Download - Tugas Teori Media
TEORI MEDIA
Sebuah pandangan yang umum dinilai menandai lahirnya teori media dan melihat
media sebagai media adalah buah karya pemikiran dari Marshall Mc Luhan pada
tahun 1960-an, yang dikenal sebagai Teori Media Klasik. Meskipun sebenarnya
gagasan Mc Luhan sangat dipengaruhi oleh pengajarnya yaitu Harold Adam Innis
yang mengajarkan bahwa media komunikasi adalah intisari peradaban dan bahwa
sejarah diarahkan oleh media yang menonjol pada masanya. Selanjutnya ada beberapa
teori mendasar yang memperkuat perkembangan teori media yaitu Teori Media Baru,
Teori Fungsi Penyusunan Agenda, The Spiral of Silence Theory, Teori Difusi Inovasi,
Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa, Reflective Projective Theory, Teori
Kultivasi dan Teori Persamaan Media. Gambaran dari teori-teori tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
Teori Media Klasik.
Teori Media Klasik dikemukakan oleh Marshall McLuhan pertama kali pada tahun
1962 dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Ide
dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara
berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi
membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan
teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad
teknologi ke abad teknologi yang lain.
McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita
berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama,
penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua,
perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia.
Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa “Kita membentuk peralatan
untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan
itu membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”.
Kita belajar, merasa dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena pesan
yang diterima teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi
komunikasi menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri. Radio
1
menyediakan kepada manusia lewat indera pendengaran (audio), sementara televisi
menyediakan tidak hanya pendengaran tetapi juga penglihatan (audio visual). Apa
yang diterpa dari dua media itu masuk ke dalam perasaan manusia dan mempengaruhi
kehidupan sehari-hari kita. Selanjutnya, kita ingin menggunakannya lagi dan terus
menerus. Bahkan McLuhan sampai pada kesimpulannya bahwa media adalah pesan
itu sendiri (the medium is the message).
Media tidak lain adalah alat untuk memperkuat, memperkeras dan memperluas fungsi
dan perasaan manusia. Dengan kata lain, masing-masing penemuan media baru yang
kita betul-betul dipertimbangkan untuk memperluas beberapa kemampuan dan
kecakapan manusia. Misalnya, kita mempelajari sebuah buku. Dengan buku itu
seseorang bisa memperluas cakrawala, pengetahuan, termasuk kecakapan dan
kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat umum, dengan buku,
kita akan bisa “melihat dunia”.
Kenyataan yang terjadi mengenai teori ini dalam kehidupan kita, khususnya di dunia
media massa adalah peranan media sosial, atau media alternatif yang dampaknya
sudah cukup baik daripada dari media massa. Hal ini terjadi seiring dengan
perkembangan zaman dan teknologi internet yang merambah semua kalangan, tidak
menutup kemungkinan untuk di masa yang akan datang sebagian besar orang lebih
memilih untuk membuka internet ketimbang membeli koran.
Inti dari teori McLuhan adalah determinisme teknologi. Maksudnya adalah penemuan
atau perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya yang mengubah
kebudayaan manusia. Jika Karl Marx berasumsi bahwa sejarah ditentukan oleh
kekuatan produksi, maka menurut McLuhan eksistensi manusia ditentukan oleh
perubahan moda komunikasi.
Kalau mau kita lihat saat ini tidak ada satu segi kehidupan manusia pun yang tidak
bersinggungan dengan apa yang namanya media massa. Mulai dari ruang keluarga,
dapur, sekolah, kantor, pertemanan, bahkan agama, semuanya berkaitan dengan media
massa. Hampir-hampir tidak pernah kita bisa membebaskan diri dari media massa
dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam bahasan Em Griffin (2003: 344) disebutkan,
“Nothing remains untouched by communication technology.
Determinasi teknologi juga merupakan keberadaan media komunikasi massa dilihat
sebagai fenomena yang dibentuk oleh perkembangan masyarakat. Teknologi 2
mengubah konfigurasi masyarakat, mulai dari masyarakat agraris, industrial sampai
ke masyarakat informasi. Dalam perubahan tersebut teknologi komunikasi
berkembang sebagai upaya manusia untuk mengisi pola-pola hubungan dalam setiap
konfigurasi baru. Perkembangan teknologi yang mempengaruhi kegiatan komunikasi,
pertaliannya dapat dilihat pada dua tingkat, pertama secara struktural, yaitu faktor
teknologi yang mengubah struktur masyarakat, untuk kemudian membawa implikasi
dalam perubahan struktur model komunikasi. Kedua, perubahan model komunikasi
secara kultural membawa implikasi pula pada perubahan cara-cara pemanfaatan
informasi dalam masyarakat. Dengan begitu determinasi teknologi dalam konteks
komunikasi dapat dilihat dalam urutan berpikir dari perubahan struktur masyarakat,
struktur model komunikasi dalam masyarakat, dan cara pemanfaatan informasi.
Selain itu ada pula pandangan dengan urutan sebaliknya dari pemanfaatan informasi,
membawa perubahan masyarakat, dan untuk kemudian mempengaruhi
perkembangan teknologi. Pandangan ini menempatkan media massa dapat
membentuk masyarakat melalui realitas psikhis dan realitas empiris sehingga terdapat
daya kreatif person maupun kolektifitas. Dengan kapabilitas dan daya kreatif secara
personal atau kolektif dapat melahirkan (invention) dan memperkembangkan
(innovation) teknologi dalam masyarakat.
McLuhan juga menjabarkan tentang teori yang dia kemukakan ini , yakni sejarah
kehidupan manusia ke dalam empat periode: a tribal age (era suku atau purba), literate
age (era literal/huruf), a print age (era cetak), dan electronic age (era elektronik).
Menurutnya, transisi antar periode tadi tidaklah bersifat bersifat gradual atau evolusif,
akan tetapi lebih disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi.
1. The Tribal Age. Menurut McLuhan, pada era purba atau era suku zaman
dahulu, manusia hanya mengandalkan indera pendengaran dalam
berkomunikasi. Komunikasi pada era itu hanya mendasarkan diri pada narasi,
cerita, dongeng tuturan, dan sejenisnya. Jadi, telinga adalah “raja” ketika itu,
“hearing is believing”, dan kemampuan visual manusia belum banyak
diandalkan dalam komunikasi. Era primitif ini kemudian tergusur dengan
ditemukannya alfabet atau huruf.
2. The Age of Literacy. Semenjak ditemukannya alfabet atau huruf, maka cara
manusia berkomunikasi banyak berubah. Indera penglihatan kemudian
3
menjadi dominan di era ini, mengalahkan indera pendengaran. Manusia
berkomunikasi tidak lagi mengandalkan tuturan, tapi lebih kepada tulisan.
3. The Print Age. Sejak ditemukannya mesin cetak menjadikan alfabet semakin
menyebarluas ke penjuru dunia. Kekuatan kata-kata melalui mesin cetak
tersebut semakin merajalela. Kehadiran mesin cetak, dan kemudian media
cetak, menjadikan manusia lebih bebas lagi untuk berkomunikasi.
4. The Electronic Age. Era ini juga menandai ditemukannya berbagai macam alat
atau teknologi komunikasi. Telegram, telpon, radio, film, televisi, VCR, fax,
komputer, dan internet. Manusia kemudian menjadi hidup di dalam apa yang
disebut sebagai “global village”. Media massa pada era ini mampu membawa
manusia mampu untuk bersentuhan dengan manusia yang lainnya, kapan saja,
di mana saja, seketika itu juga.
Teori Media Baru.
Pada Tahun, 1990 Mark Poster meluncurkan buku besarnya, The Second Media Age,
yang menandai periode baru di mana teknologi interaktif dan komunkasi jaringan ,
khususnya dunia maya akan mengubah masyarakat. Gagasan tentang era media kedua
yang sebenarnya telah dikembangkan sejak tahun 1980-an hingga saaat ini menandai
perubahan yang penting dalam teori media. Bagi seseorang, hal ini melonggarkan
konsep “media” dari “komunikasi massa” hingga berbagai media yang berkisar dari
jangkauan yang sangat luas hingga yang sangat pribadi. Kedua konsep tersebut
menarik perhatian kita pada bentukbentuk penggunaan media yang baru yang dapat
berkisar dari informasi individu dan kepemilikan pengetahuan hingga interaksi.
Ketiga, tesis tentang era media kedua membawa teori media dari kesamaran yang
relatif pada tahun 1960-an pada popularitas yang baru pada tahun 1990-an dan
seterusnya. Kekuatan media dalam dan dari media itu sendiri kembali menjadi fokus,
termasuk sebuah minat baru dalam karakteristik penyebaran dan penyiaran media. Era
media yang pertama digambarkan oleh :
a) sentralisasi produksi (satu menjadi banyak)
b) komunikasi satu arah
c) kendali situasi
d) reproduksi stratifikasi sosial dan perbedaan melalui media
e) audiens massa yang terpecah4
f) pembentukan kesadaran sosial
Era media kedua sebaliknya dapat digambarkan sebagai:
a) desentralisasi
b) dua arah
c) di luar kendali situasi
d) demokratisasi
e) mengangkut kesadaran individu
f) orientasi individu
Mungkin ada dua pandangan yang dominan tentang perbedaaan antara era media
pertama dengan penekanannya pada penyiaran, dan era media kedua dengan
penekanannya pada jaringan. Kedua pandangan tersebut adalah interaksi social (social
interaction) dan pendekatan integrasi sosial (social integration). Pendekatan interaksi
social membedakan media menurut seberapa dekat media dengan model interaksi
tatap muka. Bentuk media penyiaran yang lebih lama dikatakan lebih menekankan
pada penyebaran informasi yang mengurangi peluang adanya interaksi. Media
tersebut dianggap sebagai media informasional dan karenanya menjadi media realitas
bagi konsumen. Sebaliknya media baru lebih interaktif dan menciptakan sebuah
pemahaman baru tentang komunikasi pribadi. Sebagai contoh adalah World Wide
Web sebagai sebuah lingkungan informasi yang terbuka, fleksibel dan dinamis, yang
memungkinkan manusia mengembangkan orientasi pengetahuan yang baru dan juga
terlibat dalam dunia demokratis tentang pembagian mutual dan pemberian kuasa yang
lebih interaktif dan berdasarkan pada masyarakat. Dunia maya memberikan tempat
pertemuan semu yang memperluas dunia sosial, menciptakan peluang pengetahuan
baru dan menyediakan tempat untuk berbagi pandangan secara luas.
Tentu saja media baru tidak seperti interaksi tatap muka, tetapi memberikan bentuk
interaksi baru yang membawa kita kembali pada hubungan pribadi dalam cara yang
tidak bisa dilakukan oleh media sebelumnya. Ada beberapa masalah dalam membuat
perbandingan ini, dan beberapa orang yakin bahwa media yang baru lebih termediasi
dari pada yang akan diyakini oleh para pendukungnya. Media baru juga mengandung
kekuasaan dan batasan, kerugian dan keuntungan, dan kebimbangan. Sebagai contoh,
media baru mungkin memberikan penggunaan yang terbuka dan fleksibel, tetapi dapat
5
juga menyebabkan terjadinya kebingungan dan kekacauan. Media yang baru memang
pilihan yang sangat luas, tetapi pilihan tidak selalu tepat ketika kita membutuhkan
panduan dan susunan. Perbedaan adalah salah satu nilai besar dalam media baru, tetpi
juga perbedaan dapat menyebabkan adanya perpecahan dan pemisahan. Media baru
mungkin memberikan keluwesan waktu dalam penggunaan, tetapi juga menciptakan
tuntutan waktu yang baru.
Cara kedua yang membedakan media adalah integrasi sosial. Pendekatan ini
menggambarkan media bukan dalam bentuk informasi, interaksi dan penyebarannya
tetapi dalam bentuk ritual atau bagaimana manusia media sebagai cara menciptakan
masyarakat. Media bukan hanya sebuah instrument informasi atau cara untuk
mencapai ketertarikan diri, tetapi menyatukan kita dalam beberapa bentuk masyarakat
dan memberi kita rasa saling memiliki. Hal ini terjadi dengan menggunakan media
sebagai sebuah ritual bersama yang mungkin atau tidak mungkin menggunakan
interaksi yang sebenarnya. Menurut pandangan integrasi sosial, interaksi bahkan
bukanlah sebuah komponen penting dalam integrasi sosial melalui ritual. Maka
interaksi tatap muka bukan lagi standar utama atau dasar bagi perbandingan meida
komunikasi. Kita tidak terlalu banyak interaksi dengan orang lain, tetapi dengan
media itu sendiri. Kita tidak menggunakan media untuk memberitahu kita tentang
sesuatu, tetapi karena menggunakan media adalah ritual diri yang memiliki makna
dalam dan dari ritual itu sendiri. Setiap media memiliki potensi untuk ritual dan
integrasi, tetapi media menjalankan fungsi ini dalam cara yang berbeda. Dengan
orientasi media penyiaran sebelumnya seperti televise dan buku, sumber-sumber yang
tersentralisasi menciptakan situasi dan karakter yang dapat dikenali audiens. Namun
media penyiaran memungkinkan adanya sedikit interaksi yang lain dari pada hanya
menggunakan alat kendali jarak jauh atau memutuskan cerita yang mana yang harus
dibaca atau yang tidak harus dibaca. Anda mendengarkan dan melihat, tetapi media
tidak berbicara atau berinteraksi dengan anda. Sebaliknya kita menggunakan media
sebagai semacam ritual bersama yang membuat kita merasa sebagai bagian dari
sesuatu yeng lebih besar dari diri kita. Media diritualkan karena media menjadi
kebiasaan, sesuatu yang formal dan memiliki nilai yang lebih besar dari penggunaan
media itu sendiri. Sebagai contoh pengguna personal data assistant (PDA) dan ponsel
Blackberry sebenarnya bukan bertujuan untuk menyimpan catatan atau bertukar
informasi, tetapi memiliki nilai lebih sebagai media untuk menunjukkan diri sebagai
6
bagian dari sebuah komunitas pengguna media tersebut. Artinya kita bergabung
dengan sesuatu yang berada di luardiri kita.
Agenda Setting Thoery (Teori Fungsi Penyusunan Agenda)
Agenda Setting Thoery (Teori Fungsi Penyusunan Agenda) pertama kali dikenalkan
oleh M.E. Mc. Combs dan D.L. Shaw dalam “Public Opinion Quarterly” yang terbit
pada tahun 1972, yang berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media”.
Kedua pakar ini memberikan penekanan pada suatu peristiwa dimana media akan
mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pembahasan yang ada dalam
teori ini, yaitu media massa tidak menentukan “what to think” tetapi “what to think
about”.
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Agenda Setting Theory dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring
berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Bagaimana sebuah media massa
menyajikan peristiwa, itulah yang disebut sebagai agenda media. David H. Heaver
dalam karyanya yang berjudul “Media Agenda Setting and Media Manipulation” pada
tahun 1981 mengatakan bahwa pers sebagai media komunikasi massa tidak
mereflesikan kenyataan, melainkan menyaring dan membentuknya seperti sebuah
kaleidoskop yang menyaring dan membentuk cahaya. Mengenai Agenda Setting lebih
banyak menjelaskan apa yang terjadi di dunia politik, Alexis S. Tan menyimpulkan
bahwa media massa mempengaruhi kognisi politik dalam dua cara, yaitu :
- Media secara efektif menginformasikan peristiwa politik kepada khalayak.
- Media mempengaruhi persepsi khalayak mengenai pentingnya masalah politik.
Manheim menuangkan agenda setting dalam tiga agenda konseptualisasi yang
potensial, yaitu :
a. Agenda media yang terdiri dari beberapa dimensi, antara lain :
- Visibility, jumlah dan tingkat menonjolnya berita.
- Audience salience, relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak.
- Valence, menyenangkan atau tidak menyenangkannya cara pemberitaan bagi suatu
peristiwa.
b. Agenda khalayak yang terdiri dari beberapa dimensi, antara lain :
- Familiarity, derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu.
7
- Personal salience, relevansi kepentingan dengan ciri pribadi.
- Favorability, pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita.
c. Agenda kebijaksanaan yang terdiri dari beberapa dimensi, antara lain :
- Support, kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu berita tertentu.
- Likelihood of Action, kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan.
- Freedom of Action, nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah.
Spiral of Silence Theory
Spiral of Silence Theory dikemukakan pertama kali oleh Elizabeth Noelle Neuman,
seorang sosiolog Jerman, pada tahun 1974. Dalam teori terdapat jawaban bagaimana
dalam komunikasi massa, komunikasi antarpersona, dan persepsi individu terhadap
pendapatnya sendiri dalam hubungannya dengan pendapat orang lain dalam
masyarakat.
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Asumsi dasar dari teori ini adalah pemikiran sosio-psikologi 1930-an yang
menyatakan bahwa pendapat pribadi sangat tergantung pada apa yang dipikirkan /
diharapkan oleh orang lain, atau atas apa yang orang rasakan / anggap sebagai
pendapat dari orang lain. Dalam spiral of silence dijelaskan bahwa individu pada
umumnya berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti sendirian mempertahankan
sikap atau keyakinan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa orang akan mengamati
lingkunganya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan
mendapatkan dukungan dan mana yang tidak dominan atau populer. Maksudnya
adalah jika seseorang merasa pandangannya tergolong dalam jumlah yang minoritas
maka ia akan cenderung sulit untuk mengekspresikan apa yang ia inginkan karena
perasaan takut akan diisolasi. Sedangkan kebalikannya yaitu seseorang akan merasa
semakin kuat dan luas untuk mengekspresikan dirinya karena pendapatnya termasuk
pada jumlah mayoritas. Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan hubungan
tersebut.
8
Noelle Neuman mendukung asumsinya dengan acuan bahwa ada berbagai perubahan
selama kurun waktu tertentu mengenai beberapa pendapat umum yang menonjol di
Jerman Barat.
Diffusion of Innovations Theory (Teori Difusi Inovasi)
Diffusion of Innovations Theory dikemukakan oleh Everett M. Rogers yang menulis
buku berjudul “Diffusion of Innovations and Communication Technology, The New
Media in Society” bersama dengan F. Floyd Shoemaker yang menulis buku
“Communication of Innovations”.
Adanya teori ini karena masyarakat sadar bahwa ada salah satu aplikasi komunikasi
massa terpenting yang berkaitan dengan adopsi inovasi. Teori ini dapat dilaksanakan
pada negara berkembang ataupun negara maju.
Praktek-praktek awal dari teori ini dilakukan di Amerika Serikat pada dasawarsa
1920-an dan 1930-an, hingga kini digunakan untuk program-program pembangunan
di negara-negara yang sedang berkembang.
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Asumsi dasar dari teori ini diambil dari pengertian dari kata-kata yang terkandung
dalam nama teori ini. Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses di mana suatu
inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu antara
anggota suatu sistem sosial. Difusi adalah suatu jenis khusus dari komunikasi yang
berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Sedangkan inovasi adalah
suatu ide, karya, atau objek yang dianggap baru oleh seseorang. Jadi asumsi dasar dari
teori ini adalah bagaimana suatu pesan yang dapat disebarkan atau dikomunikasikan
kepada khalayak dengan penggunaan beberapa cara baru. 9
Adapun unsur-unsur utama difusi ide, antra lain : inovasi, yang dikomunikasikan
melalui saluran tertentu, dalam jangka waktu tertentu, di antara anggota suatu sistem
sosial. Menurut Rogers, ada ciri-ciri inovasi yang dirasakan oleh para anggota suatu
sistem sosial dalam menentukkan tingkatan adopsi terdiri atas :
- Relative advantage (keuntungan relatif) adalah suatu derajat dengan mana inovasi
dirasakan lebih baik daripada ide lain yang menggantikannya.
- Compatibility (kesesuaian) adalah suatu derajat dengan mana inovasi dirasakan
konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman, dan kebutuhan mereka yang
melakukan adopsi.
- Complexity (kerumitan) adalah mutu derajat dengan mana inovasi dirasakan sukar
untuk dimengerti dan dipergunakan.
- Trialability (kemungkinan dicoba) adalah mutu derajat dengan mana inovasi dapat
dieksperimentasikan pada landasan yang terbatas.
- Observability (kemungkinan diamati) adalah suatu derajat dengan mana inovasi
dapat disaksikan oleh orang lain.
Ada tiga hal seputar masalah waktu yang juga menjadi salah satu unsur utama dari
difusi ide baru, antara lain :
a. Innovations decision process (proses inovasi keputusan).
b. Innovativeness (keinovatifan).
c. Innovation’s rate of adoption (tingkat inovasi dari adopsi).
Innovativeness adalah derajat dengan mana seseorang relatif lebih dini dalam
mengadopsi ide-ide baru ketimbang anggota-anggota lain dalam suatu sistem sosial.
Berikut ini adalah kategori pengadopsi, yaitu :
- Innovators
- Early adopters
- Early Majority
- Late Majority
- Laggard
10
Teori Dependensi mengenai Efek Komunikasi Massa
Teori dependensi mengenai efek komunikasi massa dikembangkan oleh Sandra Ball
Rokeach dan Melvin L. DeFleur pada tahun 1976. Dalam teori ini yang menjadi fokus
perhatiannya adalah kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur
kecenderungan yang terjadi pada suatu efek media massa.
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Asumsi dasar dari teori ini dapat disimpulkan dalam bagan tersebut bahawa teori ini
merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai
sifat suatu masyarakat yang modern (atau masyarakat massa), di mana media massa
dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan penting dalam proses
pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok, atau
individu dalam aktivitas sosial.
Dalam teori ini dikemukakan bahwa adanya ketergantungan antara masyarakat
modern dengan media massa karena media massa dianggap sebagai sumber informasi
yang dapat memberikan pengetahuan tentang apa yang terjadi pada dunia.
Jika dilihat dari bagan, ada tiga komponen, Ball Rokeach dan DeFleur lebih lanjut
menjelaskannya sebagai berikut :
- Sistem sosial akan bervariasi sesuai dengan tingkat stabilitasnya.
11
- Audience akan memiliki hubungan yang beragam dengan sistem sosial dan
perubahan-perubahan yang terjadi.
- Media massa yang beragam kuantitas, persebaran, reliabilitas, dan otoritas.
Sedangkan ada tiga efek yang akan didapatkan oleh khalayak media massa, berikut ini
adalah penjabarannya :
a. Efek kognitif, berupa :
- Menciptakan atau menghilangkan ambiguitas.
- Pembentukkan sikap.
- Agenda setting.
- Perluasan sistem keyakinan masyarakat.
- Penegasan/penjelasan nilai-nilai.
b. Efek Afektif, berupa :
- Menciptakan ketakutan atau kecemasan.
- Meningkatkan atau menurunkan dukungan moral.
c. Efek Behavioral, berupa :
- Mengaktifkan/menggerakkan atau meredakan.
- Pembetulan issue tertentu atau penyelesaiannya.
- Menjangkau atau menyediakan strategi untuk suatu aktivitas.
- Menyebabkan perilaku dermawan.
Reflective Projective Theory
Reflective Projective Theory dikemukakan oleh Lee Loevinger pada tahun 1968.
Adanya teori ini bermula ketika suatu citra dianggaplah penting apalagi untuk public
figure seperti politikus. Dimana sebuah media massa dirasakan dapat mempengaruhi
segala hal.
Asumsi Dasar Teori dan Uraian Teori
Asumsi dasar dari teori ini yaitu bahwa media massa dapat mencerminkan suatu
masyarakat yang memiliki suatu citra yang ambigu (menimbulkan penafsiran yang
bermacam-macam sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau
melihat citranya. Dalam teori ini ditekankan bahwa media massa dapat menjadi
sebuah media untuk citra diri seseorang. Media massa mencerminkan citra khalayak,
dan khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa. 12
Dalam teori ini seolah media adalah sesuatu yang sangan kuat, namun Klapper,
seorang tokoh kontroversial menyatakan bahwa bukan saja media
Teori Kultivasi
Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George
Gerbner ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas
Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini
adalah “Living with Television: The Violenceprofile”, Journal of Communication.
Awalnya, ia melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun
60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, ia ingin
mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton
televisi itu?. Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya
lebih menekankan pada “dampak”. Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media
atau alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan
kultur dilingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak Anda
tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui
kontak Anda dengan televisi Anda belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-
nilainya serta adat kebiasannya.
Contoh: Orang-orang yang tinggal di tempat pemukiman kumuh yang di ekspos oleh
media televisi dan ditayangkan di TV, maka penonton pun menjadi tahu bagaimana
tempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut, dan penonton sendiri bisa menilai
bagaimana orang-orang yang berdomisili di sana.
Teori Persamaan Media
Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass (professor
jurusan komunikasi Universitas Stanford Amerika) dalam tulisannya The Media
Equation: How People Treat Computers, Television, and New Media Like Real
People and Places pada tahun 1996. Media Equation Theory atau teori persamaan
media ini ingin menjawab persoalan mengapa orang-orang secara tidak sadar dan
bahkan secara otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media seolah-olah
media itu manusia Dengan demikian, menurut asumsi teori ini, media diibaratkan
13
manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga bisa diajak berbicara. Media
bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang
melibatkan dua orang dalam situasi face to face.
Contoh: Dalam salah satu media elektronik seperti radio, disana banyak menyajikan
acara-acara yang banyak diminati oleh remaja. Kemudian dalam acara tersebut
banyak pendengar yang mengirimkan saran atau opini, maka penyiar yang
membawakan acara tersebut akan menanggapinya secara langsung. Inilah yang
disebut seolah media tersebut diibaratkan seperti manusia, ia bisa menanggapi secara
langsung opini yang diberikan pendengar. yang dapat memperburuk ataupun
memperbaiki citra; lebih lanjut Klapper mengungkapkan bahwa media lebih
cenderung menyokong status quo ketimbang perubahan.
Roberts pada tahun 1977 menganggap bahwa adanya kecenderungan hal tersebut
disebabkan karena :
Reporter dan editor memandang dan menafsirkan dunia sesuai dengan
citranya tentang realitas (kepercayaan, nilai, dan norma).
Wartawan selalu memberikan respons pada tekanan halus yang
merupakan kebijaksanaan pemimpin media.
Media massa sendiri cenderung menghidari hal-hal yang kontroversial,
karena kuatir hal-hal tersebut akan menurunkan volume khalayaknya.
Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat
modern, orang memperoleh lebih banyak informasi tentang dunia dari
media massa.
Asumi Dasar Teori
Konsep Dasar Teori (Hubungan Antar Variabel)
Proposisi
Variabel
Hipotesa
14