SEMIOTIKA KPK VS POLRI JILID KETIGA PADA KAVER MAJALAH
TEMPO EDISI 26 JANUARI, 2 ,9, DAN 16 FEBRUARI 2015
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
OLEH:
MUHAMMAD AULIA PRATAMA
NIM: 109051100040
KONSENTRASI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ABSTRAK
Muhammad Aulia Pratama
SEMIOTIKA KONFLIK KPK VS POLRI JILID KETIGA PADA KAVER
MAJALAH TEMPO EDISI 26 JANUARI, 2, 9, DAN 16 FEBRUARI 2015
Majalah adalah sebuah media publikasi atau terbitan secara berkala yang
memuat artikel-artikel dari berbagai penulis. Majalah merupakan media massa
cetak yang penerbitannya berkala, artinya tidak terbit setiap hari layaknya surat
kabar. Salah satu majalah yang dapat menginspirasi serta memberikan edukasi
adalah majalah Tempo. Majalah Tempo terbit sejak bulan April 1971.
Kaver majalah merupakan salah satu faktor utama apakah suatu majalah
akan laku di pasaran. Kaver majalah Tempo yang memuat ilustrasi mengenai
kasus KPK Vs POLRI pada empat edisi berturut-turut memiliki tanda-tanda
tersembunyi di balik gambar yang ditampilkan. Kemudian muncul pertanyaan apa
saja petanda yang terdapat pada kaver majalah Tempo? Siapa yang menjadi objek
pada ilustrasi yang ditampilkan oleh Tempo? dan bagaimana interpretasi peneliti
melihat ilustrasi KPK Vs POLRI yang ditampilkan oleh Tempo?
Tinjauan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
semiotika model Charles Sanders Peirce, yaitu dengan melihat makna atau sign
(ikon, indeks, dan simbol), object, dan interpretant. Ikon merupakan tanda yang
dirancang untuk merepresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau
persamaan. Indeks merupakan tanda yang dirancang untuk mengindikasikan
sumber acuan atau saling menghubungkan sumber acuan. Sedangkan simbol
merupakan tanda yang dirancang untuk menjadikan sumber acuan melalui
kesepakatan atau persetujuan.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
semiotika yang bersifat kualitatif deskriptif. Data yang didapatkan adalah dari
kaver majalah Tempo edisi 26 Januari, 2, 9, dan 16 Februari 2015, serta digabung
dengan observasi buku-buku tentang majalah, wawancara, dan dokumentasi.
Setelah melihat empat kaver yang diteliti, maka kesimpulannya adalah
ilustrasi yang ditampilkan oleh Tempo adalah upaya untuk membongkar apa saja
yang terjadi di balik konflik KPK dan POLRI. Kalimat yang terdapat pada
keempat kaver merupakan keterangan yang diberikan oleh si pembuat ilustrasi
mengenai gambar yang ditampilkan.
Kata Kunci: Semiotika, Majalah Tempo, Kaver, KPK, POLRI.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirobbil’alamin, puja dan puji syukur peneliti panjatkan
hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, dan juga hikmat yang
begitu banyak sehigga dengan ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
shalawan serta salam senantiasa selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah memberi banyak perubahan kepada umatnya, dari
zaman jahiliyah menuju zaman penuh ilmiyah seperti apa yang kita rasakan
sekarang.
Alhamdulillah peneliti telah menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir
pendidikan Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti
menyadari tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak,
penelitian skripsi ini tidak akan selesai, untuk itu pada kesempatan kali ini peneliti
ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi, bapak Dr. H. Arief
Subhan, M.A, Wakil Dekan I bapak Dr. Suparto, M.Ed, M.A, Dr. Roudhonah,
M. Ag, selaku Wakil Dekan II, serta Dr. Suhaimi, M. Si, selaku Wakil Dekan
III.
2. Ketua konsentrasi jurnalistik bapak Kholis Ridho, M.Si serta sekertaris
konsentrasi jurnalistik Dra. Musfirah Nurlaily, M.A yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk membantu peneliti menyelesaikan kuliah.
3. Dosen pembimbing skripsi, ibu Ade Rina Farida, M.Si yang telah
menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing peneliti
sehingga skripsi ini selesai dengan baik tanpa suaru halangan apapun.
4. Seluruh dosen fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi terima kasih atas
ilmu yang telah diberikan kepada peneliti.
5. Segenap staf perpustakaan utama UIN Jakarta dan perpustakaan fakultas ilmu
dakwah dan ilmu komunikasi.
6. Majalah Tempo khususnya kepada mas I Wayan Agus selaku wartawan
Tempo, yang disela kesibukannya menyempatkan diri untuk menjadi
narasumber dalam penelitian ini.
7. Teruntuk yang mulia kedua orang tuaku, ibunda Faradiani dan ayahanda Agus
Harun yang senantiasa mencurahkan cinta, kasih dan sayangnya dikala sehat
maupun sakit, dikala susah maupun senang, dikala mudah maupun sulit.
Membantu dengan segenap kemampuan dan doa-doa dalam setiap sholatnya.
Sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Segenap keluarga yang turut serta mendoakan peneliti untuk menyelesaikan
skripsi ini.
9. Virlindayani Nur Maulida terima kasih atas kesabaran, pengertian, tenaga, dan
semua motivasi dalam membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.
10. Terima kasih untuk teman-teman jurnalistik angkatan 2009, teman-teman
KKN ANOMALI yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang sudah
membantu peneliti sampai skripsi ini selesai dengan baik.
11. Sahabat peneliti, yaitu Fajar, Zuher, Syahli, Norman, Oo, Iksan, Athila, Izzan,
semoga persahabatan dan persaudaraan kita akan terus terjalin. Untuk geng
POLAR, terima kasih atas bantuannya selama ini, semoaga pertemanan kita
akan terus terjalin dengan baik.
12. Semua pihak dan teman-teman yang telah mendukung dan mendoakan.
Peneliti menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan.
Karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat peneliti harapkan
sehingga skripsi ini menjadi jalan penerang bagi peneliti dan bermanfaat bagi
pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 27 Juli 2016
Peneliti
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan meraih gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini hasil jiplakan karya orang lain,
maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Juli 2016
Muhammad Aulia Pratama
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 4
D. Metodologi Penelitian ............................................................... 5
E. Tinjauan Kepustakaan ............................................................... 8
F. Sistematika penulisan ................................................................ 9
BAB II KERANGKA TEORI
A. Majalah ...................................................................................... 10
B. Pemaknaan Dalam Kaver .......................................................... 14
1. Kaver Majalah ..................................................................... 14
2. Teori Konflik ....................................................................... 17
3. Semiotika ............................................................................ 19
4. Semiotika Charles Sanders Peirce ....................................... 23
C. Fenomena Korupsi Di Indonesia ............................................... 28
BAB III PROFIL MAJALAH TEMPO
A. Sejarah Singkat Majalah Tempo................................................ 31
B. Visi dan Misi Majalah Tempo ................................................... 35
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Semiotika Pada Kaver Majalah Tempo ....................... 37
B. Analisis KPK VS POLRI Dalam Kaver ................................... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 64
B. Saran .......................................................................................... 65
Daftar Pustaka ........................................................................... 66
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... 67
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Semiotika Charles Sanders Peirce ................................................ 25
Gambar 4.1 Kaver Majalah Tempo edisi 26 Januari-1 Februari 2015 ............. 38
Gambar 4.2 Kaver Majalah Tempo edisi 2 Februari-8 Februari 2015 ............. 44
Gambar 4.3 Kaver Majalah Tempo edisi 9 Februari-15 Februari 2015 ........... 50
Gambar 4.4 Kaver Majalah Tempo edisi 16 Februari-22 Februari 2015 ......... 56
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Kaver Majalah Tempo yang diteliti .................................................. 39
Tabel 4.2 Tanda-tanda Dalam Kaver Edisi 26 Januari-1 Februari 2015 ......... 40
Tabel 4.3 Analisis Kaver Edisi 26 Januari-1 Februari 2015 ............................ 42
Tabel 4.4 Tanda-tanda Dalam Kaver Edisi 2-8 Februari 2015 ........................ 46
Tabel 4.5 Analisis Kaver Edisi 2-8 Februari 2015 ........................................... 48
Tabel 4.6 Tanda-tanda dalam Kaver Edisi 9-15 Februari 2015 ....................... 52
Tabel 4.7 Analisis Kaver Edisi 9-15 Februari 2015 ......................................... 54
Tabel 4.8 Tanda-tanda dalam Kaver Edisi 16-22 Februari 2015 ..................... 58
Tabel 4.9 Analisis Kaver Edisi 16-22 Februari 2015 ....................................... 60
Tabel 4.10 Kalimat yang Terdapat pada Masing-masing Kaver ...................... 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Majalah adalah sebuah media publikasi atau terbitan secara berkala yang
memuat artikel-artikel dari berbagai penulis. Selain memuat artikel, majalah
juga merupakan publikasi yang berisi cerita pendek, gambar, review, ilustrasi
atau fitur lainnya yang mewarnai isi dari majalah. Oleh karena itu, majalah
dijadikan salah satu pusat informasi bacaan yang sering dijadikan bahan
rujukan oleh para pembaca dalam mencari sesuatu hal yang diinginkannya.
Majalah sebagai salah satu media penyedia nilai-nilai informasi dan
hiburan, memiliki segmentasi para pembaca secara khusus. Sebelum dirancang
terbit, biasanya pihak pengelola akan menetapkan siapa segmentasi pembaca
majalah yang akan mereka terbitkan tersebut.
Sebagai media massa cetak, majalah sering kali disamakan dengan surat
kabar karena beberapa kesamaan kriteria yang dimiliki keduanya, tetapi
sesungguhnya majalah memiliki kriteria-kriteria serta pengertian lain yang
membedakan dari surat kabar.
Meski tidak seaktual surat kabar yang terbit setiap hari, majalah yang
terbit tiap mingguan, dwi minggguan atau bulanan memiliki efek edukasi yang
cukup tinggi, para pengelola majalah juga mempunyai strategidan gaya
penyajian tersendiri agar majalah tetap menarik untuk dibaca kapan pun dan
dimana pun.
2
Di dalam suatu majalah terkandung banyak elemen-elemen grafis seperti
gambar, tipografi, warna, ilustrasi dan elemen lainnya, termasuk kaver. Kaver
suatu majalah harus terlihat menarik agar masyarakat tertarik untuk membeli
dan membacanya.
Kaver majalah merupakan salah satu faktor utama apakah suatu majalah
akan laku atau laris di pasaran. Sebelum membeli, orang biasanya menilai
bagus atau tidaknya dengan melihat terlebih dahulu kavernya. Apabila kaver
majalah tersebut menarik, maka pembeli akan tertarik pula untuk membelinya.
Salah satu majalah yang dapat menginspirasi adalah majalah Tempo
terbit sejak bulan April 1971 Tempo adalah majalah berita mingguan yang
umumnya meliputi berita dan politik. Majalah ini merupakan majalah pertama
yang tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah. Pada tahun 1982 majalah
Tempo pernah dibredel karena dianggap terlalu ekstrim mengkritik
pemerintahan pada masa orde baru.
Awal terbit kembali ditahun 1998, desain majalah Tempo adalah hitam
putih. Kemudian tampil menjadi berwarna pada tahun 2000. Perubahan cukup
signifikan terjadi pada tahun 2008 dengan mengusung konsep go younger,
visual ditampilkan sesuai tren. Terlihat dari kavernya yang berwarna merah
dan hitam kemudian diberi tambahan warna oranye. Pemilihan oranye, sebagai
warna anak muda yang fresh sedangkan merah sebagai cooperate color.
Oleh karena persoalan yang menjadi fokus kajian ini adalah terkait
dengan tanda-tanda dalam foto, maka untuk menjawab persoalan tersebut
digunakan pendekatan utama, yakni semiotika, khususnya adalah semiotika
3
Charles Sanders Peirce.1 Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign),
berfungsinya tanda, dan produksi makna.2
Maka, peneliti akan meneliti bagaimana semiotika konflik KPK
VERSUS POLRI jilid ketiga pada kaver majalah Tempo. Penelitian ini ingin
mengupas lebih dalam mengenai tanda-tanda yang ada pada foto dalam kaver
majalah Tempo. Kemudian penelitan ini melihat fenomena sosial dan
kebudayaan merupakan bentuk tanda-tanda, dimana ada sistem aturan,
konfensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dalam kasus
penelitian ini adalah kaver majalah Tempo.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Peneliti membatasi penelitian ini pada kaver majalah Tempo edisi 26
Januari 2015, 2 Februari, 9 Februari, dan 16 Februari 2015.Peneliti
mengambil kaver majalah Tempo edisi tersebut karena keterbatasan
peneliti dan agar penelitian ini lebih fokus.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah
1. Apa saja petanda yang terdapat pada kaver majalah Tempo edisi 26
Januari 2015, 2 Februari, 9 Februari, dan 16 Februari 2015?
2. Siapa objek pada kaver majalah Tempo edisi 26 Januari 2015, 2
Februari, 9 Februari, dan 16 Februari 2015?
1Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan (Yogyakarta: PT
ombak, 2008), h.13. 2 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 12
4
3. Bagaimana interpretasi peneliti mengenai kaver majalah Tempo edisi
26 Januari 2015, 2 Februari, 9 Februari, dan 16 Februari 2015?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, secara spesifik tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui tanda tanda, objek, dan
interpretasi peneliti mengenai kaver majalah Tempo edisi 26 Januari
2015, 2 Februari, 9 Februari, dan 16 Februari 2015.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini secara teoritis semoga dapat
menambah wawasan keilmuan.
a. Segi Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dalam
media massa melalui majalah, khususnya kaver majalah untuk
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi jurusan jurnalistik.
b. Segi Praktisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
bagi tim produksi majalah. Selain itu, penelitian ini diharapkan
menjadi bahan masukan untuk memperkaya wawasan.
5
D. Metodologi Penelitian
a. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis semiotika yang bersifat kualitatif deskriptif yang
bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang
fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu.3 Analisis semiotika
sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek yang
mengemukakan suatu pernyataan.
Penelitian ini juga melakukan penelusuran terhadap berbagai
literatur dan studi lapangan. Pembahasan ini dilakukan dengan
pendekatan kualitatif, penggunaan sumber literatur yang memuat tentang
majalah, baik berupa artikel, makalah, ataupun buku-buku dan sumber-
sumber tertulis lainnya untuk mengeksplorasi makna pesan yang terdapat
dalam tanda-tanda di kaver majalah Tempo.
Maka peneliti menggunakan analisis semiotika Charles Sanders
Peirce. Dengan analisis semiotika ini akan sangat membantu peneliti
untuk melakukan penelitian.
b. Subjek dan Objek Penelitian
i. Subjek Penelitian
Dalam masalah ini subjek penelitiannya adalah kaver majalah
Tempo edisi 26 Januari 2015, 2 Februari, 9 Februari, dan 16 Februari
2015.
3Rachmat Krisyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana 2006) Cet-2,
h. 69.
6
ii. Objek Penelitian
Sesuai dengan apa yang menjadi topiknya maka objek penelitian
ini adalah meneliti petanda, objek, dan interpretasi peneliti mengenai
foto pada kaver majalah Tempo edisi 26 Januari 2015, 2 Februari, 9
Februari, dan 16 Februari 2015.
c. Teknik Pengumpulan Data
Adapun tahapan-tahapan dalam pengumpulan data, peneliti
menggunakan metode sebagai berikut:
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan
majalah, pengamatan secara menyeluruh dari semua kaver dan isi teks.
a. Observasi
Observasi adalah metode pertama yang digunakan dalam
penelitian ini dengan melakukan pengamatan secara sistematis
terhadap fenomena fenomena yang diselidiki. Observasi pada riset ini
diartikan sebagai kegiatan mengamati subjek (majalah Tempo) dan
objek (kaver majalah Tempo edisi 26 Januari 2015, 2 Februari, 9
Februari, dan 16 Februari 2015.) penelitian secara langsung.Pada
metode observasi, periset biasanya menggunakan instrument
observasi. Instrument observasi tersebut antaralain: sistem kategori,
sistem skala, sistem tanda, diary keeping, analisis dokumen, lembar
pengamatan, dan panduan pengamatan.4 Pada riset ini peneliti hanya
menggunakan analisis dokumen sebagai instrument observasi.
4 Rachmat Krisyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana 2006) Cet-2,
h.111
7
Analisis dokumen hanya mengamati dokumen sebagai sumber
informasi dan menginterpretasikannya kedalam hasil penelitian.
Dokumen yang digunakan berupa majalah Tempo edisi 26 Januari
2015, 2 Februari, 9 Februari, dan 16 Februari 2015.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah penelitian yang mengumpulkan, membaca,
dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah, atau
jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet, atau instansi lain yang
dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini.
c. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dengan menggunakan semiotika model
Charles Sanders Peirce yang membagi tanda atas ikon, indeks, dan
simbol. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan
petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah atau dengan kata lain,
ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat
kemiripan. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan
alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan
sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.
Sedangkan simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah
antara penanda dengan petandanya.5
5 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi ,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 42
8
Menurut Charles Sanders Peirce, semiotika berangkat dari tiga
elemen utama tersebut, yang disebut Peirce sebagai teori segitiga
makna triangle meaning.6
E. Tinjauan Kepustakaan
Dalam menentukan judul skripsi ini peneliti sudah melakukan
tinjauan pustaka ke perpustakaan yang terdapat di Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan perpustakaan utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.Peneliti belum menemukan skripsi mahasiswa/i
yang meneliti tentang judul ini. Ada beberapa skripsi mahasiswa/i yang
hampir serupa, namun berbeda dengan yang peneliti teliti diantara:
Semiotika Keluarga Pada Cover Majalah Ummi karya
Virlindayani Nur Maulida, Analisis Semiotika Terhadap Rubrik Busana
Pada Majalah Paras karya Risqa Fadilah, Analisis Semiotika Kritik
Sosial Handphone Dalam Komik Kartun benny & mice talk about hape
karya Nurma Wazibali.
Dengan begitu maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa
belum ada mahasiswa/i yang meneliti tentang Semiotika Konflik KPK
VERSUS POLRI Jilid Ketiga Pada Kaver Majalah Tempo Edisi 26
Januari 2015, 2 Februari, 9 Februari, dan 16 Februari 2015 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6 Rachmat Krisyantono, teknik praktis riset komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2006) Cet-2,
h. 263
9
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan
karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan oleh
CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pembahasan dan penelitian dibagi ke dalam V bab. Dalam setiap
babnya akan dibagi ke dalam sub bab, adapun sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I : Latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah,
tujuan peneltian, metodologi penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data, tinjauan
kepustakaan, metodologi, dan sistematika penulisan.
BAB II : Majalah, majalah berita, majalah Tempo, pemaknaan dalam
kaver majalah, kaver majalah, semiotika, semiotika model
Charles Sanders Peirce.
BAB III : Sejarah singkat majalah Tempo, dan visi dan misi majalah
Tempo.
BAB IV : Analisis semiotika pada kaver majalah Tempo, semiotika
konflik KPK VERSUS POLRI dalam kaver.
BAB V : Kesimpulan dan saran.
10
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Majalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa majalah
adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik,
pandangan tentang topik aktual yang patut dikethuin pembaca, dan menurut
waktu penerbitnya dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan,
dan sebagainnya, dan menurut penyusunan isinya dibedakan atas majalah
berita, wanita remaja, olahraga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu, dan
sebagainya (KBBI, 2002:698).
Majalah merupakan media massa cetak yang penerbitannya berkala,
artinya tidak terbit setiap hari seperti layaknya surat kabar. Majalah juga
menggunakan kertas sampul yang memuat macam-macam tulisan yang dihiasi
ilustrasi maupun foto.
Awalnya majalah menyajikan tulisan budaya dan ilmu pengetahuan,
namun dengan berkembangnya zaman majalahpun semakin berkembang.
Majalah memiliki arti yang lebih luas dari sebelumnya, isinya mencakup
berbagai bentuk sastra, liputan jurnalistik, dan berbagai topik aktual yang patut
diketahui pembaca.
Menurut ensiklopedia pers Indonesia majalah adalah:
Penerbitan berkalayang menggunakan kertas bersampul, memuat
bermacam-macam tulisan yang dihiasi ilustrasi maupun foto-foto.Dari
segi isi dibagi menjadi dua jenis yakni majalah umum, yaitu majalah
yang memuat karangan-karangan pengetahuan umum, karangan-
10
11
karangan yang menghibur, gambar-gambar, olahraga, film, seni, dll.
Majalah khusus , yaitu majaah yang hanya memuat karangan-karangan
mengenai bidang-bidang khusus, seperti majalah wanita, majalah
keluarga, majalah humor, majalah kecantikan, politik, kebudayaan,
cerpen, dll.7
Sebagai media massa, majalah tentunya diterbitkan oleh instansi
tertentu yang bertanggungjawab terhadap semua materi pemberitaanya, karena
hal mendasar dalam komunikasi massa adalah keterlibatan lembaga walaupun
interpretasi dan opini personal tetap sangat dibutuhkan dalam proses
pengemasan materi komunikasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Gerbner
dalam Ardianto (2007:5) bahwa “komunikasi massa itu melibatkan lembaga”.
Dapat didefinisikan komunikasi massa adalah aktivitas berkomunikasi yang
secara massal dapat mengatasnamakan lembaga tertentu, bukan perorangan,
sebuah lembaga yang mampu memberesproduksi dan mendistribusikan pesan
secara massal dalam bentuk tertentu yang lebih dikenal sebagai media massa.
Sebagaimana menurut pakar komunikasi Alex Sobur, bahwa:
Media massa adalah suatu alat untuk menyampaikan berita,
penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai
kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk
opini publik, antara lain, karena media juga dapat berkembang
menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan
suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan
dalam konteks kehidupan yang lebih empiris. (Sobur, 2002).
Eksistensi majalah muncul karena kebutuhan masyarakat akan
informasi beragam yang sesuai dengan gaya hidup masyarakat saat ini. Maka
7Kurniawan Effendi, Ensiklopedia Pers Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama),
h.154-155.
12
tak heran banyak berbagai macam majalah beredar saat ini yang disesuaikan
dengan segmentsinya.
Dari segi isi, majalah terbagi menjadi dua, yakni majalah umum dan
majalah khusus. Majalah umum berisi tentang masalah masalah yang bersifat
umum, berisi artikel politik, agama, seni, budaya, ekonomi, dll. Majalah umum
tidak hanya berisikan satu jenis permasalahan, tetapi berisikan permasalahan
dari berbagai bidang. Sedangkan majalah khusus adalah majalah yang
berisikan tentang permasalahan khusus menyangkut kepentingan yang
terfokus, seperti majalah khusus wanita, majalah ekonomi, majalah politik,
majalah seni dan budaya, majalah komputer, dan majalah musik.
Sebagai media massa cetak, majalah sering kali disamakan dengan surat
kabar karena beberapa kesamaan kriteria yang dimiliki keduannya, tetapi
sesunguhnya majalah memiliki kriteria-kriteria serta pengertian lain yang
membedakan dari surat kabar.
Meski tidak seaktual surat kabar yang terbit setiap hari, majalah yang
terbit tiap mingguan, dwi mingguan, atau bulanan memiliki efek edukasi yang
cukup tinggi. Para pengelola majalah juga mempunyai strategi dan gaya
penyajian tesendiri agar majalah tetap menarik untuk dibaca kapanpun dan
dimanapun.
Tulisan yang dimuat dalam majalah tidak terlalu mementingkan
aktualitas berita karena majalah tidak terbit setiap hari, maka ia tidak
melaporkan berita-berita hangat pada hari itu. Ia memuat berita-berita sesuai
dengan terbitnya (mingguan bulanan dan sebagainya).
13
Selain itu, majalah mempunyai keunggulan-keunggulan lainnya, yakni
majalah tampil lebih berisikan pengetahuan daripada hal-hal yang menyangkut
selera dan perasaan dari komunikasinya. Media ini bukan sarana yang dibaca
selintas saja seperti media aktual, tidak juga membutuhkan perhatian pada
waktu tertentu, media ini tidak dengan segera dapat dikesampingkan seperti
surat kabar, majalah dapat disimpan oleh pembaca selama berminggu-minggu,
berbulan-bulan dan kadang bertahun-tahun.
Sebuah majalah adalah bahan bacaan. Sebagai bahan bacaan ia harus
memenuhi suatu fungsi, yaitu untuk memeri jawaban kepada rasa ingin tahu
pembacanya. Majalah adalah salah satu bagian dari pers yang membawa misi
penerangan, pendidikan, dan hiburan.
Dari definisi-definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa majalah
adalah media massa cetak yang memiliki waktu terbit berkala, yakni setiap
minggu, dwi minggu, atau setiap bulan. Sedangkan menurut isinya, majalah
terbagi atas majalah umum dan khusus.
Jika dilihat dari segi isi yang dituju, majalah Tempo adalah majalah
mingguan yang membawakan liputan berita politik, ekonomi, dan investigasi
mendalam terhadap isu-isu yang terjadi di Indonesia.
Majalah Tempo merupakan salah satu contoh majalah berita mingguan
yang tumbuh dan berkembang pesat serta relatif minim pesaing, setelah
wafatnya majalah Ekspress. Beberapa majalh juga mengambil segmentasi yang
lebih spesifik dan sempat populer, antara lain Aktuil, yang mengambil jalur
14
musik dan seni. Mulai pula muncul majalah di bidang otomotif, interior,
kedirgantaraan, menejemen, bisnis, komputer, dll.
Tempo terbit sejak bulan April 1971, majalah ini merupakan majalah
pertama yang tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah.Pada tahun 1982,
majalah Tempo pernah dibredel karena dianggap terlalu ekstrim mengkritik
pemerintahan pada masa orde baru.Awal terbit kembali tahun 1998.
B. Pemaknaan Dalam Kaver Majalah
1. Kaver Majalah
Pada sebuah majalah terdapat ruang lingkup desain, yaitu tentang
kaver majalah. Elemen visual pada kaver majalah saling berkaitan satu
dengan yang lainnya. Tipografi, ilustrasi, dan warna adalah beberapa
elemen visual untuk menciptakan komposisi yang menarik pada sebuah
kaver majalah.
Kaver adalah sampul halaman depan yang membuat identitas
perusahaan dan menghimpun isi pemberitaan verbal dan visual yang
berkaitan dengan materi pemberitaan agar dapat menarik pembaca. Unsur-
unsur yang harus ada pada sebuah kaver majalah adalah ukuran dasar dari
majalah tersebut (ukuran saku atau ukuran tabloid), logo fotografi, warna
dasar, keterangan mengenai jadwal pemberitaan, pencantuman harga,
headline (judul artikel dan judul sub artikel). Unsur-unsur ini mempunyai
fungsi praktis dan fungsi komunikasi yang mewakili konsep yang
diberikan perusahaan majalah untuk selanjutnya diterbitkan.
15
Selain itu kaver adalah halaman pertama yang ditampilkan oleh
sebuah majalah yang berisi foto atau ilustrasi, headline, dan warna.Foto
atau ilustrasi adalah gambar yang menjelaskanapa isi dari majalah
tersebut, biasanya selalu berhubungan dengan headline. Headline adalah
judul artikel yang sedang dibahas oleh majalah dalam setiap edisinya.
Kaver dalam sebuah buku atau majalah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan. Peranan kaver sangat penting karena pada saat akan
membeli buku atau majalah yang pertama kali dilihat adalah kaver atau
ilustrasi gambarnya. Pemilihan judul (teks) harus singkat, mudah dibaca,
mudah dimengerti, dan secara langusng dapat menginformasikan isi yang
terkandung di dalamnya. Jika tampilan pada kaver dibuat semenarik
mungkin, pasti akan membuat seseorang tertarik untuk membeli majalah
tersebut.
Kaver dibuat untuk membantu calon konsumen dalam hal
pemahaman pesan yang ingin disampaikan oleh seorang penulis tentang
apa yang ada di dalamnya. Melalui gambar dalam kaver, seorang penulis
dapat menuangkan ide dan kreatifitasnya sebagai salah satu kesatuan dari
karya sastra yang dihasilkan, selain itu ada misi tertentu yang ingin
disampaikan oleh seorang penulis kepada khalayak umum.
Gambar secara visual pada kaver mampu mengomunikasikan pesan
dengan cepat dan berkesan, sebuah gambar bila tepat memilihnya bisa
memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata. Visualisasi adalah cara atau
16
sarana yang tepat untuk membuat sesuatu yang abstrak menjadi lebih jelas,
pnampilan secara visual mampu untuk menarik emosi pembaca.
Banyak penerbitan yang digunakan sebagai media, tetapi
penggunaannya disesuaikan dengan tujuan bidang-bidang tertentu. Kapan
akan digunakannya, tergantung pada jenis, serta jumlah artikel yang
ditulis. Tetapi yang paling penting adalah bentuk perwajahan penerbitan,
sehingga perlu adanya perencanaan desain yang baik dari setiap unsur
yang akan ditampilkan.
Unsur-unsur penerbitan antara lain berupa tanda atau simbol,
gunanya untuk membantu pembaca mengikuti alur suatu tulisan jika
tanda-tanda atau simbol itu memiliki bentuk yang sama semua, tentu
pembaca akan sulit membedakan serta memahami apa yang dimaksud
dengan simbol tersebut.
Media gambar atau visual mampu mengomunikasikan pesan
dengan cepat dan berkesan. Sebuah gambar jika tepat memilihnya bisa
memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata, juga secara individu mampu
mengikat perhatian.
Kaver merupakan perpaduan antara teks dan foto. Keberadaan foto
ini diungkapkan lewat teks. Fungsi teks adalah documenter atau evidential,
sedangkan kehadiran foto sebagai docere (pembuktian) atau memberikan
dokumentasi pada apa yang tertulis. Barthes melihat ”bahwa teks itu
sebagai parasit terhadap foto”. (Sunardi, 183:2002).
17
2. Teori Konflik
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan
sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa
ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja.
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con”
yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.8
Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian
fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik
kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan
terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian
kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau
dilangsungkan atau dieliminir saingannya.9
Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan.
Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat
yang bersifat menyeluruh dikehidupan.10
Konflik yaitu proses pencapaian
tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma
dan nilai yang berlaku.11
8 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), hal 345. 9 Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1998),hal.156 10
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.587. 11
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993),
hal.99.
18
Dalam pengertian lain, konflik merupakan suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok
yang saling menantang dengan ancaman kekerasan. Konflik juga dapat
diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka
seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya dimana tujuan mereka
berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk
menundukkan pesaingnya. Konflik juga dapat diartikan sebagai benturan
kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain
dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik,
sosial, dan budaya) yang relatif terbatas.12
Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi
antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang
diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan.
Konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara satu
pihak dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya
sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik
sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau
lebih yang mempunnyai kepentingan yang relatifsama terhadap hal yang
sifatnya terbatas. Sedangkan konflik politik yaitu konflik yang terjadi
akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok
.
12
Robert Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, (Jakarta:universitas terbuka
1994).hal.53.
19
3. Semiotika
Semiotika secara etimologi berasal dari kata Yunani, semeion yang
berarti “tanda”. Secara terminologi, semiotika dapat didefinisikan sebagai
ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial
atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan bentuk dari tanda-tanda.
Semiotika juga mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-
konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti.
Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-
tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas
kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang
entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang
bermakna (Scholes, 1982: ix).13
Semiotika berupaya menemukan tanda termasuk hal-hal yang
tersembunyi dibalik sebuah tanda (teks, iklan, berita).Karena sistem tanda
sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut.
Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai
konstruksi sosial dimana pengguna tanda tersebut berada.14
Diantara sekian banyak pakar tentang semiotika, Charles Sanders
Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang dapat
sebagai pemuka-pemuka semiotika moderen. Kedua tokoh inilah yang
memunculkan dua aliran utama semiotika moderen, yang satu
13
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra,2011), h. 3. 14
Rachmat Krisyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
262.
20
menggunakan konsep Peirce dan yang lain menggunakan konsep Saussure.
Ketidak samaan itu mungkin terutama disebabkan oleh perbedaan yang
mendasar, yaitu Peirce adalah ahli filsafat dan logika, sedangkan Saussure
adalah cikal bakal linguistik umum. Kedua tokoh tersebut
mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak saling mengenal
satu sama lain. Pemahaman atas dua gagasan ini merupakan syarat mutlak
bagi mereka yang ingin memperoleh pengetahuan dasar tetang semiotika.
Semiotika menurut Charles Sanders Peirce adalah tidak lain
daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni doktrin formal tentang tanda-
tanda.15
Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda:
tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tesusun oleh tanda-tanda,
melainkan dunia itu sendiri terkait dengan pikiran manusia.16
Penalaran
manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat
bernalar lewat tanda.
Sementara bagi Ferdinand de Saussure, semiotika adalah sebuah
ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-
tanda di dalam masyarakat ”Tujuannya adalah untuk menunjukkan
bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang
mengaturnya.
Semiotika menurut Saussure, didasarkan pada anggapan bahwa
selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama
berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem tanda pembedaan
15
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 11. 16
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) h. 12.
21
dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Dengan demikian bagi
Peirce semiotika adalah suatu cabang dari filsafat, sedangkan bagi
Saussure semiotika adalah bagian dari disiplin psikologi sosial.17
Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di
dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi politik, kajian
keagamaan, media studies, dan cultural studies. Sebagai metode
penciptaan, semiotika mempunyai pengaruh pada bidang-bidang seni rupa,
seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi
visual.
Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual
adalah sebuah sistem semiotika khusus, dengan perbendaharaan tanda
(vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda dengan
sistem semiotika seni. Di dalam sistem semiotika komunikasi visual
melekat fungsi komunikasi, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan
(message) dari sebuah pengirim pesan (sender) kepada para penerima
(reciever) tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu.
Semiotika visual pada dasarnya merupakan salah sebuah bidang
studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan
terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan
(visual senses).18
17
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Ikonisitas, (Yogyakarta: Jalasutra,
2011), h. 3. 18
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h. 9.
22
Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam karya desain
komunikasi visual disosialisasikan pada khalayak melalui tanda. Secara
garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda
visual. Tanda verbal adalah aspek bahasa, tema dan pengertian yang
didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara
menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksial, atau simbolis, dan
bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah
dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian
diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan yang
lainnya.19
Agar pesan mampu menarik perhatian calon konsumen, maka
karya desain komunikasi visual harus menawarkan eksklusivisme,
keistimewaan, dan kekhususan yang kemudian dapat memberikan akibat
berupa ketertarikan calon konsumen untuk membeli. Contohnya adalah
kaver majalah, kaver majalah harus dibuat semenarik mungkin agar calon
pembaca tertarik untuk membeli majalah tersebut, karena biasanya
sebelum membeli calon pembaca melihat terlebih dahulu kavernya, apakah
menarik atau tidak. Strategi semacam ini sengaja dilakukan karena produk
desain komunikasi visual, yang salah satunya adalah kaver majalah
hanyalah sekedar “alat pembius” bagi produsen untuk berburu
konsumen.20
19
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 9-10. 20
Ibid, h. 1.
23
Tanda adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan
perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya.
Kajian semiotika dibedakan atas dua jenis, yaitu semiotika komunikasi dan
semiotika signifikasi.21
Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi
tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor
dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima, kode, pesan, saluran
komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan semiotika
signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya
dalam suatu konteks tertentu.22
Dalam hal ini yang diutamakan adalah segi
pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerimaan
tanda lebih diperlihatkan daripada proses komunikasinya, karena tujuan
dari komunikasi pada hal ini tidak dipersoalkan.
Ketika semua bentuk komunikasi adalah tanda, maka dunia ini
penuh dengan tanda. Ketika kita berkomunikasi, kita menciptakan tanda
sekaligus makna. Dalam perspektif semiotika, pada akhirnya komunikasi
aka menjadi suatu ilmu untuk mengungkapkan pemaknaan dari tanda yang
diciptakan oleh proses komunikasi itu sendiri.
4. Semiotika Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce ialah seorang ahli matematika dari Amerika
Serikat yang sangat tertarik pada persoalan lambang-lambang. Perice
terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Peirce,
21
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) , h. 12. 22
Ibid, h. 15.
24
sebagaimana dipaparkan Lechte (2001:227), seringkali mengulang-ulang
bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang.
Sebuah tanda atau represemtamen (representamen) menurut Peirce
adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam
beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai
interpretan (interpretant) dari tanda yang pertama yang pada gilirannya
mengacu pada objek (object). Dengan demikian, sebuah tanda atau
represetamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan
objeknya. Apa yang disebut sebagai proses semiosis merupakan suatu
proses yang memadukan entitas yang disebut sebagai representamen tadi
dengan entitas lain yang disebut sebagai objek. Proses semiosis ini sering
juga disebut sebagai signifikasi (signification).23
Peirce menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan
medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.
Peirce dikenal dengan teori segitiga maknanya (tiangle meaning).
Menurutnya semiotika berangkat dari tiga elemen utama, yaitu tanda (sign
atau represetamen), acuan tanda (object), pengguna tanda (interpretant).
Yang dikupas teori segitiga adalah bagaimana makna muncul dari sebuah
tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi.24
23
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h.17. 24
Rachmat Krisyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: kencana, 2006), h. 263.
25
Sign
Interpretant Object
Gambar 2.1 Semiotika Peirce Sumber: Rachmat Krisyantono (2006)
Karena proses semiosis seperti tergambarkan pada skema di atas ini
menghasilkan rangkaian hubungan yang tak berkesudahan, maka pada
gilirannya sebuah interpretan akan menjadi representamen, menjadi
interpretan lagi, menjadi representamen lagi dan seterusnya. Gerakan yang
tak berujung-pangkal ini oleh Umberto Eco dan Jacques Derrida kemudian
dirumuskan sebagai proses semiosis tanpa batas.25
Upaya klasifikasi yang dikerjakan oleh Peirce terhadap tanda-tanda
sungguh tidak bisa dibilang sederhana, melainkan sangatlah rumit.
Meskipun demikian, pembedaan tipe-tipe tanda yang agaknya paling
simple dan fundamental adalah diantara ikon (object), indeks (index), dan
simbol (symbol) yang didasarkan atas relasi di antara representamen dan
objeknya.26
Berdasarkan objeknya peirce membagi tanda atas icon (ikon), index
(indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek
yang diwakilinya, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama
25
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h. 18. 26
Ibid, h.19
26
dengan apa yang dimaksudkan.27
Misalnya, gambar cicak dan buaya yang
ditampilkan pada kaver majalah Tempo adalah ikon dari KPK dan POLRI.
Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa
yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Misalnya, teks
yang ada pada kaver majalah Tempo yang mewakili keterangan atas
gambar yang ditampilkan. Teks “KPK adalah kita, setelah menetapkan
Budi Gunawan sebagai tersangka, KPK digebuk dari pelbagai penjuru”
adalah indeks dari gambar cicak yang seolah-olah diserang oleh hewan
lain. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau
perjanjian yang disepakati bersama.Simbol baru dapat dipahami jika
seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.28
jadi,
simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda
dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena,
hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.29
Misalnya,
gambar yang ditampilkan pada kaver majalah Tempo adalah simbol dari
perseteruan antara KPK dan POLRI.
Menurut interpretan, tanda (sign, representamen) dibagi atas
rheme, dicent sign atau dicisign dan argument.30
Pertama, rema adalah
suatu tanda kemungkinan kualitatif, yakni tanda apapun yang tidak betul
dan tidak pula salah.31
Rema merupakan tanda yang memungkinkan orang
27
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutea, 2008), h.17. 28
Ibid, h. 17 29
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) h.41-42 30 Ibid, h. 42 31
Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h. 81.
27
menafsirkan berdasarkan pilihan.32
Misalnya, gambar cicak yang
dikelilingi binatang lain pada kaver majalah Tempo dapat menandakan
bahwa gambar tersebut adalah KPK yang diserang dari berbagai penjuru.
Kedua, dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, pada kaver
majalah tersebut ditambahkan teks yang menyatakan bahwa gambar
tersebut adalah gambar KPK yang diserang dari berbagai penjuru. Ketiga,
argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
Misalnya teks yang menyatakan bahwa itu adalah gambar KPK yang
diserang dari berbagai penjuru.
Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for
something in some respect or capacity”. Menurutnya, tanda adalah sesuatu
yang dapat mewkili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu.33
Sesuatu
yang digunakan agar tanda bisa berfungsi oleh Peirce disebut ground.
Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign,
sinsign¸dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda,
misalnya kata-kata kasar, keras, lembut, lemah, dan merdu. Sinsign adalah
eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda, misalnya kata
kabur atau keruh yang ada pada urutan kata “air sungai keruh” yang
menandakan bahwa ada hjan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang
dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan
hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.34
32
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h.42. 33
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 13. 34
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 41
28
Titik sentral dari semiotika Peirce adalah sebuah trikotomi dasariah
mengenai relasi “menggantikan” (stands for) di antara tanda dengan
objeknya melalui interpretan. Representamen adalah sesuatu yang bersifat
indrawi (perceptible) atau material yang berfungsi sebagai tanda.
Kehadirannya membangkitkan interpretan, yakni suatu tanda lain yang
ekuivalen dengannya, di dalam benak seseorang (interpreter). Dengan kata
lain, baik representamen maupun interpretan pada hakikatnya tidak lain
dan tidak bukan adalah tanda, yakni sesuatu yang menggantikan sesuatu
yang lain. Hanya saja, representamen muncul mendahului interpretan,
sementara adanya interpretan dibangitkan oleh representamen.35
C. Fenomena Korupsi di Indonesia
Korupsi di tanah negeri ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia
tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam
tiap orde yang datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit
korupsi. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri
pribadi sedangkan faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi
karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral,
misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau prilaku
35
Kris Budiman, Semiotika Visual: konsep, isu dan problem ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h. 74.
29
misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat
mendorong seseorang untuk berprilaku korup.
Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan
atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas
politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek
menejemen dan organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparasi,
aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan
lemahnya penegakan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau
masyarakat yang kurang mendukung prilaku anti korupsi.36
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari
dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah
bahwa ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem
politik yang masih “mendewakan”materi maka dapat “memaksa” terjadinya
permainan uang dan korupsi (Ansari Yamamah: 2009) “Dengan kondisi itu
hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian `terpaksa` korupsi kalau
sudah menjabat”. Nur Syam (2000) memberikan pandangan bahwa penyebab
seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia
materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya.
Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara
akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah
seseorang akan melakukan korupsi. Dengan demikian, jika menggunakan
sudut pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab
36
Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Korupsi, Pendidikan Anti Korupsi Untuk
Perguruan Tinggi, ( Jakarta: Kementrian Pendidikan dan kebudayaan RI, 2011), h. 39
30
korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap
kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses
kekayaan.
31
BAB III
PROFIL MAJALAH TEMPO
A. Sejarah singkat majalah Tempo
Habis gelap terbitlah terang. Itulah suasana politik sesudah jatuhnya
rezim Presiden Soekarno pada 1960-an. Orang menaruh harap agar zaman
segera normal. Antre beras supaya berlalu, inflasi tinggi segera turun, dan
kebebasan berpendapat tak lekang. Maka setelah krisis 1965-1966, aktivisme
mulai reda dan orang mulai bekerja kembali.
Diantaranya ada sekelompok wartawan muda di Jakarta. Seorang
diantaranya baru pulang dari studi lanjut di Brugges, Belgia, dan bergabung
dengan Harian Kami. Namanya Goenawan Mohamad. Ia bukan saja
wartawan tapi juga dikenal sebagai penyair. Ada juga Fikri Jufri, seorang
mahasiswa yang bercita-cita jadi ekonom, tapi bekerja buat harian Pedoman.
Orang-orang muda tak bekerja dalam pengertian kerja yang
mengasingkan. Kelompok ini, yang kebetulan adalah seniman dan mantan
aktivis anti rezim Soekarno, mencari sesuatu yang lebih substansial
ketimbang sekadar kerja untuk mencederai kejenuhan.
"Di tahun 1969 beberapa kawan berangan-angan membuat sebuah
majalah.Istri saya kemudian menulis di atas map sebuah nama,
Perusahaan Awang-awang," ujar Goenawan Mohamad. "Tapi kali ini," kata
Goenawan dalam majalah Tempo edisi khusus November 1986, "angan-angan
itu kami rentang lebih jauh. Saya misalnya menyarankan, kalau mau
31
32
bikin majalah, kenapa tak mencoba bentuk yang selama ini belum dicoba
di Indonesia? Mengapa tidak mencoba mingguan berita model Time
dan Newsweek di Amerika Serikat, yang dipakai l'Express di Prancis, Spiegel
di Jerman Barat, atau Elsevier di Belanda?"
Gagasan yang bertengger di awang-awang itu akhirnya mendarat ke
bumi. Pada 1969 Goenawan dan kawan-kawan menerbitkan majalah Ekspres
yang dibiayai B.M. Diah, pemilik harian Merdeka yang pernah jadi duta besar
Indonesia. Kawan-kawannya menunjuk Goenawan jadi pemimpin redaksi.
Ketika terbit, Taufiq Ismail, seorang penyair kondang, diajak
Goenawan ke dapur majalah Ekspres. Ismail tampak antusias dan berkata,
"Bung majalah ini mungkin berumur pendek, sebulan dua bulan. Tapi kalau
nanti mati, sudahlah, sudah membuat sejarah.”
Dugaan Ismail ada benarnya. Belum genap setahun terjadilah
pertikaian dalam tubuh Persatuan Wartawan Indonesia atau biasa disingkat
PWI. Ekspres sebenarnya tak terlibat. Tapi B.M. Diah ditunjuk oleh
Ali Moertopo, salah seorang asisten Jenderal Soeharto, untuk jadi ketua PWI.
Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mengontrol wartawan. Padahal PWI
baru menyelenggarakan kongres dan memilih Rosihan Anwar dari Pedoman
sebagai ketuanya yang baru. Terjadilah dualisme kepemimpinan. "Waktu itu
saya bikin pernyataan yang tidak mendukung keputusan Moertopo. Saya
kemudian dipecat oleh B.M. Diah," tutur Goenawan.
Kata-kata Taufiq Ismail kembali terngiang di telinga Goenawan.
Tapi persoalannya bukan hanya membuat sejarah, tapi bagaimana membikin
33
diri tak menganggur."Apalagi ketika saya dipecat, teman-teman pada solider
dengan turut hengkang dari Ekspres. Saya terharu dengan solidaritas itu," kata
Goenawan.
Bersamaan dengan itu Harjoko Trisnadi sedang mengalami masalah.
Majalah Djaja, milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) , yang
dikelolanya sejak 1962 macet terbit. Menghadapi kondisi tersebut, karyawan
Djaja menulis surat kepada Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, minta agar
Djaja diswastakan dan dikelola Yayasan Jaya Raya-sebuah yayasan yang
berada di bawah Pemerintah DKI. Lalu terjadi rembugan tripartite antara
Yayasan Jaya Raya-yang dipimpin Ir. Ciputra-orang-orang bekas majalah
Ekspres, dan orang-orang bekas majalah Djaja. Disepakatilah berdirinya
majalah Tempo di bawah PT. Grafiti Pers sebagai penerbitnya.
Kenapa nama Tempo? Menurut Goenawan -Pemimpin Redaksi saat itu-
karena kata ini mudah diucapkan, terutama oleh para pengecer. Cocok pula
dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya longgar, yakni
mingguan. Mungkin juga karena dekat dengan nama majalah berita terbitan
Amerika Serikat, Time-sekaligus sambil berolok-olok-yang sudah terkenal.
Edisi perdana majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971.
Dengan rata-rata umur pengelola yang masih 20-an, Tempo tampil beda
dan diterima masyarakat. Dengan mengedepakan peliputan berita yang jujur
dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik dan
jenaka, Tempo diterima masyarakat. Pada tahun 1982, untuk pertama kalinya
Tempo dibredel. Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru
34
dan kendaraan politiknya, Golkar. Saat itu tengah dilangsungkan kampanye
dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya Tempo diperbolehkan terbit
kembali setelah menandatangani semacam "janji" di atas kertas segel dengan
Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu (zaman Soeharto ada Departemen
Penerangan yang fungsinya, antara lain mengontrol pers).
Makin sempurna mekanisme internal keredaksian Tempo, makin
mengental semangat jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula daya
kritik Tempo terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian
melumut. Puncaknya, pada Juni 1994. Untuk kedua kalinya Tempo dibredel
oleh pemerintah, melalui Menteri Penerangan Harmoko. Tempo dinilai terlalu
keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal bekas
dari Jerman Timur.
Selepas Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja
di Tempodan tercerai berai akibat bredel berembuk ulang. Mereka bicara
ihwal perlu-tidaknya majalah Tempo terbit kembali. Hasilnya, Tempo harus
terbit kembali. Maka, sejak 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali.
Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis dunia
media, maka pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdanago public dan menjual
sahamnya ke publik dan lahirlah PT. Tempo Inti Media Tbk. (PT.TIM)
sebagai penerbit majalah Tempo yang baru. Pada tahun yang sama (2001),
lahirlah Koran Tempo yang berkompetisi di media harian.
Sebaran informasi di bawah bendera PT TIM Tbk, terus berkembang
dengan munculnya produk-produk baru seperti majalah Tempo Edisi Bahasa
35
Inggris, Travelounge (2009) dan Tempo Interaktif- yang kemudian menjadi
Tempo.co serta Tempo News Room (TNR), kantor berita yang berfungsi
sebagai pusat berita media Group Tempo. Tempo juga mencoba menembus
bisnis televisi dengan mendirikan Tempo TV, kerja sama dengan kantor berita
radio KBR68H.
B. Visi dan Misi Majalah Tempo
Visi dari majalah Tempo adalah menjadi acuan dalam proses
meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan pendapat
serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan
perbedaan pendapat.
Sedangkan misi dari majalah Tempo adalah:
1. Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang
menampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda.
2. Menghasilkan produk multimedia yang mandiri, bebas dari tekanan
kekuasaan modal maupun politik.
3. Terus-menerus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa,
dan tampilan visual yang baik.
4. Menghasilkan karya yang bermutu tinggi dan berpegang kepada kode
etik.
5. Menjadi tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragam
sesuai dengan kemajuan zaman.
6. Memiliki proses kerja yang menghargai kemitraan dengan semua sector
36
7. Menjadi lahan yang subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya
khazanah artistic dan intelektual
37
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISA DATA
A. Analisis Semiotika Pada Kaver Majalah Tempo
Pada bab ini akan dibahas mengenai masalah pokok yang diambil
untuk bahan penelitian dengan menggunakan teori Charles Sanders Pierce
yang mengemukakan tentang jenis tanda, di antaranya sign (ikon, indeks, dan
simbol), object, dan interpretant. Untuk penelitian ini peneliti mengambil
kaver majalah Tempo edisi Januari sampai Februari 2015.
Selain itu dalam bab ini juga peneliti menambahkan beberapa tabel
agar memudahkan para pembaca mengerti apa yang diteliti. Peneliti juga
menambahkan gambar agar pembaca juga dapat melihat apa saja yang diteliti
dan dapat juga melihat tanda-tanda yang ada dalam kaver majalah Tempo
edisi Januari sampai Maret 2015. Kaver majalah Tempo yang diteliti adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.1
Kaver Majalah Tempo yang diteliti
Edisi No.1/26 Januari- 1 Februari 2015
Edisi No. 2/2-8 Februari 2015
Edisi No. 3/9-15 Februari 2015
Edisi No. 4/16-22 Februari 2015
37
38
1. Majalah Tempo edisi 26 Januari- 1 Februari 2015 ini bertemakan “KPK
Adalah Kita”. Gambar yang ditampilkan pada edisi ini adalah binatang-
binatang seperti buaya, kalajengking, ular, laba-laba, kaki seribu, kecoak,
dan kelabang yang sedang mengelilingi seekor cicak.
Gambar 4.1
Kaver Majalah Tempo edisi 26 Januari-1 Februari 2015
Pada kaver tersebut gambaran cicak berwarna merah dan binatang-
binatang lain yang mengelilinginya adalah ikon dari KPK yang merupakan
cicak berwarna merah seperti sedang diserang dari berbagai penjuru oleh
C
A
B
D
39
POLRI yang merupakan buaya pada gambar tersebut, serta pendukung-
pendukung POLRI seperti pemerintah, kejaksaan agung, dan DPR sebagai
binatang lainnya. Realitas bisa jadi berbeda bahwa binatang-binatang yang
digambarkan di kaver hanyalah binatang biasa. Namun, dengan menampilkan
seekor cicak yang sedang dikelilingi binatang lainnya seperti hendak diserang
itu menimbulkan kesan yang ditampilkan itu adalah ikon dari KPK dan
POLRI.
Indeks pada kaver ini ditampilkan melalui kata-kata yang terkait
dengan serangan yang diterima KPK setelah menetapkan Budi Gunawan
sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi (kode C), melalui gambar buaya
dan binatang lain (kode B dan D) yang seolah-olah akan menyerang cicak
(kode A). Dalam kaver tersebut kata-kata pada kode C adalah “Setelah
menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, KPK digebuk dari pelbagai
penjuru”.
Sementara simbol yang muncul adalah sekelompok binatang yang
mengelilingi seekor cicak yang diibaratkan sebagai KPK yang dikelilingi oleh
POLRI dan pendukung-pendukungnya (kode A, B dan D). Pada gambar
tersebut buaya dan binatang lainnya digambarkan dengan tinta hitam,
sedangkan cicak digambarkan dengan tinta berwarna merah dan posisi cicak
tersebut diletakan di bawah buaya dan binatang lainnya.
40
Tabel 4.2
Tanda-tanda dalam kaver
Jenis Tanda Contoh Tanda Kode
Ikon Ilustrasi dalam kaver A, B, D
Indeks Kara-kata, ilustrasi, dan
posisi masing-masing
hewan pada kaver
C, A, B, D
Simbol KPK dan POLRI A, B
Petugas keamanan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mendeteksi kehadiran “orang asing” di sekitar kantor mereka. Kewaspadaan
ditingkatkan setelah lembaga itu menetapkan Komisaris Jenderal Budi
Gunawan sebagai tersangka perkara suap dan gratifikasi.37
Seperti yang diketahui, Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK setelah Presiden Jokowi menetapkan dirinya sebagai calon tunggal
KAPOLRI. Pengalaman memberi peringatan bahwa proses hukum terhadap
perwura tinggi kepolisian selalu memantik serangan balik ke komisi anti
korupsi, seperti yang terjadi pada tahun 2009 dan 2012.38
Dari pemaparan terhadap ikon, indeks, dan simbol di atas, maka
peneliti melihat bahwa ilustrasi pada kaver majalah Tempo edisi 26 Januari-1
37
Tempo, No.1/26 Januari- 1 Februari 2015, h. 29. 38
Ibid, h. 29.
41
Februari 2015 ini adalah gambaran mengenai KPK dan POLRI. Teks “Setelah
menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, KPK digebuk dari pelbagai
penjuru” menginterpretasikan peneliti bahwa ilustrasi pada kaver tersebut
adalah gambaran KPK yang diserang dari berbagai penjuru oleh POLRI.
Penggunaan kalimat “digebuk dari pelbagai penjuru” dalam kaver
tersebut memiliki makna diserang dari berbagai arah.Peneliti
menginterpretasikan bahwa ilustrasi pada kaver tersebut adalah KPK yang
diserang dari berbagai penjuru setelah menetapkan komisaris jendral Budi
Gunawan sebagai tersangka. Seperti yang terjadi pada tahun 2009 dan 2012
proses hukum terhadap perwira tinggi kepolisian selalu memantik serangan
balik ke KPK.
Ketika pertama melihat, ilustrasi yang ditampilkan pada kaver ini
hanyalah visualisasi hewan saja. Namun, dengan kalimat yang tertulis (kode
C), merupakan upaya untuk mengarahkan bahwa ilustrasi tersebut adalah
gambaran mengenai KPK yang diserang dari berbagai penjuru. Calon
pembaca majalah tersebut terfokus pada gambar cicak berwarna merah dan
berbagai hewan lainnya yang mengelilinginya (kode A, B, D) sebgai subjek
dan disertai oleh teks yang terkait dengan gambar tersebut (kode C).
Terkait dengan objek penelitian ini, pada dasarnya menciptakan
identitas social yang berkaitan dengan konflik politik.Identitas ini muncul
atau lebih tepatnya dikonstruksi sebagai gambaran mengenai konflik yang
terjadi antara KPK dan POLRI.
42
Tabel 4.3
Hasil Analisis Kaver Edisi 26 Januari-1 Februari 2015
Sign Object Interpretant
Peirce membagi tanda atas
ikon, indeks, dan simbol.
Ikon dalam ilustrasi
tersebut adalah cicak,
buaya, ular, kalajengking,
kecoak, laba-laba, dan
kaki seribu. Indeks dalam
ilustrasi tersebut
ditampilkan melalui
kalimat “setelah
menetapkan Budi
Gunawan sebagai
tersangka, KPK digebuk
dari pelbagai penjuru”,
dan dari posisi ilustrasi.
Sedangkan simbol yang
muncul adalah KPK dan
POLRI.
Objek dalam kaver
tersebut adalah. Cicak
berwarna merah yang
dikelilingi berbagai hewan
seperti buaya, kelabang,
kalajengking, kecoak,
laba-laba, dan ular.
Ilustrasi yang
ditampilkan pada
kaver majalah Tempo
yang menjadi
instrument dalam
penelitian ini,
menjelaskan
bagaimana pemaknaan
mengenai KPK yang
diserang dari berbagai
penjuru itu terjadi.
Dengan menggunakan
semiotka, gambar
tidak hanya
merepresetasikan
makna visual
sebagaimana apa
adanya. Tanda-tanda
dalam kaver
43
dipengaruhi oleh antar
tanda, dan pada
akhirnya ada narasi
atau kalimat yang
mendekati keinginan si
pembuat tanda. Ketika
pertama melihat,
gambaryang
ditampilakan pada
kaver adalah gambar
hewan melata biasa
namun ketika melihat
warna, posisi, dan
kata-kata yang terkait
dengan gambar
tersebut, kesan yang
ditampilkan adalah
gambaran mengenai
KPK yang diserang
dari berbagai penjuru.
44
2. Majalah Tempo edisi 2 Februari-8 Februari 2015 ini bertemakan
“Skenario Membidik KPK”. Gambar yang ditampilkan pada edisi ini
adalah ilustrasi dari empat pemimpin KPK, yaitu Adnan Pandu Praja,
Zulkarnain, Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto.
Gambar 4.2
Kaver Majalah Tempo Edisi 2 Februari-8 Februari 2015
Dalam kaver tersebut, ilustrasi yang ditampilkan adalah ikon dari
pemimpin KPK. Pada realitasnya bisa jadi berbeda bahwa empat orang yang
diilustrasikan tidak ada hubungan dengan KPK. Namun, ketika melihat wajah
A
D
E
B C
D
45
dari masing-masing ilustrasi memberikan gambaran bahwa empat orang
tersebut adalah pemimpin KPK.
Indeks dalam kaver ini ditampilkan melalui kata-kata yang terkait
dengan pemimpin KPK (kode E) dan wajah pada masing-masing ilustrasi
yang ditampilkan (kode A, B, C, D).Dalam kaver tersebut kalimat pada kode
E adalah “Ada temali di antara para penggugat pemimpin komisi.Abraham
Samad akan dijerat perkara pemalsuan dokumen”, wajah yang digambarkan
adalah empat pemimpin KPK, yaitu Adnan Pandu Praja, Zulkarnain,
Abraham Samad, dan Bambang Widjojanto.
Sementara simbol yang muncul adalah empat pemimpin KPK yang
menggunakan busana jas. Adnan Pandu Praja mengenakan jas berwarna
hitam dengan kemeja dan dasi berwarna putih serta menggunakan kacamata
(kode A), Zulkarnain mengenakan jas berwarna hitam dengan kemeja abu-
abu dan tangan yang bersedekap serta menggunakan kacamata (kode B),
Abraham Samad mengenakan jas berwarna hitam dengan kemeja abu-abu
muda (kode C), dan Bambang Widjojanto yang mengenakan jas, kemeja dan
dasi berwarna putih (kode D). Gambar yang ditampilkan pada masing-masing
ilustrasi seakan-akan menunjukkan bahwa keempat pemimpin KPK tersebut
sedang dibidik dengan adanya sinar berwarna merah. Sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, bahwa ilustrasi yang ada di gambar 4.2 dalam realitas
objektif bisa jadi bukan siapa-siapa, namun keberadaannya di dalam kaver
merupakan simbol dari empat pemimpin KPK
46
Tabel 4.4
Tanda-tanda dalam kaver
Jenis Tanda Contoh Tanda Kode
Ikon Ilustrasi dalam Kaver A, B, C, D
Indeks Kata-kata, dan wajah E, A, B, C, D
Simbol Pemimpin KPK A, B, C, D
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad, yang
ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemalsuan dokumen administrasi
kependudukan, terancam hukuman berat. Abraham Samad dijerat dengan
pasal 264 ayat (1) subside, pasal 266 ayat (1), Pasal 55,dan pasal 56 KUHP
atau pasal 93 UU Nomor 23 Tahun 2006 yang telah diperbaharui dengan UU
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.
Kasus pemalsuan dokumen administrasi kependudukan yang ditangani
Polda Sulawesi Selatan dan Barat berdasarkan laporan Ketua Lembaga Peduli
KPK dan Polri Chairil Chaidar Said ke Bareskrim Polri, kemudian
dilimpahkan ke Polda Sulawesi Selatan dan Barat per 29 Januari 2015.
Selanjutnya, Feriyani melaporkan Abraham Samad ke Bareskrim Polri.
Dalam kasus ini, Feriyani disinyalir memakai lampiran dokumen administrasi
kependudukan palsu berupa KK dan KTP saat mengurus paspor di Makassar
pada 2007.Pasalnya, ditemukan dokumen administrasi kependudukan
Feriyani di Jakarta dengan data berbeda. Yang paling mencolok adalah
47
perbedaan nama orang tua Feriyani. Dalam KK dan KTP Feriyani Lim tertera
nama Abraham Samad sebagai kepala keluarga. "Tersangka utama dituliskan
sebagai family lain," ucapnya. Kedua tersangka menggunakan alamat di Jalan
Boulevard Rubi II Nomor 48, Kelurahan Masale, Kecamatan Panakkukang,
Makassar.
Dari pemaparan terhadap ikon, indeks dan simbol di atas, maka peneliti
melihat bahwa empat orang pada kaver adalah pemimpin KPK.Peneliti
memaknai teks “Ada temali di antara para penggugat pemimpin komisi.
Abraham Samad akan dijerat perkara pemalsuan dokumen” adalah teks yang
terkait dengan ilustrasi yang ditampilkan pada kaver.
Ketika pertama melihat ilustrasi yang ditampilkan pada kaver ini
hanyalah visualisasi dari empat orang laki-laki yang sedang berdiri. Namun,
dengan melihat dari wajah yang ditampilkan pada ilustrasi tersebut adalah
wajah dari pemimpin KPK, yaitu Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, Abraham
Samad, dan Bambang Widjojanto. Visualisasi dari ilustrasi yang ditampilkan
merupakan upaya untuk mengarahkan pemaknaan terhadap empat pemimpin
KPK.
“Ada temali di antara para penggugat pemimpin komisi. Abraham
Samad akan dijerat perkara pemalsuan dokumen” adalah indeks dari ilustrasi
tersebut. Ketika dikaitkan dengan tema majalah Tempo edisi Februari ini,
yaitu “Skenario Membidik KPK” peneliti memaknai bahwa majalah Tempo
edisi ini membahas tentang pemimpin KPK yang sedang diserang dengan
upaya mengkriminalisasi KPK.
48
Terkait pada objek pada penelitian ini, pada dasarnya menciptakan
identitas sosial yang berkaitan dengan serangan kepada pemimpin KPK.
Identitas ini muncul atau lebih tepatnya dikonstruksi sebagai serangan yang
diterima oleh pemimpin KPK dalam upaya mengkriminalisasi KPK.
Tabel 4.5
Hasil Analisis Kaver Edisi 2-8 Februari 2015
Sign Object Interpretant
Ikon dalam ilustrasi pada
kaver majalah Tempo edisi
2-8 Februari 2015 ini
adalah pemimpin KPK.
Indeks yang muncul
ditantai oleh kata kata
yang terdapat pada kaver
dan wajah dari masing-
masing orang dalam
ilustrasi. Sementara simbol
yang muncul adalah empat
pemimpin KPK.
Ilustrasi yang terdapat
pada kaver adalah wajah
dari Adnan Pandu Praja,
Zulkarnain, Abraham
Samad, dan Bambang
Widjojanto. Empat orang
ini adalah pemimpin
KPK.
Seperti halnya sifat dasar
semiotika bahwa foto
sebagai salah satu
organisasi dari tanda-
tanda tidak bisa
dikatakan memiliki
dominasi pemaknaan.
Setiap individu yang
membaca tanda tentunya
memiliki pemaknaan
atau interpretasi yang
berbeda. Dengan
menggunakan semiotika,
foto pada kaver tidak
hanya merepresentasikan
49
makna visual
sebagaimana apa adanya.
Ketika pertama melihat
ilustrasi pada kaver
majalah Tempo edisi 2-8
Februari 2015 ini hanya
terlihat empat orang yang
berdiri dan sedang
dibidik senjata api,
namun ketika melihat
wajah keempat orang
tersebut dapat
disimpulkan bahwa
mereka adalah pemimpin
KPK.
50
3. Majalah Tempo edisi 9 Februari-15 Februari 2015 ini bertemakan “Duo
Pengganjal KPK”. Ilustrasi yang digambarkan pada kaver majalah ini
merupakan kepala dari Hasto Kristiyanto yang mulutnya sedang terbuka
lebar dan di dalamnya terdapat kepala dari Hendropriyono.
Gambar 4.3
Kaver Majalah Tempo edisi 9 Februari-15 Februari 2015
Dalam kaver tersebut ikon yang ditampilkan adalah pengganjal KPK.
Realitasnya bisa saja berbeda bahwa ilustrasi yang digambarkan pada kaver
A D
C
B
51
tersebut hanyalah orang biasa. Namun, dengan pemberitaan yang menyatakan
bahwa dua orang dalam kaver majalah Tempo edisi 9 Februari-15 Februari
2015 ini melakukan pertemuan dengan penyidik polisi dalam prihal
kriminalisasi KPK, kesan yang ditampilkan dalam kaver tersebut adalah ikon
pengganjal KPK.
Indeks pada kaver ini ditampilkan melalui kata-kata yang terkait dengan
kriminalisasi KPK (kode C), melalui ilustrasi yang digambarkan pada kaver,
yaitu Hasto Kristiyanto yang sedang membuka mulut lebar dengan
menunjukan ekspresi marah dan Hendropriyono ada di dalamnya sedang
tersenyum lebar (kode A, B dan D). Dalam kaver tersebut kata-kata pada
kode C adalah “Benarkah ada pertemuan antara Hasto Kristiyanto,
Hendropriyono dan penyidik polisi prihal kriminalisasi pemimpin KPK?”
Sementara simbol yang muncul adalah dua kepala yaitu Hasto
Kristiyanto dan Hendropriyono, Hasto Kristiyanto (kode A, B) sedang
membuka mulut lebar dengan menampilkan ekspresi marah yang ditunjukkan
oleh bagian dahi yang berkerut dan mata yang kemerahan. Sedangkan
Hendropriyono berada di dalam mulut Hasto Kristiyanto, Hendropriyono
sedang tersenyum lebar tetapi dari senyumannya tidak menggambarkan
ekspresi kesenangan (kode D).
52
Tabel 4.6
Tanda-tanda dalam kaver
Jenis Tanda Contoh Tanda Kode
Ikon Ilustrasi dalam kaver A, B, C, D
Indeks Kata-kata dan ekspresi A, B, C, D
Simbol Wajah dan ekspresi dalam
kaver
A, B, D
Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan konferensi pers yang dilakukannya
di Jakarta, Kamis, 22 Januari 2015, tanpa meminta izin terlebih dulu ke Ketua
Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Padahal Hasto membeberkan seluruh
pertemuannya dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham
Samad yang melobi agar bisa menjadi calon wakil presiden mendampingi
Joko Widodo pada pemilihan presiden lalu. Hasto telah menyiapkan sejumlah
alat bukti yang akan menguatkan adanya pertemuan itu, yaitu foto dan
rekaman kamera pengawas. Selain itu, ada juga saksi, mantan Kepala Badan
Intelijen Negara Hendropriyono, yang ikut menemaninya bertemu dengan
Abraham Samad.
Menurut Hasto, Mega pasti tidak akan merestui bila dia membeberkan
pertemuan itu. Sebab, secara tidak langsung, itu akan menambah panas situasi
politik antara Istana, KPK, dan kepolisian. "Kalau saya minta izin, pasti tidak
akan disetujui, karena KPK dibentuk di era Ibu Mega jadi presiden. "Ini
53
dilakukan Hasto mengaku merasa gerah melihat ekspektasi masyarakat yang
begitu tinggi terhadap komisi antirasuah. Namun Hasto menganggap
masyarakat buta dengan manuver politik yang dilakukan pimpinan
KPK."Kami justru ingin menyelamatkan semangat KPK yang disalah
gunakan pimpinannya."
Dari pemaparan terhadap ikon, indeks dan simbol di atas, maka peneliti
melihat bahwa dua orang yang ditampilkan pada kaver majalah Tempo edisi
.9 Februari-15 Februari 2015 adalah Hasto Kristiyanto dan Hendorpriyono,
Hasto adalah sekertaris jenderal PDI dan Hendro adalah mantan kepala badan
intelejen negara. Peneliti memaknai teks “Benarkah ada pertemuan antara
Hasto Kristiyanto, Hendropriyono dan penyidik polisi prihal kriminalisasi
pemimpin KPK?” adalah teks yang terkait dengan ilustrasi yang ditampilkan
pada kaver.
Ketika pertama melihat ilustrasi yang ditampilkan pada kaver ini
hanyalah visualisasi dari dua orang yang diilustrasikan tanpa ada maksud
tersembunyi. Namun, dengan melihat dari wajah yang ditampilkan pada
ilustrasi tersebut adalah wajah dari sekjen PDI dan mantan kepala badan
intelejen negara. Visualisasi dari ilustrasi yang ditampilkan merupakan upaya
untuk mengarahkan pemaknaan terhadap dua orang yang mengganjal KPK.
54
Tabel 4.7
Hasil Analisis Kaver Majalah Tempo Edisi 9-15 Februari 2015
Sign Object Interpretant
Ikon dalam kaver ketiga
ini adalah dua tokoh
pengganjal KPK. Indeks
yang muncul ditandai
melalui dua tanda, yaitu
kalimat “Benarkah ada
pertemuan antara Hasto
Kristiyanto,
Hendropriyono dan
penyidik polisi prihal
kriminalisasi pemimpin
KPK?” dan ekspresi
masing-masing ilustrasi.
Sementara simbol yang
muncul adalah dua
kepala, yaitu Hasto
Kristiyanto dan
Hendropriyono sebagai
dua pengganjal KPK.
Ilustrasi dalam kaver
tersebut adalah ilustrasi
sekjen PDI, yaitu Hasto
Kristiyanto dan
Hendropriyono sebagai
mantan kepala intelijen
negera. Hasto
membeberkan seluruh
pertemuannya dengan
Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi
Abraham Samad yang
melobi agar bisa menjadi
calon wakil presiden
mendampingi Joko
Widodo pada pemilihan
presiden lalu.
Ilustrasi yang
ditampilkan pada kaver
majalah Tempo edisi 9-
15 Februari 2015 yang
menjadi instrument
dalam penelitian ini
menjelaskan bagaiman
dan apa yang dilakukan
oleh sosok dua
penggajal KPK itu
terjadi. Dengan
menggunakan
semiotika, ilustrasi
tidak hanya
merepresentasikan
makna visual
sebagaimana apa
adanya. Tanda-tanda
dalam kaver
55
dipengaruhi oleh antar
tanda dan pada
akhirnya ada narasi
atau kalimat yang
mendekati keinginan si
pembuat tanda. Ikon,
indeks, dan simbol
yang sudah dijelaskan
di atas menimbulkan
presepsi setelah
dihubungkan dengan
objek dan akan
menimbulkan
interpretant.
56
4. Majalah Tempo edisi 16 Februari-22 Februari 2015 ini bertemakan
“Teror Untuk KPK”. Gambar yang ditampilkan pada edisi ini adalah
ilustrasi dari penyidik KPK yang diancam oleh Brigadir Jenderal Polisi.
Gambar 4.4
Kaver Majalah Tempo edisi 16 Februari-22 Februari 2015
A
B
C
57
Dalam kaver tersebut, ilustrasi seorang laki- laki yang seperti ketakutan
adalah ikon dari penyidik KPK. Pada realitasnya bisa jadi berbeda bahwa
orang tersebut bukan penyidik KPK. Namun, ketika melihat dari posisi tubuh,
teks yang terdapat pada kaver, busana yang digunakan dan ekspresi wajah,
kesan yang ditampilkan pada ilustrasi tersebut adalah ikon penyidik KPK.
Indeks dalam kaver ini ditampilkan melalui kata-kata yang terkait
dengan teror untuk KPK (kode C), busana yang dikenakan pada ilustrasi
(kode B), dan posisi yang ditampilkan (kode B). Dalam kaver tersebut kata-
kata pada kode C adalah “Seorang jendral polisi memaksa penyidik KPK
memberi kesaksian meringankan buat Budi Gunawan. Disertai ancaman
pembunuhan”, busana yang dikenakan oleh orang yang ada di ilustrasi
tersebut adalah kemeja lengan panjang dengan rompi berlogo KPK, posisi
yang ditampilkan pada kaver tersebut adalah seorang laki-laki yang sedang
ketakutan.
Sementara simbol yang muncul adalah seorang penyidik KPK yang
mengenakan busana berlogo lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Selain
itu, ekspresi wajah yang ditampilkan adalah ketakutan karena sedang diancam
memberikan kesaksian yang meringankan untuk Budi Gunawan sebagai
tersangka korupsi. Laki-laki tersebut mengenakan kemeja lengan panjang
yang digulung sampai siku dengan rompi berlogo KPK (kode A, B), dan
ekspresi wajah yang sedang ketakutan karena merasa terancam (kode A).
Sebagaimana yang telah di atas bahwa ilustrasi pada kaver yang ada di
58
gambar 4.4 dalam realitas objektif bisa jadi hanya orang biasa, namun
keberadaannya di dalam kaver merupakan simbol dari penyidik KPK.
Tabel 4.8
Tanda-tanda dalam kaver
Jenis Tanda Contoh Tanda Kode
Ikon Ilustrasi pada kaver A
Indeks Kata-kata, busana, posisi
pada kaver
C, B
Simbol Penyidik KPK A
Seorang perwira tinggi antiteror diduga mengintimidasi Direktur
Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi. Diminta bersaksi yang
meringankan Budi Gunawan. Dugaan intimidasi berlangsung di restoran
cepat saji McDonald’s di Larangan, Ciledug, Banten, pada Ahad malam, 8
Februari 2015. Di satu “kubu”, duduk Brigadir Jenderal Antam Novambar,
yang kini menempati jabatan Direktur Pencegahan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme.
Ia datang bersama Komisaris Besar Agung Setia, Kepala Subdirektorat
Pencucian Uang Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Di sisi lain, hadir Komisaris Besar Endang Tarsa,
Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selama sekitar satu jam, Antam terus membujuk Endang agar mau
mengikuti skenario. Tak tahan terus ditekan, Endang seolah-olah
59
menyanggupi permintaan itu. Ia mengatakan akan menyerahkan surat
pengunduran diri pada esok harinya kepada pemimpin komisi antikorupsi. Ia
juga mengatakan akan membawa surat itu ke Markas Besar Polri, lalu hadir
pada sidang praperadilan esok harinya atau Rabu pekan lalu.
Dari pemaparan terhadap ikon, indeks dan simbol di atas, maka peneliti
melihat bahwa gambar laki-laki yang ada pada kaver adalah seorang anggota
KPK yang sedang merasa terancam. Peneliti memaknai “Seorang jendral
polisi memaksa penyidik KPK memberi kesaksian meringankan buat Budi
Gunawan. Disertai ancaman pembunuhan” adalah kalimat yang terkait
dengan ilustrasi yang ditampilkan pada kaver.
Pada level permukaan, ilustrasi yang ditampilkan pada kaver ini
hanyalah visualisasi gambar laki-laki saja. Namun, dengan melihat kalimat
yang terkait dengan foto (kode C) dan posisi gambar laki-laki tersebut (kode
B), merupakan upaya untuk mengarahkan bahwa foto tersebut adalah foto
seorang anggota KPK yang sedang merasa terancam atau merasa diintimidasi
“Seorang jendral polisi memaksa penyidik KPK memberi kesaksian
meringankan buat Budi Gunawan. Disertai ancaman pembunuhan” adalah
indeks dari foto tersebut. Ketika dikaitkan dengan tema majalah Tempo edisi
edisi 16 Februari-22 Februari 2015 ini yaitu “Teror Untuk KPK”, peneliti
memaknai bahwa majalah Tempo edisi ini membahas tentang KPK yang
sedang diteror agar meringankan hukuman kepada Budi Gunawan.
Terkait pada objek pada penelitian ini, pada dasarnya menciptakan
identitas sosial yang berkaitan dengan teror untuk KPK. Identitas ini muncul
60
atau lebih tepatnya dikonstruksi sebagai sebuah contoh untuk mengetahui
teror apa yang dialami oleh KPK.
Tabel 4.9
Hasil Analisis Kaver Edisi 16 Februari-22 Februari 2015
Sign Object Interpretant
Ikon dalam kaver tesebut
adalah ilustrasi seorang
laki laki yang ketakutan.
Indeks dalam kaver
tersebut dibagi melalui
tiga tanda, yaitu busana
yang dikenakan, kalimat
“Seorang jendral polisi
memaksa penyidik KPK
memberi kesaksian
meringankan buat Budi
Gunawan. Disertai
ancaman pembunuhan”,
dan posisi pada kaver.
Sementara simbol yang
muncul adalah penyidik
KPK.
Seorang perwira tinggi
antiteror diduga
mengintimidasi Direktur
Penyidikan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Diminta bersaksi yang
meringankan Budi
Gunawan. Dugaan
intimidasi berlangsung di
restoran cepat saji
McDonald’s di Larangan,
Ciledug, Banten, pada
Ahad malam, 8 Februari
2015. Di satu “kubu”,
duduk Brigadir Jenderal
Antam Novambar, yang
kini menempati jabatan
Ilustrasi yang
ditampilkan pada kaver
majalah Tempo yang
menjadi instrument
dalam penelitian ini,
menjelaskan bagaimana
teror yang dialami KPK
itu terjadi. Dengan
menggunakan
semiotika, ilustrasi
tidak hanya
merepresentasikan
makna visual
sebagaimana apa
adanya. Tanda-tanda
dalam kaver
dipengaruhi oleh antar
61
Direktur Pencegahan
Badan Nasional
Penanggulangan
Terorisme.
tanda dan pada
akhirnya ada narasi atau
kalimat yang mendekati
keinginan sipembuat
tanda. Ikon, indeks, dan
simbol yang sudah
dijelaskan di atas
menimbulkan presepsi
setelah dihubungkan
dengan objek dan akan
menimbulkan
interpretant.
B. Analisis Konflik KPK Versus POLRI dalam Kaver
Objek dalam penelitian ini adalah kaver majalah Tempo edisi No.1/26
Januari- 1 Februari 2015, No. 2/2-8 Februari 2015, No. 3/9-15 Februari 2015,
dan No. 4/16-22 Februari 2015 yang menampilkan konflik politik antara KPK
dan POLRI.
Pada edisi No.1/26 Januari-1 Februari 2015 menampilkan ilustrasi
binatang-binatang, seperti cicak, buaya, ular, kalajengking, laba-laba, kaki
seribu, dan kecoak. Edisi No.2/2-8 Februari 2015 menampilkan ilustrasi empat
pemimpin KPK, yaitu Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, Abraham Samad, dan
62
Bambang Widjojanto. Eisi No.3/9-15 Februari 2015 menampilkan ilustrasi
sekertasi jenderal PDI, yaitu Hasto Kristiyanto dan Hendropriyono sebagai
mantan kepala intelijen negara, dan edisi No.4/16- Februari 2015 menampilkan
ilustrasi seorang penyidik KPK yang sedang merasa terancam.
Tanda yang muncul adalah posisi masing-masing ilustrasi yang
ditampilkan dan kalimat yang mendukung bahwa ilustrasi tersebut merupakan
konflik antara KPK dan POLRI. Ilustrasi tokoh politik yang ditampilkan juga
menimbulkan interpretasi bahwa sedang terjadi kemelut antara lembaga
pemberantasan korupsi tersebut dengan POLRI. Sedangkan kalimat yang
tercantum mengupayakan bahwa ilustrasi yang ditampilkan untuk menjelaskan
konflik KPK dan POLRI.
Tabel 4.10
Kalimat yang Terdapat pada Masing-masing Kaver
Edisi Kalimat
No.1/26 Januari-1 Februari 2015 “Setelah menetapkan Budi Gunawan
sebagai tersangka, KPK digebuk dari
pelbagai penjuru”
No.2/2-8 Februari 2015 “Ada temali di antara para penggugat
pemimpin komisi. Abraham Samad
akan dijerat perkara pemalsuan
dokumen”
No.3/9-15 Februari 2015 “Benarkah ada pertemuan antara
Hasto Kristiyanto, Hendropriyono dan
penyidik polisi prihal kriminalisasi
pemimpin KPK?”
No.4/16-22 Februari 2015 “Seorang jendral polisi memaksa
penyidik KPK memberi kesaksian
meringankan buat Budi Gunawan.
Disertai ancaman pembunuhan”
63
Dengan menggunakan semiotika, ilustrasi yang ditampilkan pada
kaver tidak hanya merempresentasikan makna visual sebagaimana apa adanya.
Tanda-tanda dalam foto juga dipengaruhi oleh antar tanda dan pada akhirnya
ada narasi yang diciptakan sesuai makna yang mendekati keinginan si pembuat
tanda. Seperti halnya sifat dasar semiotika bahwa foto sebagai salah satu
organisasi tanda-tanda juga tidak bisa dikatakan memiliki dominasi
pemaknaan.
Setiap individu yang membaca tanda tentunya memiliki pemaknaan
atau interpretasi yang berbeda. Oleh karena itu, makna pada foto tidak bisa
dilihat dari hal-hal yang bersifat visual gambar semata. Pembaca juga harus
mempertimbangkan aspek-aspek di luar foto itu sendiri sebagai pembaca dan
narasi yang ingin disampaikan. Kaver majalah Tempo yang menjadi instrumen
dalam penelitian ini, menjelaskan bagaimana konflik yang terjadi antara KPK
dan POLRI.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari temuan dan hasil analisis data pada
empat kaver majalah Tempo adalah sebagai berikut:
Dalam kaver majalah Tempo terdapat tanda atau sign (ikon, indeks,
dan simbol), object, dan interpretant. Ikon yang muncul di setiap kaver
adalah model yang ditampilkan pada kaver majalah Tempo.
Indeks pada kaver ditampilkan melalui beberapa tanda, diantaranya
kata-kata yang terkait dengan gambar, melalui ilustrasi pada gambar,
busana yang dikenakan pada kaver, dan ekspresi wajah yang
digambarkan ilustrasi pada kaver. Sedangkan simbol yang muncul
adalah konflik politik yang terjadi antara KPK dan POLRI.
Objek yang ditampilkan dalam kaver berbeda di setiap edisinya.
Untuk edisi 26 Januari-1 Februari 2015 menampilkan ilustrasi
binatang-binatang seperti cicak, buaya, kalajengking, ular, laba-laba,
kaki seribu, kecoak, dan kelabang, edisi 2-8 Februari 2015
menampilkan ilustrasi dari empat pemimpin KPK, yaitu Adnan
Pandu Praja, Zulkarnain, Abraham Samad, dan Bambang
Widjojanto, edisi 9-15 Februari 2015 Ilustrasi kepala dari Hasto
Kristiyanto yang mulutnya sedang terbuka lebar dan di dalamnya
terdapat kepala dari Hendropriyono, dan pada edisi 16-22 Februari
64
65
2015 menggambarkan ilustrasi dari penyidik KPK yang diancam
oleh Brigadir Jenderal Polisi.
Interpretasi peneliti adalah ketika pertama melihat, foto yang
ditampilkan pada kaver adalah ilustrasi pada kaver yang
menggambarkan konfilk antara KPK dan POLRI.
Kesimpulan akhirnya konflik yang terjadi antara KPK dan POLRI
jilid ketiga versi majalah Tempo ini berawal ketika KPK menetapkan Budi
sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah
atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi
Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di
kepolisian. Sehingga POLRI menyerang balik KPK dengan usaha-usaha
untuk mengkriminalisasikan KPK.
B. Saran
Saran untuk redaksi majalah Tempo adalah untuk lebih berimbang
dalam pemberitaannya jangan terlalu memihak satu pihak yang sedang
berkonflik. Seperti yang peneliti lihat pada majalah Tempo edisi yang diteliti
lebih memihak kepada kubu KPK dan kurang berimbang terhadap kubu
POLRI, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah majalah Tempo ingin
menunjukan kepada pembacanya bahwa KPK itu benar dan POLRI itu salah.
66
DAFTAR PUSTAKA
Budiman Kris, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas,
Yogyakarta: Jalasutra, 2011
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, Yogyakarta:
PT Ombak, 2008
Krisyantono Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2006
Lawang Robert, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, Jakarta: Universitas
Terbuka 1994)
Setiadi M. Elly dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011
Sobur Alex, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009
Soekanto Soerjono, Kamus Sosiologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993
Tinarbuko Sumbo, Semiotika Komunikasi Visual, Yogyakarta: Jalasutra, 2012
Zeitlin M. Irving, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1998
67
LAMPIRAN
68
HASIL WAWANCARA
Narasumber : I Wayan Agus
Jabatan : Wartawan
Tanggal Wawancara : 14 Juli 2015
Tempat : Wawancaradilakukan melalui email
Pukul : 13:59 WIB
1. Bagaimana sejarah majalah Tempo dari awal terbit hingga sekarang?
Habis gelap terbitlah terang.Itulah suasana politik sesudah jatuhnya
rezim Presiden Soekarno pada 1960-an. Orang menaruh harap agar zaman
segera normal. Antre beras supaya berlalu, inflasi tinggi segera turun, dan
kebebasan berpendapat tak lekang. Maka setelah krisis1965-1966, aktivisme
mulai reda dan orang mulai bekerja kembali.
Diantaranya ada sekelompok wartawan muda di Jakarta. Seorang
diantaranya baru pulang dari studi lanjut di Brugges, Belgia, danbergabung
dengan Harian Kami. Namanya Goenawan Mohamad. Ia bukan saja
wartawan tapi juga dikenal sebagai penyair. Ada juga Fikri Jufri, seorang
mahasiswa yang bercita-cita jadi ekonom, tapi bekerja buat harian
Pedoman.
Orang-orang muda tak bekerja dalam pengertian kerja yang
mengasingkan. Kelompok ini, yang kebetulan adalah seniman dan mantan
69
aktivis anti rezim Soekarno, mencari sesuatu yang lebih substansial
ketimbang sekadar kerja untuk mencederai kejenuhan.
"Di tahun 1969 beberapa kawan berangan-angan membuat sebuah
majalah. Istri saya kemudian menulis di atas map sebuah nama,
Perusahaan Awang-awang," ujar Goenawan Mohamad. "Tapi kali ini," kata
Goenawan dalam majalah Tempo edisi khusus November 1986, "angan-
angan itu kami rentang lebih jauh. Saya misalnya menyarankan, kalau mau
bikin majalah, kenapa tak mencoba bentuk yang selama ini belum dicoba
di Indonesia? Mengapa tidak mencoba mingguan berita model Time
dan Newsweek di Amerika Serikat, yang dipakai l'Express di Prancis,
Spiegel di Jerman Barat, atau Elsevier di Belanda?"
Gagasan yang bertengger di awang-awang itu akhirnya mendarat
ke bumi. Pada 1969 Goenawan dan kawan-kawan menerbitkan majalah
Ekspres yang dibiayai B.M. Diah, pemilik harian Merdeka yang pernah jadi
duta besar Indonesia. Kawan-kawannya menunjuk Goenawan jadi
pemimpin redaksi.
Ketika terbit, Taufiq Ismail, seorang penyair kondang, diajak
Goenawan ke dapur majalah Ekspres. Ismail tampak antusias dan berkata,
"Bung majalah ini mungkin berumur pendek, sebulan dua bulan. Tapi kalau
nanti mati, sudahlah, sudah membuat sejarah.”
Dugaan Ismail ada benarnya.Belum genap setahun terjadilah
pertikaian dalam tubuh Persatuan Wartawan Indonesia atau biasa disingkat
PWI. Ekspres sebenarnya tak terlibat.Tapi B.M. Diah ditunjuk oleh
70
Ali Moertopo, salah seorang asisten Jenderal Soeharto, untuk jadi
ketua PWI. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mengontrol wartawan.
Padahal PWI baru menyelenggarakan kongres dan memilih Rosihan Anwar
dari Pedoman sebagai ketuanya yang baru. Terjadilah dualisme
kepemimpinan. "Waktu itu saya bikin pernyataan yang tidak mendukung
keputusan Moertopo. Saya kemudian dipecat oleh B.M. Diah," tutur
Goenawan.
Kata-kata Taufiq Ismail kembali terngiang di telinga Goenawan.
Tapi persoalannya bukan hanya membuat sejarah, tapi bagaimana membikin
diri tak menganggur. "Apalagi ketika saya dipecat, teman-teman pada
soliderdengan turut hengkang dari Ekspres. Saya terharu dengan
solidaritas itu," kata Goenawan.
Bersamaan dengan itu Harjoko Trisnadi sedang mengalami
masalah. Majalah Djaja, milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) ,
yang dikelolanya sejak 1962 macet terbit. Menghadapi kondisi tersebut,
karyawan Djaja menulis surat kepada Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin,
minta agar Djaja diswastakan dan dikelola Yayasan Jaya Raya-sebuah
yayasan yang berada di bawah Pemerintah DKI. Lalu terjadi rembugan
tripartite antara Yayasan Jaya Raya-yang dipimpin Ir. Ciputra-orang-orang
bekas majalah Ekspres, dan orang-orang bekas majalah Djaja.Disepakatilah
berdirinya majalah Tempo di bawah PT. Grafiti Pers sebagai penerbitnya.
Kenapa nama Tempo? Menurut Goenawan -Pemimpin Redaksi saat
itu- karena kata ini mudah diucapkan, terutama oleh para pengecer. Cocok
71
pula dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya longgar, yakni
mingguan. Mungkin juga karena dekat dengan nama majalah berita terbitan
Amerika Serikat, Time-sekaligus sambil berolok-olok-yang sudah terkenal.
Edisi perdana majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971.
Dengan rata-rata umur pengelola yang masih 20-an, Tempo tampil
beda dan diterima masyarakat. Dengan mengedepakan peliputan berita yang
jujur dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik
dan jenaka, Tempo diterima masyarakat. Pada tahun 1982, untuk pertama
kalinya Tempo dibredel. Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik rezim
Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar.Saat itu tengah dilangsungkan
kampanye dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya Tempo
diperbolehkan terbit kembali setelah menandatangani semacam "janji" di
atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu (zaman
Soeharto ada Departemen Penerangan yang fungsinya, antara lain
mengontrol pers).
Makin sempurna mekanisme internal keredaksian Tempo, makin
mengental semangat jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula
daya kritik Tempo terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian
melumut. Puncaknya, pada Juni 1994.Untuk kedua kalinya Tempo dibredel
oleh pemerintah, melalui Menteri Penerangan Harmoko. Tempo dinilai
terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal
bekas dari Jerman Timur.
72
Selepas Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah
bekerja di Tempodan tercerai berai akibat bredel berembuk ulang. Mereka
bicara ihwal perlu-tidaknya majalah Tempo terbit kembali. Hasilnya, Tempo
harus terbit kembali. Maka, sejak 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir
kembali.
Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis
dunia media, maka pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdanago publik dan
menjual sahamnya ke publik dan lahirlah PT. Tempo Inti Media Tbk.
(PT.TIM) sebagai penerbit majalah Tempo -yang baru.- Pada tahun yang
sama (2001), lahirlah Koran Tempo yang berkompetisi di media harian.
Sebaran informasi di bawah bendera PT TIM Tbk, terus
berkembang dengan munculnya produk-produk baru seperti majalah Tempo
Edisi Bahasa Inggris, Travelounge (2009) dan Tempo Interaktif- yang
kemudian menjadi Tempo.co serta Tempo News Room (TNR), kantor berita
yang berfungsi sebagai pusat berita media Group Tempo. Tempo juga
mencoba menembus bisnis televisi dengan mendirikan Tempo TV, kerja
sama dengan kantor berita radio KBR68H.
2. Apa Visi dan Misi Majalah Tempo?
Visi dari majalah Tempo adalah menjadi acuan dalam proses
meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan pendapat
serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan
perbedaan pendapat.
73
Sedangkan misi dari majalah Tempo adalah:
1. Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang
menampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda.
2. Menghasilkan produk multimedia yang mandiri, bebas dari tekanan
kekuasaan modal maupun politik.
3. Terus-menerus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan
tampilan visual yang baik.
4. Menghasilkan karya yang bermutu tinggi dan berpegang kepada kode
etik.
5. Menjadi tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragamsesuai
dengan kemajuan zaman.
6. Memiliki proses kerja yang menghargai kemitraan dengan semua sector
7. Menjadi lahan yang subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya
khazanah artistic dan intelektual