Download - Spondilitis Tb
REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA PARAPLEGIA ET CAUSA
SPONDILITIS TUBERKULOSA
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang tertulis dalam
kepustakaan Sanskrit kuno. Nama “tuberculosis” berasal dari kata tuberculum yang berarti
benjolan kecil yang merupakan gambaran patologik khas pada penyakit ini 1.
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa selalu
merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh 2,3. Tulang belakang lebih
sering terkena dibandingkan dengan sendi tunggal lainnya 2,4. Kemudian sendi panggul, lutut,
dan tulang-tulang kaki, tulang-tulang lengan dan tangan jarang 4. Sarang primernya biasanya
adalah di dalam paru. Percival Pott (1793) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang
yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga penyakit Pott 3,4,6. Etiologinya baru menjadi
jelas setelah dalam tahun 1882 Robert Koch menemukan basil mikobakterium tuberkulosis.
Penyakit ini juga dinamai Morbus Potti 5.
Spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis
destruktif 2,3,7. Basil ini sampai di dalam tulang belakang melalui penyebaran hematogen dan
menyerang satu atau lebih korpus vertebra yang mengakibatkan destruksi tulang dan menyebar
ke semua jaringan artikulasi. Lokalisasi paling sering ditemukan pada regio torakolumbal dan
jarang sekali pada regio servikal 2,8,9.
Penyakit ini merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma dan banyak
dijumpai di negara belum berkembang 10. Paraplegia dapat disebabkan oleh faktor yang tidak
dapat disembuhkan seperti penekanan atau penarikan oleh gibus yang lama dan faktor yang
dapat disembuhkan seperti penekanan oleh pus, massa kaseosa, sekuester 11.
Penanganan medis pada penderita spondilitis tuberkulosa dengan komplikasi paraplegia
melibatkan tim medis yang terdiri dari ahli saraf, ahli bedah saraf, ahli bedah ortopedi, ahli
penyakit dalam, psikiater, dan dokter rehabilitasi medik. Sedangkan tim rehabilitasi medik
selain dokter juga terdiri dari fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, psikolog, pekerja
sosial medik, dan perawat rehabilitasi medik 12.
BAB II
SPONDILITIS TUBERKULOSA
1. Epidemiologi
Saat ini di seluruh dunia telah terdapat 9 juta kasus terinfeksi tuberkulosis dan 3 juta kasus
meninggal setiap tahunnya. Umumnya menyerang golongan usia produktif kerja dan golongan
sosial ekonomi tidak mampu (miskin), sehingga berdampak pada pemberdayaan sumber daya
manusia yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi negara 13.
Di negara yang sedang berkembang, spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang
sering dijumpai pada anak-anak maupun orang dewasa. Di Inggris, penyakit ini biasanya
menyerang usia pertengahan dan sering dijumpai pada populasi imigran 14.
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang
terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dan juga
Sanmuga-sundarm menemukan persentase yang sama dari seluruh tuberkulosis tulang dan
sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2 – 10 tahun dengan
perbandingan yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan 3.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3, dan paling jarang pada
vertebra C1-2. Biasanya mengenai korpus vertebra dan jarang menyerang arkus vertebra 15.
2. Etiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di
tubuh, 90 – 95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan
1/3 dari tipe bovin) dan 5 – 10% oleh mikobakterium tuberkulosis atipik 3,6.
3. Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Berdasarkan tempat
berawalnya infeksi, spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk 15:
- Bentuk sentral, dimana destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk ini
sering ditemukan pada anak.
- Bentuk paradiskus, destruksi awal terletak di bagian korpus vertebra yang bersebelahan
dengan diskus intervertebral. Bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.
- Bentuk anterior, dengan lokus awal di korpus vertebra anterior, merupakan penjalaran
per kontinuitatum dari vertebra di atasnya.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan
korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra
sekitarnya. Kerusakan di bagian depan ini akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Selanjutnya eksudat yang terdiri dari serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta
basil tuberkulosis menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini
dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen
yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat berkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar
ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke
depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat
berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau kavum pleura.
Abses pada daerah vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat
menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada
daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia 2,3,16.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul
di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke
daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum
skarpei atau regio glutea.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu 3:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Keadaan
ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 2 – 3 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh
komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat 1 : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau
setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat 2 : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
Derajat 3 : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas
penderita serta hipoestesia/anestesia.
Derajat 4 : Terdapat gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan
miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari
abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena
tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan
dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
Derajat 1 – 3 disebut sebagai paraparesis dan derajat 4 disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis
atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.
4. Gambaran klinis 2,3,4,10,16
Secara klinis gejala spondilitis tuberkulosa hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada
umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit
meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta nyeri punggung. Nyeri yang meningkat
saat malam hari makin lama makin berat terutama pada pergerakan. Pada anak-anak sering
disertai dengan berteriak sewaktu tidur nyenyak pada malam hari (night cries).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala,
gangguan menelan, dan gangguan pernafasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala
penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea,
atau bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang dengan gejala –
gejala paraparesis, paraplegia, gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.
Keluhan dan tanda-tanda kompresi pada medula spinalis terjadi pada kira-kira 20% kasus.
Onset dapat timbul bertahap seiring dengan terkumpulnya pus, massa kaseosa, atau jaringan
granulasi, tetapi dapat juga timbul secara tiba-tiba bila terjadi kolaps korpus vertebra dan
menimbulkan kifosis.
Gbr 2. Tuberkulosis tulang belakang – paraplegi. Pada paraplegi Pott, korda dapat tertekan oleh suatu abses (a) dapat disembuhkan dengan terapi konservatif yang efektif atau (b)oleh tonjolan tulang yang keras, memerlukan operasi (dikutip dari Apley)
Gejala awal paraplegia dimulai dengan keluhan kaki terasa kaku atau lemah, atau
penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dengan penurunan daya kontraksi otot
tungkai dan peningkatan tonusnya. Kemudian terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya
kontraktur. Pada permulaan, paraplegia terjadi karena udem sekitar abses paraspinal tetapi
akhirnya karena kompresi. Karena tekanan timbul terutama dari depan, maka gangguan pada
paraplegi ini kebanyakan terbatas pada traktus motorik. Paraplegia kebanyakan ditemukan di
daerah torakal dan bukan lumbal. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai
kecuali bila bagian posterior tulang juga ikut terlibat.
Gbr 3. a. Gibus ini kecil, tapi diagnostik ; b. Gibus menjadi parah ; c. Abses lumbal yang besar.d. Uji uang logam : membengkokkan pinggul dan lutut, bukan punggungnya.(dikutip dari Apley)
Tanda-tanda lokal yang dapat diperiksa pada tahap aktif adalah 9:
1. Inspeksi. Suatu tanda khas pada vertebra torakal adalah gibus yang menyudut, paling
jelas dilihat dari lateral. Pada kasus lanjut, pasien menjadi kifosis. Pada tulang belakang
lumbal, gibus hampir tidak kelihatan tetapi mungkin terlihat jelas abses di pinggang atau lipat
paha. Kalau vertebra servikal terpengaruh, leher dapat menjadi kaku.
2. Palpasi. Jari – jari dapat mendeteksi gibus, walaupun ringan, yaitu dengan tangan
menyusuri prosesus spinosus. Abses berfluktuasi dan kulit di atasnya hanya sedikit hangat.
3. Pergerakan. Pergerakan yang berkurang tak dapat dideteksi di daerah toraks tetapi
mudah diamati pada daerah lumbal. Punggung harus diperhatikan dengan teliti sementara
gerakan dinilai. Biasanya seluruh gerakan terbatas dan usaha itu menimbulkan spasme otot. Uji
uang logam dapat menilai, seorang anak dengan spasme lumbal, bila mengambil uang dari
lantai cenderung membengkokkan pinggul dan lutut bukannya membungkukkan tulang
belakang. Kaki juga harus diperiksa untuk menemukan defisit neurologik, yang mungkin
masih sangat sedikit.
Pada tahap penyembuhan, rasa sakit menghilang dan pasien sehat lagi, meskipun ia
mungkin menderita deformitas permanen dan risiko berulangnya infeksi.
5. Pemeriksaan Laboratorium 3
a. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis.
b. Uji Mantoux positif
c. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel.
6. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru 3.
Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik, dan destruksi korpus vertebra,
disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin
dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral 3,6.
Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s
nest), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk
fusiform 3,5,17. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.
Pemeriksaan foto dengan zat kontras. Pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat
gejala penekanan sumsum tulang.
Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi.
Pemeriksaan MRI.
7. Diagnosis
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapi pemeriksaan, maka dibuat suatu standar
pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu 3:
a. Pemeriksaan klinis dan neurologis yang lengkap.
b. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral.
c. Foto polos toraks posisi PA.
d. Uji Mantoux.
e. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa.
8. Diagnosis Banding 15
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa adalah fraktur kompresi traumatik atau akibat
tumor. Tumor yang sering di vertebra adalah tumor metastatik dan granuloma eosinofilik.
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa.
osteitis piogen lebih cepat timbul demam
poliomielitis paresis/paralisis tungkai, skoliosis dan bukan kifosis
skoliosis idiopatik tanpa gibus dan tanpa paralisis
penyakit paru dengan (bekas) empiema tulang belakang bebas penyakit
metastasis tulang belakang tidak mengenai diskus, adakah karsinoma prostat
kifosis senilis kifosis tidak lokal, osteoporosis seluruh kerangka
Diagnosis banding yang lain adalah infeksi kronik non tuberkulosis antara lain infeksi
jamur seperti blastomikosis dan setiap proses yang mengakibatkan kifosis dengan atau tanpa
skoliosis.
9. Komplikasi Neurologi 16,17
Insiden terjadinya komplikasi neurologi 10% - 30%. Komplikasi yang paling ditakuti
adalah paraplegia yang terjadi oleh karena spondilitis tuberkulosa daerah torakal, dan tetraplegi
karena spondilitis tuberkulosa daerah servikal (sangat jarang terjadi).
Paraplegia diklasifikasikan dalam 2 kelompok:
a. Paraplegia yang mulainya dini, terjadi dalam 2 tahun pertama penyakit. Paraplegia
terjadi oleh karena inflamasi udem jaringan granulasi abses kaseosa (pengkijuan) atau iskemi
medula spinalis (jarang).
b. Paraplegia yang mulainya lambat, terjadi >2 tahun setelah infeksi vertebra. Komplikasi
neurologi akibat kambuhnya penyakit atau tekanan mekanik pada medula spinalis. Kompresi
akibat jaringan kaseosa tuberkulosa, puing-puing tuberkular, sekuestra dari korpus vertebra
dan diskus, internal gibus, stenosis kanal vertebra atau deformitas berat.
Tanda paling awal dari kompresi medula spinalis berupa klonus diikuti tanda babinski
positif, perubahan refleks, refleks meningkat dan gangguan sensorik dan motorik.
10. Pengobatan 3,4,10
Pengobatan terdiri dari :
A. Terapi konservatif, berupa :
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
c. Pemasangan brace, baik yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi.
d. Pemberian obat antituberkulosa.
Obat-obatan yang diberikan terdiri dari :
* INH, dosis 10 - 20 mg/kg BB/hari
* Streptomicin, dosis 20 – 50 mg/kg BB/hari.
* Rifampicin, dosis 10 – 20 mg/kg BB/hari.
* Pirazinamid, dosis 25 – 35 mg/kg BB/hari
* Ethambutol, dosis 20 mg/kg BB/hari
* Para Amino Salisilat, dosis 250 – 300 mg/kg BB/hari, 2 – 3x/hari
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila :
Keadaan umum penderita bertambah baik
Laju endap darah menurun dan menetap
Gejala – gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.
B. Rehabilitasi Medik : akan dibahas lebih lanjut di bab berikut.
C. Terapi operatif.
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita
spondilitis tuberkulosa, namun tidakan operatif masih memegang peranan penting dalam
beberapa hal, yaitu bila terdapat abses dingin, lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
Untuk menghindari komplikasi timbulnya tuberkulosis milier sesudah atau selama
pembedahan, masa prabedah perlu diberikan antituberkulosis selama satu sampai dua
minggu.
Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia yaitu :
- Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata.
- Laminektomi
- Kostotransversektomi, yaitu berupa debridemen dan penggantian korpus vertebra yang rusak
dengan tulang spongiosa atau kortiko-spongiosa. Tulang ini sekaligus berfungsi menjembatani
vertebra yang sehat, di atas dan di bawah yang terkena tuberkulosis. Pada paraplegia terapi ini
dilakukan untuk dekompresi medula spinalis. Keuntungan tindakan bedah yaitu dapat
menentukan diagnosis dengan pemeriksaan mikrobiologik dan patologi serta mengintensifkan
terapi medik 15.
- Operasi radikal
- Osteotomi.
Indikasi operasi :
1. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegi atau malah semakin berat.
2. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka sekaligus
debridement serta bone graft.
3. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi, maupun pemeriksaan CT
dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula spinalis.
11. Prognosis 18
Prognosis untuk pemulihan fungsi medula spinalis tergantung pada beberapa faktor :
Medula spinalis Prognosa baik Prognosa relatif jelek
Derajat parsial komplit (tingkat IV)
Durasi pendek panjang (>12 bulan)
Tipe mulainya lebih awal mulainya terlambat
Kecepatan lambat cepat
Umur muda lebih tua
Keadaan Umum baik jelek
Penyakit vertebra aktif telah sembuh
Deformitas kifosis <60˚ >60˚
BAB III
REHABILITASI MEDIK
Rehabilitasi menurut WHO adalah semua upaya yang bertujuan untuk mengurangi
dampak dari semua keadaan yang menimbulkan disabilitas dan handicap, agar memungkinkan
penyandang cacat untuk berpartisipasi secara aktif dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Adapun tujuan rehabilitasi yaitu meniadakan keadaan cacat bila mungkin, mengurangi
keadaan cacat sebanyak mungkin, melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat
hidup dan bekerja dengan apa yang tinggal padanya. Untuk mencapai tujuan ini dan
mendapatkan hasil yang efektif dan efisien, usaha-usaha personil yang terlatih tersebut
dikoordinir dalam suatu panduan yang dikenal dengan tim rehabilitasi.
Tim rehabilitasi terdiri dari 19:
1. Dokter
Merupakan ketua tim, melakukan pemeriksaan umum, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium yang dianggap perlu, menentukan diagnosa, membuat program rehabilitasi medik
dan melakukan konsultasi ke dokter spesialis lain yang dianggap perlu.
2. Fisioterapis
Ahli yang memiliki ilmu dan seni pengobatan fisik dengan perantaraan unsur-unsur
alamiah (panas, dingin, air, arus listrik, pemijatan, dan latihan).
3. Okupasi terapi.
Ahli yang memiliki ilmu dan seni yang mengarahkan respon seseorang pada aktivitas
tertentu untuk memperbaiki dan mempertahankan kesehatan, mencegah cacat, mengevaluasi
kekakuan dan melatih penderita dengan disfungsi fisik.
4. Ortotis prostetis.
Ortotis adalah ahli yang memiliki ilmu yang berhubungan dengan aplikasi alat-alat
eksoskelet untuk membantu dan membatasi gerak, sedangkan prostetis adalah ahli yang
memiliki ilmu yang berhubungan dengan aplikasi alat-alat gerak artifisial pada tubuh untuk
menggantikan sebagian atau seluruh alat tubuh yang hilang.
5. Terapis wicara.
Ahli yang membantu penderita dengan gangguan komunikasi, baik berupa disartria, gagap
atau afasia.
6. Psikolog
Melakukan psikoanalisis, memberi dukungan mental dan motivasi kepada penderita agar
membantu melaksanakan program rehabilitasi yang telah direncanakan, juga melakukan tes IQ
dan psikotes lainnya.
7. Pekerja sosial medik.
Mengadakan evaluasi sosial, keadaan rumah, pekerjaan, pendidikan, keadaan ekonomi,
penyesuaian diri dengan masyarakat.
8. Perawat rehabilitasi medik.
Melaksanakan perawatan dan evaluasi tentang perawatan yang diperlukan bagi penderita.
Spondilitis tuberkulosis merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma dimana
pada awalnya dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian
diikuti paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiperrefleksia, dan
refleks Babinski bilateral. Pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sampai
gangguan klinis muncul terutama gangguan motorik, gangguan sensorik pada stadium awal
sangat jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat.
Ditinjau dari segi rehabilitasi medik, maka penanganan terhadap paraplegia yang
merupakan salah satu komplikasi spondilitis tuberkulosa adalah :
A. Fisioterapi
a. Latihan pernafasan 20
Tujuan latihan pernafasan adalah untuk :
- Mencegah hipostatik pneumoni
- Mencegah atelektasis dan fibrosis paru
- Meningkatkan volume paru
- Membersihkan sekresi paru
b. Koreksi posisi tidur (proper bed positioning / alih baring tiap 2 jam) 21
Penderita dengan kondisi tirah baring sangat penting untuk dilakukan koreksi posisi tidur
dengan tujuan :
- Mempertahankan posisi koreksi tulang belakang
- Mencegah ulkus dekubitus
- Mencegah kontraktur
- Mencegah timbulnya spastisitas yang berlebihan.
c. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) 22,23,24
Pemberian TENS bertujuan untuk mengurangi nyeri, baik yang akut maupun kronis.
Cara kerja TENS antara lain berdasarkan gate control mechanism dari Melzack dan Wall
pada frekwensi tinggi intensitas rendah, dan merangsang pengeluaran endorfin dan opiat
endogen pada frekwensi rendah intensitas tinggi.
d. Pemanasan 22,25,26,27
Terapi panas yang dapat diberikan berupa pemanasan superfisial berupa infra red, dengan
tujuan untuk :
- Meningkatkan aliran darah superfisial
- Relaksasi kekakuan otot superfisial
- Mengurangi nyeri.
e. Stimulasi listrik 24,25,26,27
Tujuan pemberian stimulasi listrik adalah menstimulasi otot untuk mencegah terjadinya
atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah setelah
proses regenerasi saraf selesai.
Galvanisasi
- Arus galvan merupakan arus searah
- Dapat diberikan pada otot yang denervasi
Tujuan pemberian galvanisasi adalah untuk menimbulkan kontraksi otot, sehingga
berguna untuk :
* Menguatkan dan mempertahankan kekuatan otot
* Memperbaiki vaskularisasi
* Memperlambat terjadinya atrofi
* Menguji adanya reinervasi pada otot
* Mencegah kontraktur.
Faradisasi
- Arus faradik merupakan arus bolak balik
- Faradisasi diberikan pada otot yang suplai sarafnya masih intact
Tujuan pemberian faradisasi adalah untuk :
Menstimulasi otot
Reedukasi dari aksi otot
Melatih fungsi otot baru
Meningkatkan sirkulasi
Mencegah/meregangkan perlengketan.
f. Latihan lingkup gerak sendi /Range of Motion exercise 20
Pada penderita dengan paraplegia, diberikan latihan lingkup gerak sendi pasif untuk kedua
anggota gerak bawah.
Latihan ini bertujuan untuk :
- Merangsang sirkulasi darah.
- Mempertahankan LGS sendi yang penuh.
- Mempertahankan elastisitas otot-otot dan jaringan lunak.
- Mencegah atrofi otot.
Latihan ini dapat diberikan pada anggota tubuh yang lumpuh 2 kali sehari, 10 menit setiap
anggota gerak. Gerakan dimulai dari sendi yang proksimal ke distal termasuk sendi metatarsal.
Gerakan dilakukan berirama dan pelan-pelan untuk mencegah cedera sendi.
Untuk mempertahankan dan kalau perlu meningkatkan kekuatan ekstremitas atas, dapat
diberikan latihan penguatan (strengthening exercise) untuk persiapan latihan transfer dan
ambulasi.
g. Bladder dan bowel training 21,18.
Pada lesi di atas T10-11 refleks kandung kemih masih ada. Berkemih terjadi apabila
kandung kemih terasa penuh, maka otot detrusor akan berkontraksi dan sphincter akan
relaksasi. Refleks detrusor bisa dirangsang dengan menepuk-nepuk paha sebelah dalam,
tapping yang ritmis pada daerah di atas simfisis pubis atau dengan menarik rambut pubes.
Perangsangan ini dilakukan setiap 2 atau 3 jam sekali dan penderita dianjurkan untuk minum 8
gelas sehari.
Pada lesi LMN, refleks kandung kemih tidak ada sehingga perlu dilakukan penekanan
dengan tangan pada daerah supra pubik/metoda Crede dan kontraksi otot abdomen untuk
meningkatkan tekanan intra abdomen. Kateterisasi yang dianjurkan adalah kateterisasi berkala.
Untuk bowel training, penderita dianjurkan diet makanan berserat, minum yang cukup,
selama 3 hari berturut-turut diberikan pada malam hari bisacodyl 2 tablet oral, keesokan
paginya diberikan bisacodyl supositoria ½ jam setelah sarapan, 5 menit kemudian dilakukan
stimulasi rektal dan evakuasi feses secara manual. Mulai hari ke 4, lakukan stimulasi rektal dan
evekuasi feses secara manual jika perlu, setiap ½ jam setelah sarapan.
h. Latihan mobilisasi, transfer dan ambulasi 21,28.
Untuk membantu penderita latihan sendiri serta untuk merubah posisinya di tempat tidur,
dapat diberikan overhead trapeze bar atau kalau tidak ada, diberikan semacam kain yang cukup
kuat, difiksasi di sebelah kaudal penderita. Tali kain ini dapat menjadi pegangan penderita
sewaktu mengangkat tubuhnya.
Latihan pindah/transfer dimulai dari tempat tidur ke kursi roda dan sebaliknya, kemudian
dilanjutkan kegiatan-kegiatan lain sesuai kondisinya. Pada tahap ini penderita melakukan
defekasi pada bed side commode atau di kloset duduk. Bagi penderita yang fasilitas WC-nya
tanpa kloset duduk, dikenalkan model dari kursi kayu atau besi yang dilubangi di tengahnya
dan diberi penampung kotoran.
Jika kapasitas ambulasi ada, maka latihan jalan dimulai pertama di paralel bar, kemudian
dengan walker dan selanjutnya dengan tongkat ketiak/ crutches di samping latihan dengan
kursi roda.
B. Okupasi Terapi 29
Terapi okupasi bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dalam melaksanakan aktivitas
kehidupan sehari-hari (AKS) yang salah satunya dapat dinilai dengan index Barthel. Okupasi
terapis melakukan evaluasi dan modifikasi AKS serta menyelenggarakan latihan-latihan
dengan aktivitas atau permainan.
C. Ortotik Prostetik 30,31
Pemberian ortose bervariasi tergantung pada tingkat lesi. Penderita paraplegia
memerlukan imobilisasi dengan menggunakan spinal ortose untuk membatasi pergerakan
tulang belakang, mengontrol nyeri dan agar destruksi tidak bertambah serta memakai ortosis
ekstremitas inferior agar dapat ambulasi.
Tujuan pemberian ortose spinal :
Kontrol nyeri dengan mengurangi pergerakan dan menghilangkan beban pada struktur
spinal.
Proteksi struktur pasca trauma atau setelah fusi tulang belakang.
Stabilisasi / koreksi deformitas dengan aplikasi kekuatan dari luar.
Untuk ekstremitas inferior digunakan long leg brace (KAFO) yang biasanya digunakan
untuk penderita paraparesis atau paraplegia. Selain itu dapat juga digunakan alat bantu
ambulasi lain seperti cane, crutches, walker, atau kursi roda (wheelchair).
D. Psikologi 32
Semua jenis keadaan sakit akan menimbulkan problem emosional bagi penderitanya
karena umumnya mereka akan menjadi lebih labil emosinya. Hal ini akan mempengaruhi
proses penyembuhannya karena keadaan jasmani sangat erat hubungannya dengan keadaan
psikis seseorang.
Adanya gangguan emosional yang datang dari luar atau sikap orang lain terhadap
penderita akan mempengaruhi mentalnya, ditambah dengan adanya ketakutan terhadap
penyakitnya, hal ini akan menjadi beban tambahan bagi penderita. Oleh karena itu, melalui
psikologi diusahakan untuk membantu menyembuhkan jasmani yang sakit.
E. Sosial Medik 12
Penderita paraplegi pada umumnya mempunyai masalah emosional dan sosial akibat dari
disabilitas fisiknya. Setiap pasien harus dievaluasi sedini mungkin oleh pekerja sosial medik.
Setiap anggota keluarga juga harus diwawancarai pada saat permulaan dan akhir program
rehabilitasi untuk persiapan penderita saat di rumah nantinya. Selain itu, sering diperlukan
konsultasi di bidang vokasional sehubungan dengan jenis pekerjaan yang sesuai dengan
keterbatasan fisik penderita.
Pada saat penderita semakin mandiri dalam melakukan AKS, maka penekanan semakin
ditujukan pada uji vokasional, konseling, training, perencanaan akhir berdasarkan keinginan
penderita, kecerdasan, dan kesempatan bekerja yang tersedia dalam masyarakat.
BAB IV
RINGKASAN
Spondilitis tuberkulosa selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam
tubuh. Penyakit ini merupakan penyebab paraplegi terbanyak setelah trauma dan banyak
dijumpai di negara belum berkembang. Tulang belakang lebih sering terkena dibandingkan
dengan sendi tunggal lainnya. Lokalisasi paling sering ditemukan pada regio torakolumbal dan
jarang sekali pada regio servikal.
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
neurologis yang lengkap, foto toraks dan vertebra, uji Mantoux, biakan sputum dan pus untuk
menemukan basil tuberkulosa. Dan terapi yang diberikan berupa tirah baring, pemberian obat
anti tuberkulosa, program rehabilitasi medik, dan operasi.
Rehabilitasi medik pada penderita paraplegia akibat spondilitis tuberkulosa sangat
diperlukan untuk mencegah komplikasi yang mungkin timbul, membentu penderita agar dapat
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri, memungkinkan mobilisasi, transfer
dan ambulasi serta stabilisasi tulang belakang agar penyakit tidak bertambah parah.
Daftar Pustaka
1. Karnadihardja W, Puruhito MAD. Infeksi d Inflamasi ( Umum dan Khusus ). Dalam :
Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC, 1997 : 3 –
70.
2. Powell M. Orthopaedic Nursing and Rehabilitation; 9th ed. Avon : ELBS, 1986 : 360 –
74.
3. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 2. Ujung Pandang : Bintang
Lamumpatue, 2003 : 132 – 54.
4. Sukarna IP. Spondilitis Tuberkulosa ( Pott`s disease ). Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak. 1982 ; 5 : 19 – 23.
5. Ngoerah I.Gst.Ng.Gd. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya : Airlangga
University Press, 1991 : 282 – 5.
6. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculosceletal System. 2nd ed.
London : Williams & Wilkins, 1983 : 187 – 9.
7. Hughes TJ. Neuropathology of the Spinal Cord. In : Woolsey RM, Young RR.
Neurologic Clinic Disorders of the Spinal Cord. Philadelphia : WB Saunders, 1991 ;
551 – 61.
8. Nelson WE. Textbook of paediatrics. 25th ed. Philadelphia : WB Saunders, 1983 : 1626
– 27.
9. Apley G, Solomon L. Apley`s System of Orthopaedics And Fractures. 8th ed. New York
: Oxford University Press Inc, 2001 : 27 – 49.
10. Hadinoto S. Spondiltis tuberkulosa. Dalam : Harsono DSS, Kapita selekta neurologi,
edisi ke 2. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1996 : 195 – 8.
11. Djojosugito MA, Roshadi Dan, Reksoprodjo S. Pott`s paraplegia. Dalam : kumpulan
naskah simposium aspek klinik penyakit tuberkulosa. Bandung, 28 Maret 1981.
12. Rusk HA. Rehabilitation of the patient with paraplegia or quadriplegia. Dalam : Taylor
EJ, editor. Rehabilitation medicine. New York, University medical Centre, 1971 : 498 –
530.
13. Rahajoe NN. Tuberkulosis pada anak. Dalam : Simposium respirologi anak masa kini.
Bandung, 11 – 12 Desember 1998.
14. Lindsay KW, Bone I, Callander R. Localised Neurological Disease and Its
Management B. Spinal Cord and Roots. In : Neurology and Neurosurgery Illustrated.
2nd ed. Hongkong : Churchill Livingstone, 1991 : 374 – 410.
15. Sjamsuhidajat R, Ahmadsyah I, Hutagalung EU. Sistem muskuloskeletal. Dalam :
Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC, 1997 : 1124
– 86.
16. Grossman M. Tuberculosis. In : Rudolf AM. Paediatrics. 19 th ed : Prentice-Hall
International Inc, 1991 : 624 – 33.
17. Tuli SM. Tuberculosis of Bones, Joints and Spine. In : Benson MKD, Fixsen JA,
Macnicol MF, Bleck EE. Children`s Orthopaedics and Fractures. Edinburgh : Churchill
Livingstone, 1994 : 193 – 99.
18. Lagattuta FP, Falco FJE. Assesment & Treatment of Cervical Spine Disorders. In :
Braddom et all eds. Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia : WB Saunders,
1990 : 730.
19. Moentan O. Falsafah dan Upaya Pelayanan Rehabilitasi Medis. Dalam : Thamrinsyam
H, Satori DW. Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Edisi 1. Surabaya : Rehabilitasi
Medik RSUP Dr. Sutomo / FK UNAIR, 1992 : 1 – 8.
20. Kisner C, Colby LA. Therapeutic Exercise Foundations and Techniques. 2 nd ed.
Philadelphia : FA Davis, 1990 : 577 – 616.
21. Daryadi. Fisioterapi pada tetraplegia dan paraplegia akibat trauma. Dalam : Temu
Ilmiah Tahunan Fisioterapi VI. Jakarta, 1988 : 77 – 8.
22. Lee JM. Segi praktis fisioterapi ( Alih bahasa dr. Hartono Satmoko). Edisi ke-2. Jakarta
: Binarupa Aksara, 21 – 39.
23. Sidharta P. Neurologis Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta : PT Dian Rakyat, 1979 :
9 – 12.
24. Barr O. TENS for Pain Management. In : Nelson RM, Hayes KW, Currier DP eds.
Clinical Electrotherapy. 3rd ed. Connecticut : Appleton & Lange, 1999 : 291 – 354.
25. Michlovitz. Thermal Agent in Rehabilitation. 2 nd ed. Manila : C&E publishing Co,
1990 : 100 – 3.
26. Weber DC, Brown AW. Physical Agent Modalities. In : Braddom et all eds. Physical
Medicine and Rehabilitation. 2 nd ed. Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 440 – 57.
27. Thamrimsyam H. Terapi fisiatrik. Dalam : Thamrinsyam H, Satori DW. Ilmu
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. Edisi 1. Surabaya : Rehabilitasi Medik RSUP dr.
Soetomo / FK UNAIR, 1992 : 9 – 15.
28. Hamid T, Satori DS. Rehabilitasi medik traumatik paraplegia tuntunan untuk dokter
umum. Dalam : Hamid T, editor. Ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi, edisi I.
Surabaya, RSUD Sutomo, 1992 : 44 – 50.
29. Schmitz TJ. Traumatic Spinal Cord Injury. In : O`Sullivan SB, Schmitz TJ eds.
Physical Rehabilitation Assesment and Treatment. Philadelphia : FA Davis Company,
2001 : 873 – 923.
30. Ragnarson KT. Lower Extremity Orthotics, Shoes and Gait Aids. In : De Lisa JA et all,
eds. Rehabilitation medicine Principles and Practice; 3rd ed. Philadelphia : JB
Lippincott, 1998 : 651 – 67.
31. Tan JC, Horn SE. Orthoses. In : Practical Manual of Physical Medicine and
Rehabilitation. St Louis : Mosby, 1998 : 178 – 228.
32. Pratikno W. Problem emosionil dan cara mengatasinya. Dalam : Kumpulan naskah
kursus terapi okupasi di YPAC. Semarang : 3 Agustus – 31 Oktober 1992 : 17 – 9.
LAPORAN KASUS
Seorang penderita laki-laki NM, umur 55 tahun, tinggal di Poigar, Kotamobagu, agama
Islam, dikonsulkan dari RS Kotamobagu dengan keluhan utama kelumpuhan kedua tungkai
dan nyeri punggung.
Anamnesis ( 20 Januari 2004 )
Dua bulan yang lalu (16 Nov.2003) penderita merasakan nyeri pada punggung, nyeri
dirasakan menjalar sampai ke depan dinding dada seperti ditusuk-tusuk jarum. Nyeri terutama
timbul bila penderita batuk, mengedan, atau tidur miring-miring (berubah posisi tidur).
Semakin lama nyeri semakin terasa hingga akhirnya penderita tidak bisa memakai bajunya
karena bila baju mengenai kulit akan terasa lebih nyeri.
Keluhan nyeri disertai dengan kram-kram pada tungkai kanan dan kiri, rasa kram
berkurang bila dipijat. Rasa kram disertai berkurangnya kesadaran terhadap rasa nyeri dan
suhu, sehingga saat kedua kaki penderita terkena air panas 2 minggu yang lalu, penderita tidak
merasakannya.
Satu setengah bulan kemudian (31 Des.2003) saat penderita sedang jalan pagi, tiba-tiba
kedua tungkai terasa berat dan tidak bisa berjalan, tetapi masih dapat digerakkan, kemudian
penderita digendong pulang ke rumah dan istirahat. Siangnya sewaktu bangun tidur, kedua
tungkai sudah tidak bisa digerakkan. Penderita lalu dibawa ke RS Kotamobagu.
Keesokan harinya penderita merasakan kesulitan untuk buang air kecil, sewaktu mengedan
air kencing keluar menetes-netes, dan akhirnya 2 hari kemudian sudah tidak bisa keluar
sehingga dipasang selang kencing. Buang air besar dapat dirasakan, 1 kali dalam 5 hari,
kotoran keras.
Penderita dirawat di RS Kotamobagu selama 2 minggu, saat dirawat, selain diberi obat
minum, juga diterapi dengan lampu yang sinarnya merah di daerah punggung dan tungkai yang
lumpuh, karena tidak ada perubahan penderita lalu dibawa ke RSUP Manado.
Penderita pernah jatuh terpeleset sebanyak 2 kali, di tahun 2001 dan 2002, posisi badan
jatuh terjungkal, juga pada tahun 2003 pernah jatuh terduduk, setelah jatuh penderita bisa
berjalan seperti biasa.
Lima bulan yang lalu penderita pernah dirawat di RS karena sakit kencing manis, infeksi
saluran kencing dan jantung membesar, setelah dirawat 2 minggu, penderita pulang dan
berobat jalan.
Tiga bulan yang lalu penderita pernah dioperasi karena ada benjolan sebesar helm di
punggung kanan, benjolan lembek dan kemerahan, tetapi penderita tidak demam. Saat
dioperasi keluar cairan kental berwarna putih kekuningan seperti susu, tidak berbau, sebanyak
2 liter.
Riwayat batuk (+) sejak 3 bulan yang lalu, batuk hanya sekali-sekali, dahak(-), sesak(-),
demam(-), batuk darah (-), nafsu makan menurun (+), berat badan menurun (+), keringat
malam (+).
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat batuk lama (+), 15 tahun yang lalu, pernah minum obat untuk sakit paru-paru
selama 6 bulan, sakit kencing manis (+) sejak 1 tahun yang lalu, tidak kontrol teratur, tekanan
darah tinggi (+), kontrol teratur, kolesterol tinggi (-), sakit maag (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti penderita.
Tidak ada anggota keluarga yang batuk-batuk lama.
Riwayat Kebiasaan
Penderita merokok sejak kecil ( SD ), kira-kira 1 bungkus setiap hari, tetapi saat ini sudah
tidak merokok, hobi berolahraga.
Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita bekerja sebagai pegawai di kantor camat, dalam pekerjaannya penderita lebih
banyak duduk dan menulis, istri IRT, mempunyai 2 orang anak, 1 sudah berkeluarga, yang lain
masih sekolah di SMU kelas III, belum mempunyai cucu.
Penderita tinggal di rumah sendiri bersama 1 istri, 1 anak, 2 adik dan 3 pembantu, rumah
permanen, 1 lantai, mempunyai 4 kamar tidur, ventilasi baik ( ada 7 buah jendela dalam rumah,
ukuran 1 x 1m, masing-masing kamar ada 1 buah jendela ), jalan menuju rumah ada 1 anak
tangga, WC di dalam rumah, jarak WC ke kamar tidur 10 m, WC jongkok.
Biaya berobat ditanggung ASKES.
Pemeriksaan Fisik ( 20 Jan 04)
KU : tampak sakit berat, kesadaran kompos mentis, komunikasi lancar, kooperatif,
tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 72 x/menit, teratur, isi cukup, respirasi 20 x/menit, suhu
36,8C. Berat badan 70 kg, tinggi badan 170 cm, Barthel index 15, VAS 9 – 10.
Kepala : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Leher : TVJ tidak meninggi, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening.
Thorax : - Cor : konfigurasi dalam batas normal, bunyi jantung I dan II normal.
- Pulmo :
* Inspeksi : simetris, kelainan bentuk (-), ruang interkostal tidak melebar, retraksi (-).
* Palpasi : stem fremitus kanan = kiri.
* Perkusi : sonor kanan = kiri.
*Auskultasi : SP bronchial di lapangan atas paru kanan, ST ronkhi -/-,wheezing-/-.
Abdomen : datar, supel, H/L/R tidak teraba, peristaltik usus normal.
Status Neurologis
Kepala : bentuk bulat simetris, pupil reflex cahaya +/+, isokor.
N. cranialis dalam batas normal.
Leher : simetris, LGS penuh, kaku kuduk (-), Pembesaran kelenjar getah bening (-).
Trunkus :
- Inspeksi : gibus pada regio vertebra torakal 5 – 8, kifosis (+), skoliosis (-), dekubitus (-),
terdapat bekas operasi di torakal 6-7 kanan.
- Palpasi : nyeri tekan paravertebra (+), spasme otot-otot paravertebral (-), nyeri tekan
infrapiriformis (-), nyeri pada perabaan di regio torakal 5 – 8 (+).
Ekstremitas: di regio pedis dekstra et sinistra terdapat luka bakar grade I-II 2%.
Motorik : LGS Ekstremitas superior dan inferior penuh.
Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Gerakan normal normal (-) (-)
Kekuatan Otot 5/5/5 5/5/5 0/0/0 0/0/0
Tonus Otot normal normal menurun menurun
Trofi eutrofi eutrofi disuse atrofi disuse atrofi
R. Fisiologis normal normal menurun menurun
R. Patologis (-) (-) Babinski (+) Babinski (+)
Klonus (-) (-)
Sensibilitas :
- Dekstra : anestesi mulai dari regio torakal 7 ke bawah.
- Sinistra : hipestesi di regio torakal 7 dan anestesi mulai dari regio torakal 8 ke bawah.
Pemeriksaan Penunjang :
12 Januari 2004 :
X foto Torakolumbal : tulang-tulang tampak porotik ringan, fraktur kompresi Vertebra
Thoracal 7 dengan angulasi kifosis setinggi level ini. Pedicle Thoracal 6 Dekstra dan sinistra
tidak jelas. Subchondral bone layer relatif sklerotik. Tampak bayangan paravertebral soft
tissue swelling setinggi T6-7. Discus intervertebralis T6-7 agak menyempit.
DD : - Spondilitis TB T6-7 - Proses metastase.
Laboratorium :
Hb : 10,6 gr/dl ( ↓ )
Lekosit : 12.400/mm3 ( ↑ )
Trombosit : 298.000/mm3
Ureum : 82 mg/dl ( ↑ )
Creatinin : 2,2 mg/dl ( ↑ )
14 Januari 2004 :
GDP : 191 mg/dl ( ↑ )
GD 2 jam PP : 282 mg/dl ( ↑ )
15 Januari 2004
Pemeriksaan BTA 3x : (-)
BSR : 61 mm/jam ( ↑ )
Hasil konsul dari Bagian Gizi : diberikan Diet DMRP 2000 kalori.
17 Januari 2004
GDP 239 mg/dl ( ↑ )
GOT 27 U/l.
GT 98 U/l.
18 Januari 2004
Hasil konsul dari Penyakit Dalam :
Diagnosis : Susp. spondilitis TB, CRF ec GNC, Hipertensi terkontrol, DM tipe II.
Terapi :
- Gliquidone ½ - 1 – ½
- Tonar 2 x 1
- Ranitidine 2 x 1
- Diet DMRP 2000 kalori
24 Januari 2004 : GDP 93 mg/dl
25 Januari 2004 : GDP 91 mg/dl
27 Januari 2004 :
X foto thorax : tampak gambaran berawan di apex paru kanan, jantung CTR > 50%.
Kesan : KP paru dekstra aktif + cardiomegali.
Diagnosis :
Diagnosis Klinis : Paraplegi Inferior Spastika, Luka bakar regio Pedis Dekstra et Sinistra
grade I – II 2 %, DM tipe II, CRF ec GNC, Hipertensi terkontrol, KP .
Diagnosis Topis : Medula spinalis regio Torakal 6 – 7.
Diagnosis Etiologis : Spondilitis tuberkulosa.
Penatalaksanaan
1. Medikamentosa :
- Celecoxib 1 x 500 mg
- Paracetamol 3 x 500 mg
- Rifampicin 1 x 450 mg
- INH 1 x 300 mg
- Ethambutol 1 x 1000 mg
- Pirazinamid 3 x 500 mg
- Roborantia
- Terapi dari Bagian Penyakit Dalam diteruskan.
2. Rehabilitasi Medik
Masalah Rehab :
1. Kelumpuhan kedua tungkai
2. Nyeri
3. Gangguan mobilisasi
4. Gangguan AKS
5. Gangguan sensibilitas
6. Gangguan bak
7. Masalah psikologi
8. Masalah sosial.
Program Rehabilitasi Medik (sejak 20 Jan 04)
1. Fisioterapi :
Evaluasi :
- Kelumpuhan kedua tungkai (kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0)
- Nyeri di daerah punggung menjalar ke dada (VAS 9-10)
- Belum bisa miring-miring, duduk, berdiri, maupun berjalan.
- Inkontinensia urine.
- Sensibilitas :
dekstra : anestesi mulai dari regio T7 ke bawah.
sinistra : hipestesi di regio T7 dan anestesi mulai dari regio T8 ke bawah.
Program :
- Latihan Pernafasan
- Proper Bed Positioning dengan footboard /alih baring tiap 2 jam dengan cara log
rolling
- Latihan LGS pada semua sendi, pasif untuk ekstremitas inferior dan aktif asistif untuk
ekstremitas superior.
- Bladder Training
2. Okupasi Terapi :
Evaluasi :
- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )
- Makan, berpakaian dan kebersihan diri dibantu.
- Belum bisa miring-miring, duduk, berdiri, maupun berjalan.
- Barthel index 15.
Program : Rencana latihan fungsi AKS dengan aktivitas setelah penderita bisa duduk
3. Ortotik Prostetik
Evaluasi :
- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )
- Belum bisa miring-miring, duduk, berdiri, maupun berjalan
- Gibus (+) setinggi torakal 5 – 8.
- Radiologis : tulang-tulang porotik ringan, fraktur kompresi VT 7, kifosis (+), discus
intervertebralis T6-7 agak menyempit.
Program : - Rencana pemakaian TLSO.
4. Psikologi.
Evaluasi : Penderita dan keluarga merasa cemas akan penyakitnya.
Program : Memberi dukungan mental kepada penderita dan keluarga agar tidak putus asa /
bosan untuk berobat dan melakukan latihan.
5. Sosial Medik :
Evaluasi :
- Penderita bekerja sebagai pegawai di kantor camat, sementara sakit tidak masuk kerja.
- Penderita mempunyai 2 orang anak, 1 sudah berkeluarga, yang lain SMU kelas III.
-Penderita tinggal di Poigar, rumah sendiri, permanen, WC dalam rumah, WC jongkok.
- Selama dirawat di RS, penderita ditunggui oleh istrinya.
- Biaya berobat ditanggung ASKES.
Program :
- Memberi dukungan dan pengertian kepada penderita dan keluarga dalam hal penyakit
penderita.
- Memotivasi istri penderita agar rajin memberikan latihan kepada suaminya.
- Memotivasi manfaat perlunya penggunaan alat bantu.
- Memotivasi manfaat pembuatan WC duduk yang dimodifikasi.
6. Perawat Rehabilitasi :
Evaluasi :
- Kelumpuhan kedua tungkai.
- Terdapat luka bakar derajat I-II 2% di pedis dekstra et sinistra.
Program :
- Proper Bed Positioning / alih baring tiap 2 jam dengan cara log rolling.
- Latihan LGS seluruh sendi.
- Perawatan luka
7. Terapi Wicara :
Evaluasi : tidak ditemukan gangguan bicara.
Program : Saat ini tidak diperlukan.
Pengamatan Lanjut
Tanggal : 4 Februari 2004
KU : tampak sakit sedang, kompos mentis, vital sign dbn, Barthel index 35, VAS 5 – 6.
Motorik : kekuatan otot masih 0/0/0 dan 0/0/0.
Sensibilitas :
- Dekstra : hipestesi di regio T10 –L2, anestesi di bawah regio L2.
- Sinistra : hipestesi di regio T10 –L1 dan anestesi di bawah regio L1 .
Penatalaksanaan:
A. Medikamentosa :
- Osteocal 0 – 1 – 0 .
- Glucosamin-Chondroitin F 2 x 1
- terapi lain teruskan.
B. Rehabilitasi Medik :
Program Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi :
Evaluasi :
- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )
- Nyeri di punggung sudah berkurang (VAS 5 – 6 ).
- Sensibilitas :
Dekstra : hipestesi di regio T10 –L2, anestesi di bawah regio L2.
Sinistra : hipestesi di regio T10 –L1 dan anestesi di bawah regio L1
- Sudah bisa miring-miring, tahan duduk ½ jam, belum bisa berdiri, maupun berjalan.
Program :
- Latihan penguatan ekstremitas superior.
- Mobilisasi bertahap memakai TLSO.
- program lain teruskan.
2. Okupasi Terapi :
Evaluasi :
- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )
- Gangguan AKS ( Barthel index 35 ).
- Sudah bisa miring-miring, tahan duduk ½ jam, belum bisa berdiri, maupun berjalan.
Program :
- Latihan fungsi ADL dengan aktivitas.
- Latihan mobilisasi bertahap ( memakai TLSO ).
3. Ortotik Prostetik
Evaluasi :
- Kelumpuhan kedua tungkai ( kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0 )
- Sudah bisa miring-miring, tahan duduk ½ jam, belum bisa berdiri, maupun berjalan.
- Gibus (+) setinggi torakal 5 – 8.
- Radiologis : tulang-tulang porotik ringan, fraktur kompresi VT 7, kifosis (+), celah
sendi T6-7 agak menyempit.
Program :
- Sudah terpasang TLSO.
12 Februari 2004:
KU : tampak sakit sedang, kompos mentis, Barthel index 55, VAS 3 – 4.
Motorik : kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0.
Sensibilitas :
- Dekstra hipestesi di regio T10 - L2 dan anestesi di bawah regio L2 .
- Sinistra hipestesi di regio T9 - L2 dan anestesi di bawah regio L2.
Penatalaksanaan :
A. Medikamentosa : lanjutkan terapi
B. Rehabilitasi Medik :
Program Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi :
Evaluasi :
- Kelumpuhan kedua tungkai (kekuatan otot 0/0/0 dan 0/0/0)
- Nyeri di punggung sudah berkurang ( VAS 3 – 4 ).
- Sensibilitas :
dekstra hipestesi di regio T10 - L2 dan anestesi di bawah regio L2
sinistra hipestesi di regio T9 - L2 dan anestesi di bawah regio L2.
- Sudah bisa miring-miring, tahan duduk 1½ jam, belum bisa berdiri maupun berjalan.
Program :
- TENS di daerah punggung.
- IR kedua tungkai
- Tes faradisasi (+).
Program lain teruskan
Pengamatan AKS menurut Indeks Barthel :
Index\ tanggal 20/1/04 04/2/04 12/2/04
Makan 5 5 10
Transfer 0 5 10
Jalan datar 0 0 5
Naik turun tangga 0 0 0
Perawatan diri 0 5 5
Toileting 0 5 5
Mandi 0 0 5
Berpakaian 0 5 5
Bak 0 0 0
Bab 10 10 10
Jumlah 15 35 55
Interpretasi skor :
0 – 20 Very severely disabled
25 – 45 Severely disabled
50 – 70 Moderately disabled
75 – 95 Mildly disabled
100 Physically independent, but not necessarily normal or socially independent
Diskusi
Telah dikemukakan kasus mengenai seorang laki-laki berusia 55 tahun dengan paraplegia
ec spondilitis tuberkulosa VT 6-7, Luka bakar regio Pedis Dekstra et Sinistra grade I – II 2
%, DM tipe II, CRF ec GNC, Hipertensi terkontrol, KP .
Diagnosis paraplegia ec spondilitis tuberkulosa ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologis. Dari anamnesis
didapatkan nyeri punggung yang menjalar ke dada, rasa kram-kram pada kedua tungkai yang
akhirnya menjadi hilang rasa, kelumpuhan kedua tungkai yang diawali dengan penderita sering
terjatuh dalam 3 tahun terakhir, riwayat batuk lama dan makan obat paru-paru selama 6 bulan,
penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, dan sering keringat malam hari. Penderita
juga pernah dioperasi di daerah punggung kanan yang diduga sebagai cold abcess.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan paraplegia derajat 4 ( menurut Kumar ), disuse atrofi
(+), refleks patologis Babinski (+), gangguan bak (+), gangguan sensibilitas, gibus pada
vertebra torakal 5-8 disertai kifosis, penilaian AKS menurut index Barthel 15 ( very severely
disabled ) dan VAS 9 – 10. Dari pemeriksaan laboratorium didapati leukositosis dan
peningkatan LED. Hasil foto torakolumbal terlihat tulang-tulang porotik ringan, fraktur
kompresi vertebra torakal 7 dengan angulasi kifosis, celah sendi T6-7 agak menyempit, dan
hasil foto toraks tampak gambaran berawan di apex paru kanan dengan kesan KP dekstra aktif .
Penanganan komprehensif pasien paraplegi ec spondilitis tuberkulosa meliputi pemberian
medikamentosa, penanganan rehabilitasi medik dan pembedahan. Medikamentosa yang
diberikan bertujuan untuk mengendalikan infeksi, memperbaiki keadaan umum, dan untuk
mencegah TBC milier sesudah/selama pembedahan. Sedangkan tindakan operatif bertujuan
untuk dekompresi medula spinalis, membersihkan jaringan nekrotik, membuat vaskularisasi
baru, dan stabilisasi dengan pemasangan graft. Selain itu penderita ini juga mendapat diet DM
dan OAD.
Penanganan rehabilitasi harus melibatkan seluruh tim rehabilitasi medik, pasien, dan
keluarga, terutama perawatan rehabilitasi yang intensif sangat diperlukan untuk mencegah
komplikasi tirah baring lama. Yang juga perlu menjadi pertimbangan dalam penanganan pasien
ini adalah penderita juga menderita anemia dan gangguan pada fungsi ginjal yang dapat
menghambat program rehabilitasi, oleh karena itu, program yang diberikan perlu disesuaikan
dengan kondisi pasien. Pada kasus ini, penderita dan keluarga perlu diberikan informasi secara
umum mengenai perjalanan penyakit yang sudah bersifat kronis yang dapat menimbulkan
kecacatan permanen.
Dari bagian Rehabilitasi Medik diberikan program fisioterapi berupa breathing exercise,
proper bed positioning/alih baring tiap 2 jam dengan cara log rolling dan koreksi postur
dengan footboard, yang semuanya ini bertujuan untuk mencegah komplikasi tirah baring lama.
Modalitas yang diberikan yaitu TENS bertujuan untuk mengurangi nyeri, IR untuk
meningkatkan vaskularisasi di tungkai, dan dilakukan tes faradisasi yang hasilnya (+).
Terapi latihan pasif pada semua sendi – sendi di tungkai dengan bantuan terapis dan
keluarga minimal 2x / hari diberikan untuk meningkatkan sirkulasi darah, mempertahankan
LGS sendi yang penuh dan mencegah atrofi otot lebih lanjut, selain itu juga diberikan latihan
aktif asistif pada ekstremitas superior terutama untuk persiapan transfer dan ambulasi dengan
alat bantu.
Terapi okupasi diberikan sebagai suatu pelayanan yang didisain untuk membantu pasien
kembali ke pekerjaan sebelumnya dan bisa dimulai saat keadaan umum sudah memungkinkan
dimana pasien sudah bisa duduk dan apabila diperlukan dapat diberikan pengenalan
ketrampilan yang baru. Tujuan okupasi terapi adalah untuk meningkatkan aktivitas fungsional
yang disesuaikan dengan kemampuan pasien, untuk memecahkan kesulitan dalam mobilitas
dan transfer, dan juga untuk memberikan aktivitas rekreasional yang sesuai dengan hobi
pasien.
Pada penderita juga dibuatkan ortose TLSO yang bertujuan untuk immobilisasi vertebra,
mengurangi nyeri, mencegah deformitas menjadi lebih berat dan untuk mobilisasi bertahap
(duduk).
Program sosial medik merupakan suatu program yang melakukan penilaian status sosial
ekonomi penderita, mengevaluasi keadaan geografi rumah yang akan disesuaikan dengan
kondisi pasien, serta memberi pengertian kepada penderita dan keluarga dalam hal penyakit
yang dialami penderita.
Dalam perkembangan penyakitnya, telah dicapai kemajuan penderita dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari yang ditunjukkan dengan peningkatan index Barthel dari 15 (very severely
disabled) menjadi 35 (severely disabled) setelah menjalani program rehabilitasi medik 2
minggu, dan meningkat lagi menjadi 55 ( moderately disabled) 1 minggu kemudian. Demikian
pula dengan rasa nyeri di punggung telah banyak berkurang yang ditunjukkan dengan
penilaian VAS dari 9 – 10 menjadi 5 – 6 dan kemudian menjadi 3 – 4. Meskipun demikian,
penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam hal kekuatan otot yang masih tetap nol, untuk
itu perlu dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan EMG, NCV, EP, atau MRI untuk melihat
proses yang melatarbelakangi paraplegia tersebut, apakah karena penekanan oleh abses atau
oleh kompresi tulang.
Saat ini, penderita memakai kursi roda untuk transfer dan ambulasi, disamping terus
diberikan dukungan mental kepada penderita dan keluarga agar penderita berobat, latihan dan
kontrol secara teratur dan rutin.
Berhubung karena saat ini penderita telah pulang ke rumah, maka perlu dilakukan
kunjungan rumah oleh bagian sosial medik untuk menyampaikan kepada penderita dan
keluarga bahwa untuk mencapai penanganan yang optimal terhadap penyakitnya harus
dilakukan operasi dan kemudian dilanjutkan dengan terapi latihan selama 3 bulan, dengan
demikian diharapkan tulang belakang bebas dari kuman M.tuberkulosa sehingga mencegah
proses destruksi lebih lanjut, selain itu dengan dilakukannya dekompresi pada medula spinalis
maka dapat diharapkan dicapai peningkatan kekuatan otot tungkai sehingga memungkinkan
penderita untuk transfer dan ambulasi secara mandiri di kemudian hari.
Manado, 10 Maret 2004
Nomor :
Perihal : Presentasi Tinjauan Kepustakaan / Laporan Kasus
Lamp. : -
Kepada Yth :
di tempat
Dengan hormat,
Bersama dengan surat ini kami mengundang Bapak / Ibu / Saudara / Saudari untuk mengikuti
presentasi tinjauan kepustakaan / laporan kasus yang akan dibawakan pada :
Hari : Sabtu, 20 Maret 2004
Jam : 10.00 Wita
Tempat : Ruang Pertemuan Poliklinik Neurologi RSUP Malalayang Manado
Yang akan dibawakan oleh :
dr. Cynthia Yaputri
Topik : Rehabilitasi Medik pada Paraplegi et causa Spondilitis Tuberkulosa
Pembimbing : dr. Ny. Th. Walelang – R, SpS
dr. Lidwina Sengkey, SpRM
Atas perhatian dan kehadiran Bapak / Ibu / Saudara / Saudari, sebelumnya kami ucapkan
terima kasih.
Kepala Bagian / SMF Neurologi
FK Unsrat / RSUP Manado
Dr. Ny. R.C.Siwi – K, SpS (K)
NIP 130.262.589