Resume Bab 15 Aksiologi Masalah Nilai dan Bab 16
Masalah Nilai – Etika
Di susun oleh:
Dian Hidayah 09/282315/SP/23428
JURUSAN MANAGEMENT DAN KEBIJAKAN PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2011
BAB 15 Aksiologi Masalah Nilai
Sebelumnya saya pernah mendengar ungkapan, tetapi saya lupa siapa yang menulis itu.
Intinya adalah kenalilah diri kamu sendiri, maka kamu akan mengenal dunia luar. Saya rasa
tulisan itu persis seperti tulisan di BAB 15 tersebut. Menurut Socrates masalah pengenalan
diri sendiri yang pokok adalah masalah kesusilaan. Karena kebanyakan orang jaman dulu
memikirkan masalah hakekat dunia bukan hakekat manusia itu sendiri.
Tentang masalah baik ataupun buruk, yang saya tangkap mengenai buku tersebut adalah
bahwa baik taupun buruk adalah relatif tergantung orang memakai kata “baik” itu sendiri
untuk apa dan dimana. Misalnya di dalam buku terdapat contoh “Ini pisau baik” itu bukan
berarti pisaunya mempunyai sifat baik, melainkan pisau itu baik dalam hal kualitas misalnya.
Ada tiga filsafat nilai, yaitu nilai Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
hakekat nilai. Epistimologi menyangkut mengenai masalah kebenaran, etika menyangkut
masalah kebaikan, dan estetika menyangkut mengenai keindahan.
Nilai Intrinsik dan Nila Instrumental
Menurut yang ada di buku tersebut, nilai intrinsik merupakan nilai yang mengukur tentang
kegunaan atau manfaat suatu barang. Misalnya uang kertas lima ribu rupiah, nilai intrinsiknya
adalah uang tersebut bernilai karena semua orang Indonesia meyakini bahwa dengan uang
lima ribu yang notabennya hanya sebuah kertas bisa ditukarkan dengan barang-barang
kebutuhan rumah tangga.
Situasi - Nilai
Situasi nilai meliputi: suatu subjek yang memberi nilai yang diberi nama dengan “segi
pragmatis”, suatu objek yang diberi nilai dengan nama “segi sernantis”, suatu perbuatan
penilaian, dan suatu nilai ditambah perbuatan penilaian. Dengan kata lain, nilai bisa
ditempatkan dimana-mana, entah itu sebagai subjek, objek, maupun sebagai keterangan,
karena pada dasarnya nilai itu bersifat fleksibel.
1. Nilai Merupakan Kualitas Empiris yang tidak bisa didefinisikan
Sebelumnya perlu diketahui pengertian dari kualitas itu sendiri, di sini kualitas
empiris didefinisikan sebagai kualitas yang diketahui atau dapat diketahui melalui
pengalaman. Misalnya, kita tidak tahu bahwa air itu dapat diminum, setelah kita
mencobanya barulah kita mengetahui ternyata air tersebut mempunyai kualitas dapat
diminum. Menurut Moore dan Ewing bahwa nilai merupakan sesuatu yang tidak bisa
didefinisikan (mungkin secara harfiah). Nilai dapat didefinisikan bukan melalui kata-
kata melainkan melalui perlakuan, atau sesuatu yang menunjukkan nilai itu ada.
2. Nilai Sebagai Objek Suatu Kepentingan
Yang perlu digaris bawahi dari semua ini adalah setiap nilai menyangkut sikap.
Bahwa perasaan dan keinginan senantiasa berhubungan erat dengan tanggapan-
tanggapan penilaian. Penilaian itu bersifat subjektif, artinya belum tentu pendapat satu
orang yang mengatakan A baik akan sama baiknya dengan pendapat banyak orang.
Ada tiga macam kemungkinan tanggapan, (1) sikap setuju atau menentang sama
sekali tidak bersangkut paut dengan masalah nilai, (2) sikap tersebut bersangkutan
dengan sesuatu yang tidak hakiki, (3) sikap tersebut merupakan sumber pertama serta
ciri yang tetap dari segenap nilai.
Menurut Perry, setiap objek dalam pikiran atau kenyataan, setiap perubahan yang
dilakukan meupun yang dipikirkan dapat memperoleh nilai jika pada suatu ketika
berhubungan subjek-subjek yang mempunyai kepentingan.
3. Teori Pragmatis Mengenai Nilai
Tidak serta merta suatu benda atau barang yang bernilai seketika itu akan disebut
bernilai. Seperti menurut Dewey “meskipun kebaikan kiranya bersangkutan dengan
akibat-akibat, namun kebaikan itu tidak sekedar bersangkutan dengan hasil-hasil
jangka pendek dari sauatu keinginan yang dangkal.” Suatu barang akan bernilai
dengan sendirinya karena nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan. Dalam
Theory of Valuation, Dewey mengatakan bahwa memberian nilai menyangkut
perasaan, keinginan, dan sebagainya. Nilai tidak serta merta hadir disebuah barang,
menurut pendapat saya sesuatu dianggap bernilai jika kita sudah pernah
mengalaminya sehingga kita menganggap sesuatu menjadi bernilai.
4. Nilai sebagai Esensi
Kaum Idealis seperti W.M. Urban dalam buku The Intellegable World memandang
nilai sebagai satuan-satuan yang merupakan kenyataan satuan-satuan yang sejak
semula sudah terkandung dalam susunan kenyataan itu sendiri.
BAB 16 Masalah Nilai-Etika
Makna Etika
Ada yang berpendapat bahwa etika adalah suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Dan yang satu lagi berpendapat bahwa etika
digunakan sebagai pembeda antara hal-hal, perbuatan-perbuatan, antara manusia dengan
manusia. Misal, Orang itu mencuri sesuatu, orang tersebut dapat dikatakan tidak etis.
1. Tanggapan-Tanggapan Kesusilaan Sekedar Ungkapan Perasaan.
Ada dua macam kalimat kognitif, yaitu kalimat-kalimat yang kebenarannya
tergantung pada makna yang dikandung oleh kata-kata yang menyusunnya, hal ini
disebut dengan kalimat analitis. Kedua, kalimat-kalimat yang kebenarannya
tergantung pada hasil pengamatan yang bersifat empiris disebut dengan kalimat
sintesis. Ketiga, kalimat-kalimat yang tidak bersifat analitis maupun sintesis dapat
dikatakan salah walaupun mungkin mengandung emotif.
Jika seseorang memandang sesuatu itu adalah hal buruk, tetapi sesuatu itu juga
merupakan hal yang seharusnya dikerjakan, maka sebagai orang yang akan
melakukannya tentunya kita mengatakan (1) hal yang dikerjakan itu bukan merupakan
suatu keburukan, (2) keadaan hal itu merupakan hal yang sangat khusus dan bukan
merupakan keburukan dalam arti yang sebenarnya.
Morizt Schilick dalam bukunya Problema of Ethics menunjukkan bahwa emosi dasar
yang terlibat adalah nikmat. Beliau menganalisa bahwa nikmat semata-mata dari
sudut naturalisme dan neorologi.
2. Etika dan Kebahagiaan Sebagai Kebaikan Tertinggi
Suatu ajaran yang mendasarkan diri pada suatu tujuan terakhir dinamakan ajaran
teleologis. Sebuah teori yang mengajarkan bahwa perbuatan-perbuatan kesusilaan
berusaha mencari dan menemukan kebahagiaan atau kenikmatan, maka teori itu
bersifat teleologis. Hedonisme psiklogis ( manusia dalam kenyataannya mencari
kenikmatan ) dengan Hedonisme egoitis ( manusia seharusnya mencari kenikmata) itu
harus dibedakan, karena selama ini banyak beranggapan bahwa kedua hal tersebut
adalah sama.
3. Tanggapan Kesusilaan Berdasarkan Pertentangan Kelas
Menurut Mark, segenap sejarah merupakan kisah pertentangan antara kelas pemilik
alat-alat produksi dengan kelas pekerja upahan. Bentuk organisasi kemasyarakatan
tergantung pada cara orang yang menghasilkan barang-barang. Maka keperluan
ekonomi yang mendorong manusia mengadakan hubungan kemasyarakatan. Hal
tersebut juga berlaku dalam hubungan kesusilaan.
4. Etika Perwujudan Diri
Arah tujuan dari teori Marxis adalah adanya suatu masyarakat yang di dalamnya
manusia akan memperoleh kehidupan yang bahagia dan terpenuhi segala
kebutuhannya. Walaupun ajaran Kant tentang persetujuannya yang menyebabkan
suatu perbuatan susila merupakan kebutuhan yang tak tergoyahkan kepada hukum
kesusilaan, tetapi Kant juga mengatakah bahwa hendaknya manusia memperlakukan
sesamanya sebagai tujuan khas yang tidak berhingga harganya dan jangan hanya
diperlakukan sebagai sarana belaka.
Aristoteles mengajarkan bahwa manusia berbuat kebajikan sepanjang ia
menggunakan akal budinya, yaitu suatu kemampuan khas yang dipunyai yang
membedakannya dari hewan-hewan yang lain. Di dalam bukunya “Nichomavhean
Ethics (Etika Nichomachus) Aristoteles mengatakan yang baik-baik bagi setiap hal
adalah mewujudkan secara penuh kemampuan sebagai manusia. Dia menemukan
bahwa akal budi adalah hal yang membedakan manusia dengan hewan-hewan
lainnya.
Prinsip dari W.M Urban dengan bukunya “Fundamentals of Ethics” adalah
perwujudan diri. Prinsip itu berbeda pada manusia yang sesungguhnya merupakan
diri. Sebenarnya pengertian akan “diri” itu sendiri tidaklah tepat seperti pengertian
kata lainnya. Tergantung mengartikan diri seperti apa dulu, diri ekonomi berbeda
dengan diri rohani dalam pemaknaannya.
Kaum idealisme memahamkan nilai sebagai sesuatu yang sejak semula sudah
terkandung dalam kenyataan. Menurut Urban seseorang harus mewujudkan dirinya
tidak dalam tingkatan material atau tingkatan fisik, melainkan dalam tingkatan
kosmis, spiritual, dan hal-hal lain yang kurang dari itu dipandang tingkatannya
bersifat sementara, lebih rendah dan ekstrinsik.
Tentang diri merupakan sesuatu yang baik. Menurut Urban, hakekat diri adalah
kebaikan. Berbeda dengan Nietzche yang berpendapat bahwa diri yang sebenarnya
lebih dekat keadaannya dengan diri seekor binatang buas berambut pirang. Kesusilaan
merupakan alat yang dipunyai oleh budak dan mereka lemah dalam menghadapi
manusia yang kuat.
5. Etika Teologis
Pada tradisi Yudeo-Kristiani yang mengatakan bahwa semuanya itu bukan merupakan
inti masalahnya. Sesungguhnya bukan emosi, bukan diri, juga bukan kenikmatan yang
merupakan kualitas penentu bagi kebaikan. Sudah pasti hakekat terdalam yang
sebenarnya harus bergantung pada sesuatu yang abadi, yang mutlak, yang merupakan
satu-satunya kebaikan yang sejak semula sudah terkandung dalam dirinya. Tuhan
merupakan penentu kebaikan, karena diriNya sendiri merupakan kebaikan. Kekuasaan
pada dasarnya harusnya baik, yang merupakan sumber kebaikan dengan suatu
kewibawaan yang tidak akan ditentang oleh mereka yang mengakui kewibawaan tadi.
Di dalam etika teologis tidak dapat menjelaskan apa hakekat kebaikan itu. Dapat apa
yang diperkirakan buruk menurut kita malah menjadi baik menurut Tuhan. Etika
teologis tidak memberikan ukuran yang jelas antara baik atau buruknya sesuatu.