1
SKRIPSI
PENGARUH PEREBUSAN DALAM PENGAWET ASAM ORGANIK
TERHADAP MUTU SENSORI DAN UMUR SIMPAN BAKSO
Oleh:
SRI SUGIHARTI
F 24104024
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH PEREBUSAN DALAM PENGAWET ASAM ORGANIK
TERHADAP MUTU SENSORI DAN UMUR SIMPAN BAKSO
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
SRI SUGIHARTI
F 24104024
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
3
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH PEREBUSAN DALAM PENGAWET ASAM ORGANIK
TERHADAP MUTU SENSORI DAN UMUR SIMPAN BAKSO
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
SRI SUGIHARTI
F 24104024
Dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1986
di Sumedang
Tanggal lulus : 9 Juni 2009
Menyetujui,
Bogor, Juli 2009
Dr. Ir. Joko Hermanianto
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
4
SRI SUGIHARTI. F24104024. Pengaruh Perebusan dalam Pengawet Asam
Organik Terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan Bakso. Di bawah bimbingan :
Joko Hermanianto. 2009
RINGKASAN
Bakso termasuk bahan pangan yang mudah rusak. Kandungan nutrien,
nilai pH, serta kadar air yang tinggi pada daging menyebabkan produk bakso
memiliki masa simpan yang relatif singkat. Pada umumnya umur simpan bakso
hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari penyimpanan di suhu ruang. Di lain
pihak, industri bakso umumnya mempunyai target masa simpan selama 4 hari,
yaitu 1 hari di pabrik, 1 hari di pedagang grosir, 1 hari di pedagang menengah,
dan 1 hari di pedagang keliling. Untuk memperpanjang umur simpan bakso,
produsen sering menambahkan boraks dan formalin sebagai pengawet bakso.
Kedua jenis pengawet ini merupakan bahan pengawet yang dilarang untuk
digunakan pada makanan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
722/Menkes/Per/IX/1988 serta perubahannya dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No. 1168/Menkes/Per/X/1999. Penelitian ini bertujuan untuk mencari bahan
pengawet yang aman, murah, dan efektif. Indikator keberhasilan dari penelitian ini
adalah penggunaan asam organik mampu mempertahankan umur simpan bakso
pada penyimpanan suhu ruang selama empat hari.
Pada penelitian ini digunakan beberapa asam organik yaitu asam laktat,
asam asetat, dan asam cuka pasar. Beberapa keunggulan dari asam organik adalah
daya larutnya yang tinggi dan toksisitasnya yang rendah (Branen et al, 1990).
Asam organik juga tidak memiliki efek negatif terhadap kesehatan dan tidak
memiliki batasan maksimal dalam penggunaannya.
Metode pengawetan bakso dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
metode pencelupan dan metode perebusan. Dalam metode pencelupan, bakso
yang telah matang dicelupkan ke dalam larutan asam organik selama 1 menit,
sedangkan dalam metode perebusan, bakso direbus pada air rebusan kedua yang
berisi larutan asam organik selama 10 menit. Sampel kemudian dikeringanginkan,
dikemas dengan plastik HDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Pengamatan
dilakukan setiap hari terhadap uji total mikroba, uji total kapang-khamir, total
asam tertitrasi, pH, warna, dan tekstur.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dapat diketahui bahwa asam
asetat dan asam cuka pasar memberikan hasil sama baik. Metode pengawetan
bakso dengan metode perebusan pada air rebusan kedua lebih efektif
dibandingkan dengan metode pencelupan.
Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian utama, dapat disimpulkan
bahwa konsentrasi asam cuka pasar yang efektif dalam memperpanjang umur
simpan bakso ditinjau dari segi mikrobiologis (analisis total mikroba dan total
kapang-khamir) adalah larutan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %. Sampel
dengan perlakuan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % memiliki jumlah total
mikroba dan total kapang-khamir yang relatif rendah dan cenderung stabil selama
empat hari penyimpanan. Bakso dengan asam cuka pasar 0.5 % hanya mampu
memperpanjang umur simpan bakso selama satu hari sedangkan bakso dengan
asam cuka pasar 1 % mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga tiga
hari.
5
Nilai pH dan TAT bakso selama penyimpanan menunjukkan bahwa
sampel bakso dengan asam cuka pasar 2.5 % memiliki pH yang paling rendah dan
TAT yang paling tinggi. Bakso kontrol dan bakso dengan perlakuan asam cuka
pasar konsentrasi 0.5 %, 1.0 %, 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % memiliki tingkat
kecerahan dengan kisaran nilai 51.23-52.43. Untuk pengukuran nilai kekerasan,
sampel bakso dengan perlakuan asam cuka pasar memiliki nilai kekerasan relatif
sama selama penyimpanan empat hari yaitu berkisar antara 11.20-12.60 mm/10
detik. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa skor kesukaan tertinggi panelis
terhadap parameter rasa, aroma, warna, tekstur dan penilaian umum mulai dari
yang tertinggi hingga yang terendah secara berturut-turut yaitu bakso kontrol,
bakso dengan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %.
Berdasarkan kemampuan mempertahankan umur simpan, hasil uji
organoleptik, dan pertimbangan ekonomi, dapat disimpulkan bahwa pengawet
asam cuka pasar 1.5 % memberikan hasil terbaik dalam mengawetkan bakso
karena mampu mempertahankan umur simpan bakso hingga empat hari dengan
biaya tambahan pengawet yang relatif rendah yaitu sebesar Rp. 227,14 , sehingga
asam cuka pasar 1.5 % dapat direkomendasikan untuk mengawetkan bakso.
6
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 6 Maret 1986
sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan C. H.
Yusuf dan Karlina. Bangku sekolah penulis dimulai dari TK
Bhayangkari Sumedang, SD Negeri Sukasirna 2 Sumedang, SLTP
Negeri 2 Sumedang, dan SMA Negeri 1 Sumedang. Penulis
kemudian diterima menjadi mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) pada tahun 2004.
Selama menimba ilmu dibangku perkuliahan, penulis aktif mengikuti
berbagai organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai staf
Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) BEM Fateta IPB
periode 2005-2006, Sekretaris Kabinet BEM Fateta IPB periode 2006-2007, serta
Sekretaris Kabinet BEM KM IPB periode 2007-2008. Penulis juga pernah
menjadi staf Divisi Kajian Pangan dan Produk Halal (KAPPAL) Forum Bina
Islami (FBI) Fateta periode 2005-2006 dan pengurus Food Processing Club
HIMITEPA sebagai Koordinator Divisi Snackfood periode 2006-2007. Keaktifan
penulis dalam mengikuti berbagai kegiatan organisasi menjadikan penulis sebagai
salah satu penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Ekstrakurikuler (PPE) pada
tahun 2008.
Disamping kegiatan organisasi, penulis juga aktif mengikuti beberapa
perlombaan, diantaranya Program Pemikiran Kritis Mahasiswa (PPKM) dan
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Proposal PKM yang penulis ajukan
berhasil didanai oleh DIKTI yaitu proposal PKM bidang Penelitian (PKMP) pada
tahun 2006 dan proposal PKM bidang Pengembangan Masyarakat (PKMM) tahun
2007.
Penulis memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan KKN di Desa
Purwasari pada tahun 2007. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh
Perebusan dalam Pengawet Asam Organik Terhadap Mutu Sensori dan Umur
Simpan Bakso” di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto.
7
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
atas segala karunia, hidayah, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh Perebusan dalam Pengawet
Asam Organik terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan Bakso” sebagai bagian
dari tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada sejumlah pihak yang telah
berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian tugas
akhir ini. Semoga Allah SWT membalas amal pihak-pihak yang senantiasa
membimbing, membantu, dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan penelitian
dan penyusunan skripsi ini. Amin. Perkenankanlah penulis untuk mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Ayah (C.H. Yusuf) dan Ibu (Karlina) yang demikian sabar dan perhatian
sekali, selalu memberikan semangat, dukungan, dan dorongan yang positif
demi kemajuan penulis, serta Kakak (Kartiwa) atas pengorbanan dan segala
bantuannya. Terima kasih banyak atas semua kasih sayang dan support baik
moril maupun materiil yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Joko Hermanianto selaku dosen pembimbing akademik atas arahan,
bimbingan, dan bantuan serta nasihat yang sangat berharga bagi kehidupan
penulis kelak. Terima kasih banyak atas kesabaran dan pengertiannya selama
membimbing penulis. Saya beruntung dan bersyukur sekali mendapatkan
dosen pembimbing seperti Bapak yang mampu memahami kegiatan organisasi
saya. Jazakallah Khoiron Katsiron.
3. Dr. Ir. Sukarno, M.Sc dan Ir. Elvira Syamsir, M.Si yang telah bersedia
menjadi dosen penguji serta memberikan waktu dan sarannya dalam perbaikan
skripsi ini.
4. Sahabat-sahabat terbaik penulis di kelas ITP 41 : (1) Dyah Ayu Puspitasari
yang telah membuat hidup ini lebih berwarna dengan segala keceriaan, canda
tawa, serta sifat kekanakannya. (2) Shofia Kusuma Dewi, sahabat yang selalu
8
ada dan meluangkan waktu untuk mendengarkan segala hal. Terima kasih atas
nasihat-nasihat yang telah diberikan. (3) Gema Buana Putra yang telah
mengajari banyak hal di “Kampus Kehidupan”, terimakasih banyak atas
semua cerita-cerita lucu dan konyol (pastinya sangat menghibur) serta sharing
pengalamannya yang sangat luar biasa. Sungguh inspiratif.
5. Mellisa Putri, sahabat yang sangat mengerti kondisi penulis serta selalu setia
menemani dan menjadi tempat berbagi cerita suka dan duka.
6. Keluarga Besar BEM Fateta Kabinet Pengabdian 05-06 terutama anggota
Departemen PSDM (Rina, Shohib, Achid, Firly, Dena, K’Ale, K’Lita) dan
para pimpinan (K’Redy, K’Bubun, Gema, K’Nirwan, K’Lala, K’Maya,
K’Oneth, K’Santo, K’Alliy, K’Isti, dan K’Iqro) yang telah membuat penulis
menjadi begitu tertarik untuk terus berkontribusi dalam kelembagaan kampus.
7. Keluarga Besar BEM Fateta Kabinet Totalitas Pengabdian 06-07 terutama
BPH dan para pimpinan (Gema, Eka Feb, Nona, Venty, Achid, Firly, Othiz,
Cahyo, Fitrah, Irvan, Sofiyan, Nitta, Syelvia, Nova, Benk) yang selalu
membuat penulis tertawa, senang, riang, gembira dan perasaan bahagia
lainnya. Tiada hari tanpa tertawa bersama kalian di kabinet yang amat sangat
ceria ini.
8. Keluarga Besar BEM KM IPB Kabinet Totalitas Perjuangan 07-08 terutama
BPH dan para pimpinan (Gema, Fahmi, Feri, Nidia, Ruri, Weni, Betty, Irvan,
Dani, Afid, Rudi, Shohib, Wahyu, Eka Feb, Ike, Duta, Reza, Gadis, Yuyun,
Mb ii, Vina, Eka Wulan,Yogi Waldingga). Rasanya waktu berlalu begitu
cepat, terima kasih atas kerjasama, kekeluargaan, dan indahnya ukhuwah
islami yang selama ini terjalin, semoga terus berlanjut. Sampai bertemu di
medan juang lainnya.
9. Prof.Dr.Ir.Herry Suhardiyanto, M.Sc, Prof.Dr.Ir.Yonny Koesmaryono,M.S,
Dr.Rimbawan, Bambang Riyanto, S.Pi.,M.Si., Bu Tuti, serta staf-staf di
Ruang Ditmawa (Bu Ari, Bu Neni, Pak Parta, Adhit) yang telah banyak
membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.
10. Dr.Ir.Sam Herodian, MS, Dr.Ir.Sugiyono,M.App.Sc, serta staf dekanat (Ibu
Sri, Ibu Ratna), terima kasih banyak atas bantuannya selama penulis aktif di
kelembagaan fakultas.
9
11. Rekan satu bimbingan Nene, Kopetz (ITP’41), K’Denang, Teddy (ITP’40),
K’Ajeng (ITP’39), Nina, Tiyu, Nanda, Muji (ITP’42), Rosy, Amel (ITP’44)
terima kasih banyak atas bantuan, dorongan, dan motivasinya untuk
mengerjakan penelitian ini
12. Rekan lembur di Laboratorium Mikrobiologi Pangan (Tjan, Khrisia, Sisi, Olo,
Ikhwan, Wiwi)
13. Teman-teman kostan di Wisma Shambala, Ambar, De Cici, MeQu, Fina, Sisi
dan Dini, serta teman-teman kostan di Pondok Nuansa Sakinah Ophie, Ayi,
Nanda, Putri, Lita, Aci, dan Uul.
14. Teman-teman ITP 41 yang telah mengiringi langkah penulis selama 4 tahun
lebih dalam masa-masa perkuliahan yang tak terlupakan : Dilla, Ame, Taqi,
Ode, Ecymon, Sioe Cen, Faried, Shinta, Tomi, Gina, Qia, Chabib, Nanang,
Kak Ran, Sigit, Yunita, Ratih, Ade, Tika Oneng, Aris, Ofa, Risma, Ririn,
Dikun, Novi, Hans Puke, Iqbal, Ary Binjay, Soun, Kani, UQ, Tuko, Ros,
Yuke, Ety, Jamz dan semua ITPers 41 yang tidak bisa disebutkan satu per
satu.
15. Kakak kelas di ITP, TIN, dan TEP angkatan 40 dan 39, serta adik kelas ITP,
TIN, dan TEP angkatan 42, 43, dan 44.
16. K’adit, K’nur heri, K’nur alim, Hendro, Ilmyana, Retno, Zuni, Delfi, Choir,
Betty, dan Obi atas kebersamaannya di Tim Desa Sukadamai.
17. Teknisi dan laboran : Pak Gatot, Mas Edi, Pak Sidik, Pak Sobirin, Pak Mul,
Pak Yahya, Pak Rojak, Pak Wahid, Bu Rubiyah, Bu Antin, Mba Ida, Mba
Darsih, atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama
menyelesaikan penelitian.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
Bogor, Juli 2009
10
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvi
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................... 1
B. TUJUAN ............................................................................................... 3
C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN ................................... 3
D. MANFAAT ........................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
A. BAKSO DAGING SAPI ....................................................................... 4
B. PEMBUATAN BAKSO DAGING SAPI .............................................. 5
1. Bahan ................................................................................................. 5
2. Proses Pengolahan .............................................................................. 9
C. KERUSAKAN BAKSO ........................................................................ 10
D. PENGAWETAN BAKSO ..................................................................... 12
E. BAHAN PENGAWET YANG DITELITI ............................................. 13
1. Asam Laktat ..................................................................................... 13
2. Asam Asetat ..................................................................................... 15
F. MEKANISME PENGAWETAN ASAM ORGANIK............................. 17
G. PENGEMASAN ................................................................................... 19
III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 21
A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 21
B. METODE PENELITIAN ..................................................................... 21
1. Penelitian Pendahuluan .................................................................... 21
a. Tahap 1 ....................................................................................... 21
b. Tahap 2 ..................................................................................... 22
2. Penelitian Utama .............................................................................. 23
a. Perlakuan pada Tahap Penelitian Utama .................................... 23
11
b. Metode coating bakso pada larutan asam cuka pasar .................. 23
c. Pengamatan ............................................................................... 24
C. METODE ANALISIS.............................................................................. 24
1. Analisis Mikrobiologi ....................................................................... 24
a. Total Mikroba ............................................................................. 24
b. Total Kapang Khamir ................................................................. 25
2. Analisis Kimia.................................................................................. 25
a. Pengukuran pH ........................................................................... 25
b. Total Asam Tertitrasi .................................................................. 26
3. Analisis Fisik ................................................................................... 27
a. Warna ......................................................................................... 27
b. Kekerasan Objektif ..................................................................... 28
4. Uji Organoleptik .............................................................................. 28
5. Uji Statistik ..................................................................................... 29
6. Analisis Biaya ................................................................................. 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 30
A. PENELITIAN PENDAHULUAN ........................................................ 30
1. Tahap 1 .......................................................................................... 30
a. Pengukuran Nilai pH ................................................................ 30
b. Analisis Total Mikroba ............................................................ 32
c. Pengamatan Subyektif Selama Penyimpanan ............................ 35
2. Tahap 2 .......................................................................................... 38
B. PENELITIAN UTAMA ....................................................................... 42
1. Analisis Mikrobiologi ..................................................................... 43
a. Total Mikroba ........................................................................... 43
b. Total Kapang Khamir ............................................................... 46
2. Analisis Kimia ............................................................................... 48
a. Pengukuran pH .......................................................................... 48
b. Total Asam Tertitrasi (TAT) ...................................................... 51
3. Analisis Fisik ................................................................................. 56
a. Warna ........................................................................................ 56
b. Kekerasan Objektif .................................................................... 59
12
4. Uji Organoleptik ............................................................................ 62
a. Respon Panelis terhadap Rasa ................................................... 62
b. Respon Panelis terhadap Aroma ............................................... 64
c. Respon Panelis terhadap Tekstur .............................................. 66
d. Respon Panelis terhadap Warna ................................................ 68
e. Respon Panelis terhadap Overall .............................................. 69
5. Analisis Biaya ................................................................................ 70
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 73
A. KESIMPULAN .................................................................................. 73
B. SARAN .............................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 75
LAMPIRAN...................................................................................................... 79
13
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Syarat Mutu Objektif dari Bakso Daging Sapi ................................... 4
Tabel 2. Kriteria Mutu Sensori Bakso ............................................................ 5
Tabel 3. Sifat Fisik Asam Laktat ..................................................................... 14
Tabel 4. Sifat Fisik Asam Asetat .................................................................... 16
Tabel 5. Skala Pengukuran Uji Hedonik ......................................................... 29
Tabel 6. Harga Bahan Pengawet yang Digunakan dalam Penelitian
Utama ............................................................................................... 71
Tabel 7. Biaya Pengawetan per Kg Bakso ...................................................... 71
14
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Nilai pH bakso dengan pengawetan metode pencelupan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.............................. 31
Gambar 2. Jumlah total mikroba bakso dengan pengawetan metode
pencelupan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang ........... 33
Gambar 3. Umur simpan sampel bakso dengan pengawet asam laktat
dan asam asetat berdasarkan pengamatan visual ........................... 35
Gambar 4. Umur simpan sampel bakso dengan pengawet asam
asetat, asam cuka pasar, dan asam laktat berdasarkan
pengamatan visual ....................................................................... 40
Gambar 5. Kisaran jumlah kandungan mikroba dalam produk pangan
sebagai indikator kerusakan ........................................................ 41
Gambar 6. Jumlah total mikroba bakso dengan pengawetan metode
perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang ............. 44
Gambar 7. Jumlah kapang-khamir pada bakso dengan pengawetan
metode perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam
suhu ruang ................................................................................... 47
Gambar 8. Nilai pH bakso dengan pengawetan metode perebusan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.............................. 49
Gambar 9. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) bakso dengan
pengawetan metode perebusan selama 4 hari
penyimpanan dalam suhu ruang ................................................... 52
Gambar 10. Nilai L bakso dengan pengawetan metode perebusan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.............................. 57
Gambar 11. Nilai a bakso dengan pengawetan metode perebusan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.............................. 58
Gambar 12. Nilai b bakso dengan pengawetan metode perebusan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.............................. 59
Gambar 13. Tingkat kekerasan bakso dengan pengawetan metode
perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang ............. 60
15
Gambar 14. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa bakso ..................... 63
Gambar 15. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma bakso .................. 65
Gambar 16. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur bakso ................. 67
Gambar 17. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna bakso .................. 68
Gambar 18. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap overall bakso ................. 69
16
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Diagram pembuatan bakso ........................................................ 80
Lampiran 2. Rekapitulasi data hasil pengukuran pH bakso pada
penelitian pendahuluan tahap 1 ................................................. 81
Lampiran 3. Rekapitulasi data hasil pengukuran jumlah total
mikroba (Total Plate Count) bakso pada penelitian
pendahuluan tahap 1 ................................................................. 82
Lampiran 4. Hasil pengamatan subyektif bakso dengan pengawetan
metode pencelupan selama 4 hari penyimpanan dalam
suhu ruang ................................................................................ 83
Lampiran 5. Hasil pengamatan subyektif bakso dengan pengawetan
metode perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam
suhu ruang ................................................................................ 85
Lampiran 6. Rekapitulasi data hasil pengukuran total mikroba (Total
Plate Count) bakso pada penelitian utama ................................. 87
Lampiran 7. Rekapitulasi data hasil pengukuran total kapang dan
khamir bakso pada penelitian utama .......................................... 88
Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil pengukuran nilai pH bakso pada
penelitian utama ........................................................................ 89
Lampiran 9. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
nilai pH bakso pada penelitian utama ........................................ 90
Lampiran 10. Rekapitulasi data hasil pengukuran TAT bakso pada
penelitian utama ........................................................................ 91
Lampiran 11. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
nilai TAT bakso pada penelitian utama ..................................... 92
Lampiran 12. Rekapitulasi data hasil pengukuran warna bakso secara
objektif pada penelitian utama .................................................. 93
Lampiran 13. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
nilai L (tingkat kecerahan) bakso pada penelitian utama ............ 94
17
Lampiran 14. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
nilai a bakso pada penelitian utama ........................................... 95
Lampiran 15. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
nilai b bakso pada penelitian utama ........................................... 96
Lampiran 16. Rekapitulasi data hasil pengukuran kekerasan bakso
secara objektif pada penelitian utama ........................................ 97
Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
nilai kekerasan bakso pada penelitian utama ............................. 98
Lampiran 18. Rekapitulasi data hasil pengukuran uji organoleptik
bakso pada penelitian utama..................................................... 99
Lampiran 19. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
skor kesukaan rasa bakso pada penelitian utama ....................... 100
Lampiran 20. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
skor kesukaan aroma bakso pada penelitian utama .................... 101
Lampiran 21. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
skor kesukaan tekstur bakso pada penelitian utama ................... 102
Lampiran 22. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
skor kesukaan warna bakso pada penelitian utama .................... 103
Lampiran 23. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan
skor kesukaan penilaian umum (0verall) bakso pada
penelitian utama ........................................................................ 104
Lampiran 24. Cara perhitungan analisis biaya penambahan pengawet
per satu kilogram bakso ............................................................ 105
Lampiran 25. Cara perhitungan analisis biaya penambahan pengawet
formalin per satu kilogram bakso .............................................. 106
18
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bakso merupakan produk makanan yang sangat dikenal luas oleh
masyarakat karena harganya yang relatif terjangkau dan jenisnya yang sangat
bervariasi. Bakso bisa dibuat dari daging sapi, daging ayam, daging kerbau,
daging kelinci, atau daging ternak darat lain (Wibowo, 2006). Dari beberapa
jenis bakso yang beredar di pasaran, bakso sapi merupakan jenis paling
populer.
Bakso biasanya tidak dapat disimpan lama karena terjadinya kerusakan
atau pembusukan yang disebabkan oleh mikroba. Kandungan gizi, nilai pH,
serta kadar air yang tinggi pada daging menyebabkan produk bakso memiliki
masa simpan yang relatif singkat sehingga terdapat kecenderungan produsen
bakso untuk membatasi jumlah produksinya. Pada umumnya umur simpan
bakso hanya mencapai 12 jam atau maksimal 1 hari selama penyimpanan di
suhu ruang. Di lain pihak, industri bakso umumnya mempunyai target masa
simpan selama 4 hari, yaitu 1 hari di pabrik, 1 hari di pedagang grosir, 1 hari
di pedagang menengah, dan 1 hari di pedagang keliling.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk mencegah kerusakan bahan
makanan salah satunya adalah dengan penambahan bahan pengawet. Bahan
pengawet ini memegang peranan penting dalam melindungi dan memanipulasi
sifat fisik dan organoleptik bahan pangan. Jenis bahan pengawet yang sering
digunakan oleh produsen bakso untuk memperpanjang daya awet produknya
adalah boraks dan formalin karena harganya yang relatif murah dan memiliki
daya awet yang tinggi.
Boraks dan formalin memiliki kemampuan yang sangat baik dalam
mengawetkan makanan. Bakso yang mengandung formalin tidak rusak hingga
mencapai lima hari disimpan dalam suhu ruang (Saparinto dan Hidayati,
2006). Namun, walau daya awetnya sangat luar biasa, boraks dan formalin
dilarang digunakan pada makanan. Di Indonesia, beberapa peraturan yang
melarang penggunaan boraks dan formalin sebagai pengawet makanan adalah
19
Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/1988, Peraturan Menteri
Kesehatan No. 1168/Menkes/Per/X/1999, UU No. 7/1996 tentang Pangan dan
UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini disebabkan oleh
bahaya residu yang ditinggalkannya bersifat karsinogenik bagi tubuh manusia.
Boraks atau dipasaran lebih dikenal dengan nama pijer, biasanya
ditambahkan pada proses pengolahan makanan untuk meningkatkan
kekenyalan, serta memberikan rasa gurih dan kepadatan terutama pada jenis
makanan yang mengandung pati (Saparinto dan Hidayati, 2006). Bila
konsumen mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks, tidak langsung
berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi boraks yang sedikit tersebut diserap
dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Pada dosis yang cukup tinggi,
boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing,
muntah- muntah, mencret dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila
dosisnya mencapai 5 gram atau lebih akan menyebabkan kematian. Pada
orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya mencapai 10-20 gram atau
lebih (Winarno dan Rahayu, 1994).
Formalin adalah nama dagang larutan formaldehida dalam air dengan
kadar 36-40 %. Pemakaian formaldehida pada makanan dapat menyebabkan
keracunan pada tubuh manusia, dengan gejala sebagai berikut : sukar menelan,
mual, sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah,
timbulnya depresi susunan syaraf, atau gangguan peredaran darah. Konsumsi
formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-
kejang), haematuri (kencing darah), dan haematomesis (muntah darah) yang
berakhir dengan kematian (Winarno dan Rahayu, 1994).
Penggunaan boraks dan formalin ini sangat merugikan kesehatan
sehingga perlu diupayakan penggunaan bahan pengawet lain yang dapat
memperpanjang masa simpan bakso, tidak mengubah mutu bakso, murah,
serta aman bagi kesehatan sehingga bisa diterapkan di industri kecil maupun
menengah. Bahan pengawet yang saat ini banyak digunakan adalah bahan
pengawet dari asam organik. Beberapa keunggulan dari asam organik adalah
daya larutnya yang tinggi dan toksisitasnya yang rendah (Branen et al., 1990).
20
Asam organik juga tidak memiliki efek negatif terhadap kesehatan dan tidak
memiliki batasan maksimal dalam penggunaannya.
Adanya beberapa sifat unggul yang dimiliki oleh asam organik sebagai
bahan pengawet dalam beberapa produk pangan, dapat dimanfaatkan dan
diteliti lebih lanjut. Pada penelitian ini digunakan beberapa asam organik yaitu
asam laktat, asam asetat, dan asam cuka pasar.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mencari bahan pengawet yang aman,
murah, dan efektif untuk bakso sehingga tahan disimpan dalam suhu ruang
selama empat hari dengan karakteristik organoleptik yang disukai oleh
konsumen.
C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN
Penggunaan asam organik mampu mempertahankan umur simpan
bakso pada penyimpanan suhu ruang selama empat hari.
D. MANFAAT
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan
dalam industri sehingga bermanfaat bagi masyarakat terutama produsen
pangan yang terkait.
21
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BAKSO DAGING SAPI
Menurut SNI 01-3818-1995, bakso merupakan produk makanan
berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak,
dengan kadar daging tidak kurang dari 50 % dan pati atau serealia dengan atau
tanpa penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan. Syarat
mutu bakso daging sapi yang aman dikonsumsi berdasarkan SNI 01-3818-
1995 tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu objektif dari bakso daging sapi
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Air % b/b Maks 70.0
2 Abu % b/b Maks 3.0
3 Protein % b/b Min 9.0
4 Lemak % b/b Maks 2.0
5 Boraks - Tidak boleh ada
6 Cemaran Mikroba
6.1 Angka Lempeng Total koloni/g Maks 1.0 x 105
6.2 Escherichia coli APM/g < 3
6.3 Staphylococcus aureus koloni/g Maks 1.0 x 102
Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat atau
jaringan ikat dengan penambahan tepung lebih sedikit dari berat daging yang
digunakan, sehingga diperoleh permukaan bakso yang halus, ukuran partikel
daging kecil dan distribusi yang merata. Bakso urat adalah bakso yang dibuat
dari daging yang banyak mengandung urat atau jaringan ikat dengan
penambahan tepung lebih sedikit dari berat daging yang digunakan dan bakso
yang dihasilkan mempunyai permukaan kasar dengan ukuran partikel lebih
besar dan distribusi tidak merata. Bakso aci adalah bakso yang jumlah
penambahan tepungnya lebih banyak dibanding dengan jumlah daging yang
digunakan, dan bakso yang dihasilkan memiliki permukaan yang halus,
ukuran partikel daging kecil dan distribusinya merata.
Menurut Wibowo (2006), cara paling mudah untuk menilai mutu bakso
adalah dengan menilai mutu sensoris atau mutu organoleptiknya. Paling tidak,
22
ada lima parameter sensoris utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan,
warna, bau, rasa, dan tekstur. Kriteria mutu sensori bakso dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Mutu Sensori Bakso
Parameter Bakso daging
Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang,
tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur, dan tidak
berlendir
Warna Cokelat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau cokelat
muda hingga cokelat muda agak keputihan atau abu-abu.
Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu
(jamur)
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik,
asam, basi atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup
menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing
yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau membal,
tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan
tidak rapuh
B. PEMBUATAN BAKSO DAGING SAPI
1. BAHAN
Bahan-bahan yang umum digunakan dalam pembuatan bakso yaitu
daging segar, tepung tapioka, bumbu-bumbu, es atau air es, dan bahan
pengawet.
a. Daging
Hampir semua bagian daging dari karkas sapi dapat digunakan
sebagai bahan baku utama pembuatan bakso daging. Untuk membuat
bakso daging digunakan daging sapi yang benar-benar masih segar.
Semakin segar daging semakin bagus mutu bakso yang dihasilkan
(Sunarlim, 1992). Hal ini karena daging segar atau daging pre rigor
23
mengandung protein aktin dan miosin yang ditemukan dalam bentuk
bebas, sehingga dapat diekstrak dalam jumlah banyak karena belum
terjadi ikatan aktomiosin. Menurut Wibowo (2006), jika mungkin,
daging yang digunakan untuk pembuatan bakso digunakan daging dari
hewan yang baru dipotong, tanpa dilayukan lebih dulu. Akan tetapi,
jika karena sesuatu hal tidak memungkinkan untuk mendapatkan
daging dari hewan yang baru dipotong, atau daging terpaksa disimpan
dulu, sebaiknya daging disimpan dingin pada suhu 15oC atau 20
oC
atau dibekukan pada suhu -5oC. Daging yang disimpan pada suhu
15oC selama 24 jam masih bagus untuk bakso. Demikian pula untuk
daging yang disimpan pada suhu -5oC selama 4 hari.
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), daging pre rigor
memiliki nilai water holding capacity (WHC) yang tinggi yang
penting dalam pembuatan produk emulsi daging. Daging pre rigor
memiliki WHC tinggi serta memiliki pH jauh di atas titik isoelektrik,
sehingga protein akan mengikat air lebih banyak dan akibatnya
permukaan daging menjadi kelihatan kering.
b. Bahan Pengisi
Pada produk emulsi daging biasanya ditambahkan bahan
pengisi dan bahan pengikat. Perbedaan antara bahan pengisi dan
bahan pengikat terdapat pada kemampuannya dalam mengemulsi
lemak. Bahan pengikat memiliki kandungan protein yang tinggi,
sedangkan pada bahan pengisi kandungan tertingginya yaitu
karbohidrat, sedangkan kadar proteinnya rendah. Bahan pengikat
memiliki kemampuan mengikat air dan mengemulsi lemak, sedangkan
bahan pengisi memiliki kemampuan mengikat air tetapi tidak
mengemulsikan lemak. Bahan pengikat yang biasa digunakan adalah
tepung berprotein tinggi seperti tepung kedelai dan susu skim. Di
Indonesia, penggunaan bahan pengikat dalam bakso tidaklah umum.
Bahan pengikat ini biasa digunakan pada pembuatan sosis.
24
Bahan pengisi merupakan bahan bukan daging yang biasanya
ditambahkan dalam pembuatan bakso. Menurut Kramlich (1971),
tujuan penambahan bahan pengisi antara lain : mereduksi penyusutan
selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, meningkatkan cita rasa
dan mengurangi biaya produksi. Pati merupakan bahan pengisi yang
umum dipakai dalam pembuatan bakso. Jenis pati yang digunakan
dapat berpengaruh pada tekstur bakso yang dihasilkan. Pati yang
umum digunakan diantaranya tapioka dan pati sagu. Menurut Wibowo
(2006), untuk menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu
tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya paling banyak 15 %
dari berat daging. Bakso yang menggunakan tepung 30-40 % dari
berat daging akan menghasilkan rasa dan mutu bakso yang kurang
bagus. Sedangkan menurut Winarno (1997), bakso yang bermutu baik
mempunyai kadar pati rendah yaitu sekitar 15 %, semakin tinggi
kandungan pati maka mutu bakso akan rendah. Berdasarkan SNI 01-
3818-1995 tentang Bakso Daging, bahan pengisi yang digunakan
dalam pembuatan bakso maksimum 50 %.
c. Garam dan bumbu-bumbu
Garam dapur (NaCl) yang ditambahkan dalam pembuatan bakso
selain berfungsi sebagai penyedap rasa juga berfungsi sebagai pelarut
protein yaitu miosin sehingga dapat menstabilkan emulsi daging.
Garam juga berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air protein
daging. Menurut Wibowo (2006), garam dapur yang ditambahkan ke
dalam adonan daging seberat 2.5 % dari berat daging. Sunarlim (1992)
pun menyatakan bahwa penambahan garam sebaiknya tidak lebih dari
4 % dan tidak kurang dari 2 %. Kadar garam yang tinggi dapat
mempengaruhi rasa produk menjadi terlalu asin sedangkan
konsentrasi garam yang rendah menyebabkan rendahnya protein
terlarut.
Bumbu yang biasa ditambahkan ke dalam adonan bakso untuk
meningkatkan cita rasa yaitu monosodium glutamat (MSG).
25
Penambahan MSG biasanya sekitar 0.25 % dari berat daging. Menurut
Wibowo (2006), sebaiknya jangan menggunakan penyedap masakan
MSG karena penggunaan penyedap ini masih diperdebatkan dan
dicurigai menjadi penyebab timbulnya kanker. Bumbu penyedap yang
ditambahkan cukup dibuat dari campuran bawang putih dan merica
dengan bobot sekitar 2 % dari berat daging.
d. Es atau air es
Bahan lain yang diperlukan adalah es atau air es. Di dalam adonan
bakso, air berfungsi untuk melarutkan garam dan mendispersikannya
secara merata ke seluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi
protein dan membantu pembentukan emulsi. Wibowo (2006)
menyatakan bahwa penggunaan es atau air es ini, sebaiknya es batu,
sangat penting dalam pembentukan tekstur bakso. Dengan adanya es
ini suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging
tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi
protein berjalan dengan baik. Penggunaan es juga berfungsi
menambahkan air ke adonan sehingga adonan tidak kering selama
pembentukan adonan maupun selama perebusan. Penambahan es juga
meningkatkan rendemennya.
Jumlah penambahan air berkisar 20-50 % dari berat daging,
tergantung pada jumlah tepung. Semakin banyak jumlah tepung, maka
semakin banyak jumlah air yang harus ditambahkan untuk
menghasilkan tekstur adonan yang sama. Menurut Wibowo (2006),
jumlah es yang dapat digunakan sebanyak 10-15 % dari berat daging,
atau bahkan 30 % dari berat daging.
e. Sodium Tri Polifosfat (STPP)
STPP atau disebut juga natrium tripolifosfat mempunyai fungsi
untuk meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi, dan kemampuan
emulsi (Ockerman, 1983). Jika nilai pH semakin mendekati titik
isoelektrik protein, maka daya ikat air (DIA) akan semakin rendah.
26
Penambahan STPP akan meningkatkan pH sehingga akan diperoleh
DIA yang tinggi. Ockerman (1983) selanjutnya menambahkan bahwa
STPP juga berfungsi untuk menurunkan susut masak karena dapat
mengurangi air yang hilang selama pemasakan. Fosfat dan garam
NaCl mempunyai sifat sinergisme sehingga meningkatkan DIA,
meningkatkan keempukan dan memudahkan pengirisan, menstabilkan
warna dan keseragaman, menghambat ketengikan karena fosfat
mempunyai sifat sebagai antioksidan, dan meningkatkan mutu produk
daging. Penggunaan STPP memiliki pembatas (self limiting) yang
disebabkan karena STPP memiliki rasa yang agak pahit pada
konsentrasi tertentu, sehingga penggunaannya pada umumnya sekitar
0.3-0.5 %.
f. Bahan lainnya
Bahan lainnya yang sering digunakan adalah bahan pemutih
(Titanium dioksida-TiO2) dan tawas. Penambahan TiO2 dalam bakso
diperkirakan antara 0.25-0.5 % dari berat adonan, fungsinya untuk
mencegah warna bakso menjadi gelap. Tawas (Al2(SO4)3)
dicampurkan ke dalam air yang digunakan untuk merebus bakso
bertujuan untuk mengeraskan permukaan bakso dan memberi warna
yang cerah. Jumlah penggunaannya sekitar 1-2 gram per liter.
2. PROSES PENGOLAHAN BAKSO
Prinsip pembuatan bakso adalah penghancuran daging dan
pencampuran dengan bahan-bahan tambahan membentuk adonan daging
yang lalu dicetak dan dimasak. Tujuan penghancuran daging adalah untuk
memecah serabut daging, sehingga protein larut garam lebih mudah
terekstrak. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara mencacah,
menggiling atau mencincang sampai lumat. Alat yang biasa digunakan
antara lain pisau, alat pencincang (chopper) atau penggiling (grinder).
Pembentukan adonan dilakukan dengan mencampur seluruh bagian
bahan kemudian dihancurkan sehingga membentuk adonan. Untuk hasil
27
terbaik, penambahan NCl dan fosfat dilakukan di awal penghancuran
daging, sementara bumbu ditambahkan di akhir. Tujuannya untuk
mengoptimalkan jumlah protein miofibril yang terekstrak dan
mengembang sehingga daya ikat air dan daya emulsi optimal.
Pemasakan dilakukan dalam dua tahap, agar bakso yang dihasilkan
tidak keriput dan tidak pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat.
Pada tahap pertama, bakso dipanaskan dalam air hangat (suhu sekitar 60-
80oC) sampai bakso mengeras dan mengambang di permukaan air. Pada
pemasakan selanjutnya, bakso direbus sampai matang di dalam air
mendidih, biasanya sekitar 10 menit.
C. KERUSAKAN BAKSO
Bakso merupakan produk olahan daging yang memiliki kandungan
nutrisi, nilai pH, dan kadar air tinggi. Menurut Fardiaz (1992) daging
termasuk makanan yang mudah rusak, karena mempunyai nilai aw dan pH
yang relatif tinggi. Bahan pangan yang memiliki nutrisi, nilai pH, dan kadar
air tinggi merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroba, sehingga
bakso umumnya memiliki masa simpan yang singkat. Produk-produk olahan
daging dinyatakan relatif awet jika mempunyai pH di bawah 5.0 atau aw di
bawah 9.1.
Menurut Buckle et al., (2007), pembusukan bahan pangan adalah
setiap perubahan sifat-sifat kimia, fisik, maupun organoleptik dari bahan
pangan yang masih segar maupun setelah diolah, yang mengakibatkan
ditolaknya bahan pangan tersebut oleh konsumen. Penyebab utama proses
pembusukan pada bahan pangan adalah mikroorganisme dan berbagai
perubahan enzimatis maupun nonenzimatis yang terjadi setelah panen atau
penyembelihan.
Bentuk-bentuk kerusakan bahan pangan oleh mikroorganisme antara
lain berjamur, pembusukan (rots), berlendir, perubahan warna, kerusakan
fermentatif, serta pembusukan bahan-bahan berprotein. Secara organoleptik,
tanda-tanda yang dapat diamati untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan
bakso antara lain timbulnya bau masam hingga busuk, permukaan bakso
28
berlendir dan ditumbuhi miselium kapang, warna dan penampakan menjadi
tidak cerah.
Menurut Buckle et al., (2007), pertumbuhan bakteri pada permukaan
yang basah seperti daging dapat menyebabkan flavor dan bau yang
menyimpang serta pembusukan bahan pangan dengan pembentukan lendir.
Pada umumnya mikroba pembentuk lendir termasuk genus Pseudomonas,
Achromobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus, dan
beberapa spesies Lactobacillus (Frazier dan Westhoff, 1988). Frazier dan
Westhoff (1988) selanjutnya menambahkan bahwa adanya bau yang tidak
enak merupakan hasil pertumbuhan bakteri pada permukaan yang merupakan
tanda awal sebelum terjadinya kebusukan. Pengasaman dapat berasal dari
komponen asam-asam volatil seperti format, asetat, butirat atau propionat.
Kandungan mikroba pada saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2 x 106-
108.
Menurut Frazier dan Westhoff (1988), mikroorganisme penyebab
kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral
terutama adalah golongan bakteri. Beberapa golongan bakteri yang dapat
tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air
tinggi dengan pH netral antara lain : golongan bakteri proteolitik, bakteri asam
laktat, dan golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan
Brevibakteria.
Salah satu indikator kerusakan bakso adalah tumbuhnya miselium
kapang dipermukaan bakso dan pertumbuhan khamir. Miselium kapang yang
tumbuh bisa berupa spot berwarna putih dan hijau. Menurut Frazier dan
Westhoff (1988), Sporotrichum carnis dan Geotrichum merupakan kapang
yang paling umum ditemui sebagai penyebab timbulnya spot putih. Sedangkan
spot berwarna hijau disebabkan oleh Penicillium seperti P. expansum, P.
asperulum, dan P. oxalicum. Frazier dan Westhoff (1988) selanjutnya
menjelaskan bahwa pada kondisi aerob khamir dapat tumbuh pada permukaan
daging menyebabkan terbentuknya lendir, lipolisis, off odor, perubahan warna.
Sedangkan kapang dapat menyebabkan stickiness, noda hitam, dekomposisi
lemak, off odor, serta perubahan cita rasa. Jenis kapang dan khamir yang biasa
29
tumbuh pada olahan daging adalah Aspergillus, Penicillium, Rhizopus,
Thamnidium, Debaryomyces, Torula, Torulopsis, Trichosporon, dan Candida.
D. PENGAWETAN BAKSO
Salah satu cara untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan
adalah dengan menambahkan bahan pengawet. Buckle et al. (2007)
mendefinisikan bahan pengawet sebagai salah satu kelompok dari sejumlah
besar bahan-bahan kimia yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan
pangan atau ada dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan
prapengolahan, pengolahan, atau penyimpanan.
Kemampuan suatu zat pengawet untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsentrasi zat
pengawet, sifat-sifat mikroba yang meliputi jenis, jumlah, masa, dan keadaan
mikroba, sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis, dan
jumlah senyawa di dalamnya, suhu lingkungan serta waktu penyimpanan
(Fardiaz, 1992).
Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan anorganik dalam bentuk
asam atau garamnya. Zat pengawet organik lebih mudah dibuat, oleh karena
itu zat tersebut lebih banyak digunakan pada produk dibandingkan zat
pengawet anorganik. Zat kimia organik yang sering digunakan sebagai bahan
pengawet adalah asam sorbat dan garamnya, asam propionat dan garamnya,
asam benzoat dan garamnya beserta turunanya, asam asetat, dan peroksida
(Winarno, 1992).
Penelitian yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bakso
telah banyak dilakukan. Tandiyono (1996) melaporkan bahwa bakso yang
dibuat dengan penambahan 0.3 % Sodium Tripolyphosphat (STPP) dan 0.2 %
natrium propionat pada jam ke-24 dalam suhu kamar telah mengandung
sekitar 5.8 x 106 koloni mikroba/gram, sedangkan dari hasil penelitian Aulia
(1998) menunjukkan bahwa pembuatan bakso dengan penambahan bahan
pengawet benzoat sebesar 0.1 % pada hari ke-1 telah mengandung 1.3 x 107
koloni mikroba/gram dengan penyimpanan di suhu kamar.
30
Penggunaan bahan pengawet nitrit 100 ppm, kombinasi 0.1 % benzoat
dan 0.1 % nitrit serta 0.1 % paraben dan 0.1 % nitrit pada penyimpanan hari
ke-1 telah mengandung 106-10
7 koloni mikroba/gram, sedangkan penggunaan
kombinasi 0.1 % paraben dan 450 ppm metabisulfit pada penyimpanan hari
ke-2 telah mengandung 6.9 x 107 koloni mikroba/gram. Jumlah total mikroba
tersebut telah melampaui batas yang diizinkan, karena menurut SNI 01-3818-
1995 jumlah total mikroba maksimal yang diperbolehkan terdapat dalam
bakso adalah 1.0 x 105 koloni/gram (Yovita, 2000).
Menurut hasil penelitian Wicaksono (2007), jumlah total bakteri pada
sampel bakso yang diberi berbagai macam perlakuan pengawet telah
melampaui batas SNI 01-3818-1995 pada penyimpanan hari ke-2. Jumlah total
bakteri pada sampel dengan perlakuan FTO (8.04 log cfu/g), COG (7.44 log
cfu/g), sampel dengan penambahan kitosan di adonan 7.02 log cfu/g, sampel
dengan sulfit dan tanin 6.55 log cfu/g, serta sampel yang dicoating dengan
kitosan 5.77 log cfu/g.
Hadi (2008) melakukan penelitian untuk memperpanjang masa simpan
bakso dengan metode penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih ke dalam
adonan bakso serta perlakuan edible coating larutan kitosan dan ekstrak
bawang putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan kitosan 1%
dengan ekstrak bawang putih 2% pada adonan bakso mampu mempertahankan
umur simpan selama 12 jam. Sedangkan bakso dengan perlakuan edible
coating mencapai umur simpan selama 24 jam.
E. BAHAN PENGAWET YANG DITELITI
1. ASAM LAKTAT
Asam laktat merupakan asam yang luas sekali penggunaannya,
terdapat secara alami, serta umum digunakan dalam pengolahan pangan.
Asam laktat umum digunakan untuk mengontrol pH dan juga sebagai
flavoring. Menurut Davidson dan Juneja (1990), pada konsentrasi 6-8 μM
dapat menghambat bakteri pembentuk spora pada pH 5.0 tetapi
efektivitasnya rendah pada khamir dan kapang. Kapasitas penghambatan
31
bakteri oleh asam ini terletak pada kemampuannya menurunkan pH
sampai ke tingkat dimana bakteri tidak dapat tumbuh.
Penggunaan asam laktat sebagai pengasam pada berbagai macam
makanan dan minuman dapat memberikan hasil yang baik. Hal ini
disebabkan oleh rasa asam laktat yang relatif tidak masam dibanding asam
organik lainnya. Selain itu aroma asam laktat sangat diterima karena
aromanya tidak tajam serta tidak mempengaruhi komponen aroma lainnya.
Tidak seperti asam organik lainnya, larutan asam laktat sangat kental dan
tidak bersifat volatil. Asam laktat juga dapat mencegah kebusukan dan
bentuknya sebagai larutan membuat asam laktat mudah digunakan. Tabel
3 memperlihatkan sifat-sifat fisik asam laktat. Asam laktat sangat larut air
tapi tidak larut dalam pelarut organik.
Tabel 3. Sifat fisik Asam Laktat
Sifat Fisik
Rumus Kimia CH3CHOHCOOH
BM 90.08 g/mol
Aspek fisik Kental, tidak berwarna, non volatil
Titik leleh 16.8oC
Bentuk umum 88 % dan 50 % larutan
Kelarutan Sangat larut
Kalor jenis, 20oC 0.505 kal/g
oC
Densitas 10.0 lbs/gal (88%), 9.4 lbs/gal (50%)
Aroma Terdapat dalam bentuk asam lemah
Rasa Asam
Sumber : (Furia, 1972)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyemprotan asam laktat
terhadap karkas daging dapat membatasi pertumbuhan mikroba secara
efektif dengan beberapa perlakuan penyimpanan. Menurut Doores (2005),
asam laktat dengan konsentrasi 1-1.25 % yang disemprotkan terhadap
karkas sapi muda diikuti dengan pengemasasn vakum dapat menurunkan
jumlah mikroba setelah penyimpanan selama 14 hari pada 2oC. Metode
lain dari pengawetan dengan asam laktat adalah dengan pencelupan.
Jumlah mikroba dari kulit unggas yang telah dicelupkan selama 15 detik
pada 19oC dalam 2 % pada pH 2.2 turun dari 5.2 menjadi 3.7 log CFU/g
(van der Marel et al., 1988 dalam Doores, 2005).
32
Percobaan Zeitoun dan Debevere (1990) menunjukkan bahwa
penyemprotan asam dengan buffer 10 % asam laktat dan natrium laktat
(pH 3.0) terhadap kaki ayam meningkatkan umur simpannya dari 6
menjadi 12 hari pada 6oC, sedangkan perendaman dengan asam lakat 2 %
pada pH 2.3 dapat memperpanjang umur simpan kaki ayam tersebut
hingga 8 hari. Perlakuan-perlakuan tersebut dapat menghambat bakteri
yang memproduksi hidrogen sulfida seperti Pseudomonas spp., yang
berkontribusi terhadap kebusukan makanan. Perlakuan di atas juga tidak
mempengaruhi kualitas sensori dari sampel. Namun, konsentrasi asam
laktat yang lebih tinggi dan perlakuan yang berulang tidak selalu
menjamin dekontaminasi yang lebih baik.
Aspek legalitas dari penggunaan asam laktat pada berbagai tujuan
penggunaan telah disetujui oleh U.S. FDA dengan nomor peraturan 21
CFR 184.1061 dengan tanpa pembatasan konsentrasi yang digunakan
(Doores, 2005). Sedangkan USDA melalui nomor peraturan 9 CFR 318.7
memperbolehkan penggunaan asam laktat pada produk daging dengan
konsentrasi yang paling rendah yang perlu dilakukan untuk tujuan tertentu
(Doores, 2005).
2. ASAM ASETAT
Asam-asam organik dikenal akan kemampuannya sebagai
bakterisidal dan bakteriostatik. Kemampuan antimikrobanya tergantung
kepada tiga faktor antara lain efek dari pH, kemampuan asam untuk
berdisosiasi, dan efek spesifik yang berhubungan dengan molekul asam itu
sendiri (Smulders, 1995). Doyle (1989) juga menyebutkan bahwa
kemampuan antimikroba dari asam asetat bergantung pada waktu kontak,
temperatur, konsentrasi, derajat disosiasi, dan atau pH.
Menurut Mourtney dan O’Malley, yang dikutip oleh Smulders
(1995), telah dibandingkan sebelas jenis asam dalam kemampuannya
untuk mendekontaminasi daging, dan walaupun semua asam mempunyai
kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme, yang lebih
33
direkomendasikan adalah asam asetat, asam adipat, dan asam suksinat
sebagai asam yang paling efektif dalam memperpanjang umur simpan.
Chung dan Geopert (1970) telah menguji 13 asam sebagai inhibitor
terhadap Salmonella dan merekomendasikan asam asetat dan asam
propionat sebagai yang paling efektif menghambat pertumbuhan
Salmonella. Hal yang sama juga dilakukan oleh Carpenter (1973) yang
menguji efek inhibitor terhadap Salmonella enteritidis. Dari semua
komponen yang diujikan, asam asetat pada pH 2 adalah asam yang paling
tepat dipilih untuk mengurangi Salmonella.
Menurut van Velthuijsen (1986) yang dikutip Handoko (1989), di
antara asam-asam organik yang umum terdapat pada bahan pangan, asam
asetat merupakan asam yang memiliki efek terkuat sebagai pengawet.
Secara umum, penggunaan konsentrasi asam (1-3%) merupakan cara yang
paling efektif dalam menghambat bakteri-bakteri patogen seperti
Campylobacter jejuni, Yersinia enterolitica, dan efektif pula dalam
menghambat Salmonella (Smulders, 1995). Sifat-sifat fisik asam asetat
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat fisik asam asetat
Sifat Fisik
Rumus Kimia CH3COOH
Berat Molekul 60.03
Aspek Fisik Cairan tidak berwarna
Titik Didih 119oC
Titik Beku 16.6oC
Konstanta Ionisasi 1.75 x 10-5
Bau Menyengat
Rasa Asam
Kelarutan Larut dalam air, alkohol, gliserin
Commercial grades Larutan aqueous 99.5 % dan 36 %
Densitas larutan 99.5 % 1045 g/l
Densitas larutan 36 % 376 g/l
pH larutan 1 % 2.78
Sumber : Furia (1972)
34
F. MEKANISME PENGAWETAN ASAM ORGANIK
Kemampuan antimikrobial suatu asam organik tergantung pada tiga
faktor, antara lain: efek dari kemampuan asam tersebut dalam menurunkan
pH, kemampuan asam untuk berdisosiasi, dan efek spesifik yang berhubungan
dengan molekul asam itu sendiri (Smulders, 1995). Pemilihan jenis asam
organik yang digunakan sebagai pengawet bahan makanan didasarkan atas
daya kelarutannya, rasa asam yang ditimbulkan pada bahan pangan, dan
tingkat toksisitasnya.
Menurut Branen (1983) yang dikutip oleh Davidson dan Juneja (1990),
ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih bahan
antimikrobial untuk makanan. Pertama, spektrum antimikrobial dari
komponen yang digunakan harus diketahui. Kedua, sifat kimia dan fisik
antimikrobial dan produk makanan harus diketahui. Ketiga, kondisi
penyimpanan produk dan interaksi dengan proses yang lainnya harus
dievaluasi. Keempat, keamanan dan legalitas dari komponen yang dipilih
harus diketahui.
Banyak sekali bahan pengawet yang secara tradisional atau ditemukan
melalui penelitian-penelitian, telah banyak digunakan. Akan tetapi, sebagian
besar belum diketahui benar mekanisme kerjanya. Namun, menurut Furia
(1972), mekanisme kerja bahan pengawet adalah sebagai berikut : (1)
mengganggu sel mikroba, (2) mengganggu mekanisme genetik mikroba, dan
(3) mengganggu aktivitas enzim intraseluler.
Menurut Furia (1972), mekanisme kerja asam-asam organik sebagai
pengawet berdasarkan pada permeabilitas dari membran sel mikroba terhadap
molekul-molekul asam yang tidak terdiosiasi. Asam asetat banyak digunakan
pada makanan dalam bentuk vinegar yang mengandung asam 4% atau lebih.
Pada pH 5 atau lebih rendah, asam asetat menghambat kebanyakan bakteri
termasuk bakteri patogenik seperti Salmonella dan Staphylococcus. Pada pH
yang lebih rendah lagi dapat menghambat pertumbuhan kapang dan khamir.
Aktivitas antibakterinya berhubungan dengan molekul asam yang tidak
terdisosiasi yang berpenetrasi ke dalam membran sel (Furia, 1972).
35
Gangguan terhadap membran dan dinding sel akan mempengaruhi
permeabilitas kadar nutrien sel dan kandungan seluler. Bahan antimikroba
yang efektif tidak perlu masuk ke dalam sel, reaksi pada dinding sel saja sudah
cukup untuk mengganggu permeabilitas sel, sehingga pengangkutan nutrien
ke dalam sel terganggu yang menyebabkan sel kekurangan komponen-
komponen seluler. Efektivitas antimikroba tergantung pada macam pengawet,
konsentrasi, macam organisme, dan suhu (Furia, 1972).
Aktivitas antimikrobial asam organik ditentukan oleh besarnya
persentase molekul asam yang tidak terurai (undissociated), yang ditetapkan
dengan nilai pKa. Bahan makanan yang memiliki pH rendah, banyaknya
persentase molekul asam organik yang tidak terurai meningkat, sehingga
kemampuan sebagai antimikrobial juga akan meningkat. Nilai pKa adalah
nilai dimana 50% total asam merupakan bentuk yang tidak terurai.
Asam organik yang memiliki pKa lebih tinggi maka banyaknya molekul
yang tidak terdisosiasi dalam larutan lebih banyak, sehingga pH larutan
menjadi asam. Oleh karena itu, proton yang jumlahnya lebih banyak akan
masuk ke dalam sitoplasma sel mikroorganisme. Untuk mencegah terjadinya
penurunan pH dan denaturasi di dalam sel, proton-proton yang berada di
dalam sel berusaha dikeluarkan oleh sel mikroorganisme. Pertumbuhan sel
mikroorganisme menjadi lebih lambat bahkan berhenti sama sekali karena
dibutuhkan energi untuk mengeluarkan proton dari dalam sel. (Eklund, 1989;
Fardiaz, 1992).
Asam asetat merupakan kelompok asam lemah. Meskipun demikian,
asam ini memiliki kemampuan untuk meracuni mikroba. Mekanisme asam
asetat dalam menginaktivasi bakteri adalah sebagai berikut :
Asam lemah dapat terurai seperti ini : R-COOH → RCOO- + H
+. Asam
yang terurai membuat ion H+ yang terbentuk semakin banyak. Pada larutan
asam lemah, adanya ion H+ dalam jumlah banyak, akan membuat
kesetimbangan reaksi bergeser ke kiri menuju bentuk yang tidak terurai (R-
COOH). Bentuk yang tidak terurai ini dapat larut dalam lemak sehingga
memungkinkannya masuk menembus membran sel yang sebagian besar terdiri
dari fosfolipid dan lemak. Banyaknya larutan asam asetat membuat semakin
36
banyak bentuk tidak terurai yang masuk ke dalam sel. Di dalam sel yang
memiliki kondisi pH netral, R-COOH dapat terurai menjadi RCOO- dan H
+.
Banyaknya ion H+ yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun.
Penurunan pH ini dapat menyebabkan sel mati karena aktivitas enzim dan
asam nukleatnya terganggu (Garbutt, 1997).
G. PENGEMASAN
Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi
lingkungan atau sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dengan demikian
memerlukan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada biasanya
diketahui (Buckle et al., 2007). Fungsi dari pengemasan adalah untuk
mempertahankan agar bahan pangan tetap bersih dan memberikan
perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya (mikroba) dan
memberikan perlindungan terhadap kerusakan fisik, oksigen, sinar, sehingga
bahan yang dikemas memiliki umur simpan yang lebih lama.
Polimer plastik terdiri dari kelompok yang tersusun oleh rantai
hidrokarbon yang meliputi polietilen (PE), polipropilen (PP), polistiren (PS),
polivinilklorida (PVC), dan derivat-derivatnya; kelompok yang mengandung
rantai bernitrogen meliputi polyester (myler), nilon, polietilen-tereftalat (PET),
dan poliuretan; serta kelompok kopolimer yaitu polimer campuran.
Pada penelitian ini, bakso yang sudah dicelup kemudian dimasukan ke
dalam plastik HDPE dan ditutup rapat (sealing). Maksud dari kegiatan sealing
ini adalah agar tidak ada mikroba kontaminan yang dapat masuk dan
mencemari bahan pangan, serta untuk mencegah oksigen masuk sehingga
tidak terjadi reaksi oksidasi.
Polietilen dibuat dengan proses polimerisasi gas etilen yang diperoleh
dari hasil samping industri arang dan minyak. Polietilen merupakan jenis
plastik yang banyak digunakan dalam industri karena sifat-sifatnya yang
mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih
dan mudah digunakan sebagai laminasi. Berdasarkan densitasnya polietilen
terbagi atas (1) Polietilen Densitas Rendah (LDPE = Low Density
Polyethylene), yang dihasilkan melalui proses tekanan tinggi dan paling
37
banyak digunakan sebagai kantung, mudah dikelim dan sangat murah
harganya, (2) Polietilen Densitas Tinggi (HDPE = High Density
Polyethylene), yang dihasilkan pada proses dengan suhu dan tekanan rendah
(50-70oC, 10 atm), sifatnya lebih kaku dan tahan terhadap suhu tinggi (120
oC)
sehingga banyak digunakan untuk produk yang mengalami proses sterilisasi,
(3) Polietilen Densitas Menengah (MDPE = Medium Density Polyethylene),
yang mempunyai sifat lebih kaku daripada LDPE dan memiliki titik leleh
lebih tinggi daripada LDPE.
Beberapa keuntungan dalam penggunaan kemasan plastik adalah dapat
melindungi isi dengan baik, ringan sehingga menurunkan biaya transportasi,
tidak mudah pecah sehingga mengurangi faktor resiko dan kerugian selama
penyimpanan dan transportasi, dapat dibuat dalam berbagai macam bentuk
sesuai dengan selera, tidak korosif serta tahan terhadap beberapa bahan kimia.
38
III. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi dan
tepung tapioka sebagai bahan baku pembuatan bakso, bahan tambahan yang
terdiri dari garam, STPP, dan es batu serta bumbunya seperti bawang merah,
bawang putih, merica bubuk, dan MSG. Bahan pengawet yang digunakan
adalah asam asetat, asam cuka pasar (asam asetat 25 %), dan asam laktat.
Bahan untuk analisis mikrobiologi, yaitu KH2PO4, alkohol 70 %, media Plate
Count Agar (PCA), Potatoes Dextrose Agar (PDA), Asam tartarat 10 %.
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis total asam tertitrasi adalah NaOH
0,1 N, kalium hidroksi phtalat (KHP), indikator phenophtalein, dan akuades.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan untuk
membuat bakso seperti kompor, panci perebusan, baskom, pisau, meat cutter,
chopper. Sedangkan alat untuk analisis adalah pH meter, penetrometer,
Chromameter Minolta CR-200, buret, alat-alat gelas, bulb, sudip, plastik
HDPE, stomacher, inkubator, mikropipet, cawan petri, bunsen, dan lain-lain.
B. METODE PENELITIAN
1. Penelitian Pendahuluan
Tahap ini bertujuan mencari dan mendapatkan jenis dan konsentrasi
larutan pengawet asam organik yang mampu memperpanjang umur simpan
bakso pada suhu ruang. Pengawet yang mampu mengawetkan bakso hingga
empat hari akan digunakan pada penelitian utama. Jenis pengawet yang
digunakan adalah asam laktat, asam asetat, dan asam cuka pasar. Penelitian
pendahuluan ini terdiri dari dua tahap.
a. Tahap 1
Perlakuan pada tahap ini adalah :
A0 : Bakso dengan asam asetat 0 % (kontrol)
A1 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam asetat 4 %
A2 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam asetat 6 %
39
A3 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam asetat 8 %
B0 : Bakso dengan asam laktat 0 % (kontrol)
B1 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam laktat 4%
B2 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam laktat 6 %
B3 : Pencelupan (coating) sampel bakso pada larutan asam laktat 8%
Bakso dicelupkan ke dalam larutan asam organik selama 1 menit.
Sampel kemudian dikeringanginkan, dikemas dengan plastik, dan
disimpan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi
pengamatan visual (warna, aroma, rasa, tekstur, pembentukan lendir dan
miselium kapang) selama penyimpanan empat hari serta analisis total
mikroba (TPC) dan pengukuran pH. Perlakuan yang paling efektif
ditentukan berdasarkan umur simpan.
b. Tahap 2
Perlakuan pada tahap ini adalah
A0 : Bakso dengan asam asetat 0 % (kontrol)
A1 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan
asam asetat 5 %
A2 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan
asam asetat 10 %
B0 : Bakso dengan asam laktat 0 % (kontrol)
B1 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan
asam laktat 5 %
B2 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan
asam laktat 10 %
C0 : Bakso dengan asam cuka pasar 0 % (kontrol)
C1 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan
asam cuka pasar 5 %
C2 : Sampel bakso direbus pada air rebusan kedua yang berisi larutan
asam cuka pasar 10 %.
40
Larutan asam cuka pasar 5 % dan asam cuka pasar 10 % dibuat
dengan cara mengencerkan larutan asam cuka pasar 25 %. Asam cuka
pasar 25 % ini setara dengan asam asetat 25 %. Di bawah ini merupakan
contoh perhitungan untuk membuat 500 ml larutan asam cuka pasar 10 %.
Jumlah larutan asam cuka pasar 25 % yang ditambahkan sebanyak 200 ml.
Adapun cara perhitungannya sebagai berikut.
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 25 % = 500 ml x 10 %
V1 = (500 ml x 10 %)/25 %
V1 = 200 ml
Bakso direbus pada air rebusan kedua selama 10 menit. Sampel
kemudian dikeringanginkan, dikemas dengan plastik, dan disimpan pada
suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi pengamatan visual
(warna, aroma, rasa, tekstur, pembentukan lendir dan miselium kapang)
selama penyimpanan empat hari. Perlakuan yang paling efektif ditentukan
berdasarkan umur simpan.
2. Penelitian Utama
Penelitian utama ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik
fisik, kimia, dan mikrobiologis bakso yang menggunakan bahan pengawet
terpilih.
a. Perlakuan pada tahap penelitian utama
A0 : Bakso dengan asam cuka pasar 0 % (kontrol)
A1 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 0,5 %
A2 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 1,0 %
A3 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 1,5 %
A4 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 2,0 %
A5 : Perebusan sampel bakso pada larutan asam cuka pasar 2,5 %
b. Metode coating bakso pada larutan asam cuka pasar
Bakso yang sudah terapung pada air rebusan pertama diangkat
kemudian dimasukkan ke dalam air rebusan kedua yang berisi larutan
41
asam cuka pasar. Pada air rebusan kedua, bakso direbus sekitar 10
menit hingga bakso tersebut matang. Kemudian bakso
dikeringanginkan sebelum dikemas dalam plastik dan disimpan pada
suhu ruang.
c. Pengamatan
Pengamatan ini dilakukan terhadap semua perlakuan pada
penelitian utama selama empat hari penyimpanan yaitu hari ke-0, hari
ke-1, hari ke-2, hari ke-3, dan hari ke-4 karena target peyimpanannya
adalah selama empat hari. Parameter mutu bakso yang diamati dalam
tahap penelitian ini meliputi karakteristik mikrobiologis (total mikroba
dan total kapang khamir), karakteristik kimia (pH dan total asam
tertitrasi), serta karakteristik fisik (kekerasan bakso dan warna).
C. METODE ANALISIS
1. Analisis Mikrobiologi
a. Total Mikroba (BAM, 2001)
Analisis total mikroba dilakukan dengan menggunakan metode
BAM (2001). Sebanyak 10 gram sampel yang ditimbang secara aseptik
dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril. Kemudian ditambahkan
90 ml larutan pengencer dan dihancurkan sampai halus. Sampel yang
telah dihancurkan dengan stomacher kemudian dilakukan pengenceran
desimal sesuai dengan kebutuhan kemudian dilakukan pemupukan
secara duplo. Selanjutnya ditambahkan media PCA cair steril yang telah
didinginkan hingga mencapai suhu 45oC ± 1°C sebanyak 12-15 ml ke
dalam masing-masing cawan yang telah dipupukan dan dibiarkan
hingga membeku. Setelah membeku, diinkubasi pada suhu 35oC selama
2 hari dengan posisi terbalik. Setelah waktu inkubasi selesai, dihitung
koloni total dengan metode Harrigan seperti di bawah ini:
Batas koloni yang dihitung : 25-250 cfu
N = C
[(1 x n1) + (0.1 x n2)] x d
42
Keterangan :
N : Total koloni per ml atau gram sampel
C : Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk batas perhitungan
n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua
d : Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan
b. Total Kapang Khamir (Fardiaz, 1987)
Sebanyak 1 ml sampel diencerkan dalam 9 ml larutan
pengencer. Pemupukan dilakukan duplo untuk setiap pengenceran
dengan cara memipet 1 ml sampel yang telah diencerkan ke dalam
cawan petri steril, kemudian ditambahkan 15-20 ml Acidified
Potato Dextrose Agar (APDA) cair steril. Cawan petri
digoyangkan secara mendatar agar sampel menyebar rata. Setelah
agar membeku, segera diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu
37oC selama 2-3 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung dengan
menggunakan metode Harrigan dengan satuan cfu/g (Harrigan,
1998).
2. Analisis Kimia
a. Pengukuran pH (Sadler dan Murphy, 2003)
pH-meter harus selalu distandardisasi terlebih dahulu untuk
memberikan akurasi pengukuran yang maksimum. Standardisasi pH-
meter dapat dilakukan dengan menggunakan dua larutan buffer yang
memiliki selisih pH 3 unit (kalibrasi dua titik). Tiga larutan buffer
yang paling sering digunakan untuk standardisasi adalah buffer pH
4, buffer pH 7, dan buffer pH 9 (pada suhu 25oC). Ketika
standardisasi elektroda pH, dilakukan kalibrasi satu titik. Setelah
terukur nilai pH-nya, elektroda pH dibilas menggunakan air destilata
dan dikeringkan (dilap). Selanjutnya dilakukan pengukuran ke dalam
buffer pH 4 dan proses pengukuran ini diulangi hingga memperoleh
selisih nilai sebesar 0.1 unit pH antar pengukuran. Jika memberikan
43
TAT = V x FP x 100
w
hasil dengan selisih lebih besar dari 0.1 unit pH, pH-meter tersebut
tidak berfungsi dengan baik.
Sampel yang akan dianalisis ditimbang sebanyak 5 gram dan
dicampur dengan sedikit air destilata sebagai pelarut. Campuran ini
dihancurkan sampai halus dan homogen, kemudian dilakukan
pengukuran pH. Elektroda ditempatkan ke dalam sampel sehingga
dapat terbaca nilai pH terukur. Elektroda diangkat lalu dibilas
dengan air destilata dan selanjutnya dapat digunakan untuk
mengukur pH sampel berikutnya.
b. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al. 1989)
Standardisasi NaOH
Sebanyak 0.8 g KH2PO4 (BM=204.228 g/mol) ditimbang
kemudian ditambahkan 50 ml air destilata dan diteteskan 2-3 tetes
indikator PP. Selanjutnya dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N yang
akan distandardisasi sampai terbentuk warna merah muda yang
bertahan selama 15 detik. Normalitas NaOH dihitung dengan rumus:
Persiapan Sampel
Sebanyak 10 gram sampel dihancurkan sampai halus kemudian
ditambahkan 90 ml akuades. Dari campuran tersebut diambil 4 ml
kemudian dimasukan ke dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya
ditambahkan akuades sampai tanda tera. Sampel diambil 50 ml dan
ditambahkan indikator fenolftalein 2-3 tetes. Kemudian sampel
dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N yang telah distandardisasi
sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Total asam
tertitrasi dinyatakan dalam persen asam organik dan dihitung dengan
rumus:
Keterangan:
Normalitas NaOH = g KHP
0.2042 x ml NaOH
44
TAT : TAT (ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel)
V : Volume NaOH (ml)
FP : Faktor pengenceran
w : Volume sampel tertitrasi (ml)
3. Analisis Fisik
a. Warna (Pomeranz, et al., 2000)
Alat yang digunakan dalam pengukuran bakso adalah Minolta
Chroma Meters CR-200. Alat ini dapat memberikan lima sistem notasi
warna yang berbeda untuk mengukur nilai warna absolute (CIE Yxy,
L* a* b*, LoC
oH
o, densitas kolometrik DxDyDz dan notasi Munsell),
dan empat sistem untuk mengukur perbedaan warna yaitu ∆ (Yxy), ∆
(L* a* b*), ∆ (LoC
oH
o), ∆ (DxDyDz).
Sistem notasi warna yang digunakan adalah sistem notasi
Comission Internationale de I’Eclairge (CIE), yang kemudian
dikonversi ke sistem notasi Hunter. Pada sistem notasi CIE Yxy, Y
adalah nilai kecerahan (%), x dan y adalah koordinat dimana pada
bidang koordinat tersebut terdapat peta warna-warna monokromatis
(merah, hijau, biru) dan warna-warna campurannya. Sedangkan sistem
notasi warna Hunter memiliki parameter L, a, b. Nilai L menyatakan
tingkat kecerahan, nilai a menyatakan warna merah jika positif atau
hijau jika negatif, dan nilai b menunjukkan warna kuning jika positif
atau biru jika negatif.
Cara penggunaan :
Kalibrasi
Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan standar warna yang
mendekati warna bakso, yaitu nilai Y = 25.30, nilai x = 0.3630, dan
nilai y = 0.3360.
Pengukuran nilai Yxy contoh
45
Tempatkan kepala pengukur (measuring head) pada target contoh,
lalu tekan tombol “Measure”. Hasil pengukuran akan terbaca pada
layar sebagai nilai Yxy.
Konversi nilai Yxy ke nilai L, a, b
Nilai L, a, b dapat dihitung dari persamaan berikut :
Y = Y
X = Y (x/y)
Z = Y {(1 – x – y) / y }
L = 10 Y½
a = { 17.5 ( 1.02 X – Y ) } / Y½
b = { 7.0 ( Y – 0.847 Z ) } / Y½
b. Kekerasan Objektif
Pengukuran kekerasan bakso menggunakan alat penetrometer yang
dilakukan sebanyak 2 kali (duplo) pada 3 titik yang berbeda. Angka
yang diperoleh dirata-ratakan, dimana kekerasan dinyatakan dalam
satuan mm per 10 detik.
4. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)
Pengujian organoleptik bakso mencakupi 5 macam atribut sensori,
yaitu pengujian terhadap rasa, warna, aroma, tekstur, dan overall. Sampel
bakso disajikan tanpa menggunakan kuah bakso. Uji yang dilakukan
adalah uji kesukaan (hedonik). Pengujian ini dilakukan oleh 30 orang
panelis. Skala hedonik yang digunakan terdiri dari 7 titik dengan urutan
menaik menurut tingkat kesukaan seperti terlihat pada Tabel 5 sebagai
berikut :
46
Tabel 5. Skala pengukuran uji hedonik
Skor Penilaian
1 Sangat Tidak suka
2 Tidak suka
3 Agak tidak suka
4 Biasa
5 Agak Suka
6 Suka
7 Sangat suka
5. Uji Statistik
Data hasil penelitian utama diolah secara statistik menggunakan
program komputer statistik SPSS 13.0 untuk uji keragaman (ANOVA/
Analysis of Variance) dan Uji Duncan. Uji-uji ini digunakan untuk
menarik kesimpulan, apakah penambahan pengawet dan lama peyimpanan
memberikan perbedaan yang nyata atau tidak.
6. Analisis Biaya
Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui berapa banyak biaya
yang diperlukan untuk mengawetkan satu kilogram bakso dengan larutan
asam organik. Pengujian terhadap analisis biaya ini dilakukan dengan
menghitung selisih volume larutan sebelum perebusan dengan volume
larutan setelah perebusan. Analisis ini nantinya digunakan untuk
mengetahui nilai jual bakso setelah pengawetan.
47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
Penelitian pada tahap ini bertujuan mencari dan mendapatkan jenis dan
konsentrasi larutan pengawet asam organik yang mampu memperpanjang
umur simpan bakso pada suhu ruang. Jenis pengawet yang digunakan adalah
asam laktat, asam asetat, dan asam cuka pasar. Penelitian pendahuluan ini
terdiri atas tiga tahap.
1. Tahap 1
Pada tahap ini, jenis asam organik yang diujicobakan ada dua
macam yaitu asam asetat dan asam laktat dengan konsentrasi mulai dari 4
%, 6 %, dan 8 %. Pemilihan asam asetat dan asam laktat sebagai pengawet
didasarkan pada kemampuan asam organik tersebut dalam menghambat
pertumbuhan mikroba lebih baik dibandingkan jenis asam organik yang
lain. Pemilihan konsentrasi 4 % pada asam asetat karena pada konsentrasi
4% asam asetat mampu menghambat pertumbuhan mikroba Salmonella
dan Staphylococcus (Furia, 1972).
a. Pengukuran nilai pH
Nilai pH sangat erat hubungannya dengan struktur protein daging,
daya kelarutan protein daging, yang berakibat lebih lanjut terhadap
kemampuan daging untuk mengikat air serta daya emulsi protein
daging. Protein sebagai salah satu penyusun daging memiliki
karakteristik yang sangat dipengaruhi oleh pH daging. Kemampuan
daging dalam mengikat air dan kontinyuitas emulsi daging merupakan
peranan protein yang signifikan pada produk tersebut.
Produk emulsi daging memerlukan bahan baku daging yang
memiliki nilai pH yang tinggi. Menurut Sheard (2002), hal ini
disebabkan pada pH tinggi (pH >5.5) protein daging akan lebih mudah
larut sehingga proses ekstraksinya dengan garam akan lebih maksimal.
Semakin tinggi protein miosin yang terekstrak, maka produk yang
dihasilkan akan memiliki WHC yang baik sehingga cooking loss
48
semakin rendah. Nilai pH bakso selama empat hari penyimpanan dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Nilai pH bakso dengan pengawetan metode pencelupan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Pengukuran nilai pH dilakukan terhadap produk bakso selama
empat hari penyimpanan. Nilai rata-rata pH awal sampel bakso kontrol
pada penyimpanan hari ke-0 mendekati pH netral yaitu 6.07. Nilai pH
pada bakso kontrol cenderung mengalami penurunan dengan
bertambahnya lama penyimpanan yaitu pada hari 1, 2, 3, dan 4 sebesar
5.99, 5.74, 5.17, dan 5.10. Sedangkan sampel bakso yang lain memiliki
kecenderungan penurunan nilai pH hingga penyimpanan hari ke-2,
namun nilai pH-nya kemudian meningkat hingga penyimpanan hari ke-
4.
Menurut Jay et al. (2005), sebagian besar mikroorganisme tumbuh
optimal pada pH sekitar 7.0 (6.6-7.5). Sebagian besar kapang
berkembang pada pH 2.0-8.5 sedangkan khamir tumbuh dengan baik
pada pH antara 4.0-4.5. Berdasarkan data di atas (Gambar 1), dapat
diketahui bahwa kisaran pH tersebut merupakan kondisi yang cukup
menguntungkan bagi pertumbuhan kapang dan khamir serta bakteri
yang suka asam (asidofilik). Penurunan pH produk dipengaruhi oleh
adanya aktivitas mikroba terutama dari golongan pembentuk asam.
Beberapa jenis mikroorganisme dalam bahan pangan seperti khamir
dan bakteri asam laktat tumbuh baik pada kisaran pH 3.0-6.0. Bakteri
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
0 1 2 3 4
Nila
i pH
Lama Penyimpanan (Hari)
Kontrol
As.Asetat 4 %
As.Asetat 6 %
As.Asetat 8 %
As.Laktat 4 %
As.Laktat 6 %
As.Laktat 8 %
49
asam laktat yang dapat tumbuh pada produk olahan daging yaitu
Leuconostoc, Lactobacillus, Streptococcus, dan Pediococcus (Frazier
dan Westhoff, 1988).
Sampel yang diberi perlakuan asam hampir semuanya mengalami
kenaikan nilai pH mulai penyimpanan hari ke- 3. Kenaikan nilai pH ini
kemungkinan disebabkan oleh adanya aktivitas bakteri yang dapat
meningkatkan pH substrat. Menurut Jay et al., (2005), bakteri seperti
Enterobacter aerogenes memproduksi asetosin dari asam piruvat untuk
meningkatkan pH lingkungan pertumbuhannya, sedangkan Clostridium
acetobotulycum dapat meningkatkan pH substrat dengan mereduksi
asam butirat menjadi butanol.
b. Analisis Total Mikroba (Total Plate Count)
Total Plate Count (TPC) atau analisis total mikroba merupakan
salah satu parameter yang sangat penting diperhatikan dalam produk
pangan karena sangat erat kaitannya dengan keamanan produk pangan.
Di dalam SNI 01-3818-1995, hampir semua produk pangan memiliki
regulasi batasan maksimal total mikroba yang diperbolehkan ada
dalam produknya. Bakso sebagai salah satu produk olahan daging yang
tergolong ke dalam kategori makanan yang mudah rusak juga memiliki
batas maksimal jumlah total mikroba. Menurut SNI 01-3818-1995,
total mikroba untuk produk bakso maksimal sebesar 1.0 x 105 koloni
per gram atau sebesar 5 log cfu/g.
Hasil pengamatan total mikroba pada sampel dan kontrol selama
empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan
hasil pengamatan, pada penyimpanan hari ke-0, kontrol mempunyai
kisaran total mikroba yang tertinggi dibandingkan sampel lainnya yaitu
sebesar 2.06 log cfu/g, sedangkan sampel yang diberi perlakuan asam
semuanya memiliki jumlah total mikroba berkisar sebesar 1 log cfu/g.
Pada awal penyimpanan, sampel yang memiliki jumlah total mikroba
terendah yaitu sampel yang dicelup ke dalam larutan asam asetat 8 %
50
dan asam laktat 8 %. Kedua sampel tersebut memiliki jumlah total
mikroba sebesar 1.15 log cfu/g.
Gambar 2. Jumlah total mikroba bakso dengan pengawetan metode
pencelupan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Jumlah mikroba awal yang cukup rendah pada bakso yang diberi
perlakuan asam mungkin disebabkan adanya asam yang melindungi
bagian permukaan bakso sehingga tidak memungkinkan bakteri untuk
tumbuh kecuali bakteri tahan asam (asidofilik). Rendahnya jumlah
mikroba awal pada bakso juga bisa disebabkan adanya proses
perebusan dalam pembuatan bakso sehingga mikroba pembusuk yang
tidak tahan panas akan mati. Namun, menurut Fardiaz (1992),
pemanasan pada proses perebusan tidak menjamin bahwa seluruh
mikroba telah mati, beberapa spesies bakteri Gram positif yang relatif
lebih tahan terhadap perlakuan fisik kemungkinan masih terdapat
dalam sampel.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa asam asetat lebih
mampu memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lebih baik
dibandingkan asam laktat. Pada penyimpanan hari ke-1, jumlah total
mikroba bakso kontrol (6.18 log cfu/g) dan sampel bakso yang
dicelupkan ke dalam larutan asam laktat 4 % (5.20 log cfu/g) telah
melewati batas maksimal jumlah total mikroba yang diperbolehkan
dalam SNI 01-3818-1995. Hal ini berarti bakso kontrol dan sampel
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
0 1 2 3 4
Jum
lah
Mik
rob
a (L
og
cfu
/g)
Lama Penyimpanan (Hari)
Kontrol
As.Asetat 4 %
As.Asetat 6 %
As.Asetat 8 %
As.Laktat 4 %
As.Laktat 6 %
As.Laktat 8 %
SNI 01-3818-1995
51
bakso yang dicelupkan ke dalam larutan asam laktat 4 % hanya
memiliki umur simpan selama satu hari secara mikrobiologis.
Pada hari ke-2, hampir semua sampel bakso yang diberi
perlakuan asam memiliki jumlah total mikroba yang melebihi batas
maksimal yang ditetapkan SNI 01-3818-1995 kecuali bakso dengan
perlakuan asam asetat 6 % (4.93 log cfu/g) dan asam asetat 8 % (4.92
log cfu/g). Bakso dengan perlakuan asam asetat 6 % dan asam asetat 8
% memiliki jumlah mikroba yang melebihi batas maksimal SNI 01-
3818-1995 pada penyimpanan hari ke-3 yaitu masing-masing memiliki
jumlah beban mikroba sebesar 7.88 log cfu/g dan 7.71 log cfu/g.
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa jumlah total mikroba
cenderung mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu
penyimpanan. Secara umum, pertumbuhan mikroba tersebut dapat
digambarkan sebagai kurva logaritmik. Hal ini menunjukkan bahwa
mulai dari penyimpanan hari ke-0 hingga penyimpanan hari ke-3
(untuk kontrol hingga hari ke-2), mikroba yang tumbuh pada sampel
berada dalam fase pertumbuhan logaritmik. Dalam fase logaritmik atau
pertumbuhan eksponensial ini jumlah mikroorganisme meningkat dan
tumbuh dengan laju pertumbuhan yang konstan hingga faktor
lingkungan menjadi terbatas (Soeparno, 2005). Menurut Fardiaz
(1992), pada fase pertumbuhan logaritmik, kecepatan pertumbuhan
sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya, seperti pH,
kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan
kelembaban udara.
Fase pertumbuhan stasioner atau fase kematian mikroba mulai
terjadi pada penyimpanan hari ke-3 hingga hari ke-4. Pada fase ini
pertumbuhan populasi mikroorganisme biasanya dibatasi oleh habisnya
nutrien yang tersedia atau penimbunan zat racun sebagai hasil akhir
metabolisme. Akibatnya kecepatan pertumbuhan menurun dan
pertumbuhan akhirnya terhenti (Buckle et al., 2007).
52
c. Pengamatan subyektif selama penyimpanan
Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi pengamatan subyektif
(warna, aroma, rasa, tekstur, pembentukan lendir dan miselium kapang)
selama penyimpanan empat hari. Hasil pengamatan uji keawetan sampel
bakso secara visual pada beberapa perlakuan jenis pengawet yang
ditambahkan dapat dilihat pada Gambar 3. Adapun data hasil
pengamatan subyektif secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 3. Umur simpan sampel bakso dengan pengawet asam laktat
dan asam asetat berdasarkan pengamatan visual.
Hasil pengamatan subyektif pada penyimpanan hari ke-0 yang
meliputi warna dan tekstur bakso menunjukkan bahwa sampel dengan
semua perlakuan masih dalam kondisi normal. Begitu pun dengan
penampakannya yang masih dalam kondisi normal yang ditandai dengan
tidak ditemukannya miselium kapang dan lendir. Untuk parameter rasa
dan aroma, sampel yang diberi perlakuan asam sudah menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan dengan bakso kontrol. Bakso kontrol
memiliki rasa dan aroma yang normal yaitu dominan rasa daging, namun
bakso yang diberi perlakuan asam memiliki rasa dan aroma asam. Rasa
asam pada sampel bakso yang diberi perlakuan ini hanya terasa pada
bagian permukaannya saja, sedangkan bagian dalam bakso masih terasa
dominan rasa daging. Hal ini bisa disebabkan karena bakso hanya
0
1
2
3
Kontrol As. Laktat 4 %
As.Laktat 6 %
As.Laktat 8 %
As.Asetat 4 %
As.Asetat 6 %
As.Asetat 8 %
Um
ur
Sim
pan
(Har
i)
Perlakuan Pengawet
53
dicelupkan ke dalam larutan asam selama 1 menit saja sehingga tidak
semua asam terserap ke dalam bakso. Semakin tinggi konsentrasi larutan
asam organik, maka semakin tajam pula aroma asam yang tercium dan
rasa asam pada bakso pun semakin meningkat. Larutan asam asetat
memiliki rasa dan aroma yang lebih asam dibandingkan dengan larutan
asam laktat pada konsentrasi yang sama. Menurut de Man (1997),
beberapa asam organik diurutkan dari yang memiliki rasa asam paling
tinggi hingga rasa asam paling rendah (sebagai acuan asam tartarat)
secara berturut-turut yaitu asam tartarat, asam malat, asam fosfat, asam
asetat, asam laktat, asam sitrat, dan asam propionat.
Penyimpanan hari pertama, bakso kontrol dan sampel dengan
perlakuan asam laktat 4 % mulai mengalami kerusakan sedangkan
sampel yang diberi perlakuan asam lainnya belum menunjukkan
kerusakan. Kerusakan pada bakso kontrol diawali dengan timbulnya
lendir serta bau asam sebagai pertanda kebusukan sedangkan sampel
dengan asam laktat 4 % mulai ditumbuhi miselium kapang. Menurut
Buckle et al,. (2007), pertumbuhan bakteri pada permukaan yang basah
seperti daging dapat menyebabkan flavor dan bau yang menyimpang
serta pembusukan bahan pangan dengan pembentukan lendir.
Sampel bakso yang dicelup ke dalam larutan asam laktat 6 % dan 8
% mulai menunjukkan kerusakan pada penyimpanan hari kedua
sedangkan sampel yang dicelup ke dalam larutan asam asetat 4 %, 6 %,
dan 8 % masih dalam kondisi normal. Tanda-tanda kerusakan pada
sampel terlihat dengan adanya pembentukan miselium kapang di
permukaan bakso. Kapang bersifat aerobik sehingga tumbuh pada bagian
luar permukaan bahan pangan yang tercemar (Buckle et al., 2007).
Semua sampel telah mengalami kerusakan pada penyimpanan hari
ketiga terutama sampel yang diberi perlakuan pencelupan ke dalam
larutan asam laktat. Tanda-tanda kerusakan pada sampel yang diberi
perlakuan pencelupan ke dalam larutan asam asetat adalah munculnya
lendir dan tumbuhnya kapang disekitar permukaan bakso walaupun
jumlah kerusakannya tak sebanyak sampel yang diberi perlakuan
54
pencelupan ke dalam asam laktat. Pada umumnya mikroba pembentuk
lendir termasuk genus Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus,
Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus, dan beberapa spesies Lactobacillus
(Frazier dan Westhoff, 1988).
Kerusakan pada bakso memiliki kaitan yang erat dengan aktivitas
mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), mikroorganisme
penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH
sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Menurut Frazier dan
Westhoff (1988), beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik
pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi
dengan pH netral antara lain : golongan bakteri proteoloitik, bakteri asam
laktat, dan golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan
Brevibakteria.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan tahap 1 dengan mengacu
pada SNI 01-3818-1995, dapat diketahui bahwa sampel yang diberi
perlakuan dengan pencelupan ke dalam larutan asam laktat 4 %, asam
laktat 6 %, dan asam laktat 8 % serta asam asetat 4 % memiliki umur
simpan satu hari, sedangkan sampel dengan perlakuan pencelupan bakso
ke dalam larutan asam asetat 6 % dan 8 % menunjukkan hasil yang lebih
baik karena mampu memperpanjang umur simpan bakso hingga
penyimpanan dua hari. Meskipun demikian, sampel bakso yang
dicelupkan ke dalam larutan asam asetat 4 % (5.23 log cfu/g) masih
memiliki penampakan visual yang belum menunjukkan tanda-tanda
kerusakan pada penyimpanan hari ke-2. Menurut Jay et al., (2005),
kerusakan mikrobial umumnya belum terdeteksi pada kisaran jumlah
mikroba/g 103-10
6 kecuali pada susu segar yang kemungkinan asam pada
kisaran 105-10
6.
Dari penelitian pendahuluan tahap 1 ini juga dapat disimpulkan
bahwa asam asetat memiliki tingkat keefektifan yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan asam laktat pada konsentrasi yang sama.
Kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri ditentukan oleh besarnya
nilai pKa, artinya kemampuan bakterisidal asam organik pada bahan
55
makanan ditentukan oleh besarnya persentase molekul yang tidak
terdisosiasi (pKa) dari asam organik yang digunakan. Menurut Rahman
(1999), penggunaan jenis asam organik yang memiliki nilai pKa yang
besar, dengan konsentrasi yang tinggi dan pH yang lebih rendah akan
meningkatkan kemampuan antimikroba dari asam organik tersebut.
Asam asetat memiliki nilai pKa 4.75 yang lebih tinggi dibandingkan nilai
pKa asam laktat yaitu 3.08 (Doores, 2005). Bila nilai pKa tinggi maka
persentase asam dalam bentuk tidak terurai dalam bahan makanan akan
meningkat, sehingga molekul yang tidak terdisosiasi akan menembus
dinding sel mikroorganisme. Akibatnya kondisi sel mikroba akan
menjadi lebih asam. Sel mikroba akan berusaha membuat kondisi
sitoplasma tetap berada pada kondisi pH normal, oleh sebab itu sel
memerlukan lebih banyak energi untuk mengeluarkan molekul-molekul
tadi, akibatnya pertumbuhan sel mikroorganisme akan terhambat.
Hasil penelitian pendahuluan tahap 1 ini belum memenuhi target
umur simpan bakso selama 4 hari sehingga diperlukan eksplorasi metode
pengawetan dan jenis pengawet. Tahap selanjutnya dari penelitian ini
adalah penambahan jenis pengawet yang diteliti dan mencoba
menggunakan metode pengawetan yang lain selain pencelupan yaitu
dengan metode perebusan.
2. Tahap 2
Penelitian pendahuluan tahap 2 diawali dengan eksplorasi jenis
pengawet yang akan diteliti yaitu pengawet asam organik. Winarno (1997)
menyebutkan bahwa asam yang banyak digunakan pada bahan makanan
adalah asam organik seperti asam asetat, asam laktat, asam sitrat, asam
fumarat, asam malat, asam suksinat, dan asam tartarat. Berdasarkan studi
pustaka yang dilakukan, jenis asam organik yang umum digunakan sebagai
pengawet daging adalah asam laktat dan asam asetat. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Andriani (2003), penggunaan asam asetat 4 % mampu
menurunkan jumlah total mikroorganisme pada karkas ayam sebesar 2.8 log
cfu/g, sedangkan asam laktat 4 % mampu menurunkan 3.1 log cfu/g. Dalam
56
tahap ini, diteliti juga bahan pengawet asam cuka pasar yang memiliki
karakteristik hampir sama dengan asam asetat. Asam cuka pasar ini
merupakan asam asetat yang biasa beredar di pasar dengan konsentrasi 25
%. Alasan pemilihan asam cuka pasar sebagai salah satu bahan pengawet
karena asam cuka pasar ini selain aman dikonsumsi, juga sudah dikenal luas
oleh masyarakat, mudah diperoleh, serta harganya relatif lebih rendah
dibandingkan dengan asam organik yang lainnya.
Hasil penelitian pada tahap 1 menunjukkan bahwa hasil yang
diperoleh belum memenuhi tujuan yang diharapkan yaitu mendapatkan
bahan pengawet yang aman, murah, dan efektif untuk bakso sehingga tahan
disimpan dalam suhu ruang selama empat hari. Hal ini kemungkinan bisa
disebabkan oleh kurang tepatnya metode pengawetan yang digunakan
sehingga pada tahap ini dilakukan pengawetan bakso dengan metode
perebusan pada rebusan kedua.
Seperti yang diketahui, proses pembuatan bakso terdiri dari dua
kali perebusan. Pada penelitian ini, air yang digunakan untuk perebusan
kedua diganti dengan larutan asam organik dalam konsentrasi tertentu,
sedangkan air yang digunakan untuk perebusan pertama tetap menggunakan
air biasa. Bakso direbus pada air rebusan kedua selama 10 menit. Sampel
kemudian dikeringanginkan lalu dikemas dengan plastik dan disimpan pada
suhu ruang. Pengamatan dilakukan setiap hari meliputi pengamatan
subyektif (warna, aroma, rasa, tekstur, pembentukan lendir dan miselium
kapang) selama penyimpanan empat hari. Hasil pengamatan visual uji
keawetan sampel bakso pada beberapa perlakuan jenis pengawet yang
ditambahkan dapat dilihat pada Gambar 4. Adapun data hasil pengamatan
subyektif secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.
Konsentrasi larutan asam laktat, asam asetat, dan asam cuka pasar
yang digunakan yaitu 5 % dan 10 %. Alasan pemilihan konsentrasi 5% ini
didasari oleh hasil penelitian pendahuluan tahap 1 yang menunjukkan hasil
kurang optimal apabila menggunakan larutan asam organik dengan
konsentrasi 4 %, 6 %, dan 8 % menggunakan metode pencelupan. Dengan
metode perebusan ini, kemungkinan jumlah asam yang terserap ke dalam
57
bakso lebih banyak sehingga konsentrasi asam hanya ditingkatkan sebesar 1
% menjadi 5 % sebagai batas bawah dan ditingkatkan sebesar 2 % menjadi
10 % sebagai batas atas.
Gambar 4. Umur simpan sampel bakso dengan pengawet asam asetat,
asam cuka pasar, dan asam laktat berdasarkan pengamatan
visual.
Pada awal penyimpanan, bakso kontrol memiliki warna, aroma,
dan rasa yang normal, tekstur kenyal, serta penampakan yang masih bagus
ditandai dengan tidak terbentuknya lendir dan miselium kapang di
permukaan bakso. Sampel bakso yang lain pun masih dalam kondisi normal
kecuali rasa dan aromanya yang asam. Hal ini karena adanya perlakuan
perebusan ke dalam larutan asam. Bakso dengan perlakuan asam laktat
cenderung memiliki rasa dan aroma asam yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan sampel bakso dengan perlakuan asam asetat dan asam
cuka pasar. Semakin tinggi konsentrasi larutan asam, maka semakin tinggi
pula rasa dan aroma asam pada sampel bakso.
Pada penyimpanan hari pertama, bakso kontrol mulai menunjukkan
tanda-tanda kerusakan ditandai dengan terciumnya aroma agak asam dan
mulai terbentuk lendir di permukaan bakso. Miselium kapang pada bakso
kontrol mulai terbentuk pada penyimpanan hari ke-3. Sedangkan sampel
yang lainnya belum menunjukkan perubahan pada penyimpanan hari ke-1.
Sampel bakso yang diberi perlakuan perebusan kedua pada larutan
asam laktat 5 % dan 10 % mulai mengalami kerusakan pada penyimpanan
0
1
2
3
4
Kontrol As.Asetat 5%
As.Asetat 10%
As.Cuka Pasar 5%
As.Cuka Pasar 10%
As.Laktat 5%
As.Laktat 10%
Um
ur
Sim
pan
(Har
i)
Perlakuan Pengawet
58
hari ke-2 dan hari ke-3. Tanda-tanda kerusakan pada sampel dimulai dengan
pembentukan miselium kapang pada permukaan bakso. Semakin lama
waktu penyimpanan, jumlah miselium kapang cenderung semakin banyak
dan hampir menutupi permukaan bakso. Pembentukan lendir sebagai salah
satu indikator kerusakan bakso baru terdeteksi pada penyimpanan hari ke-4.
Menurut Jay et al., (2005), kisaran jumlah kandungan mikroba dalam
produk pangan sebagai indikator kerusakan dapat dilihat pada Gambar 5.
Jumlah mikroba/g
Keterangan :
a = kerusakan mikrobial umumnya belum terdeteksi, kecuali pada susu segar yang kemungkinan asam
pada kisaran 105 – 106
b = beberapa produk pangan telah menunjukkan tanda-tanda awal kerusakan
c = timbul off-odor pada daging yang disimpan dalam kondisi aerobik, serta sayur-sayuran
d = hampir semua produk pangan menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang nyata. Pembentukan
lendir banyak terjadi pada daging yang disimpan pada kondisi aerob.
e = pada tahap ini terjadi perubahan struktur produk
Gambar 5. Kisaran jumlah kandungan mikroba dalam produk pangan
sebagai indikator kerusakan (Jay et al., 2005).
Sampel dengan perlakuan asam asetat dan asam cuka pasar 5 %
dan 10 % hingga penyimpanan hari ke-4 masih dalam kondisi yang hampir
sama dengan kondisi penyimpanan awal. Pada sampel tersebut, belum
terdeteksi tanda-tanda kerusakan. Berdasarkan hasil pengamatan subyektif,
dapat disimpulkan bahwa sampel dengan perlakuan perebusan kedua dalam
larutan asam laktat 5 % hanya mampu memperpanjang umur simpan bakso
hingga satu hari, sedangkan sampel dengan asam laktat 10 % mampu
memperpanjang umur simpan bakso hingga dua hari. Sampel dengan
perlakuan perebusan kedua dalam larutan asam asetat dan asam cuka pasar 5
103 104 105 106 107 108 109 1010
e
d c
b a
59
% dan 10 % menunjukkan hasil yang paling baik karena mampu
memperpanjang umur simpan bakso hingga empat hari.
Dari penelitian pendahuluan tahap 2 ini dapat diketahui bahwa
pengawetan dengan metode perebusan bakso pada air rebusan kedua yang
berisi larutan asam organik, lebih efektif dibandingkan dengan metode
pencelupan. Perbedaan antara metode pencelupan dan metode perebusan
terletak pada air rebusan kedua yang digunakan. Pada metode pencelupan,
air rebusan kedua menggunakan air biasa sedangkan pada metode
perebusan, air yang digunakan untuk proses perebusan kedua yaitu larutan
asam organik. Berdasarkan hasil tersebut, pada tahap penelitian selanjutnya
metode pengawetan yang digunakan yaitu pengawetan dengan perebusan.
Metode perebusan ini lebih efektif dibandingkan dengan metode pencelupan
kemungkinan karena adanya proses pemanasan sehingga jumlah mikroba
awal pada produk pangan dapat ditekan. Menurut Jay et al., (2005),
peningkatan suhu akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Hasil penelitian pendahuluan tahap 2 ini sudah berhasil memenuhi
target umur simpan bakso selama empat hari, namun penggunaan
konsentrasi asam yang sangat tinggi menyebabkan aroma dan rasa dari
bakso tersebut menjadi terlalu asam. Langkah yang diambil untuk
mengurangi keasaman yaitu dengan mengurangi konsentrasi larutan asam
organik. Jenis asam organik yang digunakan dalam penelitian tahap
selanjutnya adalah asam cuka pasar. Asam cuka pasar dipilih sebagai
pengawet untuk tahap penelitian utama karena sifat anti mikrobanya yang
relatif sama dengan asam asetat, harganya yang lebih murah dari asam asetat
serta konsumen sering memakainya.
B. PENELITIAN UTAMA
Pada penelitian utama ini, asam organik yang digunakan sebagai
pengawet adalah asam cuka pasar dengan metode pengawetan perebusan
bakso ke dalam larutan asam cuka pasar pada rebusan kedua. Parameter mutu
bakso yang diamati dalam tahap penelitian ini meliputi karakteristik
mikrobiologis (total mikroba dan total kapang khamir), karakteristik kimia
60
(pH dan total asam tertitrasi), serta karakteristik fisik (kekerasan bakso dan
warna). Sebagai penunjang dilakukan pengujian organoleptik (uji hedonik)
oleh 30 orang panelis serta analisis biaya.
1. Analisis Mikrobiologi
a. Total Mikroba (Total Plate Count)
Pada awal penyimpanan, bakso kontrol dan semua sampel
memiliki kisaran jumlah mikroba yang memenuhi persyaratan SNI 01-
3818-1995. Sampel bakso dengan asam cuka pasar 2.5 % bahkan tidak
mengandung mikroba sama sekali. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh adanya asam dengan konsentrasi cukup tinggi yang terserap
masuk hingga ke bagian dalam bakso sehingga mampu melindungi
permukaan bakso dari pertumbuhan mikroba. Jumlah total mikroba
bakso kontrol, sampel dengan asam cuka pasar 0.5 %, 1.0 %, 1.5 %,
2.0 %, dan 2.5 % secara berturut-turut sebesar 2.06, 1.82, 1.70, 1.09,
0.50, dan 0.00 log cfu/g. Gambar 6 menunjukkan jumlah total mikroba
bakso selama empat hari penyimpanan.
Pada penyimpanan hari ke-1, bakso kontrol dan sampel dengan
asam cuka 0.5 % memiliki jumlah total mikroba yang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan sampel yang lain yaitu masing-masing sebesar
7.00 log cfu/g dan 5.31 log cfu/g. Jumlah mikroba tersebut telah
melebihi batas maksimal jumlah total mikroba yang terdapat dalam
SNI 01-3818-1995. Pada sampel bakso kontrol mulai tercium bau asam
dan terbentuk lendir. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), adanya
bau yang tidak enak merupakan hasil pertumbuhan bakteri pada
permukaan yang merupakan tanda awal sebelum terjadinya kebusukan.
Pengasaman dapat berasal dari komponen asam-asam volatil seperti
format, asetat, butirat atau propionat. Kandungan mikroba pada saat
terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2 x 106 - 10
8 (Frazier dan
Westhoff, 1988). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Jay et al., (2005)
yang menyatakan bahwa timbulnya bau tidak enak pada daging baru
terdeteksi pada saat jumlah mikroba telah mencapai 1 x 107 koloni/g.
61
Keterangan :
A (1 x 105) : Syarat maksimal jumlah mikroba pada bakso berdasarkan SNI 01-
3818-1995
B (1 x 107) : Jumlah mikroba dimana mulai terdeteksi off odor pada daging yang
disimpan dalam kondisi aerobik (Jay et al., 2005)
C (1 x 108) : Jumlah mikroba dimana hampir semua produk menunjukkan tanda-
tanda kerusakan yang nyata. Pembentukan lendir banyak terjadi pada
daging yang disimpan dalam kondisi aerob (Jay et al., 2005)
Gambar 6. Jumlah total mikroba bakso dengan pengawetan metode
perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang
Mikroba yang tumbuh pada bakso kontrol dan sampel dengan asam
cuka pasar 0.5 % diperkirakan mengalami pertumbuhan secara
logaritmik mulai dari penyimpanan hari ke-0 hingga hari ke-2 untuk
bakso kontrol dan hingga hari ke-4 untuk sampel bakso dengan
perlakuan asam 0.5 %. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah
mikroba yang demikian drastis. Pada fase ini sel mikroba membelah
dengan cepat dan konstan, dimana pertambahan jumlahnya mengikuti
kurva logaritmik. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat
dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti pH dan
kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan
kelembaban udara (Fardiaz, 1992).
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
10,00
0 1 2 3 4
Jum
lah
Mik
rob
a (L
og
cfu
/g)
Lama Penyimpanan (Hari)
As.Cuka Pasar 0 %
As.Cuka Pasar 0,5 %
As.Cuka Pasar 1 %
As.Cuka Pasar 1,5 %
As.Cuka Pasar 2 %
As.Cuka Pasar 2,5 %
A
B
C
62
Jumlah total mikroba bakso dengan perlakuan asam cuka pasar 1 %
mulai mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada
penyimpanan hari ke-1 hingga penyimpanan hari ke-2. Dari Gambar 6
terlihat bahwa pada penyimpanan hari ke-1, jumlah total mikrobanya
sebesar 2.01 log cfu/g meningkat sekitar 3 log cfu/g menjadi 5.33 log
cfu/g pada penyimpanan hari ke-2. Hal ini menunjukkan bahwa
mikroba sedang berada pada fase log. Dalam fase ini, jumlah
mikroorganisme meningkat dan tumbuh dengan laju pertumbuhan
yang konstan hingga faktor lingkungan terbatas (Soeparno, 2005).
Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi
konsentrasi larutan asam cuka pasar, maka jumlah total mikroba yang
ada pada bakso semakin rendah. Menurut Mass et al., (1989) yang
dikutip dalam Davidson dan Branen (2005), asam asetat berfungsi
menghambat metabolisme energi utama mikroorganisme yang
merupakan komponen penting untuk tumbuh. Sifat asam asetat yang
mudah larut menyebabkan asam dapat segera masuk ke dalam
membran sel mikroorganisme untuk selanjutnya mengalami ionisasi
dalam sel, membuat suasana menjadi asam dan hal ini akan
menghambat transpor pada membran (Davidson dan Branen, 2005).
Konsentrasi asam yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah asam yang
terkandung dalam larutan semakin banyak sehingga dapat disimpulkan
bahwa jika semakin tinggi konsentrasi larutan asam cuka pasar maka
asam cuka pasar yang masuk ke dalam bakso akan semakin banyak
yang berakibat efek penghambatan terhadap mikroba yang terdapat
dalam bakso pun menjadi semakin tinggi.
Dari data yang disajikan tadi, dapat disimpulkan bahwa pengawet
asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % sangat efektif digunakan
dalam menghambat pertumbuhan mikroba, karena sampai hari ke-4,
bakso yang diberikan perlakuan larutan pengawet masih layak untuk
dikonsumsi dan memiliki jumlah total mikroba yang cenderung stabil
selama penyimpanan 4 hari. Peningkatan jumlah mikroba pun tidak
terlalu signifikan dengan bertambahnya lama penyimpanan. Kisaran
63
jumlah total mikroba selama empat hari penyimpanan masih berada di
bawah batas maksimal jumlah mikroba yang tercantum dalam SNI 01-
3818-1995.
b. Total Kapang Khamir
Kapang dan khamir pada umumnya tergolong mesofil, yaitu
tumbuh optimum pada suhu 25-30oC, selain itu kapang dan khamir
juga bersifat aerobik (Fardiaz, 1992). Hal ini menyebabkan bahan
pangan yang disimpan pada kisaran suhu ini tidak hanya rentan
terhadap kerusakan akibat bakteri, tetapi juga rentan terhadap kapang
dan khamir. Kapang dan khamir umumnya memiliki ketahanan untuk
tumbuh pada lingkungan yang lebih ekstrim dibandingkan dengan
bakteri. Namun, pada kondisi yang ideal seperti pH substrat yang
netral, kadar air yang tinggi, dan adanya nutrisi yang ideal, kapang dan
khamir pertumbuhannya justru cenderung lebih lambat dibandingkan
dengan bakteri karena kalah dalam berkompetisi.
Menurut Frazier dan Westhoff (1988), pada kondisi aerob khamir
dapat tumbuh pada permukaan daging menyebabkan terbentuknya
lendir, lipolisis, off odor, serta perubahan warna. Sedangkan kapang
dapat menyebabkan stickiness, noda hitam, dekomposisi lemak, off
odor, serta perubahan cita rasa. Jenis kapang dan khamir yang biasa
tumbuh pada olahan daging adalah Aspergillus, Penicillium, Rhizopus,
Thamnidium, Debaryomyces, Torula, Torulopsis, Trichosporon, dan
Candida.
Pada awal penyimpanan, jumlah kapang-khamir yang terdapat
pada bakso kontrol dan sampel relatif rendah bahkan bakso dengan
perlakuan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % belum ditumbuhi
kapang-khamir sama sekali. Jumlah kapang-khamir pada bakso
kontrol, sampel dengan asam cuka pasar 0.5 % dan 1 % secara
berturut-turut sebesar 1.51, 1.25, dan 1.09 log cfu/g. Menurut Fardiaz
(1992), pertumbuhan kapang biasanya lebih lambat bila dibandingkan
dengan pertumbuhan bakteri dan khamir. Oleh karena itu, jika kondisi
64
pertumbuhan memungkinkan semua mikroorganisme untuk tumbuh,
kapang biasanya kalah berkompetisi dengan khamir dan bakteri, tetapi
jika kapang dapat mulai tumbuh, pertumbuhan yang ditandai dengan
pembentukan miselium dapat berlangsung dengan cepat. Gambar 7
menunjukkan hasil pengamatan jumlah kapang dan khamir pada bakso
kontrol dan sampel selama penyimpanan empat hari.
Gambar 7. Jumlah kapang-khamir pada bakso dengan pengawetan
metode perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam
suhu ruang.
Pengamatan pada bakso kontrol dan sampel bakso dengan asam
cuka pasar 0.5 % di hari pertama penyimpanan menunjukkan bahwa
telah ada peningkatan jumlah kapang-khamir yang cukup signifikan
dengan total kapang-khamir masing-masing sebesar 5.60 log cfu/g dan
5.27 log cfu/g. Pesatnya pertumbuhan kapang dan khamir ini disebabkan
oleh telah beradaptasinya mikroba tersebut dengan kondisi substrat
sehingga dapat bersaing dengan bakteri yang juga terdapat pada substrat
yang sama. Sampel dengan asam cuka pasar 1.0 % dan 1.5 % pun
mengalami peningkatan jumlah total kapang-khamir sehingga beban
total kapang-khamir pada sampel masing-masing sebesar 1.59 dan 1.09
log cfu/g. Sedangkan sampel dengan asam cuka pasar 2.0 % dan 2.5 %
belum menunjukkan adanya pertumbuhan kapang-khamir ditandai
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
0 1 2 3 4
Jum
lah
Mik
rob
a (l
og
cfu
/g)
Lama Penyimpanan (Hari)
As.Cuka Pasar 0 %
As.Cuka Pasar 0,5 %
As.Cuka Pasar 1 %
As.Cuka Pasar 1,5 %
As.Cuka Pasar 2 %
As.Cuka Pasar 2,5 %
65
dengan tidak tumbuhnya koloni kapang-khamir pada penyimpanan hari
ke-1.
Pada hari ke-2 penyimpanan, jumlah total kapang-khamir pada
bakso kontrol, sampel dengan asam cuka pasar 0.5 %, 1.0 %, 1.5 %, dan
2.0 % secara berturut-turut sebesar 8.22, 6.66, 4.76, 1.24, dan 0.50 log
cfu/g. Sedangkan sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 2.5 %
belum ditumbuhi kapang-khamir. Permukaan sampel bakso dengan asam
cuka pasar 0.5 % dan 1 % mulai ditumbuhi miselium kapang, sedangkan
sampel dengan perlakuan yang lainnya belum menampakkan adanya
miselium. Sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 1.5 % mulai
ditumbuhi miselium kapang pada penyimpanan hari ke-3. Miselium
kapang yang tumbuh berupa spot berwarna putih dan hijau. Menurut
Frazier dan Westhoff (1988), Sporotrichum carnis dan Geotrichum
merupakan kapang yang paling umum ditemui sebagai penyebab
timbulnya spot putih. Sedangkan spot berwarna hijau disebabkan oleh
Penicillium seperti P. expansum, P. asperulum, dan P. oxalicum.
Berdasarkan pengamatan pada bakso kontrol dan sampel dengan
semua perlakuan selama empat hari penyimpanan, dapat disimpulkan
bahwa konsentrasi asam cuka pasar yang efektif dalam memperpanjang
umur simpan bakso ditinjau dari segi mikrobiologis adalah larutan asam
cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %. Sampel dengan perlakuan asam
cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % memiliki jumlah total kapang-
khamir yang relatif rendah dan cenderung stabil selama empat hari
penyimpanan.
2. Analisis Kimia
a. Pengukuran pH (Sadler dan Murphy, 2003)
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Pengukuran
pH menyatakan perbandingan ion hidrogen dan ion hidroksi suatu
bahan sehingga menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan bahan.
Nilai pH merupakan logaritmik negatif dari konsentrasi ion hidrogen
(H+) berperan dalam kondisi asam dan ion hidroksil (OH
-) yang
66
berperan pada kondisi basa. Jika konsentrasi ion hidrogen meningkat
maka pH menurun. Sebaliknya jika ion hidrogen menurun, pH akan
meningkat.
Hasil pengukuran pH bakso kontrol dan sampel pada awal
penyimpanan menunjukkan bahwa bakso kontrol memiliki nilai pH
yang mendekati pH netral yaitu 5.97 sedangkan pH kontrol pada
penyimpanan hari 1, 2, 3, dan 4 mengalami penurunan menjadi 5.89,
5.78, 5.10, dan 4.86.
Sampel bakso dengan perlakuan asam cuka pasar 0.5 % memiliki
nilai pH 5.37 pada hari ke-0, sedangkan pada hari ke-1 hingga hari ke-
2 mengalami penurunan pH yaitu menjadi 5.34 dan 5.28, namun
kemudian mengalami peningkatan nilai pH pada hari ke-3 menjadi
6.39 dan nilai pH tersebut menurun lagi pada penyimpanan hari ke-4
yaitu 5.98. Sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 1.0 % pada
awal penyimpanan memiliki nilai pH sebesar 4.61. Nilai pH ini
mengalami penurunan pada hari 1 menjadi 4.50, namun kemudian
terus mengalami peningkatan nilai pH pada hari 2, 3, dan 4 yaitu 4.63,
5.06, dan 5.26.Nilai pH bakso kontrol dan sampel bakso dengan
perlakuan asam cuka pasar dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Nilai pH bakso dengan pengawetan metode perebusan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Nilai pH sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %,
dan 2.5 % memiliki kecenderungan yang sama yaitu mengalami
3,50
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
0 1 2 3 4
Nila
i pH
Lama Penyimpanan (Hari)
As.Cuka Pasar 0 %
As.Cuka Pasar 0,5 %
As.Cuka Pasar 1 %
As.Cuka Pasar 1,5 %
As.Cuka Pasar 2 %
As.Cuka Pasar 2,5 %
67
penurunan pH pada penyimpanan hari 1 dan 2, namun kemudian
mengalami peningkatan nilai pH pada hari 3 dan 4. Nilai pH sampel
bakso dengan asam cuka pasar 1.5 % pada penyimpanan hari 0, 1, 2,
3, dan 4 secara berturut-turut sebesar 4.40, 4.34, 4.28, 4.25, dan 4.66.
Sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 2.0 % memiliki nilai pH
4.16, 4.07, 4.16, 4.22, dan 4.25 pada penyimpanan hari 0, 1, 2, 3, dan
4. Sedangkan sampel bakso dengan perlakuan asam cuka pasar 2.5 %
pada hari 0, 1, 2, 3, dan 4 memiliki nilai pH 4.01, 3.93, 4.07, 4.07, dan
4.22.
Secara statistik, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan pengawet asam cuka pasar pada bakso memberikan
pengaruh nyata terhadap nilai pH bakso (P<0.05), namun tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap lama penyimpanan
(P>0.05) (Lampiran 9). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, pengaruh
perlakuan pengawet asam cuka pasar terhadap nilai pH bakso
menunjukkan nilai pH bakso dengan perlakuan asam cuka pasar 2.5 %
berbeda nyata dengan nilai pH bakso yang diberi perlakuan asam cuka
pasar 1.5 %, 1.0 %, 0 %, dan bakso kontrol, namun bakso dengan
asam cuka pasar 2.5 % dan 2.0 % menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata. Begitu pula dengan bakso yang diberi perlakuan asam
cuka pasar 2.0 % dan 1.5 %, serta bakso kontrol dan bakso dengan
asam cuka pasar 0.5 % yang memberikan hasil yang tidak berbeda
nyata.
Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sampel
bakso dengan asam cuka pasar 2.5 % memiliki pH yang paling rendah
pada setiap hari penyimpanan. Semakin tinggi konsentrasi pengawet,
nilai pH akan semakin rendah yang menyebabkan jumlah mikroba
yang terkandung dalam sampel bakso akan menjadi rendah pula. Hal
ini dikarenakan kebanyakan mikroba khususnya bakteri tidak tahan
dengan kondisi asam, sehingga pertumbuhannya menjadi terhambat.
Kisaran pH bakso yang mendapat perlakuan pengawetan dengan
cuka pasar 1 %, 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % ini berada pada kisaran pH 4-
68
5, sehingga hanya efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri
yang tidak tahan asam, namun belum efektif untuk menghambat
kapang dan khamir. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran
pH yang luas, yaitu pH 2-8.5, tetapi biasanya pertumbuhannya akan
lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah (Fardiaz, 1992). Kisaran
pH optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 4-4.5.
Nilai pH sampel dengan perlakuan asam cuka pasar selama
penyimpanan cenderung mengalami penurunan pada awal
penyimpanan, namun kemudian mengalami peningkatan nilai pH.
Penurunan nilai pH diindikasikan dengan terdeteksinya bau asam yang
berasal dari komponen volatil seperti format, butirat, propionat, asetat
(Frazier dan Westhoff, 1988). Pengasaman atau souring merupakan
kerusakan pada kondisi aerob yang disebabkan pertumbuhan bakteri
fakultatif dan anaerob yang tumbuh pada bagian dalam daging.
Pengasaman dapat berasal dari (a) aktivitas enzimatik dalam daging
selama pelayuan, (b) produksi asam lemak atau asam laktat pada
kondisi anaerob akibat aktivitas bakteri, (c) proteolisis tanpa
putrefaksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob dan seringkali
disebut ”stinking sour fermentation”.
Kenaikan nilai pH dapat disebabkan oleh terjadinya hidrolisis
komponen nitrogen (protein) pada bakso oleh enzim mikroorganisme
menjadi bentuk polipeptida, asam amino sebelum digunakan sebagai
makanan bernitrogen bagi jasad renik. Menurut Frazier dan Westhoff
(1988), dekomposisi protein, polipeptida, asam amino pada kondisi
anaerob dapat menyebabkan terjadinya putrefaksi, yaitu dihasilkannya
bau yang tidak enak yang berasal dari H2S, amonia, indol, skatol,
ataupun asam-asam lemak.
b. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al. 1989)
Total asam tertitrasi (TAT) adalah pengukuran konsentrasi total
asam dalam bahan pangan (atau disebut juga total asam). Pengukuran
nilai total asam ini dilakukan dengan cara mentitrasi kandungan asam
69
yang ada dalam bahan pangan dengan basa standar. Asam pada TAT
umumnya berupa asam-asam organik (sitrat, malat, laktat, tartarat, dan
asetat). Adanya asam organik berpengaruh terhadap citarasa (misalnya
rasa pahit), warna, kestabilan terhadap mikroba, dan kualitas selama
penyimpanan. Pengukuran TAT pada sampel bakso ini bertujuan untuk
melihat berapa banyak asam organik yang terdisosiasi sehingga
berpengaruh terhadap kestabilan mikroba dalam produk bakso. Total
asam tertitrasi dihitung dari volume NaOH yang digunakan untuk
menetralkan asam yang terdapat dalam sampel bakso. Nilai TAT bakso
selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) bakso dengan
pengawetan metode perebusan selama 4 hari
penyimpanan dalam suhu ruang.
Hasil pengukuran nilai total asam tertitrasi bakso kontrol pada
penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-1 memiliki nilai TAT yang sama
yaitu sebesar 2.50 ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel dan terus mengalami
peningkatan pada hari 2, 3, dan 4 yaitu sebesar 5.00, 10.00, dan 11.25
ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel. Sampel bakso dengan asam cuka pasar
0.5 % pun memiliki kecenderungan yang sama dengan bakso kontrol
yaitu memiliki nilai TAT yang sama pada penyimpanan hari ke-0 dan
hari ke-1, setelah itu terus mengalami peningkatan hingga
penyimpanan hari ke-4. Nilai TAT sampel bakso dengan asam cuka
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
0 1 2 3 4
TAT
(ml N
aOH
0.1
N /
100
ml s
amp
el)
Lama Penyimpanan (Hari)
As.Cuka Pasar 0 %
As.Cuka Pasar 0,5 %
As.Cuka Pasar 1 %
As.Cuka Pasar 1,5 %
As.Cuka Pasar 2 %
As.Cuka Pasar 2,5 %
70
pasar 0.5 % pada penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-1 memiliki nilai
yang sama yaitu sebesar 5.00 ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel, begitu
pun dengan nilai TAT pada hari ke-2 dan hari ke-3 yaitu sebesar 6.25
ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel. Sedangkan nilai TAT sampel bakso
dengan asam cuka pasar 0.5 % pada penyimpanan hari ke-4 memiliki
nilai TAT sebesar 8.13 ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel.
Sampel bakso dengan asam cuka pasar 1.0 % memiliki nilai TAT
sebesar 5.00 ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel pada awal penyimpanan,
kemudian mengalami peningkatan pada hari ke-1 yaitu 6.88 ml NaOH
0.1 N/100 ml sampel. Namun setelah itu, nilai TAT pada sampel
tersebut cenderung stabil pada kisaran angka 7.50 ml NaOH 0.1 N/100
ml sampel pada hari ke 2, 3, dan 4. Sampel bakso dengan asam cuka
pasar 1.5 % cenderung mengalami peningkatan selama penyimpanan
mulai dari hari 0, 1, 2, 3, dan 4 yaitu sebesar 5.63, 7.50, 7.50, 10.00,
dan 12.50 ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel. Sedangkan sampel bakso
dengan asam cuka pasar 2.0 % memiliki nilai TAT yang sama pada
penyimpanan hari ke-0 dan hari ke-1 yaitu 10.00 ml NaOH 0.1 N/100
ml sampel, kemudian mengalami peningkatan pada hari ke-2 menjadi
12.50 ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel dan nilai TAT tersebut
cenderung stabil hingga penyimpanan hari ke-4. Demikian pula sampel
dengan asam cuka pasar 2.5 % yang memiliki nilai TAT pada awal
penyimpanan sebesar 12.50 ml NaOH 0.1 N/100 ml sampel, kemudian
mengalami peningkatan nilai TAT pada hari pertama dan nilainya
cenderung stabil hingga penyimpanan hari ke-4 yaitu sebesar 15.00 ml
NaOH 0.1 N/100 ml sampel. Berdasarkan hasil analisis ragam
(Lampiran 11), perlakuan pengawet asam cuka pasar memberikan
pengaruh yang nyata terhadap lama penyimpanan dan nilai TAT
sampel bakso (P<0.05).
Bakso kontrol memiliki nilai TAT yang semakin meningkat
dengan bertambahnya lama penyimpanan. Dari Gambar 9 dapat dilihat
bahwa bakso kontrol memiliki nilai TAT yang semakin meningkat
dengan bertambahnya lama penyimpanan. Hal ini bukan menandakan
71
semakin banyaknya asam yang berdifusi ke dalam bakso kontrol,
namun lebih dikarenakan oleh asam yang ditimbulkan oleh kerusakan
mikrobiologis bakso sudah mulai tinggi sehingga berpengaruh pada
nilai TAT. Sedangkan nilai TAT yang tinggi pada bakso dengan asam
cuka pasar 2.5 % mengindikasikan banyaknya jumlah asam yang
berdifusi ke dalam bakso dari pengawet asam cuka pasar. Sampel
bakso ini pun belum menunjukkan kerusakan mikrobiologis hingga
penyimpanan hari ke-4 sehingga kecil kemungkinannya jika asam yang
terhitung dalam TAT merupakan akibat dari asam yang ditimbulkan
karena kerusakan mikrobiologis.
Kemampuan antimikrobial suatu asam organik tergantung pada
tiga faktor, antara lain: efek dari kemampuan asam tersebut dalam
menurunkan pH, kemampuan asam untuk berdisosiasi, dan efek
spesifik yang berhubungan dengan molekul asam itu sendiri
(Smulders, 1995). Aktivitas antimikrobial asam organik ditentukan
oleh besarnya persentase molekul asam yang tidak terurai
(undissociated), yang ditetapkan dengan nilai pKa. Nilai pKa adalah
nilai dimana 50% total asam merupakan bentuk yang tidak terurai.
Umumnya, bahan makanan yang memiliki pH rendah, maka
banyaknya persentase molekul asam organik yang tidak terurai
meningkat, sehingga kemampuan sebagai antimikrobial juga akan
meningkat.
Asam cuka pasar (asam asetat) merupakan kelompok asam
lemah. Meskipun demikian, asam ini memiliki kemampuan untuk
meracuni mikroba. Mekanisme asam asetat dalam menginaktivasi
bakteri dapat dijelaskan sebagai berikut. Asam lemah dapat terurai
seperti ini : R-COOH → RCOO- + H
+. Asam yang terurai membuat
ion H+ yang terbentuk semakin banyak. Pada larutan asam lemah,
adanya ion H+ dalam jumlah banyak, akan membuat kesetimbangan
reaksi bergeser ke kiri menuju bentuk yang tidak terurai (R-COOH).
Bentuk yang tidak terurai ini dapat larut dalam lemak sehingga
memungkinkannya masuk menembus membran sel yang sebagian
72
besar terdiri dari fosfolipid dan lemak. Banyaknya larutan asam asetat
membuat semakin banyak bentuk tidak terurai yang masuk ke dalam
sel. Di dalam sel yang memiliki kondisi pH netral, R-COOH dapat
terurai menjadi RCOO- dan H
+. Banyaknya ion H
+ yang terbentuk
membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH ini dapat
menyebabkan sel mati karena aktivitas enzim dan asam nukleatnya
terganggu (Garbutt, 1997).
Berdasarkan data yang disajikan di atas, dapat dilihat
kecenderungan sampel yang memiliki nilai TAT tertinggi selama
penyimpanan yaitu sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 2.0 %
dan 2.5 %. Dari Gambar 8 dan Gambar 9, dapat dilihat hubungan
antara nilai pH dan total asam tertitrasi. Secara umum, terlihat
kecenderungan bahwa penurunan nilai pH diikuti dengan peningkatan
nilai total asam dan begitu pun sebaliknya. Namun, hal tersebut tidak
selalu berlaku demikian seperti yang terjadi pada sampel dengan
perlakuan asam cuka pasar 1.5 %. Menurut Jay et al., (2005), pada
pengukuran derajat keasaman dengan menggunakan pH meter, nilai
yang terukur adalah konsentrasi ion H+ dan menunjukkan jumlah asam
yang terdisosiasi. Hal serupa disampaikan oleh Sadler dan Murphy
(2003), yang menyatakan bahwa asam yang terukur oleh alat pH meter
adalah konsentrasi ion H+ yang terlepas atau terdisosiasi. Sehingga
nilai ini tidak mewakili asam yang terdapat pada produk
sesungguhnya. Hal ini karena dalam suatu produk mungkin terdiri dari
berbagai asam lemah yang tidak bisa terdisosiasi secara sempurna.
Oleh karena itu, Sadler dan Murphy (2003) menambahkan pengukuran
asam tertitrasi merupakan cara memprediksi jumlah asam yang lebih
baik daripada menggunakan nilai pH terutama dalam kaitannya dengan
flavor.
73
3. Analisis Fisik
a. Warna (Pomeranz, et al., 2000)
Warna mempunyai arti dan peranan yang sangat penting pada
komoditas pangan. Peranan itu sangat nyata pada tiga hal yaitu daya
tarik, tanda pengenal, dan atribut mutu. Sifat warna merupakan sifat
produk pangan yang paling menarik perhatian konsumen dan paling
cepat pula memberikan kesan disukai atau tidak. Warna merupakan
sifat produk yang dapat dipandang sebagai sifat fisik (obyektif) dan
sifat organoleptik (subyektif) sehingga warna produk pangan diukur
atau dianalisis secara obyektif menggunakan instrumen fisik dan secara
organoleptik atau subyektif dengan instrumen manusia (Soekarto,
1990).
Pengukuran warna secara obyektif dilakukan menggunakan alat
Minolta Chromameter CR 200. Parameter perubahan warna yang dilihat
adalah L, a, dan b dengan sistem notasi Hunter. Parameter L
mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih) dan nilainya
menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih,
abu-abu dan hitam. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran
merah hijau, dengan nilai a positif dari 0 sampai 100 untuk warna
merah dan nilai a negatif dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b
menyatakan warna kromatik campuran biru kuning dengan nilai b
positif dari 0 sampai 70 untuk warna kuning dan nilai b negatif dari 0
sampai -70 untuk warna biru (Soekarto, 1990).
Warna bakso dipengaruhi oleh jenis daging, jenis dan jumlah
tepung, serta adanya penggunaan bahan pemutih yang digunakan.
Semakin banyak tepung yang ditambahkan, maka tingkat kecerahan
warna bakso yang dihasilkan akan semakin menurun. Hal ini diduga
diakibatkan oleh reaksi Maillard antara karbohidrat dari tepung dengan
asam amino dari daging yang menghasilkan warna coklat atau gelap.
Tingkat kecerahan (nilai L) pada bakso kontrol selama
penyimpanan mengalami peningkatan dan juga penurunan. Nilai L pada
bakso kontrol selama penyimpanan berkisar antara 51.31-52.09. Nilai
74
ini menunjukkan bahwa bakso kontrol memiliki kisaran warna
mendekati warna abu-abu. Seperti halnya bakso kontrol, bakso dengan
perlakuan asam cuka pasar konsentrasi 0.5 %, 1.0 %, 1.5 %, 2.0 %, dan
2.5 % secara visual menghasilkan warna bakso yang tidak jauh berbeda.
Hal ini sesuai dengan hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan yang
menunjukkan bahwa pemberian pengawet tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap nilai L bakso dan lama penyimpanan (P>0.05)
(Lampiran 13). Tingkat kecerahan yang dimiliki oleh sampel bakso
tersebut pun cenderung hampir sama dengan kisaran nilai 51.23-52.43
selama penyimpanan (Lampiran 12). Nilai kecerahan ini menunjukkan
bahwa warna bakso cenderung abu-abu. Gambar 10 memperlihatkan
tingkat kecerahan bakso (nilai L) selama penyimpanan empat hari
dalam suhu ruang.
Gambar 10. Nilai L bakso dengan pengawetan metode perebusan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Andayani (1999),
konsumen paling menyukai bakso dengan nilai L sebesar 53.77. Bakso
yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kisaran nilai L antara
51.23 dan 52.43 yang artinya tingkat kecerahan warna bakso sampel
hampir mendekati tingkat kecerahan warna bakso yang disukai
konsumen yaitu cenderung berwarna abu-abu. Berdasarkan hasil survey
Andayani (1999), dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
51,00
51,20
51,40
51,60
51,80
52,00
52,20
52,40
52,60
0 1 2 3 4
Nila
i L
Lama Penyimpanan (Hari)
As.Cuka Pasar 0 %
As.Cuka Pasar 0,5 %
As.Cuka Pasar 1 %
As.Cuka Pasar 1,5 %
As.Cuka Pasar 2 %
As.Cuka Pasar 2,5 %
75
yaitu sebanyak 51.0 % menyukai warna abu-abu pucat atau muda dan
32 % menyukai warna abu-abu gelap.
Parameter warna lain yang diukur adalah nilai a (intensitas warna
merah) dan nilai b (intensitas warna kuning). Gambar 11 menunjukkan
nilai a pada bakso selama penyimpanan. Dari gambar tersebut dapat
dilihat bahwa nilai a mengalami penurunan dengan bertambahnya lama
penyimpanan. Nilai a pada bakso kontrol dan sampel berkisar antara
0.11-2.22 (Lampiran 12). Perbedaan nilai a yang dimiliki oleh sampel
bakso tidak terlalu besar, hal ini sesuai dengan hasil analisis ragam dan
uji lanjut Duncan (Lampiran 14) yang menunjukkan bahwa
penambahan pengawet asam cuka pasar dan lama penyimpanan tidak
berpengaruh nyata terhadap nilai a bakso.
Gambar 11. Nilai a bakso dengan pengawetan metode perebusan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Rendahnya intensitas warna merah pada bakso kemungkinan
disebabkan oleh adanya penambahan bahan pemutih pada proses
pembuatan bakso sehingga dapat menutupi warna merah daging. Pada
penelitian ini bakso dibuat dengan menggunakan formula yang sudah
umum digunakan oleh pedagang bakso di salah satu tempat
penggilingan daging. Bahan pemutih yang umum digunakan adalah
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
0 1 2 3 4
Nila
i a
Lama Penyimpanan (Hari)
As.Cuka Pasar 0 %
As.Cuka Pasar 0,5 %
As.Cuka Pasar 1 %
As.Cuka Pasar 1,5 %
As.Cuka Pasar 2 %
As.Cuka Pasar 2,5 %
76
titanium dioksida yang ditambahkan dalam pembuatan bakso untuk
menghindari produk akhir bakso yang gelap dan tidak menarik sehingga
tidak disukai konsumen. Cara mengatasi rendahnya nilai a ini bisa
dilakukan dengan cara mengurangi bahan pemutih yang ditambahkan
pada bakso. Menurut hasil survey Andayani (1999), intensitas warna
merah yang disukai oleh konsumen berkisar antara 1.91-3.77.
Gambar 12. Nilai b bakso dengan pengawetan metode perebusan
selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Intensitas warna kuning (nilai b) pada bakso selama penyimpanan
cenderung stabil pada kisaran 6.29-9.33. Gambar 12 menunjukkan hasil
pengukuran nilai b pada bakso selama penyimpanan. Dari gambar
tersebut dapat terlihat meskipun nilai b pada bakso cenderung hampir
sama, namun menurut hasil analis ragam dan uji lanjut Duncan
(Lampiran 15), terdapat perbedaan yang nyata pada nilai b sebagai
pengaruh dari penambahan pengawet dan lama penyimpanan (P<0.05).
b. Kekerasan Objektif
Kekerasan menyatakan kekuatan suatu benda terhadap gaya tekan
yang diberikan tanpa mengalami deformasi bentuk (Soekarto, 1990).
Kekerasan pada bakso sangat dipengaruhi oleh jumlah tepung yang
ditambahkan. Semakin banyak tepung yang ditambahkan, maka nilai
6,00
6,50
7,00
7,50
8,00
8,50
9,00
9,50
10,00
10,50
0 1 2 3 4
Nila
i b
Lama Penyimpanan (Hari)
As.Cuka Pasar 0 %
As.Cuka Pasar 0,5 %
As.Cuka Pasar 1 %
As.Cuka Pasar 1,5 %
As.Cuka Pasar 2 %
As.Cuka Pasar 2,5 %
77
kekerasan bakso akan semakin tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh struktur matriks pati yang lebih rapat dibandingkan struktur
matriks protein lebih sulit untuk dipecah. Hasil survey konsumen yang
dilakukan Andayani (1999) menunjukkan bahwa sebagian besar
konsumen yaitu 47.0 % menyukai bakso sapi dengan tekstur empuk.
Gambar 13 menunjukkan data nilai kekerasan bakso kontrol dan bakso
dengan perlakuan asam cuka pasar selama penyimpanan.
Gambar 13. Tingkat kekerasan bakso dengan pengawetan metode
perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang.
Tingkat kekerasan bakso daging sapi diukur berdasarkan nilai
kecepatan tembus (penetrasi) oleh jarum penetrometer. Semakin besar
nilai kecepatan tembus bakso menunjukkan tingkat kekerasan yang
semakin rendah. Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa nilai kekerasan
yang dimiliki oleh bakso kontrol dan semua sampel dengan semua
perlakuan memiliki nilai kekerasan bakso yang hampir sama pada awal
penyimpanan yaitu berkisar antara 12.10-12.60 mm/10 detik. Hal ini
berarti selama 10 detik jarum penetrometer mampu menembus bakso
sedalam 12.10-12.60 mm. Nilai kekerasan pada bakso kontrol menurun
atau dengan kata lain nilai keempukannya meningkat dengan
bertambahnya lama penyimpanan menjadi 16.25 mm/10 detik pada hari
ke-1 dan 18.70 mm/10 detik pada hari ke-2. Pengukuran nilai kekerasan
10,00
11,00
12,00
13,00
14,00
15,00
16,00
17,00
18,00
19,00
20,00
0 1 2 3 4Tin
gkat
Ke
kera
san
(mm
/10
de
tik)
Lama Penyimpanan (Hari)
As.Cuka Pasar 0 %
As.Cuka Pasar 0,5 %
As.Cuka Pasar 1 %
As.Cuka Pasar 1,5 %
As.Cuka Pasar 2 %
As.Cuka Pasar 2,5 %
78
pada bakso kontrol ini hanya dilakukan hingga penyimpanan hari ke-2
karena sampel bakso tersebut telah rusak. Sampel bakso dengan
perlakuan asam cuka pasar cenderung memiliki nilai kekerasan yang
relatif sama selama penyimpanan empat hari yaitu berkisar antara
11.20-12.60 mm/10 detik (Lampiran 16). Hasil analisis ragam
(Lampiran 17) pun menunjukkan hasil bahwa lama penyimpanan tidak
berpengaruh secara nyata terhadap nilai kekerasan produk bakso
(P>0.05).
Sampel bakso kontrol mengalami penurunan nilai kekerasan yang
cukup signifikan dengan bertambahnya lama penyimpanan sedangkan
sampel yang diberi perlakuan asam cuka pasar memiliki nilai kekerasan
yang cenderung stabil. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya
pengaruh dari penambahan asam cuka pasar sebagai pengawet yang
mampu melindungi permukaan bakso dari pertumbuhan mikroba yang
dapat melunakkan tekstur bakso. Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa perlakuan asam cuka pasar pada bakso memberikan hasil yang
berbeda nyata terhadap kekerasan bakso (P<0.05) (Lampiran 17).
Berdasarkan uji lanjut Duncan, dapat diketahui bahwa sampel yang
diberi perlakuan asam cuka pasar 0.5 %, 1.0 %, 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %
memiliki nilai kekerasan yang berbeda nyata dengan bakso tanpa
perlakuan atau bakso kontrol.
Penurunan nilai kekerasan pada bakso kontrol kemungkinan
disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba pada permukaan bakso
sehingga merusak tekstur bakso yang berakibat pelunakkan pada bakso.
Mikroorganisme tersebut dapat mendekomposisi komponen organik
pada bakso yang ditandai dengan semakin melunaknya produk,
sehingga kontrol memiliki kekerasan yang relatif lebih rendah daripada
bakso yang diberi perlakuan selama penyimpanan. Selain itu, suhu
penyimpanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah suhu ruang
yang merupakan suhu optimum pertumbuhan kapang, khamir, dan
bakteri mesofilik. Frazier dan Westhoff (1988) menyatakan bahwa suhu
memiliki pengaruh yang besar terhadap jenis, kecepatan tumbuh, dan
79
jumlah mikroorganisme. Kapang dan khamir dapat tumbuh baik pada
suhu ruang, begitu pun dengan bakteri.
4. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik merupakan uji yang dilakukan terhadap produk
pangan dengan menggunakan organ inderawi yaitu penglihatan,
penciuman, pengecapan, perabaan, dan pendengaran. Indera pendengaran
jarang digunakan dalam pengujian produk pangan. Sampel yang
digunakan dalam uji ini ada empat yaitu bakso kontrol, bakso dengan
perlakuan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %. Sampel bakso
tersebut digunakan dalam uji organoleptik karena sampel tersebut
memiliki umur simpan selama empat hari sesuai dengan tujuan yang
diharapkan dalam penelitian ini.
a. Respon Panelis terhadap Rasa
Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap
produk pangan. Rasa merupakan kriteria penting dalam menilai suatu
produk pangan yang banyak melibatkan panca indera lidah. Indera
pencicipan dapat membedakan empat macam rasa yang utama yaitu
asin, asam, manis, dan pahit. Rasa merupakan suatu respon lidah
terhadap makanan yang diberikan. Rasa sangat dipengaruhi oleh
komponen-komponen penyusun makanan seperti protein, lemak,
vitamin, dan lainnya (Winarno, 1997).
Rasa bakso dipengaruhi oleh daging, bumbu-bumbu serta bahan
pengisi yang ditambahkan selama pengolahan. Menurut survey yang
dilakukan Andayani (1999), rasa menempati urutan pertama sifat
mutu menurut konsumen dalam menentukan pilihan bakso. Rasa
bakso sangat menentukan penerimaan konsumen, walaupun sifat mutu
organoleptik lainnya juga turut menentukan. Rasa bakso sapi
sebenarnya dibentuk oleh berbagai jenis rangsangan bahkan terkadang
juga turut dipengaruhi oleh bau dan tekstur. Namun umumnya ada tiga
macam rasa bakso yang sangat menentukan penerimaan konsumen
80
yaitu tingkat kegurihan, keasinan, dan rasa daging. Respon panelis
terhadap parameter rasa bakso kontrol dan sampel dengan perlakuan
asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % dapat dilihat pada Gambar
14.
Gambar 14. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa bakso.
Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa skor kesukaan
tertinggi panelis terhadap parameter rasa terdapat pada sampel bakso
kontrol (5.97) sedangkan skor terendah terdapat pada sampel dengan
asam cuka pasar 2.5 % (2.53). Hasil analisis ragam (Lampiran 19)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara penambahan
pengawet terhadap atribut rasa bakso. Hasil uji lanjut Duncan
memberikan hasil bahwa rasa sampel bakso dengan asam cuka pasar
2.0 % dan 2.5 % tidak berbeda nyata, namun rasa kedua sampel tersebut
berbeda nyata dengan rasa sampel bakso yang diberi perlakuan asam
cuka pasar 1.5 % dan bakso kontrol.
Pemberian skor rasa yang rendah terhadap sampel bakso dengan
asam cuka pasar 2.5 % ini kemungkinan disebabkan karena tingginya
konsentrasi asam cuka pasar yang terkandung dalam bakso sehingga
rasa bakso tersebut menjadi sangat asam. Menurut de Man (1997), asam
asetat memiliki tingkat rasa asam yang cukup tinggi jika dibandingkan
5,97
3,60
2,932,53
0
1
2
3
4
5
6
7
0,0% 1,5% 2,0% 2,5%
Sko
r K
esu
kaan
PA
nel
is
Konsentrasi Asam Cuka Pasar
81
dengan asam organik yang lainnya termasuk asam laktat, asam sitrat,
dan asam propionat.
Bakso dengan asam cuka pasar 2.5 % memiliki skor 2.53 (skala 7)
artinya panelis tidak menyukai rasa dari bakso tersebut. Hal ini wajar
karena panelis tidak terbiasa dengan bakso yang memiliki rasa asam.
Rasa asam pada bakso ini tidak disukai karena bisa menimbulkan
persepsi yang bermacam-macam seperti adanya dugaan jika bakso
tersebut basi padahal rasa asam berasal dari asam cuka pasar. Bakso
yang umum berada di pasaran biasanya memiliki rasa yang gurih dan
agak asin seperti hasil survey yang telah dilakukan oleh Andayani
(1999) yang menunjukkan bahwa 91.0 % responden menyukai bakso
dengan rasa agak asin atau sedang.
b. Respon Panelis terhadap Aroma
Aroma merupakan salah satu kriteria yang penting bagi konsumen
dalam memilih suatu produk pangan yang disukai. Aroma makanan
banyak menentukan kelezatan bahan makanan. Pada umumnya aroma
yang diterima oleh hidung ke otak lebih banyak merupakan campuran
empat aroma atau bau yang utama yaitu harum, asam, tengik, dan
hangus (Winarno, 1997). Pentingnya atribut aroma dalam makanan juga
diungkapkan oleh Soekarto (1985) yang menyatakan bahwa manusia
dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan
mencium aromanya dari jarak jauh (Soekarto, 1985). Hasil survey yang
dilakukan Andayani (1999) pun menunjukkan bahwa aroma menempati
peringkat kedua sifat mutu yang menentukan pilihan konsumen
terhadap bakso sapi. Respon panelis terhadap parameter aroma bakso
kontrol dan sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %,
dan 2.5 % dapat dilihat pada Gambar 15.
Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bakso mulai dari yang
tertinggi hingga yang terendah secara berturut-turut yaitu bakso
kontrol, bakso dengan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %. Dari
Gambar 15 dapat dilihat bahwa skor yang diberikan panelis terhadap
82
aroma bakso cukup bervariasi. Hal ini sejalan dengan hasil analisis
ragam (Lampiran 20) yang menunjukkan bahwa penambahan bahan
pengawet organik asam cuka pasar memberikan pengaruh yang nyata
terhadap atribut aroma bakso. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan,
atribut aroma bakso dengan perlakuan asam cuka pasar 2.0 % dan 2.5
% tidak berbeda nyata, namun aroma kedua sampel tersebut berbeda
nyata dengan aroma sampel bakso yang diberi perlakuan asam cuka
pasar 1.5 % dan bakso kontrol.
Gambar 15. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma bakso.
Aroma bakso dapat dipengaruhi oleh zat-zat yang ada dalam
daging dan bahan-bahan selain daging. Aroma dan daging masak
banyak ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak dan
pembebasan substansi atsiri (volatil) yang terdapat pada daging
(Soeparno, 2005). Aroma asam pada sampel yang diberi perlakuan
asam cuka pasar terutama dengan konsentrasi 2.5 % cukup tajam
sehingga agak tidak disukai panelis. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh aroma asam yang menimbulkan kesan basi. Wibowo (2006)
menyebutkan bahwa salah satu kriteria mutu bakso yang baik adalah
memiliki bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik,
asam, basi atau busuk serta bau bumbu cukup tajam. Hasil survey
5,93
5,00
4,233,93
0
1
2
3
4
5
6
7
0,0% 1,5% 2,0% 2,5%
Sko
r K
esu
kaan
Pan
elis
Konsentrasi Asam Cuka Pasar
83
yang dilakukan Andayani (1999) pun menunjukkan bahwa sebagian
besar responden menyukai aroma daging rebus pada bakso sapi.
Sedangkan aroma yang ditimbulkan oleh sampel bakso yang diberi
perlakuan asam cuka pasar adalah aroma asam.
Semakin tinggi konsentrasi asam cuka pasar, maka semakin tinggi
pula aroma asam yang terdeteksi. Bakso dengan perlakuan asam cuka
pasar yang menunjukkan hasil terbaik dari segi penilaian aroma secara
organoleptik adalah sampel bakso dengan perlakuan asam cuka pasar
1.5 %. Panelis memberikan skor 5.0 untuk sampel ini yang artinya
panelis menyukai bakso dengan perlakuan asam cuka pasar 1.5 %.
c. Respon Panelis terhadap Tekstur
Pada umumnya tekstur makanan ditentukan oleh kadar air,
kandungan lemak, jenis dan jumlah karbohidrat. Perubahan tekstur
disebabkan oleh hilangnya air atau lemak, pembentukan emulsi,
hidrolisis karbohidrat serta koagulasi protein. Kandungan air yang
tinggi dapat menyebabkan tekstur bakso menjadi lembek dan
kandungan lemak yang tinggi akan menghasilkan bakso yang
berlubang sehingga mempengaruhi tekstur bakso. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan Winarno (1997) bahwa air merupakan bagian
komponen terpenting dalam bahan makanan karena dapat
mempengaruhi penampakan tekstur serta cita rasa makanan.
Tekstur dari daging masak mempengaruhi penampakan dan
memberikan kesan sensori yang dihubungkan dengan kelezatan, kesan
pada saat dimakan atau pemotongan (Forrest et al., 1975).
Berdasarkan survey yang telah dilakukan Andayani (1999), tekstur
menempati peringkat ketiga pilihan responden dalam menentukan
pilihan konsumen terhadap bakso. Respon panelis terhadap parameter
tekstur bakso kontrol dan sampel dengan perlakuan asam cuka pasar
1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % dapat dilihat pada Gambar 16.
84
Gambar 16. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur bakso.
Secara umum, skor kesukaan panelis terhadap tekstur bakso untuk
semua sampel tidak terlalu berbeda yaitu berkisar pada nilai 5 yang
artinya panelis menyukai tekstur bakso tersebut. Secara visual, tekstur
bakso baik yang diberi perlakuan maupun yang tidak diberi perlakuan
menunjukkan tekstur yang hampir sama. Namun, berdasarkan hasil
analisis ragam (Lampiran 21) yang dilanjutkan dengan uji Duncan,
diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tekstur
pada bakso kontrol dengan tekstur bakso dengan asam cuka pasar 1.5
%, 2.0 %, dan 2.5 % (P<0.05).
Sampel bakso yang digunakan dalam uji organoleptik ini memiliki
tekstur yang agak kenyal. Hasil survey kesukaan konsumen terhadap
bakso daging sapi menunjukkan bahwa sebagian besar responden,
yaitu 45.5 %, menyukai bakso sapi dengan tekstur agak kenyal
(Andayani, 1999). Hal ini sesuai dengan pendapat Wibowo (2006)
yang mengemukakan bahwa bakso yang disukai memiliki kriteria
mutu tekstur yang kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau
membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan
tidak rapuh.
5,90
5,47
5,37
5,27
4,9
5
5,1
5,2
5,3
5,4
5,5
5,6
5,7
5,8
5,9
6
0,0% 1,5% 2,0% 2,5%
Sko
r K
esu
kaan
Pan
elis
Konsentrasi Asam Cuka Pasar
85
d. Respon Panelis terhadap Warna
Warna merupakan ciri-ciri bahan yang dapat dikenali melalui
indera penglihatan dan warna bahan pangan bergantung pada
penampakan bahan tersebut dan kemampuan dari bahan tersebut untuk
memantulkan, menyebarkan, menyerap, dan meneruskan sinar
tampak. Menurut Soekarto (1985), sifat produk pangan yang paling
menarik perhatian konsumen dan paling cepat memberikan kesan
disukai atau tidak adalah warna. Warna bakso dapat dipengaruhi oleh
jenis daging yang digunakan dalam pembuatan bakso.
Hasil survey Andayani (1999) menyebutkan bahwa warna
menempati peringkat keempat sifat mutu yang menentukan pilihan
konsumen terhadap bakso sapi. Respon panelis terhadap parameter
warna bakso kontrol dan sampel dengan perlakuan asam cuka pasar
1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap warna bakso.
Hasil uji organoleptik dengan parameter warna menunjukkan hasil
bahwa panelis memberikan penilaian yang hampir sama baik terhadap
bakso kontrol maupun terhadap bakso dengan perlakuan asam cuka
pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %. Hasil analisis ragam (Lampiran 22)
pun menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara penambahan
pengawet dengan atribut warna.
5,77
5,53
5,375,33
5,1
5,2
5,3
5,4
5,5
5,6
5,7
5,8
0,0% 1,5% 2,0% 2,5%
Sko
r K
esu
kaan
Pan
elis
Konsentrasi Asam Cuka Pasar
86
Warna pada bakso kontrol dan semua sampel secara visual
memang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini berarti
perlakuan asam cuka pasar tidak menimbulkan pengaruh terhadap
perubahan warna bakso. Survey konsumen yang dilakukan oleh
Andayani (1999) menunjukkan bahwa sebagian besar responden
menyukai bakso berwarna abu-abu yaitu sebanyak 51.0 % menyukai
abu-abu pucat atau muda dan 32.0 % menyukai warna abu-abu gelap.
Sedangkan Wibowo (2006) menyebutkan bahwa bakso yang disukai
memiliki warna cokelat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau
cokelat muda hingga cokelat muda agak keputihan atau abu-abu.
Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur).
e. Respon Panelis terhadap Overall
Penilaian panelis terhadap sampel bakso secara overall (penilaian
umum) dipengaruhi oleh empat kriteria umum sebelumnya yaitu
warna, rasa, kekenyalan, dan aroma/bau. Respon panelis terhadap
penilaian bakso kontrol dan sampel dengan perlakuan asam cuka pasar
1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % secara umum dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap penilaian
umum (overall) bakso
Penilaian panelis terhadap bakso secara keseluruhan (overall)
menunjukkan hasil bahwa bakso yang paling disukai adalah bakso
6,00
4,233,60 3,30
0
1
2
3
4
5
6
7
0,0% 1,5% 2,0% 2,5%
Sko
r K
esu
kaan
Pan
elis
Konsentrasi Asam Cuka Pasar
87
kontrol dengan skor tertinggi sebesar 6.00, kemudian bakso dengan
asam cuka pasar 1.5 %, 2 %, dan 2.5 %. Semakin tinggi konsentrasi
asam yang ada pada bakso, maka bakso tersebut semakin tidak disukai
oleh panelis.
Secara statistik, hasil analisis ragam (Lampiran 23) menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara skor kesukaan
panelis terhadap atribut penilaian umum (overall). Berdasarkan hasil
uji lanjut Duncan, atribut penilaian umum bakso dengan perlakuan
asam cuka pasar 2.0 % dan 2.5 % tidak berbeda nyata, namun
penilaian umum kedua sampel tersebut berbeda nyata dengan
penilaian umum sampel bakso yang diberi perlakuan baik asam cuka
pasar 1.5 % maupun bakso kontrol.
5. Analisis Biaya
Beberapa kriteria utama bahan pengawet yang ideal diantaranya yaitu
mampu memperpanjang umur simpan produk pangan, mudah diperoleh,
serta bersifat ekonomis. Hal ini berarti harga bahan pengawet relatif rendah
sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat serta dalam penggunaannya
bahan pengawet tersebut tidak terlalu menambah biaya produksi pembuatan
produk pangan. Untuk mengetahui jumlah biaya tambahan yang dikeluarkan
oleh produsen bakso dengan adanya penambahan pengawet, maka dilakukan
analisis biaya secara sederhana.
Cara menghitung biaya penambahan pengawet terhadap biaya produksi
bakso dapat dihitung dengan cara sederhana (Lampiran 24). Asam organik
yang dijadikan pengawet diencerkan sampai konsentrasi yang diinginkan
untuk mengawetkan bakso. Volume larutan pengawet yang digunakan untuk
merebus 25 butir bakso dengan bobot masing-masing bakso sekitar 7 gram
sebesar 500 ml. Volume larutan pengawet sebelum dan sesudah perebusan
harus diukur, sehingga dapat diketahui volume larutan yang terpakai dengan
cara melihat selisih antara volume sebelum perebusan dengan volume
sesudah perebusan.
88
Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis pengawet asam organik yaitu
asam asetat dan asam laktat untuk penelitian pendahuluan, serta asam cuka
pasar yang digunakan dalam penelitian utama. Alasan pemilihan bahan
pengawet asam cuka pasar dalam penelitian utama, selain memiliki aktivitas
antimikroba yang hampir sama dengan asam asetat, juga lebih dikarenakan
faktor ketersediaan bahan pengawet di pasar serta kemudahan masyarakat
dalam membeli bahan pengawet asam cuka pasar. Asam cuka pasar dijual
bebas di pasaran dengan konsentrasi biasanya sekitar 25 % sehingga
ketersediaan bahan pengawet asam cuka pasar di masyarakat cukup tinggi.
Daftar harga ketiga pengawet asam organik tersebut dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 6. Harga bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian utama
Jenis Pengawet Harga/Liter
Asam asetat 98 % Rp. 32.500,00
Asam Laktat 90 % Rp. 52.500,00
Asam Cuka Pasar 25 %
Formalin 37 %
Rp. 13.250,00
Rp. 80.000,00
Informasi mengenai harga bahan pengawet pada Tabel 6, diperoleh dari
beberapa toko bahan kimia yang ada di Kota Bogor pada bulan April 2009.
Dari analisis biaya sederhana yang dilakukan, dapat diperoleh data
mengenai biaya tambahan akibat penambahan pengawet untuk membuat
satu kilogram bakso. Data mengenai biaya pengawet per satu kilogram
bakso dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Biaya pengawetan per kg bakso
Jenis Pengawet Biaya pengawet (Rp)/
kg bakso
Asam Cuka Pasar 0.5 % 75,71
Asam Cuka Pasar 1.0 % 151,43
Asam Cuka Pasar 1.5 % 227,14
Asam Cuka Pasar 2.0 % 302,86
Asam Cuka Pasar 2.5 % 378,57
Formalin 250 ppm (0.025 %) (a)
54,00 Keterangan :
(a) berdasarkan Teddy (2007)
89
Berdasarkan hasil analisis ekonomi sederhana pada Tabel 7, dapat
diketahui bahwa penambahan pengawet berpengaruh terhadap penambahan
biaya produksi bakso. Namun, biaya tambahan yang diperlukan relatif
rendah. Sebagai contoh, untuk mengawetkan satu kilogram bakso dengan
perlakuan perebusan dalam asam cuka pasar 1.5 % hanya dibutuhkan biaya
tambahan sebesar Rp. 227,14. Namun, jika dibandingkan dengan biaya
tambahan pengawet formalin 250 ppm yaitu sekitar Rp. 54,00, biaya
tambahan dengan menggunakan pengawet asam cuka pasar relatif lebih
tinggi. Meskipun demikian, jika melihat efek toksik yang ditimbulkan oleh
pengawet formalin, pengawetan dengan asam cuka pasar cenderung lebih
baik. Menurut Manitoba Federation of Labour (MFL) Inc (2004) yang
dikutip oleh Teddy (2007), batas konsentrasi formaldehid yang tidak
berpengaruh terhadap kesehatan manusia hanyalah sebesar ≤ 0.05 ppm.
Rendahnya biaya penambahan pengawet asam cuka pasar terhadap
biaya produksi bakso serta ketersediaan bahan tersebut yang cukup luas di
pasaran, menandakan bahwa bahan pengawet ini bernilai ekonomis dan bisa
diaplikasikan di masyarakat sebagai alternatif pengawet yang aman
dikonsumsi serta memiliki harga yang relatif murah. Efektivitasnya dalam
memperpanjang umur simpan bakso hingga penyimpanan empat hari (asam
cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %) dapat dijadikan pertimbangan untuk
menggantikan formalin dan boraks meskipun hasil uji organoleptik yang
dihasilkan oleh bakso dengan perlakuan asam cuka pasar ini masih kurang
bisa diterima oleh konsumen terutama dalam atribut sensori rasa dan aroma.
90
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dapat diketahui bahwa asam
asetat dan asam cuka pasar memberikan hasil yang paling baik dalam
mengawetkan bakso dibandingkan dengan asam laktat. Metode pengawetan
bakso dengan metode perebusan pada air rebusan kedua lebih efektif
dibandingkan dengan metode pencelupan.
Konsentrasi asam cuka pasar yang efektif dalam memperpanjang umur
simpan bakso ditinjau dari segi mikrobiologis (analisis total mikroba dan total
kapang-khamir) adalah larutan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %.
Sampel dengan perlakuan asam cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 % memiliki
jumlah total mikroba dan total kapang-khamir yang relatif rendah dan
cenderung stabil selama empat hari penyimpanan. Bakso dengan asam cuka
pasar 0.5 % hanya mampu memperpanjang umur simpan bakso selama satu
hari. Sedangkan bakso dengan asam cuka pasar 1 % umur simpannya hingga
tiga hari.
Pengukuran nilai pH dan TAT bakso selama penyimpanan
menunjukkan bahwa sampel bakso dengan asam cuka pasar 2.5 % memiliki
pH yang paling rendah dan TAT yang paling tinggi selama penyimpanan.
Hasil pengukuran warna menunjukkan bahwa sampel bakso kontrol dan bakso
dengan perlakuan asam cuka pasar konsentrasi 0.5 %, 1.0 %, 1.5 %, 2.0 %,
dan 2.5 % memiliki tingkat kecerahan yang cenderung hampir sama selama
penyimpanan dengan kisaran nilai 51.23-52.43. Untuk pengukuran nilai
kekerasan, sampel bakso dengan perlakuan asam cuka pasar cenderung
memiliki nilai kekerasan yang relatif sama selama penyimpanan empat hari
yaitu berkisar antara 11.20-12.60 mm/10 detik. Hasil uji hedonik
menunjukkan bahwa skor kesukaan tertinggi panelis terhadap parameter rasa,
aroma, warna, tekstur dan penilaian umum mulai dari yang tertinggi hingga
yang terendah secara berturut-turut yaitu bakso kontrol, bakso dengan asam
cuka pasar 1.5 %, 2.0 %, dan 2.5 %.
91
Berdasarkan kemampuan mempertahankan umur simpan, hasil uji
organoleptik, dan pertimbangan ekonomi, dapat disimpulkan bahwa pengawet
asam cuka pasar 1.5 % memberikan hasil terbaik dalam mengawetkan bakso
karena mampu mempertahankan umur simpan bakso hingga empat hari
dengan biaya tambahan pengawet yang relatif rendah yaitu sebesar Rp.
227,14, sehingga asam cuka pasar 1.5 % dapat direkomendasikan untuk
mengawetkan bakso.
B. SARAN
Pengawetan bakso dengan perebusan bakso dalam air rebusan kedua
yang berisi larutan asam cuka pasar 1.5 % selama 10 menit dapat
mempertahankan umur simpan bakso hingga 4 hari. Biaya pengawetan juga
relatif rendah. Namun, dilihat dari segi sensori, pengawet ini masih belum bisa
diterima secara organoleptik karena rasa dan aroma asam yang ditimbulkan
masih tinggi. Untuk mengurangi rasa dan aroma yang terlalu asam, disarankan
untuk diteliti :
1. menambahkan ekstrak rempah-rempah ke dalam larutan asam cuka pasar
yang akan digunakan pada tahap perebusan kedua
2. mengurangi lamanya perebusan bakso dalam larutan asam cuka pasar
3. mengkombinasikan asam cuka pasar dengan asam laktat atau asam organik
lainnya yang memiliki karakteristik rasa asam yang tidak terlalu tajam
4. menambahkan perlakuan pencelupan dalam larutan basa yang foodgrade
5. menggunakan beberapa metode aplikasi asam cuka pasar terhadap bakso
seperti menggunakan metode penyemprotan
6. mengurangi konsentrasi asam cuka pasar dan menambahkan perlakuan
coating dengan bahan yang memiliki aktivitas antimikroba seperti kitosan
92
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, R.Y. 1999. Standarisasi Bakso Sapi Berdasarkan Kesukaan Konsumen
(Studi Kasus Bakso di Wilayah DKI Jakarta). Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Andriani. 2003. Dekontaminasi Karkas Ayam Menggunakan Asam Laktat dan
Asam Asetat pada Penyimpanan Suhu Kamar. Tesis. Program Pasca
Sarjana IPB, Bogor
AOAC. 1995. Official Method of Analysis. 16th Edition. Association of Official
Analytical Chemistry International, Gaithersburg.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budijanto.
1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Aulia. 2003. Pengembangan Aroma dan Cita Rasa Bakso dengan Penggunaan
Flavor. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 1995. Standar Nasional Indonesia (SNI)
Nomor 01-3818-1995, Bakso Daging Sapi. Badan Standardisasi Nasional,
Jakarta.
BAM FDA. 2001. Bacteriological Analitical Manual Online. US Food Drugs
Administration. Aeobic Plate Count Chapter 3. Departement of Health and
Human Services.
Branen, A. L., P. M., Davidson, dan S. Salminen (Ed). 1990. Food Additives.
Marcel Dekker, Inc., New York.
Buckle, K.A., R. A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 2007. Ilmu Pangan.
Terjemahan : H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta.
Carpenter, J.A. 1973. Proc. Meat Ind. Res. Cont (35). Di dalam : Gould, G.W.
(Ed). 1995. New Method of Food Preservation. Chapman and Hall,
Glosgow.
Chung, K.C. dan Geopert. 1970. Di dalam : Gould, G.W. (Ed). 1995. New
Method of Food Preservation. Chapman and Hall, Glosgow.
Davidson, P. M. dan V. K. Juneja. 1990. Antimicrobial Agents. Di dalam :
Branen, A. L., P. M., Davidson, S. Salminen (Ed). Food Additives. Marcel
Dekker, Inc., New York.
Davidson, P. M., J. N. Sofos, dan A. L. Branen. 2005. Antimicrobials in Foods
Third Edition. Marcel Dekker Inc., New York.
deMan, John M. 1997. Kimia Makanan. Terjemahan : Kosasih Padmawinata.
Penerbit ITB, Bandung.
93
Doores, S. 2005. Organic Acid. Di dalam : Davidson, P. M., J. N. Sofos, dan A. L.
Branen,(Ed). Antimicrobials in Foods Third Edition. Marcel Dekker, Inc.,
New York.
Doyle, M.P. 1989. Foodborne Bacterial Pathogens. Marcel Dekker, New York
and Basel.
Eklund, T. 1989. Organic Acids and Esters. Di dalam : Gould, G.W.,(Ed).
Mechanisms of Action of Food Preservation Procedurs. Elsevier Science
Publishers Ltd., England.
Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Lembaga Sumberdaya
Informasi (LSI), Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Forrest, J.C., E.B. Aberle, H.B. Hendrik, M.D. Judge, dan R.A Merkel. 1975.
Principles of Meat Science. WH Freeman, San Fransisco.
Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology Fourth Edition. Mc
Graw-Hill Company, New York.
Furia, E. T. 1972. Handbook of Food Additives Second EditionVolume I. CRC
Press, Inc. Florida.
Garbutt, T. 1997. Essentials Of food Microbiology Arnold. London.
Hadi, Hana N. S. S. 2008. Aplikasi Kitosan dengan Penambahan Ekstrak Bawang
Putih sebagai Pengawet dan Edible Coating Bakso Sapi. Disertasi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Harrigan, W. F. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiolog. Thrird Edition.
Academic Press, Inc., New York.
Jay, J. M., M. J. Loessner, dan D. A. Golden. 2005. Modern Food Microbiology.
Seventh Edition. Springer, New York.
Kramlich, W.E., A.M. Pearson dan F.W. Tauber. 1971. Processed Meat. AVI
Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut.
Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Penuntun Praktikum Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. Ohio University, Ohio.
Pomeranz, Y. dan Meloan, C. E. 2000. Food Analysis : Theory and Practice
Third Edition. Aspen Publisher, Inc., Maryland.
Rahman, M.S. 1999. Handbook of Food Preservation. Marcel Dekker Inc., New
York.
94
Sadler, G. D., dan P. A Murphy. 2003. pH and Titratable Acidity. Di dalam : Food
Analysis Third Edition. Suzane Nielsen (Ed.) Purdue University, West
Lafayette, Indiana.
Saparinto, C. dan D. Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius,
Yogyakarta.
Sheard, P. 2002. Processing and Quality Control of Restructured Meat Products.
Di dalam : Meat Processing. J. Kerry dan D. Ledward (Ed). CRC Press,
Florida.
Smulders, F. J. M. 1995. Preservation by Microbial Decontamination. Di dalam :
Guld, G. W. (Ed). New Method of Preservation. Chapman and Hall,
Glosgow.
Soekarto, S. T. 1985. Penelitian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Bhatara Aksara, Jakarta.
Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.
IPB, Bogor.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Unicersity Press,
Yogyakarta.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh
Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap Perbaikan
Mutu. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Tandiyono. 1996. Pengaruh Penggunaan Sodium Tripolifosfat, Natrium
Propionat, dan Boraks terhadap Sifat Fisik, Daya Simpan dan Palatabilitas
Bakso pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fapet IPB, Bogor.
Teddy. 2007. Pengaruh Konsentrasi Formalin terhadap Keawetan Bakso dan
Cara Pengolahan Bakso terhadap Residu. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Wibowo, S. 2006. Pembuatan Bakso Daging dan Bakso Ikan. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Wicaksono, D. A. 2007. Pengaruh Metode Aplikasi Kitosan, Tanin, Natrium
Metabisulfit, dan Mix Pengawet terhadap Umur Simpan Bakso Daging Sapi
pada Suhu Ruang. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Winarno, F. G. dan T. S. Rahayu. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan
Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Yovita, I. 2000. Pengaruh Penambahan Berbagai Bahan Antimikroba terhadap
Daya Awet Bakso Sapi pada Penyimpanan Suhu Kamar. Skripsi. Fateta
IPB, Bogor.
95
Zeitoun, A.A.M dan J.M. Debevere. 1990. The Effect of Treatment With Buffered
Lactic Acid in Microbial Decontamination and on Shelf Life or Poultry.
Int. J. Food Microbiol.
96
LAMPIRAN
97
Lampiran 1. Diagram pembuatan bakso
Daging
Trimming dan Pencucian
Penghancuran daging
Pencampuran dan Penggilingan
Pembentukan
Perebusan 60oC, 10 menit
Perebusan 80oC, 10 menit
Bakso
Penyimpanan pada suhu kamar
Es 20 %
MSG, Lada, Bawang Putih
Garam 3 %
Sagu : Tapioka
98
Lampiran 2. Rekapitulasi data hasil pengukuran pH bakso pada penelitian
pendahuluan tahap 1 Perlakuan Nilai pH
H 0 H 1 H 2 H 3 H 4
Kontrol Ulangan 1 6,03 5,96 5,78 5,12 5,09
Ulangan 2 6,11 6,02 5,7 5,21 5,11
Rata 2 6,07 5,99 5,74 5,17 5,10
STDev 0,06 0,04 0,06 0,06 0,01
As.Asetat 4 % Ulangan 1 4,91 4,85 4,77 5,29 6,35
Ulangan 2 4,97 4,89 4,82 5,25 6,31
Rata 2 4,94 4,87 4,80 5,27 6,33
STDev 0,04 0,03 0,04 0,03 0,03
As.Asetat 6 % Ulangan 1 4,67 4,58 4,5 4,7 5,35
Ulangan 2 4,72 4,59 4,61 4,7 5,29
Rata 2 4,70 4,59 4,56 4,70 5,32
STDev 0,04 0,01 0,08 0,00 0,04
As.Asetat 8 % Ulangan 1 4,33 4,2 4,48 4,56 5,6
Ulangan 2 4,41 4,22 4,52 4,54 5,61
Rata 2 4,37 4,21 4,50 4,55 5,61
STDev 0,06 0,01 0,03 0,01 0,01
As.Laktat 4 % Ulangan 1 4,69 4,65 4,7 4,82 5,37
Ulangan 2 4,72 4,68 4,75 4,86 5,39
Rata 2 4,71 4,67 4,73 4,84 5,38
STDev 0,02 0,02 0,04 0,03 0,01
As.Laktat 6 % Ulangan 1 4,45 4,31 4,3 4,41 4,93
Ulangan 2 4,39 4,28 4,32 4,46 4,95
Rata 2 4,42 4,30 4,31 4,44 4,94
STDev 0,04 0,02 0,01 0,04 0,01
As.Laktat 8 % Ulangan 1 4,32 4,26 4,02 4,18 4,92
Ulangan 2 4,29 4,21 4,09 4,11 4,91
Rata 2 4,31 4,24 4,06 4,15 4,92
STDev 0,02 0,04 0,05 0,05 0,01
99
Lampiran 3. Rekapitulasi data hasil pengukuran jumlah total mikroba (Total Plate
Count) bakso pada penelitian pendahuluan tahap 1 Perlakuan Jumlah Mikroba (log cfu/g)
H 0 H 1 H 2 H 3 H 4
Kontrol Ulangan 1 1,95 6,20 9,19 - -
Ulangan 2 2,16 6,16 9,17 - -
Rata 2 2,06 6,18 9,18 - -
STDev 0,15 0,03 0,01 - -
As.Asetat 4 % Ulangan 1 1,65 3,81 5,10 8,16 8,34
Ulangan 2 1,74 3,91 5,36 8,25 8,39
Rata 2 1,70 3,86 5,23 8,21 8,37
STDev 0,06 0,07 0,18 0,06 0,04
As.Asetat 6 % Ulangan 1 1,30 3,70 4,89 7,84 8,05
Ulangan 2 1,40 3,84 4,96 7,92 8,08
Rata 2 1,35 3,77 4,93 7,88 8,07
STDev 0,07 0,10 0,05 0,06 0,02
As.Asetat 8 % Ulangan 1 1,00 3,63 4,87 7,65 7,74
Ulangan 2 1,30 3,72 4,97 7,77 7,81
Rata 2 1,15 3,68 4,92 7,71 7,78
STDev 0,21 0,06 0,07 0,08 0,05
As.Laktat 4 % Ulangan 1 1,48 5,18 7,40 9,29 9,35
Ulangan 2 1,60 5,21 7,35 9,26 9,36
Rata 2 1,54 5,20 7,38 9,28 9,36
STDev 0,08 0,02 0,04 0,02 0,01
As.Laktat 6 % Ulangan 1 1,18 4,68 7,35 8,03 8,11
Ulangan 2 1,48 4,77 7,31 8,03 8,13
Rata 2 1,33 4,73 7,33 8,03 8,12
STDev 0,21 0,06 0,03 0,00 0,01
As.Laktat 8 % Ulangan 1 1,00 4,62 7,31 7,71 7,94
Ulangan 2 1,30 4,70 7,29 7,76 7,80
Rata 2 1,15 4,66 7,30 7,74 7,87
STDev 0,21 0,06 0,01 0,04 0,10
100
Lampiran 4. Hasil pengamatan subyektif bakso dengan pengawetan metode
pencelupan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang
Perlakuan Waktu Penyimpanan
Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4
Kontrol
* Warna Normal Normal Abu-abu kusam Agak kecoklatan Agak kecoklatan
* Aroma Normal Timbul aroma agak asam
Timbul aroma asam
Aroma tidak enak Aroma Busuk
* Rasa Normal - - - -
* Tekstur Kenyal Kenyal Mulai lunak Agak Lunak Lunak
* Lendir - + +++ ++++ +++++
* Misellium Kapang
- - - ++ ++++
As.Asetat 4 %
* Warna Normal Normal Normal Abu-abu kusam Abu-abu kusam
* Aroma Aroma asam (++)
Aroma asam (++)
Aroma asam (++) Aroma asam (++) dan agak busuk
Aroma asam (++) dan busuk
* Rasa Rasa asam di bagian luar (++), bagian dalam terasa dominan rasa daging
Rasa asam di bagian luar (++), bagian dalam terasa dominan rasa daging
Rasa asam di bagian luar (++), bagian dalam terasa dominan rasa daging
- -
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Mulai sedikit lunak
* Lendir - - - ++ +++
* Misellium Kapang
- - - + +++
As.Asetat 6 %
* Warna Normal Normal Normal Abu-abu kusam Abu-abu kusam
* Aroma Aroma asam (++)
Aroma asam (++)
Aroma asam (++) Aroma asam (++) Aroma asam (++) dan agak busuk
* Rasa Rasa asam di bagian luar (+++), bagian dalam terasa dominan rasa daging
Rasa asam di bagian luar (+++), bagian dalam terasa dominan rasa daging
Rasa asam di bagian luar (+++), bagian dalam terasa dominan rasa daging
- -
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Mulai sedikit lunak
* Lendir - - - + ++
* Misellium Kapang
- - - + ++
As.Asetat 8 %
* Warna Normal Normal Normal Abu-abu kusam Abu-abu kusam
* Aroma Aroma asam (+++)
Aroma asam (+++)
Aroma asam (+++) Aroma asam (+++) Aroma asam (+++)
* Rasa Rasa asam di bagian luar (++++), bagian dalam terasa dominan rasa daging
Rasa asam di bagian luar (++++), bagian dalam terasa dominan rasa daging
Rasa asam di bagian luar (++++), bagian dalam terasa dominan rasa daging
- -
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Mulai sedikit lunak
* Lendir - - - + ++
* Misellium Kapang
- - - + ++
101
Lanjutan Tabel pada Lampiran 4
Perlakuan Waktu Penyimpanan
Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4
As.Laktat 4 %
* Warna Normal Normal Abu-abu kusam Abu-abu kusam Agak kecoklatan
* Aroma Aroma asam (+) Aroma asam (+) Aroma asam (+) Aroma asam (+) Aroma asam (+) dan busuk
* Rasa Masih terasa enak dan dominan rasa daging
- - - -
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Mulai sedikit lunak
* Lendir - - - + ++
* Misellium Kapang
- + ++ +++ +++++
As.Laktat 6 %
* Warna Normal Normal Abu-abu kusam Abu-abu kusam Agak kecoklatan
* Aroma Aroma asam (+) Aroma asam (+) Aroma asam (+) Aroma asam (+) Aroma asam (+) dan busuk
* Rasa Masih terasa enak dan dominan rasa daging
Masih terasa enak dan dominan rasa daging
- - -
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Mulai sedikit lunak
* Lendir - - - + ++
* Misellium Kapang
- - ++ +++ ++++
As.Laktat 8 %
* Warna Normal Normal Abu-abu kusam Abu-abu kusam Agak kecoklatan
* Aroma Aroma asam (+) Aroma asam (+) Aroma asam (+) Aroma asam (+) Aroma asam (+) dan busuk
* Rasa Rasa asam di bagian luar (+), bagian dalam terasa dominan rasa daging
Rasa asam di bagian luar (+), bagian dalam terasa dominan rasa daging
- - -
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Mulai sedikit lunak
* Lendir - - - + ++
* Misellium Kapang
- - ++ +++ ++++
Keterangan
- Tidak ada
+ Agak sedikit
++ Sedikit
+++ Banyak
++++ Agak Banyak
+++++ Sangat Banyak
102
Lampiran 5. Hasil pengamatan subyektif bakso dengan pengawetan metode
perebusan selama 4 hari penyimpanan dalam suhu ruang
Perlakuan Waktu Penyimpanan
Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4
Kontrol
* Warna Normal Normal Abu-abu kusam Agak kecoklatan Agak kecoklatan
* Aroma Normal Timbul aroma agak asam
Timbul aroma asam Aroma tidak enak Aroma Busuk
* Rasa Normal - - - -
* Tekstur Kenyal Kenyal Mulai lunak Agak Lunak Lunak
* Lendir - + +++ ++++ +++++
* Misellium Kapang - - - ++ ++++
As.Asetat 5 %
* Warna Normal Normal Normal Normal Normal
* Aroma Aroma Asam (+++)
Aroma Asam (+++)
Aroma Asam (+++) Aroma Asam (+++)
Aroma Asam (+++)
* Rasa Asam (+++) Asam (+++) Asam (+++) Asam (+++) Asam (+++)
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal
* Lendir - - - - -
* Misellium Kapang - - - - -
As.Asetat 10 %
* Warna Normal Normal Normal Normal Normal
* Aroma Aroma Asam (++++)
Aroma Asam (++++)
Aroma Asam (++++) Aroma Asam (++++)
Aroma Asam (++++)
* Rasa Asam (+++++) Asam (+++++) Asam (+++++) Asam (+++++) Asam (+++++)
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal
* Lendir - - - - -
* Misellium Kapang - - - - -
As.Laktat 5 %
* Warna Normal Normal Abu-abu kusam Abu-abu kusam Abu-abu kusam
* Aroma Aroma Asam (+) Aroma Asam (+) Aroma Asam (+) Aroma Asam (+)
Aroma Asam (+) dan bau busuk
* Rasa Asam (++) Asam (++) - - -
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal
* Lendir - - - - +
* Misellium Kapang - - + +++ +++++
103
Lanjutan Tabel pada Lampiran 5
Perlakuan Waktu Penyimpanan
Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4
As.Laktat 10 %
* Warna Normal Normal Abu-abu kusam Abu-abu kusam Abu-abu kusam
* Aroma Aroma Asam (++)
Aroma Asam (++) Aroma Asam (++) Aroma Asam (++) Aroma Asam (++)
* Rasa Asam (++++) Asam (++++) - - -
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal
* Lendir - - - - +
* Misellium Kapang - - - +++ +++++
As.Cuka Pasar 5 %
* Warna Normal Normal Normal Normal Normal
* Aroma Aroma Asam (+++)
Aroma Asam (+++)
Aroma Asam (+++) Aroma Asam (+++)
Aroma Asam (+++)
* Rasa Asam (+++) Asam (+++) Asam (+++) Asam (+++) Asam (+++)
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal
* Lendir - - - - -
* Misellium Kapang - - - - -
As.Cuka Pasar 10 %
* Warna Normal Normal Normal Normal Normal
* Aroma Aroma Asam (++++)
Aroma Asam (++++)
Aroma Asam (++++) Aroma Asam (++++)
Aroma Asam (++++)
* Rasa Asam (+++++) Asam (+++++) Asam (+++++) Asam (+++++) Asam (+++++)
* Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal
* Lendir - - - - -
* Misellium Kapang - - - - -
Keterangan
- Tidak ada
+ Agak sedikit
++ Sedikit
+++ Banyak
++++ Agak Banyak
+++++ Sangat Banyak
104
Lampiran 6. Rekapitulasi data hasil pengukuran total mikroba (Total Plate Count)
bakso pada penelitian utama
Perlakuan Jumlah Mikroba (log cfu/g)
H 0 H 1 H 2 H 3 H 4
Kontrol
Ulangan 1 2,04 7,58 8,14 - - Ulangan 2 2,07 6,41 8,38 - -
Rata 2 2,06 7,00 8,26
STDev 0,02 0,83 0,17
As.Cuka Pasar 0,5 %
Ulangan 1 1,78 5,35 5,64 7,40 8,82 Ulangan 2 1,86 5,26 6,51 7,88 8,78
Rata 2 1,82 5,31 6,08 7,64 8,80 STDev 0,06 0,06 0,62 0,34 0,03
As.Cuka Pasar 1 %
Ulangan 1 1,54 1,89 5,33 5,38 5,44 Ulangan 2 1,85 2,12 5,32 5,91 6,36
Rata 2 1,70 2,01 5,33 5,65 5,90 STDev 0,22 0,16 0,01 0,37 0,65
As.Cuka Pasar 1,5 %
Ulangan 1 1,18 1,18 1,18 1,30 1,48 Ulangan 2 1,00 1,18 1,38 1,40 1,54
Rata 2 1,09 1,18 1,28 1,35 1,51 STDev 0,13 0,00 0,14 0,07 0,04
As.Cuka Pasar 2 %
Ulangan 1 1,00 1,00 1,18 1,18 1,30 Ulangan 2 0,00 1,00 1,30 1,30 1,30
Rata 2 0,50 1,00 1,24 1,24 1,30 STDev 0,71 0,00 0,08 0,08 0,00
As.Cuka Pasar 2,5 %
Ulangan 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Ulangan 2 0,00 0,00 1,00 1,00 1,18
Rata 2 0,00 0,00 0,50 0,50 0,59 STDev 0,00 0,00 0,71 0,71 0,83
105
Lampiran 7. Rekapitulasi data hasil pengukuran total kapang dan khamir bakso
pada penelitian utama
Perlakuan Jumlah Koloni (log cfu/g)
H 0 H 1 H 2 H 3 H 4
As.Cuka
Pasar 0 %
Ulangan 1 1,48 5,04 7,74 - - Ulangan 2 1,54 6,15 8,69 - - Rata 2 1,51 5,60 8,22 - - STDev 0,04 0,78 0,68 - -
As.Cuka
Pasar 0,5 %
Ulangan 1 1,00 5,31 6,60 6,69 8,86 Ulangan 2 1,50 5,22 6,72 6,82 7,86 Rata 2 1,25 5,27 6,66 6,76 8,36 STDev 0,35 0,06 0,08 0,09 0,71
As.Cuka
Pasar 1 %
Ulangan 1 1,00 1,48 4,74 5,44 5,80 Ulangan 2 1,18 1,70 4,77 5,98 6,64 Rata 2 1,09 1,59 4,76 5,71 6,22 STDev 0,13 0,16 0,02 0,39 0,59
As.Cuka
Pasar 1,5 %
Ulangan 1 0,00 1,18 1,18 1,18 1,30 Ulangan 2 0,00 1,00 1,30 1,30 1,68 Rata 2 0,00 1,09 1,24 1,24 1,49 STDev 0,00 0,13 0,08 0,08 0,27
As.Cuka
Pasar 2 %
Ulangan 1 0,00 0,00 0,00 1,00 1,00 Ulangan 2 0,00 0,00 1,00 1,18 1,18 Rata 2 0,00 0,00 0,50 1,09 1,09 STDev 0,00 0,00 0,71 0,13 0,13
As.Cuka Pasar 2,5 %
Ulangan 1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Ulangan 2 0,00 0,00 0,00 1,00 1,00 Rata 2 0,00 0,00 0,00 0,50 0,50 STDev 0,00 0,00 0,00 0,71 0,71
106
Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil pengukuran nilai pH bakso pada penelitian
utama
Perlakuan Nilai pH
H 0 H 1 H 2 H 3 H 4
As.Cuka Pasar
0 %
Ulangan 1 5,93 5,85 5,74 5,05 4,90
Ulangan 2 6,01 5,93 5,82 5,15 4,82
Rata 2 5,97 5,89 5,78 5,10 4,86
STDev 0,06 0,06 0,06 0,07 0,05
As.Cuka Pasar
0,5 %
Ulangan 1 5,39 5,38 5,30 6,36 5,99
Ulangan 2 5,34 5,29 5,26 6,41 5,98
Rata 2 5,37 5,34 5,28 6,39 5,98
STDev 0,04 0,06 0,03 0,04 0,01
As.Cuka Pasar 1 %
Ulangan 1 4,55 4,43 4,57 5,10 5,29
Ulangan 2 4,67 4,56 4,68 5,03 5,22
Rata 2 4,61 4,50 4,63 5,06 5,26
STDev 0,08 0,09 0,08 0,05 0,05
As.Cuka Pasar
1,5 %
Ulangan 1 4,42 4,36 4,26 4,24 4,72
Ulangan 2 4,38 4,32 4,29 4,25 4,60
Rata 2 4,40 4,34 4,28 4,25 4,66
STDev 0,03 0,03 0,02 0,01 0,08
As.Cuka Pasar
2 %
Ulangan 1 4,19 4,04 4,12 4,19 4,21
Ulangan 2 4,13 4,09 4,20 4,26 4,28
Rata 2 4,16 4,07 4,16 4,22 4,25
STDev 0,04 0,04 0,06 0,05 0,05
As.Cuka Pasar 2,5 %
Ulangan 1 3,99 3,87 4,03 4,04 4,20
Ulangan 2 4,02 3,99 4,10 4,11 4,23
Rata 2 4,01 3,93 4,07 4,07 4,22
STDev 0,02 0,08 0,05 0,05 0,02
107
Lampiran 9. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai pH bakso
pada penelitian utama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 1388,772(a) 11 126,252 1261,993 ,000
Pengawet 23,888 5 4,778 47,757 ,000
Hari ,369 4 ,092 ,921 ,459
Ulangan ,008 1 ,008 ,084 ,773
Error 4,902 49 ,100
Total 1393,674 60
a R Squared = ,996 (Adjusted R Squared = ,996)
Post Hoc Tests Pengawet pH
Duncan
Pengawet N
Subset
1 2 3 4
As.Cuka Pasar 2,5 % 10 4,0580
As.Cuka Pasar 2,0 % 10 4,1710 4,1710
As.Cuka Pasar 1,5 % 10 4,3840
As.Cuka Pasar 1,0 % 10 4,8100
Kontrol 10 5,5200
As.Cuka Pasar 0,5 % 10 5,6700
Sig. ,428 ,139 1,000 ,294
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,100. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10,000. b Alpha = ,05.
Post Hoc Tests Lama Peyimpanan (Hari) pH Duncan
Hari N
Subset
1
1 12 4,6758
2 12 4,6975
0 12 4,7517
3 12 4,8492
4 12 4,8700
Sig. ,188
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,100. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000. b Alpha = ,05.
108
Lampiran 10. Rekapitulasi data hasil pengukuran TAT bakso pada penelitian
utama
Perlakuan Nilai TAT
H 0 H 1 H 2 H 3 H 4
As.Cuka Pasar
0 %
Ulangan 1 2,31 2,31 4,63 9,25 10,41
Ulangan 2 2,31 2,31 4,63 9,25 10,41
Rata 2 2,31 2,31 4,63 9,25 10,41
STDev 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
As.Cuka Pasar
0,5 %
Ulangan 1 3,08 3,08 3,86 3,86 5,40
Ulangan 2 3,08 3,08 3,86 4,63 4,63
Rata 2 3,08 3,08 3,86 4,24 5,01
STDev 0,00 0,00 0,00 0,55 0,55
As.Cuka Pasar 1 %
Ulangan 1 3,08 4,63 4,63 4,63 4,63
Ulangan 2 3,08 3,86 4,63 4,63 4,63
Rata 2 3,08 4,24 4,63 4,63 4,63
STDev 0,00 0,55 0,00 0,00 0,00
As.Cuka Pasar
1,5 %
Ulangan 1 3,08 4,63 4,63 6,17 7,71
Ulangan 2 3,86 4,63 4,63 6,17 7,71
Rata 2 3,47 4,63 4,63 6,17 7,71
STDev 0,55 0,00 0,00 0,00 0,00
As.Cuka Pasar
2 %
Ulangan 1 6,17 6,17 7,71 7,71 7,71
Ulangan 2 6,17 6,17 7,71 7,71 7,71
Rata 2 6,17 6,17 7,71 7,71 7,71
STDev 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
As.Cuka Pasar 2,5 %
Ulangan 1 7,71 9,25 9,25 9,25 9,25
Ulangan 2 7,71 9,25 9,25 9,25 9,25
Rata 2 7,71 9,25 9,25 9,25 9,25
STDev 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
109
Lampiran 11. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai TAT
bakso pada penelitian utama Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TAT
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2331,119(a) 11 211,920 134,758 ,000
Pengawet 179,467 5 35,893 22,824 ,000
Hari 82,007 4 20,502 13,037 ,000
Ulangan 1,67E-006 1 1,67E-006 ,000 ,999
Error 77,057 49 1,573
Total 2408,176 60
a R Squared = ,968 (Adjusted R Squared = ,961)
Post Hoc Tests Pengawet TAT Duncan
Pengawet N
Subset
1 2 3 4 5
Asam Cuka Pasar 0,5 % 10 3,8560
Asam Cuka Pasar 1,0 % 10 4,2430 4,2430
Asam Cuka Pasar 1,5 % 10 5,3220 5,3220
Kontrol 10 5,7820
Asam Cuka Pasar 2,0 % 10 7,0940
Asam Cuka Pasar 2,5 % 10 8,9420
Sig. ,493 ,060 ,416 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,573. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10,000. b Alpha = ,05.
Post Hoc Tests Lama Peyimpanan (Hari) TAT Duncan
Hari N
Subset
1 2 3
0 12 4,3033
1 12 4,9475 4,9475
2 12 5,7850
3 12 6,8758
4 12 7,4542
Sig. ,214 ,108 ,264
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,573. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000. b Alpha = ,05.
110
Lampiran 12. Rekapitulasi data hasil pengukuran warna bakso secara objektif pada penelitian utama
Perlakuan H0 H1 H2 H3 H4
L A b L a b L a b L a b L a b
As.Cuka Pasar 0 %
Duplo 1 52,50 2,17 8,18 52,33 0,87 6,81 52,51 0,66 9,35 51,29 -0,03 7,20 51,69 0,50 6,64
Duplo 2 51,69 1,40 7,71 51,71 0,72 6,39 51,22 0,80 9,32 51,33 0,19 7,18 51,17 0,35 5,94
Rata 2 52,09 1,79 7,94 52,02 0,79 6,60 51,86 0,73 9,33 51,31 0,08 7,19 51,43 0,43 6,29
STDev 0,57 0,54 0,33 0,43 0,11 0,30 0,91 0,10 0,02 0,03 0,11 0,02 0,37 0,11 0,49
As.Cuka Pasar 0,5 %
Duplo 1 52,85 1,71 8,40 52,57 0,60 7,54 52,32 0,56 8,72 52,50 0,95 9,80 53,37 0,20 7,78
Duplo 2 51,01 1,44 8,09 51,63 0,63 7,75 51,38 0,43 8,85 51,43 1,02 10,03 53,01 0,36 7,65
Rata 2 51,93 1,58 8,24 52,10 0,61 7,64 51,85 0,50 8,78 51,96 0,99 9,91 53,19 0,28 7,72
STDev 1,30 0,19 0,22 0,66 0,01 0,15 0,66 0,10 0,09 0,76 0,04 0,16 0,25 0,11 0,09
As.Cuka Pasar 1 %
Duplo 1 52,31 1,59 7,98 52,75 0,46 7,03 52,21 0,70 8,93 52,81 0,62 8,71 51,29 0,78 7,93
Duplo 2 51,90 1,44 8,24 51,09 2,40 7,46 51,40 0,63 8,23 51,26 0,31 8,29 51,37 0,81 8,08
Rata 2 52,11 1,51 8,11 51,92 1,43 7,24 51,81 0,66 8,58 52,04 0,47 8,50 51,33 0,80 8,01
STDev 0,28 0,10 0,18 1,18 1,37 0,30 0,57 0,05 0,49 1,09 0,22 0,30 0,06 0,02 0,11
As.Cuka Pasar 1,5 %
Duplo 1 52,10 1,50 7,63 52,25 0,65 8,94 52,12 0,44 9,26 52,27 4,81 8,45 52,45 0,41 7,37
Duplo 2 51,32 0,13 8,36 51,39 0,55 8,21 51,31 0,20 7,69 52,16 3,01 9,27 52,40 0,47 7,84
Rata 2 51,71 0,81 8,00 51,82 0,60 8,57 51,72 0,32 8,48 52,22 3,91 8,86 52,43 0,44 7,61
STDev 0,55 0,97 0,51 0,61 0,07 0,52 0,57 0,17 1,11 0,07 1,27 0,58 0,03 0,04 0,33
As.Cuka Pasar 2 %
Duplo 1 52,62 1,44 9,03 52,46 0,55 7,74 52,20 0,26 7,95 52,13 2,06 9,85 52,14 0,44 7,74
Duplo 2 51,95 1,39 8,52 51,67 0,44 7,75 51,33 0,46 7,71 51,10 0,15 8,00 52,20 0,63 7,68
Rata 2 52,29 1,41 8,78 52,07 0,50 7,74 51,77 0,36 7,83 51,62 1,11 8,93 52,17 0,54 7,71
STDev 0,47 0,03 0,36 0,56 0,08 0,00 0,61 0,15 0,17 0,73 1,35 1,31 0,04 0,13 0,04
As.Cuka Pasar 2,5 %
Duplo 1 52,52 2,17 8,50 52,23 0,50 7,98 52,65 0,28 9,04 52,53 0,06 7,70 51,11 0,91 7,41
Duplo 2 51,14 2,27 8,81 51,02 0,86 7,82 51,58 0,17 9,00 51,95 0,81 8,76 51,35 0,72 7,22
Rata 2 51,83 2,22 8,66 51,62 0,68 7,90 52,11 0,22 9,02 52,24 0,44 8,23 51,23 0,82 7,31
STDev 0,98 0,07 0,22 0,86 0,25 0,12 0,76 0,08 0,03 0,41 0,62 0,75 0,17 0,13 0,13
111
Lampiran 13. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai L
(tingkat kecerahan) bakso pada penelitian utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: L
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 161787,585(a)
11 14707,962 65814,699 ,000
Pengawet 1,391 5 ,278 1,245 ,303
Hari ,144 4 ,036 ,161 ,957
Ulangan 8,520 1 8,520 38,126 ,000
Error 10,950 49 ,223
Total 161798,536 60
a R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)
Post Hoc Tests Pengawet L
Duncan
Pengawet N
Subset
1
Kontrol 10 51,7440
As.Cuka Pasar 2,5 % 10 51,8080
As.Cuka Pasar 1,0 % 10 51,8390
As.Cuka Pasar 1,5 % 10 51,9770
As.Cuka Pasar 2,0 % 10 51,9800
As.Cuka Pasar 0,5 % 10 52,2070
Sig. ,059
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,223. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10,000. b Alpha = ,05.
Post Hoc Tests Lama Peyimpanan (Hari) L Duncan
Hari N
Subset
1
2 12 51,8525
3 12 51,8967
1 12 51,9250
4 12 51,9625
0 12 51,9925
Sig. ,526
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,223. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000. b Alpha = ,05.
112
Lampiran 14. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai a bakso
pada penelitian utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: a
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 56,655(a) 11 5,150 7,704 ,000
Pengawet 1,910 5 ,382 ,571 ,722
Hari 9,133 4 2,283 3,415 ,015
Ulangan ,528 1 ,528 ,790 ,378
Error 32,758 49 ,669
Total 89,413 60
a R Squared = ,634 (Adjusted R Squared = ,551)
Post Hoc Tests Pengawet a Duncan
Pengawet N
Subset
1
As.Cuka Pasar 2,5 % 10 ,7130
Kontrol 10 ,7250
As.Cuka Pasar 2,0 % 10 ,7820
As.Cuka Pasar 0,5 % 10 ,7900
As.Cuka Pasar 1,0 % 10 ,9740
As.Cuka Pasar 1,5 % 10 1,2170
Sig. ,236
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,669. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10,000. b Alpha = ,05.
Post Hoc Tests Lama Penyimpanan (Hari) a Duncan
Hari N
Subset
1 2
2 12 ,4658
4 12 ,5483
1 12 ,7692
3 12 ,9967 ,9967
0 12 1,5542
Sig. ,154 ,101
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,669. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000. b Alpha = ,05.
113
Lampiran 15. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai b bakso
pada penelitian utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: b
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3981,414(a) 11 361,947 902,822 ,000
Pengawet 5,870 5 1,174 2,928 ,022
Ulangan ,233 1 ,233 ,581 ,049
Hari 15,349 4 3,837 9,571 ,000
Error 19,644 49 ,401
Total 4001,059 60
a R Squared = ,995 (Adjusted R Squared = ,994)
Post Hoc Tests Pengawet b Duncan
Pengawet N
Subset
1 2
Kontrol 10 7,4720
As.Cuka Pasar 1,0 % 10 8,0880
As.Cuka Pasar 2,0 % 10 8,1970
As.Cuka Pasar 2,5 % 10 8,2240
As.Cuka Pasar 1,5 % 10 8,3020
As.Cuka Pasar 0,5 % 10 8,4610
Sig. 1,000 ,249
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,401. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 10,000. b Alpha = ,05.
Post Hoc Tests Lama Penyimpanan (Hari) b Duncan
Hari N
Subset
1 2
4 12 7,4400
1 12 7,6183
0 12 8,2875
3 12 8,6033
2 12 8,6708
Sig. ,494 ,168
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,401. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000. b Alpha = ,05.
114
Lampiran 16. Rekapitulasi data hasil pengukuran kekerasan bakso secara objektif
pada penelitian utama
Perlakuan Nilai Kekerasan (mm/10 detik)
H 0 H 1 H 2 H 3 H 4
As.Cuka Pasar
0 %
Ulangan 1 12,40 16,70 19,10 - -
Ulangan 2 12,70 15,80 18,30 - -
Rata 2 12,55 16,25 18,70 - -
STDev 0,21 0,64 0,57 - -
As.Cuka Pasar
0,5 %
Ulangan 1 12,70 12,60 11,70 11,50 11,10
Ulangan 2 12,50 11,80 11,60 11,20 11,30
Rata 2 12,60 12,20 11,65 11,35 11,20
STDev 0,14 0,57 0,07 0,21 0,14
As.Cuka Pasar 1 %
Ulangan 1 12,60 12,20 11,30 11,40 11,20
Ulangan 2 12,00 12,00 12,30 11,80 12,00
Rata 2 12,30 12,10 11,80 11,60 11,60
STDev 0,42 0,14 0,71 0,28 0,57
As.Cuka Pasar
1,5 %
Ulangan 1 12,70 11,40 11,70 11,50 11,30
Ulangan 2 12,40 11,00 11,60 11,30 11,40
Rata 2 12,55 11,20 11,65 11,40 11,35
STDev 0,21 0,28 0,07 0,14 0,07
As.Cuka Pasar
2 %
Ulangan 1 12,50 11,70 11,30 11,10 11,00
Ulangan 2 11,70 11,20 11,30 11,50 11,90
Rata 2 12,10 11,45 11,30 11,30 11,45
STDev 0,57 0,35 0,00 0,28 0,64
As.Cuka Pasar Pasar 2,5 %
Ulangan 1 12,80 11,00 11,10 11,40 11,50
Ulangan 2 11,90 11,80 11,70 11,50 11,90
Rata 2 12,35 11,40 11,40 11,45 11,70
STDev 0,64 0,57 0,42 0,07 0,28
115
Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai
kekerasan bakso pada penelitian utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekerasan
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 8347,944(a) 11 758,904 715,112 ,000
Pengawet 79,333 5 15,867 14,951 ,000
Hari 3,146 4 ,786 ,741 ,049
Ulangan ,018 1 ,018 ,017 ,897
Error 47,756 45 1,061
Total 8395,700 56
a R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,993)
Post Hoc Tests Pengawet Kekerasan Duncan
Pengawet N
Subset
1 2
As.Cuka Pasar 2.0 % 10 11,5200
As.Cuka Pasar 1.5 % 10 11,6300
As.Cuka Pasar 2.5 % 10 11,6600
As.Cuka Pasar 0.5 % 10 11,7900
As.Cuka Pasar 1.0 % 10 11,8800
Kontrol 6 15,8333
Sig. ,517 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,061. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c Alpha = ,05.
Post Hoc Tests Lama Penyimpanan (Hari) Duncan
Hari N
Subset
1 2
3 10 11,4200
4 10 11,4500
0 12 12,4083
1 12 12,4333
2 12 12,7500
Sig. ,946 ,467
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,061. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 11,111. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c Alpha = ,05.
116
Lampiran 18. Rekapitulasi data hasil pengukuran uji organoleptik bakso pada penelitian utama
No. Nama Rasa Warna Aroma Tekstur Overall
0,0% 1,5% 2,0% 2,5% 0,0% 1,5% 2,0% 2,5% 0,0% 1,5% 2,0% 2,5% 0,0% 1,5% 2,0% 2,5% 0,0% 1,5% 2,0% 2,5%
1 Dikun 6 5 3 3 6 6 7 7 6 5 5 5 6 6 6 6 6 5 5 5
2 Ike 7 6 6 5 6 7 7 7 7 6 3 3 7 7 7 6 7 6 5 5
3 Fitriana 7 5 5 5 6 6 6 6 7 6 6 6 7 6 6 6 7 5 5 5
4 Tiyu 6 3 3 3 6 6 6 6 3 3 3 3 5 3 4 5 6 5 5 3
5 Wahyu 6 2 1 1 6 6 6 6 7 4 4 4 6 6 6 6 6 2 2 2
6 Tuthie 6 2 1 1 4 3 5 3 6 2 3 3 6 6 5 5 6 2 2 2
7 Shafeeg 6 3 3 3 7 6 6 6 7 3 3 3 7 6 6 6 7 4 3 3
8 Galih 5 3 3 3 5 4 3 4 6 5 4 3 6 6 5 5 6 4 3 3
9 Ambar 6 1 1 1 6 6 6 6 6 3 2 1 7 6 6 6 6 3 2 2
10 Zuni 4 3 3 3 6 6 6 6 3 3 5 5 6 6 6 6 6 3 3 2
11 Tri E.A. 6 6 5 4 6 6 6 6 6 6 4 3 5 5 5 4 6 5 5 4
12 Irene 5 3 3 4 6 6 5 4 5 5 3 2 5 3 5 5 5 4 4 4
13 Nita 7 3 2 1 5 4 3 4 6 5 2 2 6 5 5 5 7 4 2 1
14 Eka 5 4 5 4 5 6 4 5 5 5 4 4 4 5 4 4 6 5 5 4
15 Fuad 6 3 3 3 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 5 6 6 5 4 4
16 Aji 6 2 3 2 6 5 5 4 6 6 5 5 6 6 6 6 6 3 3 3
17 Sri 7 6 4 4 7 6 5 6 7 6 4 5 7 7 5 4 7 6 4 5
18 Isna 6 3 3 2 6 6 6 6 6 6 5 5 5 5 4 4 6 5 3 3
19 Yenni 6 2 2 1 6 6 3 4 6 6 4 2 5 5 5 5 2 3 3 2
20 Zakiyah 6 2 1 1 6 6 6 4 6 2 2 1 5 5 6 6 6 3 2 2
21 Ovi 6 3 2 1 6 6 6 5 6 5 6 6 6 6 6 6 6 3 2 2
22 Dwi 6 2 1 1 4 4 4 4 6 6 6 6 6 6 6 6 5 3 1 1
23 Kochan 6 4 4 3 6 5 6 6 6 6 5 4 7 4 5 5 7 4 5 3
24 Nanda 5 4 3 3 5 4 5 5 5 6 4 4 4 4 4 4 5 5 4 4
25 Betty 6 3 2 2 6 4 4 5 6 4 3 3 6 6 5 5 6 3 3 2
26 Yulia 6 5 4 3 5 6 5 5 7 6 5 5 6 5 6 5 6 6 6 6
27 Hesti 6 5 3 3 6 6 6 6 5 5 5 4 5 5 5 5 6 5 5 5
28 Tri Sundari 6 5 3 2 6 6 6 6 6 6 5 4 6 6 6 6 6 5 5 5
29 Harist 6 4 3 2 6 6 6 6 7 7 6 6 7 6 6 5 6 5 3 3
30 Tuko 7 6 3 2 6 6 6 6 7 6 5 5 7 7 5 5 7 6 4 4
Rata-rata 5,97 3,60 2,93 2,53 5,77 5,53 5,37 5,33 5,93 5,00 4,23 3,93 5,90 5,47 5,37 5,27 6,00 4,23 3,60 3,30
117
Lampiran 19. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan skor
kesukaan rasa bakso pada penelitian utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Rasa
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Model 1907,500(a) 4 476,875 338,333 ,000
Sampel 1907,500 4 476,875 338,333 ,000
Error 163,500 116 1,409
Total 2071,000 120
a R Squared = ,921 (Adjusted R Squared = ,918)
Rasa Duncan
Sampel N
Subset
1 2 3
As.Cuka Pasar 2,5 % 30 2,5333
As.Cuka Pasar 2,0 % 30 2,9333
As.Cuka Pasar 1,5 % 30 3,6000
Kontrol 30 5,9667
Sig. ,195 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,409. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
118
Lampiran 20. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan skor
kesukaan aroma bakso pada penelitian utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Aroma
Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Model 2807,900(a) 4 701,975 421,694 ,000
Sampel 2807,900 4 701,975 421,694 ,000
Error 193,100 116 1,665
Total 3001,000 120
a R Squared = ,936 (Adjusted R Squared = ,933)
Aroma Duncan
Sampel N
Subset
1 2 3
As.Cuka Pasar 2,5 % 30 3,9333
As.Cuka Pasar 2,0 % 30 4,2333
As.Cuka Pasar 1,5 % 30 5,0000
Kontrol 30 5,9333
Sig. ,370 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,665. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
119
Lampiran 21. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan skor
kesukaan tekstur bakso pada penelitian utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Tekstur
Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Model 3614,067(a) 4 903,517 1311,192 ,000
Sampel 3614,067 4 903,517 1311,192 ,000
Error 79,933 116 ,689
Total 3694,000 120
a R Squared = ,978 (Adjusted R Squared = ,978) Tekstur Duncan
Sampel N
Subset
1 2
As.Cuka Pasar 2,5 % 30 5,3000
As.Cuka Pasar 2,0 % 30 5,3667
As.Cuka Pasar 1,5 % 30 5,4000
Kontrol 30 5,8667
Sig. ,664 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,689. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
120
Lampiran 22. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan skor
kesukaan warna bakso pada penelitian utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Warna
Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Model 3633,533(a) 4 908,383 1008,671 ,000
Sampel 3633,533 4 908,383 1008,671 ,050
Error 104,467 116 ,901
Total 3738,000 120
a R Squared = ,972 (Adjusted R Squared = ,971) Warna Duncan
Sampel N
Subset
1
As.Cuka Pasar 2,5 % 30 5,3333
As.Cuka Pasar 2,0 % 30 5,3667
As.Cuka Pasar 1,5 % 30 5,5333
Kontrol 30 5,7667
Sig. ,109
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,901. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
121
Lampiran 23. Hasil analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan skor
kesukaan penilaian umum (0verall) bakso pada penelitian utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Overall
Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Model 2333,133(a) 4 583,283 400,676 ,000
Sampel 2333,133 4 583,283 400,676 ,000
Error 168,867 116 1,456
Total 2502,000 120
a R Squared = ,933 (Adjusted R Squared = ,930) Overall Duncan
Sampel N
Subset
1 2 3
As.Cuka Pasar 2,5 % 30 3,3000
As.Cuka Pasar 2,0 % 30 3,6000
As.Cuka Pasar 1,5 % 30 4,2333
Kontrol 30 6,0000
Sig. ,338 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,456. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
122
Lampiran 24. Cara perhitungan analisis biaya penambahan pengawet per satu
kilogram bakso
Pengawetan dengan metode perebusan :
25 bakso (@ 7 gram) direbus dalam 500 ml larutan asam. Volume asam cuka
yang terpakai sekitar 50 ml.
Contoh perhitungan :
Perhitungan biaya pengawetan untuk perlakuan asam cuka pasar 1.5 % (metode
perebusan)
V1 = volume yang digunakan untuk membuat 500 ml larutan as. cuka pasar 1.5%
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 25 % = 500 ml x 1.5 %
V1 = (500 ml x 1.5 %)/25 %
V1 = 30 ml
C = biaya yang dibutuhkan untuk membuat 500 ml larutan asam cuka pasar 1.5 %
C = (30 ml/1000 ml) x Rp. 13.250,00
C = Rp. 397,50
Vn = Volume yang dipakai untuk mengawetkan (25x@7g = 175 g) bakso = 50 ml
Cn = Biaya yang dikeluarkan untuk mengawetkan 175 g bakso
Cn = ( 50 ml/500 ml) x Rp. 397,50
Cn = Rp. 39,75
Biaya untuk mengawetkan 1 kg bakso = Rp. 227, 00
123
Lampiran 25. Cara perhitungan analisis biaya penambahan pengawet formalin per
satu kilogram bakso
Menurut Teddy (2007), dalam upaya memperpanjang umur simpan bakso, pihak
industri kerap kali menambahkan formalin saat perebusan akhir ke dalam proses
produksi bakso sebanyak tiga sendok makan ke dalam 50 liter air untuk 50 kg
bakso atau sekitar 250 ppm (0,025 %).
V1 = volume formalin 37 % yang digunakan untuk membuat 50 Liter (50.000 ml)
larutan formalin 250 ppm (0,025 %)
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 37 % = 50.000 ml x 0,025 %
V1 = (50.000 ml x 0,025 %) / 37 %
V1 = 33,78 ml
C = biaya yang diperlukan untuk mengawetkan 50 kg bakso
C = (33,78 ml/1000 ml) x Rp. 80.000,00
C = Rp. 2.702,72/50 kg bakso
Biaya yang diperlukan untuk mengawetkan 1 kg bakso = Rp. 54,00