Download - UAS
Ujian Akhir Semester
Hukum Islam
Oleh:
Nama : Andhika Kusuma
NIM : 201410110311009
Kelas : III-G
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
2015/2016
PEMBAHASAN
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu
masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa dukungan politik sulit digali dan diterapkan. Politik
yang mengabaikan hukum Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin
baik hubungan Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan
semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam
diterapkan.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan
politik hukum yang diterapkan oleh kekuasaan negara. Bahkan di balik semua itu, berakar
pada kekuatan sosial budaya yang berinteraksi dalam proses pengambilan keputusan politik.
Namun demikian, hukum Islam telah mengalami perkembangan secara berkesinambungan,
baik melalui jalur infrastruktur politik maupun suprastruktur politik dengan dukungan
kekuatan sosial budaya.
Cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman
orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya. M.
Atho Mudzhar misalnya menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran
hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-
keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan
fatwa-fatwa ulama.
Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses
transformasi hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah
berlaku sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang berlaku
dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum Islam
dilihat dari dua segi. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah
dikodifikasikan dalam struktur hukum nasional. Kedua, hukum Islam yang berlaku secara
normatif yakni hukum Islam yang diyakini memiliki sanksi atau padanan hukum bagi
masyarakat muslim untuk melaksanakannya.
Eksistensi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak agama Islam masuk di
Indonesia. Karena itu, hukum Islam telah menjadi bagian integral dari pembinaan hukum
nasional sampai sekarang ini dan peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional
adalah untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif dan hukum Islam berperan
sebagai sumber nilai yang memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat dengan
sifatnya yang umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai hukum Islam
dapat berlaku pula bagi seluruh warga negara Indonesia.
Aktualisasi nilai-nilai hukum Islam tersebut tidak hanya terbatas pada bidang hukum
perdata saja, khususnya hukum keluarga tetapi juga pada bidang-bidang lain seperti hukum
pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum dagang. Dengan
demikian, hukum Islam akan benar-benar dapat berperan sebagai sumber hukum nasional di
samping Pancasila, tanpa menimbulkan anggapan bahwa hukum Islam adalah kuno. Model
yang kedua ini sesungguhnya telah dipraktikkan para penyusun UUD 1945, di mana nilai-
nilai hukum hukum Islam ter-cermin di dalamnya.
Mengingat Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, maka
memperjuangkan hukum Islam dengan pendekatan yang integrasi nilai-nilainya kelihatannya
lebih memberikan harapan dengan pendekatan formal, khususnya pidana Islam. Untuk itu,
dibutuhkan usaha yang serius untuk menggali dan mensosia-lisasikan sebanyak mungkin
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam hukum Islam.
Dalam konteks aktualisasi hukum Islam tersebut, maka secara normatif nilai-nilai
hukum Islam telah diaplikasikan dengan penuh kesadaran oleh masyarakat Islam. Berbeda
dengan hukum Islam secara yuridis formal bahwa belum semua materi hukum Islam
diformulasi melalui proses legislasi dalam bentuk undang-undang maupun peraturan lainnya.
Substansi hukum Islam meliputi materi hukum yang sangat luas dan kom-pleks. Bagi
sebagian kalangan hukum Islam dinilai sebagai sebuah sistem hukum yang kaku bahkan
menakutkan bagi sebagian kalangan apalagi sikap militansi (jihad) yang ditunjukkan oleh
sebagian pemeluk agama Islam garis keras yang biasa disebut dengan kelompok teroris.
Untuk kepentingan legislasi hukum Islam dalam hukum nasional, maka proses
transformasi substansi hukum Islam yang sebagian kalangan memahaminya secara negatif
perlu diarahkan pada pengkajian aspek dinamika dan elastisitas hukum Islam dalam
kontekstualisasi materi-materi hukum Islam sehingga koheren dengan konteks kekinian dan
konteks sosial Indonesia.
Untuk itu, maka materi hukum Islam yang akan dilegislasi meliputi materi hukum
bukan di bidang publik karena dikawatirkan dapat menimbulkan benturan dengan materi
hukum agama lain. Materi privat atau keperdataan tidak mencakup pada semua bidang karena
ada sebagian materi privat hukum Islam yang sangat peka dan jika ini dilegislasi dapat
menimbulkan konflik sosial, agama dan sara. Sekalipun demikian, upaya legislasi materi
hukum Islam tetap diperlukan karena sentimen ini merupakan tuntutan obyektif sebagai bukti
implementasi hukum Islam di Indonesia.
Penentangan yang sistematis terhadap upaya legislasi hukum Islam di Indonesia
dikemukakan oleh kelompok substansialis. Mereka berpandangan bahwa aktualisasi hukum
Islam tidak perlu persis seperti apa yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah. Karena
perangkat hukum seperti qisas, rajam dan potong tangan hanyalah alternatif bagi terciptanya
keadilan dan kepastian hukum di masa awal kemunculan Islam asalkan tujuan aktualisasi
hukum Islam bisa tercapai, maka sah-sah saja hukum lain jika diterapkan. Misalnya hukum
potong tangan diganti dengan hukum penjara karena sama-sama bertujuan membatasi si
pelaku.
Bahkan kelompok kaum muda sekuler yang menamakan diri JIL menyeru-kan
deformalisasi hukum Islam. Menurut mereka hukum Islam secara formal tidak perlu
diberlakukan karena inti keberIslaman adalah komitmen kepada agama secara substansialistik
bukan legalistik formal. Indonesia menurut mereka bukan negara agama sehingga tidak layak
menerapkan hukum Islam secara total.
Dalam melihat peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional, ada
beberapa fenomena yang bisa dijumpai dalam praktek. Pertama, hukum Islam berperan dalam
mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif. Dalam hal ini hukum Islam diberlakukan
oleh negara sebagai hukum positif bagi umat Islam. Kedua, hukum Islam berperan sebagai
sumber nilai yang memberikan kontribusi terhadap aturan hukum yang dibuat. Oleh karena
aturan hukum tersebut bersifat umum, tidak memandang perbedaan agama, maka nilai-nilai
hukum Islam dapat berlaku pula bagi seluruh warga negara.
Ismail Sunny, mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu proses penerimaan
hukum Islam digambarkan kedudukannya menjadi dua periode yakni pertama, periode
persuasive source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum
Islam itu; dan kedua, periode authority source di mana setiap orang Islam menyakini bahwa
hukum Islam memiliki kekuatan yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam
dapat berlaku secara yuridis formal apabila dikodifikasikan dalam perundang-undangan
nasional.
Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum
nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan
hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum
yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi
kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite
politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi
pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.
Terhitung sejak tahun 1970-an sampai sekarang arah dinamika hukum Islam dan
proses transformasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik di
Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde Baru yakni fase
antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa strukturalisasi
Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa harmonisasi Islam dan negara, telah membuka
kemungkinan pembentukan peraturan perundangan yang bernuansa hukum Islam.
Konsepsi negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) memiliki muatan ciri-ciri
berikut; 1). Prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia; 2). Prinsip pemisahan/pembagian
kekuasaan; 3). Pemenntah berdasar undang-undang; 4). Prinsip Keadilan; 5). Prinsip
kesejahteraan rakyat. Untuk menemukan ini dapat dilihat dalam naskah Pembukaan UUD
1945 alinea ke-4. pintu lebar bagi islamisasi pranata sosial, budaya, politik dan hukum Islam
di Indonesia
Berkenaan dengan itu, maka konsep pengembangan hukum Islam yang secara
kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya, politik dan hukum dalam masyarakat.
Kemudian diubah arahnya yakni secar kualifatif diakomodasikan dalam berbagai perangkat
aturan dan perundang-undangan yang dilegislasikan oleh lembaga pemerintah dan negara.
Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi (taqnin)
hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan.
Di antara produk undang-undang dan peraturan yang bernuansa hukum Islam,
umumnya memiliki tiga bentuk: Pertama, hukum Islam yang secara formil maupun material
menggunakan corak dan pendekatan keislaman; Kedua, hukum Islam dalam proses taqnin
diwujudkan sebagai sumber-sumber materi muatan hukum, di mana asas-asas dan pninsipnya
menjiwai setiap produk peraturan dan perundang-undangan; Ketiga, hukum Islam yang
secara formil dan material ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.
Sampai saat ini, kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia semakin
memperoleh pengakuan yuridis. Pengakuan berlakunya hukum Islam dalam bentuk peraturan
dan perundang-undangan yang berimplikasi kepada adanya pranata-pranata sosial, budaya,
politik dan hukum. Salah satunya adalah diundangkannya Undang Undang No. 1/1974
tentang Perkawinan.
Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia
telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan
filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas
muslim di Indonesia, dan mi mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental
negara Pancasila); Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam
Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam
memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang
dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara
yuridis formal.
Implementasi dan tiga alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya UUPA
No.7/1989 yang secara yuridis terkait dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya,
seperti UU No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU Pokok Agraria
No.5/1960, UU No.14/1970, UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu Nol/SD 1946 dan
No.5/SD 1946, PP. No.10/1947 Jo. PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP.
No.10/1983 Jo, PP. No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula
dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, dan UU No.7/1989 tantang Dradi1an Agama.
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan
yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:
a) UU RI No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan
b) UU RI No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3,72006
c) UU RI No. 7/1992 tentang Perbankan yang membolehkan menggunakan prinsip bagi
hasil
d) UU RI No.10/1998 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7
TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN yang membolehkan menggunakan Prinsip
Syariah.
e) UU RI No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Ají
f) UU RI No. 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
g) UU RI No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh
Darussalam
h) UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam
i) UU RI No. 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N
j) UU RI No 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
k) UU RI No 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA
l) UU RI No 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH
NEGARA
m) UU RI No 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain
yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:
a) PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
b) PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
c) PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
d) Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
e) Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dari sekian banyak produk perundang-undangan yang memuat materi hukum Islam,
peristiwa paling fenomenal adalah disahkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
Betapa tidak, Peradilan Agama sesungguhnya telah lama dikenal sejak masa penjajahan
(Mahkamah Syar’iyyah) hingga masa kemerdekaan, mulai Orde Lama hingga Orde Baru,
baru kurun waktu akhir 1980-an UUPA No.7/1980 dapat disahkan sehagai undang-undang.
Padahal UU No.14/1970 dalam Pasal 10-12 dengan tegas mengakui kedudukan Peradilan
Agama berikut eksistensi dan kewenangannya.
Materi hukum Islam yang telah ber-hasil diberlakukan secara formal melalaui proses
legislasi dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Instruksi Presiden.
Undang-undang tersebut adalah:
a) Undang-Undang Perkawinan
RUU Perkawinan (1973) mendapat tantangan karena mengandung keten-tuan-
ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam. Dilihat dari kekuatan politik di DPR,
penentang RUU Per-kawinan dapat dipastikan akan kalah: Fraksi Persatuan Pembangunan
(FPP) berhadapan dengan Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan (FKP), dan Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia (FPDI). RUU tersebut disetujui setelah keten-tuan-ketentuan yang
kontroversial dihi-langkan, atas desakan kekuatan ekstra parlementer.
b) Undang-Undang Peradilan Agama
RUU Peradilan Agama (1988) mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan. Di
DPR, FPP, FKP dan Fraksi ABRI menyambut baik RUU tersebut. Berbeda dengan tiga fraksi
lainnya, FPDI menyampaikan beberapa hal bernada keberatan. Di luar DPR terjadi pro-
kontra yang tak kalah serunya. Dengan disahkannya UU Peradilan Agama, diharapkan
berakhirlah keaneka-ragaman pengaturan tentang peradilan agama sebagai akibat politik
hukum pemerintah kolonial Belanda.
c) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
KHI bukan UU, dimasukkan dalam pembahasan ini karena memuat hukum materil
Peradilan Agama, dan tidak berbentuk UU semata-mata karena ken-dala politik. KHI lahir
dari keinginan untuk mewujudkan kesatuan dan kepas-tian hukum terapan Peradilan Agama.
Rancangan KHI disetujui oleh ulama dalam lokakarya di Jakarta pada Pebruari 1988.
Presiden RI, dengan Inpres No.1 tahun 1991 menginstruksikan kepada Menag untuk
menyebarluaskan KHI. Bentuk hukum Inpres merupakan sebuah terobosan, karena beratnya
kendala politik untuk menjadikannya UU.
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan
pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di
kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan
bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan
Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang
bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata.
d) Rumusan Undang-Undang Peradilan Anak
RUU Peradilan Anak (1995) men-dapat sorotan tajam karena banyak mengandung
kekurangan, baik dari segi formal pembentukannya maupun dari segi materinya. Fraksi-fraksi
di DPR, kecuali Fraksi PDI, banyak menyoroti pasal-pasal yang bertentangan dengan UU
Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan KHI. FPDI berpendapat, RUU yang disetujui DPR
setelah mengalami perbaikan dan penyempurnaan, belum menampung seluruh permasalahan
anak, khususnya menyangkut perkara perdata, sehingga di bidang ini masih terdapat
kekosongan hukum.
e) Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan
dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang
digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari
sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasarn dengan dibentuknya
Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara
terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut
diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik.
f) Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Pada tahun 1999, pemerintah menyam-paikan RUU Pengelolaan Zakat. Semua fraksi
di DPR menyambut positif RUU ini, sehingga pembahasannya berjalan lancar. RUU
Pengelolaan Zakat disetujui DPR pada tanggal 14 September 1999, dan kemudian disahkan
dan diundang-kan oleh presiden pada tanggal 23 September 1999 menjadi UU 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat.
g) RUU Nanggroe Aceh
Ada dua RUU tentang Aceh: RUU pemerintah, dan RUU usul inisiatif DPR. RUU
DPR seolah-olah hendak menjadi-kan Aceh sebagai negara tersendiri. Menurut RUU DPR,
untuk mengubah UU ini harus melalui referendum seolah-olah UU ini lebih tinggi dari UUD.
Menurut Ichtijanto, perjuangan dalam memformulasikan hukum dan perundang-
undangan Indonesia yang telah dipengaruhi oleh ajaran islam tentang teori-teori penataan
hukum, diantaranya teori penerimaan otoritas hukum, teori resepsi komplek, teori resepsi
exit, teori resepsi kontra, merupakan suatu bukti bahwa hukum tertulis Indonesia banyak
dipengaruhi dan mengambil ajaran hukum Islam. Oleh karenanya, hukum islam itu ada
(exist) didalam hukum nasional Indonesia. Hal ini diperkuat dengan berdirinya Departement
Agama pada tanggal 13 Januari 1946. Kenyataan ini mendorong ditemukannya teori
hubungan antara hukum Islam dan hukum nasional. Sehingga hukum Islam yang hidup di
Indonesia bisa menjadi sumber bagi hukum positif untuk perkembangan dan kemajuan
hukum nasional pada masa mendatang.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang-undangan
nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang yang berjalan di masyarakat.
Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenaan dengan puasa, zakat, haji, infak,
sedekah, hibah, baitul-mal, hari-hari raya besar islam, dan do’a pada hari-hari raya nasional
selalu ditaati dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan
yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi suatu
indikator bahwa hukum islam telah exist dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum
nasional.
Kenyataan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia ini menggambarkan
bahwa setelah Indonesia merdeka, kemudian didorong oleh kesadaran hukum akibat
ketertindasan selama masa penjajahan dan selama masa revolusi, maka diperjuangkan
perwujudan hukum Islam itu agar exist dalam tata hukum nasional. Eksistensi hukum islam
dalam tata hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis.
Dalam hukum tertulis juga telah ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum
nasional. Untuk memperkuat teori pemikirannya ini, Ichtijanto merujuk beberapa hukum
tertulis berupa peraturan dan perundang-undangan yang mengandung unsur-unsur Islam.
Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum Islam ada didalam hukum
nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum
nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai
bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah
haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga, dapat dikatakan bahwa
hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan
melalui secara ritual kenegaraan dan keagamaan, seperti doa dalam kenegaraan, isra mikraj,
nuzulul quran, maulid Nabi Muhammad saw, dan acara adat lainnya yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Praktik-praktik seperti inilah yang disebut oleh Ichtijanto sebagai teori
eksistensi
Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada
dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum
barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum
dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350
tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum
nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran
bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami
dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Kemudian sistem
Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan
yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh
para mujtahid dengan ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum
itu sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum
kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi, seperti terlihat dalam
sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum
Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum
nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan
emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak
berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak
memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga
harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan
hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi
rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:
a) Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini.
b) Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam
akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi
kepentingannya.
c) Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas
keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran
mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
d) Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat
menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi
Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
Pembelajaran hukum Islam adalah suatu yang mutlak dilakukan sebagaimana
pernyataan Muhammad Abduh “pemikiran Islam akan menjadi salah manakala dipisahkan
dari kehidupan kedisinian dan kekinian” karena masalah orang di zaman klasik berbeda
dengan masalah yang muncul di zaman modern”.