Download - refarat keratomikosis
KERATOMIKOSIS
I. PENDAHULUAN
Kornea adalah salah satu media refrakta sehingga manusia dapat melihat. Seorang
ahli mata dapat melihat struktur dalam mata karena kornea bersifat jernih dan memiliki daya
bias sebesar 43D. 1
Kornea memiliki mekanisme protektif terhadap lingkungan maupun paparan patogen
(virus, amuba, bakteri dan jamur). Ketika patogen berhasil masuk dan membuat defek
epitelial di kornea, maka jaringan braditropik kornea akan merespon patogen spesifik dengan
peradangan pada kornea (keratitis).(1)
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata
sebab kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan.
Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa
bakteri, jamur dan virus dan bila terlambat di diagnosis atau diterapi secara tidak tepat
akan mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut yang luas.
Infeksi jamur pada kornea atau keratomikosis merupakan masalah tersendiri secara
oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini, padahal
keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya sesuai dengan lingkungan
masyarakat Indonesia yang agraris dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban
tinggi. Setelah diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan kendala,
karena jenis obat anti jamur yang masih sedikit tersedia secara komersial di Indonesia
serta perjalanan penyakitnya yang sering menjadi kronis.(1)
II. ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA
1. Anatomi
Gambar 1 : Anatomi kornea (1)
Permukaan kornea dibentuk oleh epitel skuamosanon keratin yang dapat
meregenerasi dengan cepat bila terjadi kerusakan.Dalam hitungan jam,kerusakan
epitel ditutup dengan migrasi sel dan pembelahan sel yang cepat. Namun, ini terjadi
bila stem sel limbus di limbus korneatidak rusak. Regenerasi kornea tidak
akanberlangsung jika sel-sel ini rusak. Sebuah epitel utuh berfungsi untuk melindungi
bagian dalamnya terhadap infeksi, kerusakan pada epitelakan memudahkan patogen
untukmasuk ke mata.(1)
Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang terdiri atas: (1)
1. Epitel
Tebalnya 50µm, terdiri atas lima atau enam lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng. Lapisan
tersebut dibagi menjadi lapisan sel basal: sel kuboid dimana pembelahan sel terjadi.
Wing sel: lapisan kedua adalah berbentuk sayap agar sesuai dengan permukaan
anterior sel basal yang bulat. Sel superfisial: tiga lapisan sel berikutnya
menjadisemakin menyatu karena aktivitas mitosis dalam lapisan sel basal.Sel-sel
paling superfisial melepaskan diri dari permukaan sebagai proses normal.
2. Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Stroma adalah jaringan yang sangat braditrofik. Sebagai jaringan avascular. Namun,
avascular yang membuatnya menjadi situs istimewa untuk dilakukan pencangkokan.
Kornea transplantasi dapat dilakukan tanpa mengambil jaringan sebelumnya.
Peningkatan risiko penolakan hanya perlu dikhawatirkan jika kornea resipien memiliki
vaskularisasi yang mungkin terjadi setelah cedera kimia atau peradangan. Pada beberapa
kasus pencangkokan memerlukan terapi imunosupresifdengan cyclosporin.(1)
4. Membrana Descemet adalah membrane pada posterior kornea yang berdekatan dengan
bilik mata depan. Membran descement merupakan membran yang relatif kuat yang akan
mempengaruhi bentuk ruang anterior bahkan bila stroma kornea telah benar-benar rusak.
Karena merupakan membran basal, jaringan yang hilang akan diregenerasi oleh sel
endotel fungsional.(1)
5. Endotel
Endotelium kornea bertanggung jawab atas transparansi kornea. Endotelium
kornea tidak mengalami regenerasi, kerusakan endothelium akan ditutup oleh
pembesaran sel dan migrasi sel.(1)
2. Fisiologi Kornea
Fungsi utama kornea adalah sebagai membran protektif dan sebuah “jendela” yang dilalui
cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang
avaskuler, memiliki struktur yang bersifat deturgescence. Deturgescence, atau keadaan
dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa aktif bikarbonat dari endothelium
dan fungsi penghalang dari epitel dan endotel. Endotelium lebih penting daripada epitel
dalam mekanisme dehidrasi dan kimia atau kerusakan fisik pada endotelium ini jauh lebih
serius daripada kerusakan epitel. Penghancuran sel-sel endotel menyebabkan edema kornea
dan hilangnya transparansi. Di sisi lain, kerusakan epitel hanya bersifat sementara, edema
lokal dari stroma kornea yang membersihkan ketika sel-sel epitel beregenerasi. Penguapan air
dari film air mata precorneal menghasilkan hipertonisitas film, bahwa proses dan penguapan
langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea superfisial untuk
mempertahankan keadaan dehidrasi (3)
Penetrasi kornea utuh oleh obat adalah bifasik.zat yang larut dalam lemak dapat melewati
epitel utuh danzat larut dalam air dapat melewati stroma utuh. Untuk melewati kornea, obat
harus memiliki kemampuan larut dalam lemak dan larut dalam air.(4)
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur jaringan yang
braditrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti penyembuhannya juga lambat.
Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa) diperoleh dari 3 sumber, difusi dari kapiler –
kapiler disekitarnya, difusi dari humor aquous, dan difusi dari film air mata.(1)
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan
membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan pasien akan
melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air mata juga
melindungi mata dari infeksi.(1)
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi taktil
yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata.Setiap kerusakan pada kornea
(erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose ujung saraf
sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks lakrimasi dan penutupan
bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan mata involunter (blepharospasme),
refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya
cedera kornea. (1)
III. ETIOLOGI
Keratitis jamur kurang umum daripada keratitis bakteri, tapi relatif lebih
sering pada daerah tropis dan pada pasien dengan gangguan kornea kronis dan
imunosupresi. 4
Faktor predisposisi terjadinya keratitis adalah trauma, keratopati ulserasi,
penyakit mata herpetic, defisiensi film air mata yang parah, dan pemakaian lensa
kontak. Patogen umum adalah bakteri (Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermis, Streptococcus Pneumoniae, Streptococcus Pyogenes, Viridans
streptococci, Pseudomonas Aeruginosa, Haemophilus Influenza, Proteus Mirabilis,
Serratia Marescens), jamur (Fusarium solani, spesies Aspergillus, spesies
Acremonium, spesies Alternaria, spesies Penicilium, Candida albicans), dan
protozoa(Acanthamoeba). 5
Organisme yang paling umum berbeda dalam wilayah geografis yang berbeda
dari Amerika Serikat: Candida albicans di utara dan timur laut dan Fusarium di
selatan. Aspergillus adalah lazim di kedua daerah. Tidak seperti keratitis bakteri,
jamur keratitis cenderung menjadi proses yang lebih lamban. Juga tidak seperti
keratitis bakteri, kerokan kornea dangkal mungkin positif pada sampai dengan 85%
dari kasus. Organisme jamur cenderung untuk menembus jauh ke dalam substansi
jaringan daripada menyebar sepanjang permukaan atau di sepanjang pesawat antara
lamellae kornea. Organisme jamur mudah dapat menembus membran suatu descemet
utuh ke dalam ruang anterior, menyebabkan hypopyon awal dalam perjalanan
penyakit, bahkan sebelum jaringan episcleral menjadi klinis meradang. Secara
karakteristik, steroid topikal digunakan sebelum organisme menjadi didirikan di
jaringan kornea.(6)
IV. PATOFISIOLOGI
Keratomikosis dapat terjadi setelah trauma ocular karena paparan bahan
tanaman ke dalam mata.,biasanya Aspergillus fusarium dan spesies Cephalosporium.
Pada pasien lemah atau pasien imunosupresi, infeksi jamur cenderung lebih
disebabkan oleh Candida dan ragi lainnya.(7)
Untuk terjadinya infeksi, organism harus menembus epitel, stroma, melakukan
replikasi, dan menghasilkan racun yang merusak struktur kornea dan memulai respon
dari host. Respon host dapat berupa respon spesifik dan non-spesifik. Respon yang
paling jelas adalah pengangkutan leukosit ke dalam daerah yang terinfeksi.
Akumulasi ini dapat dilihatdalam bentuk klinis dan dapat ditemukan pus atau
pembentukan abses. Organisme dan respon host berkontribusi terhadap kerusakan
kornea, termasuk ulserasi5
V. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada pasien dengan ulkus kornea sangat bervariasi, tergantung
dari penyebab dari ulkus itu sendiri. Gejala dari ulkus kornea yaitu nyeri yang ekstrim
oleh karena paparan terhadap nervus, oleh karena kornea memiliki banyak serabut
nyeri, kebanyakan lesi kornea menimbulkan rasa sakit dan fotopobia. Rasa sakit ini
diperhebat oleh gesekan palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan
menetap sampai sembuh. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan
membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan
terutama jika letaknya di pusat. Fotopobia pada penyakit kornea adalah akibat
kontraksi iris beradang yang sakit. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena
refleks yang disebabkan iritasi pada ujung saraf kornea. Fotopobia yang berat pada
kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi
pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun
berairmata dan fotopobia umunnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada
tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.
Tanda penting ulkus kornea yaitu penipisan kornea dengan defek pada epitel
yang nampak pada pewarnaan fluoresen. Biasanya juga terdapat tanda-tanda uveitis
anterior seperti miosis, aqueusflare (protein pada humor aqueus) dan kemerahan pada
mata. Refleks axon berperan terhadap pembentukan uveitis, stimulasi reseptor nyeri
pada kornea menyebabkan pelepasan mediator inflamasi seperti prostaglandin,
histamine dan asetilkolin. Pemeriksaan terhadap bola mata biasanya eritema, dan
tanda-tanda inflamasi pada kelopak mata dan konjungtiva, injeksi siliaris biasanya
juga ada. Eksudat purulen dapat terlihat pada sakus konjungtiva dan pada permukaan
ulkus, dan infiltrasi stroma dapat menunjukkan opasitas kornea berwarna krem. Ulkus
biasanya berbentuk bulat atau oval, dengan batas yang tegas. Pemeriksaan dengan slit
lamp dapat ditemukan tanda-tanda iritis dan hipopion.
Gejala ulkus kornea jamur pada fase awal biasanya lebih ringan dibandingkan
dengan ulkus kornea bakteri dan bisa memberikan tanda injeksio konjungtiva yang
minimal atau tidak ada sama sekali. Lesi superfisial kelihatan berwarna putih keabu-
abuan, menonjol pada permukaan kornea, mempunyai tekstur yang kering, kasar atau
tidak rata yang bisa dilihat pada saat kerokan diagnostik. Bisa juga ditemukan infiltrat
multifokal atau satelit, namun jarang dilaporkan. Sebagai tambahan, bisa terjadi
infiltrat stroma dalam epitelium yang intak. Plak endotel/dengan hipopion juga bisa
didapatkan jika infiltrat jamur cukup besar atau dalam.
Keratitis fungal memperlihatkan tidak ada kecenderungan untuk umur, jenis
kelamin atau ras. Kadang pasien memiliki riwayat trauma kornea, biasanya dari
bahan organik. Termasuk dalam resiko tinggi adalah trauma (benda asing, lensa
kontak), penggunaan imunosupresan sistemik atau pada mata, juga pada penyakit atau
terapi dengan immunosupresan (transplantasi organ) atau penggunaan terapi topikal
steroid, dan penggunaan antibiotik dalam jangka lama. Infeksi jamur juga sangat
sering ditemukan pada
daerah pertanian dan lingkungan tropis.
Pasien dengan keratitis fungal cenderung memiliki tanda dan gejala inflamasi
sepanjang permulaan periode dibanding dengan keratitis bakterial dan bisa terdapat
sedikit atau tidak injeksio konjungtiva sepanjang awal presentasi. Keratitis fungal
filemantous sering bermanifestasi sebagai warna putih keabu-abuan, penampakan
infiltrat kering sebagai bulu yang ireguler atau tepi filamentous. Lesi-lesi superfisial
tampak putih keabu-abuan diatas permukaan kornea, kering, kasar, dan tekstur yang
berpasir dapat dideteksi dengan mengosok kornea. Kadang-kadang, multifokal atau
infiltrat satelit dapat ditemukan, walaupun jarang dilaporkan.
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis ulkus kornea ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Dari riwayat anamnesis, didapatkan adanya gejala subjektif yang dikeluhkan oleh
pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan, penglihatan kabur, silau jika melihat
cahaya, kelopak terasa berat. Yang juga harus ditanyakan ialah adanya riwayat
trauma, kemasukan benda asing, pemakaian lensa kontak, adanya penyakit
vaskulitis atau autoimun, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
2. Pemeriksaan fisis
a. Visus
Didapatkan adanya penurunan visus pada mata yang mengalami infeksi oleh
karena adanya defek pada kornea sehingga menghalangi refleksi cahaya yang
masuk ke dalam media refrakta.
b. Slit lamp
Seringkali iris, pupil, dan lensa sulit dinilai oleh karena adanya kekeruhan
pada kornea. Hiperemis didapatkan oleh karena adanya injeksi konjungtiva
ataupun perikornea. Tanda yang umum pada pemeriksaan slitlamp yang tidak
spesifik, termasuk didalamnya:
Injeksio konjungtiva Kerusakan epitel kornea
Supurasi
Infiltrasi stroma
Reaksi pada bilik depan
Hipopion
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes fluoresein.
Pada ulkus kornea, didapatkan hilangnya sebagian permukaan kornea.Untuk
melihat adanya daerah yang defek pada kornea. (warna hijau menunjukkan
daerah yang defek pada kornea, sedangkan warna biru menunjukkan daerah
yang intak).
b. Pewarnaan gram,KOH dan kultur.
Untuk menentukan mikroorganisme penyebab ulkus, oleh jamur. Kadangkala
dibutuhkan untuk mengisolasi organisme kausatif pada beberapa kasus.
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum
menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan
pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari
dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH,
Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-
masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan
biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan Periodic Acid Schiff atau
Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir ini
dikembangkan Nomarski differential interference contrastmicroscope untuk
melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang
dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar
Sabouraud atau agar ekstrak maltosa.
c. Gambaran Histopatologi.
Pada pemeriksaan histopatologik dengan memeriksa apusan kornea ditemukan
adanya jamur pada 75% pasien. Hifa jamur berjalan parallel pada permukaan
kornea. Adanya komponen jamur yang mencapai stroma menunjukkan tingkat
virulensi kuman sangat tinggi dan biasanya berhubungan dengan infeksi yang
progresif.
VII. PENATALAKSANAAN
Secara konservatif, rawat inap dianjurkan saat terapi dimulai kerana
keratomikosis memerlukan terapi yang lama dan teliti. Sebelum pemberian sebarang
terapi antimikotik, hendaklah dilakukan kerokan kornea terlebih dahulu
menggunakan silet surgical untuk mengurangi koloni jamur di kornea dan untuk
membantu penetrasi agen anti jamur.
Yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis
yang dihadapi; bisa dibagi:(14,15)
a. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
b. Jamur berfilamen.
c. Ragi(yeast).
d. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Untuk golongan I: Topikal Amphotericin B, Thiomerosal, Natamycin (obat terpilih),
Imidazole (obat terpilih).
Untuk golongan II: Topikal Amphotericin B, Thiomerosal, Natamycin (obat terpilih),
Imidazole (obat terpilih).
Untuk golongan III: Amphotericin B, Natamycin, Imidazole.
Untuk golongan IV: Golongan Sulfa, berbagai jenis antibitotik.
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal.
Diberikan juga obat siklopegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk
mengurangi uveitis anterior.
Agen anti jamur dibagi kepada beberapa kelompok: (14,15)
1. Polyene termasuk Natamycin, Nystatin dan Amphotericin B.
Berdaya anti fungi dengan mengikat pada dinding sel fungi dan mengganggu
permeabilitas membran jamur sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler.
Polyene dengan molekul kecil seperti Natamycin menyebabkan lisis permanen
pada membran dibanding perubahan reversibel oleh molekul besar seperti
Nystatin. Amphotericin B tidak larut dalam air dan tidak stabil pada oksigen,
cahaya, air, dan panas. Golongan ini mempunyai daya antifungi spectrum luas
tapi tidak efektif terhadap Actinomyces dan Nocardia. Golongan ini efektif
terhadap infeksi jamur tipe filamentosa dan yis.(3,4
a. Amfoterisin B merupakan obat pilihan untuk keratomikosis akibat yis dan
Candida. Dapat juga bermanfaat pada infeksi akibat filamentosa. Dosis
pemberian setiap 30 menit untuk 24 jam pertama, 1 jam untuk 24 jam kedua,
dan di tappering off sesuai dengan respon klinis tubuh pasien terhadap obat.
Tersedia secara komersial dan bila diragukan kestabilannya, bisa dibuat dari
preparat perenteral dengan mengencerkannya dengan akuades. Obat ini juga
dianjurkan untuk keratitis filamentosa kausa jamur tipe Aspergillus sp.
b. Natamycin (paramycin) bersifat spektrum-luas terhadap organisme
filamentosa seperti polyene lain, tetapi dilaporkan lebih efektif terhadap
Fusarium sp. Pengobatan topical hendaklah diberikan selama 6 minggu.(14,15)
2. Azole (imidazole dan triazole) termasuk ketaconazole, miconazole, fluconazole,
itraconazole, econazole, dan klotrimazole.2 Golongan Imidazol, dan ketokonazole
dilaporkan efektif terhadap Aspergillus, Fusarium, dan Candida.1,3 Tersedia
secara komersial dalam bentuk tablet.1 Ketoconazole oral (200-600 mg/hari)
dapat dipertimbangkan sebagai terapi adjuntiva pada keratomikosis filamentosa
berat, dan fluconazole oral (200-400 mg/hari) untuk keratitis yeast berat.
Itraconazole oral (200 mg/hari) mempunyai kesan spektrum-luas terhadap semua
Aspergillus sp dan Candida tetapi kerja yang bervariasi terhadap Fusarium.
Voriconazole oral dan topical dilaporkan bermanfaat untuk keratomikosis yang
tidak berespon terhadap pengobatan yang telah disebutkan sebelumnya.
a. Azole menghambat sintesa ergosterol pada konsentrasi rendah dan pada
konsentrasi tinggi bekerja merusak dinding sel.
b. Fluconazole dan ketoconazole oral di absorbsi secara sistemik dan terdapat
dalam kadar yang bagus di bilik mata depan dan kornea, maka pemberiannya
harus dipertimbangkan sebagai penanganan keratomikosis yang lebih lanjut.
Karena kedua obat tersebut dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam jaringan
okuler, ia merupakan pilihan pengobatan bagi keratitis kausa filamentosa dan
yis. Pemberian obat tersebut juga melihat kepada kedalaman penetrasi jamur
ke dalam stroma. Dosis dewasa 200-400 mg/d, dengan dosis maksimum 800
mg/d. Antimikotik sistemik diberikan pada kasus keratitis berat atau
endoftalmitis. Apabila terjadi perburukan atau semakin bertambahnya infeksi
pada kornea walaupun terlah mendapatkan pengobatan anti fungi yang
maksimum maka perlu di lakukan operasi. Operasi dilakukan tergantung dari
keadaan saat itu, luas lesi dan tingkat kerusakan dari kornea. Ada beberapa
jenis operasi, yang antara lain ; (4,16)
Corneal Scrapping.
Dilakukan pada ulkus superficial, dimana pada ulkus tersebut dapat
ditangani dengan menggunakan metode ini, dimana penyembuhannya
cepat dan tidak menimbulkan scar.
Keratectomy.
Teknik ini dilakukan apabila ulkusnya lebih dalam atau deep injury
dimana kerusakan kornea menimbulkan terbentuknya jaringan ikat
sehingga menimbulkan kekeruhan pada kornea, dimana akan menghalangi
cahaya yang menuju ke retina. Operasi dilakukan dengan cara membelah
kornea untuk menggapai area yang mengalami scar kemudian
membersihkan daerah yang opak dan daerah yang mengalami infeksi
dengan menggunakan mikroskop.
Cornea transpalant (penetrating keratoplasty).
Apabila infeksi menyebabkan kornea tidak dapat diperbaiki lagi, dimana
telah terjadi kekeruhan maka tindakan keratoplasty dapat dilakukan,
dimana operasi dilakukan dengan mengangkat bagian sentral dari kornea
yang keruh kemudian menggantinya dengan donated clear cornea. Sebuah
penelitian di China menunjukkan dari 108 kasus dengan severe
keratomycosis,sekitar 86 pasien (79,6%) yang mendapatkan kornea graft
memiliki kornea yang jernih setelah dilakukan follow up dalam 6 – 24
bulan, tidak terdapat rekurensi dari fungal keratitis dan visus pasien
didapatkan antara 40/200 – 20/20 dan dari penelitian tersebut muncul
beberapa komplikasi yang antara lain :
Rekurensi fungal keratitis 8 mata (7,4 %)
Cornea graft rejection pada 32 mata (29, 6%)
Glaukoma sekunder pada 2 mata (1,9%)
Katarak pada 5 mata (4,6%)
Dari penelitian tersebut dapat kita simpulkan bahwa keratoplasty
merupakan terapi efektif untuk fungal keratitis yang tidak berespon pada
pengobatan anti jamur dan sebaiknya operasi ini dilakukan di awal
sebelum penyakit menjadi lebih buruk.
Pengobatan pada ulkus kornea bertujuan menghalangi hidupnya bakteri
dengan antibiotika, dan mengurangi reaksi radang dengan steroid.
Sampai saat ini pengobatan dengan steroid masih kontroversi. Secara umum
ulkus kornea diobati sebagai berikut:
a. Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi sebagai
inkubator
b. Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari
c. Diperhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder
d. Debridemen sangat membantu penyembuhan
e. Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal kecuali keadaan berat.
Terapi keratitits fungal sangat sulit. Kebanyakan obat antifungi hanya bersifat
fungistatik dan memerlukan sistem imun yang utuh (yang tidak nampak) dan
memperpanjang perjalanan terapi. Tanpa bantuan imunitas yang utuh untuk menekan
organisme, pengobatan fungistatik menjadi kurang efektif. Kelas obat yang
digunakan untuk pengobatan keratitis jamur termasuk antibiotik polyene (nistatin,
amphoterecin B, natamycin); analog pyrimidine (flucytosine); imidazole
(clortrimazole, miconozole, econazole, ketoconazole); triazoles (fluconazole,
itraconazole); dan sulfadiazine. Natamycin hanya dapat diberikan secara topical; obat
lain dapat diberikan dari bermacam jalur yang ada. Steroid kontraindikasi karena akan
terjadi eksaserbasi penyakit.
Natamycin 3% direkomendasikan untuk terapi pada kebanyakan kasus
keratitis fungal filamentaous, terutama yang disebabkan oleh fusarium spp, agen
penyebab yang paling umum pada keratitis fungi eksogen yang terdapat di area
lembab di Amerika Selatan. Mikonazole topikal 1% (10 mg/ml) merupakan obat
terpilih memberantas Paecilomyces lilacinum. Kebanyakan klinisi dan bukti
penelitian menyarankan amphotericin B (0,15%-0,3%) sangat berkhasiat pada
pengobatan keratitis yang disebabkan oleh fungal tipe yeast. Ketokonazole oral (200-
600 mg/hari) bisa digunakan untuk tambahan terapi pada beberapa keratitis fungal
tipe filamentous, dan fluconazole (200-400mg/ hari) untuk beberapa keratitis fungal
tipe yeast.
Atropin 1% atau scopolamine 0,25% dapat digunakan untuk mencegah
perlengketan antara iris dan lensa atau kornea. Pemberian kortikosteroid masih
kontroversi karena merupakan kontra indikasi pada infeksi virus, tapi ini dapat
mencegah terjadinya perforasi kornea. Penggunaan kortikosteroid harus dikurangi
secara bertahap untuk mencegah rebound inflamasi. Obat analgetik diberikan untuk
mengurangi rasa nyeri.(4,6)
Terapi konservatif berupa hospitalisasi direkomendasikan sebagai terapi awal
ketika memulai terapi sebagai terapi jangka panjang tak teratur. Terapi sistemik hanya
diindikasikan pada kasus yang melibatkan intraokular. Pada kasus lain akan berespon
baik dengan terapi topikal antifungi seperti natamycin, nystatin, dan amphotericin B.
Terapi pembedahan. Keratoplasti diindikasikan ketika kerusakannya gagal berespon
atau pada terapi konservatif respon sangat lambat dan pada terapi keadaan menjadi
lebih buruk.
Terapi bedah dilakukan guna membantu medikamentosa yaitu:
1. Debridement.
2. Flap konjungtiva, partial atau total.
3. Keratoplasti tembus.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria
penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari
lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya
infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik
biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit
menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang
terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan
kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.
VIII. DIAGNOSA BANDING
1. Keratitis bacterial
Gambar 4 : keratitis bacterial(3)
Bakteri, merupakan penyebab paling banyak ulkus kornea. Organisme
yang biasanya terlibat yaitu Pseuomonas aeroginosa,Staphylococcus aureus, S.
epidermidis. Streptococcuspneumoniae, Haemophilus influenza dan Moraxella
catarrhalis.Neiseria species, Corynebacterium dhiptheriae, K. aegyptus dan
Listeria merupakan agen berbahaya oleh arena dapat berpenetrasi ke dalam epitel
kornea yang intak. Karakteritik klinik ulkus kornea oleh karena bakteri sulit untuk
menentukan jenis bakteri sebagai penyebabnya, walaupun demikian secret yang
berwarna kehijauan dan bersifat mukopurulen khas untuk infeksi oleh karena P.
aerogenosa. Kebanyakan ulkus kornea terletak di sentral, namun beberapa terjadi
di perifer.
Meskipun awalnya superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea
terutama jenis P.aeroginosa. Batas yang maju menunjukkan ulserasi aktif dan
infiltrasi, sementara batas yang ditinggalkan mulai sembuh. Biasanya kokus gram
positif, Staphylococcus aureus, S. Epidermidis, Streptococcus pneumonia akan
memberikan gambaran tukak yang terbatas, berbentuk bulat atau lonjong,
berwarna putih abu – abu pada anak tukak yang supuratif, daerah kornea yang
tidak terkena akan tetap berwarna jernih dan tidak terlihat infiltrasi sel radang.
Bila tukak disebabkan oleh P. Aeroginosa makan tukak akan terlihat melebar
secara cepat, bahan purulent berwarna kuning hijau terlihat melekat pada
permukaan tukak.
Infeksi bakteri umumnya kondisi yang mengancam penglihatan. Secara
klinis onset nyerinya sangat cepat disertai dengan injeksio konjungtiva, fotofobia
dan penurunan visus pada pasien dengan ulkus kornea bakterial, inflamasi
endotel, tanda reaksi bilik mata depan, dan hipopion sering ada. Penyebab infeksi
tumbuh lambat, organisme seperti mycobakteria atau bakteri anaerob infiltratnya
tidak bersifat supuratif dan lapisan epitel utuh. Penggunaan kortikosteroid, kontak
lensa, graf kornea yang telah terinfeksi kesemuanya merupakan predisposisi
terjadinya infeksi bacterial.
2. Keratitis viral
Gambar 5 : Keratitis herves simplex(7)
Oleh virus, ulkus lebih sering disebabkan oleh virus Herpes simpleks,
Herpes Zoster, Adenovitus. Herpes virus menyebabkanulkus dendritik yang
bersifat rekuren pada tiap individu, akibatreaktivasi virus laten di gangglion
Gasserian, serta unilateral.Pada virus Herpes simpleks, biasanya gejala dini
dimulai deganinjeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu dataran sel
dipermukaan epitel kornea, kemudian keadaan ini disusul denganbentuk dendritik
serta terjadi penurunan sensitivitas darikornea. Biasanya juga disertai dengan
pembesaran kelejarpreaurikuler.(5,9)
Pada keratitis yang disebabkan oleh virusmemberikan gambaran seperti
infiltrat halus berbintik-bintikpada daerah depan kornea, biasanya bilateral dan
berjalan kronistanpa terlihat gejala kelainan konjungtiva ataupun tanda akut.
IX. KOMPLIKASI
Ulkus kornea dapat berkomplikasi dengan terjadinya perforasi kornea
walaupun jarang. Hal ini dikarenakan lapisan kornea semakin tipis dibanding dengan
normal sehingga peningkatan tekanan intraokuler dapat mencetuskan terjadinya ulkus
kornea. Pembentukan jaringan parut kornea menghasilkan kehilangan penglihatan
parsial maupun kompleks. Terjadinya neovaskularisasi dan astigmatisme ireguler,
penipisan kornea, sinekia anterior, sinekia posterior, glaucoma, dan katarak juga bisa
terjadi.(4,5)
Keratitis fungal dapat berperan utama untuk infeksi berat yang melibatkan
setiap struktur intraokular dan dapat membuat hilangnya penglihatan atau kehilangan
mata. Perforasi kornea jarang terjadi, dan endophthalmitis sekunder telah dilaporkan.
X. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada beberapa faktor, termasuk luasnya kornea yang
terlibat, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), dan waktu
penegakkan diagnosis klinis yang dikonfirmasi dengan kultur di laboratorium.Pasien
dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki prognosis
yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas didalam sklera
atau struktur intraokular sangat sulit. Diperkirakan satu dari ketiga infeksi jamur
gagal terapi pengobatan atau perforasi kornea.(4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Lang GK. Cornea.Ophthalmology A Short Textbook Atlas. 2nd edition. Stuttgart ;
thieme ; 2007. p. 117-136
2. Ilyas S, Yulianti SR. Anatomi dan fisiologi mata Ilmu Penyakit Mata. 4 ed. Jakarta:
FKUI; 2012. p. 5-6,150,165
3. Susetio B. Penatalaksanaan Infeksi Jamur pada Mata. Cermin Dunia Kedokteran.
1993:40-1.
4. Singh D. Fungal keratitis. Medscape Reference; 2013 [updated October 27, 2011; cited
2013 15 June].
5. Biswell R. Kornea. : Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. Oftalmologi Umum. 17 ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2012. p. 152-49.
6. Wilson SA, Last A. Management of corneal abrasions. The American Academy of
Family Physicians. 2004:123-8.
7. K.Weng Sehu et all. Opthalmologic Pathology. Blackwell Publishing. UK. 2005. p.61-
78.
8. Biswell R. Cornea. In: Vaughan D, Asbury T, Riordon-Eva P. General
Ophthalmology. 15th edition. Connecticut ; Appleton & Lange; 1999. p. 119-41.
9. Ilyas S, Yulianti SR. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Ilmu Penyakit
Mata. 4 ed. Jakarta: FKUI; 2012. p. 149-82.
10. Tasman W, Jaeger EA. Duane’s Ophtalmology. Lippincott Williams & Wilkins
Publishers. 2007.
11. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophtalmology. Thieme.
2006. p. 97-99
12. Externa Disease and Cornea. New York: American Academy of Ophthalmology; 2011.
13. . Garg P, Rao GN. Corneal ulcer: diagnosis and management. The Journal of
Community Eye Health. 1999;12:21-3.
14. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamental and Principles of Ophtalmology Section
2. Singapore: Amnerican Academy Of Ophtalmology; 2011.
15. Mann LCS, Singh J, Kalra D, Parihar J, Gupta N, Kumar P. Medical and Surgical
Management of Keratomycosis. MJAFI. 2008;64:40-2.
16. Kalavathy CM, Palmar P, Kaliamurthy J, Philip VR, Ramalingam MDK, Jesudasan
CAN, et al. Comparison of itraconazole 1 % with topical natamicin 5 % the treatment of
filamentous fungal keratitis. Lippincott Williams and Wilkins. 2005;24:449-52.