluruh orang yang terli-bat dalam gerakan, dan tidak hanya dengan menjadi komentator yang duduk di belakang panggung yang hanya bisa menanyakan macam macam tapi tidak pernah membela sesuatu apapun. Bagi kaum post Marxis, proyek utama mereka adalah mencari dana bantuan internasional. Sedangkan proyek utama kaum Marxis adalah perjuangan poli-tik dan pendidikan propaganda untuk memperbaiki kesadaran sosial. Solidaritas bagi kaum post Marxis adalah terpisah dari kerangka utama semangat pembebasan kaum tertindas, tujuan mereka hanyalah membawa orang-orang hadir di acara training dan seminar mereka. Bagi kaum Marxis, perjuangan bersama harus mempunyai tujuan ke arah masyarakat yang demokratis dan kolektif.PERJUANGAN KELAS DAN KERJA SAMABerulang kali kaum Post Marxis menulis tentang konsep kerja sama bagi semua orang, tidak peduli di mana pun mereka berada tanpa memperhitungkan besarnya biaya sosial

  • 9

    Berbeda dengan tenaga medis Indonesia di Timor Leste pasca referendum 1999, tidak seorangpun tenaga medis Kuba meninggalkan Timor Leste selama krisis politik 2005-2006, ketika perang saudara antara tentara, polisi, desertir bersenjata, serta kelompok milisi begitu banyak menelan korban. Dokter-dokter dan perawat-perawat Kuba tetap bertugas di Hospital Nasional Timor Leste di Dili, melayani para pengungsi di tenda-tenda mereka di seputar kota Dili, sambil tetap melayanai kesehatan masyarakat desa di distr-ik-distrik. Dedikasi mereka sangat dipuji oleh PM Jose Ramos-Horta serta Menlu Zacarias Albano da Costa (Anderson 2008).Ironisnya, justru kehadiran begitu banyak tenaga medis Kuba menjadi duri dalam daging dalam hubungan antara Gereja Katolik dengan pemerintahan Fretilin di bawah pimpinan PM Mari Alkatiri. Seorang tokoh Keuskupan Dili, Padre Domingos Soares, lewat seleba-rannya memprovokasi aksi biarawan/wati menentang PM Alkatiri di tahun 2005, dengan menuduh Alkatiri dan Fretilin mau menjadikan Timor-Leste negara komunis berjulukan Kuba Timur (Aditjondro 2007: 94). Kenyataannya, walaupun persaingan intra-elit RDTL memaksa PM Alkatiri mengundurkan diri (2006), dan diganti oleh Jose Ramos-Horta, kehadiran Brigade Medis Kuba tidak ditolak. Juga setelah pemilu kedua menghasilkan pertukaran posisi antara Ramos-Horta sebagai Presiden serta Xanana Gusmao sebagai PM. Kehadiran Brigade Medis Kuba tetap didukung oleh orang-orang Depkes RDTL, baik yang pro- maupun yang anti-Fretilin (Anderson 2008).Selama studi lapangan bersama tim CD Bethesda, Yogyakarta, dan Depkes RDTL di sepuluh distrik RDTL, akhir September 2008, di mana penulis sempat berinteraksi dengan anggota Brigade Medis Kuba di dua distrik (Oekusi dan Ermera), penulis mencatat tiga hal. Pertama, ada kesenjangan antara Brigade Medis Kuba dan berbagai tarekat biarawati Katolik yang juga sangat berperan dalam pelayanan kesehatan masyarakat Timor Leste. Boleh jadi, di samping faktor bahasa (orang Kuba hanya dapat berbahasa Spanyol, se-dangkan para biarawati hanya dapat berbahasa Indonesia dan Tetun), ketidaksenangan sebagian hirarki Gereja Katolik terhadap kehadiran orang-orang Kuba di negeri itu, sep-erti disinggung di depan, ikut memainkan peranan. Padahal, berbeda dari kecurigaan se-bagian hirarki Gereja Katolik, tenaga medis Kuba tidak tertarik berbicara tentang ideologi negara mereka. Selain berbicara tentang kesehatan, mereka lebih tertarik memperke-nalkan tari salsa, dan memperkenalkan lagu dan musik Kuba, yang diwarnai pengaruh Spanyol dan Afrika (lihat Sarduy & Stubbs 1993). Kedua, berbeda dengan sistem pelayanan kesehatan masyarakat di negara asalnya, yang mengawinkan pendekatan Barat dengan pendekatan alternatif, Brigade Medis Kuba kurang menggali berbagai sistem pengobatan alternatif di Kuba. Tampaknya, bahasa dan kepadatan jadual kerja mereka merupakan dua faktor penghambat untuk mengawinkan pendekatan Barat dengan berbagai pendekatan alternatif yang bersumber pada fau-na, flora, dan sistim budaya suku-suku bangsa di Timor Leste. Soalnya, sebagian besar anggota Brigade Medis Kuba hanya mahir berbahasa Spanyol, sehingga sukar menggali pengetahuan etno-medis di Timor Leste, baik yang menghambat kesehatan masyarakat (misalnya berbagai pemali makanan bagi perempuan hamil dan sedang menyusui, serta

    gambarkan desakan militer dalam Pemilu tanpa mau menghitung tantangan pada militer dari gerilyawan Zapatista di Caracas, Mexico dan pemogokan umum di Bolivia.Dengan kata lain, ada keyakinan yang berlebihan akan keberhasilan perjuangan diawali di tingkat lokal maupun sektoral dalam kerangka Pemilu di tengah eksistensi militer dan selanjutnya diharapkan mampu mendorong perubahan, sebuah harapan yang dibangun atas dasar kegagalan dan ketidak mampuan skenario Pemilu untuk memenuhi tuntutan pokok dan kebutuhan rakyat. Pada kenyataanya kaum oportunis ini gagal menghentikan kekejaman militer, membayar kembali gaji para pegawai negeri di Argentina atau menga-khiri bencana yang dialami oleh para petani coklat di Bolivia.Kaum oportunis post-marxis justru menimbulkan banyak masalah (part of the problem) daripada menciptakan jalan keluar yang baru (part of solution). Sudah kurang lebih 15 tahun sejak negosiasi ke arah transisi dimulai dan semakin lama proses itu berjalan, maka kaum Post-Marxis selalu mengambil kebijakan neo liberal dan mempertahankan kebija-kan pasar bebas mereka. Kaum oportunis itu tidak mampu secara efektif untuk mengha-langi dampak sosial akibat pasar bebas yang menyengsarakan rakyat, justru mereka yang semakin didesakkan oleh neo liberalisme untuk menerapkan kebijakan baru dan jum-lahnya semakin bertambah setiap tahun, kebijakan baru yang semakin mencekik rakyat dalam rangka mempertahanakn kelangsungan hidup kelas penguasa. Kaum post Marxis telah bergerak dari sikap mereka yang pragmatik dalam mengkritik kebijakan neo liber-al ke sikap menonjolkan diri sebagai manajer proyek neo- liberal yang efisien dan jujur, dan mereka mampu menjamin kepercayaan para investor dan memadamkan kerusuhan sosial.Pada waktu yang sama, pragmatisme dari kaum Post Marxis seakan berjalan seiring dengan kencangnya gerak laju neo-liberalisme; dekade 90 an telah menjadi saksi radika-lisme kebijakan neo liberal, di mana mereka mendesain krisis berkepanjangan terhadap penduduk pribumi dengan cara menawarkan investasi yang mengutungkan dan kesem-patan spekulasi kepada bank-bank yang beroperasi secara internasional dan perusahan perusahaan multinasional lainnya. Neo liberalisme telah menciptakan polarisasi struktur kelas yang justru semakin dekat ke paradigma Marxis dibanding pandangan Post-Marxis sendiri. Struktur kelas di Amerika Latin komtemporer jauh lebih jelas, jauh lebih ber-hubungan dengan kelas politik dan negara, jauh lebih positif dibanding masa-masa sebel-umnya. Dalam kondisi seperti ini politik ke arah gerakan revolusioner jauh lebih relevan dibandingkan tawaran pragmatis dari kaum post Marxis.SOLIDARITAS KELAS DAN SOLIDARITAS NEGARA PENDONORKata solidaritas telah disalahgunakan ke berbagai macam konteks yang tidak mempunyai arti sama sekali. Solidaritas bagi kaum Post Marxis, solidaritas adalah termasuk bantu-an luar negri yang disalurkan kepada setiap kelompok yang dianggap berpotensi untuk berkembang. Atau disisi lain, pola pendidikan yang dikemas secara populer ataupun pe-nelitian- penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para kaum intelektual professional dengan menjadikan kaum miskin sebagai obyek, itupun dianggap sebagai solidaritas. Dalam be-berapa hal, apa yang dilakukan oleh kaum oportunis dewasa ini melalui program bantuan

  • 10

    budaya patriarkis yang sangat kuat di kebanyakan suku), maupun yang mendukung. Sementara itu, penduduk asli di kampung-kampung hanya dapat berbahasa Indonesia, Tetun, dan bahasa suku mereka, dan dijauhkan dari bahasa Portugis yang dekat dengan bahasa Spanyol -- selama masa penjajahan Indonesia. Kurangnya usaha Brigade Medis Kuba menggali antropologi kesehatan Timor Leste sangat disayangkan, sebab berbagai pengetahuan etno-medis Timor Leste sudah mulai didokumentasi oleh peneliti-peneli-ti dari Australia, Kanada, dan Timor Leste, dibantu oleh mantan gerilyawan FALANTIL, dimulai dari pengetahuan etno-medis Fataluku, suku yang kurang mahir berbahasa Tetun maupun Indonesia. Ketiga, medan dan jarak yang jauh dari kampung-kampung ke SISCa (Sistema Integrada Saude do Communitaria ), yang setara dengan Posyandu di Indonesia membuat rakyat di desa-desa pelosok sangat bergantung pada praktisi pengobatan alternatif (matandok, mata-blolo, atau daya dalam bahasa setempat). Termasuk dalam membantu persalinan ibu-ibu hamil. Padahal, para praktisi pengobatan alternatif ini jarang sekali mendapat kesempatan memperdalam ilmu mereka bersama pada tenaga medis Kuba. KESIMPULANLalu, apa yang dapat dipelajari oleh Indonesia, dari studi kasus pola kesehatan mas-yarakat Kuba ini?Pertama, berbeda dari citra umum tentang Che Guevara, sebagai pejuang bersenjata yang teori perang gerilyanya sering diacu para aktivis kiri di samping teori perang gerilya Mao Zedong, sesungguhnya kontribusi dokter Che dalam meletakkan dasar bagi sistem pelayanan kesehatan Kuba perlu mendapatkan perhatian yang lebih mendalam. Kedua, pengalaman Kuba ini menunjukkan bahwa ada sistem demokrasi lain yang lebih memberikan perhatian pada hak-hak ekososbud para warga miskin, khususnya hak atas kesehatan, ketimbang sistem demokrasi liberal. Ketiga, penempatan dokter-dokter dan tenaga medis Kuba lainnya di mancanegara, dibarengi dengan pembukaan fakultas-fakul-tas kedokteran Kuba bagi mahasiswa miskin dari mancanegara, merupakan contoh bagaimana suatu negara miskin berkontribusi untuk perdamaian dunia melalui perbaikan kesehatan masyarakat, terutama warga miskin.Keempat, melalui pola yang khas ini, Kuba berhasil membuktikan keunggulan sistem kesehatan sosialis ketimbang sistem kesehatan kapitalis, di tengah-tengah embargo ekonomi AS serta berakhirnya bantuan Uni Soviet. Kelima, dengan mengirimkan bantuan tenaga medis kepada para korban topan Kathrina di AS, Kuba membuktikan kepada rakyat AS bahwa embargo ekonomi yang dipertahank-an sekian banyak presiden mereka, tidak berhasil mematahkan tekad suatu bangsa untuk memilih garis politik dan ekonomi mereka. Keenam, melalui barter minyak dengan tenaga dokter Kuba serta pendidikan kedokteran di Kuba, Venezuela juga membuktikan, bahwa rezeki migas dari negara anggota OPEC itu dapat membantu perbaikan kesehatan rakyat miskin Venezuela maupun memperkuat kemampuan Kuba mendidik calon-calon dokter dari berbagai negara miskin di dunia. Minyak untuk kesehatan rakyat, kira-kira begitulah. Yogyakarta, 23 Mei 2009.Kepustakaan:Aditjondro, George Junus (2007).

    menambahkan aktivitas neo-liberal dengan menekan dan memukul jaringan antara perjuangan lokal dan organisasi-organisasi serta gerakan politik internasional dan nasion-al. Penekanan pada aktivitas lokal mengamankan hak keadilan rejim-rejim neo-liberal, seperti dengan mengijinkan dukungan asing dan nasional untuk mendominasi kebijakan sosio-ekonomi mikro, dan memakai semua sumber daya negara atas nama ekspor kapi-talis dan kepentingan finansial.Kaum post-marxis, selayaknya seorang manager NGO, menjadi sangat cakap dalam mendesain proyek dan menghubungkan identitas baru dan jargon globalisasi ke dalam gerakan popular. Mereka berbicara dan menulis tentang kerja sama internasional dan usaha mandiri mikro yang menciptakan benang ideologis neo-liberal dan sementara itu juga mendesak masyarakat agar bergantung pada kucuran donor asing dan agenda so-sio-ekonomi neo liberal mereka. Tidak mengejutkan, setelah dekade aktivitas NGO, yang menyebabkan depolitisasi akibat dari ulah kaum post marxis, sekaligus menye-babkan de-radikalisasi di seluruh kehidupan sisoal: perempuan, lingkungan, dan organsisi pemu-da. Kasus-kasus di Peru dan Chile adalah klasik: dimana NGO kuat berdiri maka merupa-kan kemunduran gerakan sosial radikal.Perjuangan lokal untuk memenangkan isu mendesak adalah benih yang baik bagi bangk-itnya sebuah gerakan yang potensial untuk menjadi lebih radikal. Pertanyaannya adalah tentang arah yang diambil: apakah mereka menjadi sebuah gerakan yang berusaha untuk memenangkan tuntutan yang lebih besar pada sistim sosial yang berhubungan dengan kekuatan lokal dalam rangka memukul negara dan pendukungnya ataukah gerakan itu hanya menjadi sebuah aktivitas untuk mencari donor dana dari luar negeri. Ideologi post-marxisme mempromosikan arah yang terakhir, sedangkan marxis-me konsisten dengan arah yang pertama.REVOLUSI SELALU BERAKHIR DENGAN BURUKBagi kaum post marxisme, revolusi tidak jauh berbeda dengan persoalan kegagalan so-sialisme. Mereka menggembar-gemborkan kemunduran kaum kiri progresif-revolusioner, kemenangan kapitalisme di timur, krisis dalam marxisme, kekuatan Amerika, kudeta dan bantuan dari militer reaksioner. Semua usaha dilakukan untuk memukul kaum kiri pro-gresif-revolusioner. Tidak bosan-bosannya mereka mempropagandakan kebutuhan untuk bekerja di dalam pasar bebas yang dibuat oleh IMF dan Bank Dunia. Semua ini yang disebut pragmatisme. Post-marxisme berperan penting secara ideologis dalam mempro-mosikan dan mempertahankan apa yang disebut dengan transisi elektoral yaitu lewat Pemilu dan peran militer, di mana perubahan sosial diawali dari sistem PemiluKebanyakan dari argumentasi post-marxisme didasari pada statistik dan penelitian selek-tif yang menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menang dalam pemilu yang menuju ke perubahan sosial ala neo liberal. Keputusan untuk menjalankan revolusi adalah keting-galan jaman, mereka memfokuskan semua usaha untuk menang dalam proses Pemilu dan bukan pada pemogokan umum, protes massa atau pemberontakan. Yang akan me-mobilisir sejumlah massa yang besar-besaran. Mereka mensyukuri kematian komunisme di akhir 1980 dan memaki kebangkitannya kembali di pertengahan 1990. Mereka meng-

  • 11

    Kritik Terhadap Kaum Post Marxist29 Februari 2008Oleh James Petras

    James Petras adalah seorang Profesor Sosiologi di Universitas Binghampton, New York, Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya banyak mengupas soal politik dan pe ngalaman prak-tek gerakan revolusioner di Amerika Latin. Ia juga seorang contri buting editor di Jurnal LINKS.Post-Marxisme memang sedang menjadi trend di kalangan kaum intelektual setelah kemenangan neo-liberalisme dan kemunduran kaum kelas pekerja. Ruang politik yang dikosongkan oleh kaum kiri reformis (di Amerika Latin) kini telah diambil alih oleh politisi dan ideolog kapitalis, teknokrat serta kelompok-kelompok gereja fundamentalis dan tradisional (Pantekosta dan Vatikan). Sebelumnyaya ruang ini diisi oleh kaum sosialis, na-sionalis dan politikus populis serta aktivis-aktivis gereja yang berafiliasi pada teologi pem-bebasan. Kaum kiri-tengah sangat berpengaruh dalam politik rejim penguasa (di atas) atau di kalangan massa rakyat yang kurang politis (di bawah). Ruang kosong yang tadinya dikuasai kiri radikal kini digantikan oleh intelektual politik, dan sektor- sektor yang telah menjadi politis seperti serikat buruh, kaum miskin kota dan gerakan sosial di perkotaan. Di kalangan grup-grup inilah perdebatan dan konflik antara marxime dan post-marxisme menjadi sangat intens pada saat-saat itu.Diasuh, dan dalam banyak kasus disubsidi oleh lembaga-lembaga dana penting dan lembaga-lembaga pemerintah yag mempromosikan neo-liberalisme, sejumlah besar organisasi-organisasi sosial telah tumbuh dan berkembang membawa ideologi, jar-ingan-jaringan dan praktek-prekatek yang secara langsung berkompetisi dan berkonflik berha-dapan dengan teori dan praktek marxis. Organisasi-organsiasi ini - dalam banyak kasus memunculkan diri mereka sebagai Non-Govermental Organization (NGO/LSM) atau lembaga-lembaga serta pusat penelitian independen - menjadi aktif memajukan ideologi dan praktek-praktek politik yang dapat sesuai dengan agenda neo-liberal dari patron-pa-tron pendananya. Tulisan di bawah ini akan menggambarkan dan sekaligus mengkritik setiap komponen dari ideologi mereka dan kembali memblejeti aktivitas-aktivitas kaum neo-liberal, sekaligus membandingkan dengan gerakan dan pendekatan yang berbasis-kan kelas. Setelah itu akan diikuti dengan diskusi tentang asal-usul blok post-marxisme, evolusinya dan masa depannya sehubungan dengan kemunduran dan kemung kinan kembalinya marxisme.KOMPONEN-KOMPONEN POST-MARXISMEKaum post marxisme sebenarnya berasal dari kaum eks-marxis yang berangkat dari kritik terhadap marxisme dan mengelaborasikan beberapa poin di dalam kritik-kritiknya untuk menjadi sebuah landasan penemuan teori-teori alternatif atau paling tidak sebagai garis analisa yang masuk akal. Mari kita melihat sepuluh argumentasi dasar yang biasa ditemu-kan dalam diskursus-diskursus post marxime:1. Sosialisme adalah sebuah kegagalan dan semua teori kemasyarakatan secara umum

    ekonomi informal yang dilakukan dari rumah dengan menggunakan jaringan TV, perikla-nan dan telepon.Kunci untuk memahami proses dan perkembangan teknologi berhadapan dengan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh buruh adalah dengan menggunakan analisa kelas yang di dalamnya ada persoalan berbagai macam: gender, ras, nasionalisme, etnik dan lainnya.NEGARA DAN MASYARAKAT SIPILPost Marxime menggambarkan satu sisi saja dari negara. Negara digambarkan sebagai satu kubangan birokrasi yang tidak efisien yang merampok harta publik. Juga membiar-kan rakyat tetap miskin dan ekonomi menjadi bangkrut. Dalam pengertian politik, negara adalah sumber hukum otoritarian yang menghambat masyarakat melatih demokrasi dan kebebasan pasar. Di sisi lain post-marxisme berargumentasi bahwa masyarakat sipil ada-lah sumber dari kebebasan, gerakan sosial dan kewarganegaraan.KEKUASAAN NEGARA YANG KORUPSalah satu kritik post-marxime adalah bahwa kekuasaan negara pastilah korup dan perjuangan menentang kekuasan tersebut adalah dosa. Mereka berpendapat bahwa ini terjadi karena negara berjarak dengan warga negara. Penguasa menjadi otonom dan sewenang-wenang, melupakan tujuan yang sesungguhnya dan memaksakan kehendak mereka sendiri. Dalam sejarah, banyak terjadi rakyat yang merebut kekuasaan menjadi tiran, tapi ada juga kasus tertentu yang memimpin gerakan sosial memiliki efek eman-si-pasi. Penghancuran perbudakan dan penumbangan monarki absolut adalah dua contoh. Jadi kekuasaan dalam negara memiliki dua arti yang tergantung pada konteks sejarahnya. Dalam beberapa kasus, gerakan lokal berhasil memobilisir masyarakat dan memperoleh perubahan kondisi dengan segera. Namun ada juga kasus dimana keutuhan ekonomi politik makro telah menekan usaha-usaha lokal tersebut. Saat ini kebijakan penyesuaian struktural di lingkup nasional maupun di internasional telah meningkatkan jumlah kemi-skinan dan pengangguran. Menghancurkan sumber daya lokal dan mendesak rakyat lokal untuk memasuki dunia kriminal. Dialektika antara negara dan kekuasan lokal yang ber-jalan mendorong inisiatif lokal dan merubah ketergantungan kelas penguasa termanifes-tasikan dalam dua level. Ada beberapa kasus dari beberapa pemerintahan daerah yang progresif menjadi rusak karena rejim reaksioner di pemerintahan nasional memotong pendanaan bagi mereka. Di satu sisi pemerintahan lokal yang progresif tersebut sangat membantu organisasi lingkungan lokal seperti yang dilakukan oleh seorang sosialis yang menjadi kepala pemerintahan di Montevideo-Uruguai atau seorang kepala pemerintahan yang beroreintasi kiri di Porte Alegre-Brazil.Post marxis yang mengecam pemerintahan lokal atau negara sesungguhnya tidak berba-siskan pada pengalaman sejarah. Hanya ingin memberi legitimasi terhadap peran NGO sebagai mediator antara organisasi-organisasi lokal dengan pendana asing neo-liberal (IMF/Bank Dunia, Eropa atau AS) dan pada rejim-rejim yang pro terhadap pasar bebas. Dalam rangka melegitimasi peran mereka, NGO-NGO profesional yang berpandangan post marxist, sebagai agen demokrasi di grass root, selalu meremehkan dan menghi-na kaum kiri yang berada di puncak kekusaan negara. Dalam proses berikutnya mereka

  • 12

    menyalahkan jika ada yang hendak mengulanginya lagi. Ideologi-ideologi adalah sesuatu yang salah! (kecuali Post-marxisme!), karena ideologi merefleksikan sebuah dunia pe-mikiran yang didominasi oleh satu sistim gender/ras.2. Penekanan Marxis pada kelas-kelas sosial adalah reduksionis karena kelas-kelas membaur; Hal yang terpenting adalah pendekatan kebudayaan dan berakar pada perbe-daan identitas (ras, gender,etnik, seksuil).3. Negara adalah musuh demokrasi dan kebebasan. Negara adalah lambang bentuk-ben-tuk yang korup dan tidak efisien yang menggerogoti kesejahteraan sosial. Masyarakat sipil adalah pelaku utama demokrasi dan perubahan sosial.4. Perencanaan terpusat mendatangkan dan menghasilkan birokasi yang menghalangi pertukaran barang antara para produsen. Pasar dan pertukaran pasar adalah mungkin dengan aturan-aturan yang terbatas, dapat membuat konsumsi yang lebih besar dan distribusi yang lebih efisien.5. Perjuangan kiri tradisional adalah korup dan menghasilkan rejim-rejim yang oto-ri-ter yang kemudian mengsubordinasikan masyarakat sipil. Perjuangan lokal dengan mem-bawa isu lokal oleh organisasi lokal merupakan satu-satunya jalan bagi perjuangan demo-kratik untuk perubahan, dengan menggunakan petisi atau tekanan pada pengua-sa-pe-nguasa nasional dan internasional.6. Revolusi selalu berakhir dengan buruk atau tidak mungkin bisa berhasil, perubahan sosial akan memperkuat reaksi provokatif dari penguasa. Alternatifnya adalah dengan berjuang mengkonsolidasikan transisi demokratis untuk menyelamatkan proses pemili-han umum (jalan parlementarian).7. Solidaritas kelas adalah bagian dari ideologi-ideologi masa lalu, yang mencermin-kan politik dan realitas masa lalu. Kelas-kelas sudah tidak ada lagi. Bentuk yang ada ialah frag-men-fragmen penduduk daerah dimana grup-grup (identitas) tertentu dan daerah men-gusahakan self-help (kemandirian) dan saling hubungan untuk survive berbasiskan pada kerja sama dengan pendukung dari luar. Solidaritas adalah sebuah fenomena persilangan kelas, adalah gerak/gestur kemanusianan semata.8. Perjuangan kelas dan konfrontasi tidak menghasilkan sesuatu yang nyata. Hanya akan menyebabkan kekalahan dan kegagalan. Lembaga-lembaga kerjasama internasi-onal dan lembaga milik pemerintah dengan proyek-proyeknya yang khusus akan menghasilkan kemajuan produksi.9. Anti-imperialisme juga merupakan milik masa lalu yang sudah waktunya mati. Dalam ekonomi global yang terjadi saat ini, tidaklah mungkin untuk menyerang pusat-pusat ekonomi dunia. Dunia sudah berkembang secara saling tergantung dan dalam dunia ini dibutuhkan kerja sama internasional yang lebih besar lagi dalam mentransfer kapital dan teknologi serta saling memahami antara negara-ne gara kaya dengan negara-negara miskin.10. Pimpinan-pimpinan dari organisasi-organisasi kerakyatan tidak boleh tertutup da-lam mengorganisir orang-orang miskin dan melakukan saling belajar serta tukar pengalaman.

    yang mendapatkan upah lebih baik dan berhubungan dengan perusahaan multi nasional (MNC), LSM dan Lembaga-lembaga Dana dari luar, yang juga berhubungan dengan pasar dunia dan pusat-pusat kekuasaan .Perjuangan sekarang tidak hanya antara kelas-kelas di pabrik-pabrik tapi antara negara berhadapan dengan kelas-kelas yang mengakar di jalanan dan pasar yang telah digan-tikan oleh buruh-buruh yang terdesak untuk menghasilkan produksi dan menjualnya untuk menutupi biaya hidup. Masuknya kedalam pasar dunia oleh eksportir-eksportir elit besar dan komprador menengah serta kecil ( barang elektronik, parawisata dari hotel dan penginapan) memiliki pasangannya dalam disintegrasi ekonomi dalam negeri: industri lokal pertanian kecil bersamaan dengan pindahnya tenaga produktif ke kota dan luar negeri.Impor barang-barang luks untuk kelas menengah atas adalah berdasarkan ekspor tena-ga kerja kaum miskin yang dikirim ke luar negeri. Eksploitasinya berbentuk pemiskinan dalam negeri, terutama pada kaum tani yang akhirnya dipaksa migrasi ke kota dan ke luar negeri. Pendapatan yang dibayar dari menjual buruh ke luar negeri menghasilkan mata uang keras untuk mendanai impor dan seluruh proyek infrastruktur neo-liberal serta untuk mempromosikan ekspor domestik dan bisnis pariwisata secara merajalela. Rantai penghisapan dan penindasan semakin melingkar namun tetap terbatas seputar hubun-gan buruh-modal.Dalam era neo-liberalisme, perjuangan untuk membangun kembali bangsa, pasar na-sional, produk nasional, dan pertukaran mata uang, sekali lagi terulang dalam sejarah sebagai hukum permintaan, yaitu pertumbuhan deregulasi tenaga kerja (secara informal) mensyaratkan sebuah investasi publik yang besar, kuat dan berpusat untuk meningkatkan ketenagakerjaan yang formal dengan suatu syarat hidup sosial. Dengan kata lain, akan ada kesamaan identitas kelas yang membentuk benteng untuk pengorganisiran perjuan-gan kaum miskin.Kesimpulannya, berlawanan dengan argumentasi post-marxisme, transformasi kapi-tal membuat analisa kelas semakin relevan dan nyata. Pertumbuhan teknologi telah membangkitkan perbedan kelas, bukannya menghapuskannya. Buruh-buruh indrustri micro-chip dan sejenisnya yang menghasilkan elemen-elemen micro-chip yang ada sekarang, belum menggeser posisi kaum buruh apa lagi mengurangi barisan mereka. Hal tersebut belum menggantikan aktivitas dan model produksi di dalam proses penin-dasan yang berkelanjutan. Struktur kelas baru sejauh ini dapat dilihat sebagai kombinasi teknologi-teknologi baru untuk lebih mengontrol bentuk-bentuk eksploitasi. Otomatisasi dalam beberapa sektor meningkatkan jam kerja; kamera televisi meningkatkan penga-wasan buruh, sementara dilakukan pengurangan staf administrasi; suatu lingkaran kerja berkualitas, dimana buruh menekan buruh, meningkatkan self-exploitation (eksploitasi diri sendiri) tanpa meningkatkan upah dan hak-haknya. Revolusi teknologi, dipertajam oleh struktur kelas neo liberalisme yang sangat anti revolusi. Komputer akan mengon-trol harga pertanian dan volume pestisida, Tapi buruh yang menyemprotkan pupuk dan anti hama tetap mendapatkan bayaran rendah. Jaringan informasi akan memperkuat

  • 13

    Mobilisasi internal harus berbasiskan pendanaan eksternal. Kaum profesional harus memproduksi desain-desain program dan mengamankan keuangan eksternal untuk dapat mengorganisir grup-grup lokal. Tanpa bantuan dari luar grup-grup lokal dan kaum profesional akan gagal dan hancur.KRITIK TERHADAP IDEOLOGI POST-MARXISJadi, demikianlah analisa, kritik, dan strategi pembangunan ideologi post-marxis, sebagai sebuah ideologi untuk menyerang diskusi-diskusi marxisme. Lebih dari itu, menurut mer-eka, marxisme adalah ideologi yang gagal mengidentifikasi krisis-krisis yang terjadi dalam kapitalisme. Stagnasi berkepanjangan (prolonged stagnation) dan kepanikan moneter yang terjadi secara periodik (periodic financial panic) serta kontradiksi sosial (in-equal-ities/ketidaksederajatan dan social polarisation/polarisasi sosial) pada tingkat nasional dan internasional yang bersentuhan dengan problem sosial daerah (lokal) menjadi fokus mereka. Contohnya, asal-usul neo-liberalisme merupakan produk dari konflik kelas. Sektor-sektor modal tertentu beraliansi dengan negara dan imperialisme -memukul kelas-kelas dalam massa rakyat dan memaksakan penerapan model-model mereka. Tentu saja perspektif yang non-kelas tidak akan mampu memblejeti asal usul dari ideolo-gi post marxisme ini. Lebih dari itu, - seperti halnya dengan persoalan asal-usulnya, post marxisme, secara kasar membatasi dan merampas sumberdaya dan usaha kaum marxis dalam perjuangannya, - dengan meningkatkan tawaran-tawaran menarik yang memanc-ing opurtunisme. Ini dapat berupa pendanaan, karir, dan semua hal yang bisa memecah kekuatan marxis, dengan pendekatan kebudayaan, sosial dan tentu saja ekonomi politik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Asal usul sosiologis dari post-Marxisme tertanam pada saat-saat pergantian kekuasaan politik dari kelas pekerja ke ekspor kapi-tal.Mari kita berpindah dari pembicaraan mengenai sebuah pengetahuan sosiologis tentang kritik seputar ideologi post marxisme dan pandangan umum mereka yang tidak konsisten ke diskusi soal dalil-dalilnya yang lebih khusus. Diawali, pertama, dari dalil tentang ke-gagalan sosialisme dan akhir dari masa ideologi-ideologi. Apa yang dimaksud dengan kegagalan sosialisme? Keruntuhan rezim komunis Uni Soviet dan Eropa Timur? Jawab-nya adalah bahwa semua pengalaman di atas hanya merupakan bagian dari salah satu konsep sosialisme. Kemudian, walaupun tidak jelas, apa yang salah, apakah sistem poli-tiknya atau sistem ekonominya? Pada pemilihan umum yang terakhir di Rusia, Polandia, Hungaria, dan banyak negara bekas Republik Soviet, menunjukkan bahwa mayoritas suara lebih memilih untuk kembali menggunakan kebijakan lama dalam bidang kese-jahteraan sosial dan praktek ekonominya. Jika demikian yang menjadi kenyataan maka perkembangan di bekas negara-negara eks-Soviet tersebut berarti belum merupakan hasil akhir, seperti yang sering di gembar-gemborkan kaum kapitalis dan antek-anteknya di blok post-marxisme.Kedua, jika kegagalan sosialisme yang dimaksudkan oleh post-marxisme tersebut mer-upakan kemunduran dari kekuatan-kekuatan kiri, maka kita musti benar-benar jernih melihat perbedaan antara kegagalan dengan ketidak-cakapan internal dalam praktek

    tidak segera berubah, mencapai kesadaran penindasan secara lebih luas dan menghada-pi sistem yang menindas masyarakat secara luas. Apa lagi jika tidak segera masuk pada pendekatan analisa kelas dari struktur kekuasaan yang lebih luas dan me-nyebabkan ketidak adilan secara umum dan khusus.Politik identitas mengisolasi kelompok-kelompok untuk saling bersaing dan tidak dapat berubah secara lebih luas dalam arti ekonomi dan politik yang mencakup kepentingan orang miskin, buruh dan tani. Sedangkan politik kelas adalah benteng untuk memerangi politik identitas dan mentransformasikan semua lembaga yang mempertahankan ketidak adilan kelas dan lainnya (gender, etnik, dan ras).Kelas-kelas tidak datang secara subyektif, namun merupakan hasil pengorganisiran kelas kapitalis dalam rangka membangun nilai-nilai mereka. Dalil bahwa kelas merupakan dalil-dalil subyektif adalah tergantung atas waktu, tempat, dan persepsi serta kesadaran akan kelas itu sendiri. Hal ini juga tergantung pada faktor sosial dan budaya. Kesadaran kelas adalah bangunan sosial yang ada sepanjang sejarah. Semen-tara bentuk-bentuk sosial dan ekspresi kesadaran kelas adalah fenomena yang muncul berulang-ulang sepanjang sejarah di hampir semua bagian dunia, walaupun ia tertutup oleh bentuk-bentuk lain dari kesadaran dalam momentum-momentum yang berbeda (ras, gender, nasionalisme) atau berupa kombinasi (nasionalisme dan kesadaran kelas)Jelas ada beberapa perubahan besar dalam struktur kelas, tapi tidak seperti yang dikemukakan oleh post-marxisme. Perubahan-perubahan besar justru telah semakin memperkuat dan memperjelas perbedaan kelas dan penindasan kelas, walaupun bentuk dan syarat-syarat dari yang ditindas dan yang menindas telah berubah. Sekarang lebih banyak buruh kontrak dari sebelumnya. Lebih banyak lagi buruh yang bekerja di sektor informal (disebut unregulated labor/buruh sektor informal karena tidak di bawah per-lindungan dan aturan yang berlaku) dari pada sebelumnya. Persoalan sektor informal ini bukan berarti sistem itu merupakan transendensi dari bentukan lama kapitalisme, namun justru kembali ke bentuk penindasan buruh di abad 19. Analisa baru ini berangkat dari pola kapitalisme setelah negara kesejahteraan rakyat (welfare populist state) ter-gu-sur. Ini artinya bahwa peran negara dan partai yang menjadi perantara antara modal dan tenaga kerja telah digantikan oleh institusi negara secara lebih jelas dan langsung ber-hubungan dengan kelas kapitalis yang dominan berkuasa. Neo-liberalisme tidak menjadi perantara kelas yang menguasai negara. Saat ini model akumulasi Neo-liberalisme lebih banyak tergantung secara langsung pada kontrol negara secara terpu-sat berhubungan sejajar dengan bank-bank internasional untuk mengimplementasikan pembayaran utang dan untuk mengekspor hasil sektor-sektor ekonomi dengan pinjaman mata uang asing. Garis vertikalnya berhubungan dengan masyarakat sebagai subyek dan hubungan yang terutama melalui aparatus negara yang represif dan para kaki tangan LSM yang takut pada ledakan sosial.Tergusurnya welfare state (negara kesejahteraan) bermakna polarisasi dalam struktur sosial: antara pekerja-pekerja sektor publik yang dibayar rendah di bidang kesehatan, pendidikan, keamanan sosial di satu pihak, dan dipihak lain adalah kaum profesional

  • 14

    sosialis dan kekalahan politik serta militer oleh serangan agresor dari luar. Tidak ada yang mengatakan bahwa penghancuran oleh sistem demokrasi di Eropa oleh Hitler sebagai kegagalan demokrasi . Tindakan rejim teroris kapitalis dan atau dalam hal ini Amerika Serikat di Chile, Argentina, Bolivia, Uruguay, Republik Dominika, Guatemala, Nikaragua, El Salvador, Angola, Mozambik, Afganistan, Indonesia, Vietnam dan Filipina memainkan peran yang besar pada kemunduran kiri revolusioner. Kekalahan militer tidak berarti kegagalan dalam sistem ekonomi dan tidak mencerminkan persoalan efektifitas serta pengalaman-pengalaman sosialis. Lebih dari itu, ketika kita menganalisa internal perfor-mance (kinerja internal) selama periode pemerintahan sosialis yang stabil atau pemer-intahan yang berwatak kerakyatan, dengan berbagai indikator sosial, menunjukkan hasil yang lebih baik daripada bentuk-bentuk yang muncul dalam sistem yang kemudian. Contohnya di Chile, partisipasi sosial, kesehatan, pendidikan, dan pemerataan pertumbu-han jauh lebih baik di bawah pemerintahan Allende, dibandingkan dengan sistem yang datang kemudian di bawah Pinochet. Indikator yang sama terlihat dalam pengalaman di Nicaragua - menunjukkan bahwa di bawah Sandinista keadaan lebih baik ketimbang peri-ode yang dipimpin oleh rejim Chamoro kemudian. Reformasi agraria dan kebijakan HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Arbenz jauh lebih baik ketimbang kebijakan konsen-trasi tanah yang membunuh 150.000 orang oleh pemerintahan yang di-install oleh CIA.Saat ini, memang benar bahwa pemerintahan Neo-liberalis dan pemerintahan marxis, tidak sedang berkuasa. Sangat sulit melihat kepemimpinan kaum kiri revolusioner di belahan bumi barat (Eropa dan Amerika) - seperti memimpin dalam aksi massa besar dan menantang rejim serta kebijakan neo-liberal. Di Paraguay, Bolivia dan Uruguay, berhasil di lancarkan pemogokan umum besar-besaran; pengaruh gerakan kaum tani yang luas dan besar serta perjuangan bersenjata oleh kaum Indian di Mexiko; gerakan kaum buruh tani tidak bertanah di Brazil - semua itu mencerminkan pengaruh yang kuat dari kekua-tan-kekuatan marxis.Sosialisme di luar blok komunis secara esensial menggambarkan demokasi yang nyata. Kekuatan populis mendapatkan dukungan luas karena ia mewakili kepentingan rakyat yang bebas memilih. Inilah yang menyebabkan kebingungan kaum post-marxis, antara praktek pengalaman komunisme di Soviet dengan praktek pengalaman gerakan rev-olusioner demokratik-sosialis di grassroot Amerika Latin. Mereka dibingungkan oleh kekalahan antara kekalahan militer dengan kegagalan politik kiri. Mereka menerima dan memamah biak penggabungan neo-liberalisme terhadap dua konsep yang saling ber-tentangan tersebut. Akhirnya, dalam kasus Eropa Timur, mereka gagal melihat perubahan dan dinamika sifat dari komunisme itu sendiri. Pertumbuhan popularitas dari sebuah sin-tesa sosialisme yang terbaru terhadap kepemilikan sosial, program-program kesejahter-aan, reformasi agraria dan dewan-dewan demokratik, yang kesemuanya itu berlandaskan pada sebuah perkembangan gerakan sosial-politik yang baru.Dalam hal ini pandangan post marxis tentang akhir dari masa ideologi-ieologi, bukan hanya tidak konsisten dengan pernyataan ideologis mereka, tapi juga terhadap kelanju-tan perdebatan ideologis antara yang bentukan marxime lama dan yang terbaru berha-

    dapan dengan neo-liberalisme dan keturunan anak cucunya: Post-marxisme!PEMBUBARAN KELAS-KELAS DAN MUNCULNYA IDENTITASPost-Marxis juga menyerang penggunaan pendekatan analisa kelas dari berbagai per-spektif. Di satu pihak mereka mengklaim bahwa pendekatan tersebut mengaburkan kesejajaran atau yang lebih penting adalah identitas budaya (gender dan etnik). Mereka menyatakan bahwa pendekatan dengan analisa kelas adalah sebuah reduksi ekonomistik dan gagal menjelaskan perbedaan-perbedaan gender maupun etnik di dalam kelas-ke-las. Mereka kemudian lebih jauh berargumen bahwa justru perbedaan-perbedaan inilah yang menentukan keaslian politik kontemporer.Serangan mereka yang kedua terhadap pandangan analisa kelas, adalah bahwa analisa kelas hanya merupakan desain dari konstruksi intelektual - hanya merupakan sebuah gejala/fenomena subyektif yang kuat menentukan secara kultural saja. Sebenarnya tidak ada kepentingan kelas yang objektif yang membagi masyarakat - karena kepentingan tersebut adalah semata-mata subyektif dan setiap budaya menentukan pilihan-pilihan individual.Serangan mereka yang ketiga adalah argumentasi bahwa telah terjadi transformasi yang cepat dalam ekonomi dan masyarakat yang telah melenyapkan perbedaan kelas yang lama. Argumentasi mereka bahwa , - Era masyarakat Post Industrial, - menunjukkan bahwa sumber kekuasaan ada pada sistem informasi yang terbaru, teknologi terbaru dan pada mereka yang mengontrol dan mengatur semua itu. Masyarakat, menurut pandangan mereka, sedang berubah menuju masyarakat baru dimana buruh industri akan menghilang menuju dua arah yaitu: naik menjadi new middle class/kelas menen-gah baru yang berteknologi tinggi, - atau merosot ke bawah menjadi under class/kelas bawah.Marxisme tidak pernah menolak tentang pentingnya pemilahan ras, gender dan etnik di dalam pendekatan analisa kelas-kelas. Apa yang diinginkan oleh post marxisme adalah penekanan pada sistem sosial yang lebih luas yang menghasilkan perbedaan-perbedaan dan keharusan melakukan penggabungan kekuatan antar kelas-kelas untuk menghapus-kan ketidak seimbangan dalam kerja, lingkungan dan keluarga. Namun apa yang lebih mendapatkan penekanan oleh post-marxisme adalah bahwa persoalan ketidak adilan terhadap gender, ras, dan etnik bisa dianalisa dan dihapus di luar pendekatan analisa kelas. Seorang perempuan tuan tanah dan pembantu-pembantunya memiliki identitas esensial, seperti halnya seorang perempuan tani yang bekerja dengan upah rendah; seorang birokrat Indian dari pemerintahan neo-liberal memiliki sebuah identitas yang sama dengan petani perempuan Indian yang kehilangan tanah karena politik ekonomi pasar bebas. Contohnya seperti Bolivia yang memiliki seorang Wakil Presiden berasal dari etnik Indian yang juga melakukan pemenjaraan massal terhadapa petani coklat Indian.Politik identitas bagi sementara kelompok mungkin memang bisa menjadi sebuah pen-yadaran bagi salah satu bentuk penindasan dan dapat menggerakkan mereka. Namun dengan demikian pemahaman ini akan menjadi pemenjaraan kesadaran (ras etnik dan gender) yang mengisolasinya dari setiap bentuk penindasan yang lain di masya-rakat, jika