Download - TBC Pada Kehamilan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Indonesia
merupakan negara dengan prevalensi TB ketiga tertinggi di dunia setelah Cina dan India
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Indonesia masih
belum mempunyai data prevalensi TB pada perempuan hamil. Di poliklinik Tuberkulosis
Persatuan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) tahun 2006 dan 2007 terdapat 0,2%
perempuan hamil yang mengidap TB. Angka tersebut sebanding dengan prevalensi TB pada
masyarakat umum. Untuk itu diasumsikan bahwa penyebaran TB pada perempuan hamil
minimal tidak berbeda dengan sebaran di kalangan masyarakat.1,2,3,4
Pengaruh TB paru pada wanita yang sedang hamil bila diobati dengan baik tidak
berbeda dengan wanita tidak hamil. Pada perempuan hamil, TB memberi pengaruh pada
kehamilan dan janin terkait dengan keterlambatan pengobatan. Pada janin jarang dijumpai
TB kongenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena dirawat atau disusui oleh
ibunya.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberkulosis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian
bawah karena sebagian besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru melalui
airbone infection.6
2.2 Etiologi dan Mikrobiologi Tuberkulosis
Penyebab dari penyakit tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, yang
mempunyai karakteristik mikrobiologi yaitu bersifat aerobic, non-spore-forming, nonmotile
bacillus, merupakan salah satu dari lima anggota Mycobacterium tuberculosis complex, di
mana yang lain adalah: M. bovis, M. ulcerans, M. Africanum, and M. microti, akan tetapi M.
tuberculosis adalah yang bersifat pathogen pada manusia. Golongan mycobacterium lain
yang juga dapat menginfeksi manusia adalah Mycobacterium leprae, M. avium, M.
Intracellulare, and M. scrofulaceum.7
2.3 Patofisiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis dapat menyerang hampir semua organ tubuh, tetapi yang biasa diserang
adalah paru (lebih kurang 80%). Pada pasien pengidap HIV, pola dari infeksi TBC ini agak
berbeda, yang mana cenderung terjadi TBC extrapulmonal. Hampir semua infeksi TBC
disebabkan oleh penularan melalui inhalasi dari partikel-partikel yang infeksius yang
dikeluarkan oleh pasien pengidap TBC lewat batuk, bersin, berbicara, atau menggunakan
tissue yang mengandung kuman TBC. Penderita TB yang menular adalah penderita dengan
basil TB di dalam dahaknya, dan bila mengadakan ekspirasi paksa berupa batuk atau bersin
akan menghembus keluar percikan dahak halus (droplet nuclei) yang berukuran kurang dari 5
mikron dan yang akan melayang di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB yang
akan melayang-layang di udara, jika droplet nuclei ini hinggap di saluran penapasan yang
besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei akan segera dikeluarkan oleh gerakan silia
selaput lendir saluran pernapasan, tetapi bila droplet nuclei ini berhasil masuk sampai ke
dalam alveolus ataupun menempel pada mukosa bronkiolus, droplet nuclei akan menetap dan
basil TB akan mendapat kesempatan untuk berkembang biak. Setelah sampai di paru, maka
terjadi reaksi dari tubuh, terjadi proses fagositosis oleh makrofag paru, terjadi reaksi
granulomatous, yang mana kemudian menimbulkan pembentukan Ghon’s focus. Proses
peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe
disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer selama 4 – 8 minggu. Basil
TBC ini tetap berada dalam kondisi dorman dalam Ghon’s focus ini untuk waktu yang lama,
yang mana suatu saat dapat berubah menjadi reaktif terutama bilamana seseorang mengalami
kondisi immunocompromised atau mengidap penyakit lain yang melemahkan sistem
imunnya.8
2.4 Tuberkulosis pada Kehamilan
2.4.1 Efek Kehamilan pada Tuberkulosis
Peneliti dari zaman Hippocrates telah menyatakan kekhawatiran mereka tentang efek
tak diinginkan yang mungkin ada pada kehamilan dengan TB paru. Terjadinya TB diyakini
sebagai akibat dari peningkatan tekanan intraabdomen terkait dengan kehamilan. Peneliti
seperti Hedvall dan Schaefer menunjukkan tidak adanya keuntungan maupun efek samping
dari kehamilan terhadap progresi TB. Namun, kehamilan yang berurutan dapat memberikan
efek negatif yaitu menimbulkan reaktivasi tuberkulosis laten.9,10
Diagnosis tuberkulosis pada kehamilan mungkin lebih sulit dilakukan, karena gejala
awalnya mungkin dianggap berasal dari kehamilan. Penurunan berat badan yang
berhubungan dengan penyakit juga mungkin tertutupi oleh kenaikan berat badan normal pada
kehamilan.9,10
2.4.2 Efek Tuberkulosis terhadap Kehamilan
Efek TB terhadap kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tipe, letak dan
keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan OAT dan di diagnose TB,
status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, kemudahan
mendapatkan fasilitas diagnosis dan OAT, adanya penyebaran ekstrapulmoner, dan koinfeksi
HIV. Prognosis paling buruk terjadi pada wanita dengan diagnosis penyakit yang sudah
lanjut pada masa nifas, begitu juga pada wanita dengan koinfeksi HIV. Kegagalan
pengobatan juga memperburuk prognosis.9,10
Beberapa penelitian mengatakan bahwa dengan pengobatan yang tepat dalam jangka
waktu yang benar, infeksi TB tidak memberikan efek negatif terhadap kehamilan. Dari suatu
penelitian prospektif di India, tidak ada perbedaan pada komplikasi kehamilan pada wanita
yang di diagnosis TB dan diterapi dengan wanita hamil yang tidak terkena TB. Namun,
terdapat suatu pengecualian pada wanita hamil yang terlambat memulai terapi TB, terjadi
peningkatan mortalitas neonatus dan tingginya angka prematur. Dalam penelitian, diagnosis
dan terapi TB dimulai pada umur gestasi antara 13 dan 24 minggu (67%). Hasil dari terapi
seperti konversi sputum, stabilisasi penyakit dan angka terjadinya relaps hampir sama dengan
penderita TB yang tidak hamil.9,10
Berlawanan dengan penelitian di atas, sebuah review retrospektif di Taiwan, ibu
hamil yang didiagnosis TB mengalami peningkatan risiko terjadinya kelainan pada
kehamilan dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi TB. Pada ibu hamil dengan TB
mempunyai angka persentase berat lahir rendah dan bayi yang lebih kecil daripada usia
gestasi yang tinggi, namun tidak ada perbedaan mengenai kelahiran prematur pada dua
kelompok tersebut. Meskipun demikian, diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu
hal yang penting.TB masih menjadi penyebab morbiditas dan mortilitas maternal yang
signifikan, terutama dalam konteks ko-infeksi HIV.9,10
Komplikasi obstetrik lainnya yang dilaporkan adalah abortus spontan, uterus yang
kecil, peningkatan berat badan hamil yang tidak optimal. Lainnya adalah lahir prematur,
berat badan lahir rendah, dan meningkatnya mortalitas neonatus, seperti yang sudah
disebutkan diatas. Diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu hal yang penting.
Diagnosis yang telat merupakan faktor independen dimana akan meningkatkan morbiditas
sebanyak empat kali lipat, dan kelahiran premature meningkat sebanyak sembilan kali
lipat.9,10
2.5 Tuberkulosis pada Neonatus
Transmisi TB ibu ke anak dapat terjadi di dalam uterus dengan penyebaran
hematogen melalui vena umbilikus dan aspirasi atau menelan cairan amnion yang terinfeksi
dan juga selama proses kelahiran melalui kontak dengan cairan amnion yang terinfeksi atau
sekresi genital. Infeksi post-partum dapat terjadi melalui penyebaran di udara atau melalui
cairan susu yang terinfeksi dari lesi tuberkulosis aktif di payudara. Walaupun transmisi
melalui ASI dapat diabaikan, bayi dari ibu dengan TB aktif masih dapat terinfeksi melalui
penyebaran lewat udara. Jika ibu baru saja di diagnosa, belum di terapi, dan TB aktif, maka
ibu harus dipisahkan dari anaknya untuk mencegah penularan. Diagnosis TB pada neonatus
bukan hal yang mudah, kecurigaan klinis terhadap gejala non spesifik dan sulit dibedakan
dengan gejala kongenital lainnya merupakan hal penting. Pada TB kongenital, gejala terlihat
pada umur 2 dan 3 minggu, dengan gejala berupa hepatosplenomegaly, repiratory distress,
demam, distensi perut, iritabel dan limfadenopati. Abnormalitas radiografi dapat terlihat
namun secara umum terlihat belakangan. Diagnosis definitif yaitu dengan kultur
M.tuberkulosis dari jaringan atau cairan. Gambaran radiologi dada yang abnormal sering
ditemukan, setengahnya memberikan gambaran pola miliar. Jika terdiagnosa TB aktif, harus
diberikan terapi penuh. Jika tidak terdiagnosis TB aktif, maka diberikan profilkasis
isoniazid.11,12
Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi di dalam uterus yang jarang terjadi
sementara itu risiko transmisi setelah kelahiran tinggi. Tuberkulosis kongenital merupakan
hasil penyebaran hematogen melalui vena umbilkal ke hati janin atau melalui penelanan atau
aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Fokus primer terbentuk di hati dengan adanya
keterlibatan nodus limfe periportal. Basil tuberkel menginfeksi paru secara sekunder, berbeda
pada dewasa yang 80% infeksi primer terjadi di paru.11
Diagnosis tuberkulosis neonates ditegakkan dengan kriteria diagnosis Cantwell et al,
yaitu adanya kompleks primer hepar atau granuloma kaseseosa pada biopsy hepar
perkutaneus saat kelahiran, plasenta yang terinfeksi, atau tuberkulosis traktus genital
maternal, dan lesi saat minggu pertama kehidupan. Kemungkinan transmisi setelah kelahiran
harus disingkirkan dengan menelaah semua riawayat kontak termasuk kontak dengan tenaga
medis dan penjenguk.11
2.6 Diagnosis Tuberkulosis pada Kehamilan
Untuk mendiagnosis kondisi tersebut, riwayat paparan terhadap individu dengan
batuk kronis atau berkunjung ke daerah endemik tuberkulosis harus diperoleh. Riwayat
gejala, mirip dengan gejala yang dialami oleh wanita tidak hamil. Perhatian harus
ditingkatkan mengingat gejala pada ibu hamil tidak spesifik, yaitu keringat di malam hari,
demam di malam hari, batuk darah, penurunan berat badan yang progresif, dan batuk kronis
selama lebih dari tiga minggu. Tahap penting dalam membuat diagnosis pada kehamilan
yaitu untuk mengidentifikasi faktor risiko untuk infeksi TB dan gejala-gejala infeksi.1,3,7
Alat diagnositik yang biasa digunakan adalah pemeriksaan mikroskopik sputum atau
spesimen lain untuk bakteri tahan asam yang menjadi dasar diagnosis untuk TB dalam
kehamilan. Tiga contoh sputum harus diperiksa untuk smear, kultur, dan uji kerentanan obat.
Pewarnaan bakteri tahan asam dapat menggunakan Ziehl-Neelsen, Auramine-
Rhodamine, teknik Kinyoun dan pemeriksaan mikroskop floresen Light Emitting Diode
(LED) yang baru-baru ini diperkenalkan dapat meningkatkan kepastian diagnosis.
Pemeriksaan dengan pewarnaan mungkin tidak kuat untuk diagnosis, karena hasil yang
negatif mungkin dapat luput. Individu dengan basil yang sedikit, pemeriksaan mikroskopis
tidak cukup untuk menegakkan diagnosis.
Kultur tradisional dengan menggunakan media Lowenstein-Jensen memakan waktu
sekitar 4-6 minggu. Namun, mungkin dapat berguna untuk kasus yang meragukan dan terapi
tuberkulosis yang diduga resisten. Saat ini terdapat alat diagnostik baru yang didukung oleh
WHO, yaitu kultur dengan media cairan Bactec. Molecular Line Probe Assay (LPA) dan
polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mengidentifikasi tuberkel basil.
Radiografi dada dan penilaian suara napas merupakan alat bantu penting untuk
membuat diagnosis dari pemeriksaan mikroskop TB yang negatif. Namun, gambaran
radiografi dada dapat normal pada 14% pasien dengan kultur TB positif. TB ekstrapulmonar
juga jarang terjadi pada kehamilan, dan klinisi harus segera mencurigai apabila terdapat
gejala atipikal. Pemeriksaan radiologi dada dengan penutup di bagian perut dapat dilakukan
setelah tes kulit tuberkulin, walaupun pemeriksaan radiografi dada tertunda karena
kekhawatiran akan efek radiasi terhadap janin.3,5,7
Pada wanita hamil dengan gejala dan tanda TB, harus dilakukan tes tuberkulin. Tes
tersebut sudah dinyatakan aman untuk dilakukan pada ibu hamil. Namun, masih
diperdebatkan mengenai sensitivitas tuberkulin saat kehamilan. Tes tuberkulin mempunyai
nilai diagnosis pada infeksi laten TB, kecuali di daerah dengan prevalensi dan insiden TB
yang tinggi.1,3,10
Dua tipe tes kulit tuberkulin yang dibahas yaitu : 4,7,8
- Tes Tine
Tes ini menggunakan beberapa jarum yang sudah dicelupkan pada bakteri TB yang
sudah dimurnikan, disebut dengan old tuberculin (OT). Kulit ditusuk dengan jarum tersebut
dan reaksi dianalisa 48-72 jam kemudian. Namun tes ini tidak lagi popular kecuali untuk uji
penyaring pada populasi yang besar.
- Tes Mantouk
Injeksi intradermal derivat protein yang sudah dimurnikan sebanyak 0.1 mL (5 unit
tuberculin), dan reaksi kulit dianalisis 48-72 jam kemudian berdasarkan diameter indurasi
terbesar yang terbentuk. Tes ini lebih akurat daripada tes tine.
Positif palsu dapat terjadi pada pasien yang sudah mendapatkan vaksin BCG, yang sudah
mendapatkan pengobatan untuk tuberkulosis, ataupun pasien yang sudah terinfeksi dengan
spesies mycobacterium lainnya. Negatif palsu dapat terjadi karena sistem imun yang
menurun dan kesalahan teknis.
Diagnosis pasti TB dapat ditegakkan dengan ditemukannya Basil Tahan Asam
(BTA) pada pemeriksaan sputum. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif jika sedikitnya dua
dari tiga spesimen sputum Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) hasilnya positif. Jika hanya satu
spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan rontgen toraks atau pemeriksaan sputum
ulang. Jika hasil rontgen toraks mendukung kearah TB, maka penderita didiagnosis sebagai
penderita TB BTA positif. Jika rontgen toraks tidak mendukung kearah TB maka
pemeriksaan sputum harus diulang.13
Jika gejala klinis mengarah TB tetapi hasil pemeriksaan ketiga sputum SPS negatif,
maka diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksazol atau amoksisilin) selama 1-
2 minggu. Bila tidak terdapat perubahan, namun secara klinis masih mencurigakan TB, perlu
dilakukan pemeriksaan sputum SPS ulang. Jika hasil SPS positif, maka didiagnosis sebagai
penderita TB BTA positif. Jika hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan rontgen toraks
untuk mendukung diagnosis TB. Jika hasil rontgen toraks mendukung TB, maka didiagnosis
sebagai TB BTA negatif rontgen positif. Jika rontgen tidak mendukung TB, maka penderita
tersebut bukan TB.13
2.7 Tatalaksana TB pada Kehamilan
Penatalaksanaan pasien TBC pada kehamilan tidak berbeda dengan TBC tanpa
kehamilan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah pemberian OAT yang bisa menimbulkan
efek teratogenik terhadap janin. Penatalaksanaan secara umum terbagi atas penderita dengan
TBC aktif dan TBC laten.14
Wanita hamil dengan TBC aktif biasanya diterapi dengan tidak mempertimbangkan
trisemester kehamilan. OAT yang digunakan tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil.
Golongan utama OAT seperti Isoniazid, Rifampisin, Etambutol digunakan secara luas pada
wanita hamil. Obat-obat tersebut dapat melalui plasenta dalam dosis rendah dan tidak
menimbulkan efek teratogenik pada janin. Pada pemberian Isoniazid sebaiknya diberikan
Piridoksin 50 mg/hari untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Pemeriksaan fungsi hati
sebaiknya dilakukan saat pemberian Isonizid dan Rifampisin. Pemberian vitamin K
dilakukan pada akhir trismester ketiga kehamilan dan bayi yang baru lahir.5,14
Resistensi terhadap obat-obat TBC pertama kali terjadi di United States pada awal
tahun 1990 yang mana diikuti terjadinya epidemic dari tahun 1985 sampai tahun 1992.
(Centers for Disease Control and Prevention, 2007b). Oleh karena itu Centers for Disease
Control and Prevention (2003a) merekomendasikan pemakaian 4 jenis obat untuk inisiasi
pengobatan pada pasien dengan tuberkulosis yang simptomatik, yaitu Isoniazid, Rifampin,
Pyrazinamide, dan Ethambutol. Pada kasus kehamilan dengan multidrug resistant (MDR)
digunakan Pirazinamid, akan tetapi Pirazinamid tidak digunakan secara rutin pada wanita
hamil karena terdapat efek teratogenik. Paraaminosalisilat (PAS) telah digunakan secara
aman pada wanita hamil akan tetapi obat tersebut ditoleransi tubuh secara buruk. Bilamana
diperlukan dapat diberikan obat TBC lini kedua.12
Tuberkulosis laten adalah pasien dengan uji tuberkulin positif dan secara klinis tidak
ada tanda-tanda terjadi tuberkulosis aktif. Terapi pada TBC laten tergantung faktor risiko dan
hasil konversi uji tuberkulin. Pemberian terapi pada TBC laten biasanya ditunda sampai 2-3
bulan setelah kelahiran. Pada pasien yang mempunyai risiko kontak dengan individu BTA
positif dan infeksi HIV, terapi diberikan setelah trisemester pertama pada kehamilan dengan
konversi uji tuberkulin positif dalam 2 tahun terakhir. Sedangkan pada wanita hamil dengan
TBC laten yang sebelumnya telah diterapi secara adekuat tidak memerlukan terapi profilaksis
Isoniazid. Akan tetapi pada kondisi atau lingkungan yang berisiko TBC laten dapat diberikan
terapi yang aman dengan INH (Isoniazid) 300 mg sekali sehari atau 2 kali dalam seminggu
selama selama 6-12 bulan (kurang lebih 9 bulan), sebaiknya disertai pemberian vitamin B6
(Pyridoxine).5,14
2.7.1 Obat Antituberkulosis selama Kehamilan7,14
OAT yang diberikan dibagi atas 2 golongan yaitu obat lini pertama (first line) dan
obat lini kedua (second line). Yang merupakan OAT lini pertama adalah Rifampisin,
Isoniazid (INH), Etambutol (EMB), dan Pirazinamid (PZA), sedangkan yang termasuk OAT
lini kedua adalah Streptomisin, Kanamisin, Fluoroquinolones, Amoxycillin / Clavulanic
Acid, Ethionamide, Kapreomisin, Cycloserine, Para-Aminosalicylic Acid (PAS), dan
Amikacin.
Rifampisin merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada sel yang sedang
tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif (resting cell).
Bekerja dengan menghambat sintesa RNA M. tuberculosis sehingga menekan proses
awal pembentukan rantai dalam sintesa RNA. Diabsorpsi dengan baik melalui saluran
cerna, absorpsi Rifampisin dapat berkurang bila diberikan bersama makanan dan antasida.
Pemberian antasida akan meningkatkan PH lambung dan akan mengurangi proses dissolution
Rifampisin sehingga akan menghambat absorpsi. Rifampisin didistribusikan ke sebagian
besar organ, jaringan, tulang, cairan serebrospinal dan cairan tubuh lainnya termasuk eksudat
serta kavitas tuberkulosis paru. Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata pada
urin, saliva, feses, sputum, air mata dan keringat. Dapat melewati barier plasenta dan dapat
dijumpai konsentrasi rendah di ASI. Rifampisin melewati plasenta dengan kadar yang sama
dengan ibu. Efek samping ringan dapat timbul pada pemberian rifampisin antara lain:
sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan, sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri
tulang dan sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah dan kadang-kadang diare. Efek
samping ringan ini sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau
hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi
adalah sindrom respirasi, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal.
Efek samping pada bayi baru lahir juga didapatkan hemorrhagic disease of the
newborn sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K.
Isoniazid (INH) menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur
penting dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan
jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman yang peka
yang menyerap obat ke dalam selnya dan proses ini merupakan proses aktif. INH bersifat
bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.
INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kelarutan INH dalam lemak
tinggi, berat molekul rendah dan melalui plasenta serta mudah mencapai janin dengan kadar
hampir sama dengan ibu. Mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Antara 75-
95% diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit.
INH tidak bersifat teratogenik terhadap janin, meskipun konsentrasi yang melewati plasenta
cukup besar.
Efek samping berat berupa hepatitis dapat timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita.
Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus hilang. Efek samping yang ringan
dapat berupa: tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, nyeri otot atau gangguan
kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (dengan dosis 5-10 mg per
hari atau dengan vitamin B kompleks). Pemeriksaan fungsi hati harus dilaksanakan sebelum
mulai pengobatan dan setiap bulannya selama pengobatan.
Efek samping pada bayi baru lahir dilaporkan adanya perdarahan (hemmorrhagic
disease of the newborn) sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K sebelum
kelahiran. (= Rifampisin)
Etambutol (EMB) merupakan inhibitor arabinosyl transferases (I,II,III). Arabinosyl
transferase terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglycan, yang merupakan unsur esensial
dari dinding sel Mycobacterium. Afinitas terhadap arabinosyl transferase III lebih kuat
dibandingkan lainnya. Arabinosyl transferase digunakan untuk menjadikan EMB-CAB
operon. Hal ini menyebabkan metabolisme sel terhambat dan sel mati. Etambutol ini tetap
menekan pertumbuhan M.tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan
streptomisin. Etambutol dosis 15 mg/kg BB ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh
dengan khasiat tuberkulostatik, sedangkan pada dosis 25 mg/kg BB bersifat bakterisidal.
Penggunaan etambutol tunggal, ditemukan sputum basil tahan asam (BTA) negatif dalam 3
bulan, tetapi ditemukan resistensi 35% dari kasus dan frekuensi relaps lebih tinggi. Pada
pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap di saluran cerna. Makanan tidak
mempengaruhi absorpsi obat. Secara teori etambutol menyebabkan kemungkinan toksisitas
pada mata.
Pirazinamid (PZA) adalah suatu produk yang aktif terhadap basil tuberkel
semidorman karena sistem pompa efluks yang lemah dibandingkan dengan basil yang sedang
bertumbuh cepat, di mana pompa efluks lebih aktif. Peradangan akut akan menurunkan pH
akibat produksi asam laktat oleh sel-sel inflamasi, hal ini menguntungkan aktivitas PZA.
Berkurangnya peradangan akan meningkatkan pH lingkungan basil tuberkel yang berakibat
pada peningkatan konsentrasi hambat minimal PZA. Kuman dalam keadaan dorman tidak
dapat dipengaruhi karena pada saat itu ambilan PZA tidak terjadi. Efek bakteriostatik atau
bakterisidal terhadap M. tuberculosis tergantung dosis (konsentrasi PZA), serta lamanya
paparan terhadap makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis. Pada berbagai studi dan laporan
tidak ditemukan efek teratogenik yang bermakna pada hewan dan malformasi janin pada
pasien yang telah diterapi. Penggunaan PZA pada wanita hamil telah direkomendasikan oleh
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease secara rutin, namun di Amerika
dilarang karena tidak adanya data yang adekuat mengenai efek teratogeniknya.
Efek samping utama dari penggunaan obat ini adalah hepatitis, juga dapat terjadi
nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis gout yang
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Pemberian
intermiten dapat mengurangi kejadian tersebut. Efek samping lain adalah anoreksia, mual,
muntah, disuri, demam dan reaksi hipersensitivitas.
Streptomisin melewati plasenta dengan cepat sampai ke sirkulasi janin dan cairan
amnion serta mencapai kadar kurang dari 50% dibandingkan kadar ibu. Efek samping yang
dilaporkan dari berbagai studi pada hewan yaitu ototoksisiti. Tuli kongenital telah dilaporkan
terjadi pada bayi yang terpajan selama dalam kandungan, walaupun tidak ada hubungan yang
pasti tentang mekanisme ototoksisiti dengan pajanan selama kehamilan. Penelitian lain
menyimpulkan streptomisin dapat menyebabkan kerusakan sistem vestibular dan kerusakan
nervus kranialis ke 8. Pada negara berkembang dianjurkan tidak menggunakan streptomisin
selama kehamilan. Dosis streptomisin 0,75 - 1 g/hari selama 14-21 hari selanjutnya 1g 3 kali
seminggu secara intramuscular.
Kanamisin merupakan obat lini kedua dan merupakan variasi dari aminoglikosida,
mempunyai efek samping yang sama dengan streptomisin dan sebaiknya tidak digunakan
pada kehamilan kecuali pada MDR. Dosis yang diberikan 15 mg/kg, BB diberikan 3-5 kali
seminggu intramuscular.
Fluoroquinolones (Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Moxifloxicin and Norfloxacin)
tidak terbukti meningkatkan kejadian kelahiran abnormal dalam penggunaannya. Akan tetapi
pada percobaan menggunakan binatang dengan ciprofloxacin dilaporkan adanya risiko
kerusakan dari articular cartilage dan subsequent juvenile arthritis dengan penggunaan jangka
pendek serta diperkirakan terjadi kerusakan dari sendi pada penggunaan jangka panjang.
Oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan dalam penggunaannya.
Amoxycillin / Clavulanic Acid, belum terbukti adanya efek teratogenik pada
percobaan binatang. Amoxycillin/clavulanic acid biasa dipakai pada kehamilan trimester
akhir sebagai profilaksis pada wanita dengan prolonged rupture of membranes tanpa adanya
laporan yang merugikan, akan tetapi tidak banyak laporan pada penggunaan trimester
pertama kehamilan. Amoxycillin/clavulanic acid memiliki peran kecil pada pengobatan
wanita hamil dengan MDR-TB dan tidak cukup tersedia alternatifnya.
Etionamid dinyatakan potensial bersifat teratogenik dan sebaiknya dihindari
penggunaan pada kehamilan kecuali jika dibutuhkan pada kasus MDR-TB. Efek samping
lainnya seperti hepatitis, neuritis optic dan neuritis perifer. Dosis 0,5 - 1 gram/hari dalam
dosis terbagi.
Kapreomisin merupakan obat lini kedua yang diberikan secara intramuskular.
Kapreomisin secara umum merupakan kontraindikasi untuk ibu hamil, hanya digunakan
dengan pertimbangan benar-benar terhadap risiko dan kegunaannya. Biasanya obat ini
digunakan untuk MDR-TB 3 kali seminggu. Obat ini dilaporkan bersifat teratogenik pada
percobaan menggunakan tikus yang hamil.
Cycloserine juga merupakan obat lini kedua untuk TBC kehamilan. Obat ini tidak
terbukti bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan tikus, akan tetapi tidak cukup
bukti dari studi pada manusia utnutk konfirmasi keamanan obat ini untuk wanita hamil. Oleh
karena itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya.
Para-Aminosalicylic Acid (PAS) dilaporkan belum cukup bukti keamanannya pada
pemakaian untuk kehamilan baik studi pada manusia maupun pada binatang. Hanya pernah
ada satu studi dari 123 pasien yang mendapatkan PAS, melaporkan adanya angka kejadian
abnormalitas pada anggota tubuh dan telinga yang lebih tinggi dibandingkan OAT lain. Oleh
karena itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya.
Amikacin adalah obat yang tergolong aminoglycosides, yang mana semua obat
golongan ini berpotensi menimbulkan nephrotoxisitas dan ototoxisitas pada fetus dan
penggunaannya tidak direkomendasikan pada wanita hamil. Oleh karena itu penggunaan obat
ini pada kehamilan seharusnya merupakan pilihan akhir setelah benar-benar
mempertimbangkan untung ruginya.
Tabel 2.1 Jenis, sifat dan dosis OAT1
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:1
Kategori 1 : 2HRZ/4H3R3.
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
Kategori Anak : 2HRZ/4HR
2.7.2 Pengobatan TB pada Wanita Menyusui14
Konsensus umum menyatakan bahwa meskipun terdapat konsentrasi kecil dari obat
antituberkulosis disekresi lewat air susu ibu, hal ini tidak menjadi kontraindikasi bagi ibu
untuk menyusui anaknya. Konsentrasi dari OAT yang diekskresi lewat ASI ini rendah dan
tidak membahayakan bagi bayi. Bahkan bilamana bayi membutuhkan pengobatan untuk
penyakit aktif yang terjadi pada bayinya atau terapi profilaksis diberikan sesuai guidelines
terapi pada anak.
Idealnya ibu dan anak dipisahkan terlebih dahulu sampai terjadi konversi dari BTA
sputum. Akan tetapi hal ini tidak bisa dilakukan terutama di negara berkembang. Oleh karena
itu menyusui tetap dilakukan, yang menjadi kontraindikasi adalah bilamana terjadi
tuberculous breast abscess.
2.8 Pencegahan Tuberkulosis12
Vaksin BCG telah menjadi kebijakan imunisasi nasional di banyak negara untuk
memberikan imunitas aktif sejak masa anak, terutama negara dengan beban yang tinggi.
Wanita non-immune yang bepergian ke negara-negara endemik juga harus divaksinasi. Perlu
diketahui bahwa kontraindikasi vaksin BCG adalah wanita hamil.
Pencegahan penyakit TBC tidak hanya berhenti pada vaksin BCG mengingat
penyakit ini merupakan penyakit kemiskinan. Perbaikan kehidupan dengan ventilasi yang
baik dan menghindari kehidupan overcrowded perlu didorong. Pencegahan primer
HIV/AIDS dan perbaikan status gizi merupakan langkah utama dalam pencegahan
tuberkulosis kehamilan. Untuk itu diperlukan uji penapisan untuk wanita hamil dengan risiko
tinggi bahkan pada mereka yang tidak menunjukkan gejala klinis. Bagaimanapun juga,
individualisasi pasien dan keputusan klinis yang rasional diperlukan untuk memutuskan
waktu yang tepat untuk memberikan Isoniazid Preventive Therapy (IPT) pada wanita hamil
dengan risiko tinggi. Komitmen pemerintah sangat diperlukan sehingga WHO dan lembaga-
lembaga internasional yang terlibat memerangi tuberkulosis berhasil mengusir monster
masyarakat ini.
BAB III
KESIMPULAN
TB merupakan penyakit infeksi oleh M. tuberculosis yang umumnya menyerang
jaringan paru, gejala klinisnya meliputi batuk produktif terus-menerus lebih dari dua minggu,
sering disertai dengan gejala tambahan seperti sputum bercampur darah, hemoptisis, sesak
napas dan rasa nyeri dada.
Efek TB terhadap kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tipe, letak dan
keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan OAT dan di diagnose TB,
status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, kemudahan
mendapatkan fasilitas diagnosis dan OAT, adanya penyebaran ekstrapulmoner, dan koinfeksi
HIV.
Tuberkulosis tidak mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak mempengaruhi
manifestasi klinis dan progresitivitas tuberkulosis bila diterapi dengan tepat dan adekuat.
Penggunaan regimen pengobatan yang tepat dan adekuat dapat memperbaiki kualitas
hidup ibu hamil dan menghindari efek samping ke janin dan bayi yang baru lahir.
Penggunaan obat streptomisin dan obat lini kedua dihindari pada wanita hamil
karena efek samping terhadap janin, kecuali dalam keadaan MDR.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008.
2. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
2. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 988-993
3. Aditama TY, et al. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.
4. Alsagaff H, Mukty A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Jakarta: Airlangga, 2002. 73-108
5. Cunningham et al. Penyakit Paru. Dalam: Obstetri Williams. Jakarta: EGC, 2000.
1387-1389
6. Danusantoso H. Ilmu Penyakit paru. Jakarta: Hipokrates; 2000.
7. Ravligion MC, O’brien RJ. Tuberculosis. In: Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 16th Ed. USA: Mc-Graw-Hill, 2005.
8. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi 6.
Jakarta: Erlangga; 2007.
9. Mnyani C, McIntyre J. Tuberculosis in pregnancy. BJOG: An International Journal
of Obstetrics &Gynaecology. 2011 Jan;118(2):226–31.
10. Loto OM, Awowole I. Tuberculosis in Pregnancy: A Review. Journal of Pregnancy.
2012;2012:1–7.
11. Hasan G, Qureshi Waseem, Kadri SM. Congenital Tuberculosis : Mini Review. JK
Science Vol. 8 No. 4 : 193-194, 2006.
12. Centers for Disease Control and Prevention. Tuberculosis and Pregnancy
http://www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/specpop/pregnancy.htm
13. Hopewell PC. Tuberculosis and Other Mycobacterial Disease. In: Textbook of
Respiratory Medicine. 4th Ed. USA: Saunders, 2005. 979-1043
14. Bothamley G. Drug Treatment for Tuberculosis during Pregnancy : Safety
Considerations. Drug Safety Vol. (7): 553-65, 2001.