Download - Tugas Dr.iwan Ade - Waldy
PERAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEDISMediation in Medical Dispute
Ade Riza Widyanti, Waldy Rodiardo PurbaProgram Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Unlam
Abstrak
Profesi dokter belakangan ini sering disoroti mengenai perbuatan dokter yang dapat digolongkan sebagai perbuatan melanggar hukum, yaitu malpraktek yang dapat merugikan masyarakat khususnya pasien. Hal tersebut sering menimbulkan konflik bahkan menjadi sengketa antara dokter dengan pasien, yang disebabkan kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medis. Dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan mengandung beberapa kelemahan, diantaranya penyelesaian sengketa berjalan lambat, mahalnya biaya perkara, putusan tidak menyelesaikan masalah dan merenggangkan hubungan.Melihat kondisi diatas dirasakan perlu adanya Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam penyelesaian sengketa perdata. Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.Mediasi Kesehatan merupakan bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa yang tepat dalam penyelesaian sengketa kesehatan yang ada, karena menguntungkan bagi parapihak, dan bentuk akhir penyelesaiannya diakui oleh hukum positif di Indonesia.
Kata kunci: malpraktik medis, Alternatif penyelesaian sengketa
Abstract
Recently people always talk about profesional of doctor that include assault break the law, that is malpractice. That thing can be rise conflict even dispute between patient and doctor. Due to dereliction of doctor in medical practice. There are some blind side if we try to finished the dispute into the court, the other thing cost of lawsuit it's to expensive, adjudication has not solve the problem, and it can make the relationship was broken.According to the problems above we need an Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR can be attained to some way, that is: negosiation, mediation, konsiliation, and abitration.Health Mediation is one of the ADR that exactly right into solve the dispute problem, because it's give an advantages to others and it's accepted in positif law of indonesia.
Keywords: medical malpractice, alternative Dispute Resolution
1
PENDAHULUAN
Dalam era global yang terjadi waktu ini, profesi kedokteran merupakan salah satu profesi
yang mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik
sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia sebagai induk organisasi
para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik.1
Tercatat 405 laporan masalah medis dari berbagai belahan Indonesia
yang diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan. Sebanyak 73
kasus di antaranya dilaporkan ke kepolisian. Dapat dikatakan Indonesia
memasuki krisis kepercayaan sebagaimana yang terjadi di Amerika pada
tahun 1970-1980. Selama tahun 1994 - 2004, kasus sengketa medis yang diadukan ke
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa
Tengah tercatat 68 kasus, dengan kisaran 2-13 kasus per tahun, rata-rata 6 kasus per tahun dan 3
dokter diadukan per 1000 dokter yang ada di Jawa Tengah. MKEK wilayah Daerah Khusus Ibu
Kota (DKI) Jakarta selama kurun waktu 2004-2006 telah menerima dan menangani 23 kasus
aduan sengketa medis, dengan kisaran 6-9 kasus pertahun, rata-rata 8 kasus per tahun,
melibatkan 30 dokter dari 189 berbagai bidang spesialistik dan dokter umum. Pada bulan
september tahun 2008, LBH Kesehatan bahkan mencatat selama 8 bulan terakhir telah terjadi
111 kasus malpraktik, namun dari sekkian banyak kasus tersebut, hanya 8 kasus yang diproses
secara hukum.2,3
Arti kata sengketa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran,
perbantahan atau dapat juga diartikan sebagai pertikaian atau perselisihan.
Sengketa dalam pengertian luas adalah hal yang lumrah dalam kehidupan
2
bermasyarakat, yang dapat terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi
pada peristiwa atau situasi dan mereka memiliki persepsi, kepentingan, dan
keinginan yang berbeda terhadap peristiwa atau situasi tersebut. Jadi
sengketa adalah perbedaan pendapat yang telah mencapai eskalasi tertentu
atau mengemuka. Pemicu terjadinya sengketa adalah kesalahpahaman,
perbedaan penafsiran, ketidak-jelasan pengaturan, ketidakpuasan,
ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut, curang atau tidak
jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan terjadinya keadaan
yang tidak terduga.2,4
Sengketa medis dalam hukum dikenal juga dengan istilah malpraktik.
Sebenarnya dari asal katanya malpraktik tidak hanya ditujukan pada profesi
kesehatan saja tetapi juga profesi pada umumnya, namun setelah secara umum mulai
digunakan di luar negeri maka istilah itu sekarang diasosiasikan atau ditujukan pada profesi
kesehatan. Malpraktek yang dianggap merupakan terjemahan dari malpractice, didefinisikan
menurut The Advance Learner's Dictionary of Current English sebagai wrongdoing ( kesalahan)
atau neglect of duty ( kelalaian ). Meskipun Undang-Undang Kesehatan dan Praktik Kedokteran
semakin memperkuat status hukum pasien dan menyatarakan hubungan hukum antara pasien
dengan dokter/rumah sakit, namun meningkatnya kasus-kasus malpraktek tidak dapat
dihindari.2,3
Sebenarnya malpraktek itu sendiri tidak saja berkaitan dengan dokter atau kalangan
medis, tapi sebenarnya profesi lain juga bisa melakukan tindakan yang salah atau tidak benar
dalam menjalankan profesinya. Namun profesi lain jarang bermasalah dibandingkan dengan
profesi medis. Profesi medis seperti dokter adalah penuh risiko, baik yang diketahui sebelumnya
3
atau tidak, yang dapat dicegah atau tidak dapat diatasi, asuhan medis merupakan proses yang
rumit dimana hasilnya tergantung pada banyaknya variabel. Hal yang perlu dipahami juga
bahwa banyak sekali jenis penyakit serius yang ditangani di rumah sakit, maka dari hasil riset
Curan dikatakan 80% kasus malpraktek medis terjadi pada institusi rumah sakit lainnya tempat
praktek pribadi dokter atau klinik-klinik pengobatan. Karena itu dapat dipahami bahwa tuntutan
terhadap dugaan malpraktek medis tidak hanya ditujukan pada dokter, tapi sering kali
melibatkan RS tempat terjadinya pelayanan kesehatan dan juga tempat dokter benaung, dan bisa
juga melibatkan tenaga medis lainnya yang mendampingi dokter seperti perawat, bidan,
apoteker, dll.2,5
Dengan belum diaturnya malpraktik dalam peraturan perundang-
undangan yang ada sekarang ini (tidak mempunyai kepastian hukum),
penanganan dan penyelesaian masalah malpraktik juga menjadi tidak pasti.
Masalah tersebut ditambah dengan belum adanya (dan hampir tidak
mungkin dilakukan) standarisasi standar pelayanan profesi kesehatan. Hal
itu disebabkan masalah kesehatan amat kompleks, mulai dari dampak
penerapan pelayanan kesehatan pada tiap manusia yang berbeda-beda
sampai dengan beragamnya teknologi di tiap sarana pelayanan kesehatan
dan kemampuan setiap komunitas dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Tidak adanya standar pelayanan profesi kesehatan yang legal dan
banyaknya rumah sakit yang menerbitkan standar yang berbeda dengan
rumah sakit lainnya akan menyebabkan kesulitan dalam membedakan
malpraktik dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan di lapangan. Lebih
lanjut hal tersebut juga menyebabkan pembuktian malpraktik akan semakin
sulit jika pasien berpindah-pindah rumah sakit. Dengan demikian yang
paling tepat dan berhak menentukan pengingkaran atas standar pelayanan
profesi kesehatan adalah Komite Medik di rumah sakit yang bersangkutan.
Komite Medik mengetahui secara rinci standar komunitas dokter, tenaga
kesehatan lainnya dan teknologi yang tersedia.2,5
Keadaan yang terjadi sekarang, sentimen korps kesehatan yang saling melindungi
sesama profesional akan menyulitkan upaya pengusutan yang obyektif, sehingga kasus-kasus
malpraktik tersebut hanya masuk “peti es” dan tidak ditangani lagi. Hal tersebut mengakibatkan
pihak pasien berpendapat bahwa tenaga kesehatan kebal hukum dan selalu berlindung di balik
etika tenaga kesehatan agar terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya.6 Sebaliknya,
kalangan kesehatan berpendapat bahwa pihak pasien sangat kuat kedudukannya sehingga dapat
dengan begitu saja menuntut atau menggugat tenaga kesehatan untuk suatu hasil pengobatan
yang negatif atau tidak memenuhi harapan pasien. Padahal dampak tuntutan itu terkadang sudah
merupakan pembunuhan karakter atau character assassination terhadap tenaga kesehatan yang
dituntut atau digugat. Pada kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau
kelalaian tenaga kesehatan yang merawat. Bahkan seringkali, pihak pasien (melalui
pengacaranya) telah mempublikasikan kasus yang digugatnya sebagai malpraktik, padahal hal
itu dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, mengingat dalam
beracara dipengadilan gugatan malpraktik tersebut masih harus dibuktikan dan ditetapkan
melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan
perbuatan merupakan malpraktik atau tidak, harus dilakukan dengan pendekatan (yang bersifat
khusus) kedokteran atau kesehatan dan ilmu hukum secara proporsional.2,6
Penyelesaian sengketa kesehatan yang terjadi antara pihak lembaga pemberi layanan
4
5
kesehatan dengan pihak pasien dilakukan secara berjenjang melalui proses negosiasi, mediasi,
dan litigasi. Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa dengan pendekatan
musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan perdamaian guna mengakhiri sengketa yang ada
dengan dibantu oleh pihak ke-3 yang bersifat netral. Proses mediasi telah diakui dalam hukum
positif Indonesia, hal ini dapat kita lihat dalam Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 1 tahun
2008, dimana secara tegas disebutkan bahwa semua sengketa perdata wajib dilakukan mediasi
terlebih dahulu sebelum dilakukan proses persidangan. Dalam hal sengketa kesehatan, Undang
Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 juga mewajibkan untuk dilakukan mediasi terlebih
dahulu bila terjadi sengketa dalam pelayanan kesehatan.5,6
PEMBAHASAN
A. Pengertian Malpraktik Medis
Istilah malpraktek adalah isitilah yang umum tentang kesalahan yang dilakukan oleh
profesional dalam menjalankan profesinya dan merupakan terjemahan dari malpractice. Mal
berarti salah dan practice berarti praktek. Dengan demikian secara sederhana dapat diartikan
malpraktek adalah praktek yang salah atau praktek yang jelek. Sedangkan malpraktek medis:
medical practice dan secara lebih singkatan mala praxts: kesalahan profesi.3,4,5,6
World Medical Assosiation (WMA) pada tahun 1992 memberikan definisi tentang
malpraktek medis adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan
yang menimbulkan cedera pada pasien atau adanya kekurangan keterampilan atau kelainan
dalam pengobatan dan perawatan yang menimbulkan cedera pada pasien. WMA juga
mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan medis merupakan malpraktek kedokteran. Suatu
peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya dan dapat terjadi disaat terjadinya tindakan
medis yang sudah sesuai standar tidak termasuk dalam pengertian malpraktek. Pembuktian
malpraktek dipengadilan tidaklah mudah, dimana hakim harusnya membutuhkan atau sangat
tergantung pada saksi ahli yang diambil dari peer group sesuai kompetensi dokter yang
tergugat.5,6
Namun demikian dari semua definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan malpraktek medis adalah antara lain:1,2,3
a) Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga medis
b) Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban
c) Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
B. Aspek Hukum Malpraktek Medik
Berdasarkan jenisnya, tindakan malpraktik medik terbagi kedalam dua bentuk
pertanggungjawaban. Pertama, pertanggungjawaban profesi kedokteran, yaitu pelanggaran etika
kedokteran etika kedokteran dan pelanggaran disiplin kedokteran. Kedua, pertanggungjwaban
hukum (malpraktik yuridis), yang terbagi dalam tiga komponen yaitu malpraktik pidana
( criminal malpractice), malpraktek perdata ( sivil malpractice), dan malpraktek administratif
( administrative malpractice ). Masing-masing kriteria pertanggungjawaban hukum dan profesi
kedokteran tersebut di atas mempunyai jalur penyelesaian yang berbeda, dasar hukum yang
berbeda dan ditangani oleh peradilan yang berbeda pula.1,2,3,4,5,6
1) Malpraktik pidana ( criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalamicacat akibat
dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati, kurang cermat, dalam melakukan upaya
penyembuhan terhadap pasien. Dalam malpraktik pidana dibagi kedalam dua bentuk, yaitu
malpraktik pidana karena kesengajaan ( intensional) dan malpraktik pidana karena kelalaian atau
6
kealpaan ( negligence).3,5,6
Moelyatno menegaskan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar atau
dibawah sepengetahuan pelaku dan melakukan tindakan tersebut yang dilanggar oleh hukum.
Sedangakan kelalaian terjadi karena kurangnya perhatian, kurang cermat, dan kuang hati-hati
dalam dalam melakukan perawatan atau pengobatan terhadap pasien, sehingga tanpa disadari
menyebabkan keadaan yang dilarang seperti luka, cacat, atau matinya pasien. Kelalaian
hakikatnya sama dengan kesengajaan, tetapi perbedaanya hanyalah dari sudut tingkatnya saja.
Derajat kesalahan kesengajaan lebih tinggi dari pada kesalahan kelalaian.3,5,6
Dalam KUHP, ada beberapa pasal yang dapat dikenakan terhdap dokter, namun hanya
pasal 359 dan pasal 360 yang lazim digunakan oleh Polisi dan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
untuk menuntut dokter atas dugaan tindakan malpraktik medik. Walaupun demikian selain
kedua pasal tersebut jarang sekali digunakan dalam setiap dakwaannya di pengadilan, karena
kedua pasal tersebut hampir dapat menampung semua tindakan medis yang merugikan
kesehatan pasienseperti luka dan matinya pihak pasien.3,5,6
2) Malpraktik Perdata ( Civil Malpractice)
Dalam KUHPdt ada tiga hal yang dapat dihubungkan tindakan malpraktik medik yaitu
pihak dokter yang melaksanakan perawatan atau pengobatan tidak sesuai dengan perjanjian
(wanprestasi) yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan tindakan dokter melanggar
hukum ( onrechmatige daad), tindakan (zaakwaarneming).3,4,5,6
Wanprestasi dalam praktik medik hanya terjadi karena pelanggaran perjanjian oleh pihak
dokter terhdap hak pasien. Isi perjanjian dapat berupa:3,4,5,6
a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b) Melakukan apa yang menurut kesepakatanya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna
7
dalam pelaksanaannya.
c) Melakukan apa yang menurut kesepakatanya wajib dilakukan tetapi terhambat
melaksanaannya.
d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Kriteria wanprestasi dinyatakan dalam pasal 1243 KUHPdt yaitu tidak dipenuhinya suatu
perikatan, apa yang menjadi unsur tidak dipenuhinya suatu perikatan adalah tidak melaksanakan
klausula suatu perjanjian. Pada dasarnya, klausula perjanjian adalah tanggung jawab melakukan
sesuatu dan memberikan sesuatu.3
Kewujudan kerugian akibat wanprestasi hanyalah dalam bentuk kerugian material saja
yaitu kerugian yang bisa diukur dengan uang seperti biaya perawatan, biaya perjalanan, dan
biaya obat-obatan. Sedangkan kerugian imateriil, misalnya kehilangan harapan untk sembuh,
rasa penderitaan atau kesakitan yang berkepanjangan, hilangnya penglihatan dan menyebabkan
kematian tidak dapat dituntut berdasarkan wanprestasi, tetapi kerugian tersebut dapat dituntut
berdasarkan perbuatan melanggar hukum ( oncrechmatige daad) sebagaimana pasal 1365
KUHPdt.3,4,5,6
Adapun, tindakan oncrechmatige daad harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
a) Adanya perbuatan ( baik berbuat maupun tidak berbuat )
b) Perbuatan tersebut melanggar hukum ( tertulis ataupun tidaktertulis )
c) Ada kerugian
d) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang
diderita
e) Adanya kesalahan
Dalam malpraktik medik, sulit membedakan tindakan wanprestasi dengan perbuatan
8
melawan hukum. Walaupun dasarnya jelas dan mudah diucapkan, kerugian akibat wanprestasi
merupakan akibat langsung dari pelanggaran kewajiban dalam suatu perikatan hukum.
Sedangkan kerugian dari perbuatan melanggar hukum adalah kerugian sebagai akibat langsung
dari perbuatanyang dapat disalahkan pada sipembuat atau mengandung sifat melawan hukum
yang tidak harus dalam suatu perikatan.3,4,5,6
Oleh karena itu, dalam peradilan kasus malpraktek medik tergantung pada alasan
gugatan pasien yaitu apakah gugatan tersebut berdasarkan wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum, karena pada prinsipnya keduanya sama yaitu gugatan terhadap penyimpangan pelayanan
medis yang dilakukan leh dokter. Dalam menjatuhkan hukuman pun hakim akan menjatuhkan
berdasarkan tuntutan penggugat ( ultra petitim patium). Namun dalam gugatan melawan hukum,
dasar pembuktian nya menjadi mudah apabila telah terbukti adanya penyimpangan pelayanan
medis yang mengandung unsur tindakan pidana, misalnya dokter telah melanggar Pasal 359 dan
360 KUHP, maka pembuktian akan menjaadi sempurna dengan mengajukan putusan pengadilan
tersebut dalam gugatan perbuatan melawan hukum. Penggugat hanya tinggalmembuktkan nilai
kerugian yang diakibatkan oleh tindakan dokter tersebut baik materiil maupun immateriil.3,4,5,6
Kemudian tentang tindakan zaakwarneming. Zaakwarneming adalah bentuk perikatan
hukum yang lahir karena undang-undang. Ketentuan tindakan zaakwaarneming diatur dalam
pasal 1354 KUHPdt yang menentukan bahwa “jika seseorang sukarela, mewakili urusan orang
lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk
meneruskan serta menyelesaikan urusan itu, hingga orang yang diwakili kepentingan nya dapat
mengerjakan sendiri urusan itu. Ia menanggung segala kewajiban yang harus dipikulnya,
seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas.3,4,5,6
Melihat ketentuan diatas, tindakan zaakwarneming tidak menyebabkan timbulnya
9
10
tindakan malpraktik medik, tetapi dalam melaksanakan kewajiban hukum yang timbul karena
zaakwrneming maka dapat menyebabkan tindakan malpraktek medik apabila terdapat
penyimpangan dalam memberikan pelayanan medis oleh dokter sehingga dapat menimbulkan
kerugian terhadap kesehatan pasien. Dalam keadaan darurat dokter boleh saja melakukan
tindakan medis sesuai dengan kebutuhan pasien, tanpa harus adanya persetujuan pasien, namun
apabila pasien sudah stabil atau sadar, maka dokter harus memberitahu kepada pasien tentang
tindakan medis yang telah dilakukan selama pasien pingsan dan tindakan medis selanjutnya
yang dibutuhkan oleh pasien. Dalam zaakwaneming disebutkan bahwa dokter bertindak sebagai
bapak yang baik terhadap pasien.3,4,5,6
3) Aspek Hukum Administrasi Malpraktek Medis
Malpraktek sebagaimana disebutkan secara singkat diatas, merupakan perbuatan yang
melanggar kewajiban yang seharusnya dilakukan, yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana yang diatur dalam profesi. Standar profesi merupakan pengaturan terhadap cara
pelaksanaan tindakan medis sehingga tindakan tersebut sesuai tujuan yang diharapkan, jadi
merupakan ketentuan hukum administrasi yang harus ditaati oleh tenagamedis yang
bersangkutan. Kesalahan tindakan berarti pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi,
dan karenanya dapat dikenakan tindakan administrasi oleh pihak pemerintah.5,6
4) Aspek Etika dalam Malpraktek Medik
Sebagaimana diketahui, pelayanan kesehatan selain diatur dengan ketentuan hukum, juga
diatur oleh ketentuan kode etik profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan. Oleh karena itu
pelanggaran dalam pelayanan kesehatan termasuk malpraktel medis juga dikenakan sanksi-
sanksi, baik etik, hukum maupun keduanya. Perbedaannya adalah bahwa sanksi etik dijatuhkan
oleh organisasi profesi, sanksi administrasi oleh pemerintah, sanksi pidana oleh pengadilan
berdasarkan tuntutan kejaksaan, dan sanksi perdata berdasarkan gugatan pihak yang dirugikan.
Sanksi etik lebih bertujuan pada edukasi atau pembelajaran bukan sebagai hukuman atau
mengganti kerugian. Mengenai pelanggaran aspek etika, jalur etik tidak begitu melihat kepada
akibat atau kerugian yang ditimbulkan, karena etika lebih mengedepankan kepada tindakan yang
dilakukan sipelakudengan berpedoman kepada Kode Etik Profesi. Untuk kalangan dokter pada
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).5,6
C. BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA
1) Alternatif Penyelesaian Sengketa
Dalam proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan)
dan non litigasi/konsensual/non-ajudikasi. Kita semua dapat memahami bahwa proses beracara
di pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan memakan waktu. Karena sistem
pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali menghasilkan satu pihak
sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Sementara itu kritik tajam
terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat,
lamban dan buang waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum serta
dianggap terlampau formalistik dan terlampau teknis. Itu sebabnya masalah peninjauan kembali
perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien terjadi dimana-mana. Bahkan
muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil
procedure was neither efficient no fair).2,7,8,9
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) di Indonesia yang diawali oleh lembaga
perdamaian (dading) yang diatur dalam pasal 130 HIR dan 154 Rbg, saat ini telah berkembang
dan muncul sebagai pilihan jalan keluar dari kondisi peradilan umum yang ada. Dalam
kepustakaan Hukum Lingkungan, APS mendeskripsikan berbagai bentuk mekanisme
11
penyelesaian sengketa lingkunganselain proses litigasi, antara lain: negosiasi, mediasi,
konsiliasi, pencari fakta, dan abitrase.9
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsultasi berarti pertukaran pikiran untuk
mendapatkan kesimpulan ( nasehat, saran dan sebagainya) yang sebaik-baiknya. Dalam
kaitannya dengan alternatif penyelesaian sengketa, konsultasi/konseling merupakan cara
penyelesaian sengketa atau beda pendapat diluar pengadilan yang menawarkan mediasi jangka
panjang (terkait dengan pengertian yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas)
yang dasarnya berhubungan dengan faktor psikologis dan perilaku.2,9
Negosiasi adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai
kesepakatan bersama antara satu pihak ( kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau
organisasi) yang lain, atau dapat diartikan pula sebagai penyelesaian sengketa secara damai
melalui perundingan antara pihak yang bersengketa. Dalam proses negosiasi para pihak yang
bersengketa bertemu secara sukarela dan berusaha mencari penyelesaian dari permasalahan yang
ada dan meraih kesepakatan semua pihak secara konsensus.2,9
Negosiasi dapat dilakukan sendiri atau diwakilkan oleh orang lain seperti penasehat
hukum, atau pengacara. Salah satu manfaat negosiasi adalah para pihak dapat membuat
pendekatan setiap saat, dengan proses mediasi pendekatan dapat dilakukan oleh mediator.9
Proses mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternative dispute resolution (ADR)
atau alternatif penyelesaian masalah. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi
itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan dengan
menggunakan mediator yang telah mempunyai sertifikat mediator. Mediator adalah pihak netral
yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
12
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian.2,9
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa atau beda pendapat diluar pengadilan yang
hampir serupa dengan mediasi namun dengan potensi perbedaan pada keaktifan pihak ketiga
yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa. Melibatkan intervensi pihak ketiga yang
bersifat pasif atau hanya terbatas pada hal-hal prosedural. Namun pada umumnya para
konsiliator berperan serta lebih langsung dalam sengketa dibandingkan dengan mediator.2,8
Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor
01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental
dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban
mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini
berkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, sekarang menampakkan diri sebagai
lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.2,8
2) Mediasi Dalam Sengketa Medis
Profesi kedokteran merupakan profesi tertua di dunia. Profesi kedokteran juga
merupakan profesi pertama yang bersumpah untuk mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan.
Hubungan dokter pasien pada dasarnya dilandasi kepercayaan. Walaupun masih memerlukan
kajian yang lebih spesifik, ketidakpercayaan kepada dokter ditandai dengan mempertanyakan
pengetahuan, kemampuan, perilaku dan manajemen pasien dari si dokter. Sebuah studi di
Amerika menunjukkan bahwa seringkali dokter dituntut pasien dengan hal-hal yang tidak
berhubungan sama sekali dengan kualitas perawatan kesehatan yang diberikan dokter.2,9
Perubahan terminologi dari pasien ke konsumen atau klien mentransformasi perubahan
13
14
konsep hubungan dokter pasien ke konsep hubungan “jasa pelayanan.” Ironisnya seringkali
hubungan itu tidak meletakkan kepentingan yang terbaik untuk pasien sebagai kepentingan
utama oleh karena ketidakseimbangan kekuasaan dan pengetahuan antara kedua belah pihak.
Perkembangan ketersediaan informasi kesehatan melalui berbagai media turut mempengaruhi
keputusan yang akan diambil oleh dokter. Selain itu juga harus dipahami bahwa ilmu kedokteran
tidaklah menjanjikan hasil melainkan upaya maksimal yang dapat dilakukan (inspanning
verbintennis). Lebih jauh akibat pengaruh intelektual dekonstruksionis yang akarnya terletak
pada pengertian good dalam perspektif pasien mempengaruhi otonomi profesi. Dahulu good
atau benefit merupakan domain para ahli pengobatan (dokter) dalam situasi paternalistik.
Ternyata sejalan dengan perkembangan zaman pengertian good tetap dalam kerangka “berbuat
baik” dalam konteks dokter berubah menjadi benefit pasien dengan mempertimbangkan
keputusan dan harapan pasien itu sendiri.2,7,8,9
Dalam kasus sengketa medik sangat dimungkinkan untuk penyelesaian melalui mediasi.
Hal ini tertuang dalam perubahan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang kesehatan
menjadi No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, memerintahkan wajib melakukan mediasi jika
terjadi kesalahan atau kelalaian oleh tenaga kesehatan seperti pada pasal 29 sebelum ditempuh
jalur hukum lainnya.9
Konsideran yang mendasari sehingga ditetapkannya Perma Nomor 01 Tahun 2008
adalah:
1. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah,
serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
2. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah
satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian
sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif)
3. Hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong
para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan negeri
4. Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang
mahkamah agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh
peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam
proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan sengketa perdata, dipandang perlu
menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.2,7,8
Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi, perlu dipahami tentang tiga
aspek mediasi yaitu:2,9
1. Aspek Urgensi/Motivasi
Urgensi dan motivasi mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi damai
dan tidak melanjutkan perkaranya ke pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal yang
selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah
mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihak-pihak yang
bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata
sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal
yang dipertikaikan itu biasanya dapat menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka
mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan
difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk menyaring persoalan agar menjadi jernih dan
15
pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara mereka.
2. Aspek Prinsip
Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008
yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian
perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi menurut Perma, hal itu
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan
putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama
tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal itu terjadi risikonya akan fatal.
3. Aspek Substansi
Mediasi merupakan rangkaian proses yang harus dilalui untuk setiap perkara perdata
yang masuk ke pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang harus dijalani secara
sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk
melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk
memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya sungguh-sungguh yang harus
dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan
upaya pihakpihak yang berperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri,
bukan kepentingan pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Dengan demikian
segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh pihak-pihak yang
berperkara.
a) Tahapan Proses Mediasi
Ada dua belas langkah agar proses mediasi berhasil dengan baik yaitu:2,9
1. Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa
16
2. Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi
3. Mengumpulkan dan menganalisis informasi latar belakang sengketa
4. Menyusun rencana mediasi
5. Membangun kepercayaan dan kerja sama di antara para pihak
6. Memulai sidang mediasi
7. Merumuskan masalah dan menyusun agenda
8. Mengungkapkan kepentingan yang tersembunyi
9. Membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa
10. Menganalisis pilihan penyelesaian sengketa
11. Proses tawar menawar akhir
12. Mencapai kesepakatan formal
Ada dua jenis perundingan dalam proses mediasi yaitu positional based bargaining dan
interest best based bargaining. Positional based bargaining selalu dimulai dengan solusi. Para
pihak saling mengusulkan solusi dan saling tawar menawar sampai mereka menemukan satu
titik yang dapat diterima bagi keduanya. Sementara itu perundingan berdasarkan kepentingan
dimulai dengan mengembangkan dan menjaga hubungan. Para pihak mendidik satu sama lain
akan kebutuhan mereka dan bersama-sama menyelesaikan persoalan berdasarkan
kebutuhan/kepentingan. Pada strategi itu para perunding adalah pemecah masalah. Tujuannya
untuk mencapai kesepakatan yang mencerminkan kebutuhan/ kepentingan para pihak,
memisahkan antara orang dengan masalah, lunak terhadap orang dan keras kepada masalah,
kepercayaan dibangun atas dasar situasi dan kondisi, fokus pada kepentingan dan bukan pada
posisi, mencegah/ menghindari dari bottom line, membuat pilihan semaksimal mungkin,
mendiskusikan pilihan secara intensif, kesepakatan mengacu pada keinginan bersama,
17
menggunakan argumentasi dan alasan serta terbuka terhadap alasan perunding lawan.2,9
Para ahli mediasi menganjurkan untuk menggunakan strategi perundingan berdasarkan
kepentingan, karena hasil akhir yang akan didapat oleh kedua belah pihak akan maksimal.
Perbedaan hasil akhir dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Strategi perundingan: a. berdasarkan posisi; b. berdasarkan kepentingan.
Kiat strategi perundingan berdasarkan kepentingan adalah people, interest, options,
criteria (PIOC). Pada people/ orang: pisahkan antara orang dan masalah, pusatkan pikiran pada
masalah bukan pada mitra tanding. Para perunding melihat diri mereka sebagai mitra kerja yang
harus bekerja sama untuk menyelesaikan masalah. Interest/ kepentingan: titik-beratkan pada
kepentingan bukan kebutuhan, bukan apa yang saya inginkan atau tidak inginkan dan bukan
mengapa saya inginkan atau tidak inginkan. Options/ pilihan: tidak terpaku pada satu
pemecahan masalah, perbanyak pilihan pemecahan masalah, hindari pemikiran bahwa
pemecahan masalah hanya urusan mitra runding, tentukan penyelesaian pada pemecahan yang
memuaskan para pihak. Criteria/kriteria: buat berdasarkan ukuran objektif, nilai pasar, ukuran
ilmiah, ukuran profesional dan hukum.2,7
Agar proses mediasi dapat berjalan efektif diperlukan kemampuan
untuk dapat “memetakan” serta menganalisis bentuk konflik yang sedang
18
19
dihadapi dan mencoba untuk merancang pendekatan terefektif untuk
mengatasinya. Pada dasarnya konflik bersumber dari lima hal yaitu: masalah
hubungan, masalah data, masalah kepentingan, masalah struktural dan
perbedaan nilai. Moore9 menggambarkan siklus konflik tersebut
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar2. Circle of Conflict
Berdasarkan uraian di atas sebenarnya proses mediasi merupakan upaya yang tepat
dalam menyelesaikan sengketa medis antara dokter dan pasien kecuali dalam proses pidana
murni seperti pelecehan seksual, pengungkapan rahasia kedokteran, aborsi serta kelalaian berat,
keterangan palsu, penipuan dan lain-lain. Penyelesaian melalui jalur litigasi akan merugikan
kedua belah pihak. Apalagi cukup sukar untuk memenuhi empat kriteria malpraktik medis,
yaitu:2,7,9
1. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan
2. Adanya dereliction/breach of that duty (penyimpangan kewajiban);
3. Terjadinya damage
4. Terbuktinya direct causal relationship antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian.
Efek positif lainnya dari proses mediasi adalah hubungan dokter pasien akan tetap
senantiasa terjaga dengan baik. Karena bagaimanapun kedua belah pihak memerlukan
kepentingan yang sama meskipun dalam konteks dan tanggung jawabnya masing-masing.
Meskipun demikian, mediasi memiliki kelemahan yaitu keterbatasan dukungan yuridis terhadap
proses dan hasilnya, termasuk terhadap eksekusi perjanjian penyelesaian sengketa (perdamaian)
yang dihasilkan. Proses dan keputusan yang dihasilkan tidak dapat begitu saja dipaksakan.
Kelemahan lain adalah dari Perma itu sendiri yaitu menurut tata urutan perundang-undangan
Indonesia Perma tidak bersifat wajib; mengikat, sehingga Perma hanya dapat dijadikan
pedoman. Perlu dibentuk undang-undang yang mengatur mediasi untuk memberikan kepastian
hukum.2,9
20
KESIMPULAN
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya pelayanan medis yang
didasarkan atas rasa kepercayaan pasien terhadap dokter dimulai sejak saat pasien mengajukan
keluhannya yang ditanggapi oleh dokter. Dalam pelayanan kesehatan modern dimana potensi
untuk terjadinya kesalahan, ketidak cermatan, yang kita kenal dengan malpraktek pasti terjadi.
Malpraktek medis dapat dituntut seccara Pidana, Perdata, dan Administrasi.
Problematika malpraktek medis mempunyai implikasi multidimensional, oleh karena itu
penanganan malpraktek medis tidak dapat diselesaikan secara parsial tetapi haruslah secara
holistik dan mendasar.
Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan pilihan penyelesaian sengketa medik
karena dianggap lebih menguntungkan kedua belah pihak, dalam hal ini mediasi merupakan
upaya utama dalam penyelesaian kasus sengketa medis. Dengan mediasi diharapkan hubungan
dokter pasien tetap terjaga dan mencapai kesepakatan perdamaian yang bersifat win-win
solution.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Astuti, E.K. 2007. Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis. Makalah disajikan pada Seminar Malpraktek Kedokteran, Aspek Hukum dan Pencegahan, Semarang, 29 Juni.
2. Afandi, D. 2009. Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Medis. Majalah Kedokteran Indonesia, 59(5): 189-193.
3. Aristya, S.D.F. 2011. Pembuktian Perdata Dalam Kasus Malpraktek di Yogyakarta. Mimbar Hukum edisi khusus:1-237.
4. Riyadi, M. 2011. Hukum Kesehatan Keselamatan Pasien Adalah Hukum Yang Tertinggi agroti salos lex suprima (Tinjaun Yuridis Dalam Kajian Penelitian). Surabaya: Selasar Publishing. Hal:117-183
5. Hatta, M. 2008. Malprakek Medik di Indonesia Suatu Kajian Medikolegal. Jurnal Suloh, VI (3):175-256.
6. Lewoleba, K. K. 2008. Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan ( Malpraktek Medis ). Bina Widya,19 (3):181-187.
7. suryono. Best practice dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Pusat Mediasi
Indonesia,[email protected]
8. Febri, P. 2009. Pelaksanaan Mediasi dan Penerapannya dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. Jakarta. FH UI
22
9. Junaidi, E. 2011. Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Medik. Rajawali Pers. Jakarta. Hal: 11- 43.