Download - tipus rapi2
FISIOLOGI HATI
Hati merupakan organ terbesar pada tubuh yang melakukan fungsi berbeda
dan saling berhubungan. Hati memiliki kemampuan dalam detoksifikasi dan
ekskresi berbagai obat-obatan, penyaringan dan penyimpan darah, pembentukan
empedu, penyimpan vitamin dan besi, pembentukan faktor koagulasi,dan fungsi
metabolisme.1
Komponen struktural utama hati adalah sel-sel hati (hepatosit).Hepatosit
melaksanakan fungsi endokrin mapun eksokrin. Fungsi endokrin hepatosit yaitu
epatosit mengandung glikogen yang merupakan timbunan glukosa, dimana
glikogen akan dimobilisasi jika kadar glukosa darah turun di bawah normal
sehingga hepatosit dapat mempertahankan kestabilan kadar glukosa darah.
Hepatosit melakukan sintesis protein untuk keperluannya sendiri, hepatosit juga
menghasilkan berbagai protein plasma untuk dihantarkan. Sekresi empedu
merupakan fungsi eksokrin karena hepatosit meningkatkan ambilan, transformasi
dan ekskresi komponen darah ke dalam kanalikuli biliaris. Hepatosit juga
bertanggung jawab untuk mengubah lipid dan asam amino menjadi glukosa
melalui proses enzimatik yang disebut glukoneogenesis.2
Sebagaimana kita ketahui bahwa hepatosit dari hati memiliki banyak
kegunaan, sehingga hati akan memiliki kerentanan terhadap fungsi toksikologinya
jika terjadi gangguan terhadap hepatositnya. Dalam toksikologi, hati dipersulit
oleh berbagai kerusaka. Hati sering menjadi organ sasaran karena sebagian besar
toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, setelah diserap, toksikan
dibawa vena porta ke hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar
enzim yang memetabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi (terutama sitokrom
P-450). Hal tersebut membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan
lebih mudah larut dalam air, sehingga lebih mudah dieksresikan.Namun, dalam
beberapa kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi. Lesi hati
bersifat sentrilobuler banyak dihubungkan dengan kadar sitokrom P-450 yang
lebih tinggi (Zimmerman, 1982). Selain itu, kadar glutation yang relatif rendah
dibandingkan dengan kadar glutation di bagian lain dari hati, dapat juga berperan
mengaktifkan toksikan (Smith et al. 1979). Toksikan dapat menyebabkan
berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati, seperti
perlemakan hati (steatosis) akibat rusaknya pelepasan trigliserid hati ke plasma,
nekrosis, kolestasis, dan sirosis (Lu, 1995).
SIROSIS HATI
Berdasarkan Riskesdas 2007, penyakit hati menempati posisi kedelapan
sebagai penyebab kematian di Indonesia, dengan persentase sebesar 5,1%.
Penyakit hati menahun di Indonesia memiliki insidensi yang sangat tinggi, jika
tidak dilakukan terapi secara adekuat, penyakit tersebut dapat berkembang
menjadi sirosis atau kanker hati. Prevalensi sirosis hati di Indonesia pada tahun
2007 sebesar 1,7%. Adapun prevalensi penyebab Sirosis hati adalah hepatitis B
30%, hepatitis C 27%. (Wiersma, 2007). Mekanisme perjalanan menjadi sirosis
dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya sebagian besar sirosis disebabkan oleh
keadaan kriptogenik dan post hepatis (pasca nekrosis), alkoholik, biliaris, kardiak,
metabolik, keturunan dan terkait obat (Siti Nurdjanah, 2009).
Infeksi HVC akut akan berlanjut menjadi kronis sekitar 85% sedangkan
20% akan berakhir dengan sirosis dan karsinoma hepatoselular. Ada mekanisme
imunologis dan apoptosis yang menyebabkan kerusakan sel hati. Pada fase akut,
reaksi cytotoxic T-cell (CTL) menyebabkan eliminasi seluruh VHC, dan pada
infeksi kronis, reaksi CTL yang lemah mampu merusak hati dan melibatkan
respon inflamasi hati tetapi tidak dapat menghilangkan VHC meskipun kerusakan
hati tetap berjalan. Adanya reaksi inflamasi melalui sitokin pro inflamasi
menyebabkan rekrutmen sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivitas sel
stelata di ruang disse hati. Sel stelata yang sebelumnya berada dalam keadaan
tenang (quiscent) akan berproliferasi aktif menjadi sel miofibroblas dan
menghasilkan matriks kolagen sehingga membentuk fibrosis yang kemudian
berperan menghasilkan sitokin pro-inflamasi, yang menyebabkan fibrosis semakin
banyak di samping menurunnya jumlah hepatosit, hingga menjadi sirosis hati (Rio
A. Gani, 2009).
Pada sirosis akibat konsumsi alkohol kronik, ada tiga lesi utama yang
diakibatkan oleh induksi alkohol, yaitu 1.) steatosis hati, dimana terjadi
penimbunan butir lemak kecil (mikrovesikel) dalam hepatosit. 2.) hepatitis
alkoholik, yang ditandai dengan pembengkakan (degenerasi balon)dan nekrosis
hepatosit akibat akumulasi lemak dan air, pembentukan badan Mallory dimana
hepatosit mengalami akumulasi badan inklusi yang degenerasi, reaksi neutrofilik
yang menyebar menembus lobulus dan berkumpul di sekitar hepatosit yang
degenerasi, serta fibrosis akibat peran sitokin; dan 3.) sirosis alkoholik akibat
perkembangan progresif fibrosis serta aktivitas regeneratif hepatosit parenkim
yang terperangkap menghasilkan nodus mikronodular, yang dalam keadaan lanjut
menjadi pola mikro dan makronodular. (Kumar, 2007)
Perlemakan hati non alkoholik (nonalcoholic fatty liver, NAFL) adalah
keadaan yang sering terjadi, namun kurang dikenal, yang disebabkan oleh
obesitas, DM dan hipertrigliseridemia, dimana 20% orang yang obesitas 40%nya
akan mengidap NAFL. Patogenesis dari NAFL disebabkan oleh dua hal penting,
yaitu penumpukan lemak di hepatosit dan resistensi insulin. Adanya peningkatan
massa jaringan lemak tubuh akan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas
yang menumpuk dalam hepatosit, sehingga terjadi peningkatan oksidasi dan
esterifikasi lemak di mitokondria hati. Peningkatan stres oksidatif dapat
diakibatkan oleh resistensi insulin, peningkatan konsentrasi endotoksin hati,
peningkatan aktivitas un-coupling protein mitokondria, peningkatan aktivitas
sitokrom P-450 2E1, peningkatan cadangan hati dan menurunnya aktivitas
antioksidan. Stres oksidatif ini menyebabkan aktivasi sel stelata dan sitokin pro
inflamasi yang berlanjut dengan inflamasi progresif, pembengkakan hepatosit dan
kematian sel, pembentukan badan Mallory, serta fibrosis. (Irsan Hasan, 2007).
Perkembangan hepatotoksisitas akibat obat menjadi sirosis disebabkan
oleh mekanisme hati yang memetabolisme dan mendetoksifikasi obat di tubuh,
sehingga akan berpotensi mengalami kerusakan. Cedera dapat terjadi akibat
toksisitas langsung, terjadi melalui konversi suatu xenobiotik menjadi toksin aktif
oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik. Sebagai contoh,
asetaminofen menyebabkan kerusakan hati melalui mekanisme perlemakan
makrovesikuler dan nekrosis difus atau masif. (Kumar, 2007)
Pada stadium awal sirosis (fase kompensata), lebih dari 40% pasien
asimptomatik, atau muncul gejala yang samar-samar dan tidak khas, seperti
perasaan mudah lelah, anoreksia, perut kembung, mual, dan berat badan menurun.
Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala lebih menonjol bila muncul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, seperti hilangnya rambut badan,
gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi, serta adanya gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus
dengan air seni berwarna teh, muntah darah dan atau melena, dan perubahan
mental seperti sulit berkonsentrasi dan sebagainya. (Siti nurdjanah, 2007)
Penanganan yang diberikan pada sirosis dilaksanakan berdasarkan
etiologinya. Terapi spesifik pada sirosis hati dekompensata ditujukan untuk
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan kerusakan lebih lanjut, dan
menangani komplikasi, sehingga memiliki prognosis yang buruk. Oleh sebab itu,
pencegahan sebelum terjadinya sirosis dan penanganan sirosis pada fase
kompensata sangat penting untuk diperhatikan. Bila tidak ada koma hepatik,
diberikan diet protein 1g/kgBB dan kalori 2000-3000kkal/hari. Tatalaksana pada
sirosis kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati dengan
menghilangkan etiologi dan bahan yang mencederai hati. Pada fibrosis hati,
pengobatan antifibrotik saat ini lebih diarahkan untuk mencegah peradangan
untuk mengurangi aktivitas sel stelata, agar tidak memicu pembentukan fibrosis,
mengingat fibrosis merupakan keadaan ireversibel. Selain itu, obat-obatan herbal
juga sedang dalam penelitian (siti nurdjanah, 2009).
MANGGIS
Manggis merupakan tanaman yang berasal dari wilayah tropis di kawasan
Asia Tenggara, terutama di Malaysia atau Indonesia. Buah manggis merupakan
buah yang mempunyai banyak keunggulan dibandingkan buah lainnya. Selain itu,
kulit manggis yang dahulu hanya dibuang, ternyata menyimpan sebuah harapan
untuk dikembangkan sebagai kandidat obat. Kulit buah manggis setelah diteliti
ternyata mengandung beberapa senyawa dengan aktivitas farmakologi misalnya
mengobati penyakit kulit (Nilar et al. 2005), antiinflamasi, antihistamin,
pengobatan penyakit jantung, antibakteri, antijamur bahkan untuk pengobatan
atau terapi penyakit HIV (Chaverri, 2008).
Beberapa senyawa utama kandungan kulit buah manggis yang dilaporkan
bertanggungjawab atas beberapa aktivitas farmakologi adalah golongan xanton,
yang lebih dikenal dengan nama alfa mangostin dan gamma-mangostin (Jinsart,
1992). Jung et al (2006) berhasil mengidentifikasi kandungan xanton dari ekstrak
larut dalam diklorometana, yaitu 2 xanton terprenilasi teroksigenasi dan 12 xanton
lainnya. Dua senyawa xanton terprenilasi teroksigenasi adalah 8-
hidroksikudraksanton G, dan mangostingon [7-metoksi-2-(3-metil-2-butenil)-8-
(3-metil-2-okso-3-butenil)-1,3,6-trihidroksiksanton. Sedangkan keduabelas xanton
lainnya adalah : kudraksanton G,8-deoksigartanin, garsimangoson B, garsinon D,
garsinon E, gartanin, 1-isomangostin, alfamangostin, gamma-mangostin,
mangostinon, Kandungan kimia kulit manggis lainnya adalah, mangostin,
garsinon, flavonoid dan tanin. manfaat yang terkandung dalam kulit manggis
adalah
Anti Oksidan
Salah satu senyawa flavonoid dalam kulit buah manggis adalah antosianin
yang diketahui dapat berfungsi sebagai antioksidan (Jordheim, 2007).
Oksidasi merupakan suatu reaksi kimia yang mentransfer elektron dari satu zat
ke oksidator. Reaksi oksidasi dapat menghasilkan radikal bebas dan memicu
reaksi berantai, menyebabkan kerusakan sel dalam tubuh terutama hati
dikarenakan metabolit hasil detoxifikasi pada hati cenderung bersifat reaktif dan
tidak stabil. Antioksidan adalah zat yang dapat menangkal atau mencegah reaksi
oksidasi dari radikal bebas. Secara langsung, antioksidan melindungi sel dari
gangguan radikal bebas dengan mekanisme menghambat oksidasi radikal bebas.
Dan secara tidak langsung, antioksidan menjaga fungsi sel dengan menetralisir
radikal bebas yang dapat menghambat laju asupan nutrisi dan mineral yang
dibutuhkan hati untuk kelangsungan fungsi hati (Haila, 1999; Chang, et al., 2002).
Suatu senyawa dikatakan antioksidan sangat kuat jika nilai EC50 kurang dari
50 μg/mL, kuat jika EC50 bernilai 50 - 100 μg/mL, sedang jika EC50 bernilai 100
- 150 μg/mL dan lemah jika EC50 bernilai 151-200 μg/mL (Anonim, 2005).
Berdasarkan penelitian supiyanti et al. (2010) kulit buah manggis memiliki
aktivitas antioksidan yang sangat kuat dengan nilai EC50 dibawah 50 μg/mL
yakni sebesar 8,5539 μg/mL. dengan rata-rata kadar antosianin total adalah 59,3
mg/100 gram dapat disimpulkan potensi antioksidan ekstrak kulit buah manggis
cukup tinggi
HEPATOPROTEKTOR
Hepatoprotektor dapat diartikan sebagai obat untuk terapi penyakit hati
maupun senyawa atau zat yang berkhasiat melindungi sel sekaligus memperbaiki
jaringan hati yang rusak akibat pengaruh toksik.(Dalimartha 2005). Dilihat dari
strukturnya, senyawa yang bersifat hepetoprotektor diantaranya meliputi senyawa
golongan fenilpropanoid, kumarin, lignin, minyak atsiri, terpenoid, glikosida,
flavonoid, asam organik lipid, serta senyawa nitrogen (alkaloid dan xantin).
Kemampuan senyawa sebagai hepatoprotektor ini diketahui dengan berbagai
mekanisme, di antaranya adalah dengan adanya potensi antiinflamasi, efek
koleretik dan kolekinetik yang meningkatkan regenerasi sel-sel hati dengan
meningkatkan sintesis protein, menjaga integritas membran sel, dan adanya
kemampuan sebagai antioksidan, Beberapa senyawa antioksidan alami seperti
flavonoid, terpenoid, dan steroid telah diteliti secara farmakologi memiliki
aktivitas hepatoproteksi (Murugesh et al. 2005).
Antioksidan dibedakan menjadi antioksidan endogen dan eksogen.
Antioksidan endogen/antioksidan primer terdiri atas enzim-enzim dan berbagai
senyawa yang disintesis tubuh yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan
radikal bebas baru, contohnya adalah superoksid dismutase (SOD), glutation
peroksidase (GPx), peroksidase/katalase, dan glutation (GSH). Antioksidan
eksogen /antioksidan sekunder dapat menangkap radikal bebas dan mencegah
reaksi berantai, contohnya adalah vitamin E, vitamin C, karoten. Antioksidan
eksogen dapat diperoleh dari makanan, buah, dan sayuran (Setiati, 2003).
EKSTRAK
Ekstraksi adalah proses penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah
obat dengan pelarut yang dipilih, dimana zat yang diinginkan larut (Ansel, 1989)
Ekstraksi kulit manggis dapat menggunakan metode maserasi, pemilihan
metode ini dikarenakan cara penyarian yang mudah, tidak melibatkan pemanasan
yang dapat menyebabkan terdekomposisinya senyawa – senyawa target, dan
praktis. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yangmengandung zat aktif
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan lain-
lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah.
Dengan menggunakan kombinasi pelarut metanol dan air yang dilakukan
secara remaserasi dengan variasi volume pelarut. Dihasilkan ekstrak metanol dari
1000 g serbuk simplisia kulit buah manggis seberat 166,95 g dan nilai rendemen
16,70 %. (Pradipta, 2005)