Download - Referat Malaria
BAB I
PENDAHULUAN
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan
kematian terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu
malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja.
Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah Indonesia.
Upaya penanggulangan di Indonesia telah sejak lama dilaksanakan, namun daerah
endemis malaria bertambah luas, bahkan menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Berdasarkan
hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, terdapat 15 juta kasus malaria
dengan 38.000 kematian setiap tahunnya. Dari 295 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 167
kabupaten/kota merupakan wilayah endemis malaria.
Beberapa upaya dilakukan untuk menekan angka kesakitan dan kematian akibat malaria,
yaitu melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi diagnosis
dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vector yang kesemuanya ditujukan
untuk memutuskan rantai penularan malaria.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium
yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles spp.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki endemisitas tinggi.
Penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria memberikan
gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali. Dapat berlangsung akut maupun
kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi
sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
2.2 DISTRIBUSI DAN INSIDEN
Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika
(bagian Selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Caribia. Lebih dari 1.6 triliun manusia
terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1 juta
pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Kanada, negara di Eropa
(kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea, Brunei, dan Australia.
Negara tersebut terhindar dari malaria karena vektor kontrol nya yang baik; walaupun demikian
di negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang di import karena pendatang dari
negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria. Di Indonesia kawasan
Timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari
Lombok sampai Nusa Tenggara Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria
dengan P. falciparum dan P. vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari Lampung, Riau,
Jambi, dan Batam kasus malaria cenderung meningkat.
2
Gambar 1 Distribusi Malaria
Sumber : emedicine health
Gambar 2 Peta Penyebaran Malaria di Indonesia
Sumber : http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/malaria.pdf
3
2.3 TRANSMISI DAN EPIDEMIOLOGI
Daur Hidup Parasit Malaria
Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles
ataupun ditularkan langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta dari
ibu hamil kepada janinnya. Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anopheles
betina menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah
dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya
akan mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual. Perkembangan
ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium falciparum dan 15 hari untuk plasmodium
malaria. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk sizont hati yang apabila pecah akan
mengeluarkan banyak merozoit ke sirkulasi darah. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian parasit di
dalam sel hati membentuk hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini
yang akan menyebabkan terjadinya relaps pada malaria.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P. vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor
antigen Duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy negatif
tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P. falciparum diduga suatu glycophorins,
sedangkan pada P. malaria dan P. ovale belum diketahui. Dalam waktu kurang dari 12 jam
parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P. falciparum menjadi bentuk stereo – headphones,
yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh setelah
memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen yang disebut hemozoin
yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik dan dinding
berubah lonjong, pada P. falciparum dinding eritrosit membentuk tonjolan yang disebut knob
yang nantinya penting dalam proses cytoadherence dan rosetting. Setelah 36 jam invasi kedalam
eritrosit, parasit berubah menjadi sizont, dan bila sizont pecah akan mengeluarkan 6 – 36
merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P. falciparum, P.
vivax, dan P. ovale ialah 48 jam dan pada P. malaria adalah 72 jam.
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila
nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk.
4
Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zigot dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet
yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk ookista yang akan menjadi
masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap
menginfeksi manusia.
Gambar 3 The Life Cycle of Malaria
Sumber : http://undip.ac.id/2010/12/02/analisis-grafik-kasus-dbd-dan-malaria
Tingginya slide positive rate (SPR) menentukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis
penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi :
Hipoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 0-10%
Mesoendemik : bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
Hiperendemik : bila parasit rate atau spleen rate 50-75%
Holoendemik : bila parasit rate atau spleen rate >75%
5
2.4 PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam
sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit.
Bentuk aseksual dalam eritrosit inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya
malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah patogenesa malaria yang
disebabkan oleh P. falciparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor pejamu (host).
Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan virulensi
parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor pejamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat
tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara
garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24
jam ke II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte
surface antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP
stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich Protein-1
(HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan
dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan
TNF-α dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan
lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh
darah daripada koagulasi intravaskuler. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit
maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan
adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin
malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa
sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena
terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah
pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari
6
eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasia dari
retikulosit diserta peningkatan makrofag.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke
dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan
struktur dan biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut
meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting.
Gambar 4
Sumber : http://www.emedicinehealth.com/malaria/article_em.htm
Sitoadherensi
7
Ialah perlekatan antara parasit dalam eritrosit (EP) stadium matur padapermukaan endotel
vaskuler.perlekatan terjadi dengan cara molekul edhesi yang terletak dipermukaan knob EP
melekat dengan molekul molekul adhesif yang terletak di permukaanendotel vaskuler.
Sekuestrasi
Sithoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.Parasit
dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP maturyang
mengalami sekuestraasi.
Resseting
Ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang nonparasit.
Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga yang dapat melakukan rosetting.
Rosetting menyebabkan pbstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah
terjadinya sitoadheren.
Sitokin
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari
malaria toksin (LPS,GPI). Sitokin ini antara lain TNF-ά, IL-1, IL-3, IL-6, LT (lymphotoxin) dan
interferon gamma (INF-γ).
Nitrit oksida
Diteliti bahwa nitrid oksida memberikan efek protektif karena membatasi parasit dan
menurunkan ekspresi molekul adhesi.
2.5 PATOLOGI
Studi patologi malaria hanya dapat dilakukan pada malaria falsiparum karena kematian
biasanya disebabkan oleh P. falciparum. Selain perubahan jaringan dalam patologi malaria yang
penting ialah keadaan mikrovaskular dimana parasit malaria berada. Beberapa organ yang
terlibat antara lain otak, jantung, paru, hati, limpa, ginjal, usus, dan sumsum tulang.
2.6 GEJALA KLINIS
8
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai gejala
utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni
(pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl phosphatidylinositol) atau
terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi (misalnya
pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran
karakteristik dari malaria ialah demam periodic, anemia dan splenomegali.
Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi
malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium (P. falciparum sering
menimbulkan komplikasi, daerah asal infeksi (pola resistensi terhadap pengobatan), umur (usia
lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi,
kemoprofilaktis dan pengobatan sebelumnya.
2.7 MANIFESTASI KLINIS MALARIA TANPA KOMPLIKASI
Dikenal 4 jenis plasmodium (P) yaitu, P. vivax, merupakan infeksi yang paling sering dan
menyebabkan malaria tertiana/vivax, P. falciparum, memberikan banyak komplikasi dan
mempunyai perlangsungan yang cukup ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan
menyebabkan malaria tropika/falciparum, P. malariae, cukup jarang namun dapat menimbulkan
sindroma nefrotik dan menyebabkan malaria quartana/malariae dan P. ovale dijumpai pada
daerah Afrika dan Pasifik Barat, memberikan infeksi yang paling ringan dan sering sembuh
spontan tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale.
Manifestasi Umum Malaria
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia, dan splenomegali.
Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodromal dapat terjadi
sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin
di punggung, nyeri sendi, dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tak enak, diare ringan, dan
kadang-kadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan ovale, sedang pada P.
falciparum dan malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan: periode dingin (15-
60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan
9
pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi saling terantuk, diikuti dengan
meningkatnya temperatur; diikuti dengan periode panas : penderita muka merah, nadi cepat, dan
panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat; kemudian periode
berkeringat : penderita berkeringat banyak dan temperatur turun, dan penderita merasa sehat.
Trias malaria lebih sering terjadi pada P. vivax, pada P. falciparum menggigil dapat berlangsung
berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam pada P. falciparum, 36 jam pada
P. vivax dan ovale, 60 jam pada P. malariae.
Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria ialah:
Serangan primer : yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan
paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan paroksismal ini
dapat pendek atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitas penderita.
Periode latent : yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi
malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
Recrudescense : berulangnya gejala klinik atau parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah
berakhirnya serangan primer. Recrudescense dapat terjadi berupa berulangnya gejala klinik
sesudah periode laten dari serangan primer.
Recurrence : yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya
serangan primer.
Relapse atau Rechute : ialah berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari
waktu diantara serangan periodik dari infeksi primer yaitu setelah periode yang lama dari masa
latent (ssampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar
eritrosit (hati) pada malaria vivax atau ovale.
2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis dan pengobatan awal pada kasus malaria bertujuan untuk :
Pengobatan yang lengkap
10
Mencegah progresi dari malaria tanpa komplikasi ke penyakit berat
Mencegah kematian
Mencegah transmisi
Meminimalkan resiko penyebaran dan resistensi obat
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan
dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostic cepat (RDT-Rapid
Diagnostik Test).
A. Anamnesis
1. Keluhan utama : demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual muntah,
diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
2. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria.
3. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
4. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
B. Pemeriksaan fisik
1. Demam (pengukuran dengan thermometer > 37,5 ° C)
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
3. Pembesaran limpa (splenomegali)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)
C. Diagnosis atas dasar pemeriksaan laboratorium
Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah yang
diperiksa dengan mikroskop. Peranan diagnosis laboratorium terutama untuk menunjang
penanganan klinis. Kapanpun bila memungkinkan disarankan untuk melakukan pemeriksaan
kimia darah (hitung sel darah putih, hitung sel darah merah, hematokrit, hemoglobin, hitung
trombosit, dan lain-lain).
Manfaat penunjang laboratorium adalah :
11
Untuk diagnosis kasus pada kegagalan obat.
Untuk penyakit berat dengan komplikasi.
Untuk mendeteksi penyakit tanpa penyulit di daerah yang tidak stabil atau daerah dengan
transmsi rendah dan penting untuk daerah yang ada infeksi P.falciparum dan P.vivax
secara bersamaan, sebab pengobatan keduanya berbeda.
Tekhnik diagnosis :
Diagnosis laboratorium dibuat dari adanya parasit di dalam sel darah merah. Tipe apusan yang
didapat adalah :
1. Film tebal. Sel darah merah lisis, dan sel darah putih, platelet, dan parasit terlihat. Metode ini
tidak membedakan antara Plasmodium dengan Babesia.
2. Film tipis. Dengan metode ini, tampilan morfologis Nampak untuk membedakan antara
Plasmodium dari Babesia dan untuk identifikasi spesies definitive.
Faktor-faktor berikut yang berguna dalam menentukan spesies parasit:
1. Jumlah parasit di dalam eritrosit.
2. Karakteristik morfologis dari parasit (contoh, bentuk gametosit bulan sabit pada P. falcifarum
biasanya terdapat pada malaria berat.
3. Derajat parasitemia (jumlah eritrosit yang terinfeksi pada apusan darah tepi): dikatakan berat
jika lebih besar dari atau sama dengan 10%
12
Mikroskop cahaya
Sediaan darah dengan pulasan Giemsa adalah merupakan dasar dari pemeriksaan dengan
mikroskop cahaya. Pemeriksaan sediaan darah tebal dilakukan dengan memeriksa 100 lapangan
mikroskopis dengan pembesaran 500-600 kali yang setara dengan 0,20 µL darah. Jumlah parasit
dapat dihitung per lapangan mikroskopis.
Metode semi kuantitatif
Untuk hitung parasit (parasite count) pada sediaan darah tebal adalah sebagai berikut :
+ = 1 – 10 parasit per 100 lapangan
++ = 11 – 100 parasit per 100 lapangan
+++ = 1-10 parasit per 1 lapangan
++++ = >10 parasit per 1 lapangan
+++++ = >100 parasit per 1 lapangan, setara dengan 40.000 parasit / µL
Hitung parasit dapat juga dilakukan dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit
dalam sediaan darah tebal dan jumlah leukosit rata-rata 8000 / µL darah, sehingga densitas
parasit dapat dihitung sebagai berikut :
Parasit / µL darah = (Jumlah parasit yang dihitung × 8000)/(jumlah leukosit yang dihitung (200))
Sayang sekali bahwa diagnosis mikroskopis secara rutin kadang-kadang kurang bermutu
atau tidak dapat dilakukan pada sistem pelayanan kesehatan di daerah perifer. Walaupun
teknolginya sederhana dan biayanya relatif murah, diagnosis mikroskopis ini tetap memerlukan
infrastruktur yang memadai untuk pengadaan dan pemeliharaannya, serta untuk melatih tenaga
mikroskopik dan mempertahankan mutu.
Tekhnik mikroskopis lain
Berbagai jenis upaya telah dilakukan untuk meningkatkan sensitivitas teknik mikroskopis
yang konvensional, diantaranya :
13
Teknik QBC (Quantitavie Buffy Coat) dengan pulasan jingga akridin (acridine orange)
yang berfluoresensi dengan pemeriksaan mikroskop fluoresen merupakan salah satu hasil usaha
ini, tetapi masih belum dapat digunakan secara luas seperti pemeriksaan sediaan darah tebal
dengan pulasan Giemsa menggunakan mikroskop cahaya biasa.
Teknik Kawamoto merupakan modifikasi teknik pulasan jingga akridin yang memulas
sediaan darah bukan dengan giemsa tetapi dengan akridin dan diperiksa dengan mikroskop
cahaya yang diberi lampu halogen.
Metode lain tanpa mikroskop
Beberapa metode untuk mendeteksi parasit malaria tanpa mengguankan mikroskop telah
dikembangkan dengan maksud untuk mndeteksi parasit lebih baik daripada dengan mikroskop
cahaya. Metode ini mendeteksi protein atau asam nukleat yang berasal dari parasit.
Teknik dip-stick mendeteksi secara imuno-enzimatik suatu protein kaya histidine II yang
spesifik parasit (immuno enzymatic detection of the parasite spesific histidine rich protein II).
Tes spesifik untuk plasmodium falciparum telah dicoba pada beberapa negara, antara lain di
Indonesia. Tes ini sederhana dan cepat karena dapat dilakukand alam waktu 10 menit dan dapat
dilakukan secara massal. Selain itu, tes ini dapat dilakukan oleh petugas yang tidak terampil dan
memerlukan sedikti latihan. Alatnya sederhana, kecil dan tidak memerlukanaliran listrik.
Kelemahan tes dip-stick ini adalah :
Hanya spesifik untuk plasmodium falciparum (untuk plasmodium vivax masih dalam
tahap pengembangan)
Tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif)
Antigen yang masih beredar beberapa hari setelah parasit hilang masih memberikan
reaksi positif.
Gametosit muda (immature) bukan yang matang (mature), mungkin masih dapat
dideteksi.
Biaya tes ini cukup mahal.
Walaupun demikian tes yang sederhana dan stabil dapat digunakan untuk pemeriksaan
epidemiologi dan operasional. Hasil positif palsu (false positive) yang disebabkan oleh antigen
residual yang beredar dan oleh gametosit muda dalam darah biasanya ditemukan pada penderita
14
tanpa gejala (asimptomatik). Jadi seharusnya tidak mengakibatkan over treatment sebab tes ini
digunakan untuk menunjang diagnosis klinis pada penderita dengan gejala.
Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai
cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah
parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sarana
penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.
Metode yang berdasarkan deteksi asam nukleat dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu
hibridisasi DNA atau RNA berlabel yang sensitivitasnya dapat ditingkatkan dengan PCR
(polymerase chain reaction). Akhir-akhir ini beberapa pelacak (probe) DNA dan RNA yang
spesifik telah dikembangkan untuk mengidentifikasi keempat spesies Plasmodium, tetapi
terutama untuk plasmodium falciparum, tes ini sangat spesifik dan sensitif, dapat mendeteksi
hingga minimal 2 parasit, bahkan 1 parasit / µL darah. Penggunaan pelacak tanpa label radioaktif
(non radioactivelabelled probe) meskipun kurang sensitif dibandingkan dengan yang
menggunakan bahan label radioaktif, mempunyai shelf-life lebih panjang dan lebih mudah
disimpan dan diolah.
Kelemahan tes ini adalah :
Penyediaan DNA dan RNA sangat rumit
Alat yang diperlukan untuk hibridisasi rumit
Alat untuk amplifikasi PCR dan deteksi hasil amplifikasi sangat canggih dan mahal
Metode ini membutuhkan waktu lebih lama (>24 jam)
Tidak dapat membedakan stadium aseksual dan seksual
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan secara kuantitatif
Sementara keuntungan utama pada teknik PCR adalah dapat mendeteksi dan
mengidentifikasi infeksi ringan dengan sangat tepat dan dapat dipercaya. Hal ini penting untuk
studi epidemiolgi dan eksperimental, tetapi tidak penting untuk meningkatkan penanganan
malaria tanpa komplikasi.
2.9 DIAGNOSIS BANDING
15
Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga dijumpai pada
hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistem respiratorius, influenza,
bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bakterial lainnya seperti pneumonia,
infeksi saluran kencing, tuberkulosis. Pada daerah hiper-endemik sering dijumpai penderita
dengan imunitas yang tinggi sehingga penderita dengan infeksi malaria tetap tidak menunjukkan
gejala klinis malaria. Pada malaria berat diagnosa banding tergantung manifestasi malaria
beratnya. Pada malaria dengan ikterus biasanya tidak dijumpai demam lagi. Pada malaria
serebral harus dibedakan dengan infeksi pada otak lainnya seperti meningitis, ensefalitis, tifoid
ensefalopati, tripanososmiasis. Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi pada gangguan
metabolik (diabetes, uremi), gangguan serebro-vaskular (strok), eklampsia, epilepsi, dan tumor
otak.
2.10 KOMPLIKASI
1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11 atau setara dengan
sopourus.Terjadi karena sumbatan mikrosirkulasi serebral oleh eritrosit terinfeksi parasit dan
toksin yang dihasilkan parasit. Edema serebri yang sering ditemukan pada otopsi karena
peningkatan permeabilitas kapiler akibat berbagai mediator, terutama kinin hingga plasma
bocor keluar dari vaskular. Namun, tesis tersebut diragukan karena saat diukur tekanan cairan
serebrospinal, sering kali normal, juga adanya kebocoran plasma juga diragukan karena rasio
kadar albumin dalam darah dengan cairan serebrospinal ternyata sama. Hipotesis mekanis
menyatakan malaria serebral terjadi akibat sumbatan mekanis pada mikrosirkulasi akibat
penurunan kemampuan deformitas eritrosit terinfeksi sewaktu melewati kapiler karena sel
menjadi kaku, namun pendapat tersebut sekarang tidak dianut lagi. Yang sekarang dianut
adalah obstruksi mikrosirkulasi terjadi akibat sekuestrasi parasit karena sitoadherens.
Obstruksi ini menyebabkan hipoksia dan iskemia yang akan mengganggu fungsi otak.
Hipotesis sitokin menyatakan bahwa YNF dapat merusak dinding vaskular dan sel endotel
hingga menimbulkan nekrosis dan mengganggu fungsi saraf termasuk koma melalui induksi
iNOS untuk menghasilkan NO dalam jumlah banyak.Kadar laktat pada cairan cerebrospinal
meningkat pada malaria serebri yaitu >2,2 mmol/l dan bila melebihi >6 mmol/l maka
merupakan prognosis yang fatal.
2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit >10.000/ȝl.
16
Penyebab bersifat multifaktorial yaitu penghancuran eritrosit yang terinfeksi maupun yang
tak terinfeksi dan gangguan eritropoeiesis. Hemolisis terjadi akibat rusaknya eritrosit
sewaktu pelepasan merozoit, penghancuran eritrosit terinfeksi maupun yang tak terinfeksi
oleh RES di limpa karena deformitas eritrosit yang kaku sehingga tidak dapat melalui
sinusoid limpa atau karena mekanisme imun. Pada sistem imun, eritrosit tersebut akan
diselimuti oleh IgG yang kemudian dihancurkan di limpa. Diseritropoiesis diperantarai
sitokin terutama TNF yang dapat mengganggu produksi eritrosit. Selain itu juga eritropoietin
pada penderita malaria berat tidak adekuat sehingga mendukung terjadinya anemia berat,
namun masih banyak hal lain yang sampai sekarang masih menjadi penelitian untuk
membahas tentang diseritropoiesis pada penderita malaria yg mengakibatkan anemia.
3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12 ml/kgBB pada
anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan kreatinin >3mg%. Gangguan ginjal
diakibatkan oleh anoksia akibat sumbatan kapiler aliran darah ke ginjal. Sebagai akibatnya
adalah penurunan filtrasi pada glomerolus yang secara klinis dapat terjadi oligouria atau
poliuria.
4. Edema paru. Sering terjadi pada dewasa dan jarang terjadi pada anak. Merupakan komplikasi
paling berat dari malaria tropika dan sering menyebabkan kemaian. Edema paru terjadi
karena kelebihan cairan, kehamilan, malaria serebral, hiperparasitemia, hipotensi, asidosis,
dan uremi. Gejala awal adalah peningkatan respirasi >35X / menit. Pada pemeriksaan
radiologik dijumpai gambaran bronkovaskular tanpa pembesaran jantung.
5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.
6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg disertai keringat dingin atau perbedaan
temperature kulit-mukosa >1oC.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan laboratorik
adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada hipertermis.
9. Asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L).
10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat antimalaria
pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
2.11 PENATALAKSANAAN
17
Pengobatan Malaria Falciparum
Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan
ditemukannya plasmodium aseksual di dalam darahnya, malaria klinis tanpa ditemukan parasit
dalam darahnya perlu diobati. Prinsip pengobatan malaria :
1. Penderita tergolong malaria biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria berat atau
dengan komplikasi. Penderita dengan komplikasi atau malaria beratmemakai obat
parenteral, malaria biasa diobati dengan per oral.
2. Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan yang efektif, tidak
terjadikegagalan pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan pengobatan
ACT (Artemisinin base Combination Therapy).
3. Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan malaria yang
positif dan dilakukan monitoring efek atau respon pengobatan.
4. Pengobatan malaria klinis atau tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai obatnon-ACT.
Ada lima golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan kausal berdasarkan mekanisme
kerjanya, kelima golongan itu adalah :
1. Skizontosida jaringan primer
Obat – obat ini mampu membasmi praeritrosit sehingga mencegah parasit ini untuk masuk ke
dalam eritrosit. Biasanya digunakan sebagai profilaksis kausal, yaitu pengobatan yang dilakukan
untuk mencegah terjadinya infeksi atau timbulnyagejala. Contoh obat golongan ini, yaitu
pirimetamin, proguanil.
2. Skizontosida jaringan sekunder
Obat ini mampu membasmi parasit pada daur hidup eksoeritrosit dan digunakan untuk
pengobatan radikal infeksi sebagai obat anti relaps. Namun
dalam pengobatan malaria Tropikana ini, obat yang termasuk dalam golongan ini tidak dapat dig
unakan sebab parasit Plasmodium falciparum tidak mengalami fase eksoeritrosit. Contoh
obatnya adalah primakuin.
3. Skizontosida darah
18
Obat- obat ini memiliki kemampuan dalam membasmi parasit pada stadiumeritrosit dengan cara
mengakhiri serangan yang terjadi, dimana hal ini berhubungan dengan penyakit akut yang
disertai gejala klinis. Obat golongan ini dibagi menjadi 2 yaitu yang kerjanya lambat dan yang
kerja cepat. Contoh obat golongan skizontosida kerja lambat yaitu; golongan penghambat
sintesis folat dan antibiotik kecuali antibiotik golongan sepalosporin dan contoh obat
skizontosida kerja cepat yaitu : Derivate artemisin, amodiaquin, chloroquin,kinin dan kinidin,
antibiotik golongan sepalosporin, meflokuin, atovaquone, dan halofantrin.
4. Gametositosida
Obat ini memiliki kemampuan dalam penghancuran semua bentuk seksual termasuk pada
stadium gametosit sehingga transmisinya menuju ke nyamuk dapat dicegah. Contoh obatnya
adalah primakuin.
5. Sporontosida
Obat ini memiliki kemampuan dalam mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk
membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Contoh obatnya adalah primakuin
dan proguanil. Obat-obat malaria yang ada, dapat dibagi dalam 9 golongan menurut rumus
kimianya, yaitu:
4-aminoquinolons contohnya kloroquin dan amodiaquin
Diaminopiridins contohnya pirimetamin, trimetoprim
Biguanida contohnya proguanil dan klorproguanil
8-aminoquinolon contohnya Primakuin
Alkaloidcinchonae contohnya quinin dan quinidin
Sulfon dan Sulfonamida contohnya sulfadoksin
Kuinolinmetanol dan fenantrenmetanol contohnya meflokuin
Antibiotik contohnya tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, dan minosiklin
9-aminoakridin contohnya mepakrin(2)
Penatalaksanaan malaria falsiparum menurut DepKes RI (2008)
19
Di Indonesia saat ini terdapat 2 regimen ACT yang digunakan oleh programmalaria, yaitu
Artesunate – Amodiaquin serta Dihydroartemisinin – Piperaquin
1. Pengobatan lini pertama
Saat ini Pada Program Malaria untuk pengobatan lini pertama Malaria falsiparum digunakan obat
Artemisinin Combination Therapy (ACT), yaitu Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
atau Dihydroartemisinin + Piperakuin + Primakuin. Obat program yang tersedia saat ini adalah
sediaan artesunate – amodiaquin dan dihydroartemisinin – piperaquin. Setiap kemasan artesunate
– amodiaquin terdiri dari 2 blister, yaitu blister amodiakuin 200 mg ( setara amodiakuin
basa 153mg) 12 tablet dan blister artesunat 50 mg 12 tablet. Obat diberikan selama 3
haridengan dosis tunggal harian amodiakuin basa 10 mg/kg BB dan artesunat 4 mg/kgBB,
primakuin 0,75 mg/kg BB.
2. Pengobatan lini kedua
Bila pengobatan lini pertama tidak efektif, gejala klinis tidak memburuk
tapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi) maka
diberikan pengobatan lini kedua malaria falsiparum. Obat lini kedua adalah kombinasi Kina +
Doksisiklin/Tetrasiklin + Primakuin. Kina diberikan per oral, 3 kali sehari dengan dosis 10
mg/kg BB/hari selama 7 hari. Dosis maksimal kina adalah 9 tablet untuk dewasa. Kina yang
beredar di Indonesia adalah tablet yang mengandung 200 mg kina fosfat atau sulfat. Doksisiklin
yang beredar di Indonesia adalah kapsul atau tablet yang mengandung 50 mg dan 100 mg
Doksisiklin HCl. Doksisiklin diberikan 2 kali perhari selama 7 hari, dengan dosis orang dewasa
adalah 4 mg/kg BB/hari. Sedangkan untuk anak usia 8-14 tahun adalah 2 mg/kg BB/hari. Bila
tidak ada doksisiklin dapat digunakan tetrasiklin. Tetrasiklin diberikan 4 kali sehari selama 7 hari
dengan dosis 4-5 mg/kgBB. Doksisiklin maupun Tetrasiklin tidak boleh diberikan pada
anak dibawah 8 tahun dan ibu hamil. Primakuin diberikan seperti pada lini pertama. Dosis
maksimal primakuin 3 tablet untuk penderita dewasa.
2.12 PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun,
khususnya pada turis nasional maupun internasional. Kemo-profilaksis yang dianjurkan
20
ternyata tidak memberikan perlindungan secara penuh. Oleh karenanya
masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri
dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara:
Tidur dengan kelambu, sebaiknya dengan kelambu impregnated (kelambu yang dicelup
dengan pemethrin atau deltamethrin).
Menggunakan obat pembunuh nyamuk baik dalam bentuk spray, lotion, asap,atau
elektrik.
Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk akan dapat menggigit dan harus
memakai proteksi (baju lengan panjang, kaos kaki/stocking ). Nyamuk akan menggigit di
antara jam 18.00 sampai jam 06.00. Nyamuk jarang padaketinggian di atas 2.000 m.
Memproteksi tempat tinggal atau kamar tidur dengan kawat anti nyamuk.
Tabel 2.2 Obat-obat untuk mencegah malaria pada wisatawan
Sehubungan dengan laporan tingginya tingkat resistensi terhadap klorokuin,
maka doksisiklin menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis. Doksisiklin diberikan setiap hari
21
dimulai 1-2 hari sebelum pergi ke daerah endemis malaria dengan dosis2 mg/kg BB selama tidak
lebih dari 4-6 minggu. Doksisiklin tidak boleh diberikan pada anak umur <8 tahun dan ibu hamil.
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan.
Hal yang menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain
pada masing-masing bentuk stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah
P. falciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi
terhadap P. falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu vaksin
sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission
blocking untuk melawan bentuk gametosis.(2)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Malaria merupakan suatu penyakit yang bersifat akut maupun kronik, yangdisebabkan
oleh protozoa genus Plasmodium, yang ditandai dengan demam, anemia dan pembesaran limpa.
Plasmodium sebagai penyebab malaria terdiri dari 4 spesies, yaitu P. falciparum, P. ovale, P.
vivax, dan P. malariae. Malaria jugamelibatkan hospes perantara yaitu nyamuk anopheles betina.
Daur hidup spesiesmalaria terdiri dari fase seksual dalam tubuh nyamuk anopheles betina dan
fase aseksual dalam tubuh manusia. Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks
antara parasit, inang dan lingkungan.
Manifestasi klinik dari penyakit malaria ditandai dengan gejala prodromal, trias malaria
(menggigil-panas berkeringat), anemia dan splenomegali. Diagnosis malaria ditegakkan
darianamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gold standard adalah menemukan parasit
malaria dalam pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Pengobatan untuk malaria falsiparum,
lini pertama: artesunat + amodiakuin + primakuin, lini kedua: kina + dosksisiklin/tetrasiklin +
primakuin.
SARAN
22
Perlunya dilakukan program pemberantasan malaria melalui kegiatan :
1. Menghindari atau mengurangi kontak atau gigitan nyamuk anopheles
Membunuh nyamuk dewasa dengan menggunkan berbagai insektisida
Membunuh jentik baik secara kimiawi (larvasida) maupun biologik
Mengurangi tempat perindukan
Mengobati penderita malaria
Pemberian pengobatan pencegahan
2. Penatalaksanaan yang efektif dan efisien kepada pasien yang meliputi diagnosis secara dini
dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk mendapatkan hasilyang maksimal
3. Menganjurkan kepada masyarakat yang akan bepergian ke daerah endemismalaria agar
mengkonsumsi kemoprofilaksis malaria
DAFTAR PUSTAKA
1. Harijanto PN. 2006. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi IV. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Depkes RI, Ditjen PP & PL, Dit. PPBB, 2010, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria
di Indonesia, Jakarta.
3. Rampengan TH. Malaria Pada Anak. Dalam: Harijanto PN (editor).Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan.Jakarta: EGC, 2000
4. Harijanto PN, Langi J, Richie TL. Patogenesis
Malaria Berat. Dalam:Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, 2000
5. http://malariana.blogspot.com/2008/11/malaria-diagnosis.html
6. National Institute of Malaria Research.2009.Guidelines for Diagnosis and Treatment of
Malaria.New Delhi.
23
7. Purwaningsih S. Diagnosis Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor).Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan.Jakarta:EGC.
8. Prof. G. Carosi.Diagnosis of Malaria Infection.Italy:Institute of Infectious and Tropical
Disease University of Brescia.
9. Zulkarnaen I. Malaria Berat (Malaria Pernisiosa). Dalam : Noer S et al (editor). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2000
10. Mansyor A dkk. 2001. Malaria. Dalam : Kapita Selekta Kedoktearn, Edisi ketiga, Jilid I.
Jakarta. Faakultas Kedokteran UI.
11. http://www.emedicinehealth.com/malaria/article_em.htm
12. http://undip.ac.id/2010/12/02/analisis-grafik-kasus-dbd-dan-malaria
13. http://revforall.com/2011/09/malaria-falciparum.html
14. http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/malaria.pdf
15. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.
Jakarta. 2006.
24