Download - Teori belajar fix
Nama : RUDI RUSBIANTO
NO. Reg. : 7616120910
Prodi : S2 MP – Dikmen
PERSPEKTIF TEORI BELAJAR
Pengertian umum dari belajar adalah proses pencarian pengetahuan
berdasarkan fenomena dan fakta yang dikembangkan berdasarkan metode
untuk mencapai suatu kesimpulan keilmuan. Belajar akan menciptakan
perubahan perilaku yang relatif permanen, karena adanya rangsangan,
pengetahuan dan/atau pengalaman, yang bukan semata-mata akibat
pertumbuhan alamiah pembelajar. Hal ini karena adanya proses yang
diusahakan dengan suatu tujuan yang spesifik dan terukur terhadap suatu
objek yang dipelajari.
Sedangkan pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu
proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan
pengalaman untuk memperoleh, meningkatkan atau membuat perubahan
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia (Illeris, 2000; Ormorod,
1995). Sehingga pembelajaran proses transformasi keilmuan yang dilakukan
dengan perlakuan dan pengkondisian lingkungan belajar dengan melibatkan
instrumen-instrumen pendukung lainnya untuk mencapai tujuan belajar.
Belajar merupakan seluruh rangkaian proses pencarian, penemuan dan
transformasi hingga konfirmasi suatu keilmuan. Metode dan pendekatan yang
unik dalam mentransformasikan keilmuan disebut teori belajar. Teori ini
berbicara bagaimana belajar dilakukan dalam membangun konstruksi
keilmuan, yang didasari pada pendekatan psikologi yang digunakan dalam
proses belajar.
Macam-macam Teori Belajar
Dalam terminologi pendidikan, terdapat tiga kerangka filosofi yang
mendalami hakikat manusia yang mendasari lahirnya teori-teori belajar, yaitu:
teori belajar behaviorisme, kognitivisme dan konstruktivisme.
1. Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme mulai berkembang secara pesat pada tahun 1950-
an, yang dicetus oleh Gage dan Berliner, yang mempelajari tentang perubahan
tingkah laku manusia sebagai produk dari pengalaman yang diterimanya. Teori
ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang mempengaruhi arah
perkembangan teori dan praktik pendidikan dalam konteks proses
pembelajaran yang dikenal dengan aliran behavioristik. Aliran ini
mengedepankan pengukuran perubahan dan terbentuknya perilaku pembelajar
yang tampak sebagai bentuk hasil proses belajar.
Behaviorisme merupakan suatu filsafat psikologi didasarkan pada
proposisi bahwa semua hal yang dilakukan – termasuk organisme bertindak,
berfikir dan perasaan- dapat dan harus dianggap sebagai perilaku.
Behaviorisme memposisikan bahwa semua teori harus memiliki berkorelasi
observasional, namun tidak ada perbedaan filosofis antara proses-proses yang
dapat diamati publik (seperti tindakan) dan proses pribadi yang diamati (seperti
pikiran dan perilaku), (Sudarwan Danim & Khairil : 2011).
Teori behavioristik berawal dari hasil penelitian mengenai hubungan
stimulus-respon, yang dilakukan pertama kali oleh Pavlov dengan percobaan
pada anjing dan eksperimen B.F. Skinner dengan simulasi kotak skinner
terhadap tikus. Dalam perkembangannya konsep behaviorisme
ditransformasikan kedalam proses pendidikan yang notabene subjek dan
objeknya adalah manusia. Behavioristik mendalami perkembangan perilaku
objek yang nyata dan dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh objek tersebut
terhadap rangsangan yang diberikan, sebagai respon dari proses
pembelajaran/ perlakuan. Tanggapan terhadap rangsangan terhadap
rangsangan tersebut, dapat diperkuat dengan penguatan / reinforcement.
Penguatan itu bisa berupa positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang
diinginkan. Penguatan positif dianalogikan sebagai reward dan penguatan
negatif merupakan funishment / hukuman. Keduanya digunakan untuk
mengkonfirmasi tindakan yang harus dilakukan atau tindakan yang harus
dihindari oleh objek. Sehingga teori belajar ini mengutamakan perlakuan dan
pengaruh eksternal pembelajar terhadap keberhasilan proses
pembelajarannya.
Ciri Teori Belajar Behaviorisme
Ciri dari teori ini mengutamakan unsur-unsur yang spesifik, bersifat
mekanistis, peranan lingkungan eksternal yang dominan, mementingkan
pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, penekanan
pada hasil belajar, mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang
diperoleh merupakan tumbuhnya perilaku yang diinginkan.
Dalam konteks pembelajaran, siswa cenderung pasif dan proses
pembelajaran didominasi oleh guru yang memposisikan perannya sebagai
sumber ilmu dan pembelajaran. Peserta didik hanya menggunakan tingkat
kemampuan berfikir yang rendah untuk memahami materi. Behavioristik
memposisikan ilmu sebagai material yang permanen dan statis, sehingga
keilmuan menjadi terisolasi dan kurang aktual karena tidak mengikuti situasi
dan tren yang terus berkembang. Beberapa tokoh teori belajar behavioristik,
antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
1. Teori Belajar Menurut Thorndike
Pengertian belajar menurut Thorndike, adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/ tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau hal tidak konkrit
yaitu sesuatu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behavioristik sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Menurut Slavin (2000), Teori
Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme.
Terdapat tiga hukum belajar yang utama menurut Thorndike yaitu (1)
hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991).
Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat
respon.
2. Teori Belajar Menurut Watson
Johanes B. Watson merupakan behavioris yang mentransformasikan
konsep behariorisme temuan Pavlov yang kemudian diterapkan untuk
menganalisis perilaku manusia. Sehingga teori behavioristik dapat diterima
oleh semua kalangan pada masyarakat akademis terutama dalam konteks
aplikasinya dalam pembelajaran manusia.
Definisi belajar menurut Watson, sebagai proses interaksi antara
stimulus dan respon yang harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur.
Jadi walaupun Watson mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam
diri seseorang selama proses belajar, namun hal itu dianggapnya sebagai hal
yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Sehingga Kajian
behavior-nya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti Fisika
atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu
sejauh mana dapat diamati dan diukur.
3. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti, yaitu
gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul
kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991).
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir
yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain
yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang
baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan permanen. Menurut
Guthrie hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
mengubah tingkah laku seseorang
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi
stimulus respon secara tepat. Pembelajar harus dibimbing melakukan apa
yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan
tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
4. Teori Belajar Menurut Skinner
Hubungan antara stimulus dan respon menurut Skinner, terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan
tingkah laku yang tidak sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh
sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana
itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan
interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan.
Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi
inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh
karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus
memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi
yang mungkin timbul akibat respon tersebut.
Aliran behavioristik menekankan pada terbentuknya perubahan perilaku
yang tampak nyata sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, meposisikan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Posisi ilmu merupakan suatu kemutlakan dan bersifat
stagnan. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement
dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Sehingga keilmuan yang tepat
untuk dipelajari secara behavioristis adalah ilmu-ilmu eksakta dan ilmu
kemiliteran. Respon atau perilaku tertentu yang diharapkan terbentuk
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata, sehingga menjadi
sesuatu yang terinternalisasi dalam diri pembelajar.
Aplikasi teori belajar behaviorisme
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran didasarkan
pada beberapa hal seperti ; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang memandang bahwa pengetahuan adalah
obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) kepada pembelajar.
Fungsi pikiran untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada
melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan tersebut. Pembelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang
sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Dengan kata lain, semua hal
yang dipahami oleh pengajar maka itulah yang harus dipahami oleh muridnya.
Metode behavioristik sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang
membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
seperti: Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan
sebagainya. Sebagai contoh penguasaan kemampuan teknisi, ilmu
kejuruan/vokasi, teknik industri dan rekayasa, penguasaan ilmu terapan,
penguasaan ilmu-ilmu eksakta, ilmu kemiliteran, kedokteran, farmasi, teknik-
teknik dalam ilmu olahraga dan sebagainya.
Dalam paradigma penyelenggaraan pendidikan filosofi behaviorisme
sudah mulai tergeser oleh perkembangan filosofi lainnya, seperti kognitivisme
dan konstruktivisme. Namun dalam konteks pendidikan, teori behavioristik
masih memungkinkan untuk diimplementasikan dalam tatanan kurikulum mikro.
Teori ini bisa digunakan dalam bentuk penyelenggaraan pembelajaran di kelas,
karena bersifat teknis dan spesifik dengan detail yang terukur mengenai
indikator-indikator ketercapaian pembelajaran yang akan dibentuk sebagai
bentuk tujuan pembelajaran. Meskipun demikian prinsip-prinsip behavioristik
dalam system pendidikan nasional masih mempengaruhi implementasi
kurikulum dalam tatanan makro. Hal ini dapat dilihat dari salahsatu contoh
masih diberlakukannya ujian nasional sebagai instrumen pengukuran
keberhasilan pendidikan secara nasional, sistem evaluasi hasil belajar masih
dalam bentuk penilaian akhir. Dalam tatanan teknis pembelajaran di kelas
dominasi guru sebagai sumber ilmu dan pusat belajar, masih terus
berlangsung.
DESKRIPSI TENTANG TEORI KOGNITIF
Pencetus aliran kognitivisme adalah Ulric Neisser (1967), dalam sebuah
bukunya yang berjudul “cognitive psychology”. Selanjutnya diikuti oleh peneliti
yang mengembangkan teori ini seperti Ausubel, Bruner, dan Gagne. Secara
etimologi istilah “Cognitif” berasal dari bahasa Inggris kata “Cognition” yang
padanannya dengan “Knowing”, berarti mengetahui. Dalam arti luas, cognition
(kognisi) ialah ; perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan (Neissser,
1976).
Psikologi kognitif adalah cabang psikologi yang mempelajari proses
mental termasuk bagaimana orang berfikir, merasakan, mengingat dan belajar.
Ilmu psikologi ini berhubungan dengan disiplin ilmu lain termasuk ilmu syaraf,
filsafat dan linguistik, (Danim & Kairil : 2011). Kognitivisme memiliki perspektif
bahwa para peserta didik memproses informasi dalam pembelajaran melalui
upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan
antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Sehingga
kognitivisme menekankan pada bagaimana informasi diproses.
a. Teori Jean Peaget
Piaget menjabarkan teori perkembangan kognitif manusia kedalam
serangkaian tahapan, yaitu; 1) Masa Infancy; 2) Pra Sekolah; 3) Anak-anak; 4)
Remaja. Setiap tahapan ini mempunyai ciri struktur kognitif umum yang
mempengaruhi semua pemikiran manusia. Keempat tahapan perkembangan
tersebut digambarkan sebagai berikut ;
a. Tahap Sensorimotor (usia 0 - 2 tahun)
Tahapan ini bayi mengenali dunianya melalui penginderaan dan
gerakan tubuhnya, yang dipahami sebagai objek permanen. Bayi
berkembang dengan cara merespon kejadian dengan gerak refleks atau
pola kesiapan. Mereka belajar melihat diri mereka sebagai bagian dari
objek yang ada di lingkungan. Tahapan ini disebut tahap sensorimotor
yang menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spasial
penting, yang terdiri dari enam sub-tahapan, yaitu ;
Skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu yang
berhubungan terutama dengan refleks.
Fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat
bulan dan berhubungan dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
Fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai
sembilan bulan, terutama berhubungan dengan koordinasi antara
penglihatan dan pemaknaan.
Koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan
sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk
melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya
berbeda kalau dilihat dari sudut pandangnya berbeda (permanensi
objek).
Fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai
delapan belas bulan dan berhubungan dengan penemuan cara-cara
baru untuk mencapai tujuan.
Awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan
awal kreativitas bayi.
b. Tahapan Pra Operasional. (2 - 7 tahun)
Tahapan kedua ini mengamati urutan peran, yang setelah akhir
usia dua tahun, secara kualitatif jenis baru dari fungsi psikologis muncul.
Pada tahap ini anak menunjukkan permulaan dari kapasitas logikanya
sebagai orang-orang dewasa, dengan memhami aturan dasar dari
logika. Pada tahap ini proses berfikir, proses operasi, yang pada
umumnya melibatkan objek yang terlihat konkrit daripada hal-hal yang
bersifat abstrak, seiring dengan berkurangnya Egosentrisme pada anak.
Kemampuan mereka untuk menggunakan peran dari orang lain dan
melihat dunia, dan mereka sendiri, dari perspektif orang-orang lain
sudah berkembang dengan pesat. Mereka mengenal bahwa orang
melihat sesuatu dengan cara yang berbeda, karena perbedaan situasi
dan perbedaan nilai. Mereka mulai dapat fokus pada lebih dari satu
dimensi pada beberapa waktu. Pada tahap ini juga sudah menunjukkan
pemahaman akan hukum kekekalan (konservasi).
c. Tahapan Operasional Konkret. (7-12 tahun)
Tingkat operasional kongkret merupakan tahapan dari
kedewasaan kognitif. Operational konkret biasanya dimulai pada masa
pubertas, pada usia 11 atau 12 tahun, sesuai dengan masa pubertas
yang berbeda bahkan mungkin tidak pernah mengalaminya. Tahap ini
meliputi kemampuan klasifikasi, berpikir logis, dan kemampuan
hipotesis. Ada hal-hal yang memberi remaja kapasitas lebih besar untuk
memanipulasi dan menghargai lingkungan luar dan dunia imajinasi yang
mencakup pemikiran hipotetis, penyelesaian masalah yang sistematis,
kemampuan untuk menggunakan simbol dan pemikiran deduksi.
Remaja dapat memproyeksikan dirinya pada situasi yang melebihi
pengalaman mereka saat itu, sehingga mereka memiliki fantasi yang
luas.
d. Tahapan Operasional Formal. (12 tahun ke atas)
Tahap ini mulai dialami pada usia pubertas dan terus berlanjut
sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan
untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik
kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang
dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia mulai
melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada
gradasi abu-abu di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, terjadi berbagai
perubahan fisik lainnya, menandai masuknya ke dunia dewasa secara
fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan
perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai
perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai
keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan
penalaran dari tahap operasional konkrit.
Dalam usahanya menjelaskan mekanisme perkembangan kognitif,
Piaget menyampaikan fungsi kecerdasan dari tiga perspektif. Ketiganya ada-
lah: (1) proses mendasar yang terjadi dalam interaksi dengan lingkungan
(asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi), (2) cara bagaimana pengetahuan
disusun (pengalaman fisik dan logis-matematis), dan (3) perbedaan kualitatif
dalam berfikir pada berbagai tahap perkembangan (skema tindakan) mulai dari
sensomotorik, pra-operasional, operasional konkrit dan operasional formal.
Asimilasi ialah pemaduan data atau informasi baru dengan struktur
kognitif yang ada, akomodasi ialah penyesuaian struktur terhadap situasi baru,
dan ekuilibrasi ialah penyesuaian kembali yang terus-menerus dilakukan
antara asimilasi dan akomodasi (Gredler, 1991:311). Proses asimilasi terjadi
apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi
tersebut akan dimodifikasi hingga sesuai dengan struktur kognitif yang
dimilikinya. selanjutnya, apabila struktur kognitif yang dimilikinya yang harus
disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka proses ini disebut
akomodasi. sehingga asimilasi dan akomodasi akan terus terjadi apabila terjadi
kesenjangan kognitif antara hal yang telah diketahui dengan apa yang baru di-
alaminya sekarang, yang membentuk ekuilibrasi.
Kelemahan-kelemahan dari teori Piaget, diantaranya bahwa belajar
individual tidak dapat dilaksanakan karena untuk belajar mandiri diperlukan
kemampuan kognitif yang lengkap dan kompleks dan tidak bisa diuraikan
dalam suatu jenjang. Hasil-hasil penelitian justru menunjukkan bahwa ke-
terampilan-keterampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai oleh manusia
meski belum mencapai usia sebagaimana teori Piaget. Sebaliknya, banyak
orang yang tidak mencapai tahap operasional formal tanpa adanya manipulasi
hal-hal yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pem-
berian model dan sebagainya. Keterampilan ternyata lebih baik dipelajari
melalui urutan logis kompleksitas ilmu, bukan berdasarkan tahapan umur.
b. Teori Kognitif Jerome S. Bruner
Jerome S. Bruner seorang pakar psikologi perkembangan dan pakar
psikologi belajar kognitif. Penelitiannya dalam bidang psikologi antara lain
persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia,
ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi
(Dahar, 1988).
Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan pada tingkah
laku seseorang. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif
berpengaruh pada perkembangan bahasa seseorang. Maka sebaliknya Bruner
menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap
perkembangan kognisi seseorang. Menurut Bruner, perkembangan kognisi se-
seorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara dia melihat
lingkungannya.
Tahap pertama adalah tahap en-aktif, dimana individu melakukan
aktivitas-aktivitas untuk memahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap
ikonik dimana manusia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-
gambar atau visualisasi verbal. Tahap ketiga tahap simbolik, dimana manusia
mempunyai gagasan secara abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan
logika; komunikasi dilakukan dengan bantuan sistem simbol. Makin dewasa
maka semakin dominan pula sistem simbol seseorang.
Untuk mempelajari sesuatu, menurut Bruner tidak perlu menunggu
sampai anak mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan
yang diberikan sudah diatur dengan baik, maka individu dapat belajar
meskipun umurnya belum memadai. Dengan kata lain, perkembangan kognitif
seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan dipela-
jari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan
sistem ini dalam dunia pendidikan disebut “kurikulum spiral” di mana satu
obyek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan
materi yang sama tetapi tingkat kesukaran yang bertingkat, dan materinya
disesuaikan pula dengan tingkat perkembangan kognisi seseorang.
Prinsip-prinsip belajar Bruner sebagai berikut ; 1) semakin tinggi tingkat
perkembangan intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu
terhadap stimulus yang diberikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada
perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses
informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah secara
mental. 2) Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk
mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol. Untuk mengembangkan
kognisi seseorang diperlukan interaksi yang sistematik antara pengajar dan
pembelajar. Dalam Perkembangan kognisi seseorang, semakin tinggi
tingkatannya semakin meningkat pula kemampuan untuk memikirkan beberapa
alternatif secara serentak dan kemampuan untuk memberikan perhatian
terhadap beberapa stimuli dan situasi sekaligus.
Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah,
bahkan mungkin dihindari karena dianggap tidak perlu. Sebaliknya di sekolah
banyak dikembangkan cara berfikir analitis, padahal berfikir intuitif sangat
penting untuk ahli matematika, biologi, fisika, dan sebagainya. Selanjutnya
dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai konsep-konsep, prinsip-prinsip
dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang mulai belajar. Cara
terbaik untuk belajar adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui
proses intuitif hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery
learning).
c. Teori Belajar Bermakna David Ausubel
Ausubel (1968) seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya
yang berpijak pada psikologi kognitif, dan dalam teorinya memberi penekanan
kepada belajar bermakna, serta retensi dan variabel-variabel yang
berhubungan dalam belajar. Belajar menurut Ausubel dapat diklasifikasikan ke
dalam dua dimensi: (1) berhubungan dengan cara informasi atau materi
pelajaran disajikan pada siswa, baik melalui ekspository maupun inquiry, (2)
menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan data atau informasi itu
pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski, 1981).
Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya
adalah terlalu menekankan belajar asosiatif atau menghafal. Belajar asosiatif,
materi yang dipelajari perlu dihafal secara arbitrari, padahal belajar seharusnya
adalah apa yang disebut dengan asimilasi bermakna. Asimilasi bermakna,
materi yang dipelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan,
yaitu: a) Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih serta diatur oleh
pengajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan
pembelajar. b) Suatu situasi belajar yang bermakna. Faktor motivasional
memegang peranan yang penting, sebab pembelajar tidak akan mengasimilasi
materi baru apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan
bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh pengajar sehingga
materi tidak dipelajari secara hafalan.
Karakteristik teori ini adalah advance organizers yang apabila dipakai
dapat meningkatkan kemampuan pembelajar untuk mempelajari informasi
baru. Advance organizer ini merupakan kerangka berbentuk abstraksi atau
ringkasan dari konsep dasar apa yang harus dipelajari serta hubungannya
dengan apa yang telah ada dalam struktur kognisi pembelajar.
Aplikasi Prinsip Kognitivisme Dalam Pembelajaran
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru dapat menerapkan prinsip
belajar bermakna melalui beberapa langkah. Pertama, mengukur kesiapan
peserta didik (minat, kemampuan, struktur kognisi) melalui tes awal, interview,
review, pertanyaan dan sebagainya. Kedua, memilih materi, mengaturnya dan
menyajikan konsep-konsep inti, dimulai dari contoh konkrit hingga contoh
kontroversial. Ketiga, mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus diketahui dari
materi baru dan menyajikan suatu pandangan menyeluruh tentang apa yang
harus dipelajari. Keempat, memakai advance organizers; agar pembelajar
dapat memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan
memberikan fokus pada hubungan yang ada.
Terdapat dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam
perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi
kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi didefinisikan
sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang ketika
mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam
suatu unit konseptual. Proses ingatan merupakan pengelolaan informasi di
dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses penyandian informasi (coding),
diikuti penyimpanan informasi (strorage), dan kemudian mengungkapkan
kembali informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan (retrieval).
Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori
psikologi kognitif adalah “Information Processing Model” yang mendes-
kripsikan: proses penyandian informasi, proses penyimpanan informasi, dan
proses pengungkapan kembali suatu informasi atau pengetahuan dari konsepsi
pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar
riset atau pembahasan mengenai psikologi pendidikan atau pembelajaran.
Jadi, dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transforma-
si-transformasi informasi dimulai dari input (masukan) berupa stimulus hingga
menjadi output (keluaran) berupa respon (Slavin, 1994) dalam (Abdullah Helmy
:2011).
Proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1)
Acquisition (tahap perolehan atau penerimaan informasi), (2) Storage (tahap
penyimpangan informasi), dan (3) Retrieval (tahap menyampaikan kembali
informasi). Dan untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar dan
pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan
memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika
tertentu, (b) penyusunan materi pelajaran harus dari yang sederhana ke yang
rumit, (c) belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya
menghafal tanpa pengertian penyajian, dan (d) adanya perbedaan individual
pada pembelajar harus diperhatikan.
Memori yang biasanya diartikan ingatan, yakni merupakan fungsi mental
yang menangkap informasi dari stimulus, dan merupakan storage system,
yakni sistem penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat
dalam otak manusia. Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur
sistem akal yang terdiri dari tiga sub-sistem, antara lain: (1) Sensory register,
(2) Short term memory, dan (3) Long term memory (Bruno, 1987). Dengan
adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pem-
belajar diharapkan agar dapat memusatkan perhatian. Karena banyak faktor
yang dapat mempengaruhi perhatian pembelajar.
Lindsay dan Norman menyampaikan tiga aturan umum untuk
memperbaiki memory (ingatan). Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal
ini seringkali tidak mudah untuk dipenuhi. Kedua, materi yang harus dihafal
atau diingat seharusnya berhubungan dengan hal-hal : menguraikan dengan
kata-kata sendiri dan menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat
membantu. Ketiga, menghafal atau mengingat memerlukan organisasi materi.
Materi dapat dibagi dalam kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian
diletakkan kembali bersama-sama dalam pola ingatan yang berarti (Dahar,
1988) dalam (abdullah Helmy : 2011).
Kognitivisme menjadi salah satu domain psikologis yang meliputi setiap
perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan.
Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi
(kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin,
1972). Dalam terminologi kognitivisme terdapat pandangan fungsionalisme
kausal, yaitu pandangan bahwa otak merupakan sistem fisik murni yang
bekerja (meskipun kompleks) dalam batas-batas hukum alam dan kekuatan
sebab-akibat, (Danim & Khairil : 2011).
Dalam teori kognitivisme terjadinya perubahan persepsi dan pe-
mahaman, tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga
menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian situasi saling berhubungan
dengan konteks seluruh situasi tersebut. Membagi keseluruhan situasi menjadi
komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah akan
menghilangkan pemaknaan esensi terhadap sesuatu.
Peranan Kognitivisme Terhadap Pendidikan
Kontribusi psikologi kognitivisme terhadap belajar sebagai proses utama
pendidikan, salahsatunya dapat dilihat dari teori “cognitive of theory learning”,
yang merupakan teori belajar yang berpandangan bahwa belajar adalah
merupakan proses pemusatan pikiran --kegiatan mental--, (Slavin : 1994). Teori
belajar kognitivis beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki
kemampuan potensial, tingkah laku yang kompleks, maka belajar
mementingkan proses terjadinya belajar daripada hasil belajar yang harus
dicapai. Sehingga, prioritas utama dalam belajar adalah pada proses bagai-
mana suatu ilmu yang baru bisa berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya
telah dikuasai untuk menciptakan pemahaman baru dan pengkondisian
keilmuan tersebut untuk menerima keilmuan yang terbaru, yang berlangsung
secara terus menerus.
Psikologi kognitif berusaha menggambarkan cara kerja pikiran.
Hubungan psikologi kognitif untuk kepentingan pembelajaran dikelas adalah
seperti hubungan fisika untuk keperluan pembangunan bidang teknik, semisal
jembatan, (Daniel Willingham : 2009) dalam (Danim & Khairil : 2011).
Pengetahuan tentang psikologi kognitif yang diperoleh tidak akan memberitahu
guru cara mengajar secara praksis on the job yang terlihat kongkret, namun
psikologi kognitif dapat menjelaskan prinsip-prinsip jalan pemikiran siswa
dalam latihan menyusun keilmuannya. Maka dari itu guru harus mengetahui
kunci aktifitas di kelas, seperti kecenderungan belajar siswa, pengetahuan
faktualnya mengenai kemampuan berfikirnya, dan tidak harus melakukan
metode yang sama. Selain itu guru harus mampu memahami dimensi
emosional, elemen motivasi dan elemen sosial peserta didik.
3. Teori Belajar Konstruktivisme
Pengertian Teori belajar konstruktivisme menurut Anita Woolfolk (Benny
A. Pribadi, 2009:156) mengemukakan pendekatan konstruktivistik sebagai
"...pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa dalam membangun
pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang
dialami". Konstruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky, yang
beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil konstruksi atau
bentukan kognitif melalui kegiatan seseorang yang telah dilakukan sehingga
membentuk pengalaman. Pendapat ini sesuai dengan pandangan Von
Glasrfield Suparno (Ratno Harsono, 2007: 23) yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsep seseorang sewaktu ia
berinteraksi dengan lingkungannya.
Konstruktivisme merupakan landasan filosofi pembelajaran konstektual,
yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas, mengalir dan
berlangsung lama dan terus menerus. Teori ini berpendapat bahwa
pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat, tetapi manusia harus mengkontruksi pengetahuan
tersebut dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Teori konstruktivisme mengantarkan siswa dapat berfikir untuk
menyelesaikan masalah, mencari idea dan membuat keputusan. Siswa akan
lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam mebina pengetahuan
baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengapliklasikannya dalam
semua situasi. Selian itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka
akan ingat lebih lama semua konsep.
Prinsip Teori belajar konstruktivisme berpendapat pengetahuan itu
pasti ada dalam diri seseorang yang sedang belajar. Segingga siswa harus
berusaha mengartikan apa yang telah dipelajari atau diajarkan dengan
menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalamannya dengan difaslitasi
gurunya. Sehingga semua yang diajarkan tidak harus dipahami semuanya oleh
siswa, siswa boleh berbeda dengan guru, maka siswa berhak menentukan
pengetahuan berdasarkan perspektifnya, melalui indera yang dimiliki, atau dari
satu pengalaman pada pengalaman selanjutnya. Sehingga hal terpenting
bukan jawaban yang benar, tetapi berpikir yang tepat untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapi.
Prinsip-prinsip pendekatan konstruktivisme menurut Jacqueline Grennon
Brooks dan Martin G. Brooks (Dadang Supardan, 2007:5) sebagai berikut: (1)
pengetahuan dibangun siswa sendiri, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan
dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk
menalar, (3) murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu
terjadi perubahan konsep ilmiah, (4) guru sekedar membantu menyediakan
saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar, (5) menghadapi
masalah yang relevan dengan siswa, (6) struktur pembelajaran seputar konsep
utama pentingnya sebuah pertanyaan, (7) mencari dan menilai pendapat
siswa, (8) menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Hakikat pembelajaran konstruktivisme yakni pembentukan pengetahuan
yang memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam
interaksinya dengan lingkungan. Subyek menyusun pengertian realitasnya
dengan bantuan struktur kognitif berdasarkan realita yang disusun melalui
struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif
senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan
organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus
menerus melalui proses rekonstruksi. Maka hal ini akan menuntut Siswa harus
aktif mengembangkan pengetahuan, bukan pengajar atau orang lain. Siswa
yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Kreativitas dan
keaktifan siswa akan membantu siswa untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitifnya. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu
merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di
laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan
dan dijadikan ide serta pengembangan konsep baru.
Ciri-ciri Teori belajar konstruktivisme
Ciri-ciri pembelajaran berdasarkan teori konstruktivistik Hamzah (Zakaria
Effandi, 2007: 101) mengungkapkan sebagai berikut: (1) tahap persepsi ;
mengungkap konsepsi awal dan membangkitkan motivasi belajar pelajar, (2)
tahap eksplorasi, (3) tahap perbincangan dan penjelasan konsep, (4) tahap
pengembangan dan aplikasi konsep.
Karakteristik pembelajaran konstruktivisme sebagai berikut: (1)
membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta
berdasarkan ketetapan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan ide-idenya secara lebih luas, (2) menempatkan siswa
sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan diantara ide-ide
atau gagasannya, memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat
kesimpulan-kesimpulan, (3) guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan
penting bahwa dunia adalah kompleks, dimana terdapat bermacam-macam
pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi, (4)
guru mengakui proses belajar yang dilakukan siswa.
Tujuan Pembelajaran Pendekatan Konstruktivisme
Tujuan dari pembelajaran pendekatan konstruktivisme adalah
menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kepekaan / ketajaman dalam
kemampuan berfikirnya, kemandirian; kemampuan menilai proses dan hasil
berfikir sendiri, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan,
mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus
menerus untuk menemukan diri sendiri.
Tujuan pengajaran yang dilaksanakan menitik beratkan pada perilaku
siswa atau perbuatan sebagai suatu jenis output yang terdapat pada siswa dan
teramati serta menunjukkan bahwa siswa tersebut telah melaksanakan
kegiatan belajar. Pengajar mengemban tugas utamanya adalah mendidik dan
membimbing siswa-siswa untuk belajar serta mengembangkan dirinya. Guru
diharapkan dapat membantu siswa dalam memberi pengalaman-pengalaman
lain untuk membentuk kehidupan sebagai individu yang dapat hidup mandiri
dalam masyarakat modern.
Ciri Pendidik yang menggunakan pendekatan konstruktivisme
Ciri-ciri pengajar yang mengimplementasikan konstruktivisme menurut Books
sebagai berikut ;
1) Guru merupakan salah satu sumber dari berbagai macam sumber belajar,
2) Guru membawa siswa masuk ke dalam pengalaman-pengalaman yang
menantang konsepsi pengetahuan yang sudah ada dalam diri mereka,
3) Guru membiarkan siswa berfikir setelah mereka disuguhi beragam
pertanyaan-pertanyaan,
4) Guru menggunakan teknik bertanya untuk memancing siswa berdiskusi
satu sama lain,
5) Guru menggunakan istilah-istilah kognitif seperti: klasifikasikan, analisis,
dan ciptakanlah ketika merancang tugas-tugas,
6) Guru membiarkan siswa bekerja secara otonom dan bersifat inisiatif
sendiri,
7) Guru menggunakan data mentah dan sumber primer bersama-sama
dengan bahan-bahan pelajaran yang dimanipulasi,
8) Guru tidak memisahkan antara tahap mengetahui proses menemukan,
9) Guru mengusahakan agar siswa dapat mengkomunikasikan pemahaman
mereka karena dengan begitu mereka benar-benar sudah belajar.
Ciri-ciri siswa dengan pendekatan konstruktivisme
Ciri-ciri siswa yang dibangun dengan pendekatan belajar konstruktivisme
sebagai berikut ;
1. Siswa membangun pengetahuan dalam pikirannya sendiri. Guru
membantu proses pembangunan pengetahuan agar siswa dapat
memahami informasi dengan cepat. Guru menyadarkan kepada siswa
bahwa mereka dapat membangun makna.
2. Siswa berupaya memperoleh pemahaman yang tinggi dan guru
membimbingnya. Misi utamanya adalah membantu siswa untuk
membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi,
pembentukan kembali dan melakukan yang baru.
Desain Pembelajaran Konstruktivistik
Desain sistem pembelajaran yang menggunakan pendekatan
konstruktivistik Gagnon dan Collay (Benny A.Pribadi, 2009: 163), terdiri atas
beberapa komponen penting dalam pendekatan aliran konstruktivistik yaitu ;
A. Situasi, Hal ini menggambarkan secara komperehensif tentang maksud
atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran. Komponen situasi
juga tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh siswa agar
mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilaluinya.
B. Pengelompokan, komponen pengelompokan dalam aktivitas
pembelajaran berbasis pendekatan konstruktivis memberi kesempatan
kepada siswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat.
Pengelompokan sangat bergantung pada siatuasi atau pengalaman
belajar yang ingin dilalui oleh siswa. Pengelompokan dapat dilakukan
secara acak (random) atau didasarkan pada kriteria tertentu (purposive).
C. Pengaitan, komponen pengaitan dilakukan untuk menghubungkan
pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa dengan pengetahuan baru.
Bentuk-bentuk kegiatan pengaitan sangat bervariasi, misalnya melalui
pemecahan masalah atau melalui diskusi topik-topik yang spesifik.
D. Pertanyaan, pengajuan pertanyaan merupakan hal penting dalam
aktivitas pembelajaran. Pertanyaan akan memunculkan gagasan asli
yang merupakan inti dari pendekatan pembelajaran konstruktivistik.
Munculnya gagasa-gagasan yang bersifat orisinal, siswa dapat
membangun pengetahuan di dalam dirinya.
E. Eksibisi, komponen eksibisi dalam pembelajaran yang menggunakan
pendekatan konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk
dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti suatu pengalaman
belajar. Pengetahuan seperti apa yang telah dibangun oleh siswa
setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan konstruktivistik? Pertanyaan seperti ini perlu dijawab untuk
mengetahui hasil belajar siswa.
F. Refleksi, komponen ini pada dasarnya memberi kesempatan kepada
guru dan siswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang
telah mereka tempuh baik personal maupun kolektif. Refleksi juga
memberi ksempatan kepada siswa untuk berpikir tentang aplikasi dari
pengetahuan yang telah mereka miliki.
DAFTAR PUSTAKA
http://belajarpsikologi.com/macam-macam-teori-belajar/
http://jlt-polinema.org/?tag=teori-belajar-kognitif
http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme/
https://www.msu.edu/~purcelll/behaviorism%20theory.htm
http://www.scumdoctor.com/psychology/behaviorism/Theory-And-Definition-Of-
Behaviorism.html
http://www.funderstanding.com/content/behaviorism
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
http://www.kajianteori.com/2013/02/pengertian-teori-pembelajaran-
konstruktivisme.html
http://rudy-unesa.blogspot.com/2012/11/teori-belajar-kognitivisme.html
http://downloadgratizzz.blogspot.com/2013/05/tahapan-perkembangan-kognitif-
menurut-j.html