Download - TESIS WEWENANG AUDITOR BADAN PENGAWASAN …
i
TESIS
WEWENANG AUDITOR BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN MENGUNGKAP KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DIWILAYAH HUKUM KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI
SELATAN DAN BARAT
FINANCIAL SUPERVISION AUTHORITY BOARD AND
AUDITOR OF STATE IN THE REVEAL ANY FINANCIAL
CRIME CORRUPTION JURISDICTIONS SOUTH AND WEST
REGIONAL POLICE
Oleh:
IRYANA ANWAR
P09.0221.0003
KONSENTRASI HUKUM PIDANA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2012
ii
iii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kepada Allah, SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga tesis yang berjudul “ Wewenang
Auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Mengungkap Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi
di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat”
dapat terselesaikan.
Berbagai hambatan yang dialami Penulis sejak penyusunan
proposal hingga rampungnya tesis ini, namun dengan ketabahan dan
kesabaran penulis, seiring dengan bantuan bimbingan dan arahan komisi
pembimbing sehingga semua hambatan dan rintangan baik dari suguhan
materi penelitian maupun teknis penulisan dapat diatasi dengan baik.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa penyelesaian tesis
ini dapat terlaksana adalah berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak dan oleh karena itu saya pada kesempatan ini ingin mengucapkan
terima kasih dan hormat yang sebesar-besarnya atas segala perhatian,
bantuan, bimbingan, arahan yang diberikan oleh Komisi Pembimbing
yakni Bapak Prof. Dr. H. M. Djafar Saidi, S.H., M.H. dan Bapak Prof. Dr.
H. M. Said Karim, S.H.,M.H. sebagi sekretaris komisi pembimbing. Selain
itu penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih dan penghargaan
iv
kepada yang terhormat Bapak Akp. H. Mas‟ud, S.sos. sebagai kanit
Tipikor Dir.III Reskrimsus Polda Sulawesi Selatan., Bapak Joko Suprianto,
S.E., Ak. Sebagai Kabid Investigasi BPKP Perwakilan Sulawesi selatan,
dan juga bapak Suganda, S.E.. Bapak Hadi Suyatno, S.E. selaku Kasi
Kepegawaian yang selalu membantu atas kelengkapan data yang saya
butuhkan selama penelitian. Orang tuaku, saudaraku tercinta, dan juga
keluarga besarku yang senantiasa memanjatkan doa, dan memberi
dorongan, nasehat sehingga penulis tabah, sabar, dalam menyelesaikan
tesis ini. Teman-teman seperjuanganku yang tidak dapat saya sebut satu-
persatu namanya di Pascasarjana Unhas terima kasih atas motivasinya.
Atas segala bantuannya yang telah diberikan, maka penulis mengucapkan
terima kasih dan memohon kepada Allah SWT, agar bantuan tersebut
dapat bernilai ibadah.
Makassar, Juni 2012
Iryana Anwar
v
ABSTRAK
IRYANA ANWAR, Wewenang Auditor Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan ( BPKP ) Mengungkap Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah (POLDA) Sulawesi Selatan (dibimbing oleh M. Djafar Saidi dan M. Said Karim ).
Penelitian ini bertujuan megetahui, hubungan kewenangan kerja antara Auditor BPKP provinsi Sulawesi Selatan dengan Institusi kepolisian Polda Sulawesi selatan, kedudukan hukum hasil audit auditor BPKP dihubungkan dengan alat bukti dalam hukum acara pidana, serta faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan audit auditor BPKP perwakilan Provinsi Sulawesi selatan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bersumber dari data sekunder yaitu, bahan hukum primer, sekunder, tersier, dan untuk mendukung data sekunder maka digunakan teknik wawancara kepada penyidik Institusi kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Barat, dan Auditor BPKP Perwakilan Sulawesi Selatan Barat.
Hasil penelitian menunjukkan wewenang kerja antara Auditor BPKP perwakilan Provinsi Sul-Selbar dan Institusi Kaepolisian Daerah Sul-Selbar hanya berdasarkan permintaan bantuan untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan dan perekonomian Negara yang dilandasi dalam kesepakatan kerjasama atau Memorandum of Understanding (MOU) diantara Institusi Polri dan BPKP, sehingga disimpulkan BPKP perwakilan Sulawesi Selatan memang memiliki peranan dalam mengungkap adanya indikasi tindak pidana korupsi namun kewenangan yang dimiliki BPKP hanya berdasar pada hubungan permintaan penghitungan kerugian keuangan Negara dan atau perekonomian negara diwilayah hukum Polda sul-sel, dimana apabila laporan hasil audit dari auditor BPKP perwakilan Sulawesi Selatan menyatakan sudah terdapat kerugian negara maka Penyidik Polri Polda meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap Penyidikan untuk melakukan serangkaian tindakan penyidikan, namun apabila laporan hasil audit yang diterbitkan Auditor BPKP perwakilan Sulawesi Selatan menyatakan tidak ada kerugian Negara maka penyelidikan akan dihentikan dengan kesimpulan bukan merupakan tindak pidana korupsi.
Kata Kunci : Wewenang, BPKP, Tindak Pidana Korupsi
vi
ABSTRACT
IRYANA ANWAR, the Authority Auditor Financial and Development
Supervisory Agency (BPKP) Disclose Financial Loss In State of Corruption
in Police Jurisdiction Regional Police (POLDA) South Sulawesi ( guided by
M. Djafar Saidi and M. Said Karim )
This study aims to know, the authority relationship between the work of
South Sulawesi province BPKP Auditor with the Institute for South
Sulawesi police the police, the legal position of auditor BPKP audit results
associated with the evidence in the criminal procedure law, as well as
constraints in the implementation of the audit the auditor BPKP
representatives southern Sulawesi province.
The research was done using descriptive analysis method, using data
collection techniques are derived from secondary data, primary legal
materials, secondary, tertiary, and secondary data to support the use of
interviewing techniques to investigators South Sulawesi Regional Police
Institute, and representatives Auditors BPKP South Sulawesi.
The results showed that the authorized representatives of labor between
the Auditor BPKP-cell Sul Province and Regional Institutions Kaepolisian
Sul-cell based solely on the request for assistance to perform the
calculation of financial losses and the State's economy is based in an
agreement or Memorandum of Understanding (MOU) between the Police
and BPKP Institutions , so it is concluded BPKP South Sulawesi
representative does have a role in exposing an indication of corruption, but
the authority is BPKP demand relationship is based solely on the
calculation of financial losses and the State or region of the country's
economy sul-law police cell, where an audit report of the auditor BPKP
representatives of South Sulawesi stated there have been losses to the
state police Investigator Police then improve the investigation stage to the
stage of investigation to conduct a series of investigative actions, but if the
audit reports issued by the Auditor BPKP South Sulawesi representative
stated there was no loss to the State then the investigation will be
terminated with the conclusion is not a criminal corruption.
Keywords: Authority, BPKP, Corruption
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................ iv
ABSTRACT .......................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 12
D. Kegunaan Penelitian ....................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendekatan Teori Hukum .............................................. 14
1. Teori Pembagian Kekuasaan .................................. 17
2. Teori Sistem Peradilan Pidana ................................ 16
B. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) ........................................................................... 20
C. Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.......................... 28
D. Kerugian Negara ............................................................. 33
E. Keuangan Negara .......................................................... 34
F. Sistem Pembuktian ........................................................ 36
viii
G. Kerangka Pikir ............................................................... 41
H. Defenisi Operasional .................................................... 44
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ............................................................. 46
B. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan ....................... 46
C. Jenis Dan Sumber Data ................................................ 47
D. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 49
E. Teknik Analisa Data ........................................................ 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hubungan kewenangan Kerja antara BPKP
Perwakilan Sulawesi selatan dengan Institusi
Kepolisian Daerah dalam Indikasi Tindak Pidana
Korupsi ......................................................................... 50
a. Gambaran Umum Wilayah Hukum Polda Sulawesi
Selatan Barat .......................................................... 50
b. Gambaran Umum Wilayah Kerja BPKP Perwakilan
Sulawesi Selatan Barat .......................................... 51
c. Kewenangan Penyidik Polri dalam Penanganan
Tindak Pidana Korupsi sebagai sub-Sistem
Peradilan Pidana .................................................... 53
d. Tugas, Fungsi, dan Wewenang BPKP ................... 59
e. Kerjasama Penyidik Polri Kepolisian Daerah
Sulawesi Selatan Dengan BPKP Perwakilan
Sulawesi Selatan Barat ......................................... 64
1. Permintaan Bantuan Audit Penghitungan Kerugian
Negara .............................................................. 64
2. Permintaan bantuan Audit Investigatif ............... 65
B. Kedudukan Hukum Hasil Audit BPKP Terhadap
Indikasi Kerugian Negara Dihubungkan Dengan
ix
Sistem Pembuktian ..................................................... 80
a. Karakteristik Bukti Audit .......................................... 86
b. Hasil Audit sebagai Alat Bukti Surat ....................... 85
c. Hasil Audit sebagai Alat Bukti surat Dengan
Keterangan
Ahli ......................................................................... 93
C. Faktor-Faktor yang menjadi Kendala Dalam Pelaksanaan
Audit Auditor BPKP ...................................................... 96
a. Faktor Eksternal ..................................................... 96
b. Faktor Internal ........................................................ 98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................... 103
B. Saran ........................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih merupakan
salah satu tuntutan yang penting di era reformasi ini. Hal itulah yang
kemudian melandasi semangat para anggota MPR di awal era
reformasi, dalam melahirkan ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.1
Sebagai bentuk pelaksanaanya kemudian diberlakukan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, untuk
mendukung pelaksanaan Undang-Undang tersebut, telah pula
ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah
diubah menjadi Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menggantikan Undang-
Undang korupsi yang telah ada yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat di era reformasi.2
Untuk dapat mencapai good governance maka salah satu hal
yang harus dipenuhi adanya transparansi atau keterbukaan dan
1 Bachrul Amiq, Aspek Hukum Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah, Yogyakarta,
2010 .
2 Ibid. Hlm. 2
2
akuntabilitas dalam berbagai aktivitas baik aktivitas sosial, politik,
ekonomi dan penegakan hukum.
Beberapa kelemahan dalam proses tercapainya good
governance selama ini, diantaranya adalah tingginya perbuatan
korupsi yang terjadi. Korupsi sangat merajalela terutama dikalangan
birokrasi pada instansi publik atau lembaga pemerintah baik
departemen maupun bukan departemen. Korupsi biasanya yang
terjadi disertai dengan tindakan kolusi, dan nepotisme. Kemudian di
Indonesia dikenal dengan nama istilah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN).
Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai
negara paling korup 2010. Indonesia mendapat citra semakin
memprihatinkan dalam hal tindakan korupsi. Pada tahun 2008,
Indonesia menduduki posisi ke-3 dengan nilai tingkat korupsi 7.98
setelah Filipina (tingkat korupsi 9.0) dan Thailand (tingkat korupsi 8.0).
Angka tingkat korupsi Indonesia semakin meningkat ditahun 2009
dibanding tahun 2008. Pada tahun 2009, Indonesia „berhasil‟
menyabet prestasi sebagai negara terkorup dari 16 negara Asia
Tenggara dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
2009. Indonesia mendapat nilai korupsi 8.32 disusul Thailand
(7.63), Kamboja (7,25), India (7,21) and Vietnam (7,11), Filipina
(7,0). Sementara Singapura (1,07) , Hongkong (1,89), dan Australia
3
(2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan
kecurangan sektor privat. Sementara Amerika Serikat menempati
urutan keempat dengan skor 2,89.3
Jadi, dari data Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
2010, maka dalam kurun 2008-2010, peringkat korupsi Indonesia
meningkat dari 7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010)
dibanding dengan 16 negara Asia Pasifik lainnya. ini bukanlah hal
yang mengejutkan.4
Tabel 1. : Indeks hasil survei PERC tentang Tingkat Korupsi
Indonesia.
NO. TAHUN INDEKS
1.
2.
3.
4.
5
2006
2007
2008
2009
2010
2,4
2,3
7,98
8,32
9,07
Sumber :Survei PERC 2010 : Indonesia Negara Terkorup http:///file Memalukan Indonesia Negara terkorup PERC 2010. Diakses tanggal 22 Juli 2011
3 Surya Santana ” Memalukan Indonesia Sebagai Negara Terkorup “
file:///C:/Users/Surya%20Santana/Downloads/Memalukan%E2%80%A6%20Indonesia%20Negara%20Terkorup%20Asia%20Pasifik%20%C2%AB%20Nusantaraku.htm. Diakses tgl 22 Juli 2011.
4 Ibid.
4
Untuk dapat memberantas korupsi sehingga upaya good
governance dapat lebih cepat tercapai sepertinya tidaklah mudah
perlu adanya dukungan dan upaya dari berbagai pihak, diperlukan
adanya komitmen dan integritas dari berbagai pihak yang terkait
dengan upaya pemberantasan korupsi.
Pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan melalui tindakan
preventif dan tindakan represif. Peran Aparat pengawasan
pemerintah dalam pemberantasan korupsi ditekankan kepada
tindakan preventif, tanpa mengabaikan peran melalui tindakan
represif.
Tindakan preventif, dilaksanakan melalui pengawasan internal
pemerintah dilaksanakan melalui: audit kinerja, monitoring, evaluasi,
reviuw, konsultasi, Sosialisasi dan asistensi (bimbingan teknis).5
Kegiatan ini menghasilkan rekomendasi kepada pimpinan
instansi pemerintah dan unit kerja yang bersifat memperbaiki sistem
pengendalian intern (organisasi, perencanaan, kebijakan, dan reviwe
intern), penyempurnaan metoda pelaksanaan kegiatan dan koreksi
secara langsung atas penyimpangan yang dijumpai dilapangan.
Tindak lanjut atas rekomendasi kegiatan pengawasan ini merupakan
langkah yang efektif untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Kegiatan konsultasi, sosialisasi dan asistensi bertujuan meningkatkan
5 Yuhendra , Peningkatan Peran Pengawas Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
Badan Pengawas Keuangan dan pembangunan. Sub. Rolap. 2011. hlm. 2
5
kapasitas obyek pengawasan dalam pelaksanaan tugas, terutama
dalam hal yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan
dan administrasi keuangan.6
Tindakan represif, dilaksanakan melalui pemberian rekomendasi
kepada pimpinan instansi pemerintah, berupa sanksi sehubungan
dengan adanya temuan terjadinya tindak pidana korupsi atau kerugian
negara melalui audit. Selain itu rekomendasi kepada pimpinan instansi
pemerintah dapat berupa pelimpahan hasil audit kepada aparat
penegak hukum apabila terjadi tindak pidana korupsi.7
Peranan Polri sebagai penyidik pada criminal justice system
tindak pidana korupsi pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi
hukum dari hukum pidana itu sendiri artinya Institusi Kepolisian sangat
memegang peranan yang penting dalam suatu penegakan hukum.
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana
dapat berfungsi beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata.
Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau
konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan
hukum8.
Fungsionalisasi Hukum pidana terhadap peran Institusi Polri hal
yang sangat urgen adalah mengenai kedudukan penyidik Polri dalam
mengungkapkan suatu tindak pidana termasuk salah satunya tindak
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijkan Pidana, bandung, Alumni, 1994, hlm. 157.
6
pidana korupsi yang merupakan persoalan besar dan ruwet yang
dihadapi oleh negara kita saat ini.9
Dari segi tingkat kemampuan dari sumber daya manusia polisi
itu sendiri juga terbatas, untuk itu perlu adanya alat bukti dalam
mengungkap indikasi adanya kerugian negara terhadap tindak pidana
korupsi itu sendiri, maka dalam hal ini Penyidik Polri membutuhkan
lembaga lain yang berkompeten dalam melakukan tugas audit. Dan
salah satu lembaga yang memiliki kompetensi dibidang auditor
tersebut adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP).
Sejak diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
tanggal 30 Mei 1983. Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan
Negara (DJPKN) ditransformasikan menjadi Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebuah lembaga pemerintah
non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya
Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tentang Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah
diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat
melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami
kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi
obyek pemeriksaannya. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
9 Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi Dan Suap, Jakarta, Ghalia Indonesi,1971, hlm 1
7
tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur
organisasi BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)
sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga
Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukannya yang terlepas
dari semua departemen atau lembaga sudah barang tentu dapat
melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan objektif.
Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Presiden No 64 tahun 2005. Dalam Pasal 52 disebutkan, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mempunyai
tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan
keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan.10
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
memiliki kedudukan sebagai auditor internal pemerintah yang
memperoleh amanah dalam hal lembaga yang berwenang memeriksa
dan mengevaluasi kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.11
Korupsi paling banyak ditemukan dalam pengadaan barang dan
jasa pemerintah. Salah satunya karena jumlah anggaran untuk
pengadaan barang dan jasa memang selalu besar setiap tahunnya,
10 BPKP. Profil Organisasi. http:///www.goegle.bpkp html. Diakses tanggal 15 juli 2008.
11
Ibid.
8
yakni sekitar 10% dari anggaran pengadaan barang dan jasa itu setiap
tahunnya selalu rawan, audit yang dilakukan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang temuannya terdapat
indikasi merugikan Negara. Apabila hal tersebut sudah memenuhi
salah satu unsur korupsi dimana perbuatan tersebut terdapat unsur
melawan hukum dan unsur merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara. Jadi tinggal mencari apakah pada perbuatan
tersebut terdapat unsur sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Kepolisian selalu menindak lanjuti laporan hasil audit investigativ
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kasus
korupsi menjadi prioritas pengusutan kepolisian, jika ditemukan alat
bukti maka akan segera diproses.12
Audit investigatif dalam tindak pidana korupsi sebenarnya
bukan merupakan domain Badan Pengawasa Keuangan dan
Pembangunan (BPKP). Kewenangan audit investigatif secara atributif
ada pada BPK sebagaimana dalam Undang-undang No. 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharan Negara, Undang-Undang No. 15 Tahun
2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara, dan juga Undang-undang No. 15 tahun 2006
Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.
Dalam Undang-undang No.15 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara diatur mengenai
12 Ibid.
9
kewenangan Badan Pengawas Keuangan Negara yang dapat
melaksanakan audit Investigatif guna mengungkap adanya indikasi
kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana, dan apabila dalam
pemeriksaan ditemukan unsur pidana maka Badan Pemeriksa
Keuangan harus segera melaporkan hal tersebut kepada instansi
yang berwenang13
Sebagai suatu sisi yang melakukan pembahasan tentang
hubungan kerja antara pihak Kepolisian Daerah (Polda) dengan
Badan Pengawasa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan
Sulawesi Selatan Hasil audit investigatif di wilayah hukum Provinsi
Sulawesi Selatan. Jumlah Pelaksanaan audit sesuai dengan
permintaan penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan
pada tahun 2010 adalah sebanyak 13 kasus yang ditangani dan total
kerugian negara sebanyak Rp. 8.279.793.883,31. Dalam Kurung
waktu 2010 ini, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) juga mengklaim telah berhasil mendorong optimalisasi
anggaran daerah Rp. 79.600.314.194,25 peningkatan yang cukup
banyak dari tahun 2009 sebesar Rp. 63.211.594.394,25.14
Sehubungan dengan peranan polri sendiri sebagai penyidik
pada tindak pidana korupsi khususnya diwilayah hukum Sulawesi
Selatan Kepolisian daerah (POLDA) selain bertugas menyelidiki
13
Pasal 13 dan 14 UU. No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
14 BPKP, Laporan Akuntabilitas Kinerja Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2010
10
adanya perbuatan koruptor oleh oknum-oknum tertentu dibantu oleh
auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan, dimana hasil audit investigasi
yang dilakukan oleh auditor Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) juga berfungsi sebagai alat bukti bagi penyidik
Polri, yang berupa surat-surat yang menjelaskan tentang telah
terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Selain hasil audit yang dapat
dijadikan sebagai alat bukti auditor Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) pun juga dapat diminta keterangannya
untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti.
Dari penjabaran tersebut diatas memberikan gambaran
kenyataan bahwa kerjasama antara Institusi Kepolisian dengan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) amat sangat
penting khususnya dalam menemukan sebuah kebenaran adanya
perbuatan korupsi yang merugikan keuangan negara terhadap tindak
pidana korupsi yang marak terjadi dalam masyarakat.
Banyak hal bagi penulis sangat tertarik untuk mengadakan
Penelitian ini diantaranya penulis ingin melihat bagaimana bentuk
hubungan kewenangan kerja antara Kepolisian dan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) karena, beberapa
kasus menggambarkan suatu fakta akan pentingnya adanya
koordinasi yang harus dibangun antar Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) dengan Kepolisian karena seringkali ada
11
kesan bahwa beberapa kasus hanya mengakui BPKP sebagai satu-
satunya alat bukti yang dapat menentukan besarnya kerugian negara.
Jadi fungsi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
membantu penyidik dalam rangka audit investigatif yaitu audit terhadap
kegiatan-kegiatan yang diduga mengandung penyimpangan-
penyimpangan dan berindikasi Tindak Pidana Korupsi sehingga fungsi
dan wewenang, serta mekanisme koordinasi antara BPKP dan
Kepolisian dinilai menarik untuk diangkat dalam sebuah penelitian.
A. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka terdapat beberapa
masalah dalam kajian tesis ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah hubungan kewenangan kerja antara Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan
Sulawesi Selatan dengan Institusi Kepolisian Daerah (Polda)
Sulawesi Selatan dalam mengungkap kerugian keuangan
negara terhadap tindak pidana korupsi?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum hasil audit auditor Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap
indikasi kerugian negara dihubungkan dengan sistem
pembuktian dalam hukum acara pidana?
3. Faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi dan
peranan audit investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) perwakilan provinsi Sulawesi Selatan
12
dalam mengungkap kerugian negara terhadap Tindak Pidana
Korupsi di wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi
Selatan?
B. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan yang telah dilakukan diatas,
maka tujuan yang ingin dicapai dalam tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui kewenangan kerja antara Badan Pengawasan
Keuangan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sulawesi Selatan
dengan Institusi Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi selatan
dalam tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum hasil audit Auditor Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap
indikasi kerugian negara dikaitkan dalam alat bukti hukum acara
pidana.
3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi dalam
pelaksanaan fungsi dan peranan audit investigasi Auditor Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan
provinsi Sulawesi Selatan dalam pengungkapan Tindak Pidana
Korupsi di wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi
Selatan.
13
C. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
a. Secara teoritis bahwa kiranya hasil penelitian ini dapat
menambah khasanah keilmuan terutama dalam bidang hukum
yang kelak dapat mengembangkan disiplin ilmu hukum pidana
khusus serta kaitannya dengan tindak pidana korupsi, lebih
khusus lagi penelitian ini akan memberikan masukan kepada
kalangan akademis dan praktisi dalam rangka penyempurnaan
peraturan perundang-undangan dalam bidang tindak pidana
korupsi.
b. Secara praktis bahwa kiranya hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi masayrakat pada umumnya dan lembaga
aparat penegak hukum di Indonesia terutama dalam
meningkatkan kualitas pengawasan penegakan hukum
pemberantasan korupsi, khususnya dalam mengkaji fungsi dan
peranan BPKP dalam mengungkap kerugian negara terhadap
tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kepolisian Daerah
(Polda) Sulawesi Selatan dan Barat.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendekatan Teori Hukum
1. Teori Pembagian Kekuasaan
Salah satu ciri negara hukum, yang disebut the rule of law atau
dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah
adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang
kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh
karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara
konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh
konstitusi. Dalam gagasan yang sama, gagasan negara demokrasi
atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional
democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi
yang berdasarkan atas hukum.
Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan
dilakukan dengan pola-pola pembatasan di dalam pengelolaan
internal kekuasaan negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan
pembedaan dan pemisahan kekuasaan negara kedalam fungsi-fungsi
yang berbeda-beda. Dalam hubungan ini, yang dapat dianggap paling
berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-
fungsi kekuasaan itu adalah Montesquieu dengan teori trias politica-
15
nya. yaitu cabang kekuasaan legislatif, cabang kekuasaan eksekutif
atau administratif, dan cabang kekuasaan yudisial.
Menurut Montesquieu, 15 dalam bukunya “L’Espirit des Lois”
(1784) atau dalam bahasa Inggris-nya “The Spirit of The Laws“, yang
mengikuti jalan pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara
kedalam tiga cabang, yaitu:
1. Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang.
2. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan.
3. Kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.
Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian
kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the
legislative function), eksekutif (the executive or administrative function),
dan yudisial (the judicial function).
Sebelumnya, John Locke 16 dalam bukunya “Two Treatises of
Government” (1689), juga membagi kekuasaan negara dalam tiga
fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan
negara meliputi :
1. Fungsi Legislatif.
2. Fungsi Eksekutif.
3. Fungsi Federatif.
15 Miriam budiadjo.Dasar-dasar ilmu politik,(Jakarta: Gramedia pustaka utama,2006.hal:8
16
Ibid
16
Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat dua sarjana itu
nampaknya mirip. Tetapi dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka
berbeda. John Locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan
Baron de Montesquieu mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman
(yudisial). Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan
kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara,
sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan kedalam
dan keluar negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi
defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh
sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi federatif. Sedangkan
fungsi yudisial bagi Locke cukup dimasukkan kedalam kategori fungsi
legislatif, yang itu terkait dalam fungsi pelaksanaan hukum. Tetapi bagi
Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar
negerilah (diplomasi) yang termasuk dalam fungsi eksekutif, sehingga
tidak perlu dianggap tersendiri. Justru dianggap penting oleh
Montesquieu adalah fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan kehakiman.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Miriam Budiardjo
menjabarkan legislatif sebagai kekuasan untuk membentuk undang-
undang, eksekutif untuk menyelenggarakan undang-undang, dan
yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili pelanggaran undang-
undang. Selanjutnya, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai
alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya, ketiganya
harus terpisah satu sama lain.
17
2. Teori Sistem Peradilan Pidana Kontemporer
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum maka
bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system)
menjadi prioritas utama dalam bidang penegakan hukum. Oleh
sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub sistem di
dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya
kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah dipidana.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Istilah “criminal justice system” menunjukkan mekanisme kerja
dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
pendekatan sistem.
Remington dan Ohlin mengemukakan:
“Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme pendekatan sistem mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sikap itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”.
18
Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai
pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak
bagian whole compounded of several parts. Secara sederhana
sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling
berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara
teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang
tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari
sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk
mencapai tujuan keseluruhan.
Hagan membedakan pengertian antara “Criminal Justice
Process” dan “Criminal Justice System” yang pertama adalah :
setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang
tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan
pidana. Sedangkan yang kedua adalah interkoneksi antar
keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses
peradilan.
Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya
Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
mempunyai 4 (empat) subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian
yang secara administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah
Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan
Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman.
Seluruh komponen sistem peradilan pidana, termasuk pengadilan
19
dan lembaga pemasyarakatan, ikut bertanggung jawab untuk
melaksanakan tugas menanggulangi kejahatan atau
mengendalikan terjadinya kejahatan. Meski demikian, menilik
tugas dan wewenangnya masing-masing, tugas pencegahan
kejahatan secara spesifik lebih terkait dengan sub sistem
kepolisian. Sementara tugas lainnya lebih terkait dengan
subsistem lembaga pemasyarakatan. Adapun tugas
menyelesaikan kejahatan yang terjadi sangat terkait dengan tugas
dua komponen sistem, yaitu polisi dan jaksa (pada tahap
prajudisial) dan pengadilan (pada tahap judisial). Berikut ini dilihat
skema Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana.
Criminal Justice system pada hakikatnya merupakan sistem
yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan,
baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu termasuk
kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.
Penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana (criminal
justice system) itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari
politik kriminal yang menjadi bagian integral dari kebijakan sosial.
Politik kriminal ini merupakan suatu usaha yang rasional dari
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan
20
B. Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP)
Salah satu lembaga negara yang memiliki peran terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi selain Kepolisian, Kejaksaan,
dan KPK (Komisi Pemberantaran Korupsi) adalah badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Yang telah berdiri pada tahun
1983 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 31 Tahun 1983.
Sebagaimana terakhir kali diubah dengan Peraturan Presiden No. 64
Tahun 2005, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) merupakan pembaga Pemerintan Non Departemen yang
berfungsi sebagai auditor internal pemerintah yang berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dasar hukum Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), melakukan audit berdasarkan Keputusan
Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi,
kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah
non depertemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2004.
Pasal 114 ayat (4) Kepres No. 9 Tahun 2004 tersebut berbunyi
“sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BPKP di
daerah tetap dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang
21
keuanganya masih melekat pada pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku.
Untuk dalam hal mengoptimalisasikan kinerja Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), memiliki
perwakilan di tingkat Provinsi. saat ini Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) mempuyai 25 Perwakilan di tingkat
Provinsi. Organisasi dan tata kerja perwakilan Badan Pengawasn
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditetapkan dengan Keputusan
Kepala BPKP No. Kep-06.00.00-286/K/2001 tanggal 30 Mei 2001.
perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
mempunyai tugas melaksanakan pengawasan keuangan dan
pembangunan serta penyelenggaran akuntabilitas di daerah sesuai
dengan perarutan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan diterbitkan keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
tanggal 30 Mei 1983 maka Direktorat Djendral Pengawasan
Keuangan Negara (DJPKN) ditransformasikan menjadi Badan
Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP), sebuah Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu
pertimbangan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun
1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan
yang dapat melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa
22
mengalami kemungkinan hambatan dari unit organisasi pemerintah
yang menjadi obyek pemeriksaannya. Keputusan Presiden Nomor
31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), tersebut menunjukan bahwa Pemerintah
telah meletakkan struktur organisasi Badan Pengawasan Keuangan
Pembangunan (BPKP) sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi
lembaga-lembaga Pemerintah yang ada. Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dengan kedudukanya yang
terlepas dari semua departeman atau lembaga sudah barang tentu
dapat melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif.
Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintan Non
Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2005. dalam Pasal 52
disebutkan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai dengan Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54 Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 Tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan
23
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mempunyai
tugas melaksanakan tugas Pemerintahan di bidang pengawasan
keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
adalah lembaga pemerintahan non departemen yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Wakil
Presiden. Tugas Utama Badan Pengawasan Keuangan
Pembangunan (BPKP) adalah membantu Presiden dan Wakil
Presiden mengawasi pengelolaan dan pertanggung jawaban
keuangan negara dan pembangunan, agar sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, sekaligus memberikan masukan
bagi pembuatan kebijakan terkait dengan itu.
Sesuai dengan Pasal 52, Pasal 53 dan Pasal 54 Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 Tentang
Kependudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mempunyai
tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan
keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku.
24
Berdasarkan Kepres Nomor 103 Tahun 2001 yang telah
diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, BPKP
adalah institusi pemerintah yang diberika tanggung jawab luas di
tingkat pemerintah pusat untuk merumuskan dan menyusun
rencana dan program-program pengendalian, melaksanakan
pengendalian umum atau keuangan pemerintah pusat dengan
mengadakan audit intern atas kegiatan kementrian-kementrian
negara dan kantor-kantor proyek mereka.
Kemudian berdasarkan Kepres Nomor 9 tahun 2004 tentang
Peruibahan atas Keppres Nomor 103 tahun 2001, dalam Pasal 52
disebutkan, Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP)
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan
(BPKP) tidak hanya sampai disitu saja, juga dapat melakukan
pemeriksaan khusus atau audit investigasi untuk membongkar
kasus-kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang
mengakibatkan kerugian negara atau menguntungkan sebagian
orang. Bila ada indikasi terjadinya tindak pidana korupsi maka
acuan yang digunakan Badan Pengawasan Keuangan
25
Pembangunan (BPKP) dalam melakukan audit investigasinya
adalah UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi
UU. No. 20 Tahun 2001 mengenai pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Berdasarkan fungsi dan wewenangnya, disini terlihat bahwa
peran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
dalam upaya pemberantasan korupsi dapat dijadikan modal dasar
yang kuat dalam memerangi kejahatan korupsi yang sudah
mewabah di negari ini.
Saat ini, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) boleh dibilang adalah lembaga pemerintahan yang paling
canggih dalam fungsi pengawasan di lingkungan pemerintahan.
Bagaimana tidak, Didukung dengan tata kerja organisasi yang
sudah cukup mapan dalam perencanaan, penugasan,
pertanggungjawaban. Tidak Cuma itu, Badan Pengawasan
Keuangan Pembangunan (BPKP) juga memiliki kapasitas besar
dalam hal audit investigasi yang kiranya dapat diandalkan untuk
melacak berbagai penyimpangan dan kebocoran dalam
pengelolaan keuangan negara.
26
C.Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi berasal dari kata latin “Corruptio” atau “Corruptus”,
dalam bahasa Prancis dan Inggris disebut “Corruption”, dalam
bahasa Belanda disebut “Corruptie” Menurut beberapa sarjana
korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apa bila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.
b. Bayley menyatakan perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalah gunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.
c. M.Mc. Mullan seorang pejabat pemerintah dikatakan “korup” apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa lakukan dalam tugas jabatannya pada hal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan. Selanjutnya menurut Vito Tanzi sebagaimana dikutip oleh
Chaeruddin menyebutkan bahwa ada 7 (tujuh) jenis-jenis korupsi
yaitu :
a. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.
b. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
27
c. Korupsi investif yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan dimasa datang.
d. Korupsi nepotisik yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat
e. Korupsi otogenik yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungankarena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.
f. Korupsi supportif yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan
g. Korupsi defensif yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.
Memperhatikan rumusan Pasal 2 sampai dengan Pasal 17
dan Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka
pelaku tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang berarti
orang perseorangan atau korporasi.
Bila diperhatikan ketentuan yang tercantum dalam Undang-
undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun
2001, tindak Pidana Korupsi dapat dibagi ke dalam dua segi, yaitu
aktif dan pasif.
Dari segi aktif maksudnya pelaku tindak pidana korupsi
tersebut langsung melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau korporasi dengan melakukan penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan atau sarana. Sedangkan tindak pidana
korupsi yang bersifat pasif yaitu yang menerima pemberian atau
janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya.
28
Dari segi aktif dapat dilihat dari beberapa ketentuan pasal-
pasal dalam kedua undang-undang tersebut yaitu :
a. Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c. Pasal 4 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
d. Pasal 15 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
e. Pasal 5 ayat (1) huruf (a) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
f. Pasal 5 ayat (1) huruf (b) Undang-undang No.20 Tahun 2001 Memberi sesuatu kepada Pegawa Negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
g. Pasal 6 ayat (1) huruf (a) Undang-undang No.20 Tahun 2001 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
h. Pasal 7 ayat (1) huruf (a) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
i. Pasal 7 ayat (1) huruf (b) Undang-undang No.20 Tahun 2001 Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf (a)
29
j. Pasal 7 ayat (1) huruf (c) Undang-undang No.20 Tahun 2001 Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
k. Pasal 7 ayat (1) huruf (d) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf (c)
l. Pasal 8 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawai Negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
m. Pasal 9 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pegawai Negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan adminstrasi.
n. Pasal 10 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pegawai Negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, surat atau daftar tersebut, atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, surat atau daftar tersebut.
o. Pasal 12 Undang-undang No. 12 Tahun 2001 1. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. (Pasal 12 Undang-undang No.20 Tahun 2001 huruf (e)).
2. Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima atau memotong pembayaran kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai hutang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang (Pasal 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 huruf (1))
30
3. Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seolah-olah merupakan hutang pada dirinya, pada hal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang (Pasal 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001, huruf (g)).
4. Pada waktu menjalankan tugas oleh menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, pada hal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau.
5. Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, penggandaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk keseluruhannya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (Pasal 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 huruf (i)
P. Pasal 13 Undang-undang No.31 Tahun 1999 Memberi hadiah kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu. Selain dari ketentuan-ketentuan di atas, ditemukan pula
dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak
Pidana Korupsi yang bersifat passif berupa :
a. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
c. Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (a) atau huruf (c) Undang-undang No.20 Tahun 2001.
d. Pasal 11 Undang-undang No. 20 Tahun 2001
31
Pegawai atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji pada hal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberikan, hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
e. Pasal 12 huruf (a) dan huruf (b) Undang-undang No.20 Tahun 2001 Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
f. Pasal 12 huruf (c) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Hakim yang menerima hadiah atau janji pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan kepadanya untuk diadili.
g. Pasal 12 huruf (d) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Advokat yang menerima hadiah atau janji pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
h. Pasal 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Setiap Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa menurut
perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan
dalam 13 (tiga belas) Pasal dalam Undang-undang No. 31 Tahun
1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan
pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis
tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara
32
terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana
karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kerugian keuangan negara b. Suap-menyuap c .Penggelapan dalam jabatan d. Pemerasan e. Perbuatan curang f. Benturan kepentingan dalam pengadaan
g.Gratifikasi
Dalam ketentuan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime)
sehingga untuk memberantasnya diperlukan tindakan yang luar
biasa pula (extra ordinary measures). Oleh karena itu, sebagai
tindak pidana luar biasa menggunakan undang-undang yang
khusus, yaitu untuk seluruh kasus tindak pidana korupsi maka yang
dipergunakan adalah undang-undang tindak pidana korupsi, yaitu
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena tindak pidana
korupsi adalah tindak pidana khusus, sehingga menggunakan
undang-undang yang bersifat lex specialis. Untuk penindakan (law
enforcement) kiga tidak cukup dengan institusi yang ada
(Kepolisian dan Kejaksaan), tapi dibentuk Komisi Pemberantasan
33
Korupsi (KPK). Bahkan untuk mengadili pun harus dibentuk
peradilan khusus yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
.
D. Kerugian Negara
Setelah disebutkan mengenai pengertian keuangan negara
penting menurut penulis merangkaikan dengan defenisi dari
kerugian Negara yaitu :dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang perbendaharaan Negara Pasal 1 Angka 22, adalah
kekurangan uang, surat berharaga, dan barang, yang nyata dan
pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai. Dengan demikian Kerugian Keuangan
Negara adalah berkurangnya kekayaan Negara yang disebabkan
oleh suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang/
kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan
atau kedudukan , kelalian seseorang dan atau disebabkan oleh
keadaan di luar kemampuan manusia (force majeure).17
Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah
menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan yang
terkait dengan perbuatan yang menimbulkan kerugian negara dan
memerlukan penyelesaian yang berkaitan dengan kerugian Negara
yaitu:
17 BPKP. SOP Bantuan Penghitungan Kerugian Negara, Sub. Rolap, Tahun 2008. Hlm. 1
34
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana paling singkat empat tahun dan paling lama dua tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar.” 18
E. Keuangan Negara
Pengertian keuangan negara dapat dilihat dalam Pasal 1
Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
yang mendefinisikan keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Sedangkan keuangan negara sebagaimana dimaksud
dalam Penjelasan Pasal 2 dan 3 Undang-undang No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul,
karena :
a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat
pusat maupun di daerah.
18 Djafar saidi, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008,
hlm. 95
35
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan tanggung jawab
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,
yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan
modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal
pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian keuangan negara dalam Undang-undang No. 17 Tahun
2003 dan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 adalah sejalan.
Keuangan negara tidak semata-mata berbentuk uang, tetapi
termasuk segala hak dan kewajiban (dalam bentuk apapun) yang
dapat diukur dengan nilai uang. Pengertian keuangan negara juga
Pengertian keuangan negara memiliki substansi yang dapat ditinjau
dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Keuangan negara dalam
arti luas mencakup:
a) Anggaran pendapatan dan belanja negara b) Anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan c) Keuangan negara pada badan usaha milik negara/ badan
usaha milik daerah. Sementara keuangan negara dalam arti sempit mencakup keuangan negara yang dikelola oleh tiap-tiap badan hukum dan dipertanggungjawabkan masing-masing.19
Jika menggunakan pendekatan proses, keuangan negara dapat
diartikan sebagai segala sesuatu kegiatan atau aktifitas yang
berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk
berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik.
19
Djafar saidi, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 2
36
F. Sistem Pembuktian
Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengusut
tindak pidana korupsi adalah sulitnya menemukan bukti atau
membuktikan adanya tindak pdiana korupsi. Membuktikan menurut
Martiman Prodjohamidjojo mengandung maksud dan usaha untuk
menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat
diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. 20
Sedangkan Bambang Poernomo menyatakan bahwa : hukum
pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan
undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu
kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan
dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan
perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut
ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam
perkara pidana.21
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukakn
perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting
acara pidana. Dalam hal inipun hak asasi dapat dipertaruhkan.
Untuk inilah maka Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari
kebenaran materiil berbeda dengan Hukum Acara Perdata yang
20 Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat Bukti, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1983), hlm.11 21
Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana (Jakarta : Bina Aksara. 1984). Hal. 38
37
cukup puas dengan kebenaran formil. Kebenaran dalam perkara
pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari
jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan/atau benda yang
berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadian
masa lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana.
Suatu pembuktian yang benar-benar sesuai dengan
kebenaran tidak mungkin dicapai, maka Hukum Acara Pidana
sebenarnya hanya menunjukkan jalan untuk berusaha mendekati
sebanyak mungkin persesuaian dengan kebenaran. Hukum
pembuktian memberi petunjuk bagaimana hakim dapat
menetapkan sesuatu hal cenderung kepada kebenaran. Dalam
menilai kekuatan pembuktian tersebut dikenal beberapa sistem
atau teori pembuktian, yaitu :
1. Teori pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat
pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif
(positief wenelijk bewijstheorie). Artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama
sekali. Teori ini disebut juga teori pembuktian formil (formele
bejidtheorie). Teori ini berusaha menyingkirkan segala
pertimbangan hakim yang bersifat subyektif, oleh karena itu
mengikat secara tegas supaya hakim hanya tergantung pada
38
ada atau tidak adanya sejumlah alat bukti yang formil tercantum
dalam undang-undang cukup untuk menjatuhkan putusan.22
Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah menolak teori
ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya hakim hanya
dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan kepada
keyakinanya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang
hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalahs
esuai dengan keyakinan masyarakat.23
2. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata
(conviction intime). Artinya jika dalam pertimbangan keputusan
hakim telah menganggap terbukti sesuatu perbuatuan sesuai
dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani seorang hakim,
maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem ini menurut Martiman
Prodjohamidjojo tidak dianut dalam peradilan umum ataupun
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Contoh dari sistem ini dipergunakan dalam peradilan yuri. 24
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah
sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia yaitu
pada peradilan distrik dan peradilan Kabupaten. Sistem ini
22
Ibid. hal. 40 23
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. (Jakarta : CV. Sapta Artha Jaya. 1996).hal. 24
Martiman Prodjohamidjojo. Op.Cit. hal. 16
39
memungkinkan hakim apa saja yang menjadi dasar
keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.25
3. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim dalam batas-batas
tertentu atas adalan yang logis (conviction raisonee). Teori ini
disandarkan pada keyakinan hakim atas dasar pertimbangan
akal atau menurut logika yang tepat (berendeneerde
overtuinging) dan memberikan keleluasan kepada hakim secara
bebas utuk menggunakan alat bukti yang lain.
4. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul dari alat-
alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief wettlijk
bewijstheori). Dalam sistem ini ada dua hal yang merupakan
syarat, yaitu :
a. Wettelijk, yaitu alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh
undang-undang.
b. Negatief, maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan
ditetapkan undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa
hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih
dibutuhkan adanya keyakinan hakim.26
Dari keempat teori pembuktian di atas, ketentuan Hukum
Acara Pidana Indonesia mengikuti prinsip dari teori negatief
wettelijk bewijstheorie. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal
183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :
25
Andi Hamzah, Op.Cit.hal. 260 26
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. Hal. 14
40
“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada
seseorang kecuali apabial dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yag bersalah
dalam melakukannya.”
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam Pasal 183
Kitab Undang-Undang Hukum Acara) KUHAP terdapat dua
unsur, yaitu :
i. Sekurang-kuranga ada dua alat bukti yang sah.
j. Dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa :
i. Tindak pidana telah terjadi.
ii. Terdakwa telah bersalah.
Sehingga dengan demikian antara alat-alat bukti dan
keyakinan hakim harus ada hubungan causal (sebab-akibat). Hal
tersebut sama dnegan ketentuan dalam Pasal 294 Ayat (1) HIR yang
menyatakan : “Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana selain jika
hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa
benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-
orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”
41
G. Kerangka Pikir
Tindak pidana korupsi adalah rangkaian perbuatan yang dapat
merugikan negara. Untuk mencegah terjadinya perbuatan korupsi
dan menanggulangi terjadinya kerugian negara atas perbuatan
korupsi yang terjadi, serta guna meminta pertanggung jawaban
oknum-oknum yang melakukan korupsi, maka dibentuk Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-
Undang No. 20 tahun 2001. Tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Penyidik Polri berdasarkan kewenangannya masing-
masing melakukan penindakan terhadap para pelaku tindak pidana
korupsi guna dihadapkan ke persidangan.
Penyidik Polri yang menerima informasi dan atau
mengetahui langsung adanya kasus yang berindikasi korupsi,
terlebih dahulu meminta Auditor Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit investigasi atas
kasus yang sedang diselidiki untuk mengetahui apakah perbuatan
seseorang/orang lain terdapat kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara dan apabila laporan hasil audit dari Auditor
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
menyatakan telah terdapat kerugian negara tentunya dengan
menyatakan nilai kerugian negara, maka Penyidik Polri akan
meningkatkan tahap penyelidikan menjadi tahap penyidikan,
42
namun apabila laporan hasil audit yang dimiliki oleh Auditor Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan
tidak terdapat kerugian negara maka penyelidikan dihentikan
dengan dasar bukan merupakan tindak pidana korupsi.
43
KERANGKA PIKIR
Dasar Hukum
1. UU. No. 31 Tahun 1999 Yang Telah diubah
dengan UU. No. 20 Tahun 2001
2. UU. No. 8 Tahun 1981
3. PP Nomor 60 Tahun 2008
4. Perpres Nomor 64 tahun 2005
5.
Kedudukan Hukum hasil
Audit Auditor BPKP
Dalam Sistem
Pembuktian
(X2)
Hubungan
Kewenangan Kerja
BPKP dengan
dengan Institusi
Polda Sul-Sel.
(X1)
Faktor-faktor Yang
Berpengaruh dalam
Pelaksanaan Fungsi
dan Wewenang BPKP
(X3)
Kewenangan BPKP dalam
Mengungkap Kerugian
Negara hanya berdasarkan
pada hubungan permintaan
(Y)
1. Karakteristik Bukti
1. Faktor SDM
2. Faktor Biaya
Operasional
1. Permintaan
bantuan
penghitungan
Kerugian
Negara
2. Permintaan
bantuan
Investigatif
1. Alat bukti sebagai
Surat
2. Alat bukti sebagai
Surat Dengan
Keterangan Ahli
1. Faktor Internal
-Kapasitas SDM
-Biaya Lumpsun
Audit
2. Faktor Eksternal
- Minimnya Bukti
Audit
- Prosedur Laporan
Hasil Audit.
44
H. Defenisi Operasional
1. Auditor BPKP adalah Pegawai pada lingkungan BPKP yang
melakukan audit untuk mengenal dan mengidentifikasi kasus
penyimpangan dalam rangka pembuktian atas dugaan
penyimpangan yang dapat merugikan keuangan negara serta
ketaatannya pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Polri adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan
Lembaga Polisi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
3. Tindak Pidana (Strafbaar feit) dimaksudkan untuk menunjukkan
suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu.
4. Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi demi keuntungan
pribadi, salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah
urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya
dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya
diri sendiri.
5. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk
apapun, termausk bagian kekayaan negara dan segala hal dan
kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan
pengurusan dan pertanggungjawaban pejabata lembaga negara,
45
BUMN/D, Yayasan, Badan Hukum, Perusahaan yang menyertakan
modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
6. Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharaga, dan
barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai
7. Auditing adalah proses pengumpulan dan penevaluasi bahan bukti
tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas
ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen
untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi
dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi SuLawesi Selatan dan
Institusi Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, dan Kepolisian Daerah
Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan
selain Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
hanya memiliki satu perwakilan disetiap Provinsi khususnya diwilayah
Sulawesi Selatan. Di samping itu peneliti menganggap Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan
Provinsi Sulawesi Selatan, Institusi Kepolisian Daerah ( POLDA)
Sulawesi Selatan, dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan cukup
representatif untuk memperoleh data yang dibutuhkan.
B. Sifat Penelitian Dan Metode Pendekatan
Penelitian ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif
dengan pendekatan yuridis normatif, artinya kajian pada tesis ini
berorientasi kepada norma-norma hokum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan tentang fungsi dan wewenang Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan
Provinsi Sulawesi Selatan dalam mengungkapkan tindak pidana
korupsi di wilayah Polda Sulawesi Selatan dan Barat.
47
Penelitian tesis ini merupakan penelitian yang bersifat
deskriptif analitis, artinya penelitian ini bukan saja menggambarkan
suatu keadaan atau gejala, baik pada tataran hukum positif
maupun empiris tetap juga ingin memberikan pegaturan yang
seharusnya (das Sollen) dan memecahkan permasalahan hukum
yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana korupsi.
C. Jenis dan Sumber Data
Sehubungan dengan sifat penelitian ini yang bersifat normatif
maka bahan dan materi yang dipakai dalam tesis ini diperoleh
melalui penelitian kepustakaan. Dari hasil penelitian kepustakaan
diperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dalam konteks ini data
sekunder mempunyai peranan yakni melalui data sekunder tersebut
akan tergambar bagaimana penerapan Peraturan Perundang-
undangan tentang Korupsi dan profesional auditor Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Adapun data sekunder dalam penelitian tesis ini terdiri dari
bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31
48
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
Undang-undang No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Instruksi Presiden No. 15
Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 31 Tahun 1983 tentang
Pembentukan Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan
(BPKP), dan juga Penetapan Presiden No. 64 Tahun 2005 tentang
Tugas, Fungsi, Wewenang, dan tata kerja lembaga pemerintah Non
Departemen.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan yang diberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti misalnya buku-buku yang relevan dengan penelitian,
hasil-hasil penelitian serta penelitian yang relevan dengan penelitian
ini, SOP ( Standar Pelaksanaan Prosedur ), Juklak dan Juknis BPKP
dan Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus
umum, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum.
49
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan studi
dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelusuran
kepustakaan berupa data sekunder dan Untuk mendukung dan
memperoleh pandangan tentang penyidikan Polri pada tindak pidana
korupsi dan juga peranan auditor BPKP, juga digunakan wawancara
kepada penyidik Polri di Polda Sulawesi Selatan dan Auditor BPKP
Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu,
data yang diperoleh dari data sekunder yang berupa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier akan
disajikan secara deskriptif terhadap variabel yang ada yaitu,
menjelaskan, menguraikan, menggambarkan sesuai dengan
permasalahan yang ada.
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hubungan Kerja Antara Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sulawesi Selatan dengan
Institusi Kepolisian Daerah (POLDA) Sulawesi Selatan dalam
Tindak Pidana Korupsi.
a. Gambaran Umum Wilayah Hukum Kepolisian Daerah
Sulawesi Selatan Barat.
Secara historis Kepolisian Republik Indonesia lahir pada
1 Juli 1946 sebagai jawatan yang langsung berada di bawah
Perdana Menteri. Pulau Sulawesi sebagai bagian teritorial
Indonesia yang cukup luas menjadi pertimbangan dari
terbentuknya kepolisian daerah Sulawesi pada kurun waktu tahun
1950 hingga 1960. Seiring dengan percepatan kemajuan bangsa
Indonesia, maka tugas serta tanggung jawab kepolisian semakin
berat. Dengan dikeluarkannya keputusan Kapolri No. Pol.
Keputusan/06/IX/1996 tanggal 16 September 1996 terbentuklah
Polda Sulawesi Selatan yang berkedudukan di Makasar.
Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan hingga kini telah dipimpin
oleh 31 orang Kapolda. Wilayah Hukum yang menjadi kekuasaan
dari Polda mencakup Kepolisian Resor (Polres) di tiap wilayah
yang ada pada 2 (dua) Provinsi, 3 ( Tiga) Kota dan 27 ( Dua
puluh tujuh ) Kabupaten diantaranya:
51
Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari:
1. Polres Bantaeng 2. Polres Barru 3. Polres Bone 4. Polres Bulukumba 5. Polres Enrekang 6. Polres Gowa 7. Polres Jeneponto 8. Polres Kepulauan Selayar 9. Polres Luwu 10. Polres Luwu Timur 11. Polres Luwu Utara 12. Polres Maros 13. Polres Pangkajene dan Kepulauan 14. Polres Pinrang 15. Polres Sidenreng Rappang 16. Polres Sinjai 17. Polres Soppeng 18. Polres Takalar 19. Polres Tana Toraja 20. Polres Toraja Utara 21. Polres Wajo 22. Polrestabes Makassar 23. Polresta Palopo 24. Polresta Parepare
Provinsi Sulawesi Barat Terdiri dari : 1. Polres Mamuju Utara 2. Polres Mamuju 3. Polres Mamasa 4. Polres Polewali Mandar 5. Polres Majene
b. Gambaran Umum Wilayah BPKP perwakilan Sulawesi Selatan
Barat.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan atau yang
biasa disingkat dengan BPKP terbentuk atas berdasarkan Kepres
Nomor 103 Tahun 2001 yang telah diubah menjadi peraturan
52
Presiden Nomor 64 tahun 2005 adalah sebuah pengawasan yang
dilakukan dalam rangka mendorong terwujudnya tata kelola
pemerintahan yang baik, meningkatnya kinerja program pemerintah,
serta terwujudnya iklim yang mencegah KKN untuk keberhasilan
pencapaian target-target dan prioritas pembangunan nasional.
Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Selatan adalah peran
consulting untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan instansi
pemerintah pusat/daerah dan BUMN/D di wilayah Sulawesi Selatan
dan wilayah Sulawesi Barat. Sedangkan peran assurance berupa
audit keuangan atas Loan/Grant yang dilakukan atas permintaan
Lender telah dapat diselesaikan secara tepat waktu dengan kualitas
audit/hasil audit yang baik. Demikian halnya dengan audit dalam
rangka optimalisasi atas penerimaan negara dan daerah. Peran
dalam upaya mewujudkan iklim pencegahan dan pemberantas
korupsi telah memberikan hasil yang cukup siginfikan dengan
meningkatnya jumlah kasus yang diserahkan ke Instansi Penegak
Hukum, baik melalui audit investigasi, hasil penghitungan kerugian
keuangan negara, pemberian keterangan ahli termasuk tindakan
preventif berupa meningkatnya pemahaman dan kepedulian
masyarakat peserta sosialisasi anti korupsi terhadap bahaya korupsi,
dimana wilayah Kerja yang menjadi kewenangan BPKP itu sendiri
adalah di dua Provinsi dan 27 Kabupaten dan 3 Kotamadya.
53
c. Kewenangan Penyidik polri dalam penanganan Tindak Pidana
Korupsi sebagai Sub-Sistem Peradilan Pidana.
Hakekat fungsi kepolisian dalam suatu negara yang beradar
hukum seperti Indonesia maka Polri adalah aparatur penegak hukum
sesuai Pasal 2 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, yang berbunyi : “Fungsi kepolisian adalah salah
satu fungsi pemeirntahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”, maka terlihat
bahwa Polri mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu, preemtif,
preventif dan represif. Dimana yang dimaksud preemtif adalah
mencari dan menemukan akar permasalahan yang ada di
masyarakat yang bersifat lintash sektoral (etnis, sosial, budaya,
politik), preventif adalah tindakan pencegahan yang berorientasi
kepada hasil akhir berupa kegiatan deteksi dini (early warning)
sebagai landasan pengambilan kebijakan langkah antisipasi,
sedangkan represif suatu bentuk kegiatan penegakan hukum. Dalam
hal fungsi represif penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat
Polri terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu
terhadap pengelolaan keuangan negara dalam bentuk korupsi.
Nilai-nilai kepercayaan dan kaidah-kaidah yang membentuk
budaya organisasi polisi merupakan kombinasi antara perilaku
hukum yang diharapkan secara formal dan informal organisasi.
54
Dengan demikian maka jelaslah bahwa budaya suatu organisasi
sangat berpengaruh terhadap strategi penampilan organisasi yang
lebih baik dari maksimal tentunya.
Demikian pula dengan Polri, dalam mengemban fungsi
penegakan hukum untuk melindungi keuangan negara harus
menjaga jangan sampai jalannya kegiatan yang ditujukan bagi
mensejahterakan masyarakat dan jalannya roda pembangunan
terganggu atau terhenti dengan adanya tindak pidana korupsi.
Apapun alasannya korupsi jelas merugikan kepentingan
masyarakat dan hanya menguntungkan pelaku korupsi itu sendiri
atau orang lain. Polri sebagai pengemban fungsi pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat serta penegak hukum, dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantaran Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 20
Tahun 2001 rentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki
wilayah tugas penegakan hukum. Hal ini dikarenakan undnag-
undang tersebut merupakan produk negara yang harus ditegakkan
pada substansi yang ada di dalamnya. Undang-Undang ini
merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan resmi pembangunan
yang diharapkan menjadi landasan struktur yang kuat, sehat dan
demokratis berkait dengan pembangunan masyarakat Indonesia
seutuhnya.
55
Tugas kepolisian terhadap masyarakat yang melanggar
hukum ialah melakukan penegak hukum itu sendiri. Penegakan
hukum oleh Polri dilakukan olah Satuan Fungsi Reserse yang ada
pada organisasi Polri. Pelanggaran hukum tersebut merupakan
awal perputaran dari suatu proses peradilan pidana.27
Proses peradilan pidana ini diatur dalam suatu sistem yang
disebut sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Dalam
sistem peradilan pidana ini penyidik Polri diberi wewenang untuk
melakukan penyidikan dengan berdasar pada landasan hukumyang
tercantum pada:
1. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (pasal 14 ayat (1) huruf g dan pasal 16).
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Pasal 7),
Dasar hukum tersebut di atas memberikan wewenang kepada Polri
untuk melakukan penyidikan yang pelaksanaannya didelegasikan kepada
Penyidik Polri (Satuan Reserse Kriminal). Perenan Penyidik Polri dalam
sistem peradilan Pidana berada pada bagian terdepan dan merupakan
tahap awal mekanisme proses peradilan pidana yaitu : pemeriksaan
pendahuluan. Tugas-tugas penyidikan itu berhubungan dengan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,
27
Malcoml Devies, Hazel and Jane Tyrer, Criminal Justice, London Logman, 1995, page 4-6. seperti terpetik dalam Sidik Sunaryo, Kapita Selecta Sistem Peradilan Pidana, UMM Pres, (Malang, 2004), hlm, 257-261.
56
pemeriksaan saksi/tersangka, bantuan seorang ahli. 28 Pemeriksana
pendahuluan dilakukan dalam arti bahwa suatu penyidikan dilakukan
terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana.29
Tindakan pemberantasan dan penanganan tindak pidana korupsi
oleh lembaga kepolisian sebagai penyidik adalah salah satu proses
penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana (criminal justice
system), sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 1 ayat (2) Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik adalah “serangkaian tindakan penyidikan dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Ketentuan penyidikan dan proses peradilank pidana sebagaimana yang
terdapat di dalam KUHAP adalah hal yang sangat fundamental pada
proses penegakan hukum di bidang korupsi, hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 25 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang
menyatakan : “Penyidikan, penututan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari
perkara lain guna penyelesaian secepatnya”. Oleh karena UUTPK tidak
mengatur secara khusus tentang proses sistem peradilan pidana maka
dapat dikontruksikan ketentuan tentang proses peradilan pidana mengacu
28
Soerjono Dirdjosisoworo, “Polisi Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Majalah Bhayangkara No. 05. Juli 1998, hlm. 54.
29 Loeby Loqman, Pra Peradilan Indonesia Indonesia, (Jakarta ; Ghalia Indonesia, 1987),
hlm. 25
57
kepada hukum acara pidana, misalnya penyidikn untuk tindak pidana
korupsi adalah POLRI.30 Kecuali untuk tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya maka diterapkan ketentuan Pasal 27 UUTPK” dalam hal
ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat
dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung”.
Suatu perkara tindak pidana sampai ketangan penyidik Polri pada
umumnya bagitu juga tindak pidana korupsi pada khususnya dapat
melalui 3 (tiga) kemungkinan yaitu : mungkin dilaporkan oleh si pelaku
sendiri (karena keinsyafan) atau dilaporkan oleh saksi/masyarakat atau
mungkin juga karena diketahui oleh Polisi sendiri setelah adanya indikasi
korupsi. Proses penanganan tindak pidana korupsi oleh penyidik Polri
harus mengacu pada norma hukum yang ada, dimana norma hukum
memberikan suatu hak yang seimbang oleh hukum acara pidana bagi
tersangka yang diduga melakukan pidana, 31 hal ini merupakan
konsekuensi dari perlindungan hak dasar tersangka pada proses
penyidikan dan penyelidikan.32
Peran penyidik Polri pada penanganan suatu tindak pidana adalah
untuk menemukan kebenaran materil dalam rangka untuk menyelesaikan
perkara, sehingga penanganannya seringkali kurang memperhatikan hak-
30
Sutanto, “Peran POLRI Untuk Peningkatan Efektivitas Penerapan UU TPPU”, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keynote Address Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, Medan, tanggal 15 September 2005, hlm. 7
31 Soeharto, Perlindungan Hakm Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana
Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Bandung : Ringkasan Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, 2006), hlm, 41.
32 Marjono Reksodiputro, dalam, Soehato, Perlindungan Hak Tersangka. Terdakwa dan
Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Ibid, hal. 40.
58
hak seorang tersangka untuk membela dirinya terhadap kemungkinan
persangaan atau pendakwaan yang kurang benar, misalnya pada Pasal
16-19 KUHP (hak penangkapan), Pasal 20-31 KUHAP (hak menahan),
Pasal 32-37 KUHAP (hak penggeledahan), dan Pasal 38-49 KUHAP (Hak
penyitaan).
Dalam hukum acara pidana ada pembagian fungsi antara Kepolisian
dan kejaksaan secara horisontal; fungsi penyidikan di tangan Kepolisian
meliputi baik sarana hukum maupun sarana tekniknya. Pengecualian
terhadap padal pasal 284 KUHAP yang berkaitan dengan delik-delik
dalam perundang-undangn Pidana Khusus Penyidikan dengan
menggunakan sarana hukum antara lain dalam hal melakukan tindakan-
tindakan Kepolisian. Pembagian tugas ini tidak dapat dilepaskan dari
desain prosedual (procedural desain) sistem peradilan pidana (criminal
justice system) yang ditata melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Sistem ini dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu prajudikasi (pre-
ajudication), tahap ajukasi (ajudication) dan tahap purna-ajudikan (post-
ajudication). Tahap pra-ajudikasi ditentupan Pasal 102-136 Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (Kepolisian, penyidikan) dan tahap ajudikasi
Pasal 137-144 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Penuntut
Umum), sedangkan tahap purna-ajudikasi adalah pasal 145-232 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (pemeriksaan di sidang
pengadilan).
59
Wilayah kerja Polri dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi, yang berbunyi : “Penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi,
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Dengan demikian maka Polri berpedoman pada UU Np. 31 Tahun
1999 akan tetap melaksanakan tindakan represif sebagai pengemban
fungsi penegak hukum.
d. Tugas, Fungsi, dan Wewenang BPKP
Dengan diterbitkan keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983
tanggal 30 Mei 1983 maka Direktorat Djendral Pengawasan Keuangan
Negara (DJPKN) ditransformasikan menjadi BPKP, sebuah Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Salah satu pertimbangan
dikeluarkannya Keputusan Presiden Noor 31 Tahun 1983 tentang BPKP
adalah diperlukannya badan atau lembaga pengawasan yang dapat
melaksanakan fungsinya secara leluasa tanpa mengalami kemungkinan
hambatan dari unit organisasi pemerintah yang menjadi obyek
pemeriksaannya. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983 tersebut
menunjukan bahwa Pemerintah telah meletakkan struktur organisasi
BPKP sesuai dengan proporsinya dalam konstelasi lembaga-lembaga
Pemerintah yang ada. BPKP dengan kedudukanya yang terlepas dari
60
semua departeman atau lembaga sudah barang tentu dapat
melaksanakan fungsinya secara lebih baik dan obyektif.
Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintan Non Departemen sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden No. 64 Tahun
2005. dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai dengan Pasal 52, 53 dan 54 Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas
Pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun
sesuai dengan Peraturan Pemerintah republik Indonesia Nomor 60 tahun
2008:
Dalam melaksanakan tugas, BPKP menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan rencana dan program kerja pengawasan
b. Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja
negara dan pengurusan barang milik kekayaan negara,
61
c. Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja
daerah dan pengurusan barang milik kekayaan daerah.
d. Pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pemerintahan yang
bersifat strategis dan/atau lintas departemen lembaga wilayah.
e. Pemberian asistensi penyusunan laporan akuntabilitas kinerja
pemerintah pusat dan daerah.
f. Evaluasi atas laporan akuntabilitas kinerja pemerintah pusat dan
daerah.
g. Pemeriksaan terhadap badan usaha milik daerah, Pertamina, Cabang
Usaha Pertamina, kontraktor bagi hasil, dan kontrak kerja sama,
badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan pemerintah,
pinjaman bantuan luar negeri yang diterima pemerintah pusta, dan
badan usaha milik daerah atas permintaan daerah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
h. Evaluasi terhadap pelaksanan good corporate governance dan laporan
akuntabilitas kinerja pada badan usaha milik negara, Pertamina,
Cabang Usaha Pertamina, kontraktor bagi hasil, dan kontrak kerja
sama, badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan
pemerintah.
i. Inevastigas terhadap indikasi penyimpangan yang merugikan negara,
badan usaha milik, dan badan-badan lain yang di dalamnya terdapat
kepentingan pemerintah, pemeriksaan terhadap hambatan kelancaran
62
pembangunan, pemberian bantuan pemeriksaan terhadap instansi
penyidikan dan instansi pemerintah lainya.
j. Pelaksanaan analisis dan penyusunan laporan hasil pengawasan serta
pengendalian mutu pengawasan.
k. Pelaksanaan administrasi Perwakilan BPKP.
Dalam penyelenggaraan fungsi tersebut, BPKP mempunyai
kewenangan :
a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya.
b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan
secara makro.
c. Penetapan sistem informasi di bidangnya.
d. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah
yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan
supervisi di bidangnya.
e. Pentapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi
tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya.
f. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yaitu :
1. Memasuki semua kantor, bengkel, gudang, bangunan, tempat-
tempat penimbunan, dan sebagainya.
2. Meneliti semua catatn, data elektronik, dokumen, buku perhitungan,
surat-surat bukti, notulen rapat panitia dan sejenisnya, hasil survei
63
laporan-laporan pengelolaan, dan surat-surat lainnya yang
diperlukan dalam pengawasan.
3. Pengawasan kasa, surat-surat berharga, gudang persediaan dan
lain-lain.
4. Meminta keterangan tentang tindak lanjut hasil pengawasan, baik
hasil pengawasan BPKP sendiri maupun hasil pengawasan Badan
Pemeriksaan Keuangan, dan lembaga pengawasan lainnya.
Hubungan kerja antara Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan dengan
institusi Polri Polda Sulawesi Selatan dalam menyidik tindak pidana
korupsi, dimunculkan dari efektivitas penyidikan terhadap indikasi korupsi
itu sendiri. Sehingga dengan adanya kerjasama tersebut akan lebih
meningkatkan kinerja instansi terkait dalam hubungannya dengan
penyidikan tindak pidana korupsi.
Suatu hal yang harus dipahami dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia adalah adanya pembagian tugas dan wewenang bagi suatu
lembaga negara sehingga tugas dan wewenang tersebut dapat secara
baik dilaksanakan, serta adanya hambatan-hambatan dalam pelaksaan
tugas tersebut seperti kurangnya tingkat kemampuan sumber daya
sehingga dibutuhkan pihak lain untuk mengurusnya. Demikian juga halnya
di bidang penyidikan korupsi, maka penyidik kepolisian tentunya
mengalami hambatan dalam hal mengaudit catatan, angka-angka yang
akan disidiknya tentang suatu tindak pidana korupsi, maka berdasarkan
64
keadaan tersebut kepolisian membutuhkan instansi yang memiliki
kompeten terhadap pengelolaan dan pengolahan angka-angka tersebut.
Salah satu instansi yang kompoten untuk hal tersebut adalah auditor
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
e. Kerjasama Penyidik Polri Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan
dengan Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Selatan mengungkap
Kerugian Keuangan Negara.
Hubungan kerja antara instansi penyidik kepolisian dengan Auditor
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dituangkan
dalam berbagai kesepakatan yang salah satunya dapt dilihat dari uraian
selanjutnya:
Sesuai SE-853/D/VII/1995 tanggal 16 Juni 1995 tentang Bantuan
Pemeriksaan/Bantuan Tenaga Pemeriksaan BPKP kepada instansi
penyidik, ditetapkan bahwa apabila permintaan bantuan dari instansi
penyidik berupa :
1. Permintaan Bantuan Menghitung Jumlah Kerugian Keuangan
Negara.
Pelaksanaan dan hasilnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab
instansi penyidik, baik dalam hal penertiban surat tugas maupun
penyusunan laporannya. Petugas Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) yang diperbantukan cukup menyerahkan
secara tertulis hasil perhitungannya dengan sebuah nota/surat
65
pengantar tersebut kepada atasan di BPKP yang memberi penugasan
perbantuan, sebagai tanggung jawab telah berakhirnya penugasan.
Sedangkan atasan yang bersangkutan tidak perlu meneruskan
tembusan tersebut ke instansi manapun.
2. Permintaan Bantuan sebagai Audit Investigatif
Pelaksanaan dan hasilnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab
BPKP, baik dalam hal penerbitan surat tugas maupun dalam
penyusunan laporan hasil pemeriksaannya. Oleh karena itu, sebelum
memenuhi permintaan instansi penyidik, harus diteliti dengan seksama
dan harus dipertimbangkan bukti-bukti terkait denagn kasus
penyimpangan yang berindikasikan merugikan keuangan Negara,
untuk memperoleh simpulan yang mendukung tindakan litigasi atau
tindakan korektif manajemen. 33
Agar pelaksanaan tugas sebagaimana dijelaskan di atas dapat
berjalan lebih efisien dan terarah, Deputi Kepala BPKP Bidang
Pengawasan Khusus/Kepala Perwakilan BPKP terlebih dahulu meminta
data kepada instansi penyidik:
1. Resume permasalahan.
2. Kasus posisi dan modus operandi beserta uraiannya.
3. Bukti pendukung untuk menghitung kerugian keuangan Negara.
33
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Deputi Bidang Investigasi. Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus Kasus Penyimpangan Yang Berindikasi Merugikan Keuangan/Kekayaan Negara dan/Atau Perekonomian Negara, Jakarta, 2001, hlm. 47
66
Disamping itu, petugas pemeriksa BPKP harus mempunyai
kebebasan penuh untuk menentukan alat/barang bukti yang perlu
diperiksa dan tidak membatasi diri hanya pada alat/ barang bukti yang
diperoleh dari pihak instansi penyidik.
Selain kerjasama sebagaimana disebutkan diatas kerjasama
yang terbaru dibuat oleh BPKP dengan Kepolisian adalah Keputusan
Bersama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kepala
Badan Pengawasan dan Keuangan No. Pol. Kep/12/IV/2002, tanggal
12 April 2002, Nomor Kep. 04.02.00-219/K?2002 tanggal 29 April 2002
tentang Kerjasama dalam penanganan Kasus yang Berindikasikan
Tindak Pidana, dan Nota kesepahamam yang terakhir antara
Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan No. KEP-
109/A/JA/09/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus
Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi
Tindak Pidan Korupsi Termasuk Dana Nonbudgeter.
Ruang lingkup kerjasama antara Institusi Kepolisian Daerah
(POLDA) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
meliputi:
1. Penerusan kasus penyimpangan yang berindikasikan tindak pidana
hasil audit BPKP untuk ditindaklanjuti oleh Polri.
67
2. Permintaan bantuan audit investigasi dari Polri kepada BPKP guna
memperjelas adanya indikasi tindak pidana khususnya yag berkaitan
dengan kerugian keuangan.
3. Permintaan keterangan ahli dari Polri kepada BPKP dalam penyidikan
tindak pidana.
4. Permintaan bantuan tenaga auditor dari Polri kepada BPKP untuk
menghitung kerugian keuangan dalam rangka penyelidikan atau
penyidikan tindak pidana.
5. Kerjasama lain yang disepakati oleh Polri dan BPKP sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.34
Adapun proses kerjasama penyidikan kasus korupsi tersebut
adalah 35 Penyidik Polri yang menerima laporan dan atau mengetahui
tentang adanya suatu perbuatan yang diduga korupsi, melakukan
serangkaian tindakan penyidikan dengan mencari dan mengumpulkan
fakta-fakta dan bukti-bukti tentang korupsi tersebut. Setelah mendapat
dan memperoleh fakta/bukti tentang dugaan perbuatan merugikan
keuangan atau perekonomian negara, maka penyidik Polri meminta
bantuan kepada auditor BPKP untuk melakukakn audit investigasi untuk
mengetahui apakah terdapat kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara.
34
Hasil Wawancara dengan Joko Suprianto, Ak, Auditor Muda BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan, tanggal 03 Januari 2012.
35Ibid.
68
Pihak BPKP setelah menerima surat dari penyidik meminta kepada
penyidik untuk melakukan ekspose/paparan tentang kasus dan bukti/fakta
yang sudah diperoleh. Setelah menerima penjelasan dan gambaran kasus
didukung fakta/bukti yang diperoleh penyidik, maka team auditor BPKP
datang ke tempat instansi penyidik yang meminta melakukan audit atas
fakta-fakta/bukti yang ada, dan melihat ke lokasi/TKP apabila dianggap
perlu.
Setelah melakukan audit, maka auditor mengkaji dan kemudian
membuat laporan hasil audit investigasi (LHAI) dan perhitungan kerugian
keuangan negara dan menyerahkan kepada penyidik yang bersangkutan.
Penyidik akan mempelajari hasil laporan auditor dan apabila hasil audit
menyimpulkan terdapat kerugian keuangan negara, maka perbuatan
tersebut masuk kategori pidana korupsi, dan penyidik akan meningkatkan
tahap penyidilikan menjadi penyidikan, dan akan ditetapkan siapa orang
yang bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut atau dengan kata
lain ditetapkan tersangkanya.
Apabila audit dari auditor menyatakan tidak terdapat kerugian
negara, berarti perbuatan tersebut bukan tindak pidana korupsi. Laporan
hasil audit tersebut akan berfungsi sebagai alat bukti surat dan berfungsi
sebagai salah satu dari 5 (lima) alat bukti sebagaimana di atur dalam
Pasal 184 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan peranannya sangat
menentukan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
69
Apabila hasil audit belum ada maka suatu kasus tidak bisa
disimpulkan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana korupsi dan
juga tidak bisa ditetapkan seseorang sebagai tersangkanya.
Setelah penyidik menerima laporan hasil audit dari auditor BPKP,
kemudian penyidik meminta keterangan saksi dari auditor yang
bersangkutan untuk memperkuat dan menjelaskan temuannya atau hasil
auditnya, dan keterangan tersebut dibuat dalam Berita Acara
Pemeriksaan ahli dan berfungsi sebagai salah satu dari alat bukti pada
Pasal 184 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu
sebagai alat bukti keterangan ahli.
Sehinga dari auditor BPKP ini akan diperoeh 2 alat bukti ditambah
dengan keterangan saksi yang tentunya pasti ada, sehingga dengan
adanya 3 alat bukti sudah dapat menggiring seseorang menjadi tersangka
untuk disidangkan di Pengadilan, karena menurut Pasal 183 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1981 bahwa dengan 2 alat bukti saja ditambah
keyakinannya, hakim sudah dapat menjatuhkan pidana kepada
seseorang.36
Berikut ini akan dipaparkan hasil dari rekapitulasi investiasi BPKP
atas permintaan penyidik Polda Sulawesi Selatan tentang tindak pidana
korupsi dalam wilayah hukum Polda Sulawesi Selatan dan belum dari
masing-masing Polres Tahun 2007 sampai dengan tahun 2011.
36
Wawancara Dengan Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Sulsel, Bapak AKP Mas’ud, S.os, Kanit III/Tipikor Dit. Reskrimsus Polda Sul-Sel, Selasa/31 januari 2012
70
Tabel 2 : Permintaan Audit Investigasi Dari Penyidik Polda Sulawesi
Selatan Kepada Auditor BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2007-2011
No Tahun Jlh. Permintaan
Audit
Jlh. Audit Yang
Dipenuhi BPKP Ket
1
2
3
4
5
2007
2008
2009
2010
2011
4 kasus
5 kasus
7 kasus
13 kasus
12 kasus
4 kasus
5 kasus
7 kasus
9 kasus
9 kasus
Sidik
Sidik
Sidik
Sidik
Sidik
Jlh 41 kasus 34 kasus Sidik
Sumber : Data Sat III/Tipikor Dit Reskrim Sus Polda Sulsel
Tabel 3 : Realisasi Audit Investigasi BPKP Atas Permintaan Penyidik
Polda Tahun 2007 s/d 2011
No. Tahun Jumlah Kasus yang diaudit
Nilai Temuan Kerugian Negara (Rp)
1. 2007 4 Kasus -
2. 2008 5 Kasus -
3. 2009 7 Kasus -
4. 2010 9 Kasus 2.119.144.051.00
5. 2011 12 kasus 8.279.793.88331
Sumber : Data BPKP Perwakilan Propinsi Sulsel.
71
Tabel 4 : Permintaan audit investigasi dari penyidik Kejaksaan Tinggi
Sul-sel kepada Auditor BPKP Provinsi Perwakilan Sul-sel
Tahun 2007 s/d 2011.
No. Tahun Jumlah Permintaan Audit
Jumlah Audit Yang dipenuhi BPKP
1. 2007 6 Kasus 6 kasus
2. 2008 4 Kasus 4 kasus
3. 2009 8 Kasus 8 kasus
4. 2010 10 Kasus 10 kasus
5. 2011 7 kasus 7 kasus
Jumlah 35 Kasus 35 Kasus
Sumber : Data Bag. Pidsus Kejaksaan Tinggi Sul-sel.
Tabel 5 : Realisasi Audit Investigasi BPKP Atas Permintaan Penyidik
Kejaksaan tinggi Sul-sel Tahun 2007 s/d 2011
No. Tahun Jumlah Kasus yang diaudit
Nilai Temuan Kerugian Negaran (Rp)
1. 2007 6 Kasus -
2. 2008 4 Kasus -
3. 2009 8 Kasus -
4. 2010 10 Kasus 9.547.218.844.00
5. 2011 7 kasus 12.129.321.922.00
Sumber : Data BPKP Perwakilan Propinsi Sulsel.
72
Dari tabel di atas dapat dilihat audit investigasi yang dilakukan oleh
BPKP Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan telah sesuai dengan jumlah
permintaan penyidik Polda Sulawesi Selatan. Sedangkan rata-rata
permintaan audit investigasi yang ditujukan kepada BPKP Perwakilan
Sulawesi Selatan mengalami kenaikan yang signifikan. Hal tersebut
terlihat dari perubahan jumlah permintaan audit investigasi yang diajukan
oleh Penyidik Polda Sulsel kepada auditor BPKP perwakilan provinsi
Sulawesi Selatan dimana pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2010
mengelami kenaikan dari 8 (delapan) kasus hanya 6 (enam) kasus yang
berhasil dipenuhi oleh BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan) 2 (dua ) dari 8 (delapan) kasus tersebut bukan
merupakan kerugian Negara menurut pihak BPKP Perwakilan Provinsi
Sulawesi Selatan, kemudian dari tahun 2011 mengalami kenaikan yang
signifikan kalau dibandingkan dengan tahun 2010. Tetapi permintaan
investigasi kembali mengalami kenaikan drastis pada tahun 2011 yaitu
dari 12 kasus korupsi yang dilidik oleh Polda Sulsel, hanya 9 kaus yang
dapat diminta audit investigasi oleh BPKP Perwakilan Provinsi Sulsel,
sedangkan 3 kasus diantaranya dalam proses penyelidikan dan untuk
melihat pelaksanaan audit BPKP atas permintaan penyidik kepolisian
maka dapat dilihat dari skema berikut ini :
73
Gambar 3.1 Skema Pelaksanaan Audit BPKP atas Permintaan Penyidik
Polri.37
37
Wawancara dengan Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Sulsel, Bapak Kompol. Mas’ud, S.sos, Kanit 3 Sat III/Tipikor Dit. Reskrim Poldasu/Penyidik, Selasa/31 Januari 2012
Periksa Auditor
Sebagai Ahli
Hentikan
Penyelidikan
(bukan Korupsi)
Penyidik
Lanjutkan ke
Tahap
Penyidik
Polri
Kumpulan
BuktiBukti
Petunjuk/Informas
Minta Audit
Kasus Indikasi
Korupsi (taraf
Penyelidikan)
Ada kerugian
Negara
Tidak ada
Kerugian
BPKP Bentuk
Team Auditor &
Lakukan audit
BPKP Undang
Penyidik Untuk
Paparkan Kasus
Auditor BPKP
terbitkan
Laporan Hasil
BPKP serahkan Laporan
Hasil Audit Kepada
Penyidik
74
Skema di atas menjelaskan pada titik awal dimulainya pelaksanaan
audit BPKP atas pemintaan penyidikan Polda yaitu ditemukan kasus
indikasi korupsi (Tahap penyidikan) oleh penyidik Polda. Selanjutnya dari
skema tersebut berdasarkan adanya indikasi korupsi maka penyidik Polda
mengumpulkan bukti-bukti, petunjuk maupun informasi. Berdasarkan
pengumpulan bukti, petunjuk dan informasi, maka BPKP mengundang
penyidik untuk memaparkan kasusnya. Setelah mendapatkan paparan
atas kasus tersebut maka BPKP membentuk suatu team auditor yang
melakukan pekerjaan audit investigatif.
Setelah BPKP melakukan pekerjaan audit maka auditor membuat
laporan hasil audit, kemudian hasil audit tersebut diserahkan kepada
penyidik Polda. Apabila hasil dari laporan BPKP yang menjelaskan tidak
ada kerugian negara maka oleh penyidik Polri direspon dengan
memberhentikan penyelidikan karena indikasi yang ditemukan bukan
korupsi. Dan apabila laporan hasil audit tersebut ketahap penyidikan
kasus korupsi. Selain hasil audit dapat dijadikan alat bukti maka auditor
juga dapat dihadirkan sebagai saksi ahli.
Berdasarkan wawancara dengan penyidik tindak pidana korupsi
pada Dit. Reskrimsus Polda Sulsel Masud, S.Sos, mengatakan bahwa
dalam rangka pengungkapan tindak pidana korupsi sudah menjadi
keharusan bahwa setelah penyidik melakukan penyidikan terhadap suatu
kasus yang diduga ada indikasi tindak pidana korupsi, Penyidik wajib
meminta bantuan kepada Auditor BPKP untuk melakukan audit
75
investigasi yang ditujukan untuk mengetahui apakah telah terdapat
kerugian negara atau kerugian perekonomian negara. Apabila laporan
hasil auditor BPKP menyatakan bahwa sudah terdapat kerugian keuangan
negara dengan mencantumkan angka-angka/nilai nominal meningkatkan
dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan, sehingga perananan auditor
BPKP sangatlah strategi dan sangat menentukan dimana suatu kasus
yang sedang diselidiki dapat dikatakan ada indikasi tindak pidana korupsi
hanyalah sesudah auditor menyatakan dalam laporan hasil audit bahwa
atas kasus yang sedang diselidiki oleh penyidik ada ditemukan kerugian
keuangan negara.38
38
Wawancara Dengan Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Sulsel, Bapak Kompol, Mas’ud, S.sos Kanit 3 Sat III/Tipikor Dit. Reskrimsus Polda/Penyidik, Selasa/31 Desember 2012.
76
Lanjut AKP Masud, S.Sos bahwa terjadi indikasi tindak pidana
korupsi, proses awalnya mulai dari penyidikan dan selalu bekerja sama
dengan BPKP Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan, alasannya karena
BPKP mitra Polri berdasarkan atas kerja sama yang tertuang dalam satu
nota kesepakatan atau disebut Momarandum Of Undarstanding ( MOU ),
selain itu juga setiap permintaan audit investigativ dalam hal menghitung
kerugian keuangan negara prosesnya tidak terlalu lama dan prosedurnya
tidak tidak berbelit-belit, berbeda dengan lembaga BPK prosesurnya
permintaan audit investigasi harus prosedurnya melalui BPK pusat, dan
prosesnya terlalu lama, lagi pula tugas dan wewenangnya berpusat pada
audit keuangan Negara di daerah-daerah dan bukan pengauditannya
pada anggaran yang digunakan oleh daerah.
Lanjut dikatakan AKP Masud, S.Sos mengatakan bahwa mengenai
syarat seorang auditor BPKP harus memiliki sertifikat auditor lalu bisa
berhak melakukan audit investigative terhadap dugaan tindak pidana
korupsi dalam hal menghitung kerugian keuangan Negara atau
perekonomian Negara, untuk itu ada dua macam audit menurut Masud
yaitu : pertama Investigasi khusus dibidang barang dan kedua Investigasi
khusus dibidang konstruksi.
Kerja sama berdasarkan MOU menurut M. Ahsan, SH. (Aspidsus
Kasi Penuntutan Kejaksaan Tinggi Sul-Sel) bahwa setiap permintaan audit
investigasi kerugian keuangan Negara baik dari Kepolisian maupun dari
Penyidik Kejaksaan wilayah hukum Sulawesi Selatan begitu banyak,
77
sedangkan peronil auditor BPKP tidak cukup atau sangat minim
jumlahnya untuk memenuhi permintaan audit kerugian keuangan Negara,
sehingga memakan waktu yang cukup lama untuk tuntasnya
penghitungan kerugian keuangan Negara maupun kerugian
perekonomian Negara, meskipun hal tersebut tidak diatur dalam Undang-
undang, namun dalam praktek selama ini digunakan oleh pihak Kejaksaan
di pengadilan, lain halnya dengan lembaga BPK, menurut Ahsan bahwa
Kejaksaan pernah melukan permintaan kepada BPK Perwakilan Provinsi
Sulsel untuk menghitung kerugian Keuangan Negara, akan tetapi
prosesnya terlalu lama karena harus ada ijin dari BPK pusat, intinya
proses dan prosedur terlalu birokratis dan memakan waktu lama, berbeda
dengan BPKP yang prosedur dan prosesnya tidak terlalu lama dan tidak
berbelit belit apabila setiap permintaan audit investigative oleh Kejaksaan
maupun Kepolisian.
Ruang lingkup kerja sama dalam nota kesepakatan (MOU)
diantaranya sangat terkait langsung dengan masalah tukar menukar
informasi menyangkut kasus/masalah dan penanganan perkara
penyimpangan pengelolaan keuangan Negara yang berindikasi tindak
pidana korupsi, termasuk dana nonbudgeter, termasuk dalam hal
penanganan kasus/masalah yang dapat menghambat laju pembangunan
nasional.
Berdasarkan hasil wawancara dengan M Joko Supriyanto, Ak.
( Auditor Madya Kabid. Investigasi BPKP Perwakilan Provinsi Sulawesi
78
Selatan) mengatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan audit oleh BPK,
biasa menunggu hasil audit dari APIP (Aparat Pengawas Internal
Pemerintah) lembaga BPKP, sedangkan kedudukan lembaga BPK
lembaga tinggi Negara, tugas BPKP dalam mengaudit kerugian keuangan
Negara adalah atas permintaan dari Kejaksaan dan Kepolisian, karena
yang mempunyai kwalifikasi audit hanyalah BPK, adapun kerja sama
antara BPKP, Kejaksaan dan Kepolisian sebagaimana dituangkan dalam
MOU Nomor : Kep-109/A/JA/09/2007, No.Pol : B/2718/IX/2007 Nomor :
Kep-1093/K/D6/2007 tanggal 28 September 2007. Tentang Kerja Sama
Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keungan Negara
Yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi Termasuk dana Nonobudketer,
artinya bahwa posisi masing, yaitu dalam Bab VI Gelar Kasus dan Gelar
Perkara Pasal 6 ayat (3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) instansi penyidik menetapkan pelanggaran hukum, sedangkan BPKP
menetapkan ada/tidaknya indikasi kerugian keuangan Negara, sehingga
dapat ditetapkan status kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi atau
bukan tindak pidana korupsi.
Kerjasama antara BPKP dengan penyidik Polri yang sudah
berlangsung sejak tahun 2002 sangat efektif dimana seluruh permintaan
penyidik wilayah hukum Polda kepada BPKP untuk mengaudit selalu
dipenuhi dan hasilnya diserahkan kepada penyidik Polda Sulsel.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPKP adalah lembaga pengawas
keuangan yang ada selain BPK. Dimana kedua lembaga yakni BPK dan
79
BPKP memiliki kompetensi yang berbeda atas tindak lanjut kerugian
negara melalui audit investigatif dalam kaitannya dengan unsur pidana.
BPK memperoleh kewenangan berdasarkan Pasal 23 E Undang-Undang
Dasar 1945, sebagai lembaga pemeriksa keuangan yang memperolah
kewenangan berdasarkan atributif melalui undang-undang. Pemeriksa
menurut Undang-undang No. 15 Tahun 2004 adalah orang yang
melakukan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara untuk dan atas nama BPK yang dapat melakukan
pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian
negara/daerah dan atau unsur tindak pidana korupsi.
Berbeda dengan BPKP yang memperoleh kewenangan melakukan
audit investigatif berdasarkan PP No. 60 Tahun 2008 yang hanya
merupakan bagian dari sistem pengendalian intern pemerintah dalam
kaitannya dengan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan
fungsi instansi pemerintah yang bersifat preventif. Artinya BPKP tidak
memiliki kewenangan yang kuat dalam melakukan pemeriksaan
investigatif berkaitan dengan unsur tindak pidana korupsi. Sehingga ketika
ditemukana adanya kerugian negara yang mengandung unsur pidana,
maka kewenangan tindak lanjut atas temuan tersebut sampai pada proses
hukumnya adalah menjadi kewenangan BPK. Dalam hal ini BPK sebagai
pihak yang paling berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara
yang berkaitan dengn tindak pidana korupi setelah memperoleh laporan
dari lembaga pengawasan internal seperti Inspektorat Jenderal,
80
Inspektorat Propinsi/Kabupaten/Kota dan BPKP, maupun atas temuan
hasil audit investigatif BPK itu sendiri.
B. Kedudukan Hukum Hasil Bukti Audit Auditor Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap indikasi Kerugian
Negara dihubungkan dalam Sistem Pembuktian.
a. Karakteristik Bukti Audit
Bukti audit adalah segala informasi yang mendukung angka-angka
atau informasi lain yang disajikan dalam laporan keuangan yang dapat
digunakan oleh auditor sebagai dasar untuk menyatakan pendapatnya.
Bukti audit ini menghasilkan hasil audit yang menginformasikan
kepada pemakai informasi mengenai apa yang dilakukan oleh auditor dan
kesimpulan yang diperolehnya.
Tentang syarat-syarat yang menjadi bukti audit tersebut terdapat empat
syarat yaitu39:
1. Relevan
Bukti yang relevan maksudnya adalah bukti yang secara logis
mempunyai hubungan dengan permasalahannya Kompeten tidaknya
suatu bukti dipengaruhi oleh sumber bukti, cara mendapatkan bukti
dan kelengkapan persyaratan juridis bukti tersebut. Dilihat dari
sumbernya bukti tetang kepegawaian yang didapat dari Bagian
39
Arens, Auditing, pendekatan terpadu, adaptasi oleh Amir Abadi Jusuf, Jakarta: Salemba Empat,2003.
81
Kepegawaian lebih kompeten dibanding dengan bukti yang didapat
dari pihak lain, bukti yang jelas sumbernya lebih kompeten dari bukti
yang didapat dari sumber yang tidak jelas. Bukti buatan pihak luar
(bukti ekstern) pada umumnya lebih kompeten dari bukti buatan
auditan (bukti intern).
Dilihat dari cara auditor mendapatkan bukti, bukti yang didapat
auditor dari pihak luar auditor lebih kompeten daripada bukti yang
didapat dari auditan, bukti yang didapat melalui pengamatan langsung
oleh auditor sendiri lebih kompeten dari bukti yang didapat oleh melalui
pihak lain.
Dilihat dari persyaratan yuridis, bukti yang ditandatangani,
distempel, ada tanggal, ada tanda persetujuan, dan lain-lain lebih
kompeten dari bukti yang tidak memenuhi syarat hukum. Bukti asli
lebih meyakinkan daripada foto copian. Bukti yang dilegalisir oleh
auditan lebih kompeten daripada foto copiannya.
Ada suatu pandangan bahwa Sistem Pengendalian Manajemen
(SPM) menentukan pula kehandalan bukti. Bukti yang didapat dari
suatu organisasi yang memiilki SPM ( Sistem Pengendalian
Manajemen ) yang baik lebih dapat diandalkan daripada bukti-bukti
yang didapat dari organisasi yang SMP-nya kurang baik. Kompeten
atau tidaknya bukti dilihat dari satu persatu bukti. Ada bukti yang
kompetensinya tinggi dan ada bukti yang kompetensinya rendah.
82
1. Cukup
Bukti yang cukup berkaitan dengan jumlah kuantitas dan atau nilai
keseluruhan bukti. Bukti yang cukup berarti dapat
mewaliki/menggambarkan keseluruhan keadaan/kondisi yang
dipermasalahkan.
2. Material
Bukti yang material adalah bukti yang mempunyai nilai yang cukup
berarti dan penting bagi pencapaian tujuan organisasi. Materialitas
atau keberartian tersebut dapat dilihat antara lain dari :
a. Besarnya nilai uang atau yang bernilai uang besar.
b. Pengaruhnya terhadap kegiatan (walaupun nilainya tidak
seberapa).
c. Hal yang menyangkut tujuan audit.
d. Pentingnya menurut peraturan perundang-undangan (selisih kas
tidak boleh terjadi, karena itu seandainya terdapat selisih kas,
berapapun besanya harus dicari sebab-sebabnya).
e. Keinginan pemanfaatan laporan
f. Kegiatan yang pada saat audit dilakukan sedang jadi perhatian
umum.
Syarat-syarat bukti audit relevan, komputer, cukup, dan material
(rekocuma) tidak sendiri tetapi merupakan satu kesatuan yang
menyeluruh. Bukti audit agar dapat mendukung kesimpulan/pendapat
auditor harus mengandung unsur relevan, kompeten, cukup, dan material.
83
Bukti yang relevan, cukup dan material tidak ada gunanya bila tidak
kompeten. Bukti yang kompeten tidak ada gunanya bila tidak relevan.
Bukti yang relevan dan kompeten tidak adanya gunanya bila tidak cukup
mewakili.
Bukti audit dapat dibedakan dalam beberapa jenis atau golongan
sebagai berikut : 40
1. Bukti fisik.
Bukti fisik adalah bukti yang diperoleh melalui pengamatan langsung
dengan mata kepala auditor sendiri menyangkut harta berwujud.
Pengamanan langsung oleh auditor dilakukan dengan cara inventarisasi
fisik (dikenal pula dengan sebutan opname) dan inspeksi ke lapangan (on
the spot). Hasil pengamatan fisik oleh auditor tersebut dikukuhkan ke
dalam suatu media pengganti fisik yaitu Berita Acara Pemeriksaan Fisik.
Hasil Inspeksi Lapangan, Foto. Surat Pernyataan, Denah Lokasi atau Peta
Lokasio, dan lain-lain.
Pengamatan fisik dapat dilakukan untuk meyakinkan mengenai
keberasannya (kuantitatif) dan mutu (kualitatif) dari aktiva berwujud.
Namun kehandalannya sangat tergantung dari kemampuan auditor yang
bersangkutan dalam memahami harta berwujud yang diaudit. Misalnya,
seorang auditor yang ditugaskan menguji fisik berbagai jenis obat tentu
saja tidak efektif apabila auditor tersebut sama sekali tidak memahami
40
Ibid., hlm. 34
84
obat-obatan. Di dalam keadaan tertentu hasil pengamatan fi sik saja
belum sepenuhnya dapat dipakai untuk mengambil kesimpulan audit,
karena itu perlu didukung dengan bukti yang lain.
2. Bukti dokumen
Bukti audit yang paling banyak dityemui oleh auditor adalah bukti
dokumen. Bukti dokumen pada umumnya tersebut dari kertas yang
mengandung huruf, angka dan informasi, serta simbol-simbol dan lain-lain.
Bukti dokumen pada umumnya terbentuk lembaran-lembaran kertas, baik
berdiri sendiri maupun yang digabungkan.
Dalam menilai atau mengevaluasi bukti dokumen, auditor sebaiknya
memperhatikan pengendalian intern sumber dokumen tersebut dan
terpenuhinya persyaratan juridis. Kelemahan sistem pengendalian
manajemen memungkinkan dokumen mengandung kesalahan atau
kelalaian yang tidak disengaja, tetapi tidak tertutup kemungkinan
terjadinya dokumen palsu yang dibuat oleh karyawan yang tidak jujur.
Makin mudah dokumen dibuat, tanpa prosedur pengendalian manajemen
yang baik, makin besar kemungkinan dokumen itu mengandung kesalahn
dan atau kecurangan. Jika sistem pengendalian manajemen lemah,
auditor tidak sepenuhnya mempercayai bukti dokumen tetapi harus
menambah pengujian dengan dokumen lain.
85
Dilihat dari sumbernya, bukti dokumen dapat berupa :
a. Bukti intern yang aslinya telah diserahkan ke pihak ketiga (antara lain
bukti kas masuk).
b. Bukti eskteren yang aslinya ada di auditan (antara lain bukti kas keluar
faktur).
c. Bukti yang didapat auditor langsung dari pihak ketiga (antara lain
rekening koran bank).
d. Bukti audit yang masih disimpan auditan (antaralain anggaran,
prosedur, tembusan dokumen).41
Dalam bukti dokumen termasuk bukti catatan. Bukti catatan adalah
bukti yang berbentuk buku-buku atau catatan yang sengaja dibuat untuk
kepentingan auditan. Bukti dokumen digunakan sebagai sumber
pencatatan (buku-buku), atau sebaliknya dari catatan (buku-buku) dapat
digunakan sebagai dasar pembuatan dokumen. Dari catatan selanjutnya
dapat dibuath pertanggungjawaban atau akuntabilitas atau laporan
berbagai bentuknya. Karena itu catatan juga merupakan bukti yang
penting sebagai pembanidng atau penguji kewajaran bukti lainnya dan
pertanggung jawaban.
3. Bukti keterangan
Yang termasuk bukti keterangan adalah bukti kesaksian, bukti lisan
dan bukti spesialis (ahli). Bukti kesaksian adalah bukti peyakin yang
didapat dari pihak lain karena diminta oleh auditor. Peyakin maksudnya
41
Ibid., hlm. 36-37
86
adalah untuk mendukung bukti-bukti lain yang telah didapatkan oleh
auditor, biasanya bukti fisik, bukti dokumen, atau bukti lisan, kemudian
dilengkapi dengan bukti kesaksian.
Bukti lisan adalah bukti yang didapat oleh auditor dari orang lain
melalui pembicaraan secara lisan. Orang lain tersebut mungkin bebrasal
dari luar auditan maupun dari pihak auditan sendiri. Informasi lisan ini
perlu di catat oleh auditor dengan seksama termasuk nara sumbernya.
Banyak infomasi lisan yang didapat oleh auditor tetapi pihak
memberikan informasi tidak bersedia memberikan pernyataan tertulis yang
ditandatanganinya.
Bukti spesialis adalah bukti yang didapat dari tenaga ahli, baik
seorang pribadi maupun suatu instansi atau institusi yang memiliki
keahlian yang kompeten dalam bidangnya. Tenaga spesialis yang dapat
digunakan adalah semua profesi seperti ahli pertambangan, doktor, ahli
purbakala, ahli pertanian, ahli hukum, ahli perbankan dan lain sebagainya.
Untuk memenuhi syarat kompetensi buku audit, maka kompetensi tenaga
spesialis tersebut harus terjamin, betul-betul ahli yang diakui oleh umum.
b. Kedudukan Hasil Audit Sebagai Alat Bukti Surat
Pembuktian memegang peranan yang cukup signifikan pada suatu
proses penegakan hukum pidana, karena alat bukti didasarkan atas suatu
perbuatan yang dituduhkan pada seorang tersangka dan terdakwa.
Dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan
87
pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.42 Hukum acara pidana
mengatur tentang beberapa alat bukti, yakni Pasal 184 KUHAP, Pasal 185
KUHAP (keterangan saksi), Pasal 186 KUHP (keterangan ahli), Pasal 187
KUHAP (surat), Pasal 188 KUHAP (petunjuk), Pasal 189 KUHAP
(Keterangan terdakwa). Pada pembuktian perkara tindak pidana korupsi
berpedoman pada KUHAP dan Undang-Undang No. 31 tahun 1999
tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No.
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alat-alat bukti
sebagaimana dirumuskan di dalam KUHAP tersebut menjadi pegangan
aparat penegak hukum khususnya Polri untuk menemukan dan mencari
kebenaran materil (Subtantial Truth) dengan mengumpulkan bukti, melalui
bukti ini akan membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya. Dalam rangka penanganan tindak
pidana korupsi secara represif yang diberikan oleh undang-undang
mensyaratkan kepada Polri untuk menemukan bukti, peran penyidik Polri
yang merupakan bagian dari riminal justice system terhadap
penanggulangan tindak pidana korupsi harus juga didasarkan pada
pencapaian suatu usaha untuk melakukan pemberantasan dan
penanggulangan tindak pidana korupsi dan tetap mengarahkan secara
integrited (terpadu) seluruh komponen perangkat kepolisian itu sendiri.
42 Subkti, Hukum Pembuktian, (Jakarta, Pradya Pramata, 1987), hal. 119.Martiman
Projokwidjojo dalam Sangsaka Hari dan Rasita Lily, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana , (Bandung : Mandar Maju, 2003),. Hal 15.
88
Prinsip hukum acara pidana yang didasarkan kepada beberapa
sistem pembuktian yang dianut. Pada sistem peradilan pidana Indonesia
mengandung pembuktian negatif lebih dominan untuk penanganan suatu
peristiwa pidana. Konsekuensi yang timbul adalah penekanan pada alat
bukti yang cukup untuk dimulainya proses sistem peradilan pidana
(penekanan pada pembebanan pembuktian).43
KUHAP sedikit sekali mengatur tentang alat bukti surat. Hanya dua
pasal yakni Pasal 184 dan secara khusus Pasal 187. HIR juga demikian,
secara khusus diatur dalam tiga pasal saja, yakni Pasal 304, 305 dan 306.
Walaupun hanya 3 pasal yang isinya hampir sama dengan Pasal 187
KUHAP, dalam Pasal 304 HIR, disebutkan bahwa aturan tentang nilai
kekuatan dari alat buktisurat pada umumnya dan surat resmi (openbaar)
dalam hukum acara pidana. Dengan demikian, mengenai surat-surat pada
umumnya (maksudnya dibawah tangan) dan surat-surat resmi (akta
otentik) mengenai nilai pembuktiannya dalam perkara pidana harus
menurut hukum antara perdata. Tetapi ketentuan seperti Pasal 304 HIR
ini, tidak ada dalam KUHAP.44
Dulu ketika HIR masih berlaku, berdasarkan Pasal 304 ini praktek
hukm perkara pidana mengenai penggunaan dan penilaian alat bukti surat
dapat meniru pembuktian dengan alat bukti surat dalam hukum acara
43
Satoelid Kartanegara dalam Tb. Irman. Hukum Pembuktian Pencucuain Uang, (Bandung : MQS Publishig & Ayyccs Group, 2006)., hal, 135-137,
44 Adami Chazawi. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : Alumni, 2006),.
Hlm. 68
89
perdata. Artinya, pembuktian dengan surat dalam hukum acara perdata
berlaku pula pada pembuktian dengan surat dalam perkara pidana, tetapi
sekarang setelah berlakunya KUHAP, sudah tidak lagi. Segala
sesuatunya diserahkan pada kebijakan hakim, dengan alasan bahwa alat-
alat bukti dalam perkara pidana adalah merupakan alat bukti bebas. Tidak
ada suatu alat buktipun yang mengikat hakim, termasuk akta otentik dan
penilaiannya diserahkan kepada hakim.
Memang, prinsip hukum pembuktian dalam hukum acara pidana
berbeda dengan pembuktian hukum acara perdata, mengingat dalam
hukum pembuktian perkara pidana diperlukan keyakinan hakim atas dasar
minimal alat bukti, sedangkan dalam hukum pembuktian perkara perdata
tidak diperlukan kayakinan hakim. Karena apa yang dicara dari
pembuktian dalam hukum acara pidana adalah kebenaran material,
sedangkan dalam hukum acara perdata kebenaran formil sudahlah cukup,
seperti hanya nilai alat bukti akta otentik sebagai alat bukti sempurna yang
mengikat hakim. Dengan didapatnya kebenaran material dari minimal dua
alat bukti yang sah, dapat lebih terjaminnya kebenaran dan tepatnya
bentukan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa, sebagai syarat
untuk menjatuhkan pidana.45
Berdasarkan sistem pembuktian yang berbeda, apapun alat buktinya
seperti akta otentik yang menurut hukum acara perdata adalah alat bukti
45
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, (Bandung : Mandar Maju, 2001)., hlm. 121
90
sempurna, tetapi dalam hukum pembuktian perkara pidana satu akta
otentik saja akan lumpuh kekuatan buktinya apabila tidak ditunjang oleh
alat bukti lain, walaupun hakim yakin kebenaran dari akta otentik tersebut,
karena dalam hukum pembuktian perkara pidana didikat dengan beberapa
ketentuan yakni :
1. Adanya syarat minimal pembuktian. Satu alat bukti saja tidaklah cukup
dalam perkara pidana, melainkan harus minimal dua alat bukti (Pasal
184 jo 185 ayat 2 KUHAP).
2. Diperlukan adanya keyakinan hakim. Dari minimal dua alat bukti
terbentuklah keyakinan tentang 3 hal (terjadi tindak pidana, terdakwa
melakukannya, dan ia dapat dipersalahkan atas perbuatannya
itu(Pasal 183 KUHAP).46
Menurut Pasal 187 ada 4 (empat) surat yang dapat dipergunakan
sebagai alat bukti. Tiga surat harus dibuat di atas sumpah atau dikuatkan
dengan sumpah (Pasal 187 huruf a, b d c), sedangkan surat yang
keempat adalah surat di bawah tangan (Pasal 187 huruf d KUHAP).47
46
Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 69 47
Pasal 187 KUHP berbunyi : surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuatu oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termausuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan.
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta, secara resmi daripadanya.
91
Dari hasil wawancara dengan Laporan Hasil Pengauditan yang
dibuat auditor adalah berfungsi sebagai alat bukti surat sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 184 KUHAP.48
Hasil audit dapat digolongkan kepada bentuk ketiga dari Pasal 187
huruf c KUHAP. Karena surat hasil audit tersebut adalah surat yang dibuat
oleh seorang ahli yang isinya berupa pendapat mengenai hal tertentu
dalam bindag keahliannya itu yang hak tersebut berhubungan dengan
suatu perkara pidana. Surat ini dibuat memenuhi permintaan penyidik
secara resmi, seperti pada permintaan untuk melakukan audit.
Pasal 187 huruf a KUHAP adalah surat yang mengandung unsur
sebagai berikut :
1. Dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah pejabat
yang membuatnya.
2. Dibuat oleh pejabat umum atau dibuat dihadapannya.
3. Surat dalam bentuk resmi
4. Isinya surat adalah keterangan mengenai kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, yang disertai alasan
yang jelas dan tegas dari keterangan dalam surat itu.
Suatu yang dimaksud Pasla 187 huruf a ini misalnya, akta perjanjian
yang dibuat oleh para pihak atau dihadapan notaris berupa partijakte.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain. 48
Wawancara Dengan Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Sulsel, Bapak AKP.Mas’ud, S.sos. Kanit 3 Sat III/Tipikor dit. Reskrimsus Polda/Penyidik, Selasa/31 Januari 2012.
92
Juga akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum itu sendiri (akta abtelijk)
seperti berita acara penyitaan yang dibuat oleh penyidik. Hasil audit tidak
dapat digolongan dalam Pasal 187 huruf a ini karena hasil audit bukan
merupakan suatu perjanjian yang diterangkan dalam suatu akta.
Surat yang disebut Pasal 187 huruf b adalah surat-surat yang dibuat
oleh pejabat umum mengenai hal-hal yang masuk bidang tata lasana
umum mengenai hal-hal yang masuk bidang tata laksana (administrasi)
yang menjadi tugas dari pejaba umum tersebut. Tujuan dibuatnya surat
semacam ini untuk pembuktian mengenai suatu hal atau suatu keadaan.
Misalnya, untuk membuktikan adanya perkawinan disebut surat nikah,
untuk membuktikan adanya kematian disebut akta kematian. Hasil audit
tidak dapat digolongkan dalam Pasal 187 huruf b ini karena ia tidak masuk
bidang tata laksana administrasi yang menjadi tugas pejabat umum.
Sedangkan surat lain yang dimaksud huruf d sebenarnya bukan
surat yang dibuat oleh pejabat umum atau dihadapannya, tetapi berupa
surat biasa, yang bukan merupakan akta yang dimaksud huruf a, b dan c.
Surat inid ibuat bukan untuk membuktikan tentang keadaan atau kejadian
tertentu. Dan hasil audit tidak dapat digolongkank dalam surat ini karena
hasil audit bukan dibuat untuk membuktikan keadaan atau kejadian
tertentu apabila diperlukan, tetapi dibuat dengan sengaja untuk
membuktikan adanya tindakan korupsi.
93
Surat yang dimaksud huruf d ini juga hanya mengandung nilai
pembuktian apabila isi surat itu ada hubungannya dengan isi dari alat
bukti yang lain. Artinya surat ini baru mempunyai nilai pembuktian jika
isinya bersesuain dengan isis dari alat bukti lain. Jika dihubungkan
dengan syarat minimal pembuktian untuk menjatuhkan pidana, maka
sesungguhnya ketentuan harus mempunyai hubungan ini, hanya untuk
menegaskan saja. Lagipula surat-sura lain juga tidak bernilai jika
berdiri sendiri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 183 jo Pasal 185
ayat (2) KUHAP.
c. Kedudukan Hasil Audit Sebagai Alat Bukti Surat dengan
Keterangan Ahli.
Sebagaimana diuraikan pada awal pembahasan sub bab ini
bahwa hasil audit adalah hasil kerja seorang auditor yang memiliki
keahlian dalam bidang pekerjaannya.
Auditornya yang melakukan perhitungan/audit akan diminta
keterangan ahli yang diterangkan dalam berita acara pemeriksaan
ahli, maka pada saat persidangan auditor akan tampil di persidangan
dan keterangan tersebut juga berfungsi sebagai alat bukti yaitu
keterangan ahli sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.49
49
Wawancara Dengan Penyidik Tindak Pidana Korupsi Polda Sulawesi Selatan, Bapak Kompol mas’ud, Sos,Kanit 3 Sat III/Tipikor Dit. Reskrimsus Polda/Penyidik, Selasa/7 Februari 2011.
94
Sehingga laporan auditor dan keterangan auditor pada sistem
pembuktian Pasal 184 KUHAP sudah merupakan 2 alat bukti,
sehingga penyidik cukup mencari keterangan saksi yang mendukung
maka hakim sudah dapat menjatuihkan hukuman kepada seseorang
walaupun terdakwanya tidak mengakui perbuatannya.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.50 Apa isi yang harus diterangkan oleh ahli, serta syarat
apa yang harus dipenuhi agar keterangan ahli mempunyai nilai
tidaklah diatur dalam KUHAP, tetapi dapat dipikirkan bahwa
Berdasarkan Pasal 1 angka 28 KUHAP, secara khususnya ada 2
syarat dari keterangan seorang ahli ialah :
1. Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu
yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya.
2. Bahwa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah
berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
Kekuatan alat bukti keterangan ahli secara khusus adalah
terletak pada 1 syarat tersebut, tetapi secara umum juga terletak
50
Pasal 1 angka 28 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
95
pada syarat-syarat umum pembuktian dari alat-alat bukti lain,
terutama keterangan saksi.51
Syarat umum dari kekuatan alat bukti termasuk keterangan ahli
auditor BPKP adalah :
1. Harus didukung atau bersesuaian dengan fakta-fakta yang didapat dari
bukti lain. Suatu alat bukti hasil audit harus memiliki kesamaan dengan
alat bukti keterangan ahli seorang auditor BPKP. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 183 jo Pasal 185 ayat (2) KUHAP, maka satu-satunya
alat bukti, keterangan ahli tidaklah dapat dipergunakan sebagai dasar
utuk membentuk keyakinan hakim. Kekuatan bukti keterangan ahli
bukanlah sebagai tambahan bukti seperti saksi tidak disumpah
sebagaimana saksi keluarga menurut Pasal 185 ayat 7 KUHAP atau
saksi anak dan saksi yang sakit ingatan (Pasal 171). Mengapa
demikian, karena keterangan ini adalah merupakan alat bukti terdiri
seperti juga alat-alat bukti yang lain yang disebutkan dalam Pasal 184
KUHAP. Nilai kekuatan keterangan ahli mangandung kekuatan bukti
bebas, bebas dalam menilainya, bukan mengandung nilai sempurna
seperti akta otentik bagi para pihak dalam perkara perdata (Pasal 1868
BW).
2. Keterangan ahli seorang auditor BPKP harus di atas dumpah sama
dengan alat bukti keterangan saksi (Pasal 160 ayat 4 jo 179 ayat 2).
51
Adami Zhazawi, Op. Cit., hlm. 63. Karena merupakan syarat, maka apabila ada keterangan seorang ahli yang tidak memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat, maka keterangan ahli itu tidaklah berharga dan harus diabaikan.
96
Keterangan ahli yang diberikan di muka sidang tetap wajib disumpah,
walaupun seorang ahli telah disumpah ketika ahli akan memberikan
keterangan di tingkat penyidikan berdasarkan Pasal 120 ayat (2)
KUHAP. Hal ini wajar karena menurut Pasla 185 keterangan ahli ialah
apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Oleh karena itu,
sumpah di tingkat penyidikan adalah ditujukan hanya untuk
melatakkan kebenaran keterangan ahli yang diberikan di tingkat
penyidikan saja.
C.Faktor kendala Dalam Pelaksanaan Fungsi dan Peranan Audit
Investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) Perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan Dalam
Pengungkapan Kerugian Negara di Wilayah Hukum Kepolisian
Daerah (POLDA) Sulawesi Selatan.
Berkaitan dengan pelaksanaan permintaan audit investigative
yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan,
terdapat beberapa kendala yang menghambat atau mempengaruhi
penyelesaian suatu audit penghitungan kerugian Negara atau audit
investigative adanya indikasi tindak pidana korupsi antara lain :
1. Faktor Eksternal
1. Penanganan permintaan audit investigatif yang dilakukan oleh
BPKP terhadap suatu tindak pidana korupsi apabila permintaan
melalui permohonan dari kepolisian maupun dari kejaksaan,
kendalanya adalah lamanya proses penyelidikan oleh kedua
97
institusi tersebut, yaitu kepolisian dan kejaksaan, kemudian
setiap kali hasil pemeriksaan suatu tindak pidana korupsi terlalu
lama baru diserahkan kepada BPKP untuk mengaudit dan
hasilnya juga tidak langsung diserahkan kepada institusi
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan/dan atau Kejaksaan Negeri
Sulawesi Selatan dan Kapolda Sulawesi Selatan/dan atau
Kapolres Sulawesi Selatan, namun hasil audit investigative
tersebut BPKP pusat yang membuat lambatnya penanganan
terhadap suatu perkara tindak pidana korupsi tersebut, yang
mestinya dari hasil audit investigative BPKP Perwakilan Provinsi
Sulawesi Selatan langsung diserahkan kepada Kapolda
Sulawesi Selatan/ atau Polres Sulawesi Selatan dan Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan/atau Kejaksaan Negeri Sulawesi
Selatan.
2. Apabila BPKP sebelum menerima berkas atau bikti-bukti
melalui permintaan audit investigasi terhadap dugaan suatu
perkara tindak pidana korupsi yang biasanya ditangani institusi
Kejaksaan Tinggi maupun Polda harus terlebih dahulu melalui
gelar perkara, setelah itu baru diserahkan kepada BPKP untuk
menindaklanjuti dalam hal audit investigative terhadap dugaan
suatu perkara tindak pidana korupsi setelah memenuhi syarat
untuk dilakukan audit investigative oleh BPKP Perwakilan
Provinsi Sulawesi Selatan, kemudian hasil audit BPKP tersebut
98
diserahkan kepada Polda Sulawesi Selatan atau Kejaksaan
Tinggi Sulawesi Selatan dan atau Kejaksaan Negeri Sulawesi
Selatan.
3. Ada juga kendala yang sering ditemukan dilapangan oleh BPKP
adalah mengenai kesiapan data-data atau bukti audit yang
merupakan dasar audit investigative oleh BPKP untuk
menghitung kerugian keuangan Negara yang disiapkan oleh
kedua institusi, yaitu Polda maupun Kejaksaan Tinggi, termasuk
penentuan tersangka saat proses penyelidikan oleh Polda dan
Kejaksaan Tinggi, ada juga saat dilakukan audit investigative
oleh BPKP terhadap tersangka biasanya tersangka berbelit-
belit saat memberikan keterangan dihadapan BPKP, kadang-
kadang juga tersangka banyak alasan yang dibuat seperti,
alasan sakit yang membuat sehingga sering terhambatnya
proses pembuatan laporan penghitungan kerugian keungan
Negara oleh BPKP.
2. Faktor Internal
1. Jumlah Team auditor yang terbatas pendidikan dan pelatihan
audit investigative yang belum memadai, sehingga BPKP
hingga saat ini sedang giat-giatnya melakukan pelatihan di
bidang audit investigative, intinya bahwa pada saat ini proses
pelatihan mengenai ketrampilan dan keahlian dalam hal audit
investigative di berbagai lembaga BPKP masih minim.
99
2. Biaya audit bagi auditor investigative sama dengan
lumpsum audit secara keseluruhan sehingga menunggu
untuk diajukannya biaya audit yang harus dipenuhi.
Berdasarkan beberapa hal yang menjadi kendala baik
secara eksternal maupun internal sebagaimana diuraikan
diatas, khususnya bagi lembaga BPKP dalam melaksanakan
tugasnya fungsinya sebagai lembaga auditor dalam hal
permintaan audit investigative oleh institusi Kepolisian maupun
Kejaksaan untuk mengitung kerugian keuangan Negara adalah
terdapat indikasi yang sangat potensial dan merupakan kendala
dalam memfungsikan peranan BPKP saat ini sangat minimnya
tindak lanjut atas temuan BPKP, hal inilah menjadi kendala
selama ini yang dihadapi oleh BPKP, sehingga sebagian
masyarakat merasakan optomalisasi peran BPKP kurang
maksimal. Minimnya tindak lanjut atas temuan hasil audit
investigative oleh BPKP ini karena sering kali terjadi hasil
temuan BPKP dikaji oleh institusi terkait yaitu Kepolisian dan
Institusi Kejaksaan, dan sering kali oleh hasil temuan tersebut
hanya diartikan sebagai tugas operasional lembaga BPKP
sehari-hari, sehingga hasil audit investigative tersebut kurang
diperhitungkan pertanggungjawabannya, selain itu juga
ditemukan alasan bahwa status BPKP yang hanya memiliki
payung hukum setingkat inpres sehingga kurang memberikan
100
pengaruh hasil temuan yang dilakukan oleh BPKP tersebut,
yang seharusnya BPKP dapat dipayungi dengan legitimasi
hukum yang lebih kuat seperti Undang-undang.
Selain itu juga, dalam laporan temuan pemeriksaan BPKP
tidak sedikit yang mengakibatkan kerugian Negara seharusnya
merupakan syarat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,
Institusi Kepolisian dan Kejaksaan serta KPK yang memiliki
kekuatan untuk melakukan eksekusi lebih optimal dalam
memanfaatkan hasil temua audit investigative BPKP.
Landasan operasional audit investigasi yang dilakukan oleh
lemabaga BPKP adalah berdasarkan Memorandum Of
Undrstand ( MOU ) yang dilakukan baru-baru ini bersama
Kepolisian Republik Indonesia membuka celah baru bagi
optimalisasi pemanfaatan laporan hasil temuan audit investigasi
BPKP, kerja sama antara BPKP dan POLRI bertujuan untuk
mempercepat dilakukannya proses penegakan hokum terhadap
hasil pemeriksaan BPKP sesuai ketentuan perundang-
undangan, serta untuk mewujudkan terciptanya kepastian
hokum terhadap hasil pemeriksaan BPKP, kesepakatan ini
mengatur bahwa hasil audit investigative BPKP yang diserahkan
kepada POLRI harus disertai dengan pemaparan / penjelasan
mengenai pemeriksaan tersebut.
101
Seperti dijelaskan sebelumnya. Indonesia merupakan Negara
yang paling parah penyakit korupsinya. Penyakit ini tidak hanya
dimonopoli oleh kalangan pemerintah, akan tetapi hal ini juga
dilakukan oleh kalangan swasta dan keberadaan tindak pidana
korupsi di Indonesia ini, khususnya dilembaga pemerintah harus
disoroti sejalan dengan keinginan untuk menciptakan system
pemerintahan yang bersih (good governance). Sebenarnya
Indonesia mempunyai lembaga-lembaga sebagai perangkat
untuk mengawasi keuangan mulai dari tertinggi seperti Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan juga
diberbagai tingkat inspektorat sektoral dan lintas sektoral serta
kantor angkutan publik yang dapat diminta untuk melaksanakan
audit jika dirasakan ada indikasi tindak pidana korupsi. Akan
tetapi yang terjadi sampai saat ini,kasus korupsi baik kecil
maupun besar masih saja sulit untuk diberantas, bahkan
cenderung meningkat. Faktor yang menjadi penyebab utama
kemungkinan adalah disebabkan karena kelemahan audit
dalam lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia.
Ada beberapa kelemahan yang disebabkan, khususnya
dalam audit yang dilakukan pemerintahan Indonesia yaitu,
pertama kurang tersedianya performance indicator yang
memadai sebagai dasar untuk mengukur kinerja pemerintah,
baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah didaerah. Hal
102
tersebut umumnya dialami oleh organisasi publik, karena output
yang dihasilkannya berupa pelayanan publik yang tidak mudah
diukur. Kelemahan yang pertama ini bersifat interen. Kedua
adalah terkait dengan masalah struktur lembaga audit terhadap
pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia. Hal
tersebut disebabkan karena banyaknya lembaga pemeriksa
fungsional yang overlapping satu dengan lainnya yang
menyebabkan tidak efisien dan tidak efektif pelaksanaan audit.
Untuk menciptakan lemabaga audit yang optimal dan efisien,
maka diperlukan reposisi lembaga audit ada, yaitu pemisahan
fungsi dan tugas yang jelas dari lembaga-lembaga pemeriksa
pemerintah tersebut, apakah sebagai internal auditor atau
eksternal auditor. Berdasarkan kedudukannya terhadap
pemerintah, kita mengenal adanya audit internal maupun audit
eksternal, audit eksternal dilaksanakan oleh Inspektorat
Jendral Departemen. Satuan Pengawas Intern (SPI)
dilingkungan lembaga Negara/BUMN/BUMD. Inspektorat
Wilayah Provinsi (Itwilprov) Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota
(Itwilkab/Itwilko) dan BPKP.
103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian bab-bab di muka maka penulis menarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Wewenang Hubungan kerja antara auditor BPKP Perwakilan
Provinsi Sulawesi Selatan adalah hubungan permintaan bantuan
untuk mengetahui ada tidaknya kerugian keuangan Negara atas
suatu kasus yang diselidiki oleh penyidik Polda Sulawesi Selatan.
Dimana peran auditor BPKP sendiri telah banyak membantu dalam
proses pemberantasan korupsi dimana tindak pidana korupsi yang
diduga dilakukan seseorang pelaku haruslah dibuktikan terlebih
dahulu apakah ada kerugian Negara yang pengauditaannya
dilakukan oleh auditor BPKP. Kerjasama antara penyidik Polda
Sulawesi Selatan dengan auditor BPKP mutlak adanya dan hal ini
sudah diatur dalam MOU (memorandum of understanding) antara
Kapolri dan Kepala BPKP pusat yang pelaksanaannya telah
dilaksanakan di tingkat propinsi atau daerah.
2. Hasil audit auditor BPKP dapat digolongkan kepada alat bukti surat
dalam hukum pembuktian berdasarkan KUHAP. Karena surat hasil
audit tersebut adalah surat yang dibuat oleh seorang ahli yang
isinya berupa pendapat mengenai hal tertentu dalam bidang
104
keahliannya itu yang hak tersebut berhubungan dengan suatu
perkara pidana. Surat ini dibuat memenuhi permintaan penyidik
secara resmi, seperti pada permintaan untuk melakukan audit
investigasi. Keberadaan alat bukti surat yang dihasilkan dari hasil
audit tersebut akan diikuti pula dengan alat bukti keterangan saksi.
Berdasarkan hal tersebut maka dari auditor BPKP akan diperoleh 2
alat bukti yaitu, hasil audit sebagai alat bukti surat dan keterangan
ahli auditor BPKP sendiri.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan audit investigasi
BPKP perwakilan Propinsi Sulawesi Selatan adalah:
a. Faktor Eksternal
- Minimnya Bukti Audit yang diperoleh dari Penyidik
- Prosedural pelaporan Hasil Audit yang menyita waktu yang
lama.
b. Faktor Internal
- Kapasitas Sumber Daya Manusia yang masih minim
- Biaya lumpsum audit yang sama dengan biaya keseluruhan
audit.
B. Saran
1. Sebagai tindak lanjut memfungsikan peranan BPKP, terutama dalam
meningkatkan kwalitas pengawasan penegakan pemberantasan
korupsi, khususnya dalam mengkaji fungsi dan peranan BPKP dalam
pengungkapan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Polda
105
Sulawesi Selatan. Hendakya memiliki payung hukum yang mendasari
tugas dan wewenang BPKP dapat lebih diperkuat yaitu tidak hanya
sebatas instruksi presiden, dan Peraturan Pemerintah tetapi tugas
dan wewenang lebih lebih kuat seharusnya diatur dalam suatu
undang-undang sebagai payung hukum yang meligitimasi tugas,
fungsi dan wewenang BPKP.
2. Diharapkan adanya penyempurnaan mengenai Alat Bukti dalam
KItab Undang-Undang Hukum Acara khususnya pada Kualifikasi Alat
Bukti Surat dalam Tindak Pidana Korupsi yang memegang peranan
penting dalam pembuktian untuk menyatakan ada tidaknya
perbuatan korupsi.
3. Faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
BPKP dalam penentuan unsur kerugian keuangan negara terhadap
tindak pidana korupsi secara internal adalah pemerintah perlu
menciptakan suatu aturan hukum seragam dalam hal peningkatan
Kualitas Sumber Daya Manusia dalam bidang Auditor yang
dilaksanakan oleh BPKP agar seluruh proses dalam hal
Pemberantasan Koriups dapat lebih efisien dan adanya sistem
pengawasan dalam seluruh prosesnya.
106