Download - Referat OMAku
SMF/Lab Ilmu Kesehatan THT Tutorial Klinik/ReferatFakultas Kedokteran Universitas MulawarmanRSUD A.W.Sjahranie Samarinda
OTITIS MEDIA AKUT
Oleh :
Arum Sekar Negari 05.48838.00239.09
Fitrie Widyastuti 0708015016
Pembimbing :
dr. Rahmawati, Sp. THT-KL
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Ilmu Kesehatan THT
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ot i t i s med i a me rupakan pe radan gan s eb ag i an a t a u
s e l u ru h mukosa t e l i ng a t engah , t uba eustachius, antrum mastoid,
dan sel-sel mastoid. otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan
non-supuratif, dimana masing-masing memiliki bentuk akut dan kronis.
Otitis media akut termasuk kedalam jenis otitis media supuratif. Selain itu,
terdapat juga jenis otitis media spesifik, yaitu otitis media tuberkulosa, otitis
media sifilitik, dan otitismedia adhesive (Djaafar, 2007).
Otitis media akut adalah peradangan pada telinga tengah yang bersifat akut
atau tiba-tiba. Telinga tengah adalah organ yang memilki penghalang yang
biasanya dalam keadaan steril. Bila terdapat infeksi bakteri pada nasofaring dan
faring, secara alamiah terdapat mekanisme pencegahan penjalaran bakteri
memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus yang dimiliki
oleh tuba eustachii. Otitis media akut (OMA) ini terjadi akibat tidak berfungsinya
sistem pelindung tadi. Sumbatan atau peradangan pada tuba eustachii merupakan
faktor utama terjadinya otitis media. Pada anak-anak, semakin seringnya terserang
infeksi saluran pernapasan atas, kemungkinan terjadinya otitis media akut juga
semakin besar. Dan pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba
Eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal (Djaafar, 2007).
Prevalensi terjadinya otitis media di seluruh dunia untuk usia 1 tahun
sekitar 62%, sedangkan anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83%. Di Amerika
Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal satu episode otitis media
sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali
atau lebih. Di Inggris setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode
sebelum usia sepuluh tahun (Abidin, 2009). Insidens tertinggi kasus OMA yang
dilaporkan di Amerika Serikat adalah pada umur 6 sampai dengan 20 bulan
(Kerschner, 2007).
2
Di Indonesia, dari penelitian yang dilakukan di Poli THT sub-bagian
Otologi THT RSCM dan Poli THT RSAB Harapan Kita pada Agustus 2004
sampai dengan Februari 2005, terhadap 43 orang pasien yang didiagnosis dengan
OMA, sebanyak 30,2% dijumpai pada anak-anak yang berumur kurang dari 2
tahun. Anak-anak yang berumur 2 sampai dengan 5 tahun adalah sebanyak 23,3%.
Golongan umur 5 sampai dengan 12 tahun adalah paling tinggi yaitu 32,6%.
Anak-anak yang berumur 12 sampai dengan 18 tahun adalah 4,7% dan bagi yang
berumur 18 tahun ke atas adalah 9,2% (Titisari, 2005).
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah:
1. Untuk menambah pengetahuan tentang otitis media akut sebagai salah satu
penyakit dibidang ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorok, sehingga dapat
melakukan diagnosis dini untuk menetukan terapi yang adekuat bagi
pasien.
2. Sebagai salah satu syarat akademis stase pada bagian ilmu Telinga,
Hidung dan Tenggorok.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Telinga Tengah
Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis
temporalis yang dilapisi oleh membrana mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang
pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani (gendang
telinga) ke perilympha telinga dalam.Kavum timpani berbentuk celah sempit yang
miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang
membran timpani. Di depan, ruang ini berhubungan dengan nasofaring melalui
tuba auditiva dan di belakang dengan antrum mastoid (Snell, 2006)
Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dindingposterior,
dinding lateral, dan dinding medial, yaitu:
- Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang, yang disebut tegmen timpani,
yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis. Lempeng
ini memisahkan kavum timpani dan meningen dan lobus temporalis
otak di dalam fosa kranii media.
- Lantai dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang, yang mungkin
tidak lengkap dan mungkin sebagian diganti oleh jaringan fibrosa.
Lempeng ini memisahkan kavum timpani dari bulbus superior V.
Jugularis interna.
- Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang
yang memisahkan kavumtimpani dari A. Carotis interna.
- Pada bagian atas dinding anterior terdapat muara dari dua buah
saluran. Saluran yang lebih besar dan terletak lebih bawah menuju tuba
auditiva, dan yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam
saluran untuk m. tensor timpani. Septum tulang tipis, yang
memisahkan saluran-saluran ini diperpanjang ke belakang pada
dindingmedial, yang akan membentuk tonjolan mirip selat.
- Di bagian atas dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang
tidak beraturan, yaitu auditus antrum. Di bawah ini terdapat
4
penonjolan yang berbentuk kerucut, sempit,kecil, disebut pyramis.
Dari puncak pyramis ini keluar tendon m. stapedius.
- Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membran timpani (Boeis,
1997, Ballanttyne, 2002, Jide 2008 dan Snell 2006)
A. Membran Timpani
Membran timpani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu
mutiara. Membran ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral.
Permukaannya konkaf ke lateral. Pada dasar cekungannya terdapat lekukan kecil,
yaitu umbo, yang terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena
cahaya otoskop, bagian cekung ini menghasilkan "reflekscahaya", yang memancar
ke anterior dan inferior dari umbo (Ballanttyne, 2002, Jide 2008 dan Snell 2006).
Membran timpani berbentuk bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm.
Pinggirnya tebal dan melekat di dalam alur pada tulang.Alur itu, yaitu sulkus
timpanikus, di bagian atasnya berbentuk incisura.Dari sisi-sisi incisura ini berjalan
dua plika, yaitu plika mallearis anterior dan posterior, yang menuju ke processus
lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada membran timpani yang dibatasi oleh
plika-plika tersebut lemas dan disebut pars flaccida. Bagian lainnya tegang
disebut pars tensa. Manubrium mallei dilekatkan di bawah pada permukaan dalam
membran timpani oleh membran mukosa.Membran timpani sangat peka terhadap
nyeri dan permukaan luarnya dipersarafi oleh n.aurikulotemporalis dan ramus
aurikularis N. Vagus (Snell,2006)
Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian
terbesar dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium,
yang disebabkan oleh lengkung pertama koklea yang ada dibawahnya.Di atas dan
belakang promontorium terdapat fenestra vestibuli yang berbentuk lonjong dan
ditutupi oleh basis stapedis.Pada sisi medial fenestra terdapat perilympha skala
vestibuli telinga dalam.Di bawah ujung posterior promontorium terdapat fenestra
koklea, yang berbentuk bulat dan ditutupi oleh membran timpani sekunder. Pada
sisi medial dari fenestra ini terdapat perilympha ujung buntu skala timpani
(Snell,2006).
Tonjolan tulang berkembang dari dinding anterior yang meluas
kebelakang pada dinding medial di atas promontorium dan di atas fenestra
5
vestibuli.Tonjolan ini menyokong m. tensor timpani. Ujung posteriornya
melengkung ke atas dan membentuk takik, disebut processus cochleariformis.Di
sekeliling takik ini tendo m. tensor timpani membelok ke lateral untuk sampai ke
tempat insersionya yaitu manubrium mallei timpani (Boeis, 1997, Jide 2008 dan
Snell 2006)
Sebuah rigi bulat berjalan secara horizontal ke belakang, di atas
promontorium dan fenestra vestibuli dan dikenal sebagai prominentia
canalisnerviFacialis. Sesampainya di dinding posterior, prominentia ini
melengkungke bawah di belakang pyramis (Snell, 2006)
Gambar 1. Membran Timpani
B. Tulang-Tulang Pendengaran
Di bagian dalam rongga ini terdapat 3 jenis tulang pendengaran yaitu
tulang maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang
kompak tanpa rongga sumsum tulang (Snell, 2006).
Maleus adalah tulang pendengaran terbesar, dan terdiri atas caput, collum,
processus longum atau manubrium, sebuah processus anterior danprocessus
lateralis.Caput mallei berbentuk bulat dan bersendi di posterior dengan
incus.Collum mallei adalah bagian sempit di bawah caput.Manubrium mallei
berjalan ke bawah dan belakang dan melekat dengan erat pada permukaan medial
membran timpani.Manubrium ini dapat dilihat melalui membran timpani pada
pemeriksaan dengan otoskop.Processus anterior adalah tonjolan tulang kecil yang
6
dihubungkan dengan dindinganterior kavum timpani oleh sebuah
ligamen.Processus lateralis menonjol kelateral dan melekat pada plica mallearis
anterior dan posterior membran timpani ( Ballantyne, 2002 dan Snell, 2006)
Incus mempunyai corpus yang besar dan dua crus.Corpus incudis
berbentuk bulat dan bersendi di anterior dengan caput mallei.Crus longumberjalan
ke bawah di belakang dan sejajar dengan manubrium mallei. Ujung bawahnya
melengkung ke medial dan bersendi dengan caput stapedis.Bayangannya pada
membrana timpani kadang-kadang dapat dilihat pada pemeriksaan dengan
otoskop.Crus brevismenonjol ke belakang dan dilekatkan pada dinding posterior
kavum timpani oleh sebuah ligament (Snell, 2006 dan Anil, 2007)
Stapes mempunyai caput, collum, dua lengan, dan sebuah basis.Caput
stapedis kecil dan bersendi dengan crus longum incudis.Collum berukuran sempit
dan merupakan tempat insersio m. stapedius.Kedua lengan berjalan divergen dari
collum dan melekat pada basis yang lonjong.Pinggir basis dilekatkan pada pinggir
fenestra vestibuli oleh sebuah cincin fibrosa, yang disebut ligamentum annulare
( Ballantyne, 2002 dan Snell, 2006).
Gambar 2.Tulang-Tulang Pendengaran.
C. Otot-Otot Telinga Tengah
Ada 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran.m.
tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonnya berjalan
7
mula-mula ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang
kecil untuk melintasi rongga timpani dari dinding medial ke lateral
untuk berinsersi ke dalam gagang maleus. Tendo m. stapedius berjalan dari
tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding posterior dan berjalan anterior
untuk berinsersi ke dalam leher stapes. Otot-otot ini berfungsi protektif dengan
cara meredam getaran-getaran berfrekuensi tinggi (Yusuf, 2000 dan Snell, 2006).
D. Tuba Eustachius
Tuba Eustachius merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani
dengan nasofaring. Panjang tuba eustachius adalah 37 mm. Tuba Eustachius
terbentang dari dinding anterior kavum timpani kebawah, depan, dan medial
sampai ke nasofaring. Sepertiga bagian posterior-nya adalah tulang dan dua
pertiga bagian anteriornya adalah kartilago.Tuba berhubungan dengan nasofaring
dengan berjalan melalui pinggir atas m. constrictor pharynges superior (Snell,
2006)
Anatomi tuba Eeustachius dibagi menjadi dua bagian yaitu: (Snell, 2006)
1. Pars osseus
2. Pars kartilagines
Pertemuan antara pars osseus dan pars kartilagines merupakan daerah yang
paling sempit yang disebut isthmus. pars osseus bermuara pada kavum timpani
pada dinding anterior, bagian ini selalu terbuka. Pars osseus merupakan 1/3
panjang dari tuba Eustachius.
Pars kartilagines merupakan 2/3 panjang tuba Eustachius. Berbentuk
seperti terompet. Bagian ini bermuara nasofaring dan selalu dalam keadaan
tertutup. Baru terbuka apabila ada kontraksi muskulus levator veli palatini (pada
saat menguap atau menelan).
Perbedaan tuba Eustachius pada anak dan dewasa yang menyebabkan
meningkatnya insiden otitis media pada anak-anak.Panjang tuba pada anak
setengah panjang tuba dewasa, sehingga sekret nasofaring lebih mudah refluks ke
dalam telinga tengah melalui tuba yang pendek. Arah tuba bervariasi pada anak,
sudut antara tuba dengan bidang horizontal adalah 10°. Sedangkan pada dewasa
45°. Sudut antara tensor veli palatini dengan kartilago bervariasi pada anak-anak
tetapi relatif stabil pada dewasa. Perbedaan ini dapat membantu menjelaskan
8
pembukaan lumen tuba (kontraksi tensor veli palatini) yang tidak efisien pada
anak-anak. Masa kartilago bertambah dari bayi sampai dewasa. Densitas elastin
pada kartilago lebih sedikit pada bayi tetapi densitas kartilago lebih besar. Pada
anak-anak banyak lipatan mukosa di lumen tuba Eustachius, hal ini dapat
menjelaskan peningkatan compliance tuba pada anak-anak (Rosenfeld, 1999 dan
Bluestone, 1995)
Gambar 3. Perbedaan tuba Eustachius pada anak dan dewasa
Fungsi tuba Eustachius adalah:
Menjaga tekanan di dalam kavum timpani sama dengan tekanan
dunia luar (1 atm)
Menjaga ventilasi udara di dalam kavum timpani (suplai 02)
Drainase sekret dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring
ke kavum timpani
E. Antrum Mastoid
Antrum mastoid terletak di belakang kavum timpani di dalam pars petrosa
ossis temporalis, dan berhubungan dengan telinga tengah melaluiauditus ad
antrum, diameter auditus ad antrum lebih kurang 1 cm (Hotimah, 2011)
Dinding anterior berhubungan dengan telinga tengah dan berisi auditus ad
antrum, dinding posterior memisahkan antrum dari sinus sigmoideus dan
cerebellum. Dinding lateral tebalnya 1,5 cm dan membentuk dasar trigonum
suprameatus. Dinding medial berhubungan dengan kanalis semisirkularis
9
posterior.Dinding superior merupakan lempeng tipis tulang, yaitu tegmen timpani,
yang berhubungan dengan meningen pada fosa kranii media dan lobus temporalis
cerebri. Dinding inferior berlubang-lubang, menghubungkan antrum dengan
cellulae mastoideae (Hotimah, 2011).
Gambar 4. Anatomi Telinga
2.2 Definisi dan Klasifikasi Otitis Media Akut
Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain
itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis
media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar,
2007).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala
dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,
gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah
10
(Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah
ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas
yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani,
dan otore (Kerschner, 2007).
2.3 Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain
tergolong sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme
penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%)
dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-
patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic),
Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan
organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang
menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai
pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga
sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau
bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai
pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau
adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus,
rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi
tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri,
menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme
farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay
(ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang
menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).
11
2.4. Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor
genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu
formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas
kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran
pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain
(Kerschner, 2007).
Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens
OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi
tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau
status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada
anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras
Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang
lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status
sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk,
fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan
terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat
membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya
asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-
anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain.
Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat
penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya
abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba
Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis
media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas,
baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).
2.5. Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa
nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa
12
kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh
tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar
tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka
sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar,
2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya
suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan
orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging,
serta membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut
Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:
Table 1 : Skor OMA
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0
hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau
sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA ringan
bila nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39°C oral atau 39,5°C
rektal (Titisari, 2005).
2.6. Fisiologi, Patologi dan Patogenesis
2.6.1. Tuba Eustachius
13
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada
otitis media. Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga
telinga tengah dengan nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua
pertiga ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru
terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat
mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi
muskulus tensor veli palatini apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah
dan tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius
mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret.
Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah
selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga
tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari
nasofaring ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil
sekret cairan telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).
2.6.2. Patogenesis OMA
Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi
saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan
edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba
Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan
tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama
akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke
dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah
bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang
berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba,
akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke
dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan
otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga
tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret ditelinga
tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari
infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi
yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus
14
respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga
menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan
pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat
terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat
bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak
akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi
(Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses
inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret
di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media
dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga
mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor,
dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).
2.6.3. Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA
Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan
orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar
dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi
saluran pernapasan atas lebih mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang
tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah umur 9 bulan adalah
17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks dari
nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya
otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah
berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga
jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan
tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di
telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian
atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih
besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara
tuba Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat menggangguterbukanya
tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian
menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).
15
2.7. Stadium OMA
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi
tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi,
stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).
Gambar 5. Membran Timpani Normal
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh
retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam
telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi
dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.
Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain
retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan,
atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat
dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar,
2007; Dhingra, 2007).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani,
yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan
16
adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi
tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik.
Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi
kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin
masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses
hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum
timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari
(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 6. Membran Timpani Hiperemis
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada
mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien
akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga
bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat
disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat
disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan
submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung
17
di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan
kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis
terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi.
Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani
sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka
insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi
ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani
mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra,
2007).
Gambar 7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret
berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang
telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut).
Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan
tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih
tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media
supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih
18
satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media
supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 8. Membran Timpani Peforasi
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran
timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali
dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali
normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran
timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis
media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani
menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis
media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani
tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
2.8. Diagnosis
1. Anamnesis gejala yang didapati pada pasien
2. Pemeriksaan telinga dengan menggunakan lampu kepala
19
3. Otoskop untuk melihat gambaran membran timpani yang lebih jelas
4. Kultur sekret dari membran timpani yang perforasi untuk mengetahui
mikroorganisme penyebab
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal
berikut, yaitu:
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di
telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda
berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas
atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di
belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau
erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu
tidur dan aktivitas normal.
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori,
yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat
cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat
bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada membran
timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala
inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran,
tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi
semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi
39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.
2.9. Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi
OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai
OMA. Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada
OMA dan otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan
gangguan pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss (Vetri, 1994).
Gejala dan tanda Otitis Media Akut Otitis Media dengan
20
Efusi
Nyeri telinga (otalgia), menarik
telinga (tugging)
+ -
Inflamasi akut, demam + -
Efusi telinga tengah + +
Membran timpani membengkak
(bulging), rasa penuh di telinga
+/- -
Gerakan membran timpani
berkurang atau tidak ada
+ +
Warna membran timpani
abnormal seperti menjadi putih,
kuning, dan biru
+ +
Gangguan pendengaran + +
Otore purulen akut + -
Kemerahan membran timpani,
erythema
+ -
Tabel 2: OMA dan Otitis Media Efusi
2.10. Penatalaksanaan
Terapi otitis media akut tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan
pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan
pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan
pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania
dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi
tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki
sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius (Djaafar, 2007)
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali
tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan
obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang
dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang
berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan
21
pemberian antibiotik.
2. Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi) (Djaafar, 2007)
Pemberian antibiotika yang dianjurkan ialah golongan penisilin atau
ampisilin. Ampisilin dengan dosis 50-100mg/kgBB per hari dibagi dalam 4
dosis atau amoksisilin 40mg/kgB per hari dibagi dalam 3 dosis. Bila pasien
alergi terhadap penisilin dapat diberi eritromisin dengan dosis 40mg/kgBB per
hari. Pemberian antibiotika dianjurkan diberi selama 7 hari. Selain itu dapat
diberikan obat tetes hidung dan analgetika.
3. Stadium supurasi (Djaafar, 2007)
Pemberian antibiotika disertai miringotomi bila membran timpani masih
utuh. Dengan miringotomi gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur
dapat dihindari.
4. Stadium Perforasi (Djaafar, 2007)
Pada stadium ini sekret banyak keluar dan terkadang keluar secara
berdenyut, sekret yang banyak ini merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan kuman, oleh karena itu sangat perlu dilakukan pencucian tellinga
untuk menghilangkan sekret. Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci
telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.
5. Stadium Resolusi (Djaafar, 2007)
Bila tidak terjadi stadium resolusi biasanya sekret akan terus mengalir
melalui perforasi membran timpani. Pada keadaan ini mpemberian antibiotika
dapat dilanjutkan smapai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret
masih terlihat banyak keluar maka kemungkinan telah terjadi komplikasi
mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik
dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian
antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya
komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut
American Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007),
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi
22
dengan antibiotik sebagai berikut.
Usia Diagnosis pasti (certain) Diagnosis meragukan
(uncertain)
Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik
6 bulan sampai 2 tahun Antibiotik Antibiotik jika gejala
berat, observasi jika gejala
ringan
2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala
berat, observasi jika gejala
ringan
Observasi
Table 3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan
first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal
selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika
pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti
cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus
penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7-valent conjugate vaccine dapat
dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of
Pediatric, 2004).
2.10.1 Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA
rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan
adenoidektomi (Buchman, 2003).
Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya
terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah
harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak
perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007).
23
Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan
infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien
yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode
OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap
anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk
menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).
Gambar 9: Miringotomi
Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan
pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret
untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak
memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang
24
sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian
prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan
efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan
insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil
dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak
dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
2.11. Komplikasi (Adams, 2000)
- Otitis media supuratif kronik, yang ditandai dengan keluarnya sekret dari
telinga lebih dari 2 bulan.
- Otitis media yang tidak diobati dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga
tengah, sehingga dapat timbul mastoiditis, abses subperiosteal, sampai
komplikasi yang menyerang otak seperti meningitis dan abses otak.
- Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan hilangnya pendengaran
permanen, cairan di telinga tengah dan otitis media kronik dapat mengurangi
pendengaran anak serta dapat menyebabkan masalah dalam kemampuan bicara
dan bahasa.
2.12. Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah
ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,
menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan
terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).
BAB IV
25
KESIMPULAN
Otitis media akut adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, dan antrum serta sel sel mastoid. Otitis media akut terdiri dari 5 stadium.
Penyebab otitis media akut dapat berupa infeksi bakteri maupun virus. Bayi dan
anak-anak dan anak-anak lebih sering terserang otitis media akut dibanding orang
dewasaa. Gejala klinis yang didapati pada otitis media akut tergantung pada
stadium penyakit dan usia pasien. Terapi yang perlu dilakukan juga bergantung
pada stadium. Otitis media akut yang tidak tertangani dengan baik bisa berlanjut
dan dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, diperlukan ketepatan
diagnosis dan terapi yang tepat.
26
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Taufik. 2008. Otitis Media Akut. Mataram. FK Mataram
Adams GL, Boeis, LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam.
Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. p. 240-59.
American Academy of Pediatrics and America Academy of Family Physicians,
2004. Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Pediatrics
113(5):1451-1465.
Anil, K. 2007. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology: Head and
Neck Surgery. Publisher: McGraw-Hill Medical
Ballantyne J, Govers J, Scott B. 2002. Disease of the Ear, Nose,and Throat.
Publisher: Butthworth Co.Ltd. : 1987, vol. 52Moore,keith L.
Bluestone CD, Klien JO. 1995. Otitis media in infant and children In Bluestone et
al eds. Pediatrics Otolaryngology 2 ed Philadelphia WB Saunders Co.
Buchman, Craig., Brinson. 2003. Viral otitis media. Current Allergy and Asthma
Reports 2003, Volume 3, Issue 4, pp 335-340
http://link.springer.com/article/10.1007/s11882-003-0094-6#page-1
Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of the Ear. In: Lee,
K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.
Dhingra PL, 2007. Anatomy of ear, in Disease of Ear, Nose, and Throat. 3rd ed.
El-sevier. New Delhi. p 3-13.
Dhingra PL, 2007. Cholesteatoma and Chronic Suppurative Otitis Media, in
Disease of Ear, Nose, and Throat. 3rd ed. Elsevier. New Delhi. p 66-73.
Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam:
Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,pp: 64-86.
Hotimah, Mahyunie E. 2011. Otitis Media Serosa. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang: Malang
27
Jide. 2008. Indera Pendengaran dan Keseimbangan. (online),
(from:http://iqbalali.com/2008/11/12/indera-pendengaran-dan-keseimbangan,
diakses tanggal 4 April 2013)
Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
Paparella, Michael M., George L. Adams, Samuel C.Levine. 1997. Penyakit
Telinga Tengah dan Mastoid, dalam BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Harjanto Effendi (Ed). Jakarta : EGC, hal: 95-99
Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis, Otitis, and
Other Upper Respiratory Tract Infections. In: Fauci, A.S., ed. Harrysons’s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies,
Inc., 205-214.
Snell, R. 2006.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC:
Jakarta
Titisari, Hanekung. 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenza
pada Otitis Media Akut di RSCM dan RSAB Harapan Kita. Jakarta. Balai
Penerbit FK UI.
Vetri RW, Sprinkle PM., Etiologi Peradangan Telinga Luar dan Tengah.
Ballenger JJ. Ed. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994:194-224.
Yusuf, K. 2000. Hasil Otoskopi. Audiogram dan Timpahogram Pada Pasien Usia
6-12 tahun yang Dicurigai Menderita Otitis Media Efusi di Seksi Audiologi
RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 1990. Media Perhati Vol. 6 No. 4
Oktober – Desember 2000. Jakarta
28