Download - Status Anesthesia. Removal Implant
1
STATUS ANESTHESIA
Identitas Pasien
Nama : Tn.E
Usia : 72 tahun
No.CM : 11351556
Jenis Kelamin : Laki-laki
BB : 60 kg
Alamat : Neglasari,kel.Cipatujah Kab. Tasikmalaya
Diagnosis pre operasi : Fraktur Union Tibia dextra
Jenis Operasi : Removal Implant Tibia dextra
Jenis Anestesi : Regional Anestesi
Tanggal masuk : 10-12-2012
Tanggal Operasi : 11-12-2012
A. ANAMNESIS
Keluhan utama : Paien datang ke RSUD Kota Tasikmalaya untuk melakukan pelepasan
pin.
Riwayat Penyakit Sekarang : Paien datang ke RSUD Kota Tasikmalaya untuk melakukan
pelepasan pin, karena 1 tahun yang lalu pasien mengalami kecelakaan motor yang
mengakibatkan tungkai kanan patah sehingga dilakukan operasi.
2
Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat Asma disangkal
- Riwayat Alergi obat dan makanan disangkal
- Riwayat DM disangkal
Riwayat penyakit keluarga:
- Tidak Ada
Riwayat alergi:
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi terhadap debu maupun udara dingin. Alergi
makanan dan obat-obatan juga tidak ada.
Riwayat pengobatan:
Riwayat operasi ORIF 1 tahun yang lalu.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Berat Badan : 60 kg / gizi kesan cukup
4. Tanda Vital T : 120/80 mmHg
N : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36 C
5. Status generalis
Kepala : Normocephal
3
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) pupil isokor reflek cahaya
+/+
Telinga : dalam batas normal
Hidung : deviasi septum -/-
Mulut dan tenggorokan : mulut normal , lidah bersih, pharyng tidak hiperemis
Leher :
KGB : tidak membesar
Thoraks
Paru-paru anterior-posterior
Inspeksi : simetris ka-ki, tidak ada nafas tertinggal
Palpasi : tidak nyeri, Vokal fremitus simetris ka-ki
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Aukultasi : vesikuler seluruh lapang paru, rh -, whz –
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bj I dan II murni reguller
4
Abdomen
Inspeksi : supel, datar
Auskultasi : Bu + normal
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : tympani
Genitalia : tidak diperiksa
Ekstremitas : Oedem :
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hb : 12,4 g/dl
Ht : 38 %
Leukosit : 10.000
Trombosit : 251.000
BT : 1
CT : 2
LED : 25/35
Ureum : 35
Kreatinin : 1,73
Glukosa Puasa : 93
Glukosa 2 jam PP : 135
5
SGOT : 31
SGPT : 19
Kolesterol Total : 267
Kolesterol HDL : 31
Kolesterol LDL : 197
Trigliserida : 196
Rontgen Thorax dan kruris
- Tampak Cardiomegali
- Paru-paru Tidak tampak infiltrat
6
D. DIAGNOSA
Removal Implant , Union Fraktur Tibia dextra
E. KESIMPULAN
Berdasakan pemeriksaan fisik, pasien diklasifikasikan dalam ASA (2), pasien dalam
keadaan kelainan sistemik Ringan sampai sedang.
F. PENATALAKSANAAN
Terapi Operatif : Removal Implant dengan Spinal Anestesi
1. TINDAKAN ANESTESI ( Spinal Anestesi)
a. Pre-operatif
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
7
b. Puasa 6-8 jam
c. Pasang IV line
2. Jenis Anestesi : Spinal anestesi
b. Intra Operatif
- Tindakan Operasi : Removal Implant
- Tindakan Anestesi : Spinal Anestesi
- Posisi : Supine
- Premedikasi : Midazolam 2,5 mg
Ondansetron 4 mg
- Obat Anestesi : Buvipacain 15 mg
- Ventilasi : O2 3 L
Terapi Cairan
Perhitungan Kebutuhan cairan yang digunakan :
BB = 60 kg
Puasa 6 jam
Iwl maksimal = 8
8
Maintenece = 10 x 4 = 40
10 x 2= 20
40 x 1 = 40
100 cc
Puasa = Lama puasa x M
6 x 100 = 600
IWL = 8 x 60= 480
Kebutuhan cairan 1 jam pertama = 1 x puasa + maintenence + IWL
2
= 1 x 600 + 100 + 480 = 880 ml = 2 flabot
2
Kebutuhan cairan 2 jam berikutnya = 1 x puasa + maintenence + IWL
4
= 1 x 600 + 100 + 480 = 730ml = 2 flabot
4
Langkah-langkah Anestesi
a. Jam 10.00 pasien masuk kamar operasi, saturasi dan monitor dipasang, pemberian
premedikasi dengan ondansetron IV line 4 mg dan Midazolam 2,5 mg.
b. Pemberian O2 dengan canul 3 liter
9
c. Jam 10.10 dilakukan anestesi spinal dengan Buvipacain 15 mg
d. Jam 10.30 operasi dimulai dan tanda vital dimonitor tiap 5 menit. Kemudian
diberikan infus RL 500cc.
e. Jam 11.30 Operasi selesai pasien dipindah.
10
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Tulang belakang
Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang punggung pada
manusia, 5 di antaranya bergabung membentuk bagian sacral, dan 4 tulang membentuk
tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di atasnya terdiri dari 24 tulang yang dibagi menjadi 7
tulang cervical (leher), 12 tulang thorax (thoraks atau dada) dan 5 tulang lumbal.
Banyaknya tulang belakang dapat saja terjadi ketidaknormalan. Bagian terjarang terjadi
ketidaknormalan adalah bagian punggung.
Medulla Spinalis
Bagian susunan saraf pusat terletak di dalam kanalis vertebralis bersama
ganglion radiks posterior yang terdapat pada setiap foramen intervertebralis terletak
berpasangan kiri dan kanan. Organ ini mengurus persarafan tubuh, anggota badan serta
bagian kepala. Dimulai dari bagian bawah medulla oblongata setinggi korpus vertebra
servikalis I, memanjang sampai ke korpus vertebra lumbalis I dan II.
B. Definisi Anestesi Spinal
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obatanestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
11
spinal/subaraknoid disebut juga sebagaianalgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kitamenyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Hal –hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen,
lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan,
dan penyebaran obat. Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf
simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan
dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory
sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit
tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya,
yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih. Di dalam cairan serebrospinal,
hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat. Sebagian besar anestetik lokal
meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah vena sedangkan sebagian kecil
melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantungdari kecepatan obat
meninggalkan cairan serebrospinal.
Tabel Dosis dan Durasi Obat Anastesi Spinal
Obat Dosis (mg) Durasi (menit)
Perineum,
tungkai
bawah
Abdomen
bawah
Blok
setinggi
T4
Anastetik
murni
Ditambah
epineprhin
Prokain 75 125 200 45 60
12
Tetrakain 6-8 8-14 14-20 90 120-150
Lidokain 25 50-75 75-100 60 60-90
Bupivacain 4-6 8-12 12-20 120-150 120-150
Bupivacain
Struktur mirip dengan lidokain kecuali yang mengandung amin dan butyl piperydin.
Merupakan anestetik local yang mempunyai masa kerja yang panjang dengan efek
blockade terhadap sensorik lebih besar dari pada motorik. Karena efek ini bupivakain
lebih popular digunakan untuk memperpanjang analgesia selama persalinan dan pasca
pembedahan. 20 jam setelah operasi. Terkadang bupivakain dikombinasikan dengan
epinephrine untuk memperlama durasi dengan fentamil untuk analgesia epidural atau
glukosa.
Indikasi
Bupivakain digunakan untuk anestesi local termasuk infiltrasi, block saraf, epidural, dan
anestesi intratekal. Bupivakain sering diberikan melalui injeksi epidural sebelum
melakukan arthroplasty panggul total. Juga sering di injeksikan ke luka pembedahan
untuk mengurangi nyeri hingga 20 jam setelah operasi. Terkadang bupivakain
dikombinasikan dengan epinephrine untuk memperlama durasi dengan fentamil untuk
analgesia epidural atau glukosa.
Kontra indikasi
Bupivacain untuk anestesi regional intravena karena resiko dari kesalahan toniquet dan
absorpsi sistemik obat.
Efek samping dibandingkan dengan obat anestesi local lainnya bupivakain dapat
mengakibatkan kardiotoksik akan tetapi efek samping ini akan menjadi jarang bila
13
diberikan dengan benar. kebanyakan efek samping berhubungan dengan cara pemberian
atau efek farmakologis dari anestesi.
Indikasi anastesi spinal:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengananesthesia umum ringan
Kontra indikasi absolut:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi
Kontra indikasi relatif:
14
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
C. Persiapan Pra Anestesi
Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah kunjungan pra
anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan, baik elektif dan darurat.
Tujuan persiapan pra anestesi adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik secara optimal,
merencanakan dan memilih tehnik serta obat – obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan
kehendak pasien, menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American
Society Of Anesthesiology)
1. Menentukan teknik anestesi
2. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology), yaitu
1. ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faali, biokimia dan psikiatri. Angka mortalitas mencapai 2 %.
2. ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang karena penyakit
bedah maupun proses patofisiolgis. Angka mortalitas mencapai 16 %.
15
3. ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas . Angka mortalitas mencapai 36 %.
4. ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya dan tidak selalu sembuh dengan operasi. Angka mortalitas mencapai
68 %.
5. ASA 5 : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tidak
ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Angka mortalitas mencapai 98 %.
D. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi dilakukan. Obat –obat
yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :
1. Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer.
2. Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.
3. Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol.
4. Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.
Tujuan premedikasi untuk;
1. Meredakan kecemasan dna ketakutan
Bias mengguanakn diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesi
2. Memperlancar induksi anestesi
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestesi
16
5. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
Suntikan ondansetron 2-4 mg
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi cairan lambung
Menggunakan oral ranitidine 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi
8. Mengurangi reflek yang membahayakan.
E. Persiapan Analgesia Spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum.Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya adakelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak
teraba tonjolanprosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consentKita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran Hb, ht, pt, ptt
F. Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi
yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal
memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai
dengan 30G. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain,
atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan
17
daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis
CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika
lebihkecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila
sama(isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu
37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk
steril juga harus disiapkan. Jarum spinal, dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang
ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan
jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan
karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
Tipe Whitacre Tipe Quincke
G. Teknik Anestesi Spinal
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah
untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasidengan kaki pada
kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus
lateral pasien tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.
18
2. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrata
lumbalis (interlumbal).
3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.
4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan
sudut 10o - 30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan
menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid.
5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
6. Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid.
Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti
adrenalin.
19
H. Posisi Spinal Anestesi
Posisi Duduk
Pasien duduk di atas meja operasi
Dagu di dada Tangan istirahat di lutut
Posisi Lateral
Bahu sejajar dengan meja operasi
Posisikan pinggul di pinggir meja operasi
Memeluk bantal/knee chest position
I. Tinggi Blok Analgesia Spinal
Faktor yang mempengaruhi:
Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
20
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat
batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul
kekaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiper, iso atau hipo barik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis
yang diperlukan. (BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien
J. Komplikasi Anestesia Spinal
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
delayed. Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat. Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan memberikan infuse cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml
sebelum tindakan.
21
2. Bradikardia. Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat
blok sampai T-2
3. Hipoventilasi. Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
K. Komplikasi Pasca Tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
L. Komplikasi Intraoperatif
Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan
berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati
22
dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti
efedrin atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada
saat dilakukan anestesi spinal.Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi
bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada
kasus seperti ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest
tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut
reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera
setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih
terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak
19mg diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,
dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.
Blok spinal tinggi atau total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah
hipotensi, hentinafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa
menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan
kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi
pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ
vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan
23
sirkulasi ke serebral merupakan faktor pentingyang menyebabkan terjadi henti nafas pada
anestesi spinal total.
Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat
dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan.
Berkurangnya aliran darah keserebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika
hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan
terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan
henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan
yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen
bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke
kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang
disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
Komplikasi respirasi
1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-
parunormal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi
beratdan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan tanda-tanda
tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
24
M. Komplikasi Postoperatif
Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan, pemakaian
obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,
pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih
berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam pasca
pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.
Nyeri kepala
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri kepala
ini bias terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural.
Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang
digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala.
Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien
yang dehidrasi. Nyeri kepala postsuntikan biasanya munc ul dalam 6 ± 48 jam selepas
suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital
dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia,
mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin
bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi
duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam
waktu 24 ± 48 jam harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara
cairan oral atau intravena), analgesik, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan
25
pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan
epidural, seterusnya menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan
meningkatkan tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif
seperti suntikan salin kedalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum
yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau
tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum
dapat di obatisecara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang
singkat saja.
N. Komplikasi Neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam
waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan
fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya
akan menghilang dalam beberapa hari.Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari
blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-
lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan defisit sensoris pada area
perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik
pada ekstremitas bawah.
26
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi
ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan.
Sindrom ini ditandai olehdefisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang
progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi
dari vasculature korda spinal.
Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang
lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda
spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal
maupun epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah
jarang, tapi tetap berlaku.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang
berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang
subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar
di area lumbar yang menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri
anterior akibat dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik
pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan
sensoris biasanya tidak merata dan adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar
posterior saraf dan bukannya akibat dari kerusakan didalam korda itusendiri. Terdapat
tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal
anterior karena terjadi gangguan bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh
operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan
gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun obstruksi aliran. Anestesi
regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan terjadinya sindrom
27
spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya anestesi spinal menggunakan obat
anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang
menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang
memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi regional dapat
menyebabkan kekurangan aliran darah. Infeksi dari spinal adalah sangat jarang kecuali
dari penyebaran bacteria secara hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain.
Jika anestesi spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat
kemungkinan terjadi penyebaran ke bakteri ke spinal. Oleh yang demikian, penggunaan
anestesi spinal pada pasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif. Jika
infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan araknoiditis. Tanda dan
symptom yang paling prominen pada komplikasi ini adalah nyeri punggung yang berat,
nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas nuchal. Oleh itu, adalah tidak benar jika
menggunakan anestesi regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit loka pada area
lumbar atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan
pemberian antibiotik dan drenase jika perlu.
Retentio urine / Disfungsi kandung kemih. Disfungsi kandung kemih dapat
terjadi selepas anestesi umum maupun regional. Fungsi kandung kencing merupakan
bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya berlangsung
selama 24 jam. Kerusakan saraf permanen merupakan komplikasi yang sangat jarang
terjadi.
Pencegahan kerusakan saraf permanen :
1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus
28
2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater
3. Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari
Pengobatan :
1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
2. Hidrasi adekuat
3. Hindari mengejan
4. Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni penyuntikan darah
pasien sendiri 5-10 ml ke dalam ruang epidural.
29
Geriatri
Pembagian terhadap populasi berdasarkan usia lanjut meliputi :
1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun
2. Lanjut usia (elderly) : usia 60-74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) : usia 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) : usia > 90 tahun (WHO)
1. Perubahan Fisiologis
1. Sistem Kardiovaskular
Kemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan pertambahan usia di atas
40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan ini sering baru diketahui pada saat terjadi stres
anestesia dan pembedahan. Akibat proses penuaan pada sistem kardiovaskular, yang
tersering adalah hipertensi. Pada pasien manula hipertensi harus diturunkan secara
perlahanlahan sampai tekanan darah 140/90 mmHg. Pada manula, tekanan sistolik sama
pentingnya dengan tekanan diastolik. Tahanan pembuluh darah perifēr biasanya meningkat
akibat penebalan serat elastis dan peningkatan kolagen serta kalsium di arteri-arteri besar.
Kedua hal tersebut sering menurunkan isi cairan intra-vaskuler. Waktu sirkulasi
memanjang dari aktivitas baroreseptor menurun. Terjadi penurunan respon terhadap
rangsangan simpatis, dan kemampuan adaptasi serta autoregulasi menurun. Perubahan
pembuluh darah seperti di atas juga terjadi pada pembuluh koroner dengan derajat yang
bervariasi, disertai penebalan dinding ventrikel. sistem konduksi jantung juga dipengaruhi
oleh proses penuaan, sehingga sering terjadi LBBB, perlambatan konduksi intraventikular,
perubahan-perubahan segmen ST dan gelom bang T serta fibrilasi atrium. Semua hal di
atas mengakibatkan penurunan kemampuan respon sistem kardiovaskuler dalam
menghadapi stres. Pemulihan anestesi juga memanjang.
30
2. Sistem Pernafasan
Pada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru berkurang, kontraktilitas
dinding dada menurun, meningkatnya ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi,
sehingga mengganggu mekanisme ventilasi, dengan akibat menurunnya kapasitas vital
dan cadangan paru, meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan
terjadilah hipoksemia. Menurunnya respons terhadap hiperkapnia, sehingga dapat
terjadi gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary
berkurang, refleks laring dan faring juga menurun sehingga berisiko terjadi infeksi dan
kemungkinan aspirasi isi lambung lebih besar.
3. Sistem Ginjal
Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus (LFG)
menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Respons terhadap kekurangan
Na menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi. Kemampuan mengeluarkan garam
dan air berkurang, dapat terjadi overload cairan dan juga menyebabkan kadar
hiponatremia. Ambang rangsang glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak
dapat dipercaya. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot,
sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun. Perubahan-
perubahan di atas menurunkan kemampuan cadangan ginjal, sehingga manula tidak dapat
mentoleransi. kekurangan cairan dan kelebihan beban zat terlarut. Pasien-pasien ini lebih
mudah mengalami peningkatan kadar kalium dalam darahnya, apalagi bila diberikan
larutan garam kalium secara intra vena. Kemampuan untuk mengekskresi obat menurun
dan pasien manula ini lebih mudah jatuh ke dalam asidosis metabolik. Kemungkinan
trerjadi gagal ginjal juga meningkat.
4. Sistem Hati dan Lambung Usus
Pasien manula mungkin sekali lebih mudah mengalami cedera hati akibat obat-obat,
hipoksia dan transfusi darah. Terjadi pemanjangan waktu paruh obat-obat yang diekskresi
melalui hati. Akibat menurunnya fungsi persarafan sistem gastrointestinal, sfingter gastro–
31
esofageal tidak begitu baik lagi, disamping waktu pengosongan lambung yang memanjang
sehingga mudah terjadi regurgitasi.
5. Sistem Saraf Pusat
Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi kognitif, sensoris, motoris,
dan otonom. Kecepatan konduksi saraf sensoris berangsur menurun. Perfusi otak dan
konsumsi oksigen otak menurun. Berat otak menurun karena berkurangnya jumlah sel
neuron, terutama di korteks otak maupun otak kecil. Berat otak pada orang dewasa muda
rata-rata 1400 g, akan menurun menjadi 1150 g pada usia 80 tahun. Dikatakan, terdapat
korelasi positif antara berat otak dan harapan hidup. Terdapat juga penurunan fungsi
neurotransmiter. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan manula lebih mudah
dipengaruhi oleh efek samping obat terhadap sistem saraf. Dengan demikian konsentrasi
alveolar minimum dari anestetika menurun dengan bertambahnya usia.
6. Pada kulit
Terjadi reepitelisasi yang melambat dan juga vaskularisasi berkurang sehingga
penyembuhan luka lebih lama.
7. Muskuloskeletal
Kurangnya impuls dari upper motor neuron dan degenerasi neuromuscular junction
pengecilan & melemahnya otot. Pengapuran persendian tulang belakang
8. Thermoregulasi
Penurunan jumlah lemak di bawah kulit, Penurunan fungsi kelenjar keringat,
Penurunan kapiler sehingga pengaturan vasokontriksi dan vasodilatasi terganggu
32
2. Evaluasi Preoperatif
Secara umum, tujuan operasi pada lanjut usia antara lain: mengadakan pemulihan
lengkap atas status kesehatan yang terganggu, upaya untuk mengurangi dan menghilangkan
disabilitas, serta menunda kematian yang mengancam.
Morbiditas dan mortalitas operasi pada lansia secara umum disebabkan oleh:
a) Berbagai penyakit lain yang diderita bersama-sama dengan penyakit primernya.
b) Penyakit primer (penyakit yang memerlukan tindakan operatif) seringkali sudah dalam
keadaan lanjut.
c) Penyakit yang didapat bersama tersebut sering ikut meningkatkan risiko operasi:
1. Yang selalu terdapat pada lansia dalam berbagai derajat (misalnya: gangguan ginjal,
gangguan hati, dll.)
2. Yang tidak selalu terdapat, tetapi insidens meningkat pada lansia (misalnya: penyakit
jantung iskemik, PPOM, dll.)
3. Yang tidak berhubungan dengan usia tetapi konsekuensi pada lansia meningkat
(misalnya: anemia, dll.)
d) Status nutrisi
Status nutrisi dapat mempengaruuhi keberhasilan lansia dalam menahan stress akibat
operasi. Banyak lansia dengan penyakit kronis / akan operasi dalam keadaan malnutrisi.
Keadaan ini perlu diperbaiki dulu.
e) Masalah kesehatan mental
Dementia, biasanya tidak berespon baik terhadap instruksi dari petugas kesehatan,
sehingga penyembuhan akibat konfusio pasca operasi lebih sukar.
Depresi, menyebabkan keinginan hidup dan respon terhadap penyembuhan buruk.
1. Pemeriksaan Persiapan Operasi
Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisis
33
c. Pemeriksaan penunjang
d. Laboratorium: gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, darah perifer lengkap, hemostasis
dan urin.
e. Foto dada
f. Elektrokardiogram
g. Bila perlu ekokardiogram untuk melihat fungsi jantung
h. Spirometri untuk menilai fungsi paru
i. EEG bila perlu.
Pemeriksaan tambahan pada pasien geriatri adalah:
j. Activity Daily Living (ADL) scoring. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan derajat
kemandirian seorang usila.
Nilai ketergantungan pada bantuan:
0: tidak perlu/ mandiri
1: sedikit membutuhkan bantuan
2: banyak membutuhkan bantuan / ketergantungan penuh
No Aktivitas Ketergantungan
0 1 2
1 Makan 0 1 2
2 Mengenakan dan melepaskan pakaian 0 1 2
3 Menyisir rambut dan bercukur 0 1 2
4 Berjalan 0 1 2
5 Turun dan naik ke tempat tidur 0 1 2
6 Mandi 0 1 2
7 Ke kamar mandi (toileting) 0 1 2
34
8 Membutuhkan bantuan untuk belanja, mandi, pekerjaan
rumah dan / atau pergi keluar
0 1 2
9 Inkontinensia skor 0 : bila tidak pernah, skor 1 bila :
1-2x/minggu, skor 2 bila > 3 minggu
0 1 2
k. Pemeriksaan mental pasien. Disini dapat ditentukan tingkat kejernihan pikiran pasien,
apakah sudah menderita demensia ataupun pra- demensia.
l. Penilaian Pemeriksaan Organik
Setelah dilakukan pemeriksaan klinis dan ditambah dengan peme-riksaan penunjang tadi,
diagnosis dapat ditentukan demikian pula keadaan fungsional organ-organ dan
selanjutnya dapat ditentukan apakah layak operasi atau tidak.
Aspek Anestesi pada Pasien Usila
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada perioperative care pasien usila, adalah:
a. Rehidrasi, bila terjadi dehidrasi
b. Gangguan saluran cerna diatasi
c. Mengatasi sepsis
d. Mengatasi pendarahan (blood loss) bila ada
e. Mengatasi edem pada gagal jantung kongestif
Selain itu dalam rangka manajemen anestesi ada prinsip dasar yang juga harus diperhatikan
dalam penanganan pasien usila, yaitu
a. Dosis obat,
b. fisiologi setiap pasien,
c. hemodinamik,
d. hipotermia,
35
e. jenis anestesi,
f. monitoring,
g. gejala- tanda klinik dan outcome,
h. informed consent.
3. Anestesi
Jenis anestesi utama untuk operasi adalah general dan regional (termasuk spinal, lumbar,
caudal epidural, blok saraf regional dan infiltrasi local. Pemilihan jenis anestesi ini tergantung
pada usia penderita, ketepatan masalah bedah yang akan dilaksanakan, dan jenis pembedahan
yang akan dilakukan.
Aneatesi regional
Efek spesifik anestesi regional memberikan beberapa keuntungan.
1. anesesi regional mempengaruhi sistem koagulasi dengan cara mencegah
inhibisi fibrinolisis post operatif. Thrombosis vena dalam atau emboli paru
dapat terjadi pada 2,5% pasien setelah menjalani beberapa prosedur berisiko
tinggi. Pada revaskularisasi ekstremitas bawah, anestesi regional berhubungan
dengan penurunan insidens thrombosis graft bila dibandingkan dengan anestesi
umum.
2. efek hemodinamik anestesi regional mungkin berhubungan dengan lebih
sedikitnya jumlah darah yang hilang pada pembedahan pelvis dan ekstremitas
bawah.
3. anestesi regional tidak memerlukan instrumen alat bantu nafas dan pasien
dapat mempertahankan jalan nafas dan fungsi parunya sendiri. Data
menunjukkan bahwa pasien berusia lanjut lebih rentan terhadap episode
hipoksia selama dalam ruang pemulihan. Pasien dengan anestesi regional
mempunyai risiko hipoksemia yang lebih rendah. Komplikasi paru yang terjadi
pada anestesi regional juga lebih sedikit.
36
Anestesi spinal lebih dapat ditoleransi pada geriatri dari pada anestesi umum karena
dapat menurunkan resiko delirium dan konfusi postoperasi. Ruang arakhnoid dan
epidural menjadi lebih sempit dengan bertambahnya umur yang membuat penyebaran
obat analgetik lokal menjadi lebih besar atau luas, dengan hasil penyebaran obat
analgesi ke cephalad lebih banyak sehingga level analgesi lebih tinggi dengan dosis
sama dan tinggi badan yang sama. Dosis hendaknya dikurangi pada usia tua.
4. Perubahan Farmakologi Terkait Umur
Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh terganggunya ikatan protein plasma.
Albumin yang cenderung berikatan dengan obat yang bersifat asam (misalnya barbiturat,
benzodiazepin, agonis opioid), menurun. α1-asam glikoprotein, yang berikatan dengan
obat yang bersifat basa (misalnya, anestetik lokal), meningkat.
Perubahan farmakodinamik utama adalah penurunan kebutuhan anestetik, ditunjukkan
oleh MAC yang rendah. Titrasi hati-hati bahan anestetik mem- bantu menghindari efek
samping dan durasi yang panjang; bahan kerja singkat seperti propofol, desflurane,
fentanil, dan suksinilkolin sangat berguna pada pasien usia lanjut.
Obat-obat preoperatif pada dasarnya diberikan untuk menurunkan kecemasan/sekresi
mucus dan fasilitas induksi dan mempertahankan anestesi. Hal-hal yang perlu
diperhatikan, antara lain:
1. Pilih obat yang menyebabkan gangguan minimal terhadap sirkulasi dan depresi
respirasi.
2. Dosis diturunkan sampai 1/2 atau1/3 dosis anak muda dengan bentuk dan ukuran
tubuh sama.
5. Pertimbangan postoperatif
Operator dan anestesiologis harus memonitor keadaan lansia lebih cermat untuk mencegah
komplikasi pasca operatif:
37
Pemilihan obat anestesi harus hati-hati karena mungkin sudah terjadi penurunan sirkulasi
jantung dan organ vital lain yang mengakibatkan penderita lebih sensitif terhadap
hipoksemia dan hipovolemia.
Pemilihan posisi operasi yang tepat, pemasangan bantal-bantalan dll., sehingga
meminimalkan trauma operasi.
Pasien yang berisiko tinggi terhadap cairan antara lain pasien dengan status kognitif yang
terganggu (demensia atau depresi), status fungsional yang terganggu (imobilitas,
instabilitas,gangguan penglihatan), tak mampu minum obat, mengalami gangguan
kesehatan seperti diare atau panas (demam).
Monitoring seperti pada usia muda, tetapi lebih cermat, terutama temperature (lansia
lebih mudah hipotermia). Untuk mempertahankan temperature tubuh :
Semua cairan (darah / kristaloid) harus dihangatkan terlebih dahulu.
Mengupayakan temperature ruangan yang baik.
Menguayakan agar viscera tetap berada dalam rongga abdomen, atau kalau tidak,
dihangatkan dengan bantalan laparotomy.
Meminimalkan waktu operasi.
FRAKTUR
38
A. Anatomi
Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai
daerah pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa,
sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah pertumbuhan
memanjang tulang akan berhenti.Tulang panjang terdiri dari : epifisis, metafisis dan
diafisis. Epifisis merupakan bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan
bagian yang lebih lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan dengan diskus
epifisialis, sedangkan diafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk dari pusat
osifikasi primer. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung
sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal
tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan
keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan
suatu tulang yang patah.
39
Gambar. Tulang Panjang
B. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulangrawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan
tulang patah dapat berupa trauma langsung, trauma pada tulang bergantung pada jenis
trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang
kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah
tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai
luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
C. Klasifikasi
Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar
dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika kulit
diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka
disebut fraktur terbuka. Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan
oleh berat ringannya luka dan berta ringannya patah tulang.
40
Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis distal tibia
dibagimenjadi lima tipe :
Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih utuh.
Tipe 2 : Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama sekali
darimetafisis.
Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi
Tipe 4 : Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram epifisis
Tipe 5 : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian
darisebagian cakram tersebut.
Menurut Penyebab terjadinya.
Faktur Traumatik : direct atau indirect
Fraktur Fatik atau Stress
41
Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan
Fraktur patologis : biasanya terjadi secara spontan
Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya
Fraktur Simple : fraktur tertutup
Fraktur Terbuka : bone expose
Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera
Menurut Mansjoer (2000 : 346-347) dan menurut Appley Solomon (1995 : 238-239) fraktur diklasifikasikan
menjadi :
1. Berdasarkan garis patah tulang.
a. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok.
b. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.
c. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
d. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tulang
42
2. Berdasarkan bentuk patah tulang
a. Complet, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen
tulang biasanya tergeser.
b. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.
c. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang
lain.
d. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
e. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian.
f. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
g. Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari
tempatyang patah.
h. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang
normal.i. Fraktur
i. Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang terlihat
43
D. Etiologi
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma
tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya
fraktur
Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah
dankekuatan trauma.
Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan,dan densitas tulang.
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal
dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan
penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan
kerusakan jaringan lunak yang lebih luas.
44
Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma
dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan,
penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang
disebabkan olehkarena trauma yang berulang.Selain trauma, adanya proses patologi
pada tulang seperti. tumor atau pada penyakitPaget dengan energi yang minimal saja
akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orangnormal hal tersebut belum tentu
menimbulkan fraktur.
E. Patofisiologi
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang mempunyai
keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Fraktur yang terjadi dapat berupa
fraktur tertutup ataupun fraktur terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan
lunak disekitarnya sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai kerusakan jarigan
lunak seperti otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah.Tekanan yang kuat atau
berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka karena dapatmenyebabkan fragmen
tulang keluar menembus kulit sehingga akan menjadikan luka terbukadan akan
menyebabkan peradangan dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi. Keluarnya darah
dari luka terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Tertariknya segmen tulang
disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur menyebabkandisposisi pada
tulang, sebab tulang berada pada posisi yang kaku.
F. Manifestasi Klinis
Menurut Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :
45
1. Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen
tulang tidak bisa digerakkan.
2. Gangguan fungsi .Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan
cenderungmenunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara
teratur karenafungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang mana tulang tersebut
saling berdekatan.
3. Deformitas/kelainan bentuk Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh
deformitas tulang yang diketahui ketikadibandingkan dengan daerah yang tidak
luka.
4. PemendekanPada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada
ekstremitas yangdisebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah lokasi
fraktur.
5. Krepitasi Suara detik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur
digerakkan.
6. Bengkak dan perubahan warnaHal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan
yang mengikuti fraktur.
G. Diagnosis
Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian)
dankejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau
46
fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi,
merokok,riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
Pemeriksaan Fisik
a. inspeksi / Look
Deformitas : angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengkak
Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo
b. Palpasi / Feel ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi). Status neurologis dan
vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi padadaerah
ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah
cedera,daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi .
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit,
pengembaliancairan kapler (Capillary refill test) sensasi
c. Gerakan / Moving. Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi
yang berdekatan dengan lokasi fraktur.
d. Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut
protokolATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan
circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat
disingkirkan dengan pemeriksaanklinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka
dilakukan secondary survey.
Pemeriksaan Penunjang
47
Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test,
dan urinalisa.
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :
I 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
II Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
III Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang
tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum tindakan
dansesudah tindakan.
Pergeseran fragmen Tulang ada 4 :
1. Alignment : perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut
2. Panjang : dapat terjadi pemendekan (shortening)
3. Aposisi : hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya
4. Rotasi : terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal
H. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition berupa diagnosis
dan penilaian fraktur, reduction, retention dengan imobilisasi, dan rehabilitation
yaitumengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkinPenatalaksanaan awal
fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint. Statusneurologis dan
vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan
imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasiawal
fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan
48
penatalaksanaandefinitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi
dengan ORIF maupun OREF.
Pengobatan fraktur :
a) REKOGNISI
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah
mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan
deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
b) REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Tehnik reposisi
terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau traksi kulit dan skeletal.Cara lain yaitu dengan reposisi terbuka yang
dilakukan pada pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen bergeser,
mobilisasi dini,fraktur multiple, dan fraktur patologis.
c) IMOBILISASI/ FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post
reposisisampai Union.Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening),
fraktur unstabel serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar.
Jenis Fiksasi :
Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
Gips ( plester cast)
Traksi
49
Jenis traksi :
Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus
Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan kembali
ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas
Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin
Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur,
lutut), padatibia atau kalkaneus ( fraktur kruris). Adapun komplikasi yang dapat terjadi
pada pemasangantraksi yaitu gangguan sirkulasi darah pada beban > 12 kg, trauma saraf
peroneus (kruris) ,sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin
50
Indikasi OREF :
Fraktur terbuka derajatIII
Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
fraktur dengan gangguan neurovaskuler
Fraktur Kominutif
Fraktur Pelvis
Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
Non Union
Trauma multiple
Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail. Keuntungan cara ini adalah reposisi
anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misalnya fraktur
talusdan fraktur collum femur.
Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulse dan fraktur dislokasi.
Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur
Monteggia,fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.
51
Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan
operasi,misalnya : fraktur femur.
d). REHABILITASI
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara
melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien.
Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah.
I. Proses Penyembuhan Tulang
a. Stadium Pembentukan Hematoma
Hematoma terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang rusak, hematoma
dibungkus jaringan lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 – 2 x 24 jam.
52
b. Stadium Proliferasi
Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periostcum, disekitar lokasi fraktur sel-sel ini
menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang. Proliferasi juga
terjadi dijaringan sumsum tulang, terjadi setelah hari kedua kecelakaan terjadi.
c. Stadium Pembentukan Kallus
Osteoblast membentuk tulang lunak / kallus memberikan regiditas pada fraktur, massa
kalus terlihat pada x-ray yang menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 – 10
hari setelah kecelakaan terjadi.
d. Stadium Konsolidasi
Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur teraba telah menyatu, secara
bertahap-tahap menjadi tulang matur. Terjadi pada minggu ke 3 – 10 setelah kecelakaan.
e. Stadium Remodelling
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada kondisi lokasi eks fraktur. Tulang
yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan
J. Komplikasi
Komplikasi fraktur dapat dibagi menjadi :
a. Komplikasi Dini
1) Nekrosis kulit
2) Osteomielitis
3) Kompartement sindrom
53
4) Emboli lemak
5) Tetanus
b. Komplikasi Lanjut
1) Kelakuan sendi
2) Penyembuhan fraktur yang abnormal : delayed union, mal union dan non union.
3) Osteomielitis kronis
4) Osteoporosis pasca trauma
5) Ruptur tendon
DAFTAR PUSTAKA
Hyderally H. Complications of Spinal Anesthesia. The Mountsinai Journal of Medicine. Jan-Mar
2002.
Katz J, Aidinis SJ. Complications of Spinal and Epidural Anesthesia. J Bone Joint Surg Am.
2010; 62: 1219-1222.
Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiology, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 2009; 107-112.
54
Manjoer, Arif. Dkk. Anestesi Spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261-264.
2000. Jakarta.
Dobridnjov, I., etc. Clonidine Combined With Small-Dose Bupivacaine During Spinal
Anesthesia For Inguinal herniorhapy: A Randomized Double-Blind Study. Anesth Analg
2003;96:1496-1503.
Syarif, Amir. Et al. Kokain dan anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 5
hal. 259-272. 2007. Gaya Baru, Jakarta.
http://makalahcentre.blogspot.com/2010/11/makalah-fraktur.html
Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kumpulan Kuliah Ilmu
Bedah. Jkarta: Binarupa aksara.1995
Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-@ . Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2004