Download - Tugas KDM II KEHILANGAN doc
Tugas KDM II
USIA DAN DAMPAK KEHILANGAN
Dosen Pengampu : Siti Aminah, APP.,S.Pd.
Disusun oleh :
PUTRI RETNO GIYANTI
2220112004 / 40
I C
AKPER NOTOKUSUMO YOGYAKARTA
2011/2012
A. USIA & DAMPAK KEHILANGAN
Usia seseorang mempengaruhi pemahaman dan reaksi terhadap kehilangan.
Dengan semakin banyaknya pengalaman hidup, semakin meningkat pula pemahaman
seseorang terhadap kehidupan, kehilangan dan kematian. Sangat sulit mempersiapkan
seseorang agar memiliki respon terhadap kehilangan yang baik, karena pengalaman
kehilangan tidak bisa diramalkan. Pengalaman akibat kehilangan pada masa sekarang
atau sebelumnya akan semakin menguatkan seseorang ketika menghadapi kehilangan
yang lebih besar di masa yang akan datang. Misalnya kehilangan binatang kesayangan,
teman, benda-benda, pekerjaan dll akan mempersiapkan seseorang dalam menghadapi
kehilangan yang lebih berat nantinya.
1. Masa kanak-kanak
Anak-anak tidak hanya mengadopsi pemahaman orangtua mereka tentang kehilangan
tetapi juga respon orangtuanya terhadap kehilangan. Kehilangan orangtua atau orang-orang
penting dalam hidup anak-anak dapat mempengaruhi perkembangan mereka, seringkali
terjadi regresi yaitu kembali ke masa perkembangan sebelumnya. Oleh karena itu perawat
berperan penting dalam membantu anak-anak dalam proses berduka dan memulihkan
kembali ke keadaan normal dengan tidak menghambat perkembangan emosional selanjutnya.
Anak-anak dapat juga merasakan ketakutan, kesepian, terabaikan sehingga bisa mengancam
integritas fisiologisnya. Penelitian membuktikan bahwa kehilangan orangtua akibat kematian
atau perceraian berhubungan dengan meningkatnya resiko depresi atau bunuh diri pada masa
dewasa.
2. Remaja dan dewasa muda
Semakin dewasa seseorang, kehilangan menjadi pengalaman yang sudah
biasa/normal. Misalnya akhirnya orangtuanya meninggal pada usia tua. Koping yang adekuat
terhadap kehilangan merupakan salah satu tugas tumbuh kembang golongan usia dewasa
muda. Kehilangan orangtua merupakan tanda bahwa struktur inti keluarga sudah mulai
terpecah. Hal ini akan mengingatkan seorang dewasa muda bahwa ia sudah termasuk
golongan yang lebih tua dan akan semakin dekat dengan kematian juga. Tantangan perawat
dalam krisis kehilangan pada masa ini adalah mengkaji peninggalan psikologis orangtuanya
termasuk arti hubungan orangtua dan akan sebelumnya. Misalnya karena hubungan yang
banyak konflik antar anak & orangtua, saat kematian orangtua merupakan saat bebasnya
energi yang selama ini dihabiskan untuk konflik, sehingga bisa disalurkan ke arah
perkembangan yang lebih produktif.
3. Dewasa tua
Kematian pada dewasa tua sering terjadi, tetapi respon individu terhadap kematian
tetap berbeda-beda. Biasanya krisis ini bersamaan dengan semakin banyaknya penyakit pada
janda/duda yang ditinggalkan, sehingga perawat harus memperhatikan dampak dari respon
berduka terhadap seorang dewasa tua.
4. Perkembangan pemahaman akan konsep kematian
- Usia Keyakinan/perilaku
1. Bayi – 5 tahun
Belum memahami konsep kematian. Rasa terpisah bayi saat ini merupakan dasar
terbentuknya pemahaman tentang kehilangan dan kematian pada usia selanjutnya.
Kepercayaan tentang kematian masih bisa berubah-ubah, misalnya pergi jauh, tidur
lama dan lain-lainnya. Mereka berpikir bahwa tidak bergerak adalah tanda
kematian.
2. 5 – 9 tahun
Memahami bahwa kematian adalah akhir dari sesuatu. Percaya bahwa kematiannya
sendiri tidak bisa dielakkan. Menghubungkan kematian dengan penyerangan atau
kekerasan. Percaya bahwa kematian merupakan dampak dari keinginan atau
perilaku yang sebenarnya tidak menyebabkan kematian itu sendiri.
3. 9 – 12 tahun
Memahami bahwa kematian merupakan akhir hidup yang tidak dapat dielakkan.
Mulai mengerti kematiannya sendiri, dinyatakan dalam ketertarikan akan situasi
setelah kematian atau takut mati. Menyatakan idenya sendiri tentang kematian yang
didapatnya dari orangtua maupun orang dewasa lainnya.
4. 12 – 18 tahun
Takut akan kematian yang tidak pasti datangnya. Membayangkan bahwa kematian
merupakan hal yang menantang sehingga banyak melakukan hal-hal yang seolah-
olah menantang maut seperti berkebut-kebutan, memakai narkoba. Merasa bebas
berpikir tentang kematian, tetapi mulai memandangnya dari nilai religius atau
filosofik. Sepertinya sudah memperoleh konsep kematian yang benar tetapi
seringkali tidak bia menerimanya secara emosional. Masih memegang
keyakinannya tentang kematian dari persepsi sebelumnya
5. 18 – 45 tahun
Memiliki sikap yang jelas tentang kematian, biasanya dipengaruhi oleh keyakinan
dan nilai-nilai budayanya.
6. 45 – 65 tahun
Menerima kematiannya sendiri. Mengalami kematian orangtuanya atau temannya.
Mengalami kecemasan yang tinggi tentang kematian. Kecemasan tentang kematian
berkurang dengan adanya rasa sejahtera
7. > 65 tahun
Takut akan penyakit-penyakit kronis. Mengalami kematian anggota keluarga dan
teman-teman. Memandang kematian sebagai pengalaman bebas dari rasa sakit,
pertemuan dengan orang-orang yang sudah meninggal sebelumnya.
B. Asuhan Keperawatan Kehilangan dan Berduka Disfungsional
a. Definisi kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan.
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu
tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara
bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak
diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
(Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah
dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu
Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
1. Aktual atau nyata
Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian
orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya;
seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan
kebebasannya menjadi menurun.
Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:
Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang
berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-
tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena
keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada,
kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional
yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.
Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang
mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri
sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya.
Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau
komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya
kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-
sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan
seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda
tersebut.
Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal
termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau
bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki
tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
Kehilangan kehidupan/ meninggal
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon
pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya.
Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.
b. Definisi berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan
lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka
disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu
dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya
kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual
maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini
kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
- Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka.
Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana
intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan
mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang
perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan
dukungan dalam bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang
dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang
ajal.
Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri,
duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk
pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat,
insomnia dan kelelahan.
Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin
mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan
kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima
perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan
kehilangan seseorang.
Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap
almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari.
Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima
kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak
untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti
“Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!”
umum dilontarkan klien.
b) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih”
pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali
tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk
menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan.
c) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau
jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali
mencari pendapat orang lain.
d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna
kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk
berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan
masalah.Penerimaan (Acceptance)Reaksi fisiologi menurun dan interaksi
sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila
seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.
3. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai
lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan
bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan
itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-
12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
4. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
1. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
2. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara
berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling
dalam dan dirasakan paling akut.
3. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai
memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana
klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA
ENGEL (1964) KUBLER-ROSS
(1969)
MARTOCCHIO
(1985)
RANDO (1991)
Shock dan tidak percaya Menyangkal Shock and disbelief Penghindaran
Berkembangnya kesadaran Marah Yearning and protest
Restitusi Tawar-menawar Anguish,
disorganization and
despair
Konfrontasi
Idealization Depresi Identification in
bereavement
Reorganization / the out come Penerimaan Reorganization and
restitution
akomodasi
c. Pengkajian
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan
g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas
d. Diagnosa keperawatan: Berduka disfungsional
Definisi: sesuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang dirasakan
dimana individu tetap terfiksasi dalam satu tahap proses berduka untuk suatu periode
waktu yang terlalu lama, atau gejala berduka yang normal menjadi berlebih-lebihan
untuk suatu tingkat yang mengganggu fungsi kehidupan.
e. Kemungkinan Etiologi (“yang berhubungan dengan”)
-Kehilangan yang nyata atau dirasakan dari beberapa konsep nilai untuk individu
-Kehilangan yang terlalu berat (penumpukan rasa berduka dari kehilangan multiple
yang belum terselesaikan)
-Menghalangi respon berduka terhadap suatu kehilangan
-Tidak adanya antisipasi proses berduka
-Perasaan bersalah yang disebabkan oleh hubungan ambivalen dengan konsep
kehilangan.
f. Sasaran/Tujuan
Sasaran jangka pendek
Pasien akan mengekspresikan kemarahan terhadap konsep kehilangan dalam 1
minggu.
Sasaran jangka panjang
Pasien akan mampu menyatakan secara verbal perilaku-perilaku yang berhubungan
dengan tahap-tahap berduka yang normal. Pasien akan mampu mengakui posisinya
sendiri dalam proses berduka sehingga ia mampu dengan langkahnya sendiri terhadap
pemecahan masalah.
g. Intervensi dengan Rasional Tertentu
1. Tentukan pada tahap berduka mana pasian terfiksasi. Identifikasi perilaku-
perilaku yang berhubungan dengan tahap ini.
Rasional
Pengkajian data dasar yang akurat adalah penting untuk perencanaan keperawatan
yang efektif bagi pasien yang berduka.
2. Kembangkan hubungan saling percaya dengan pasien. Perlihatkan empati dan
perhatian. Jujur dan tepati semua janji
Rasional
Rasa percaya merupakan dasar unutk suatu kebutuhan yang terapeutik.
3. Perlihatkan sikap menerima dan membolehkan pasien untuk mengekspresikan
perasaannya secara terbuka
Rasional
Sikap menerima menunjukkan kepada pasien bahwa anda yakin bahwa ia
merupakan seseorang pribadi yang bermakna. Rasa percaya meningkat.
4. Dorong pasien untuk mengekspresikan rasa marah. Jangan menjadi defensif jika
permulaan ekspresi kemarahan dipindahkan kepada perawat atau terapis. Bantu
pasien untuk mengeksplorasikan perasaan marah sehingga pasien dapat
mengungkapkan secara langsung kepada objek atau orang/pribadi yang dimaksud.
Rasional
Pengungkapan secara verbal perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak
mengancam dapat membantu pasien sampai kepada hubungan dengan persoalan-
persoalan yang belum terpecahkan.
5. Bantu pasien untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam dengan
berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas motorik kasar (mis, joging, bola voli,dll)
Rasional
Latihan fisik memberikan suatu metode yang aman dan efektif untuk
mengeluarkan kemarahan yang terpendam.
6. Ajarkan tentang tahap-tahap berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan
dengan setiap tahap. Bantu pasien untuk mengerti bahwa perasaan seperti rasa
bersalah dan marah terhadap konsep kehilangan adalah perasaan yang wajar dan
dapat diterima selama proses berduka.
Rasional
Pengetahuan tentang perasaan-perasaan yang wajar yang berhubungan dengan
berduka yang normal dapat menolong mengurangi beberapa perasaan bersalah
menyebabkan timbulnya respon-respon ini.
7. Dorong pasien untuk meninjau hubungan dengan konsep kehilangan. Dengan
dukungan dan sensitivitas, menunjukkan realita situasi dalam area-area dimana
kesalahan presentasi diekspresikan.
Rasional
Pasien harus menghentikan persepsi idealisnya dan mampu menerima baik aspek
positif maupun negatif dari konsep kehilangan sebelum proses berduka selesai
seluruhnya.
8. Komunikasikan kepada pasien bahwa menangis merupakan hal yang dapat
diterima. Menggunakan sentuhan merupakan hal yang terapeutik dan tepat untuk
kebanyakan pasien.
9. Bantu pasien dalam memecahkan masalahnya sebagai usaha untuk menentukan
metoda-metoda koping yang lebih adaptif terhadap pengalaman kehilangan.
Berikan umpan balik positif untuk identifikasi strategi dan membuat keputusan.
Rasional
Umpan balik positif meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan
perilaku yang diharapkan.
10. Dorong pasien untuk menjangkau dukungan spiritual selama waktu ini dalam
bentuk apapun yang diinginkan untuknya. Kaji kebutukan-kebutuhan spiritual
pasien dan bantu sesuai kebutuhan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
h. Evaluasi (Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang)
1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang
normal dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap.
2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan
mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep
kehilangan secara jujur.
3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku
yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu
melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian
dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri, Pedoman
Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
stikes.fortdekock.ac.id
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.
cre : 06 PSIK USK
(Development of the concept of death, Kozier et al, 1991; 817)
http://pastakyu.wordpress.com/2010/01/21/asuhan-keperawatan-kehilangan-dan-berduka/