TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH PENDIDIKAN MULTIKULTUR
“Ragam Kuliner dan Budaya Kabupaten Banyuwangi”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Multikultur
Disusun Oleh:
Anis Zaqiyatun N (124254082)
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PMPKN
PRODI S1 PPKN
2014
Banyuwangi kaya akan kuliner tradisional khasnya. Kuliner asli
Banyuwangi, ada yang bisa dijumpai diwarung atau rumah makan. Namun
sebagian lagi hanya bisa ditemui diacara tertentu saja. Meski demikian, kuliner
tradisional itu rupanya juga dilirik warga negara asing untuk mempelajari cara
pembuatannya. Tidak jarang tamu asing yang berkunjung ke Banyuwangi mencari
resep kuliner kuno tersebut. Untuk itu tidak metutup kemungkinan berbagai
makanan khas itu nantinya dapat diklaim milik luar negeri. Konon, di zaman
pendudukan kolonial makanan atau jajanan Banyuwangi ini disukai orang
Belanda. Karena kulinernya yang mengandalkan rempah bumbu (yang cenderung
pedas) dan diolah dari bahan sayuran.
Sebagai warisan budaya, sudah seharusnya kuliner dan jajanan hasil cipta
anak bangsa di Banyuwangi ini patut dilestarikan. Berikut rangkuman kuliner asli
Banyuwangi yang (mungkin) masih bisa dijumpai ditengah masyarakat hingga
saat ini. Baik dijual di warung dan rumah makan atau diolah sebagai hidangan
disaat upacar adat saja.
1. Pecel Pitik
Dari sekian makanan khas yang ada, Pecel Pitik (Pecel Ayam) yang paling
dinanti. Selain jarang dijumpai, kuliner asli Osing ini terkenal akan rasanya yang
khas. Bahan dasarnya adalah ayam kampung muda (sekitar umur 8 bulan) yang
dibakar diatas tungku perapian namun tidak sampai kering. Pecel Pitik ini salah
satu kuliner suku Osing yang disukai Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas.
Kuliner yang hanya muncul disaat acara adat tersebut disajikan dengan parutan
kelapa muda, dicampur dengan kacang yang sudah dihaluskan. Kacang yang
sudah disangrai itu dicampur lagi dengan beragam rempah bumbu pedas serta
diaduk rata bersama sedikit air kelapa muda agar bumbu meresap. Selanjutnya,
bumbu tersebut dicampur bersama ayam kampung yang sudah dipotong menjadi
sejumlah bagian.
Bagi warga desa adat Osing, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Pecel
Pitik adalah sajian disaat waktu tertentu saja. Semisal upacara adat atau kegiatan
budaya lainnya. Maka dari itu, Pecel Pitik hingga saat ini masih lestari meski
warga tidak sering memasaknya sebagai konsumsi rumah tangga dikesehariannya.
Di wilayah yang juga dihuni suku Osing lainnya, seperti di daerah Rogojampi dan
Gontoran, Pecel Pitik dihidangkan sedikit berbeda. Pecel Pitik dihidangkan
dengan secara basah karena terdapat sedikit kuah dari air kelapa muda. Namun,
citarasanya sama, khas dan enak dimulut.
2. Sego Tempong
Kabupaten Banyuwangi kaya akan beragam kebudayaan. Pesona laut dan
daratnya luar biasa. Beragam kekayaan alam diolah demi kemajuan daerah yang
berbatasan dengan Pulau Bali tersebut. Banyak kompetisi serta kegiatan dengan
tingkat nasional digelar di daerah ini. Memesan nasi tempong, konsumen akan
disuguhi menu makanan nasi lengkap dengan sayur, seperti daun bayam, kubis. Di
sampingnya, berjejer lauk, seperti bakwan jagung. Tak kalah, ikan asin sebagai
pelengkap menu nasi tempong. Lalap berupa mentimun ikut menghiasi piring
yang tersaji lengkap dengan seluruh sayur dan lauknya itu.
Sekilas makan nasi tempong, tidak ada yang berbeda dengan menu
makanan di daerah lain. Sayur dan lauk itu ditambahi dengan sambal sebagai
pelengkap. Namun, di sinilah letak beda dan sensasinya. Ternyata, sambal yang
dibuat unik. Sambal baru dibuat ketika ada pelanggan datang. Bedanya, semua
bumbu masih mentah. Kalau sambal terasi biasanya bumbu sudah digoreng.
Sambal di warung makan ini banyak digemari. Konsumen bukan hanya warga
Banyuwangi sendiri, melainkan banyak yang dari luar kota. Bumbu yang
disiapkan semuanya harus segar, seperti cabai, tomat. Bumbu itu dihaluskan
dicampur dengan garam, terasi, serta gula. Setelah halus, diberi air sedikit, dan
sambal itu lalu disiramkan di atas sayur. Ada tingkatan pedas jika pelanggan
memesan.
Kuliner satu ini lumayan populer di Banyuwangi. Kuliner dengan ciri khas
ada pada sambal yang segar dengan tingkat rasa pedas yang luar biasa itu sangat
digemari penikmatnya. Dari cerita yang berkembang di masyarakat, nama kuliner
ini diambilkan dari rasa pedas sambalnya tersebut. Dimana sego (nasi) tempong
akan membuat penikmatnya serasa ditempong (tempeleng) seusai memakannya.
Sego Tempong disajikan dengan beragam sayuran, seperti daun ketela,
timun, kacang panjang terung dan lainnya. Lauk pendampingnya bisa apapun,
namun yang pasti tak ketinggalan adalah tempe, tahu dan ikan asin goring. Sego
Tempong banyak dijumpai dihampir warung dipinggir jalan-jalan kota yang ada
di Banyuwangi. Harga untuk per porsinya cukup terjangkau yaitu sekitar Rp 5
ribu. Herannya, meski harga cabe sedang mahal, namun tingkat kepedasan sambal
dari Sego Tempong masih luar biasa pedasnya.
3. Sego Cawuk
Kuliner asli Banyuwangi ini paling enak dihidangkan untuk menu sarapan
pagi atau juga saat makan siang. Nasi Cawuk ini dihidangkan bersama parutan
kelapa yang diberi air matang, yang dilengkapi irisan kecil mentimun dan jagung.
Biasanya, kuah khas Osing ini diberi juga ikan teri.
Sebagai lauk pendamping, Sego Cawuk disantap bersama pepesan ikan
laut pedas dan telur ayam atau itik rebus. Bagi yang suka pedas bisa
menambahkan sambal tomat. Dinamakan Sego Cawuk, karena dahulu cara
memakannya tidak menggunakan sendok atau biasa disebut warga Banyuwangi,
Cawuk.
Di Banyuwangi hanya warung-warung tertentu yang menyediakan menu
Sego Cawuk. Semisal disamping Gedung Wanita, Banyuwangi. Itupun hanya ada
dipagi hari saja. Seporsi sego cawuk cukup dengan uang delapan ribu rupiah.
4. Rujak Soto
Berbicara kuliner di Kabupaten Banyuwangi yang terkenal dengan julukan
"Sunrise of Java" tidak bisa dilepaskan dengan rujak soto. Kuliner nyentrik
perpaduan antara rujak sayur dengan soto babat menghasilkan rasa unik yang
selalu dicari. Rujak yang digunakan adalah campuran sayur mayur dengan bumbu
kacang serta petis. Untuk pedasnya, bisa disesuaikan dengan pesanan dari
konsumen. Bumbu kacang dicampur dengan garam, kacang goreng, gula merah,
asam dan juga pisang klutuk (pisang batu) muda. Pisang klutuk merupakan bahan
yang wajib dalam rujak soto. Tanpa menggunakan pisang klutuk, rasa rujak ini
akan terasa hambar
Setelah bumbu siap tinggal dicampur dengan campuran sayur yang direbus
seperti kangkung, kacang panjang, kubis dan juga potongan tahu dan tempe yang
digoreng. Setelah selesai, rujak diwadahi mangkuk dan tinggal dituangi kuah soto
babat sapi, tambahan lontong juga akan lebih enak. Untuk rasa yang lebih lezat,
soto berisi babat, usus dan tetelan daging sapi. Cara membuat soto sama seperti
soto pada umumnya. Bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, kemiri merica.
Lalu disangrai dan dimasak dengan babat usus dan tetelan daging sapi.
Ditambahkan juga dengan daun bawang, lengkuas, daun jeruk, serai, seledri. Jika
sudah siap tinggal dituangkan ke campuran rujak dan diberi bawang goreng, telur
asin dan krupuk. Kalau suka bisa ditambahkan dengan kecap manis.
Harga dari rujak soto lengkap dengan telur asin dibandrol seharga Rp
10.000. Murah, meriah, enak dan kenyang. Banyak pelanggan yang menyukai
rujak soto ini, mulai dari warga Banyuwangi asli hingga warga luar Banyuwangi.
Mereka biasanya menikmati pas waktu makan siang. Menurut budayawan
Banyuwangi, Hasnan Singodimayan kepada Kompas.com, Kamis 16 Januari
2014, pada tahun 1970-an ada lagu yang berjudul Rujak Singgol yang
menjelaskan beberapa nama rujak yang ada di wilayah Banyuwangi. Di lagu yang
berjudul Rujak Singgol disebutkan beberapa nama rujak, namun nama rujak soto
masih belum disebutkan dalam lagu itu. Ada rujak uni, rujak locok, rujak lethok,
rujak kecut, rujak cemplung. Namanya semuanya mengarah kepada bahan nama
yang digunakan rujak atau mengolah rujak. Seperti rujak wuni yang dibuat dari
buah wuni yang rasanya asam. Menurut Hasnan, rujak soto baru muncul setelah
tahun 1970-an dan merupakan hasil dari keisengan penikmat rujak di
Banyuwangi. Perpaduan dua kuliner berbeda ini menghasilkan citarasa yang
nikmat. Biasanya disajikan pedas namun menyesuaikan dengan selera.
Belakangan, Rujak Soto banyak menginspirasi warga Banyuwangi untuk
menciptakan kuliner perpaduan lainnya.
Sedangkan dari budaya atau tradisi yang ada di Masyarakat Osing,
Banyuwangi sangatlah beragam, berkut ulasannya:
1. Menggelar Banyuwangi Ethno Carnival
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi sukses menggelar ajang
pariwisata tahunan, Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Event fesyen berbasis
budaya lokal ini, selalu mengusung tema budaya lokal di setiap
penyelenggaraannya. Tahun ini, tema yang diusung adalah Tari Seblang yang
merupakan tarian ritual tertua di Banyuwangi dan telah ditetapkan menjadi
Warisan Budaya Nasional oleh pemerintah pusat. Tari ini dimaksudkan sebagai
usaha memperoleh ketenteraman, keselamatan, dan kesuburan tanah agar hasil
panen melimpah. Ritual ini ditarikan seorang penari dalam kondisi 'trance'
(kondisi tak sadarkan diri), sebagai penghubung warga desa dengan arwah
leluhurnya.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan bahwa dalam
setiap event budaya wisata selalu mengusung budaya lokal. Ini berbeda dengan
kebanyakan daerah lain yang justru membawa tema budaya global ke level
lokal. Turut hadir dalam acara wisata itu, antara lain, Menteri Pariwisata Arief
Yahya dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O. Blake.
Puluhan ribu warga dan wisatawan berbaur menikmati ajang fesyen budaya
tahunan tersebut.
Dalam event ini sebanyak 500 peserta berparade di beberapa jalan utama
di Banyuwangi. Mereka mendefinisikan ritual Tari Seblang ke dalam busana
yang dipamerkan. Semuanya tampak meriah dan gemerlap tanpa
menghilangkan makna dari ritual Tari Seblang tersebut. Anas menjelaskan,
ritual Tari Seblang hingga sekarang masih lestari. Setahun diselenggaran dua
kali di desa yang berbeda, yaitu di Desa Olehsari dan Desa Bakungan. Di Desa
Olehsari, ritual ini digelar pada hari ketujuh setelah Idul Fitri dengan penari
gadis atau janda yang masih segaris turunan dari penari-penari Seblang
sebelumnya. Ia menari dalam keadaan tak sadarkan diri selama sepekan.
Menurut Anas, event wisata berbasis seni budaya juga menjadi ajang
konsolidasi budaya di daerah Banyuwangi. Sekaligus ini sebagai bagian dari
upaya mempelajari sejarah dan budaya. Saat ini, pelajaran sejarah dan budaya
semacam ini sudah saatnya diperkenalkan di luar kelas, tidak hanya di dalam
kelas
2. Atraksi Budaya Barong Ider Bumi
Barong Ider Bumi yaitu upacara adat Suku Osing, yakni suku asli
Banyuwangi, yang dilaksanakan pada setiap hari kedua Bulan Syawal sesuai
penanggalan Islam. Atraksi budaya ini digelar di Desa Kemiren, sebuah desa
adat yang menjadi basis Suku Osing. Sesepuh adat Desa Kemiren, Timbul,
menjelaskan, Barong adalah semacam kostum dengan topeng dan pernak-
pernik sebagai penggambaran hewan yang menakutkan. Pada atraksi tersebut,
seluruh warga Desa Kemiren keluar rumah mengarak tiga barong Osing yang
diawali dari pusaran (gerbang masuk) desa ke arah barat menuju tempat
mangku barong sejauh dua kilometer.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menjelaskan, pelestarian
tradisi ini merupakan ikhtiar untuk tetap menjaga kearifan lokal di daerah yang
telah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun. Menurut beliau Tradisi Barong
Ider Bumi dan tradisi-tradisi lainnya mulai dikemas sebagai bagian dari wisata
budaya yang bisa menciptakan perputaran ekonomi karena sejumlah agenda
budaya lokal itu dimasukkan dalam rangkaian Banyuwangi Festival 2014
Berbeda dari daerah lain yang membawa tema global ke lokal,
Banyuwangi justru ingin membawa tema lokal ke ranah global agar bisa
terjalin saling kesepahaman untuk mewujudkan kehidupan dunia yang lebih
baik.
3. Pelestarian Batik Banyuwangi
Salah satu potensi industri kreatif Banyuwangi adalah batik. Kerajinan
atau industri batik Banyuwangi masih belum setenar batik Madura atau bahkan
batik Solo maupun Jogja. Disinilah potensi industri batik memiliki peluang
untuk dikembangkan, selain sebagai upaya pelestarian budaya bangsa.
Pemeritah Banyuwangi selalu menggelar acara Banyuwangi Batik Festival tiap
tahunnya. Untuk tahun 2014 sendiri diadakan pada tanggal 19-26 September
2014 lalu. Ajang yang bertujuan untuk menggerakkan roda pariwisata dan
industri kreatif, sekaligus mengenalkan batik khas Banyuwangi dimana untuk
tahun 2014 ini, difokuskan untuk motif batik Kangkung Setingkes.
Banyuwangi Batik Festival merupakan wahana untuk melestarikan
warisan budaya sekaligus menumbuhkan geliat usaha, serta memadukan pesta
yang mengakomodasi hubungan antara batik, fashion, gaya hidup dan sejarah.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, gelaran BBF ini
merupakan wujud komitmen pemerintah dan masyarakat Banyuwangi dalam
menumbuhkembangkan kekayaan budaya lokal, khususnya untuk
mengeksplorasi khazanah kekayaan batik lokal.
Rangkaian kegiatan dalam BBF seluruhnya bertema batik, mulai dari
pameran batik, parade fesyen, lomba cipta desain batik, hingga lomba
mewarnai batik. Corak Batik khas Banyuwangi tergolong motif batik pesisiran
dan banyak yang mengambil tema alam, dimana ada sekitar 44 motif, yang
diantaranya Gajah Uling, Kangkung Setingkes, Sekar Jagad, Paras Gempal,
Kopi Pecah, Alas Kobong, serta beberapa motif lainnya.
Analisis:
Dengan keberagaman kuliner dan budaya yang ada di Kabupaten
Banyuwangi, menjadikan kekayaan tersendiri untuk Indonesia. Dari hasil analisis
terlihat bahwa masyarakat Banyuwangi dengan antusias melestarikan kuliner khas
dan budaya adat Banyuwangi. Dari aspek kuliner terlihat dengan adanya berbagai
makanan khas Banyuwangi (pecel pitik, sego tempong, sego cawuk, dan rujak
soto) yang semakin menjamur pada berbagai warung di Banyuwangi. Penggemar
dari kuliner itu sendiri bukan hanya warga asli Banyuwangi, namun banyak
wisatawan luar kota yang menjadi pelanggan bahkan wisatawan mancanegara
yang mengunjungi wisata di Banyuwangi.
Dari aspek budaya atau tradisi, masyarakat Banyuwangi juga tampak
antusias dengan adanya pelestarian berbagai budaya khas (Banyuwangi Ethno
Carnival, Atraksi Budaya Barong Ider Bumi, Pelestarian Batik Banyuwangi).
Dengan keantusiasan tersebut, jelas terlihat bahwa mereka juga antusias dalam
pelestarian budaya Banyuwangi. Mereka tidak berpikiran bahwa budaya asli
tersebut menjadi ketinggalan zaman. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas
juga selalu meneyerukan untuk selalu melestarikan budaya lokal untuk dibawa ke
ranah global supaya budaya lokal tidak punah dan menjadi kekayaan budaya
Indonesia, Banyuwangi khusunya.