Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Terhadap Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan Galur Sprague-Dawley
Indra Prawira, Nova Anita, Setiorini
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa kayu secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap peningkatan volume urine tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley. Sebanyak 25 ekor tikus dibagi dalam 5 kelompok, terdiri atas kelompok kontrol negatif yang diberi akuabides (KKN), kelompok kontrol positif yang diberi larutan furosemide dosis 3,6 mg/kg bb (KKP), dan tiga kelompok eksperimen yang diberi infusa kayu secang dosis 250 mg/kg bb (KE1), 500 mg/kg bb (KE2), dan 1.000 mg/kg bb (KE3). Penelitian menggunakan metode Lipschitz yang telah dimodifikasi. Tikus dipuasakan selama 18 jam sebelum pemberian bahan uji, kemudian urine ditampung selama 6 jam menggunakan kandang metabolisme individual. Rerata volume total urine yang diperoleh adalah sebagai berikut: KKN (1,17+0,15) ml; KKP (2,67+0,19) ml; KE1 (2,07+0,30) ml; KE2 (2,71+0,34) ml; dan KE3 (2,21+0,12) ml. Hasil uji analisis variansi (ANAVA) 1 faktor (P < 0,05) menunjukkan terdapat pengaruh pemberian infusa kayu secang terhadap peningkatan volume urine tikus putih. Hasil uji beda nyata terkecil (LSD) (P < 0,05) menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara KE2 dengan KKP. Hal tersebut membuktikan infusa kayu secang dosis 500 mg/kg bb memberikan peningkatan volume urine tertinggi dengan aktivitas diuretik kuat sebesar 122,22%.
Kata kunci: Caesalpinia sappan L.; diuretik; furosemide; Rattus norvegicus L.; urine
Diuretic Activity Test of Sappanwood (Caesalpinia sappan L.) Infusion in Male Sprague-Dawley Albino Rats (Rattus norvegicus L.)
Abstract
A study has been conducted to determine the effect of sappanwood (Caesalpinia sappan L.) infusion with the increment of urine volume in male Sprague-Dawley albino rats (Rattus norvegicus L.). A total of 25 rats were divided into 5 groups, consisting of a negative control group treated with aquabidest (KKN), a positive control group treated with a solution of furosemide at dose of 3,6 mg/kg bw (KKP), and three experimental group treated with sappanwood infusion at dose of 250 mg/kg bw (KE1), 500 mg/kg bw (KE2), and 1.000 mg/kg bw (KE3). Diuretic activity was evaluated using modified Lipschitz method. The rats were fasted for 18 hours prior to administration of the test substance, then the urine collected for 6 hours using individual metabolic cages. The mean of total urine volumes obtained, are as follows: KKN (1,17+0,15) ml; KKP (2,67+0,19) ml; KE1 (2,07+0,30) ml; KE2 (2,71+0,34) ml; and KE3 (2,21+2,21) ml. The result of the 1-factor analysis of variance (ANOVA) (P < 0,05) showed that there was an effect of sappanwood infusion along with the increased volume of rats urine. The result of the least significant difference (LSD) test (P < 0,05) showed no significant differences between KE2 to the KKP. Thus, the sappanwood infusion at dose of 500 mg/kg bw provides the highest increase in urine volume with high diuretic activity amounted to 122,22%.
Keyword: Caesalpinia sappan L.; diuretic; furosemide; Rattus norvegicus L.; urine
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Pendahuluan
Diuretik merupakan suatu zat yang memengaruhi mekanisme reabsorpsi pada ginjal
sehingga terjadi peningkatan pengeluaran air dan garam melalui urine (Guyton & Hall 2006:
402). Melalui mekanisme tersebut, diuretik digunakan untuk mengobati gejala hipertensi dan
edema (Kee & Hayes 1996: 471). Suatu zat dikatakan memiliki efek diuretik apabila terdapat
peningkatan produksi urine (Suryawati & Santoso 1993: 167).
Penderita penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi, gagal jantung kongestif, dan
edema memiliki gejala berlebihnya volume dan tingginya tekanan pada cairan ekstraseluler
tubuhnya. Secara medis, gejala dan penyakit tersebut ditangani dengan pemberian obat
dengan aktivitas diuretik. Obat diuretik secara langsung menyebabkan peningkatan volume
urine, salah satunya dengan mencegah reabsorpsi ion Na+ pada lengkung Henle dan
mengakibatkan diteruskannya ion Na+ ke tubulus distal untuk dikeluarkan dari tubuh bersama
air (Fox 2003: 545, 549--551).
Obat diuretik yang umum digunakan untuk pengobatan berasal dari golongan diuretik
lengkung. Terdapat setidaknya delapan jenis obat yang termasuk dalam golongan tersebut,
salah satunya ialah furosemide (Dearing dkk. 2001: 891). Namun, penggunaan jangka
panjang dari obat-obatan tersebut dapat menyebabkan timbulnya beberapa efek samping.
Efek samping yang dapat ditimbulkan dari obat-obatan tersebut antara lain munculnya reaksi
alergi pada kulit, radang ginjal, serta ketidakseimbangan cairan ataupun elektrolit tubuh
(Brater 1998: 393).
Penggunaan tanaman obat, merupakan salah satu alternatif pengganti obat-obatan
diuretik sintetis. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa kelebihan yang dimiliki oleh
tanaman obat, antara lain efek samping yang relatif kecil dengan penggunan yang tepat, efek
komplementer dan sinergis pada komponen bioaktifnya, memiliki beberapa efek
farmakologis, dan lebih sesuai untuk digunakan pada penyakit metabolik dan degeneratif
(Katno 2007: 5).
Beberapa jenis tanaman Indonesia telah diteliti dan diketahui memiliki aktivitas
diuretik, yaitu daun duduk, Desmodium triquetrum (Syamsuhidayat & Hutapea 1991;
Suryawati & Santoso 1993); kacang polong, Pisum sativum (Syamsuhidayat & Hutapea 1991;
Duke 1998); buncis, Phaseolus vulgaris (Duke 1998; Syamsuhidayat & Hutapea 1994);
kacang hijau, Phaseolus radiatus (Syamsuhidayat & Hutapea 1994); sambiloto, Andrographis
paniculata (Sophia 2003); nanas, Ananas comosus (Magdalena 1998); bangkuang,
Pachyrrhizus erosus (Nur 2000); belimbing, Averrhoa carambola (Panjaitan 2000);
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
kangkung, Ipomoea aquatica (Mamun dkk. 2003); temulawak, Curcuma xanthorrhiza
(Mahmood dkk. 2004); daun kucing-kucingan, Acalypha indica (Das dkk. 2005); temu putih,
Curcuma zedoaria (Septarini 2007); dan temu mangga, Curcuma mangga (Riandisty 2007).
Tanaman lain yang dianggap memiliki aktivitas diuretik dalam pengobatan tradisional yaitu
secang, Caesalpinia sappan (Sireeratawong dkk. 2010: 55).
Secang, Caesalpinia sappan L., merupakan tanaman yang dikenal lama sebagai obat
tradisional masyarakat di Asia. Tanaman tersebut digunakan karena beberapa khasiat yang
dimilikinya, antara lain sebagai antiperadangan, antioksidan, antiaterosklerosis,
antihipoglikemia, dan antiaktivitas spasmolitik. Secang juga berkhasiat untuk memperlancar
peredaran darah (Wang dkk. 2011: 276). Pengobatan Ayurveda di India menggunakan kayu
secang sebagai obat untuk mengobati luka, sensasi bakar, penyakit kulit, diare, disentri,
epilepsi, pendarahan saat menstruasi, dan diabetes (Badami dkk. 2004: 76). Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk membuktikan manfaat secang sebagai tanaman obat, antara
lain sebagai obat pengencer dahak (Beak dkk. 2000), imunomodulator (Choi dkk. 1997), dan
hepatoprotektif (Moon dkk. 1992).
Di Indonesia, secang telah lama digunakan sebagai bahan untuk membuat minuman
tradisional, seperti jamu, wedang secang, dan bir pletok. Minuman tradisional tersebut
digunakan untuk meredam gejala masuk angin, batuk, pilek, penghangat tubuh, mengatasi
sariawan, kelelahan, reumatik, dan pelancar peredaran darah (Paramitasari 2006: 2). Di Jawa
Tengah, Sulawesi, dan Bali, secang digunakan sebagai sirup dan teh, yang dikenal dengan
“teh cang” (Sumantera 1998: 21). Secara tradisional, dosis secang yang biasa digunakan
sebagai minuman adalah 10 gram kayu secang per hari (5 gram untuk satu kali konsumsi dan
dikonsumsi dua kali per hari) (BPOM RI 2011: 45).
Uji fitokimia yang telah dilakukan Lemmens pada tahun 1992 menunjukkan bahwa
kayu secang mengandung pigmen, tanin, brazilin, asam tanat, resin, resorsin, brazilein,
sapanin, dan asam galat (Lemmens & Wulijarni-Soetjipto 1992: 61). Safitri (2002) juga telah
mendapati senyawa alkaloid, flavonoid, triterpen, brazilin, tanin, dan glikosida pada kayu
secang (Safitri 2002: 18). Penelitian yang dilakukan oleh Masitoh (2011) juga menunjukkan
kandungan senyawa alkaloid, glikosida, tanin, dan saponin pada daun secang serta senyawa
glikosida, tanin, saponin pada akar secang (Masitoh 2011: 36). Sementara itu, Dearing dkk.
(2001) mencatat bahwa kandungan senyawa terpen, fenolik, dan alkaloid pada tanaman
berpotensi menimbulkan efek diuretik (Dearing dkk. 2001: 894). Dengan demikian, kayu
secang yang memiliki kandungan terpen, fenolik, dan alkaloid, diperkirakan memiliki
aktivitas diuretik.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa kayu secang
(Caesalpinia sappan L.) secara oral dengan dosis 250; 500; dan 1.000 mg/kg berat badan
terhadap peningkatan volume urine tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-
Dawley. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah pemberian infusa kayu secang
(Caesalpinia sappan L.) secara oral dengan dosis 250; 500; dan 1.000 mg/kg berat badan
tikus putih berpengaruh terhadap peningkatan volume urine tikus putih (Rattus norvegicus L.)
jantan galur Sprague-Dawley, dengan aktivitas diuretik tertinggi pada dosis 500 mg/kg berat
badan tikus putih.
Tinjauan Teoritis
Secang (Caesalpinia sappan L.) mengandung bermacam-macam kandungan kimia,
seperti fenol, flavonoid, homoisoflavonoid, tanin, asam galat, alkaloid, steroid, triterpen, dan
glikosida (Listyaningdyah 2006: 9). Hingga saat ini, terdapat tiga belas senyawa fenol yang
telah berhasil diketahui dari secang, yaitu protosappanin A, sappanchalkon, sappanon B, 3’-
deoksi-4-O-metil episappanol, (+)-(8S,8’S)-bisdihidrosiringenin, brazilein, 3-deoksi
sappanchalkon, (+)-lioniresinol, 3-dekosi sappanon B, protosappanin B, isoprotosappanin B,
3’-O-metilbrazilin, dan brazilin (Fu dkk. 2008: 1924).
Brazilin merupakan senyawa aktif terbesar yang terdapat pada tanaman secang.
Senyawa tersebut merupakan salah satu senyawa fenol (Nirmal dkk. 2014: 196). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa brazilin memiliki aktivitas antibakteri (Lim dkk. 2007),
antioksidan (Hu dkk. 2008), antidiabetik (Pawar dkk. 2008), dan antiinflamasi (Ye dkk. 2006;
Shen dkk. 2007). Brazilin yang teroksidasi oleh udara dan sinar akan menjadi brazilein.
Brazilein akan memberikan warna merah gelap, warna khas dari ekstrak kayu secang (Lioe
dkk. 2012: 537).
Ginjal merupakan salah satu organ yang berperan dalam sistem ekskresi tubuh.
Bentuknya seperti kacang merah, berjumlah sepasang, dan terletak di belakang peritonium.
Ginjal kanan terletak lebih rendah dibandingkan ginjal kiri (Marieb & Hoehn 2013: 955).
Ginjal tikus memiliki rata-rata panjang 10 mm; lebar 6 mm; dan tebal 4 mm, dengan berat
0,8--1,4 g (Krinkle 2000: 390). Ginjal berperan menghasilkan urine yang berisi bahan sisa,
seperti urea, kreatinin, dan amoniak, dari dalam tubuh. Ginjal turut berfungsi mengatur
keseimbangan air dan elektrolit dalam tubuh dan juga mengatur keseimbangan pH serta
tekanan darah (Scanlon & Sanders 2007: 420--421).
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Reabsorpsi merupakan proses penyerapan kembali filtrat glomerulus yang mengalir di
sepanjang tubulus renalis (Guyton & Hall 2006: 293). Filtrat seperti glukosa, asam amino,
dan sejumlah besar ion-ion organik seperti Na+, K+, Ca2+, Cl-, HCO3-, PO43-, dan SO4
2-,
direabsorpsi dengan transpor aktif, sedangkan air direabsorpsi ke dalam darah melalui proses
difusi. Reabsorpsi bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan osmotik pada plasma
(Kimball 1983: 573).
Tubulus proksimal memiliki aktivitas reabsorpsi senyawa terbesar pada ginjal.
Senyawa-senyawa yang sebagian besar direabsorpsi di tubulus proksimal ialah natrium
bikarbonat (NaHCO3), natrium klorida (NaCl), glukosa, asam amino dan zat organik lain
(Katzung 2001: 430). Permeabilitas tubulus proksimal terhadap air sangat tinggi sehingga air
dapat direabsorpsi dengan cepat (Guyton & Hall 2006: 423).
Reabsorpsi juga terjadi pada lengkung Henle yang terdiri atas segmen desendens dan
segmen asendens. Segmen desendens tidak berperan dalam reabsoprsi ion Na+, namun
berperan penting dalam reabsorpsi air. Segmen asendens memiliki permeabilitas air yang
sangat rendah, namun mampu mereabsorpsi ion Na+, K+, Cl-, Mg2+, dan Ca2+ (Fox 2003: 534).
Tubulus distal tidak permeabel terhadap air, dan reabsorpsi terhadap ion Na+, K+, dan
Cl- tidak sebanyak yang terjadi pada tubulus proksimal dan segmen asendens lengkung Henle
(Katzung 2001: 434). Tubulus kolektivus merupakan tempat terakhir penentuan konsentrasi
Na+ dalam urine dan bersifat tidak permeabel terhadap air. Reabsorpsi ion Na+ terjadi melalui
kanal ion sepanjang membran apikal sel tubulus dan melalui pompa ion Na+/K+-ATPase pada
membran basolateral sel tubulus. Sedangkan air akan hanya direabsorpsi bila terdapat
pengaruh aldosteron dan ADH (Guyton & Hall 2006: 434).
Transpor zat di dalam tubulus ginjal dapat berlangsung secara aktif dan pasif.
Transpor aktif membutuhkan energi yang berasal dari metabolisme sehingga suatu zat terlarut
dapat melawan gradien elektrokimia (Syaifuddin 2002: 229). Transpor aktif dapat dibagi
menjadi transpor aktif primer dan transpor aktif sekunder. Transpor aktif primer merupakan
transpor yang berhubungan langsung dengan suatu sumber energi seperti adenosin trifosfat
(ATP). Transpor aktif sekunder berlangsung karena menggunakan energi yang dilepaskan
oleh zat lain (Alberts dkk. 2002: 621). Contoh transpor aktif primer ialah pompa ion natrium-
kalium dengan enzim adenosin trifosfatase (Na+/K+-ATPase), sedangkan contoh transpor aktif
sekunder ialah reabsorpsi glukosa, fosfat dan asam amino yang terjadi di tubulus proksimal
(Guyton & Hall 2006: 419--420).
Transpor pasif merupakan perpindahan zat mengikuti gradien elektrokimianya. Proses
tersebut tidak memerlukan energi dan berlangsung secara spontan. Transpor pasif di
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
antaranya terjadi melalui peristiwa difusi sederhana maupun difusi terfasilitasi dengan
bantuan protein carrier dan kanal ion (Alberts dkk. 2002: 618). Air merupakan zat yang
direabsorpsi secara pasif melalui peristiwa osmosis oleh sel epitel tubulus. Zat-zat yang dapat
direabsorpsi melalui peristiwa difusi membran tubulus yaitu ion K+, ion magnesium (Mg2+)
dan ion Cl- (Guyton & Hall 2006: 292--293).
Diuretik merupakan senyawa yang dapat menyebabkan diuresis, yaitu suatu peristiwa
meningkatnya volume cairan yang dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan produksi urine
pada ginjal. Diuretik antara lain digunakan pada pasien hipertensi (Roopesh dkk. 2011: 163).
Cara kerja utama diuretik ialah dengan meredakan edema, yaitu suatu kondisi berlebihnya
cairan tubuh pada pasien hipertensi. Hasilnya, volume cairan tubuh dan tekanan darah
kembali menjadi normal (Nafrialdi 2009: 389).
Diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu: diuretik osmotik dan diuretik
penghambat mekanisme transpor elektrolit dalam tubulus renalis (Nafrialdi 2009: 389).
Diuretik osmotik bekerja menghambat reabsorpsi Na+ dan air dengan cara meningkatkan
tekanan osmotik dalam lumen tubulus renalis. Diuretik penghambat mekanisme trasnpor
elektrolit bekerja menghambat reabsorpsi Na+ dan air dengan cara menghambat fungsi protein
spesifik yang mengatur transpor ion pada membran sel tubulus renalis. Contoh dari diuretik
golongan ini adalah diuretik penghambat karbonat anhidrase, diuretik lengkung, diuretik
tiazid, dan diuretik penghambat kompetitif aldosteron (Fox 2003: 550). . Situs kerja dari
obat-obatan diuretik pada tubulus ginjal dapat dilihat pada Gambar 2.4.5.
Penggunaan diuretik dalam bidang klinis yang paling umum adalah untuk menurunkan
tekanan darah pada penderita hipertensi melalui peningkatan volume urine. Peningkatan
volume urine disebabkan karena kerja diuretik yang menghambat reabsorpsi ion Na+ di ginjal,
sehingga ion Na+ berlebih dikeluarkan melalui urine (Dearing dkk. 2001: 891).
Tikus putih memiliki beberapa galur, antara lain galur Sprague-Dawley, Wistar, dan
Long Evans. Tikus putih (Rattus norvegicus L.) galur Sprague-Dawley memiliki ciri-ciri
tubuh berwarna putih, mata berwarna merah, ukuran kepala kecil, dan ekornya lebih panjang
dari tubuhnya (Gambar 2.5). Massa tubuh ketika dewasa dapat mencapai 300--400 g pada
jantan dan 250--300 g pada betina. Tikus putih jantan dewasa galur Sprague-Dawley
digunakan sebagai hewan uji diuretik karena hewan tersebut merupakan tikus percobaan yang
memiliki ukuran tubuh yang paling besar dibandingkan dengan galur lainnya, dengan volume
urine yang dihasilkan sebesar 2,3--3,3 ml/100 g bb perhari (Smith & Mangkoewidjojo 1988:
37). Diharapkan urine yang dihasilkan akan lebih banyak.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Metode Penelitian
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Hewan dan Laboratorium Fisiologi Hewan
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Indonesia (FMIPA UI), Depok, Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama kurang lebih 6 bulan
(Januari--Juni 2015).
2. Bahan
2.1. Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan adalah simplisia kayu secang (Caesalpinia sappan L.).
Simplisia kayu secang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (Balittro),
Jalan Tentara Pelajar nomor 3, Bogor, Jawa Barat.
2.2. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur
Sprague-Dawley sebanyak 25 ekor, berumur sekitar 2--3 bulan dengan berat 200--250 g.
Hewan uji diperoleh dari Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat.
2.3. Makanan dan Minuman Hewan Uji
Makanan hewan uji berupa pelet yang diperoleh dari PD. Kasman, Jalan Bentengan
Blok C1 nomor 8, Sunter Jaya, Jakarta Utara. Air minum yang diberikan berupa air minum
masak. Makanan disediakan dalam wadah plastik yang diletakkan pada alas kandang,
sedangkan air minum diberikan dalam botol yang diletakkan pada tutup kandang.
2.4. Bahan Kimia
Bahan kimia yang digunakan adalah akuabides, asam pikrat, tablet Furosemide dosis
40 mg [Kimia Farma], gom arab, dan sabun [Sunlight].
3. Peralatan
3.1. Pemeliharaan Tikus Putih
Peralatan yang digunakan meliputi kandang berupa bak plastik berukuran (50x40x30)
cm3 yang diberi serbuk kayu sebagai alas; tutup kandang terbuat dari anyaman kawat dengan
jarak anyaman 0,50 cm; timbangan tikus [Krisbow]; exhaust fan [National]; lampu fluoresens
20 watt [Phillips]; pemanas air elektrik [Sayota]; dan wadah plastik.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
3.2. Pembuatan Infusa Kayu Secang dan Larutan Furosemide
Peralatan yang digunakan meliputi gelas ukur 25 ml [Pyrex]; labu takar 25 ml [Pyrex];
Erlenmeyer 100 ml [Pyrex]; gelas Beaker 250 ml [Pyrex]; batang pengaduk; corong kaca;
magnetic stirrer beserta pemanas [Cole Parmer Instrument Company]; dan timbangan analitik
listrik [Shimadzu tipe AEL 200 no. 60412].
3.3. Pemberian Infusa Kayu Secang dan Larutan Furosemide
Peralatan yang digunakan meliputi jarum cekok (gavage needle) dan disposable
syringe 3 ml [Terumo].
3.4. Pengambilan Data
Peralatan yang digunakan meliputi alat tulis; arloji; gelas Beaker 25 ml [Pyrex]; pipet
ukur 10 ml [Pyrex]; bulb karet; kandang metabolisme individual [buatan sendiri] (Gambar
3.3.4); dan kamera [Olympus].
4. Cara Kerja
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian bersifat eksperimental, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Jumlah perlakuan sebanyak 5 dan jumlah ulangan yang dilakukan adalah 5, yang diperoleh
dari rumus Frederer yaitu (t-1)(n-1) > 15, t merupakan jumlah perlakuan sedangkan n
merupakan jumlah ulangan (Sudjana 1992: 172--173). Perlakuan-perlakuan yang diberikan
meliputi:
a. Kelompok kontrol negatif (KKN), yaitu kelompok yang diberikan akuabides,
setelah 18 jam dipuasakan.
b. Kelompok kontrol positif (KKP), yaitu kelompok yang diberikan larutan
furosemide dosis 3,6 mg/kg bb, setelah 18 jam dipuasakan.
c. Kelompok eksperimen 1 (KE1), yaitu kelompok yang diberikan infusa simplisia
kayu secang dengan dosis 250 mg/kg bb, setelah 18 jam dipuasakan.
d. Kelompok eksperimen 2 (KE2), yaitu kelompok yang diberikan infusa simplisia
kayu secang dengan dosis 500 mg/kg bb, setelah 18 jam dipuasakan.
e. Kelompok eksperimen 3 (KE3), yaitu kelompok yang diberikan infusa simplisia
kayu secang dengan dosis 1.000 mg/kg bb, setelah 18 jam dipuasakan.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
4.2. Pemeliharaan Tikus Putih
Tikus putih jantan sebanyak 25 ekor dipelihara dalam kandang berukuran (50x40x30)
cm3, yang dialasi dengan serutan kayu dan ditutupi dengan anyaman kawat. Setiap kandang
berisi 5 ekor tikus putih yang masing-masing mewakili 5 perlakuan, yaitu KKN, KKP, KE1,
KE2, dan KE3. Setiap individu diberi tanda dengan menggunakan asam pikrat. Tikus putih
jantan yang digunakan dalam penelitian diadaptasikan terlebih dahulu di dalam kandang
selama 14 hari atau sampai berat badannya naik.
Tikus putih diberi makanan berupa pelet yang diletakkan di wadah plastik pada alas
kandang dan minuman berupa air masak dalam botol yang diletakkan di tutup kandang.
Makanan dan minuman diberikan secara ad libitum. Kandang dibersihkan setiap 3 hari
dengan dicuci menggunakan sabun hingga bersih dan dibilas air. Alas kandang selanjutnya
diganti dengan serutan kayu yang baru. Kandang diletakkan di atas rak dalam Rumah Hewan
FMIPA UI. Penerangan menggunakan lampu fluoresens selama 12 jam setiap hari dan
pertukaran udara dalam ruangan dibantu dengan exhaust fan.
4.3. Pembuatan Serbuk Simplisia Kayu Secang
Simplisia kayu secang dalam bentuk serutan diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Rempah (Balittro), Jalan Tentara Pelajar nomor 3, Bogor, Jawa Barat. Serutan
tersebut dibuat menjadi bentuk serbuk dengan dihaluskan menggunakan blender dan disaring
dengan ayakan. Serbuk tersebut ditempatkan dalam wadah kaca dan kedap udara dan
disimpan dalam suhu ruangan.
4.4. Pembuatan Infusa Kayu Secang
Infusa kayu secang dengan dosis 250 mg/kg bb dibuat dengan cara memasukkan 625
mg serbuk simplisia kayu secang ke dalam labu ukur 25 ml, kemudian ditambahkan
akuabides hingga tanda batas. Setelah itu, suspensi tersebut dituang ke dalam Erlenmeyer dan
diletakkan di dalam penangas air hingga 90 °C selama 15 menit. Setelah itu suspensi tersebut
disaring dengan corong yang dilapisi kertas saring kasar ke dalam labu ukur 25 ml. Apabila
volume berkurang maka ditambahkan akuabides panas melalui ampasnya hingga tanda batas.
Infusa kayu secang dengan dosis 500; dan 1.000 mg/kg bb dibuat dengan cara yang sama,
dengan menimbang serbuk simplisia kayu secang berturut-turut 1,25 dan 2,5 gram.
4.5. Pembuatan Larutan Furosemide
Satu tablet Furosemide dengan berat 148,0 mg mengandung 40 mg furosemide.
Larutan furosemide dosis 3,6 mg/kg bb dibuat dengan cara melarutkan 33,3 mg tablet
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Furosemide. Furosemide tidak larut dalam air, sehingga memerlukan gom arab sebanyak 1,7
mg untuk melarutkannya. Tablet Furosemide dan gom arab digerus dengan mortar hingga
halus. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan ditambahkan akuabides
panas sampai tanda batas. Campuran tersebut kemudian dituang ke dalam Erlenmeyer dan
dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer.
4.6. Perlakuan Terhadap Tikus Putih
Tikus putih dipuasakan selama 18 jam sebelum pemberian larutan uji. Setelah itu,
tikus putih ditimbang dan diberikan larutan bahan uji secara oral dengan menggunakan jarum
cekok. Volume larutan bahan uji yang diberikan, disesuaikan dengan berat badan tikus.
Sebanyak 1 ml larutan setara dengan 100 gram berat badan tikus putih (Suryawati & Santoso
1993: 50). Uji aktivitas diuretik dilakukan dengan cara menempatkan 1 ekor tikus putih di
dalam satu kandang metabolisme individual.
4.7. Metode Pengukuran Aktivitas Diuretik dan Pengambilan Data
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode Lipschitz (1943). Menurut metode
Lipschitz (1943), tikus putih dipuasakan terlebih dahulu selama 17 hingga 24 jam sebelum
diberi perlakuan. Setelah diberi perlakuan, urine dari setiap individu tikus putih ditampung
selama 5 jam dan 24 jam (Hart 2007: 459--460). Berdasarkan hal-hal tersebut dan penelitian-
penelitian yang sudah ada (Nur 2000; Sophia 2003), maka dalam penelitian tikus putih akan
dipuasakan selama 18 jam sebelum diberi perlakuan, dimulai pukul 16.00 WIB hingga pukul
10.00 WIB keesokannya. Urine akan ditampung selama 6 jam, dimulai pukul 10.00 WIB
hingga pukul 16.00 WIB. Selama perlakuan, tikus putih tidak diberikan makan dan minum.
Urine ditampung dalam gelas Beaker 25 ml selama 6 jam setelah perlakuan, diukur
volumenya menggunakan pipet ukur 5 ml. Volume urine yang didapatkan kemudian dicatat.
Penghitungan persentase aktivitas diuretik suatu bahan uji dilakukan menurut rumus berikut:
Suatu bahan uji dikatakan memiliki aktivitas diuretik lemah apabila nilai penghitungan
persentase aktivitas diuretik berada dalam kisaran 50--80%, diuretik sedang 80--100%, dan
diuretik kuat lebih dari 100% (Suryawati & Santoso 1993: 60).
4.8. Analisis Data
Data yang diperoleh disusun dalam tabel dan kemudian diolah dengan menggunakan
program statistik Statistical Product and Service Solutions (SPSS) Base 16.0 for Windows,
% Aktivitas Diuretik = !"#$%& !"#$ !"#$ !"!!"#$%!&!"#$%& !"#$"% !"#$ !"#$%"&'(
. 100%
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
dengan pendekatan uji nilai probabilitas. Kesimpulan hasil uji didapatkan dengan
membandingkan nilai taraf nyata (α) dengan nilai probabilitas (P) yang diperoleh melalui
komputasi SPSS (Santoso 2001: 166--169).
Normalitas distribusi data diketahui dengan melakukan uji normalitas Shapiro-Wilk
(Conover 1980: 363--365). Homogenitas data diketahui dengan uji homogenitas Levene
(Sudjana 1992: 251--255). Analisis data dilanjutkan dengan menggunakan uji parametrik
analisis variansi (ANAVA) 1 faktor (Alhusin 2002: 138--139). Uji parametrik ANAVA 1
faktor digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan antar perlakuan. Pengujian
dilanjutkan dengan menggunakan uji perbandingan berganda beda nyata terkecil (LSD)
(Santoso 2000: 123) untuk mengetahui perbedaan yang nyata antara pasangan perlakuan
(Conover 1980: 370--373).
Hasil Penelitian
Hasil pengamatan terhadap rata-rata volume total urine tikus putih (Rattus norvegicus
L.) jantan galur Sprague-Dawley pada kelompok kontrol negatif (KKN), kelompok kontrol
positif (KKP), kelompok eksperimen 1 (KE1), kelompok eksperimen 2 (KE2), dan kelompok
eksperimen 3 (KE3) berturut-turut, yaitu: 1,17+0,15; 2,67+0,19 ; 2,07+0,30; 2,71+0,34; dan
2,21+2,21 ml (Tabel 1). Diagram batang rata-rata volume total urine tikus putih dapat dilihat
pada Gambar 1.
Tabel 1. Volume total urin (ml) tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley selama 6 jam setelah pencekokan
Ulangan KKN KKP KE1 KE2 KE3
1 1,31 2,65 2,22 2,77 2,35 2 1,17 2,95 2,48 3,25 2,17 3 1,15 2,74 2,07 2,35 2,28 4 0,93 2,45 1,85 2,54 2,20 5 1,28 2,58 1,73 2,65 2,04 ∑x 5,84 13,37 10,35 13,56 11,04 𝒙 1,17 2,67 2,07 2,71 2,21
SD 0,15 0,19 0,30 0,34 0,12 Keterangan: KKN = kelompok kontrol negatif (akuabides) KKP = kelompok kontrol positif (larutan Furosemide 3,6 mg/kg bb) KE1 = kelompok perlakuan 1 (infusa kayu secang 250 mg/kg bb) KE2 = kelompok perlakuan 2 (infusa kayu secang 500 mg/kg bb) KE3 = kelompok perlakuan 3 (infusa kayu secang 1.000 mg/kg bb) ∑x = jumlah volume urine 𝑥 = rerata volume urine SD = standar deviasi
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Keterangan: KKN = kelompok kontrol negatif (akuabides) KKP = kelompok kontrol positif (larutan Furosemide 3,6 mg/kg bb) KE1 = kelompok perlakuan 1 (infusa kayu secang 250 mg/kg bb) KE2 = kelompok perlakuan 2 (infusa kayu secang 500 mg/kg bb) KE3 = kelompok perlakuan 3 (infusa kayu secang 1.000 mg/kg bb) Huruf menunjukkan perbedaan nyata pasangan kelompok perlakuan Garis (bar) menunjukkan standar deviasi
Gambar 1. Diagram batang rerata volume urine (ml) tikus putih (Rattus norvegicus L.)
jantan galur Sprague-Dawley selama 6 jam setelah pencekokan
Hasil perhitungan rata-rata aktivitas diuretik infusa simplisia kayu secang pada KKN,
KKP, KE1, KE2, dan KE3 berturut-turut, yaitu: 54,87+5,91%; 125,53+11,14%;
94,74+9,77%; 122,22+5,25%; dan 101,32+5,35% (Tabel 2). Diagram batang rata-rata
aktivitas diuretik infusa simplisia kayu secang dapat dilihat pada Gambar 2.
Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk dan uji homogenitas Levene menunjukkan bahwa
data volume total urine tikus putih yang diperoleh berdistribusi normal dan bervariansi
homogen. Hasil uji parametrik analisis variansi (ANAVA) 1 faktor (P < 0,05) menunjukkan
adanya pengaruh pemberian infusa simplisia kayu secang terhadap peningkatan volume total
urine tikus. Hasil uji perbandingan berganda beda nyata terkecil (BNT) (α = 0,05)
menunjukkan perbedaan nyata antara KKN dengan KKP, KE1, KE2, dan KE3; serta KKP
dengan KE1 dan KE3. Perbedaan tidak nyata terdapat antara KKP dengan KE2.
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
1 2 3 4 5
Rer
ata
volu
me
urin
e (m
l)
Kelompok perlakuan
KKN KKP KE1 KE2 KE3
a
b
c
b
c
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Tabel 1. Volume total urin (ml) tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley
selama 6 jam setelah pencekokan
Ulangan KKN KKP KE1 KE2 KE3
1 1,31 2,65 2,22 2,77 2,35 2 1,17 2,95 2,48 3,25 2,17 3 1,15 2,74 2,07 2,35 2,28 4 0,93 2,45 1,85 2,54 2,20 5 1,28 2,58 1,73 2,65 2,04 ∑x 5,84 13,37 10,35 13,56 11,04 𝒙 1,17 2,67 2,07 2,71 2,21
SD 0,15 0,19 0,30 0,34 0,12 Keterangan: KKN = kelompok kontrol negatif (akuabides) KKP = kelompok kontrol positif (larutan Furosemide 3,6 mg/kg bb) KE1 = kelompok perlakuan 1 (infusa kayu secang 250 mg/kg bb) KE2 = kelompok perlakuan 2 (infusa kayu secang 500 mg/kg bb) KE3 = kelompok perlakuan 3 (infusa kayu secang 1.000 mg/kg bb) ∑x = jumlah volume urine 𝑥 = rerata volume urine SD = standar deviasi
Keterangan: KKN = kelompok kontrol negatif (akuabides) KKP = kelompok kontrol positif (larutan Furosemide 3,6 mg/kg bb) KE1 = kelompok perlakuan 1 (infusa kayu secang 250 mg/kg bb) KE2 = kelompok perlakuan 2 (infusa kayu secang 500 mg/kg bb) KE3 = kelompok perlakuan 3 (infusa kayu secang 1.000 mg/kg bb) Huruf menunjukkan perbedaan nyata pasangan kelompok perlakuan Garis (bar) menunjukkan standar deviasi
Gambar 2. Diagram batang aktivitas diuretik (%) larutan uji pada tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley selama 6 jam setelah pencekokan
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
1 2 3 4 5
Akt
ivita
s diu
retik
(%)
Kelompok perlakuan KKN KKP KE1 KE2 KE3
a
b
c
b
c
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Pembahasan Uji analisis variansi (ANAVA) 1 faktor (P < 0,05) menunjukkan adanya perbedaan
rata-rata volume total urin antar kelompok perlakuan. Dengan demikian, hipotesis yang
menyatakan bahwa pemberian infusa kayu secang dosis 250 mg/kg bb; 500 mg/kg bb; dan
1.000 mg/kg bb berpengaruh terhadap peningkatan volume urine tikus putih jantan galur
Sprague-Dawley, dapat diterima. Hasil tersebut dapat dilihat pada rerata volume total urine
tikus putih kelompok eksperimen (KE1, KE2, dan KE3) yang dicekok dengan infusa kayu
secang lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (KKN) yang dicekok
dengan akuabides. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa infusa kayu secang yang
diberikan memiliki aktivitas diuretik. Hal tersebut sesuai dengan Suryawati dan Santoso yang
mengatakan suatu zat memiliki aktivitas diuretik apabila terjadi peningkatan volume urine
pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (Suryawati & Santoso
1993: 167).
Rerata volume total urine paling besar dimiliki oleh kelompok eksperimen 2 (KE2)
yaitu 2,71+0,34 ml, dengan dosis infusa kayu secang sebesar 500 mg/kg berat badan tikus
putih. Hasil uji perbandingan berganda beda nyata terkecil (LSD) menunjukkan bahwa KE2
tidak berbeda nyata dengan KKP yang memiliki rerata volume total urine sebesar 2,67+0,19
ml. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa pemberian infusa kayu secang dosis
500 mg/kg bb sebagai dosis dengan aktivitas diuretik paling tinggi, dapat diterima.
Suatu bahan uji dikatakan memiliki aktivitas diuretik lemah apabila nilai
penghitungan berada dalam kisaran 50--80%, diuretik sedang 80--100%, dan diuretik kuat
lebih dari 100% (Suryawati & Santoso 1993: 60). Hasil yang diperoleh juga menunjukkan
rerata aktivitas diuretik dari kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Rerata aktivitas
diuretik paling tinggi dimiliki oleh kelompok kontrol positif (KKP) yaitu sebesar 125,53%
kemudian, disusul oleh kelompok eksperimen 2 (KE2) dengan besar 122,22% dan kelompok
eksperimen 3 (KE3) dengan besar 101,32%. Ketiga kelompok tersebut dikatakan memiliki
aktivitas diuretik kuat, sedangkan rerata aktivitas diuretik pada KKN (54,87%) dan KE1
(94,74%) menunjukkan aktivitas diuretik sedang.
Dearing dkk. (2001) mengatakan bahwa golongan senyawa metabolit sekunder
tumbuhan yang dapat berperan menimbulkan efek diuretik ialah terpen, fenol, dan alkaloid
(Dearing dkk. 2001: 894; Gupta & Arya 2011: 618). Secang memiliki ketiga senyawa
metabolit sekunder tersebut (Widowati 2011: 27). Berdasarkan penelitian yang telah
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
dilakukan, diduga secang memiliki kerja diuretik serupa dengan diuretik hemat kalium dan
diuretik lengkung.
Diuretik hemat kalium, seperti amiloride dan triamterene, bekerja sebagai penghalang
aliran ion Na+ melalui kanal ion pada lumen tubulus kontortus distal dan tubulus kolektivus
ginjal. Hal tersebut turut mengurangi aktivitas pompa Na+/K+-ATPase pada membran
basolateral sel tubulus, sehingga tidak terjadi reabsorpsi ion Na+ ke dalam tubuh. Sementara
itu, ion K+ tidak akan disekresikan ke dalam lumen tubulus (Guyton & Hall 2006: 404).
Penghambatan reabsorpsi ion Na+ dan sekresi ion K+ akan menyebabkan penumpukan ion
Na+ pada lumen tubulus. Hal tersebut meningkatkan tekanan osmotik dan laju masuknya air
pada lumen tubulus, sehingga terjadi peningkatan volume air. Peningkatan volume air akan
turut meningkatkan volume urine dan disebut sebagai diuresis (Du 2006: 11--12; Zeggwagh
dkk. 2007: 144). Mekanisme kerja diuretik hemat kalium dapat dilihat pada gambar 4.2(1).
Salah satu senyawa aktif pada tanaman secang yang merupakan senyawa fenol adalah
Brazilin (Nirmal dkk. 2014: 196). Brazilin merupakan senyawa aktif terbesar yang terdapat
pada tanaman secang. Dalam golongan fenol, brazilin termasuk sebagai senyawa
homoisoflavonoid, yang merupakan subgrup dari flavonoid (Sinsawasdi 2012: 73).
Batchelder (1995) mengatakan bahwa flavonoid merupakan salah satu senyawa yang dapat
menyebabkan diuresis (Batchelder 1995: 4). Vanamala dkk. (2012) juga mencatat beberapa
jenis tanaman yang memiliki aktivitas diuretik dengan senyawa aktif terbesar berupa
flavonoid (Vanamala dkk. 2012: 29--30). Gasparotto dkk., pada tahun 2011, meneliti
aktivitas diuretik isoquercetin, salah satu senyawa golongan flavonoid dari tanaman
Tropaeolum majus, yang diberikan pada tikus putih. Hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan volume urine serta kadar natrium dalam urine, namun dengan kadar kalium yang
lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol dengan pemberian hidroklorotiazid. Hal
tersebut menunjukkan isoquercetin bekerja dengan menghambat reabsorpsi ion Na+ dari
lumen, yang diikuti oleh penghambatan sekresi ion K+ ke dalam lumen. Dengan demikian,
Gasparotto dkk. menyimpulkan isoquercetin memiliki mekanisme kerja diuresis yang sama
dengan diuretik hemat kalium (Gasparotto dkk. 2011: 214). Berdasarkan hal-hal tersebut,
brazilin dari tanaman secang diduga bekerja sebagai penghalang aliran ion Na+ melalui kanal
ion pada lumen tubulus kontortus distal dan tubulus kolektivus ginjal.
Senyawa metabolit sekunder pada kayu secang yang juga diduga memiliki aktivitas
diuretik serupa dengan brazilin ialah alkaloid. Alkaloid banyak terkandung pada kayu secang
(Jansen & Cardon 2005: 51). Salah satu tanaman dari suku Leguminoceae yang memiliki
aktivitas diuretik karena senyawa alkaloidnya dan telah digunakan sebagai obat diuretik, ialah
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Cystisus scoparius. Sparteine merupakan senyawa alkaloid terbesar pada tanaman tersebut.
Mekanisme kerja sparteine sama dengan obat diuretik hemat kalium, yaitu dengan
menghambat aliran ion Na+ melalui kanal ion, sehingga ion Na+ tidak dapat melintasi
membran untuk direabsorpsi ke dalam tubuh. Hal tersebut meningkatkan tekanan osmotik
dan laju masuknya air pada lumen tubulus, sehingga terjadi peningkatan volume air dan urine
(Roberts & Wink 1998: 453). Dengan demikian, alkaloid pada kayu secang juga diduga
bekerja dengan mekanisme yang sama.
Furosemide merupakan salah satu jenis obat diuretik dari golongan diuretik lengkung
(loop diuretic). Obat tersebut digunakan sebagai kontrol positif karena telah umum
digunakan dalam pengobatan dengan gejala edema akibat gagal jantung kongestif, sirosis hati,
dan sindrom nefrotis (Ellison 2013: 1368). Selain itu, furosemide dikenal sebagai high
ceiling diuretic, yaitu obat dengan aktivitas diuretik kuat (Dearing dkk. 2001: 891).
Furosemide meningkatkan ekskresi ion Na+, K+, dan Cl-, dengan menghambat sistem
kotranspor Na+/K+/2Cl- pada lengkung Henle. Mekanisme tersebut menyebabkan ion-ion
yang berada di dalam lumen tubulus tidak dapat direabsorpsi kembali ke tubuh. Hal tersebut
kemudian diikuti dengan peningkatan ekskresi air, karena tekanan osmotik tubulus yang
meningkat (Guyton & Hall 2006: 510). Furosemide juga bekerja dengan menghambat kerja
pompa ion Na+/K+-ATPase pada membran basolateral sel tubulus, sehingga ion Na+ tidak
dapat direabsorpsi oleh tubuh (Proverbio dkk. 1990: 279). Penggunaan furosemide yang
terus-menerus dapat menimbulkan alergi kulit, radang ginjal, dan ototoksisitas. Bahaya
utama dari furosemide ialah terganggunya keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh (Brater
1998: 393). Mekanisme kerja furosemide dapat dilihat pada Gambar 4.2(2).
Salah satu senyawa terpen yang terdapat pada kayu secang ialah saponin (Safitri 2002:
18; Sarumathy dkk. 2011: 36). Penelitian yang telah dilakukan pada beberapa tanaman obat
oleh Lacaille-Dubois & Wagener (1996), Bruneton (1999), dan Haloui dkk. (2000)
menunjukkan bahwa saponin memiliki aktivitas diuretik (lihat Diniz dkk. 2009: 278). De
Souza dkk. (2004) melakukan penelitian terhadap penghambatan pompa ion Na+/K+ dengan
induksi oleh saponin steroid yang diisolasi dari akar tanaman pacing (Costus spicatus). Hasil
yang didapatkan menunjukkan bahwa saponin yang mampu untuk menghambat peran enzim
Na+/K+-ATPase dalam melakukan transpor aktif ion Na+ pada membran basolateral sel
tubulus ginjal. Hal tersebut mengakibatkan ion Na+ tidak dapat direabsorpsi, sehingga terjadi
peningkatan tekanan osmotik pada lumen tubulus, yang mengakibatkan peningkatan volume
urine (De Souza dkk. 2004: 435). Mekanisme saponin dalam menghambat pompa ion
Na+/K+-ATPase belum diketahui secara jelas, namun Mahmmoud (2005) pernah meneliti
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
mekanisme penghambatan pompa ion Na+/K+-ATPase yang dilakukan oleh kurkumin, suatu
senyawa fenol yang menghasilkan diuresis (Mahmmoud 2005: 244).
Pompa natrium kalium adenosin trifosfatase (Na+/K+-ATPase) merupakan pompa
yang terletak pada membran basolateral epitel sepanjang tubulus ginjal. Pompa tersebut
berfungsi untuk menjaga homeostasis elektrolit agar kadar natrium dalam sel tetap rendah
(Rhoades & Tanner 1995: 435). Kerja dari pompa tersebut akan menimbulkan suatu gradien
konsentrasi yang menyebabkan masuknya ion Na+ dari lumen tubulus ke dalam sel epitel
tubulus dan sekresi ion K+ menuju lumen ginjal (Fox 2003: 532).
Transpor ion Na+ dan K+ berlangsung melalui suatu proses yang melibatkan dua
konformasi enzim yaitu E1 yang memiliki afinitas tinggi terhadap ion Na+ dan E2 yang
memiliki afinitas tinggi terhadap ion K+. Proses transpor ion Na+ dari dalam sel menuju
cairan ekstraseluler dimulai dengan pengikatan ion Na+ pada situs aktif enzim E1. Satu gugus
fosfat (P) yang dihasilkan dari hidrolisis ATP (adenosin trifosfat) menjadi ADP (adenosin
difosfat) akan berfosforilasi dengan E1 menjadi fosfoenzim E1P. Fosfoenzim E1P kemudian
akan mengubah konformasinya menjadi E2P yang memiliki afinitas tinggi terhadap ion K+.
Akibat peristiwa tersebut, E2P akan melepaskan ion Na+ ke luar sel dan mengikat ion K+.
Terkumpulnya ion K+ pada E2P akan menyebabkan enzim terdefosforilasi menjadi E2.
Enzim E2 akan mengalami perubahan konformasi kembali membentuk E1 yang memiliki
afinitas rendah terhadap ion K+, sehingga terjadi pelepasan ion K+ ke dalam sel. Enzim E1
selanjutnya akan kembali digunakan untuk siklus berikutnya (Alberts 2002: 625). Mekanisme
pompa ion Na+/K+-ATPase dapat dilihat pada gambar 4.2(3).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahmmoud (2005: 242--244), kurkumin
bekerja dengan cara menghalangi masuknya ion K+ pada situs pengumpulnya di E2P. Hal
tersebut menyebabkan keseimbangan enzim bergeser menuju ke arah pembentukan E1P yang
memiliki afinitas tinggi terhadap ion Na+, sehingga ion Na+ tidak dapat ditranspor keluar sel
dan terjadi penumpukan ion Na+ di dalam sel. Penumpukan tersebut mengakibatkan
penurunan laju reabsorpsi ion Na+ dari lumen tubulus menuju sel epitel tubulus, sehingga
terjadi pula penumpukan ion Na+ di lumen tubulus. Peristiwa tersebut meningkatkan tekanan
osmotik dan laju masuknya air ke dalam lumen tubulus, sehingga terjadi peningkatan volume
air dan urine (Guyton & Hall 2006: 509). Berdasarkan hal-hal tersebut, diduga saponin pada
secang memiliki mekanisme diuretik yang serupa.
Mekanisme aktivitas diuretik fenol, alkaloid, dan terpen pada secang masih berupa
dugaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, untuk mengetahui pengaruh
masing-masing senyawa tersebut terhadap peningkatan volume urine. Selain itu perlu
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme kerja masing-masing senyawa
tersebut pada sistem tubulus ginjal.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menguji aktivitas diuretik infusa
kayu secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur
Sprague-Dawley diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemberian infusa kayu secang (Caesalpinia sappan L.) secara oral dengan dosis 250;
500; dan 1.000 mg/kg berat badan, meningkatkan volume urine tikus putih (Rattus
norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley.
2. Pemberian infusa kayu secang (Caesalpinia sappan L.) dosis 250 mg/kg berat badan
memiliki aktivitas diuretik sedang (94,74%), serta dosis 500 dan 1000 mg/kg berat
badan memiliki aktivitas diuretik kuat (122,22% dan 101,32%), dengan aktivitas
diuretik tertinggi pada dosis 500 mg/kg berat badan (122,22%).
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan kayu secang
(Caesalpinia sappan L.) yang memiliki aktivitas diuretik.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme kerja kandungan
kayu secang (Caesalpinia sappan L.) yang memiliki aktivitas diuretik.
Daftar Referensi Alberts, B., A. Johnson, J. Lewis, M. Raff, K. Roberts & P. Walter. 2002. Molecular biology
of the cell. 4th ed. Garland Science, New York: xxxiv + 1463 hlm.
Alhusin, S. 2002. Aplikasi statistik praktek dengan menggunakan SPSS 10 for windows. J & J
Learning, Yogyakarta: xii + 383 hlm.
Badami, S., S. Moorkoth & B. Suresh. 2004. Caesalpinia sappan: a medicinal and dye
yielding plant. Natural Product Radiance 3(2): 75--82.
BPOM RI (=Badan Pengawas Obat dan Makanan RI). 2011. Acuan sediaan herbal. BPOM
RI, Jakarta: 89 hlm.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Beak, N.I., S.G. Jeon, E.M. Ahn, J.T. Hahn, J.H. Bahn, J.S. Jang, S.W. Cho, J.K. Park & S.Y.
Choi. 2000. Anticonvulsant compounds from the wood of Caesalpinia sappan L.
Archives of Pharmacal Research 23(4): 344--348.
Batchelder, H.J. 1995. Pharmacognosy. 6 hlm. http://www.biologie.uni-hamburg.de/b-
online/1bc99/poison/pharmacognosy1.html. 14 Mei 2015, pk. 18.29 WIB.
Brater, D.C. 1998. Diuretic therapy. The New England Journal of Medicine 339(6): 387--395.
Conover, M.J. 1980. Practical non-parametric statistics. 2nd ed. John-Wiley & Sons, Inc.,
New York: xiv + 493 hlm.
Choi, S. Y., K.M. Yang, S.D. Jeon, J.H. Kim, L.Y. Khil & T.S. Chang. 1997. Brazilin
modulates immune function mainly by augmenting T cell activity in halothane
administered mice. Planta Medica 63: 405--408.
Das, A.K., F. Ahmed, N.N. Biswas, S. Dev & M.M. Masud. 2005. Diuretic activity of
Acalypha indica. Dhaka University Journal of Pharmaceutical Sciences 4(1): 3 hlm.
De Souza, A.M., L.S. Lara, J.O. Previato, A.G. Lopes, C. Caruso-Neves, B.P. da Silva & J.P.
Parente. 2004. Modulation of sodium pumps by steroidal saponins. Zeitschrift für
Naturforschung 59: 432--436.
Dearing, M.D., A.M. Magione & W.H. Karasov. 2001. Plant secondary compounds as
diuretics: an overlooked consequence. American Zoology 41: 890--901.
Diniz, L.R.L., P.C. Santana, A.P.A.F. Ribeiro, V.G. Portella, L.F. Pacheco, N.B. Meyer, I.C.
Cesar, G.P. Cosenza, M.G.L Brandao & M.A.R. Vieira. 2009. Effect of triterpene
saponins from roots of Ampelozizyphus amazonicus Ducke on diuresis in rats. Journal
of Ethnopharmacology 123: 275--279.
Du, X. 2006. Diuretics. 16 hlm.
http://www.uic.edu/classes/pcol/pcol425/restricted/Du/diuretics.pdf, 23 Maret 2015,
pk. 14.21 WIB.
Duke, J.A. 1998. Plant with a diuretic activity. 1 hlm. http://www.ars-grin.gov/cgi-
bin/duke/activity.pl, 18 Februari 2015, pukul 18.27 WIB.
Ellison, D.H. 2013. Physiology and pathophysioloy of diuretic action. 5th ed. Dalam: Alpern,
R.J., M.J. Caplan & O.W. Moe. Seldin and Giebisch’s the kidney: phsiology and
pathophysiology. Academic Press, San Diego: xix + 3215 hlm.
Fox, S.I. 2003. Human physiology. 8th ed. McGraw-Hill Higher Education, New York: xxiv +
683 + A-4 + G-17 + C-1 + I-19.
Fu, L.C., X.A. Huang, Z.Y. Lai, Y.J. Hu, H.J. Liu & X.L. Cai. 2008. A new 3-benzylchroman
derivative from sappan lignum (Caesalpinia sappan). Molecules 13: 1923--1930.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Gasparotto, A., Jr., F.M. Gasparotto, M.A. Boffo, E.L.B. Lourenço, M.E.A. Stefanello, M.J.
Salvador, J.E. da Silva-Santos, M.C.A Marques & C.A.L. Kassuya. 2011. Diuretic and
potassium-sparing effect of isoquercitrin—An active flavonoid of Tropaeolum majus
L. Journal of Ethnopharmacology 134(2): 210--215.
Gupta, V.K. & V. Arya. 2011. A review on potential diuretics of Indian medicinal plants.
Journal of Chemical and Pharmaceutical Research 3(1): 613--620.
Guyton, A.C. & J.E. Hall. 2006. Textbook of medical physiology. 11th ed. Elsevier Saunders,
Philadelphia: xxxv + 1106 hlm + I-49.
Hart, S.A. 2007. Activity on urineary tract. Dalam: Vogel, H.G. Drug discovery and
evaluation: pharmacological assays. 3rd ed. Springer, Berlin: lvii + 2038 hlm + I-32.
Hu, J., X. Yan, W. Wang, H. Wu, L. Hua & L. Du. 2008. Antioxidant activity in vitro of the
three constituents from Caesalpinia sappan L. Tsinghua Science and Technology 13:
474–479.
Jansen, P.C.M. & D. Cardon. 2005. Plant resources of tropical Africa 3: dye and tannins.
Prota, Wageningen: 216 hlm.
Katno. 2007. Tingkat manfaat keamanan dan efektifitas tanaman obat dan obat tradisional.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: viii + 58 hlm.
Katzung, B.G. 2001. Basic and clinical pharmacology. 8th ed. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta: xvi + 1216 hlm.
Kee, J.L. & E.R. Hayes. 1996. Farmakologi: pendekatan proses keperawatan. Ed. ke-1. Terj.
dari Pharmacology: a nursing process approach, oleh P. Anugerah. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta: xxiv + 802 hlm.
Kimball, J.W. 1983. Biologi. Ed. ke-5. Terj. dari Biology, oleh S. Soemarmi dan N. Sugiri.
Erlangga, Jakarta: xii + 755 hlm.
Krinkle, G.J. 2000. The laboratory rat. Academic Press, London: xv + 628 hlm.
Lemmens, R.H.M.J. & N. Wulijarni-Soetjipto. 1992. Plant recources of South East Asia no. 3
dye and tannin producing plants. Prosea, Wageningen: 195 hlm.
Lim, M.Y., J.H. Jeon, E.Y. Jeong, C.H. Lee & H.S. Lee. 2007. Antimicrobial activity of 5-
hydroxy-1,4-naphthoquinone isolated from Caesalpinia sappan toward intestinal
bacteria. Food Chemistry 100: 1254--1258.
Lioe, H.N., D.R. Adawiyah & R. Anggraeni. 2012. Isolation and characterization of the major
natural dyestuff component of brazilwood (Caesalpinia sappan L.). International
Food Research Journal 19(2): 537--542.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Listyaningdyah, M. 2006. Studi isolasi dan penentuan struktur molekul serta uji aktifitas
antioksidan senyawa kimia hati kayu tumbuhan secang. Skripsi S1 Departemen Kimia
FMIPA-UI, Depok: x + 56 hlm.
Magdalena, L. 1998. Efek diuretik ekstrak buah Ananas comosus L. terhadap tikus putih
(Rattus norvegicus L.) jantan galur Wistar. Skripsi S1 Departemen Biologi FMIPA-
UI, Depok: xi + 57 hlm.
Mahmmoud, Y.A. 2005. Curcumin modulation of Na,K-ATPase: Phosphoenzyme
accumulation, decreased K+ occlusion; and inhibtion of hydrolytic activity. British
Journal of Pharmacology. 145: 236--245.
Mahmood, M.K., S.C. Bachar, M.S. Islam & M.S. Ali. 2004. Analgesic and diuretic activity
of Curcuma xanthorrhiza. Dhaka University Journal of Pharmaceutical Sciences 3(1--
2): 6 hlm.
Mamun, M.M., M.M. Billa, M.A. Ashek, M.M. Ahasan, M.J. Hossain & T. Sultana. 2003.
Evaluation of diuretic activity of Ipomoea aquatica (kalmisak) in mice model study.
Journal of Medical Science 3(5--6): 395--400.
Marieb, E.N. & K. Hoehn. 2013. Human anatomy & physiology. 9th ed. Pearson, Glenview:
xxiv + 1107 hlm + A-34 + G-23 + C-3 + I-60.
Masitoh, Siti. 2011. Penapisan fitokimia ekstrak etanol beberapa tanaman obat Indonesia serta
uji aktivitas anti diabetes melitus melalui penghambatan enzim α-glukosidase. Skripsi
S1 Departemen Farmasi FMIPA-UI, Depok: xiv + 93 hlm.
Moon, C. K., K.S. Park, S.G. Kim, H.S. Won & J.H. Chung. 1992. Brazilin protects cultured
rat hepatocytes from trichlorobromethane-induced toxicity. Drug and Chemical
Toxicology 15: 81--91.
Nafrialdi. 2009. Diuretik dan antidiuretik. Dalam: Gunawan, S.G. Farmakologi dan terapi. Ed
ke-5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI, Jakarta: xvii + 926 hlm.
Nirmal, N.P., R.G.S.V. Prasad & S. Keokitichai. 2014. Wound healing activity of
standardized brailin rich extract from Caesalpinia sappan heartwood. Journal of
Chemical and Pharmaceutical Research 6(10): 195--201.
Nur, R.M. 2000. Efek diuretik air perasan umbi bangkuang (Pachyrrhizus erosus Urb.)
terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley. Skripsi S1
Departemen Biologi FMIPA-UI, Depok: vii + 62 hlm.
Panjaitan, R.G.P. 2000. Potensi sari buah belimbing manis (Averrhoa carambola L.) sebagai
antihipertensi dan diuretik. Tesis S2 Departemen Biologi FMIPA-IPB, Bogor: xi + 47
hlm.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Paramitasari, R. 2006. Studi isolasi dan identifikasi molekul senyawa kimia dalam fraksi etil
asetat dari kulit batang secang (Caesalpinia sappan L.). Skripsi S1 Departemen Kimia
FMIPA-UI, Depok: ix + 55 hlm.
Pawar, C.R., A.D. Landge & S.J. Surana. 2008. Phytochemical and pharmacological aspects
of Caesalpinia sappan. Journal of Pharmacy Research 1(2): 131--138.
Proverbio, F., R. Marin & T. Proverbio. 1990. The ouabain-insensitive sodium pump.
Comparative Biochemistry and Physiology 99A(3): 279--283.
Rhoades, R.A. & G.A. Tanner. 1995. Medical physiology. 1st ed. Little Brown and Company,
Boston: x + 839 hlm.
Riandisty, Y. 2007. Uji efek diuretik ekstrak rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.)
Rosc.) terhadap mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY. Skripsi S1 Departemen
Biologi FMIPA-UI, Depok: ix + 90 hlm.
Roberts, M.F. & M. Wink. 1998. Alkaloids: biochemistry, ecology, and medicinal aplications.
Plenum Press, New York: xix + 493 hlm.
Roopesh, C., K.R. Salomi, S. Nagarjuna & Y.P. Reddy. 2011. Diuretic activity of methanoic
and ethanolic extracts of Centella asiatica leaves in rats. International Research
Journal of Pharmacy 2(11): 163--165.
Safitri, R. 2002. Karakterisasi sifat antioksidan in vitro beberapa senyawa yang terkandung
dalam tumbuhan secang (Caesalpinia sappan L.). Disertasi Program Pascasarjana
Biologi FMIPA-Universitas Padjajaran, Bandung: 60 hlm.
Santoso, S. 2000. Buku latihan SPSS statistik parametrik. PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta: x + 390 hlm.
Santoso, S. 2001. SPSS versi 10: mengolah data statistik secara profesional. PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta: ix + 573 hlm.
Sarumathy, K., M.S.D. Rajan, T. Vijay & A. Dharani. 2011. In vitro study on antioxidant
activity and phytocemical analysis of Caesalpinia sappan. International Journal of
Institutional Pharmacy and Life Sciences 1(1): 31--39.
Scanlon, V.C. & T. Sanders. 2007. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. F.A. Davis
Company, Philadelphia: xvi + 546 hlm + G-42 + I-14.
Septarini, M. 2007. Uji efek diuretik ekstrak rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val. &
Van Zijp.) terhadap mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY. Skripsi S1
Departemen Biologi FMIPA-UI, Depok: ix + 61 hlm.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Shen, J., H. Zhang, H. Lin, H. Su, D. Xing & L. Du. 2007. Brazilein protects the brain against
focal cerebral ischemia reperfusion injury correlating to inflammatory response
suppression. European Journal of Pharmacology 558: 88--95.
Sinsawasdi, V.K. 2012. Sappanwood water extract: evaluation of color properties, functional
properties, and toxicity. Disertasi S3 Graduate School of The University of Florida,
Gainesville: 108 hlm.
Sireeratawong, S., T. Singhalak, R. Temsiririrkkul, N. Ruangwises & N. Lerdvuthisopon.
2010. Toxicity evaluation of sappan wood extract in rats. Journal of the Medical
Association of Thailand 93(7): S50--S57.
Sophia, R.A. 2003. Uji efek diuretik suspensi simplisia daun sambiloto (Andrographis
paniculata Nees.) terhadap tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-
Dawley. Skripsi S1 Departemen Biologi FMIPA-UI, Depok: x + 47 hlm.
Syamsuhidayat, S.S. & J.R. Hutapea. 1991. Inventaris tanaman obat Indonesia (I).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: iv + 616 hlm.
Syamsuhidayat, S.S. & J.R. Hutapea. 1994. Inventaris tanaman obat Indonesia (III).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: v + 332 hlm.
Smith, J.B. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, pembiakan, dan penggunaan hewan
percobaan di daerah tropis. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: xvi + 276 hlm.
Sudjana. 1992. Metode statistika. Ed. ke-5. Penerbit Tarsito, Bandung: x + 508 hlm.
Sumantera, I.W. 1998. Pemanfaatan secang (Caesalpinia sappan L.) dan pelestariannya di
Bali. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 4(3): 18--23.
Suryawati, S. & B. Santoso. 1993. Penapisan farmakologi, pengujian fitokima dan pengujian
klinik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: xvi + 240 hlm.
Syaifuddin. 2002. Fungsi sistem tubuh manusia. Widya Medika, Jakarta: xii + 298 hlm.
Vanamala, U., A. Elumalai, M.C. Eswaraiah & A. Shaik. 2012. An update review on diuretic
plants-2012. International Journal of Pharmaceutical & Biological Archives 3(1): 29--
31.
Wang, Y.Z., S.Q. Sun & Y.B. Zhou. 2011. Extract of the dried heartwood of Caesalpinia
sappan L. attenuates collagen-induced arthritis. Journal of Ethnopharmacology
136(1): 271--278.
Widowati, W. 2011. Uji fitokimia dan potensi antioksidan ekstrak etanol kayu secang
(Caesalpinia sappan L.). Jurnal Kedokteran Maranatha 11(1): 23--31.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015
Ye, M., W. Xie, F. Lei, Z. Meng, Y. Zhao, H. Su & L. Du. 2006. Brazilein, an important
immunosuppressive component from Caesalpinia sappan L. International
Immunopharmacology 6: 426–432.
Zeggwagh, N.A., J.B. Michel & M. Eddouks. 2007. Acute hypotensive and diuretic activities
of Chamaemelum nobile aqueous extract in normal rats. American Journal of
Pharmacology and Toxicology 2(3): 140--145.
Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015