Download - Proposal Skripsi Bono Revisi + BAB 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pembangunan adalah suatu proses memperbaiki, membina, mendirikan
sesuatu. Dengan kata lain pembangunan mempunyai tujuan positif. Dalam arti
luas pembangunan berarti proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik, ada
pertimbangan nilai (value judgement) (Seers, 1969), ada orientasi nilai yang
menguntungkan (favourable value orientation) (Riggs, 1966). Pembangunan
adalah salah satu bentuk perubahan sosial, modernisasi dan industrialisasi
(Goulet, 1977). Secara tradisional pembangunan ekonomi memiliki arti
peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestik Produk (GDP) atau Produk
Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang
tradisional difokuskan pada PDRB suatu provinsi, kabupaten dan kota.
Pembangunan merupakan proses perombakan dalam struktur pembangunan
ekonomi yang terdapat dalam suatu masyarakat sehingga membawa kemajuan
yang lebih baik dalam arti meningkatkan taraf hidup rakyat maupun untuk
menyempurnakan mutu kehidupan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pembangunan ekonomi diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu
perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga
infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin
berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat.
Sebagai implikasi dari perkembangan ini diharapkan kesempatan kerja akan
bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan kemakmuran masyarakat semakin
1
tinggi (Sukirno, 2006:3). Pada hakekatnya Pembangunan ekonomi bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia sebagai negara berkembang dan melaksanakan proses
pembangunan secara seimbang, yaitu; dimana pembangunan manusia yang
seutuhnya lahir maupun batin, secara seimbang adil dan makmur. Sebagaimana
termaktub dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pembangunan ekonomi Indonesia saat ini masih menjadi tumpuan dan tujuan
utama selama hampir 32 tahun (era orde baru) dengan konsep Trilogi
Pembangunan, yaitu Stabilitas Nasional yang dinamis, Pertumbuhan Ekonomi
tinggi dan Pemerataan Pembangunan serta hasil - hasilnya. Pada era selanjutnya,
yaitu era reformasi, pembangunan ekonomi masih menjadi yang utama kendati
beberapa aspek lainnya seperti pembangunan sosial sudah mulai mendapatkan
perhatian.
Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tingkat
pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya ketimpangan (disparitas) baik dalam
distribusi pendapatan penduduk maupun antar wilayah. Perekonomian daerah
merupakan ekonomi yang lebih terbuka dibandingkan dengan perekonomian
negara, dimana pertumbuhan ekonomi daerah memungkinkan peningkatan
mobilitas tenaga kerja maupun modal adalah menjadi bagian penting bagi
terjadinya perbedaan tingkat pertumbuhan daerah.
2
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang
ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan
pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah
tersebut (Lincolin Arsyad, 1999; Blakely E.J, 1989). Tolok ukur keberhasilan
pembangunan daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi
dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan
antar sektor. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kemerataan distribusi pendapatan.
Masalah pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah tergantung kepada
banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah kebijakan
pemerintah itu sendiri. Ini harus dikenali dan diidentifikasi secara tepat agar
faktor tersebut dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi secara positif.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat akan berdampak terhadap ketimpangan dalam
distribusi pendapatan. Peranan pemerintah daerah sangat dominan dalam
menentukan kebijakan didaerahnya sehingga memungkinkan ketimpangan
regional terjadi. Faktor lainnya adalah alokasi anggaran pembangunan sebagai
instrumen untuk mengurangi ketimpangan ekonomi tampaknya lebih perlu
diperhatikan. Strategi alokasi anggaran tersebut harus mendorong dan
mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjadi alat untuk
mengurangi kesenjangan/ketimpangan regional (Majidi, 1997).
Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber berupa akumulasi modal,
keterampilan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah
merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan.
3
Adanya heterogenitas dan beragam karateristik suatu wilayah menyebabkan
kecendrungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi
suatu daerah.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, kesenjangan atau ketimpangan antar
daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap
perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi
antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan
(backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects)
terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses
ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara
normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga akan
mengakibatkan peningkatan ketimpangan antar daerah. Tujuan utama dari usaha
pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya,
harus pula menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan
pendapatan dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau
masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(M.P.Todaro, 2000). Kesenjangan antar daerah seringkali menjadi permasalahan
yang serius. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan yang signifikan, sementara
beberapa daerah lainnya mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah
yang tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan karena kurangnya
sumber-sumber yang dimiliki. Adanya kecendrungan pemilik modal (investor)
memilih daerah perkotaan atau daerah yang memiliki fasilitas seperti prasarana
perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi juga
tenaga terampil. Disamping itu juga adanya ketimpangan redistribusi pembagian
4
pendapatan dari Pemerintah Pusat kepada daerah seperti Provinsi atau kecamatan
(Mudrajat Kuncoro, 2004)
Provinsi Bali yang dikenal sebagai daerah pariwisata, mengalami
percepatan dalam pertumbuhan ekonomi jika dibandingkan tahun 2007,
pertumbuhan ekonomi Bali mencapai 5,97 persen di tahun 2008 (BPS Provinsi
Bali). Laju pertumbuhan ekonomi antar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
menunjukan tingkat yang beragam dan akan berdampak kepada ketimpangan
regional. Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar
kabupaten/kota di Provinsi Bali bisa disebabkan karena perbedaan sumbangan
sektor unggulan Provinsi Bali. Beberapa studi menunjukkan bahwa ketersediaan
tenaga kerja, modal dan teknologi dengan PDB ternyata mempunyai hubungan
yang erat.
Penelitian ini bertujuan menganalisis posisi pertumbuhan perekonomian
masing – masing kabupaten/kota berdasarkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Bali dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) per kapita serta untuk
mengetahui ketimpangan regional antar kabupaten/kota di Provinsi Bali selama
kurun waktu 2004 – 2008.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan pokok yang dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kotamadya di
Provinsi Bali?
2. Bagaimanakah Ketimpangan Regional antar kabupaten dan antar
wilayah di Kabupaten/Kotamadya di Provinsi Bali?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian skripsi ini
adalah untuk :
1. Mengetahui Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi
Bali
2. Mengetahui seberapa besar Ketimpangan Regional antar wilayah
Kabupaten / Kota di Provinsi Bali
1.4 Manfaat Penelitian
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan
gambaran kepada pembaca mengenai kondisi pembangunan ekonomi yang terjadi
di Provinsi Bali, dan bagaimana pertumbuhan ekonomi, serta ketimpangan antar
kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
kebijakan pemerintah melalui informasi yang diberikan terutama yang terkait
dengan pembangunan ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi dan sektor – sektor
unggulan yang mendukung. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya
terkait masalah pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar regional khususnya
di Provinsi Bali.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit
usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa
akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi/usaha di suatu region dalam
periode waktu tertentu. Untuk menghitung angka PDRB ada tiga pendekatan yang
dapat digunakan, yaitu:
1) Pendekatan Produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam
jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).
2) Pendekatan Pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan
akhir seperti:
a. pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga nirlaba,
b. konsumsi pemerintah,
c. pembentukan modal tetap domestik bruto,
d. perubahan stok, dan
e. ekspor neto, dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).
penyajian PDRB melalui pendekatan ini dapat digunakan untuk melihat
gambaran komposisi penggunaan barang dan jasa, baik yang diproduksi
di wilayah tersebut maupun wilayah lain (barang – barang impor). Secara
matematis pendekatan pengeluaran ini dirumuskan sebagai:
Y = Ch + Cg + I + X – M
7
Dimana :
Ch : Konsumsi Rumah tangga
Cg : Konsumsi Pemerintah dan Pertahanan
I : Investasi
X : Ekspor
M : Impor
Y : PDRB
3) Pendekatan Pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang
diterima oleh faktor-faktor produksi di suatu daerah dalam jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun).
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) digunakan untuk melihat
pergeseran dan struktur ekonomi. PDRB ADHB menunjukkan pendapatan yang
memungkinkan dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah serta
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
pada setiap tahun. PDRB ADHK digunakan untuk mengetahui pertumbuhan
ekonomi dari tahun ke tahun, untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi
secara keseluruhan/setiap sektor dari tahun ke tahun. Data PDRB ADHK lebih
menggambarkan perkembangan produksi riil barang dan jasa yang dihasilkan oleh
kegiatan ekonomi daerah tersebut. PDRB ADHB menurut sektor menunjukkan
peranan sektor ekonomi dalam suatu daerah, sektor-sektor yang mempunyai
peranan besar menunjukkan basis perekonomian suatu daerah. Dengan demikian
PDRB secara agregatif menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam
8
menghasilkan pendapatan/balas jasa terhadap faktor produksi yang ikut
berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut.
2.1.2 Agregat PDRB
Secara teoritis agregat PDRB dibedakan menjadi:
a. PDRB Atas dasar harga berlaku
Jumlah nilai produksi, nilai pendapatan atau pengeluaran yang dinilai
sesuai dengan harga yang berlak pada tahun yang bersangkutan.
b. PDRB atas dasar harga konstan
Jumlah nilai produksi atau pendapatan atau pengeluaran yang dinilai
berdasarkan tahun dasar.
c. PDRB atas dasar harga pasar
Diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto yang timbul dari
seluruh sektor perekonomian di wilayah itu. Nilai tambah bruto adalah
nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara.
d. PDRN (Produk Domestik Regional Neto)
Selisih antara PDRB atas dasar harga pasar dikurangi penyusutan.
Penyusutan tersebut adalah nilai susut barang – barang modal yang terjadi
selama barang modal tersebut digunakan dalam proses produksi.
e. PDRB atas dasar biaya faktor
Perbedaan antara konse biaya faktor dan biaya pasar adalah karena adanya
pajak tidak langsung yang dipungut pemerintah dan subsidi yang diberikan
oleh pemerintah kepada unit – unit produksi.
9
f. Pendapatan Regional
Jika PDRB atas dasar biaya faktor dikurangi dengan pendapatan yang
masuk dan ditambah dengan pendapatan yang mengalir ke luar wilayah,
akan diperoleh Produk Regional neto atau disebut pendapatan regional.
g. Pendapatan per kapita
Bila pendapatan regional dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di
region/ daerah tersebut, maka akan diperoleh pendapatan per kapita, yaitu
pendapatan yang diterima oleh tiap penduduk.
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi
Para ekonom pada umumnya memberikan pengertian yang sama mengenai
pertumbuhan ekonomi yaitu sebagai kenaikan GDP/GNP saja tanpa memandang
apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan
penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad
1999). Menurut Sukirno (2004), pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan
kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil
berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan
pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan
pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya.
Todaro (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu
proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus
menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat
pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Menurut
Todaro (2006), ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan
ekonomi yaitu:
10
1. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru
yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber
daya manusia.
2. Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan
memperbanyak jumlah angkatan kerja.
3. Kemajuan teknologi.
Sukirno (2004), menerangkan beberapa faktor penting yang dapat mewujudkan
pertumbuhan ekonomi.
1. Tanah dan kekayaan alam lainnya.
Kekayaan alam suatu negara meliputi luas dan kesuburan tanah,
keadaan iklim dan cuaca, jumlah dan jenis hutan dan hasil laut, serta
jumlah dan jenis kekayaan barang tambang yang terdapat.
2. Jumlah dan mutu dari penduduk dan tenaga kerja.
Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi
pendorong maupun penghambat perkembangan ekonomi.
3. Barang-barang modal dan tingkat teknologi.
Barang-barang modal yang bertambah dan teknologi yang modern
memegang peranan penting dalam mewujudkan kemajuan ekonomi.
4. Sistem ekonomi dan sikap masyarakat.
2.1.4 Perubahan Struktur Ekonomi
Terjadinya pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari peranan sektor – sektor
yang ada dalam suatu perekonomian. Untuk melihat sektor – sektor yang
memberikan peran utama bagi perkembangan perekonomian daerah, menurut
Richardson (2001) dan Glasson (1997), salah satu cara atau pendekatan model
11
ekonomi regional adalah analisis basis ekonomi (economic base), model ini dapat
menjelaskan struktur ekonomi daerah atas dua sektor, yaitu sektor basis dan non
basis. Model economic base menekankan pada ekspansi ekspor sebagai sumber
utama pertumbuhan ekonomi daerah.
Menurut Kuznet dalam Todaro (2006) perubahan struktur ekonomi atau
transformasi struktural ditandai dengan adanya perubahan persentase sumbangan
berbagai sektor-sektor dalam pembangunan ekonomi, yang disebabkan intensitas
kegiatan manusia dan perubahan teknologi. Perubahan struktur yang fundamental
harus meliputi transformasi ekonomi bersamaan dengan transformasi sosial.
Pemahaman tentang perubahan struktur perekonomian memerlukan pemahaman
konsep-konsep sektor primer, sekunder dan tersier serta perbedaannya. Perubahan
struktur yang terjadi dapat meliputi proses perubahan ekonomi tradisional ke
ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat.
Menurut Fisher dan Kindleberger dalam Djojohadikumo, bahwa
pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor
primer ke sektor sekunder. Pendapat Fisher ini kemudian di dukung oleh Clark
dengan menggunakan data Cross Sectional dari beberapa Negara. Clark
menyusun struktur kesempatan kerja menurut sektor produksi dan tingkat
pendapatan nasional per kapita. Hasilnya adalah semakin tinggi tingkat
pendapatan per kapita nasional suatu Negara, makin kecil peranan sektor primer
dalam menyediakan kesempatan kerja (Djojohadikusumo,1994). Perubahan
struktur ekonomi yang terjadi pada suatu daerah memiliki keterkaitan dengan
terjadinya perkembangan sektor – sektor ekonomi yang ada pada daerah tersebut.
Dari perubahan struktur ekonomi yang terjadi, berdasarkan studi empiris dari para
12
ahli yang telah dikemukakan pada umumnya suatu Negara atau daerah akan
mengalami transformasi ekonomi menuju industrialisasi, yang di tandai dengan
semakin meningkatnya peranan sektor non primer khususnya sektor industri
terhadap Gross National Product dan menurunnya peranan sektor primer, seiring
dengan pertumbuhan ekonominya.
Salah satu teori perubahan struktur perekonomian dikembangkan oleh
Chenery dan Taylor (1975) dalam sukirno, memperlihatkan corak perubahan
struktur ekonomi menggunakan data di berbagai Negara dalam kurn waktu
tertentu. Dalam analisisnya yang terpenting adalah bahwa dalam proses
perubahan struktur perekonomian ada hubungan antara besaranya pendapatan per
kapita dengan persentase subangan berbagai sektor pada berbagai tingkat
pembangunan ekonomi, dan selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan dalam
menentukan sumber – sumber daya ke berbaasi sektor ekonomi (sukirno, 1995).
Keberhasilan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah sangat
berkaitan dengan pengaelolaan sumber daya yang dimiliki daerah. Oleh karena itu
prioritas pembangunan daerah harus sesuai dengan potensi yang dimilikinya,
sehingga akan terlihat peranan dari sektor – sektor potensial terhadap
pertumbuhan perekonomian daerah, sebagaimana yang diperlihatkan ada
perkembangan PDRB dan sektor – sektornya.
2.1.5 Pola Pertumbuhan ekonomi
Pola pertumbuhan ekonomi dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah
berdasarkan Tipologi Klassen (Widodo, 2006) dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Daerah yang maju dan tumbuh cepat (Rapid Growth Region)
b. Daerah maju tetapi tertekan (Retarted Region)
13
c. Daerah berkembang cepat (Growth Region)
d. Daerah relative tertinggal (Relatively Backward Region)
2.1.6 Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Regional
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak
langsung akan berpengaruh terhadap masalah ketimpangan regional.
Ketimpangan dalam pembagian pendapatan adalah ketimpangan dalam
perkembangan ekonomi antara berbagai daerah pada suatu wilayah yang akan
menyebabkan pula ketimpangan tingkat pendapatan per kapita antar daerah.
Untuk menghitung ketimpangan regional digunakana Indeks Ketimpangan
Williamson dan Indeks Ketimpangan Entropi Theil (Kuncoro, 2004).
Ketimpangan pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang
umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada
dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan
perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat
dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses
pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Oleh sebab itulah, tidak
mengherankan bilamana pada setiap negara/daerah biasanya terdapat wilayah
maju dan wilayah terbelakang Sjafrizal (2008). Terjadinya ketimpangan antar
wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar
wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga
mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
14
2.2 Peneliti Terkait
Andri Priyanto (2009) dalam penelitian berjudul “Analisis Ketimpangan
dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten”
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran pembangunan ekonomi
di Provinsi Banten, mengidentifikasi tingkat ketimpangan antar kabupeten/kota di
Provinsi Banten, dan menganalisis besarnya pengaruh angkatan kerja, belanja
modal pemerintah dan angka melek huruf terhadap pertumbuhan ekonomi
Provinsi Banten. Dari penelitian tersebut dalam hasil dan pembahasannya Andri
Priyanto menyatakan bahwa Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten dari tahun
2001 - 2008 sangat berfluktuasi, namun tetap menunjukkan peningkatan.
Pertumbuhan ekonomi paling tinggi terjadi pada tahun 2007, sektor yang
mempunyai kontribusi tertinggi di Provinsi Banten yaitu industri pengolahan dan
perdagangan pada tahun terakhir ini. Belanja Modal (BM), Angkatan Kerja (AK)
dan Angka Melek Huruf (AMH) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Banten.Angkatan kerja mempunyai nilai elastisitas yang terbesar yaitu
sebesar 0,733 berikutnya angka melek huruf (tidak signifikan) dan belanja modal
sebesar 0,11. Adapun metode dalam penelitian yang dilakukannya menggunakan
analisis deskriptif untuk memberikan suatu gambaran secara umum mengenai
kondisi dari Provinsi Banten dan kondisi variabel-variabel pembangunan ekonomi
di Provinsi Banten dari tahun 2001 sampai 2008. Variabel-variabel pembangunan
ekonomi yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah mengenai pertumbuhan
ekonomi. Selain itu digunakan juga digunakan analisis Ketimpangan (Indeks
Williamson) dan Analisis Klasen Typology untuk meneliti hubungan antara
15
disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi dan untuk
menggambarkan kesenjangan klasifikasi tiap kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Lili Masli, dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Analisis faktor –
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan regional antar
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,
dan ketimpangan regional antar kabupaten/kota se Provinsi Jawa barat. Objek
penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa barat dengan
menggunakan data sekunder berupa produk domestik regional bruto (PDRB)
kabupaten/kota di Provinsi Jawa barat tahun 1993 – 2006 serta menggunakan
pendekatan deskriptif untuk: analisis pertumbuhan ekonomi, Tipologi Klassen,
indeks Williamson, Indeks Entropi Theil.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa: (1) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat selama periode penelitian antar
tahun 1993 – 2006 serta menunjukan arah yang negative dibandingkan dengan
awal periode penelitian. (2) pada umumnya kabupaten/kota di Jawa barat pada
periode penelitian antara tahun 1993 – 2006 menurut analisis tipologi klassen
termasuk klasifikasi daerah relative tertinggal sebesar 36,6 persen serta daerah
berkembang cepat sebesar 32,6 persen, daerah maju dan tumbuh cepat sebesar
16,3 persen dan daerah maju tapi tertekan sebesar 14,5 persen. (3) dari hasil
perhitungan dat PDRB tahun 1993 – 2006, dengan menggunakan Indeks
Williamson dan Indeks entropi theil cenderung meningkat.
I Dewa Made Darma Setiawan (2007), dalam jurnal penelitian SOCA vol.
7 no.2 hal 143 - 152 tentang “Peranan sektor unggulan terhadap pertumbuhan
16
ekonomi daerah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat: pendekatan input-
output multiregional”.
Pertumbuhan suatu sektor perekonomian yang terjadi di suatu wilayah
akan berdampak tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut,
tetapi juga di wilayah lainnya yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan wilayah
tersebut. Provinsi Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara dipilih sebagai lokasi
penelitian, selain karena lokasi geografisnya sangat berdekatan juga karena
memiliki keterkaitan ekonomi yang sangat kuat. Untuk menganalisis keterkaitan
ekonomi antar Provinsi diatas dan menganalisis dampak pertumbuhan sektor-
sektor unggulan di suatu Provinsi terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi
tersebut (intraregional) dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi lainnya
(interregional) digunakan alat analisis Input-Output Multiregional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat enam sektor unggulan,
yaitu: (1) sektor industri makanan, minuman, dan tembakau; (2) sektor
perdagangan ( di Provinsi Jawa Timur); (3) sektor hotel dan restoran; (4) sektor
peternakan dan hasil-hasilnya ( di Provinsi Bali); (5) sektor industri makanan,
minuman dan tembakau; dan sektor hotel dan restoran (di Provinsi Nusa Tenggara
Barat). Pertumbuhan sektor-sektor unggulan ini akan berdampak pada output,
nilai tambah bruto, dan penyerapan tenaga kerja intraregional dan interregional.
Ditingkat nasional, pertumbuhan sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur dan Bali
berdampak lebih besar bila dibandingkan dengan dampak pertumbuhan sektor
unggulan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
2.3 Kerangka Pemikiran
17
2.3.1 Pertumbuhan Ekonomi
Tujuan pembangunan ekonomi (bersifat multidimensional) adalah
menciptakan pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial,
mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan
(disparity), dan pengangguran (Todaro, 2000). Sejalan dengan hal tersebut, maka
pembangunan ekonomi daerah menghendaki adanya kerjasama diantara
pemerintah, privat sektor, dan masyarakat dalam mengelola sumber daya yang
dimiliki oleh wilayah tersebut dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan lapangan kerja seluas-luasnya. Pengertian pertumbuhan disini, menyangkut
perkembangan berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil
produksi (output) dan pendapatan.
Berbeda dengan pembangunan ekonomi, yang mengandung arti lebih luas
dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara
menyeluruh (Djojohadikusumo,1994). Suatu perekonomian dikatakan mengalami
pertumbuhan atau perkembangan jika tingkat kegiatan ekonominya meningkat
atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dengan kata lain, perkembangannya baru terjadi jika jumlah barang dan
jasa secara fisik yang dihasilkan perekonomian tersebut bertambah besar pada
tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, untuk melihat peningkatan jumlah
barang yang dihasilkan maka pengaruh perubahan harga-harga terhadap nilai
pendapatan daerah pada berbagai tahun harus dihilangkan. Caranya adalah dengan
melakukan perhitungan pendapatan daerah didasarkan atas harga konstan.
Indikator keberhasilan pembangunan ditunjukkan oleh pertumbuhan
ekonomi dan berkurangnya ketimpangan baik di dalam distribusi pendapatan
18
penduduk maupun antar wilayah. Berbagai masalah timbul dalam kaitan dengan
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah, dan terus mendorong
perkembangan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi wilayah. Dalam
kenyataannya banyak fenomena tentang pertumbuhan ekonomi wilayah.
Para teoritisi tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot
yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan dengan
rasa aman dan tentram yang dirasakan masyarakat luas (Arsyad,1999: 141).
Kuznets (1955) yang telah berjasa besar dalam memelopori analisis pola-pola
pertumbuhan historis di negara-negara maju mengemukakan pada tahap-tahap
pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada
tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang kemudian
dikenal secara luas sebagai konsep kurva Kuznets U terbalik (Todaro, 2000:207).
Arsyad (1999: 147–148) menyebutkan bahwa teori kutub pertumbuhan
yang dipopulerkan oleh ekonom Perroux (1970) menyatakan bahwa pertumbuhan
tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang sama. Pertumbuhan hanya
terjadi di beberapa tempat yang merupakan pusat (kutub) pertumbuhan dengan
intensitas yang berbeda. Untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur
pertumbuhan ekonomi daerah dapat digunakan tipologi Klassen sebagai alat
analisis. Sjafrizal (1997: 27-38) menjelaskan bahwa dengan menggunakan
alat analisis ini dapat diperoleh empat klasifikasi pertumbuhan masing-masing
daerah yaitu daerah pertumbuhan cepat (rapid growth region), daerah tertekan
(retarded region), daerah sedang bertumbuh (growing region) dan daerah relatif
19
tertinggal (relatively backward region). Kuncoro dan Aswandi (2002: 25-43)
menggunakan alat analisis ini untuk mengklasifikasikan
wilayah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi ke dalam empat kelompok, yaitu (a)
Low growth, high income, (b) high growth, high income, (c) high growth, low
income, dan (d) low growth, low income.
2.3.2 Pertumbuhan Ekonomi
Kesenjangan (ketimpangan) wilayah dan pemerataan pembangunan
menjadi permasalahan utama dalam pertumbuhan wilayah, bahkan beberapa ahli
berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah tidak akan bermanfaat dalam
pemecahan masalah kemiskinan. Beberapa perbedaan antara wilayah dapat dilihat
dari beberapa persoalan seperti, potensi wilayah, pertumbuhan ekonomi, investasi
(domestik dan asing), luas wilayah, konsentrasi industri, transportasi, pendidikan,
budaya dan lain sebagainya.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat akan berdampak terhadap ketimpangan
dalam distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat
dari Laju Pertumbuhan ekonomi pada suatu waktu tertentu. Laju pertumbuhan
ekonomi pada suatu tahun tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus di
bawah ini :
dimana Gt adalah tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu daerah yang dinyatakan dalam persen, Yrt adalah pendapatan
daerah riil pada tahun t, dan Yrt-1 adalah pendapatan daerah riil pada tahun t-1.
Laju pertumbuhan ekonomi antar Kabupaten/kota di Provinsi Bali menunjukan
tingkat yang beragam dan akan berdampak kepada ketimpangan regional.
20
Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar kabupaten/kota
di Provinsi Bali bisa disebabkan karena perbedaan sumbangan sektor unggulan
Provinsi Bali.
Pertumbuhan ekonomi harus direncanakan secara komprehensif dalam,
upaya terciptanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian maka
wilayah yang awalnya miskin, tertinggal, dan tidak produktif akan menjadi lebih
produktif, yang akhirnya akan mempercepat pertumbuhan itu sendiri. Strategi
inilah kemudian dikenal dengan istilah “redistribution with growth”.
Pertumbuhan ekonomi daerah yang bebeda-beda intensitasnya akan menyebabkan
terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan
antar daerah.
Penelitian tentang hipotesis neoklasik dilakukan oleh Jefrey G.Williamson
pada tahun 1966 melalui suatu studi tentang ketimpangan pembangunan antar
wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan
data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa
hipotesis neoklasik ternyata terbukti benar secara empirik. Fakta empirik ini
menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang terjadi di
negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan
pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh
negara. Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang dapat digunakan
mengidentifikasi adanya ketimpangan adalah indeks williamson.
Untuk mengetahui ketimpangan pembangunan antar kabupaten yang
terjadi di Provinsi Bali, 2004 - 2008 dapat dianalisis dengan menggunakan indeks
ketimpangan regional (regional in equality) yang dinamakan indeks ketimpangan
21
Williamson (Sjafrizal, 1997: 31). Kemudian dengan menggunakan alat analisis
indeks Entropi Theil untuk mengetahui ada tidaknya ketimpangan yang terjadi di
Provinsi Bali. Dari indeks entropi Theil akan memungkinkan diketahui untuk
membuat perbandingan selama waktu tertentu. Indeks ketimpangan entropi Theil
juga dapat menyediakan secara rinci dalam sub unit geografis yang lebih kecil,
yang pertama akan berguna untuk menganalisis kecenderungan konsentrasi
geografis selama periode tertentu; sedang yang kedua juga penting ketika kita
mengkaji gambaran yang lebih rinci mengenai kesenjangan/ketimpangan spasial.
Sebagai contoh kesenjangan/ketimpangan antar daerah dalam suatu negara dan
antar sub unit daerah dalam suatu kawasan (Kuncoro,2001: 87).
Dari Analisis faktor – faktor yang didapatkan dari hasil penelitian tentang
pertumbuhan dan ketimpangan antar regional di Provinsi Bali, diharapkan akan
dapat membantu kebijakan ekonomi daerah dii Provinsi Bali dimasa yang akan
datang. Dengan adanya kebijakan ekonomi tersebut diharapkan pembangunan
ekonomi daerah memberikan manfaat signifikan khususnya bagi daerah – daerah
yang lambat pertumbuhan ekonominya.
22
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
23
Rekomendasi Kebijakan
Pembangunan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi
LajuPertumbuhan
Ekonomi
Pola – Pola Pertumbuhan Ekonomi
(Kurva Kuznet U terbalik)
Pola & struktur Pertumbuhan Ekonomi
(Tipologi Klassen)
Disparitas Pendapatan
(Ketimpangan)Indeks Ketimpangan Regional
(Indeks Ketimpangan Williamson)
Indeks Ketimpangan Theil (Indeks Entropi Theil)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dan analisis data
sekunder. Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan
mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan
memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Analisis
deskriptif digunakan untuk memberikan suatu gambaran secara umum mengenai
kondisi dari Provinsi Bali dan kondisi variabel-variabel pembangunan ekonomi di
Provinsi Bali dari tahun 2004 sampai 2008. Variabel-variabel pembangunan
ekonomi yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah mengenai pertumbuhan
ekonomi Dan ketimpangan antar daerah di Provinsi Bali.
3.2 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di daerah Provinsi Bali yang terdiri
atas 9 kabupaten /Kota yaitu: Badung, Denpasar, Buleleng, Gianyar, Tabanan,
Karangasem, Jembrana, Klungkung, Bangli. Untuk mengetahui faktor – faktor
yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar daerah
di Provinsi Bali.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah data sekunder yang
diperoleh dari Biro Pusat Statistik Bali (BPS) Bali, perpustakaan, jurnal ilmiah,
Internet, dan hasil penelitian – penelitian sebelumnya yang mempunyai relevansi
dengan kajian yang dilakukan. Untuk memahami permasalahan penelitian, dalam
24
pembahasan akan di coba dengan melihat hubungan variabel – variabel penelitian
dengan pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan adalah data PDRB Provinsi
Bali tahun 2004 – 2008.
3.4 Operasionalisasi Variabel
Varibel – variabel yang dioperasionalisasikan dalam penelitian ini adalah
semua variabel yang terkait dalam rumusan hipotesis. Untuk menghindari
kesalahan dalam persepsi dan pemahaman tehadap variabel – variabel yang akan
di analisa, maka akan diberikan batasan terhadap variabel – variabel berikut ini:
1. Pembangunan ekonomi adalah peningkatan pendapatan per kapita atau
PDRB suatu masyarakat yang berlangsung secara terus – menerus
dalam jangka panjang.
2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah sejumlah produksi
yang dihasilkan oleh setiap daerah dalam jangka waktu tertentu yang
dinyatakan dalam rupiah. Unit – unit produksi tersebut dikelompokan
menjadi 9 sektor lapangan usaha..
3. Struktur perekonomian dalam penelitian ini merupakan
komposisi/kontribusi dari kegiatan produksi secara sektoral menurut
lapangan usaha yang mengacu pada klasifikasi yang telah dibuat oleh
BPS.
4. Laju pertumbuhan ekonomi daerah yang berarti besar kecilnya
persentase peningkatan produksi barang dan jasa masyarakat menurut
sektor produksi suatu daerah.
25
5. Ketimpangan regional yaitu ketimpangan yang didasarkan kepada
perhitungan indeks Ketimpangan Williamson dan Indeks Ketimpangan
Entropi Theil.
6. Pengertian Daerah dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan
yang lebih mendasar pada administrasi pemerintahan, sehingga suatu
daerah merupakan suatu kesatuan administrasi atau politik
pemerintahan.
3.5 Metode Analisi Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali (BPS, 2009) tahun 2004 – 2008, digunakan rumus:
Laju Pertumbuhan Ekonomi = x 100%
Dimana :
PDRBt = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t
PDRB(t-1) = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t – 1
2. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Tipologi Klassen
Analisis ini digunakan untuk menggambarkan kesenjangan
klasifikasi tiap kabupaten/kota di Provinsi Banten. Menurut
Sjafrizal (1997) Analisis ini didasarkan pada dua indikator
utama yaitu rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata
pendapatan per kapita di suatu daerah. Analisis ini membagi
26
empat klasifikasi daerah yang masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda yaitu:
(i) Kuadran I yaitu daerah maju dan cepat tumbuh (high
growth and high income) merupakan daerah yang memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita
yang lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi.
(ii) Kuadran II yaitu daerah maju tapi tertekan (low growth but
high income) merupakan daerah yang memiliki
pertumbuhan ekonominya lebih rendah tapi pendapatan per
kapita lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi.
(iii) Kuadran III yaitu daerah berkembang cepat (high
growth but low income) merupakan daerah dengan
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tapi pendapatan
per kapitanya lebih rendah dibanding rata-rata provinsi.
(iv)Kuadran IV yaitu daerah relatif tertinggal (low growth and
low income) merupakan daerah yang pertumbuhan ekonomi
maupun pendapatan per kapitanya lebih rendah dibanding
provinsi.
Tabel 1. Klasifikasi Kabupaten/kota menurut Klassen Typologi
Y
R Yi > y Yi < y
Ri > RKuadran I
Daerah maju dan tumbuh cepat
Kuadran III
Daerah berkembang cepat
Ri < R Kuadran II Kuadran II
27
Daerah maju tapi tertekan Daerah maju tapi tertekan
Keterangan :
Ri = laju pertumbuhan PDRB di wilayah i
Yi = Pendapatan (PDRB) perkapita wilayah i
R = Laju pertumbuhan PDRB wilayah referensi
Y = Pendapatan perkapita rata-rata wilayah referensi
3. Analisis Ketimpangan Regional (Wilayah)
a. Indeks dari Jeffery G. Williamson atau indeks ketimpangan
Williamson (Sjafrizal, 1997: 31):
IW =
Di mana :
IW = Indeks Ketimpangan Williamson
Yi = PDRB per kapita di Kabupaten i
Y = PDRB per kapita rata-rata Provinsi Bali
fi = jumlah penduduk di Kabupaten i di Provinsi Bali
n = jumlah penduduk Provinsi Bali
Iw = o artinya merata sempurna
Iw = 1 artinya ketimpangan sempurna
Hasil pengujian Indeks Williamson akan menunjukan nilai
antara 0 sampai 1. Dengan semakin besar nilai Indeks Williamson,
maka semakin besar ketidakmerataan antar daerah dan sebaliknya
28
semakin kecil nilai Indeks Williamson, maka tingkat
ketidakmerataan antar daerah juga akan semakin kecil. HT Oshima
(dalam Sutawijaya, 2004:46) menetapkan sebuah kriteria yang
digunakan untuk menentukan apakah ketimpangan dalam
masyarakat ada pada ketimpangan taraf rendah, sedang, atau
tinggi. Untuk itu ditentukan kriteria sebagai berikut; ketimpangan
taraf rendah bila indeks Williamson < 0,35 , ketimpangan taraf
sedang bila indeks Williamson antara 0,35 – 0,50 dan ketimpangan
taraf tinggi bila indeks Williamson > 0,50. Teknik analisis ini
digunakan untuk mengetahui sebaran distribusi pendapatan di
Provinsi Bali.
b. Indeks Ketimpangan Entropi Thiel (Kuncoro, 2004) :
I(y) =
Di mana:
I(y) = indeks entropi Theil
yj = PDRB per kapita Kabupaten j
Y = rata-rata PDRB per kapita Provinsi Bali
xj = jumlah penduduk Kabupaten j
X = Jumlah penduduk Provinsi Bali
Indeks ketimpangan entropi Theil memungkinkan untuk membuat
perbandingan selama waktu tertentu. Indeks ketimpangan entropi Theil
juga dapat menyediakan secara rinci dalam sub unit geografis yang
lebih kecil, yang pertama akan berguna untuk menganalisis
29
kecenderungan konsentrasi geografis selama periode tertentu; sedang
yang kedua juga penting ketika kita mengkaji gambaran yang lebih
rinci mengenai kesenjangan/ketimpangan spasial.
Bila nilai indeks Entropi Theil = 0 maka kemerataan sempurna dan
bila indeks semakin menjauh dari nol maka terjadi ketimpangan yang
semakin besar.
4. Kurva U Terbalik oleh Kuznets (M.P.Todaro, 2000) yaitu dimana pada
tahap-tahap awal pertumbuhan ekonomi ketimpangan memburuk atau
membesar dan pada tahap-tahap berikutnya ketimpang menurun,
namun pada suatu waktu ketimpangan akan menaik dan demikian
seterusnya sehingga terjadi peristiwa yang berulangkali dan jika
digambarkan akan membentuk kurva U-terbalik. Dalam hal ini
pembuktian kurva U-Terbalik digunakan sebagai berikut (Mudrajat
Kuncoro, 2004) ;
a. Menghubungkan antara angka indeks Williamson dengan
Pertumbuhan PDRB Provinsi Bali
b. Menghubungkan antara angka indeks Entropi Theil dengan
Pertumbuhan PDRB Provinsi Bali.
Dengan adanya indikator apabila kedua angka indeks tersebut
menggambarkan kurva U terbalik, maka teori Kuznets berlaku di
Provinsi Bali sebaliknya apabila kedua angka indeks tidak
menggambarkan kurva U terbalik, maka teori Kuznets tidak berlaku di
Provinsi Bali.
30
BAB IV
GAMBARAN UMUM PROVINSI BALI
4.1 Keadaan Geografis
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km
dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali
terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang
membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Gunung Agung
adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus
pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar
30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang
dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah
dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.
Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang
pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan
tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung
serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung
Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis
terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran
rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah
yang luas dan landai. Batas wilayah sebelah utara Bali adalah Laut Bali dan batas
sebelah Selatan Bali adalah Samudera Indonesia, Batas sebelah barat adalah
Provinsi Jawa Timur, dan sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%)
seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam
31
(15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha.
Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah
pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.
Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah
Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur,
Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan
pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan. Luas wilayah
Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia.
Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan
dan 701 desa/kelurahan. Daerah pemerintahan Provinsi Bali saat ini terbagi
menjadi delapan kabupaten dan satu kota, yakni Jembrana, Tabanan, Badung,
Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng dan Kota Denpasar yang
juga merupakan ibukota provinsi.
Jika dilihat dari luas wilayahnya, maka Kabupaten Buleleng memiliki luas
terbesar 1.365,88 km2 atau 24,25% dari luas provinsi, diikuti oleh Jembrana
seluas 841,80 km2 (14,94%), Karangasem seluas 839,54 km2 (14,90%), dan
Tabanan seluas 839,30 km2 (14,90%). Sisanya adalah Bangli 520,81 km2,
Badung 420,09 km2, Gianyar 368,00 km2, dan Klungkung 315,00 km2, dengan
total luas wilayah sekotar 31,01% dari luas provinsi.
4.2 Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Bali tahun 2000 (Sensus Penduduk) sebanyak 3.146.999
jiwa atau dengan kepadatan penduduk 555 jiwa/km2 dan tingkat pertumbuhan
penduduk 1,19% per tahun selama periode tahun 1990 - 2000. Untuk tahun 2008
jumlah penduduk Bali berdasarkan data Badan Pusat Statistik Bali sebanyak
32
3.409.845 jiwa. Terdiri dari Kabupaten Jembrana yang merupakan wilayah
dengan tingkat kepadatan penduduknya paling rendah yaitu 319 jiwa/km2 dengan
jumlah penduduk 268.269 jiwa. Wilayah Kabupaten Tabanan dengan populasi
sebesar 416743 jiwa. Populasi di Kabupaten Badung sebesar 383.880 jiwa.
Selanjutnya Kabupaten Gianyar dengan populasi penduduknya 394.755 jiwa dan
sekaligus menempati urutan kedua wilayah dengan kepadatan paling tinggi
setelah Kabupaten Denpasar yaitu 1.073 jiwa/km2. Kabupaten Klungkung
merupakan populasi terendah di Provinsi Bali sebesar 176.822 jiwa. Kemudian
diikuti Kabupaten Bangli sebagai populasi terendah kedua 213.808 jiwa.
Kabupaten Karangasem berjumlah 430.251 jiwa. Kabupaten Buleleng merupakan
wilayah yang terbanyak penduduknya sebesar 650.237 jiwa. Wilayah terpadat
penduduknya ditempati Kotamadya Denpasar dengan jumlah penduduk sebesar
475.080 jiwa dengan tingkat kepadatannya 3.718 jiwa/km2. Penduduk Bali kira-
kira mayoritas 92,3% menganut agama Hindu. Agama lainnya adalah Buddha,
Islam, Kristen, dan Katolik.
Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan
perikanan. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Bahasa yang digunakan di
Bali adalah Bahasa Indonesia, Bali, dan Inggris khususnya bagi yang bekerja di
sektor pariwisata.
Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling luas
pemakaiannya di Bali, dan sebagaimana penduduk Indonesia lainnya, sebagian
besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Meskipun terdapat
beberapa dialek dalam bahasa Bali, umumnya masyarakat Bali menggunakan
sebentuk bahasa Bali pergaulan sebagai pilihan dalam berkomunikasi. Secara
33
tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan sistem
catur warna dalam agama Hindu Dharma dan keanggotan klan (istilah Bali: soroh,
gotra); meskipun pelaksanaan tradisi tersebut cenderung berkurang.
Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga (dan bahasa asing utama) bagi banyak
masyarakat Bali, yang dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri
pariwisata. Para karyawan yang bekerja pada pusat-pusat informasi wisatawan di
Bali, seringkali juga memahami beberapa bahasa asing dengan kompetensi yang
cukup memadai.
4.3 Keadaan Perekonomian
4.3.1 PDRB Menurut Lapangan Usaha
Perekonomian Provinsi Bali sangat ditentukan oleh kinerja Industri
Pariwisata yang merupakan motor penggerak ekonomi Bali. Meskipun berbagai
hambatan terjadi (krisis global, inflasi, dll) pada tahun 2008, Pariwisata sebagai
sektor penggerak ekonomi Bali masih tetap menunjukan kinerja yang baik,
sehingga perekonomian Bali dapat bertahan bahkan menunjukan kinerja yang
membaik. Dari data yang dikumpulkan BPS (Badan Pusat Statistik), kedatangan
wisman secara langsung ke Bali (baik jalur laut dan darat) menunjukan
peningkatan dari tahun sebelumnya dan memecahkan rekor kedatangan wisman
(Wisatawan Mancanegara) yang datang selama beberapa dekade terakhir. Selama
tahun 2008 jumlah wisman yang datang mencapai 1,99 juta orang atau meningkat
sebesar 19,40% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain karena tingginya
permintaan, bertambahnya wisman yang datang ke Bali juga tidak terlepas dari
kondisi Bali yang cukup kondusif.
34
Berbagai faktor pendorong positif dari luar seperti dicabutnya larangan ke
Indonesia oleh pemerintah Amerika tentu saja merangsang wisman Amerika dan
negara – negara sekutu Amerika untuk datang ke Bali. Berbagai event
kepariwisataan berskala internasional yang dilangsungkan dengan sukses di Bali
pada tahun 2008 juga merupakan indikator tersendiri bagi wisman yang berniat
datang ke Bali. Membaiknya kondisi ekonomi Bali secara lebih jelas seperti pada
Gambar 1 tentang peningkatan nilai PDRB Bali.
Gambar 1Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Bali
Periode Tahun 2004 – 2008 (trilyun Rp)
Secara nominal (absolut) atas dasar harga berlaku menunjukan
kecenderungan terus meningkat. Pada tahun 2004 PDRB atas dasar harga berlaku
baru mencapai Rp.28.986.595,66 juta, meningkat menjadi Rp. 33.946.467,53 di
tahun 2005, kemudian meningkat lagi menjadi Rp. 37.388.484,90 juta di tahun
2006, kemudian menjadi Rp. 42.336.424,40 juta pada tahun selanjutnya, dan pada
tahun 2008 nilainya telah mencapai Rp. 49.922.604,45 juta. Namun demikian
nilai PDRB di atas masih merupakan nilai yang dipengaruhi oleh perubahan
harga. Sehingga untuk melihat perubahan nilai tambah secara riil (perkembangan 35
produksi barang dan jasa secara riil), perlu dilihat perkembangan PDRB atas dasar
harga konstan.
PDRB Bali atas dasar harga konstan juga menunjukan kecenderungan
yang terus meningkat. PDRB Bali atas dasar harga konstan pada tahun 2004
adalah Rp. 19.963.243,81 juta, selanjutnya mengalami peningkatan di tahun 2005
dan 2006 masing – masing menjadi Rp. 21.072.444,79 juta dan Rp. 22.148.679,28
juta dan terus meningkat di tahun 2007 yaitu Rp. 23.497.047,07 juta. Pada tahun
2008 PDRB Bali atas dasar harga konstan meningkat menjadi Rp. 24.900.571,98
juta.
4.3.1.1 Struktur Perekonomian Bali
Salah satu indikator yang sering dipakai untuk mengamati struktur
perekonomian suatu daerah adalah distribusi persentase nilai tambah bruto
sektoral yang juga dapat digunakan untuk mengamati keunggulan (potensi)
daerah.
Gambar 2Struktur Perekonomian Provinsi Bali
Tahun 2004 dan 2008
2004 2008
Struktur perekonomian Bali tidak mengalami perubahan yang berarti
selama kurun waktu lima terakhir. Seperti yang terlihat pada diagram di atas, dari
36
tahun 2004 sampai dengan 2008 kelompok tersier masih mendominasi
perekonomian Bali. Hal ini dapat dipahami karena industri pariwisata merupakan
penopang perekonomian Bali, sehingga sektor – sektor yang sangat erat
hubungannya dengan industri pariwisata (kelompok sektor tersier) akan
memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian Bali. Dengan demikian
fenomena ini menjadikan struktur perekonomian Bali sedikit berbeda dengan
struktur perekonomian daerah lain di Indonesia.
Dari gambar 2 di atas terlihat bahwa pada tahun 2004 sektor tersier
memberikan kontribusi sebesar 63,87% sedangkan untuk sektor primer dan
sekunder masing – masing hanya sebesar 21,42% dan 14,72%. Kemudian pada
tahun 2008 struktur perekonomian Bali secara substansi tidak mengalami
perubahan besar. Kelompok tersier masih mendominasi sebesar 64,85% bahkan
mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2004. Begitu juga dengan
sektor sekunder mengalami peningkatan menjadi 16,14%. Sementara kontribusi
sektor primer tercatat menurun pada tahun 2008 menjadi 19,01%.
Tabel 1 Distribusi Persentase PDRB Bali Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004 - 2008
LAPANGAN USAHA 2004 2005 2006 2007 2008
1 Pertanian 20,74 20,29 19,96 19,41 18,332 Pertambangan dan Penggalian 0,68 0,66 0,69 0,66 0,683 Industri Pengolahan 9,00 8,69 8,70 8,99 9,34
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 1,80 1,85 1,94 2,00 2,105 Bangunan/ Konstruksi 3,91 4,03 4,28 4,43 4,70
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 29,16 29,37 28,88 28,98 28,96
7 Pengangkutan dan Komunikasi 11,30 11,85 11,86 12,33 12,928 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 6,79 7,07 7,46 7,34 7,62
9 Jasa-jasa 16,61 16,19 16,22 15,86 15,35
PDRB 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
.
37
Sektor pertanian dan sektor perdagangan, Hotel, Restoran menjadi sektor
dominan di Bali selama kurun waktu lima tahun terakhir. Kedua sektor ini (jika
dijumlahkan) rata – rata memberi share hampir setengah dari PDRB Bali (lebih
dari 40%). Meskipun kedua sektor ini tercatat sebagai kontributor utama, namun
keduanya memiliki kecenderungan yang berbeda. Sektor pertanian mengalami
penurunan kontribusi (20,74% di tahun 2004 menurun menjadi 20,29% di tahun
2005 kemudian menjadi 19,96% di tahun 2006, lalu menjadi 19,41% di tahun
2007, dan terakhir menurun menjadi 18,33% pada tahun 2008). Sebaliknya sektor
perdagangan, hotel, dan restoran mengalami kecenderungan berfluktuasi ( 29,16%
di tahun 2004 meningkat menjadi 29,37% di tahun 2005, menurun menjadi
28,88% di tahun 2006, kembali meningkat pada tahun 2007 menjadi 28,98%, dan
menurun kembali di tahun 2008 menjadi 28,96%).
Penurunan kontribusi pada sektor pertanian harus disikapi secara lebih
serius. Karena sektor pertanian tidak saja terkait dengan pemenuhan konsumsi
domestik, namun juga terkait erat dengan kondisi kepariwisataan Bali. Pariwisata
Bali yang dimotori oleh budaya dan adat istiadat Bali sangat terkait dengan
pertanian yang ada di Bali. Budaya dan adat berkembang sejak jaman dahulu di
Bali sedikit banyak merupakan budaya pertanian. Sistem Subak, gotong – royong
dan rasa kekeluargaan semuanya bersumber pada pertanian. Sehingga jika
pertanian mulai hilang di Bali, daya tarik pariwisatanya pun akan berkurang.
Berbagai pemasalahan klasik seperti berkurangnya lahan pertanian karena adanya
alih fungsi lahan, harga pupuk yang melambung tinggi hingga berkurangnya
minat penduduk Bali terhadap sektor ini karena dianggap kurang menjanjikan
38
(memberi nilai tambah yang kecil bahkan sering merugi) membuat sektor ini
makin terpuruk di Bali.
Di lain pihak, kondisi pariwisata yang berfluktuasi juga membuat
perkembangan sektor Perdagangan, hotel, dan restoran berfluktuasi. Berbagai
kejadian seperti Bom Bali pernah membuat sektor ini mengalami penurunan
kontribusi meski secara riil nilainya cenderung meningkat. Hal inilah yang patut
diwaspadai, karena meski mampu menciptakan nilai tambah yang relative besar,
sektor ini juga sangat rentan terhadap perubahan kondisi baik internal maupun
eksternal terutama yang terkait dengan perubahan kondisi keamanan dan
kenyamanan.
4.3.1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) dalam Dasa Warsa Pembangunan I
(Development Decade I) yaitu pada tahun 1960 – 1970 menetapkan bahwa
pertumbuhan ekonomi rata – rata 5% per tahun untuk jangka waktu yang lama
sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan. Walaupun paradigma tersebut kini
sudah mengalami pergeseran, namun peranan indikator ini sebagai tolak ukur
kinerja pembangunan masih tetap tidak bias diabaikan. Pertumbuhan Ekonomi
dalam hal ini ditunjukan oleh pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan yang
secara tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan produksi yang terjadi di
suatu daerah.
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali pernah mencapai angka yang relatif
tinggi, yaitu mencapai 7% atau diatas rata – rata nasional sebelum krisis tahun
1997 yang lalu. Angka ini bisa berarti mengindikasikan tingkat kesejahteraan
masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dipicu oleh boomingnya sektor
39
pariwisata yang menjadi lokomotif ekonomi Bali. Industri kecil menengah (home
industry) sebagai penunjang pariwisata seperti industry logam, perak, kerajinan
tangan, berkembang sampai ke pelosok desa – desa. Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 membuat perekonomian Bali ikut
terpuruk. Pertumbuhan ekonomi Bali menurun hingga ke titik nadir ( - 4,04% di
tahun 1998). Kebijakan recovery economy yang digulirkan pemerintah pusat dan
daerah dalam rangka menstimulasi fiskal menunjukan keadaan yang membaik
dalam pertumbuhan ekonomi Bali. Keadaan perekonomian Bali mulai membaik
pada tahun selanjutnya dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,67% di tahun
1999 dan 3,05% di tahun 2000. Kendati demikian, upaya recovery economy yang
tadinya mulai berayun terhenti kembali dengan adanya peristiwa ledakan bom di
Legian, Kuta pada 12 Oktober 2002 lalu. Pasca tragedi bom di Kuta, pertumbuhan
ekonomi Bali semakin tidak menentu tercermin dari PDRB atas dasar harga
konstan 2002 hanya mencapai 3,04 % atau turun sebesar 0,50% bila dibandingkan
tahun sebelumnya yaitu 3,54% pada tahun 2001).
Gambar 3. Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi di Bali (persen)
40
Pada tahun 2003 ekonomi Bali mengalami percepatan menjadi 3,57 %
dan tahun – tahun selanjutnya Bali mengalami pertumbuhan ekonomi masing –
masing sebesar 4,62 % di tahun 2004, dan 5,56% pada tahun 2005. Pada tahun
2005 tepatnya tanggal 1 Oktober, perekonomian Bali kembali mendapat
guncangan akibat Bom Kuta dan Jimbaran. Hal ini berdampak pada pertumbuhan
ekonomi Bali di tahun 2006 yang mengalami perlambatan ( hanya tumbuh sebesar
5,28% ). Kemudian laju pertumbuhan ekonomi mulai meningkat di tahun
selanjutnya sebesar 5,92% pada tahun 2007. Tahun 2008 perekonomian Bali
mulai berangsur – angsur pulih dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,97%.
Walaupun secara angka laju pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan cukup tinggi,
namun perlu juga dicermati indikator lainnya seperti perkembangan harga dan
jasa untuk melihat kondisi ekonomi masyarakat secara riil.
Kendati perekonomian tumbuh dan pendapatan meningkat, namun jika
peningkatan pendapatan tidak mampu mengejar peningkatan harga barang dan
jasa, maka dapat diartikan bahwa secara riil pendapatan masyarakat tersebut
mengalami penurunan. Indikator harga yang lebih dikenal dengan inflasi juga
mengalami peningkatan yang dapat dikatakan cukup tinggi (hampir menyentuh
dua digit). Laju inflasi Kota Denpasar pada tahun 2008 sebesar 9,62% jauh lebih
tinggi dari pemerintah daerah yang hanya berkisar antara 4 sampai 6 persen.
Besarnya inflasi selain akibat pengaruh internal (kenaikan BBM dan Distribusi
yang kurang lancar karena bencana alam) juga terkait dengan fenomena eksternal
seperti harga pangan dunia, harga minyak mentah yang melonjak tajam dan lain –
lain.
41
Laju Inflasi di Bali dalam lima tahun terakhir sangat berfluktuasi. Pada
tahun 2006 laju inflasi mencapai 5,97% kemudian meningkat menjadi 11,31% di
tahun 2005, lalu menurun menjadi 4,3% di tahun 2006, dan berturut – turut
meningkat menjadi 5,91% dan 9,62 % pada tahun 2007 dan 2008. Meski secara
umum tidak tergolong membahayakan (rata – rata dibawah 10%) namun besarnya
inflasi juga harus diwaspadai mengingat besarnya keterkaitan indikator ini
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Tingginya tingkat inflasi tahun 2005
dan 2008 disebabkan oleh kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM.
Tabel 2
Laju pertumbuhan PDRB Bali atas dasar harga konstan 2000Menurut lapangan usaha
Tahun 2004 – 2008
LAPANGAN USAHA 2004 2005 2006 2007 2008 Rata - Rata
1 Pertanian 3,66 4,20 4,10 2,49 1,01 3,092 Pertambangan dan Penggalian 4,38 3,97 2,54 2,97 3,52 3,483 Industri Pengolahan 3,71 5,11 4,36 9,15 8,17 6,10
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 4,49 5,44 6,57 7,89 8,98 6,675 Bangunan/ Konstruksi 5,09 5,46 4,51 6,09 6,71 5,57
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 4,65 6,27 5,11 7,58 8,36 6,39
7 Pengangkutan dan Komunikasi 5,17 6,77 6,06 10,86 8,92 7,568 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 7,97 7,26 6,72 3,61 4,28 5,97
9 Jasa-jasa 4,55 4,79 6,95 2,80 4,66 4,75
PDRB 4,62 5,56 5,28 5,92 5,97 5,47
42
4.3.1.3 PDRB Per Kapita Bali
4.3.2 PDRB Menurut Komponen Penggunaan
4.3.2.1 Struktur PDRB Menurut Komponen Penggunaan
4.3.2.1.1 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (Termasuk Lembaga Swasta
Nirlaba)
4.3.2.1.2 Pengeluaran Konsumsi Pemerintah
4.3.2.1.3 Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
4.3.2.1.4 Ekspor dan Impor
4.3.2.2 Laju Pertumbuhan PDRB Menurut Komponen Penggunaan
43
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Provinsi Bali dan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2009. Produk
Domestik Regional Bruto Provinsi Bali 2004 – 2008. Denpasar: Badan
Pusat Statistik Provinsi Bali
Caska dan R.M. Riadi. 2005. Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan
Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau. From
http://rmriadi.yolasite.com/resources/Jurnal%20Pertumbuhan%20dan
%20Ketimpangan.pdf. 17 Agustus 2010
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Imelia, Emilia. 2006. Modul Ekonomi Regional. Jambi: Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi Universitas Jambi. From
http://iespfeunja.files.wordpress.com/2008/09/ekonomi-regional.pdf.
17 Agustus 2010
Masli, Lili. 2007. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Ekonomi dan Ketimpangan Regional Antar Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Barat. From
http://www.stan-im.ac.id/jsma/pdf/vol1/ANALISIS%20FAKTOR-
FAKTOR%20YANG%20MEMPENGARUHI%20PERTUMBUHAN
%20EKONOMI%20DAN%20KETIMPANGAN%20REGIONAL
%20ANTAR%20KABUPATEN-KOTA%20DI%20PROVINSI
%20JAWA%20BARAT.pdf.
17 Agustus 2010
44
Priyanto, Andri. 2009. Analisis Ketimpangan dan Faktor - faktor yang
Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten. From
http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/11414/2/H09apr1.pdf.
17 Agustus 2010
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Boduose Media
Sukirno, Sadono. 2010. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijakan. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Predana Media Group
Tambunan, Tulus T.H. 2009. Perekonomian Indonesia. Bogor : Ghalia Indonesia
Tarigan, Robinson M.R.P. 2006. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Edisi
Revisi. Jakarta: Bumi Aksara
45