Download - RESPONSI OS
INJEKSIINTRAMUSKULAR
Disusun Oleh:
Citra Putri Meirian 1601 1209 0531Annisa Nur Amala 1601 1209 0532Siti Eva Latifah 1601 1209 0533Nurmilah Maelani 1601 1209 0534Fitri Jachja 1601 1209 0535Dita Septani 1601 1209 0536Widya Dewi Utami 1601 1209 0538
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2010
BAB I
SKIN TEST
Sangat penting untuk mengetahui ilmu dasar sebelum melakukan skin tes. Skin test adalah
melakukan test antibiotik melalui sub kutan untuk mengetahui ketahanan terhadap salah satu jenis
antibiotik. Skin test termasuk salah satu tes alergi. Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas
yang diperoleh melalui paparan alergen tertentu. Alergen adalah suatu substansi antigenik yang
mampu menghasilkan hipersensitivitas secara langsung (Dorland, 2004).
Alergi tes adalah satu tindakan mengukur bagaimana reaksi seseorang terhadap alkohol
spesifik. Ini melibatkan skin tes atau tes darah untuk mengetahui apa substansi atau penyebab alergi
yang dapat memicu respon alergi terhadap seseorang. Skin tes paling sering digunakan kerana
sifatnya yang aman, cepat dan murah. Hal ini sering dilakukan dengan memaparkan suatu ekstrak
dari alergen ke kulit, menggaruk (Scratch) atau menusuk (Prick) kulit agar terpapar, dan kemudian
mengevaluasi reaksi kulit. Dapat juga dilakukan dengan menyuntikkan alergen di bawah kulit, atau
dengan menerapkan ke patch yang dipakai pada kulit dalam jangka waktu tertentu.
Prosedur bervariasi tergantung pada bentuk skin tes. Tiga jenis utama skin tes adalah
Prick/Scratch test, Intradermal test, dan Patch test.
1. Scratch test /Prick test
Juga dikenal sebagai test tusukan. Pertama, seorang dokter atau perawat akan memeriksa kulit
lengan bawah dan membersihkannya dengan alkohol. Kulit kemudian ditandai dengan pena
untuk mengidentifikasi setiap penyebab alergi yang akan diuji. Setetes ekstrak untuk setiap
potensi penyebab alergi – seperti serbuk sari, ketombe binatang, atau racun serangga –
ditempatkan pada tanda yang sesuai. Ditusukkan kecil sekali sehingga ekstrak dapat masuk ke
lapisan luar kulit, yang disebut epidermis. Menusuk kulit bukan ditembak dan tidak
menyebabkan perdarahan.
Gambar kiri: proses penetesan bahan alergen ke kulit yang telah goresakan atau ditusuk
menggunakan jarum atau peniti.
Gambar kanan: tiap bahan alergen ditandai dan hasil test dapat diperoleh setelah 15 menit.
2. Intradermal test
Setelah meneliti dan membersihkan kulit, sedikit alkohol disuntikkan di bawah kulit. Test ini
lebih sensitif daripada scratch test dan ditunggu ± 15 menit untuk melihat hasilnya.
Gambar kiri: sudut perlekatan jarum untuk interdermal skin test adalah 10-15 derajat. Gambar
kanan: daerah yang akan disuntikkan obat skin test haruslah pada kulit yang tidak mempunyai
defek dan pada kulit yang cerah.
3. Patch test
Metode lain adalah dengan memaparkan alergen dalam sebuah patch yang kemudian diletakkan
pada kulit. Hal ini dapat dilakukan untuk menunjukkan kontak alergi yang memicu dermatitis.
Jika terdapat alergi antibodi dalam sistem tubuh, kulit akan menjadi merah dan mungkin gatal,
lebih mirip gigitan nyamuk. Reaksi ini menunjukkan alergi terhadap zat tersebut.
Gambar kiri: perlekatan patch pada kulit punggung.
Gambar kanan: hasil patch test setelah 48 jam.
Persiapan Skin Test
Sebelum melakukan skin test terlebih dahulu kita melakukan tahap pengenceran pada obat.
Persiapan Alat dan Bahan
1. Disopsable syringe (spuit) 1 cc untuk skin test, 3 cc untuk penyuntikan IM, dan 5 cc untuk
pengenceran obat
2. Antibiotik, yaitu 1 gr Opimox sedian bubuk dalam vial
3. Aqua bidestilata sebagai cairan pengencer
4. Kapas dan alkohol
5. Pulpen atau spidol
Persiapan Pasien
Pasien diberi penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan.
Tahapan Pelaksanaan Skin Tes
1. Cuci tangan.
2. Menggulung lengan baju pasien bila perlu.
3. Menyediakan alat dan bahan seperti di atas.
4. Ambil 4 cc aqua bidestilata dengan menggunakan spuit 5 cc, kemudian masukkan ke dalam
satu gram Opimox yang terdapat dalam vial untuk dilakukan pengenceran. Terlebih dahulu,
tutup botol vial dioleskan dengan alkohol. Setelah dimasukkan, kocok vial sampai menjadi
larutan yang homogenus. Sehingga konsentrasi dari antibiotik adalah 1:250 (1 cc larutan
mengandungi 250 mg antibiotik).
5. Kemudian dengan spuit 1cc, diambil 0.9 cc aqua bidestilata dengan menggunakan jarum
dari spuit 5cc dan dicampurkan dengan 0.1 cc larutan antibiotik Opimox tadi.
6. Mendesinfeksi kulit yang akan di suntik dengan menggunakan kapas alkohol dengan
gerakan memutar dari dalam ke luar dengan arah berlawanan jarum jam. Harus diperhatikan,
daerah skin tes haruslah bebas dari defek dan terletak di daerah kulit cerah.
7. Menyuntikan obat sampai permukaan kulit menjadi menggembung (diameter ± 0.5 cm)
dengan bevel jarum menghadap ke atas dan membentuk sudut antara 10–15 derajat terhadap
permukaan kulit.
8. Lingkari daerah penyuntikan, tandai jenis obat dan waktu penyuntikkan.
9. Evaluasi reaksi obat setelah ± 15 menit dari waktu penyuntikan.
10. Hasil test reaksi alergi:
a. Positif (+) : Terdapat bintik merah pada daerah penyuntikan dan pasien alergi
terhadap obat tersebut. Ganti obat dan jalankan skin test sekali lagi.
b. Negatif (-) : Normal, pasien tidak alergi terhadap obat.
BAB II
ANTIBIOTIK PROFILAKSIS
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang digunakan bagi pasien yang belum terkena
infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila terkena infeksi
dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Penggunaan antibiotik di rumah sakit, sekitar 30-
50% untuk tujuan profilaksis bedah. Profilaksis bedah merupakan pemberian antibiotik sebelum
adanya tanda-tanda dan gejala suatu infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya manifestasi klinik
infeksi.
Tujuan dari profilaksis adalah untuk memperbesar mekanisme ketahanan tubuh terhadap
invasi bakteri. Profilaksis adalah usaha unutk mencegah organisme sebelum mereka memiliki
kesempatan untuk menginfeksi.
Keuntungan penggunaan antibiotik profilaksis:
1. Atibiotik profilaksis menurunkan insidensi infeksi pasien sehingga menurunkan angka kematian
post operatif.
2. Antibiotik profilaksis yang sesuai dan efektif menurunkan biaya perawatan kesehatan.
3. Penggunaan antibiotik profilaksis yang sesuai hanya membutuhkan waktu yang lebih singkat
daripada pemberian terapi, sehingga menurunkan jumlah total antibiotik yang di perlukan.
Kerugian pemakaian antibiotik profilaksis:
1. Dapat mengakibatkan infeksi sekunder
2. Jika resiko infeksi rendah, penggunaan antibiotik profilaksis tidak menghasilkan keuntungan
sehingga tidak menurunkan insidensi infeksi.
3. Biaya antibiotik juga harus diperhitungkan.
4. Selalu ada resiko toksisitas terhadap obat yang di pakai.
Pengenceran
Antibiotik yang biasa dipergunakan di bagian Bedah Mulut RSHS adalah golongan penicillin,
antara lain adalah antibiotik jenis Opimox. Untuk mencegah reaksi alergi terhadap Opimox,
sebelum pemberian obat dilakukan skin test. Sebelum melakukan skin test terlebih dahulu kita
melakukan tahap pengenceran pada obat seperti yang telah dijelaskan di atas.
Dosis Maksimum Obat
Dosis antibiotik profilaksis adalah dua kali dari dosis terapi. Untuk anak-anak dosis
profilaksis yang diberikan sesuai dengan rumus :
BB x Dmax
Dosis Profilaksis = 2 x ___________
T1/2
Contoh, menggunakan obat Opimox, dengan dosis max 50 mg/hari dan interval pemberian setiap 8
jam/hari, jadi T1/2 = 3. Misalnya BB anak adalah 6 kg. Jadi jumlah obat yang diberikan :
6 x 50Dosis Profilaksis = 2 x _______
3
Dosis Profilaksis = 200 mg
Dosis Profilaksis = 200 mg : 250 ml = 0,8 cc
Jadi jumlah antibiotik yang diberikan sebanyak 0,8 cc. Penyuntikan antibiotik provilaksis
dilakukan dengan menggunakan spuit 3 cc.
Dosis Antibiotik Profilaksis
Situasi Medikasi Dosis
Standard prophylaxis AmoxicillinDewasa: 2.0 g;Anak: 50 mg/kg orally 1 jam sebelum prosedur
Tidak dapat meninum obat po
AmpicillinDewasa: 2.0 g IM or IV; Anak: 50 mg/kg IM or IV 30 menit sebelum prosedur
Alergi Penicillin
Clindamycin Dewasa: 600 mg; Anak: 20 mg/kg 1 jam sebelum prosedur po
Cephalexin or cefadroxil orDewasa: 2.0 g; Anak; 50 mg/kg 1 jam sebelum prosedur po
Azithromycin or clarithromycin
Dewasa: 500 mg; Anak: 15 mg/kg 1 jam sebelum prosedur po
Alergi penisilin dan tidak bisa minum obat po
Clindamycin or Cefazolin
Dewasa: 600 mg;Anak: 20 mg/kg IV 30 menit sebelum prosedur
Dewasa: 1.0 g; Anak: 25 mg/kg IM atau IV 30 menit sebelum prosedur
Jalan Masuk Obat ke Dalam Tubuh
Obat dapat masuk ke dalam tubuh dengan berbagai jalan, diantaranya:
1. Per oral
Cara pemberian obat melalui mulut. Untuk cara pemberian obat ini relatif aman, praktis dan
ekonomis. Kelemahan dari pemberian obat secara oral adalah efek yang timbul biasanya lambat,
tidak efektif jika pengguna sering muntah-muntah, diare, tidak sabar, tidak kooperatif, kurang
disukai jika rasanya pahit (rasa jadi tidak enak).
2. Sublingual
Cara pemberian obat ditaruh di bawah lidah. Tujuannya adalah agar efek yang ditimbulkan bisa
lebih cepat karena pembuluh darah di bawah lidah merupakan pusat dari sakit. Kelebihan dari
cara pemberian obat ini adalah efek obat akan terasa lebih cepat dan kerusakan obat pada saluran
cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari.
3. Inhalasi
Cara pemberian obat dengan disemprotkan ke dalam mulut. Kelebihan dari pemberian obat
dengan cara inhalasi adalah absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar obat dapat terkontrol,
terhindar dari efek lintas pertama dan dapat diberikan langsung kepada bronkus. Untuk obat
yang diberikan dengan cara inhalasi ini obat yang dalam keadaan gas atau uap yang akan
diabsorpsi akan sangat cepat bergerak melalui alveoli paru-paru serta membran mukosa pada
saluran pernapasan.
4. Rektal
Cara pemberian obat melalui dubur atau anus. Maksudnya adalah mempercepat kerja obat serta
bersifat lokal dan sistematik.
5. Pervagina
Cara pemberian obat ini bentuknya hampir sama atau menyerupai obat yang diberikan secara
rektal, hanya saja dimasukan ke dalam vagina.
6. Parenteral
Cara pemberian obat dengan tanpa melalui mulut (tanpa melalui saluran pencernaan) tetapi
langsung ke pembuluh darah. Misalnya sediaan injeksi atau suntikan. Tujuannya adalah agar
dapat langsung menuju sasaran. Kelebihannya bisa untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah
dan tidak kooperatif. Akan tetapi cara pemberian obat dengan cara ini kurang aman karena jika
sudah disuntikan ke dalam tubuh tidak bisa dikeluarkan lagi jika terjadi kesalahan.
7. Topikal atau lokal
Cara pemberian obat bersifat lokal, misalnya tetes mata, salep, tetes telinga dan lain-lain.
BAB III
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan spesifik.
Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B,
yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas
seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila bertemu dengan antigen lalu mengadakan
diferensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan
antigen tersebut.
Bila suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bila alergen
tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan
imun. Tetapi, bila merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas
atau alergi. Alergi adalah keadaan reaksi organisme yang berubah terhadap senyawa tertentu
(alergen), yaitu organisme bereaksi lain terhadap bahan ini dibandingkan sebelumnya.
Reaksi hipersensitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
a) Tipe I : Reaksi Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE
yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin.
Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat. Contoh – asma, urticaria, hay fever,
angioneurotic edema
b) Tipe II : reaksi sitotoksik
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan
adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan
hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin
(1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini. Contoh –
reaksi transfusi darah yang tidak sesuai
c) Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks
imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi
pada pembuluh darah kecil. Pada kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks,
keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga
terjadi pada keratitis Herpes simpleks. Contoh – sistemik lupus eritematosus (SLE)
dan streptococcal glomerulomefritis.
d) Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal
sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan
antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi
penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks,
keratitis diskiformis, “infectious contact dermatitis”, penolakan transplantasi dan
penyakit graft-versus-host.
Defisiensi Imun dan Peradangan
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengindentifikasi dan membunuh sel patogen serta sel
tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan
melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit. Serta menghancurkan zat-zat
asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dari jaringan agar tetap dapat
berfungsi seperti biasa.
Sistem Imun adalah struktur epekti yang menggabungkan spesifisitas dan adaptasi.
Kegagalan pertahanan dapat muncul, dan jatuh pada 3 kategori yaitu: Defisiensi Imun, autoimunitas
dan Hipersensitivitas.
Defisiensi Imun
Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem Imun tidak aktif,
kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang pada golongan muda dan golongan
tua, respon imun berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat terjadi karena penggunaan
Alkohol dan narkoba yang menyebabkan fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan nutrisi
adalah akibat paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di negara berkembang. Diet yang
menyebabkan kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas selular, aktivitas
komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibody, IgA dan produksi sitokin, Defisiensi nutrisi
seperti zinc, Selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9) juga
mengurangi respon imun.
Defisiensi imun juga dapat didapat dari chronic granulomatus disease (penyakit yang menyebabkan
kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang), contohnya: Aids dan beberapa tipe
kanker.
Autoimunitas
Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun yang disebut autoimunitas. Sistem
imun gagal untuk memusnahkan dengan tepat antara diri sendiri dan orang lain yang menyerang
tubuh.
Hipersensitivitas
Adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Mereka terbagi menjadi 4 kelas
(tipe I-IV) yaitu:
1. Reaksi anafilaktik
2. Reaksi sitotoksik
3. reaksi imun kompleks
4. reaksi tipe lambat
Tanda-tanda dan gejala reaksi alergi adalah Urticaria, bengkak, ruam kulit, sesak napas,
dispnea, sesak dada, rhinorrhea, konjunktivitis, pruritus. Perawatannya adalah memberi
diphenhydramine (Benadryl) 25-50 mg per oral, IV atau IM dan ulangi dosis sampai 50 mg
setiap 6 jam secara oral selama 2 hari.
Reaksi hipersensitifitas dapat dihindari dengan melakukan langkah-langkah berikut:
Indikasi yang jelas untuk obat, sedapat mungkin terapi tunggal.
Melakukan anamnesis lengkap terhadap reaksi alergi sebelumnya.
Pengawasan pasien yang ketat pada tiap pengobatan jangka panjang, misalnya pengontrolan
pembentukan darah dan keadaan pembekuan.
Penjelasan pada pasien tentang bahaya-bahaya pemakaian obat yang tidak diawasi.
Syok
Syok adalah suatu gejala klinis yang terjadi karena adanya gangguan perfusi (aliran darah),
dapat terjadi karena kegagalan dari sistem kardiovaskuler. Reaksi hipersensitifitas yang paling
dramatis dan mengancam nyawa secara akut adalah syok anafilaktik. Gejala klinis yang ditunjukkan
pada keadaan syok adalah karena oksigenisasi pada tingkat jaringan.
Tanda-tanda klinis syok merupakan tanda-tanda hipoperfusi pada tingkat jaringan dapat
berupa:Laju nadi cepat dan lemah, keringat dingin, pucat, kesadaran menurun/gelisah, nafas cepat
dan dangkal, produksi urine menurun.
Sistem kardiovaskuler terdiri dari tiga komponen yaitu jantung, pembuluh darah, dan darah.
Kegagalan dapat terjadi karena kegagalan salah satu komponen diatas. Hal ini mendasari
pembagian dari jenis-jenis syok secara klinis.
a) Syok Kardiogenik
Syok yang terjadi karena gangguan fungsi jantung dalam memompakan darah ke seluruh
tubuh, sehingga perfusi tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh. Syok
kardiogenik dapat disebabkan karena miopati, gangguan sirkulasi koroner, kongesti, hipertensi yang
tidak terkendali dalam waktu cukup lama.
Penanggulangannya yaitu dengan:
Istirahat yang cukup untuk mengurangi kebutuhan O2 yang meningkat, yang tidak dapat
dikompensasi oleh jantung.
Posisi ½ duduk untuk mengurangi beban jantung.
Terapi obat-obatan untuk memperbaiki kontraktilitas otot jantung.
b) Syok Hipovolemik
Syok yang terjadi karena jumlah darah yang berkurang, dapat terjadi karena perdarahan atau
dehidrasi.
Tingkatan syok berdasarkan jumlah darah yang hilang
Class I Class II Class III Class IV
Blood Loss < 750 750-1500 1500-2000 >2000
Blood volume <15% 15-30 30-40 >40
Heart rate <100 >100 >120 >140
Blood pressure N N N s/d ↓ ↓
Urine output >30 20-30 5-15
Penanggulangan syok hipovolemik:
Posisi terlentang untuk menjaga agar sirkulasi sentral dapat dipertahankan.
Berikan O2 2 liter/menit.
Pasang kateter intra vena, berikan cairan kristaloid (ringer laktat, assering, NaCl). Bila tekanan
darah sudah menurun atau rendah berikan cairan secara cepat 1000-2000cc.
Ambil sampel darah, lakukan pemeriksaan Hb dan golongan darah.
Hentikan perdarahan secepatnya. Pada perdarahan yang jelas dan terlihat superficial maka
lakukan balut tekan (hindari tornique).
Pada perdarahan dalam, lakukan pengangkatan kaki ke atas untuk mempertahankan sirkulasi
sentral.
Biasanya darah diperlukan jika penderita mengalami perdarahan > 30% EBV (Estimated Blood
Volume). Pada penderita yang sebelumnya sehat dan muda target Hb 8gr% sedangkan untuk
penderita yang tua, sakit jantung, dan gangguan pernafasan target Hb 10gr%.
c) Syok Distributif
Syok distributif merupakan syok yang disebabkan oleh karena jumlah volume darah dan
besarnya kapasitas pembuluh darah tidak sesuai untuk mempertahankan perfusi yang normal.
Biasanya terjadi karena adanya vasodilatasi yang hebat disertai dengan kebocoran kapiler. Sepsis,
analfilaktik dan neurogenik termasuk dalam syok distributif.
Tujuan terapi pada syok distributif yaitu:
1. Mengisi volume intravascular.
2. Menimbulkan vasokontriktor.
3. Memilih cairan yang diberikan, yang dapat berfungsi di intravaskuler lebih lama (mencegah
kebocoran).
Penanggulangan syok distributif:
1. Menjaga agar sirkulasi sentral dapat dipertahankan.
2. Mengisi volume intravaskuler (infus) dengan cairan ringer laktat atau koloid.
3. Memberikan obat-obatan vaso aktif.
4. Memberikan O2 2liter/menit.
d) Syok Anafilaktik
Merupakan reaksi antigen antibodi yang menyebabkan pelepasan histamine bertambah
sehingga pembuluh darah dilatasi. Terjadi karena pemberian obat-obatan, plasma, kontras media.
Penanggulangan dengan ABCD (epineprin 1:1000 yang 0,2-0,3 mg/menit, bila ada edema laryng
dan bronkospasme berikan aminofilin, antihistamin, atau kortikosteroid 125-250mg, beri infus jika
perlu).
Reaksinya memliki respon waktu yang beragam, namun reaksi ini dapat terjadi dengan cepat
yaitu mencapai intensitas waktu maksimal dalam 5 menit sampai 30 menit. Pada reaksi anafilaktik
fatal, gangguan respirasi dan kardiovaskular menjadi predominan dan langsung terlihat pada awal
reaksi. Reaksi yang cepat memperlihatkan semua tanda dan gejala dalam jangka waktu singkat dan
overlap. Pada reaksi yang parah, mungkin hanya dapat terlihat tanda dan gejala dari gangguan
respirasi dan kardiovaskuler.
Reaksi terserbut dapat bertahan dalam hitungan menit sampai 1 hari atau bahkan lebih.
Dengan perawatan yang tepat dan sesuai, seluruh reaksi tersebut dapat diakhiri dengan cepat. Akan
tetapi, hipotensi dan edema laryng akan tetap bertahan dalam beberapa jam meskipun telah
mendapat terapi intensif. Kematian yang dapat terjadi kapanpun biasanya bersifat sekunder terhadap
obstruksi saluran nafas atas yang disebabkan oleh edema laryng.
Tahapan reaksi anafilaktik:
1. Reaksi kulit
1) Pasien mengeluh rasa sakit
2) Pruritus
3) Eritema
4) Urtikaria (pada muka dan dada bagian atas)
5) Nausea dan kemungkinan muntah
6) Konjungtivitis
7) Vasomotior rinitis (inflamasi membran mukosa hidung yang ditandai dengan meningkatnya
sekresi mukus)
8) Ereksi pilomotor
2. Berbagai gangguan gastro intestinal dan genitourinari berhubungan dengan spasme otot halus
1) Kram abdomen yang parah
2) Nausea dan vomit
3) Diare
4) Fecal dan urinary incontinence
3. Gejala respirasi
1) Sesak substernal/ sakit dalam dada
2) Batuk
3) Wheezing (Bronchospasme)
4) Dyspnea
5) Jika kondisi buruk, sianosis membran mukosa dan bantalan kuku
6) Kemungkinan terjadi edema laryng
4. Gangguan sistem kardiovaskular
1) Pucat
2) Pusing
3) Berdebar-debar
4) Takikardi
5) Hipotensi
6) Dysritmia jantung
7) Kehilangan kesadaran
8) Henti jantung
e) Syok Sepsis
Syok yang terjadi akibat infeksi yang berat. Systemic inflamantory resposesyndrome (SIRS)
mempunyai ciri khas hipertemia atau hipotermia, takhikardi (nadi > 90), takhipnea (respirasi >20),
hipotensi. Penanggulangan:
Antibiotik berdasarkan kultur
Indentifikasi berdasrakan fokal infeksi
Monitoring tanda-tanda vital
Cairan kristaloid dan koloid
Kortikosteroid 200-300 mg IV setiap 4-6jam
Obat-obat penunjang: dopamine, dobutaminn, nor epineprin
Anti thrombin III: menghambat proses koagulasi.
f) Syok Destruktif
Syok distributif terjadi karena gangguan pembuluh darah balik (jumlah yang kembali ke
jantung dari seluruh tubuh) yang terjadi karena pneumotorik, efusi pericardium, ventilasi kendali.
Penanggulangannya adalah dengan secepatnya menghilangkan etiologi kemudian konsul ke ahli
yang bersangkutan.
g) Syok Obstruktif
Syok obstruktif yaitu syok yang terjadi karena darah balik dari seluruh rubuh ke jantung
mengalami hambatan karena peningkatan tekanan intratorakal atau intraperikardial.
BAB IV
TETANUS
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini
biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin
merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif yaitu Clostridium tetani. Bakteri ini berspora,
dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, bisa juga pada manusia dan juga pada tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa
tahun, jika menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan daging atau bakteri lain, akan
memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Patogenesis
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Tobin menghalangi transmisi neuromuskular dengan cara menghambat pelepasan acethyl-
choline dari terminal saraf di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin mengganggu
fungsi dari refleks sinaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomic Nervous System (ANS) dengan
gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, takhikardi periodik, aritmia jantung, dan
meningkatnya cathecholamine dalam urin.
Kerja dari tetanospamin hampir sama dengan strychnine, yang mengintervensi fungsi dari
arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi batang otak.
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu).
Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yaitu:
1. Localized tetanus ( Tetanus Lokal )
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Selain itu ada juga pembagian berupa neonatal tetanus. Karekteristik dari tetanus:
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang
• Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dari leher
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus/lockjaw) karena spasme otot masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kaku pundak (opistotonus/nuchal rigidity)
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas, sudut mulut
tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat
• Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan eksistensi,
lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan
dapat terjadi fraktur columna vertebralis (pada anak).
Prognosis
Prognosis tetanus diklasifikasikan dari tingkat keganasannya, dimana:
1. Ringan; bila tidak adanya kejang umum (generalized spasme)
2. Sedang; bila sekali muncul kejang umum
3. Berat; bila kejang umum yang berat sering terjadi
Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek atau pun lebih
panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa inkubasi, makin pendek
masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek.
Prognosa tetanus neonatal jelek bila:
1) Umur bayi kurang dari 7 hari
2) Masa inkubasi 7 hari atau kurang
3) Periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam
4) Dijumpai muskular spasme
Komplikasi
Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai yaitu laringospasme, kekakuan otot-otot
pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan atelektase serta kompresi
fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal
failure.
Penatalaksanaan
a. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
membersihkan luka, irigasi luka, debridemen luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H2O2, dalam hal ini penatalaksanaan terhadap
luka tersebut dilakukan 1-2 jam setelah ATS dan pemberian antibiotik. Sekitar luka disuntik
ATS.
b. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
c. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita.
d. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Obat- obatan
1. Antibiotik
Diberikan parenteral peniciline 1,2 juta unit/hari selama 10 hari secara IM. Sedangkan
tetanus pada anak dapat diberikan peniciline dosis 50.000 unit/kgBB/12 jam secara IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam
dosis terbagi (4 dosis). Bila tersedia peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000
unit/kgBB/24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari Clostridium tetani, bukan
untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotik broad
spektrum dapat dilakukan.
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan dosis 3000-6000
U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG
mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang dapat mencetuskan reaksi alergi
yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari
hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah 20.000 U dari antitoksin
dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian
harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U)
diberikan secara IM pada daerah sebelah luar.
3.Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan
secara IM. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik yang hebat,
muskular dan spasme laryngeal beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.
ATS & TT
Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk itu, hal-hal yang bisa dilakukan untuk
mencegah terjadinya tetanus antara lain:
1. merawat luka dengan baik untuk menghindari terjadinya infeksi
2. memberikan ATS (anti tetanus serum) dalam beberapa jam setelah luka akan memberikan
kekebalan pasif. Umumnya diberikan dalam dosis 1500 U intramuskular setelah dilakukan skin
test
3. untuk luka sedang hingga berat dan kotor dengan riwayat imunisasi tidak jelas diberikan ATS
3000-5000 U secara IV, tetanus imunoglobulin 250-500 U dan toksoid tetanus pada sisi lain
Imunisasi
Cara pencegahan tetanus yang paling baik adalah dengan imunisasi. Imunisasi merupakan
kekebalan aktif yang akan menjadi benteng terhadap kuman-kuman tetanus. Lebih utama bila sejak
bayi diimunisasi dengan suntikan DPT (difteri pertusis tetanus), yang kemudian dilanjutkan dengan
booster (pengulangan).
Vaksin diberikan sebagai satu seri yang terdiri dari lima kali suntik, yaitu pada usia dua
bulan, empat bulan, enam bulan, 15-18 bulan dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun).
Dianjurkan untuk mendapatkan vaksin Td (penguat terhadap difteri dan tetanus) pada usia 11-12
tahun atau paling lambat lima tahun setelah imunisasi DPT terakhir. Setelah itu, direkomendasikan
untuk mendapatkan Td setiap 10 tahun. Tapi, pemberian vaksin harus ditunda, jika:
1. anak sakit lebih dari sekadar panas badan ringan
2. anak memiliki kelainan syaraf atau tidak tidak tumbuh secara normal.
Di Indonesia, imunisasi Tetanus Toxoid (TT) juga rutin diberikan untuk perempuan usia
subur sebagai bentuk dari upaya meminimalkan angka kematian bayi yang disebabkan oleh tetanus.
Bahkan, di antara berkas KUA yang harus dilengkapi oleh pasangan yang hendak menikah, terdapat
surat keterangan selesai TT yang dikeluarkan oleh Puskesmas tempat domisili calon pengantin
wanita. Imunisasi TT untuk ibu hamil diberikan 2 kali, dengan dosis 0,5 cc di injeksikan
intramuskuler/subkutan dalam. Imunisasi TT sebaiknya diberikan sebelum kehamilan 8 bulan untuk
mendapatkan imunisasi TT lengkap. TT1 dapat diberikan sejak di ketahui postif hamil dimana
biasanya di berikan pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan. Sedangkan jarak
pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu.
ATS
Kandungan: Tetanus antitoksin yang diperoleh dari kuda
Indikasi: profilaksis dan pengobatan tetanus
Dosis: untuk profilaksis dewasa dan anak 1500-3000 iu dosis tunggal secara IM atau SC, 1-2 kali
dosis yang digunakan untuk kasus berat dan pengulangan injeksi seharusnya diberikan jika tidak
ada tanda-tanda perbaikan yang diterima dalam 5-6 hari. Injeksi terapeutik pertama 50.000-200.000
iu secara IM atau IV. Dosis berikutnya tergantung pada keparahan penyakit.
Pencegahan/Imunisasi
Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan, artinya dia
mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang
lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah
sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang
pembentukkan antitoksin (karena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat
walaupun dalam konsentrasi yang minimal, dimana dalam hal ini tidak dalam konsentrasi yang
adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan).
Ada beberapa kejadian dimana dijumpai imunitas alami. Hal ini diketahui sejak C. tetani
dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme yang berada didalam lumen usus melepaskan
imunogenic quantity dari toksin. Dengan dijumpai imunitas alami ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada beberapa negara dimana
pemberian imunisasi tidak lengkap atau tidak terlaksana dengan baik. Sampai pada saat ini
pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan
terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia
2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif (DPT atau DT).
Imunisasi atau vaksinasi adalah prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas, memberikan
imunitas protektif dengan menginduksi respons memori terhadap patogen tertentu/toksin dengan
menggunakan preparat antigen nonvirulen/nontoksik. Respon imun terhadap penyakit infeksi pada
tubuh manusia bisa dilihat dari diagram berikut :
Respon Imun Humoral Spesifik
Peran penting dalam respon imun humoral spesifik dipegang oleh limfosit B. Jika mengenali
suatu zat yang diabsorpsi atau yang diberikan parenteral sebagai zat asing (antigen), maka limfosit
akan memberi sinyal kepada sel untuk membentuk zat yang melawan antigen tersebut yaitu
antibodi.
Antigen merupakan zat asing bagi organisme, yang menimbulkan proses perlawanan
imunologik dalam darah dan jaringan. Sedangkan antibodi terbentuk setelah antigen berkontak
dengan sel yang mempunyai kemampuan imunologi. Antibodi dibentuk oleh sel plasma yang
berasal dari limfosit B yang mengalami proliferasi dan diferensiasi, dan terbentuk setelah kontak
dengan antigen. Jenis-jenis antibodi yaitu IgG, IgM, IgA, IgD, dan IgE.
Respon imun seluler spesifik
Sel limfosit T bertanggung jawab atas mekanisme pertahanan sel yang spesifik. Sel ini
merupakan populasi limfosit kedua yang juga berasal dari sumsum tulang dengan memperoleh
kemampuan imunologinya dalam timus, dan selalu bergerak antara limpa, nodus limfe, jaringan,
serta sistem pembuluh.
Respon imun humoral nonspesifik
Pada sistem ini, berperan sejumlah faktor plasma terutama sistem komplemen yang terdiri
atas sembilan komponen serum yang dapat diaktifkan. Selain itu, berperan juga lisozim dimana zat
ini akan dibebaskan saat sel yang difagositosis hancur. Lisozim dapat menguraikan secara hidrolitik
dinding bakteri gram positif (antara lain stafilokokus dan streptokokus).
Respon Imun Seluler nonspesifik
Sel yang berperan adalah makrofag, merupakan sel darah yang mempunyai aktivitas
fagositik. Makrofag yang terfiksasi ditemukan di luar pembuluh darah, dalam jaringan ikat, hati,
dan limpa.
Imunisasi Aktif
Pada imunisasi aktif, antigen yang ada dalam vaksin akan menyebabkan pembentukan
antibodi, sehingga organisme bersangkutan mempunyai imunitas spesifik terhadap antigen ini.
Pertahanan yang didapat dengan cara ini akan tetap ada beberapa tahun bahkan dapat sampai
seumur hidup. Syarat untuk tercapainya imunisasi aktif yang bermanfaat adalah bahwa vaksin
tesebut mengandung cukup antigen, sebaliknya kondisi umum orang yang menerima vaksin baik.
Imunisasi dasar mempunyai fungsi membangun pertahanan imun yang cukup. Untuk ini seringkali
dibutuhkan beberapa kali vaksinasi dalam jarak 4-8 minggu.
Menurut jenis antigen yang digunakan, jenis vaksin dibedakan atas:
Vaksin dengan apatogen atau avirulen yang masih dapat berkembang biak (vaksin hidup),
terdiri dari : vaksin demam kuning, campak, polititis, poliomielitis, rubella, hepatitis A-B,
varisela.
Vaksin dengan kuman (bakteri) yang tak mampu berkembang biak, artinya kuman yang
telah dimatikan atau (pada virus) yang sudah diinaktifkan (vaksin mati), terdiri dari : vaksin
poliomielitis, meningoensefalitis, influenza, rabies, pertusis, tifus, dan kolera.
Vaksin toksoid dengan toksin yang sudah dilemahkan, terdiri dari : vaksin difteri dan
tetanus.
Vaksinasi tetanus
Tetanus ditimbulkan oleh bakteri Clostridium tetani, suatu bakteri anaerob yang membentuk
spora. Penyakit ini ditandai dengan kejang tonik otot skelet. Vaksin ini diperlakukan dengan
formaldehida dan mengandung toksin tetanus (tetanus-formol-toksoid) yang terikat pada
alumunium hidroksida. Untuk imunisasi dasar disuntikkan 2x0.5 ml intramuskular dengan jarak 4-8
minggu. Suntikan ketiga setelah 6-12 bulan. Vaksinasi penyegar dilakukan selang waktu 10 tahun,
akan tetapi pada luka harus dilakukan 5 tahun setelah vaksinasi terakhir. Reaksi akibat vaksinasi
jarang terjadi.
Imunisasi Pasif
Berbeda dengan imunisasi aktif yang dengan pemberian antigen produksi antibodi tubuh
sendiri dirangsang, maka pada imunisasi pasif, antibodi yang sudah terbentuk dalam tubuh hewan
atau manusia akan disuntikkan pada pasien. Dalam imunoterapi, yang disebut serum adalah preparat
antibodi yang diperoleh dari hewan yang diimunisasi atau yang berasal dari darah manusia atau
disebut preparat imunoglobulin. Keuntungannya ialah pemasukan yang segera, sedangkan
kerugiannya pertahanan hanya berlangsung singkat, pada serum hewan hanya 8-14 hari, pada
imunoglobulin hanya beberapa minggu. Tingkat komplikasi lebih tinggi dibandingkan imunisasi
aktif. Imunisasi pasif hanya diindikasikan jika ada kemungkinan terjadinya infeksi dan waktu
inkubasi untuk produksi antibodi tubuh sendiri tidak mencukupi. Jika mungkin, maka imunisasi
pasif dikombinasikan dengan imunisasi aktif (yang dinamakan vaksinasi serempak) yang biasanya
diindikasikan untuk bahaya infeksi tetanus atau rabies.
Jenis imunisasi pasif dapat diperoleh dari :
1. Imunisasi pasif alamiah
Imunitas ini diperoleh secara maternal melaui plasenta (IgG) dan kolostrum (ASI).
2. Imunisasi pasif buatan
a. Serum hewan
Untuk mendapatkan serum, antigen disuntikkan kepada kuda, sapi, atau hewan percobaan
lain dengan lama tertentu sampai didapat titer antibodi yang tinggi dan serum yang diperoleh adalah
serum asli. Serum ini banyak mengandung protein asing, manusia akan menerima protein hewan
atau antibodi hewan yang diberikan secara parenteral sebagai antigen. Karena itu, saat ini serum asli
jarang digunakan lagi, karena bahaya reaksi yang timbul terlalu besar (demam, oedema,
pembengkakan pada nodus limfatikus, syok anafilaktik). Dengan memisahkan protein yang
menyertainya, dan pemutusan rantai fermentatif globulin, akan didapat serum fermo (serum yang
dimurnikan secara fermentatif). Serum ini akan sangat mengurangi bahaya sensibilisasi tetapi tetap
spesifik. Karena itu uji reaksi alergi atau anafilaktik tetap harus dilakukan sebelum pengunaan.
Serum hewan yang saat ini ada dalam perdagangan umumnya berasal dari kuda.
b. Imunoglobulin manusia
Sejak beberapa tahun ini makin banyak digunakan fraksi dari darah manusia yang
mengandung antibodi, menggantikan serum hewan. Bentuk sediaan yang ada dalam perdagangan:
Preparat imunoglobulin nonspesifik (polivalen)
Preparat ini merupakan campuran berbagai antibodi terutama IgG yang bahan dasarnya
adalah plasma campuran dari paling sedikit 1000 donor darah. Preparat ini terdiri dari human
imunoglobulin normal untuk penggunaan IM dan human imunoglobulin untuk penggunaan IV.
Waktu paruh imunoglobulin untuk penggunaan IM adalah sekitar 3 minggu, titer maksimum akan
dicapai setelah 3-5 hari. Jumlah yang dapat disuntikkan terbatas. Indikasi bagi preparat ini adalah
untuk profilaksis (dan mungkin juga untuk percobaan terapi) penyakit virus, terutama virus hepatitis
A.
Preparat dagang :
Untuk penggunaan IM : Beriglobin, Cutterglobin, Hemogamma, Kabiglobin
Untuk penggunaan IV : Endobulin, Gammagard, Gamma-Venin, Gammonativ, Intraglobin,
Polyglobin, Rhodiglobin, Sandoglobulin, Venimmun.
Preparat imunoglobulin spesifik
Preparat ini didapat dari jumlah terbatas plasma pilihan dengan titer antibodi yang tinggi
terhadap penyebab tertentu, yang diperoleh dari donor yang sehat atau donor yang diimunisasi
secara aktif, digunakan untuk profilaksis atau terapi penyakit seperti :
Meningoensefalitis (FESME-Bulin)
Hepatitis B (Aunativ, Gammaprotect, Hepaglobulin, Hepatect)
Pertussis (Pertussis Imunoglobulin, Tussoglobin)
Tetanus (Hyper-Tect, Teragam, Tetaglobulin, Tetanobulin)
Rabies (Berirab, Hyperab, Rabiesglobulin Merieux)
Varisella (Gammaprotect varicella, Varicellon, Varitect)
BAB V
INJEKSI INTRAMUSKULAR
Definisi
Injeksi adalah tindakan memasukkan cairan ke dalam bagian tubuh seperti jaringan
subkutan, percabangan vaskular, ataupun organ (Dorlan, 1998). Injeksi dapat melalui intra-arteri (ke
dalam arteri), intra-artikular (ke dalam sendi), intradermal (ke dalam kulit), intramuskular (ke dalam
otot), intratekal (biasanya ke dalam ruang subaraknoid meningen), intravena (ke dalam vena),
subkutan (di bawah kulit), atau ke dalam struktur berongga atau kavum. Injeksi mulai menjadi
sering dilakukan oleh praktisi medis sejak ditemukannya Penicillin pada dekade 1940-an. Sampai
saat ini banyak obat-obatan yang telah tersedia dalam bentuk injeksi, baik diberikan secara
intramuskular, intravena, subkutan dan lain-lain. Obat-obatan tersebut diberikan secara parenteral
karena biasanya komponen obat tersebut akan diserap oleh tubuh dengan jauh lebih cepat daripada
pemberian per oral karena pemberian peroral proses penyerapannya akan terganggu oleh makanan.
Sedangkan injeksi intramuskular Menurut Harlow and Lane (1988), injeksi intramuskular adalah
salah satu rute inokulasi yang melepaskan antigen secara perlahan ke dalam tubuh. Inokulum
didepositkan langsung ke dalam jaringan otot, dan antigen masuk ke dalam ruang-ruang interstitial.
Tindakan menyuntikkan obat ke dalam otot yang terperfusi baik sehingga mampu memberikan
efek sistemik dalam waktu singkat dan biasanya mampu menyerap obat dalam dosis besar.
Sedangkan menurut Elkin, et.al., (1996) injeksi intramuskular adalah injeksi yang diarahkan secara
langsung pada bagian tengah otot yang spesifik sehingga pembuluh darah yang mensupply otot
tersebut akan mendistribusikan cairan yang di injeksi melalui sistem kardiovaskular.
Indikasi
Indikasi untuk injeksi intramuskular adalah pasien yang tidak kooperatif dan obat tidak
dapat diberikan secara intra oral. Rute secara intramuskular digunakan apabila medikamen
mengiritasi jaringan subkutan atau untuk mendapatkan aksi obat yang lebih lama seperti pada
penyuntikan aquaeous procaine benzylpenicillin. Kontraindikasi untuk injeksi intramuskular adalah
pada daerah yang inflamasi, oedem, teriritasi, tahi lalat, tanda lahir, jaringan parut, kelainan
koagulasi, penyakit vaskuler perifer, syok, pasca terapi trombolitik, dan acute myocardial
infarction.
Komplikasi yang dapat terjadi pada injeksi intramuskular :
- Injeksi tidak disengaja yang mengiritasi dan konsentrasi padat pada subkutan atau pada
daerah yang mengabsorbsi penuh menyebabkan abses steril.
- Tidak merotasi lokasi pada pasien dengan injeksi berulang mengakibatkan obat yang tidak
terabsorbsi. Deposit tersebut efek farmakologi yang diinginkan sehingga menyebabkan
abses atau fibrosis jaringan
Lokasi Penyuntikan Intramuskular
Lokasi penyuntikan harus dipertimbangkan dengan mengingat kondisi fisik pasien, usia,
derajat kekooperatifan dan jumlah obat yang akan diberikan. Terdapat lima lokasi penyuntikan
intramuskular yang sudah terbukti bahwa obatnya akan diabsorbsi dengan baik oleh tubuh :
1. Pada daerah lengan atas ( Deltoid)
- Mudah dan dapat dilakukan pada berbagai posisi, Namun kekurangannya adalah area
penyuntikan kecil, jumlah obat yang ideal (antara 0,5 – 1 mm).
- Jarum disuntikan kurang lebih 2,5 cm tepat dibawah tonjolan akromion.
- Organ penting yang dapat terkena adalah arteri Brachialis atau nervus radialis. Hal ini
terjadi apabila kita menyuntik terlalu jauh kebawah.
- Minta pasien untuk meletakkan tangan di pinggul seperti gaya seorang pragawati,
dengan demikian tonus ototnya akan berada pada kondisi yang mudah disuntik dan dapat
mengurangi nyeri.
2. Pada daerah Dorso Gluteal (M. Gluteus Lateralis)
a.
b.
c.
d.
- Paling mudah dilakukan, namun angka terjadinya komplikasi paling tinggi
- Hati-hati terhadap n.sciatus dan arteri glutea superior.
- Volume suntikan ideal adalah antara 2-4 ml.
- Minta pasien berbaring ke samping dengan lutut sedikit fleksi.
Indikasi : dosis 1 – 3 cc, (≤ 5 cc), 20 – 23 gauge, 1 – ½ inch jarum, sudut 90⁰
KI : anak < 2 tahun atau os berbadan kurus
Langkah:
1. Os berbaring miring atau telentang, kemudian menekuk lutut dr sisi injeksi atau memutar
ke arah dalam jari kaki untuk merotasi paha.
2. Temukan spina iliaka posterior garis penghubung ke trochanter terbesar
atau 5 – 7,6 cm di bawah puncak iliaka
Area: di atas dari titik tengah garis khayal tersebut
3. Pada daerah Ventro Gluteal (M. Gluteus Medius)
a.
b.
c.
Indikasi : org dewasa dan anak < 7 mo
dosis obat 1 – 3 cc, 20 – 23 gauge, 1 – ½ inch jarum
Langkah :
1. Posisikan os telentang lateral
2. Letakan tangan kanan anda pada pinggul kiri pasien pada Trochanter Mayor atau
sebaliknya posisikan jari telunjuk sehingga menyentuh SIAS. Kemudian gerakkan jari
tengah anda sejauh mungkin menjauhi jari telunjuk sepanjang crista iliaca. Maka jari
telunjuk dan jari tengah anda akan membentuk huruf “V”. Suntikan jarum ditengah-
tengah huruf V, maka jarum akan menembus M.Gluteus Medius.
3. Volume suntikan ideal antara 1 – 4 ml
4. Pada daerah paha bagian luar ( Vastus Lateralis)
a.
b.
c.
- Pada orang dewasa M. Vastus Lateralis terletak pada sepertiga tengah paha
bagian luar.
- Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit diatasnya perlu ditarik atau
sedikit dicubit untuk membantu jarum mencapai kedalaman yang tepat.
Indikasi : bayi dan anak < 7 mo
dosis obat 1 – 4 ml (1 – 3 ml u/ bayi)
Langkah:
1. Posisikan os telentang atau duduk
2. Temukan trochanter terbesar dan kondilus femur lateral. Area suntik : 1/3 tengah dan
aspek antero lateral paha
3. Volume ideal antara 1 – 5 ml (untuk bayi 1 - 3 ml).
5. Pada daerah bagian luar (Rectus Femoris)
- Pada orang dewasa M. Rectus Femoris terletak pada 1/3 tengah paha bagian depan.
- Pada bayi atau orang tua, kadang-kadang kulit diatasnya perlu ditarik atau sedikit dicubit
untuk membantu jarum mencapai kedalaman yang tepat.
- Volume ideal antara 1 – 5 mm (untuk bayi 1 - 3 mm)
- Lokasi ini jarang digunakan, biasanya untuk melakukan autoinjection
Prosedur Desinfeksi dengan Alkohol
Sebelum dilakukan injeksi secara intramuskular dilakukan desinfeksi kulit di lokasi sekitar
injeksi. Pada tahun 1969, Koivisto dan Felig menemukan bahwa tehnik desinfeksi dengan alkohol
tidak selalu mutlak diperlukan dan ketika prosedur tersebut ditiadakan angka infeksi pasca injeksi
yang terjadi tidak lebih banyak daripada yang dilakukan disinfeksi dengan alkohol sebelumnya.
Prosedur desinfeksi dengan alkohol dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Ulaskan kapas dengan alkohol ke kulit dengan gerakan berlawanan arah jarum jam selama 30
detik
2) Tunggu 30 detik lagi sampai kulit mengering jika injeksi dilakukan sebelum kulit kering masih
ada kemungkinan bakteri masih belum mati dan malah bersama-sama dengan alkohol bisa saja
ikut menginokulasi lokasi penyuntikan sehingga meningkatkan resiko infeksi penyuntikan.
Prosedur Injeksi Intramuskular
Prosedur injeksi intramuskular menurut International Maritime Organization (2001) adalah
sebagai berikut:
a) Siapkan disposable syringe; jarum disposable intramuskular, 1 mm, 5 cm; medikamen; spons
alkohol
b) Lepaskan penutup jarum tanpa menyentuh jarum. Keluarkan udara yang ada pada syringe.
Keluarkan sebagian medikamen dari syringe sampai jumlahnya tepat dengan dosis yang akan
diberikan.
c) Siapkan daerah injeksi. Daerah yang tepat adalah pada kuadran atas luar bokong. Sering di otot
gluteal pada dewasa sehat. Otot deltoid dapat pula digunakan untuk injeksi dengan volume kecil
≤ 2 cc. Ganti lokasi pada injeksi berulang. Pada bayi dan anak-anak lokasi otot yang sering untuk
IM adalah otot vastus lateralis karena pertumbuhannya baik dan tidak mengandung pembuluh
darah dan saraf besar. Otot rectus femoris dapat pula untuk IM namun KI pada dewasa.
d) Ketuk perlahan lokasi IM untuk menstimulasi ujung saraf tepi dan mengurangi sakit. Bersihkan
lokasi dengan spon beralkohol. Gerakkan sirkular. Biarkan hingga kering.
e) Gunakan ibu jari dan telunjuk untuk mengencangkan kulit di lokasi sekitar daerah injeksi.
f) Masukkan jarum 90º terhadap permukaan kulit sehingga menembus otot yang dicari. Lakukan
aspirasi, bila hasilnya negatif maka dilanjutkan. Bila positif, cabut jarum ulangi prosedur.
g) Masukkan obat dengan perlahan (1 mL per 10 detik) sampai dosis yang diinginkan tercapai.
h) Periksa lokasi suntikan untuk memastikan bahwa tidak ada perdarahan, pembengkakan, atau
reaksi-reaksi lainnya.
i) Tutup lokasi dengan spon beralkohol dengan tekanan ringan.
Teknik Injeksi Intramuskular
Sudut masuk jarum berperan penting dalam derajat nyeri pasien saat injeksi. Injeksi
intramuskular sebaiknya dilakukan dengan memasukkan jarum tegak lurus dengan kulit (90°) untuk
memastikan jarumnya mengenai otot yang dimaksud. Penelitian oleh Katsma dan Smith (1997)
menemukan bahwa perawat-perawat di Inggris tidak selalu menyuntikkan jarum 90° pada injeksi
intra muskular, dan rupanya hal ini berpengaruh pada penilaian derajat nyeri yang dirasakan pasien.
Tehknik injeksi yang dilakukan hampir seluruhnya dengan cara mengencangkan kulit dilokasi
sekitar injeksi. Hal ini bertujuan agar:
1) Memudahkan penusukkan jarum. Jarum akan lebih mudah menusuk kulit dengan sudut 90°
apabila kulit yang ditusuk berada dalam keadaan yang teregang.
2) Dengan teregangnya kulit, maka secara mekanis akan membantu mengurangi sensitifitas ujung-
ujung serat syaraf di permukaan kulit.
Tanda-tanda yang perlu diperhatikan setelah melakukan injeksi intramuskular :
Perhatikan tanda-tanda setelah melakukan injeksi intramuskular apakah pasien memiliki tanda
kemerah-merahan yang terlokalisir, pembengkakan, perdarahan, atau inflamasi pada lokasi
injeksi. Observasi pasien minimal 15 menit setelah injeksi untuk mengetahui tanda-tanda dari
reaksi obat.
Referensi
Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205-1207.
Behrman.E.Richard : Tetanus, chapter 193, edition 15th , Nelson, W.B.Saunders
Company, 1996, 815 -817.
Dorlan. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 25. EGC : Jakarta
Elkin, M.K., Perry A.G., and Potter, P.A. 1996. Nursing Interventions and Clinical Skill.
Missouri : Mosby-year Book.Inc
Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds. Nelson
Textbook of pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders Company, 1987,617 - 620.
Glickman J, Scott K.J, Canby R.C: Infectious Disese, Phantom notes medicine ,ed. 6 th, Info
Acces and Distribution Ltd, Singapore,1995, 53-55.
Gilroy, John MD, et al :Tetanus in : Basic Neurology, ed.1.982, 229-230
Harlow, E.D.; Lane, D. 1988. Antibodies a Laboratory Manual. Coldspring : New york.
Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th, McGrawHill.
Inc,New York, 1994, .577-579.
Hendarwanto: llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1987, 49- 51.s
Kozier B, et.al., 1993. Technique in Clinical Nursing. Canada : Addison-Wesley Nursing.