dratf buku hukum bisnis

118
DRAFT BUKU HUKUM BISNIS Disusun oleh; Galuh Kartiko, SH.,M.Hum 1

Upload: an-drew

Post on 19-Jan-2016

70 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

draf buku hukum binis

TRANSCRIPT

Page 1: Dratf Buku Hukum Bisnis

DRAFT BUKU HUKUM BISNIS

Disusun oleh;

Galuh Kartiko, SH.,M.Hum

1

Page 2: Dratf Buku Hukum Bisnis

HUKUM BISNIS

Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada hakekatnya

merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak baik

jenis, ragam, kualitas dan variasinya yang dilakukan oleh antar pribadi, antar

negara dan antar kelompok dalam berbagai volume dengan frekuensi yang tinggi

setiap saat di berbagai tempat.

Bagi sebagian orang munculnya fenomena ini telah mengubah perilakunya

dalam berinteraksi dengan manusia lainnya, yang terus menjalar kebahagiaan

bagian lain dari sisi kehidupan manusia, sehingga memunculkan adanya norma-

norma baru, nilai-nilai baru dan sebagainya.

Pengamatan dan penghayatan terhadap kehidupan manusia menunjukkan

bahwa di dalam diri manusia terdapat naluri self preservasi yaitu naluri untuk

mempertahankan eksistensinya atas kehadirannya di duniabaik sebagaimanusia

individual maupun sebagai makhluk hidup. Naluri self preservasi dalam

kenyataan kehidupan sehari-hari selalu berhadapan dengan atau dihadapkan pada

berbagai bahaya yang mengancam eksistensi manusia.1

Untuk mengatasi dan mencegah hal-hal yang tidak diharapkan dalam

hubungan-hubungan tersebut maka diperlukan kehadiran hukum dalam

masyarakat diantaranya adalah mengintegrasikan dan mengkoordinasikan

kepentingan organisasi dalam masyarakat. Kepentingan-kepentingan yang bisa

bertubrukan satu sama lain oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga

benturan-benturan ini dapat ditekan sekecil-kecilnya. Pengintegrasian kepentingan

tersebut dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain.2

Dalam masyarakat hukum, fungsi perencanaan dan penanggulangan itu

dilakukan dengan memanfaatkan hukum karena:

1. Hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dan

mengatur hidupnya.

2. Hakekat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu masyarakat terutama

untuk mengatur kehidupan masyarakat.

1 Johanes Ibrahim, Lindawaty Sewu. Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern. Refika Aditama Bandung. 2004. Hal.2.

2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Bandung, 1993. Hal.16

2

Page 3: Dratf Buku Hukum Bisnis

3. Fungsi mengatur telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam

hukum, yang melampaui fungsi mengatur yaitu berfungsi juga sebagai pemberi

kepastian, pengaman, pelindung dan pengembang yang sifatnya tidak sekedar

adaptif dan fleksibel tetapi juga prediktif dan antisipatif.

4. Dalam isu pembangunan global, hukum dipercaya sebagai sarana perubahan

sosial atau sarana pembangunan.3

Potensi hukum terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum yaitu

fungsi preventif dan fungsi represif. Preventif adalah fungsi pencegahan yang

dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan (prevention regulation) yang

hakekatnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan

masyarakat represif adalah fungsi penanggulangan yang dituangkan dalam bentuk

penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang

diakibatkan oleh resiko tindakan yang telah ditetapkan dalam perencanaan.

Menurut E.A. Goebel terdapat empat fungsi dasar dari hukum di dalam

masyarakat yaitu:

1. Menetapkan pola hubungan antara anggota-anggota masyarakat dengan cara

menunjukkan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.

2. Menentukan alokasi wewenang merinci siapa yang boleh melakukan paksaan,

siapa yang harus mentaati, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan efektif.

3. Menyelesaikan sengketa

4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi

yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial

antara anggota-anggota masyarakat.4

3 Lili Rasjidi, IB, Wijaja, Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung, 1993 hal.164 Ronny Hanitijo Soemitro, Permasalahan Hukum dalam Masyarakat, Eresco. Bandung.

1980, hal.2

3

Page 4: Dratf Buku Hukum Bisnis

Hukum Bisnis sebagai Pedoman Berperilaku pada Dunia Bisnis

Dalam pandangan akademi hukum5 ilmu ekonomi merupakan suatu alat

yang kuat dan tepat (a powerful tool) untuk menganalisis permasalahan-

permasalahan hukum yang terjadi di sekitar kita. Namun pendekatan analisis

ekonomi ini terhadap hukum di Indonesia belum berkembang, kecuali pemikiran-

pemikiran atau dasar-dasar ilmu ekonomi dalam membentuk ketentuan-ketentuan

dalam hukum bisnis.6

Pembangunan ekonomi dengan hukum mempunyai hubungan timbal balik

dan erat. Sunaryati Hartono menyatakan7:

… pembaharuan dasar-dasar pemikiran di bidang ekonomi ikut mengubah

dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang bersangkutan, maka

penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga kan memperlancar

terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki, tetapi sebaliknya

penegakan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat

terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan.

Sementara itu, banyak kritik dan gugatan dari pelaku-pelaku ekonomi, baik

asing maupun nasional terhadap kelengkapan serta lembaga hukum ekonomi dan

bisnis di Indonesia, hukum ekonomi dianggap tidak mampu mengimbangi gerak

laju dunia bisnis yang semakin maju dan kompleks, sedangkan pranata hukum

selalu tertinggal oleh kepesatan langkah ekonomi.8

Dalam hal ini hukum merupakan salah satu bidang yang perlu dibangun

untuk memperkokoh bangsa Indonesia di dalam menghadapi kemajuan serta

perkembangan ilmu teknologi dan seni yang sangat pesat masalah hukum

bukanlah masalah yang berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan erat dengan masalah-

masalah kemasyarakatan lainnya. Ismail Saleh menyatakan:9

5 Richards A. Posner, Economic Analysis of Law, Third Edition, Little Brown and Company 1986.

6 Norman Pakpahan. Introduction to the New Company Law of Indonesia. LPHEI, 1996.7 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bina Cipta, Bandung.

1982. Hal.6.78 Sonaryaty Hartono, Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni Bandung.

1991. Hal.309 Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1990.

Hal.xxvii.

4

Page 5: Dratf Buku Hukum Bisnis

Memang benar ekonomi merupakan tulang punggung kesejahteraan

masyarakat dan memang benar bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi

adalah tiang-tiang penopang kemajuan suatu bangsa, namun tidak dapat

disangkal bahwa hukum merupakan pranata yang pada akhirnya

menentukan bagaimana kesejahteraan yang dicapai tersebut dapat dinikmati

secara merata, bagaimana keadilan sosial dapat diwujudkan dalam

kehidupan masyarakat dan bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi dapat membawa kebahagiaan bagi rakyat banyak.

Pembangunan perekonomian yang dibina serta dikembangkan harus disertai

dengan pembentukan pranata hukum dan peraturan perundang-undangan atau

peraturan lainnya yang mengandung nilai-nilai keadilan dalam rangka mencapai

kemakmuran dan kesejahteraan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.

Adapun untuk menjembatani dan mengakomodasikan berbagai kepentingan,

perbenturan kepentingan yang ada sehingga dapat menyerap menjadi suatu

kepentingan bersama, dapat ditarik titik-titik simpul yaitu:

- Asas keseimbangan

- Asas pengawasan publik

- Asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi10

1. Asas keseimbangan dapat diproyeksikan sebagai berikut:

- Keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan privat

- Keseimbangan kepentingan produsen dan konsumen

- Keseimbangan antara kepentingan pengusaha dengan kepentingan tenaga

kerja

- Keseimbangan antara kepentingan para pihak di dalam perjanjian

2. Asas pengawasan publik

Kegiatan ekonomi yang terjadi dan dilakukan oleh pelaku ekonomi di

dalam masyarakat adalah wajar apabila mendapat pengawasan dari masyarakat

itu sendiri. Disamping itu keberadaan perusahaan pada hakekatnya adalah di

dalam masyarakat sehingga wajar pula apabila masyarakat mempunyai

10 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Mandar Maju Bandung. 2000, hal.13

5

Page 6: Dratf Buku Hukum Bisnis

kepentingan. Demi kepentinganlah, maka sudah saatnya masyarakat secara

aktif mengawasinya. Atas pengawasan publik merupakan salah satu

mekanisme campur tangan kekuatan masyarakat secara umum melakukan

kontrol/pengawasan terhadap kegiatan individu, kelompok atau badan usaha

dan kelompok badan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi. Pengawasan

oleh publik antara lain dapat dilakukan melalui laporan keuangan yang

dipublikasikan.

Berdasarkan laporan keuangan/neraca yang sudah dianut oleh akuntan

publik dan dipublikasikan di dalam harian umum masyarakat dapat

mempelajarinya dan menilai apakah laporan tersebut wajar atau tidak. Apabila

dirasakan tidak masyarakat dapat menilainya kewajiban publikasi. Laporan

keuangan diatur oleh undangan-undangan terhadap badan-badan usaha dengan

kualifikasi tertentu, misalnya ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang

dipergunakan di bidang usaha yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak,

perusahaan-perusahaan terbuka, perusahaan dengan jumlah tertentu dan

sebagainya.

3. Asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi

Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat sangat

membutuhkan campur tangan negara, mengingat tujuan dasar kegiatan

ekonomi itu sendiri adalah untuk mencapai keuntungan sasaran tersebut

mendorong terjadinya berbagai penyimpangan bahkan kecurangan yang dapat

merugikan pihak-pihak tertentu bahkan pada semua pihak. Oleh karena itu,

sangat dibutuhkan campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Secara

umum dalam rangka hubungan hukum yang terjadi tetap dalam batas-batas

keseimbangan kepentingan semua pihak.

Campur tangan negara dalam hal ini adalah dalam rangka:

- Menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak di dalam masyarakat

- Melindungi kepentingan produsen dan konsumen

- Melindungi kepentingan negara dan kepentingan umum terhadap

kepentingan perusahaan atau pribadi

6

Page 7: Dratf Buku Hukum Bisnis

Peranan Etika Bisnis dalam Hukum Bisnis

Dunia bisnis adalah dunia yang penuh dengan kreatifitas dan inovasi yang

sangat efektif karena tujuannya yang mapan dan jelas yaitu keuntungan

ekonomi.11 Di dalam menjalankan kegiatan bisnis terdapat beberapa argumen

yang menyatakan bahwa pada dasarnya kegiatan bisnis diperlukan etika yaitu:12

a. Bisnis tidak hanya bertujuan untuk profit melainkan perlu mempertimbangkan

nilai-nilai manusiawi, kalau tidak akan mengorbankan hidup banyak orang,

sehingga masyarakatpun berkepentingan agar bisnis dilaksanakan secara etis.

b. Bisnis dilakukan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya,

sehingga membutuhkan etika sebagai pedoman dan orientasi bagi keputusan,

kegiatan dan tindak-tanduk manusia dalam berhubungan (bisnis) satu dengan

lainnya.

c. Bisnis saat ini dilakukan dalam persaingan yang sangat ketat, jadi orang bisnis

yang bersaing dengan tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis

yang semakin profesional justru akan menang.

d. Legalitas dan moralitas berkaitan akan tetapi berbeda satu sama lain, karena

suatu kegiatan yang diterima secara legal belum tentu dapat diterima secara

etis.

e. Etika bisnis dibedakan dari ilmu empiris yang mendasarkan pada suatu gejala

atau fakta yang berulang terus-menerus dan terjadi dimana-mana akan

melahirkan suatu hukum ilmiah yang berlaku universal.

f. Situasi khusus yang menyebabkan pengecualian terhadap etika tidak dapat

dijadikan alasan untuk menilai bahwa bisnis tidak mengenal etika.

g. Aksi protes yang terjadi dimana-mana menunjukkan bahwa masih banyak

orang serta kelompok masyarakat yang menghendaki agar bisnis dijalankan

secara baik dan mengindahkan norma etika.

Pembangunan kultur bisnis yang sehat idealnya dimulai dari perumusan

kembali, etika dasar (yang disetujui oleh semua pihak). Etika dipandang sebagai

11 Sri Redjeki Hartono, Peresmian Jabatan Guru Besar di dalam Hukum Dagang pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 18 Desember 1995.

12 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur. Kanisius Yogya, 1993. Hal.33-37

7

Page 8: Dratf Buku Hukum Bisnis

science of conduct, ia mencakup aturan-aturan dasa yang kita anut dalam hidup

dan kehidupan. Etika yang dipandang sebagai state of the art hukum, yakni

pedoman pelaku hari ini ditafsirkan ke dalam hukum, peraturan dan pedoman di

kemudian hari.13

Bila suatu kegiatan usaha mengikatkan diri dengan manajemen kualitas

perusahaan menyetujui tanggung jawab moral tertentu pada arus terendah,

perusahaan itu berjanji pada diri sendiri untuk tiga tanggung jawab perusahaan

berikut ini:14

1. Perhatikan pada konsumen, dinyatakan dengan memuaskan kebutuhan akan

kemudahan penggunaan dan keselamatan produk yang diproduksi.

2. Perhatian terhadap lingkungan

3. Perhatian terhadap kondisi-kondisi minimum

Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang kompleks yang

bergantung pada situasi bisnis, aturan bisnis tidak dapat menangani hal ini, setiap

perusahaan/kegiatan usaha tanpa harus melihat ukurannya harus memutuskan

bagaimana memenuhi tanggung jawabnya. Dengan ketaatan terhadap etika bisnis

tertib sosial dapat terpelihara dan keseimbangan antara hak dan kewajiban

seseorang dapat diwujudkan. Melanggar berbagai ketentuan yang sifatnya

normatif bukan hanya merugikan orang yang bersangkutan, akan tetapi juga

merupakan jalan pintas untuk ketidakberhasilan.15

Peranan etika bisnis didalam hukum bisnis bergantung dari titik tolak

pandangan mengenai apa saja yang termasuk ke dalam nilai-nilai, di dalam hukum

bisnis nilai-nilai tersebut berkembang menjadi hubungan antara hukum dan moral.

Hukum adalah merupakan sebuah konsep16 dan menurut Soetandyo Wignyo

Soebroto, tidak ada yang tunggal mengenai apa yang disebut hukum itu. Menurut

pendapatnya sekurang-kurangnya tiga konsep hukum yang pernah dikemukakan

ialah:13 Hardja Pamekas, Erry Riana, Etika Bisnis. Materi Kursus Manajemen Perkebunan LPP

Kampus Yogyakarta, 2000. Hal.214 Peter Pratey, The Essence of Business Ethics, diterjemahkan oleh Prasetyo Gunawan.

Andi Yogyakarta. 1997, hal.112.15 Sondang P. Siagian. Etika Bisnis. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. 1996. Hal.156.16 Abdurachman, Tebaran Pemikiran tentang Studi Hukum dan Masyarakat. PT. Media

Sarana Jakarta, 1987.

8

Page 9: Dratf Buku Hukum Bisnis

a. Hukum sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan

menjadi bagian intern sistem hukum alam

b. Hukum sebagai kaidah-kaidah dan positif yang berlaku pada suatu waktu dan

tempat tertentu, dan terbit sebagai eksplisit suatu sumber kekuasaan politik

yang berlegitimasi.

c. Hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem

kehidupan bermasyarakat, baik di dalam proses-proses pemulihan ketertiban

dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan

pola-pola perilaku yang baru.17

Hukum bisnis pada implementasinya di lapangan kegiatan perekonomian

menggunakan metode sesuai dengan alur perjalanan arah perkembangan di

berbagai sektor usaha dan industri.

Dari berbagai regulasi dan penataan komponen pengaturan kebijakan politik

ekonomi baik yang terjadi di wilayah dunia maupun di wilayah regional dan

sektoral akan membawa dampak pada kebijakan dan arah tujuan mengenai

perspektif hukum bisnis tersebut. Karena ketentuan hukum bisnis sangat

dipengaruhi oleh aspek-aspek hukum lainnya juga dipengaruhi oleh aspek-aspek

pengaturan dibidang perekonomian dan regulasi di bidang perekonomian.

Akibat dari situasi dan keadaan kegiatan ekonomi di suatu wilayah maka

dengan demikian hukum bisnis akan berkembang dengan berbagai segi aspek-

aspeknya, karena setiap aspek akan berkaitan dengan berbagai asas-asas hukum

yang ada, keadaan tersebut sangatlah berpengaruh pada penentuan dan arah dari

strategi hukum bisnis. Dalam kehidupannya manusia selalu melakukan hubungan

baik hubungan antar pribadi ataupun antar kelompok, maka peranan yang terjadi

selalu memiliki obyek-obyek dari peranan tersebut dapat berupa benda-benda

konkrit ataupun yang bersifat imateriil.18

Dari segi obyek yang dituju hukum bisnis dapat diartikan sebagai suatu

metode atau cara yang digunakan untuk mewujudkan suatu kepentingan sebagai

17 Soetandyo Wignyo Soebroto, dari Hukum Kolonial dan Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta. 1980, hal.2.

18 Lysen, Individu dan Masyarakat. Sumur Bandung, Bandung. 1984. Hal.96.

9

Page 10: Dratf Buku Hukum Bisnis

suatu tuntutan atau hasrat yang ingin dipuaskan manusia, baik secara individu

maupun kelompok atau asosiasi.19

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)

Sebelum istilah hak kekayaan intelektual (HKI) resmi dipergunakan maka

lebih umum dikenal istilah “Hak kekayaan atas intelektual (HAKI). Namun istilah

Haki sudah tidak dipakai lagi karena berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan

Perundang-undangan RI No.M.03.PR.07.10 tahun 2000, telah ditetapkan secara

resmi penggunaan istilah hak kekayaan intelektual (tanpa kata “atas) atau

disingkat HKI istilah HKI telah dipergunakan secara resmi dalam undang-undang

No.14 tentang Paten, Undang-undang No.15 tentang merek dan undang-undang

No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Adapun alasan perubahan istilah tersebut

antara lain untuk lebih menyesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia yang tidak

menulis kata depan seperti “atas” atau dari terutama untuk istilah.20

Konsepsi mengenai HKI didasarkan pada pemikiran bahwa hasil kreasi dari

pekerjaan dengan menggunakan kemampuan intelektual berupa gagasan yang

diwujudkan secara konkret, kemudian diperbanyak secara luas sehingga

mempunyai nilai secara ekonomi karena terlibat dalam aktivitas komersial.

Terciptanya invensi-invensi baru di bidang teknologi. Pada akhirnya akan

meningkatkan taraf hidup masyarakat karena invensi yang telah dihasilkan

memiliki manfaat secara ekonomi.21

Apabila ditelusuri lebih mendalam konsep HKI meliputi:

1. Hak milik hasil pemikiran (intelektual) yang melekat pada pemiliknya bersifat

tetap dan eksklusif, dan

2. Hak yang diperoleh pihak lain atas izin dari pemilik bersifat sementara

Hak yang diperoleh pihak lain atas izin pemiliknya, misalnya hak untuk

mengumumkan, hak untuk memperbanyak, hak untuk menggunakan suatu produk

19 Thoga Hutagalung, Hukum dan Keadilan dalam Pemahaman Filsafat Pancasila dan UU Dasar 1945. Disertasi Universitas Pajajaran Bandung. Hal.182.

20 Zen Umar Purba, Pokok-pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HKI Nasional. Jurnal Hukum Bisnis, Vol.13 April 2001. Hal.8

21 Muhammad Djuhana dan R.D.Jubaedilah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktek di Indonesia) Citra Aditya Bakti Bandung. 1997, hal.23.

10

Page 11: Dratf Buku Hukum Bisnis

tertentu. HKI merupakan benda tidak berwujud hasil kegiatan intelektual (daya

cipta) manusia yang diungkapkan ke dalam suatu bentuk ciptaan atau penemuan

tertentu. Kegiatan intelektual (daya cipta) terdapat dalam bidang ilmu

pengetahuan seni dan teknologi.

Hasil kemampuan berpikir (intelektual) manusia merupakan ide yang

kemudian yang dijelmakan dalam bentuk ciptaan atau penemuan. Pada ide itu

melekat predikat intelektual yang bersifat abstrak. Konsekuensinya, HKI menjadi

terpisah dengan material bentuk jelmaannya sebagai contoh:

1. Hak cipta adalah ide di bidang ilmu pengetahuan yang disebut HKI, benda

material bentuk jelmaannya adalah buku.

2. Hak cipta adalah ide di bidang seni yang disebut HKI, benda material bentuk

jelmaannya adalah lagu, tarian, lukisan.

3. Hak merek adalah ide di bidang ilmu pengetahuan yang disebut HKI benda

material bentuk jelmaannya adalah merek yang dilekatkan pada jasa atau

barang dagangan.

4. Paten adalah ide di bidang teknologi yang disebut HKI, benda material bentuk

jelmaannya antara lain televisi, proses pembuatan obat.

Apabila orang lain ingin menikmati manfaat ekonomi dari hak milik orang

lain, ia wajib memperoleh ijin dari orang yang berhak. Penggunaan/menyerupai

hak milik intelektual orang lain tanpa ijin merupakan pelanggaran hukum. Jika

terjadi pelanggaran maka pelanggar tersebut harus diproses secara hukum dan

apabila terbukti melakukan pelanggaran, maka ia akan dijatuhi hukuman sesuai

dengan ketentuan undang-undang yang telah dilanggar tersebut. Undang-undang

bidang HKI mengatur jenis pelanggaran serta ancaman hukumannya, baik secara

administratif, secara perdata maupun secara pidana.

Sejak tahun 2000, Indonesia telah menambah seperangkat perundang-

undangan di bidang HKI yaitu:

1. UU No.29 tahun 2000 tentang perlindungan varietas baru tanaman

2. UU No.30 tahun 2000 tentang rahasia dagang

3. UU No.31 tahun 2000 tentang desain industri

4. UU No.32 tahun 2000 tentang desain tata letak sirkuit terpadu

11

Page 12: Dratf Buku Hukum Bisnis

Disamping itu sejak tahun 2001 Indonesia juga telah merevisi seperangkat

perundang-undangan di bidang HKI yang sebelumnya sudah ada yaitu antara lain:

1. UU No.14 tahun 2001 yang merevisi UU No.13 tahun 1997 jo. UU No.6 tahun

1989 tentang paten

2. UU No.15 tahun 2001 yang merevisi UU No.14 tahun 1997 jo. UU No.19

tahun 1992 jo. UU No.21 tahun 1961 tentang merek.

3. UU No.19 tahun 2002 yang merevisi UU No.12 tahun 1997 jo. UU No.7 tahun

1987 jo. UU No.6 tahun 1982 tentang hak cipta.

Penambahan dan revisi dari seperangkat perundang-undangan tak lain

karena Indonesia sebagai negara peseta yang terikat dengan persetujuan putaran

Uruguay telah melakukan ratifikasi terhadap persetujuan tersebut yang dituangkan

dalam bentuk undang0undang yaitu undang0undang No.7 tahun 1994 tentang

pengesahan The Agreement Establishing The World Trade Organization (WTO).

WTO adalah organisasi internasional yang menangani peraturan-peraturan

perdagangan antar negara. Yang menjadi intinya adalah apa yang disebut

perjanjian WTO (WTO agreement). Dalam perjanjian ini segala sesuatu yang

dirundingkan dan ditandatangani oleh pemerintah anggota WTO, ditetapkan

aturan-aturan bagi perdagangan internasional. Perjanjian WTO mencakup barang-

barang (the general agreement on tariffs and trade GATT), jasa (the General

Agreement on Trade in Service (GATS), dan milik intelektual (The Agreement on

Trade – Related Aspects of Intelektual Property Rights (Trips). Akibat dari

ratifikasi tersebut Indonesia harus berusaha menegakkan prinsip-prinsip GATT-

GATS yang juga menyangkut Trips, including trade in counterfeit goods (artinya

aspek-aspek dagang yang berkenaan dengan hak kekayaan intelektual (Haki)

termasuk juga perdagangan barang palsu).

Sistem Perlindungan Hukum

Perlindungan HKI merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur-

unsur sistem berikut ini.

1. Subyek perlindungan. Subyek yang dimaksud pihak pemilik atau pemegang

hak, aparat penegak hukum, pejabat, pendaftaran dan pelanggar hukum.

12

Page 13: Dratf Buku Hukum Bisnis

2. Obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua jenis HKI yang

diatur oleh UU, seperti hak cipta merek, paten, rahasia dagang, desain industri

dll.

3. Pendaftaran perlindungan. HKI yang dilindungi hanyalah yang sudah terdaftar

dan dibuktikan dengan sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang

mengatur lain seperti hak cipta boleh tidak didaftarkan menurut UU No.19

tahun 2002.

4. Jangka waktu perlindungan, jangka waktu yang dimaksud adalah lamanya HKI

itu dilindungi oleh undang-undang: Hak cipta selama hidup ditambah 50 tahun

sesudah meninggal, merek 10 tahun, paten 20 tahun. Desain industri 10 tahun,

rahasia dagang tanpa batas, sirkuit terpadu 10 tahun, perlindungan varietas baru

tanaman 20-22 tahun. Dari semua jangka waktu di atas ada yang dapat

diperpanjang dan tidak dapat diperpanjang.

5. Tindakan hukum perlindungan. Apabila terbukti telah terjadi pelanggaran HKI,

maka pelanggar harus dihukum, baik secara pidana dan secara perdata.

Jenis-jenis Pelanggaran

1. Bidang Hak Cipta

a. Diperbolehkan memfotokopi bab tertentu tanpa ijin. Pencipta untuk

kepentingan pendidikan, tetapi fotokopi itu dijualbelikan (dikomersialkan).

b. mengutip ciptaan orang lain dimasukkan dalam ciptaan sendiri tanpa

menyebutkan sumbernya (plagiat).

c. Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan

sebagaimana aslinya tanpa mengubah bentuk, isi, pencipta, penerbit/

perekam.

d. Melampaui jumlah eksemplar penerbitan yang disepakati dalam perjanjian.

Klasifikasi pelaku kejahatan pelanggaran hak cipta yaitu:

13

Page 14: Dratf Buku Hukum Bisnis

a. Pelaku utama, baik perorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja

melanggar hak cipta, termasuk pelaku utama adalah pembajak ciptaan atau

rekaman.

b. Pelaku pembantu yaitu pihak yang menyiarkan memamerkan atau menjual

kepada umum ciptaan atau rekaman yang diketahuinya melanggar hak cipta

termasuk pelaku pembantu adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual,

pengedar, pihak yang menyewakan ciptaan atau rekaman hasil pembajakan.

2. Bidang Merek

Ada 3 jenis pelanggaran merek yaitu:

a. Penggunaan merek yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan

merek terdaftar milik orang lain

b. Penggunaan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan

mereka terdaftar milik orang lain

c. Memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui/patut diketahui

berasal dari kejahatan pelanggaran merek, misalnya pemalsuan, peniruan.

Pelaku pelanggaran merek huruf (a) dan (b) disebut pelaku utama

sedangkan pelaku pelanggaran huruf (c) disebut pelaku pembantu

3. Bidang Paten

Ada 2 klasifikasi tindak pidana pelanggaran paten yaitu:

a. Dalam hal paten produk: membuat, menjual, mengimpor, menyewakan,

menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau

diserahkan hasil produksi yang diberi paten.

b. Dalam hal paten proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten

untuk membuat barang dan tindakan lainnya seperti yang dimaksud dengan

huruf (a)

Upaya Perlindungan Hukum

a. Pendaftaran HKI

Pendaftaran adalah bentuk perlindungan hukum yang menimbulkan kepastian

hukum dalam UU, HKI. Kita mengenal 2 sistem pendaftaran yaitu sistem

konstitutif (first to file system) menurut sistem ini hak seseorang hanya dapat

14

Page 15: Dratf Buku Hukum Bisnis

diakui dan dilindungi oleh undang-undang apabila telah didaftarkan, jadi wajib

didaftarkan. Sistem ini dianut oleh UU merek dan UU paten. Sedangkan sistem

deklaratif (first to use system) yaitu perlindungan hukum kepada

pemegang/pemakai pertama HKI. Apabila ada pihak lain yang mengakui

sebagai pihak yang berhak atas suatu kekayaan intelektual, maka ia harus

membuktikan bahwa ialah sebagai pemegang/pemakai pertama yang berhak

atas kekayaan intelektual itu. Sistem ini tidak mengharuskan pendaftaran HKI,

sistem ini dianut oleh UU hak cipta.

b. Penentuan masa perlindungan

masa perlindungan setiap HKI telah diatur dalam tiap-tiap undang-undang di

bidang HKI dan tiap peraturan perundang-undangan tersebut jangka waktu

perlindungan tidak sama. Dengan demikian dalam masa perlindungan tersebut.

Pihak lain tidak boleh menggunakan HKI tanpa ijin pemegang/pemilik hak.

c. Penindakan dan pemulihan

setiap pelanggaran HKI akan merugikan pemilik/pemegang HKI. Pelaku

pelanggaran tersebut harus ditindak dan harus memulihkan kerugian yang

diderita oleh pemilik/pemegang hak atau negara. Penindakan dan pemulihan

tersebut diatur oleh undang-undang bidang HKI. Ada 3 kemungkinan

penindakan dan pemulihan yaitu:

a. Secara perdata berupa gugatan

1. Ganti kerugian terhadap pelanggar

2. Penghentian perbuatan pelanggar

3. Penyitaan barang hasil pelanggaran untuk dimusnahkan

b. Secara pidana berupa penuntutan

1. Hukuman pidana maksimum 7 (tujuh) tahun penjara; dan/atau

2. Hukuman denda maksimum Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)

3. Perampasan barang yang digunakan melakukan kejahatan untuk

dimusnahkan

c. Secara administrative berupa tindakan:

15

Page 16: Dratf Buku Hukum Bisnis

1. Pembekuan/pencabutan SIUP

2. Pembayaran pajak/bea masuk yang tidak dilunasi

3. Re-ekspor barang hasil pelanggaran

HUKUM LEMBAGA PEMBIAYAAN

Pendahuluan

Setiap organisasi ekonomi dalam bentuk apapun atau dalam skala apapun

selalu membutuhkan dana yang cukup agar laju kegiatan serta perkembangannya

dapat diharapkan terwujud sesuai dengan perencanaannya kebutuhan dana, ada

kalanya dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan kemampuan tetapi adakalanya tidak

dapat. Untuk itu dibutuhkan bantuan pihak lain yang bersedia membantu

menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan.

Secara umum, kebutuhan dana dapat dipenuhi oleh bank sebagai salah satu

perusahaan yang bergerak di bidang keuangan meskipun demikian tidak selalu

bank pasti mampu memenuhi setiap permintaan kebutuhan. Kebutuhan dana yang

relatif makin bertambah sejalan dengan lajunya pertumbuhan dunia usaha, maka

perlu dicari alternatif lain sumber dana selain dari usaha perbankan.

Lembaga pembiayaan (financing institution) adalah badan usaha yang

melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana dan atau barang

modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Kegiatan

lembaga pembiayaan dapat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan. Perusahaan

pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan di luar lembaga keuangan bukan

bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam

bidang usaha lembaga pembiayaan.

Di Indonesia, walaupun sebelumnya sudah ada pranata penyaluran dana non

bank, tetapi secara institusional diberlakukan setelah pemerintah mengeluarkan

Kepres No.61 tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan yang kemudian

ditindaklanjuti oleh keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia

No.1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga

pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali diubah dengan keputusan menteri

keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan. Dalam

16

Page 17: Dratf Buku Hukum Bisnis

peraturan perundang-undangan tersebut diperincikan bahwa kegiatan lembaga

pembiayaan meliputi:

a. Sewa guna usaha

b. Modal ventura

c. Perdagangan surat berharga

d. Anjak piutang

e. Usaha kartu kredit, dan

f. Pembiayaan konsumen

Akan tetapi dengan keputusan menteri keuangan RI No.448/KMK.017/2000

tentang perusahaan pembiayaan. Lembaga pembiayaan yang dapat dijalankan oleh

suatu perusahaan pembiayaan hanyalah sebagai berikut:

a. Sewa guna usaha

b. Anjak piutang

c. Usaha kartu kredit

d. Pembiayaan konsumen

Sebab, kegiatan modal ventura dan perdagangan surat berharga mempunyai

karakteristik yang sangat berbeda dengan keempat lembaga pembiayaan tersebut

di atas. Di samping itu ditentukan pula bahwa suatu perusahaan pembiayaan tidak

diperkenankan menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk:

a. Giro

b. Deposito

c. Tabungan, dan

d. Surat sanggup bayar (promissory notes), kecuali jika surat sanggup bayar

tersebut hanya dipakai sebagai jaminan hutang kepada bank yang menjadi

kreditnya.

Masing-masing kegiatan perusahaan pembiayaan sungguhpun berbeda-beda

dan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri tetapi masih banyak terdapat

persamaannya karena semuanya memang bertujuan untuk memberi kemudahan

finansial bagi perusahaan lain.

1. Sewa guna usaha (leasing)

17

Page 18: Dratf Buku Hukum Bisnis

Pengertian

Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease yang berarti sewa menyewa,

karena memang dasarnya leasing adalah sewa menyewa. Jadi leasing merupakan

suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa tetapi kemudian dalam dunia bisnis

berkembanglah sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing itu atau

kadang-kadang disebut lease saja dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu

jenis pembiayaan dan dikenal dengan nama sewa guna usaha.

Untuk mengetahui konsep leasing sebagai sewa guna usaha yaitu bentuk

khusus dari sewa menyewa, perlu dikaji ketentuan yang terdapat dalam peraturan

perizinan usaha leasing. Menurut surat keputusan bersama menteri keuangan dan

menteri perindustrian dan perdagangan No.Kep-122/MK/IV/2/1974,

No.32/M/SK/2/1974, No.30/Kpb/1/1974 tentang perizinan usaha leasing. Dalam

surat keputusan bersama tersebut ditentukan bahwa yang dimaksud denganleasing

adalah:

“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-

barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu

tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai

dengan hak pilih (opsi) dari perusahaan tersebut untuk membeli barang-

barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing

berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”

Selanjutnya menurut keputusan menteri keuangan RI

No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa gua usaha (leasing), yang

dimaksudkan dengan leasing adalah:

“Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik

secara sewa guna dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha

tanpa hak opsi (operating lease) untuk dipergunakan oleh lessee selama

jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat diuraikan bahwa yang menjadi

elemen-elemen dari suatu leasing adalah sebagai berikut:

18

Page 19: Dratf Buku Hukum Bisnis

a. Pembiayaan perusahaan, pembiayaan tidak dalam bentuk dana, melainkan

dalam bentuk barang modal yang digunakan untuk kegiatan usaha.

b. Penyediaan barang modal. Biasanya disediakan oleh supplier atas biaya lessor

untuk digunakan oleh lessee bagi keperluan bisnis misalnya kapal, mesin

pabrik traktor, kendaraan bermotor, komputer.

c. Digunakan oleh suatu perusahaan. Barang modal tersebut merupakan bentuk

pembiayaan suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya.

d. Pembayaran sewa secara berkala, kewajiban, lessee membayar angsuran harga

barang modal kepada lessor yang sudah melunasinya kepada supplier.

e. Jangka waktu tertentu. Berapa tahun sewa guna usaha dilakukan setelah jangka

waktu berakhir ditentukan status kepemilikan barang modal.

f. Hak opsi untuk membeli barang modal. Pada saat kontrak berakhir lessee

diberi hak opsi untuk membeli barang modal tersebut sesuai dengan harga yang

disepakati atau mengembalikannya pada lessor.

g. Nilai sisa (residu) merupakan jumlah uang yang harus dibayar kembali kepada

lessor oleh lessee di akhir masa berlakunya leasing atau pada saat lessee

mempunyai hak opsi. Nilai sisa biasanya sudah terlebih dahulu ditentukan

bersama dalam kontrak leasing.

2. Sejarah Perkembangan Leasing

Leasing pertama kali berkembang di Amerika Serikat dan kemudian

menyebar ke Eropa bahkan ke seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.di

Amerika Serikat, leasing dalam arti modern ini pertama kali diperkenalkan yaitu

leasing berobyekkan kereta api. Bahkan dalam tahun 1850 telah tercatat adanya

perusahaan leasing yang pertama di Amerika Serikat yang biroprasi di bidang

leasing kereta api.22

Di negara tersebut perkembangan pranata hukum leasing ini cukup pesat.

Selama dasawarsa 1980-an, volume leasing bertambah rata-rata 15% tiap

tahunnya. Dan menjelang dasawarsa 1980-an tersebut kurang lebih sepertiga dari

pengadaan peralatan bisnis baru disana dilakukan dalam bentuk leasing.

Demikianlah di USA, maka bank-bank dan perusahaan leasing hidup subur

22 Eddy P. Soekadi. Mekanisme Leasing. Ghalia Indonesia. Jakarta, 1990 hal.19.

19

Page 20: Dratf Buku Hukum Bisnis

sebagai lessor. Disamping itu, bahkan perusahaan pemegang trademark terkenal

juga ikut menjadi lessor. Misalnya sejak dasawarsa 80-an, perusahaan GATX

merupakan lessor terbesar untuk leasing railcars. Sementara IBM merupakan

lessor terbesar untuk leasing komputer. Dan. XEROX merupakan lessor terbesar

pula untuk leasing mesin fotocopy.23

Perkembangan leasing dalam sejadah di Indonesia tersebut dapat

diklasifikasikan ke dalam tiga fase sebagai berikut:

1. Fase Pengenalan

Fase pertama merupakan fase pengenalan dari bisnis leasing di Indonesia

terjadi antara tahun 1974 sampai tahun 1983. Pada masa itu leasing belum

begitu dikenal masyarakat dan konsekuensinya jumlah transaksinyapun masih

relatif kecil.

2. Fase pengembangan

Fase kedua terjadi kira-kira antara tahun 1984 sampai dengan 1990. Dalam fase

kedua ini, bisnis leasing cukup pesat perkembangannya bersamaan dengan

pesatnya pertumbuhan bisnis di Indonesia. Pada fase kedua ini, beberapa segi

operasionalisasi leasing telah berubah misalnya dalam hal perhitungan

penyusutan aset untuk kepentingan perpajakan. Hal ini akibat dari berlakunya

undang-undang pajak 1984. Sementara sistem pelaporan pajak dalam periode

kedua ini masih memakai operating method seperti pada fase sebelumnya

tetapi dengan beberapa distorsi.

3. Fase konsolidasi

Pada fase ketiga 1991 sampai sekarang, ijin-ijin pendirian perusahaan leasing

yang sebelumnya agak diperketat, dibuka kembali. Perusahaan multifinance

juga banyak didirikan pada periode ini dan terjadi perubahan sistem

perpajakan. Dari semula operating method berubah menjadi financial method.

Hal ini berlaku sejak 19 Januari 1991, berdasarkan ketentuan dalam SK

menteri Keuangan No.1169/KMK.1/1991. Meskipun usaha dalam bidang

23 Richard A. Brealey dan Stewart C. Myers. Principles of Corporate Finance. MCGraw-Hill. New York. 1991. Hal.653.

20

Page 21: Dratf Buku Hukum Bisnis

leasing sudah mulai meluas akan tetapi perkembangannya masih jauh dari yang

diharapkan hal ini disebabkan oleh:24

a. Karena bisnis leasing masih terbilang relatif baru

b. Kurang promosi dan lemahnya aturan hukum

c. Masyarakat masih lebih terfokus pada barang-barang primer dan belum

terhadap barang-barang lainnya

d. Ada anggapan sementara pihak bahwa beban yang dipikul oleh para pihak

lebih besar dibandingkan dengan fasilitas perbankan

e. Untuk leasing barang-barang tertentu dibutuhkan jaminan sehingga orang

cenderung memilih sistem perbankan.

Perbedaan leasing dengan perjanjian lainnya

1. Perbedaan loan (yang diberikan oleh bank) dan leasing (yang diberikan oleh

perusahaan pembiayaan).

a. Loan bertujuan menyediakan dana sementara leasing bertujuan

menyewakan barang modal karena itu, leasing dikategorikan juga sebagai

assets based finance.

b. Loan terfokus kepada uang, jadi kreditur bukan pemilik dari barang yang

didanai, sementara dalam leasing paling tidak yuridis, lessor merupakan

pemilik fasilitas/barang modal.

c. Pada loan, risikonya berupa financial risk, sementara pada leasing, risikonya

berupa financial risk dan physical risk atas barang modal.

d. Jaminan hutang pada loan adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang

seringkali tidak ada hubungannya dengan tujuan penggunaan dana

pinjaman. Sementara pada leasing jaminannya berupa barang modal yang

dibeli dengan dana dari leasing tersebut.

e. Pada loan, jika ada wanprestasi dari pihak debitur, maka barang jaminan

dilelang dan kelebihan harganya dikembalikan kepada deibutur. Sementara

jika wanprestasi lessee pada leasing pada prinsipnya lessor tinggal

24 Majalah Usahawan No.10, Oktober 1992 hal.50.

21

Page 22: Dratf Buku Hukum Bisnis

mengambil kembali barang modal tersebut tanpa harus memperhitungkan/

mengembalikan kelebihan harga.

2. Perbedaan sewa menyewa dengan leasing

a. Dalam sewa menyewa masalah jangka waktu sewa atau umur pemakaian

barang tidak menjadi fokus utama tetapi tidak demikian halnya dengan

leasing.

b. Pada prinsipnya leasing dianggap sebagai salah satu metode pembiayaan

bisnis dan tidak demikian halnya dengan perjanjian sewa menyewa biasa

c. Obyek dari perjanjian sewa menyewa berupa barang berwujud dan

berbentuk apa saja, sementara obyek dari leasing umumnya adalah barang

modal, alat produksi atau beberapa bentuk barang konsumsi.

d. Jika leasing menjadi suatu kegiatan bisnis, maka lessornya haruslah

berbentuk perusahaan pembiayaan, sedangkan lessor pada sewa menyewa

biasa tidak ada pembatasan khusus.

e. Pada leasing, lessor berkedudukan sebagai penyandang dana, baik tunggal

atau bersama-sama dengan penyandang dana lainnya, sementara barang

obyek leasing disediakan oleh pihak ketiga atau oleh lessee sendiri.

Sebaliknya pada sewa menyewa biasa, barang obyek sewa adalah memang

miliknya lessor. Jadi kedudukan lessor adalah sebagai pihak yang menyediakan

barang obyek sewa.

f. Jangka waktu dalam leasing adalah terbatas, sementara jangka waktu pada

sewa menyewa bisa terbatas dan tidak bisa.

g. Dokumen-dokumen dalam perjanjian leasing jauh lebih complicated

dibandingkan dengan sewa menyewa biasa.

h. Pada leasing biasanya masih dibutuhkan jaminan-jaminan tertentu

sedangkan pada sewa menyewa umumnya tidak ada jaminan tersebut.

Jaminan tersebut umumnya berupa personal guarantee, fisudia terhadap

barang modal yang bersangkutan kuasa menjual barang modal dan

sebagainya.

22

Page 23: Dratf Buku Hukum Bisnis

3. Perbedaan jual beli dengan leasing

Jual beli merupakan salah satu jenis “perjanjian bernama”. Versi KUH perdata,

yang pengaturannya terdapat dalam buku ketiga KUH Perdata tersebut. Tetapi

karena leasing bukan jual beli, maka seperti juga tentang perjanjian pinjam

meminjam atau sewa menyewa, maka ketentuan KUH Perdata tentang jual beli

pun tidak berlaku untuk leasing.

4. Perbedaan sewa beli dengan leasing

a. Dalam sewa beli, lessee otomatis (demi hukum) jadi pemilik barang di akhir

masa sewa, sementara pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya

terjadi apabila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee.

b. Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan

barang modal oleh lessee dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor,

tetapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri, tetapi pada sewa beli

pihak lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang

disewakan itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu

biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa beli sendiri.

c. Leasing termasuk dalam salah satu metode pembiayaan yang diperkenankan

dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara sewa beli tidak termasuk

kegiatan lembaga pembiayaan.

Keuntungan menggunakan Leasing

1. Unsur fleksibilitas

Fleksibilitas dalam hal dokumentasi, colateral, struktur kontraknya, besarnya

dan jangka waktu pembayaran cicilan oleh lessee, nilai residu, hak opsi dan

lain-lain.

2. Ongkos relatif murah

Dalam prakteknya semua biaya tersebut diakumulasikan ke dalam satu paket

termasuk dalam komponen biaya ini antara lain adalah konsultan free,

pengadaan dan pemasangan barang, asuransi dan lain-lain.

3. Penghematan pajak

Sistem perhitungan pajak untuk leasing menyebabkan pembayaran pajaknya

lebih hemat.

23

Page 24: Dratf Buku Hukum Bisnis

4. Pengaturan tidak terlalu complicated

Pengaturan terhadap leasing tidak terlalu complicated seperti halnya

pengaturan terhadap kredit bank mengingat perusahaan pembiayaan tidak perlu

harus melaksanakan banyak hal seperti diwajibkan untuk suatu bank.

5. Kriteria bagi lessee yang longgar

Mengingat pemberian fasilitas leasing jauh lebih aman bagi lessor, karena

setiap saat barang modal dapat dijual dengan perhitungan harga tidak lebih

rendah dari sisa hutang lessee.

6. Pemutusan kontrak leasing oleh lessee

Dalam kontrak leasing diberikan hak yang begitu mudah kepada lessee untuk

memutuskan kontrak di tengah jalan dengan pertimbangan harga barang modal

tersebut dapat menutupi bahkan seringkali melebihi sisa hutang lessee.

7. Pembukuan yang lebih mudah

Dalam transaksi leasing ini dimasukkan sebagai pembiayaan secara off balance

sheet, sehingga pembukuan perusahaan lessee akan kelihatan lebih baik.

Kelemahan dan pembiayaan leasing:

1. Biaya bunga yang tinggi

2. Biaya marginal yang tinggi

3. Kurangnya perlindungan hukum

4. Proses eksekusi leasing macet yang sulit

Anjak Piutang (Factoring)

a. Pengantar

Bisnis factoring termasuk jenis bisnis canggih beresiko tinggi sebab berbeda

dengan kredit bank misalnya dalam bisnis factoring hampir tidak tersedia jaminan

sama sekali. Dalam bahasa Indonesia istilah factoring sering diterjemahkan

dengan “anjak piutang” menurut Kepres No.61 tahun 1988, tentang Lembaga

pembiayaan, factoring merupakan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan

atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu

perusahaan yang terbit dari suatu transaksi perdagangan dalam dan luar negeri.

24

Page 25: Dratf Buku Hukum Bisnis

Dalam penjelasan pasal 6 huruf 1 atas undang-undang perbankan undang-

undang No.7 tahun 1992, seperti yang telah diubah dengan undang-undang No.10

tahun 1998 memberi arti kepada factoring sebagai kegiatan pengurusan piutang

atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri

yang dilakukan dengan cara pengambilalihan atau pembelian piutang tersebut.

Pada dasarnya pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan factoring ialah:

1) Pihak perusahaan faktor yaitu pihak pemberi jasa factoring. Dalam hal ini dia

bertindak sebagai pihak pembeli piutang. Jika terhadap kegiatan factoring

internasional, maka terdapat dua perusahaan faktor yaitu pihak perusahaan

faktor domestik (export factor) dan pihak perusahaan faktor luar negeri (import

factor)

2) Pihak klien merupakan pihak yang mempunyai piutang/tagihan yang akan

dijual kepada pihak perusahaan faktor.

3) Pihak customer, yakni pihak debitur yang berhutang kepada pihak klien untuk

selanjutnya dia akan membayar hutangnya kepada perusahaan faktor.

Selanjutnya dalam keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013/1988

tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan sebagaimana

telah diubah menjadi keputusan menteri keuangan RI No.448/KMK.017/2000

tentang perusahaan pembiayaan mengelaborasi kegiatan factoring berupa kegiatan

dalam bidang.

1. Pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek yang terbit dari

transaksi perdagangan dalam atau luar negeri

2. Penatausahaan penjualan “kredit” serta penagihan piutang perusahaan klien

b. Sejarah dan Perkembangan Factoring

Di dalam suatu ketentuan yang dibuat tahun 1963 oleh Common Council

dari kota London disebutkan sebagai berikut:25

Para pembuat pakaian sendiri dan pembantunya telah menjual dagangannya (pakaian) kepada para pedagang atau pemakainya atas laba penuh yang diterimanya sendiri tetapi sekarang pihak lain telah ikut melibatkan diri dalam konteks penjualan tersebut sebagai “factors” dan brokers diantara pedagang, pemakai dan pembuat pakaian.

25 David, Hawkins, The Business of Factoring, McGraw Hill Book Company London, 1993, hal.7

25

Page 26: Dratf Buku Hukum Bisnis

Namun demikian kenyataannya menunjukkan bahwa para brokers piutang

ini tetap diperlukan kala itu antara lain disebabkan karena:

1. Pihak produsen pakaian/pabrik tekstil memerlukan dana yang cepat yang tidak

dapat dipenuhi oleh para pemakai atau para pedagang, dan

2. Pihak produsen pakaian/tekstil tidak mampu dan tidak mau untuk bepergian

jauh ke pasar-pasar untuk memasarkan produk-produknya dan menagih

bayarannya.

Selanjutnya awal abad 17 terjadi gelombang hijrah orang-orang

Inggris/Eropa ke Amerika karena itu tidak mengherankan jika di USA pun

factoring berkembang cukup pesat dan dalam dekade 1930-an ini juga telah

terbentuk yurisprudensi di USA yang menegaskan hubungan hukum antara

perusahaan klien sebagai assignor dengan perusahaan faktor sebagai assigner.

Perkembangan factoring juga akhirnya menjalar ke Asia bahkan ke sentero

dunia, di Jepang kegiatan anjak piutang dalam arti modern pertama kali dikenal

sekitar tahun 1972 yang sebagian besarnya dilakukan oleh bank-bank komersial

umumnya oleh Citibank-citibank yang beroperasi di Jepang. Kemudian secara

internasional terdapat juga beberapa sindikasi factoring internasional yang bersifat

permanen dimana para anggotanya terdiri dari perusahaan-perusahaan faktor dari

berbagai negara. Salah satunya adalah yang diberi nama factor chain

internasional.

Perkembangannya di Indonesia sejak keluarnya peraturan yang termasuk

dalam paket kebijaksanaan Desember 1988 mulailah bermunculan perusahaan-

perusahaan faktor. Umumnya melakukan kegiatan bersama-sama dengan kegiatan

financial lainnya (multi finance).

c. Beberapa pertimbangan dalam menjual piutang

Disamping pertimbangan biaya ketika jasa perusahaan faktor hendak

digunakan, maka klien harus mempertimbangkan beberapa hal antara lain:

1. Mempertahankan customer

Apakah hubungan antara klien dengan customer terutama customer tetap atau

customer prospektif akan rusak dengan dialihkannya tagihan kepada

perusahaan factor.

26

Page 27: Dratf Buku Hukum Bisnis

2. Perlindungan bad debt

Apakah memang diperlukan suatu perlindungan terhadap bad debt-nya

sehingga barangkali masih diperlukan asuransi kredit berapa besar biaya untuk

itu.

3. Pertimbangan cash flow

Apakah memang diperlukan penyesuaian atau sedang dalam kesulitan dalam

masalah cash flow, sehingga diperlukan jasa factoring.

4. Perbandingan dengan biaya internal

Bagaimanakah perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan jasa

factoring tersebut dan kemungkinan keberhasilan penagihannya dibandingkan

dengan seadanya tagihan tersebut dilaksanakan sendiri oleh bagian

pengontrolan kredit dalam perusahaan klien yang bersangkutan.

5. Perbandingan dengan pembiayaan biasa

Bagaimana perbandingan biaya menggunakan jasa factoring dibandingkan

dengan biaya dalam rangka perolehan dana secara biasa, seperti lewat bank

overdraft.

d. Keunggulan anjak piutang

1. Mengatasi kesulitan modal kerja

Melalui fasilitas anjak piutang penjualan kredit kepada nasabah dapat diubah

menjadi penjualan tunai karena ditutupi oleh dana penjualan piutang yang

berarti mengurangi risiko kredit.

2. Kesempatan pengembangan usaha

Karena fasilitas anjak piutang, perusahaan klien memperoleh kesempatan

untuk berkembang dengan menjual produk dan jasa lebih besar atas permintaan

nasabah yang mempunyai reputasi baik tanpa pembiayaan anjak piutang,

realisasi potensi pasar secara penuh sulit dapat diatasi.

3. Mengatasi beban risiko kredit

27

Page 28: Dratf Buku Hukum Bisnis

Karena alasan risiko kredit, klien hanya melayani penjualan barang kepada

nasabah lama dan menolak memperluas penjualan barang secara kredit kepada

nasabah baru.

4. Memperbaiki sistem penagihan

Perusahaan anjak piutang yang membeli piutang mengharapkan piutangnya

dibayar pada saat jatuh tempo untuk itu, perusahaan anjak piutang selalu

memantau tagihan-tagihannya dan memberitahukan kepada klien tagihan-

tagihan yang telah jatuh tempo.

5. Bantuan administrasi piutang dan penagihan

Perusahaan anjak piutang mempunyai sistem administrasi piutang dan

penagihan yang lebih baik dengan sistem komputerisasi. Jasa administrasi

tersebut sebagai bagian dari factoring agreement. Laporan yang akurat dan

tepat waktu yang disampaikan oleh perusahaan anjak piutang sangat membantu

klien untuk itu. Perusahaan anjak piutang memperoleh komisi (fee) dari

perusahaan klien.

e. Klasifikasi anjak piutang

Dilihat dari segi tanggung jawab klien anjak piutang dibedakan menjadi 2

(dua) jenis yaitu:

1. Recourse factoring adalah anjak piutang dengan risiko kredit tetap menjadi

tanggung jawab klien, setiap anjak piutang dianggap sebagai recourse

factoring, kecuali jika ditentukan lain oleh para pihak.

2. Without recourse factoring adalah anjak piutang dengan risiko kredit bukan

tanggung jawab klien melainkan seluruh beban tagihan dan risiko sepenuhnya

tanggung jawab perusahaan anjak piutang, kecuali jika ada kesalahan pihak

klien.

Dilihat dari segi notifikasi kepada nasabah, anjak piutang dibedakan

menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

1. Disclosed factoring adalah anjak piutang yang pengalihan piutangnya kepada

perusahaan anjak piutang diberitahukan kepada nasabah pengalihan tersebut

dilakukan dengan cessie menurut pasal 613 ayat (1) KUH Perdata.

f. Pelayanan Anjak Piutang

28

Page 29: Dratf Buku Hukum Bisnis

Dilihat dari segi pelayanan yang diberikan, anjak piutang dibedakan menjadi 2

(dua) jenis yaitu:

1. Maturity factoring, perusahaan anjak piutang hanya memberikan jasa

pembukuan, proteksi dan pengontrolan kredit serta penagihan yang disebut

service factoring, sifatnya hanya non financing.

2. financial factoring, adalah anjak piutang disamping memberikan jasa-jasa

seperti maturity factoring juga memberikan jasa pembiayaan.

g. Sarana Pengalihan

Dari segi sarana pengalihan anjak piutang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis

yaitu:

1. Account receivable factoring adalah anjak piutang yang pengalihan piutang

kepada perusahaan anjak piutang dilakukan melalui dokumen bukti hutang

dalam bentuk buku tagihan.

2. Promissory notes factoring adalah anjak piutang dengan cara nasabah

menerbitkan surat pengakuan hutang (promissory notes) atas hutang-hutangnya

kepada klien kemudian klien mengendosemenkan surat pengakuan hutang itu

kepada perusahaan anjak piutang sebagai salah satu cara pengalihan piutang.

h. Tempat Kedudukan para Pihak

Dari segi tempat kedudukan pihak-pihak, anjak piutang dibedakan menjadi

2 (dua) jenis yaitu:

1. Domestic factoring adalah anjak piutang dimana semua pihak berdomisili

dalam satu negara.

2. International factoring adalah anjak piutang dimana pihak nasabah berdomisili

di luar negeri atau di negara lain sedangkan klien berdomisili di dalam negeri,

dalam hal ini di Indonesia. Anjak piutang ini disebut juga export factoring.

i. Aspek Hukum Internasional

Karena demikian berkembang pesatnya factoring internasional, sementara

factoring jenis ini termasuk rentan terhadap timbulnya disputes, maka semakin

hari, sengketa-sengketa pun semakin meningkat baik dari segi kualitasnya,

maupun dari segi kuantitasnya oleh karena itu dibuatlah suatu ketentuan yang

bersifat internasional yaitu UNIDROIT, Convention on International Factoring

29

Page 30: Dratf Buku Hukum Bisnis

dengan pusatnya di Roma Unidroit Convention menyediakan satu set ketentuan

untuk transaksi factoring yang bersifat internasional tetapi peraturan ini masih

belum begitu populer di kalangan bisnis.

Disamping itu, secara internasional dibeberapa negara telah pula diusahakan

berbagai kemudahan bagi klien untuk mencari tahu tentang perusahaan yang

memfinance mereka. Di Inggris misalnya jalur informasi untuk klien mengenai

data dari perusahaan faktor yang bergerak secara internasional dapat dilakukan

melalui cara sebagai berikut:

1. Sistem factel

Sistem factel ini disediakan oleh international factors di Inggris yang

memberikan free service kepada klien dari international factors lewat jaringan

telepon dan televisi.

2. Sistem factflow

Sistem jaringan ini tersedia bagi klien untuk mendapatkan data mengenai

perkembangan factoring dengan perusahaan faktornya. Sistem ini disediakan

oleh Lombart Natwest commercial services melalui jaringan internet dan

telepon.

3. Sistem jaringan ini disediakan oleh century limited yang merupakan bagian

factoring dari Bank Merchant close bros Plc. Sistem ini memberikan data

kepada klien secara rinci dan terbaru karena selalu diperbaharui secara

berkesinambungan seluruh biaya service. Semua sistem ini gratis kecuali biaya

komunikasi lewat network telepon.

Pada saat ini kegiatan bisnis factoring sudah semakin canggih dalam

beroperasinya mengikuti perkembangan bisnis dan teknologi yang terus

berkembang.

30

Page 31: Dratf Buku Hukum Bisnis

KARTU KREDIT

A. Pendahuluan

Kartu kredit adalah merupakan alat pembayaran melalui jasa.

Bank/perusahaan pembiayaan dalam transaksi jual beli barang/jasa atau alat untuk

menarik uang tunai dari bank/perusahaan pembiayaan. Alat pembayaran tersebut

diterbitkan berdasarkan perjanjian penerbitan kartu kredit. Berdasarkan perjanjian

tersebut, peminjam memperoleh pinjaman dana dari bank/perusahaan

pembiayaan. Untuk menerima atau menarik dana tersebut bank/perusahaan

pembiayaan menerbitkan dan menyerahkan kartu ukuran kecil dari bahan plastik

yang disebut kartu kredit. Peminjam dana yang menerima kartu kredit disebut

pemegang kartu (card holder) dan bank/perusahaan pembiayaan yang

menyerahkan kartu kredit disebut penerbit (issuer).

B. Sejarah Kartu Kredit

Karena uang sebagai alat pembayaran dalam perkembangannya dirasakan

tidak cukup aman bagi pemegangnya. Hal ini dikarenakan baik karena tidak

praktis, ataupun sering terjadi perampokan atau kehilangan tanpa tersedianya

upaya pengamanan yang berarti. Maka kemudian berkembanglah bentuk-bentuk

alat bayar lain misalnya penggunaan cek, tetapi bentuk alat bayar cek tersebut

juga ternyata tidak cukup comfortable bagi pemegang mapun penermanya.

Di USA, kartu kredit pertama kali dipergunakan dalam dekade 1920-an

yang diberikan oleh department-department store besar kepada para pelangannya.

Tujuannya, untuk mengidentifikasi pelanggannya yang ingin berbelanja tetapi

dengan pembayaran bulanan. Karena itu, kartu kredit seperti ini berbentuk kartu

pembayaran lunas (charge card) yang dibayar bulanan setelah ditagih dan tanpa

kewajiban membayar bunga para pihaknya hanya dua pihak saja, yaitu pihak

pertama toko sebagai penerbit, sedangkan pihak kedua adalah pelanggan sebagai

pemegang kartu kredit.26

26 Ronald, A. Baker. Problems of Credit Card Regulations USA Perspective dalam Newsletter No.6 Tahun 1994. Jakarta Pusat Pengkajian Hukum 1994 hal.1)

31

Page 32: Dratf Buku Hukum Bisnis

Selanjutnya, di akhir dasawarsa 1950-an, Bank of Amerika menjadi pionir

dengan memperkenalkan kartu kredit antar bank, yang kemudian berkembang

menjadi apa yang sekarang dikenal dengan kartu kredit VISA. Demikian juga

yang dilakukan oleh chase manhattan Bank dan dalam tahun 1951, The First

National Bank Long Island juga telah mengeluarkan kartu kreditnya. Demikian

juga disusul dengan bank-bank lainnya dan jaringan kartu kredit tersebut

dilakukan dengan sistem franchise fungsi bank tersebut dapat berupa (1) penerbit

kartu kredit (2) bank perantara bayar (collection bank) yakni yang bertugas untuk

menerima slip penjualan dari penjual barang/jasa dan membayarnya kepada

penjual tersebut dan meneruskan slip penjualan tersebut kepada bank. Penerbit

untuk mendapatkan pembayaran kembali dan (3) dapat juga suatu bank bertindak

sekaligus sebagai bank penerbit dan bank perantara bayar. Maka akhirnya

berkembanglah berbagai macam kartu kredit dan menerobos tapal batas negara

seiring dengan arus globalisasi. Perkembangan yang pesat terhadap pemakaian

kartu kredit tersebut tidak terkecuali juga di Indonesia.

C. Dasar Hukum Kartu Kredit

1. Perjanjian antara para pihak sebagai dasar hukum

Sistem hukum di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (vide pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata) pasal 1338 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa

setiap pernjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi

yang membuatnya. Dengan berlandaskan kepada pasal 1338 ayat (1) ini, asal

saya dibuat secara tidak bertentangan dengan hukum atau kebiasaan yang

berlaku, maka setiap perjanjian (lisan maupun tertulis) yang dibuat oleh para

pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit akan berlaku sebagai undang-

undang bagi para pihak tersebut.

2. Perundang-undangan sebagai dasar hukum

a. Keppres No.6 tahun 1988, tentang lembaga pembiayaan pasal 2 ayat (1) dari

Keppres No.61 antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari

lembaga pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit. Sementara dalam

pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan kartu

32

Page 33: Dratf Buku Hukum Bisnis

kredit adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam rangka

pembelian barang/jasa dengan menggunakan kartu kredit. Selanjutnya menurut

pasal 3 dari Keppres No.61 ini yang dapat melakukan kegiatan lembaga

pembiayaan tersebut termasuk kegiatan kartu kredit adalah:

1) Bank

2) Lembaga keuangan bukan bank (sekarang sudah tidak ada lagi dalam sistem

hukum keuangan kita)

3) Perusahaan pembiayaan

b. Keputusan menteri keuangan No.1251/KMK.013/1998 tentang ketentuan dan

tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali

diubah terakhir dengan keputusan menteri keuangan RI

No.448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan.

Pasal 2 dari keputusan Menkeu No.1251 ini kembali menegaskan bahwa salah

satu dari kegiatan lembaga pembiayaan adalah usaha kartu kredit. Selanjutnya

dalam pasal 7 nya ditentukan bahwa pelaksanaan kegiatan kartu kredit

dilakukan dengan cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh

pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang/jasa.

c. Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan seperti yang telah diubah

dengan undang-undang No.10 tahun 1998 dalam undang-undang tersebut pasal

6 huruf 1 nya adalah melakukan usaha kartu kredit.

D. Para pihak yang terlibat dalam Kartu Kredit

1. Pihak Penerbit (issuer)

Pihak penerbit kartu kredit ini terdiri dari:

a) Bank

b) Lembaga keuangan yang khusus bergerak di bidang penerbitan kartu kredit

c) Lembaga keuangan yang disamping bergerak di dalam penerbitan kartu

kredit, bergerak juga di bidang kegiatan-kegiatan lembaga keuangan

lainnya.

Kepada pihak penerbit ini oleh hukum dibebankan kewajiban sebagai berikut:

a) Memberikan kartu kredit kepada pemegangnya

33

Page 34: Dratf Buku Hukum Bisnis

b) Melakukan pelunasan pembayaran harga barang atau jasa atas bills yang

disodarkan oleh penjual

c) Memberitahukan kepada pemegang kartu kredit terhadap setiap tagihannya

dalam suatu periode tertentu

d) Memberitahukan kepada pemegang kartu kredit berita-berita lainnya yang

menyangkut dengan hak, kewajiban dan kemudahan bagi pemegang

tersebut.

Selanjutnya pihak penerbit kartu kredit oleh hukum diberikan hak-hak sebagai

berikut:

a) Menagih dan menerima dari pemegang kartu kredit pembayaran kembali

uang harga pembelian barang atau jasa

b) Menagih dan menerima dari pemegang kartu kredit pembayaran lainnya

seperti bunga, uang pangkal, uang tahunan, denda dan sebagainya

c) Menerima komisi dari pembayaran tagihan kepada perantara penagihan atau

kepada penjual.

2. Pihak pemegang kartu kredit (card holder)

Secara hukum, pihak pemegang kartu kredit mempunyai kewajiban sebagai

berikut:

a) Tidak melakukan pembelian dengan kartu kredit yang melebihi batas

maksimum

b) Menandatangani slip pembelian yang disodorkan oleh pihak penjual

barang/jasa

c) Melakukan pembayaran kembali harga pembelian sesuai dengan tagihan oleh

pihak penerbit kartu kredit

d) Melakukan pembayaran-pembayaran lainnya, seperti uang pangkal, uang

tahunan, denda dan sebagainya.

Selanjutnya, pihak pemegang kartu kredit mempunyai hak-hak sebagai

berikut:

a) Hak untuk membeli barang/jasa dengan memakai kartu kredit dengan atau

tanpa batas maksimum.

34

Page 35: Dratf Buku Hukum Bisnis

b) Kebanyakan kartu kredit juga memberi hak kepada pemegangnya untuk

mengambil uang cash baik pada mesin teller tertentu dengan memakai nomor

kode tertentu ataupun via bank-bank lain atau bank penerbit. Biasanya jumlah

pengambilan uang cash dibatasi sampai batas plafond tertentu.

c) Hak untuk mendapatkan informasi dari penerbit tentang perkembangan

kreditnya dan tentang kemudahan-kemudahan sekiranya ada yang

diperuntukkan kepadanya.

3. Pihak Penjual Barang/Jasa

Secara hukum mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

a) Menginformasikan kepada pemegang/pembeli barang/jasa tentang charge

tambahan selain harga jika ada. Misalnya charge tambahan berapa persen dari

harga penjualan terhadap pembelian dengan memakai kartu kredit terhadap

beberapa jenis produk tertentu.

b) Memberikan slip pembelian untuk ditandatangani oleh pihak pembeli/

pemegang kartu kredit.

c) Membayar komisi ketika melakukan penagihan kepada perantara (jika dipakai

perantara) atau kepada penerbit (jika dilakukan langsung kepada penerbit).

Sedangkan yang menjadi hak dari penjual barang/jasa adalah sebagai berikut:

a) Meminta pelunasan harga barang/jasa yang dibeli oleh pembelinya dengan

memakai kartu kredit

b) Menolak untuk menjual barang/jasa jika tidak terdapat otorisasi dan penerbit

kartu kredit

4. Pihak Perantara

Perantara adalah pihak pengelola kartu kredit dalam hal penagihan antara

penjual dan penerbit dan pembayaran antara pemegang kartu dan penerbit.

Perantara penagihan antara penjual dan penerbit disebut acquirer, yaitu pihak yang

melakukan penagihan kepada penerbit berdasarkan catatan yang disampaikan

kepadanya oleh penjual. Hasil penagihan tersebut dibayarkan kepada penjual

dengan memperoleh komisi.

35

Page 36: Dratf Buku Hukum Bisnis

F. Klasifikasi Kartu Kredit

a) Kartu kredit berdasarkan fungsinya

ditinjau dari kriteria fungsinya, maka kartu kredit dibedakan menjadi 5

(lima) macam yaitu credit card, charge card, debit card, cash card, check

guanrantee card.

b) Kartu kredit berdasarkan wilayah berlakunya

1) Kartu kredit nasional

Ini adalah jenis kartu kredit yang hanya berlaku dan digunakan sebagai

alat pembayaran di suatu wilayah negara tertentu saja misalnya wilayah

Indonesia.

2) Kartu kredit internasional

Kartu kredit jenis ini dapat digunakan sebagai alat pembayaran

internasional atau mancanegara. Kartu kredit internasional yang paling

terkenal adalah visa card dan master card.

PEMBIAYAAN KONSUMEN

A. Pendahuluan

Pranata hukum “pembiayaan konsumen” dipakai sebagai terjemahan dari

istilah consumer finance. Pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis kredit

konsumsi (consumer credit). Hanya saja, pembiayaan konsumen dilakukan oleh

perusahaan pembiayaan, sementara kredit konsumsi diberikan oleh bank.

Menurut ketentuan pasal 1 angka (6) Keppres Nomor 61 tahun 1988 tentang

lembaga pembiayaan:

“Pembiayaan konsumen adalah pembiayaan pengadaan barang untuk

kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala”.

Keputusan menteri keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang

perusahaan pembiayaan memberikan pengertian kepada pembiayaan konsumen

sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi

konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara

angsuran atau berkala oleh konsumen.

36

Page 37: Dratf Buku Hukum Bisnis

B. Sejarah Pembiayaan Konsumen

Lahirnya pemberian kredit dengan sistem pembiayaan. Konsumen ini

sebenarnya sebagai jawaban atas kenyataan-kenyataan sebagai berikut:

1) Bank-bank kurang tertarik/tidak cukup banyak dalam menyediakan kredit

kepada konsumen, yang umumnya merupakan kredit-kredit berukuran kecil

2) Sumber dana yang formal lainnya berupa keterbatasan atau sistemnya yang

kurang fleksibel atau tidak sesuai kebutuhan misalnya apa yang dilakukan oleh

perum pegadaian, yang disamping daya jangkauannya terbatas tetapi juga

mengharuskan penyerahan sesuai sebagai jaminan ini sangat memberatkan bagi

masyarakat.

3) Sistem pembayaran informal yang dilakukan oleh para lintah darat atau

tengkulak dirasakan sangat mencekam masyarakat dan sangat usury oriented.

Sehingga dianggap sebagai riba dan banyak negara maupun agama

melarangnya.

4) Sistem pembiayaan formal lewat koperasi, seperti koperasi unit desa ternyata

tidak berkembang seperti yang diharapkan mengingat faktor-faktor tersebut

diatas, mulailah dikembangkan sistem yang disebut pembiayaan konsumen dan

pada akhirnya pembiayaan konsumen dikenal sebagai salah satu jenis sistem di

luar perbankan dan mendapatkan pengaturannya oleh masing-masing negara,

seperti juga di Indonesia.

C. Para Pihak dalam Pembiayaan Konsumen

1) Perusahaan Pembiayaan Konsumen

Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha berbentuk perseroan

terbatas atau koperasi yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk

pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem

pembayaran angsuran berkala oleh konsumen. Perusahaan tersebut

menyediakan jasa kepada konsumen dalam bentuk pembayaran harga

barang secara tunai kepada pemasok (supplier). Antara perusahaan dan

konsumen harus ada lebih dulu kontrak pembiayaan konsumen yang

sifatnya pemberian kredit.

37

Page 38: Dratf Buku Hukum Bisnis

2) Konsumen

Konsumen adalah pihak pembeli barang dari pemasok atas pembayaran oleh

pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Konsumen tersebut

dapat berstatus perseorangan (individual) dapat pula perusahaan bukan

badan hukum. Dalam hal ini ada 2 (dua) hubungan kontraktual yaitu:

a. Perjanjian pembiayaan yang bersifat pemberian kredit antara perusahaan

dan konsumen

b. Perjanjian jual beli antara pemasok dan konsumen yang bersifat tunai

3) Pemasok adalah pihak penjual barang kepada konsumen atas pembayaran

oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Hubungan

kontraktual antara pemasok dan konsumen adalah jual beli bersyarat. Syarat

yang dimaksud adalah pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu

perusahaan pembiayaan konsumen. Antara pemasok dan konsumen terdapat

hubungan kontraktual, dimana pemasok wajib menyerahkan barang kepada

konsumen dan konsumen wajib membayar harga barang secara angsuran

kepada perusahaan yang telah melunasi harga barang secara tunai.

D. Segi Hukum Pembiayaan Konsumen

1) Segi hukum perdata ada 2 (dua) sumber hukum perdata yang mendasari

pembiayaan konsumen yaitu asas kebebasan berkontrak dan perundang-

undangan bidang hukum perdata.

2) Perjanjian pinjam pakai habis

Diatur dalam pasal 1754-1773 KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal 1754

KUHPdt.

“Pinjam pakai habis adalah perjanjian, dengan mana pemberi pinjaman

menyerahkan sejumlah barang pakai habis kepada peminjam dengan syarat

bahwa peminjam akan mengembalikan barang tersebut kepada pemberi

pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama”.

Maka menurut pasal 1765 KUH Perdata pihak-pihak (perusahaan

pembiayaan konsumen dan konsumen) boleh memperjanjikan pengembalian

uang pokok ditambah bunga.

38

Page 39: Dratf Buku Hukum Bisnis

3) Perjanjian jual beli bersyarat

Diatur dalam pasal 1457-1518 KUH Perdata tetapi pelaksanaan pembayaran

digantungkan pada syarat yang disepakati dalam perjanjian pokok yaitu

perjanjian pembiayaan konsumen.

Dalam pasal 1513 KUH Perdata ditentukan.

“Pembeli wajib membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat yang

ditetapkan menurut perjanjian”.

Syarat waktu dan tempat pembayaran ditetapkan dalam perjanjian pokok,

yaitu pembayaran secara tunai oleh perusahaan pembiayaan konsumen

ketika penjual menyerahkan nota pembelian yang ditandatangani oleh

pembeli.

4) Segi perdata di luar KUH Perdata

Selain dari ketentuan dalam buku III KUH Perdata yang relevan dengan

pembiayaan konsumen terdapat juga ketentuan yang mengatur aspek perdata

pembiayaan konsumen.

i) UU No.9 tahun 1969 tentang BUMN apabila perusahaan pembiayaan

tersebut berbentuk perseroan.

ii) UU No. tahun 1995 tentang PT apabila perusahaan pembiayaan tersebut

berbentuk PT.

iii)UU No.5 tahun 1960 tentang ketentuan pokok agraria apabila perusahaan

pembiayaan mengadakan perjanjian mengenai hak-hak atas tanah.

iv)UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen apabila perusahaan

pembiayaan konsumen melanggar kewajiban dan larangan undang-

undang yang secara perdata merugikan konsumen.

39

Page 40: Dratf Buku Hukum Bisnis

HUKUM ASURANSI

Di dalam kehidupan dan kegiatan manusia pada hakikatnya mengandung

berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat

hakiki yang dimaksud disini adalah suatu sifat tidak kekal yang selalu menyertai

kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya. Keadaan yang tidak kekal yang

merupakan sifat alamiah tersebut mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak

dapat diramalkan lebih dahulu secara tepat.

Upaya untuk mengatasi sifat alamiah yang berwujud sebagai suatu keadaan

yang tidak pasti tadi antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara menghindari

atau melimpahkannya kepada pihak-pihak lain di luar dirinya sendiri. Usaha dan

upaya manusia untuk menghindari dan melimpahkan risikonya kepada pihak lain

beserta proses pelimpahan sebagai suatu kegiatan itulah yang merupakan embrio

atau cikal bakal perasuransian yang dikelola sebagai suatu kegiatan ekonomi yang

rumit sampai saat ini.

Upaya untuk menanggulangi, mengelakkan, mengurangi atau memperkecil

resiko tersebut adalah dengan jalan mengalihkan pada pihak lain berdasarkan

perjanjian-perjanjian yang dimaksud disini ialah perjanjian asuransi atau

perjanjian pertanggungan. Dalam praktek hal ini secara tegas diakui bahwa

sesungguhnya hubungan antara asuransi dan risiko itu erat satu sama lain seperti

pernyataan sebagai berikut “Asuransi atau pertanggungan (verzekering)

didalamnya tersirat pengertian adanya suatu risiko yang terjadi sebelum dapat

dipastikan dan adanya pelimpahan tanggung jawab memikul beban risiko dari

pihak yang mempunyai risiko tersebut kepada pihak lain yang sanggup

mengambilalih tanggung jawab sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang

melimpahkan tanggung jawab ini yang diwajibkan membayar sejumlah uang

kepada pihak yang menerima tanggung jawab.27

Pada hakikatnya, lembaga asuransi atau pertanggungan selain sebagai

lembaga peralihan resiko. Ia juga sebagai lembaga penyerap dana dari masyarakat

27 Dewan Asuransi Indonesia, Perjanjian Asuransi dalam Praktek dan Penyelesaian Sengketa Hasil Simposium tentang Hukum Asuransi. Padang, BPHN, 1978, hal.107

40

Page 41: Dratf Buku Hukum Bisnis

melalui pembayaran premi yang diberikan oleh masyarakat tertanggung kepada

para penanggung (penanggung adalah perusahaan asuransi). Kitab Undang-

undang Hukum Dagang pada pasal 246 memberikan batasan tentang asuransi atau

pertanggungan sebagai berikut:

“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karenanya suatu peristiwa yang tidak tertentu (evenemen).28

Rumusan pasal KUHD ini lebih menekankan pada asuransi kerugian, tidak

termasuk asuransi jiwa dan asuransi sosial. Dalam pasal 1 angka (1) undang-

undang Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian, asuransi atau

pertanggungan didefinisikan sebagai berikut:

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Rumusan pasal 1 angka (1) undang-undang Nomor 2 tahun 1992 ini ternyata

lebih luas lingkupnya, yaitu meliputi:

a) Asuransi kerugian (loss insurance) yaitu perlindungan terhadap harta kekayaan

seseorang atau badan hukum, yang meliputi benda, asuransi, risiko yang

ditanggung premi asuransi ganti kerugian.

b) Asuransi jiwa (life insurance) yaitu perlindungan terhadap keselamatan

seseorang yang meliputi jiwa seseorang resiko yang ditanggung, premi asuransi

dan santunan sejumlah uang dalam hal terjadi evenemen, atau pengembalian

(refund) bila asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi evenemen.

28 Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan. Pradnya Paramita Jakarta, 1982, hal.74.

41

Page 42: Dratf Buku Hukum Bisnis

c) Asuransi sosial (social security insurance) yaitu perlindungan terhadap

keselamatan seseorang yang meliputi jiwa dan raga seseorang, resiko yang

ditanggung, iuran asuransi dan santunan sejumlah uang dalam hal terjadi

evenemen.

1. Resiko dan Asuransi

Resiko dalam pengertian asuransi dikaitkan dengan ketidakpastian

timbulnya kerugian akibat terjadinya bahaya atau peristiwa yang mengancam

obyek asuransi. Tidak seorangpun yang mengetahui bahkan tidak diharapkan

bahaya atau peristiwa yang mengancam itu akan terjadi dan jika terjadi akan

menimbulkan kerugian. Apabila bahaya atau peristiwa yang mengancam itu dapat

diprediksi akan terjadi atau sudah diketahui akan terjadi, sehingga sifat

ketidakpastian itu tidak ada, maka hal ini tidak termasuk risiko dalam pengertian

asuransi. Jika risiko ini diasuransikan, maka asuransi tersebut akan batal dengan

sendirinya.

Pada umumnya tindakan-tindakan yang lazim dilakukan oleh manusia untuk

mengatasi segala kemungkinan yang timbul antara lain dengan cara:

a. Menghindarkan (avoidance) maksudnya, berbuat sesuatu atau tidak berbuat

sesuatu agar tidak mendapat kerugian

b. Mencegah (prevention) maksudnya mengadakan tindakan tertentu dengan

tujuan paling tidak mengurangi kerugian

c. Mengalihkan (transfer) maksudnya, kemungkinan buruk yang dapat menimpa

dirinya dialihkan pihak lain

d. Menerima (assumption or retention)

Mengapa orang selalu menghindari atau mengalihkan risiko yang ada pada

dirinya? Tentu berdasarkan atas alasan-alasan tertentu yang secara umum

disebutkan oleh Robert Riegel et.al, karena risiko itu:

1. Akan merupakan suatu kerugian yang tidak dapat diduga lebih dahulu

2. Merupakan ketidakpastian yang dihadapi seseorang mengenai masa datang29

29 Robert Riegel, et.al., Insurance Principles Practices Property and Liability Englewood Cliffs, New Jersey Prentice Hall, Inc. 1976, hal.2

42

Page 43: Dratf Buku Hukum Bisnis

Oleh karena itu pengertian risiko diberi batasan sebagai: kemungkinan

terjadinya suatu kerugian atau batalnya seluruh atau sebagian dari suatu

keuntungan yang semula diharapkan karena suatu kejadian diluar kuasa manusia,

kesalahan sendiri atau perbuatan manusia lain.

Dari batasan tersebut mengandung dua unsur yaitu:

1. Ketidakpastian

2. Bersifat negatif

Risiko itu sendiri dapat dibedakan karena sifatnya yaitu:

1. Langsung

2. Tidak langsung

3. Tanggung jawab

4. Risiko yang timbul karena tindakan orang lain

Jadi setiap resiko pada hakikatnya adalah suatu yang sama sekali tidak

dikehendaki oleh siapapun, oleh karena itu manusia mencari jalan keluar

bagaimana apabila terjadi suatu resiko ada pihak lain yang dapat membantu dan

menanganinya. Dari sisi manajemen resiko, asuransi dianggap sebagai salah satu

cara yang terbaik untuk menangani suatu resiko.30

2. Perjanjian Asuransi sebagai Perjanjian yang bertujuan memberikan

proteksi

Secara umum dapat dikatakan bahwa perjanjian asuransi mempunyai tujuan

utama untuk memberi ganti rugi, sehingga perjanjian asuransi dapat diartikan

sebagai perjanjian ganti rugi atau perjanjian identitas. Batasan perjanjian asuransi

yang terdapat dalam pasal 246 KUH Dagang dapat memberikan indikator bahwa

perjanjian asuransi itu pada dasarnya adalah perjanjian yang mempunyai tujuan

memberi ganti kerugian ialah sesuai dengan asas identitas.

Dari pasal 246 KUH dagang dapat diuraikan unsur-unsurnya yaitu:

1. Pihak pertama ialah penanggung yang pada umumnya adalah perusahaan

asuransi

30 Cathur Williams Yr dan Richard M. Heins, Risk Management and Insurance Mc. Graw Hill Book Company Singapore 1985 hal.5 Risk is a key tool of risk management.

43

Page 44: Dratf Buku Hukum Bisnis

2. Pihak kedua adalah tertanggung yang dapat menduduki posisi tersebut dalam

perorangan, kelompok orang atau lembaga, Badan Hukum termasuk

perusahaan atau siapapun yang dapat menderita kerugian. Jadi dalam hal ini,

siapapun yang mempunyai peluang atau kemungkinan menderita kerugian

dapat mengalihkannya kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung.\

Asuransi juga merupakan suatu mekanisme kerja diantara para pihak yang

mengadakan perjanjian, karena perusakan asuransi sebagai penanggung berjanji

dan menawarkan suatu pembayaran kepada pihak tertanggung/pemegang polis,

suatu jumlah tertentu. Pembayaran tersebut baru dilakukan apabila

tertanggung/pemegang polis menderita kerugian karena suatu peristiwa yang

belum pasti sebagai imbalannya karena perusahaan asuransi sebagai penanggung

harus menerima beban untuk membayar kerugian, maka penanggung mengajukan

suatu harga yang disebut sebagai premi.

Perbedaan pokok antara perjanjian asuransi dengan perjanjian yang lain,

ialah pada pemenuhan prestasi. Prestasi para pihak pada perjanjian lain pada

umumnya, dapat saling dipenuhi secara seketika dan serentak baik kreditur

maupun debitur secara bersama-sama dalam waktu yang bersamaan dapat saling

memenuhi prestasi masing-masing. Dengan demikian segera dapatdiketahui siapa

yang sudah melakukan prestasinya dan siapa yang belum, sehingga dapat pula

diketahui posisi para pihak. Misalnya pada perjanjian jual beli, sewa menyewa,

pengangkutan dan sebagainya. Lain halnya dengan perjanjian asuransi, mengingat

sifatnya yang mempunyai tujuan/sasaran utama sebagai suatu perjanjian yang

memberikan proteksi dan ganti kerugian, maka mekanisme perjanjian tidak

sesederhana perjanjian-perjanjian lain.

Syarat-syarat agar penanggung bersedia memenuhi tanggung jawabnya

dengan melaksanakan prestasinya adalah sebagai berikut:

1. Adanya peristiwa yang tidak tertentu

2. Hubungan sebab akibat

3. Apakah ada yang memberatkan risiko

4. Apakah ada cacat atau kebusukan atau sifat kodrat dari barang

5. Kesalahan tertanggung

44

Page 45: Dratf Buku Hukum Bisnis

6. Nilai yang diasuransikan

3. Polis sebagai Dokumen Perjanjian Asuransi

Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu dokumen.

Setiap dokumen secara umum mempunyai arti yang sangat penting karena

berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak

hanya bagi para pihak saya, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai

hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjanjian yang bersangkutan.

Dalam pasal 255 KUH Dagang disebutkan: suatu tanggungan harus dibuat secara

tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis.

Dalam pasal 256 KUH Dagang menentukan bahwa, setiap polis kecuali

yang mengenai suatu pertanggungan jiwa, harus menyatakan:

1. Hari ditutupnya pertanggungan

2. Nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan sendiri atau atas

tanggungan orang ketiga

3. Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang dipertanggungkan

4. Jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan

5. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung

6. Pada saat mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si penanggung dan

saat berakhirnya itu

7. Premi pertanggungan tersebut dan

8. Pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi si penanggung

untuk diketahuinya dan segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak.

Polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.

4. Perjanjian Reasuransi

Peran utama reasuransi ialah untuk memberikan perlindungan bagi

penanggung atau perusahaan asuransi, berkenaan dengan tanggung jawabnya

kepada tertanggung nasabahnya perlindungan tersebut merupakan suatu tindak

lanjut peralihan risiko yang pertama dari tertanggung kepada penanggung atau

45

Page 46: Dratf Buku Hukum Bisnis

perusahaan asuransi dan selanjutnya adalah peralihan yang kedua yaitu dari

penanggung ke perusahaan reasuransi.

Karena pada hakikatnya, tujuan reasuransi atau pertanggungan ulang itu

sama dengan tujuan asuransi atau pertanggungan yaitu untuk mengalihkan resiko-

resiko sendiri kepada pihak lain dari resiko tertanggung menjadi risiko

penanggung. Pihak penanggung dengan menerima resiko dari tertanggung

bebannya menjadi lebih berat, untuk itu kemudian mengalihkannya kembali

kepada penanggung ulang sebagai pertanggungan ulang atau reasuransi. Oleh

karena itu dapat dikatakan bahwa sesungguhnya, reasuransi itu merupakan suatu

kebutuhan mutlak bagi setiap perusahaan asuransi (ceding company) apabila

menginginkan perusahaannya dapat selalu berjalan secara aman karena alasan-

alasan sebagai berikut:

a) Perusahaan asuransi itu sesungguhnya adalah menjual kepastian dalam bentuk

proteksi (perlindungan kepada tertanggung) nasabahnya

b) Setiap perusahaan asuransi itu selalu berada dalam berbagai keterbatasan

sendiri, antara lain keterbatasan (limit) dalam modal kemampuan, pasar dan

sebagainya

c) Perusahaan asuransi harus tetap dalam keadaan siap, agar selalu dalam keadaan

praktek kerja yang pasti serta kemampuan membayar yang wajar, karena pada

dasarnya perusahaan asuransi itu “menjual janji” dari ketidakpastian menjadi

kepastian.

Dilema yang dihadapi perusahaan asuransi adalah antara kemampuan

menerima penawaran dari tertanggung dan kemampuan untuk membayar klaim

yang timbul salah satu pilihan yang dapat dilaksanakan ialah tetap menerima

penawaran dari nasabah, tetapi mengalihkannya kembali kepada pihak lain.

Kegiatan ini tidak lain dengan cara reasuransi.

Reasuransi merupakan pilihan yang tepat, karena beberapa alasan seperti

dibawah ini:31

a. Reasuransi memungkinkan penanggung pertama menerima pelimpahan resiko

yang besar dengan aman tanpa ancaman dan ketidakseimbangan solvensi

31 John Buther dan Robert M. Merkinllan. Reinsurance. Kluwer Publishing, 1987 hal.1

46

Page 47: Dratf Buku Hukum Bisnis

artinya meskipun penanggung pertama mengadakan perjanjian asuransi dengan

nilai yang relatif besar karena yang ditahan hanya sebagian, maka hal ini tidak

akan membahayakan kemampuan membayar (tertanggung pada permintaan

masyarakat)

b. Reasuransi memungkinkan penanggung pertama untuk tetap menjaga suatu

stabilitas usaha tanpa rasa khawatir terhadap adanya tuntutan klaim yang

bersamaan, klaim besar yang tidak diantisipasikan yang dapat membahayakan

perusahaan

c. Reasuransi modern yang gerak operasionalnya melampaui wilayah negara

dapat membagi dampak ekonomi yang disebabkan oleh terjadinya peristiwa

besar. Pada beberapa negara (misalnya karena bencana gempa bumi) atau

bencana alam yang lain.

5. Konstruksi Perjanjian Reasuransi

Asas-asas utama yang harus dikandung oleh setiap perjanjian reasuransi

adalah sebagai berikut:

1) Asas ganti kerugian

a. Semua perjanjian reasuransi merupakan perjanjian ganti kerugian.

Penanggung ulang mengadakan perjanjian untuk memberi ganti kerugian

kepada penanggung pertama secara langsung berdasarkan syarat-syarat yang

disepakati

b. Sesuai dengan asas ganti kerugian, penanggung pertama harus membuktikan

bahwa kerugian yang dideritanya adalah suatu kerugian yang termasuk

dalam ketentuan perjanjian reasuransi

c. Kemungkinan lain mengenai pelaksanaan ganti kerugian yang dapat timbul,

yaitu dengan menggunakan klausula khusus.

2) Asas kepentingan yang diasuransikan

a) Setiap perjanjian reasuransi harus didukung oleh kepentingan yang dapat

diasuransikan yang dengan jelas dapat dilihat dari polis yang bersangkutan,

yang dikeluarkan oleh penanggung pertama kepada pihak tertanggung.

47

Page 48: Dratf Buku Hukum Bisnis

Berdasarkan polis mana penanggung pertama dapat mereasuransikan resiko

yang ada padanya

b) Batas kepentingan yang dapat direasuransikan adalah terbatas sampai pada

tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh penanggung pertama sesuai

dengan polis, yaitu sampai jumlah yang diasuransikan atau sampai batas

ganti rugi dari resiko yang bersangkutan.

3) Asas itikad baik yang sempurna

a) Asas itikad baik yang setinggi-tingginya merupakan asas utama yang sama

pentingnya baik dalam perjanjian asuransi maupun perjanjian reasuransi.

Dalam perjanjian reasuransi penerapan asas ini harus dilaksanakan dengan

ketat, mengingat para pihak adalah ahli dalam bidangnya masing-masing.

Pelaksanaan asas ini sangat nyata pada reasuransi fakultatif karena masing-

masing resiko diserahkan sendiri-sendiri kepada penanggung ulang dengan

slip yang memberikan keterangan atas resiko yang bersangkutan dan retensi

dari penanggung pertama.

b) Guna menegakkan asas itikad baik yang setinggi-tingginya (terutama untuk

metode reasuransi, perjanjian/treaty) dimana penanggung ulang tidak

mempunyai peluang untuk mengetahui dengan baik atas semua risiko yang

ditanggungnya. Penanggung pertama dapat mengadakan konsultasi dengan

penanggung ulang terutama apabila terdapat tuntutan klaim yang luar biasa.

c) Apabila terdapat pelanggaran atas asas itikad baik yang setinggi-tingginya

oleh penanggung pertama, khusus untuk suatu risiko yang khusus,

penanggung ulang mempunyai hak untuk menolak melaksanakan

kewajibannya.

4) Subrogasi pada reasuransi

Pada perjanjian reasuransi berlaku juga asas subrogasi. Apabila terdapat

subrogasi pada perjanjian asuransi yang bersangkutan maka penanggung ulang

akan memperhitungkannya sedemikian rupa. Hal ini berarti, bahwa ganti rugi

yang seharusnya diterima oleh penanggung pertama, dikurangi dengan

subrogasi yang berasal dari perjanjian asuransi semula. Dengan demikian

48

Page 49: Dratf Buku Hukum Bisnis

penanggung pertama tidak akan menerima ganti kerugian, lebih besar dari nilai

finansial sesuai dengan tanggung jawabnya.

5) Permasalahan dalam hukum asuransi

Hal lain yang termasuk dalam ruang lingkup hukum asuransi biasanya

termasuk beberapa atau semua dari hal-hal berikut ini:32

a) Pengecualian karena kebijaksanaan umum, peristiwa dimana kontrak

asuransi tidak dapat ditandatangani karena semalam pelanggaran hukum

atau ketidaktepatan. Misalnya di beberapa negara tidak dimungkinkan

memperoleh asuransi terhadap kerugian atas alat-alat judi atau terhadap

kerugian atas inventaris suatu badan usaha yang beroperasi tanpa ijin yang

sah.

b) Pengecualian karena tindakan kesengajaan, doktrin bahwa peliputan

asuransi tidak diberikan terhadap kerugian yang secara sengaja disebabkan

oleh orang yang terasuransi. Contoh menyangkut kebakaran, bila orang

yang diasuransikan menyulut kebakaran atas bangunannya, dia tidak dapat

menuntut ganti rugi berdasar polis asuransinya.

c) Asuransi ganti rugi, dalam hal ini asuransi melindungi terasuransi terhadap

kewajiban hukum terhadap pihak ketiga, misalnya suatu badan usaha dapat

memperoleh asuransi ganti rugi untuk menjaga kemungkinan kerugian besar

dari gugatan hukum yang diajukan oleh seorang konsumen atas luka

badan/kerugian dari tempat atau produk badan usaha tersebut.

d) Prosedur mengajukan tuntutan pembayaran, kontrak asuransi biasanya

menegaskan secara rinci kewajiban dari yang terasuransi untuk

memberitahukan kerugian kepada perusahaan asuransi itu dengan segera,

membuktikan secara rinci jenis dan bear kerugian, menyerahkan

tuntutannya dalam kurun waktu yang sudah ditentukan. Setelah kerugian

terjadi dan memberikan kerjasama kepada perusahaan asuransi dalam

penyelidikan dan pembelaan terhadap tindakan yang dilakukan oleh pihak

ketiga.

32 John W. Head. Pengantar Umum Hukum Ekonomi Proyek. Elips dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997, hal.52

49

Page 50: Dratf Buku Hukum Bisnis

e) Pembelaan pihak asuransi, keadaan dimana perusahaan dapat secara hukum

menolak membayar ganti rugi yang dituntut oleh pihak yang diasuransikan.

Penolakan demikian ini dimungkinkan, misalnya bila pihak yang

diasuransikan menutup-nutupi atau memberi beberapa materi fakta yang

menyesatkan yang berhubungan dengan hak milik yang diasuransikan.

HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

Kontrak atau perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang

ada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan

adalah suatu hubungan hukum yang mengingat satu atau lebih subyek hukum

dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain. Perikatan yang lahir

karena undang-undang mencakup misalnya kewajiban seorang ayah untuk

menafkahi anak yang dilahirkan istrinya.

Syarat syahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam pasal 1320 KUH

Perdata terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian.

Syarat-syarat tersebut adalah:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Syarat pertama dan kedua di atas dinamakan syarat-syarat subyektif, apabila

satu dari kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian dapat

dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat-syarat

obyektif yaitu jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian

menjadi batal demi hukum.

Jika syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH

Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu

undang-undang. Ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH perdata menegaskan bahwa:

50

Page 51: Dratf Buku Hukum Bisnis

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya.

Berdasarkan ketentuan di atas maka ketentuan-ketentuan dalam buku III

KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada

para pihak (dalam menentukan isi, bentuk serta macam perjanjian) untuk

mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selalu tidak bertentangan dengan

perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, juga harus memenuhi

syarat sahnya perjanjian.

Ketentuan yang terdapat didalam hukum perjanjian merupakan kaidah

hukum mengatur artinya kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataannya dapat

dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau

aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri.

Michael Trebilcock, dalam bukunya The Limits of Freedom of Contract dan

The Value and Limits of Law and Economics in Richardson and Hadfield (ed),

the Second Wave of Law and Economics, mengidentifikasi empat fungsi hukum

kontrak dalam meningkatkan efisiensi ekonomi.33

a. Kemanfaatan substansi dan bukan pertukaran bersama hukum kontrak berisi

kemanfaatan yang akan diperoleh dari masing-masing pihak. Pihak-pihak

melakukan prestasi yang disepakati bersama.

Prestasi suatu pihak dikehendaki oleh pihak lainnya, sebagai suatu

kemanfaatan substansi kontrak harus dibuat sedemikian rupa sehingga pihak-

pihak memiliki itikad untuk melaksanakannya jika satu pihak tidak

melaksanakan kewajiban, maka akan ada kompensasi bagi pihak lainnya sesuai

dengan persyaratan khusus yang tercantum dalam kontrak. Pakar hukum dan

ekonomi menekankan bahwa persyaratan ini menyediakan perlindungan bagi

keuntungan pihak yang dirugikan dengan memberikan kemanfaatan. Hal lain

yang memiliki nilai bagi penegakan kontrak berupa reputasi baik yang secara

nyata menjadikan pihak-pihak untuk tunduk dan mentaati kontrak.

33 Peter Heffey, Principles Contract Law. Thomson Legal and Regulatory Limited, Sidney, 2002 hlm.16

51

Page 52: Dratf Buku Hukum Bisnis

b. Mengurangi biaya-biaya transaksi

Fungsi hukum kontrak berikutnya adalah mengurangi biaya-biaya transaksi.

Hukum kontrak mengurangi biaya-biaya transaksi dengan mempersiapkan

sejumlah persyaratan untuk menghindari kesalahan dalam suatu kontrak atau

default. Persyaratan tentang kelalaian adalah persyaratan yang secara umum

diberlakukan hampir dalam seluruh kontrak. Kecuali jika pihak-pihak telah

menyusun persyaratan tertentu untuk melakukan penghentian (termination)

atas suatu kontrak.

Aturan kelalaian untuk melindungi pihak-pihak itu dirumuskan dalam sebuah

rancangan untuk menghadapi kondisi yang tidak menentu dalam sebuah

kontrak. Dari sudut pendekatan ekonomi, memenuhi unsur kelalaian terhadap

persyaratan dari hukum kontrak memudahkan untuk melakukan penegakan atas

perilaku demikian. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, pihak-pihak

melakukan permufakatan atau jika tidak memungkinkan, persyaratan lalai

harus ditegakkan agar dapat bertindak secara efisien.

c. Kesenjangan dalam kontrak yang tidak sempurna

Fungsi ketiga dari hukum kontrak berhubungan erat dengan klausula-klausula

dalam mengisi berbagai kesenjangan di dalam kontrak yang belum sempurna.

Suatu kontrak dapat dibuktikan tidak sempurna dimana pihak-pihak gagal

untuk memprediksi hal-hal yang mempengaruhi tercapainya kontrak mereka.

Doktrin ini membebaskan pihak-pihak dari kewajibannya. Jika tujuan yang

hendak dicapai merupakan hal yang mustahil dapat dilakukan atau berbeda dari

apa yang mereka harapkan.

d. Alternatif bagi pembebasan kewajiban dalam situasi tertentu

Fungsi keempat adalah didalam menyediakan alternatif untuk suatu

pembebasan terhadap pelaksanaan kewajiban terutama bila dikaitkan dengan

kegagalan pasar. Hukum kontrak dirasakan begitu menakut-nakuti pertukaran

yang tidak efisien dikarenakan kegagalan pasar seperti banyak terjadi pihak-

pihak yang terlibat dalam suatu kontrak dalam melakukan pemenuhan

kewajiban tidak berdasarkan kehendak melainkan terdapat suatu tekanan

tertentu.

52

Page 53: Dratf Buku Hukum Bisnis

Asas-asas Hukum dalam Perjanjian (Kontrak)

Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang

konkrit atau pasal-pasal, akan tetapi tidak jarang pula asas hukum dituangkan

dalam peraturan konkrit. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat

umum dalam kaidah atau peraturan yang konkrit. Ini berarti menunjuk kepada

kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang konkrit itu.

Hukum perjanjian tidak terlepas dari paham individualisme seperti yang

dijumpai dalam BW (lama) tahun 1838 BW (baru) tahun 1992, maupun didalam

kitab undang-undang Hukum Perdata, sebagai ciri-ciri khas hukum perjanjian atau

kontrak.34

Sejumlah prinsip atau asas hukum merupakan dasar bagi hukum kontrak.

Dari sejumlah prinsip hukum tersebut perhatian dicurahkan pada tiga prinsip

utama atau asas utama, prinsip-prinsip tersebut memberikan sebuah gambaran

mengenai latar belakang cara berpikir yang menjadi dasar hukum kontrak. Satu

dan lain karena sifat fundamental hal-hal tersebut maka prinsip-prinsip utama itu

dikatakan pula sebagai prinsip-prinsip dasar35 sebagai prinsip-prinsip hukum

kontrak, Niewenhuis menyebutkan: asas otonomi asas kepercayaan dan asal kausa

(Drie begin seleh van het contracten vecht).

Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum kontrak

adalah: prinsip atau asas konsensualitas dimana persetujuan-persetujuan dapat

terjadi karena persesuaian kehendak (konsensus) para pihak. Pada umumnya

persetujuan-persetujuan itu dapat dibuat secara bebas bentuk dan dibuat tidak

secara formal melainkan konsensual36 (prinsip ini ditentukan dalam hukum

kanonik yaitu dekrit-dekrit Paus Gregorius IX berbunyi “pacta nuda servanda

sunt” (semua persetujuan betapapun ini tidak berwujud harus dipenuhi).

Prinsip atau asas kekuatan mengikat persetujuan menegaskan bahwa para

pihak harus memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain

34 J.H.M Vanerp. Contracts als Rechts betrekking, Een Rechtvergelijkende Studie, Diss KUB, Zwolle, 1990 hlm.2

35 Herlien Budiono, Het Evenwicht beginsel Voor Het Indonesisch Contractenrecht, Diss Leiden, 2001, hlm.64

36 R. Freestra dan Ahsman, Contract Aspecten van Begrippen Contract en Contracturiy heid in Historisch Perpectief, Tweededruk, Deventer 1988, hlm.40.

53

Page 54: Dratf Buku Hukum Bisnis

dalam persetujuan yang mereka adakan dan yang terakhir adalah prinsip

kebebasan berkontrak, dimana para pihak diperkenankan membuat suatu

persetujuan sesuai dengan pilihan bebas masing-masing dan setiap orang

mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapa saja yang

dikehendakinya. Selain itu para pihak dapat menentukan sendiri isi maupun

persyaratan-persyaratan suatu persetujuan dengan pembatasan bahwa persetujuan

tersebut tidak boleh bertentangan dengan sebuah ketentuan undang-undang yang

bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan.37

Adapun konsensualitas menyangkut terjadinya sebuah persetujuan. Prinsip

mengikat menyangkut akibat persetujuan, sedangkan prinsip kebebasan

berkontrak terutama berurusan dengan isi persetujuan. Kendatipun diantara ketiga

prinsip yang disebut di atas dapat dan harus dibedakan dengan tegas satu dengan

yang lain maka untuk memperoleh pengertian yang benar prinsip itu justru harus

dibahas secara bersama-sama satu dan lain karena ketiga-tiganya berhubungan

erat satu dengan yang lain.

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pendahuluan

Gidelines for Consumer Protection of 1985 yang dikeluarkan oleh

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan bahwa konsumen dimanapun

mereka berada dari segala bangsa mempunyai hak-hak dasar sosialnya. Yang

dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang

jelas, benar dan jujur, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan

lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan dan

hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya

untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut dinegaranya masing-masing.

Pembahasan mengenai hukum perlindungan konsumen (consumer

protection) berarti kita berbicara tentang salah satu sisi dari korelasi antara

37 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Hlm.74

54

Page 55: Dratf Buku Hukum Bisnis

lapangan perekonomian dan lapangan etika. Dalam hal ini sektor yuridis akan

memainkan peranan yang penting yakni merupakan faktor penjamin agar arus

transformasi etika ke dalam batang tubuh perekonomian tetap dapat terpelihara.

Dengan lahirnya undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen, maka diharapkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia yang

selama ini dianggap kurang diperhatikan, bisa lebih diperhatikan.

Secara umum dan mendasar hubungan antara produsen dan konsumen

(perusahaan penghasil barang atau jasa) dengan konsumen (pemakai akhir dari

barang dan atau jasa untuk diri sendiri atau keluarganya) merupakan hubungan

yang terus menerus dan kesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena

keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan

yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.38

Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat masal tersebut

hubungan antara pihak secara individual/personal dapat menciptakan hubungan-

hubungan hukum yang spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat

bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain:

1. Kondisi harga dari suatu jenis komoditi tertentu

2. Penawaran dan syarat perjanjian

3. Fasilitas yang ada sebelum dan purna jual

4. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu

Keadaan-keadaan seperti tersebut di atas dapat menimbulkan dan

mempengaruhi suatu perjanjian antara produsen dengan konsumen di dalam

prakteknya seringkali terjadi perjanjian tersebut melemahkan posisi konsumen

karena secara sepihak para produsen/distributor sudah menyiapkan suatu kondisi

dengan adanya perjanjian baku yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan

oleh produsen atau jaringan distributornya.

Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen tidak

dapat diberikan oleh satu aspek hukum saya, melainkan oleh suatu sistem

perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang simultan dan

38 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi Mandar Maju. Bandung. 2000, hal.80

55

Page 56: Dratf Buku Hukum Bisnis

komprehensif sehingga terjadi persaingan yang jujur baik secara langsung atau

tidak langsung akan menguntungkan konsumen. Apabila memperhatikan sudut

pandang konsumen ada beberapa hal yang diinginkan ole konsumen pada saat

hendak membeli suatu produk diantaranya.

1) Diperolehnya informasi yang jelas mengenai produk yang akan dibeli

2) Keyakinan bahwa produk yang dibeli tidak berbahaya baik bagi kesehatan

maupun keamanan jiwanya

3) Produk yang dibeli cocok sesuai dengan keinginannya, baik dari segi kualitas,

ukuran, harga dan sebagainya

4) Konsumen mengetahui cara penggunaannya

5) Jaminan bahwa produk yang dibelinya dapat berguna dan berfungsi dengan

baik

6) Jaminan bahwa apabila barang yang dibeli tidak sesuai atau tidak dapat

digunakan maka konsumen memperoleh penggantian baik berupa produk

maupun uang

Kenyataan yang terjadi adalah seringkali konsumen tidak memperoleh apa

yang diharapkan secara maksimal akibatnya konsumen dirugikan. Untuk itu telah

banyak ketentuan yang dibuat baik yang sifatnya nasional maupun internasional

yang dapat dipakai sebagai pedoman guna memberikan perlindungan bagi

kepentingan konsumen.

Dalam UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dalam pasal 4

telah mengatur hak-hak konsumen yang meliputi:

1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa

2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan

3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan

56

Page 57: Dratf Buku Hukum Bisnis

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif

8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Ketentuan ini dipahami sebagai penegasan bahwa undang-undang

perlindungan konsumen (UUPK) merupakan ketentuan khusus (lex specialis)

terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum

undang-undang perlindungan konsumen (UUPK). Sesuai asas Lexspecialis

derogate legi generali artinya ketentuan-ketentuan diluar undang-undang

perlindungan konsumen (UUPK) tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara

khusus dalam undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) dan/atau tidak

bertentangan dengan undang-undang perlindungan konsumen (UUPK).

Undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) mengelompokkan norma-

norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu:

1) Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (bab IV undang-undang

perlindungan konsumen (UUPK)

2) Ketentuan pencatuman klausula baku (bab V UUPK)

Secara umum pengelompokan ini belum menggambarkan mata rantai

hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, dari mulai kegiatan proses

produksi barang dan jasa sampai ke tangan konsumen, baik melalui transaksi atau

peralihan lainnya yang dibenarkan hukum. Namun bila pasal undang-undang

perlindungan konsumen (UUPK) itu ditelusuri deskripsi mata rantai itu sudah

ditampilkan. Norma-norma itu disebut sebagai kegiatan-kegiatan pelaku usaha

dan secara keseluruhan sebaiknya dikelompokkan sebagai berikut:

1) Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (pasal 8 ayat (1),

ayat (2) dan ayat (3) undang-undang perlindungan konsumen (UUPK)

57

Page 58: Dratf Buku Hukum Bisnis

2) Kegiatan penawaran, promosi dan periklanan barang dan/atau jasa (pasal 9 ayat

(1) ayat (2) dan ayat (3), pasal 10, pasal 12, pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), pasal

15, pasal 16 serta pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang perlindungan

konsumen (UUPK)

3) Kegiatan transaksi penjualan barang dan/atau jasa (pasal 11, pasal 14 serta

pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) undang-undang perlindungan konsumen

(UUPK)

4) Kegiatan pascatransaksi penjualan barang dan/atau jasa (pasal 25 ayat (1) dan

ayat (2) undang-undang perlindungan konsumen (UUPK)

Diperoleh pemahaman yang utuh tentang norma-norma perlindungan

konsumen melalui pengelompokan ini. Disamping itu, juga memudahkan

inventarisasi kemungkinan pertentangan diametral dengan undang-undang lainnya

yang lebih dulu lahir atau bersamaan dengan undang-undang perlindungan

konsumen.

Perumusan norma-norma yang bersifat formal pun (hukum acara)

menimbulkan birokrasi baru bagi konsumen yang gagal menuntut keadilan lewat

badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK). Akibat pelaku usaha tidak secara

sukarela melaksanakan putusan BPSK, padahal tenggang waktu untuk

mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada pengadilan negeri telah

dilampaui atau pelaku usaha tidak mengajukan keberatan (pasal 56 UUPK).

Dalam keadaan ini BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada (pejabat penyidik

polri dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah

menurut pasal 56 ayat (5) UUPK ini, putusan itu merupakan bukti permulaan

yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

B. Instrumen Hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

(pasal 52 Undang-undang Perlindungan konsumen jo.SK Menperindag Nomor

350/MPP/Kep/12/2001tanggal 10 Desember 2001 tentang pelaksanaan tugas dan

wewenang Badan Penyelesaian sengketa konsumen yaitu:

58

Page 59: Dratf Buku Hukum Bisnis

1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara

konsiliasi, mediasi dan arbitrase.

2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen

3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku

4. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran undang-undang

perlindungan konsumen (UUPKI)

5. Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadinya

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen

6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen

7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen

8. Memanggil dan menghadirkan saksi, ahli dan/atau setiap orang yang diduga

mengetahui pelanggaran undang-undang perlindungan konsumen (UUPK)

9. Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli atau

setiap orang yang pada butir 7 dan 8 tidak bersedia memenuhi panggilan

BPSK

10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain

guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan

11. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen

12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen

13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang perlindungan konsumen (UUPK)

Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu:

1. Konsiliasi = ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sedangkan

majelis BPSK bersikap pasif majelis BPSK bertugas sebagai pemerantara

antara pihak yang bersengketa

2. Mediasi = bedanya dengan konsiliasi pada mediasi majelis BPSK bersikap

aktif sebagai pemerantara dan penasehat, pada dasarnya mediasi adalah suatu

proses dimana pihak ketiga (a third party), suatu pihak luar yang netral (a

59

Page 60: Dratf Buku Hukum Bisnis

neutral outsider) terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada

suatu penyelesaian sengketa yang disepakati.

3. Arbitrase = pada pihak menyerahkan sepenuhnya kepada majelis badan

penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) untuk memutuskan dan

menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Arbitrase merupakan suatu

metode penyelesaian sengketa dalam masalah-masalah perdata (civil matters)

yang dapat disetujui oleh kedua elah pihak yang dapat mengikat (binding) dan

dapat dilaksanakan/ditegaskan para pihak diwajibkan untuk pergi ke arbitrase

atas suatu masalah tertentu sebagai bagian dari suatu perjanjian tentang

prosedur penyelesaian sengketa (dispute resolution procedures) yang telah

disepakati para pihak terdahulu, sebelum para pihak terlibat dalam proses, hasil

keputusan arbitrase (the status of the outcome of arbitration) harus disetujui

para pihak tersebut.

Pengertian Hukum

Hukum dalam bahasa Belanda dinamakan “Recht dari bahasa latin

“Rectum” yang memiliki arti kebaikan, kebajikan, tidak tercela, bimbingan.

Selanjutnya kata latin lainnya tentang hukum adalah “ius” yang berarti hukum,

berasal dari kata “lubere” artinya mengatur, memerintah kata “ius” ini bertalian

erat dengan “iustitia” atau keadilan.

Beberapa pakar memberikan definisi tentang “Hukum” sebagai berikut:

1. Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam “Delegibus” mengatakan:

“Hukum adalah akal tertinggi (the highest reason) yang ditanamkan oleh alam

dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh

dilakukan.

2. Rudolf Von Jhering (Jerman) dalam Der Zweck im Recht – 1877 – 1882

mengatakan:

“Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa (compulsory rules) yang

berlaku dalam suatu negara).

3. Van Apeldoorn dalam “Inleiding tot de studie van het nederlandse recht

memberikan pengertian bahwa memberikan definisi hukum sebenarnya hanya

60

Page 61: Dratf Buku Hukum Bisnis

bersifat menyamaratakan saja, tergantung dari siapa yang memberikannya.

Menurut Van A Peldoorn, hukum terdiri dari: pertama, peraturan-peraturan,

kedua, obyek dari peraturan-peraturan adalah perhubungan hidup yang

menampakkan diri di dalam perbuatan atau kelakuan manusia, dan bukan soal-

soal pribadi atau soal batin dari obyeknya. Ketiga, peraturan hidup tersebut

tidak berlaku untuk hewan atau tumbuh-tumbuhan dengan demikian hukum

mengatur perhubungan antar manusia.

4. Paul Schotten dalam “Algemeen Dell” menjelaskan bahwa untuk mengerti

tentang hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham tentang kedudukan

manusia di dalam masyarakat dengan memperhitungkan keduanya secara

bersama-sama. Selanjutnya untuk memberi batasan tentang hukum harus

mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur perintah yang dimaksud dengan perintah adalah peraturan yang

berasal dari negara kepada individu dan masyarakat. Umumnya berlaku di

bidang publik dimana setiap pelanggaran memberikan kewenangan kepada

negara untuk mengambil tindakan

Unsur ijin yang dimaksud adalah ijin yang diberikan oleh negara kepada

setiap individu, agar setiap individu dapat melaksanakan tugas dengan

semestinya

Unsur suatu janji yang dimaksud dengan janji yang diucapkan oleh suatu

pihak terhadap pihak lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan

yang berlaku atau merupakan hukum atau undang-undang bagi pihak-pihak

yang berjanji. Hal ini dikenal dengan asas “pacta sunt servanda” artinya

setiap janji harus ditepati.

Unsur hukum yang disediakan yang dimaksud adalah peraturan undang-

undang yang telah dibuat oleh negara untuk dipergunakan kepada setiap

warganegara. Seandainya diantara perjanjian yang dibuat oleh para pihak

belum lengkap syarat-syaratnya.

5. Mochtar Kusumaatmaja dalam hukum, masyarakat dan pembinaan hukum

nasional mengatakan:

61

Page 62: Dratf Buku Hukum Bisnis

“Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu

sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan

manusia dalam masyarakat tapi harus pula mencakup lembaga (institutions)

dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam

kenyataan.

Bidang-bidang Hukum

Agar dapat memperoleh suatu pengertian yang lebih baik serta lebih mudah

menemukan dan menerapkan hukum maka perlu mencari sistem klasifikasi atau

bidangnya. Hukum dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan atau kategori

berdasarkan beberapa ukuran antara lain sebagai berikut:

a. Berdasarkan sumbernya hukum dapat dibagi 5: hukum undang-undang, hukum

adat/kebiasaan, hukum traktat, hukum yurisprudensi dan hukum ilmu (sesuai

dengan sumber hukum formil)

b. Berdasarkan bentuknya ada 2 yakni hukum tertulis adalah hukum yang

dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan hukum tidak

tertulis atas hukum kebiasaan ialah hukum yang masih hidup dalam keyakinan

masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti peraturan

perundang-undangan.

c. Berdasarkan waktu berlakunya dibedakan menjadi 2 yakni yus constitutum

(hukum positif) adalah hukum yang berlaku sekarang bagi masyarakat tertentu

dan suatu daerah tertentu dan yus constituendum adalah hukum yang dicita-

citakan atau hukum yang berlaku pada masa yang akan datang.

d. Berdasarkan cara mempertahankannya ada hukum materiil yaitu hukum yang

memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan-

hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan dan ada

hukum formil (hukum acara)

e. Berdasarkan tempat berlakunya maka ada hukum nasional (berlaku dalam satu

negara saja), hukum internasional dan hukum asing yakni hukum yang berlaku

dalam negara lain

f. Berdasarkan kekuasaan sanksinya ada hukum pemaksa dan hukum pelengkap

62

Page 63: Dratf Buku Hukum Bisnis

g. Berdasarkan penciptaan, maka ada hukum ciptaan Tuhan (seperti hukum

agama, hukum alam) dan hukum ciptaan manusia, misalnya: kitab undang-

undang hukum Pidana (KUHP), Kitab undang-undang Hukum Perdata

(KUHPdt) dll

h. Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi dalam hukum publik dan hukum

private.

Hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan

alat-alat atau perlengkapan negara atau hubungan antara negara dengan

warga negara

Hukum private (hukum sipil/civil law)

Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang

yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan atau

pribadi.

Fungsi Hukum

Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah mengintegrasikan

dan mengkoordinasikan kepentingan organisasi dalam masyarakat. Kepentingan-

kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain oleh hukum diintegrasikan.

Sedemikian rupa sehingga benturan-benturan ini dapat ditekan sekecil-kecilnya,

pengintegrasian kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi

kepentingan pihak lain (Satjipto Rahardjo, 1993:46).

Dalam masyarakat hukum, fungsi perencanaan dan penanggulangan itu

dilakukan dengan memanfaatkan hukum karena:

1) Hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dalam

mengatur hidupnya

2) Hakekat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu masyarakat terutama

untuk mengatur kehidupan masyarakat

3) Fungsi mengatur telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam

hukum, yang melampaui fungsi mengatur yaitu berfungsi juga sebagai pemberi

kepastian, pengamanan pelindung dan penyeimbang yang sifatnya tidak

sekedar adaptif dan fleksibel tetapi juga prediktif dan antisipatif.

63

Page 64: Dratf Buku Hukum Bisnis

4) Dalam isu pembangunan global, hukum dipercaya sebagai sarana perubahan

sosial atau sarana pembangunan. (Lili Rasjidi, 1993:16)

Potensi hukum terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum yaitu

fungsi preventif dan fungsi represif. Preventif adalah fungsi pencegahan yang

dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan (prevention regulation) yang

hakekatnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan

masyarakat. Represif adalah fungsi penanggulangan yang dituangkan dalam

bentuk penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang

diakibatkan oleh resiko tindakan yang telah ditetapkan dalam perencanaan.

Menurut E.A. Goebel, terdapat empat fungsi dasar dari hukum di dalam

masyarakat yaitu:

1) Menetapkan pola hubungan antara anggota-anggota masyarakat dengan cara

menunjukkan jenis-jenis tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana

yang dilarang

2) Menentukan alokasi wewenang merinci siapa yng boleh melakukan paksaan,

siapa yang harus mentaati, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan efektif

3) Menyelesaikan sengketa

4) Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi

kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan

esensial antara anggota-anggota masyarakat (Ronny Hanitiyo Soemitro,

1980:2)

Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, fungsi hukum adalah “sebagai sarana

untuk melakukan kontrol sosial (hukum sebagai proses untuk mempengaruhi

orang-orang bertingkah laku sesuai harapan masyarakat) dan sebagai sarana

pembangunan sosial (penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib

atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan

perubahan-perubahan yang diinginkan (Satjipto Rahardjo, 1983:19).

Penegakan Hukum

Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum menurut Soerjono

Soekamto adalah terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

64

Page 65: Dratf Buku Hukum Bisnis

terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap

tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Komariah,

1989:140).

Hukum pada prinsipnya memerlukan pengetahuan dan didukung masyarakat

yang pada gilirannya menimbulkan partisipasi masyarakat, terdapat empat

indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi

tahapan berikutnya yaitu:

1) Pengetahuan hukum

2) Pemahaman hukum

3) Sikap hukum

4) Pola perilaku hukum (Soerjono Soekanto, 1987:228)

Ajaran kesadaran hukum lebih menitikberatkan kepada nilai-nilai yang

berlaku dalam masyarakat. Sistem nilai akan menghasilkan patokan-patokan

untuk berproses yang bersifat psikologis antara lain pola-pola berpikir yang

menentukan sikap mental manusia, sikap yang pada hakekatnya merupakan

kecenderungan untuk bertingkah laku maupun kaidah-kaidah (Otje Salman,

1989:38).

Selanjutnya pola perilaku yang terbentuk akan mempengaruhi penegakan

hukum, karena masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada

faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya yaitu:

1) Hukumnya sendiri terutama undang-undang dalam arti materiil

2) Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang

menerapkan hukum

3) Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4) Masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku/ditetapkan

5) Kebudayaan sebagai hasil karya, cipta da rasa yang didasarkan pada karsa

manusia di dalam pergaulan hidup.

65

Page 66: Dratf Buku Hukum Bisnis

PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM KEPAILITAN

A. Hukum Kepailitan: Sang Pendekar Turun Gunung

Sungguhpun peraturan kepailitan sudah ada sejak jaman penjajahan

Belanda, yaitu S. 1905-217 juncto S. 1906-348, tetapi dalam praktek peraturan

tersebut hampir-hampir tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu

yang mencoba memakai peraturan tersebut. Dan, kalaupun peraturan tersebut

diterapkan, hanya terdapat kasus-kasus kecil saja. Kasus gugatan pailit terhadap

garantor dari PT. Bentoel dan kasus PT.Arafat tentu merupakan kekecualiannya.

Namun, dengan keluarnya Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian

disahkan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998, yang memperbaharui

peraturan kepailitan yang lama, maka serta merta dunia hukum diramaikan oleh

diskusi dan kasus-kasus kepailitan di pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga.

Apalagi salah satu keunggulan undang-undang tahun 1998 ini adalah prosedurnya

yang serba cepat. Bandingkan dengan prosedur dalam peraturan 1905 yang cukup

lama, seperti perkara pailit PT.Arafat yang putusannya baru jatuh setelah lebih

kurang 5 (lima) bulan kali ganti hakim pengawas. Memang cukup melelahkan.

Hal seperti itu tidak akan terjadi lagi terhadap kepailitan berdasarkan Undang-

undang 1998 tersebut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tersebut diperbaiki

dan diganti dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Sekarang banyak debitur (baik yang nakal ataupun yang jujur) yang mulai

was-was untuk dipailitkan. Dan sekarang sudah banyak kasus digelar di

pengadilan. Bahkan, banyak kreditur memakai kebangkrutan ini sebagai gertak

sambal terhadap debiturnya, dalam arti jika hutang tidak dibayar, debitur tersebut

segera dipailitkan. Lalu, biasanya debitur pun takut setengah mati.

Jadi, ternyata bahwa mission dari hukum kebangkrutan dari salah satu

upaya hukum yang biasa sebagai sarana penagihan hutang, ternyata telah berubah

menjadi monster yang seolah-olah siap mengisap darah debitur (yang nakal atau

yang jujur). Bahkan, banyak yang mengatakan bahwa ancaman membangkrutkan

seorang debitur jauh lebih ampuh dari debt collector sekalipun.

66

Page 67: Dratf Buku Hukum Bisnis

Demikianlah maka hukum kepailitan yang semula sangat jarang dipakai dan

sudah seperti disimpan dalam museum, dengan berlakunya Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1998 yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 37

Tahun 2004 kemudian menjadi sangat banyak dipakai dan merupakan

pemandangan sehari-hari di pengadilan niaga. Layaknya sang pendekar yang

sudah lama bertapa dan kemudian turun gunung untuk berjuang mengalahkan

ketidakadilan.

Akan tetapi, tentunya hukum kepailitan yang berlaku sekarang haruslah

memenuhi syarat-syarat hukum yang efektif, adil, efisien, cepat, pasti, modern dan

terekam dengan baik. Jika tidak demikian, hukum kepailitan ini benar-benar

menjadi drakula pengisap darah atau pembantai debitur di Indonesia ini.

Beberapa pertanyaan mendasar yang mesti diajukan untuk mengetes apakah

kita sudah mempunyai suatu hukum kebangkrutan (kepailitan) yang baik adalah

sebagai berikut: (Baird, Douglas G., 1985:30)

1. Seberapa jauh hukum pailit telah melindungi kepentingan debitur

2. Seberapa jauh hukum pailit telah melindungi kepentingan debitur

3. Seberapa jauh hukum pailit telah memperhatikan kepentingan masyarakat yang

lebih luas daripada hanya kepentingan debitur atau kreditur semata-mata

4. Seberapa jauh constraint dapat dieliminir dengan menerapkannya aturan-aturan

yang bersifat prosedural dan substantif

5. Seberapa jauh aturan kebangkrutan yang ada dapat mencapai tujuan-tujuannya

B. Sejarah Ringkas Hukum Kepailitan

Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam

hukumnya. Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada bahkan

sudah ada undang-undang khusus sejak tahun 1905 dengan diberlakukannya

S.1905-217 juncto S.1906-348. Malahan, dalam pergaulan sehari-hari, kata-kata

“bangkrut” sudah lama dikenal.

S. 1905-127 dan S.1906-348 tersebut kemudian diubah dengan Perpu

Nomor 1 tahun 1998, yang kemudian diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat

sehingga menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998. Perpu Nomor 1 tahun

67

Page 68: Dratf Buku Hukum Bisnis

1998 tersebut adalah tentang Perubahan atas Undang-undang (Peraturan) tentang

Kepailitan, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 37

Tahun 2004.

Jika kita menelusuri sejarah hukum tentang kepailitan ini, hukum tentang

kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi (Baird, Douglas G.,

1985:21). Jika kita menelusuri lebih lanjut, sebenarnya kata bangkrut, dalam

bahasa Inggris disebut dengan bankrupt berasal dari undang-undang di Itali yang

disebut dengan banca rupta. Sementara itu, pada abad pertengahan di Eropa pada

praktek kebangkrutan dimana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari pada

bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa

harta para kreditur. Atau seperti keadaan di Venetia (Italy) waktu itu, dimana para

pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak

mampu lagi membayar hutang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-

benar telah patah atau hancur (Abdurrachman, A. 1991:89).

Bagi negara-negara dengan tradisi hukum Common Law, dimana hukumnya

berasal dari Inggris Raya, maka tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena

dalam tahun 1952 tersebut, hukum pailit dari tradisi hukum Romawi diadopsi ke

negeri Inggris dengan diundangkannya oleh parlemen di masa kekaisaran Raja

Henry VIII sebuah undang-undang yang disebut dengan Act Against Such Persons

As Do Make Bankrupt. Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai

hukuman bagi debitur nakal yang ngemplang untuk membayar hutang sambil

menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi

kelompok kreditur yang tidak dimiliki oleh kreditur secara individual.

Peraturan pada masa-masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris banyak

yang mengatur tentang larangan pengalihan properti tidak dengan itikad baik

(fraudulent conveyance statute) atau apa yang sekarang populer dengan action

pauliana. Di samping itu, dalam undang-undang lama di Inggris tersebut juga

diatur, antara lain tentang hal-hal sebagai berikut:

1. Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to parts

unknown)

68

Page 69: Dratf Buku Hukum Bisnis

2. Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah (keeping

house) karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh

hukum jika dia berada dalam rumahnya berdasarkan asas man’s home is his

castle

3. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di tempat-

tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut dengan istilah

sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam

hukum modern.

4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk menjalankan

sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan

oleh temannya sendiri. Biasanya untuk maksud ini terlebih dahulu dilakukan

rekayasa tagihan dari temannya untuk mencegah para krediturnya mengambil

aset-aset tersebut.

Sementara itu, sejarah hukum pailit di Amerika Serikat dimulai dengan

perdebatan konstitusional yang menginginkan Kongres memiliki kekuasaan untuk

membentuk suatu aturan yang uniform tentang kebangkrutan. Hal ini sudah

diperdebatkan sejak diadakannya Constituional Convention di Philadelphia dalam

tahun 1787. Dalam The Federalist Papers, seorang founding father dari negara

Amerika Serikat, yaitu James Madison mendiskusikan tentang apa yang disebut

dengan Bankruptcy Clause sebagai berikut:

Kewenangan untuk menciptakan sebuah aturan yang uniform mengenai

kebangkrutan adalah sangat erat hubungannya dengan aturan mengenai

perekonomian (commerce), dan akan mampu mencegah terjadinya begitu

banyak penipuan, dimana para pihak atau harta kekayaannya dapat

dibohongi atau dipindahkan ke negara bagian yang lain secara tidak patut.

(Baird, Douglas G., 1985:24)

Kemudian, Kongres di Amerika Serikat mengundangkan Undang-undang

Pertama tentang Kebangkrutan dalam tahun 1800, yang isinya mirip-mirip dengan

Undang-undang Kebangkrutan di Inggris saat itu. Akan tetapi, selama abad ke-18,

di beberapa negara bagian di USA telah ada undang-undang negara bagian yang

69

Page 70: Dratf Buku Hukum Bisnis

bertujuan untuk melindungi debitur (dari hukuman penjara karena tidak bayar

hutang) yang disebut dengan Insolvensy Law.

Selanjutnya, Undang-undang Federal Amerika Serikat Tahun 1800 tersebut

diubah atau diganti, antara lain dalam Tahun 1841, 1867, 1878, 1898, 1938 (the

Chandler Act), 1867, 1898, 1978 dan 1984. Antara tahun 1841 sampai dengan

tahun 1867, tidak terdapat sama sekali undang-undang federal mengenai

kebangkrutan. Hal ini disebabkan undang-undang lama telah dicabut sementara

undang-undang pengganti baru terbentuk dalam tahun 1867 tersebut (Friedman,

Lawrence M, 1985:549).

Dalam undang-undang Kebangkrutan (Bankruptcy Code) di Amerika

Serikat yang ada sekarang, salah satu bagian yang terpenting dan sangat populer

adalah apa yang disebut dengan chapter 11, yang berjudul Reorganization,

sementara chapter 7 adalah tentang liquidation.

C. Pembaharuan Hukum Kepailitan

Pada tanggal 22 April 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia telah

dikeluarkan sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu

Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan. Perpu

Nomor 1 Tahun 1998 ini mulai berlaku setelah 120 (seratus dua puluh) hari sejak

tanggal 22 April 1998 tersebut. Perpu Kepailitan tersebut kemudian telah diterima

oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang dengan Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1998.

Perpu Kepailitan ini tidak menggantikan peraturan kepailitan yang lama,

yaitu Failissement Verordening yang tertuang dalam S.1905-217 juncto S.1906-

348. Akan tetapi, Perpu Kepailitan tersebut hanya “mengubah” dan “menambah”

Failissement Verordening yang bersangkutan. Karena secara yuridis formal,

peraturan kepailitan yang lama tersebut masih tetap berlaku. Hanya saja, karena

pasal-pasal diubah (termasuk diganti) dan ditambah tersebut sedemikian

banyaknya, maka sungguhpun secara formal Perpu Kepailitan hanya “mengubah”

peraturan yang lama, tetapi secara materiil, Perpu Kepailitan tersebut telah

“mengganti” peraturan yang lama tersebut.

70

Page 71: Dratf Buku Hukum Bisnis

Setiap debitur, baik badan hukum atau perorangan dapat dipailitkan asalkan

memenuhi syarat-syarat dalam Peraturan Perundangan tentang kepailitan tersebut.

Sementara prosedur perkara permohonan kepailitan tersebut diatur secara khusus

dalam Undang-undang Kepailitan yang sangat berbeda dengan prosedur perkara

biasa.

Akan tetapi, pada prinsipnya prosedur hukum acara perdata biasa (HIR atau

RBG) tetap berlaku untuk perkara permohonan sepanjang tidak diatur secara

khusus dalam Undang-undang Kepailitan tersebut. Salah satu hal yang baru dalam

Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang kepailitan tersebut adalah

diperkenalkannya asas hukum yang disebut dengan Verplichte Procureur Stelling.

Yakni adanya kewajiban bahwa setiap permohonan kepailitan harus diajukan oleh

penasehat hukum, dalam hal ini penasehat hukum yang mempunyai ijin praktek

(pasal 5 undang-undang kepailitan). Sementara untuk permohonan penundaan

kewajiban pembayaran hutang harus ditandatangani oleh penasehat hukum (yang

juga mempunyai ijin praktek) bersama-sama dengan debitur (pasal 213 Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan). Sedangkan pasal 279

menyebutkan bahwa permohonan-permohonan tertentu dalam proses penundaan

kewajiban pembayaran hutang harus ditandatangani oleh penasehat hukum yang

mempunyai ijin praktek. Ketentuan tentang keharusan menggunakan jasa advokat

juga dipertahankan oleh undang-undang Nomor 37 tahun 2004.

Pokok-pokok penyempurnaan yang dilakukan oleh Perpu Kepailitan yang

disebutkan dalam penjelasan atas Undang-undang Kepailitan bagian umum adalah

sebagai berikut:

1. Syarat-syarat dan prosedur permintaan (permohonan) pernyataan pailit,

termasuk mengenai time frame yang lebih pasti

2. Tambahan pengaturan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh

pihak kreditur atas kekayaan debitur sebelum adanya putusan kepailitan

3. Peneguhan fungsi kurator dan dibukanya kemungkinan adanya kurator swasta

4. Pengesahan bahwa upaya hukum yang mungkin adalah kasasi (tanpa banding)

serta tata caranya yang lebih jelas

71

Page 72: Dratf Buku Hukum Bisnis

5. Adanya mekanisme “stay” yang merupakan penangguhan pelaksanaan hak

kreditur preferens dan pengaturan status hukum tentang perikatan yang telah

dibuat sebelum putusan pernyataan pailit

6. Penyempurnaan ketentuan mengenai tundaan pembayaran

7. Pembentukan pengadilan khusus yang disebut dengan pengadilan niaga

D. Pengertian dan Syarat-syarat Kepailitan

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kepailitan itu? Arti yang orisinal

dari bangkrut atau pailit adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau

melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabuhi pihak keduanya.

(Black, Henry Campbell, 1968:186).

Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa

yang dimaksudkan dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah seseorang yang

oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau

warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya.

(Abdurrachman, A. 1991:89).

Namun demikian, umumnya orang sering menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh

harta debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atau

agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para kreditur.

Dari ketentuan dalam pasal 2 undang-undang Nomor 37 Tahun 2004

(selanjutnya disebut undang-undang kepailitan) dapat ditarik kesimpulan bahwa

syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai

berikut:

1. Adanya hutang

2. Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo

3. Minimal satu dari hutang dapat ditagih

4. Adanya debitur

5. Adanya kreditur

6. Kreditur lebih dari satu

72

Page 73: Dratf Buku Hukum Bisnis

7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan

“Pengadilan Niaga”

8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu:

a. Pihak debitur

b. Satu atau lebih kreditur

c. Jaksa untuk kepentingan umum

d. Bank Indonesia jika debiturnya bank

e. Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan

penjaminan dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian

f. Menteri keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana

pensiun dan BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik

9. Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-undang

Kepailitan

10. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim “menyatakan pailit”, bukan “dapat

menyatakan pailit”. Sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan

ruang untuk memberikan “judgement” yang harus seperti pada kasus-kasus

lainnya, sungguhpun limited defence masih dibenarkan, mengingat yang

berlaku pada prosedur pembuktian yang sumir (vide pasal 8 ayat (4) Undang-

undang Kepailitan.

Catatan:

Lain halnya dengan keputusan Pengadilan Niaga mengenai penundaan

pembayaran hutang yang harus secara otomatis (tanpa defence) dikabulkan

oleh hakim (Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) undang-undang kepailitan).

Tentunya jika seluruh persyaratan administrasi pengajuan permohonan sudah

semua dipenuhi.

Contoh hipotesis tentang kewenangan jaksa yang mempailitkan seorang debitur

untuk kepentingan umum misalnya ada penipuan di bidang bisnis dan seseorang

yang telah banyak jatuh korban secara finansial, maka dalam hal ini jaksa dapat

bertindak mempailitkan si penipu tersebut untuk kemudian mengembalikan uang

hasil tipuannya kepada kreditur-krediturnya dalam hal ini orang-orang yang telah

ditipunya.

73

Page 74: Dratf Buku Hukum Bisnis

E. Dasar Hukum Kepailitan

Yang merupakan dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan

2. KUH Perdata misalnya pasal 1139, pasal 1149, pasal 1134 dan lain-lain

3. KUH Pidana, misalnya pasal 296, pasal 397, pasal 398, pasal 399, pasal 400,

pasal 520 dan lain-lain

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, misalnya

pasal 79 ayat (3), pasal 96, pasal 85 ayat (1) dan ayat (2), pasal 3 ayat (2) huruf

b, huruf c, dan huruf d, pasal 90 ayat (2) dan ayat (3), pasal 98 ayat (1) dan

lain-lain

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

6. Undang-undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

7. Perundang-undangan di bidang Pasar Modal, Perbankan, BUMN dan lain-lain

74