UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol
Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap Kultur Sel
Kanker Payudara (MCF-7 Cell Line) secara In Vitro
SKRIPSI
STEVANI SITORUS
108102000073
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JANUARI 2013
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol
Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap Kultur Sel
Kanker Payudara (MCF-7 Cell Line) secara In Vitro
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
STEVANI SITORUS
108102000073
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JANUARI 2013
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Stevani Sitorus
NIM : 108102000073
Tanda Tangan : ......................
Tanggal : 15 Januari 2013
iv
v
vi
ABSTRAK
Nama : Stevani Sitorus
Program Studi : Farmasi
Judul : UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL Angiopteris
angustifolia C. Presl TERHADAP KULTUR SEL
KANKER PAYUDARA (MCF-7 CELL LINE) SECARA IN
VITRO.
Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak diderita oleh
perempuan di seluruh dunia. Obat-obat kemoterapeutik yang ada, memiliki efek
samping dengan merusak sel sehat penderita. Pencarian obat yang berasal dari
tanaman diharapkan dapat menemukan antikanker yang efektif dengan efek
samping yang minimal. Tanaman Paku Angiopteris angustifolia C. Presl, suku
marattiaceae, merupakan tanaman yang digunakan oleh masyrakat Indonesia
sebagai tanaman hias. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas
sitotoksik ekstrak etanol daun Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap MCF-7
cell line. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan melihat
penghambatan proliferasi MCF-7 cell line secara in vitro dengan metode analisa
MTT. Ekstraksi serbuk daun Angiopteris angustifolia C. Presl dilakukan dengan
etanol 70%, pelarut ekstraksi diuapkan dengan vacuum evaporator dan ekstrak
yang terbentuk dipekatkan menggunakan frezee drier. MCF-7 cell line dikultur
menggunakan metode monolayer dalam medium RPMI 1640 yang mengandung
10% FBS. Absorbansi pada panjang gelombang 540 nm – 600 nm yang diperoleh
dari pembacaan microplate reader dilakukan pengolahan data sehingga diperoleh
nilai IC50. Nilai IC50 yang diperoleh adalah 91.52 µg/mL. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Angiopteris angustifolia C. Presl
memiliki aktivitas sitotoksik.
Kata Kunci : Angiopteris angustifolia C. Presl, uji sitotoksisitas, MCF-7, MTT.
vii
ABSTRACT
Name : Stevani Sitorus
Program Study : Pharmacy
Title : CYTOTOXIC ACTIVITY OF Angiopteris angustifolia C.
Presl’s ETHANOLIC EXTRACT AGAINTS MCF-7 CELL
LINE ACCORDING TO IN VITRO METHOD.
Breast cancer is the commonest cause of cancer death in women worldwide.
Current chemoterapeutic drugs for breast cancer have side effects. So, there have
been an intense search on various biological source to find new anticancer to
combat this diseases. In Indonesia, fern Angiopteris angustifolia C. Presl
(marattiaceae) is used as ornamental. The aim of this reasearch is to examine the
cytotoxic activity of ethanol extract of Angiopteris angustifolia C. Presl againts
MCF-7 cell line. The cytotoxic activity was carried out by using MTT method.
Angiopteris angustifolia C. Presl (marattiaceae) leaf’s powder extraction was done
using ethanol 70%, the solvent of extraction was evaporated by vacuum
evaporator and frezee drier. MCF-7 cell line was cultured in RPMI 1640 medium
which contained 10% of FBS (fetal bovine serum). The absorbance that was
obtained from microplate reader was processed in order to get IC50 value. The
result showed that ethanol extract of Angiopteris angustifolia C. Presl inhibit
MCF-7 cell line with the IC50 value 91.52 µg/mL.
Keywords : Angiopteris angustifolia C. Presl, citotoxicity, MCF-7, MTT.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, rasa syukur serta pujian senantiasa kita panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta segala
anugerah-Nya berupa kesehatan, pemikiran dan ide sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang
senantiasa mengikuti sunnahnya hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh
ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Adapun judul skripsi ini adalah “Uji Sitotoksisitas Ekstrak
Etanol Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Kultur Sel Kanker
Payudara (MCF-7 Cell Line) Secara In Vitro”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan baik tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ismiarni Komala, M.Sc., PhD., Apt selaku Pembimbing I dan drg. Laifa
Annisa H., PhD selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga
dan pikiran serta dengan sabar membimbing dan mengajari sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan selaku
pemberi beasiswa, sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Hening Herawati, M.Biomed selaku kepala Laboratorium Kultur Pusat
Penelitian dan Pengembangan RSKD, yang telah mengajari penulis
mengkultur sel kanker dengan penuh kesabaran serta memberikan
pengalaman dan nasehatnya selama penulis penelitian.
4. Prof. Dr, (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
5. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu/Bapak Dosen dan Staf Akademika Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ayahanda tercinta M. Nimrot Sitorus dan Ibunda tercinta Yunita, terima kasih
atas doa yang selalu tercurah untukku, kasih sayang, semangat dan
dukungannya yang menguatkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Adikku tersayang Erica Febriany Sitorus yang dengan canda tawanya mampu
mengusir kepenatan penulis dalam menyusun skripsi ini.
9. Teman–teman seperjuangan Farmasi Angkatan 2008, terimakasih atas sebuah
persahabatan, kekeluargaan dan persaudaraan kita selama ini.
10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak
dapat disebutkan namanya satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk perbaikan dalam pembuatan skripsi.
Ciputat, 15 Januari 2013
Penulis
x
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulllah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Stevani Sitorus
NIM : 108102000073
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi
demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya,
dengan judul :
UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL Angiopteris angustifolia C.
Presl TERHADAP KULTUR SEL KANKER PAYUDARA (MCF-7 CELL
LINE) SECARA IN VITRO.
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 15 Januari 2013
Yang menyatakan,
Stevani Sitorus
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
ABSTRACT ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................. x
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian .. ................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 4
2.1. Tinjauan Botani .. ................................................................... 4
2.1.1. Klasifikasi Tanaman .................................................... 4
2.1.2. Deskripsi Tanaman ...................................................... 4
2.1.3. Aktivitas Biologi dan Kandungan Kimia .................... 4
2.2. Simplisia ................................................................................ 5
2.2.1. Tahapan Pembuatan Simplisia .................................... 6
2.3. Ekstraksi ................................................................................ 6
2.4. Metode Ekstraksi ................................................................... 8
2.5. Kanker ................................................................................... 10
2.6. Kanker Payudara .................................................................... 11
2.6.1. Faktor Etiologi Kanker Payudara ................................ 12
2.6.2. Faktor Risiko Kanker Payudara ................................... 12
2.6.3. Gejala Penyakit Kanker payudara ................................ 13
2.6.4. Pencegahan Kanker Payudara ...................................... 14
2.7. MCF-7 Cell Line ................................................................... 14
2.8. Antikanker ............................................................................. 14
2.8.1. Obat Antikanker .......................................................... 14
2.8.2. Mekanisme Kerja Obat Antikanker ............................ 15
2.8.3. Penggolongan Obat Antikanker .................................. 15
2.9. Kultur Sel .............................................................................. 17
2.10. Uji Sitotoksisitas ................................................................. 18
2.11. Metode Pengujian Sitotoksik .............................................. 19
2.12. Microplate Reader ............................................................... 20
xii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 21
3.1. Alur Penelitian ....................................................................... 21
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................... 22
3.2.1. Waktu Penelitian ......................................................... 22
3.2.2. Tempat Penelitian ........................................................ 22
3.3. Alat dan Bahan ...................................................................... 22
3.3.1. Alat Penelitian .............................................................. 22
3.3.2. Bahan yang digunakan ................................................ 22
3.4. Metode Penelitian .................................................................. 23
3.4.1. Persiapan Simplisia ................................................... 23
3.4.2. Pembuatan Ekstrak ................................................... 23
3.4.3. Penapisan Fitokimia .................................................. 24
3.4.4. Sterilisasi Alat ........................................................... 26
3.4.5. Pembuatan Reagen .................................................... 26
3.4.6. Persiapan Larutan Uji dan Blanko DMSO ................ 27
3.4.7. Persiapan Kultur MCF-7 ............................................ 28
3.4.8. Pemeliharaan Kultur Sel Kanker ............................... 29
3.4.9. Uji Sitotoksisitas ....................................................... 30
3.4.10. Perhitungan Persentase Kematian Sel ....................... 30
3.4.11. Analisa Data .............................................................. 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 32
4.1. Hasil .................................................................................... 32
4.1.1. Determinasi ............................................................... 32
4.1.2. Hasil Ekstraksi ........................................................... 32
4.1.3. Hasil Penapisan Fitokimia .......................................... 32
4.1.4. Jumlah Kerapatan Sel ................................................ 33
4.1.5. Hasil Pengujian Sitotoksik Ekstrak Etanol
Angiopteris angustifolia terhadap Sel MCF-7 ........... 33
4.2. Pembahasan ........................................................................... 34
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 41
5.1. Kesimpulan ........................................................................... 41
5.2. Saran .................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 42
LAMPIRAN .................................................................................................... 47
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Pohon Angiopteris angustifolia C. Presl ..................................... 49
Gambar 2. Daun Angiopteris angustifolia C. Presl ..................................... 49
Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Log Konsentrasi dengan Probit Hasil
Uji Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel
MCF-7................................................................................ ......... 69
Gambar 4. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum Pada
Saat Inkubasi 0 jam .................................................................... 70
Gambar 5. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum
Setelah Inkubasi 24 Jam. ........................................................... 71
Gambar 6. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum
Setelah Inkubasi 48 Jam. ............................................................ 72
Gambar 7. MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel Konsentrasi
200 ppm dan inkubasi 24 jam..................................................... 73
Gambar 8. Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan MTT
Setelah Inkubasi 4 Jam. .............................................................. 74
Gambar 9. MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan
Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer.......... 75
Gambar 10. DMSO – Dimethyl Sulfoxide ...................................................... 76
Gambar 11. Trypsin - EDTA ......................................................................... 76
Gambar 12. Penicillin – Streptomycin ............................................................ 76
Gambar 13. Trypan Blue ................................................................................. 76
Gambar 14. PBS – Phosphate Buffered Saline .............................................. 77
Gambar 15. RPMI Medium 1640 .................................................................. 77
Gambar 16. MTT ........................................................................................... 77
Gambar 17. FBS – Fetal Bovine Serum ......................................................... 77
Gambar 18. Mikroskop Inverted with Camera .............................................. 78
Gambar 19. Tanki Nitrogen ........................................................................... 78
Gambar 20. Timbangan Analitik ................................................................... 78
Gambar 21. Sentrifuse ................................................................................... 78
Gambar 22. Mikropipet ................................................................................. 79
Gambar 23. Microwell Plate Reader ............................................................. 79
Gambar 24. Milipore 0.2 µm ......................................................................... 79
Gambar 25. Hamemocytometer ..................................................................... 79
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Hasil Ekstraksi ................................................................................ 32
Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia .............................................................. 32
Tabel 3. Hasil Pengujian Sitotoksik Angiopteris angustifolia ....................... 33
Tabel 4. Hasil Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol)................ 62
Tabel 5. Hasil Perhitungan Konsentrasi DMSO ............................................ 63
Tabel 6. Hasil Pengujian Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl
Terhadap Sel MCF-7 ....................................................................... 67
Tabel 7. Hasil Pengujian Sitotoksik DMSO Terhadap Sel MCF-7....... ........ 67
Tabel 8. Hasil Pengujian Kontrol Sel ............................................................ 69
Tabel 9. Transformasi Persen – Probit ......................................................... 82
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Determinasi Angiopteris angustifolia C. Presl ................ 48
Lampiran 2. Pohon daun Daun Angiopteris angustifolia C. Presl ................ 49
Lampiran 3. Hasil Perhitungan Rendemen Ekstrak Etanol Angiopteris
angustifolia C. Presl ................................................................. 50
Lampiran 4. Hasil Pengamatan Penapisan Fitokimia ................................... 51
Lampiran 5. Skema Proses Ekstraksi Serbuk Angiopteris angustifolia C.
Presl .......................................................................................... 54
Lampiran 6. Skema Kerja Thawing dan Kultur Sel MCF-7 ......................... 55
Lampiran 7. Skema Subkultivasi Sel MCF-7 ............................................... 56
Lampiran 8. Skema Platting .......................................................................... 57
Lampiran 9. Skema Uji MTT ........................................................................ 58
Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol) .................. 60
Lampiran 11. Perhitungan Konsentrasi Kontrol DMSO ................................. 63
Lampiran 12. Perhitungan Kepadatan Sel ....................................................... 64
Lampiran 13. Skema pemetaan sampel........................................................... 65
Lampiran 14. Perhitungan dan Grafik Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol
Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel MCF-7. ......... 67
Lampiran 15. Gambar MCF-7 Cell Line dalam Medium RPMI 1640
Berserum................................................................................... 70
Lampiran 16. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640
Berserum Setelah Inkubasi 24 Jam........................................... 71
Lampiran 17. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640
Berserum Setelah Inkubasi 48 Jam........................................... 72
Lampiran 18. Gambar MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel
Konsentrasi 200 ppm dan inkubasi 24 jam............................... 73
Lampiran 19. Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan MTT
dan Inkubasi 4 Jam. .................................................................. 74
Lampiran 20. MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan
Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer. ....... 75
Lampiran 21. Gambar Bahan dan Alat yang Digunakan................................ 76
Lampiran 22. Deskripsi Medium RPMI 1640................................................. 80
Lampiran 23. Morfologi Sel MCF-7............................................................... 81
Lampiran 24. Transformasi Persen – Probit.................................................... 82
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker, umum disebut juga neoplasma, secara harfiah berarti
pertumbuhan baru. Suatu neoplasma, sesuai definisi Wilis, adalah massa
abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak
terkoordinasi walaupun rangsangan yang memicu pertumbuhan tersebut
telah berhenti. (Robbins, 1999).
Menurut laporan WHO berdasarkan data statistik IARC
(International Agency for Research on Cancer), angka kejadian kanker
payudara di Asia pada tahun 2008 terjadi sebanyak 528.927 kasus dengan
angka kematian sebanyak 193.497 juta jiwa setiap tahun (IARC, 2008).
Data rekam medis Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD)
melaporkan insiden kanker payudara di Indonesia menduduki peringkat
pertama diantara jenis kanker lainnya. Pada tahun 2009 terjadi sebanyak
567 kasus, sedangkan pada tahun 2010 terjadi sebanyak 711 kasus.
Dimana pada setiap tahun terjadi peningkatan insiden kanker payudara
(Anonim, 2012).
Obat antikanker merupakan obat khusus dengan batas
keamanannya begitu sempit. Antikanker diharapkan memiliki toksisitas
selektif artinya menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan
normal. Pada umumnya antikanker menekan pertumbuhan atau proliferasi
sel dan dapat menimbulkan toksisitas, karena menghambat pembelahan sel
normal yang proliferasinya cepat misalnya sumsum tulang, epitel
germinativum, mukosa saluran cerna, folikel rambut dan jaringan limfosit.
Terapi hanya dapat dikatakan berhasil baik, bila dosis yang digunakan
dapat mematikan sel tumor ganas dan tidak terlalu mengganggu sel normal
yang berproliferasi (Departemen Farmakologi dan Terapi, 2008). Hal
tersebut menjadi sebuah tantangan untuk terus melakukan studi dan
pencarian terhadap obat antikanker. Terutama yang berasal dari bahan
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
alam khususnya tumbuh-tumbuhan, dengan harapan dapat menemukan
antikanker yang efektif dan dapat mengurangi efek samping yang
berbahaya.
Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu divisi
tumbuhan yang menjadi kekayaan alam hayati Indonesia. Dari sekitar
10.000 spesies tumbuhan paku di dunia, diperkirakan 1.300 spesies di
antaranya tumbuh di kawasan Indonesia. Berbagai jenis spesies tumbuhan
paku telah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai
tanaman hias, bahan obat tradisional, bahan makanan, tanaman pelindung,
dan pupuk hijau. Masyarakat pada umumnya telah mengenal manfaat
tumbuhan paku dan sebagian telah menggunakan tumbuhan ini sebagai
obat tradisional (Susiarti, 2009).
Adapun Msayoshi Hirohara, dkk telah menemukan senyawa
triterpenoid dari Goniophlebium mengtzeense dari suku Polypodiaceae,
serta telah mengisolasi senyawa triterpenoid dari tumbuhan tersebut
(Msayoshi Hirohara,.et.al, 1996)
Beberapa jenis tumbuhan paku telah terbukti memiliki aktivitas
sitotoksik dari penelitian yang telah dilakukan. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Zulnely, dkk pada jenis Dictyopteris irregularis Preal
suku Gleicheniaceae menunjukkan aktivitas sitotoksik dengan nilai LC50
sebesar 0,46 ppm. Adapun penelitian Fitrya dan Lenny Anwar (2009) pada
uji aktivitas sitotoksik secara in vitro menggunakan sel Murine P-388 dari
akar tumbuhan tunjuk langit Helmynthostachis zaeylanica (Linn) Hook
yaitu salah satu spesies tumbuhan paku dari Ophioglassaceae
menunjukkan aktivitas sitotoksik dengan LC50 sebesar 2,4 µg/mL.
Diantara tumbuhan paku yang banyak tumbuh di Indonesia adalah
Angiopteris angustifolia C. Presl. Penelitian tentang efek sitotoksik
Angiopteris angustifolia C. Presl. belum pernah dilakukan, sehingga perlu
dilakukan penelitian efek sitotoksik dari tumbuhan paku Angiopteris
angustifolia C. Presl. yang tumbuh di Indonesia secara in vitro terhadap
sel kanker payudara (MCF-7) menggunakan metode kolorimetri dengan
pewarnaan MTT.
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.2 Perumusan Masalah
Apakah ekstrak etanol tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl.
memiliki aktivitas sitotoksik terhadap kultur sel kanker payudara (MCF-7
cell line) secara in vitro?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui aktivitas sitotoksik dari tumbuhan paku Angiopteris
angustifolia C. Presl. terhadap kultur sel kanker payudara (MCF-7 cell
line) secara in vitro.
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Botani
Angiopteris angustifolia C. Presl adalah sinonim dari Angiopteris
angustifolia (Global Biodiversity Information Facility GBIF, 2010).
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Kingdom : Viridiplantae
Filum/Phylum : Streptophyta
Kelas/Class : Marattiopsida
Bangsa/Ordo : Marattiales
Suku/Family : Marattiaceae
Marga/Genus : Angiopteris
Jenis/Spesies : Angiopteris angustifolia
(Global Biodiversity Information Facility GBIF, 2010).
2.1.2 Deskripsi Tanaman
Merupakan paku yang besar, daun sampai 2-5 meter menyirip
ganda 2-4, anak daun menyerupai daun kedondong (spondias dulcis),
sorus memanjang, sporangium didalamnya bebas, membuka dengan satu
celah (Tjitrosoepomo, 2003).
Suku dari Marattiaceae ini memiliki daun amat besar, meyirip
ganda sampai beberapa kali. Sporangium pada sisi bawah daun,
mempunyai dinding yang tebal, tidak mempunyai cincin, membuka
dengan suatu celah atau liang. Kebanyakan paku ini berupa paku tanah
yang isospor. Protalium berumur panjang, mempunyai mikoriza endofitik,
tumbuh di atas tanah, berwarna hijau, bentuknya menyerupai talus lumut
hati yang terdiri atas beberapa lapis sel (Tjitrosoepomo, 2003).
2.1.3 Aktivitas Biologi dan Kandungan Kimia
Informasi mengenai aktivitas biologi serta kandungan kimia dari
tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl. belum pernah
dilaporkan.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain,
berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi
simplisia nabati, simplisia hewani, simplisia pelikan atau mineral
(Farmakope Indonesia edisi III, 1979).
o Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman
dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi yang spontan keluar dari
tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu atau
zat yang dipisahkan dari tanamannya dengan cara tertentu yang masih
belum berupa zat kimia murni (Farmakope Indonesia edisi III, 1979).
o Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian hewan atau
zat yang dihasilkan hewan yang masih belum berupa zat kimia murni
(Farmakope Indonesia edisi III, 1979).
o Simplisia mineral
Simplisia mineral adalah simplisia berasal dari bumi, baik yang telah
diolah atau belum, tidak berupa zat kimia murni (Farmakope Indonesia
edisi III, 1979).
Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan
tumbuhan liar (wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat
dijamin selalu ajeg (konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat
tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen
dan preparasi akhir. Usaha untuk mengajegkan variabel tersebut dapat
dianggap sebagai usaha untuk menjaga keajegan mutu simplisia (DepKes,
2000).
2.2.1 Tahapan Pembuatan Simplisia
Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut :
(DepKes, 1985).
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Pengumpulan bahan baku
Pengumpulan bahan baku atau waktu pemanenan yang tepat adalah
pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif
dalam jumlah terbesar.
b. Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran – kotoran atau
bahan asing lainnya dari bahan simplisia.
c. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan
dengan air bersih.
d. Perajangan
Perajangan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses
pengeringan, pengepakan, dan penggilingan.
e. Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang
tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang
lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi
enzimatik akan dicegah penurunan mutu dan perusakan simplisia.
f. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia. Tujuannya adalah untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan.
2.3 Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Farmakope Indonesia edisi IV, 1995).
Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati, yang
mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pelarut dan pengawet. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan
dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienaptuangkan.
Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope (Farmakope
Indonesia edisi IV, 1995).
Proses pembuatan ekstrak terdiri dari beberapa tahap yaitu :
Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya, cairan pelarut, separasi dan
pemurnian, pemekatan / penguapan, dan pengeringan ekstrak (DepKes,
2000).
a) Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk
simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia
dengan peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini
dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal. Seperti
semakin halus serbuk simplisia, maka proses ekstraksi makin efektif dan
efisien, namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara teknologi
peralatan untuk tahap filtrasi (DepKes, 2000).
b) Cairan pelarut
Cairan pelarut dalam pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif,
dengan demikian senyawa tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari
senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian
besar senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam ekstrak total, maka
cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder
yang terkandung (DepKes, 2000).
c) Separasi dan pemurnian
Tujuan dari tahap ini adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa yang
tidak dikendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa
kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih
murni. Proses – proses pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua
cairan tak campur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorbsi dan
penukar ion (DepKes, 2000).
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d) Pemekatan / Penguapan (vaporasi dan evaporasi)
Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut)
secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak
hanya menjadi kental/pekat (DepKes, 2000).
e) Pengeringan ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga
menghasilkan serbuk, massa kering–rapuh, tergantung proses dan
peralatan yang digunakan (DepKes, 2000).
2.4 Metode Ekstraksi
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan 2 cara,
yaitu :
1. Cara Dingin, antara lain :
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut beberapa kali pengocokan atau pengadukan
pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk
ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan
yang kontinu (terus–menerus). Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilkukan penyaringan
maserat pertama, dan seterusnya (DepKes, 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru
sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya
dilakukan pada temperatur ruangan (DepKes, 2000).
2. Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur
titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas
yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (DepKes,
2000).
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Soxlet
Soxlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu
baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan
adanya pendingin balik (DepKes, 2000).
c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan
kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan
(kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 – 50 oC
(DepKes, 2000).
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,
temperatur terukur 96–98 oC) selama waktu tertentu (15-20 menit)
(DepKes, 2000).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (> 30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air (DepKes, 2000).
Faktor–faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak, antara lain : (DepKes,
2000).
1. Faktor biologi
a) Identitas jenis (species). Jenis tumbuhan dari sudut keragaman
hayati dapat dikonfirmasi sampai informasi genetik sebagai
faktor internal untuk validasi jenis (species).
b) Lokasi tumbuhan asal. Lokasi berarti faktor eksternal, yaitu
lingkungan (tanah dan atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi
berupa energi (cuaca, temperatur, cahaya) dan materi (air,
senyawa organik dan anorganik).
c) Periode pemanenan hasil tumbuhan. Faktor ini menentukan
kapan senyawa kandungan mencapai kadar optimal dari proses
biosintesisnya.
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d) Penyimpanan bahan tumbuhan. Merupakan faktor eksternal
yang dapat diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas
bahan serta adanya kontaminasi.
e) Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.
2. Faktor kimia
a) Faktor internal, yaitu jenis senyawa aktif dalam bahan,
komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif
senyawa aktif, kadar total rata – rata senyawa aktif.
b) Faktor eksternal, yaitu metode ekstraksi, perbandingan ukuran
alat ekstraksi, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang
digunakan, kandungan logam berat dan pestisida.
2.5 Kanker
Kanker atau neoplasma ialah penyakit pertumbuhan sel yang
terjadi karena dalam tubuh timbul dan berkembang biak sel-sel baru yang
bentuk, sifat dan kinetikanya berbeda dari sel normal asalnya. Sel yang
baru itu pertumbuhannya liar, terlepas dari sistem kendali pertumbuhan
normal sehingga merusak bentuk dan atau fungsi organ yang terkena. Kata
neoplasma berasal dari bahasa Yunani neos yang berarti baru dan plasein
yang berarti bentukan, yaitu bentukan baru berupa sel baru yang berbeda
dari sel asalnya. Sel neoplasma itu terjadi karena ada mutasi atau
transformasi sel normal akibat adanya kerusakan gen yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi sel (Sukardja, 2000).
Segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya kanker disebut
karsinogen. Dari berbagai penelitian dapat diketahui bahwa karsinogen
dapat dibagi menjadi 4 golongan : (Pringgoutomo,S.dkk.,2002)
a. Karsinogen kimia, contohnya : asap rokok, pewarna Azo,
pengawet makanan, dan beberapa unsur logam seperti nikel dan
plumbum.
b. Karsinogen virus, contohnya : Human Papiloma Virus (HPV)
penyebab karsinoma serviks, serta virus Hepatitis B (HBV)
penyebab karsinoma sel hati.
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Karsinogen radiasi, contohnya : radiasi UV
d. Agen biologik, contohnya : beberapa jenis hormon, mikotoksin,
dan parasit.
Dari percobaan pada binatang diketahui bahwa terjadinya neoplasma
melalui 2 tahap transformasi sel yaitu tahap inisiasi dan tahap promosi
(Pringgoutomo,S.dkk.,2002)
Tahap Inisiasi
Pada tahap inisiasi sel normal berubah menjadi sel yang
mempunyai potensi untuk menjadi sel neoplastik. Pada tahap ini
karsinogen yang bekerja sebagai inisiator, cenderung berubah baik
langsung maupun melalui perubahan metabolik menjadi gugus
yang bereaksi dengan DNA, mengakibatkan DNA pecah,
mengalami metilasi atau hambatan perbaikan kerusakan DNA.
Tahap Promosi
Bahan kimia yang merangsang transformasi neoplastik pada sel
yang telah diinisiasi tetapi tidak menyebabkan transformasi
neoplastik oleh dirinya sendiri disebut promotor. Promotor bekerja
mengubah ekspresi informasi genetik sel. Promotor merangsang
proliferasi klonal pada sel yang telah diinisiasi dan mengubah cara
diferensiasi dan maturasi.
2.6 Kanker Payudara (Carsinoma Mammae)
Kanker payudara adalah keganasan yang bermula dari sel-sel
payudara. Kanker ini menyerang jaringan payudara, tumbuh di dalam
kelenjar susu, saluran susu, dan jaringan lemak. Terjadinya karena ada
pertumbuhan abnormal sel pada kelenjar payudara. Namun, pertumbuhan
kanker payudara jauh lebih lambat dibandingkan dengan jenis kanker
lainnya. Sistem getah bening adalah salah satu cara utama kanker payudara
menyebar. Sel-sel kanker payudara dapat memasuki pembuluh limfe dan
mulai tumbuh di kelenjar getah bening. Jika sel-sel kanker payudara telah
mencapai pembuluh getah bening di ketiak (node axilaris), tandanya
adalah pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak. Bila ini terjadi,
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kemungkinan besar sel-sel kanker telah masuk ke aliran darah dan
menyebar ke organ tubuh lainnya (Soebachman, 2011).
2.6.1 Faktor Etiologi Kanker Payudara
Kanker payudara terjadi akibat adanya mutasi tertentu pada DNA
sel payudara. Sebagian mutasi gen bersifat diwariskan (genetic).
Sementara sebagian yang lain tampak terjadi dengan sendirinya tanpa
diketahui penyebab pastinya (Soebachman, 2011).
2.6.2 Faktor Risiko Kanker Payudara (Dalimartha, 2004)
Penyebab pasti dari kanker payudara belum diketahui. Namun, ada
beberapa faktor risiko yang bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya
kanker payudara. Beberapa diantaranya sebagai berikut :
Riwayat Keluarga
Beberapa riwayat keluarga yang dianjurkan untuk pemeriksaan
deteksi dini yaitu ibu atau saudara perempuan terkena kanker
payudara, atau kanker yang berhubungan dari ibu atau ayah, kanker
ovarium, endometrium, kolorektal, prostat, tumor otak, leukimia,
dan sarkoma.
Faktor Hormon
Faktor hormon merupakan faktor yang banyak berpengaruh pada
timbulnya kanker payudara, seperti mendapat haid pertama
(menarke) sebelum umur 10 tahun, mati haid (menopause) setelah
umur 55 tahun, tidak menikah atau tidak melahirkan anak,
melahirkan anak pertama setelah umur 35 tahun, dan tidak pernah
menyusui anak.
Faktor Umur
Wanita berusia di atas 30 tahun mempunyai kemungkinan lebih
besar mendapat kanker payudara dan kemungkinan tersebut terus
bertambah sampai setelah menopause.
Pernah mengalami infeksi, trauma/benturan, operasi payudara
akibat tumor jinak (kelainan fibrokistik dan fibroadenoma), atau
tumor ganas payudara kontralateral.
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pernah menggunakan obat hormonal yang lama, seperti terapi sulih
hormon atau hormonal replacement therapy (HRT), dan
pengobatan kemandulan (infertilitas).
Pemakaian kontrasepsi oral pada penderita tumor payudara jinak
seperti kelainan fibrokistik.
Pernah mendapat radiasi sebelumnya pada payudara atau dinding
dada, misalnya untuk pengobatan keloid.
Peningkatan berat badan yang signifikan pada usia dewasa.
2.6.3 Gejala Penyakit Kanker Payudara (Dalimartha, 2004)
Kanker payudara pada tahap dini biasanya tidak menimbulkan
keluhan. Penderita merasa sehat, tidak merasa nyeri, dan tidak terganggu
aktivitasnya. Tanda yang mungkin dirasakan pada stadium dini adalah
teraba benjolan kecil di payudara. Keluhan baru timbul bila penyakitnya
sudah lanjut. Beberapa keluhannya yaitu :
Teraba benjolan pada payudara.
Bentuk dan ukuran payudara berubah, berbeda dari sebelumnya.
Luka pada payudara sudah lama tidak sembuh walau diobati.
Eksim pada puting susu dan sekitarnya sudah lama tidak sembuh
walau diobati.
Keluar darah, nanah, atau cairan encer dari puting atau keluar air
susu pada wanita yang tidak sedang hamil atau tidak sedang
menyusui.
Puting susu tertarik kedalam.
Kulit payudara mengerut seperti kulit jeruk (peau d’orange).
2.6.4 Pencegahan Kanker Payudara (Dalimartha, 2004)
Kanker payudara bisa dicegah dengan beberapa tindakan seperti
berikut :
Penggunaan obat-obat hormonal harus dengan sepengetahuan
dokter.
Wanita dengan riwayat keluarga menderita kanker payudara atau
yang berhubungan, tidak menggunakan alat kontrasepsi yang
mengandung hormon, seperti pil, suntikan, dan susuk KB.
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Melakukan pemeriksaan terhadap diri sendiri setiap bulan. Bagi
wanita berisiko tinggi, melakukan juga pemeriksaan mammografi
secara berkala, terutama pada usia di atas 49 tahun.
Memberikan air susu ibu (ASI) pada anak selama mungkin dapat
mengurangi faktor risiko terkena kanker payudara. Hal ini
disebabkan selama proses menyusui, tubuh akan memproduksi
hormon oksitosin yang dapat mengurangi produksi hormon
estrogen. Hormon estrogen dianggap memegang peranan penting
dalam perkembangan sel kanker payudara.
Mejaga kesehatan dengan mengonsumsi buah dan sayuran segar.
Kedelai beserta produk olahannya, seperti susu kedelai, tahu, dan
tempe, mengandung fitoestrogen bernama genistein yang dapat
menurunkan kejadian kanker payudara.
Menghindari makanan berkadar lemak tinggi. Dari hasil penelitian,
konsumsi makanan berkadar lemak tinggi berkorelasi dengan
peningkatan kanker payudara.
2.7 MCF-7 Cell line
Sel MCF-7 adalah salah satu model sel kanker payudara yang
banyak digunakan dalam penelitian. Sel ini diperoleh dari jaringan epitel
payudara dengan titik metastasis pleural effusion breast adenocarcinoma
seorang wanita berusia 69 tahun dengan etnis kaukasian bergolongan
darah O dengan Rh+. Sel MCF-7 bersifat adherent sehingga metode kultur
yang tepat adalah metode monolayer. Akronim dari MCF-7 yaitu
Michigan Cancer Foundation-7 (ATCC, 2012).
2.8 Antikanker
2.8.1 Obat Antikanker
Obat antikanker adalah senyawa kemoterapetik yang digunakan
untuk pengobatan tumor yang membahayakan kehidupan (kanker). Obat
antikanker sering dinamakan pula sebagai obat sitotoksik. Tujuan utama
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pengobatan kanker adalah merusak secara selektif sel tumor yang
berbahaya tanpa menganggu sel normal (Siswandono, 2000)
2.8.2 Mekanisme Kerja Obat Antikanker
Banyak obat antikanker yang bekerja dengan cara mempengaruhi
metabolisme asam nukleat, terutama DNA, atau biosintesis protein. Obat
antikanker dapat mempengaruhi proses kehidupan sel (Siswandono, 2000)
Proses kehidupan sel merupakan suatu siklus yang terdiri dari
beberapa fase sebagai berikut : (Siswandono, 2000)
1. Fase mitotik (M) : fase dimana terjadi pembelahan sel aktif. Setelah
melalui fase ini ada 2 alternatif :
a. Menuju fase G1 dan memulai proses proliferasi.
b. Masuk ke fase istirahat (Go), pada fase istirahat (Go) kemampuan
sel untuk berproliferasi hilang,sel meninggalkan siklus secara tidak
terpulihkan.
2. Fase post mitotik (G1), pada fase ini tidak terjadi sintesis DNA, tetapi
terjadi sintesis RNA dan protein. Pada akhir fase G1 terjadi sintesis
RNA yang optimum.
3. Fase sintetik (S), pada fase ini terjadi replikasi DNA sel.
4. Fase post sintetik (G2), fase ini dimulai bila sel sudah menjadi
tetraploid dan mengandung 2 DNA, kemudian sintesis RNA dan
protein dilanjutkan. Selanjutnya sel kembali ke fase mitotik, demikian
seterusnya sehingga merupakan suatu siklus.
2.8.3 Penggolongan Obat Antikanker
Obat antikanker dibagi menjadi 5 kelompok yaitu senyawa
pengalkilasi, antimetabolit, antikanker produk alam, hormon dan golongan
lain-lain (Siswandono, 2000)
1) Senyawa Pengalkilasi
Senyawa pengalkilasi adalah senyawa reaktif yang dapat mengalkilasi
DNA, RNA dan enzim – enzim tertentu. Mekanisme kerjanya adalah
membentuk senyawa kationik antara yang tidak stabil, diikuti
pemecahan cincin membentuk ion karbonium reaktif. Ion ini bereaksi,
melalui reaksi alkilasi, membentuk ikatan kovalen dengan gugus –
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
gugus donor elektron, seperti gugus karboksilat, amin, fosfat dan tiol,
yang terdapat pada struktur asam amino, asam nukleat dan protein,
yang sangat dibutuhkan untuk proses biosintesis sel. Reaksi ini
membentuk hubungan melintang (cross linking) antara dua rangkaian
DNA, akibatnya proses pembentukan sel terganggu dan terjadi
hambatan pertumbuhan sel kanker.
2) Antimetabolit
Antimetabolik adalah senyawa yang dapat menghambat jalur
metabolik yang penting untuk kehidupan dan reproduksi sel kanker,
melalui penghambatan asam folat, purin, pirimidin dan asam amino,
serta jalur nukleosida pirimidin, yang diperlukan pada sintesis DNA.
Struktur antimetabolit berhubungan erat dengan struktur metabolit
normal dan bersifat sebagai antagonis.
3) Antikanker Produk Alam
Antikanker produk alam dibagi mejadi tiga kelompok yaitu antibiotika
antikanker, antikanker produk tanaman dan antikanker produk hewan.
Antibiotika Antikanker
Beberapa antibiotik yang mula – mula dikembangkan sebagai
senyawa antibakteri ternyata didapatkan memiliki efek sitotoksik
tinggi. Efek samping tersebut dievaluasi dan kemudian
dikembangkan menjadi obat – obat antikanker.
Antikanker Produk Tanaman
Mekanisme kerjanya sebagai antikanker adalah mengikat tubuli
dan menghambat pembentukan komponen mikrotubuli pada
kumparan mitosis sehingga metafase berhenti.
Antikanker Produk Rekayasa Genetika
Contohnya : antineoplaston, interferon α-2a, interferon α-2b.
4) Hormon
Beberapa neoplasma dapat dikontrol baik oleh hormon seks, seperti
hormon androgen, progestin dan estrogen, serta hormon
adrenokortikoid. Biasanya untuk pengobatan tambahan sesudah
pembedahan, dikombinasi dengan antikanker yang lain.
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.9 Kultur Sel (Malole, 1990)
Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau
jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis
menjadi suspensi sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi
satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras (botol,
tabung, cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh.
Monolayer tersebut kemudian diperbanyak lagi sesudah melalui proses
pemisahan sel secara enzimatis dan diencerkan dengan media penumbuh.
Teknik ini disebut subkultur atau pasase. Apabila dipasase terus menerus
maka dihasilkan sel lestrai (cell line).
Sel lestari memiliki beberapa sifat, yaitu : terjadi peningkatan
jumlah sel, sel-sel tersebut memiliki daya tumbuh yang tinggi, sel-sel
tersebut seragam, dan biasanya sel-sel tersebut mengalami perubahan
fenotipe dan transformasi.
Sebelum penambahan sel medium harus dipanaskan dahulu pada
temperatur 37 oC dan pHnya distabilkan. Bibit yang digunakan untuk
produksi sel hendaknya sel yang berada pada fase akhir pertumbuhan
logaritmis agar dapat dicapai tingkat produktivitas yang tinggi karena sel
tersebut masih aktif berbiak. Jumlah sel yang digunakan sebagai bibit
bervariasi antara jenis sel dan tergantung pada keadaan medium yang
digunakan, secara umum biasanya jumlah sel tersebut antara 50.000
sampai 200.000 sel/mL atau 5.000 sampai 20.000 sel/cm2. Pengadukan
suspensi sel dilakukan pada kecepatan yang optimum, walaupun kecepatan
tersebut bervariasi pada setiap jenis sel dan bentuk bejana, akan tetapi
secara umum dapat digunakan 100-500 rpm, untuk kultur yang memakai
microcarrier antara 20-100 rpm.
Produktivitas dari suatu sistem produksi sel dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :
a. Medium dan Bahan Nutrisi
Kualitas dan kuantitas bahan nutrisi yang tersedia dalam
medium menentukan jumlah sel yang dapat ditumbuhkan pada
kultur tersebut. Medium yang digunakan harus komplit
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(mengandung suplemen dan asam lemak). Untuk mempertahankan
kehidupan atau kultur sel perlu ada tambahan bahan nutrien serta
penggantian medium yang lama dengan medium yang baru secara
keseluruhan atau hanya sebagian atau dengan perfusi.
b. pH dan Dapar (buffer)
pH yang ideal untuk kultur jaringan adalah 7,4 dan
diusahakan agar selama proses pembiakan sel pH tersebut tidak
lebih rendah dari 7 karena pH yang lebih rendah biasanya
memperlambat pertumbuhan sel.
Sistem buffer yang biasa digunakan dalam media adalah
sistem karbondioksida bikarbonat yang sama seperti dalam darah.
Daya buffer dari medium ditingkatkan dengan adanya ion fosfat
yang terdapat pada larutan garam seimbang.
c. Oksigen
Peningkatan produksi sel pada kultur sangat tergantung
pada kecukupan penyediaan oksigen. Pemberian oksigen pada
kultur dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain pemberian
udara pada permukaan medium, difusi membran, perfusi medium
dan pemompaan oksigen langsung kedalam media.
2.10 Uji Sitotoksisitas
Uji sitotoksik adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan
kultur sel yang digunakan dalam evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat
tambahan makanan, pestisida dan digunakan untuk mendeteksi adanya
aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa (Freshney, 1992).
Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan, seperti: dapat
digunakan pada langkah awal pengembangan obat, hanya membutuhkan
sejumlah kecil bahan yang digunakan untuk kultur primer manusia dari
berbagai organ target (ginjal, liver, kulit) serta memberikan informasi
secara langsung efek potensial pada sel target manusia. Akhir dari uji
sitotoksik dapat memberikan informasi konsentrasi obat maksimal yang
masih memungkinkan sel mampu bertahan hidup. Penetapan jumlah sel
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang masih bertahan hidup pada uji sitotoksisitas dapat dilakukan dengan
berbagai cara yang seringkali didasarkan pada parameter kerusakan
membran, gangguan sintesis dan degradasi makromolekul, modifikasi
kapasitas metabolisme serta perubahan morfologi sel. Metode lain yang
dapat digunakan adalah metode kolorimetrik menggunakan suatu substrat
yang akan dimetabolisme oleh sel menjadi produk berwarna misal MTT
{3-(4,5-dimetil tiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida). Uji sitotoksik
dapat menggunakan parameter lC50. Nilai lC50 menunjukkan nilai
konsentrasi yang menghasilkan hambatan pertumbuhan sel sebesar 50%
dari populasi. Nilai lC50 dapat menunjukkan potensi suatu senyawa sebagai
sitotoksik. Semakin besar nilai lC50 maka senyawa tersebut semakin tidak
toksik (Heti, 2008).
2.11 Metode Pengujian Sitotoksik
a. MTT assay
MTT assay adalah teknik yang sering dipakai pada umumnya,
teknik ini menggunakan garam tetrazolium atau MTT {3-(4,5-dimetil
tiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida) yang berwarna kuning dimana
akan dimetabolisme oleh enzim suksinat dehidrogenase yang terdapat
pada mitokondria sel menjadi kristal formazan berwarna ungu (Freshney,
1992). MTT dilarutkan dalam Phosphate Buffer Saline (PBS) 5 mg/ml dan
disaring untuk menghilangkan residu yang tidak larut. MTT ditambahkan
secara langsung pada plate yang berisi medium kultur sebanyak 10-100 µl
dan diinkubasi selama kurang lebih 4 jam pada 37o C. Kristal formazan
yang berwarna ungu yang terbentuk akan terlarut dengan penambahan
isopropanol asam (100 µl 0,04 N HCl dalam isopropanol) atau SDS 10%
dalam HCl 0,01 N. Selanjutnya dibaca absorbansinya pada panjang
gelombang 550 nm. Intensitas warna yang terbentuk berbanding langsung
dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme (Zakaria, 2010).
b. Metode Perhitungan Langsung
Metode Perhitungan Langsung dilakukan dengan pengecatan
menggunakan larutan biru tripan. Sel yang mati akan menyerap warna biru
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tripan, sedangkan yang mati tidak. Hal ini disebabkan karena sel yang mati
mengalami kerusakan pada membran selnya, mengakibatkan protein
didalam sel keluar dan berikatan dengan biru tripan. Pemberian biru tripan
dilakukan secara bertahap untuk menghindari kemungkinan kematian sel
yang disebabkan oleh biru tripan dan hasilnya sel yang mati akan tampak
keruh tidak bercahaya (Agoes, 1994).
c. Perubahan Integritas Membran
Metode ini terutama digunakan untuk senyawa toksik yang
memberikan efek dengan merusak membran sel yang tidak terjadi dalam
keadaan normal (seperti biru tripan dan eritrosin) dan pengeluaran isotop
atau pewarna dalam keadaan normal tidak dikeluarkan oleh sel, seperti
15Kromium dan diasetil fluoresin (Freshney, 1992).
d. Radioisotop
Pemasukan radioisotop seperti [3H]-timidin ke dalam DNA dan
[3H]-uridin ke dalam RNA (Freshney, 1992).
2.12 Microplate Reader
Microplate reader adalah jenis spektrofotometer khusus. Prinsip
kerjanya adalah cahaya lampu memancarkan panjang gelombang cahaya,
lalu disaring oleh monokromator menjadi cahaya monokromatik. Sebagian
cahaya tersebut kemudian diserap oleh sampel yang ada di dalam
microplate dan sebagian yang lainnya diteruskan oleh sampel menuju
detektor fotolistrik. Dari detektor fotolistrik serapan diubah menjadi sinyal
listrik hingga akhirnya didapat nilai absorbansi yang tertera pada komputer
(Anonim, 2012).
21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daun tumbuhan paku
(Angiopteris angustifolia C. Presl.)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alur Penelitian
Simplisia
Maserasi dengan etanol 70 %
Ekstrak etanol dipekatkan
dengan evaporator
Ekstrak etanol
kental
Uji sitotoksisitas dengan
metode MTT
Perhitungan %
penghambatan proliferasi
Analisa data lC50
Sel MCF-7
Thawing
Subkultivasi
Perhitungan kepadatan
sel dengan
Haemocytometer
Analisa kandungan
kimia : Alkaloid,
Flavonoid, glikosida,
saponin, tanin, dll.
Ekstrak dipekatkan
dengan Frezee Dry.
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2012 sampai bulan Desember
2012.
3.2.2 Tempat Penelitian
Pembuatan ekstrak etanol dilakukan di Laboratorium Product Natural
Analysist (PNA) FKIK Jurusan Farmasi UIN Jakarta. Penelitian Uji
Sitotoksisitas dilakukan di Laboratorium Litbang RS. Kanker Dharmais –
Jakarta.
3.3 Alat dan Bahan
3.3.1 Alat Penelitian
Alat – alat yang digunakan adalah gunting, kertas koran, pisau,
erlenmeyer, gelas ukur, spatula, blender, labu ukur, kertas saring, rotari
evaporator, kapas, corong, cawan penguap, lemari es, vial, oven, satu set
tabung reaksi, timbangan analitik (Kern), inkubator CO2 (Memmert),
autoklaf (Hirayama), sentrifuge (Hettich), sentrifuge tube 15 mL dan 50
mL (Corning), Laminar Air Flow cabinet (LAF), biological safety cabinet
II (Esco), mikroskop inverted (Olympus), tangki nitrogen cair (Thermo),
culture flask (Corning), cryogenic vials (Nalgene), mikro pipet
(Eppendorf), pipet tips (Axygen), pipet tips 5 mL (Eppendorf), syiringe
200 cc (Terumo), syiringe filter (Minisart), vortex (Heidolph), tabung
conical (Nunclon), microplate 96 sumuran (Nunclon), haemocytometer
(Nebauer), microplate reader, tabung falcon, hot plate, kulkas 4 oC dan -
20oC (Toshiba), kulkas -80
oC (Thermo).
3.3.2 Bahan yang digunakan
a. Simplisia
Bahan utama dalam uji sitotoksisitas ini adalah bagian daun dari
tumbuhan paku yaitu Angiopteris angustifolia [C.Presl] yang diperoleh
dari hutan daerah bogor, dan telah diidentifikasi di Herbarium Bogoriense
Litbang LIPI Cibinong, Bogor.
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Sel Uji
Sel yang digunakan untuk uji sitotoksik adalah sel MCF-7 yang
diperoleh dari stok Laboratorium Litbang RS. Kanker Dharmais Jakarta.
c. Bahan Kimia yang Digunakan
Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah etanol
70%, klorofom, aquadest, HCl, dragendorf, meyer, serbuk Mg, amil
alkohol, FeCl3, pereaksi Stiasny (Formaldehid 30% : HCl pekat = 2 : 1),
Na asetat, NaOH, pereaksi Liebermann-Buchard (2 tetes asam asetat
anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat), eter, ammonia (NH4OH) 10%, media
sel RPMI (Rosewell Park Memorial Institute) (Gibco), Phosphate Buffered
Salina (PBS), Penicillin-streptomisin, Fetal Bovine Serum (FBS) (Sigma),
Trypsin EDTA 5% (Sigma), MTT [3-(4,5 dimetiltiazol-2-yI)-2,5 difenil
tetrazolium bromide] (Sigma), Trypan Blue Stain 0,4% (Sigma), DMSO
(Dimetil Sulfoksida) (AppliChem), Sodium bikarbonat (NaHCO3).
3.4 Metode Penelitian
3.4.1 Persiapan Simplisia
Daun tumbuhan paku yang telah dipisahkan dari batang dan
tangkainya, kemudian dibersihkan menggunakan tissue untuk
menghilangkan kotoran yang melekat pada daun tumbuhan paku tersebut.
Kemudian dirajang dan dikering anginkan. Setelah kering, daun tumbuhan
paku diblender sehingga diperoleh simplisia halus.
3.4.2 Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak etanol dilakukan dengan cara maserasi serbuk
daun tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl. menggunakan
etanol 70%. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dengan pelarut, penggantian pelarut dilakukan 3 hari sekali sampai cairan
pelarut tidak berwarna atau bening, dimana setiap hari labu maserasi
digoyang-goyangkanagar semua serbuk dapat menyentuh pelarut dengan
sempurna. Setelah semua filtrat terkumpul dilakukan pemekatan dengan
evaporator pada suhu 50-60 oC sampai pelarut tidak lagi menetes. Akan
tetapi setelah dipekatkan ekstrak tersebut masih mengandung air,
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kemudian dilakukan teknik freezdry untuk mengangkat air tersebut
sehingga didapat ekstrak kental. Proses freezdry dilakukan selama 12 jam.
3.4.3 Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui kandungan
senyawa kimia seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, fenol, glikosida,
dan triterpenoid yang terdapat pada ekstrak.
a. Pemeriksaan Ekstrak (Ayoola et al., 2008)
1) Gula Pereduksi (Uji Fehling)
Larutan ekstrak etanol (0,5 gram ekstrak dalam 5 mL aquadest) lalu
ditambahkan larutan Fehling A dan B kemudian dididihkan dalam tabung
reaksi. Perubahan warna yang terjadi pada larutan mengindikasikan
adanya gula pereduksi.
2) Terpenoid (Uji Salkowski)
Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 2 mL kloroform, kemudian
ditambahkan 3 mL asam sulfat (H2SO4) untuk membentuk lapisan.
Adanya warna merah kecoklatan diantara lapisan mengindikasikan adanya
terpenoid.
3) Triterpenoid (Tiwari, 2011)
Uji Salkowskii: Ekstrak dilarutkan dengan kloroform dan disaring. Filtrat
kemudian ditambahkan beberapa tetes larutan asam sulfat, lalu dikocok
dan didiamkan. Terbentuk warna kuning keemasan mengindikasikan
adanya triterpenoid.
4) Flavonoid
Terdapat 3 metode yang digunakan untuk menguji keberadaan flavonoid :
Pertama: 5 ml larutan ammonia ditambahkan ke dalam filtrat air dari
ekstrak, lalu ditambahkan 1 mL asam sulfat. Terbentuk warna kuning
menunjukkan adanya flavonoid.
Kedua: Beberapa tetes dari larutan ammonia 1% ditambahkan ke dalam
filtrat ekstrak. Terbentuk warna kuning menunjukkan adanya flavonoid.
Ketiga: Sejumlah cuplikan ekstrak ditambahkan 10 mL etil asetat dan
dipanaskan atau menggunakan penangas air selama 3 menit. Campuran
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kemudian disaring, diambil 4 mL filtratnya dan ditambahkan dengan 1 mL
larutan ammonia. Terbentuk warna kuning menunjukkan adanya
flavonoid.
5) Saponin
0,5 gram ekstrak ditambahkan 5 mL aqua destilat dalam tabung reaksi.
Larutan kemudian dikocok dengan kuat, lalu diamati busa yang terbentuk
secara stabil. Ke dalam busa ditambahkan 3 tetes minyak zaitun lalu
dikocok kuat, terbentuknya emulsi mengindikasikan keberadaan saponin.
6) Tannin
0,5 gram ekstrak dididihkan dalam 10 mL aquadest dalam tabung reaksi,
lalu disaring. Kemudian kedalam filtrat ditambahkan beberapa tetes ferri
klorida 0,1%. Terbentuk warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman
menunjukkan keberadaan tannin.
7) Alkaloid (Tiwari, 2011)
Ekstrak dilarutkan dalam HCl dan disaring, lalu filtratnya dikumpulkan.
Uji Meyer: Filtrat ditambahkan dengan reagent Meyer (potasium merkuri
iodida). Terbentuk endapan berwarna kuning mengindikasikan adanya
alkaloid.
Uji Dragendroff: Filtrat ditambahkan dengan reagent Dragendroff (larutan
potasium bismut iodida). Terbentuk endapan merah mengindikasikan
adanya alkaloid.
8) Glikosida Jantung (Uji Keller-Killani)
0,5 gram ekstrak dilarutkan dengan 5 mL aquadest dan ditambahkan 2 mL
asam asetat glasial yang mengandung satu tetes larutan ferri klorida. Lalu
ditambahkan pada lapisan bawah dengan asam sulfat. Terbentuknya cincin
coklat diantara lapisan menujukkan adanya deoxysugar yang merupakan
karakteristik dari kardeonolid. Cincin ungu dapat terlihat dibawah cincin
coklat, pada lapisan asam asetat dapat terbentuk cincin kehijauan sedikit
diatas cincin coklat lalu tersebar perlahan-lahan keseluruh lapisan tersebut.
9) Fenol (Tiwari, 2011)
Uji Ferri Klorida: Ekstrak ditambahkan 3-4 tetes larutan ferri klorida.
Terbentuk warna hitam kebiru-biruan mengindikasikan adanya fenol
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10) Protein (Tiwari, 2011)
Uji Xantoprotein: Ekstrak ditambahkan beberapa tetes dari larutan asam
nitrat. Terbentuk warna kuning mengindikasikan adanya protein.
b. Rendemen total ekstrak etanol tumbuhan paku
Rendemen ekstrak tumbuhan paku total dihitung dengan
membandingkan berat awal serbuk dengan berat akhir ekstrak tumbuhan
paku total yang dihasilkan.
3.4.4 Sterilisasi Alat
Alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan steril. Untuk
senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan perlakuan dapat dilakukan
secara aseptis di dalam LAF (Laminar Air Flow), hal ini bukanlah proses
sterilisasi akan tetapi dilakukan untuk mencegah adanya kontaminasi.
Filter yang umumnya digunakan adalah syiringe filter membrane non
pyrogenic dengan ukuran pori 0,2 µM. Untuk alat-alat gelas dicuci bersih
lalu dikeringkan, selanjutnya dibungkus dengan kertas dan disterilkan
dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit.
3.4.5 Pembuatan Reagen
a. Pembuatan Larutan PBS (Phosphat Buffer Saline)
Ke dalam gelas becker dimasukkan aqua steril lalu ditambahkan
serbuk PBS secara perlahan-lahan dan diaduk menggunakan magnetic
stirrer sampai serbuk terlarut sempurna. Dilakukan pengecekan pH (7,2).
Kemudian dimasukkan ke dalam botol yang bertutup dan disterilisasi
menggunakan autoklaf selama 20 menit pada suhu 121o C. Lalu disimpan
pada suhu ruangan (Freshney, 2010). Adapun pembuatan secara manual
adalah dengan Sebanyak 2.16 gram hidrogen fosfat (Na2HPO4) ditimbang,
kemudian ditambahkan 0.20 gram kalium fosfat (KH2PO4), 8.0 gram
natrium klorida (NaCl) dan 0.20 gram kalium klorida (KCl). Kemudian
dilarutkan dalam aquadest steril hingga 1 liter. Larutan distabilkan pada
pH 7.2 dengan menggunakan alat pH meter kemudian disterilkan dengan
autoklaf dan disimpan pada suhu kamar.
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Pembuatan Larutan MTT (3 – [4,5 – dimethylthiazol – 2Yi] – 2,5 –
diphenyl tetrazolium bromide)
Melarutkan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium
bromide (MTT) sebanyak 50 mg/mL dalam PBS. Kemudian disterilisasi
dengan filtrasi (Freshney, 2010). Filtrasi dilakukan menggunakan syiringe
filter membrane non pyrogenic dengan diameter pori sebesar 0.2 μM.
c. Pembuatan Larutan Trypsin
25 gram Trypsin ditimbang dan ditambahkan NaCl 0,14 M hingga
1 liter kemudian diaduk hingga larut menggunakan magnetic stirrer
selama 1 jam pada suhu ruangan. Lalu disterilisasi dengan filtrasi.
Kemudian dibagi ke dalam 10-20 ml bagian dan disimpan pada suhu -20o
C. Sebelum digunakan dilarutkan terlebih dahulu dengan PBS
(perbandingan 1: 10). Larutan Trypsin yang disimpan pada suhu 4o C akan
stabil maksimal 3 minggu (Freshney, 2010).
d. Pembuatan Larutan Trypan Blue
0.4 % Trypan Blue dilarutkan ke dalam PBS (Freshney, 2010).
e. Pembuatan Medium RPMI Berserum
Sebanyak 500 mL medium RPMI ditambahkan 10% FBS yaitu 50
mL dan Penstrep (Penisilin-Streptomisin) sebanyak 5 mL kemudian
dihomogenkan. Selanjutnya larutan medium RPMI berserum disaring
dengan syiringe filter membrane non pyrogenic dengan diameter pori
sebesar 0.2 μM dan disimpan pada suhu 4oC.
3.4.6 Persiapan Larutan Uji dan Blangko DMSO
a. Larutan Uji ekstrak etanol
200 mg ekstrak etanol ditimbang dalam microtube, kemudian
dilarutkan dengan 1.000 µl DMSO 99,5%, lalu disentrifus sampai
homogen. Larutan ini dijadikan larutan induk dengan konsentrasi 200.000
ppm (larutan induk 1). Selanjutnya dari larutan induk 1 dibuat konsentrasi
200 ppm (larutan induk 2), lalu dibuat larutan uji dengan seri 100 μg/mL,
50 μg/mL 25 μg/mL, 12,5 μg/mL, 6,25 μg/mL, 3,125 µg/mL dan 1,5625
µg/mL dengan mengencerkan beberapa µL dari larutan induk 2.
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Kontrol DMSO (Kontrol Negatif)
Larutan DMSO dibuat dengan mengencerkan DMSO 99,5%
menjadi larutan DMSO dengan konsentrasi 0,1%. Selanjutnya larutan
DMSO disaring dengan syiringe filter membrane non pyrogenic dengan
diameter pori sebesar 0.2 μM. Digunakan DMSO pro Analysis.
3.4.7 Persiapan Kultur sel MCF-7 (Freshney, 2010)
a. Pengaktifan sel (Thawing Kultur Sel)
a) Bahan steril yang dibutuhkan : culture flask, tabung sentrifus, mikropipet
& tips 1 mL-10 mL, syiringe.
b) Bahan nonsteril yang dibutuhkan : waterbath suhu 37oC, alkohol swab
70%.
1) Tabung yang berisi cell line MCF-7 dikeluarkan dari tabung nitrogen
cair, kemudian dicairkan dalam waterbath pada suhu 37 oC sampai
gumpalan di dalam vial mencair.
2) Bagian luar dari ampul dibersihkan dengan alkohol swab 70%.
3) Di dalam laminar air flow, cairan sel dipipet sebanyak 1 mL dan
dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, ditambahkan 10 mL medium
RPMI secara perlahan-lahan kemudian disentrifus dengan kecepatan
1000 ppm selama 5 menit.
4) Supernatan yang diperoleh dipisahkan, sedangkan pelet yang terbentuk
disuspensikan dengan 6 mL medium kultur RPMI dan FBS 10%.
5) Suspensi sel dipipet dan dimasukkan ke dalam culture flask, lalu
diinkubasi pada suhu 37oC dalam inkubator CO2 5% selama 24 jam,
medium diganti setiap 3 – 4 hari untuk mendapatkan jumlah sel yang
cukup dengan tingkat kepadatan sekitar 70-80% menutupi culture flask.
b. Pengembangan sel (Sub Kultivasi)
1) Setelah diinkubasi selama 1 hari, cultur flask yang berisi sel dikeluarkan
dari inkubator.
2) Medium yang ada di dalam cultur flask dibuang kemudian dicuci dengan
PBS sebanyak ± 10-15 mL untuk mencuci sebanyak 3-4 kali. Larutan PBS
dibuang, lalu ditambahkan 2 mL tripsin yang telah diencerkan dengan PBS
(200 µL Tripsin + 1800 µL PBS = 2 mL).
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3) Selanjutnya sel diinkubasi selama 3 menit dalam inkubator suhu 37 oC
dengan sedikit membuka tutup cultur flask.
4) Setelah 3 menit, cultur flask dikeluarkan dari inkubator kemudian diketuk-
ketuk bagian luar dari dinding cultur flask dengan tujuan agar sel terlepas
dari permukaan cultur flask. Sel dilihat di mikroskop untuk memastikan
bahwa sel sudah lepas dari permukaan dinding culture flask.
5) Culture flask kemudian dipindahkan ke dalam LAF ditambahkan RPMI
berserum kedalam culture flask sebanyak 400 µL untuk menonaktifkan
tripsin lalu dihomogenkan.
6) Larutan sel dimasukkan ke dalam tabung conical steril dan disentrifus
selama 5 menit dengan kecepatan 1000 rpm.
7) Supernatan dibuang dan diganti dengan medium RPMI ± 1 mL, kemudian
dihomogenkan dengan pipet sehingga sel menyebar ke seluruh media.
8) Larutan sel tersebut diencerkan dengan tripan blue (10 µL tripan blue + 10
µL sel) dan dihitung jumlah selnya menggunakan Haemocytometer. Syarat
jumlah sel dalam setiap sumuran adalah 5x103
sel.
9) Sel dihitung dari keempat bidang besar pada sudut seluruh permukaan
yang terbagi. Penghitungan dimulai dari sisi kiri atas kemudian ke kanan,
turun ke bawah dan dari kanan ke kiri. Cara tersebut dilakukan pada
keempat bidang besar. Sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau
atas harus dihitung. Sebaliknya sel yang menyinggung garis batas sebelah
kanan atau bawah tidak dihitung. Jumlah sel per ml dihitung menggunakan
rumus:
n = Jumlah sel dalam keempat bidang besar
4 = Jumlah bilik haemocytometer yang dihitung
P = Faktor pengenceran terhadap indikator warna
3.4.8 Pemeliharaan Terhadap Kultur Sel Kanker
Sel diamati setiap hari menggunakan mikroskop untuk memeriksa
kemungkinan adanya pencemaran mikroorganisme lain seperti bakteri dan
jamur. Apabila medium kultur telah berubah warna maka diganti dengan
medium RPMI berserum yang baru.
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.9 Uji Sitotoksisitas
Uji sitotoksisitas menggunakan plat kultur jaringan 96 sumuran
sebagai media uji. Sebanyak 100 µL suspensi sel dalam medium RPMI
berserum dimasukkan kedalam setiap sumuran pada plat kultur jaringan,
lalu diinkubasi dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37oC selama 48 jam
untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik (Meiyanto, 2008). Setelah 48
jam sel akan melekat pada dasar mikroplate, lalu medium dibuang, ke
dalam masing-masing sumuran ditambahkan 200 µL larutan uji (ekstrak
etanol tumbuhan paku) dalam medium RPMI 1640 dan larutan kontrol
DMSO (kontrol negatif) dalam medium RPMI 1640 dengan konsentrasi
0,1% serta kontrol sel dalam medium sebanyak 200 µL (sebagai blanko).
Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC dalam inkubator CO2 5% selama 24
jam. Sel diamati dengan mikroskop pada saat inkubasi 4, 8, dan 24 jam.
Didalam LAF masing-masing medium di dalam sumuran dibuang.
Kemudian ditambahkan 100 µL PBS lalu digoyang-goyangkan dan
dibuang. Sebanyak 100 µL RPMI berserum dan 10 µL MTT ditambahkan
ke dalam setiap sumur, kemudian diinkubasi dalam inkubator CO2 5%
pada suhu 37oC selama 4 jam, dikeluarkan dari inkubator dan dilihat
kristal formazan ungu yang terbentuk dengan mikroskop. Selanjutnya
ditambahkan 100 µL DMSO pada masing-masing sumuran dan diaduk
sampai homogen, Masing-masing sumur dibaca secara langsung setelah
penambahan DMSO menggunakan microplate reader pada panjang
gelombang 540-600 nm (CCRC, 2008).
3.4.10 Perhitungan Persentase Kematian Sel
Dengan menggunakan metode MTT presentasi kematian sel
merupakan selisih absorbansi kontrol negatif dengan absorbansi sampel uji
dibagi absorbansi kontrol negatif dikalikan 100%. Masing-masing
absorbansi telah dikoreksi dengan absorbansi dari larutan uji saja setiap
kadar. Perhitungan kematian sel dengan menggunakan metode MTT
menggunakan rumus sebagai berikut: (Zakaria, 2011)
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.11 Analisa Data
Dari hasil perhitungan jumlah sel yang hidup dapat digunakan
untuk menghitung presentase kematian sel dengan tujuan untuk
mendapatkan nilai IC50 dengan analisa probit. Dari data ini dibuat regresi
linier hubungan antara logaritma konsentrasi sebagai X dengan probit
sebagai Y. IC50 diperoleh dengan memasukkan nilai 5 sebagai probit ke
dalam persamaan regresi linier tersebut, kemudian hasil subtitusi ini
diantilogaritma dan hasil tersebut merupakan nilai IC50. Persentase
kematian yang dibuat ke dalam angka probit digambarkan hubungannya
dengan logaritma konsentrasi. Penarikan garis lurus yang paling baik
melalui titik-titik yang ada (berdasarkan penglihatan) dan konsentrasi pada
garis ini yang menyatakan 50% kematian (probit -5). Antilog titik ini
disebut IC50.
32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Determinasi
Dari hasil determinasi yang diperoleh, tanaman yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Angiopteris angustifolia C. Presl dengan
famili Marattiaceae. Hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 1.
4.1.2 Hasil Ekstraksi
Tabel 1. Hasil Ekstraksi
Karakter
Serbuk
Angiopteris angustifolia
C. Presl
Ekstrak Etanol
Angiopteris angustifolia
C. Presl
Bobot 40,3 gram 3,8 gram
Warna Hijau Tua Hijau Tua
Rendemen - 9,5 %
4.1.3 Hasil Penapisan Fitokimia
Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia
Golongan Senyawa Ekstrak Etanol
Terpenoid +
Triterpenoid +
Saponin +
Alkaloid +
Tannin +
Flavonoid +
Glikosida jantung -
Fenol +
Protein +
Keterangan : (+) mengandung senyawa yang diuji
(-) tidak mengandung senyawa yang diuji
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Proses penapisan fitokimia dapat dilihat pada lampiran 4.
4.1.4 Jumlah Kerapatan Sel
Jumlah kepadatan sel dihitung pada saat sel MCF-7 telah mecapai
kepadatan 80% menutupi permukaan culture flask. Yaitu setelah sel
diinkubasi dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 37o C selama 48 jam.
Perhitungan dilakukan dengan memipet 10 µL suspensi sel dan ditambah 10
µL trypan blue lalu diteteskan pada Haemocytometer (faktor pengenceran 2
kali). Jumlah kepadatan yang diperoleh adalah 1,97 x 106 sel/mL. Sedangkan
syarat jumlah sel tiap sumuran adalah 5x103
sel/mL, sehingga jumlah sel yang
harus dipipetkan tiap sumuran adalah 2,54 µL sel/sumuran. Namun, dalam
penelitian ini sel tidak dipipet satu per satu artinya sel tidak dimasukkan 2,54
µL sel/sumuran, tetapi sebanyak 254 µL sel (2,54 µL x 100 sumuran)
dilarutkan dalam medium RPMI 1640 berserum ad 10 mL. Lalu dipipet
sebanyak 100 µL suspensi sel ke dalam setiap sumuran. Perhitungan
kepadatan sel dapat dilihat pada lampiran 12.
4.1.5 Hasil Pengujian Sitotoksik Ekstrak Etanol Angiopteris
angustifolia terhadap Sel MCF-7
Tabel 3. Hasil Pengujian Antiproliferatif Angiopteris angustifolia terhadap Sel
MCF-7
*Perhitungan analisa probit dan grafik uji antiproliferatif Angiopteris
angustifolia dapat dilihat pada lampiran 14.
Konsentrasi
(µg/mL)
Log Konsentrasi
(x)
%
Inhibisi
Probit
(y)
IC50
200 2,301 57,54 5,1801 91,52
(µg/mL) 100 2 53,22 5,0803
50 1,699 33,33 4,5684
25 1,398 27,64 4,4052
12,5 1,097 23,89 4,2872
6,25 0,796 14,32 3,9331
3,125 0,495 9,13 3,6654
1,5625 0,194 0,44 2,3478
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2 Pembahasan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas
antiproliferatif ekstrak etanol tumbuhan paku, yakni Angiopteris
angustifolia C. Presl terhadap sel MCF-7. Uji sitotoksik adalah uji
toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang digunakan dalam
evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat tambahan makanan, pestisida dan
digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu
senyawa (Freshney, 1992). Metode uji sitotoksik yang dipilih adalah
metode MTT. Alasan penggunaan MTT adalah metode ini cepat, sensitif
serta paling umum digunakan dalam pengujian secara in vitro (Freshney,
1992).
Bagian tumbuhan yang digunakan adalah bagian daun tua dan daun
muda secara keseluruhan. Penyiapan simplisia dengan cara
membersihkan seluruh bagian tanaman dari kotoran-kotoran seperti tanah
menggunakan tissue. Pada saat membersihkan dilakukan dengan hati-hati
agar spora yang terdapat pada permukaan daun tidak terlepas. Proses
pengeringan dilakukan dengan cara dikering anginkan pada suhu kamar
selama seminggu, proses pengeringan terhindar dari sinar matahari agar
senyawa-senyawa yang terkandung didalamnya tidak terurai, terutama
senyawa-senyawa yang sensitif terhadap pemanasan tinggi (Harborne, J.B,
1987).
Proses ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan
etanol 70%. Alkohol dipilih karena merupakan pelarut serba guna yang
baik untuk ekstraksi pendahuluan (Harborne, J.B, 1987). Teknik
maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dengan
pelarut, penggantian pelarut dilakukan 3 hari sekali sampai cairan pelarut
tidak berwarna atau bening, dimana setiap hari labu maserasi digoyang-
goyangkan agar semua serbuk dapat menyentuh pelarut dengan sempurna.
Setelah semua filtrat terkumpul dilakukan pemekatan dengan evaporator
pada suhu 50-60 oC sampai pelarut tidak lagi menetes. Akan tetapi setelah
dipekatkan ekstrak tersebut masih mengandung air, kemudian dilakukan
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
teknik freezdry untuk mengangkat air tersebut sehingga didapat ekstrak
kental. Proses freezdry dilakukan selama 12 jam.
Beberapa faktor penting yang sangat mempengaruhi produktivitas
kultur sel adalah kualitas dan kuantitas medium, pH, oksigen, dan nutrisi
(Malole, 1990). Medium yang digunakan dalam kultur adalah RPMI 1640
yang mengandung garam-garam anorganik, asam amino, vitamin-vitamin,
serta zat lainnya seperti d-glukosa (ATCC, 2002). Medium yang dipakai
untuk menumbuhkan kultur sel sangat cocok bagi pertumbuhan
mikroorganisme seperti bakteria, kapang dan ragi yang tingkat
pertumbuhannya lebih cepat daripada sel kultur sendiri (Malole, 1990).
Hal ini menyebabkan kultur sel sangat rentan terkontaminasi, sehingga
ruangan yang digunakan harus aseptis. Glukosa merupakan salah satu
faktor penentu dalam pertumbuhan sel dan termasuk bahan yang mudah
habis, sehingga untuk mempertahankan kehidupan dan produktivitas kultur
sel perlu ada tambahan bahan nutrien dengan penggantian media lama
dengan media baru baru secara keseluruhan atau hanya sebagian setiap
hari atau 2-3 hari sekali (Malole, 1990).
Tahap pertama yang dilakukan pada uji sitotoksisitas adalah proses
Thawing. Thawing adalah pengaktifan kembali sel dari pengawetan beku
(cryopreservation) untuk dapat dikembangkan dan digunakan dalam
pengujian. Cryopreservation adalah proses pengawetan sel dengan
dibekukan pada nitrogen cair suhu -196oC sehingga kerja enzim-enzim
dalam sel dapat dihentikan sementara, namun sel tidak mengalami
kematian (Freshney, 2010). Penyimpanan sel masih dapat ditoleransi
dengan rentang suhu -190oC sampai -110
oC, sedangkan penyimpanan pada
suhu -70oC dapat menyebabkan kerusakan dan kematian pada sel (ATCC,
2012). Sebagai cryoprotectant dapat digunakan DMSO dan gliserol.
Namun, DMSO dipilih karena dapat berpenetrasi kedalam sel secara baik
dibandingkan gliserol. Konsentrasi DMSO yang digunakan dalam
cryopreservation adalah 7,5% - 10%. Sedangkan konsentrasi serum yang
digunakan 40%-50%. Cryoprotectant harus dihilangkan secepat mungkin
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
setelah thawing, karena mengandung DMSO dengan konsentrasi yang
cukup tinggi yaitu 10% bersifat toksik pada suhu kamar (Freshney, 2010).
Pengaktifan MCF-7 cell line dari sel beku didalam medium
berserum bertujuan untuk mendapatkan jumlah sel yang cukup untuk
digunakan dalam penelitian dengan tingkat kepadatan sekitar 70-80%.
Kultur sel yang optimal digunakan dalam uji adalah sel dalam kondisi 70-
80% menutupi permukaan dinding bawah culture flask, pada saat itu sel
telah konfluen untuk dipanen dan digunakan dalam uji (CCRC, 2008).
Medium penumbuh yang digunakan dalam kultur sel adalah RPMI
1640. Sistem dapar yang digunakan dalam RPMI 1640 adalah sistem
karbondioksida bikarbonat (NaHCO3) yang sama seperti dalam darah
(Malole, 1990). Diperlukan penambahan CO2 pada ruangan diatas medium
untuk mencegah keluarnya CO2 yang berarti meningkatkan konsentrasi
ion hidroksil. Daya buffer dari medium ditingkatkan oleh adanya ion
fosfat yang terdapat dalam medium dan larutan garam seimbang. Bila
diinginkan keseimbangan pH perlu ditambahkan CO2 dengan konsentrasi
5%. Pada konsentrasi 5%, CO2 dapat berinteraksi dengan NaHCO3 untuk
mempertahan pH ideal untuk kultur sel yaitu 7,4 (Malole, 1990).
Serum yang ditambahkan pada medium adalah FBS (Fetal Bovine
Serum) yang berfungsi sebagai nutrisi untuk kelangsungan hidup sel
kultur. FBS adalah serum yang paling sering digunakan pada umumnya.
Serum ini sebagai sumber mineral, lipid, dan hormon-hormon. Serum juga
mengandung faktor-faktor pertumbuhan (growth factors) seperti EGF
(epidermal growth factor), PDGF (platelet derived growth factor), IGF-I
& IGF-II (insulin growth factor), serta FGF (fibroblast growth factor)
yang berfungsi untuk meningkatkan proliferasi kultur sel. Selain itu, serum
juga mengandung faktor pengikat (adhesion factor) yang berfungsi untuk
meningkatkan daya ikat sel pada culture flask serta antitrypsin (Freshney,
2010).
Pada tahap subkultivasi reagen yang digunakan adalah PBS
(Phosphat Buffer Saline) dan Tripsin. PBS berfungsi untuk
mempertahankan pH, pengatur tekanan osmose dalam medium serta
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sumber ion inorganik. Selain itu, PBS juga berfungsi sebagai larutan
pencuci sel untuk menghilangkan sisa serum yang masih menempel pada
sel serta mengangkat sel-sel yang telah mati (Malole, 1990). Adapun
Tripsin digunakan untuk melepaskan sel yang melekat pada dinding
culture flask. Tripsin adalah enzim protease, di mana matriks seluler pada
sel yang menempel pada dinding flask dipotong oleh Tripsin. Keuntungan
menggunakan Tripsin diantaranya adalah Tripsin dapat ditoleransi oleh
banyak jenis sel dan sisa Tripsin yang masih tertinggal dalam suspensi sel
dapat dinertalkan oleh serum dalam media (Malole, 1990). FBS di dalam
RPMI 1640 mengandung antitripsin, sehingga penambahan RPMI 1640
berserum kedalam culture flask sebanyak 400 µL atau 2 kali volume
Tripsin bertujuan untuk menonaktifkan Tripsin. Penggunaan Tripsin pada
proses pemisahan sel dilakukan dengan cara hangat, yaitu menggunakan
larutan Tripsin 0,25 % pada suhu 36,5oC. Dengan cara hangat dapat
dilakukan penguraian dalam waktu yang singkat, sehingga hanya
dibutuhkan inkubasi selama 3 menit untuk hasil yang optimal. Adapun
dengan cara dingin, yaitu metode tripsinasi pada suhu 4oC dibutuhkan
waktu yang sangat lama sekitar 6-18 jam (Malole, 1990).
Untuk mengetahui kepadatan sel dilakukan perhitungan
menggunakan haemocytometer dibawah mikroskop inverted perbesaran
100. Sel yang dihitung adalah sel yang hidup, di mana sebelumnya telah
dilakukan pewarnaan dengan tripan blue untuk membedakan antara sel
yang hidup dan yang mati. Sel hidup berbentuk bulat dan bening dengan
inti berbentuk bulat utuh ditengahnya, sedangkan sel mati memiliki bentuk
yang tidak beraturan dan berwarna biru serta tidak memiliki inti. Syarat
jumlah sel dalam setiap sumuran adalah 5x103
sel/mL. Sel dihitung dari
keempat bidang besar pada sudut seluruh permukaan yang terbagi.
Penghitungan dimulai dari sisi kiri atas kemudian ke kanan, turun ke
bawah dan dari kanan ke kiri. Cara tersebut dilakukan pada keempat
bidang besar. Sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau atas
harus dihitung. Sebaliknya sel yang menyinggung garis batas sebelah
kanan atau bawah tidak dihitung. Jumlah sel yang didapat pada penelitian
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ini adalah 1,97 x 106 sel/mL. Sedangkan syarat jumlah sel tiap sumuran
adalah 5x103
sel/mL, sehingga jumlah sel yang harus dipipetkan tiap
sumuran adalah 2,54 µL sel/sumuran. Namun, dalam penelitian ini sel
tidak dipipet satu per satu artinya sel tidak dimasukkan 2,54 µL
sel/sumuran, tetapi sebanyak 254 µL sel dilarutkan dalam medium RPMI
1640 berserum ad 10 mL. Lalu dipipet sebanyak 100 µL suspensi sel ke
dalam setiap sumuran.
Pada preparasi sampel, ekstrak Angiopteris angustifolia dilarutkan
dalam DMSO (Dimetil Sulfoksida). Pengenceran larutan induk sampel
dalam DMSO dilakukan menggunakan Medium (CCRC, 2008).
Konsentrasi ekstrak etanol adalah 1,5625 µg/mL; 3,125 µg/mL; 6,25
µg/mL; 12,5 µg/mL; 25 µg/mL; 50 µg/mL; 100 µg/mL; dan 200 µg/mL.
Pemilihan DMSO sebagai pelarut sampel uji karena merupakan pelarut
yang dapat berpenetrasi secara baik ke dalam sel (Freshney, 2010).
Penggunaan DMSO sebagai kontrol (-) bertujuan untuk melihat pengaruh
DMSO terhadap hasil yang diperoleh. DMSO memiliki IC50 terhadap sel
otot polos sebesar 1%, dan terhadap sel endotel sebesar 2,9% (Layman,
1987) dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa DMSO memiliki
pengaruh terhadap proliferasi sel sehingga absorban DMSO digunakan
sebagai kontrol (-) untuk memperoleh IC50 ekstrak etanol Angiopteris
angustifolia. Pada tahun 1991, Grunt menyatakan batas keamanan
penggunaan DMSO adalah <0,5% (Grunt et al, 1991). Namun, beberapa
penelitian terbaru menyatakan bahwa batas keamanan penggunaan DMSO
yang diperbolehkan maksimal 0,1% baik untuk kontrol maupun untuk
melarutkan sampel (Arulvasu, 2010). Sehingga konsentrasi DMSO yang
digunakan pada setiap seri konsentrasi sampel dan kontrol DMSO adalah
0,1 %.
Pada uji sitotoksik sel MCF-7 ditanam pada microplate 96 well
dengan kepadatan 5 x 103 sel/sumuran dan dinkubasi selama 48 jam
(Meiyanto, 2008). Inkubasi digunakan agar sel mencapai fase logaritmik
yaitu fase dimana sel berada pada pertumbuhan yang optimum, fase
logaritmik ditandai dengan keadaan sel yang confluent 80% menutupi
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
permukaan wadah medium (CCRC, 2008). Disamping itu, Inkubasi juga
berfungsi agar sel pulih kembali setelah panen, karena perlakuan sampel
harus dilakukan setelah sel kembali dalam keadaan normal (CCRC, 2008).
Pengujian menggunakan larutan MTT -(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-
diphenyltetrazolium bromide dilakukan dengan memasukkan larutan ini
kedalam setiap sumuran lalu di inkubasi selama 4 jam, pada saat inkubasi
ini MTT yang berwarna kuning dimana akan dimetabolisme oleh enzim
suksinat dehidrogenase yang terdapat pada mitokondria sel menjadi kristal
formazan berwarna ungu (Freshney, 1992). Kristal formazan yang
berwarna ungu yang terbentuk akan terlarut dengan penambahan DMSO.
DMSO juga berfungsi sebagai stopper reaction yang menghentikan
aktivitas MTT (Freshney, 1992). Selanjutnya dibaca absorbansinya pada
panjang gelombang 550 nm – 600 nm. Intensitas warna yang terbentuk
berbanding langsung dengan jumlah sel yang aktif melakukan
metabolisme (CCRC, 2008).
Berdasarkan hasil pengolahan data, nilai IC50 ekstrak etanol
tumbuhan paku Angiopteris angustifolia adalah 91.52 µg/mL. Menurut
Meiyanto (2008) nilai IC50 < 100 µg/mL pada senyawa campuran
menunjukkan aktivitas antikanker yang dapat menghambat proliferasi sel
serta sangat potensial sebagai agen kemoprevensi, yaitu senyawa yang
dapat mencegah proses karsinogenesis yang memicu kanker. Disamping
itu, nilai IC50 tersebut cukup menarik untuk dikembangkan sebagai agen
kemoprevensi mengingat pada percobaan ini digunakan sel MCF-7 yang
diketahui memiliki sifat resistensi terhadap beberapa agen kemoterapi
(Meiyanto, 2008).
Dari hasil skrining fitokimia diketahui bahwa Angiopteris
angustifolia mengandung terpenoid, triterpenoid, saponin, alkaloid,
tannin, flavonoid dan protein. Menurut Ye et al (2007) dalam Zakaria et al
(2011) senyawa flavonoid, tannin, saponin dan triterpenoid telah
dilaporkan memiliki aktivitas antitumor. Mekanisme kerja flavonoid
sebagai antikanker adalah dengan memodulasi penahanan siklus sel pada
fase G1 menuju fase S. Adapun mekanisme kerja saponin dan triterpenoid
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan cara merusak permeabilitas membran mitokondria pada sel atau
meyebabkan sel mengalami nekrosis dan kematian (Zakaria et al , 2011).
Penelitian ini adalah penelitian awal untuk mengungkapkan
aktivitas antikanker dari tumbuhan paku Angiopteris angustifolia. Oleh
karena itu, untuk memastikan mekanisme kerja antikanker pada tumbuhan
Angiopteris angustifolia serta mengetahui zat aktif yang bersifat
antikanker perlu dilakukan penelitian lanjutan, mengingat sangat
beragamnya karakteristik sel-sel kanker dan sangat beragam pula
mekanisme kerja senyawa antikanker tersebut.
41 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian uji sitotoksisitas ekstrak etanol
tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap sel MCF-7
dengan waktu inkubasi selama 24 jam nilai IC50 yang diperoleh yaitu
sebesar 91,52 µg/mL. Nilai IC50 dibawah 100 µg/mL menunjukkan bahwa
senyawa yang terkandung dalam Angiopteris angustifolia C. Presl
memiliki aktivitas sitotoksik.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian sitotoksik dengan penggandaan waktu
(doubling time) untuk melihat efek antiproliferatif berbanding waktu
inkubasi. Uji sitotoksisitas terhadap fraksi-fraksi polar, semi polar dan
non-polar juga diperlukan agar nantinya zat yang bersifat aktif sitotoksik
dapat diisolasi dan diidentifikasi. Disamping itu, untuk mengungkapkan
mekanisme kerja senyawa antikanker yang terkandung dalam Angiopteris
angustifolia C. Presl perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam serta
uji sitotoksik terhadap galur sel jenis lainnya.
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, A. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi I Laboratorium Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Jakarta: EGC
Abdiyani, Susi. (2008). Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berkhasiat
Obat di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Penelitian dan Pusat Konservasi Alam,
Volume V, No. 1, 79-92.
American Pharmacists Association. (2009). Drug Information Handbook 18th
Edition. Ohio: Lexi-Comp, 1424-1425.
Anonim. 2012. www.pl999.com/english/newsinfor.php?id=382&newclass=1
Aruvalsu, C. et al.. (2010). Induction of Apoptosis by The Aqueous and Ethanolic
Leaf Extract of Vitex negundo L. in MCF-7 Human Breast Cancer Cells.
International Journal of Drug Discovery, ISSN: 0975-4423, Volume 2, Issue 1,
2010, pp.01-07.
Australian National Herbarium. (2004). http://www.anbg.gov.au/fern/name_
changes.html. Diakses pada 08 Juni 2012, hari Jum’at, pukul 14:54.
Ayoola, G.A. et al.. (2008). Phytochemical Screening and Antioxidant Activities
of Some Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in Southwestern
Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research, 7 (3): 1019-1024.
Baratawidjaya, Karnen. (2004). Imunologi Dasar Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI,
Hal. 492-494.
Cancer Chemoprevention Research Center, (2008). Protokol in vitro CCRC.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM, Hal. 1-12.
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalimartha. (2004). Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker. Jakarta:
Penebar Swadaya, Hal. 20-26.
Departemen Farmakologi dan Terapi. (2008). Farmakologi dan Terapi Edisi V.
Jakarta: Fakultas Kedokteran UI, Hal. 746.
Departemen Kesehatan RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Dirjen
POM Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Dirjen
POM Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. (2000). Parameter Standard Umum Ekstarak
Tumbuhan Obat. Jakarta: Dirjen POM, Hal. 1-12.
Fitrya dan L. Anwar. (2009). Uji Aktivitas Antikanker Secara In Vitro dengan Sel
Murine P-388 Senyawa Flavonoid dari Fraksi Etilasetat Akar Tumbuhan Tunjuk
Langit (Helminthostachis Zeylanica Linn. Hook). Jurnal Penelitian Sains, Vol.
12, No. 1 C, Hal. 1-4.
Freshney, R.I.. (1992). Animal Cell Culture. New York: Oxford University Press.
Freshney, R.I.. (2010). Culture Of Animal Cells A Manual Of Basic Technique
And Specialized Application 6th edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Hal.
144, 373, 600.
Globocan. (2008). Diambil dari: http://globocan.iarc.fr diakses pada 7 Mei 2012
Globocan (IARC) Section of Cancer Information. (2008). Diambil dari:
http://globocan.iarc.fr/factsheet.asp diakses pada 17 Januari 2013
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hariyadi, Bambang. (2000). Sebaran dan Keanekaragaman Tumbuhan Paku di
Bukit Sari Jambi. Tesis. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Heti, Dany. (2008). Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol 70% Herba Sisik Naga
(Drymogolossum piloselloides Presl.) terhadap Sel T47D. Skripsi. Surakarta:
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hirohara, Msayoshi.,et.al. (1996). Triterpenoid from the fern Goniophlebium
mengtzeense. Phytochemisrty Journal, Vol. 45, No. 5.
Malole, M.B.M.. (1990). Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor, Hal. 4-5.
Meiyanto, Edy. dkk. (2008). Ekstrak Etanol Biji Buah Pinang (Areca catchu L.)
mampu menghambat proliferasi dan memacu apoptosis sel MCF-7. Jurnal
Farmasi Indonesia, 19 (1), 12 – 19, 2008.
Muhammad Da’i, Anis Fiveri1, dan Edy Meiyanto. 2007. Efek Sitotoksik Ekstrak
Tanaman Keladi Tikus (Typhonium Divaricatum L.) Terhadap Sel Hela. Jurnal
Farmasi Indonesia Vol. 3 No. 4 Juli 2007: 163 – 167.
Mutee, Ahmed Faisal. et al.. (2012). Apoptosis Induced in Human Breast Cancer
Cell Line by Acanthaster planci Starfish Extract Compared to Tamoxifen. African
Journal of pharmacy and Pharmacology. Vol. 6(3), pp. 129 – 134, 22 January
2012.
Rasjidi. (2007). Pendahuluan Penatalaksanaan Kanker Ginekologi. Jakarta: EGC.
Robbins dan Kumar. (1999). Buku Ajar Patologi I Edisi IV. Jakarta: EGC.
Siswandono dan Bambang. (2000). Kimia Medisinal Edisi II. Surabaya:
Universitas Airlangga Press.
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Siti Susiarti, Y. Purwanto, dan F.I. Windadri. (2009). Pengetahuan Masyarakat
Pekurehua di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah tentang
Tumbuhan Obat dan Pemanfaatannya. Media Penelitian dan Pengembagan
Kesehatan Volume XIX Nomor 4. Bogor : Bidang Botani, Pusat Penelitian
Biologi – LIPI.
Soebachman, Agustina. (2011). 7 Kanker Paling Mematikan. Yogyakarta: Syura
Media Utama, hal. 37-38.
Sudarto Pringgoutomo, Sutisna Himawan, dan Achmad Tjarta. (2002). Buku Ajar
Patologi Umum edisi ke 1. Jakarta: Sagung Seto, hal. 201 – 205.
Sukardja, I Dewa Gede. (2000). Onkologi Klinik Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press.
Sutherland, Robert L. et al.. (1983). Cell Proliferation Kinetics of MCF-7 Human
Mammary Carcinoma Cells in Culture and Effect of Tamoxifen on Exponentially
Growing and Plateu-Phase Cells. Cancer Research 43, 3996-4006, September
1963.
The Global Biodiversity Information Facility (GBIF). (2010). http://ecat-
dev.gbif.org/usage/106307449. Diakses pada 01 Mei 2012, hari Rabu pukul
14:28.
The Global Biodiversity Information Facility (GBIF). (2010). http://ecat-
dev.gbif.org/usage/106245410. Diakses pada 04 Mei 2012, hari Rabu pukul
11:01.
Tjitrosoepomo, Gembong. (2003). Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta,
Thallophyta, Bryophyta, Pteridophyta) cetakan ke 6. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press, hal. 260 – 278.
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
United States Departement of Agriculture (USDA). (2012).
http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=DILI. Diakses pada 01 Mei 2012, hari
Rabu pukul 15:06.
Zakaria, et al. (2011). In vitro cytotoxic and antioxidant properties of the aqueous,
chloroform and methanol extracts of Dicranopteris linearis leaves. African
Journal of Biotechnology, Vol. 10 (2), 273-282.
Zulnely, S. dkk.. (2004). Komponen Aktif Dua Puluh Jenis Tumbuhan Obat di
Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Volume 22, No
1. 43-50.
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Determinasi Angiopteris angustifolia C. Presl
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Pohon dan Daun Angiopteris angustifolia C. Presl
Gambar 1. Pohon Angiopteris angustifolia C. Presl
Gambar 2. Daun Angiopteris angustifolia C. Presl
spora
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Hasil Perhitungan Rendemen Ekstrak Etanol Angiopteris
angustifolia C. Presl
Berat serbuk Angiopteris angustifolia C. Presl kering : 40,3 gram
Berat ekstrak etanol Angiopteris angustifolia C. Presl : 3,846 gram
Rendemen = Berat ekstrak yang didapat x 100 %
Berat bahan baku
= 3,846 gram x 100 %
40,3 gram
= 9,543 %
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Hasil Pengamatan Penapisan Fitokimia
Golongan Hasil Pengamatan Gambar
Terpenoid + Setelah ditambahkan
H2SO4 terbentuk warna
merah kecoklatan diantara
2 lapisan.
Sebelum
ditambahkan H2SO4
Setelah
ditambahkan H2SO4
Triterpenoid + Terbentuk warna kuning
keemasan setelah
ditambah 2 tetes larutan
H2SO4.
Sebelum
ditambahkan H2SO4
Setelah ditambahkan
H2SO4
Saponin + Terbentuk busa yang stabil
selama lebih dari 10 menit
setelah dilakukan
pengocokan pada larutan
ekstrak.
Setelah 10 menit
Setelah 30 menit
Alkaloid + Terbentuk endapan merah
setelah filtrat ekstrak
ditambah dua tetes
pereaksi Dragendroff.
Sebelum ditambah
pereaksi Dragendroff
Setelah ditambah
pereaksi Dragendroff
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tannin + Terbentuk warna hijau
kecoklatan setelah
ditambah 1 tetes ferri
klorida 0,1%.
Sebelum ditambah
FeCl3 0,1%.
Setelah ditambah
FeCl3 0,1%.
Flavonoid + Terbentuk warna kuning
setelah ditambah 2 tetes
larutan ammonia 1%.
Sebelum ditambah
ammonia 1%.
Setelah ditambah
ammonia 1%.
Glikosida
Jantung
_ Tidak terbentuk cincin
coklat maupun cincin ungu
diantara lapisan.
Sebelum
ditambahkan H2SO4
Setelah
ditambahkan H2SO4
Fenol + Terjadi perubahan warna
dari hijau menjadi hijau
kecoklatan setelah
ditambahkan FeCl3 0,1%.
Sebelum ditambah
FeCl3 0,1%.
Setelah ditambah
FeCl3 0,1%.
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gula
Pereduksi
+ Terjadi perubahan warna
setelah ditambahkan
pereaksi fehling A dan B
serta dididihkan
Sebelum ditambah
fehling A&B
Setelah ditambah
fehling A&B dan
dididihkan.
Protein + Terbentuk warna kuning
setelah ditambah asam
nitrat
Sebelum ditambah
asam nitrat.
Setelah ditambah
asam nitrat.
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Skema Proses Ekstraksi Serbuk Angiopteris angustifolia C. Presl
Daun Segar
Angiopteris angustifolia C.
Presl
Determinasi Tanaman
Uji di Herbarium
Bogoriense, Litbang -
LIPI, Bogor.
Sortasi Basah
Pengeringan dengan diangin-
anginkan pada suhu kamar.
Sortasi Kering
Penggilingan
Serbuk Angiopteris
angustifolia C. Presl
Maserasi dengan etanol 70%
(Penggantian pelarut 3 hari
sekali)
Maserat etanol
Dipekatkan dengan vacuum
evaporator pada suhu 50-60o C
Ekstrak belum kental
Dikeringkan menggunakan
Freeze Drier selama 12 jam
Ekstrak Etanol
Kental
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Skema Kerja Thawing dan Kultur Sel MCF-7
Sel dalam cryovial Dicairkan di waterbath
suhu 37oC
Sel dimasukkan
kedalam tabung
konikal yang berisi
6 mL RPMI + FBS
10%
Disentrifuse 1000
rpm selama 5 menit
Superntan dibuang.
Kemudian Pelet
disuspensikan dengan 6
mL RPMI 1640 + FBS
10%
Suspensi sel dimasukkan
kedalam culture flask
Diinkubasi pada inkubator suhu
37o C, CO2 5% hingga sel
mencapai kerapatan 70-80%
menutupi permukaan culture
flask.
Sel disubkultur apabila
kerapatan telah mencapai
70-80% menutupi
permukaan culture flask.
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Skema Subkultivasi Sel MCF-7
Subkultur dilakukan pada
saat sel telah mencapai
kerapatan 70-80% menutupi
permukaan culture flask
Sel diamati, medium dibuang, dicuci
dengan PBS 1X (2 kali), diberi tripsin
EDTA 1X sebanyak 200 µL lalu
ditambahkan PBS 1X 800 µL
Diinkubasi dalam inkubator suhu
37o C, CO2 5% selama ± 5 menit
Dimasukkan kedalam tabung
konikal, ditambahkan dg medium
RPMI + FBS 10% sebanyak 5 mL
Disentrifus dengan kecepatan
1000 rpm, selama 5 menit
Pelet yang terbentuk
disuspensikan ke dalam 6 mL
RPMI berserum. Lalu dimasukkan
ke dalam culture flask.
Diinkubasi pada inkubator
suhu 37o C, CO2 5% hingga
sel mencapai kerapatan 70-
80% menutupi permukaan
culture flask.
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Skema Platting
Dilakukan proses
subkultivasi sesuai
prosedur.
Hingga menjadi suspensi sel
dalam medium RPMI + FBS
10%
Diambil 10 µL suspensi sel + 10 µL
tripan blue, dihomogenkan lalu
diteteskan pada alat
Haemocytometer.
Dihitung jumlah sel pada
tiap kamar. Kemudian
dihitung berapa jumlah
sel yang harus dipipetkan
tiap sumuran.
Dipipet 100 µL @sumuran
Diinkubasi dalam
inkubator suhu 37o C,
CO2 5% selama 48
jam.
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Skema Uji MTT
Setelah inkubasi
selama 48 jam.
Plate diambil dari
inkubator, kemudian
medium dibuang.
Dimasukkan 200 µL sampel, kontrol (+) dan
kontrol DMSO (-) kedalam @sumuran.
Diinkubasi dalam
inkubator suhu 37o C,
CO2 5% selama 24
jam.
Dikeluarkan dari
inkubator, medium
dibuang, + 10 µL
larutan MTT, 100
µL medium.
Diinkubasi
dalam
inkubator
suhu 37o C,
CO2 5%
selama 4
jam.
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Microwell plate diambil dari
inkubator setelah 4 jam. Terjadi
perubahan warna, dari warna
kuning menjadi ungu pucat.
Kedalam masing-masing
sumuran ditambahkan
100µL DMSO, lalu
terbentuk warna ungu
terang secara langsung.
Dilakukan pembacaan
absorbansi menggunakan
microplate reader
(pembacaan dilakukan
secara langsung setelah
ditambahkan DMSO,
karena DMSO bersifat
unstable jika terlalu lama
didiamkan).
Pembacaan absorbansi dilakukan pada panjang
gelombang 540 nm – 600 nm
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol)
200 mg ekstrak ditimbang dan dimasukkan ke dalam mikrotube,
ditambahkan 1 mL / 1000 µL DMSO 99,5 % divortex
200 mg / 1 mL = 200.000 µg / 1.000 µL
= 200.000 µg / mL atau 200.000 ppm
Dari larutan induk 1 diencerkan 10 kalinya menjadi konsentrasi 20.000
ppm (DMSO 10%), dengan rumus :
V1. N1 = V2. N2
Keterangan : V1 = Volume yang akan diambil dari larutan induk (µL)
N1 = Konsentrasi larutan induk (µg/mL)
V2 = Total volume larutan yang akan dibuat (µL)
N2 = Konsentrasi larutan yang diinginkan (µg/mL)
Maka :
V1. N1 = V2. N2
V1 x 200.000 µg/mL = 1.000 µL x 20.000 µg/mL
V1 = 1.000 µL x 20.000 µg/mL
200.000 µg/mL
= 200 µL + RPMI 1640 ad 1.000 µL atau 1 mL
Diencerkan lagi 10 kalinya menjadi 2.000 ppm (DMSO 1%)
Maka :
V1. N1 = V2. N2
V1 x 20.000 µg/mL = 1.000 µL x 2.000 µg/mL
V1 = 1.000 µL x 2.000 µg/mL
20.000 µg/mL
= 200 µL + RPMI 1640 ad 1.000 µL atau 1 mL
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Diencerkan lagi 10 kalinya menjadi 2.00 ppm (DMSO 0,1%)
Maka :
V1. N1 = V2. N2
V1 x 2.000 µg/mL = 5.000 µL x 2.00 µg/mL
V1 = 5.000 µL x 2.00 µg/mL
2.000 µg/mL
= 500 µL + RPMI 1640 ad 5.000 µL atau 5 mL
Dari larutan induk 2 lalu diencerkan menjadi beberapa seri konsentrasi.
(200 ppm, 100 ppm, 50 ppm, 25 ppm, 12,5 ppm, 6,25 ppm, 3,125 ppm
dan 1,5625 ppm).
Konsentrasi DMSO pada tiap seri sampel adalah 0,1%, contoh :
Pembuatan konsentrasi 100 ppm
V1. N1 = V2. N2
V1 x 2.00 µg/mL = 1.000 µL x 1.00 µg/mL
V1 = 1.000 µL x 1.00 µg/mL
2.00 µg/mL
= 500 µL + RPMI 1640 ad 1.000 µL atau 1 mL
Kandungan DMSO:
V1. N1 = V2. N2
500 µL x 0,1 % = 1.000 µL x N2
N2 = 500 µL x 0,1 %
1.000 µg/mL
= 0,05 %
Maka ditambahkan 0,05 % DMSO sehingga menjadi 0,1 %.
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Tabel 4. Hasil Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol)
(*) : Pengenceran dilakukan menggunakan konsentrasi 100 µg/mL sebagai
larutan induk (N1).
(#) : Pengenceran dilakukan menggunakan konsentrasi 50 µg/mL sebagai
larutan induk (N1).
Konsentrasi
Larutan Induk
(N1)
(µg/mL)
Konsentrasi
Larutan Sampel
(N2)
(µg/mL)
Volume yang
Digunakan
(V1)
(µL)
Total Volume
Larutan yang Dibuat
(V2)
(µL)
200
200 1.000
1.000
100 500
50 250
25 125
12,5 200*
6,25 100#
3,125 62,5#
1,5625 31,25#
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Perhitungan Konsentrasi Kontrol DMSO
Dilakukan pengenceran bertingkat :
Larutan induk 1 = 100 %
Larutan induk 2 = 10 %
Volume DMSO yang akan dibuat = 1.000 µL
Pembuatan larutan induk 2 : (konsentrasi 10 %)
V1 . N1 = V2 . N2
V1 . 100 % = 10 % . 1.000 µL
V1 = 10 % . 1.000 µL
100 %
V1 = 100 µL + RPMI ad 1.000 µL
Larutan induk 3 = 1 %
Pembuatan larutan induk 3 : (konsentrasi 1 %)
V1 . N1 = V2 . N2
V1 . 10 % = 1 % . 1.000 µL
V1 = 1 % . 1.000 µL
10 %
V1 = 100 µL + RPMI ad 1.000 µL
Tabel 5. Hasil Perhitungan Konsentrasi DMSO
Konsentrasi
Larutan Induk
(N1)
(%)
Konsentrasi
Larutan DMSO
(N2)
(%)
Volume yang
Digunakan
(V1)
(µL)
Total Volume
Larutan yang
Dibuat (V2)
(µL)
1 0,1 500 5000
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Perhitungan Kepadatan Sel
Kepadatan sel = Jumlah sel x P x 104
4
Keterangan :
P = Faktor pengenceran terhadap indikator warna
4 = Jumlah bilik haemocytometer yang dihitung
2 = Faktor pengenceran dengan tripan blue (10 µl sel + 10 µl tripan blue)
Kepadatan sel = 394 x 2 x 104
4
= 197 x 104
= 1,97 x 106
sel/mL
Artinya dalam 1 mL mengandung 1,97 x 106
sel/mL
Syarat : jumlah sel dalam tiap sumuran adalah 5 x 103
Maka :
1,97 x 106
sel = 1000 µl
5 x 103
sel = x µl
x = (5 x 103) . (1000 µl)
1,97 x 106
= 2,54 µl sel / sumuran
Jumlah sumuran yang digunakan adalah 96 sumuran, namun untuk mempermudah
perhitungan dibulatkan menjadi 100 sumuran, maka : 2,54 µl sel x 100
: 254 µl sel
Jumlah RPMI yang digunakan 100 µl tiap sumuran, sebanyak 100 sumuran,
maka: 100 µl RPMI x 100
= 10.000 µl RPMI 1640
Sehingga didalam tabung conical steril berisi : 254 µl sel + 10.000 µl RPMI 1640
lalu dihomogenkan, kemudian dipipet 100 µl setiap sumuran.
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Skema pemetaan sampel
Keterangan :
Sampel
2B, 3B, 4B : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 200 ppm
2C, 3C, 4C : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 100 ppm
2D, 3D, 4D : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 50 ppm
2E, 3E, 4E : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 25 ppm
2F, 3F, 4F : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 12,5 ppm
2G, 3G, 4G : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 6,25 ppm
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Sampel (lanjutan)
10B, 10C, 10D : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 3,125 ppm
11B, 11C, 11D : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 1,5625 ppm
Kontrol DMSO ( - )
10E, 10F, 10G : Suspensi Sel + DMSO 0,1% + RPMI berserum
Kontrol Sel
11E, 11F, 11G : Suspensi Sel + RPMI berserum
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Perhitungan dan Grafik Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol
Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel MCF-7.
Tabel 6. Data Hasil Uji Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel
MCF-7
Angiopteris angustifolia C. Presl %
Inhibisi
%
Hidup
Log
Kons
(x)
Probit
(y) Kons
µg/mL
Absorbansi ̅ SD
200 0,0682 0,0664 0,0690 0,0679 0,001 57,54 42,26 2,301 5,1801
100 0,0799 0,0716 0,0730 0,0748 0,003 53,22 56,78 2 5,0803
50 0,1086 0,1089 0,1026 0,1066 0,002 66,67 66,67 1,699 4,5684
25 0,1159 0,1160 0,1151 0,1157 0,004 27,64 72,36 1,398 4,4052
12,5 0,1220 0,1214 0,1217 0,1217 0,002 23,89 76,11 1,097 4,2872
6,25 0,1391 0,1369 0,1351 0,1370 0,001 14,32 85,68 0,796 3,9331
3,125 0,1442 0,1476 0,1442 0,1453 0,001 9,13 90,87 0,495 3,6654
1,5625 0,1595 0,1586 0,1596 0,1592 0,0004 0,44 99,56 0,194 2.3478
Tabel 7. Data Hasil Uji Sitotoksik DMSO Terhadap Sel MCF-7
DMSO %
Inhibisi
%
Hidup
Log
Kons
(x)
Probit
(x) Kons
%
Absorbansi ̅ SD
0,1 0,1600 0,1599 0,1598 0,1599 0,002 2,97 97,02 -1 3,1043
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Contoh perhitungan % inhibisi dan % hidup sel pada konsentrasi sampel
200 ppm :
% Inhibisi = Absorban DMSO – Absorban Sampel x 100%
Absorban DMSO
= 0,1599 – 0,0679 x 100%
0,1599
= 57,54 %
% Hidup = 100% - 57,54% = 42,46 %
Perhitungan IC50 Ekstrak Etanol Angiopteris angustifolia C. Presl :
a = 2,756
b = 1,144
r = 0,934
maka :
y = a +bx
y = 2,756 + 1,144 x
5 = 2,756 + 1,144 x
1,144x = 5 – 2,756
x = 1,962
IC50 = antilog x
= antilog 1,962
= 91,52 µg/mL
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Log Konsentrasi dengan Probit Hasil Uji
Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel MCF-7
Tabel 8. Data Hasil Kontrol Sel
Kontrol Sel
Absorbansi ̅ SD
0,1627 0,1660 0,1658 0,1648 0,001
2,3479
3,6654 3,9331
4,2872 4,4052 4,5684
5,0803 5,1801
0,0000
1,0000
2,0000
3,0000
4,0000
5,0000
6,0000
0,0000 0,5000 1,0000 1,5000 2,0000 2,5000
Pro
bit
Log Konsentrasi
Hubungan antara Log Konsentrasi dengan Probit
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Gambar MCF-7 Cell Line dalam Medium RPMI 1640 Berserum
Gambar 4. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum Pada Saat
Inkubasi 0 jam.
Keterangan Gambar : Sel Dalam Keadaan Belum Pulih
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 16. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum
Setelah Inkubasi 24 Jam.
Gambar 5. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum
Setelah Inkubasi 24 Jam.
Keterangan Gambar: Keadaan Sel Telah Normal
A : sel hidup (melekat pada permukaan dasar cultur flask)
B : sel mati (mengambang dalam medium dan tidak
melekat pada permukaan dasar cultur flask)
A
B
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum
Setelah Inkubasi 48 Jam.
Gambar 6. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum
Setelah Inkubasi 48 Jam.
Keterangan Gambar: Sel Telah Mencapai 80% Konfluen Menutupi Dasar
Microwell plate dan Siap Diberi Perlakuan Sampel.
A : sel hidup (melekat pada permukaan dasar cultur flask)
B : sel mati (mengambang dalam medium dan tidak
melekat pada permukaan dasar cultur flask)
A
B
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18.Gambar MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel Konsentrasi
200 ppm dan inkubasi 24 jam.
Gambar 7. MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel Konsentrasi
200 ppm dan inkubasi 24 jam.
Keterangan Gambar: Tampak Sel Mengalami Kematian
A : sel hidup (melekat pada permukaan dasar cultur flask)
B : sel mati (mengambang dalam medium dan tidak
melekat pada permukaan dasar cultur flask)
B
A
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 19.Gambar Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan
MTT dan Inkubasi 4 Jam.
Gambar 8. Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan MTT Setelah
Inkubasi 4 Jam.
Keterangan Gambar : Tampak Kristal Formazan Berwarna Ungu
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 20. Gambar MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan
Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer.
Gambar 9. MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan
Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer.
Keterangan Gambar: A : sel hidup (berwarna bening)
B : sel mati (berwarna biru dan bentuk tidak beraturan)
A
B
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 21. Gambar Bahan dan Alat yang Digunakan
Gambar 10. DMSO – Dimethyl Sulfoxide Gambar 11. 5% Trypsin - EDTA
Molecular Biology Grade (AppliChem) (GIBCO)
Gambar 12. Penicillin – Streptomycin Gambar 13. Trypan Blue
(PAA) (WAKO)
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Gambar 14. PBS – Phosphate Buffered Gambar 15. RPMI Medium 1640
Saline (Vivantis) (GIBCO)
Gambar 16. MTT (SIGMA) Gambar 17. FBS – Fetal Bovine
Serum (SIGMA)
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Gambar 18. Mikroskop Inverted with Gambar 19. Tanki Nitrogen
Camera. (OLYMPUS) (LOCATOR JR.)
Gambar 20. Timbangan Analitik Gambar 21. Sentrifuse
(Precisa) (VS- 5500cFi)
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
Gambar 22. Mikropipet Gambar 23. Microplate Reader
(eppendorf) (chem well)
Gambar 24. Milipore 0.2 µM Gambar 25. Haemocytometer (Neubauer)
(Minisart)
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 22. Deskripsi Medium RPMI 1640
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 23. Deskripsi Morfologi Sel MCF-7
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 24. Transformasi Persen – Probit
Tabel 9. Transformasi Persen – Probit
% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
0 0.0 1.0098 2.1218 2.2522 2.3479 2.4242 2.4879 2.5427 2.5914 2.6344
1 2.6737 2.7096 2.7429 2.7738 2.8027 2.8299 2.8556 2.8799 2.3031 2.9251
2 2.9463 2.9665 2.9859 3.0646 3.0226 3.0400 3.0569 3.0732 3.0896 3.1043
3 3.1192 3.1337 3.1478 3.1616 3.1750 3.1881 3.2009 3.2134 3.2256 3.2376
4 3.2493 3.2608 3.2721 3.2831 3.2940 3.3046 3.3151 3.3253 3.3354 3.3454
5 3.3351 3.3648 3.3742 3.3836 3.3028 3.4018 3.4107 3.4105 3.4282 3.4368
6 3.4452 3.4536 3.4618 3.4699 3.4780 3.4850 3.4037 3.5015 3.5091 3.5167
7 3.5242 3.5316 3.5380 3.5462 3.5534 3.5605 3.5675 3.5745 3.5813 3.5882
8 3.5949 3.6016 3.6083 3.6148 3.6213 3.0278 3.0342 3.6405 3.6408 3.0531
9 3.6692 3.6654 3.6715 3.6775 3.6835 3.6894 3.6053 3.7012 3.7070 3.7127
10 3.7184 3.7241 3.7298 3.7354 3.7409 3.7464 3.7519 3.7574 3.7028 3.7681
11 3.7735 3.7784 3.7840 3.7893 3.7945 3.7996 3.8048 3.8099 3.8150 3.8200
12 3.8250 3.8300 3.8350 3.8399 3.8448 3.8497 3.8545 3.8503 3.8641 3.8089
13 3.8736 3.8783 3.8830 3.8877 3.8923 3.8069 3.9015 3.9061 3.9107 3.9152
14 3.9197 3.9242 3.9286 3.9331 3.9375 3.0419 3.9463 3.9506 3.9550 3.9593
15 3.9636 3.9678 3.9721 3.9763 3.8900 3.0848 3.0890 3.9931 3.9973 4.0014
16 4.0055 4.0096 4.0137 4.0178 4.0218 4.0259 4.0299 4.0339 4.0379 4.0410
17 4.0458 4.0408 4.0537 4.0576 4.001 5 4.0654 4.0693 4.0731 4.0770 4.0808
18 4.0846 4.0884 4.0922 4.0960 4.0998 4.1035 4.1073 4.1110 4.1147 4.1184
19 4.1221 4.1258 4.1295 4.1331 4.1367 4.1404 4.1440 4.1476 4.1512 4.1548
20 4.1684 4.1019 4.1035 4.1690 4.1726 4.1761 4.1796 4.1831 4.1866 4.1901
21 4.1936 4 1970 4.2005 4.2039 4.2074 4,2108 4.2142 4.2176 4.2210 4.2244
22 4.2278 4.2312 4.2345 4.2379 4.2412 4.2446 4.2479 4.2512 4.2546 4.2579
23 4.2612 4.2644 4.2677 4.2710 4.2743 4.2775 4.2808 4.2840 4.2872 4.2905
24 4.2937 4.2969 4.3001 4.3033 4.3065 4.3097 4.3129 4.3160 4.3192 4.3224
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
25 4 3255 4.3287 4.3318 4.3349 4.3380 4.3412 4.3443 4.3474 4.3505 4.3536
26 4.3567 4.3597 4.3628 4.3659 4.3689 4.3720 4.3750 4.3781 4.3811 4.3842
27 4.3872 4.3902 4.3932 4.3962 4.3992 4.4022 4.4052 4.4082 4.4112 4.4142
28 4.4172 4.4201 4.4231 4.4260 4.4290 4.4319 4.4349 4.4378 4.4408 4.4437
29 4.4466 4.4405 4.4524 4.4554 4.4583 4.4612 4.4041 4.4670 4.4698 4.4727
30 4.4756 4.4785 4.4813 4.4842 4.4871 4.4899 4.4928 4.4956 4.4985 4.5013
31 4.5041 4.5070 4.5098 4.5126 4.5155 4.5183 4.5211 4.5230 4.5267 4.5295
32 4.5323 4.5351 4.5370 4.5407 4.5435 4.5462 4.5490 4.5518 4.5546 4.5573
33 4 .5601 4.5628 4.5656 4.5684 4.5711 4.5739 4.5766 4.5793 4.5821 4.5848
34 4.5875 4.5903 4.5930 4.5957 4.6984 4.6011 4.6039 4.0066 4.6093 4.6120
35 4.6147 4.6174 4.6201 4.6228 4.6255 4.6281 4.6308 4.6335 4.6362 4.6389
36 4.6415 4.6442 4.6469 4.6495 4.6522 4.6549 4.6575 4.6602 4.6628 4.6655
37 4.6681 4.6708 4.6734 4.6761 4.6787 4.6814 4.6840 4.6806 4.6893 4.6919
38 4.6945 4.6971 4.6998 4.7024 4.7050 4.7078 4.7102 4.7120 4.7155 4.7181
39 4.7207 4.7233 4.7259 4.7285 4.7311 4.7337 4.7363 4.7389 4.7415 4.7441
40 4.7467 4.7402 4.7518 4.7544 4.7570 4.7696 4.7622 4.7647 4.7673 4.7699
41 4.7725 4.7750 4.7776 4.7802 4.7827 4.7853 4.7870 4.7904 4.7930 4.7955
42 4.7981 4.8007 4.8032 4.8058 4.8083 4.8109 4.8134 4.8160 4.8185 4.8211
41 4.8230 4.8202 4.8287 4.8313 4.8338 4.8363 4.8389 4.8414 4.8440 4.8465
44 4.8490 4.8516 4.8541 4.8566 4.8592 4.8617 4.8642 4.8668 4.8093 4.8718
45 4.8743 4.8769 4.8704 4 8819 4.8844 4.8870 4.8805 4.8920 4.8945 4.8970
46 4.8996 4.9021 4.9046 4.9971 4.9996 4.9122 4.9147 4.9172 4.9197 4.0222
47 4.9247 4.9272 4.9298 4.9323 4.9318 4.9373 4.9308 4.9423 4.9448 4.9473
48 4.9408 4.0524 4.9549 4.9574 4.9599 4.9624 4.9649 4.9674 4.9699 4.9724
49 4.9740 4.9774 4.9799 4.9825 4.9850 4.0876 4.9900 4.9925 4.9950 4.9975
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
50 5.0000 5.0025 5.0050 5.0075 5.0100 5.0125 5.1050 5.0175 5.0201 5.0226
51 5.0251 5.0276 5.0301 5.0326 5.0351 5.0376 5.0401 5.0426 5.0451 5.0476
52 5.0502 5.0527 5.0552 5.0577 5.0602 5.0627 5.0652 5.0677 5.0702 5.0728
53 5.0753 5.0778 5.0803 5.0828 5.0853 5.0878 5.0904 5.0929 5.0954 5.0279
54 5.1004 5.1036 5.1055 5.1080 5.1105 5.1196 5.1156 5.1181 5.1206 5.1231
55 5.1257 5.1282 5.1307 5.1332 5.1313 5.1383 5.1408 5.1434 5.1459 5.1484
56 5.1510 5.1535 5.1560 5.1586 5.1614 5.1637 5.1662 5.1687 5.1713 5.1738
57 5.1764 5.1789 5.1815 5.1840 5.1866 5.1801 5.1917 5.1942 5.1968 5.1993
58 5.2019 5.2045 5.2070 5.2096 5.2121 5.2147 5.2173 5.2198 5.2224 5.2250
59 5.2275 5.2301 5.2327 5.2353 5.2378 5.2404 5.2430 5.2468 5.2482 5.2508
60 5.2533 5.3359 5.2585 5.2611 5.2637 5.2663 5.2689 5.2715 5.2741 5.2767
61 5.2793 5.3819 5.2845 5.2871 5.2808 5.2024 5.2050 5.2976 5.3002 5.3029
62 5.3055 5.3081 5.3107 5.3134 5.3160 5.3186 5.3213 5.3239 5.3266 5.3202
63 5.3319 5.3345 5.3372 5.3398 5.3425 5.3451 5.3478 5.3505 5.3531 5.3658
64 5.3585 5.3811 5.3638 5.3665 5.3692 5.3719 5.3745 5.3772 5.3799 5.3826
65 5.3853 5.3880 5.8007 5.3934 5.3961 5.3980 5.4016 5.4043 5.4070 5.4097
66 5.4125 5.4152 5.4170 5.4207 5.4234 5.4261 5.4289 5.4316 5.4344 5.4372
61 5.4399 5.4427 5.4454 5.4482 5.4510 5.4538 5.4565 5.4593 5.4621 5.4649
68 5.4677 5.4705 5.4733 5.4761 5.4780 5.4817 5.4845 5.4874 5.4002 5.4930
69 5.4959 5.4987 5.5015 5.5044 5.5072 5.5101 5.5129 5.5158 5.5187 5.3215
70 5.5244 5.3273 5.5302 5.5830 5.5350 5.5388 5.5417 5.5446 5.5476 5.6505
71 5.5534 5.5503 5.3502 5.5622 5.5651 5.5681 5.5710 5.5740 5.5760 5.5799
72 5.5828 5.5858 5.0888 5.5918 5.5948 5.5978 5.0003 5.0038 5.0008 5.6098
73 5.6128 5.6158 5.0189 5.6219 5.6250 5.6280 5.6311 5.0341 5.6372 5.6403
74 5.6435 5.6464 5.0405 5.6926 5.6557 5.6588 5.6620 5.6651 5.6682 5.6713
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan
% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
75 5.6745 5.6776 5.0808 5.6840 5.6871 5.6903 5.6935 5.6967 5.6998 5.7031
76 5.7083 5.7095 5.7128 5.7160 5.7102 5.7225 5.7257 5.7200 5.7323 5.7356
77 5.7388 5.7424 5.7454 5.7488 5.7521 5.7554 5.7508 5.7621 5.7699 5.7688
78 5.7722 5.7756 5.7796 5.7824 5.7858 5.7892 5.7926 5.7961 5.7995 6.8030
79 5.8834 5.8299 5.8134 5.8169 5.8204 5.8239 5.8274 5.8310 5.8215 6.0381
80 5.8416 5.5452 5.8188 5.8524 5.8560 5.8596 5.8633 5.8669 5.8705 6.8742
8I 5.8779 5.8516 5.8853 5.8890 5.8927 5.8905 5.9002 5.9040 5.9078 5.9116
82 5.9154 5.9192 5.9230 5.9269 5.9307 5.9346 5.9386 5.9424 5.9463 5.9502
83 5.9542 5.9581 5.9624 5.9661 5.9701 5.9741 5.9782 5.9822 5.6863 5.9904
84 5.9945 5.9986 6.0027 6.0069 6.0110 6.0152 6.0194 6.0237 6.0279 6.0222
85 6.0364 6.0407 6.0450 6.0494 6.0537 6.0581 6.0625 6.0069 6.0714 6.0758
86 6.0803 6.0818 6.0893 6.0939 6.0985 6.1031 6.1077 6.1123 6.1170 6.1217
87 6.1264 6.1311 6.1359 6.1407 6.1455 6.1503 6.1552 6.1601 6.1050 6.1700
88 6.1750 6.1800 6.1856 6.1101 6.1952 6.2004 6.2055 6.2107 6.2160 6.2212
89 6.2205 6.2319 6.2372 6.2426 6.2481 6.2536 6.2591 6.2646 6.2702 6.2750
90 6.2816 6.2813 6.2936 6.2988 6.3047 6.3106 6.3165 6.3225 6.3285 6.3346
91 6.3408 6.3469 6.8532 6.3595 6.3658 6.3722 6.3787 6.3852 6.3917 6.3984
92 6.4031 6.4118 6.4187 6.4255 6.4325 6.4395 6.4466 6.4538 6.4611 6.4684
93 6.4758 6.4833 6.4909 6.4985 6.5063 6.5141 6.5220 6.5301 6.5382 6.5464
94 6.8548 6.5632 6.5718 6.5805 6.5893 6.5982 6.6078 6.6164 6.6258 6.6352
95 6.6449 6.6546 6.6646 6.6747 6.6849 6.6954 6.7060 6.7169 6.7279 6.7302
97 100 101 102 105 106 109 110 113 116
96 6.7507 6.7624 6.7784 6.7806 6.7991 6.8119 6.8260 6.8084 6.8522 6.8063
117 120 122 125 128 131 134 138 141 145
97 6.8808 6.8957 6.9110 6.9268 6.9431 6.9600 6.9774 6.9254 7.0141 7.0335
140 153 158 103 169 174 180 187 194 202
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 24. Lanjutan
% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
98.0 7.6537 7.0556 7.0579 7.0660 7.0621 7.0612 7.0663 7.0684 7.9706 7.0727
98.1 7.6749 7.0770 7.0792 7.0814 7.0836 7.0858 7.0880 7 0992 7.0924 7.0947
98.2 7.0969 7.0992 7.1015 7.1038 7.1061 7.1084 7.1107 7.1130 7.1154 7.1177
98.3 7.1204 7.1224 7.1248 7.1272 7.1297 7.1321 7.1345 7.1370 7.1364 7.1419
98.4 7.1444 7.1469 7.1494 7.1520 7.1545 7.1571 7.1996 7.1622 7.1648 7.1675
98.5 7.1701 7.1727 7.1754 7.1781 7.1808 7.1835 7.1862 7.1890 7.1917 7.1945
98.6 7.1973 7.2001 7.2029 7.2058 7.2086 7.2115 7.2144 7.2173 7.2203 7.2232
98.7 7.2262 7.2292 7.2322 7.2353 7.2383 7.24 14 7.2445 7.2476 7.2508 7.2539
98.8 7.2374 7.2663 7.2636 7.2668 7.2701 7.2734 7.2768 7.2801 7.2835 7.2869
98.9 7.2904 7.2938 7.2973 7.3009 7.3044 7.3080 7.3116 7.3152 7.3189 7.3226
99.0 7.3263 7.3301 7.3339 7.3378 7.3416 7.3455 7.3495 7.3935 7.3575 7.3615
99.1 7.3656 7.3698 7.3739 7.3781 7.3824 7.3867 7.3911 7.3954 7.3099 7.4044
99.2 7.4059 7.4135 7.4181 7.4228 7.4276 7.4324 7.4372 7.4422 7.5474 7.4522
99.3 7. 4373 7.4624 7.4677 7.4730 7.4783 7.4838 7.4893 7.4040 7.5006 7.5063
99.4 7.5121 7.5181 7.5241 7.5302 7.5364 7.5427 7.5401 7.5550 7.5622 7.5690
99.5 7.5758 7.5828 7.5890 7.5972 7.6045 7.6121 7.6107 7.0276 7.6356 7.6437
99.6 7.6521 7.6606 7.6693 7.6783 7.0874 7.6968 7.7065 7.7104 7.7260 7.7370
99.7 7.7478 7.7589 7.7703 7.7822 7.7944 7.8070 7.8202 7.8338 7.8480 7.8027
99.8 7.8782 7.8043 7.9112 7.9299 7.9478 7.9677 7.9889 8.0115 8.0357 8.0618
99.9 8.0902 8.1214 8.1550 8.1847 8.2380 7.2905 8.3528 8.4316 8.5401 8.7190
Sumber: Pengujian Insektisida, 1988