Analisis Budaya Partriarki Pada Film “BETH” Karya
Aria Kusumadewa
Yohanes Babtista Bima P.P
085235354807
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
ABSTRAK
Film Beth merupakan film indonesia karya Aria Kusumadewa. Film ini
bercerita tentang pertemuan antara Beth dengan Pesta yang harus dipisahkan
secara paksa oleh ayah Beth yang tak lain adalah Jendral Kusumadewa.
Perpisahan tersebut mengakibatkan tekanan batin yang membuat Beth dan Pesta
mengalami gangguan kejiwaan. Dalam film ini tak lepas dari unsur patriarki yang
berlaku sama di masyarakat. Penelitian ini menggunakan analisis tradisional untuk
melihat bagaimana citra perempuan didalam budaya patriarki yang terdapat dalam
film Beth karya Aria Kusumadewa ini. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
film Beth menunjukan adanya budaya patriarki yang tergambarkan melalui
dominasi Jenderal Kusumadewa terhadap perempuan. Laki-laki tergambar sebagai
yang berpengaruh dan berkuasa, sedangkan perempuan tergambar sebagai kaum
yang lemah tanpa perlawanan.
Kata kunci : Beth, Film, Patriarki
ABSTRACT
BETH film is an Indonesian film the work of Aria Kusumadewa. This film tells
the story of a upcoming meeting between Beth and Pesta that must be separated
force by Beth’s father who was Jenderal Kusumadewa. Farewell resulted in
preassure and make Beth and Pesta had psychiatric disorder. In this film cannot be
dissociated from the patriarchal elements who apply in the community. The study
uses traditional analysis to see how the image of women in the patriarchal culture
contained in the film BETH by Aria Kusumadewa. The results of this study
indicate that the BETH film show the existence of a patriarchal culture which is
portrayed through Jenderal Kusumadewa domination against woman. Men is
described as who have influential and power, while the women described as a
people who weak without resistance.
Key word : BETH, Film, Patriarchy
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai film, bukanlah sekedar media yang merefleksikan
realitas sosial, justru sebenarnya film merekontruksi realitas yang ada berdasarkan
cara-cara tertentu. Dengan kata lain sebenarnya film mampu untuk menghadirkan
kembali realitas melalui kode-kode, mitos-mitos dan ideologi-ideologi tertentu.
Oleh sebab itu pembentukan pesan pada film berlangsung lewat visual, teknik
pengambilan gambar atau shot dan juga lewat pengaturan narasi.
Perkembangan certia film di Indonesia, Masih berkutat pada stereotipe
perempuan yang selama ini hidup dalam masyarakat. Penggambaran perempuan
dalam film telah mengalami distorsi dari budaya kapitalisme dan patriarki yang
membuat perempuan dicitrakan tidak lagi sesuai dengan kenyatan, tidak berperan
dan tidak berpendapat. Hal ini sesuai dengan penuturan Debra H. Yatim, yang
menyatakan jika fakta menunjukkan bahwa media massa dimiliki oleh elit laki
laki maka tidak heran apabila representasi perempuan mengalami distorsi (Yatim,
1998).
Hal diatas menjadi kenyataan ketika awal tahun 90-an trend film indonesia
bergeser menjadi tema drama erotis. Kebijaksanaan pemerintah untuk
meningkatkan produksi film nasional yang mengacu pada eksploitasi tubuh
perempuan sebagai pemikatnya. Hal ini dimulai tahun 1992, ketika Virgo Putra
Film membuat terobosan baru melalui film Gadis Metropolis yang bukan saja
menjadi film terlaris tetapi juga pelopor trend film drama erotis (Mulawarman,
1999).
Fenomena ini akhirnya menjadi satu karakteristik yang melekat pada
benak masyarakat bahwa perempuan memang sudah menjadi tempatnya jika harus
berada dibawah laki-laki. Perempuan selalu dianggap sebagai obyek atau alat
pelengkap dan yang paling menggetirkan adalah dianggap sebagai pemuas
kebutuhan laki laki. Ia harus bersikap layaknya perempuan pada umumnya. Tidak
hanya pandai mengerjakan pekerjaan rumah tetapi harus bersikap lemah lembut,
ramah tutur kata. Bagi mereka yang sudah menikah diwajibkan untuk
menghormati dan menjunjung tinggi keputusan suami karena suamilah kepala
keluarga.
Keadaan ini akhirnya membuat perempuan terkukung dalam norma,
peraturan atau etiket yang sadar atau tidak, mau tidak mau harus mereka patuhi
entah itu untuk kepentingan pribadi atau nama baik keluarga yang berpedoman
pada bibit, bebet, dan bobot. Beberapa hal ini menyebabkan perubahan tak
terelakkan lagi, salah satunya dalam masalah interaksi dan komunikasi.
Keberadaan budaya patriarki yang sudah tertanam sejak dalam keluarga, membuat
masyarakat sulit sekali menghindari hal tersebut dalam keseharian.
Fenomena patriarki banyak didokumentasikan kedalam berbagai media
termasuk media film. Media film dirasa sebagai media yhang paling lengkap dan
mudah diakses semua lapisan, untuk merefleksikan kembali cerita dalam
kehidupan dimasyarakat, dan untuk membantu pengkajian ini penulis
menggunakan satu materi film yang menarik yaitu BETH karya Aria
Kusumadewa.
Dalam film ini, Aria bercerita tentang sosok perempuan yang menurut
peribahasa jawa memiliki “bibit-bebet dan bobot” yang sangan memuaskan.
Terlahir dari keluarga berada yang terpelajar, membuat Beth harus selalu menjaga
martabat keluarganya. Film yang menunjukkan suasana keluarga jalam sekarang
yang pastinya lebih maju atau modern ini ternyata tidak mampu menghilangkan
kepatriarkiannya, yang walaupun diceritakan bahwa beth dan kelaurganya
berasalah dari kalangan berada yang pastinya jelas mengenyam pendidikan yang
layak, tapi agaknya hal ini tetap tidak dapat meyembunyikan ketimpangan gender
yang ada.
Kata patriarki sebenarnya merupakan perluasan dari kata patrilineal atau
yang biasa diartikan sebagai garis keturunan ayah atau garis keturunan kaum laki
laki. Selain patrilineal dikenal juga dengan kata lawannya yaitu matrilineal atau
garis keturunan ibu (Hidaya, 1997). Seiring dengan berjalannya waktu, makna
patrilineal atau sistem kekerabatan laki-laki, mulai menemukan tingkat
ekstrimnya, yaitu menjadi suatu dominasi kelelaki-lakian. Dominasi ini juga
dikenal dengan patriarki, yang kemudian berkembang menjadi sistem bahwa
struktur berdasarkan pola kehidupan masyarakat.
Berbicara tentang budaya patriarki tanpa menyinggung perempuannya
memang seperti ada yang terasa hilang, karena jika akan membahas tentang
dominasi laki-laki maka harus membahas kepada siapakah dominasi ini berimbas.
Sejak jaman raja-raja hingga sekarang definisi tentang siapa, apa dan bagaimana
perempuan itu selalu dirasa berat sebelah, karena cara pandang masyarakat akan
perempuan selalu ‘dinodai’ dengan pandangan patriarki. Oleh karena itu sangatlah
tidak mengherankan apabila citra seorang perempuan dalam masyarakat yang nilai
dan acuannya bercorak patriarkis akan melahurkan citra dan perpektif yang
patriarki juga. Hal ini merugikan perempuan karena pembentukan citra
perempuan oleh masyarakat patriarkis mengandung misi yang bertujuan
memposisikan laki-laki sebagai pemegang kuasa dan perempuan sebagai yang
dikuasai.
Fenomena menarik seperti diatas sebenarnya sudah banyak dibahas,
didiskusikan dan akhirnya didokumentasikan ke dalam berbagai macam bentuk
salah satunya dalam bentuk film. Film menurut Dennis McQuail merupakan salah
satu jenis media massa yang berfungsi sebagai penyebar hiburan serta menyajikan
cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis laiinya kepada masyarakat
umum (McQuail, 1994).
Wakil Dewan Film Nasional tahun 1990, Asrul Sani, mengungkapkan
bahwa popularitas film di Indonesia sama dengan popularitas Petai. Jika petai
dikenal dengan baunya yang busuk maka film dikenal karena keburukan-
keburukannya. Hal ini terjadi karena film sering mendapatkan dakwaan buruk,
mulai dari segi perusak moral masyarakat, racun bagi generasi muda, sampai pada
alat untuk memperbodoh masyarakat indonesia (Sani, 1990).
METODE PENELITIAN
Fokus penelitian ini menggunakan metode analisis isi untuk melihat
penggambaran citra perempuan didalam budaya patriarki pada film BETH.
Penelitian analisis isi berarti menggunakan penelitian yang bersifat obyektif,
sistematik dan kuantitatif. Metode ini juga seringkali terbukti mampu
menguraikan aspek-aspek yang tidak nampak. Dan juga memberi indentifikasi
secara sistematis dan obyektif tentang karakteristik-karakteristik khusus pada
sampel.
Penelitian ini menggunakan pendekatan analsisi tradisional. Analisis ini
bersifat obyektif dan hanya melihat hal hal yang tampak dipermukaannya saja.
Pendekatan ini tidak untuk melihat isi pesan lewat hal hal yang berkaitan dengan
makna dari tanda-tanda yang terbentuk dari pengalaman budaya manusia.
Sehingga penelitian analisis tradisional ini menitik beratkan pada angka angka
yang dihasilkan dalam proses pengkodingan.
Peneliti menggunakan narasi atau script yang terdapat di film untuk
membantu dalam menganalisis. Narasi menjadi materi yang digunakan untuk
melihat bagaimana budaya partiarki yang tergambarkan didalam film BETH karya
Aria Kusumadewa yang diproduksi pada tahun 2002.
HASIL DAN PEMBAHASAN
BETH merupakan film Indonesia karya Aria Kusumadewa yang dirilis
pada tahun 2002. Film ini bercerita tentang dua anak manusia yang bernama Beth
(Ine Febriyanti) dan Pesta (Bucek Depp). Berbeda dengan Pesta yang hanya
seorang berandalan, Elizabeth adalah anak dari seorang Jendral Kusumadewa (El
Manik) ternama dan taat dalam beragama.
Singkat cerita Pertemuan antara Beth dengan Pesta terjadi ketika ia
melihat seseorang yang sedang sakaw dipinggir jalan yang ternyata adalah Pesta.
Beth berusaha untuk menolong pemuda malang itu, akan tetapi tanpa disengaja
Beth mulai jatuh cinta terhadap pesta yang tak lain hanya seorang berandalan.
Melihat kondisi tersebut sudah jelas jika hubungan itu sudah pasti ditolak oleh
Ayahnya. Mengingat Kusumadewa merupakan Jendral ternama, sudah jelas ia
perlu menjaga nama dan martabatnya dengan baik. Pertentangan itu membuat
mereka nekat dan berujung kepada hamilnya Elizabeth. Jendral Kusumadewa
marah mendengar hal itu, dan memaksa dia untuk menggugurkan kandungannya.
Dengan kekuatan Jendral Kusumadewa ia memaksa membawa Beth ke
rumah sakit untuk menggugurkan kandungannya. Hal itu membuat Beth
mengalami guncangan yang berakibat pada mentalnya dan harus menjalani
perawatan intensif di rumah sakit jiwa. Disisi lain, Pesta yang secara paksa
dipisahkan dengan beth juga kembali terjerumus menjadi berandalan. Tekanan
batin yang dialami karena telah menganggap Beth sebagai cahaya hidup,
membuatnya mengalami gangguan kejiwaan dan harus pula untuk masuk ke
rumah sakit jiwa.
Akan tetapi jodoh memang tak kemana. Beth dan Pesta kembali bertemu
akan tetapi dengan latar yang berbeda dari sebelumnya. tekanan batin yang
mereka alami berakhibat pada hilangnya memori ingatan mereka. Pertemuan
pertama mereka ini dilewati tanpa adanya ingatan saling mengenal satu sama lain.
Akan tetapi cerita cinta yang telah mereka buat menyisakan kenangan hangat dan
rasa bersama mereka. Lewat penggalan kenangan itulah mereka berdua mencoba
untuk kembali berinteraksi dan berkomunikasi.
Selayaknya pasien yang tidak waras, Beth dan Pesta pun berinteraksi
dengan kegilaan mereka. Pada adegan yang menampilkan mereka sedang duduk
berdua tanpa mengucap kata dalam kurun waktu sekian menit menunjukan bahwa
sebenarnya terjadi suatu pengertian diantara mereka. Adegan adegan yang ada di
dalam film seolah menggiring kita pada suatu pemikiran bahwa sebenarnya antara
Elizabeth dan Pesta masih saling mencintai dan membutuhkan.
Jika kita melihat sedikit kebelakang, penyebab terjadi hal tragis itu tak lain
karena Ayah Beth yaitu Jendral Kusumadewa. Status yang ia pegang membuatnya
terlihat diatas dalam status sosial. Oleh karena itu Jendral Kusumadewa perlu
untuk menjaga nama baik dan martabat keluarga yang telah dianggap bersih
sebagai seorang jendral. Posisi itu membuatnya tidak terima jika anak semata
wayangnya harus menjalin hubungan dengan seorang berandalan yang
dianggapnya rendah. Penolakan itu terjadi akibat idelais Jendral Kusumadewa
yang melihat bahwa ia harus mendapatkan yang setara. Seorang bangsa Aria harus
juga mendapatkan pasangan dari bangsa Aria pula.
Budaya patriarki mulai terlihat dalam adegan adegan yang berlatarkan
rumah sakit. Keangkuhan Kusumadewa sebagai Jendral terlihat ketika ia berada
dirumah sakit jiwa ini. Keangkuhan dan dominasinya sebagai seorang laki laki
diperlihatkan terhadap Beth yang merupakan anaknya dan istrinya yang hanya
bisa pasrah. Saat di rumah sakit Beth memiliki perawat pribadi yang tak lain
adalah Sr. Reihan, yang sebenarnya juga memiliki tekanan batin akibat kondisi
keuangan keluarganya dan hanya Jendral Kusumadewa yang bisa membantunya.
Akhir cerita dari film ini cukup menyedihkan. Jendra Kusumadewa
mengetahui jika Pesta dirawat juga dalam rumah sakit yang sama dengan Beth. Itu
membuat ia membawa pergi Beth dari rumah sakit itu. Disisi lain Sr. Reihan yang
merupakan perawat Beth, ikut menjadi gila akibat tekanan batin yang beliau
rasakan sebelum merawat Beth. Nemun film ini sedikit berbeda dengan yang
lainnya dan membuat film ini bagus untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Seperti yang diungkapkan sebelumnya, dalam penelitian ini ingin melihat
bagaimana sebenarnya citra perempuan dalam budaya patriarki yang
tergambarkan melalui film Beth karya Aria Kusumadewa. Film Beth yang
berdurasi 80 menit ini pada dasarnya sarat akan makna. Setiap orang dapat
memiliki persepsi yang berbeda beda, tergantung dari sisi mana kita
menginginkannya. Dari banyaknya scence yang ada dalam film, penelitian kali ini
penulis hanya mengambil 10 scence yang menurut penulis telah mewakili budaya
patriarki. Sisanya lebih banyak menonjolkan protes sosial kepada masyarakat dan
lembaga pemerintah.
Sebelum menganalisa film Beth ada baiknya kita melihat terlebih dahulu
gambaran umum laki-laki dan perempuan yang ada atau yang melekat pada
masyarakat. Seperti yang diketahui bahwan dalam masyarakat kita, laki-laki
adalah makhluk yang nomor satu dan mampu untuk tampil di wilayah publik
sedangkan perempuan adalah sebaliknya. Laki laki dipandang lebih dari segi fisik
seperti kuat dan laki laki merupakan manusia yang sangan dihargai, berbeda
dengan perempuan yang merupakan manusia nomor dua yang tersingkir.
Perempuan selalu dianggap sebagai obyek atau alat pelengkap dan yang paling
tragis hanya dilihat sebagai pemuas kebutuhan laki-laki. Keadaan ini akhirnya
menyebabkan perempuan terkurung dalam norma, peraturan atau etiket yang
sadar atau tidak, mau tidak mau harus mereka patuhi entah itu kepentingan
pribadinya dalam mencari pasangan hidup ataupun demi nama baik keluarga yang
selalu berpedoman pada bibit, bebet dan bobot, karena itu perempuan kemudian
diukur apakah ia sudah menjadi perempuan yang ideal atau istri yang
didambakan.
Budaya patriarki dapat memiliki wujud yang beragam, tergantung
bagaimana seseorang memandang bentuk ketidakadilan yang dilakukan terhadap
perempuan. Budaya ini diartikan sebagai garis keturunan ayah atau garis
keturunan kaum laki laki. Partriarki mulai berkembang menjadi suatu dominasi
yang dilakukan oleh laki laki yang kebudian menjadi sistem bahkan struktur pola
kehidupan masyarakat.
Patriarki merupakan suatu sistem otoritas laki laki yang menindas
perempuan melalui institusi sosial, politik dan ekonomi. Patriarki mempunyai
kekuatan dari akses laki-laki yang lebih besar terhadap sumber daya yang ada dan
mendapat ganjaran dari struktur otoritas didalam dan diluar rumah (Humm, 2002).
Pada penelitian ini, dipilih 10 scene yang akan diteliti dengan melakukan
pengkodingan.
Gambar IV. 1
Jenderal Kusumadewa berteriak “anjing”!.
M.C.U
Jenderal Kusumadewa berteriak “anjing”!.
Jenderal kusumadewa tampak tidak sabar menunggu istri dan suster prbadi Beth (Sr, Reihan) membersihkan kamar. Jenderal Kusumadewa berjalan mondar-mandir di depan kamar Beth sambil sesekali mendelik ke arah Dokter Kepala.
V.O
Ibu Beth:
Jangan lupa semua dibersihkan, Sr. Reihan tahu sendiri kan debu di Jakarta seperti apa?!!
Sr. Reihan:
Baik, Bu.
Jenderal Kusumadewa:
Hey anjing… ayo pulang!!!
(Selesai berkata demikian, Ibu Beth dan Sr. Reihan menoleh terkejut. Dengan wajah sedíh Ibu Beth berdiri menarik rantai Eliza-si anjing, dan
melangkah pergi mengikuti suaminya)
Pada scene ini terlihat Jendral Kusumadewa berkata menunggu istri dan
perawat Beth yang sedang membersihkan kamar. Perempuan dalam adegan ini
diwakilkan oleh Ibu Beth dan Sr. Reihan. Perkataan Kusumadewa “Anjing, ayo
pulang!” menunjukan tanda bagi sang istri untuk segera mengikutinya pulang.
Adegan ini menunjukan betapa perempuan tidak berdaya, dengan perkataan
tersebut membuat Ibu Beth terlihat sangat patuh dan tidak tegas sehingga tidak
bisa berkata kata itu juga terjadi kepada Sr. Reihan yang tak kuasa untuk berkata
apa apa.
Dominasi sangat terlihat dalam scene ini. Terlihat bagaimana para kaum
perempuan tak berdaya di depan hadapan Jendral Kusumadewa. Adegan ini pula
mewakilkan penggambaran karakter perempuan yang dinilai lemah dan tabah.
Tabah berarti tetap dan kuat hati dalam menghadapi segala bahaya dan cobaan.
Penggambaran tentang patuhnya dan tak berdayanya perempuan memunculkan
tafsiran disisi lain yang menilai ternyata karakter perempuan yaitu tabah.
Gambar IV. 2
Jenderal Kusumadewa tiba d RSJ Manusia
Adegan ini memperlihatkan iring iringan kedatangan Jendral Kusumadewa
dan rombongan ketika sedang memasuki rumah sakit jiwa. Jendral Kusumadewa
berjalan seorang diri dimuka, sedangkan Isrti Kusumadewa berjalan dibelakang.
Tak seperti layaknya suami istri yang mungkin bisa berjalan beriringan atau
bergandengan tangan, tetapi terlihat bagaimana Kusumadewa mendominasi dan
berkuasa.
Perempuan pada adegan ini digambarkan lewat sosok Beth, Ibu Beth, dan
Sr. Reihan. Mereka memiliki sikap yang tidak berkuasa dan menjadi obyek
penderita tau yang dikenai kuasa oleh yang berkuasa. Terlihat pula perempuan ini
bersikap pasif yang berarti menerima saja atau nrimo dan tidak mau berusaha
lebih keras atau merasa cukup puas dengan keadaan yang ada.
Karakter Beth disini Merupakan perwujudan korbah dari dominasi laki-
laku atau patriarki. Ia menjadi gila karena tidak berkuasa untuk menentang
paksaan ayahnya yang tak lain adalah Jendral Kusuma dewa ketika diminta untuk
menggugurkan kandungannya. Ibu Beth dan Suster Reihan juga tergambarkan
sebagai sosok perempuan yang pasif tanpa bisa melawan keinginan laki-laki dan
hanya dapat menerima.
Gambar IV.3
Jenderal Kusumadewa tiba d RSJ Manusia
M.S.
Jenderal Kusumadewa tiba d RSJ Manusia
Beth diapit suster, Ayahnya berjalan seorang diri di muka diikuti istrinya yang selangkah di belakangnya. Di samping (agak kebelakang) sambil membungkuk-bungkuk penuh hormat, dokter kepala RSJ berjalan agak teresa-gesa mengiringi langkah Jenderal Kusumadewa.
V.O
Jenderal Kusumadewa:
Saya mau anak saya bebas dari gangguan orang-orang di sini (seraya melirik jijik ke arah pasien-pasien yang lain yang berseliweran di sepanjang koridor) Saya juga mau tempat ini diisolir, jangan sampai ada yang tahu anak saya di rawat di sini. Paham??!!!
V.O
Dokter Kepala RSJ:
Baik Tuan…. (sambil membungkuk hormat, nada suaranya menyimpan rasa gelisah.
Pada Film ini perempuan berperan pada wilayah domestik, dimana pada
masalah pembagian tugas diartikan sebagai yang bersifat atau segala hal mengenai
rumah tangga atau pekerjaan yang berada didalam rumah. Ibu Beth, Beth, dan
suster Reihan berjalan satu-dua langkah dibelakang Jendral Kusumadewa. Hal itu
seakan menandakan perempuan – perempuan ini memang sudah ditakdirkan untuk
berada dibawah laki laki dan berperan dilingkup yang lebih kecil.
Berbeda dengan penggambaran karakteristik laki-laki. Film ini
memperlihatkan laki laki memiliki sifat berpengaruh, artinya andil dalam
membentuk watak, kepercayaan, bahkan perbuatan seseorang. Kuat artinya tidak
mudah goyah serta laki laki digambarkan sebagai yang berkuasa. Karena memiliki
kuasa dan wewenang maka diasumsikan mereka dapat memerintah yang tidak
berkuasa. Hal ini menunjukan pembuktian bahwa baik dalam masyarakat maupun
penggambaran dalam film karakteristik laki-laki adalah sama, berpengaruh, kuat
dan berkuasa. Gambaran itu dapat dilihat melalui scence
Gambar IV. 4
Jenderal Kusumadewa tiba di RSJ Manusia
M.S.
Jenderal Kusumadewa tiba di RSJ Manusia
Jendral kusumadewa memberikan instruksi instruksi kepada doktor kepala RSJ
agar perawatan anaknya dirahasiakan.
V.O
Jenderal Kusumadewa:
Saya mau anak saya bebas dari gangguan orang-orang di sini (seraya melirik jijik ke arah pasien-pasien yang lain yang berseliweran di sepanjang koridor) Saya juga mau tempat ini diisolir, jangan sampai ada yang tahu anak saya di
rawat di sini. Paham??!!!
V.O
Dokter Kepala RSJ:
Baik Tuan…. (sambil membungkuk hormat, nada suaranya menyimpan rasa gelisah).
Pada scene diatas kita dapat meilhat sosok laki laki sejati yang
digambarkan lewat Jendral Kusumadewa. Ia digambarkan sebagai laki laki yang
berpengaruh, kuat dan berkuasa. Terlihat pada scene ini dan juga lewat dialog-
dialognya, dimana ssemua laki-laki yang cukup punya kuasa yaitu Dokter Kepala
RSJ pun tunduk kepada pengaruh yang dimiliki Jendral Kusumadewa.
Sepanjang film ini sosok atau karakter Jenderal Kusumadewa
digambarkan dengan sama rata, yaitu berpengaruh, kuat dan berkuasa. Dia cukup
berpengaruh dengan status yang disandangnnya yaitu Jenderal sehingga mampu
memerintah orang lain. Selain itu juga tergambarkan bagaimana Kusumadewa
tegas ketika memberikan instruksi-instruksi kepada dokter kepala RSJ.
Gambar IV. 5
Dokter Kepala Mencumbu Beth
M.C.U.
Dokter Kepala Mencumbu Beth
Pada waktu pemeriksaan, dokter Kepala berusaha untuk menggauli Beth, sementara Beth yang terganggu jiwanya hanya memandang lupus ke depan dengan tatapan kosong.
V.O
Dokter Kepala:
Sakit??.....sakit ya??
(Pada saat bersamaan Pesta masuk ke dalam ruang pemeriksaan, dokter Kepala tampak Sangat terkejut dan gusar lalu pergi keluar ruangan dengan
marah.
Gambar IV. 6
Dr. Karim sedang ‘memeriksa’ pasien perempuannya
M.S
Dr. Karim sedang ‘memeriksa’ pasien perempuannya
Salah satu colega dokter Kepala yang juga sama cabulnya sedang berada dalam kamar pemeriksaan yang ditutup gorden putih. Dia menunduk di atas pasiennya. Pada saat itu dokter Kepala menerobos masuk dan menghentikan ‘pemeriksaan’.
V.O
Cukup…cukup!! Sudah selesai pemeriksaannya.
(Pasien perempuan itu turun dari tempat tidur dan berjalan keluar dan terlihat dokter Kepala bersama dokter Karim bicara secara bisik-bisik sambil
menggerak-gerakkan tangan)
Scene diata menunjukan bahwa laki-laki mendominasi dalam hal berperan. Laki-laki berperan sebagai doktor yang berkuasa pada lingkup yang lebih besar dan dapat melakukan apa saja termasuk untuk mengambil keputusan. Sedangkan perempuan hanya berperan sebagai pasien yang lemah karena terganggu mentalnya.
Gambar IV. 7
Jenderal Kusumadewa menembak mati Eliza
M.S
Jenderal Kusumadewa menembak mati Eliza
Sementara di dalam kamar Sr. Reihandan Ibu Beth saling tangis menangisi, Jenderal Kusumadewa yang berada diluar kamar dan ikut mendengarkan pembicaraan mereka menjadi gusardan frustasi. Dengan berjalan mondar-mandir dan bertampang sangat murka, tiba-tiba dia mengambil senjata di pinggangnya dan menembak mati Eliza yang sedang makan berdua dengan Beth. (Catatan: Eliza adalah anjing Beth yang dianggap sebagai anaknya yang sudah meninggal karena digugurkan dengan paksa oleh Ayahnya).
V.O
Jenderal Kusumadewa:
”Hey, Anjing.... (suara pistol meletus!)
Scene diatas menggambarkan bagaimana seorang ayan dan laki-laki
bertindak sewenang-wenang kepada perempuan. Beth yang terganggu mentalnya
karena ia dipaksa oleh ayahnya sendiri untuk menggugurkan kandungannya,
dengan alasan menjatuhkan reputasi Jenderalnya. Dalam hal menggugurkan
kandungannya, Jenderal Kusumadewa telah bertindak sewenang-wenang dua kali,
pertama kepada Beth anaknya, dan kepada bayi yang ada didalam kandungan
Beth.
Gambar IV. 8
Sr. Reihan dan Ibu Beth menangis meratapi nasib
M.C.U
Sr. Reihan dan Ibu Beth menangis meratapi nasib
Pada kunjungan selanjutnya, tampaknya Sr. Reihan sudah tidak betah lagi merawat Beth, sambil menangis tersedu dia menceritakkan apa saja yang terjadi pada Beth selama ini. Ibu Beth yang mendengar cerita Sr. Reihan menjadi semakin sedih dan terluka karena putrinya kini sudah benar-benar gila.
V.O
Sr. Reihan:
”Huuu...saya tidak betah disini Bu, kemarin saya disuruh mengejar-ngejar kecoa. Lama-lama saya bisa gila disini Bu!” (sementara Ibu Beth hanya menangis
semakin kerasmendengar cerita Sr. Reihan).
Scene diatas menggambarkan bagaimana lemahnya para perempuan. Selain itu juga bagaimana konflik psikis yang dialami oleh perempuan, dalam hal ini Ibu Beth dan Suster Reihan yang sebenarnya sudah tidak sanggup lagi menghadapi semua ini. Mereka tidak bisa melawan kekuasaan Jenderal Kusumadewa, yang bisa mereka lakukan hanya menyimpan masalah di dalam hati dan menangis.
Gambar IV. 9
Beth dibawa pergi dari RSJ Manusia
L.S Beth dibawa pergi dari RSJ Manusia
Sebelum terjadi penembakan atasEliza, sebenarnya Jenderal Kusumadewa sedang marah besar karena Pesta, laki-laki berandalan yang menghamili Beth dirawat di RSJ yang sama. Itulah sebabnya ia memaksa Beth untuk pindah dari RSJ itu. Tampak Beth berjalan didampingi Ibunya, didepan seperti seperti biasa berjalan Jenderal Kusumadewa dengan gagah dan dibelakangnya berjalan para ajudan membawa tas milik Beth. Tidak tampak lagi Sr. Reihan dalam iringan tersebut, ternyata Sr. Reihan yang menjadi stress selama merawat Beth dinyatakan terganggu mentalnya dan diharuskan untuk dirawat di RSJ Manusia.
V.O
Suara langkah kaki rombongan Jenderal Kusumadewa dan suara teriakan serta ocehan para pasien RSJ Manusia
Scene di atas menunjukan gambaran perempuan yang patuh. Dalam film
ini Ibu Beth terlihat begitu patuh kepada suaminya yaitu Jenderal Kusumadewa,
ketika tiba di RSJ Manusia Ibu Beth dengan setia berjalan dibelakang sang suami.
Pada saat diteriaki “hey, anjing!” Ibu Beth juga langsung menurut pergi mengikuti
suaminya, yang terakhir adalah pada saat Beth dibawa pergi dari RSJ, kembali Ibu
Beth berjalan dengan setida di belakang suami. Hal ini membuktikan bahwa
perempuan yang diwakilkan lewat Ibu Beth pada dasarnya memiliki sifat malas
berdebat, jadi untuk mengurangi konflik mereka lebih memilikih untuk selalu
mengalah demi menyenangkan orang lain.
Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Jenderal Kusumadewa
kepada Beth dan Ibunya dalam film ini sebenarnya dapat dianggap sebagai
gangguan yang mempengaruhi pola kehidupan dan pola interaksi sesama baik
individu maupun berkelompok. Manusia sebagai mahkluk sosial membutuhkan
orang lain untuk berinteraksi dan berkembang melalui komunikasi. Komunikasi
maksudnya dalah penyampaian pesan yang dilakukan komunikator kepada
komunikan.
Jika dikaitkan dengan budaya patriarki yang sangat erat melekat pada
semua lapisan masyarakat. Penulis menarik kesimpulan bahwa patriarki yang
dianggap sebagai suatu kebudayaan akan sangat mempengaruhi suatu pola
komunikasi. Hal ini dibuktikan pada representasi citra perempuan. Pada
masyarakat citra yang terbentuk tentang sosok perempuan sudahlah miring dan
sulit untuk diluruskan. Ada ketimpangan antara kaum perempuan dan laki-laki.
Citra pada perempuan menjadi patokan untuk menilai karakter perempuan,
bahkan diadopsi kedalam semua media termasuk Film. Gambaran perempuan
dalam film BETH jelas dipengaruhi oleh citra yang melekat pada masyarakat,
mengingat film juga merupakan cerminan atas realitas.
Film karya Aria Kusumadewa ini ternyata tidak mampu menghilangkan
budaya kepatriarkiannya. Dibalik setting film ini yang lebih maju dan modern
serta ceritanya yang menunjukan bahwa Beth dan Keluarganya berasal dari
kalangan berada yang pastinya jelas mengenyam pendidikan yang layak, ternyata
tetap tidak dapat menyembunyikan ketimpangan gender yang ada.
Citra perempuan dalam film indonesia terlalu sering digambarkan sebagai
manusia yang kurang akal, lekas marah, mudah menangis, dan terlalu banyak
bicara. Kemunculan citra yang positif hanya digambarkan sebagai yang
bertanggung jawab dirumah dan sudah pada tempatnya kalau perempuan berada
dibawah laki laki. Pandangan seperti ini yang terjadi melalui nilai-nilai yang
dibentuk oleh masyarakat patriarki dan aturan yang diciptakan oleh negara. Hal
ini memberikan pandangan kepada kita bahwa gambaran perempuan sebagai
sosok yang lemah.
KESIMPULAN
Hasil dari penelitian ini, peneliti melihat adanya kekuasaan dan pengaruh
patriarki yang membelenggu perempuan. Budaya Patriarki yang diwakilkan lewat
laki-laki yang patriarkis memandang perempuan dengan sebelah mata dan itu juga
terjadi didalam film. Karena memang film menjadi refleksi atau cerminan atas
realitas yang ada. Citra perempuan terlihat sebagai kaum yang lemah, patuh, dan
tidak berkuasa. Berbeda dengan kaum laki-laki yang tergambarkan berpengaruh
dan berkuasa. Hal itu membuktikan bahwa pandangan tentang perempuan tidaklah
sebanding. Budaya patriarki masih memandang kehadiran perempuan masih
berada dibawah kaum laki laki.
Film yang berdurasi 80 menit ini bercerita tentang dominasi laki-laki
terhadap perempuan. Dominasi disini tergambarkan melalui bagaimana seorang
laki-laki memiliki kekuasaan dan berkuasa atas perempuan. Perempuan dalam
film Beth tercitra sebagai seseorang yang tidak memiliki kekuasaan dan tidak
sanggup untuk membantah ataupun melawan.
DAFTAR PUSTAKA
Hidaya, Z. (1997). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. LP3ES.
Humm, M. (2002). Ensiklopedi Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
McQuail, D. (1994). Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Jakarta:
Erlangga.
Mulawarman, K. (1999). Analisis Isi Tentang Sosok Perempuan dalam Film
Gadis Metropolis. Universitas Atma Jaya.
Sani, A. (1990). Perkembangan Film Indonesia dan Kualitas Penonton. Prisma.
Yatim, D. (1998). Media dan Perempuan, Siapa Bercermin Siapa. Jurnal
Perempuan, 6.