Download - REFERAT
REFERAT
ALERGI MAKANAN
Disusun oleh :
KARINA LUCIA INDRIANI
FAA 111 0005
Pembimbing :
dr. ENNY KARYANI, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA
RSUD dr DORIS SYLVANUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Karina Lucia Indriani
NIM : FAA 111 0005
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Palangkaraya
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Periode Kepaniteraan Klinik : Oktober 2015 – Desember 2015
Judul Makalah : Alergi Makanan
Diajukan : Nopember 2015
Pembimbing : dr. Enny Karyani, Sp.A
TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL :
Disetujui:
Pembimbing Materi
dr.Enny Karyani, Sp.A
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Karina Lucia Indriani
NIM : FAA 111 0005
Jurusan : Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Palangka Raya
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Referat “Alergi Makanan” ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan peniruan terhadap karya dari orang
lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk sesuai dengan cara-cara
penulisan yang berlaku. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan
bahwa dalam evidence based referat ini terdapat unsur plagiat dan bentuk-bentuk
peniruan lain yang melanggar aturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Palangka Raya, Nopemeber 2015
Karina Lucia Indriani
FAA 111 0005
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Alergi
Makanan” dengan tepat waktu.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
periode Oktober-Desember 2015.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Enny Kariyani Sp.A selaku pembimbing serta kepada dr. Ni Made Yuliari, Sp.A,
dr.Arieta R.K,Sp. A, dr. Rurin D Septiana Sp.A M.Biomed dan dr. Citra Raditha,
Sp.A yang juga turut membimbing dan membantu penulis dalam penyusunan referat
ini.
Referat ini disusun dengan kemampuan penulis yang terbatas dan masih
banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi perbaikan dan kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.
Palangka Raya, Nopember 2015
Karina Lucia Indriani
FAA 111 0005
iv
Halaman
Lembar Pengesahan ...................................................................................................... ii
Pernyataan Keaslian Tulisan ........................................................................................ iii
Kata Pengantar ............................................................................................................. iv
Daftar Isi........................................................................................................................ v
Daftar Gambar ............................................................................................................. vii
Daftar Tabel ............................................................................................................... viii
I.PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
II. ALERGI MAKANAN
II.1 Pengertian .......................................................................................................... 3
II.2 Etiologi ............................................................................................................... 3
II.3 Patofisiologi ...................................................................................................... 5
II.4 Fase Sensitisasi .................................................................................................. 6
II. 5 Fase Reaksi ...................................................................................................... 7
II. 5.1 Tipe reaksi cepat ........................................................................................... 9
II. 5.2 Tipe reaksi lambat ........................................................................................ 12
II. 6 Genotipe yang diturunkan .............................................................................. 12
III.7 Air susu ibu .................................................................................................... 13
II. 8 Usia saat terpapar antigen pertama kali .......................................................... 13
II. 9 Pemeriksaan Diagnostik ................................................................................. 14
II. 10 Komplikasi ................................................................................................... 18
II.11 Penatalaksaan ................................................................................................ 18
II. 12 Prognosis ...................................................................................................... 19
II. 13 Pencegahan .................................................................................................. 19
IV. PENUTUP ............................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 22
DAFTAR ISI
v
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Respon alergi .......................................................................................... 7
Gambar 2. Tes tusuk ........................................................................................... 13
Gambar 3. Tes tempel (pacth test) ........................................................................ 14
vi
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1 Manisfestasi Klinis ................................................................................. 8
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Alergi makanan sebagian besar didasari reaksi hipersensitivitas tipe I. Gejala
tersering pada organ saluran napas, saluran cerna, kulit dan sistemik berupa
anafilaksis. Pemeriksaan uji kulit (+) terhadap makanan harus dilanjutkan dengan uji
eliminasi dan provokasi (baku linar). Alergi makanan lebih sering terjadi pada usia
tahun pertama kehidupan dan 2/3 akan toleran setelah eliminasi selama 1-2 tahun.
Kurang lebih 15% dari masyarakat menduga bahwa mereka alergi terhadap
salah satu makanan, padahal angka kejadian alergi makanan pada anak berkisar 6-8%
sedangkan pada dewasa 1-2%. 1 Ini disebabkan karena istilah alergi makanan sering
dipakai dalam arti yang salah atau kurang tepat. The American of Allergy and
Immunology and the National Institute of Allergy and Infectious Diseases (National
Institutes of Health=NIH) menetapkan beberapa istilah. Reaksi yang tidak diinginkan
terhadap makanan, disebut juga reaksi simpang makanan (adverse food reaction)
adalah istilah umum yang dipakai untuk menyatakan reaksi yang timbul setelah
memakan sesuatu makanan. Reaksi alergi makanan adalah reaksi simpang makanan
akibat respons imunologik yang abnormal, sedangkan intoleransi makanan akibat
mekanisme non imunologis.1
Sebagian besar alergi makanan dasarnya reaksi hipersensitivitas tipe I yang
diperankan oleh antibodi IgE spesifik. Reaksi alergi makanan dapat juga didasari oleh
non IgE, seperti pada trombositopenia akibat alergi susu sapi yang diperankan oleh
reaksi antigenantibody- dependent cytotoxic (reaksi hipersensitivitas tipe II), dan
reaksi kompleks antigen antibodi (reaksi hipersensitivitas tipe III) dan reaksi
imunologik lain seperti terdapat anti IgA gliadin antibodi pada penyakit Celiac.
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi hipersensitivitas tipe IV) gejalanya timbul
setelah beberapa jam sampai beberapa hari kemudian dan sering memberikan gejala
pada saluran cerna. Sampai sekarang sulit membuktikan patogenesis alergi makanan
yang disebabkan hipersensitivitas tipe II dan tipe III. Diperkirakan sebagian besar
alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperankan oleh IgE
dan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau kombinasi dari keduanya. 2,3
Sebagian besar reaksi simpang makanan tergolong intoleransi makanan.
Contohnya kontaminasi toksik histamin yang dihasilkan ikan, toksin dari Salmonella
atau Shigella, reaksi farmakologis terhadap kafein dalam kopi, tiramin dari keju,
reaksi metabolik pada defisiensi enzim laktase dan reaksi idiosinkrasi akibat
gangguan psikis. Ternyata reaksi alergi makanan lebih sering terjadi pada usia tahun
pertama kehidupan seorang anak. Pada tulisan ini akan dibahas diagnosis dan
tatalaksana alergi makanan.
BAB II
ALERGI MAKANAN
2.1 Definisi
Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada suatu
zat (alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi. Namun,
sebagian besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya
dengan respon imun berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi
hipersensitivitas. Hal ini bergantung pada berbagai keadaan, termasuk pemaparan
antigen, predisposisi genetik, kecenderungan untuk membentuk IgE dan faktor-faktor
lain, misalnya adanya infeksi saluran nafas bagian atas, infeksi virus, penurunan
jumlah sel T-supresor dan defisensi IgA.3
Secara umum penyakit alergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu:2,3
1. Alergi atopik : reaksi hipersensitivitas I pada individu yang secara genetik
menunjukkan kepekaan terhadap alergen dengan memproduksi IgE secara
berlebihan.
2. Alergi obat reaksi imunologi yang berlebihan atau tidak tepat terhadap obat
tertentu.
3. Dermatitiskontak : reaksi hipersenstivitas IV yang disebabkan oleh zat kimia,
atau substansi lain misalnya kosmetik, makanan, dan lain-lain.
Manifestasi klinik alergi paling sering tampak melalui 3 organ sasaran, yaitu
saluran nafas, gastrointestinal dan kulit.
Alergi makanan merupakan reaksi imun abnormal, seperti penyakit alergi lain
yang diperantarai IgE (hipersensitivas tipe I), setelah mencerna makanan spesifik.8
Antigen makanan yang dapat menyebabkan rekasi alergi, terutama adalah
glikoprotein dengan berat molekul (BM) antara 15 hingga 50 kDa atau oligopeptida
dengan panjang lebih dari 8 asam amino.1
2.2 Etiologi
Ada beberapa jenis penyebab alergi yaitu :1,2
1. Defisiensi limfosit T yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetik.
4. Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai jenis
makanan dan zat lain.
Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau
polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan
ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah glikoprotein dan
berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-molekul kecil lainnya juga
dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara langsung atau melalui
mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik misalnya pemberian panas dan tekanan
dapat mengurangi imunogenisitas sampai derajat tertentu. Pada pemurnian ditemukan
allergen yang disebut sebagai Peanut-1 suatu glikoprotein dengan berat molekul
180.000 dalton. Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan allergen-2 masing-
masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000 dalton. Pada pemurnian
alergen pada ikan diketahui allergen- M sebagai determinan walau jumlahnya tidak
banyak. Ovomukoid ditemukan sebagai alergen utama pada telur.2
Pada susu sapi yang merupakan alergen utama adalah Betalaktoglobulin
(BLG), Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin (BSA) dan Bovin Gama
Globulin (BGG). Albumin, pseudoglobulin dan euglobulin adalah alergen utama pada
gandum. Diantaranya BLG adalah alergen yang paling kuat sebagai penyabab alergi
makanan. Protein kacang tanah alergen yang paling utama adalah arachin dan
conarachi.2
Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang
berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa
urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil
seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan menimbulkan
gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan organ yang sensitif
pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar alergi makanan yang
berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu.2
Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi
juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan
timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor
fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus atau bakteri, minuman dingin, udara dingin,
panas atau hujan, kelelahan, aktifitas berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga.
Faktor psikis berupa kecemasan, sedih, stress atau ketakutan. Hal ini ditunjukkan
pada seorang penderita autisme yang mengalami infeksi saluran napas, biasanya
gejala alergi akan meningkat. Selanjutnya akan berakibat meningkatkan gangguan
perilaku pada penderita. Fenomena ini sering dianggap penyebabnya adalah karena
pengaruh obat.2
Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut
terjadinya serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor pencetus tidak akan
terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai dengan adanya
pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang timbul jadi lebih berat. Tetapi bila
tidak mengkonsumsi makanan penyebab alergi meskipun terdapat pencetus, keluhan
alergi tidak akan muncul. Hal ini yang dapat menjelaskan kenapa suatu ketika
meskipun dingin, kehujanan, kelelahan atau aktifitas berlebihan seorang penderita
asma tidak kambuh. Karena saat itu penderita tersebut sementara terhindar dari
penyebab alergi seperti makanan, debu dan sebagainya. Namun bila anak
mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena pencetus
lainnya keluhan alergi yang timbul lebih berat.2
2.3 Patofisiologi
Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan
mastosit atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen
dengan IgE yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan
degranulasi sel dan penglepasan substansi-substansi tertentu misalnya histamin,
vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat terjadi
kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-
IgE. 4,5
Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta
merangsang kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas, histamin
merangsang kontraksi otot polos sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas
dan menyebabkan membran saluran nafas membengkak serta merangsang ekskresi
lendir pekat secara berlebihan. Hal ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat,
sehingga terjadi asma, sedangkan pada kulit, histamin menimbulkan benjolan
(urtikaria) yang berwarna merah (eritema) dan gatal karena peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan pelebaran pembuluh darah. Pada gastrointestinal, histamine
menimbulkan reflek muntah dan diare.5
2.3.1 Peran IgE
Kegagalan tubuh untuk dapat mentoleransi suatu makanan akan merangsang
imunoglobulin E (IgE), yang mempunyai reseptor pada sel mast, basofil dan juga
pada sel makrofag, monosit, limfosit, eosinofil dan trombosit dengan afinitas yang
rendah. Ikatan IgE dan alergen makanan akan melepaskan mediator histamin,
prostaglandin dan leukotrien dan akan menimbulkan vasodilatasi, kontraksi otot polos
dan sekresi mukus yang akan menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I. Sel
mast yang aktif akan melepaskan juga sitokin yang berperan pada reaksi
hipersensitivitas tipe I yang lambat. Bila alergen dikonsumsi berulang kali, sel
mononuklear akan dirangsang untuk memproduksi histamin releasing factor (HRF)
yang sering terjadi pada seorang yang menderita dermatitis atopi. 2
2.3.2 Peran Non IgE
Banyak dilaporkan bahwa mekanisme imun yang lain. (selain reaksi
hipersensitivitas tipe I) dapat sebagai penyebab alergi makanan, namun bukti secara
ilmiah sangat terbatas. Dilaporkan bahwa penelitian membuktikan reaksi
hipersensitivitas tipe III berperan, tapi sedikit bukti yang menyokong penyakit
kompleks imun antigen makanan. Reaksi hipersensitivitas tipe IV timbul beberapa
jam kemudian, tetapi bukti yang pasti belum juga cukup.2
Respon alergi sebagian besar dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE) yaitu
sebagai berikut:4,5
2.4. Fase sensitisasi
Alergen protein dengan berat molekul antara 5-80 kDa, dapat memasuki tubuh
melalui berbagai macam rute seperti kulit, saluran nafas, saluran pencernaan, maupun
sengatan lebah. Saat pertama kali memasuki tubuh manusia, alergen akan dijamu dan
diproses dalam endosome antigen presenting cells (APCs) pada lokasi terjadinya
kontak. APC yang mengandung alergen ini akan bermigrasi menuju organ limfe
sekunder dan mempresentasikan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II
kepada sel limfosit T Helper yang masih polos (Th0). Kesesuaian antara reseptor Th0
dengan MHC kelas II serta tersedianya kostimulator, menyebabkan sel Th0
mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) yang merubah proliferasi sel Th ke arah Th2. Sel
Th2 ini akan meregulasi sel limfosit B (sel B) untuk memproduksi Imunoglobulin (Ig)
tertentu masih melalui IL-4. Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup kuat
menghasilkan Interferon gamma (IFN- γ) untuk mengimbangi aktivitas dari Th2. Th2
akan aktif memproduksi IL-4 yang menyebabkan sel B menukar produksi antibodi
dari IgM menjadi IgE. IgE yang dihasilkan sebagian besar akan menempel pada
reseptor IgE berafinitas tinggi (FcεRI) pada sel mast, basofil, serta eosinofil yang
aktif. 2
2.5 Fase reaksi
Pada paparan ulang, alergen akan segera bereaksi silang dengan bagian Fc
dari minimal 2 reseptor IgE yang menempel pada sel pengekspresi FcεRI. Agregasi
dari sel-sel tersebut, menginisiasi kaskade sinyal dari sel pengekspresi FcεRI yang
berujung dengan dikeluarkannya produk simpanan granul sitoplasma, sintesis, dan
sekresi mediator serta faktor pertumbuhan. Pada sel mast misalnya, beberapa menit
setelah terpapar ulang alergen, sel mast akan mengalami degranulasi yaitu suatu
proses pengeluaran isi granul ke lingkungan ekstrasel yang berupa histamin,
prostaglandin, serta sitokin-sitokin yang menimbulkan berbagai gejala klinis.4
Gambar 1. Respon alergi yang diperantai IgE
Sumber: Bock SA. Prospective appraisal of complaints of adverse reaction to foods in
children during the first 3 years of life. Pediatrics 2008.1
Fase ini dimulai sekitar 2-6 jam setelah paparan alergen dan mencapai
puncaknya setelah 6-9 jam. Mediator inflamasi yang dikeluarkan dari hasil
degranulasi sel mast menarik sel T serta sel mast untuk menginduksi sel imun yang
lain seperti basofil, eosinofil, dan monosit bermigrasi ke tempat kontak. Sel-sel ini
masing-masing akan memproduksi substansi inflamasi spesifik yang mengakibatkan
aktivitas imun berkepanjangan dan kerusakan jaringan. 6
Manifestasi klinis alergi (asma, alergi makanan, alergi obat, alergi serbuk
bunga, dermatitis atopi, dll) merupakan ekspresi dari aktivitas mediator-mediator
reaksi alergi (pada tabel 2) di sekitar daerah yang terpapar (terlokalisir) dan dapat
juga berlangsung sistemik. Variasi manifestasi klinis dimungkinkan pada tiap jenis
alergi dikarenakan jaringan tempat terjadinya kontak terhadap antigen yang berbeda-
beda. Namun, hal ini juga berarti dapat terjadi kesamaan manifestasi klinis antar jenis
alergi. Manifestasi yang ditimbulkan bermacam-macam : 22,5% pada saluran cerna,
20,1% pada kulit, dan 43,2% pada saluran nafas.27 Manifestasi klinis yang sering
timbul pada bayi adalah tipe cepat (dalam hitungan menit hingga 2 jam setelah
terpapar alergen) yang diperantai oleh IgE dengan gejala utama adalah ruam kulit,
eritema perioral, angioedema, urtikaria, dan anafilaksis. Bila gejala timbul lama
(dalam 1 hingga 2 minggu) setelah paparan, mengenai saluran cerna berupa kolik,
muntah, dan diare biasanya bukan diperantarai IgE.7
Tabel 1. Manifestasi Klinis
ORGAN/SISTEM
TUBUH
GEJALA DAN TANDA
1 Sistem Pernapasan Bayi lahir dengan sesak (Transient Tachipneu Of The
newborn), cold-like respiratory congestion (napas
berbunyi/grok-grok).
2 Sistem Pencernaan sering rewel/colic malam hari, hiccups (cegukan), sering
“ngeden”, sering mulet, meteorismus, muntah, sering
flatus, berak berwarna hitam atau hijau, berak timbul
warna darah. Lidah sering berwarna putih. Hernia
umbilikalis, scrotalis atau
inguinalis.
3 Telinga Hidung
Tenggorok
Sering bersin, Hidung berbunyi, kotoran hidung
berlebihan. Cairan telinga berlebihan. Tangan sering
menggaruk atau memegang telinga.
3 Sistem
Pembuluh Darah dan
jantung
Palpitasi, flushing (muka ke merahan), nyeri dada, colaps,
pingsan, tekanan darah rendah
4 Kulit Erthema toksikum. Dermatitis atopik, diapers
dermatitis. urticaria, insect bite, berkeringat berlebihan.
5 Sistem Saluran Kemih Sering kencing, nyeri kencing, bed wetting (ngompol)
Frequent, urgent or painful urination; inability to control
bladder; bedwetting; vaginal discharge; itching, swelling,
redness or pain in genitals; painful intercourse.
6 Sistem Susunan Saraf
Pusat
Sensitif, sering kaget dengan rangsangan suara/cahaya,
gemetar, bahkan hingga kejang.
7 Mata Mata berair, mata gatal, kotoran mata berlebihan, bintil
pada mata, conjungtivitis vernalis.
Sumber: Bock SA. Prospective appraisal of complaints of adverse reaction to foods in
children during the first 3 years of life. Pediatrics 2008.1
2.5.1 Reaksi tipe cepat
Reaksi tipe cepat terjadi dalam hitungan menit hingga 2 jam setelah
mengkonsumsi alergen meski hanya dalam jumlah yang sedikit. Reaksi tipe cepat
ditandai dengan hasil skin prick test dan atau serum IgE yang positif terhadap
alergen.7,8
Reaksi tipe cepat terhadap alergen dapat muncul sebagai reaksi sistemik (
anafilaktik syok ) atau reaksi pada saluran cerna, kulit, dan nafas.7
Reaksi pada saluran cerna, kulit dan nafas akan dibahas lebih lanjut adalah
berikut :
a. Anafilaksis saluran cerna (non spesifik)
Alergi saluran cerna tipe cepat/anafilaksis saluran cerna (non spesifik) dapat
menimbulkan reaksi pada saluran cerna seperti muntah, mual, regurgitasi, nyeri perut,
nyeri kolik perut, dan diare. Reaksi tipe cepat pada saluran cerna bagian atas biasanya
terjadi dalam hitungan menit hingga 2 jam setelah konsumsi susu sapi sedangkan
reaksi pada saluran cerna bagian bawah ( diare ) terjadi dalam kurun waktu 2 hingga
6 jam.9
b. Sindrom alergi oral
Sindrom alergi oral merupakan reaksi alergi dengan kumpulan gejala : gatal
pada bibir, lidah, langit-langit mulut, dan tenggorokan dengan atau tanpa bengkak
dan atau rasa menggelitik pada daerah tersebut. Pada anak-anak gejala yang paling
sering terlihat adalah bengkak pada bibir. Biasanya, terjadi setelah mengkonsumsi
sayuran atau buah.9
c. Rhinokonjungtivitis dan asma
Rhinokonjungtivitis dan asma dapat dialami karena konsumsi maupun
terpapar atau menghirup uap panas dari alergen. Rhinokonjungtivitis memiliki gejala
pada mata dan hidung yaitu : gatal pada daerah di sekitar mata, mata merah, berlinang
air mata , bersin-bersin, gatal pada hidung, hidung tersumbat, dan hidung meler.
Radang telinga tengah kronik serosa dapat terjadi sebagai akibat rhinitis alergika yang
kronik. Asma pada alergi dapat menampilkan gejala spasme bronkus yaitu : batuk,
mengi, sesak nafas, dan dapat juga subklinis.9
d. Urtikaria akut dan angioedema
Urtikaria akut dan angioedema terjadi beberapa saat setelah mengkonsumsi
atau mengalami kontak dengan alergen (kontak urtikaria). Urtikaria akut terjadi pada
lapisan superfisial dermis sedangkan angioedema pada lapisan dalam dermis dan
subkutan. Gambaran lesi urtikaria akut adalah sebagai berikut : lesi merah, berbatas
tegas, lebih tinggi dari kulit sekitar, lebih putih pada bagian tengah, sangat gatal, dan
hilang dalam beberapa waktu ( < dari 6 minggu). Angioedema sering muncul
bersamaan dengan urtikaria akut dan memiliki gambaran sebagai berikut : nonpiting
(cekungan dapat kembali), tidak gatal, bengkak yang berbatas tegas yang mengenai
daerah muka, tangan, pantat, dan daerah genital.10
2.5.2 Reaksi tipe lambat
Reaksi tipe lambat ditandai dengan hasil skin prick test serta IgE dari alergen
yang negatif dan gejala akan timbul beberapa hari setelah mengkonsumsi alergen.
Gejala yang sering timbul adalah sebagai berikut :
a. Dermatitis/eksema atopi
Dermatitis/eksema atopi biasanya dimulai sejak anak berumur kurang dari 1
tahun yang ditandai dengan : reaksi yang terjadi lebih dari 2 jam setelah konsumsi
alergen, kronik (> 6 minggu), dengan periode kambuh (flare) dan sembuh (remisi),
lesi merah yang biasanya terdapat di sisi flexor (antecubiti, fossa poplitea,
pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan leher), dan lesi sangat gatal.9
b. Gastroenteropati eosinofilik
Gastroenteropati eosinofilik (GE) merupakan kelompok kelainan yang
ditandai dengan berkumpulnya eosinofil secara masif pada minimal satu lapisan dari
saluran cerna. Saluran cerna yang sering terkena adalah esofagus (esofagitis
eosinofilik (EE)), rektum serta usus besar (proktokolitis eosinofilik (PE)), dan usus
halus (gastroenteritis eosinofilik (GE)). Gejala EE pada anak adalah : mual, muntah,
regurgitasi, nyeri epigastrium, susah menelan, nafsu makan menurun, impaksi
makanan, penolakan makan, berat badan susah naik,dan respon tidak baik terhadap
terapi antirefluks.32-34 PE banyak terjadi 6 bulan awal kehidupan, dengan gejala
feses anak bercampur lendir dan darah yang mengalami perbaikan klinis dengan
menghindarkan susu sapi. Sedangkan anak dengan GE mengalami gejala sebagai
berikut : mual, muntah, diare, nyeri perut, terdapat darah dalam feses, anemia
defisiensi besi, malabsorbsi, dan gagal tumbuh.8
c. Dismotil alergika
Pada dasarnya semua bentuk alergi yang tidak dimediasi IgE pada saluran
cerna merupakan suatu peristiwa dismotil (terjadi gangguan dan perubahan pada
kecepatan, kekuatan, dan koordinasi pada organ saluran cerna), termasuk di dalamnya
adalah : muntah, refluks lambung-esofagus, konstipasi, kolik intestinal, dan diare.9
d. Food protein-induced enterocolitis syndrome (FPIES)
FPIES memiliki gambaran klinis terjadinya akut, onsetnya pada akhir dari
spektrum alergi susu sapi di saluran cerna, muntah proyektil berulang, gagal tumbuh,
hipotonia, pucat, dan terkadang mengalami diare 1 hingga 3 jam setelah konsumsi
susu sapi maupun susu kedelai.8,9
e. Food protein-induced enteropathy (FPIC)
Pasien dengan FPIC memiliki gambaran klinis : diare kronis, mengalami
penurunan berat badan, anemia ringan hingga sedang, hipoproteinemia, edema,
muntah dengan derajat yang bervariasi, dan menunjukkan gejala klinis akibat
intoleransi laktosa sekunder yaitu ekskoriasi daerah perianal. Diagnosa FPIC
ditegakkan dengan membuktikan terjadinya peningkatan α-1-antitripsin pada tinja
anak.9
2.7 Genotipe yang diturunkan
Orang tua yang menderita alergi merupakan determinan terkuat dari penyakit
alergi pada anak. Hal ini dikarenakan kecenderungan aktivitas faktor-faktor
modifikasi dari ekspresi genetik yang dimiliki kedua orang tua, akan diturunkan
kepada keturunannya dan menjadi cetakan perintah pada saat pemprograman
epigenetik10
Pengaruh riwayat alergi pada ibu lebih menentukan perkembangan alergi anak
daripada riwayat alergi ayah. Hal ini dikarenakan adanya interaksi imun yang lebih
banyak pada saat sirkulasi materno-fetal. Pada ibu alergi, terjadi modifikasi interaksi
imun yaitu penurunan respon Th1 IFN-γ terhadap antigen bayi. Perbedaan sitokin
terjadi dan menyebabkan terlambatnya maturasi Th1 saat neonatus.46
2.8 Air susu ibu
Pemberian ASI terutama dalam 6 bulan pertama kehidupan (ASI eksklusif)
krusial dalam kejadian penyakit alergi terutama alergi makanan. Hal ini dikarenakan
kandungan Sekretori Imunoglobulin A (S-IgA) yang dimiliki ASI berperan sentral
dalam perlindungan mukosa saluran cerna bayi yang belum matur.
Bayi belum dapat memproduksi S-IgA sendiri dalam jumlah adekuat sehingga
S-IgA dari ASI merupakan sumber utama S-IgA bayi. S-IgA mencegah protein luar
lolos dari
mukosa saluran cerna dan berinteraksi dengan APCs dalam aliran darah saluran
cerna.31 ASI juga memiliki komponen CD14 terlarut (sCD14) yang memiliki peran
penting didalam kolonisasi kuman usus segera setelah kelahiran dan respon imun
adaptif terhadap kolonisasi kuman tersebut.11
Pengaruh riwayat alergi pada ibu lebih menentukan perkembangan alergi anak
daripada riwayat alergi ayah. Hal ini dikarenakan adanya interaksi imun yang lebih
banyak pada saat sirkulasi materno-fetal. Pada ibu alergi, terjadi modifikasi interaksi
imun yaitu penurunan respon Th1 IFN-γ terhadap antigen bayi. Perbedaan sitokin
terjadi dan menyebabkan terlambatnya maturasi Th1 saat neonatus.11
2.9 Usia saat terpapar antigen pertama kali
Usia bayi dikatakan sebagai faktor resiko ASS dikarenakan, dengan
bertambahnya umur, telah terjadi maturasi barier terhadap antigen makanan, sehingga
terjadi toleransi mukosa pencernaan terhadap protein susu sapi anak sebanyak 85%
pada anak 3 tahun.12
2.10 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa
(mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang
riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak
bayi dan dengan eliminasi dan provokasi.15
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mencari penyebab alergi sangat banyak
dan beragam. Baik dengan cara yang ilmiah hingga cara alternatif, mulai yang dari
yang sederhana hingga yang canggih. Diantaranya adalah uji kulit alergi,
pemeriksaan darah (IgE, RASt dan IgG), Pemeriksaan lemak tinja, Antibody
monoclonal dalam sirkulasi, Pelepasan histamine oleh basofil (Basofil histamine
release assay/BHR), Kompleks imun dan imunitas seluler, Intestinal mast cell
histamine release (IMCHR), Provokasi intra gastral melalui endoskopi, biopsi usus
setelah dan sebelum pemberian makanan. Selain itu terdapat juga pemeriksaan
alternative untuk mencari penyebab alergi makanan diantaranya adalah kinesiology
terapan (pemeriksaan otot), Alat Vega (pemeriksaan kulit elektrodermal), Metode
Refleks Telinga Jantung, Cytotoxic Food Testing, ELISA/ACT, Analisa Rambut,
Iridology dan Tes Nadi.14,15
Banyak kasus pengendalian alergi makanan tidak berhasil optimal, karena
penderita menghindari beberapa penyebab alergi makanan hanya berdasarkan
pemeriksaan yang bukan merupakan baku emas atau “Gold Standard”. Pemberian
obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi makanan. Paling
ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut.
Pemberian obat anti alergi, anti jamur dan anti bakteri jangka panjang berarti terdapat
kegagalan dalam mengendalikan penyebab alergi makanan.
Pemeriksaan tes alergi makanan, antara lain:15,16,17
1. Pengukuran kadar IgE total dan spesifik dengan menggunakan metode ELISA
atau RIA.
2. Tes provokasi dan eliminasi makanan
Tujuannya mengetahui alergi terhadap makanan tertentu.
Prosedur tes provokasi makanan dan eliminasi ini antara lain adalah sebagai
berikut:
Dapat dilakukan pada anak usia berapa pun.
Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu
anamnesis atau riwayat penyakit anak dan pemeriksaan yang cermat tentang
riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan dan tanda serta gejala alergi
makanan sejak kecil.
Selanjutnya, untuk memastikan makanan penyebab alergi,
digunakan metode Provokasi Makanan Secara Buta (Double Blind Placebo
Control Food Chalenge atau DBPCFC), yang merupakan standar baku.
Namun karena cara DBPCFC ini rumit dan butuh biaya serta waktu tidak
sedikit, beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap
metode ini. Salah satunya, dengan melakukan “Eliminasi Provokasi Makanan
Terbuka Sederhana”.
Caranya: dalam diet sehari-hari anak, dilakukan eliminasi (dihindari)
beberapa makanan penyebab alergi selama 2–3 minggu. Setelah itu, bila
sudah tidak ada keluhan alergi, maka dilanjutkan dengan provokasi makanan
yang dicurigai. Selanjutnya, dilakukan diet provokasi 1 bahan makanan dalam
1 minggu dan bila timbul gejala dicatat. Disebut sebagai penyebab alergi bila
dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala. Tak perlu takut anak akan
kekurangan gizi, karena selain eliminasi diet ini bersifat sementara, anak
dapat diberi pengganti makanan yang ditiadakan yang memiliki kandungan
nutrisi setara.16
3. Tes kulit untuk alergi, antara lain:17
a. Tes tusuk (Prick Test)
Cara melakukannya adalah:
1. Tes dilakukan di kulit lengan bawah sisi dalam. Kulit diberi alat khusus
disebut ekstrak alergen yang diletakkan di atas kulit dengan cara
diteteskan. Ekstrak alergen berupa bahan-bahan alami, misalnya berbagai
jenis makanan, bahkan tepung sari.
2. Tidak menggunakan jarum suntik biasa tetapi menggunakan jarum
khusus, sehingga tidak mengeluarkan darah atau luka, serta tidak
menyakitkan.
3. Hasil tes diketahui dalam 15 menit. Bila positif alergi terhadap alergen
tertentu, akan timbul bentol merah yang gatal di kulit.
4. Tes ini harus dilakukan oleh dokter yang betul-betul ahli di bidang alergi-
imunologi karena tehnik dan interpretasi (membaca hasil tes) lebih sulit
dibanding tes lain.
Gambar 2. Tes tusuk (Skin prick test)
Hasil tes negatif apabila tidak ada bentol atau eritema atau hasil tes sama
dengan kontrol
Hasil tes positif apabila terjadi bentul atau eritema
o Positif 1 : bila didapatkan tidak ada bentul dan diameter eritema <
20 mm.
o Positif 2 : bila didapatkan tidak ada bentul dan diameter eritema >
20 mm.
o Positif 3 : bila didapatkan bentul dan eritema.
o Positif 4 : bila didapatkan dengan psudopodia.
b. Tes tmpel (Patch Test)
1. Dua hari sebelum tes, anak tidak boleh melakukan aktivitas yang
berkeringat atau mandi. Punggungnya pun tidak boleh terkena gesekan
dan harus bebas dari obat oles, krim atau salep.
2. Tes akan dilakukan di kulit punggung. Caranya, dengan menempatkan
bahan-bahan kimia dalam tempat khusus (finn chamber) lalu ditempelkan
pada punggung anak. Selama dilakukan tes (48 jam), anak tidak boleh
terlalu aktif bergerak.
3. Hasil tes didapat setelah 48 jam. Bila positif alergi terhadap bahan kimia
tertentu, di kulit punggung akan timbul bercak kemerahan atau melenting.
Gambar 3. Tes tempel (patch test)
Tes negatif bila tidak ada reaksi terhadap zat yang ditempati yang
menunjukkan alergi.
Hasil tes positif
o Positif 1 : bila ada eritema.
o Positif 2 : bila ada eritema dan papula.
o Positif 3 : bila ada eritema, papula dan vesikuler.
c. Tes hidung
Hasil tes positif bila dalam beberapa menit timbul bersin-bersin, pilek, hidung
tersumbat, kadang-kadang batuk, pada mukosa hidung tampak bengkak.
d. Tes provokasi bronkial
Tes yang sering dipakai adalah tes kegiatan jasmani, tes inhalasi antigen, tes
inhalasi metakolin, tes inhalasi histamin.
4. Pengukuran kadar histamin dalam darah atau urin dengan metode ELISA atau
HPLC.
5. Analisis immunoglobulin serum dapat menunjukkan peningkatan basophil dan
eosinofil.
6. Biopsy usus
7. Foto thorax
Untuk melihat komplikasi asma dan sinus paranasal untuk mengetahui
komplikasi rinitis.
8. Spirometri
Untuk menentukan obstruksi saluran nafas baik beratnya maupun reversibilitas.
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah terjadinya gangguan pertumbuhan
: malnutrisi, berat badan sulit naik, kesulitan makan berulang dan lama. Kadangkala
juga bias terjadi sebaliknya yaitu menimbulkan kegemukan. Sedangkan komplikasi
yang cukup mengganggu adalah adanya gangguan perkembangan berupa gangguan
belajar, gangguan pemusatan perhatian, gangguan emosi, agresif, keterlambatan
bicara, keterlambatan bicara, bahkan dapat memicu atau memperberat gejala autisme.
2.12 Penatalaksanaan
1. Terapi ideal adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eleminasi.17
2. Terapi simtomatis dilakukan melalui pemberian :17
a) Antihistamin dan obat-obat yang menghambat degranulasi sel mast dapat
mengurangi gejala-gejala alergi.
- Dosis Cetirizine pada Dewasa dan anak > 12 tahun : 5-10 mg sekali sehari, tergantung pada beratnya gejala. Usila: 5-10 mg sekali
sehari.
- Dosis Cetirizine pada Anak-anak 6-11 tahun :
5-10 mg sekali sehari, tergantung beratnya gejala.
- Dosis Obat cetirizine Anak-anak 2-5 tahun :
Awal, 2.5 mg (½ sendok teh atau 2.5 ml sirup) sekali sehari. Dapat
ditingkatkan hingga 5 mg (1 sendok teh atau 5 ml) sekali sehari atau 2.5 mg
(½ sendok teh atau 2.5 ml) setiap 12 jam.
- Dosis Cetirizine pada Anak-anak dan bayi 6-23 bulan :
Gunakan sirup 2.5 mg (½ sendok teh atau 2.5 ml) sekali sehari.
b) Kortikosteroid yang dihirup bekerja sebagai obat peradangan dan dapat
mengurangi gejala suatu alergi.
3. Untuk gejala yang berat dan lama, bila terapi lain tidak memuaskan dilakukan
imunoterapi melalui, terapi desensitisasi berupa penyuntikan berulang
allergen dalam jumlah yang kecil dapat mendorong pasien membentuk
antibody IgG terhadap alergen.
2.13 Prognosis
Meskipun tidak bisa hilang sepenuhnya, tetapi alergi makanan biasanya
akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran
cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena
alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik
maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada
usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap.
Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti
udang, kepiting atau kacang tanah.17
2.14 Pencegahan
Pencegahan alergi makanan terbagi menjadi 3 tahap, yaitu pencegahan primer,
sekunder dan tersier:17
1. Pencegahan Primer bertujuan untuk menghambat sesitisasi imunologi oleh
makanan terutama mencegah terbentuknya Imunoglobulin E (IgE).. Pencegahan ini
dilakukan sebelum terjadi sensitisasi atau terpapar dengan penyebab alergi. Hal ini
dapat dilakukan sejak saat kehamilan.
2. Pencegahan sekunder bertujuan untuk mensupresi (menekan) timbulnya penyakit
setelah sensitisasi. Pencegahan ini dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi
manifestasi penyakit alergi belum muncul. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara
pemeriksaan IgE spesifik dalam serum darah, darah tali pusat atau uji kulit.
3. Pencegahan tersier, bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah timbulnya
alergi. Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan
manifestasi penyakit yang masih dini tetap[i belum menunjukkan gejala penyakit
alergi yang lebih berat. Saat tindakan yang optimal adalah usia 6 bulan hingga 4
tahun.
Kontak dengan antigen harus dihindari selama periode rentan pada bulan-
bulan awal kehidupan, saat limfosit T belum matang dan mukosa usus kecil dapat
ditembus oleh protein makanan. Ada beberapa upaya pencegahan yang perlu
diperhatikan supaya anak terhindar dari keluhan alergi yang lebih berat dan
berkepanjangan dikemudian hari :
Hindari atau minimalkan penyebab alergi sejak dalam kandungan, dalam hal ini oleh
ibu. Bila ibu hamil didapatkan gerakan atau tendangan janin yang keras dan
berlebihan pada kandungan disertai gerakan denyutan keras (hiccups/cegukan)
terutama malam atau pagi hari, maka sebaiknya ibu harus mulai menghindari
penyebab alergi sedini mungkin mendapat makanan pada usia 6 bulan mempunyai
angka kejadian dermatitis alergi yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang
mulai mendapat makanan tambahan pada usia 3 bulan.
Hindari paparan debu di lingkungan seperti pemakaian karpet, korden tebal, kasur
kapuk,
Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah resiko alergi pada
bayi. Bila bayi minum ASI, ibu juga hindari makanan penyebab alergi. Makanan
yang dikonsumsi oleh ibu dapat masuk ke bayi melalui ASI. Terutama kacang-
kacangan, dan dipertimbangkan menunda telur, susu sapi dan ikan. Meskipun masih
terdapat beberapa penelitian yang bertolak belakang tentang hal ini.17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Alergi makanan merupakan reaksi imun abnormal, seperti penyakit alergi lain
yang diperantarai IgE (hipersensitivas tipe I) setelah mencerna suatu makanan
spesifik
2. Pemeriksaan diagnostik Gold Standart untuk alergi makanan adalah “uji
provokasi makanan dan eliminasi”.
3. Terapi ideal adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eleminasi
dan terapi simtomatis dilakukan melalui pemberian antihistamin dan obat-obat
yang menghambat degranulasi sel mast dapat mengurangi gejala-gejala alergi
dan melalui pemberian kortikosteroid yang dihirup bekerja sebagai obat
peradangan dan dapat mengurangi gejala suatu alergi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bock SA. Prospective appraisal of complaints of adverse reaction to foods in
children during the first 3 years of life. Pediatrics 2008; 79:683-8.
2. Burks Wesley A. Childhood food allergy. Immunol and Allergy Clin North Amer
1999; 19:397-407.
3. Sampson HA. Food allergy. JAMA 1997; 278:1888-94.
4. Siregar P Sjawitri. Faktor atopi dan asma bronkial pada anak. Dipresentasikan pada
simposium alergi saluran napas pada anak informasi terkini. Jakarta, Oktober 1999.
5. Siregar P Sjawitri, Ida Mardiati, Akib Arwin. Cows milk allergy. Paediatr Indones
1999; 39:83-7.
6. Bruno LB. Prophylaxis of cow’s milk allergy. Pediatr Allergy Immunol 1997: 8
(suppl 10): 11-5.
7. Hill DJ, Hasking CS. Emerging disease profiles in infants and young children with
food allergy. Pediatr Allergy Immunol 1997: 8 (suppl 10): 21-26.
8. Broadbent JB. Diagnosis and management of food hypersensitivity. Immunol and
Allergy Clin North Amer 1999; 19:463-77.
9. Bock SA, Lee W, Remigio L, dkk,. Studies of hypersensitivity reactions to food in
infants and children. J Allergy Clin Immunol 1983; 71:473-80.
10. Borkowski TA, Eigenmann PA, Sicherer SH, dkk,. Prevalence of IgE-mediaated
food allergy among children with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 1998;
101:s241.
11. Burks AW, James JM, Hiegel A, dkk,. Atopic dermatitis and food
hypersensitivity reactions. J Pediatr 1998; 132:132-6.
12. Siregar P Sjawitri, Bambang Madiyono, Amar W Adisasmito. Risk factors of
respiratory allergy among children with atopic dermatitis. Paediatr Indones 1999;
39:134-44.
13. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F, dkk,. Chronic constipation as symptom of
cow milk allergy. J Pediatr 1995; 126:34-9.
14. Onorato J, Merland N, Terral C, dkk,. Placebo controlled double-blind food
challenges in asthma. J Allergy Clin Immunol 1986; 78:1139-49.
15. Yungyinger JW, Sweeney KG, Sturner WQ, dkk,. Fatal food-induced
anaphylaxis. JAMA 1988; 260:1450-2.
16. Bock SA, Sampson HA. Food allergy in infancy. J Pediatr Clin North Am 1994;
41:1047-67.
17. Sampson HA, Albergo R. Comparison of results of skin tests, RAST, and double-
blind placebo-controlled food chaallenges in children with atopic dermatitis. J
Allergy Clin Immunol 1984; 74:26-33.