STUDI DESKRIPTIF UPACARA DAN MUSIK PADA
PERKAWINAN ADAT JAWA DI MEDAN SELAYANG SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H SUGIARDI NIM: 090707005
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2014
i
STUDI DESKRIPTIF UPACARA DAN MUSIK PADA PERKAWINAN
ADAT JAWA DI MEDAN SELAYANG
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H SUGIARDI NIM: 090707005 Pembimbing I, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
Pembimbing II, Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP 196605271994032010
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2014
ii
DISETUJUI OLEH: FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Medan, 13 Oktober 2014
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA DEPARTEMEN
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP. 196512211991031001
iii
PENGESAHAN
Diterima Oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin
Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara,
Medan
Pada Tanggal : 13 Oktober 2014
Hari : Senin
FAKULTAS ILMU BUDAYA USU DEKAN
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP 195110131976031001
Panitia Ujian:
No Nama Tanda Tangan
1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. ( )
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )
3. Drs. Fadlin, M.A. ( )
4. Arifni Netrirosa SST,M.A. ( )
5. Drs. Prikuten Tarigan, M.Si. ( )
iv
KATA PENGANTAR
Atas izin dan syukur serta anugrah penulis panjatkan kepada Allah SWT
karena rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik
penulisan skripsi ini yang berjudul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada
Perkawinan adat Suku Jawa di Medan Selayang.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S1
dan memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berisikan hasil
penelitian mengenai upacara adat perkawinan suku Jawa yang ada di Kota Medan.
Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak dapat pungkiri, bahwa penulis
banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang luar biasa banyak dan baik.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ketua
Departemen Etnomusikologi Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
yang juga selaku Dosen Pembimbing I yang sangat banyak memberikan berbagai
motivasi serta bimbingan kepada penulis serta memberikan berbagai kemudahan
dalam mnyelesaikan berbagai segala urusan perkuliahan yang berdampak positif
bagi penulis selama beliau menjabat sebagai ketua Departemen Etnomusikologi,
dan Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II yang juga
sebagai Sekretaris Departemen Etnomusikologi yang sangat komunkatif terhadap
mahasiswanya sehingga memberikan energi yang baik bagi setiap mahasiswanya
agar terus bersemangat dalam menyelesaikan studi di Etnomusikologi, Ucapan
terima kasih yang teristimewa untuk beliau atas kebaikan beliau dalam membantu
v
penulis untuk pada akhirnya penulis mendapatkan beasiswa pertama kali nya
dalam hidup penulis, yang pada akhirnya penulis alokasikan materi beasiswa
tersebut sebagai modal awal penulis menggeluti dunia fotografi, terkesan sangat
konyol memang, namun inilah cara satu-satunya penulis untuk mendapatkan dana,
semata-mata agar tidak membebankan biaya dari orang tua. Sehingga pada
akhirnya dapat mengobati kebimbangan akan jati diri penulis yang selama ini
merisaukan skill yang belum ada pada diri penulis selama ini. Kedua Dosen
Pembimbing ini yang telah bersedia dan sangat membantu penulis dalam
membimbing, mengarahkan, serta menyempurnakan didalam penyusunan skripsi
ini. Saran dan arahan mereka membuat penulis semakin termotivasi dan semakin
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga amal baik dan ibadahnya
mendapatkan berkah dari Allah SWT.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas
Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, serta seluruh Dosen-dosen dan
pegawai di lingkungan Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si., Bapak Prof. Mauly, M.A., Bapak Drs.
Kumalo Tarigan, M.A. Ph.D., Ibu Dra. Frida Deliana Harahap , M.Si., Drs. Torang
Naiborhu, M.Hum., Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Bapak Drs. Prikuten
Tarigan, M.Si., Ibu Arifni Netrirosa SST,M.A., Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A.,
Bapak Drs. Irwansyah M.A., yang telah memberikan peluang, kesempatan dan
kemudahan secara moril kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan
hingga sampai kepada tahap penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Fadlin, M.A. atas sebuah ajaran mata kuliah
Metode Penelitian Lapangan dalam Etnomusikologi I, yang beliau ajarkan kepada
penulis serta obrolan-obrolan singkat yang beliau tuturkan, sehingga dapat
membuat penulis semakin ingin mengenal dunia Fotografi.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Abangda Suryadi
Darma Desky yang telah bersedia menjadikan penulis sebagai assisten jasa
vi
Fotografi weddingnnya di Mamipapi Photowork sehingga pada akhirnya penulis
menemukan bahan untuk penulisan skripsi ini. Terima kasih juga kepada Bapak
Agus Wayan dkk, yang telah bersedia menjadi informan Kunci disaat penelitian.
Ucapan terima kasih juga kepada keluarga Bapak H. Djumali, SH., yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadikan pesta pernikahan
putri semata wayangnya menjadi bahan penelitian penulis.
Ucapan terima kasih yang sangat istimewa kepada kedua orang tua
penulis, Ayahanda Sugono dan Ibunda Jumariatik. Yang telah membesarkan,
mendidik, membimbing, dan yang telah memberikan dorongan, kesabaran serta
iringan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Kakak Sugiani beserta suami, Kakak Sugiarsih
beserta suami, Adik-adik penulis yang Penulis sayangi Sugiarlis dan Harmika atas
doa yang telah diberikan.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman
seperjuangan selama proses perkuliahan yaitu stambuk 2019: Nesya Vania S.Sn.,
Reny Yulyati Lt Toruan S.Sn., Martin Tambunan S.Sn., Tetti Elena Siburian
S.Sn., Maruli Purba S.Sn., Syarifah Aini Nasution S.Sn., Fitri Suci Hati Saragih
S.Sn., Wahyu Boangmanalu S.Sn., Krisrendi Siregar S.Sn., Giat Sihotang S.Sn.,
Dicky Silalahi, Herman Simanjuntak S.Sn., Ranto Samuel Manik, Septianta
Bangun S.Sn., Verawati Simbolon, Anita R.P Purba. Berbagai kenangan bersama
selama lima tahun semoga terus menjadi motivasi penulis dalam menjalani dunia
kerja.
vii
Tidak lupa juga penulis ucapkan kepada seluruh rekan Fotografren (yang
penting kita teman motret) group fotografer Koko Supri Yanto, Abang Rinaldie
Eka Putra Tarigan, Abang Vay Sianipar, Nov Heru W, serta ucapan trimakasih
kepada Talent foto model penulis: Astri Novita Sari, Moraulina, Claudia Yoranda
Tan, Amaliyah Utami, Kelana Syahputra, Ayu Lestari, Riza S Rizki, Desy Vita
Sari Ritonga, Lusi Candani, dan kawan-kawan, serta banyak lagi yang tidak dapat
penulis sebut namanya satu persatu yang telah banyak memberikan ilmu dalam
berfotografi serta kesempatan waktunya meluangkan ide dan kemampuan, berbagi
cerita dan pengalaman lainnya serta memberikan semangat untuk menyelesaikan
tugas akhir yang penulis jalani.
Tidak Lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Alumni
Etnomusikologi Kakanda Ananda Mora Ichsan Pulungan S.Sn., dan kepada
Kakanda Kiki Alpiansyah S.Sn., yang turut serta memberikan dukungan,
semangat serta juga nasehat yang sangat bermanfaat bagi diri penulis.
Selanjutnya ucapan terimakasih kepada D’Eternity (Team Majalah Honda
Region Medan), Boesa Management, Daddy Evelyn, Putri Manda Make Up and
Collection, yang senantiasa selalu mendukung penulis dalam berbagai kesempatan
dan selalu bekerja sama kepada penulis.
Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah berusaha menyusun dengan
sebaik-baiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu penulis
mengucapkan beribu-ribu maaf dan mengharapkan kritik serta saran dari segenap
pembaca untuk kesempurnaan selanjutnya.
viii
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan
sumbangan fikiran dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca, khususnya
dalam budaya masyarakat Jawa dan dalam bidang ilmu Etnomusikologi.
Medan, 2014
Penulis
Sugiardi
NIM: 090707005
ix
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada Perkawinan Adat Suku Jawa di Medan Selayang. Penelitian ini membahas masalah mengenai bagaimana prosesi upacara perkawinan adat suku Jawa yang diselenggarakan oleh keluarga mempelai dalam hal ini ialah Yusrita Arini dengan Boy Budiansyah. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan bagaimana prosesi upacara perkawinan adat jawa tersebut yang di adakan di Kecamatan Medan Selayang, yang tiap-tiap prosesinya sangat berbeda dengan upacara perkawinan adat Jawa yang lainnya yang pernah penulis lihat sebelum-sebelumnya. Selain itu, penelitian ini juga mendeskripsikan bentuk dari tiap-tiap symbol-simbol yang terdapat dalam setiap prosesi upacara perkawinan adat jawa yang ada di Kecamatan Medan Selayang.
Teori yang digunakan dalam melakukan pendekatan terhadap teori semiotika penulis menggunakan teori yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:234). Untuk mengkaji struktur musik gendhing gamelan Jawa yang digunakan pada ritual temu temanten (panggih) menggunakan teori wighted scale dari Malm (1977:8). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang dideskripsikan berupa tulisan, rekaman secara lisan, gambar, angka, pertunjukan kesenian dan berbagai bentuk data lain yang bersumber dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam menganalisis data digunakan metode padan dan di lanjutkan dengan teknik pilah unsur penentu. Untuk mendukung data-data yang diperoleh di lapangan, penulis melakukan studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan topik penelitian. Proses pentranskripsian musiknya dilakukan dengan program sibelius yang hasilnya akan dituliskan kedalam notasi balok serta pentranskripsian juga dilakukan dengan cara sistem notasi kepatihan. Skripsi ini menjelaskan deskripsi upacara adat perkawinan suku jawa dan dituliskan dengan sistematis.
x
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................. iv ABSTRAKSI ........................................................................................... ix DAFTAR ISI ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiii DAFTAR TABEL ................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 1.2 Batasan Masalah .................................................................... 19 1.3 Pokok Permasalahan ............................................................. 19 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 20
1.4.1 Tujuan Penelitian .............................................. 20 1.4.2 Manfaat Penelitian ............................................ 20
1.5 Konsep dan Teori .................................................................. 21 1.5.1 Konsep ............................................................. 21 1.5.2 Teori ................................................................. 23
1.6 Metode Penelitian ................................................................. 24 1.6.1 Studi Kepustakaan ............................................ 25 1.6.2 Penelitian Lapangan ......................................... 25 1.6.3 Kerja Laboratorium .......................................... 27
1.7 Pemilihan Lokasi Penelitian .................................................. 27
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG .............................. 29 2.1 Identifikasi ............................................................................ 29 2.2 Letak Geografis .................................................................... 31 2.3 Mata Pencaharian ................................................................. 34 2.4 Sistem Religi dan Kepercayaan ............................................. 35
2.4.1 Agama ........................................................................ 35 2.4.2 Upacara-upacara Tradisional Suku Jawa ...................... 37
2.4.2.1 Upacara Kehamilan dan Kelahiran ................. 38 2.4.2.2 Upacara Perkawinan ...................................... 40 2.4.2.3 Upacara Selametan ........................................ 41
2.5 Sistem Kekerabatan .............................................................. 47 2.6 Kesenian ............................................................................... 51 BAB III DESKRIPSI JALANNYA UPACARA PERKAWINAN
ADAT SUKU JAWA DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG ............................................................. 54
3.1 Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Perkawinan ................. 54 3.2 Tujuan Pelaksanaan Upacara Panggih ................................... 56 3.3 Pelaksanaan Upacara Perkawinan Adat ................................. 57
xi
3.3.1 Tempat Upacara ............................................... 57 3.3.2 Saat Upacara ..................................................... 58 3.3.3 Benda-benda dan Alat Upacara ......................... 60 3.3.4 Pemimpin dan Pendukung Upacara ................... 76
3.4 Rangkaian Upacara Secara Kronologis ................................. 76 3.4.1 Proses Upacara Sebelum Perkawinan ................ 76
3.4.1.1 Nontoni ................................................ 77 3.4.1.2 Lamaran .............................................. 78 3.4.1.3 Srah-Srahan dan Paningsetan .............. 81 3.4.1.4 Pasang Tratag dan Tarub .................... 84
3.4.2 Persiapan Upacara Menuju Hari Perkawinan .... 86 3.4.2.1 Siraman ............................................. 86 3.4.2.2 Adol Dawet ....................................... 94 3.4.2.3 Midodareni ....................................... 96
3.4.3 Upacara Perkawinan ......................................... 100 3.4.3.1 Ijab Kabul ......................................... 101 3.4.3.2 Tepung Tawar ................................... 103 3.4.3.3 Selametan (Kenduri) ......................... 106 3.4.3.4 Paes .................................................. 107 3.4.3.5 Panggih Temanten ............................ 111
3.5 Fungsi dan Penggunaan Gendhing Jawa pada Upacara Perkawinan Adat Suku Jawa yang diputar Secara Rekaman ....................................... 136
BAB IV ANALISIS DAN TRANSKRIPSI ............................................. 140
4.1 Ensembel Gamelan Jawa .................................................... 140 4.2 Analisis Musik ................................................................... 142 4.3 Proses Transkripsi .............................................................. 146 4.4 Analisis .............................................................................. 148
4.4.1 Analisis Notasi Kepatihan ............................................ 148 4.4.1.1 Sistem Pelarasan ................................................. 148 4.4.1.2 Pathet .................................................................. 151 4.4.1.3 Gatra ................................................................... 153 4.4.1.4 Gongan ............................................................... 154
4.4.2 Analisi Notasi Barat ..................................................... 167 4.4.2.1 Tangga Nada ....................................................... 167 4.4.2.2 Nada Dasar .......................................................... 168 4.4.2.3 Wilayah Nada ...................................................... 169 4.4.2.4 Frekuensi Pemakaian Nada ..................................... 170 4.4.2.5 Jumlah Interval .................................................... 172 4.4.2.6 Formula Melody (Bentuk Melody) ...................... 175 4.4.2.7 Pola Kadensa ....................................................... 179 4.4.2.8 Kontur ................................................................. 181
BAB V PENUTUP ................................................................................... 184
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 184 5.2 Saran .................................................................................. 188
xii
GLOSARIUM ......................................................................................... 190 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 192 DAFTAR INFORMAN ......................................................................... 194 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................................................... 198
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Busana Pengantin Gaya Solo .................................................. 72
Gambar 3.2 Busana Kepangeranan pada Upacara Kirab
dengan Corak Warna Biru Muda ......................................... 73
Gambar 3.3 Busana Pagar Ayu dan Pagar Bagus
dengan Motif Kebaya Modern pada Pagar Ayu dan
Gaya Jas Beskap dan kain batik pada Pagar Bagus ............ 73
Gambar 3.4 Busana Kepangeranan pada Upacara Kirab ......................... 74
Gambar 3.5 Foto Bersama dengan Mengenakan Busana Kepangeranan
Khas Adat Jawa ................................................................ 74
Gambar 3.6 Prosesi Lamaran dengan Gaya Adat Melayu ....................... 79
Gambar 3.7 Berbagai Bentuk Barang-barang Sebagai Srah-srahan ........ 81
Gambar 3.8 Busana Siraman Khas Adat Jawa ........................................ 88
Gambar 3.9 Prosesi Sungkeman sebelum Siraman ................................. 89
Gambar 3.10 Sarana dan Prasarana Siraman ............................................ 90
Gambar 3.11 Perlengkapan Siraman ........................................................ 90
Gambar 3.12 Kembang Setaman dan Cengkir
yang Sudah di Masukkan ke Dalam Bokor ........................ 91
Gambar 3.13 Prosesi Siraman pada Calon Pengantin Perempuan
Oleh Kedua Orang Tua ...................................................... 92
Gambar 3.14 Prosesi Pecah Kendi ........................................................... 93
Gambar 3.15 Prosesi Adol Dawet oleh Orang Tua Mempelai
Perempuan ............................................................................ 95
Gambar 3.16 Pemasangan Inai pada Jari Calon Pengantin ....................... 97
Gambar 3.17 Prosesi Ijab Kabul .............................................................. 102
Gambar 3.18 Suasana Marhaban Saat Prosesi Tepung Tawar .................. 103
Gambar 3.19 Perlengkapan Tepung Tawar .............................................. 104
Gambar 3.20 Prosesi Tepung Tawar yang di Lakukan
Oleh Ayah Mempelai Pengantin Perempuan ...................... 105
Gambar 3.21 Kembar Mayang ................................................................. 107
xiv
Gambar 3.22 Cengkorongan Paes Ageng ................................................. 109
Gambar 3.23 Dua Orang Putri Domas ...................................................... 112
Gambar 3.24 Seorang Manggolo yang Membawa Kembar Mayang ......... 113
Gambar 3.25 Cucuking Lampa pembawa Jalan pengantin ........................ 113
Gambar 3.26 Rombongan Pagar Bagus dan Pagar Ayu ............................ 114
Gambar 3.27 Kata Sambutan dari Rombongan Pengantin Pria ................. 115
Gambar 3.28 Bapak Cipto, Pemimpin rombongan pengantin Pria ............ 117
Gambar 3.29 Bapak Sumardji, Pimpinan Rombongan
Pengantin Perempuan ......................................................... 118
Gambar 3.30 Penyerahan Kembar Mayang Kepada Remaja Putra ........... 119
Gambar 3.31 Persiapan untuk prosesi Gantal (Balangan Sirih) ................ 120
Gambar 3.32 Perlengkapan Prosesi Ngidak Endhok (Wiji Dadi) .............. 121
Gambar 3.33 Bokor Berisi Air Untuk Mencuci Kaki Pengantin Pria ........ 122
Gambar 3.34 Ngidak Endhok (Wiji Dadi) ................................................ 122
Gambar 3.35 Prosesi Sindur Binayang Menuju Pelaminan ....................... 123
Gambar 3.36 Prosesi Timbangan ............................................................. 125
Gambar 3.37 Prosesi Tanem Jero Oleh Ayah Pengantin Perempuan ........ 126
Gambar 3.38 Prosesi Kacar Kucur Oleh Pengantin Pria ........................... 128
Gambar 3.39 Prosesi Dahar Klimah ........................................................ 129
Gambar 3.40 Prosesi Mapag Besan ......................................................... 130
Gambar 3.41 Sungkeman Setelah Mapag Besan di Lakukan .................... 131
Gambar 3.42 Kirab Pengantin dengan busana Kepangeranan .................. 132
Gambar 3.43 Tari Golek Sirih .................................................................. 133
Gambar 3.44 Tarian Gatot Kaca .............................................................. 134
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Daftar Nama Camat yang pernah Memimpin
di Kecamatan Medan Selayang .......................................... 32
Tabel 2.2 Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan
di Kecamatan Medan Selayang .......................................... 34
Tabel 2.3 Komposisi Penduduk di Kecamata Medan Selayang
Berdasarkan Agama Tahun 2013 ........................................ 35
Tabel 4.1 Interval Melodi Gendhing Monggang ................................. 174
Tabel 4.2 Interval Melodi Gendhing Ladrang Wilujeng ..................... 174
Tabel 4.3 Interval Melodi Gendhing Kodok Ngorek ........................... 175
Tabel 4.4 Interval Melodi Gendhing Ketawang Larasmaya ................ 175
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
Di Indonesia berbagai bentuk penyajian upacara perkawinan sangat
beragam, yang pastinya secara kuantitatif berdasarkan kepada keberadaan suku-
suku di Indonesia saat ini. Suku Jawa misalnya, memiliki upacara perkawinan
yang sangat khas, di antara berbagai suku-suku yang ada di Indonesia. Ritualisasi
upacara perkawinan dikemas dengan berbagai simbol, tata rias, tuturan, pesan,
dan nasehat yang sangat istimewa. Sehingga upacara yang dilakukan menjadi
sebuah upacara tradisional. Upacara tradisional merupakan upacara yang
dilakukan dan mengikuti aturan atau tata cara serta tradisi yang berlaku secara
turun temurun pada suatu lingkungan budaya tersebut.
Dalam tradisi budaya Jawa, perkawinan selalu diwarnai dengan serangkai-
an upacara yang mengandung nilai-nilai luhur, yang mengajarkan perlunya
keseimbangan, keselarasan serta interaksi dengan alam semesta. Iringan gamelan
yang dramatis dan magis mewarnai suasana hingga terasa lebih istimewa. Upacar
itu dilakukan baik oleh masyarakat jawa yang ada di pusat peradabannya yaitu
pulau Jawa, maupun diasporanya di seluruh Nusantara (termasuk di Sumatera
Utara).
Masyarakat Jawa yang ada di Sumatera Utara, sebahagian besar masih
melaksanakan upacara perkawinan menurut adat Jawa. Namun yang menarik
dalam konteks adaptasi dengan kebudayaan-kebudayaan etnik yang ada di
Sumarera Utara, beberapa unsur kebudayaan di sekitar orang Jawa di Sumatera
2
juga di adopsi dalam ritual perkawinan adat Jawa ini. Misalnya penggunaan
tepung tawar yang berasal dari kebudayaan Melayu. Demikian pula ketika acara
hiburan, tidak mutlak semua lagu-lagu Jawa yang di sajikan, bisa saja lagu
Mandailing, Toba, Karo, Melayu, dan lainnya.1 Namun pada umumnya upacara
dan musik ritual dalam mengiringi upacara perkawinan adat Jawa ini masih
menggunakan tradisi upacara dan tradisi musik (karawitan) Jawa.
Pada masa-masa akhir ini, Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh mayoritas
orang Jawa, bahkan ada catatan yang menyebutkan lebih dari 50%. Rinciannya
adalah suku Melayu 7.63%, Batak (Toba) tercatat 19.44%, Karo 6.64%, Mandailing
6.32%, Simalungun 2.72%, Nias, 0.40%, Pakpak 0.16. Sementara kelompok
pendatang selain Jawa adalah Cina 3.63% (kelompok ini pernah mencapai jumlah
lebih dari 20% untuk Kota Medan dan sekitarnya), Minangkabau 3.30%, dan Aceh
1.26%. Dengan demikian, berarti Suku Jawa secara keseluruhan meliputi jumlah
lebih dari 36% (Siyo, 2008:88).
Perpindahan orang Jawa ke Sumatera pada abad ke-19 dengan tujuan
sebagai pekerja kontrak yang menggantikan kuli kontrak asal Cina yang memiliki
upah yang relatif mahal. Oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda pada masa
1Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang), secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Timur yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya secara umum adalah petani dengan menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, atau juga kelapa. Di antara tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang terkenal di Sumatera Utara di antaranya adalah Drs. Kasim Siyo, M.Si., sebagai presiden Pujakesuma Sumatera Utara, kemudian Wagirin Arman seorang tokoh politik dan ahli parlemen di Kabupaten Deli Serang, Djati Oetomo, manejer radio Pasopati Medan yang menyiarkan khas budaya Jawa, Prof. Dr. Subanindyo Hadiluwih, S.H., seniman, dosen, dan penulis terkemuka mengenai kebudayaan Jawa di Sumatera Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Di bidang kesenian, umumnya kebudayaan Melayu di kawasan ini paling banyak didukung oleh seniman beretnik Jawa ini, di samping seniman Melayu itu sendiri. Di antara seniman-seniman seni Melayu yang berasal daripaa etnik Jawa adalah: Sirtoyono yang bergabung dengan kumpulan kesenian Patria, ia seniman serba bisa, pemusik, penari, koreografer, pemain teater, dan penulis drama sekaligus. Seterusnya adalah Sumardi, sebagai pemain akordion Melayu yang handal. Di sisi lain ada pula Retno Ayumi, seorang penulis tari dan penari Melayu terkemuka di Sumatera Utara.
3
itu lebih senang memilih kuli asal India dan juga Jawa yang upahnya relatif lebih
murah (Breman, 1997:53). Perpindahan orang Jawa sendiri di perkirakan
mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan 20, hal ini karena faktor dorongan
kemaun sendiri yang didasarkan untuk tujuan pencarian lahan baru untuk
pertanian, atau paksaan yang di lakukan oleh kolonialisme Belanda. Orang Jawa
berpindah dalam jumlah besar di Semenanjung Malaysia, khususnya di Johor dan
Selangor, kemudian sebagai kuli kontrak di kawasan Deli, Sumatera Utara,
sehingga lahirlah istilah Pujakesuma yaitu akronim dari Putra Jawa Kelahiran
Sumatera [bukan sebatas Sumatera Utara] (Siyo, 2008:74).
Sebelumnya Orang Jawa pendatang ini dikenal deangan Sebutan Jakon2
(Jawa Kontrak) ataupun Jadel (Jawa Deli).3 Sebutan-sebutan itu adalah yang
dahulu identik dengan orang Jawa sebagai pekerja perkebunan di Tanah Deli.
Karena pada awal kedatangan orang Jawa ke Sumatera Utara, adalah sebagai kuli
kontrak perkebunan. Jakon atau Jadel adalah sebutan yang mungkin sebuah
streotip etnik yang diberikan oleh orang yang bukan Jawa. Sekarang untuk lebih
halusnya, orang sering menyebut orang Jawa dengan Pujakesuma (Putra Jawa
2Jawa Kontrak dalam istilah ini adalah merujuk kepada pengertiannya sebagai kelompok
buruh yang didatangkan dari Jawa oleh Belanda (terutama di masa awal pembukaan perkebunan-perkebunan oleh Nienhuys dan kawan-kawan di paruh akhir abad kesembilan belas). Sistem yang digunakan oleh para maskapai perusahaan Belanda ini adalah sistem kontrak, dan apabila telah habis masa kontraknya, mereka para buruh Jawa ini bisa kembali ke Jawa atau meneruskan kontraknya. Namun dalam catatan sejarah sebahagian besar buruh tersebut terus melanjutkan kontraknya, dan sebahagian yang telah bisa mandiri mendirikan kampung-kampung yang bersifat pertanian (agrikultural) di sleuruh wilayah Sumatera Timur (kini Sumatera Utara). Pengertian historis inilah yang ingin dimaknakan oleh penyebutan Jawa Kontrak.
3Pengertian Jawa Deli yang diakronimkan menjadi Jadel adalah istilah yang merujuk kepada masyarakat Jawa yang awalnya dating ke wilayah Sumatera Timur atau Deli sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Deli itu sendiri memiliki pengertian sebagai sebuah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur, namun adakalanya pengertian Deli ini meluas, yaitu mewakili keseluruhan wilayah Sumatera Timur, yang terbentang dari daerah Tamiang, Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, Kesultanan Serdang, Kedatykan Batubara, Kesultanan Asahan, Kesultanan Bilah, Kesultanan Panai, Kesultanan Kualuh, Kesultanan Kotapinang, dan berbagai wilayah Sumatera Timur lainnya. Dengan demikian, istilah Jawa Deli merujuk kepada orang Jawa yang hidup dan beradaptasi sosiokultural di wilayah Sumatera Timur.
4
Kelahiran Sumatera). Sebagian orang yang bukan orang Jawa, atau bahkan
mereka sendiri yang masih keturunan Jawa, atau karena lahir di Sumatera,
beranggapan bahwa Pujakesuma adalah sebutan yang lebih terhormat sebagai
pengganti istilah Jakon ataupun Jadel yang mengandung konotasi status sosial
yang rendah.
Jakon atau Jawa Kontrak adalah sebutan bagi mereka yang memiliki
ikatan kerja dengan para panguasa pada zaman kolonialisme, mereka di tempatkan
di kawasan-kawasan terdalam atau daerah daerah terpencil yang memiliki potensi
perkebunan seperti perkebunan karet, sawit dan juga kopi. Ketika masa kontrak
mereka habis, sebagian dari orang-orang Jawa tersebut tidak kembali ke Pulau
Jawa, mereka memilih tetap bertahan di perkebunan yang mereka tinggali.
Sedangakan istilah Jadel atau Jawa Deli, adalah sebutan bagi mereka yang datang
dan bekerja sebagai kuli di perkebunan di Tanah Deli (dengan pusatnya di
Medan). Mereka bakerja sebagai kuli (koeli) pada perkebunan tembakau di
Sumatera Timur atau pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan Perkebunan
Tembakau Deli. Biasanya, ketika masa kontrak mereka juga habis, mereka
mamilih untuk tinggal di pedalaman atau mencari tempat baru yang lebih tenang
(Siyo, 2008:83),
Dalam perkembangannya, orang Jawa yang ada di Sumatera Utara
membentuk kelompok-kelompok yang mencirikan keetnikitasan mereka. Tujuan
pembentukan ini didasari dari rasa senasib dan sepenangunggan. Pada dasarnya
mereka adalah keturunan atau generasi dari para Jakon atau Jadel yang bekerja di
perkebunan-perkebunan yang terdapat di tanah Deli. Perkumpulan-perkumpulan
etnik yang muncul yang di dasari oleh berbagai macam latar belakang membuat
5
orang Jawa yang ada di perantauan seakan semakin dekat dengan tanah kelahiran
mereka.
Pada tahun 1980-an munculah perkumpulan etnik Jawa yang di kenal
dengan Pujakesuma. Istilah ini memiliki pengertian sebagai budaya Jawa yang
masih melekat pada masyarakat Jawa yang ada di Sumatera. Munculnya
paguyuban juga dapat di katakan sebagai rasa etnikitas agar tetap eksis di tengah-
tengah persaingan hidup antar etnik.
Keberadaan perkumpulan atau paguyuban4 berdasarkan etnik atau
kedaerahan di berbagai daerah telah menyebabkan masyarakat di suatu tempat
juga berupaya untuk menunjukkan identitasnya. Dengan kata lain, perkumpulan
etnik atau marga menjadi simbol akan keberadaan mereka di tengah masyarakat
lain, misalnya saja pada etnik Batak, Minangkabau, dan Melayu. Paguyuban
secara khusus mencirikan suku ataupun kedaerahannya. Sehingga fungsi
paguyuban memiliki fungsi sosial dan juga budaya, bahkan sebagai tempat
berlindung untuk mencari ketenangan dan menjauhkan diri dari rasa kegelisahan
serta rasa takut di tempat yang bukan daerah tanah leluhurnya. Bahkan orang
Jawa sendiri merasa bahwa tanah Sumetara juga merupakan tanah kelahiran
mereka yang patut mereka bangun.
4Paguyuban adalah kata bentukan dari kata dasar guyub. Istilah guyub dalam bahasa Jawa
yang telah diserap menjadi bahasa Indonesia, dapat dimaknai sebagai persatuan yang biasanya dilatarbelakangi oleh persamaan-persamaan etnik, kelompok profesi, kelompok agama, dan lain-lainnya dalam masyarakat. Paguyuban memiliki makna luhur dalam filsafat Jawa, sebagai sebuah persatuan yang memiliki cita-cita bersama, dan menekankan kepada kerja secara bersama-sama atau gotong royong, yang di dalamnya juga mengandung pengertian akan kewajiban dan hak setiap individu, serta pengertiannya sebagai ekspresi dari solidaritas dan integritas sosial. Dalam masyarakat Sumatera Utara, selain istilah paguyuban ini, terdapat juga istilah-istilah yang berakar dari kearifan lokal seperti parsadaan pada masyarakat Toba dan Mandailing-Angkola. Demikian pula dalam masyarakat Nias dikenal sebagai persatuan ori (yaitu masyarakat yang disatukan wilayah teritorial dengan berbasis pada satu ori yang terdiri dari beberapa desa adat).
6
Selain Pujakesuma, dalam kebudayaan masyarakat Jawa di Sumatera
Utara ini, seterusnya bermunculan pula berbagai perkumpuan yang belatar
belakang budaya etnik Jawa juga, seperti:
(a) Pajar (Paguyuban Jawa Rembug), paguyuban ini sama seperti Pujakesuma,
hanya saja dalam penyaluran aspirasi politiknya, lebih di arahkan pada PBR
(Partai Bintang Reformasi);
(b) PJB (Paguyuban Jawa Bersatu), persyaratan yang harus dipenuhi untuk
menjadi anggota paguyban ini adalah Orang Jawa dan beragama Islam;
(c) FKPPWJ (Forum Komunikasi Putra-Putri Warga Jawi), organisasi ini
didirikan sebagai wadah forum komunikasi menyatukan pendapat dan
aspirasi warga Jawa, baik yang lahir di Jawa maupun di luar Jawa bahkan di
luar negeri. Sedangkan organisasi untuk kaum mudanya adalah Generasi
Muda Jawa (Gema Jawa);
(d) Ikatan Keluarga Solo, dan lain-lain.
Pada saat ini adanya sebuah faktor yang di latar belakangi oleh nilai
politik, maka paguyuban masyarakat Jawa pada saat sekarang yang ada di
Sumatera Utara, khususnya di kota Medan telah mengalami peleburan paguyuban
menjadi beberapa paguyuban yang di landaskan oleh kepentingan-kepentingan
tertentu. Akan tetapi adat dan budaya Jawa tetap di jalankan dan di wariskan
kepada anak-anaknya. Orang Jawa pada hakikatnya memiliki watak untuk dapat
menyesuaikan diri dengan orang dan lingkungannya. Orang Jawa yang datang ke
Sumatera Utara bukanlah golongan priyayi yang harus merasa di hormati dan
harus memerintah. Ini juga didukung oleh kebudayaan Jawa, untuk menjaga
harmoni sosial dimana pun mereka berada. Mereka sebahagian besar adalah
7
golongan abangan, dan sesampainya di Sumatera Utara, mereka tidak lagi
menerapkan tiga strata sosial seperti di Pulau Jawa, yang terdiri dari golongan
santri (golongan alim ulama), priyayi (bangsawan), dan abangan ( rakyat biasa).
Orang Jawa hampir sebagian menempati daerah Kota Medan, di antaranya
adalah Medan Johor, Medan Tembung, Medan Timur, Helvetia, Tanjung Sari,
Medan Tuntungan, Medan Marelan, dan sebagian kecamatan lain. Sebagian besar
masyarakat Jawa tinggal di kawasan padat, kompleks perumahan dan kumuh di
pinggiran kota, serta banyak memilih usaha sebagai buruh, pertukangan, pedagang
kecil, pembantu rumah tangga, dan pegawai rendahan. Namun ada sebagian orang
Jawa berstatus perantauan yang sementara tinggal di Medan untuk menyelesaikan
tugas dinas, sebagai mahasiswa, dan pebisnis.
Di Sumatera Utara, orang Jawa menikahkan anaknya dengan tradisi Jawa
yang di wujudkan dalam upacara perkawinan adat Jawa. Dan juga menghitung
penanggalan pernikahan berdasarkan penanggalan pasaran suku Jawa sesuai
dengan tanggal lahir anak yang akan menikah tersebut. Ini sangat berguna untuk
keberlangsungan hidup seseorang yang mengadakan acara ataupun bagi sanak-
saudara agar terhindar dari marabahaya, dan penanggalan ini telah di pakai selama
bertahun-tahun dalam melangsungkan setiap acara-acara maupun dalam hajatan
lainnya sehingga cara penanggalan ini menjadi suatu kepercayaan tersendiri di
dalam masyarakat suku Jawa di manapun berada.
Di dalam serangkaian upacara-upacara perkawinan tersebut terdapat
ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa yang bermakna nasihat untuk kedua
mempelai. Ungkapan tersebut di pakai sebagai media penyampai pesan yang
berwujud tutur lisan dan memiliki bentuk ungkapan berupa kata, frasa, klausa,
8
atau kalimat. Ungkapan tersebut memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi
berupa nasihat, tuturan, petuah, dan saran yang di harapakan bisa bermanfaat bagi
semua pihak, terutama bagi kedua pengantin.
Pada suku Jawa, prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan
yang saling mencintai, meski ada juga perkawinan yang terjadi karena perjodohan
oleh kedua orang tua. Hubungan cinta kasih antara pria dan wanita setelah melalui
proses pertimbangan, biasanya dimantapkan dalam sebuah tali ikatan perkawinan,
hubungan dan hidup bersama secara resmi dan halal selaku suami istri dari segi
hukum, agama, dan adat.
Dalam masyarakat Jawa kehidupan kekeluargaan masih kuat, sehingga
akan mempertemukan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan
yang berlaku, kedua insan yang berkasih-kasihan akan memberi tahu kepada
keluarga atau sanak saudara masing-masing bahwa mereka telah menemukan
pasangan yang cocok dan ideal untuk di jadikan suami atau istri, dalam membina
rumah tangga yang di ridhoi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian, setelah kedua belah pihak orang tua atau keluarga
menyetujui perkawinan, maka di lakukan langkah-langkah selanjutnya, yang
terbagi atas 5 (lima) babak yang dapat dipaparkan. Babak yang pertama, yaitu
intinya mencakup tahap pembicaraan pertama sampai tingkat melamar, disebut
sebagai pembicaraan, yang didalamnya terdapat beberapa prosesi yang penting
dilakukan, di antaranya ialah: nontoni, ngelamar.
Babak kedua terdapat pula beberapa prosesi. Di antaranya prosesi yang
pertama dalam babak yang kedua (tahap yang kedua disebut sebagai tahap
kesaksian), yaitu adalah: srah-srahan, paningsetan, asok tukon, dan gethok dina.
9
Babak ketiga disebut sebagai tahap siaga, prosesi yang terdapat pada
babak ketiga yaitu pembentukan panitia dan pelaksana kegiatan yang melibatkan
para sesepuh atau sanak saudara, prosesinya adalah: sedhahan, kumbakarnan, dan
jenggolan atau jonggolan.
Kemudian di lanjutkan dengan babak keempat, yaitu tahapan rangkaian
upacara yang biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah
orang tua mempelai perempuan di hias dengan tarub (dekorasi tumbuhan), yang
biasanya terdiri dari pohon pisang, buah pisang, tebu, buah kelapa, dan daun
beringin yang memiliki arti agar pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia
di mana saja. Pasangan pengantin saling cinta satu sama lain dan akan merawat
keluarga mereka. Namun pada kenyataannya pada saat sekarang ini tarub tidak
lagi menggunakan bahan-bahan tersebut melainkan menggunakan kain gorden
yang memiliki berbagai warna sesuai selera serta rangkaian bunga-bungan tiruan
yang di rangkai menjadi satu menggambarkan atau membentuk pintu gerbang.
Dekorasi yang lain yang di siapkan adalah kembar mayang, yaitu suatu karangan
bunga yang terdiri dari sebatang pohong pisang raja dan dauh pohon kelapa yang
masih muda (masih kuncup), yang biasa disebut janur kuning. Prosesi yang
terdapat pada babak keempat ialah mencakup: Pasang tratag lan tarub, kembar
mayang, siraman, adol dhawet (jual dawet/cendol), paes, midodareni, selametan,
dan nyantri atau nyatrik.
Masuk pada babak terkahir upacara perkawinan yaitu babak kelima, yaitu
prosesi upacara pertama pada puncak acara. Prosesi yang dilakukan adalah ijab
yang melibatkan pihak tuan kadi dari KUA (Kantor Urusan Agama), setelah acara
ini berjalan dengan lancar dan dianggap sah maka kedua mempelai resmi menjadi
10
sepasang suami istri. Di lanjutkan dengan prosesi kedua yaitu upacara panggih
yang meliputi liron kembang mayang, gantal (balangan), ngidak endhok (wiji
dadi), masuk ke pasangan, dan sindur binayang. Setelah upacara panggih, kedua
mempelai kemudian di arak dengan menggunakan sehelai kain berwarna merah
bermotif putih (sindur) oleh ayah mempelai perempuan yang di lingkarkan di
belakang ayah mempelai perempuan, pengantin pria dan pengantin perempuan
berada dalam lingkaran kain sindur tersebut dan kemudian ibu mempelai
perempuan memegang pundak kedua pengantin dari belakang untuk di antar
duduk di sasana riengga (pelaminan).
Masuk prosesi yang ketiga adalah: timbangan, tanem, kacar-kucur, dan
dhahar kembul (dulangan). Prosesi keempat mapag besan (menerima besan).
Prosesi kelima disebut sungkeman, dan yang terkahir adalah prosesi kirab. Dari
penjabaran singkat upacara adat perkawinan suku Jawa (termasuk di Sumatera
Utara) di atas akan dijelaskan lebih rinci mengenai simbol, bahasa, dan musik
pada skripsi ini dalam bab tiga.
Musik yang di gunakan untuk mengiringi upacara perkawinan di atas yaitu
pada prosesi ketiga yakni pada saat upacara panggih. Sejauh pengamatan penulis
di Kota Medan umumnya menggunakan musik rekaman, yang di putar dengan
tape recorder atau VCD/MP3 player, atau lainnya. Biasaya di perkuat dengan
loudspeaker. Ini merupakan fenomena yang menarik dalam kebudayaan suku
Jawa di Sumatera Utara. Kalau di Jawa menurut pendapat para informan, musik
yang di sajikan cenderung live (langsung) dan menggunakan perangkat gamelan
(baik slendro atau pelog) secara lengkap, apalagi yang mengadakan adalah
keluarga dengan kemampuan ekonomi yang baik. Sementara di Sumatera Utara,
11
termasuk Medan dan sekitarnya, orang Jawa yang melakukan upacara perkawinan
biasanya cukup menggunakan musik rekaman saja, walau ada sedikit orang yang
menggunakan gamelan secara live. Menurut keterangan para informan, keadaan
ini di sebabkan oleh karena faktor efektivitas, dan tidak menjadi sanksi sosial jika
tidak melaksanakan upacara memakai iringan gamelan secara live. Selain itu
adalah mereka merasa sebagai orang Jawa kelahiran Sumatera yang lebih tepat
mengadakan musik hiburan yang dapat mengakomodasi berbagai jenis budaya
(lagu) di kawasan ini. Oleh karena itu mereka cenderung menampilkan musik
keyboard atau yang sejenis.
Gendhing rekaman yang berjudul Monggang, Ladrang Wilujeng, Kodok
Ngorek, dan Ketawang Larasmaya ini di beli dari Solo melalui rekan dari Bapak
Agus Wayan (informan kunci sekaligus pembawa acara panggih) yang kebetulan
bepergian ke daerah Solo. Ini jugalah fenomena yang menarik musik dalam
upacara perkawinan adat Jawa di Kota Medan dan Sumatera Utara secara umum
yang telah berubah dalam penyajian musik dalam mengiringi upacara perkawinan
adat suku Jawa.
Perlengkapan busana dalam upacara perkawinan adat suku Jawa juga
menjadi bagian penting. Sebagian besar kalangan masyarakat Jawa, umum diluar
lingkungan kraton menggunakan busana pengantin Solo putri dan ada juga yang
mengenakan busana dodot, sesuai selera masing-masing pihak. Pengantin
perempuan mengenakan kebaya panjang, yang panjangnya bisa di bawah lutut,
sesuai selera, perhiasan berupa bros tiga susun dipasang di dada, giwang, serta
kalung. Kain batik untuk pengantin perempuan maupun pria menggunakan motif
khusus yang bermakna mulia, yakni sidomukti, sido mulyo, atau sidoasih yang di
12
prada keemasan ataupun tanpa prada. Kain batik di wiru, yakni dilipat-lipat
bagian ujung lebarnya, sebanyak tujuh atau sembilan lipatan selebar masing-
masing dua jari. Busana pengantin Solo putri menggunakan sanggul bangun
tulak. Pada bagian atas kanan sanggul di sematkan ronce melati yang menjuntai
hingga dada.
Perlengkapan lain yang di perlukan adalah selop (sandal) warna yang di
anggap serasi dengan kebayanya. Pada busana mempelai pria Solo putri berupa
jas beskap Jawa lengkap yang disebut baju sikepan warna hitam, merah maron,
biru, atau hijau daun sesuai selera yang terbuat dari kain beludru dengan bordir
benang atau mote warna kuning keemasan, serasi dengan mempelai perempuan.
Bagian dalam di lapis dengan rompi berwarna putih. Perhiasan mempelai pria
berupa kalung ulur atau kalung karset yang ditahan dengan bros. Pada kepala
memakai blangkon warna hitam atau senada dengan warna busana. Sebagai
penyempurna, mempelai pria menggunakan keris berhias bunga kolong keris.
Yang menjadi objek penelitian penulis dalam rangka penulisan skripsi ini,
adalah upacara perkawinan adat Jawa di Jalan Sei Batu Gingging, Kelurahan
Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Medan. Segala deskripsi
dan analisis baik itu musikal, upacara, hiburan, dan lainnya adalah berdasarkan
observasi penulis pada tanggal 4 sampai 5 Mei 2013, dimana penulis melakukan
penelitian dalam status penulis sebagai asisten penyedia jasa foto wedding yang
tergabung dalam Mamipapi Photowork.
Ketertarikan penulis akan upacara perkawinan adat Jawa tersebut adalah
dimana dalam setiap prosesi ritual yang dilakukan di kediaman Bapak Djumali,
S.H., orang tua mempelai wanita Yurista Arini, S.H. oleh para informan adalah
13
dipandang lengkap (untuk ukuran orang Jawa di Sumatera Utara), mulai dari
perlengkapan, prosesi sesuai adat perkawinan Jawa yang semestinya telah
dijalankan turun-temurun dari generasi ke generasi dan berbeda dari apa yang
pernah penulis lihat pada upacara perkawinan adat suku Jawa sebelum-
sebelumnya yang hanya terkesan singkat dan dalam melaksanakan beberapa
prosesi banyak yang telah ditingggalkan. Artinya pada setiap prosesi upacara
perkawinan Jawa yang ada di Jalan Sei Gingging pada tanggal 4 sampai5 Mei
2013 yang dilakukan mulai dari tahap upacara sebelum pernikahan sampai
upacara setelah pernikahan mulai dari simbol, keperluan upacara, perlengkapan
upacara ritual, dan lain sebagainya sangat memenuhi syarat dari sebuah upacara
perkawinan adat Jawa seperti yang telah dijelaskan babak demi babak secara
ringkas di atas. Hal ini salah satu faktornya adalah disebabkan oleh adanya faktor
maupun tingkatan ekonomi yang dimiliki oleh setiap keluarga dalam masyarakat
Jawa.
Pada konteks penggunaan upacara perkawinan adat suku Jawa yang ada di
Sumatera Utara, sejauh penelitian penulis memiliki dua bentuk, yakni upacara
perkawinan adat Yogyakarta dan upacara perkawinan adat Solo (Surakarta).5
Hasil wawancara penulis dengan salah seorang informan yakni Bapak Agus
5Masyarakat Jawa pada masa kini, orientasi kebudayaannya adalah pada dua keraton
besar di Jawa Tengah. Yang pertama adalah Kasunanan Surakarta yang pusatnya ada di kota Solo atau Surakarta, dengan sebutan rajanya Paku Buwana. Yang kedua adalah Kasultanan Yogyakarta yang berpusat di Kota Yogyakarta, dengan sebutan rajanya Hamengku Buwana. Kedua kesultanan Jawa Islam ini adalah peninggalan dan kontinuitas dari Kesultanan Mataram (Islam) Jawa Tengah. Keduanya berpisah dalam proses politik kekuasaan di Tanah Jawa di abad ke-17, terutama kartena politik adu domba (divide et impera) yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, dengan tujuan menguasai Nusantara ini. Kedua kerajaan ini sepakat membagi wilayah mereka dalam Perjanjian Giyanti. Ketika terjadi penandatangan Perjanjian Giyanti pada tahun 1775 yang mengesahkan pembagian kerajaan Mataram Surakarta menjadi dua, yaitu yang tetap menjadi wewenang Sunan Paku Buwana III yang merupakan setengah dari kerajaan Mataram Surakarta, dan setengahnya yang menjadi hak Sultan Hamengku Buwana I yang menggunakan nama kerajaan barunya, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
14
Wayan, yaitu beliau sebagai pembawa acara panggih temanten (pembawa upacara
pada perkawinan adat Jawa yang mempertemukan kedua mempelai pengantin)
serta pemilik Sanggar Cipto Budoyo di Jalan Istiqomah, Helvetia, Medan, pada
acara resepsi pernikahan Yusrita Arini, S.H. dengan Boy Budiansyah, S.H.,
menjelaskan bahwa upacara perkawinan adat Jawa yang di selenggarakan pada
tanggal 5 Mei 2013 tersebut dimana acara resepsinya sendiri di adakan di Hotel
Danau Toba Internasional Medan adalah menggunakan tata upacara perkawinan
adat Solo. Hal yang membedakan antara tata upacara perkawinan adat
Yogyakarta dengan tata upacara perkawinan adat Solo yang terdapat pada ritual
pecah telur dan busana yang di kenakan oleh kedua mempelai pengantin.
Telur yang di maksud adalah telur ayam kampung yang putih dan bersih
yang melambangkan kesucian dalam membangun rumah tangga baru. Hal ini
dapat di lihat pada adat Jogja yang ritual pecah telurnya di lakukan oleh mempelai
wanita yang kemudian telur tersebut di usapkan ke kening mempelai pria
kemudian di pecahkan di lantai. Sedangkan perkawinan adat Solo di kenal
dengan istilah ngidhak endhok (wiji dadi) dimana ritual pecah telur tersebut di
pecahkan dengan cara diinjak dengan kaki kanan oleh mempelai pria tanpa
menggunakan alas kaki dan kemudian kaki mempelai pria di basuh dengan air
yang telah di campur dengan bunga setaman oleh mempelai perempuan (hasil
wawancara dengan Pak Agus Wayan 15 Mei 2013).
Berbagai hal baru bagi diri pribadi penulis lihat dalam upacara perkawinan
adat Jawa pada pernikahan tersebut di antaranya adalah menampilkan dua bentuk
tarian sebagai hiburan setelah terselenggaranya upacara adat perkawinan dalam
15
acara resepsi pernikahan tersebut. Tarian tersebut berupa Tari Gatot Kaca dan
Tari Golek Sirih.
Musik gendhing gamelan yang di gunakan dalam prosesi temu temanten
merupakan bagian yang cukup penting dari upacara perkawinan adat Jawa yang
tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat ditinggalkan meski penggunaannya pada
saat ini sangat praktis hanya dengan menggunakan rekaman maupun format mp3
yang telah menjadi data digital yang bisa di perbanyak secara praktis pula melalui
komputer. Hal ini di sebabkan yang paling utama karena dari segi biaya yang
sangat bisa di jangkau oleh masyarakat Jawa yang ada di Sumatera pada
umumnya, apabila secara langsung menyediakan musik gamelan maka akan
membutuhkan biaya yang besar. Musik gamelan tidak dapat di tinggalkan dalam
upacara prosesi temu temanten maupun dalam acara upacara secara keseluruhan,
karena apabila musik tersebut tidak di sertakan, dalam jiwa Jawa merasa adanya
kekurangan, yang membuat suasana terasa kurang sakral dan kurang semarak
(hasil wawancara dengan Pak Agus Wayan). Gendhing-gendhing yang mengiringi
selama upacara sudah di atur secara kronologis sesuai dengan makna bagian-
bagian upacara tersebut.
Adapun gendhing-gendhing tersebut akan di jelaskan pada bab
selanjutnya, namun gending yang menjadi kajian penulis disini adalah:
1. Gendhing Monggang, yaitu gendhing yang dimainkan pada saat datangnya
pengantin pria beserta rombongan untuk melaksanakan upacara panggih.
2. Ladrang Wilujeng, yaitu gendhing untuk mengiringi pengantin putra masuk
kerumah pengantin putri untuk dipertemukan dengan pengantin putri.
16
3. Gendhing Kodok Ngorek, yaitu gendhing yang dimainkan pada saat prosesi
upacara panggih berlangsung, kemudian dilanjutkan dengan gendhing,
4. Ketawang Laramaya, dimana gendhing ini dipergunakan pada saat pengantin
sindur binayang sampai didudukkan di pelamin oleh ayah pengantin
perempuan.
Gending-gendhing tersebut di hasilkan oleh beberapa instrumen di antaranya
ialah Kendang (membranofon), Kendang (membranofon), Gong, dan Saron
(idiofon) dan lain-lainnya. Namun penulis mengalami kendala dalam
mendengarkan gending-gendhng tersebut pada saat upacara berlangsung, dimana
ada beberapa suara yang bersumber pada pengeras suara yang lebih dari suara
musik yang terdengar, yaitu suara pembawa acara yang intensitasnya melebihi
suara musik gendhing-gendhing yang diputar pada saat upacara panggih. Pada
Akhirnya penulis tertarik untuk memutuskan lebih mendengarkan suara melodi
musik gendhing yang dominan terdengar yang dihasilkan oleh dua atau tiga
instruments musik seperti kendang, gong dan saron. Musik berfungsi sebagai
pelengkap dalam pelaksanaan upacara, pada saat prosesi upacara temu temanten
musik di percaya sebagai penambah khidmatnya upacara adat tersebut.
Di sini yang menjadi objek penelitian penulis adalah proses jalannya
upacara perkawinan adat suku Jawa serta musik iringan upacara dimaksud yang
paling dominan terdengar pada saat prosesi temu temanten yang mendukung
suasana upacara menjadi sangat khidmat. Sehingga pada akhirnya penulis ingin
mengetahui dan meneliti berbagai aspek yang terkandung dalam upacara adat
perkawinan suku Jawa di Medan khususnya, dengan pendekatan-pendekatan
etnomusikologis.
17
Etnomusikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang merupakan fusi dari
musikologi dan antropologi (etnologi). Secara eksplisit apa itu etnomusikologi
sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan manusia, didefinisikan oleh Merriam,
sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies have been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).6
Apa yang di kemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para
pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih
pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam
memfungsikan kedua disiplin ini, akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan
6Dalam aplikasi disiplin etnomusikologi di Indonesia dan dunia, terdapat sebuah buku yang
terus populer sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang berciri khas etnomusikologis.
18
munculnya masalah besar dalam rangka menggabungkan kedua disiplin itu. Oleh
karena itu setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian ilmu pada
salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.
Etnomusikologi seperti yang di uraikan oleh Merriam tersebut menekankan
perhatian pada dua aspek. Yang pertama adalah fungsi musik dalam kebudayaan
manusia yang mendukungnya. Ini berkaitan dengan konteks musik tersebut
digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kontribusi tersebut dalam
masyarakat pendukungnya. Yang kedua adalah struktur musik itu sendiri, yang
memiliki hukum-hukum internalnya, yang bisa saja berbeda antara satu musik
dengan musik lain, antara budaya musik etnik yang satu dengan yang lainnya.
Sesuai dengan penjelasan Merrtiam tentang etnomusikologi tersebut di
atas, maka sangatlah relevan mengkaji upacara perkawinan adat Jawa dan musik
yang digunakan serta berfungsi dalam upacara tersebut di Sumatera Utara.
Bagaimanapun masyarakat Jawa di Sumatera Utara ini memiliki kebijakan
adaptasi tersendiri dalam rangka melakukan kontinuitas dan perubahan
kebudayaannya di lokasi baru, bukan lokasi induknya di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Hal yang menarik lainnya adalah bagaimana terjadinya reduksi seni musik
untuk iringan upacara perkawinan yang hanya menggunakan rekaman dan alat
rekaman saja, tidak pertunjukan langsung (live). Ini juga sejauh perhatian penulis
adalah fenomena yang umum di dalam kebudayaan masyarakat Jawa di Sumatera
Utara. Hal yang menarik lainnya, masyarakat Jawa di Sumatera Utara umumnya
dan Medan khususnya selalu menggunakan musik keyboard (bukan perangkat
gamelan) dalam mengiringi upacara perkawinan adat Jawa. Musik keyboard juga
menjadi sebuah fenomena budaya yang menarik di Sumatera Utara, dan menjadi
19
trend (kecenderungan) gaya seni dalam berbagai budaya etnik yang ada di
Sumatera Utara.
Hal-hal di atas tersebut yang menjadi dasar penulis sehingga memilihnya
menjadi tugas akhir dalam menyelesaikan studi di Departemen Etnomusikologi,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan demikian
penulis memberi judul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada Perkawinan
Adat Jawa di Medan Selayang.
1.2 Batasan Masalah
Untuk menghindari kajian lebih luas, maka penulis membatasi penelitian
ini pada upacara Perkawinan adat Jawa yang ada di Jalan Sei Batugingging,
Kecamatan Medan Selayang, Medan. Lokasi acara perkawinan tersebut terbagi
dua, yaitu pada acara lamaran, siraman, serta akad nikah diselenggarakan di Jalan
Sei Batu Gingging, tepatnya berada di kediaman mempelai perempuan dan
upacara panggih serta acara resepsinya sendiri diselenggarakan di Hotel Danau
Toba Medan.
1.3 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang seperti di atas, untuk memfokuskan
kajian dan penelitian penulis dan penulisan skripsi maka penulis menentukan
pokok permasalahan atau pertanyaan penelitian, adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan
Medan Selayang, Medan.
20
2. Bagaimana struktur musik, yang mencakup melodi pada gendhing
Monggang, gendhing Ladrang Wilujeng, gendhing Kodok Ngorek, dan
gendhing Ketawang Larasmaya pada alat musik saron demung, yang
di putar secara rekaman pada ritual temu temanten dalam upacara
perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Sejalan dengan dua pokok permasalahan diatas, maka tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan Prosesi upacara perkawinan adat suku Jawa
di Kecamatan Medan Selayang, Medan.
2. Untuk Mengetahui struktur musik melodi yang dominan terdengar
pada rekaman gendhing gamelan dalam upacara perkawinan adat
suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan refrensi penulis atau pihak-pihak tertentu atau
masyarakat yang ingin mengetahui Upacara Perkawinan adat Suku
Jawa.
21
2. Menambah pengetahuan penulis dan peneliti lainnya tentang
kekayaan budaya Suku Jawa yang ada di Sumatera Utara, khususnya
Kota Medan.
3. Penulisan ini bermanfaat sebagai pengembangan teori dan metode
dalam disiplin Etnomusikologi.
1.5 Konsep dan Teori
1.5.1 Konsep
Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi
deskriptif ialah tindakan atau kegiatan menguraikan gambaran situasi atau
kejadian-kejadian yang terdapat dalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadly
(1990:179), deskripsi mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal
ini penulis akan mencoba menguraikan atau menggambarkan tentang upacara
perkawinan adat suku Jawa sebagai bahan informasi untuk para pembaca yang
membutuhkan.
Upacara perkawinan adat merupakan unsur budaya yang di hayati dari
masa ke masa yang mengandung nila-nilai dan norma-norma yang sangat luas dan
kuat, mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam masyarakat
(Suwondo, 1978:2), upacara perkawinan adat memiliki sebuah karya seni yang
sangat universal yang di jaga dan di pertahankan karena memiliki proses panjang
dari masa ke masa. Dalam proses tersebut terdapat banyak hal terhadap orang-
orang yang bersangkutan. Apa saja yang mereka lakukan serta sikap tertentu
sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Setiap tindakan dalam bentuk gerak
gerik tubuh memiliki makna, bukan hanya kata-kata yang di ucapkan. Upacara
22
perkawinan adat Jawa meliputi beberapa tahapan prosesi, prosesi itu di antaranya
proses sebelum perkawinan, persiapan menuju hari perkawinan, dan pelaksanaan
upacara perkawinan yang di dalamnya terdapat beberapa ritual yang akan di bahas
dalam skripsi nantinya.
Suku adalah kelompok etnik yang memiliki suatu kesatuan orang-orang
yang secara bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, atau
kebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar,
saling berinteraksi dalam kerangka suatu sistem sosial bersama, seperti Negara
Menurut Abner Cohen yang di kutip oleh Zulyani Hidayah (1999). Menurut
Koentjaraningrat (1989), suku bangsa merupakan kelompok sosial atau kesatuan
hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur
interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan
semua anggotanya serta memiliki system kepemimpinan sendiri. Suku yang
penulis maksud adalah suku Jawa.
Adapaun konsep musik dalam konteks upacara perkawinan adat suku Jawa
yang dimaksud adalah musik melodi Monggang, Ladrang Wilujeng, kodok ngorek
dan Ketawang Larasmaya yang dominan terdengar pada rekaman musik Gamelan
Jawa di upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang,
Medan. Yang akan berpedoman pada pengertian musik, yakni kejadian bunyi atau
suara dapat di pandang dan di pelajari jika mempunyai kombinasi nada, ritem, dan
dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional dalam suatu
kebiasaan atau tidak berhubungan dengan bahasa (Malm dalam terjemahan Takari
1993:85).
23
1.5.2 Teori
Teori merupakan hal pokok dan alat yang terpenting dari suatu
pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja,
tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10).
Untuk mengkaji upacara perkawinan adat Jawa, dimulai dari persiapan
hingga terselenggaranya prosesi upacara penulis menggunakan teori semiotika.
Dalam melakukan pendekatan terhadap teori semiotika penulis menggunakan
teori yang sesuai dengan penelitian ini, yaitu teori yang di kemukakan oleh
Koentjaraningrat (1985:234) yang menyatakan bahwa komponen upacara ada 4,
yaitu: (1) tempat upacara, (2) saat upacara, (3) alat-alat perlengkapan upacara, dan
(4) pendukung dan pemimpin upacara.
Untuk mengkaji struktur musik rekaman gamelan Jawa gendhing
Monggang, gendhing Ladrang Wilujeng, gendhing Kodok Ngorek, dan gendhing
Ketawang Larasmaya yang digunakan dalam mengiringi upacara pada ritual temu
temanten menggunakan teori wighted scale (bobot tangga nada). Teori weighted
scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada
delapan unsurnya, teori weighted scale dari Malm (1977:8) mengatakan bahwa
ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan
melodi, yakni: (1) scale (tangga nada), (2) Nada dasar, (3) range (wilayah nada),
(4) frequency of notes (jumlah nada-nada), (5) prevalent intervals (interval yang
dipakai), (6) cadence patterns (pola-pola kadensa), (7) melodic formulas
(formula-formula melodi), dan (8) contour (kontur). Dalam hal menganalisis
rekaman melodi musik yang digunakan dalam upacara perkawinan adat suku Jawa
24
dalam prosesi ritual temu temanten penulis mendengarkan berulang kali terhadap
rekaman musik gamelan tersebut untuk di transkripsikan nantinya.
1.6 Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) metode penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata (bisa lisan untuk
penelitian agama, social, budaya, filsafat), catatan-catatan yang berhubungan
dengan makna, nilai serta pengertian. Penulis juga mengacu pada disiplin
etnomusikologi seperti yang di sarankan Curt Sachs dan Nettl (1964:62) yaitu
penelitian etnomusikologi di bagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan
(field work) dan kerja laboratorium (deks work).
Pada tahap pekerjaan lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data
semaksimal mungkin, pada waktu yang menguntungkan penulis sekaligus
menjadi assisten dari penyedia jasa foto pernikahan yakni Mamipapi Photowork
yang bertempat di Jalan Ismaliyah Nomor 134 Medan, dalam hal ini penulis
menggunakan alat bantu berupa kamera Nikon D7000, kamera Canon 7D, kamera
Canon 60D, video shooting. Pengamatan dan pemotretan secara langsung pada
upacara perkawinan adat suku Jawa pada bulan Mei 2013.
Wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam kegiatan
tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya
terdiri dari mereka yang terpilih saja. Wawancara ini biasanya berlangsung relatif
lama.
25
Untuk mengetahui segala permasalahan penelitian dan penulisan serta
mengaplikasikan metode penelitian kualitatif, penulis melakukan pengumpulan
data melalui pemahaman kepustakaan, penulisan juga di lakukan dalam beberapa
tahapan disamping pengumpulan data, yaitu pemilihan sampel, kerja
laboratorium, dan bimbingan, diskusi serta konseling. Sebagai hasil akhir dari
menganalisis data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan
skripsi.
1.6.1 Studi Kepustakaan
Untuk mendukung penulisan mengenai upacara perkawinan adat suku
jawa penulis juga mencari, memahami serta menggunakan literatur-literatur yang
berhubungan sehingga akan dapat membantu memecahkan permasalahan. Di
antara berbagai buku yang telah penulis dapat yang berkaitan dengan judul yang
telah di sebutkan bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta
informasi yang dapat di gunakan sebagai acuan demi pembahasan dan penelitian,
dan menambah wawasan penulis mengenai upacara perkawinan adat suku Jawa.
1.6.2 Penelitian Lapangan
1.6.2.1 Observasi
Satori (2009: 105) mengemukakan bahwa observasi adalah pengamatan
langsung terhadapa objek untuk mengetahui keberadaan objek , situasi, kondisi,
konteks, ruang beserta maknanya dalam upaya pengumpulan data penelitian.
Observasi yang penulis lakukan dalam upacara perkawinan adat suku Jawa
dimana dalam hal ini penulis sebagai asisten penyedia jasa foto pernikahan
26
sehingga dapat sekaligus mengumpulkan dengan cara memotret setiap ritual demi
ritual prosesi upacara perkawinan, mulai dari jalannya upacara, sarana yang
dipergunakan, pelaku upacara, dan masalah-masalah lain yang relevan dengan
pokok permasalahan.
1.6.2.2 Wawancara
Wawancara yang penulis lakukan dalam penelitian terdiri dari dua
kategori, yaitu wawancara terencana dan wawancara tak terencana. Wawancara
terencana telah memiliki format pertanyaan yang di susun dengan sistematis
sebelum melakukan wawancara, sedangkan wawancara tak terncana merupakan
wawancara yang tidak memiliki format atau daftar pertanyaan yang telah di susun
sebelumnya. Terkadang wawancara tak terencana bisa muncul dalam wawancara
yang telah terencanakan, hal tersebut di sebabkan karena pengetahuan penulis
maupun daya ingat penulis yang terganggu oleh situasi dan kondisi. Dalam
kegiatan wawancara penulis menggunakan media rekam berupa handphone
Blackberry 9300 untuk kemudian data yang didapat dalam wawancara disaring
dalam proses kerja laboratorium.
1.6.2.3 Perekaman
Dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan dua cara:
1. Perekaman audio-visual menggunakan kamera Sony video shooting yang
kemudian data gambar dan suara diburning ke dalam dvd. Perekaman ini
sebagai bahan analisis tekstual dan mendengarkan musik gamelan rekaman
27
yang di putar dalam ritual temu temanten pada upacara perkawinan adat suku
Jawa.
2. Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar di gunakan kamera
digital merk Nikon dan Canon serta aplikasi Snipping Tools untuk
mendapatkan gambar yang di tangkap dari video.
1.6.3 Kerja Laboratorium
Kerja laboratorium merupakan proses penganalisaan data-data yang telah
didapat di lapangan. Setelah semua data yang di peroleh dari lapangan maupun
bahan dari studi kepustakaan terkumpul penulis melakukan proses penyeleksi data
dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang.
Semua data yang di peroleh di lapangan di olah dalam kerja laboratorium dengan
pendekatan etnomusikologi.
1.7 Pemilihan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Jln. Sei Batu Gingging
Kecamatan Medan Selayang, Medan, di kediaman keluarga Bapak Djumali. S.H,
selaku pihak keluarga mempelai perempuan. Alasan penulis memilih lokasi ini
karena dalam sejarah hidup penulis baru pertama kali nya melihat pesta atau
upacara perkawinan adat suku Jawa yang begitu lengkap dan istimewa di banding
dengan apa yang pernah penulis lihat sebelum-sebelumnya meskipun dalam
penyajian musik pengiring upacara perkawinannya hanya sebatas rekaman saja,
Selain penulis sebagai orang Jawa juga di lain itu Medan merupakan salah satu
kota besar di Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah suku Jawa yang
28
berkisar lebih dari 30% dari sekitar 13 juta jiwa. Di Medan juga banyak terdapat
pemuka-pemuka adat Jawa yang secara langsung berasal dari pulau Jawa maupun
Putra jawa kelahiran Sumatera yang bisa banyak ditemui di Kota Medan ini yang
tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Di samping itu juga penulis bertepatan
tinggal di kota Medan, sehingga nantinya agar dapat memudahkan proses
penulisan, kerja lapangan, dan pengumpulan data.
29
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA
DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG
2.1 Identifikasi
Daerah asal suku Jawa adalah pulau Jawa (terutama Jawa Tengah dan
Jawa Timur). Pulau Jawa terletak di bagian selatan dari Kepulauan Indonesia.
Suku Jawa hanya mendiami bagian tengah dan bagian timur dari pulau Jawa,
sementara bagian baratnya didiami oleh suku Sunda. Pulau Jawa yang luasnya 7%
dari seluruh wilayah Indonesia dan dihuni oleh hampir 60% dari seluruh
penduduk Indonesia adalah daerah asal kebudayaan Jawa (Koentjaraningrat,
1984:3-5). Namun pada masa sekarang ini, orang-orang Jawa menetap diberbagai
kawasan di seluruh pulau di Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia. Begitu juga
penyebarannya sampai ke Afrika Selatan, Suriname, dan Madagaskar.
Kepadatan penduduk yang tinggi dipulau Jawa menyebabkan banyaknya
penduduk pulau ini dibawa dan dipaksa bekerja sebagai budak ke daerah jajahan
Belanda di Suriname pada sekitar abad ke-18. Kemudian pada abad ke-19, banyak
suku Jawa di kirim dan di paksa bekerja pada perkebunan-perkebunan di
Kaledonia Baru (Perancis) dan pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara
(Koentjaraningrat, 1985: 5-10). Di Indonesia sendiri selain di Pulau Jawa, suku
Jawa ini tersebar ke berbagai kawasan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup
melalui transmigrasi yang dilakukan sejak zaman Belanda sampai sekarang. Di
antara kawasan-kawasan yang menjadi tempat tinggal baru suku Jawa adalah
Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan
30
Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Papua
Barat, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, dan diberbagai daerah lainnya. Di
antara provinsi, jumlah yang paling menonjol suku Jawa nya adalah provinsi
Sumatera Utara.
Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan adanya
perjanjian Giyanti 1755, antara raja Surakarta dan Yogyakarta, pusat kebudayaan
Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat kediaman orang
Jawa terdapat variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam
beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis,
dialek, bahasa, dan lain sebagainya. Namun jika di teliti lebih jauh hal-hal itu
masih merupakan suatu pola atau sistem dalam kebudayaan Jawa.
Agama yang di anut mayoritas suku Jawa pada umunya adalah agama
Islam, kemudian agam Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Orang
Santri adalah mereka yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran
Islam. Sedangkan orang Islam Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa,
dan tidak bercita-cita naik Haji, tetapi mereka mengakui ajaran-ajaran agama
Islam pada umumnya.
Kedatangan suku Jawa di Sumatera Utara seperti yang sudah di jelaskan di
atas bermula dari pengiriman suku Jawa yang dipaksa bekerja sebagai budak pada
perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara di sebabkan karena pada waktu itu
perkebunan-perkebunan yang di kelola oleh bangsa asing kekurangan tenaga kerja
(Said, 1990:49). Berdasarkan pengiriman inilah awal kedatangan suku Jawa di
tanah Sumatera Utara.
31
2.2 Letak Geografis dan Wilayah Kecamatan Medan Selayang
Kondisi fisik Kecamatan Medan Selayang secara geografis berada
diwilayah Barat Daya Kota Medan yang merupakan dataran kemiringan 0-5%.
Wilayah-wilayah yang berdekatan yang berbatasan langsung dengan Kecamatan
Medan Selayang adalah :
Sebelah Utara : Kecamatan Medan Baru dan Medan Sunggal
Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Tuntungan dan Medan Johor
Sebelah Timur : Kecamatan Medan Polonia
Sebelah Barat : Kecamatan Medan Sunggal Kabupaten
Deli Serdang
Kecamatan Medan Selayang terbagi menjadi 6 (enam) kelurahan dan 63
(enam puluh tiga) lingkungan. Adapun luas Kecamatan Medan Selayang adalah
+/- 2.379 ha, disusul Kelurahan Tanjung Sari dengan luas +/- 510 ha, Kelurahan
Sempakata dengan Luas +/- 510 ha, dan yang terkecil adalah Kelurahan Beringin
dengan luas +/- 78 ha.
32
Peta 2.1
Peta Kota Medan dan Kecamatan Medan Selayang
Sumber : http://www.pemkomedan.go.id
Kecamatan Medan Selayang adalah salah satu dari 21 kecamatan yang
berada di bagian Barat Daya Wilayah Kota Medan. Sebelum menjadi Kecamatan
Defenitif, terlebih dahulu melalui proses Kecamatan Perwakilan. Sesuai dengan
keputusan Kepala Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara Nomor: 138/402/K/1991
tentang Penetapan dan Perubahan 10 (sepuluh) Perwakilan Kecamatan yang
merupakan pemekaran Wilayah Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, dan
Medan Tuntungan dengan nama “Perwakilan Kecamatan Medan Selayang”
dengan 5 Kelurahan. Kantor masih menyewa bangunan rumah berukuran 6 x 12 m
di jalan Bunga Cempaka Kelurahan Padang Bulan Selayang II.
33
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
51 Tahun 1991 tentang Pembentukan beberapa Kecamatan di Sumatera Utara,
termasuk 8 (delapan) Kecamatan Pemekaran di Kota Medan secara resmi
Perwakilan Kecamatan Medan Selayang menjadi Kecamatan defenitif yaitu
Kecamatan Medan Selayang. Adapaun kantornya telah menempati bangunan
permanen dengan luas tanah +/- 2000 m2 dan luas bangunan 396 m2 dan dibangun
diatas bantuan partisipasi pihak ketiga/masyarakat.
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubenur Sumatera Utara Nomor:
146.1/1101/K/1994 tentang Pembentukan 7 (tujuh) Kelurahan Persiapan di Kota
Medan. Berdasarkan itulah Kecamatan Medan Selayang berkembang dari 5
kelurahan menjadi 6 kelurahan, yaitu Kelurahan Sempakata.
Sejak terbentuknya Perwakilan Kecamatan Medan Selayang dari tahun
1991 sampai dengan sekarang, wilayah ini telah di pimpin oleh beberapa camat.
Daftar nama camat yang pernah memimpin di Kecamatan Medan Selayang dapat
dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut.
Table 2.1
Daftar Nama Camat yang Pernah Memimpin di Kecamatan Medan Selayang
No Nama Pejabat Masa Bakti
1 OK Lailan Zaitun 1991 - 1993
2 Drs.Farid Wajedi, Msi 1993 - 1998
3 Drs. Parluhutan Hasibuan 1998 – 2000
4 H. Syarifuddin, SH 2000 – 2006
5 M. Reza Hanafi, S.STP, M.AP 2006 – 2009
34
6 Drs. Halim Hasibuan 2009 – 2012
7 Zulfakhri Ahmadi S.Sos 2012 - Sekarang
Sumber: Kantor Kecamatan Medan Selayang
2.3 Mata Pencaharian
Orang Jawa meskipun pada umumnya di ketahui sebagai penghuni daerah
agraris, mereka sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai
bentuk seperti perdagangan, migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai
pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di Nusantara,
terutama membawa beras dan tekstil (Sartono Kartodirjo, 1988:10). Seiring
perkembangan zaman, kehidupan ekonomi masayarkat Jawa yang ada di
Sumatera Utara mengalami perkembangan pesat. Kini orang Jawa di Kota Medan,
khususnya di Kecamatan Medan Selayang banyak yang telah menggeluti berbagai
bidang-bidang pekerjaan lainnya seperti pegawai negeri sipil (PNS), tenaga
pendidik (guru dan dosen), wiraswasta, mekanik, buruh, seniman, tentara dan
polisi, wartawan, dan lain-lain sebagainya.
Kampung Jawa di sana-sini di bangun sejak zaman dahulu, seperti di
daerah Deli terdapat permukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut
kota Jawa (Luckman Sinar, 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih di
katakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebleum kunjungan John
Anderson (John Anderson, 1971:136). Di Semanjung Malaya juga terdapat
sejumlah migrant orang Jawa yang kini sudah turun temurun dan menetap di situ.
35
Table 2.2
Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan di
Kecamatan Medan Selayang Tahun 2011
No Kelurahan Pegawai
Negeri
Pegawai
Swasta
ABRI Petani
1 Sempakata 421 1730 41 402
2 Beringin 396 2322 42 283
3 PB Selayang II 1886 721 574 198
4 PB Selayang I 336 1376 47 196
5 Tanjung Sari 651 2026 79 277
6 Asam Kumbang 437 484 819 301
JUMLAH 4127 8659 1602 1657
Sumber: Kantor Lurah se-Kecamatan Medan Selayang
Berdasarkan data Kantor Lurah se Kecamatan Medan Selayang tahun 2011
di atas dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian penduduk Kecamatan Medan
Selayang kebanyakan adalah pegawai swasta atau buruh.
2.4 Sistem Religi dan Kepercayaan
2.4.1 Agama
Mayoritas penduduk Kecamatan Medan Selayang memeluk agama Islam,
yaitu sebanyak 76.292 orang dari jumlah keseluruhan dari se-kecamatan. Sisanya
sebanyak 40.553 orang memeluk agama Kristen, pemeluk agama Khatolik
36
sebanyak 7.368 orang dan pemeluk agama Hindu sebanyak 1.234 orang, dan
sisanya memeluk agama Budha sebanyak 1.423 orang. Dari uraian di atas dapat
di ketahui bahwa keberadaan agama Islam sangatlah besar, sehingga potensi
masyarakat suku Jawa dapat di ketahui 50% keberadaannya di Kecamatan Medan
Selayang.
Tabel 2.3
Komposisi Penduduk di Kecamata Medan Selayang
Berdasarkan Agama Tahun 2013
No
WIL
Nama Kecamatan ISLAM KRISTEN KHATOLIK HINDU BUDHA
21 Medan Selayang
1001 Asam Kumbang 17.670 2.947 478 292 1.111
1002 Tanjung Sari 27.654 10.406 1.879 276 152
1003 PB Selayang II 15.520 10.236 1.710 445 101
1004 Beringin 3.338 5.311 1.155 8 1
1005 PB Selayang I 7.819 4.509 631 212 40
1006 Sempakata 4.291 7.144 1.515 1 8
Jumlah/Kecamatan 76.292 40.553 7.368 1.234 1.423
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2014
Umumnya masyarakat Jawa yang akan melakukan hajatan, sebelumnya
mereka harus menentukan kapan hajatan itu akan dilaksanakan. Untuk melakukan
hajat terlebih dahulu mereka harus menentukan hari baik, hal ini dilakukan untuk
menghindari naas yaitu hari yang di anggap tidak baik atau pantang. Jika hajat di
lakukan bertepatan dengan geblak yaitu saat meniggalnya salah seorang
37
keluarganya, maka hari tersebut harus segera di hindari agar tidak ada kejadian
buruk yang akan menimpa mereka.
Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan pelaksanaanya ajarannya,
masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu: (1)
Wong Putihan, yaitu orang putih yang dimaksud adalah orang-orang Jawa yang
Taat menjalankan ibadah dengan ajaran Islam; (2) Wong Lorek, yaitu orang yang
badannya belang-belang hitam dan putih, maksudnya adalah orang yang meyakini
terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankan ritual peribadatannya
terutama shalat, namun mencampurkan unsur-unsur di luar Islam.
Faktor utama yang menjadi pembeda antara Wong Putihan dan Wong
Lorek adalah ketaatannya menjalankan ajaran agama Islam yaitu berupa shalat,
puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Seseorang yang menjalankan shalat
lima waktu dengan rajin di golongkan ke dalam kelompok Wong Putihan
meskipun praktek kehidupan keagamanaanya mencampur dengan unsur-unsur di
luar Islam. Sedangkan Wong Lorek di berikan kepada orang yang mengaku Islam
tetapi tidak mau menjalankan ritual secara Islam terutama shalat (Nursilah,
2001:51).
2.4.2 Upacara-upacara Tradisional dalam Lingkaran Suku Jawa
Suku Jawa yang terdapat di kota Medan, khusunya di Kecamatan Medan
Selayang yang mempunyai golongan ekonomi menengah ke atas, sebagian besar
masih melaksanakan berbagai upacara yang terdapat dalam adat-istiadat
kebuadayaan mereka. Upacara-upacara yang masih di laksanakan pada dasarnya
hanya besifat simbolis, artinya upacara-upacara itu hanya menggambarkan suatu
38
tujuan luhur yang diharapakan oleh pelakunya. Adapaun upacara-upacara itu
adalah seperti yang disebut dibawah ini, yang mana penjelasannya dari setiap
upacara penulis dapatkan dari berbagai sumber. Sebagai orang Jawa, sebahagian
upacara ini pernah penulis saksikan.
2.4.2.1 Upacara Kehamilan dan Kelahiran
Upacara pada saat kehamilan ada 2 tahapan, yaitu pada saat kandungan
berusia tujuh bulan (upacara tingkepan). Kemudian diteruskan pada saat
kandungan berusia sembilan bulan (slametan mumuli sedherek).
Upacara tingkeban disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya
tujuh (Bratawidjaja, 1993:21). Upacara tingkeban ini di laksanakan apabila usia
kehamilan seseorang berusia tujuh bulan dan merupakan kehamilan yang pertama
kali. Upacara tingkeban mempunyai makna bahwa pendidikan bukan saja di
berikan setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim
seseorang anak perlu di beri pendidikan (Bratawidjaja, 1993:21).
Upacara tingkeban ini hanya sebagai pengharapan saja, dan belum
merupakan suatu kepastian. Tujuan dari pelaksanaan upacara tingkeban adalah
untuk merayakan kandungan yang berusia tujuh bulan, memberitahukan tentang
bakal adanya suatu peristiwa kelahiran, mencerminkan perasaan cemas dalam hal
menghadapi kelahiran, serta mengharapakan bayi yang akan lahir dapat dengan
mudah dan selamat.
Pelaksanaan upacara tingkeban yang ada di Kota Medan, khususnya di
Kecamatan Medan Selayang biasanya di lakukan oleh suku Jawa yang
mempunyai tingkatan ekonomi golongan menengah keatas karena untuk
39
melaksanakan upacara tingkeban ini di perluakan biaya yang banyak. Sementara
suku Jawa yang memiliki tingkatan ekonomi golongan bawah, untuk
merayakannya hanya mengirimkan nasi yang berisi lauk-pauk dan di bungkus
dengan daun (kertas bungkus dan atau sejenisnya) sering disebut dengan berkat.
Tujuannya adalah sama seperti yang telah disebutkan di atas.
Upacara melahirkan di lakukan setelah jabang bayi sudah lahir, ari-ari
(plasenta) bayi di bersihkan oleh ayahnya. Menurut kepercayaan suku Jawa, ari-
ari di anggap sebagai saudara kembar dari bayi yang menemani bayi selama
dalam kandungan ibunya, sejak janin terbentuk hingga saat dilahirkan (Wardoyo,
n.d.:6).
Koentjaraningrat (1984:353) menyebutkan bahwa setelah tali pusat lepas,
maka bagi masyarakat suku Jawa mengadakan upacara pupur puser. Upacara
pupur puser ini di laksanakan pada malam hari setelah tali pusat lepas. Suku
Jawa yang ada di kota Medan tidak pernah melaksanakan upacara pupur puser,
Hal ini disebabkan mungkin bahwa suku Jawa di Kota Medan sudah mempunyai
pandangan yang tidak ingin terlalu terikat oleh adat-istiadatnya. Yang masih di
laksanakan adalah apabila tali pusat telah lepas, selanjutnya di bersihkan dan di
jemur hingga kering. Setelah itu di simpan oleh ibu bayi. Sebagian masyarakat
suku Jawa yang berada di lingkungan orang Jawa masih melaksanakan adat dalam
melakukan upacara kelahiran tersebut yang prosesinya di lakukan dengan cara
menggendong tali pusat oleh ayah sang bayi yang telah di letakkan di dalam
wadah mangkuk atau piring yang telah di tutup yang kemudian di kubur di sekitar
depan pintu atau samping pintu rumah bagian depan, yang kemudian setelah di
40
kubur di beri pagar dari bambu-bambu. Pada setiap malam, kuburan tali pusat
tersebut di pasangi lampu teplok selama lebih kurang 30 hari.
2.4.2.2 Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan merupakan tahapan penting dan sakral dalam
kehidupan seseorang. Dalam tradisi budaya Jawa, perkawinan selalu di warnai
dengan serangkaian upacara yang mengandung nilai-nilai luhur, yang
mengajarkan perlunya keseimbangan, keselarasan serta interaksi dengan alam,
sosial dan sang Pencipta alam semesta. Iringan gamelan baik secara langsung
maupun tidak langsung yang sangat dramatis dan magis mewarnai suasana hingga
terasa lebih istimewa.
Sebelum pernihakan dimulai, banyak ritual dan upacara yang harus
dilakukan. Mulai dari sebelum di laksanakan akad nikah hingga resepsi
pernikahan usai. Begitu banyak hal-hal yang harus di lengkapi, tata cara yang
harus di ikuti sesuai urutannya, pakaian yang harus di persiapkan, dan lain
sebagainya.
Untuk mencapai itu semua, penggambaran secara singkat upacara
perkawinan pada suku Jawa maka di perlukan serangkaian upacara adat, yang di
mulai dengan: (1) lamaran yaitu mengajukan permohonan memperistri seorang
anak perempuan untuk seorang anak laki-laki, (2) srah-srahan yaitu menyerahkan
barang-barang kepada pihak perempuan sebagai tanda ikatan resmi (peningset),
(3) pasang tratak yaitu mendirikan tenda untuk kepentingan upacara perkawinan.
(4) siraman yaitu memandikan kedua calon pengantin dengan air bunga setaman7
7 Bunga setaman atau kembang setaman adalah ramuan wewangian yang biasanya terdiri
dari tujuh macam bunga dan dedaunan, seperti bunga mawar, melati, pandan, jeruk nipis, dan lain-
41
agar suci lahir dan bathin, (5) ngerik dan dodolan dawet yaitu menghilangkan
bulu-bulu halus yang ada di kening pengantin perempuan untuk memudahkan
merias wajah dan menjual es cendol (dawet) khas Suku Jawa yang di lakukan
oleh kedua orang tua mempelai calon pengantin perempuan dengan maksud agar
pesta perkawinan yang akan di laksanakan dapat di hadiri oleh orang banyak, (6)
midodareni yaitu secara simbolis malam menunggu kedatangan Dewi Nawang
Wulan untuk merestui perkawinan tersebut, (7) langkahan yaitu pengantin
perempuan meminta izin kepada kakak/abang yang belum menikah karena
pengantin perempuan akan menikah terlebih dahulu, (8) ijab Kabul yaitu suatu
acara yang mensahkan seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami-
istri. (9) panggih yaitu suatu upacara pertemuan pengantin perempuan dengan
pengantin pria melalui serangkaian ritual ataupun prosesi yang di saksikan oleh
seluruh keluarga dan para undangan, (10) kirab pengantin yaitu membawa kedua
pengantin atau arak-arakan menuju ruang ganti pakaian, (11) ngunduh mantu
yaitu membawa pengantin perempuan ketempat kediaman pengantin pria
(Harpi,1988:138). Dalam skripsi ini akan penulis uraikan secara lengkap tentang
tahapan upacara perkawinan.
2.4.2.3 Upacara Selametan
Selamatan atau selametan adalah sebuah tradisi ritual yang di lakukan oleh
masyarakat Jawa dengan tujuan untuk memperoleh keselamatan bagi orang yang
bersangkutan. Clifford Geertz (1969: 126) antara lain menulis tentang selamatan
sebagai upacara kecil di dalam sistem religius Jawa. Acara ini biasanya di hadiri
lain. Ketujuh bunga ini dalam kebudayaan masyarakat Jawa biasanya berkaitan dengan dunia supernatural yang memang dipercayai masyarakatnya.
42
oleh para tetua desa, tetangga dekat, sanak saudara, dan keluarga inti. Setelah
selametan selesai, tetamu biasanya akan di bawakan aneka penganan basah (nasi,
lauk pauk, dan tambahan snack atau kue-kue) atau makanan kering (mi instan,
kecap, minyak goreng, saus tomat, saus sambal) yang di nama-
kan besekan atau berkat.
Upacara selamatan merupakan salah satu tradisi yang di anggap dapat
menjauhkan diri dari mala petaka. Selametan adalah konsep universal, di mana di
setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan
diri yang lemah di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Secara
tradisional acara selamatan di mulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di
atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk dan sesaji ( kalau ada).
Sesaji yang di adakan untuk mengiringi upacara selamatan tersebut, maksud dan
tujuannya adalah seperti doa. Intinya adalah bersyukur kepada Allah S(Tuhan)
dan semoga dengan berkah-Nya, segala tugas akan di laksanakan dengan selamat,
baik, benar, dan membawa kesejahteraan dan kemajuan yang lebih baik. Nasi
tumpeng komplit sebenarnya mempunyai makna sebagai doa dan sesaji.
Praktik upacara selametan sebagaimana yang di ungkapkan oleh Hildred
Geertz pada umumnya di anut oleh kaum Islam Abangan, sedangkan bagi kaum
Islam Putihan (santri), praktik selametan tersebut tidak sepenuhnya dapat di
terima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok seperti
sebutan dewa-dewa dan roh-roh. Karena itu, bagi kaum santri, selametan adalah
upacara doa bersama dengan seorang pemimpin atau modin (pemimpin agama)
yang kemudian di teruskan dengan makan-makan bersama sekadarnya dengan
43
tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang Maha
Kuasa.
a. Jenis-Jenis Upacara Selametan Upacara selametan di lakukan untuk merayakan hampir semua kejadian,
termasuk kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya. Geertz
mengkategorikan mereka ke dalam empat jenis utama:
(1) Yang berkaitan dengan kehidupan: kelahiran, khitanan, pernikahan,
dan kematian.
(2) Yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam, misalnya Maulid Nabi.
(3) Bersih desa (“pembersihan desa”), berkaitan dengan integrasi sosial
desa.
(4) Kejadian yang tidak biasa misalnya berangkat untuk perjalanan
panjang, pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit,
kesembuhan akan pengaruh sihir, dan sebagainya.
Perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan pengaruh
luar/asing selalu membawa perubahan termasuk dalam upacara
tradisional/selametan. Adapun selametan yang masih dilakukan yaitu:
a. Upacara tingkeban atau mitoni.
Pada acara tingkeban atau mitoni biasanya di adakan selamatan untuk usia
kandungan tujuh bulan. Tujuan mitoni atau tingkeban agar ibu dan janin
selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa,
jatmika, rahayu)
b. Babaran, dekat menjelang kelahiran, beberapa orang mengadakan
slamatan kecil dengan anggota keluarga saja, yang hidangannya terdiri
44
dari sepiring jenang (dodol pulut) dengan sebuah pisang yang telah
dikupas di tengahnya untuk melambangkan kelahiran yang lancar.
c. Sepasaran, lima hari sesudah selamatan pertama untuk bayi
diselenggarakan, sebuah selamatan yang agak lebih besar, pasaran dan
pemberian nama si bayi.
d. Selapan, saat bayi berumur 35 hari, di adakan upacara selapanan. Acara
ini biasanya juga diadakan acara selamatan. Pada upacara ini, untuk
pertama kali bayi di potong rambutnya. Biasanya yang memotong adalah
nenek si bayi.
e. Tedhak siten, selametan pada acara tedhak siten ini di lakukan saat bayi
berumur 6 bulan atau pitung weton. Sarana pada slametan ini adalah beras
kuning yang dicampur dengan uang anggris (ringgit), wukon (uang
setengan rupiah, sekarang Rp 500), talen salaka (uang 25 sen yang terbuat
dari logam berwarna putih, sekarang uang logam berapa saja, padi satu
genggam, dan kapas satu dhompol (untai).
f. Sunat, upacara selamatan pada acara sunatan biasanya di lakukan saat
anak laki-laki berusia 16 tahun atau sesudah tamat sekolah dasar
(SD). Sunat merupakan kewajiban bagi para pemeluk agama Islam.
g. Weton atau wetonan adalah peringatan hari lahir setiap 35-tiga puluh lima
hari sekali. Pada waktu-waktu tertentu, orang melakukan
peringatan weton dengan cara mengadakan selamatan dengan mengundang
beberapa kerabat atau kenalan baiknya. Pada saat seperti itu, biasanya
sesaji lebih komplit, termasuk nasi tumpeng dan lauk pauknya dan lain
45
sebagainya. Sesudah di adakan doa bersama, di lanjutkan dengan
menyantap hidangan.
h. Perkawinan, di dalam Islam, selamatan perkawinan disebut juga
midadareni, di selenggarakan pada malam hari menjelang upacara yang
sebenarnaya.
i. Kematian, selametan ini untuk menyelamatkan jiwa orang yang sudah
meninggal. Perjalanan selamatan ini mendapat pengaruh ajaran Hindu dan
Budha. Akan tetapi, yang di ganti itu hanyalah mantranya atau doanya.
Prinsip dari selamatan itu sendiri masih tetap. Setelah agama Islam masuk,
berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip-
prinsip ajaran Islam.
Di samping upacara yang telah di uraikan di atas, keluarga Jawa juga
mengenal pula berbagai upacara selamatan lain yang di sebabkan oleh kasus
tertentu. Misalnya selametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, selametan
yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah
panen, dan selametan pada saat-saat tidak tertentu atau yang berkenaan dengan
kejadian-kejadian seperti mengadakan perjalanan jauh, menempati rumah
kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul),
dan lain-lain. Tujuannya tidak lain untuk memperoleh keselamatan bagi orang
yang bersangkutan khususnya dan bagi keluarga pada umumnya. Tujuan pokok
dari upacara ini tidak lain adalah untuk mencari keselamatan. Kegiatan selametan
menjadi tradisi hampir seluruh kehidupan di padusunan Jawa. Ada bahkan yang
meyakini bahwa selametan adalah syarat spiritual yang wajib dan jika di langgar
akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan.
46
Selametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan
nama yang berbeda-beda. Nama-nama yang berbeda-beda tersebut anara lain
adalah:
(1) Bancaan adalah upacara sedekah makanan karena suatu hajat leluhur,
yaitu yang berkaitan dengan problem dum-duman (pembagian) terhadap
kenikmatan, kekuasaan, dan kekayaan. Maksudnya agar terhindar dari
konflik yang disebabkan oleh pembagian yang tidak adil.
(2) Kenduren/Kenduri adalah upacara sedekah makanan karena seseorang
telah memperoleh anugrah atau kesuksesan sesuai dengan apa yag dicita-
citakan. Dalam hal ini kenduren mirip dengan acara tasyakuran. Acara
kenduren bersifat porsonal. Undangan biasanya terdiri dari kerabat, kawan
sejawat, dan tetangga.
b. Perkembangan Upacara Selametan Pada Masa Sekarang
Upacara-upacara selametan sebagai salah satu wujud budaya, selalu
mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan. Hal ini di
sebabkan adanya perubahan pola pikir dari masyarakat pemangku budaya,
teknologi dan agama. Perubahan pola pikir, teknologi, dan agama ini akan
berpengaruh secara langsung terhadap sarana dan prosesi dalam upacara
selametan. Meskipun demikian namun ternyata masih ada sebagian masyarakat
Jawa yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional. Hal tersebut terlihat
dengan adanya pelaksanaan berbagai macam upacara, misalnya kematian,
pendirian rumah, dan lain-lain, termasuk upacara panggih. Sebagian masyarakat
tradisional ini, takut meninggalkan kebiasaan yang telah mengakar dalam segi-
47
segi kehidupan mereka, dan masih setia mempertahankan tradisi peninggalan
leluhurnya.
Pada awalnya upacara selametan di pengaruhi unsur Animisme-
Dinamisme yang paling menonjol pada pelaksanaan selamatan, terutama
selamatan yang di laksanakan oleh orang Islam Kejawen. Dalam pola umum
selametan yang mereka lakukan, yang terdiri dari peserta selamatan, doa dan
hidangan atau sajian, di dalamnya nampak unsur-unsur Animisme-Dinamisme
yang cukup menonjol. Upacara selamatan yang berasal dari
kepercayaan Indonesia asli (Animisme-Dinamisme), setelah mendapat pengaruh
dari Hindu-Budha, pada perkembangan berikutnya juga mendapat pengaruh dari
Islam. Unsur Islam memang tidak begitu menonjol, akan tetapi dalam beberapa
hal, Islam cukup besar peranannya dalam memodifikasi selametan. Dalam
beberapa jenis selamatan ada yang mengesankan bahwa selametan itu seolah-olah
dari budaya Islam semata. Lebih-lebih jika yang menyelenggarakan selametan itu
dari kalangan Islam santri. Biasanya dari kalangan santri, praktik selamatan
tersebut tidak sepenuhnya dapat di terima, kecuali dengan membuang unsur-unsur
syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa, roh-roh, dan sesaji. Namun
pada masa sekarang, hal tersebut tidak hanya di lakukan oleh para santri saja
namun juga hampir seluruh masyarakat Jawa tidak mengadakan sesaji pada
upacara selamatan.
2.5 Sistem Kekerabatan
Sebelum penulis menguraikan tentang sistem kekerabatan pada
masyarakat Jawa secara umum, terlebih dahulu akan penulis kemukakan defenisi
48
masyarakat menurut Koentjaraningrat (1977:103) yang mengatakan bahwa
masayarakat adalah kesatuan hidup manusia yang terikat oleh suatu sistem adat-
istiadat tertentu.
Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat.
Menurut Bapak Subanindyo Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di
Sumatera Utara, bebrayat berasal dari kata brayat berarti sistem berkeluarga
dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem
kekerabatan ini di landasi oleh sikap gotong royong, dengan konsep sepi ing
pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan
mengutamakan kerja bersama-sama. Dengan menggunakan sistem ini, mereka
meyakini bahwa semua manusia adalah keluarga, namun dalam penjabaran
tanggung jawab selalu di konsepkan dengan paseduluran: sedulur tunggal
kringkel merupakan saudara lahir daripada ibu dan ayah yang sama; sedulur
kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain
ibu namun ayahnya sama, dan saudara tiri; sedulur misanan merupakan saudara
satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; sedulur mindoan
adalah saudara satu buyut (orang atau kakek atau nenek) berlaku baik untuk
saudara kandung atau tiri; sedulur mentelu yaitu saudara canggah (buyutnya ayah
dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; bala yaitu menurut anggapan mereka
masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan di
sebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya pekerjaan
yang sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; tangga yang konsepnya tidak
terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu
mereka saling membutuhkan.
49
Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Utara sekarang, secara umum
mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin
mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain
mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang
lainnya di Sumatera Utara yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang
Jawa ini mata pencaharian utamanya adalah bertani dengan menggarap lahan
untuk perkebunan kelapa sawit, getah karet, dan kopra.
Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan
bilateral. Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan ayah dan ibu, beserta istri
dan suami mereka masing-masing di klarifikasikan menjadi satu, yaitu dengan
istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah atau ibu diklarifikasikan
kedala dua golongan yang berbeda menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik
laki-laki dan bibi bagi adik perempuan.
Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang
tidak boleh saling menikah apabila: saudara kandung, yaitu anak dari dua orang
saudara sekandung laki-laki, pancer lanang, yaitu: pihak laki-laki lebih muda
menurut ibunya dari pihak perempuan. Adapun perkawinan yang di perbolehkan
adalah perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan
kekerabatan seperti tersebut di atas. Dalam perkawinan masyarakat Jawa dikenal
beberapa istilah sebagai berikut: ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang duda
dengan seorang wanita salah satu adik almarhum istrinya, wayuh, yaitu
perkawinan lebih dari seorang istri (poligami), kumpul kebo, yaitu laki-laki dan
perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau belum mempunyai anak
dalam kurun waktu tertentu tetapi belum menikah secara agama dan sosial. Hal
50
ini merupakan suatu bentuk perkawinan menyimpang dari tradisi dan ajaran
agama, pisah kebo, yaitu berpisahnya suami-istri tetapi tidak diikuti oleh
perceraian secara resmi.
Sistem istilah panggilan kekerabatan suku Jawa biasanya dibatasi oleh
kedudukan seorang sebagai anggota kelompok kerabatnya, yang dapat di mengerti
dari sebutan atau istilah-istilah yang di gunakan dalam kelompok kerabatnya. Hal
ini dapat di lihat dalam kehidupan sehari-hari untuk menyapa seseorang. Untuk
istilah panggilan kekerabatan pada suku Jawa, penulis melihat tulisan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1977:16-20) seperti berikut:
1. Mbah canggah/eyang canggah: orang tua laki-laki atau perempuan yang berada
tiga tingkat di atas ayah atau ibu.
2. Mbah buyut : orang tua laki-laki atau perempuan yang berada dua tingkat di
atas ayah atau ibu.
3. Mbah eyang: orang tua kandung ayah atau ibu.
4. Bapak/rama: ayah kandung, mertua laki-laki, besan (orang tua laki-laki
menantu).
5. Ibu/si mbok : ibu kandung, mertua perempuan, besan (orang tua permpuan
menantu).
6. Pakde: saudara laki-laki kandung/sepupu ayah atau ibu yang umur lebih tua,
suami bude.
7. Bude: saudara perempuan kandung/ sepupu ayah atau ibu yang umurnya lebih
tua, istri pakde.
8. Paman/paklik: saudara laki-lai kandung/sepupu ayah atau ibu yang umurnya
lebih muda, suami buklik.
51
9. Bibi/buklik: saudara perempuan kandung/sepupu ayah atau ibu yang umurnya
lebih muda, istri paklik.
10. Mas/kakang mas: abang kandung, abang ipar, anak laki-laki pakde/bukde
(walaupun umurnya lebih muda).
11. Mbak/mbakyu: kakak kandung, kakak ipar, anak perempuan pakde/bude
(walaupun umurnya masih muda).
12. Adhi/dhimas: adik kandung laki-laki, adik ipar laki-laki, anak laki-laki
paklik/buklik (walaupun umurnya lebih tua).
13. Adhi/dhiajeng: adik kandung perempuan, adik ipar perempuan, anak
perempuan paklik/buklik (walaupun umurnya lebih tua).
2.6 Kesenian
2.6.1 Musik Campur Sari
Musik campur sari adalah perpaduan antara alat musik gamelan dengan
alat musik di luar kebudayaan Jawa. Alat musik ini antara lain adalah keyboard,
drum, bass, gitar, gendang. Perpaduan ini membuat musik yang berbeda, karena
kedua jenis musik antara gamelan dengan campur sari mempunyai gaya, teknik
permainan, karakteristik nada yang berbeda. Dalam permainannya kedua musik
ini saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Perpaduan antara alat musik
tradisi gamelan dengan alat musik modern menghasilkan nada-nada yang baru
dan indah. Inilah yang dimaksud dengan campur sari.
Dalam perkembangannnya musik campur sari ini menyebar keberbagai
daerah yang ada di Indonesia di lingkungan masyarakat Jawa pada khususnya.
Terutama daerah yang ada masyarakat Jawa termasuk kota Medan. Di mana
52
daerah kota Medan banyak terdapat masyarakat Jawa. Baik yang datang secara
merantau dari pulau Jawa ataupun yang lahir di Medan.
Musik campur sari berkembang di Kota Medan berawal pada tahun 2000.
Ketika seorang pegawai Dinas Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
sekaligus pemusik yang bernama Bapak Sunardi berkunjung ke pulau Jawa,
Sepulang dari Jawa, muncul ide ingin membuat musik campur sari di kota
Medan. Keinginan ini di wujudkan dengan membentuk group musik yang
bernama Krido Laras. Pada awalnya, kegiatan musik Krido Laras hanya untuk
tempat berkumpulnya pemusik dan sebagai sarana latihan antara Bapak Sunardi
dengan teman-temannya yang aktif di paguyuban warga Yogyakarta. Seiring
berjalannya waktu, group Krido Laras mulai tampil di acara paguyuban Yogya
yang ada di Kota Medan. Musik yang di tampilkan hanya untuk di konsumsi oleh
sesama mereka yang tergabung dalam paguyuban (lebih jauh lihat skripsi
Manrihot M. Sinaga, Deskripsi Musik Campur sari Krido Laras dalam Konteks
Hiburan Pada Masyarakat Jawa dikota Medan, 2010).
2.6.2 Kuda Lumping
Berbicara mengenai kesenian tradisonal masyarkat Jawa, kesenian Kuda
Lumping merupakan salah satu warisan budaya peninggalan nenek moyang
masyakarat Jawa dalam bentuk kesenian tradisional. Kesenian Kuda lumping
juga terdapat di berbagai daerah di Indonesia, dengan versi yang berbeda-beda
terutama yang ada di Kota Medan, Khususnya Medan Selayang sering
menyebutnya sebagai kuda kepang. Kesenian Kuda Lumping menampilkan
sekelompok prajurit tengah menunggah kuda yang terbuat dari bambu yang di
53
anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan
cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan
adegan prajuroit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga
menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis. Seperti aktraksi
memakan beling kaca dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut (Purwadi,
2005:33).
Alat musik yang di pakai lebih sederhana dari seni karawitan, hanya
terdiri dari kendang, gong, gamelan pelog, dan kenong yang bahan materialnya
berasal dari sisa drum yang telah di olah melalui sistematika pembuatannya, dan
selompret (terompet khas kuda lumping). Kesenian tari kuda lumping ini yang di
ketahui berasal dari Jawa Timur sangat popular di kota Medan khususnya di
Kecamatan Medan Selayang. Biasanya kuda lumping ini di tampilkan dalam
acara-acara tertentu misalnya menyambut tamu kehormatan, pesta sunatan, acara
khusus misalnya pada hari kemerdekaan, sebagai acara syukuran atas doa yang
di kabulkan Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian masyarakat Jawa yang ada di Sumatera Utara, termasuk
yang ada di Kecamatan Medan Selayang Kota Medan, dalam proses strategi
budayanya adalah tetap mempertahankan budaya Jawa, sebagai budaya leluhurnya
di satu sisi. Namun di sisi lainnya, mereka juga berusaha untuk beradaptasi
dengan situasi sosial dan budaya yang terdapat di Sumatera Utara. Konteks yang
sedemikian rupa ini adalah sebagai sebuah upaya mempertahankan identitas etnik
dan juga sekaligus sebagai bagian dari masyarakat Sumatera Utara yang heterogen
secara etnik tersebut. Termasuk juga dalam penyelenggaraan upacara perkawinan
adat jawa yang penulis teliti ini.
54
BAB III
DESKRIPSI JALANNYA UPACARA PERKAWINAN ADAT
SUKU JAWA DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG
3.1 Latar Belakang Pelaksanaan Upacara Perkawinan
Perkawinan adat sebagai awal dari perkembangan hidup manusia yang
hidup dalam koloni adat. Upacara perkawinan adat Jawa merupakan langkah
awal pembentukan ciri khas karakter manusia Jawa. Upacara perkawinan adat
Jawa merupakan proses pelestarian budaya yang dijaga nilai-nilai budi luhurnya.
Perkawinan adalah suatu rangkaian upacara yang dilakukan sepasang kekasih
untuk menghalalkan semua perbuatan yang berhubungan dengan kehidupan
suami-istri guna membentuk suatu keluarga dan meneruskan garis keturunan
(Sumarsono, 2007).
Di suku Jawa maupun yang ada di Medan, dimana kehidupan
kekeluargaan masih kuat, sebuah perkawinan tentu akan mempertemukan dua
buah keluarga besar dari pihak pria dan pihak perempuan menjadi satu keluarga
serta mempersatukan pertalian sanak keluarganya. Oleh karena itu, sesuai
kebiasaan yang berlaku, dua insan yang berkasih-kasihan akan memberi tahukan
kepada keluarga masing-masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang
cocok dan ideal untuk di jadikan suami ataupun istri.
Hubungan cinta kasih antara pria dan wanita setelah melalui proses
pertimbangan, kemudian di mantabkan dalam sebuah tali ikatan perkawinan,
hubungan dan hidup bersama secara resmi dan halal selaku suami istri dari segi
hukum, agama, dan adat. Atas dasar hal tersebut, orang Jawa selalu mencari hari
55
baik, oleh karena itu maka perlu dimintakan pertimbangan dari ahli perhitungan
hari baik berdasarkan patokan Primbon Jawa di mana juga biasanya ini dilakukan
oleh kerabat-kerabat keluarga yang sudah tua ataupun yang di tuakan yang faham
mengenai perhitungan hari baik di dalam adat Jawa. Oleh karena itu, pelaksanaan
perkawinan bagi masyarakat Jawa pada umumnya di lakukan dengan suatu
upacara adat.
Dalam penelitian ini yang melakasanakan rangkaian upacara perkawinan
adat Jawa adalah yang beragama Islam. Sehingga setiap rangkaian prosesi
upacaranya selalu di kaitkan dengan doa-doa keislaman terhadap Allah SWT.
Upacara perkawinan adat Jawa pada mulanya berasal dari kraton yaitu Kraton
Yogyakarta atau Kraton Surakarta (Harpi Melati, 1988:1). Kedua kraton itu oleh
suku Jawa di akui sebagai pusat dan sumber kebudayaan Jawa. Namun sekarang
upacara perkawinan adat Jawa yang sering di temui di daerah Sumatera,
khususnya Kota Medan lebih sering menggunakan adat upacara perkawinan Solo
(Kraton Surakarta).
Hal ini disebabkan adanya berbagai aspek yang melatar belakangi dengan
berbagai alasan, di antaranya ialah adanya sisi kepraktisan dalam melaksanakan
rangkaian upacara perkawinan adat Jawa yang di nilai jauh dari ritual sakral
seperti pada rangkaian upacara gaya Jogja pada umumnya, dan adanya tingkatan
kasta yang ada pada suku Jawa sendiri yaitu yang dimaksud adalah Kaum
Abangan yang menjadi cikal bakal upacara perkawinan adat Jawa yang sering di
temui hampir diseluruh pulau Sumatera hingga saat ini. Sehingga tidak ada lagi
perbedaan kasta dalam melaksanakan upacara perkawinan adat Jawa di pulau
Sumatera, khususnya di kota Medan.
56
Oleh karena perkembangan agama yang pesat pada saat ini, maka upacara
yang bersifat ritual jarang sekali di laksanakan karena ajaran yang terdapat di
dalamnya tidak sesuai lagi dengan ajaran yang terdapat dalam agama (Wardoyo,
n.d.:5). Sementara itu upacara perkawinan adat yang bersifat simbolis masih
sering di laksanakan karena upacara ini hanya menggambarkan keinginan yang
ingin di capai dari yang melaksanakan upacara.
Dewasa ini upacara adat perkawinan sering di laksanakan meski pun
dalam bentuk yang sangat sederhana sekali. Hampir setiap orang tua yang akan
menikahkan putera-puterinya tidak lepas dengan upacara adat. Meskipun
masyarakat berkali-kali menyaksikan upacara perkawinan adat Jawa tetapi mereka
kurang dapat memahami arti dan makna upacara tersebut. Dari para penata rias
pengantin hanya terlihat sekedar dapat merias pengantin saja dan sekedar
pengetahuan upacara perkawinan adat. Sedangkan rangkaian upacara adat
tersebut sangat luas. Kurangnya informasi dan buku-buku petunjuk mengenai
upacara perkawinan adat, mengakibatkan sering terjadinya kesimpang-siuran
dalam pelaksanaannya dan mereka saling mempertahankan pendapat masing-
masing.
3.2 Tujuan Pelaksanaan Upacara Panggih
Dalam hal ini seseorang yang melaksanakan upacara perkawinan adat
Jawa di dasarkan atas keinginan pihak ayah keluarga mempelai perempuan yang
memang asli suku Jawa yang tinggal di kota Medan demi sebuah tuntutan
pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sebagai orang Jawa, upacara
perkawinan adat Jawa ini dilaksanakannya selain untuk melaksanakan adat-
57
istiadat juga ingin menunjukkan kepada masyarakat awam, bagaimana
pelaksanaan upacara perkawinan adat Jawa yang sebenarnya yang terdapat di
kraton Surakarta, Sehingga dapat menimbulkan kebanggan pada keluarga mereka.
Namun alasan yang paling mendasar tujuan pelaksanaan upacara
perkawinan adat Jawa tersebut adalah untuk menjalankan adat-istiadat yang ada
dalam lingkaran kehidupan suku Jawa serta untuk mengetahui bagaimana
tanggung-jawab seorang suami dan seorang istri dalam hidup berumah tangga.
Hal ini terlihat dalam rangkaian upacara panggih dimana di dalamnya tersirat
simbol-simbol bagaimana seorang suami atau seorang istri harus bertindak demi
keutuhan rumah tangga mereka.
3.3 Pelaksanaan Upacara Perkawinan Adat
Dalam mendeskripsikan upacara perkawinan adat Jawa, penulis akan
menguraikan menurut empat komponen, seperti apa yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat (1986:241), bahwa setiap upacara dapat di kelompokkan
kedalam empat komponen, yaitu (1) tempat upacara, (2) saat upacara, (3) benda-
benda dan alat-alat upacara, (4) orang yang melakukan dan pemimpin upacara.
Keempat komponen upacara tersebut, akan penulis uraikan masing-masing
sebagai berikut.
3.3.1 Tempat Upacara
Tempat untuk pelaksanaan upacara perkawinan adat Jawa dapat dilakukan
di rumah ataupun di gedung-gedung pertemuan. Jika upacara panggih selalu di
laksanakan dirumah, maka harus utama di laksanakan di rumah pengantin
58
perempuan, karena di rumah pengantin pria tidak pernah di adakan, upacara
panggih ini di lakukan secara turun temurun di dalam adat suku Jawa dan di
laksanakan sesuai ketentuan adat yang sudah semestinya, kalau di adakan di
rumah pengantin pria itu hanya berupa upacara ngunduh mantu yang memiliki arti
bahwa keluarga pengantin pria menyambut dengan baik kedatangan pengantin
perempuan di dalam keluarga mereka.
Dalam penelitian ini tempat upacara terbagi dua, yakni yang pertama
sekali tempat untuk prosesi sebelum upacara panggih, dimana di antaranya adalah
upacara Siraman sampai pada upacara Ijab Kabul di laksanakan di kediaman
orang tua mempelai perempuan yang terletak di Jalan Sei Batu Gingging No 80,
Kecamatan Medan Selayang, Kotamadya Medan. Sedangkan pada Upacara
Panggih di laksanakan di dalam gedung pertemuan Hotel Danau Toba
Internasional Medan yang terletak di Jalan Imam Bonjol No. 17 Medan.
3.3.2 Saat Upacara
Dalam melakasanakan upacara suku Jawa pada umumnya masih
mempercayai adanya perhitungan hari baik dan hari tidak baik. Dimana orang
yang dapat mencari hari baik dan hari tidak baik tersebut biasanya di lakukan oleh
seorang dukun petangan (Koentjaraningrat, 1984:130). Dalam satu tahun terdapat
dua belas bulan dan terdapat pada tarikh Jawa. Nama-nama bulan yang terdapat
dalam tarikh Jawa tersebut adalah Suro, Sapar, Mulud, Rabiul awal, Jumadil
awal, Jumadil akhir, Rajab, Ruwah, Puasa, Syawal, Selo, Besar (Subanindro,
n.d:4). Menurut adat Jawa bulan yang di anggap baik untuk melakasanakan suatu
upacara panggih adalah Ruwah, Besar, Rabiul Awal, Jumadil Akhir, Mulud, dan
59
Syawal. Sementara bulan yang di anggap kurang baik dalam adat Jawa untuk
melakasanakan suatu upacara adalah Syuro Dan Sapar yang di anggap suku Jawa
merupakan bulan panas. Karena jika melakasanakan suatu upacara pada bulan
yang kurang baik tersebut di percayai akan menimbulkan hal-hal yang tidak di
inginkan misalnya, menimbulkan malapetaka.
Dalam menentukan hari baik untuk melakukan suatu upacara biasanya
suku Jawa meminta bantuan seorang dukun Petangan dan menentukan hari yang
baik tersebut berdasarkan hari kelahiran (weton) seseorang, jumlah antara hari
kelahiran dan pasaran hari kelahiran seseorang (neptu), serta dapat juga di lihat
dari bulan yang terdapat dalam tarikh Jawa. Koentjaraningrat (1984:130)
menjelaskan bahwa untuk membuat perhitunga hari baik harus di cocok kan
dengan tiga macam tanggalan yaitu (1) Tanggalan Jawa pra-Islam, (2) Tanggalan
Islam, (3) Tanggalan Nasrani.
Dalam hubungan ini upacara panggi yang menjadi objek penelitian penulis
di laksanakan pada tanggal 5 Mei 2013 untuk pelaksanaan Upacara Panggih, pada
tanggal 4 Mei 2013 pelaksanaan upacara ijab kabul, sedangkan pada tanggal 3
Mei 2013 pelaksanaan upacara siraman. Maka dari semua tanggal yang di pilih
oleh ahli bait merupakan hasil dari perhitungan penanggalan Jawa sesuai dengan
hari lahir kedua pasangan mempelai. Dengan demikian agar upacara menjadi
sangat khidmat dan penuh dengan makna yang jauh dari malapetaka yang tidak di
inginkan.
60
3.3.3 Benda –benda dan Alat-alat Upacara
Dalam melaksanakan perkawinan adat biasanya pihak orang tua calon
pengantin perempuan mengadakan persiapan-persiapan dan mempersiapkan alat-
alat upacara untuk kepentingan upacara panggih. Adapun benda-benda dan alat-
alat yang harus di persiapkan adalah:
a. Pemasangan Tratak
Pemasangan Tratak atau tenda di laksanakan apabila waktu pelaksanaan
perhelatan sudah dekat, dua atau tiga hari sebelum pelaksanaan ijab Kabul dan
upacara adat, ini berguna sebagai syarat dalam melaksanakan suatu acara maupun
upacara. Setelah pemasangan tarub di susul dengan pemasangan tarub, yaitu
memasang hiasan-hiasan dengan macam-macam daun-daun dan buah-buahan,
namun ada terdapat perubahan di era modern saat ini, dimana hiasan-hiasan yang
terbuat dari berbagai macam daun-daun dan buah-buahan serta janur kuning tidak
lagi di pergunakan melainkan menggunakan kain gorden yang memiliki ukuran
yang sesuai dengan tratak dan memiliki berbagai warna varian yang di sediakan
oleh penyedia jasa wedding organizer. Tempat-tempat yang perlu di pasang
tratak dan tarub yaitu: Bagian depan dan di dalam ruang tamu rumah, kamar calon
pengantin, di bagian depan dapur, di bagian kanan kiri samping rumah (ini di
lakukan untuk pelaksanaan upacara Siraman dan ijab Kabul dimana acara tersebut
di selenggarakan di kediaman orang tua calon pengantin perempuan).
b. Tempat Siraman
Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah sarana dan prasarana
upacara Siraman yang sangat lengkap namun ada juga beberapa perubahan yang
61
terjadi, diantaranya ialah karpet untuk upacara Siraman yang dulu nya terbuat dari
anyaman daun pandan atau daun kelapa kini berubah menjadi sangat praktis yang
terbuat dari karpet karet yang di ciptakan menyerupai anyaman daun kelapa muda.
Sisi kepraktisan sangat terasa dalam upacara perkawinan adat suku Jawa
yang ada di Kota Medan ini, khususnya di Kecamatan Medan Selayang. Namun
di balik itu makna yang terkandung masih kuat tersirat di dalam setiap ritualisasi
upacara adat perkawinan suku Jawa yang penulis lakukan pada penelitian tersebut
yang mengajarkan tentang makna kehidupan agar hidup harmonis sehingga kelak
menjadi keluarga yang baik dan bahagia. Sarana siraman yang harus di sediakan
terdiri dari: klasa (tikar) yakni tikar terbuat dari daun pandan berukuran kecil
sekitar 25 x 35 cm, di bagian pinggirnya di beri plisir atau lapisan kain merah dan
putih, tikar pandan, seikat daun opo-opo dan daun dadap serep di bungkus kain
mori, tebu wulung, daun jati, daun beringin, kelapa gading, jenang atau bubur
tujuh rupa, dan satu ekor ayam jantan hidup. Sesajen, jajan pasar, dan prasarana
acara siraman di atur dengan baik, kemudian di letakkan di area tempat
berlangsungnya siraman,
Sebelum acara siraman di mulai, terlebih dahulu di siapkan sesajen dan
perlengkapan lainnya yang harus di sediakan. Sesajen dan sarana kelengkapan
upacara Siraman adalah sebagai berikut:
1. Tumpeng Robyong
Sesaji siraman berupa tumpeng robyong, yakni tumpeng nasi putih
berbentuk kerucut pada puncaknya di beri telur rebus, bawang merah, dan cabe
merah yang di tancapkan. Juga di sertakan lauk pauk goring seperti tempe,
daging, dan ikan laut yang di tancapkan sekeliling tumpeng, serta bunga telon
62
(melati, mawar, dan kenanga). Tumpeng di tempatkan dalam sebuah bakul,
sekelilingnya di sertakan tancapan sayur-sayur mentah, seperti terong, kacang-
panjang, dan lainnya di tata serasi. Makna dari sesaji ini sebagai symbol harapan
para tamu datang ramai berdatangan (robyong).
2. Jajan Pasar
Terdiri dari satu lirang pisang pulut atau pisang raja, aneka macam buah-
buahan seperti salak, jambu, nangka, bengkuang, sawo, dan sebagainya. Juga
disertakan makanan kecil antara lain ubi dan singkong rebus, wajik, kacang tanah
rebus, jagung rebus, nanas, ketan dan apem. Semua jajan pasar ini di letakkan
dalam satu tampah besar
3. Benda-benda pada upacara panggih.
a. Busana pengantin Jawa yang di kenakan oleh kedua pengantin.
b. Pelaminan, untuk tempat duduk kedua pengantin. Di kanan kiri
pelaminan di letakkan hiasan janur dan payung Jawa. Pelaminan di
letakkan tepi aula yang dipasang sehari sebelum upacara di
laksanakan. Pelaminan juga mengalami modernisasi dalam setiap
dekorasinya. Sarana dan prasaranya di sediakan oleh Event Organizer
yang telah di pesan sesuai hiasan adat Jawa yang semestinya.
c. Kacang-kacangan yaitu terdiri dari kacang tanah, kacang merah,
kacang hijau, kacang putih, jagung halus, jagung kasar, padi, dan beras
yang digunakan sebagai prosesi kacar kucur.
63
d. Telur ayam kampong putih bersih yang di letakkan diatas nampan
(talam) kuningan dan di taburi dengan bunga setaman. Di gunakan
pada prosesi ngidak endhok (wiji dadi)
e. Nasi walimah, yaitu nasi kuning beserta lauk-pauknya untuk prosesi
upacara dulangan atau dahar klimah.
f. Selendang sindur, yaitu selendang yang tengahnya berwarna merah
dan di tepinya berwarna putih. Di gunakan pada saat gendongan.
g. Dua buah gantalan sirih yaitu beberapa lembar daun sirih yang di isi
pinang yang telah di tumbuk, gambir, kapur sirih, dan di ikat menjadi
satu dengan benang. Gantalan sirih di gunakan untuk acara balangan.
h. Kembar Mayang dua pasang, yaitu dua buah hiasan yang mempunya
bentuk yang sama terbuat dari janur kuning ( daun kelapa yang masih
muda). Sepasang di bawa oleh rombongan pengantin pria dan
sepasang lagi dibawa oleh rombongan pengantin perempuan. Kembar
mayang ini nantinya akan di tukar antara rombongan pengantin pria
dengan rombongan pengantin perempuan. Rangkaian kembar mayang
adalah sebagai berikut; 1. Bentuk keris-kerisan, 2. bentuk payung-
payungan, 3. Bentuk walang-walangan, 4. Bentuk kipas-kipasan, 5.
Bentuk pecut-pecutan.
i. Dua sisir pisang raja (gedang ayu) dan beberapa ikat dauh sirih (suruh
ayu) yang di letakkan dalam satu sanggan (tempat) serta sebuah kelapa
cikal bakal ( kelapa yang baru bertunas) yang di letakkan di dalam satu
sanggan yang di bungkus oleh kertas warna keemasan, yang di bawa
oleh rombongan pengantin pria.
64
j. bokor yang berisi air bunga setaman (bunga melati, bunga mawar, dan
bunga kenanga) yang di gunakan untuk membasuh kaki pengantin pria
pada saat usainya upacara ngidak endhok (wiji dadi).
c. Perlengkapan Dapur
Sebelum malam midodareni tiba, pemasangan tratak dan tarub dengan
segala perlengkapannya harus sudah selesai sehinggap tidak mengganggu upacara
selanjutnya. Berbagai bumbu-bumbu dapur mulai di olah secara gotong royong
oleh para kerabat, tetangga, yang turut membantu, serta bahan sembako lainnya
seperti beras, minyak makan, daging, dan lain sebagainya. Sementara itu untuk
sajian menu makanan pada acara resepsi sudah di sediakan oleh pihak Hotel
Danau Toba Internasional Medan yang telah di sepakati bersama dari pihak
keluarga pengantin perempuan. Aneka sesaji dapur dan tarub yang perlu di
perhatikan adalah sebagai berikut:
1. Sesaji tarub terdiri dari:
Sesaji satu tembok/tampah (tampi) yang di buat dari pelepah pohon
pisang atau bamboo (sujen) di atasnya di isi dengan:
a. Satu takir (tempat terbuat dari daun pisang) jenang katul.
b. Satu takir jenang merah putih
c. Satu takir kembang boreh
d. Satu takir bumbu dapur tidak dengan terasi, telor ayam mentah,
dan kemiri
e. Dua tumpeng-tumpengan.
2. Sesaji Dapur (Tetuwuhan)
65
Yang terdiri dari: tebu wulung, daun beringin, cengkir gading, janur
kuning, yang kesemuanya di atur rapi sehingga menimbulkan rasa
keagungan.
3. Sesaji malam Midodareni di selenggarakan tepat pada pukul 24.00
WIB.
C. Perlengkapan Busana Pengantin
Di dalam lingkungan orang Jawa yang ada di Kota Medan, khusunya di
Kecamatan Medan Selayang, perlengkapan busana memiliki kebebasan dalam
memilih, namun pada dasar nya tetap mengacu dan tidak menghilangkan ciri khas
tata cara serta pada busana pengantin adat Jawa Solo dalam melaksanakan upacara
panggih. Ini dapat di lihat adanya berbagai modernisasi di dalam bentuk warna,
motif, serta hiasan yang terdapat pada busana pengantin adat Jawa di Kota Medan
ini.
Jenis busana dan kelengkapannya yang di pakai oleh kalangan wanita
Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yoyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah
adalah baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya
dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik
sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti
yang dipakai oleh seorang garwo dalem.
Misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng di padukan dengan
kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul),
dan di lengkapi dengan perhiasan yang di pakai seperti subang, cincin, kalung dan
gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan.
66
Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup
memakai kemben yang di padukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben di pakai
untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup
lebar dan panjang. Sedangkan stagen di lilitkan pada bagian perut untuk mengikat
tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya hanya di pakai pada hari-hari
tertentu saja, seperti pada upacara adat misalnya. Baju kebaya di sini adalah
berupa blus berlengan panjang yang di pakai di luar kain panjang bercorak atau
sarung yang menutupi bagian bawah dari badan (dari mata kaki sampai pinggang).
Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang berukuran di sekitar pinggul atas
sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh karena itu, wanita Jawa mengenal
dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang berukuran sampai pinggul dan
kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut.
Kebaya pendek dapat di buat dari berbagai jenis bahan katun, baik yang
polos dengan salah satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau, biru dan
sebagainya maupun bahan katun yang berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya
pendek dapat di buat dari bahan sutera, kain sunduri (brocade), nilon, lurik atau
bahan-bahan sintetis. Sedangkan, kebaya panjang lebih banyak menggunakan
bahan beludru, brokat, sutera yang berbunga maupun nilon yang bersulam.
Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka di beri tambahan bahan
berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai penyambung.
Baju kebaya di pakai dengan kain sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian
depan sebelah kiri dibuat wiron (lipatan) yang di lilitkan dari kiri ke kanan.
Untuk menutupi stagen di gunakan selendang pelangi dari tenun ikat celup yang
67
berwarna cerah. Selendang yang di pakai tersebut sebaiknya terbuat dari batik,
kain lurik yang serasi atau kain ikat celup. Selain kain lurik, dapat juga memakai
kain gabardine yang bercorak kotak-kotak halus dengan kombinasi warna sebagai
berikut: hijau tua dengan hitam, ungu dengan hitam, biru sedang dengan hitam,
kuning tua dengan hitam dan merah bata dengan hitam. Kelengkapan
perhiasannya dapat di pakai yang sederhana berupa subang kecil dengan kalung
dan liontin yang serasi, cincin, gelang dan sepasang tusuk konde pada sanggul.
Baju kebaya panjang biasanya menggunakan bahan beludru, brokat,
sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa ini, baju kebaya panjang merupakan
pakaian untuk upacara perkawinan. Pada umumnya di gunakan juga oleh
mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang baju kebaya ini sampai ke
lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian muka akan tetapi tidak
berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang terbuat dari kain
beludru hitam atau merah tua, yang di hiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain
jarik batik yang berlipat (wiron) tetap di perlukan untuk pakaian ini, tetapi
biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya di hiasi dengan untaian bunga
melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang di pakai juga
sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di
sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang di pakai sebagai busana
upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk
konde.
Mengenai teknik dan cara membuat baju kebaya sangat sederhana.
Potongan dan model kebaya Jawa, yang juga di pakai di Sumatera Selatan, daerah
pantai Kalimantan, Kepulauan Sumbawa, dan Timor sebenarnya serupa dengan
68
blus. Baju ini terdiri dari dua helai potongan, yaitu sehelai bagian depan dan
sehelai lagi potongan bagian belakang, serta dua buah lengan baju. Modelnya
dapat di tambah dengan sepotong bahan berbentuk persegi panjang yang di pakai
sebagai penyambung antara kedua potongan bagian muka.
Pada bagian badan kebaya di potong sedemikian rupa sehingga tidak
memerlukan krup. Ini di maksudkan agar benar-benar membentuk badan pada
bagian pinggang dan payudara dan sedikit melebar pada bagian pinggul.
Sedangkan, lipatan bawah bagian belakang dan samping harus sama lebarnya dan
menuju ke bagian depan dengan agak meruncing. Lengkung leher baju menjadi
satu dengan bagian depan kebaya. Lengkung ini harus cukup lebar sehingga dapat
di lipat ke dalam untuk vuring kemudian di lipat lagi keluar untuk membentuk
lengkung leher. Semua potongan tersebut dapat di kerjakan dengan mesin jahit
ataupun di jahit dengan tangan. Sedangkan busana di kalangan pria, khususnya
kerabat keraton adalah memakai memakai baju beskap kembang-kembang atau
motif bunga lainnya, pada kepala memakai destar (blankon), kain samping jarik,
stagen untuk mengikat kain samping, keris dan alas kaki (cemila). Busana ini di
namakan Jawi jangkep, yaitu busana pria Jawa secara lengkap dengan keris.
Meskipun seni busana berkembang baik di lingkungan keraton, tidak berarti
busana di lingkungan rakyat biasa tidak ada yang khas. Busana adat tradisional
rakyat biasa banyak di gunakan oleh petani di desa. Busana yang di pakai adalah
celana kolor warna hitam, baju lengan panjang, ikat pinggang besar, ikat kepala
dan kalau sore pakai sarung. Namun pada saat upacara perkawinan, bagi orang tua
mempelai biasanya mereka memakai kain jarik dan sabuk sindur. Bajunya beskap
atau sikepan dan pada bagian kepala memakai destar.
69
1. Busana Basahan
Salah satu jenis busana adat yang terindah dan terlengkap di Indonesia
terdapat di keraton Surakarta, Jawa Tengah. Sebab, tiap-tiap jenis busana tersebut
menunjukkan tahapan-tahapan tertentu dan siapa si pemakaiannya. Dalam adat
busana perkawinan misalnya, seorang wanita dan pria kalangan keraton
mengenakan beberapa jenis busana, yang di sesuaikan dengan tahapan upacara,
yaitu midodareni, ijab, panggih dan sesudah upacara panggih. Pada upacara
midodareni, pengantin wanita memakai busana kejawen dengan warna sawitan.
Busana sawitan terdiri dari kebaya lengan panjang, stagen dan kain jarik dengan
corak batik. Sedangkan pengantin prianya memakai busana cara Jawi Jangkep,
yang terdiri dari baju atela, udeng, sikepan, sabuk timang, kain jarik, keris dan
selop.
Saat upacara ijab, busana yang di pakai pengantin wanita adalah baju
kebaya dan kain jarik berwarna putih, sedangkan pengantin pria memakai busana
jass beskap modern yang juga berwarna putih dengan memakai kopiah. Begitu
pula pada upacara panggih kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah di
tetapkan sebagaimana tata busana Solo putri yaitu pada busana pengantin
perempuan menggunakan kain batik yang bercorak sido mukti, sido mulya, dan
sido asih. Mengenakan kebaya beludru panjang warna hitam di prada dengan
sulaman warna keemasan dengan sematan bros tiga susun. Pada alas kaki
menggunakan selop berwarna hitam. Sementara itu, Busana pria juga senada
dengan busana perempuan yang menggunakan kain batik sido mukti, sido mulya,
sido asih, keris, jas beskap berwarna hitam dengan sulaman emas, kalung yang
70
terbuat dari untaian kembang melati, alas kaki menggunakan selop berwarna
hitam, serta di bagian pinggang menggunakan sabuk khusus.
Pada upacara panggih ini, biasanya kedua mempelai pengantin melengkapi
busana basahan dengan aneka perhiasan. Perhiasan yang biasa digunakan oleh
mempelai pria adalah kalung ulur, timang/epek, cincin, bros dan buntal.
Sedangkan bagi pengantin wanita, perhiasan yang biasa di pakai adalah cunduk
mentul, jungkat, centung, kalung, gelang, cincin, bros, subang dan timang atau
epek.
Berbeda dengan tahapan upacara sebelumnya, pada upacara setelah
panggih, pengantin wanita memakai busana kanigaran, yaitu terdiri dari baju
kebaya, kain jarik, stagen dan selop. Sedangkan pengantin pria menggunakan
busana kepangeranan, yang terdiri dari kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk
timang, kain jarik, keris warangka ladrang, dan selop.
Sebagai kelengkapan, dalam busana adat perkawinan, maka baik
pengantin wanita maupun pria biasanya di rias pada bagian wajah dan sanggul.
Tujuannya adalah agar mempelai wanita kelihatan lebih cantik dan angun dan
pengantin pria lebih gagah dan tampan. Bagi pengantin pria, cara meriasnya tidak
sedemikian rumit dan teliti sebagaimana pengantin wanita yang harus di rias pada
bagian wajahnya mulai dari muka, mata, alis, pipi dan bibir.
Busana Jawa baik pakaian sehari-hari maupun pakaian upacara sangat
kaya akan ragam hias yang tak jarang memiliki makna simbolik di baliknya. Jenis
ragam hias yang di kenal di daerah Surakarta maupun Jogyakarta adalah kain
yang bermotifkan tema-tema geometris, swastika (misalnya bintang dan
matahari), hewan (misal: burung, ular, kerbau, naga), tumbuh-tumbuhan (bunga
71
teratai, melati) maupun alam dan manusia. Motif geometris di antaranya adalah
kain batik yang bercorak ikal, pilin, ikal rangkap dan pilin ganda. Motif berupa
garis-garis potong yang disebut motif tangga merupakan simbolisasi dari nenek
moyang naik tangga sedang menuju surga. Bahkan motif yang paling dikenal
oleh masyarakat Surakarta adalah motif tumpal berbentuk segi tiga yang disebut
untu walang, yang melambangkan kesuburan.
Pada busana-busana khusus untuk upacara perkawinan di kenal juga motif
pada batik tulis, seperti kain sindur dan truntum yang di pakai oleh orang tua
mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain sido luhur, dan sido mulyo
merupakan pakaian bagaian bawah mempelai.
Fungsi pakaian, awalnya di gunakan sebagai alat untuk melindungi tubuh
dari cuaca dingin maupun panas. Kemudian fungsi pakaian menjadi lebih
beragam, misalnya untuk menutup aurat, sebagai unsur pelengkap upacara yang
menyandang nilai tertentu, maupun sebagai alat pemenuhan kebutuhan akan
keindahan.
Pada masyarakat di Jawa Tengah, khususnya di Surakarta fungsi pakaian
cukup beragam, seperti pada masyarakat bangsawan pakaian mempunyai fungsi
praktis, estetis, religius, sosial dan simbolik. Seperti kain kebaya fungsi
praktisnya adalah untuk menjaga kehangatan dan kesehatan badan; fungsi estetis,
yakni menghias tubuh agar kelihatan lebih cantik dan menarik; fungsi sosial yakni
belajar menjaga kehormatan diri seorang wanita agar tidak mudah menyerahkan
kewanitaannya dengan cara berpakaian serapat dan serapi mungkin, serta
memakai stagen sekuat mungkin agar tidak mudah lepas.
72
Berikut pedoman busana pengantin adat Jawa Solo yang sering di
gunakan di kota Medan:
1. Ayah Pengantin Perempuan
Memakai busana kain bermotif truntum (cakar ayam), sabuk sindur yaitu
sabuk yang terbuat dari kain selendang berwarna putih di tengah-tengahnya
merah. Untuk gaya Solo (Surakarta) Sabuk sindur di pakai pada pinggang yang
tertutup dengan baju beskap, sementara untuk gaya Jogyakarta sindur di pakai
melilit di pinggang di luar baju surjan.
2. Ibu Pengantin Perempuan
Untuk gaya Solo (Surakarta) sabuk sindur dipakai sebagai ikat pinggang
juga dan cara pemakaiannya tertutup oleh baju kebaya, sedangkan untuk gaya
Jogjakarta sindur tersebut digunakan sebagai kemben. Kain yang dipakai sama
bermotif truntum (cakar ayam) seperti ayah pengantin perempuan.
3. Busana Pengantin Perempuan
Pengantin perempuan berbusana kain yang bermotif nitik, sedangkan baju
kebaya yang digunakan bebas asal masih baru. Begitu pula dengan busana
pengantin pria.
4. Busana Pengantin Pria
Pengantin pria berbusana kain dengan corak sama dengan pengantin
perempuan, memakai blangkon, berkalung karset, dan memakai keris. Namun
praktisnya setelah upacara Panggih dalam resepsi busana pengantin adat Jawa
yang ada di Sumatera utara, khususnya Medan warna dan motif dipilih sesuai
kenginan ahli bait yang tetap mengutamakan gaya busana kebesaran seperti raja
dan permaisuri, dan apabila dalam resepsi tersebut di adakan kirab, maka kedua
73
pengantin masuk keruangan yang telah di siapkan untuk ganti busana. Setelah
beberapa saat pengantin berdua keluar dalam berbusana seperti putra raja yang
disebut busana pangeran (Busana Pangeranan). Biasanya busana kirab ini di
siapkan atau di buat sendiri oleh ahli bait, dan apabila tidak memungkinkan,
biasanya telah di siapkan oleh jasa Wedding Organizer.
Gambar 3.1
Busana Pengantin Gaya Solo
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
74
Gambar 3.2
Busana Kepangeranan pada Upacara Kirab dengan corak warna biru muda
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Gambar 3.3
Busana Pagar Ayu dan Pagar Bagus dengan Motif Kebaya Modern pada
Pagar Ayu dan Gaya Jas Beskap dan kain batik pada Pagar Bagus
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
75
Gambar 3.4
Busana Kepangeranan pada Upacara Kirab
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Gambar 3.5
Foto Bersama dengan mengenakan Busana Kepangeranan khas adat Jawa
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
76
3.3.4 Pemimpin dan Pendukung Upacara
Pemimpin upacara adalah seorang yang mengatur jalannya upacara, yaitu
juru rias pengantin. Sebagai pemimpin upacara, juru rias pengantin bertugas
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan uapcara panggih. Untuk menjadi
juru rias pengantin, tidak ada persyaratan khusus, yang di butuhkan ialah meliputi:
(1) syarat keterampilan, (2) syarat pengetahuan, (3) syarat martabat, dan (4) syarat
kebatinan (Supadmi, 1993:6-8). Siapa saja dapat menjadi juru rias pengantin,
yang terpenting adalah harus menguasai syarat-syarat umum seperti tersebut di
atas.
Seorang pemimpin upacara harus mengetahui tentang tata cara dan
rangkaian upacara perkawinan adat Jawa yang meliputi bagaimana jalannya
upacara secara rinci serta apa makna simbolis dari rangkaian upacara dengan
segala kelengkapannya itu. Seorang pemimpin upacara juga harus memiliki
martabat yaitu mempunyai kehidupan berkeluarga yang baik dan harmonis serta
kehidupan bermasyarakat yang terpuji pula. Syarat martabat ini berkaitan dengan
harapan masyarakat agar dapat di jadikan contoh teladan bagi sepasang pengantin.
Sedangkan pendukung upacara adalah orang-orang yang terlibat langsung
dalam pelaksanaan upacara panggih, yang terbagi atas tiga kelompok, yaitu pihak
kerabat pengantin pria, pihak kerabat pengantin perempuan, dan para tamu.
3.4 Rangkaian Upacara Adat secara Kronologis
A. Proses sebelum Perkawinan
Ketika seorang pria atau perempuan hendak menikah, tentunya diawali
dengan proses panjang. Dalam tradisi masyarakat Jawa, rangkaian upacara
77
perkawinan adat suku Jawa secara kronologis dapat di uraikan dari awal sampai
akhir. Antara lain, upacara Nontoni, upacara lamaran, upacara Siraman, Upacara
Malam Midodareni, Upacara Akad Nikah/ Ijab Kabul, Upacara Panggih, dan
Resepsi.
Dalam penelitian ini di mulai acara nontoni, lamaran, srah-srahan sampai
upacara siraman penulis tidak mengikuti jalannya upacara, hal ini di sebabkan
karena informasi yang penulis dapatkan dari informan pangkal yaitu Surya
Dharma Desky hanya tepat pada upacara akad nikah (Ijab Kabul) dan resepsi saja.
Namun, penulis berusaha mendapatkan informasi dari hasil wawancara dengan
calon mempelai pengantin perempuan yakni Yusrita Arini melalui via telepon
serta orang tuanya Bapak Djumali SH dan Ibu Djumali.
1. Nontoni
Nontoni adalah upacara untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana
calon pasangan yang akan dinikahi. Hal ini di lakukan karena berkaitan dengan
tradisi tempo dulu, dimana seorang pria muda yang akan menikahi si gadis belum
tentu mengenal dengan si gadis itu, bahkan lebih jadi sama sekali belum pernah
melihatnya. Tetapi, untuk zaman sekarang, nontoni di lakukan agar si pemuda
dan keluarganya dapat mengenal lebih jauh tentang diri si gadis beserta
keluarganya, dengan begitu sebaliknya. Intinya, proses nontoni merupakan ajang
untuk saling mengenal antara keluarga si pemuda dan keluarga si gadis.
Upacara nontoni biasanya di prakarsai oleh pihak keluarga pria. Namun,
sebelum melakukan nontoni, biasanya (jaman dahulu) pihak keluarga pria terlebih
dahulu melakukan dom sumuruping banyu terhadap pihak si gadis yang akan di
jadikan menantu, dengan mengirim seseorang yang dipercaya. Dom sumuruping
78
banyu bermakna penyelidikan secara rahasia oleh seseorang sebagai utusan
keluarga pria terhadap si gadis (termasuk keluarganya). Setalah di peroleh
informasi mengenai si gadis dan orang tua si pria menyetujuinya, baru kemudian
di lanjutkan dengan proses nontoni. Apabila hasil nontoni memuaskan dan si pria
bersedia menerima pilihan orang tua nya, maka di adakan lah musyawarah antara
orang tua atau pinisepuh dari pihak si pria untuk menentukan tata cara lamaran.
2. Lamaran
Acara lamaran di laksanakan setelah upacara nontoni berlangsung dengan
baik dan sepakat. Upacara lamaran ini hampir sama dengan upacara nontoni,
yang mana pihak keluarga calon mempelai pria datang kerumah orang tua calon
mempelai pengantin perempuan, tetapi tujuannya bukan lagi nontoni, melainkan
lamaran.
Lamaran adalah cara meminta seorang anak perempuan untuk seorang
anak laki-laki yang akan di jadikan istri olehnya, dil akukan oleh kedua belah
pihak (Saryoto, 1980:3). Selanjutnya apabila telah ada kesepakatan antara
seorang pria dengan seorang perempuan untuk hidup berumah tangga dan kedua
keluarga menyetujui, maka keluarga pria akan mengadakan lamaran kepada
keluarga perempuan. Cara melakukan lamaran ini menurut Wardoyo (n.d:18) ada
dua jenis yaitu: (1) Secara Langsung, artinya sudah pasti lamarannya akan
diterima. Hal ini terjadi jika antara seorang pria dengan seorang perempuan telah
ada kesepakatan, begitu juga antara kedua keluarga, maka keluarga pria
mengadakan lamaran kepada keluarga perempuan. Biasanya yang melamar orang
tua si pria, beserta para keluarga dekat dari pihak keluarga pria. Tetapi sebagai
juru bicara adalah salah seorang keluarga dekat pria, contohnya pakde calon
79
penganti pria. Lamaran adalah suatu peristiwa yang penting sehingga di
khawatirkan kalau orang tua yang berbicara secara langsung kepada pihak
keluarga perempuan akan menimbulkan keharuan bagi orang tua kedua belah
pihak karena hal ini menyangkut hubungan anak mereka. Jika keharuan telah
timbul maka apa-apa yang telah di rencanakan di khawatirkan tidak dapat di
laksanakan sebagaimana semestinya. (2) Memakai surat, artinya lamarannya
belum pasti akan di terima. Hal ini terjadi apabila seorang pria dan seorang
perempuan belum akrab benar, begitu pula dengan kedua keluarga. Yang
membawa surat lamaran adalah congkong. Congkong dalam bahasa Indonesia bisa
berarti tiang penyangga. Maksudnya orang yang ikut berperan dalam
terlaksananya suatu perjodohan. Yang menjadi congkong biasanya orang yang
mempunyai hubungan saudara. Setelah congkong memberikan surat lamaran,
congkong pula yang akan membawa pulang surat jawaban, apakah lamaran di
terima atau tidak. Jika lamaran telah diterima, maka segera diatur dan
dipersiapkan srah-srahan.
Dalam penelitian ini, sepasang calon pengantin sudah saling mengenal dan
di antara keduanya memiliki cerita singkat dalam proses pendekatan (perkenalan)
terhadap satu sama lainnya dan memiliki hubungan kasih sayang yang terjalin di
antara keduanya, keterangan ini didapat atas cerita singkat dari kedua mempelai
pengantin pada puncak acara resepsi saat di wawancarai oleh pembawa acara.
Sehingga lamaran di lakukan secara langsung oleh orang tua calon pengantin pria
beserta para sanak saudara terdekatnya. Sebagai juru bicara adalah seorang
utusan dari pihak keluarga calon mempelai pria yang telah di percaya sebagai juru
bicara dalam proses upacara lamaran. Porses lamaran di laksanakan di Medan
80
Selayang, Kecamatan Sei Batu Gingging No. 80 (di rumah kediaman Bapak
Djumali, SH.). lamaran tersebut di laksanakan pada tanggal 8 Maret 2013.
Lamaran yang di laksanakan menggunakan gaya Melayu, dimana dalam
kaitannya para wali yang menjadi utusan kedua belah pihak keluarga calon
mempelai pengantin menggunakan tata cara adat Melayu. Ini merupakan suatu
bentuk adaptasi budaya yang menyatukan dua buah insan yang berbeda suku
antara suku Jawa dengan suku Melayu. Prosesi ini dilakukan guna menghormati
pihak mempelai pria yang berasal dari suku Melayu.
Gambar 3.6
Prosesi Lamaran dengan Gaya Adat Melayu
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Melakukan lamaran sama artinya dengan meminang. Jadi, lamaran adalah
upacara pinangan calon pengantin pria terhadap calon pengantin perempuan.
Upacara lamaran ini di lakukan setelah calon pengantin pria menyetujui untuk di
jodohkan dengan si gadis pada saat nontoni di lakukan beberapa waktu yang lalu.
Adapun urutan prosesi lamaran adalah sebagai berikut:
81
Pertama-tama, pada hari yang telah di tetapkan tersebut, datanglah orang
tua calon pengantin pria dengan membawa ole-ole yang di wadahi jadong.
Jadong adalah tempat makanan dan sejenis atau wadah ole-ole yang di bawa oleh
pihak orang tua calon pengantin pria. Pada zaman dahulu, jadong ini biasanya di
pikul oleh empat orang pria. Sedangkan makanan yang di bawa pada saat
lamaran biasanya terbuat dari beras ketan, seperti jadah, wajik, rengginang, dan
sebagainya. Sebagaimana di ketahui, beras ketan (setelah dimasak) bersifat
lengket. Sehingga, aneka makanan yang terbuat dari beras ketan itu mengandung
makna sebagai pelekat, yaitu di harapkan kelak kedua calon penagntin dan antar
besan tetap lengket.
Namun pada penelitian ini, penulis melihat adanya perbedaan yang sangat
terasa dimana hal lamaran di lakukan dan di laksanakan menggunakan adat
melayu dalam tata bahasa penyampaian maksud dan tujuan. Namun seiring
dengan itu, cirri khas adat Jawa tetap di tampilkan oleh pihak keluarga calon
mempelai perempuan dalam menyajikan beberapa jamuan dan tata cara
penyambutan kepada pihak keluarga calon mempelai pria.
Selanjutnya, setelah lamaran diterima, kedua belah pihak merundingkan
hari baik (gethok dina) untuk melaksanakan acara srah-srahan dan upacara
paningsetan. Banyak keluarga Jawa yang masih melestarikan sistem pemilihan
hari pasaran pacarawa dalam menentukan hari baik untuk upacara paningsetan
dan hari ijab perkawinan.
82
3. Srah-srahan dan Peningsetan
Setelah kesepakatan hari yang baik yang telah di dapat dari proses lamaran
maka di lanjutkan dengan upacara srah-srahan dan peningsetan. Srah-srahan
adalah penyerahan barang-barang tertentu dari calon pengantin pria kepada calon
pengantin perempuan sebagai paningset, yang artinya tanda pengikat (Harpi
Melati, 1988:2). Paningset di maksudkan sebagai tanda lamaran resmi yang
mengandung makna seorang perempuan sudah ada yang punya dan tidak boleh di
lamar oleh pria lain. Peningsetan berasal dari kata singset, yang artinya ikat.
Dalam perkawinan ada Jawa, peningsetan adalah upacara penyerahan suatu
simbol pengikat dari pihak orang tua calon pengantin pria kepada pihak calon
pengantin perempuan.
Adapun bahan atau barang-barang yang di jadikan sebagai srah-srahan
dan peningsetan kepada calon pengantin perempuan adalah bergantung dari
kemampuan calon pengantin pria memberinya. Tetapi pada umumnya barang-
barang yang di serahkan terdiri dari kain batik, bahan pakaian kebaya, sandal, tas,
seperangkat alat sembahyang, pakaian dalam perempuan, sejumlah uang tunai
sebagai bantuan dari pihak calon pengantin pria kepada pihak perempuan dalam
melaksana upacara perkawinan, alat-alat kosmetik, perhiasan emas, tidak lupa
perlengkapan seperti tempat tidur, dan lemari pakaian.
83
Gambar 3.7
Berbagai bentuk barang-barang sebagai Srah-srahan
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Sebagai ciri khas pengikat (peningsetan) yang dapat di lihat ialah di tandai
oleh adanya perhiasan emas berupa cincin sebagai tanda ikat. Jika calon
pengantin perempuan memiliki abang dan atau kakak yang belum menikah, maka
saat srah-srahan ini juga dibawa barang-barang untuk langkahan sesuai dengan
apa yang di minta oleh abang dan atau kakak. Pada penelitian ini calon pengantin
perempuan memilik dua orang abang yang belum menikah, sehingga harus di
laksanakan proses langkahan tersebut.
Sementara barang–barang yang di bawa oleh pihak calon pengantin pria
sebagai persayaratan adat dalam buku Harpi Melati (1988:2-3) adalah sebagai
berikut:
a. Pisang raja dua sisir, sebagai lambang orang tua kedua belah pihak akan
menyatu menjadi keluarga atau besan.
84
b. Suruh ayu (daun sirih) secukupnya, sebagai lambang sedyo rahayu yang
artinya harapan kesejakteraan.
c. Dua batang tebu wulung yang panjang nya 30 cm, sebagai lambang anteb
ing kalbu yang artinya symbol kehidupan yang manis disertai dengan
kemantapan hati.
d. Dua buah jeruk gulung (jeruk besar), sebagai lambang kebulatan tekad
dalam membina kehidupan berumah tangga.
e. Dua buah cengkir gading (buah kelapa yang berwarna kuning), sebagai
lamabng kenceng ing piker yang artinya kuatnya tekad serta kesucian.
f. Makanan seperti kue-kue dan buah-buahan, sebagai simbol pangan.
Semua barang-barang yang di bawa tersebut tersusun rapi di dalam
nampan (talam) atau keranjang rotan. Pada waktu srah-srahan calon pengantin
pria juga ikut karena pada srah-srahan ini juga di adakan tukar cincin antara
kedua pengantin, sekalgus membicarakan dan di sepakati hari untuk pelaksanaan
upacara perkawinan. Pada umumnya jarak waktu antara srah-srahan dengan
upacara perkawinan tidak boleh lebih dari setahun. Hal ini di maksudkan untuk
menghindari perbuatan-perbuatan yang di larang oleh agama maupun adat-
istiadat. Pelaksanaa dari semua prosesi di lakukan ketika antara kedua calon
pengantin sudah dewasa dan telah memiliki pekerjaan masing-masing. Maka
keluarga Bapak Djumali, SH., menentukan hari pernikahan, yaitu pada tanggal 4
mei 2013 dan melaksanakan upacara panggih pada tanggal 5 mei 2013 di Aula
pertemuan Hotel Danau Toba Internasional Medan.
85
4. Pasang Tratak dan Tarub
Empat hari sebelum upacara perkawinan di mulai, pihak keluarga calon
pengantin perempuan memasang tratak dan tarub. Hal tersebut juga di dasarkan
atas telah selesainya segala administrasi, seperti penyebaran undangan
perkawinan, surat izin pernikahan, dan lain-lain. Maka di dirikanlah tratak dan
tarub di depan rumah calon pengantin perempuan untuk melaksanakan beberapa
upacara yang harus di lakukan dirumah orang tua calon pengantin perempuan,
sedangkan pada upacara panggihnya di gedung aula pertemuan Hotel Danau Toba
Internasional Medan.
Pada penelitian ini, tratak dan tarub di pasang pada hari kamis (2 mei
2013). Di kanan kiri pintu masuk tarub di beri hiasan kain gorden yang
menyeluruh di antara tratak-tratak yang di pasang. Pada pintu masuk utama di
beri hiasan yang di sebut tuwuhan yang berasal dari kata tuwuh yang mengandung
makna tumbuh (Harpi Melati, 1988:4). Adapun bahan-bahan yang di gunakan
untuk membuat tuwuhan adalah sebagai berikut:
a. Dua buah pohon pisang raja yang masih lengkap dengan tandan buah
pisangnya, di pasang pada kanan dan kiri pintu masuk utama. Sebagai
lambang harapan agar sepasang mempelai bahagia seperti raja,
memperoleh banyak rejeki sebanyak buah yang ada, serta dapat
mengasuh anak-anak dengan tentram dan rukun seperti tunas pisang
muda yang selalu berkumpul di sekeliling batang induknya.
b. Cengkir legi dan cengkir gading (kelapa hijau dan kelapa kuning
muda). Cengkir legi (kelapa hijau) dipasang satu janjang ( yangmasih
mempunyai tangkai) pada pintu masuk utama sebelah kiri. Cengkir
86
legi melambangkan kesehatan karena air kelapa hijau dikenal sebagai
obat penawar. Cengkir gading (kelapa kuning) di pasang satu janjang
di pintu masuk utama sebelah kanan. Cengkir gading melambangkan
koko dalam pendirian. Banyaknya cengkir (kelapa) yang di pasang
bisa dua atau tiga buah.
c. Dua buah tebu wulung yang di pasang pada kanan dan kiri pintu masuk
utama. Masing-masing satu batang. Tebu wulung melambangkan
symbol kehidupan yang manis, serta kemantapan hati.
d. Bermacam-macam dedaunan, seperti daun kluwih, daun apa-apa, daun
alang-alang, daun beringin, daun kemuning, dan daun girang. Daun
kluwih melambangkan bahwa kelak di harapkan keluarga pengantin
mempunyai kelebihan dari yang lainnya. Daun apa-apa dan daun
alang-alang melambangkan tiada satupun yang menghalangi serta di
jauhkan dari kesengsaraan. Daun beringin melambangkan kekokohan
serta perlindungan, artinya semoga kehidupan kedua pengantin bisa
koko dan dapat menjadi perlindungan bagi kerabatnya ataupun
tetangganya. Daun kemuning melambangkan keagungan dan
keharuman, artinya semoga kedua pengantin akan selalu harum
namanya di dalam leingkuangan masyarakat dan di gunakan di antara
yang lainnya. Daun girang malambangkan semoga kedua pengantin
dalam membentuk rumah-tangga selalu mendapat kebahagiaan.
e. Seikat padi dan seikat benih buah kelapa yang masih menguning yang
melambangkan kehidupan pokok dalam masayarakat.
87
f. Pintu masuk utama (diatas tuwuhan) di beri hiasan janur kuning yang
melambangkan keselamatan.
Yang membuat tuwuhan adalah orang yang mengetahui tentang komponen
dari tuwuhan tersebut. Bisanya tukang janur, pembuatan tuwuhan di lakukan pada
hari jumat pagi (tanggal 3 Mei 2013).
B. Persiapan Upacara Menuju Hari Perkawinan
1. Siraman
Upacara Siraman yang menjadi objek penulisan ini, di laksanakan pada
tanggal 03 mei 2013 di kediaman rumah keluarga Bapak Djumali, SH. Upacara
Siraman pada umumnya di laksanakan di rumah masing-masing calon mempelai
pengantin, namun pada penelitian ini penulis melihat adanya prosesi upacara
siraman di laksanakan di rumah kediaman calon mempelai pengantin perempuan,
sehingga calon pengantin pria juga turut melaksanakan prosesi upacara siraman di
rumah calon pengantin perempuan. Sebelum di laksanakan upacara panggih,
terlebih dahulu di adakan upacara siraman bagi kedua pengantin. Upacara
siraman bagi kedua pengantin mengandung arti membersihkan dan mensucikan
diri, sehingga pada saat upacara akad nikah dan panggih, kedua pengantin bersih
jasmani dan rohaninya (Zebua, 1975:33). Acara siraman ini di laksanakan pada
hari jumat (3 Mei 2013) jam 10 siang. Penulis melihat dalam upacara siraman
tersebut menggunakan cara yang berbeda dalam melaksanakan prosesi siraman
yang semestinya yang menggunakan sarana gosokan badan (kosokan) yang
menggunakan bahan bahan seperti; Tepung beras tujuh warna, Mangir, Daun
Kemuning, Air satu Klenting, Ratus dengan anglonya, namun tidak demikian
88
adanya dengan yang penulis teliti yaitu pada saat upacara siraman berlangsung
hanya melakukan siraman biasa yang di sertai bunga-bungaan setaman serta
cengkir (kelapa muda berwarna kuning) yang di masukkan kedalam sebuah wadah
gentong emas (bongkor) berisi air, kebagian-bagian badan calon mempelai
pengantin dengan hitungan ganjil yang di awali dengan doa yang di utarakan oleh
kedua orang tua kedua mempelai kepada Allah SWT, serta di akhiri dengan
prosesi ambil wudhu’ yang sama seperti ajaran Islam. Adapun bahan dan alat-alat
yang di gunakan dalam upacara siraman adalah sebagai berikut:
a. Dingklik (bangku kecil pendek terbuat dari kayu), yang di lapisi
dengan klasa bangka (tikar) yang melambangkan dasar kehidupan.
b. Air Tawar yang di beri bunga setaman (bunga melati, bunga mawar,
dan bunga kenanga, serta irisan daun pandan dan jeruk purut), dua
buah kelapa gading yang diikat menjadi satu, dan jeruk purut di dalam
bokor (mangkuk besar/gentong yang terbuat dari kuningan).
c. Sebuah kendi (tempat air yang terbuat dari tanah) yang di isi air.
d. Handuk yang berwarna hijau dengan motif bunga-bunga melati.
e. Nasi Tumpeng robyong
f. Bubur 2 warna (Merah dan Putih)
g. Alas Siraman:
1. Klasa Bangka barus
2. Kain Letrek
3. Kain Sindur
4. Kain yuyu sekandang
5. Kain Lurik puluh watu
89
6. Kain lawon
7. Sembagi
8. Daun Kluwih
9. Daun dadap serep
10. Daun alang-alang.
Adapun proses jalannya upacara siraman adalah sebagai berikut:
Tata cara melakukan siraman ini sama untuk pihak calon pengantin pria,
karena upacara siraman di lakukan pada tempat yang sama di rumah kediaman
orang tua calon mempelai perempuan, sehingga tidak ada lagi proses siraman di
rumah calon mempelai pria. Semua utuh di lakukan secara serentak di rumah
kediaman orang tua calon mempelai perempuan.
Pada saat siraman calon pengantin perempuan memakai kain dan baju
yang berbentuk kemben (pakaian yang di gunakan sebatas dada ke bawah dan
mengggunakan kain dari pinggang sampai ke tumit kaki) berwarna hijau dengan
motif bunga-bunga berwarna putih. Setelah semua bahan dan alat untuk siraman
lengkap, maka calon pengantin perempuan di bimbing oleh juru rias pengantin
menghadap orang tuanya untuk melakukan sungkeman memohon doa restu karena
pengantin perempuan akan memasuki kehidupan baru dalam berumah tangga.
90
Gambar 3.8
Busana Siraman Khas Adat Jawa
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Selanjutnya setelah sungkeman, calon pengantin perempuan di bimbing
oleh kedua orang tuanya menuju ketempat siraman. Tempat untuk siraman ini
terletak di depan rumah yang dihiasi dengan tratak dan tarub (kain gorden) dan di
hiasi sedemikian rupa.
91
Gambar 3.9
Prosesi Sungkeman sebelum Siraman
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
92
Gambar 3.10
Sarana dan Prasarana Siraman
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Gambar 3.11
Perlengkapan Siraman
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
93
Gambar 3.12
Kembang Setaman dan Cengkir yang sudah di masukkan ke dalam Bokor
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Sesampainya di tempat siraman, pengatin perempuan di dudukkan di
dingklik (bangku), kemudian sebelum di mulainya acara siraman terlebih dahulu
di bacakan doa keselamatan oleh orang yang telah di tunjuk oleh pihak keluarga
calon pengantin perempuan. Yang memandikan pertama adalah Ayah, di siram
dengan air yang terdapat di dalam bokor sebanyak tiga kali, lalu di lanjutkan
denga Ibu. Yang di akhiri dengan pengambilan air wudhu’ oleh calon pengantin
perempuan dari kendi yang di lakukan oleh ayah calon pengantin perempuan
kepada anak perempuannya tersebut.
94
Gambar 3.13
Prosesi Siraman pada calon pengantin perempuan oleh kedua orang tua
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Setelah itu di lanjutkan oleh para pinisepuh yang telah mantu atau tidak
ganjil (artinya masih lengkap suami-istri). Hal ini di maksudkan agar dapat
menurunkan kebahagiaan kepada pengantin. Pinisepuh yang menyirami
berjumlah ganjil, misalnya lima atau tujuh, termasuk juru rias pengantin, cara
menyiramnya juga sebanyak tiga kali.
Setelah air kendi habis, kemudian kendi tersebut di pecahkan dengan cara
membantingkannya ke lantai oleh ayah pengantin seraya mengucapkan kata-kata:
“Calon penganten wis pecah pamore”, yang artinya calon pengantin perempuan
telah muncul daya tariknya. Setelah siraman selesai dan tubuh calon pengantin
perempuan telah di bersihkan dan di keringkan, Ayah calon pengantin perempuan
membimbing pengantin perempuan menuju kamar pengantin. Calon pengantin
perempuan berjalan di belakang ayahnya sambil memegang pundak dan ibu
95
mengikuti di belakang anaknya. Hal ini melambangkan ngentasake anak, yang
artinya akan membawa anak pada kehidupan mandiri dan membina keluarga
sendiri. Cara yang sama dan waktu yang sama di lakukan acara siraman untuk
calon pengantin pria dirumah calon pengantin perempuan dengan menggunakan
kain panjang berwarna kuning yang di selempangkan menjadi bentuk pakaian di
badan bagi calon pengantin pria.
Gambar 3.14
Prosesi Pecah Kendi
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
2. Adol Dawet (Dodolan Dawet)
Setelah siraman, kemudian calon pengantin perempuan di dudukkan di
atas tempat tidur yang sudah di beri alas klasa Bangka (tikar). Kemudian kedua
orang tua khususnya sang ayah calon pengantin perempuan, menggunting anak
rambut (pangkas rikma) calon pengantin perempuan. Hal ini menandakan di
mulainya tata rias pengantin, namun dalam penelitian ini penulis melihat upacara
96
tata rias di laksanakan keesokan harinya setelah upacara ijab kabul tersebut.
Setelah acara pemotongan anak rambut (pangkas rikma) oleh kedua orang tua
calon pengantin selesai, rambut di kumpulkan di talam kecil berwarna putih yang
di lakukan oleh sang Ibu, kemudian kedua orang tuanya menuju teras depan
rumah. Ayah melubangi tanah dengan cangkul kecil dan kemudian menanam
anak rambut calon pengantin perempuan. Prosesi ini mengandung makna,
sekalipun anaknya telah berkeluarga sendiri, namun pengantin perempuan tetap
menjadi bagian dari keluarga besar orang tuanya.
Kemudian setelah acara gunting anak rambut (pangkas rikma) oleh kedua
orang tua calon pengantin terhadap anak perempuannya, kedua orang tua calon
pengantin perempuan kembali masuk untuk menjemput anak perempuannya yang
sudah berganti pakaian dan keluar menuju halaman depan rumah untuk
mengadakan acara dulangan (menyuapi) dan dodolan dawet (berjualan cendol).
Dulangan di lakukan hanya oleh kedua orang tua calon pengantin perempuan,
yang memiliki makna kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Sementara itu
ketika acara dulangan telah selesai di lajutkan dengan Dodolan dawet yang juga
di lakukan hanya oleh kedua orang tuan calon pengantin. Ibu menjual cendol
(dawet), sedangkan ayah menerima uangnya yang berbentuk uang kreweng (
biasanya uang-uangan dari pecahan genteng, namun kali ini menggunakan uang
recehan) sambil memayungi ibu (istrinya). Yang membeli adalah para tamu yang
hadir pada saat siraman dengan uang kreweng tersebut. Dodolan dawet ini
memiliki makna suasana yang meriah, yang melambangkan harapan agar pada
pesta perkawinan nantinya akan banyak tamu yang datang. Selain itu juga di
sediakan kue-kue dan makanan bagi para tamu yang hadir. Dawet (cendol) juga
97
di berikan kepada calon pengantin prianya. Hal ini di maksudkan supaya calon
pengantin pria dapat merasakan nikmatnya dawet (cendol) yang di berikan
tersebut.
Gambar 3.15
Prosesi Adol Dawet oleh Orang Tua mempelai perempuan
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
3. Midodareni
Midodareni berasal dari kata widodari, yang artinya bidadari. Bagi
pengantin Jawa, prosesi malam midodareni merupakan tradisi yang tidak pernah
di tinggalkan mengingat malam itu di yakini sebagai saat turunnya bidadari dari
khayangan ke kediaman calong pengantin perepmuan untuk menularkan aura
98
kecantikannya agar sang mempelai tampak bersinar pada saat upacara keesokan
harinya.
Berlangsungnya prosesi midodareni dumulai dari pukul 18-00 sampai
dengan 24.00 WIB (tengah malam). Selama itu pula calon pengantin perempuan
tidak di perbolehkan keluar dari kamar pengantin dan tidak di perkenankan pula
untuk bertemu calon penganti pria. Begitu juga sebaliknya. Apabila ada tamu
yang ingin bertemu dengan calon pengantin perempuan, maka mereka harus
masuk ke kamar pengantin di damping oleh para kerabat dan pinisepuh. Adapun
maksud dia dakan nya tirakatan adalah sebagai upaya diri untuk laku prihatin dan
berlatih mengendalikan diri sekaligus sebagai permohonan kepada Yang Maha
Kuasa agar perkawinan yang akan di lakukan mendapatkan berkah dan rahmat
dari-Nya.
Malam itu calon pengantin perempuan hanya di rias tipis dan sederhana,
serta pemakaian inai di jari pengantin pada setiap calon mempelai pengantin.
Uniknya dalam penelitian ini juga penulis melihat ada perkembangan budaya
yang di adaptasikan ke dalam budaya yang di miliki oleh seseorang atau etnik,
baik itu di lakukan secara inisiatif sendiri yang di buat oleh kedua calon pengantin
maupun dari keluarga dimana ketika malam hari setelah prosesi upacara siraman
telah sukses di laksanakan maka kedua tangan dari kedua calon pengantin tersebut
di beri inai sebagaimana bentuk dan geometrisnya menyerupai budaya inai gadis
India ketika menjelang hari pernikahan. Beberapa pengalaman penulis dalam
melihat perkembangan budaya inai ini juga ada terdapat dalam acara resepsi-
resepsi pernikahan adat lainnya seperti Melayu, pada pernikahan suku Minang,
99
serta percampuran dua suku yang berbeda selama bekerja dalam penyedia jasa
foto Wedding.
Gambar 3.16
Pemasangan Inai pada jari calon pengantin
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Selanjutnya mengenakan busana sawitan (busana yang tidak menyolok
warnanya, atasan dan bawahan terbuat dari bahan dan warna senada). Dan tanpa
mengenakan perhiasan maupun bunga, hanya menggunakan cincin pertunangan.
Di dalam kamar, calon pengantin perempuan di temani oleh para pinisepuh dan
kerabat yang kesemuanya adalah perempuan juga. Acara malam midodareni juga
di maksudkan sebagai malam tirakatan, sehingga lebih terkesan hening dan tenang
karena tidak ada gamelan atau musik yang di bunyikan.
100
Sekitar puku 19.00 WIB, calon pengantin pria datang kerumah calon
pengantin perempuan dengan menggunakan busana yang sopan, busana batik
yang di sertai jas hitam (pada kalangan masayarakat Jawa asli pada umumnya
menggunakan busana beskap jawa lengkap, yakni kain batik wiron, jas beskap dan
blangkon, tanpa mengenakan keris). Setibanya calon pengantin pria, salah
seorang pendamping mengutarakan maksud kedatangan calon pengantin pria
dengan membawa beberapa srah-srahan, bahwa tujuannya adalah untuk
menunjukkan bahwa calon mempelai pria dalam keadaan sehat dan selamat, dan
hatinya telah mantab untuk menikahi putri mereka, ini biasanya di kalangan orang
Jawa sendiri disebut sebagai Jonggolan. Jonggalan merupakan rangkaian upacara
yang terdapat di dalam upacara malam midodareni, yang di artikan bahwa calon
pengantin pria datang menghadap calon mertua. Jonggolan juga di maksudkan
untuk meyakinkan bahwa calon pengantin pria tidak kabur karena telah siap lahir
dan batin. Kemudian orang tua calon pengantin perempuan menyambut dengan
hangat maksud dan kedatangan calon pengantin pria dengan tangan terbuka,
dengan menyuguhkan berbagai makanan dan minuman.
Di tengah-tengah prosesi ini ada terdapat istilah Pasrah Sanggan. Kata
pasrah sanggan berasal dari dua suku kata, yaitu pasrah dan sanggan. Pasrah
berasal dari kata srah atau serah, yang memiliki arti menyerahkan, sedangkan
sanggan berasal dari kata sanggan, yang berarti melipat tangan; menjalani
(misalnya hukuman) atau membiayai. Maksud membiayai adalah pihak calon
pengantin pria memberikan atau ikut memberikan dana untuk menggelar acara
hajatan yang di adakan di rumah calon orang tua pengantin perempuan.
101
Oleh karena itu, dalam pernikahan adat Surakarta (Solo) ada istilah sangga
tukon, yang berasal dari kata tuku (membeli). Kata tukon disini tidak dalam arti
membeli, melainkan lebih bersifat ikut membiayai upacara. Dengan demikian
pasrah sanggan adalah prosesi upacara penyerahan uba rampe (barang bawaan)
oleh keluarga pihak calon pengantin pria kepada keluarga pihak calon pengantin
perempuan.
Saat proses jonggolan berlangsung, maka ayah di dampingi istri calon
pengantin perempuan menghampiri anak perempuannya yang berada di dalam
kamar, ini juga merupakan bagian dari upacara malam midodareni yang di sebut
sebagai Tantingan. Tantingan adalah prosesi menanyakan sekali lagi kemantapan
hati putrinya oleh ayah kepada calon pengantin perempuan (putrinya) tersebut
untuk berumah tangga.
Menjawab pertanyaan kedua orang tua, maka calon pengantin perempuan
menyatakan bahwa ia menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada orang tuanya.
Biasanya ini jawaban putrinya menggunakan syarat, namun informasi yang
penulis dapat hanya berupa jawaban saja yang menyerahkan seutuhnya keputusan
kepada orang tuanya, tanpa menggunakan syarat seperti di carikan sepasang
kembar mayang sebagai syarat pernikahan.
C. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan secara agama merupakan sesi penting dalam seluruh
rangkainan perjamuan perkawinan. Perkawninan ini di laksanakan menurut agama
Islam sesuai agama yang di anut oleh kedua calon mempelai untuk menjadi suami
isteri secara sah di hadapan Allah SWT. Dengan di laksanakannya upacara
102
perkawinan secara agama atau lazimnya di sebut akad nikah, berarti kedua
mempelai sudah resmi menjadi suami istri, baik dimata Allah SWT, maupun
secara hukum administrasi pemerintahan.
Pada hari upacara perkawinan sebagai puncak acara pernikahan yang berada
di Jln. Sei Batu Gingging, Kecamatan Medan Selayang adalah terbagi atas dua
hari seperti apa yang telah penulis jelaskan pada bab 1. Pelaksanaan ijab Kabul
berbeda hari dengan upacara panggih, yaitu upacara ijab Kabul di laksanakan
pada hari sabtu tanggal 4 mei 2013, sementara upacara panggih di lakukan pada
hari minggu tanggal 5 mei 2013 di Gedung aula Hotel Danau Toba Internasional
Medan.
Berikut prosesi puncak acara dari Upacara perkawinan adat Jawa yang ada di Jln
Sei Batu Gingging, Kecamatan Medan Selayang, Medan:
1. Ijab Kabul
Sebagai prosesi pertama pada puncak acara ini adalah pelaksanaan ijab
yang melibatkan pihak penghulu dari KUA. Setelah acara ini berjalan dengan
lancar dan di anggap sah, maka kedua mempelai resmi menjadi suami istri.
Ijab Kabul merupakan acara yang paling penting dalam rangkaian upacara
perkawinan, karena pada acara inilah seorang pria dan seorang perempuan telah
sah berdasarakan syari’ah (hokum islam) sebagai suami-isteri. Ijab-kabul ini di
laksanakan di kediaman rumah keluarga mempelai calon pengantin perempuan.
Jika saksi-saksi yang berkepentingan untuk upacara ijab-kabul telah hadir, yaitu
(1) penghulu (tuan kadi), (2) calon pengantin pria, (3) orang tua pengantin wanita
dan pria, (4) calon pengantin perempuan (menunggu di kamar pengantin), (5) dua
103
orang saksi, maka di adakanlah upacara ijab-kabul. Dalam ajaran Islam, pada saat
ijab-kabul pengantin pria harus menyerahkan mas kawin kepada pengantin
perempuan. Mas kawin adalah sejumlah uang atau barang yang di berikan
pengantin pria kepada peneantin perempuan sebagai syarat untuk sahnya suatu
pernikahan (Depdikbud, 1977:42). Dalam tulisan ini mas kawinnya adalah
seperangkat alat shalat, sepasang perhiasan Cincin emas dan uang tunai.
Setelah semua para saksi mendengarkan prosesi ijab-kabul yang di
lakukan oleh pengantin pria terhadap ayah mempelai pengantin pria dalam
menikahkan putrinya di anggap sah maka seluruh saksi dan para undangan kerabat
maupun keluarga yang ada dalam upacara ijab-kabul menghanturkan doa syukur
kepada Allah SWT. Kemudian di lanjutkan dengan pemasangan cincin mas
kawin serta pembacaan syarat nikah dan ketentuannya oleh pengantin pria yang
ada di dalam buku nikah yang sudah di sediakan oleh pihak tuan Kadi (KUA)
yang di akhiri dengan penanda tanganan oleh pihak memplai pengantin dan para
saksi. Upacara ijab-kabul yang di laksanakan pada penulisan ini pada tanggal 04
Mei 2013 pukul 08.30 WIB.
Inti dari upacara ini, baik secara makna maupun tradisi, adalah keluarga
pengantin perempuan menyerahkan (menikahkan) anak gadisnya atau putri nya
kepada pengantin pria, dan keluarga pengantin pria menrima pengantin
perempuan disertai dengan penyerahan mas kawin bagi pengantin perempuan.
104
Gambar 3.17
Prosesi Ijab Kabul
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
2. Tepung Tawar
Sebagai akulturasi budaya adat Jawa yang ada di Sumatera, Khususnya
Sumatera utara maka dalam setiap penyajian upacara-upacara perkawinan pada
masyarakat Jawa menggunakan prosesi tepung tawar yang di ambil dari budaya
Melayu, dimana dalam hal ini Melayu adalah suku yang paling banyak di temukan
di pulau Sumatera yang memiliki upacara tepung tawar.
Upacara tepung tawar yang ada dalam penelitian ini di laksanakan di
dalam ruang tamu dari kediaman orang tua pengantin perempuan yang telah di
hiasi dengan pelaminan yang berukuran kecil sesuai dengan ukuran ruang tamu
yang ada. Dekorasi yang di gunakan seperti dekorasi pelaminan adat melayu yang
di padukan dengan pelaminan adat Jawa, dari beberapa peralatan yang digunakan
seperti payung yang berwarna kuning keemasan, kursi pelaminan yang bercorak
105
Melayu, dan beberapa bunga-bungan hidup. Upacara tepung tawar di laksanakan
setelah Ijab-kabul terlebih dahulu dilakukan beberapa jam sebelumnya pada
tanggal 04 mei 2013.
Setelah acara tepung tawar di lanjutkan dengan suasana alunan Marhaban
dari para Ibu-ibu persatuan perwiritan yang di undang oleh pihak keluarga
mempelai perempuan untuk mengisi acara tepung tawar tersebut dengan berbagai
lagu-lagu islami sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. Group Marhaban yang
ditampilkan dalam setiap upacara Perkawinan Adat merupakan hasil adaptasi
budaya Jawa yang tinggal di Sumatera pada umumnya, dan khususnya di
Sumatera Utara maupun kota Medan.
Gambar 3.18
Suasana Marhaban saat prosesi Tepung Tawar
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Upacara tepung tawar ini di maksudkan untuk memberikan doa restu bagi
kesejahteraan kedua pengantin dan seluruh keluarga mereka. Selain pemberian
doa restu, upacara ini juga memiliki makna sebagai simbol penolakan terhadap
106
segala bala dan gangguan yang mungkin mereka terima kelak. Upacara ini di
lakukan oleh keluarga terdekat, pemimpin atau tokoh masyarakat, serta ulama
yang sekaligus sebagai pembaca doa.
Adapun urutan pelaksanaan upacara ini adalah sebagai berikut: (1)
menaburkan tepung tawar ke telapak tangan kedua pengantin. (2) mengoleskan
inai ke telapak tangan pengantin kedua pengantin. (3) menaburkan beras kunyit
dan bunga rampai kepada kedua pengantin. (4) membasahi kedua tangan
mempelai dengan 3 helai daun pandan yang di lipat dan di ikat dengan tali dari
daun pandan pula dengan air yang telah di beri irisan bunga panda, bunga setaman
dan jeruk nipis.
Gambar 3.19
Perlengkapan Tepung Tawar
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
107
Gambar 3.20
Prosesi Tepung Tawar yang dilakukan oleh Ayah mempelai
pengantin perempuan
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Setelah semua acara usai dalam prosesi ini di akhiri dengan acara foto
bersama dengan para keluarga masing-masing serta para tokoh masyarakat yang
telah di undang. Upacara juga di tutup dengan dengan jamuan santap bersama.
Dalam acara ini, para tamu bersama-sama menikmati makanan dan minuman yang
di sajikan oleh tuan rumah yakni Bapak Hj. Djumali SH. yang beralamat di Jln.
Sei Batu Gingging, Kecamatan Medan Selayang, Medan.
3. Selametan (Kenduri)
Setelah upacara ijab Kabul serta upacara tepung tawar telah sukses
terlaksana maka pada malam harinya di lanjutkan untuk upacara Selametan yang
di laksanakan setelah shalat Isya’ yang di hadiri oleh para kerabat, tetangga dan
para undangan lainnya untuk memanjatkan doa kepada Alla SWT agar acara
108
resepsi dapat terlaksana aman dan lancar serta mendapat perlindungan dari Allah
SWT dari segala musibah.
4. Paes
Upacara menghilangkan rambut halus yang tumbuh di sekitar dahi agar
tampak bersih dan wajahnya bercahaya, kemudian merias wajah pengantin
perempuan. Paes sendiri menyimbolkan harapan kedudukan yang luhur di apit
lambang bapak ibu dan keturunan.
Pada malam setelah Ijab-Kabul maka pada penelitian ini di laksanakan
malam midodareni. Midodareni seperti yang di telah di jelaskan di atas ini yang
menjadi kelanjutan untuk melaksanakan paes, hal ini di sebabkan atas penentuan
hari baik yang sudah di dapat dari kedua belah pihak keluarga mempelai, sehingga
terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Midodareni merupakan malam
terakhir bagi pengantin perempuan sebagai soerang gadis. Pada malam
midodareni di harapakan pengantin perempuan tidak tidur sebelum pukul 00.00
WIB. Hal ini di maksudkan agar pengantin perempuan menunggu datangnya
dewi dan mendapat restu dari dewi.
Pada malam midodareni ini, juga pihak keluarga mempelai pengantin juga
mengadakan nebus kembar mayang . kembar mayang adalah dua buah hiasan
yang mempunyai bentuk yang sama yang terbuat dari janur kuning, di bentuk
sedemikian rupa sehingga mengibaratkan semua manusia dari empat penjuru
angin mempunyai satu kepercayaan yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kembar
Mayang terbagi atas tiga bagian (Wardoyo: n.d. :34-37) yaitu: (1) Dasar, yaitu
bokor (tempat) tumpuan kembar mayang yang mengibaratkan manusia masih
berada dalam kendungan; (2) tubuh (deleg), yaitu batang pohon pisang raja yang
109
di hiasi janur, dibentuk seperti piramid dengan alas lebar segi empat meruncing
keatas, mengibaratkan manusia telah lahir dan mengetahui dunia seisinya hingga
mencapai jodohnya; (3) puncak, yaitu buah nenas yang di letakkan di atas kembar
mayang yang mengibaratkan kekuasaan tertinggi yang di percayai yaitu Tuhan
yang Maha Esa.
Gambar 3.21
Kembar Mayang
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Setelah pagi hari menjelang sekitar waktu subuh, kemudian kening
pengantin perempuan di rias dan di buat pola cengkrongan, dimana dalam
penelitian ini cengkrongan paes sendiri tidak di rias menggunakan lotha hijau
merata sampai penuh seperti apa yang pernah di lihat pada umumnya, namun
pembuatan pola cengkorongan sudah sangat praktis sehingga tidak menghabiskan
110
banyak waktu untuk membentuk pola cengkorongan pada kening pengantin
perempuan. Bentuknya terbuat seperti kain lembut yang tepian paes di hiasi
dengan warna keemasan, ini merupakan bentuk paes secara modern sering di
sebut sebagai paes ageng.
Sanggul pengantin solo basahan disebut sanggul bokor mengkurep, karen
bentuknya menyerupai bokor terlungkup. Sanggul ini ditutup dengan rajut melati
kawungan. Pada sebelah kanan atas konde di sematkan untaian melati tiba dada
yang menjuntai ke dada. Di atas sanggul di pasang perhiasan kembang goyang.
Bagian dahi wajah pengantin mengggunakan riasan berbentuk lengkungan warna
hijau namun pada penelitian ini berwarna hitam yang tepi nya di warnai dengan
warna keeamasan yang terbuat dari kain khusus yang disebut paes. Serta pada
telinga di hiasin dengan anting-anting.
Bentuk Cengkorongan Paes:
(1) Gajahan: berbentuk setengah bulatan seperti ujung telur bebek ditengah-
tengah dahi diatas pangkal alis. Lebarnya kurang lebih 4 jari dan berjarak
3 jari diatas alis.
(2) Pengapit: dengan ukuran kurang lebih 2,5 jari dari tepi luar gajahan, yang
menyerupai kuncup bunga kantil, terletak disebelah kanan dan kiri
gajahan, ujung pengapit menghadap kepangkal alis.
(3) Penitis: bentuk penitis dengan lebar 2,5 jari, seperti bulatan ujung telur
ayam, ujung penitis kanan dan kiri menghadap kepangkal alis.
(4) Godeq: dengan ukuran 1 jari, seperti kuncup bunga turi, dari pangkal
penitis, garis-garisnya diteruskan masuk kedalam rambut kuran glebih 1
cm, kiri dan kanan.
111
Perhiasan Sanggul pada pengantin perempuan:
(1) Sempyok: berbentuk garuda, dipasang pada tengah-tengah sanggul.
(2) Cunduk Mentul: di pasang sebanyak 9 buah cundul mentul, corak
menghadap ke depan (tradisi lama menghadap kebelakang), berjarak sama
agar terlihat seperti kipas mekar.
(3) Cunduk Jungkat: letaknya kurang lebih 3 jari dari pangkal gajahan, dijepit
sebelah kiri dan kanannya.
(4) Centung: berjumlah dua buah, masing-masing di pasang pada pangkal
pengapit.
Gambar 3.22
Cengkorongan Paes Ageng
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
112
5. Panggih Temanten
Upacara Panggih di laksanakan setelah upacara akad nikah atau Ijab-
kabul. Kata Panggih berasal dari bahasa Jawa, yang artinya bertemu. Sehingga,
upacara panggih berarti pertemuan kedua pengantin setelah psosesi upacara akad
nikah selesai.
Sebelum upacara di mulai, terlebih dahulu benda-benda dan alat-alat untuk
upacara dipersiapkan pada tempatnya masing-masing, yaitu:
a. Kembar mayang pihak pengantin perempuan diletakkan disamping
kanan pintu masuk.
b. Nasi walimah untuk dahar klimah disebelah kanan pelaminan
c. Empat buah kursi ukiran di letakkan disebelah kiri pelaminan untuk
prosesi sungkeman.
d. Mulai dari pintu masuk sampai jalan menuju pelaminan di lapisi karpet
berwarna merah.
e. Kacar kucur di letakkan di sebelah kanan pelaminan.
f. Bokor yang berisi air bunga setaman dan telur ayam kampong yang di
letakkan di talam kuningan serta di taburi dengan bunga setaman di
letakkan berdampingan.
g. Dua buah Cengkir (buah kelapa muda) sebagai pendamping kembar
mayang yang di letakkan di sisi kiri dan sisi kanan pelaminan.
113
h. Musik rekaman gendhing gamelan serta beberapa speaker dan sound
system.
Dalam penulisan ini upacara panggih mulai di laksanakan pada pukul
08.00 WIB, para undangan dari kerabat dan keluarga mulai berdatangan di
Gedung pertemuan Hotel Danau Toba Internasional Medan yang telah di dekorasi
sesuai adat Jawa. 30 menit kemudian pihak pengantin perempuan hadir untuk
menuju kursi pelaminan. Suasana menjadi sangat terasa sakral saat rekaman
gendhing gamelan klenengan (lagu-lagu hiburan) di putar. Setelah itu musik
gendhing gamelan Kebo Giro mulai di putar sesaat sebelum pihak rombongan
mempelai pria tiba di gedung.
Kemudian pembawa acara menyampaikan kata-kata pembukaan dengan
menggunakan bahasa Jawa halus di sertai terjamahannya kedalam bahasa
Indonesia mengenai pelaksanaan upacara perkawinan ini. Pembawa acara (Bapak
Agus Wayan) adalah seseorang yang telah di tunjuk oleh pihak keluarga
mempelai perempuan untuk memandu urutan-urutan dalam pelaksanaan upacara
panggih. Kata-kata pembukaan yang di sampaikan adalah:
1. Mengucapkan terimakasih kepada para tamu yang telah bersedia hadir
pada pelaksanaan upacara perkawinan ini.
2. Di harapakan kepada para tamu untuk memberikan doa restu kepada
kedua pengantin, karena sebentar lagi kedua pengantin akan
melaksanakan upacara panggih.
114
3. Pengantin perempuan beserta orang tua telah siap dan sekarang duduk
di pelaminan menunggu kedatangan rombongan pengantin pria.
Dalam setiap upacara perkawinan adat Jawa pada umumnya ketika
mempelai pengantin perempuan berada di pelaminan selalu di dampingi dengan
dua orang gadis kecil yang di sebut sebagai Putri Domas yang memiliki makna
sebagai dayang-dayang seorang ratu. Namun di samping itu juga terdapat dua
orang pemuda remaja yang biasanya sebagai pendamping pengantin pria yang
membawa kembar mayang serta sanggan yang biasa disebut sebagai Manggolo
yang memiliki makna sebagai punggawa kerajaan. Dan ketika mempelai
pengantin perempuan masuk menuju pelaminan terdapat seorang pembawa jalan
dengan menggunakan jas beskap lengkap beserta atributnya yang di sebut sebagai
Cucuking Lampa. Ini yang menjadi sangat menarik bagi penulis dengan adanya
sisi kelengkapan dalam sebuah upacara adat Jawa pada umumnya, yang jarang
sekali di temukan pada upacara-upacara perkawinan adat Jawa yang penulis
pernah lihat sebelum-sebelumnya.
Gambar 3.23
Dua Orang Putri Domas
115
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Gambar 3.24
Seorang Manggolo yang Membawa Kembar Mayang
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Gambar 3.25
Cucuking Lampa Pembawa Jalan Pengantin
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Pada pukul 09.00 WIB pihak rombongan pria telah tiba di gedung
pertemuan Hotel Danau Toba Internasional Medan. Maka di mulailah upacara
panggih. Gendhing Kebo giro terus berlanjut sampai pihak rombongan mempelai
116
pria berada di Gerbang pintu masuk menuju pelaminan yang telah di rias
sedemikian indah. Pada waktu upacara panggih bapak dan ibu pengantin pria
tidak boleh ikut dalam rombongan. Pengiring dan pendamping pengantin putra
adalah keluarga bapak dan ibu terdekat atau kerabat terdekat. Posisi iring-iringan
adalah pengantin pria berada di tengah-tengah. Kedua orang sebagai pendamping
pendamping harus lebih tua daripada pengantin pria sendiri dan masih utuh
(bukan status duda).
Di sebelah dalam pintu gerbang yang telah di hiasi dengan kain gorden
dan bunga-bunga hiasan terdapat barisan pemuda-pemudi yang menyambut
kedatangan pengantin pria, disebut dengan Pagar Bagus dan Pagar Ayu yaitu
barisan yang di isi oleh tujuh atau sembilan (wajib dalam hitungan ganjil) yang
masih dalam ikatan kerabat maupun keluarga dari kedua belah pihak mempelai
pengantin yang telah dipilih dan mengenakan busana kebaya lengkap pada Pagar
Ayu dan Pagar Bagus mengenakan jas beskap berwarna hitam dengan
menggunakan blankon di kepala, keris, dan kain batik. Serta mengenakan selop
khas Jawa.
Gambar 3.26
117
Rombongan Pagar Bagus dan Pagar Ayu
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Setelah melihat bahwa rombongan pihak pengantin pria tiba, pembawa
acara (Bapak Agus Wayan) menjelaskan bahwa rombongan pengantin pria telah
datang dan membawa dua buah sanggan. Yang satu berisi pisang raja dua sisir
dan beberapa ikat daun sirih dan yang satu lainnya berisi kelapa cikal bakal, serta
kembar mayang, yang semuanya melambangkan keselamatan.
Adapun urutan rombongan pengantin pria adalah sebagai berikut: (1)
pimpinan rombongan (paling depan, Bapak Cipto sebagai pemimpin rombongan
pihak mempelai pengantin pria), (2) dua orang remaja putri (masing-masing
membawa satu sanggan), (3) dua orang remaja putra membawa kembar mayang,
(4) pengantin pria, (5) para kerabat pengantin pria.
Gambar 3.27
Kata Sambutan dari Rombongan Pengantin Pria
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
118
Setelah kedua rombongan siap untuk di pertemukan maka alunan rekaman
gendhing kebor giro digantikan dengan alunan rekaman gendhing monggang.
Pihak rombongan pengantin perempuan berada di depan pelaminan di dampingi
oleh kedua orang tua nya. Berikut urutan rombongan pengantin perempuan
(dimulai dari depan) adalah: (1) pimpinan rombongan pengantin perempuan
(Bapak Sumardji), (2) dua orang remaja putri yang mengenakan kebaya lengkap
membawa kembar mayang yang akan menerimanya dari pihak pengantin pria, (3)
orang tua pengantin perempuan, (4) dua orang putri Domas, (5) pengantin
perempuan, (6) para kerabat pengantin perempuan.
Kemudian pembawa acara menjelaskan bahwa sekarang kedua pengantin
telah di kawal oleh para kerabatnya dengan di pimpin oleh seorang pimpinan
rombongan yang telah di tunjuk oleh masing-masing kedua belah pihak.
Kemudian pemabawa acara Bapak Agus Wayan mempersilahkan pimpinan pihak
rombongan pengantin pria yakni Bapak Cipto untuk menyampaikan sambutan
yang biasanya berbahasa Jawa asli (Jawa halus) yang inti isinya sebagai berikut:
(1) Bahwa beliau adalah wali wakil dari pengantin pria beserta
rombongan
(2) Menyampaikan salam dari orang tua pengantin pria kepada pihak
pengantin perempuan
(3) Mengantarkan pengantin pria yang telah siap untuk melaksanakan
upacara Panggih.
(4) Rombongan pengantin pria telah siap untuk mengikuti jalannya
upacara, dimana segala perlengkapan dan tata cara pelaksanaannya di
serahkan kepada pihak yang berwenang.
119
Gambar 3.28
Bapak Cipto, Pemimpin rombongan pengantin Pria
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Setelah selesai kata sambutan dari pihak pimpinan rombongan pengantin
pria, di lanjutkan dengan mempersilahkan pimpinan rombongan pengantin
perempuan yaitu Bapak Sumardji untuk menyampaikan kata sambutan dengan
berbahasa Jawa halus juga, yang inti maknanya sebagai berikut:
(1) Mengucapkan selamat datang kepada rombongan pengantin pria.
(2) Kedatangan rombongan pengantin pria tepat waktu untuk
melaksanakanacara yang telah di jadwalkan.
(3) Kemudian acara srah-tinampi (serah-terima) di lakukan setelah
jawaban dari pihak rombongan pengantin perempuan di terima
120
Gambar 3.29
Bapak Sumardji, Ketua rombongan pengantin perempuan
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
6. Liron Kembar Mayang
Kemudian kedua pihak rombongan mempersilahkan remaja putri yang
membawa sanggan maju dan menyerahkan kedua sanggan kepada ibu pengantin
perempuan. Setelah itu remaja putra dan remaja putri yang membawa kembar
mayang maju dan saling menukarkan kembar mayang. Kembar mayang yang
diterima oleh remaja putri (pihak rombongan mempelai pengantin perempuan)
dari remaja putra (pihak rombongan mempelai pria) di bawa keluar rumah dan di
letakkan didepan pintu gerbang aula. Sementara kembar mayang yang diterima
oleh remaja putra di bawa masuk kedalam pelaminan di sebelah bangku kedua
mempelai pengantin. Setelah selesai, maka alunan rekaman gendhing gamelan
monggang dihentikan, di lanjutkan dengan alunan rekaman gendhing gamelan
Kodhok Ngorek.
121
Gambar 3.30
Penyerahan Kembar mayang kepada remaja Putra
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
7. Gantal (Balangan)
Selanjutnya kedua mempelai pengantin bersama-sama untuk di dekatkan
berhadap-hadapan dengan jarang tiga meter yang di tengah-tengahnya di batasi
oleh bokor yang berisi air serta tlenan yang sudah berisi daun sirih serta bunga
setaman untuk melaksanakan upacara balangan (lempar sirih). Balangan sirih
sendiri mengandung makna khusus. Daun sirih yang di gunakan untuk balangan
sirih di yakini memiliki kekuatan untuk menolak dari berbagai gangguan buruk.
Dengan melempar daun sirih satu sama lain, menunjukkan bahwa kedua
pengantin benar-benar manusia sejati, bukan sebuah jelmaan dari siluman atau
setan dan atau orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin pria atau
pun pengantin perempuan. Benda yang menjadi balangan adalah 3 gulung daun
sirih dan daun jeruk yang telah diikat dengan benang putih yang setiap mempelai
122
pengantin telah memegangnya. Prosesi dipandu oleh kedua pihak pimpinan
rombongan yang telah di tunjuk.
Gambar 3.31
Persiapan untuk prosesi Gantal (Balangan Sirih)
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
8. Ngidak Endhok (Wiji Dadi)
Selanjutnya pengantin pria maju untuk melaksanakan upacara ngidak
endhok (wiji dadi) , pengantin pria melepaskan selop kaki kanan, dan sementara
itu mempelai perempuan jongkok berada di depan bokor kemudian pengantin pria
menginjak sebutir telur ayam kampung putih yang di letakkan diatas talam
keemasan sampai pecah. Upacara ngidak endhok (wiji dadi) adalah prosesi
memecahkan telur dengan menggunakan kaki kanan oleh pengantin pria dan
membasuh kaki pengantin pria oleh pengantin perempuan. Prosesi ini memiliki
makna bahwa pengantin pria siap untuk menjadi ayah serta suami yang
123
bertanggung jawab, sedangkan pengantin perempuan akan melayani suaminya
dengan setia.
Setelah itu sambil berjongkok, pengantin perempuan membasuh dan
membersihkan kaki kanan pengantin pria dengan air bunga setaman yang sudah
tersedia didalam bokor keemasan lalu mengeringkannya dengan handuk kecil
sesaat setalah itu pengantin perempuan mengaturkan sembah kepada suaminya.
Membasuh kaki pengantin pria melambangkan bakti seorang istri kepada suami.
Kemudian pengantin pria selanjutnya membimbing dengan memegang kedua
pundak pengantin perempuan untuk berdiri kearah samping kirinya, lalu kedua
pengantin berdiri sejajar yang biasa disebut sebagai kepasangan.
Gambar 3.32
Perlengkapan Prosesi Ngidak Endhok (Wiji Dadi)
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
124
Gambar 3.33
Bokor berisi air untuk mencuci kaki pengantin Pria
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Gambar 3.34
Ngidak Endhok (Wiji Dadi)
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
9. Sindur Binayang
Setelah upacara ngidak endhok (wiji dadi) selanjutnya ibu mempelai
pengantin perempuan menyelimuti kedua pundak pengantin dengan selendang
sindur yang berwarna merah dengan motif putih pada tepi nya dari belakang
125
kedua pengantin. Pengantin pria di sebelah kanan dan pengantin perempuan di
sebelah kiri kemudian di hampiri oleh ayah mempelai perempuan dari arah depan
untuk menyambut dan mengiring kedua mempelai pengantin dengan kain sindur
menuju pelaminan. Selendang sindur memiliki arti sebagai penolak bala, warna
merah melambangkan perempuan dan warna putih melambangkan seorang pria
yang di harapkan bisa menyatu melanjutkan keturunan.
Sementara ayah pengantin perempuan berjalan perlahan-lahan di depan
mempelai, secara simbolis bermakna “membukakan jalan” bagi kedua mempelai
menghadapi tahap kehidupan baru. Jari kelingking kedua mempelai saling
mengait, sembari memegangi pangkal keris pusaka sang ayah yang berada di
depan mereka. Hal ini mempunyai makna sang ayah selalu membimbing putra-
putrinya menuju kebahagiaan, sedangkan ibu memberikan dorongan “ing ngarso
sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani” (didepan
memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan).
Gambar 3.35
Prosesi Sindur Binayang menuju pelaminan
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
126
Dari arah depan di iring oleh cucuking lampa sebagai pembawa jalan menuju
pelaminan. Sesampainya dipelaminan, ayah pengantin perempuan melepaskan
kain sindur yang berada melingkari pundak kedua mempelai pengantin. Pada saat
itu alunan rekaman gendhing gamelan Kodok Ngorek di hentikan dan di gantikan
dengan alunan rekaman gedhing gamelan Ketawang Lara Maya.
10. Timbangan (pangkon)
Bapak Agus Wayan sebagai pembawa acara kemudian menjelaskan
upacara selanjutnya adalah upacara Timbangan (pangkon). Upacara Timbangan
(pangkon) adalah prosesi dimana ayah mempelai perempuan duduk terlebih
dahulu di tengah-tengah kursi pelaminan sembari memangku kedua mempelai
masing-masing di pangkuannya (pangkon). Posisi mempelai pengantin pria di
sebelah paha kanan, dan mempelai perempuan di sebelah paha kiri sang ayah.
Kemudian setelah kedua mempelai pengantinnya sudah berada pada posisi
pangkuan berlangsung tanya jawab antara ayah dan ibu mempelai perempuan.
Sang ibu menanyakan,”abot endi, Bapake? (lebih berat yang mana, Pak?)”,
kemudian di jawab oleh suaminya, “padha wae, ibune, wong loro-lorone yo anak
(sama saja Bu, karena keduanya adalah anak)”. Prosesi menimbang ini
mempunyai makna bahwa orangtua tidak membedakan antara anak dan menantu,
keduanya sama saja berharganya di mata orangtua.
127
Gambar 3.36
Prosesi Timbangan
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
11. Tanem Jero
Setelah selesai upacara Pangkon, kemudian pembawa acara menjelaskan
acara selanjutnya adalah upacara Tanem Jero atau Nandur. Upacara Tanem Jero
merupakan prosesi dimana ayah pengantin perempuan mendudukkan pasangan
pengantin di kursi pelaminan sebagai tanda merestui pernikahan mereka. Artinya,
sang ayah menanam kedua mempelai dalam suatu dunia atau kehidupan baru.
Adapun rangkaian prosesi tanem ini, secara berturut-turut adalah sebagai
berikut:
(1) Kedua pengantin berdiri di depan kursi pelaminan setelah prosesi
timbangan di lakukan (pengantin pria disebalah kanan, sedangkan
pengantin putri disebelah kiri)
(2) Ayah pengantin perempuan kembali berdiri, kemudian sang ayah
berhadap-hadapan dengan kedua pengantin, tangan kirinya di atas bahu
128
pengantin pria dan tangan kanannya berada di atas bahu kiri pengantin
perempuan seraya menepuk-nepuk secara perlahan.
(3) Ayah pengantin perempuan mendudukkan kedua pengantin ke kursi
pelaminan (di lakukan dengan sedikit menekan ke bawah, agar kedua
pengantin duduk dipelaminan).
Gambar 3.37
Prosesi Tanem Jero oleh ayah pengantin perempuan
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
12. Kacar-Kucur
Setelah prosesi upacara Tanem Jero, kemudian kembali pembawa acara
Bapak Agus Wayan, menjelaskan bahwa acara di lanjutkan dengan prosesi Kacar-
Kucur. Upacara Kacar-kucur adalah prosesi menuangkan bahan-bahan atau
barang-barang yang telah di siapkan sebelumnya untuk pengantin pria
129
kepangkuan pengantin perempuan. Upacara ini lazimnya di pandu oleh pemimpin
upacara maupun perias pengantin. Perlengkapan upacara Kacar-Kucur terdiri
atas: (1) Kain sindur atau tikar pandan, (2) beras kuning, (3) uang logam recehan
dari nilai paling kecil hingga paling besar, (4) berbagai biji-bijian dan kacang-
kacangan seperti kedelai, kacang merah, kacang hijau, dan sebagainya, (5)
sejumlah bumbu dapur atau empon-empon, (6) kembang telon yakni mawar,
melati, dan kenanga.
Pelaksanaan dapat di jabarkan sebagai berikut: mempelai pria menuangkan
atau mengucurkan uang recehan logam yang telah di campuri beras kuning,
berbagai kacang-kacangan dan bumbu dapur dari dalam kantung yang di buat dari
kain yang di gulung, ke pangkuan mempelai perempuan yang telah di alasi dengan
kain sindur. Mempelai perempuan dengan hati-hati menjaga agar kucuran dari
suaminya tidak ada yang tercecer, kemudian membungkusnya erat-erat dengan
kain sindur, dan kemudian di titipkan kepada ibu pengantin perempuan untuk di
simpan dan di akhiri denga menghaturkan sembah oleh kedua mempelai sebagai
bukti kesunggguhan pengantin pria dalam menafkahi keluarga.
Upacara Kacar-Kucur ini menggambarkan tanggung jawab mempelai pria
sebagai kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya kelak. Serta kesiapan istri
menggunakan hasil nafkah suaminya mencukupi kebutuhan rumah tangga secara
hati-hati.
130
Gambar 3.38
Prosesi Kacar kucur oleh pengantin pria
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
13. Dhahar Klimah
Di teruskan acara selanjutnya pembawa acara menjelaskan prosesi Dhahar
Klimah. Upacara dhahar klimah lebih di kenal denga istilah suap-suapan, yaitu
ritual saling menyuapi sesuap nasi dan minum bersama, sebagai gambaran atau
symbol kemesraan, dan cumbu rayu antara suami dan istri.
131
Gambar 3.39
Prosesi Dahar Klimah
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Perlu di jelaskan bahwa dimulainya upacara Panggih Temanten sampai
prosesi Dhahar Klimah, kedua orang tua mempelai pria tidak di perbolehkan
hadir. Hal ini di maksudkan bahwa dalam upacara perkawinan adat Jawa seorang
laki-laki tidak membutuhkan wali untuk menikahkannya. Pada umumnya pihak
kedua orang tua mempelai pria berada diluar area tratag atau di luar area pesta,
namun pada penelitian ini kedua orang tua mempelai pria berada di barisan kursi
para undangan.
14. Mapag Besan
Selanjutnya pembawa acara kembali menjelaskan bahwa acara selanjutnya
adalah Mapag Besan. Mapag besan merupakan prosesi penjemputan orang tua
pengantin perempuan terhadap besan nya (kedua orangtua pria) untuk kemudian
berjalan bersama menuju pelaminan dan duduk di pelaminan, dalam tata cara
Mapag Besan ini kedua ibu berjalan di depan. Sedangkan kedua yah di belakang.
Sesampainya di pelaminan, orang tua pengantin pria duduk di sebelah kiri
132
mempelai, sedangkan orang tua penagntin perempuan duduk di sebelah kanan
mempelai.
Gambar 3.40
Prosesi Mapag Besan
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
15. Sungkeman
Acara selanjutnya adalah Upacara Sungkeman. Upacara sungkeman
merupakan bagian upacara perkawinan adat suku Jawa yang tak pernah di
tinggalkan. Upacara ini melambangkan bakti dan rasa cinta kasih anak kepada
kedua orang tua. Kedua mempelai menghaturkan sembah dan sungkem
keharibaan kedua orang tua mereka seraya bersimpuh memohon doa restu kepada
masing-masing kedua orang tua.
Pada prosesi ini di pandu oleh pimpinan rombongan dari masing-masing
mempelai pengantin. Sebelum melakukan sungkeman, mempelai pria harus
mengikuti tata krama untuk melepas pusaka keris yang di pakainya terlebih
133
dahulu, urutan sungkeman di mulai dari kedua orang tua mempelai perempuan.
Tata cara sungkem yang benar yakni posisi kedua telapak tangan yang
menghaturkan sungkem harus dibawah lutut orangtua, kemudian hidung mencium
lutut orangtua mereka.
Gambar 3.41
Sungkeman setelah Mapag Besan dilakukan
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
16. Kirab
Setelah upacara sungkeman telah selesai, maka pembawa acara kemudian
menjelaskan bahwa upacara panggih temanten diakhiri dengan Kirab. Prosesi
Kirab pengantin di tandai dengan prosesi masukknya pengantin keruangan
tertentu untuk mengganti pakaian diiringi rombongan kerabat untuk mengantar
pasangan pengantin beserta orang tua kedua belah pihak meninggalkan pelaminan
untuk kemudian kembali masuk ke pelaminan di lanjutkan acara resepsi dengan
busana yang berbeda yaitu busana Kepangeranan. Kirab pengantin ini di awali
134
oleh iring-iringan cucuking lampah, para pagar ayu dan pagar bagus, putri domas
dan para kerabat terdekat.
Gambar 3.42
Kirab Pengantin
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Setelah kedua mempelai pengantin berada di kursi pelaminan dengan
busana Kepangeranan berwarna biru muda, maka selesailah upacara panggih
yang di laksanakan oleh Bapak H. Djumali SH. Seluruh rangkaian acara ini
berlangsung pada pukul 07.30 hingga pukul 09.00 WIB.
Acara selanjutnya adalah acara hiburan yang di isi oleh dua bentuk tarian
Adat Jawa yaitu tarian Golek Sirih dan tarin Gatot Kaca. Tarian Golek Sirih
adalah Tarian ini sama atau mirip dengan tari Gambyong yaitu mengisahkan
kegairahan seorang putri yang menginjak remaja dengan menata diri atau
berdandan. Tari Golek Sirih ini tercipta dari wayang golek, wayang kurcil dan
wayang yang lain yang kemudian di ubah ke dalam bentuk tarian.
135
Gambar 3.43
Tari Golek Sirih
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Sedangkan tari Gatot Kaca yang di tampilkan merupakan tarian yang
menggambarkan tingkah laku Gatot kaca tatkala berangan-angan ingin
mempersunting putri itu menjadi istrinya. Kadangkala untuk lebih memberi hidup
pada tarian ini di tunjukkan pula tokoh Pregiwa sebagai bayangan atau ilusi pada
sesi akhir dalam penyajian tari Gatot Kaca tersebut penari memberikan sekuntum
bunga kepada pengantin perempuan. Acara selanjutnya adalah Resepsi hingga
berakhir pada pukul 17.30 WIB di Hotel Danau Toba Internasional Medan.
136
Gambar 3.44
Tarian Gatot Kaca
(Dokumentasi Sugiardi 2013 ©Mamipapi Photowork)
Upacara yang penulis deskripsikan ini, merupakan satu versi saja dari
beberapa alternative yang ada dalam tingkatan social dan tingkatan ekonomi
masyarakat Jawa yang ada di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan.
Upacara yang penulis deskripsikan di lakukan oleh keluarga Pegawai Negeri sipil
yang bekerja di bagian Kejaksaan, sehingga mempunyai tingkat ekonomi dan
kehidupan yang baik, yang menganggap rangkaian upacara perkawinan
merupakan bagian terpenting dari upacara perkawinan. Namun dari uraian di atas,
maka dapat di simpulkan bahwa dalam penyajian musik gamelan dalam
mengiringi upacara perkawinan adat hanya sebatas rekaman, ini di sebabkan oleh
adanya factor biaya yang jika menggunakan musik gamelan secara live
membutuhkan biaya yang sangat besar, mengingat pelaksanaan upacara sendiri
sudah di lakukan di gedung yang mewah.
137
3.5 Fungsi dan Penggunaan Gendhing Jawa pada Upacara Perkawinan Adat Suku Jawa yang diputar Secara Rekaman
Sebagaimana yang telah di kemukakan dalam Bab I bahwa dalam
mebicarakan fungsi dan penggunaan musk, penulis mengacu kepada pendapat
yang dikemukakan Merriam. Berkaitan dengan upacara panggih dapat di
kemukakan bahwa penggunaan gendhing Jawa dalam upacara panggih yaitu di
mulai sejak awal hingga akhir pelaksanaan upacara panggih. Dan dari
penggunaan tersebut dapat dikemukakan beberapa fungsi musik seperti dibawah
ini:
3.5.1 Fungsi Kesinambungan Budaya.
Adat Istiadat suku Jawa yang selalu melaksanakan upacara panggih
dengan iringan gendhing Jawa akan menimbulkan suatu kesinambungan budaya,
dalam arti kebudayaan tersebut akan terus berlangsung pada setiap pelaksanaan
upacara panggih dan di laksanakan dari suatu generasi ke generasi
3.5.2 Fungsi Perlambangan
Untuk mengiringi pelaksanaan upacara panggih di gunakan gendhing
Monggang, Ladrang Wilujeng, Kodhok ngorek, dan Ketawang Larasmaya.
Gendhing-gendhing tersebut merupakan gending-gendhing yang penggunaaanya
hanya khusus pada rangkaina prosesi upacara panggih saja. Hal ini sangat jarang
sekali di temukan walaupun ada penyimpangan tata aturan penggunaannya atau
dalam konteks seni pertunjukkan. Bagi masyarakat Jawa, pada umumnya
138
gendhing-gendhing yang di maksud sudah sangat identik dan mengenalinya dalam
upacara panggih, dengan kata lain sudah menjadi lambang dari upacara panggih.
3.5.3 Fungsi pengungkapan Emosional
Iringan gendhing-gendhing Monggang, Ladrang Wilujeng, Kodhok
ngorekm dan Ketawang Larasmaya ini mampu mengungkapkan emosional orang
tua kedua pengantin dan kedua mempelai pengantin. Tanpa terasa, kedua orang
tua pengantin dan kedua pengantin menitikkan air mata. Dalam wawancara
penulis dengan informan Bapak Agus Wayan mengatakan bahwa mereka merasa
terharu karena telah berhasil mendidik anaknya hingga sampai ke jenjang
perkawinan.
3.5.4 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat
Penggunaan gendhing Gamelan Jawa dalam pelaksanaan upacara panggih
menimbulkan rasa kebersamaan dan kesatuan diantara suku Jawa. Suku Jawa
yang ada di Kota Medan ini tidaklah berasal dari satu daerah yang sama,
melainkan dengan terdengarnya gendhing gamelan tersebut, mereka bersatu.
Meskipun gendhing yang di putar secara rekaman melalui VCD Player dapat di
lihat sebagai pengintegrasian masyarakat dalam satu rasa kebahagiaan dalam
mengadakan upacara perkawinan.
3.5.5 Fungsi Komunikasi
Sebagaimana di kemukakan Merriam (1964:223) bahwa musik yang tidak
menggunakan teks juga mampu memberikan komunikasi. Namun, kita sendiri
139
belum tahu apa yang di komunikasikan oleh musik itu, bagaimana dan kepada
siapa. Musik itu sendiri bukanlah suatu bahasa yang universal yang dapat di
mengerti oleh siapa saja, dimana saja, karena setiap jenis musik lahir dan tumbuh
pada suatu masyarakat tertentu dengan kebudayaannya.
Dalam rangkaian pelaksanaan upacara panggih ada terdapat gendhing
gamelan Kebo giro yang di mainkan di awal sebelum upacara panggih, yang
berfungsi sebagai pemberi tanda kepada masyarakat bahwa dalam satu daerah itu
adanya sebuah upacara perkawinan yang akan segera di laksanakan. Bagi
masyarakat Jawa, musik gamelan (gendhing) ini dapat memberikan komunikasi
kepada pendengarnya. Dalam arti masyarakat yang mengenal musik tersebut akan
mengetahuti bahwa ada suatu upacara sedang dilaksanakan. Oleh karena itu dapat
di kemukakan bahwa musik disini berfungsi sebagai komunikasi kepada
masyarakat pendengarnya.
3.5.6 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Agama
Seperti apa yang telah di jelaskan pada Bab I bahwa apabila dalam
pelaksanaan upacara perkawinan adat suku Jawa khususnya dalam prosesi
panggih tidak menggunakan gendhing Jawa, maka pelaksanaannya tidak
sempurna yang di rasa kurang sakral dan tidak semarak. Meskipun dalam
kebanyakan kasus yang ada di Kota Medan ini masyarakat Jawa khususnya dalam
pelaksanaan upacara perkawinan (panggih) hanya menghidupkan tape recorder
atau DVD Player tanpa di iringi langsung gendhing Jawa (musik live).
Tidak semua gendhing Jawa berfungsi sebagai pengesahan suatu upacara.
Namun, suatu keharusan bahwa tidak pernah berlangsung suatu upacara panggih
140
jika tidak di iringi dengan gendhing Jawa. Upacara panggih dan penggunaan
gendhing gamelan jawa merupakan dua hal yang tidak dapat di pisahkan.
Masyarakat pendukungnya selalu berupaya mengumandangkan gendhing gamelan
jawa dalam upacara tersebut. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa
gendhing gamelan jawa berfungsi sebagai pengesahan upacara panggih.
140
BAB IV
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS GENDHING GAMELAN PENGIRING
UPACARA PANGGIH
Pada bagian ini penulis membuat transkripsi dan menganalisis melodi
yang paling dominan terdengar sesuai dengan pembahasan pada BAB I pada
empat gendhing gamelan yang diputar secara rekaman pada upacara panggih
temanten yang ada di Jln. Sei Batu Gingging, Kecamatan Medan Selayang,
Medan yang pelaksanaan panggihnya di laksanakan di aula pertemuan Hotel
Danau Toba Internasional Medan.
4.1 Ensembel Gamelan Jawa
Untuk menjelaskan tentang ensambel gamelan Jawa yang digunakan akan
diuraikan sebagai berikut:
(1) Kendang Bedug (membranofon), yaitu gendang yang berbentuk barel dan
mempunyai ukuran yang paling besar antara kendang biasa dan kendang
tipung. Fungsinya sebagai pembuka lagu.
(2) Kecer (metalofon), yaitu dua buah kepingan tembaga dan mempunyai
pencu. Fungsinya sebagai pembawa ritem.
(3) Gong (metalofon), yaitu gong-gong berpencu yang digantung pada palng
kayu. Menghasilkan suara yang paling dalam, fungsinya sebagai
pembawa ritem.
(4) Ketuk (metalofon), yaitu satu set gong berpencu yang digantung dengan
tali dalam bingkai kayu. Mempunyai bentuk yang lebih kecil dari kenong.
141
(5) Cara memainkannya dipukul dengan tabuh (pemukul). Fungsinya sebagai
pembawa ritem.
(6) Kempul (metalofon), yaitu satu set gong berpencu yang digantung pada
palng kayu. Cara memainkannya dipukul dengan tabuh (pemukul).
Fungsinya sebgai pembawa ritem.
(7) Kenong (metalofon), yaitu satu set gong berpencu yang digantung dengan
tali didalam bingkai kayu. Cara memaikannya dipukul dengan tabuh
(pemukul). Fungsinya sebagai pembawa ritem.
(8) Bonang penerus (metalofon), yaitu seperangkat gong berpencu yang
diletakkan didalam bingkai kayu. Mempunyai nada paling tinggi diantara
boning barung dan boning penembung. Fungsinya sebagai penghias lagu.
(9) Saron Peking (metalofon), yaitu seperangkat bilahan yang terbuat dari
tembaga diletakkan diatas kotak resonator. Memainkannya dengan
memakai tabuh (pemukul) yang terbuat dari tulang atau kayu. Cara
memainkkanya dengandidamping, yaitu setelah nada dimainkan
selanjutnya nada tersebut dipegang dengan lemah oleh ibu jari dan jari
telunjuk tangan kiri. dengan cara ini dihasilkan melodi yang bersih.
Mempunyai nada yang paling tinggi dan bentuk yang paling kecil di antara
saron demung dan saron barung. Fungsinya sebagai penghias lagu.
(10) Saron Demung (metalofon), yaitu seperangkat bilahan yang terbuat
dari tembaga diletakkan diatas kotak resonator. Mempunyai nada yang
paling rendah dan bentuk yang paling besar diantara saron barung dan
saron peking. Cara memainkannya dengan didamping. Fungsinya sebgai
pembawa lagu.
142
(11) Saron Barung (metalofon), yaitu seperngkat bilahan yang terbuat dari
tembaga diletakkan diatas kotak resonator. Mempunyai nada yang lebih
rendah dari saron peking. Cara memainkannya dengan cara didamping.
Fungsinya sebagai penghias lagu.
(12) Bonang Barung (metalofon), yaitu seperangkat gong berpencu yang
diletakkan didalam bingkai kayu. Cara memainkannya dengan memakai
dua buah tabuh (pemukul) yang dilapisi kain. Mempunyai nada yang lebih
rendah dari boning penerus. Fungsinya sebgai penghias lagu.
(13) Slentem (metalofon), yaitu seperangkat bilahan yang terbuat dari
tembaga, digantung dengan tali diatas kotak resonator. Bentuknya lebih
besar dan mempunyai nada yang lebih rendah dari gender barung dan
gender penerus. Memainkannya dengan memakai satu buah tabuh
(pemukul) yang terbuat dari kayu dilapisi cakram. Fungsinya sebagai
penghias lagu.
(14) Gender Barung (metalofo), yaitu seperangkat bilahan yang terbuat dari
tembaga, digantung dengan tali diatas kotak resonator. Memainkannya
dengan memakai dua buah tabuh (pemukul) yang terbuat dari kayu dan
mempunyai nada yang lebih rendah dari gender penerus. Fungsinya
sebagai penghias lagu.
4.2 Analisis Musik
Menurut Nettl, (1964:98) ada dua pendekatan berkenaan dengan
pendeskripsian musik yaitu: (1) kita dapat mendeskripsikan dan menganalisis apa
143
yang kita dengar; (2) kita dapat menuliskan berbagai cara keatas kertas dan
mendeskripsikan apa yang kita lihat.
Sebelum penulis melakukan deskripsi musical, maka yang paling penting
adalah adanya transkripsi. Nettl (1964:98) mengatakan bahwa transkripsi adalah
proses menotasikan bunyi menjadi symbol visual. Selain tiu, transkripsi juga
dikenal sebagai cara yang baik untuk mempelajari aspek-aspek mendetail dari
suatu gaya musik (Nettl, 1964:103)
Walaupun transkripsi merupakan hal yang penting dalam penulisan ilmiah
terutama dalam bidang studi Etnomusikologi, sejauh ini tidak ada satu pun metode
yang dapat dijadikan dasar sebagai bahan acuan. Problem ini telah dikemukakan
oleh Nettl (1964:131), bahwa sedikit sekali metode yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan setiap bagian dari musik. Masing-masing problem dari
pendeskripsian musik tergantung pada karakter bunyi yang ditranskripsikan.
Lebih lanjut Seeger dalam Bruno Nettl (1964:99-100) mengatakan bahwa
ada dua jenis notasi yang dibedakan menurut tujuan notasi tersebut. Kedua notasi
tersebut adalah notasi preskriptif dan notasi deskriptif. Notasi preskriptif adalah
notasi yang bertujuan untuk seorang penyaji, bagaimana ia harus menyajikan
sebuah komposisi musik. Notasi deskriptif adalah notasi yang bertujuan untuk
menyampaikan kepada pembaca cirri-dan detail-detail komposisi musik yang
belum diketahui oleh pembaca.
Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa transkripsi mempunyai
kemampuan yang terbatas dalam mendeskripsikan musik. Sehubungan dengan hal
ini, dalam melakukan pentranskripsian terdahap empat komposisi gendhing,
penulis mengacu kepada pendekatan metode notasi deskriptif, karena menurut
144
pengamatan penulis notasi deskriptif inilah yang paling tepat diguanakan untuk
kepentingan pendeskripsian komposisi gendhing.
Dalam hal ini pentranskripsian komposisi gendhing, penulis menggunakan
notasi Kepatihan dan notasi barat. Notasi Kepatihan adalah notasi yang
digunakan didalam kegiatan gemalan Jawa yang berlaku dewasa ini (Soeroso,
1082:19). Selanjutnya Malm (1977:16) menyebutkan bahwa notasi Kepatihan
adalah notasi angka modern Jawa.
Tujuan transkripsi dan analisis dalam penulisan ini adalah untuk
mendeskripsikan struktur musik yang terjadi dalam keempat komposisi gendhing
gamelan pada praktek kegiatan musik gamelan Jawa. Untuk keperluan ini
keempat gendhing gamelan yang diputar secara rekaman melaui tape recorder
dan atau VCD Player penulis mengambil sampel gendhing dalam kegiatan musik
gamelan Jawa pada upacara perkawinan adat suku Jawa pada prosesi Panggih
temanten, yaitu:
(1) Gendhing Monggang
Gendhing Monggang yang digunakan untuk menyambut pengantin
pria dalam melaksanakan upacara panggih.
(2) Gendhing Ladrang Wilujeng
Gendhing Ladrang Wilujeng ini biasa dimainkan atau diputar untuk
mengiringi pengantin pria datang ke menuju rumah pengantin
perempuan untuk siap dipertemukan dengan pengantin perempuan.
(3) Gendhing Kodok Ngorek
145
Gendhing kodok ngorek adalah gendhing yang dimainkan atau diputar
yang digunakan untuk mengiring upacara panggih mulai dari upacara
ngidhak endhok sampai pada prosesi sindur binayang.
(4) Ketawang Larasmaya.
Gendhing Ketawang Larasmaya merupakan lanjutan dari gendhing
kodok ngorek yang dimainkan atau diputar pada saat kedua mempelai
pengantin berada pada prosesi timbangan sampai pada dhahar klimah.
Berdasarkan topik yang dibahas, maka pemilihan ke empat komposisi
gendhing ini menurut penulis telah mewakili pelaksanaan upacara panggih secara
sempurna, walaupun pelaksanaanya hanya berupa rekaman yang diputar melalui
tape recorder maupun VCD/MP3 Player yang di teruskan melalui pengeras suara
berupa loudspeaker yang telah disediakan pada saat upacara panggih.
Untuk pentrankripsian komposisi gendhing, penulis menggunakan notasi
Kepatihan dan notasi barat. Adapun hal-hal yang dibahas untuk mendeskripsikan
melodi dalam notasi Kepatihan, ada beberapa hal yang ditawarkan Becker
(1980:11-105). Dari beberapa point tersebut, penulis akan membahas mengenai
(1) sistem pelarasan (laras); (2) pathet; (3) gatra; dan (4) gongan. Pemilihan
notasi Kepatihan ini adalah disebabkan karena notasi ini selalu digunakan dalam
praktek kegiata musik Jawa. Selanjutnya untuk mendeskripsikan melodi dalam
notasi barat, juga ada beberapa point yang ditawarkan oleh Malm (1977:15). Dari
beberapa point tersebut, penulis akan membahas mengenai (1) tangga nada; (2)
nada dasar; (3) jumlah pemakaian nada; (4) jumlah interval; (5) formula melodi.
146
4.3 Proses Transkripsi
Nettl (1964:119-120) menawarkan beberapa langkah kerja, diantaranya:
(1) Mendengarkan nada-nada dengan hati-hati, membaca seluruh persyaratan
dan materi yang tersedia, menentukan mana penyanyi, alat musik, dan
lain-lain;
(2) Menentukan bagian strukturnya dan penulisan notasi dengan
menggunakan satu pola;
(3) Menetapkan nada-nada yang dipakai;
(4) Bentuk yang pertama ditulis secara terperinci untuk menghindari
kesulitan;
(5) Memperlambat kecepatan tape setengah dari kecepatan normal, dan
periksa hasilnya, khususnya untuk masalah-masalah yang rumit pada
langkah sebelumnya;
(6) Normalkan kembali kecepatan tape, kemudian hasil transkripsi diperiksa
kembali, lalu teruskan pada bagian yang lain.
Becker (1980:xvi) telah membuat system notasi Kepatihan kedalam
paranada Barat. Adapun sistem tangga nada Slendro yang dipindahkan pada
paranada Barat adalah Sebagai Berikut:
147
Sedangkan sistem tangga nada Pelog yang telah dipindahkan pada
paranada Barat adalah sebagai berikut:
Ada beberapa simbol notasi Barat yang digunakan dalam transkripsi musik
iringan upacara panggih dalam perkawinan adat suku Jawa, hal ini dilakukan agar
dapat dipahami secara universal, yaitu:
Garis paranada yang memiliki lima buah garis paranada dan empat buah spasi
dengan tanda kunci G.
Merupakan not ½ yang bernilai dua ketuk.
Merupakan not ¼ yang bernilai satu ketuk.
Merupakan not 1/8 yang bernilai setengah ketuk.
148
Merupakan dua buah not 1/8 yang digabung menjadi satu ketuk.
4.4 Analisis
Pada dasarnya dalam proses pentranskripsian sudah terjadi proses analisis,
karena didalam proses itu sendiri telah dilakukan suatu pengamatan terhadap
semua karakter musik yang ditranskripsi. Untuk lebih jelasnya berikut ini
merupakan proses penjelasan struktur musik yang telah ditranskripsi.
4.4.1 Analisis Notasi Kepatihan
4.4.1.1 Sistem Pelarasan
Tangga nada dalam bahasa Jawa secara umum disebut laras atau secara
lengkap disebut titi laras, istilah titi dapat diartikan sebagai angka, tulis, tanda,
notasi atau lambang sedangkan istilah laras dalam pengertian ini berarti susunan
nada, atau tangga nada. Dan dalam bahasa Indonesia titilaras berarti tangga nada.
Dengan demikian istilah Titilaras mempunyai pengertian suatu notasi
tulis, huruf, angka atau lambang yang menunjuk pada ricikan tanda-tanda nada
menurut suatu nada tertentu. Dalam penggunaan sehari-hari istilah titi laras
sering disingkat menjadi laras. Laras ini mempunyai 2 macam, yaitu ada 2 jenis
titilaras yaitu:
149
(1) Laras Slendro, secara umum suasana yang dihasilkan dari laras slendro
adalah suasana yang bersifat riang, ringan, gembira dan terasa lebih ramai.
Hal ini dibuktikan banyaknya adegan perang, perkelahian atau baris
diiringi gending laras slendro. Penggunaan laras slendro dapat
memberikan kesan sebaliknya, yaitu sendu, sedih atau romantis. Misalnya
pada gendhing yang menggunakan laras slendro miring. Nada miring
adalah nada laras slendro yang secara sengaja dimainkan tidak tepat pada
nada-nadanya. Oleh karena itu banyak adegan rindu, percintaan kangen,
sedih, sendu, kematian, merana diiringi gendhing yang berlaras slendro
miring.
(2) Laras Pelog, secara umum menghasilkan suasana yang bersifat
memberikan kesan gagah, agung, keramat dan sakral khususnya pada
permainan gendhing yang menggunakan laras pelog nem. Oleh karena itu,
banyak adegan persidangan agung yang menegangkan, adegan masuknya
seorang Raja ke sanggar pamelegan (tempat pemujaan). adegan marah,
adegan yang menyatakan sakit hati atau adegan yang menyatakan dendam
diiringi gendhing-gendhing laras pelog. Tetapi pada permainan nada-nada
tertentu laras pelog dapat juga memberi kesan gembira, ringan dan
semarak. misalnya pada gendhing yang dimainkan pada laras pelog
barang.
150
Malm (1977:22) mengatakan bahwa ada dua dasar tangga nada di Jawa
yaitu tangga nada yang terdiri dari lima nada yang disebut Slendro dan tangga
nada yang terdiri dari tujuh nada yang disebut Pelog. Perbedaan dari dua jenis
tangga nada pada musik gamelan dapat dilihat dari penggunaan alat-alat musik
pembawa melodi yang terpisah, dilaras dengan cara masing-masing untuk
melengkapi suatu ensambel. Macam-macam nada dalam Notasi Kepatihan adalah
sebagai berikut:
Penanggul yaitu nada 1 : Siji dibaca ji.
Gulu yaitu nada 2 : Loro dibaca ro.
Dhada yaitu nada 3 : Telu dibaca lu.
Pelog yaitu nada 4 : Papat dibaca pat.
Lima yaitu nada 5 : Lima dibaca mo.
Nem yaitu nada 6 : Enem dibaca nem.
Barang yaitu nada 7 : Pitu dibaca pi. Selanjutnya Becker (1980:xv) menjelaskan bahwa sistem Slendro
mempunyai lima nada dalam satu oktaf. Nada-nada tersebut adalah:
Nada 1 2 3 5 6 1
Slendro Ji Ro Lu ma nem Ji Cilik
151
Kemudian sistem Pelog mempunyai tujuh nada dalam satu oktaf, nada-nada yang
dimaksud adalah:
Nada 1 2 3 4 5 6 7
Pelog Ji Ro Lu Pat Ma Nem Pi
Setiap komposisi musik gamelan dapat dimainkan oleh sistem Slendro
atau sistem Pelog, atau penggabungan antara sistem Slendro dan sistem Pelog.
Dalam penelitian ini gendhing gamelan yang diputar secara rekaman
menggunakan sistem laras pelog. Dalam kaitannya dengan kedua komposisi
gendhing ini digolongkan kedalam sistem pelog.
4.3.1.3 Pathet
Pathet adalah tingkatan tangga nada (tinggi-rendahnya) suatu lagu dalam
Seni Karawitan. Becker (1980:11) mengemukakan bahwa pathet adalah dasar
nada. Pathet pada setiap sistem laras terdiri dari atas 3 bagian. Hal ini juga
dikemukakan oleh Malm (1977:32) bahwa di Jawa setiap tangga nada mempunyai
tiga buah pathet. Pathet pada laras slendro terdiri atas pathet nem (6), pathet
songo (9), dan pathet barang/mayura. Pathet pada laras pelog terdiri dari pathet
nem (6), pathet limo (5), dan pathet barang/mayuro (becker, 1980:78).
Untuk lebih mempermudah dalam pencarian pathet dapat diketahui dari
pukulan gong, yaitu gong nada berapa yang dipukul. Malm (1977:23-25)
mengemukakan bahwa dalam laras slendro, pada pathet nem, gong yang dipukul
adalah gong nada 6 atau gong nada 2, pada pathet songo gong yang dipukul
152
adalah gong nada 1 atau gong nada-nada 5, dan pada pathet mayuro/barang gong
yang dipukul adalah gong nada 6 atau gong nada 1. Kemudian dalam Laras
Pelog, pada pathet bem/nem gong yang dipukul adalah gong nada 6, pada pathet
limo gong yang dipukul adalah gong nada 5, dan pada pathet barang/mayuro
gong yang dipukul adalah gong nada 6 atau gong nada 1.
Dari hasil transkripsi diperoleh bahwa nada yang dihasilkan oleh bunyi
gong pada gendhing Monggang adalah gong 5, sehingga gendhing monggang
mempunyai pathet limo dan dinamakan Pelog Barang.
Pathet pada Gendhing Monggang
6 5 6 . 6 5 6 .
Selanjutnya nada yang dihasilkan oleh bunyi gong pada gendhing Ladrang
Wilujeng adalah gong nada 1, sehingga gendhing Ladrang Wilujeng mempunyai
pathet limo dan dinamakan Pelog Barang.
i 3 2 3 i 3 2 3
Selanjutnya nada yang dihasilkan oleh bunyi gong pada gendhing kodok
ngorek adalah gong nada 6, sehingga gendhing kodok ngorek mempunyai pathet
limo dan dinamakan Pelog Barang.
Pathet pada Gendhing Kodok Ngorek
5 6 7 6 5 6 7 6
5
5
5
153
Kemudian juga nada yang dihasilkan oleh bunyi gong pada gendhing
Ketawang Larasmaya sama dengan yang dihasilkan oleh sebagaimana gendhing
kodok ngorek yang merupakan lanjutan gendhing dalam mengiringi upacara
panggih sehingga memiliki gong nada 6, dan gendhing ketawang larasmaya
mempunyai pathet limo sehingga dinamakan Pelog Barang.
Pathet pada Gendhing Ketawang Larasmaya
5 6 i 2 i 6
4.3.1.4 Gatra
Menurut Malm ( 1977:16) menyebutkan bahwa gatra adalah seperangkat
melodi yang terkecil pada teori musik Jawa dan empat kejadian suara termasuk
munculnya istirahat. Templeton dalam Becker (1980-189) gatra adalah bagian
yang terkecil dari komposisi musik Jawa yang masih mempunyai arti yang terdiri
atas 4 satuan nada. Selanjutnya Templeton menjelaskan tentang bagaimana cara
menganalisa gatra. Setiap karakter gatra terdiri atas 3 bagian, yaitu (1) Kantur
atau pola melodi menerangkan nada relative yang berhubungan antara satu
dengan lainnya, terdiri atas empat nada dalam satu gatra, (2) tingkatan nada
dalam dalam mencapai kantur, dan (3) posisi gatra dalam struktur musik ditandai
oleh pukulan akhir dari alat musik gong, kenong, dan kempul.
Berdasarkan hasil transkripsi maka diperoleh gatra pada masing-masing
gendhing adalah sebagai berikut:
Gatra pada Gendhing Monggang
6 5 6 .
5
154
Gatra pada Gendhing Ladrang Wilujeng
i 3 2 3
Gatra pada Gendhing Kodok ngorek
5 6 7 6
Gatra pada Gendhing Ketawang Larasmaya
5 6 i 2 i 6 i
4.3.1.5 Gongan
Becker (1980:105) menyebutkan bahwa gongan adalah rangkai satuan
melodi yang terdiri atas 2 gatra yang diakhiri dengan pukulan gong. Sedangkan
Malm (1977:16) menyebutkan bahwa gongan adalah unit dasar dari suatu
komposisi yang terdiri dari beberapa bagian atau pengembangan, terdiri dari
semua kejadian diantara pukulan gong terbesar dan selanjutnya. Lebih lanjut
Becker (1980:108) mengemukakan teori bagaimana cara untuk menganalisis suatu
gongan. Teori tersebut adalah sebagai berikut: (1) bentuk gongan adalah putaran.
Pengulangan gongan merupakan bagian dari sifatnya dalam sistem musik; (2)
struktur 2 gongan adalah unit pengulangan yang terkecil atau dapat terjadi dalam
bentuk yang lebih kecil lagi; (3) patokan sederhana untuk membantu adalah
berdasarkan struktur 2 gong dari pada struktur 1 gong yang merupakan unit
terbesar dalam analisis.
Berdasarkan teori diatas maka bentuk gongan pada keempat komposisi
gendhing adalah sebagai berikut:
155
Gongan pada Gendhing Monggang:
. 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 .
Gongan pada Gendhing Ladrang Wilujeng:
1 3 2 3
Gongan pada Gendhing Kodok ngorek :
5 6 1 6 5 6 1 6
Gongan pada Gendhing Ketawang Larasmaya:
5 6 1 2 1 6 1 5 6 1 2 1 6 1
5 5 5 5
5
5
5
5
5
156
GENDHING MONGGANG
Melodi : Saron Demung Transkriptor : Kiki Alpiansyah S.Sn dan Sugiardi MM : 76
157
158
159
Gendhing Ladrang Wilujeng
Melodi : Saron Demung
Trnaskriptor : Kiki Alpiansyah S.Sn dan Sugiardi
MM : 120
160
161
Gendhing Kodok Ngorek
Melodi : Saron Demung
Transkriptor : Kiki Alpiansyah S.Sn dan Sugiardi
MM : 69
162
163
164
Gendhing Ketawang Larasmaya
Melodi : Saron Demung
Transkriptor : Kiki Alpiansyah S.Sn dan Sugiardi
MM : 69
165
166
4.4.2 Analisis Notasi Barat
4.4.2.1 Tangga Nada
Tangga nada menurut Soeharto (1992:132) adalah susunan berjenjang dari
nada-nada pokok suatu sistem nada, mulai dari salah satu nada dasar sampai
dengan nada oktafnya. Tetapi dalam tulisan ini tangga nada bukan dimulai dari
nada dasarnya melainkan dari nada-nada pokok (modal). Nada pokok yang
dimaksud adalah nada-nada yang ada pada gending monggang, ladrang wilujeng,
kodok ngorek dan ketawang larasmaya.
Dari hasil transkripsi dapat diketahui bahwa nada dasar yang terdapat pada
gendhing monggang adalah C, nada pokok gendhing Ladrang Wilujeng adalah Eb
(E mol), kemudian nada dasar yang terdapat pada gendhing kodok ngorek C, serta
nada dasar gendhing Ketawang Larasmaya Bb (B mol).
Nettl (1964:145) mengemukakan bahwa cara untuk mendekripsikan
tangga nada adalah dengan menuliskan nada-nada yang dipakai, tanpa melihat
fungsi masing-masing dalam lagu. Tangga nada tersebut kemudian digolongkan
menurut beberapa klarifikasi, yaitu menurut jumlah nada yang dipakai, yaitu
diatonic (dua nada), tritonic (tiga nada), tetratonic (empat nada), pentatonic (lima
nada), hexatonic (enam nada), dan heptatonic (tujuh nada). Dua nada yang
mempunya jarak satu oktaf biasanya dianggap satu nada saja. Berdasarkan
transkripsi yang sudah dilakukan, maka masing-masing komposisi gendhing ini
digolongkan kepada tangga nada diatonic (dua nada), dan tetratonic (empat nada).
Nada-nada tersebut adalah:
167
Tangga Nada Gendhing Monggang (Dwitonic):
Tangga Nada Gendhing Ladrang Wilujeng (Pentatonic):
Tangga Nada Gendhing Kodok Ngorek (Tetratonic):
Tangga Nada Gendhing Ketawang Larasmaya (Tetratonic):
168
4.4.2.2 Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar pada sebuah komposisi musik, penulis
mengacu pada musik gendhing yang penulis dapatkan melalui informan. Nettl
(1964:147) telah mengemukakan beberapa metode yang bisa digunakan. Metode-
metode tersebut adalah sebagai berikut:
1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang sering dipakai
dan mana yang jarang dipakai dalam komposisi tersebut.
2. Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap nada-nada
dasar, biarpun jarang dipakai.
3. Nada yang dipakai pada akhir atau awal komposisi atau pada akhir atau
awal bagian-bagian komposisi, dianggap mempunyai fungsi penting dalam
tonalitas komposisi tersebut
4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada atau posisi
pas ditengah-tengah dapat dianggap penting.
5. Interval-interval yang terdapat antara nada kadang-kadang dipakai sebagai
patokan.
6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada.
7. Harus diingat barangkali ada gaya-gaya musik yang mempunyai system
tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan diatas.
Dari ketujuh metode diatas, maka berdasarakan metode yang pertama
yaitu melihat nada yang sering dipakai, dapat diketahui bahwa nada dasar
gendhing monggang adalah C, nada dasar gendhing Ladrang wilujeng adalah Db,
Nada dasar gendhing Kodok Ngorek adalah Bb, dan nada dasar gendhing
Ketawang Larasmaya adalah Bb.
169
4.4.2.3 Wilayah Nada
Metode untuk menemukan wilayah nada berdasarkan ambitus suara yang
terdengar secara alami yang ditentukan oleh media penghasil bunyi itu sendiri,
ialah dengan memperhatikan nada yang paling rendah hingga nada yang paling
tinggi.
Wilayah nada melodi gendhing monggang yang diurutkan dari nada
terendah sampai nada tertinggi adalah:
Dari keterangan gambar diatas nada yang dihasilkan B-C ada 2 nada, dan
jarak intervalnya 1, sehingga wilayah nadanya dapat digolongkan menjadi 2M
(Sekunda Mayor).
Wilayah nada melodi gendhing Ladrang Wilujeng adalah:
Nada yang dihasilkan pada gendhing Ladrang Wilujeng adalah Des-Bes
ada 5 nada, dan jarak intervalnya 3 ½, sehingga wilayah nadanya dapat
digolongkan menjadi 5P (Kwint Perfect).
170
Wilayah nada melodi gendhing Kodok ngorek adalah:
Nada yang dihasilkan dari gendhing Kodok Ngorek adalah Bes-F ada 5
nada, dan jarak intervalnya 3 ½, sehingga wilayah nadanya dapat digolongkan
menjadi 5P (Kwint Perfect).
Wilayah nada gendhing Ketawang Larasmaya adalah:
Nada yang dihasilkan dari gendhing Ketawang Larasmaya adalah Bes-F
ada 5 nada, dan jarak intervalnya 3 ½, sehingga wilayah nadanya dapat
digolongkan menjadi 5P (Kwint Perfect).
4.4.2.4 Frekuensi Pemakaian Nada
Nettl (1964:146) mengemukakan bahwa untuk mendeskripsikan modus
lagu paling tidak harus menyebut nada mana yang berfungsi sebagai nada dasar;
nada-nada yang terpenting dalam lagu itu; nada-nada yang hanya dipakai sebagai
nada awal atau pendamping lain, dan sebagainya.
171
Jumlah pemakaian nada dapat dilihat dari banyaknya jumlah nada yang
dipakai dalam suatu musik atau nyanyian. Berdasarkan kepada metode diatas,
maka jumlah pemakaian nada-nada masing-masing dari ke empat komposisi
gendhing adalah sebagai berikut:
Jumlah pemakaian nada-nada pada Gendhing Monggang:
1. Nada B sebanyak 42
2. Nada C sebanyak 85
Jumlah pemakaian nada-nada pada Gendhing Ladrang Wilujeng:
1. Nada Des sebanyak 9
2. Nada Es sebanyak 20
3. Nada F sebanyak 15
4. Nada Aes sebanyak 6
5. Nada Bes sebanyak 10
172
Jumlah pemakaian nada-nada pada Gendhing Kodok Ngorek:
1. Nada Bes sebanyak 20
2. Nada C sebanyak 40
3. Nada Es sebanyak 36
4. Nada F sebanyak 8
Jumlah pemakaian nada-nada pada Ketawang Larasmaya:
1. Nada Bes sebanyak 7
2. Nada C sebanyak 14
3. Nada Es sebanyak 21
4. Nada F sebanyak 7
4.4.2.5 Jumlah Interval
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain terdiri dari
interval naik maupun turun. Manoff (1991:73) menjelaskan bahwa kwalitas
interval mayor dan minor digunakan untuk mengindentifikasikan interval berjarak
173
2, 3, 6, dan 7. Perfect, augmented, dan diminished digunakan untuk
mengidentifikasikan interval yang unison, atau interval 4, 5, dan 8 (oktaf).
Setelah ditranskripsi gendhing Moggang, gendhing Ladrang Wilujeng,
gendhing Kodok Ngorek, dan gendhing Ketawang Larasmaya, maka interval yang
digunakan adalah:
Tabel 4.1
Interval Melodi Gendhing Monggang
Interval Jumlah
1P 44
2m 42
7M 41
Tabel 4.2
Interval Melodi Gendhing Ladrang Wilujeng
Interval Jumlah
4P 4
7m 9
2M 11
2m 1
7M 5
174
5P 5
7m 4
6m 4
Tabel 4.3
Interval Melodi Gendhing Kodok Ngorek
Interval Jumlah
2m 27
3M 27
6m 19
7M 14
5P 7
Tabel 4.4
Interval Melodi Gendhing Ketawang Larasmaya
Interval Jumlah
2m 14
3M 14
175
7M 7
6m 7
5P 6
4.4.2.6 Formula Melodi (Bentuk Melodi)
Nettl (1964:149-150) mengatakan bahwa bentuk adalah hubungan-
hubungan diantara bagian-bagian dari sebuah komposisi, termasuk hubungan di
antara unsure-unsur melodis dan ritmis. Dalam mendeskripsikan bentuk harus
berhadapan dengan dua masalah pokok, yaitu (1) mengidentifikasikan unsure-
unsur musik yang dijadikan dasar yang merupakan tema dari sebuah kompsisi; (2)
mengidentifikasi sambungan-sambungan yang menunjukkan bagian-bagian, frasa-
frasa, dan motif-motif dalam sebuah komposisi.
Malm (1977:17) menyebutkan bahwa bentuk (form) dapat dibedakan atas
beberapa jenis, yaitu repetitive, literative, reverting, strophic, dan progressive.
Untuk menemukan bentuk melodi yang terdapat pada keempat gendhing dapat
diketahui berdasarkan (1) mengidentifikasi sambungan-sambungan yang
menunjukkan bagian-bagian, frasa-frasa, dan motif-motif dalam sebuah
komposisi; (2) pengulangan-pengulangan komposisi yang diulangi bisa dianggap
sebagai satu unit. Berdasarakan kedua hal tersebut dapat diketahui bahwa
gendhing monggang, Ladrang Wilujeng, Kodok Ngorek, dan Ketawang
Larasmaya terdapat satu bentuk melodi, dimana bentuk tersebut merupakan
pengulangan (repetitive) dari satu motif. Menurut Apel (1982:545) motif adalah
176
suatu pola ritmik atau melodi yang terdiri dari beberapa nada yang diulang atau
dikembangkan dalam suatu komposisi.
Secara garis besar, bentuk, frasa, dan motif yang terdapat dalam melodi
keempat gendhing adalah sebagai berikut:
a. Bentuk
1. Bentuk pada melodi gendhing Monggang, yaitu:
2. Bentuk pada melodi gendhing Ladrang Wilujeng, yaitu:
3. Bentuk pada melodi gendhing Kodok Ngorek, yaitu:
4. Bentuk pada melodi gendhing Ketawang Larasmaya, yaitu:
177
b. Frasa
1. Frasa pada melodi gendhing Monggang berjumlah dua buah frasa, untuk lebih
jelasnya:
2.Frasa pada melodi gendhing Ladrang Wilujeng berjumlah dua buah frasa, untuk
lebih jelasnya:
3. Frasa pada melodi gendhing Kodok Ngorek berjumlah dua buah frasa, untuk
lebih jelasnya:
A B
B
A
A
178
4. Frasa pada melodi gendhing Ketawang Larasmaya berjumlah satu buah frasa,
untuk lebih jelasnya:
c. Motif
1. Adapun motif gendhing Monggang adalah sebagai berikut:
2. Motif gendhing Ladrang Wilujeng sebagai berikut:
B
A
179
3. Motif gendhing Kodok Ngorek sebagai berikut:
4. Motif gendhing Ketawang Larasmaya sebagai berikut:
4.4.2.7 Pola Kadensa
Kadensa adalah nada akhir dari suatu bagian melodi lagu. Pola kadensa
dapat dibagi atas dua bagian, yaitu : semi kadens (half cadence) dan kadens penuh
(full cadence). Semi kadens adalah suatu bentuk istirahat yang tidak lengkap atau
tidak selesai (complete) dan member kesan adanya gerakan ritem yang lebih
180
lanjut. Kadens penuh adalah suatu bentuk istirahat diakhir frasa yang terasa
selesai (complete) sehingga pola kadens seperti ini tidak memberikan kesan untuk
menambah gerakan ritem.
Pola Kadens melodi gendhing Monggang yaitu:
Pola Kadens melodi Gendhing Ladrang Wilujeng yaitu:
Pola Kadens melodi Gendhing Kodok Ngorek yaitu:
1.
2.
Dan, Pola Kadens melodi gendhing Ketawang Larasmaya yaitu:
181
4.4.2.8 Kontur
Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm (dalam Irawan
1997:85) membedakan beberapa jenis Kontur, yaitu:
1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada
yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi.
2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah.
3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari
nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi
ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu
nada ke nada yang lain baik naik maupun turun.
5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang
lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih
rendah ke nada yang lebih tinggi.
6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada
yang lainnya, dan biasanya intervalnya diatas sekonde baik mayor
maupuan minor.
7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyao
batas-batasan.
182
Garis kontur yang terdapat pada melodi keempat gendhing temanten dalam
tulisan ini pada umunya adalah pada gendhing Monggang yaitu:
Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi Conjuct.
Dimana terdapat pergerakan nada naik lalu turun, kemudian naik lagi.
Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi Conjuct.
Dimana terdapat pergerakan nada turun lalu naik.
Kontur pada gendhing Ladrang Wilujeng yaitu:
Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi pendulous.
Dimana terdapat pergerakan melengkung dari nada tinggi ke nada yang lebih
rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
183
Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi pendulous.
Dimana terdapat pergerakan melengkung dari nada tinggi ke nada yang lebih
rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya.
Kontur pada gendhing Kodok Ngorek yaitu:
Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi Conjuct.
Dimana terdapat pergerakan nada naik lalu turun, kemudian naik lagi.
Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi Conjuct.
Dimana terdapat pergerakan nada naik lalu turun, kemudian naik lagi.
Kontur pada gendhing Ketawang Larasmaya yaitu:
Grafik diatas menunjukkan terjadinya pergerakan melodi Conjuct.
Dimana terdapat pergerakan nada naik lalu turun, kemudian naik lagi.
184
BAB V
PENUTUP
Pada bagian ini penulis mengambil kesimpulan setiap BAB secara garis
besar dan mengaitkannya satu dengan yang lainnya. Tentu saja didalam skripsi
masih terdapat kekurangan –kekurangan sehingga jauh dari sempurna. Untuk
mendampingi kesimpulan, pada bagian ini disertakan juga beberapa saran
terhadap apa saja yang belum dikerjakan bagi kepentingan-kepentingan penelitian
selanjutnya.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada penjelasan bab-bab yang telah dibahas, penulis
menyimpulkan pembahsan dari hasil penelitian yang penulis lakukan.
Kesimpulan ini adalah jawaban dari dua poko permasalahan yang telah ditetapkan
pada Bab I. Adapun pokok masalah tersebut adalah: (a) Bagaimana proses
upacara perkawinan adat suku Jawa di Jln Sei gingging, kecamatan Medan
Selayang, Medan. (b) Bagaimana struktur musik melodi Gendhing Monggang,
Ladrang Wilujeng, Kodok Ngorek dan Ketawang Larasmaya yang paling
dominan terdengar pada alat musik gong, saron dan kendang di rekaman gendhing
gamelan pada ritual temu temanten dalam upacara perkawinan adat suku Jawa di
Jln Sei Batu Gingging, Kelurahan Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan
Selayang, Medan.
Dari keseluruhan pembahasan yang telah penulis lakukan secara umum
dapat menyimpulkan bahwa upacara panggih pada suku Jawa adalah upacara
bertemunya pengantin pria dan pengantin perempuan setelah keduanya sah
185
sebagai suami-istri, baik menurut adat maupun menurut agama, dan disaksikan
oleh kedua pihak keluarga serta para undangan.
Dalam melaksanakan upacara perkawinan, bagi suku Jawa harus
memperhitungkan perhitungan hari berdasarkan tanggal lahir, dan hari lahir dari
kedua mempelai yang telah dirumuskan sesuai penanggalan orang Jawa (weton)
serta perayaan pernikahan sangat dilarang apabila berkenaan dengan hari
meninggalnya sanak saudara. Perhitungan hari ini biasanya dilakukan oleh
seorang yang sudah ahli dan berpengalaman yang biasa disebut dukun petangan.
Secara umum suku Jawa tidak pernah melaksanakan upacara pada bulan Sura dan
bulan Safar dalam suatu tarikh Jawa. Kedua bulan ini bagi orang Jawa dianggap
sebagai bulan Panas, sehingga jika melaksanakan upacara pada salah satu bulan
ini, dapat menimbulkan suatu malapetaka.
Tata rias dan busana adalah merupakan hal yang pokok dalam rangka
pelaksanaan upacara perkawinan adat suku Jawa, karen pengantin merupakan
pusat perhatian. Tata rias tidak terbatas untuk segala kalangan keluarga dalam
masyarakat suku Jawa, bagi siapa saja yang dapat menyelenggarakan upacara
perkawinan adat Jawa dengan segala kemampuan materinya.
Pelaksanaan upacara perkawinan pada suku Jawa terdiri dari beberapa
tahapan, yaitu dimulainya dari nontoni untuk saling mengenal satu sama lain
antara keluarga pria dengan keluarga perempuan, Lamaran salah satu tahap
dimana keluarga pria mendatangi kediaman pihak perempuan degnan tujuan
meminta atau meminang putri keluarga tersebut menjadi istri putra mereka,
sampai pada akhirnya menuju proses tahapan upacara panggih yang menjadi
puncak dalam upacara perkawinan adat suku Jawa yang meliputi srah tinampi
186
(serah-terima), pertukaran kembar mayang, balangan (lempar sirih), ngidak
endhok (wiji dadi), Sindur, sampai pada akhirnya ditutup dengan prosesi terakhir
yaitu sungkeman meminta restu kepada kedua orang tua pria dan kedua orang tua
perempuan. Masing-masing dalam pelaksanaan upacara panggih ini hanya
merupakan symbol-simbol yang menggambarkan suatu tujuan luhur yang ingin
dicapai dalam kehidupan berumah tangga, dan bagaimana tanggung jawab
seorang istri kepada suaminya dan sebaliknya serta kepada kedua orang tua.
Pelaksanaan upacara Panggih ini selalu diiringi dengan gendhing Jawa.
Upacara panggih dan penggunaan gendhing merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, dua hal ini tidak dapat dipisahkan, karena jika upacara panggih
dilaksanakan tetapi tidak menggunakan gendhing gamelan, maka pelaksanaanya
serasa tidak sempurna, meskipun penggunaannya pada saat ini dipulau Sumatera,
khususnya Kota Medan sudah sangat instan melalui rekaman dengan tidak
mengurangi unsur budaya yang terkandung didalamnya. Adapaun gendhing-
gendhing yang digunakan adalah (1) gendhing Monggang yaitu gendhing yang
dimainkan untuk menyambut kedatangan pengantin pria beserta rombongan untuk
melaksanakan upacara panggih; (2) gendhing Ladrang Wilujeng adalah gendhing
yang dimainkan untuk mengiringi kedua pengantin untuk dipertemukan; (3)
Gendhing Kodok Ngorek adalah gendhing yang dimainkan pada saat upacara
panggih; (4) gendhing Ketawang Laramaya yaitu gendhing yang dimainkan pada
saat kedua pengantin diarak oleh orang tua pengantin perempuan dengan
menggunakan kain Sindur menuju pelaminan terus didudukkan oleh ayah
pengantin perempuan.
187
Dari kajian musikologis terhadap keempat komposisi gendhing, penulis
melakukan transkripsi kedalam notasi Kepatihan dan notasi barat. Adapun hal-hal
yang dibahas dalam notasi Kepatihan meliputi system pelarasan, patet, gatra dan
gongan. Selanjutnya hal-hal yang dibahas dalam notasi barat adalah tangga nada,
nada dasar, jumlah pemakaian nada, jumlah interval, formula melodi, dan kadens.
Hasil transkripsi merupakan melodi yang dihasilkan alat musik saron demung.
Dari keseluruhan hasil transkripsi dapat diketahui bahwa keempat gendhing yaitu
gendhing monggang, Ladrang Wilujeng, Kodok Ngorek dan Ketawang
Larasmaya yang dimainkan dalam upacara panggih mempunya bentuk melodi
yang diulang-ulang (repetitive), dimana pengulangan itu merupakan pengulangan
satu motif.
Untuk melaksanakan suatu upacara perkawinan yang lengkap dibutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Berdasarkan hal inimaka suku Jawa yang ada di kota
Medan, khususnya Kecamatan Medan Selayang yang mempunyai tingkat social
dan tingkat ekonomi menengah keatas yang dapat melaksanakan upacara
perkawinan menurut adat-istiadat secara sempurna, sedangkan suku Jawa atau
masyarakat Jawa yang memiliki tingkat social dan tingkat ekonomi yang cukup
dalam melaksanakan suatu upacara perkawinan cukup melaksanakan upacara
panggih dengan diiringi oleh gendhing gamelan yang berasal dari rekaman yang
diputar melalui video player atau Mp3 palyer yang ada dalam bentuk kaset
maupun dalam bentuk digital. Suku Jawa yang berada di Kota Medan, khususnya
di Kecamatan Medan Selayang masih memahami tentang pelaksanaan upacara
panggih beserta gendhing-gendhing yang digunakan. Pelaksanaan upacara
panggih di kota Medan yang menggunakan gamelan secara rekaman diketahui
188
bahwa hal tersebut tidak mengurangi makna dari pelaksanaan upacara panggih itu
sendiri.
5.2 Saran
Upacara dan musik dalam prosesi perkawinan adat Suku Jawa tidak dapat
terlepas satu sama lainnya serta berbagai modifikasi dalam tata rias dan busana
turut menjadi hal yang sangat erat kaitannya dalam adat perkawinan suku jawa.
Semakin berkembangnya teknologi maka semakin terbarui pula hal-hal yang
terkandung didalam adat-istiadat yang tidak ataupun dapat mengurangi makna-
maknanya. Oleh karena itu, sebagai upaya pelestariannya diperlukan kesadaran
dalam upaya menjaga adat dan budaya agar tidak menjadi bentuk hal yang sangat
instan di era modern ini, penulis mencoba menerangkannya agar tidak menjadi
suatu kemunduran budaya dimasa yang akan datang.
Penulis juga menyadari bahwa peneltian yang penulis lakukan masih
banyak kekurangan dan perlu mendapatkan penyempurnaan. Penelitian ini
hanyalah sebahagian kecil permasalahan yang terkandung didalamnya. Oleh
karena itu, penulis menyarankan dan mengharapkan kepada siapa saja yang
berminat untuk melanjutkan penelitian ini untuk lebih mendalam lagi, sehingga
dapat bermanfaat bagi pengembangan Etnomusikologi dan sebagai dokumentasi
data mengenai budaya dan bagian musikal dalam ensambel gamelan Jawa yang
penulis anggap perlu untuk diteliti lebih lanjut berkatian dengan suku Jawa yang
ada di kota Medan ini maupun diluar kota Medan.
Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat
ataupun kontribusi yang positif terhadap apresiai budaya dan pengetahuan
189
terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan bidang Etnomusikologi secara
khusus.
190
GLOSARIUM
Adol Dawet: Jual dawet (sejenis minuman jajanan pasar atau cendol) Asok Tukon: Sejumlah Uang yang jumlahnya disesuaikan kemampuan ekonomi
pihak calon pengantin pria (imbalan). Degan: Kelapa yang masih muda Dulangan: Upacara makan dan minum bersama dengan cara saling sulang. Gamelan: Istilah umum untuk ensambel musik Jawa. Gendhing: Komposisi musik pada gamelan Jawa Gethok Dina: Penentuan hari pelaksanaan ijab kabul dan upacara perkawinan Kacar-Kucur: Upacara menuangkan berbagai kacang-kacangan (hasil bumi)
yang disertakan juga berbagai uang logam dari pengantin pria ke pengantin perempuan.
Karawitan: Tradisi musik pada suku Jawa Kembar Mayang: Terbuat dari janur kuning (daun kelapa yang masih muda dan
kuncup) yang dirangkai dan dibentuk menyerupai keranjang yang diisi dengan daun-daunan beralaskan batang pisang.
Kirab: Upacara membawa atau mengarak sesuatu dari satu tempat ketempat lain. Mapag Besan: Upacara menjemput kedua orang tua pengantin pria oleh kedua
orang tua pengantin perempuan untuk turut duduk bersama dipelaminan dengan kedua mempelai pengantin.
Midodareni: Upacara tirakatan bagi calon pengantin untuk senantiasa berlaku prihatin dan berlatih mengendalikan diri sekaligus sebagai permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ngelamar: Upacara melamar atau meminang oleh calon pengantin pria terhadap calon pengantin wanita
Ngidak endhok: Upacara menginjak telur ayam kampung yang berwarna putih bersih diatas wadah yang berwarna perak atau keemasan yang di sertakan dengan bunga dan daun pandan yang di iris-iris kecil.
Nontoni: Upacara untuk mengetahui lebih jauh tentang calon pasangan yang akan dinikahi.
Nyantri: Upacara mengabdi di rumah orang tua calon pengantin perempuan oleh pengantin pria menjelang upacara perkawinan.
Paes: Merias pengantin perempuan oleh ahli yang dapat merias. Panggih: Mempertemukan Paningsetan: Upacara penyerahan suatu symbol pengikat dari pihak orang tua
calon pengantin pria. Pasang Tuwuhan(Pasren): Sasana Ringga: Pelaminan Selametan: Upacara makan bersama yang telah dibagikan doa sebelum dibagi-
bagikan. Sindur: Kain berwarna merah dan bermotif putih Siraman: Upacara memandikan secara tradisional kedua calon pengantin dengan
air kembang oleh kedua orang tua masing-masing. Srah-Srahan: biasa juga disebut asok tukon, yaitu memberikan hadiah seperti
hail-hasil bumi kepada keluarga calon pengantin wanita oleh pihak keluarga pria.
191
Sungkeman: Upacara memohon restu dan memohon ampun kepada orang tua dengan gaya khas Jawa
Tarub: Hiasan atau dekorasi dari tumbuh-tumbuhan seperti daun kelapa muda, buah-buahan, batang pohon pisang.
Temu Temanten: Upacara mempertemukan kedua pengantin. Timbangan: Upacara menimbang kedua mempelai pengantin dengan cara
mendudukkan kedua pengantin dikedua paha ayah mempelai perempuan, pengantin pria dipaha kanan dan pengantin putrid dipaha kiri sang ayah.
Tratag: Bangunan sementara pada saat upacara maupun dalam pesta pernikahan.
192
DAFTAR PUSTAKA
Anjasmara. 1976. Primbon lengkap untuk Wanita. Surabaya: Karya Utama
Becker, Judith. 1980. Traditional Music in Modern Java. Hawaii: The University
Bogdan, Robert and Steven J, Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods.
Jhon Wiley Sons, New York
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah
Istimewa Jogjakarta.Jakarta: Depdikbud
Echols, M dan Hasan Shadily. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia
Hamidin, Aep S. 2012. Buku Pintar Adat Perkawinan Nusantara. Jogjakarta: Diva Press
Hariwijaya. M. 2004. Filsafat Jawa; Ajaran Luhur Warisan Leluhur. Jogjakarta: Gelombang
Pasang
Hood, Mantle. 1982. The Etnomusicologist. New Edition Kent: The Kent University
International Beauty School, Puspita Martha. 2010. Pengantin Solo Putri Basahan. Jakarta:
Gramedia
Irawati, Peri. 2011. Makna Simbolik Upacara Pernikahan Adat Jawa Di Hajoran Kecamatan
Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Skripsi. Jurusan Sastra Indonesia
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta. Balai Pustaka
Koentjaraningrat. 1973. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatam
Koentjaraningrat. 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Malm, William P. 1977. Music Cultures of Pacific, Near East, and Asia. Englewood Cliffs,
New Jersey: Prentice Hall; serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia, William P.
193
Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan
oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press
Mahligai, Majalah. 2013. Edisi ke 27. Pesona Wanita Indonesia; Mahar dan Seserahan.
Jakarta.
Melati, Harpi. 1988. Tata Upacara Pengantin Jawa Tengah. Medan: n.p.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press
Perkawinan, Majalah. 2011. Edisi 09/XII. Precious Moment. Jakarta
Poerwadaminta,W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:PN. Balai Pustaka.
Prawita Sari, Rahayu. 1996. Gamelan Jawa dalam Upacara Panggih: Studi Kasus di Kota
Medan. Skripsi. Jurusan Etnomusikologi USU
Satori, Djam’an dan Aan Komariah. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Alfabeta,
Bandung.
Seeger, Charles. 1977. Studies In Ethnomusikology. California: University of California
Sitopu, Dina Mayantuti. 2009. Studi Deskriptif Pertunjukkan Reog Ponorogo pada Upacara
Perkawinan Masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan Percut
Sie Tuan Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Jurusan Etnomusikologi USU
Shadily, Echols. 1990. Kamus Indonesia – Inggris. Jakarta:Gramedia
Suwondo, Bambang. 1982. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Jawa Timur. Jakarta:
Depdikbud
Soeharto. 1982. Kamus Musik. Jakarta. Gramedia
Said, Muhammad. 1990. Koeli Koentrak Tempo Doeloe: dengan Derita dan Kemarahannya.
Medan: Harian Waspada
Takari, Muhammad dkk. 1992. Teknik dalam Penulisan Etnomusikologi. Medan;
Etnomuskologi USU
Internet:
194
Digilib.unimed.ac.id/public/UNIMED
www.youtube.com
http://lubisgrafura.wordpress.com/f-kejawen/mengenal-tata-upacara-pengantin-adat-jawa/
http://infopengantin.blogspot.com/2010/03/rangkaian-upacara-adat-pengantin-jawa.html
http://digilib.unimed.ac.id/proses-adaptasi-etnik-jawa-asal-solo-di-kota-medan/108
http://www.scribd.com/doc/143354571/KARAKTERISTIK-TATA-RIAS-PENGANTIN-SOLO#download
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13434/1/10E01061.pdf
http://karlinasetiyanti.wordpress.com/budaya-jawa/pranata-upacara-selamatan-masyarakat-jawa/
http://riaskuntik.wordpress.com/upacara-tradisional/upacara-perkawinan-tradisional-jawa/tata-
rias-pengantin-yogyakarta/
http://m.weddingku.com/article-gallery.asp?articleid=1015911
http://citra-keraton.blogspot.com/2011/09/perbedaan-tata-rias-busana-pengantin.html
195
DAFTAR INFORMAN
a. Informan Kunci
1. Nama: Agus Wayan
Umur: 51 tahun
Pekerjaan: penarik beca
Status dalam penelitian ini: (pemilik sanggar Cipto Budoyo Jln. Istiqomah, Helvetia,
Medan), yaitu pembawa acara serta budayawan Jawa.
2. Nama: Sumaji
Umur: 48 tahun
Status dalam penelitian ini selaku pimpinan rombongan pihak mempelai pengantin
perempuan.
Arini, S.H. dan Boy Budiansyah, S.H.
Alamat: Sanggar Cipto Budoyo Jalan Istiqomah Helvetia, Medan.
3. Nama: Cipto
Umur: 45 tahun
Status dalam penelitian ini yaitu sebagai pimpinan rombongan pihak pengantin pria
dalam panggih temanten yang turut membantu pada upacara tersebut.
Alamat: Sanggar Cipto Budoyo Jalan Istiqomah Helvetia Medan
4. Nama: Kusen
Umur: 48 tahun
Status dalam penelitian ini yaitu sebagai wali manten pria.
Alamat: Helvetia Medan
5. Nama: Larasati
196
Umur: 49 tahun
Status dalam penelitian ini yaitu sebagai pelatih tari di Sanggar Cipto Budoyo.
Alamat: Sanggar Cipto Budoyo Jalan Istiqomah Helvetia, Medan.
b. Informan “Pendukung”
6. Nama: Sigit
Umur: 19 tahun
Status dalam penelitian ini yaitu sebagai Cucuking Lampa (pembawa jalan manten
menuju pelaminan)
Alamat: Helvetia
7. Nama: Saritomo
Umur: 20 tahun
Status dalam penelitian ini yaitu sebagai seksi kelengkapan ritual upacara.
Alamat: Helvetia
c. Informan Pangkal
8. Nama: Surya Darma Desky
Umur: 29 tahun
Status dalam penelitian ini yaitu selaku pemilik jasa penyedia foto pernikahan
Mamipapi Photowork yang telah memberikan informasi tentang adanya acara
pernikahan di Jln Sei Gingging Kecamatan Medan Selayang, Medan.
8. Nama: Yusrita Arini, S.H.
Umur: 25 tahun
Mempelai wanita
Alamat: Jalan Sei Gingging Medan Selayang
Pekerjaan: Karyawati Bank Mandiri
9. Nama: Boy Budiansyah, S.H.
197
Umur: 28 tahun
Mempelai Laki-laki
Alamat: Medan Selayang
Pekerjaan: Pengacara
10. Kedua Orang Tua Mempelai Wanita
a. Nama: Djumali, S.H
Umur: 60 tahun
Pekerjaan: Pegawai Negeri
Alamat: Jln Sei Gingging No. 80
b. Nama: Yeni Indrawati
Umur: 55 tahun
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
Alamat: Jln Sei Gingging No 80
198
LAMPIRAN I
1. Gendhing Monggang (gendhing pengiring untuk menyambut pengantin pria dalam
melaksanakan upacara panggih) Laras pelog Barang, Melodi Saron Demung dengan nada
dasar C.
Buka: . . . . 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 .(6) 6 5 6 . 6 5 6 . . 6 . . 6
2. Gendhing Ladrang Wilujeng (gendhing pengiring calon mempelai pria memasuki ruangan
pelaminan) Laras pelog barang, melodi saron demung dengan nada dasar Eb (E Mol).
Buka: 1 3 2 3 . 1 3 2 3 1 3 3 3 1 5 3 . 3 5 1 5 . 3 3 2 3 . 1 3 2 3 3 2 3 3 . 1 3 2 3 . 3 3 2 3 . 1 3 3 . 3 1 5 3 3 5 1 5 . 3 3 2 3 . 1 3 2 3
3. Gendhing Kodok Ngorek (gendhing pengiring upacara temu temanten atau panggih yang
diputar pada saat prosesi ngidak endhok atau wiji dadi) Laras pelog barang, melodi saron
demung dengan nada dasar Cb (C mol).
Buka: 5 6 1 6 5 6 1 6(3) 5 6 1 6 5 6 1 6(3) 5 . 6 1 . 2 1 6 1 5 . 6 1 . 2 1 6 1(5) 5 . 6 1 . 2 1 6 1(3)
Dilanjutkan gendhing Ketawang Laras Maya
4. Gendhing Ketawang Laras Maya (gendhing yang diputar pada saat kedua mempelai
pengantin berada pada prosesi timbangan sampai pada dhahar klimah). Laras Pelog
barang, melodi saron demung dengan nada dasar Bb (B mol).
Buka : 5 . 6 1 . 2 1 6 1(5) 5 . 6 1 . 2 1 6 1(3)
199
LAMPIRAN II
Gambar Sampul Depan dan Belakang CD Mp3 gendhing Pengantin Jawa
Yang di pakai pada saat Upacara Perkawinan Adat Jawa di Medan Selayang
(foto hasil scanner dengan menggunakan printer Pixma MP45)