Download - preskas CHF
LAPORAN PRESENTASI KASUS KOASS INTERNA
(Periode 31 Maret – 7 Juni 2014)
Congestive Heart Failure et causa Old Anterior
Myocardial Infarction
Disusun oleh :
RIZKY AISYAH
1102010255
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo
Pembimbing :
Dr. Herawati Isnanijah, Sp. JP
SMF JANTUNG
RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JULI 2014
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : Tn. J
Usia : 52 tahun
Pekerjaan : laki-laki
Alamat : Jl. Kober No.52 RT 07/RW 02 Kramat Jati
No RM : 2013 - 452866
Ruang Rawat : Flamboyan
Tanggal pemeriksaan : 26 Juni 2014
A. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan dengan autoanamnesis terhadap pasien dan aloanamnesa
terhadap istri pasien.
Keluhan utama:
Sesak napas sejak 5 jam SMRS.
Keluhan tambahan:
Keringat dingin, lemas, dan batuk kering.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam
SMRS. Keluhan tersebut dirasakan timbul dengan tiba-tiba saat sedang beristirahat.
Keluhan tersebut disertai keringat dingin dan seluruh badan terasa lemas. Istri pasien
mengaku bahwa keluhan sesak napas sudah dialami pasien setiap hari selama satu minggu
SMRS saat beristirahat pada malam hari, namun keluhan tersebut hanya timbul sebentar
dan hilang sendiri. Pasien juga mengeluh sering mengalami batuk kering pada malam hari
dan terkadang terbangun akibat keluhan tersebut.
Pasien mengaku cepat lelah dan ngos-ngosan jika berjalan 100 meter sejak 1 bulan
SMRS. Keluhan sakit kepala, mual dan muntah disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak
mengalami bangkak di kedua kakinya. BAB dan BAK diakui normal.
Sejak 30 tahun pasien termasuk perokok berat. Sehari mampu menghabiskan 1-2
bungkus perhari, namun saat ini pasien mengaku sudah berhenti merokok selama 2 bulan
1
terakhir. Pasien mengaku sangat gemar makan masakan bersantan dan daging-dagingan
terutama daging kambing. Pasien mengaku kurang dalam berolahraga.
Riwayat penyakit dahulu
1. Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan seperti ini.
2. Riwayat alergi obat (-)
3. Riwayat merokok (+)
4. Riwayat hipertensi (+)
5. Riwayat diabetes Mellitus (-)
6. Riwayat Asma (-)
Riwayat Penyakit keluarga
Istri pasien mengaku bahwa paman pasien mengalami keluhan yang sama dan
meninggal dunia 2 bulan yang lalu.
B. STATUS GENERALIS
1. Kesadaran : sakit sedang
2. Keadaan umum : Compos mentis
3. Tekanan darah : 170/100 mmHg
4. Nadi : 104x/menit, frekuensi teratur
5. Suhu : 36,8˚C
6. Pernapasan : 24x/menit, teratur
ASPEK KEJIWAAN
1. Tingkah laku : dalam batas normal
2. Proses piker : dalam batas normal
3. Kecerdasan : dalam batas normal
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
1. Bentuk : normochepal
2. Posisi : simetris
2
Mata
1. Exophthalmus : Tidak ada
2. Enopthalmus : Tidak ada
3. Edema kelopak : Tidak ada
4. Konjungtiva anemi : -/-
5. Sklera ikterik : -/-
Telinga
1. Pendengaran : Baik
2. Darah & cairan : Tidak ditemukan
Mulut
1. Trismus : Tidak ada
2. Faring : Dalam batas normal
3. Lidah : Lidah tidak kotor berwarna putih, tidak deviasi
4. Uvula : Letak ditengah, tidak deviasi
5. Tonsil : T1-T1
Leher
1. Trakea : Tidak deviasi
2. Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
3. Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran
4. JVP : ( 5+2 cmH2O)
Paru-paru
1. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris pada keadaan statis dan dinamis kanan
kiri, tidak terlihat luka, kulit kemerahan atau penonjolan
2. Palpasi :Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru. Fremitus taktil
dan vocal statis dan dinamis kanan kiri.
3. Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru
3
4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
1. Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS 5 linea midclavicula sinistra
2. Palpasi : Iktus cordis teraba
3. Perkusi :
Batas jantung kanan di ICS 5 linea sternalis dextra
Batas jantung kiri di ICS 5 di 2 jari sebelah kiri linea midclavikula sinistra
Batas pinggang jantung di ICS 3 linea sternalis sinistra
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, gallop (-) murmur (-)
Abdomen
1. Inspeksi : Datar
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran
4. Palpasi : Nyeri tekan ulu hati (-), hepar tidak membesar, permukaan rata, nyeri
tekan (-), lien tidak teraba membesar. Refleks hepato jugular (-)
Ekstremitas
1. Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri
2. Edema negatif pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri
4
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (26-06-2014)
Hematologi
Hemoglobin 13,8 g/dL
Hematokrit 47 %
Leukosit 12.730 µL
Trombosit 299.000 µL
Kimia Klinik
SGOT (AST) 81 U/L
SGPT (ALT) 78 U/L
CK – NAC (CK TOTAL) 142 U/L
CK – MB 9 U/L
Troponin T 50 - 100 ng/L
Ureum Darah 21 mg/dL
Kreatinin Darah 1,21 mg/dL
Gula Darah Sewaktu 109 mg/dL
Troponin T :
< 50 ng/L = masih mungkin IMA, ulang 3-6 jam
50 – 100 ng/L = mungkin IMA, ulang untuk lihat peningkatan
100-2000 ng/L= mungkin IMA
> 2000 ng/L = sangat mungkin IMA
Laboratorium (01-07-2014)
5
Kimia Klinik
Ureum Darah 34 mg/dL
Kreatinin Darah 0.59 mg/dL
eGFR 152.2 mL/min/1.73 m2
Laboratorium (01-07-2014)
Hemostasis
PT (Kontrol) 13.6 detik
PT 12.1 detik
INR 0.95
EKG (Elektrokardiogram)
Interpretasi EKG:
Irama : sinus
QRS rate : 75-100 x/menit
Aksis : left axis deviation (LAD)
Gelombang P : durasi 0,08 sec; amplitudo 0,2 mV
PR interval : 0,12 sec
6
Kompleks QRS : durasi 0.08 sec; gel. QS di V1-V6
Segmen ST : ST elevasi di V1-V4
Gelombang T : T inverted di I, aVL, V5, dan V6
Kesan : old infark di dinding anterior, iskemik di dinding lateral, dan LAD
Rontgen thorax
Interpretasi
Cor : kardiomegali (CTR: 72%)
Aorta : tidak melebar, tidak elongasio dan tidak terdapat kalsifikasi
Paru : corakan bronkovaskular <2/3 lapang paru, tidak terdapat infiltrat
Hilus : tidak melebar, tidak suram dan tidak menebal
Sudut : Sinus costofrenikus lancip
Echocardiography
7
8
Hasil :
Dimensi ruang jantung : LA, LV dilatasi, LVH (+) eksentrik
Kontraktilitas global LV : menurun dengan EF : 43%
EPSS: 24 LVEDP: meningkat
Analisa segmental : Global hipokinetik
Kontraktilitas global RV normal dengan TAPSE: 17 mm
Doppler: E/A >1 , E/E’: 31 , AoVmax: 120 mm/s, mPAP: 35 mmHg
9
Katup Mitral : Morphologi dan fungsi normal
Katup Tricuspid : Morphologi dan fungsi normal
Katup Aorta : Morphologi dan fungsi normal
Katup Pulmonal : Morphologi dan fungsi normal
Trombus Thrombus (+) 1,9 x 3,3 cm di Apex, Spontaneous Echo Contrast (-)
Kesimpulan :
1. Fungsi LV menurun. Fungsi sistolik RV normal
2. Disfungsi diastolik LV grade 2 (pseudonormal)
3. LVH (+) eksentrik
4. Global hipokinetik
5. Thrombus (+) 1,9 x 3,3 cm di Apex
D. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam
SMRS. Keluhan tersebut dirasakan timbul dengan tiba-tiba saat sedang beristirahat.
Keluhan tersebut disertai keringat dingin dan seluruh badan terasa lemas. Istri pasien
mengaku bahwa keluhan sesak napas sudah dialami pasien setiap hari selama satu minggu
SMRS saat beristirahat pada malam hari, namun keluhan tersebut hanya timbul sebentar
dan hilang sendiri. Pasien juga mengeluh sering mengalami batuk kering pada malam hari
dan terkadang terbangun akibat keluhan tersebut. Pasien mengaku cepat lelah dan ngos-
ngosan jika berjalan 100 meter sejak 1 bulan SMRS. Keluhan sakit kepala, mual dan
muntah disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak mengalami bangkak di kedua kainya.
BAB dan BAK diakui normal.
Hasil pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya peningkatan leukosit (12.730 µL) dan peningkatan enzim jantung
(Troponin T: 50 - 100 ng/L). Pada Pemeriksaan EKG terdapat left axis deviation (LAD),
gel. QS di V1-V6, ST elevasi di V1-V4, dan gelombang T inverted di I, aVL, V5, dan V6.
Pada pemeriksaan rontgen thorax terdapat CTR : 72%. Pada echocardiography terdapat
10
fungsi LV menurun, disfungsi diastolik LV grade 2 (pseudonormal), LVH (+) eksentrik,
Global hipokinetik, dan Thrombus (+) 1,9 x 3,3 cm di Apex.
E. DIAGNOSIS KERJA
1. CHF functional class IV et causa old anterior myocardial infarction
2. Hiperteni Emergensi
F. DIAGNOSIS BANDING
1. CHF et causa dilated cardiomyopathy
2. CHF et causa hipertension heart disease (HHD)
G. PEMERIKSAAN ANJURAN
-
H. TATALAKSANA
Penatalaksanaan di IGD
1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam
2. Furosemide i.v 1x4ml
3. Nifedipin SL 5mg
Penatalaksanaan di bangsal Flamboyan
Tanggal 27 Juni 2014
1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam
2. Furosemide (extra) i.v 1x4ml
3. Furosemide i.v 2x2ml
4. Ramipril oral 1x10mg
5. Clopidogrel oral 1x75mg
Tanggal 28 Juni 2014
1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam
2. Furosemide i.v 2x4ml
3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg
11
4. Ramipril oral 1x10mg
5. Clopidogrel oral 1x75mg
6. Bisoprolol oral 2x12,5mg
Tanggal 29 Juni 2014
1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam
2. Furosemide i.v 2x4ml
3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg
4. Ramipril oral 1x10mg
5. Clopidogrel oral 1x75mg
6. Bisoprolol oral 2x12,5mg
7. Spironolakton oral 1x100mg
Tanggal 30 Juni – 3 Juli 2014
1. IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 2mg/jam
IVFD Ringer Asetat/12 jam + Isosorbit dinitrat 1mg/jam dalam 1 jam lalu 0,5 mg/jam
lalu stop (3 juli 2014)
2. Furosemide i.v 2x4ml
3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg
4. Ramipril oral 1x10mg
5. Clopidogrel oral 1x75mg
6. Bisoprolol oral 2x6,25mg
7. Spironolakton oral 1x100mg
8. Amlodipin oral 1x5 mg
9. Fondaparinuks Sodium i.v 1x2,5mg
Tanggal 4 Juli 2014
1. IVFD Ringer Asetat/12 jam
2. Furosemide i.v 2x4ml
3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg
4. Ramipril oral 1x10mg
5. Clopidogrel oral 1x75mg
6. Bisoprolol oral 2x6,25mg
12
7. Spironolakton oral 1x100mg
8. Amlodipin oral 1x5 mg
9. Fondaparinuks Sodium i.v 1x2,5mg
Tanggal 5 Juli 2014
1. IVFD Ringer Asetat/12 jam
2. Furosemide i.v 2x4ml
3. Gliseril trinitrat oral 2x2,5mg
4. Ramipril oral 1x10mg
5. Clopidogrel oral 1x75mg
6. Bisoprolol oral 2x6,25mg
7. Spironolakton oral 1x100mg
8. Amlodipin oral 1x5 mg
9. Fondaparinuks Sodium i.v 1x2,5mg
10. Warfarin oral 1x4mg
I. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia ad bonam
2. Ad functionam : dubia ad malam
3. Ad sanationam : dubia ad malam
13
28 Juni 2014 29 Juni 2014 30 Juni 2014 1 Juli 2014 2 Juli 2014 3 Juli 2014 4 Juli 2014 5 Juli 2014
S Sesak (+)
Lemas (+)
Batuk (+)
Sesak (+) Lemas
(+) Batuk (+)
Sesak (-) Lemas
(+) Batuk (+)
Sesak (-) Lemas
(+) Batuk (+)
Sesak (-) Lemas
(+) Batuk (+)
Sesak (-) Lemas
(-) Batuk (-)
Sesak (-) Lemas
(-) Batuk (-)
Sesak (-) Lemas
(-) Batuk (-)
O KU: tss
Kes: cm
TD: 150/80
N: 88x/menit
S: 36,30C
RR: 28x/menit
Mata: CA-/-
SI-/-
Leher: DBN
Cor: BJ I,II reg
m (-), g (-)
Pulmo: Ves+/+
Rh-/- Wh-/-
Abd: Bu (+) N
Eks: edema-/-
KU: tss
Kes: cm
TD: 140/90
N: 80x/menit
S: 36,70C
RR: 24x/menit
Mata: CA-/-
SI-/-
Leher: DBN
Cor: BJ I,II reg
m (-), g (-)
Pulmo: Ves+/+
Rh-/- Wh-/-
Abd: Bu (+) N
Eks: edema-/-
KU: tss
Kes: cm
TD: 140/80
N: 80x/menit
S: 360C
RR: 24x/menit
Mata: CA-/-
SI-/-
Leher: DBN
Cor: BJ I,II reg
m (-), g (-)
Pulmo: Ves+/+
Rh-/- Wh-/-
Abd: Bu (+) N
Eks: edema-/-
KU: tss
Kes: cm
TD: 130/90
N: 80x/menit
S: 36,40C
RR: 24x/menit
Mata: CA-/-
SI-/-
Leher: DBN
Cor: BJ I,II reg
m (-), g (-)
Pulmo: Ves+/+
Rh-/- Wh-/-
Abd: Bu (+) N
Eks: edema-/-
KU: tss
Kes: cm
TD: 140/100
N: 84x/menit
S: 35,20C
RR: 28x/menit
Mata: CA-/-
SI-/-
Leher: DBN
Cor: BJ I,II reg
m (-), g (-)
Pulmo: Ves+/+
Rh-/- Wh-/-
Abd: Bu (+) N
Eks: edema-/-
KU: baik
Kes: cm
TD: 130/90
N: 80x/menit
S: 36,50C
RR: 24x/menit
Mata: CA-/-
SI-/-
Leher: DBN
Cor: BJ I,II reg
m (-), g (-)
Pulmo: Ves+/+
Rh-/- Wh-/-
Abd: Bu (+) N
Eks: edema-/-
KU: baik
Kes: cm
TD: 150/100
N: 72x/menit
S: 360C
RR: 22x/menit
Mata: CA-/-
SI-/-
Leher: DBN
Cor: BJ I,II reg
m (-), g (-)
Pulmo: Ves+/+
Rh-/- Wh-/-
Abd: Bu (+) N
Eks: edema-/-
KU: baik
Kes: cm
TD: 140/80
N: 76x/menit
S: 36,50C
RR: 18x/menit
Mata: CA-/-
SI-/-
Leher: DBN
Cor: BJ I,II reg
m (-), g (-)
Pulmo: Ves+/+
Rh-/- Wh-/-
Abd: Bu (+) N
Eks: edema-/-
A CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old CHF e.c old
anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI anterior MCI
FOLLOW UP
1
ANALISA KASUS
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham, yaitu
dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Adapun
kriteria Framingham sebagai berikut:
Kriteria Mayor :
Paroksismal nocturnal dyspnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria minor :
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120 x/menit)
Kriteria mayor atau minor :
Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Pada anamnesa didapatkan bahwa pasien mengeluh sering sesak napas saat beristirahat
pada malam hari sejak 1 minggu SMRS. Hal tersebut termasuk salah satu kriteria mayor
Framingham dengan kelas fungsional IV pada kriteri NYHA. Keluhan pasien juga ditambah
dengan salah satu kriteria minor Framingham, yaitu batuk kering yang terjadi pada malam
hari. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini, yaitu rontgen thorax, ekg
(elektrokardiogram), dan echokardiografi. Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan nilai
CTR sebesar 72%, hal itu menunjukkan bahwa jantung pasien membesar atau kardiomegali
dan merupakan salah satu dari kriteria minor Framingham. Hasil elektrokardiogram
menunjukkan LAD (left axis deviation), old infark di dinding anterior, dan iskemik di dinding
lateral.
14
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan
bahwa diagnosis pasien adalah gagal jantung kongestif karena mencakup 2 kriteria mayor dan
1 kriteria minor. Kemungkinan besar etiologi penyakit pada pasien ini adalah disebabkan
karena old infark di dinding anterior jantung yang terekam pada hasil elektrokardiogram.
Gagal jantung akibat infark miokard terjadi karena gangguan fungsi miokardium akibat infark
sel-sel otot jantung yang akan menyebabkan turunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan
abnormalitas gerakan dinding, dan mengubah daya kembang ruang jantung. Dengan
berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar volume
sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan jantung sebelah kiri. Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke
vena pulmonali. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru melebihi tekanan onkotik
vaskular maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang interstisial. Bila tekanan ini masih
meningkat lagi, terjadi edema paru-paru akibat perembesan cairan ke dalam alveoli.
Diagnosis gagal jantung pada pasien ini juga diperkuat dengan pemeriksaan
echokardiografi. Pemeriksaan tersebut menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri,
disfungsi diastol ventrikel kiri grade 2, dan terdapat hipertrofi serta dilatasi ventrikel kiri.
15
TINJAUAN PUSTAKA
I. Gagal Jantung Kongestif
I.1. Definisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat
memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa
penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau
sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini
dapat menyebabkan kematian pada pasien (Santoso dkk, 2007).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume
diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau
terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan (Mansjoer, 2001).
I.2. Epidemiologi
Diperkirakan terdapat 23 juta orang mengidap gagal jantung di seluruh dunia.
America Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta orang menderita gagal jantung di
Amerika Serikat pada tahun 2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus baru setiap
tahunnya. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa sekitar 1 – 2%. Diperkirakan
setidaknya ada 550.000 kasus agal jantung baru didiagnosis setiap tahunnya (Indrawati,
2009).
Gagal jantung merupakan suatu sindrom, bukan diagnose penyakit. Gagal jantung
kongestif juga merupakan prevalensi yang cukup tinggi pada lansia dengan prognosis yang
buruk. Prevalensi CHF adalah tergantung umur. Menurut penelitian, gagal jantung jarang
pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun.
I.3. Etiologi
Menurut Cowie MR (1999), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam 6
kategori utama:
1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh
hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch
block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
16
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard (tamponade).
6. Kelainan kongenital jantung.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting
untung mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang penyakit arteri
koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang
yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat
malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal
jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal
jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan
merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal
jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL
juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.
Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa
penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,
termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi
ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel.
Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung (Lip et al, 2000).
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan
oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun
penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional:
dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif dan obliterasi.
Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal
pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain
miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan
poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya
kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang
berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).
Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk,
tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang
menghambat pengisian ventrikel (Lip et al, 2000).
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudah
mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah
17
regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban
tekanan (peningkatan afterload).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan
kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi
dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut
maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik).
Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan
gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung.
Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat
menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.
I.4. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung,
otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal
yang kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar
vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Jackson at al, 2000).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi
perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyebabkan
gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertrofi dan nekrosis miokard fokal (Jackson at al, 2000).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II
plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol
eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf
simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga
memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Jackson
at al, 2000).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki
efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide
18
(ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP . C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap
ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena
peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan
sebagai terapi pada penderita gagal jantung.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal
jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada pemberian diuretik yang
akan menyebabkan hiponatremia (Santoso, 2007).
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal,
yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan
pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat
terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin (Santoso, 2007).
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain
seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30
– 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri
I.5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala gagal jantung kiri adalah adanya dyspnea, ortopnea, dyspnea
nocturnal paroksismal, batuk iritasi, edema pulmonal akut, penurunan curah jantung, irama
gallop, crackles paru, disritmia, pernapasan cheyne stoke. Untuk gagal jantung kanan ditandai
dengan curah jantung rendah, distensi vena jugularis, edema, disritmia, dan penurunan bunyi
napas.
I.6. Klasifikasi
19
Klasifikasi gagal jantung menurut ACC/AHA
Tingkatan gagal jantung berdasarkan struktur dan
kerusakan otot jantung
Klasifikasi fungsional NYHA
Tingkatan berdasarkan gejala dan aktifitas
fisik
Stadium A
Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi
gagal jantung. Tidak terdapat gangguan struktural atau
fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
Kelas I
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas
fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
napas.
Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang
berhubungan dengan perkembangan gagal jantung,
tidak terdapat tanda atau gejala.
Kelas II
Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat
keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik
sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.
Stadium C
Gagal jantung yang simptomatik berhubungan dengan
penyakit structural jantung yang mendasari
Kelas III
Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak
terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas
fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak
Stadium D
Penyakit jantung structural lanjut serta gejala gagal
jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun
sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter)
Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan
meningkat saat melakukan aktifitas
I.7. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi, foto
toraks, ekokardiografi-doppler (Gillespie, 2005).
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu dengan
terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Adapun kriteria
Framingham sebagai berikut:
Kriteria Mayor :
Paroksismal nocturnal dyspnea
Distensi vena leher
20
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular
Kriteria minor :
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea d’effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120 x/menit)
Kriteria mayor atau minor :
Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Gagal jantung dapat disertai spectrum abnormalitas fungsi ventrikel yang luas, mulai dari
ukuran ventrikel kiri dan fraksi ejeksi yang normal sampai dengan dilatasi berat dan atau
fraksi ejeksi yang sangat rendah.
American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA)
menyatakan bahwa dalam mendiagnosa gagal jantung tidak ada satupun uji diagnostik yang
spesifik. Diagnosa sangat ditentukan oleh penelusuran riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
yang teliti. Dengan dugaan yang kuat akan adanya suatu gagal jantung pada penderita yang
beresiko tinggi, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan tambahan seperti
laboratorium rutin, foto toraks, elektrokardiografi, penilaian fungsi ventrikel kiri, biomarker
dan uji latih.
Disfungsi jantung dapat dibagi menjadi dua yaitu disfungsi sistolik dan disfungsi
diastolik. Performa ventrikel kiri adalah kemampuan untuk mengosongkan ventrikel kiri.
Kemampuan untuk mengosongkan ventrikel kiri dapat diukur secara kuantitatif dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri (Left Ventrikel Ejection Fraction) yang merupakan rasio volume
sekuncup terhadap volume akhir diastolik. Sehingga disfungsi sistolik dapat didefinisikan
dengan turunnya nilai EF (Ejection Fraction) (EF < 50%) dapat diukur dengan
ekokardiografi. Sedangkan disfungsi diastolik dapat didefinisikan dengan menurunnya
distensibilitas ventrikel kiri yang dapat disebabkan oleh proses menua, hipertensi dan
kardiomiopati hipertrofik serta restriktif (EF > 50%). Perbandingan antara disfungsi diastolik
(DHF) dan disfungsi sistolik (SHF) dapat dilihat pada tabel 1.
21
Tabel 1. Perbandingan Disfungsi Diastolik dan Disfungsi Sistolik
Index yang digunakan untuk mengukur fungsi ventrikel kiri adalah mengukur
ejection fraction (EF) yang didapat dari stroke volume dibagi dengan end diastolic volume.
22
Algoritma 1. Diagnosis Gagal Jantung pada Pasien yang Belum Diterapi
I.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara non
farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi
untuk penatlaksaan paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu
akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan progosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita
mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik prognosisnya (Gibbs et al, 2000).
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan
menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat
dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat
badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta
23
pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung
kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap
sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat
dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru,
sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis
antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita dengan penyakit
katup primer maupun pengguna katup prosthesis (Gibbs et al, 2000).
Secara umum, penatalaksanaan gagal jantung secara farmakologis adalah:
1. Tirah baring
2. Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan jantung
3. Diberikan diuretik untuk menurunkan volume plasma sehingga aliran balik vena dan
peregangan terhadap serat-serat otot jantung berkurang
4. Diberikan digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas, misalnya digoxin, bekerja secara
langsung pada serat-serat jantung untuk meningkatkan kekuatan setiap kontraksi tanpa
bergantung pada serat otot. Hal ini akan menyebabkan peningkatan curah jantung
sehingga volume dan peregangan ruang ventrikel berkurang.
5. Diberikan penghambat enzim pengubah angiotensin (inhibitor ACE) untuk menurunkan
pembentukan angiotensin II. Hal ini akan mengurangi after load dan volume plasma
(preload). Nitrat juga diberikan untuk mengurangi after load dan preload (Corwin, 2001).
II. Infark Miokard
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Klinis sangat
mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun,
tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).
Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara
lain:
1. Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak
aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang
inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari
anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan
aliran darah miokard.
24
3. Infark miokard tipe
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan
sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda
biokimiawi sempat meningkat.
4. a. Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih
besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang
memicu terjadinya infark miokard.
b. Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
5. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard
jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.
Jika aliran darah miokardium terganggu secara nyata maka akan terjadi kematian (infark)
pada miokardium. Infark miokardium dapat berupa:
1. Infark subendokardial.
Adalah infark yang tidak meliputi seluruh lapisan dinding jantung.
2. Infark transmural.
Adalah infark miokardium yang meliputi seluruh ketebalan dinding ventrikel. Infark
transmural lebih berat dibanding infark subendokardial. Infark transmural selalu berasal dari
adanya peningkatan penyempitan atau oklusi total pembuluh arteri yang memperdarahi area
tersebut atau peningkatan tiba-tiba kebutuhan oksigen miokardium pada arteri yang
sebelumnya sangat stenostik, yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Sebagian
besar infark miokardium transmural bersifat tidak homogen; tidak seluruh otot di area
tersebut mati, tetapi masih terdapat pulau-pulau otot hidup dalam beberapa ukuran dan
jumlah.
Proses sebenarnya dari infark miokard tidak sederhana. Dari percobaan dengan binatang;
diketahui bahwa sel otot jantung akan mati dalam waktu 20-60 menit setelah oklusi total
arteri koroner. Akan tetapi terdapat proses reperfusi yang segera terjadi 3-4 menit pasca
oklusi total arteri terutama pada perbatasan daerah iskemik dan non-iskemik. Proses reperfusi
ini menguntungkan oleh karena segera mengurangi dan melokalisasi area infark, serta
menurunkan angka kematian. Di samping itu, reperfusi juga berdampak instabilitas elektrik,
edema, atau hemorrahage, yang justru memperburuk keadaan secara umum.
Proses penyembuhan jaringan nekrotik dari area miokardium akan menimbulkan jaringan
parut. Sebagian besar jaringan parut ini terdiri dari jaringan fibrotik dan sel-sel miokardium
yang viabel dalam komposisi berbeda-beda. Hal ini terbukti dari adanya perubahan
kontraktilitas area tersebut setelah dilakukan tindakan revaskularisasi. Bila area jaringan parut
25
hanya terdiri dari jaringan ikat saja, maka daerah tersebut akan menipis, akinetik, dan
aneurismatik.
EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard
Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard ketika ventrikel
berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik. Vektor gaya bergerak
menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh elektroda pada daerah infark sebagai defleksi
negatif abnormal. Infark yang menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark
gelombang Q. Pada sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan
gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan daerah nekrotik
kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya ≥0,04 detik. Namun hal
ini tidak berlaku untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang
Q di lead ini lebar dan dalam (Chou, 1996).
Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara sempurna. Area
tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada akhir proses depolarisasi. Jika
elektroda diletakkan di daerah ini, maka potensial yang positif akan terekam dalam bentuk
elevasi segmen ST. Jika elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area
injury, maka terekam potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST
depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda dipisahkan dari daerah injury
oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran
ST depresi (Chou, 1996).
Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih
negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak menjauhi
daerah iskemik. Elektroda yang terletak di daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai
gelombang T negatif. Iskemia subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T,
mengingat proses repolarisasi secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena
potensial elektrik dihasilkan repolarisasi subendokardium terhambat, maka gelombang T
terekam sangat tinggi (Chou, 1996).
Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi
infark dapat ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan
gambaran EKG dapat dilihat di Tabel 2.
Tabel 2.1. Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan gambaran EKG
Lokasi Perubahan gambaran EKG
Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5
26
Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I dan aVL
LateralElevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan inversi
gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL
Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan aVF
True posteriorGelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi di V1-V3.
Gelombang T tegak di V1-V2
RV infarction
Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R). Biasanya ditemukan
konjungsi pada infark inferior. Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa
jam pertama infark.
Dikutip dari Ramrakha, 2006
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST.
Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis
kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usia≥40 tahun, STEMI ditegakkan jika
diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun
(Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung
hingga lebih dari 2 minggu (Antman, 2005).
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan
elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-
normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non
STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan
lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan
amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang
simetris >2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Tedjasukmana, 2010).
Pertanda Biokimia Troponin T pada Infark Miokard
Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen tipis aparatus
kontraktil otot bergaris. Troponin terdiri dari 3 subunit, yaitu troponin T (39 kDa), troponin I
27
(26 kDa), dan troponin C (18 kDa) (Maynard, 2000). Troponin C berikatan dengan ion Ca2+
dan berperan dalam proses pengaturan aktifasi filamen tipis selama kontraksi otot jantung.
Berat molekulnya adalah 18.000 Dalton. Troponin I yang berikatan dengan aktin, berperan
menghambat interaksi aktin miosin. Berat molekulnya adalah 24.000 Dalton. Troponin T
yang berikatan dengan tropomiosin dan memfasilitasi kontraksi, bekerja meregulasi kontraksi
otot. Berat molekulnya adalah 37.000 Dalton. Struktur asam amino troponin T dan I yang
ditemukan pada otot jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot skeletal dalam hal
komposisi imunologis, sedangkan struktur troponin C pada otot jantung dan skeletal identik
(Tarigan, 2003).
Kompleks troponin, tropomiosin, aktin dan miosin dapat dilihat pada Cardiac
troponin T (cTnT) berada dalam miosit dengan konsentrasi yang tinggi pada sitosol dan
secara struktur berikatan dengan protein. Sitosol, yang merupakan prekursor tempat
pembentukan miofibril, memiliki 6% dari total massa troponin dalam bentuk bebas. Sisanya
(94%), cTnT berikatan dalam miofibril. Dalam keadaan normal, kadar cTnT tidak terdeteksi
dalam darah. Keberadaan cTnT dalam darah diawali dengan keluarnya cTnT bebas
bersamaan dengan sitosol yang keluar dari sel yang rusak. Selanjutnya cTnT yang berikatan
dengan miofibril terlepas, namun hal ini membutukan waktu lebih lama.
Karena pelepasan cTnT terjadi dalam 2 tahap, maka perubahan kadar cTnT pada
infark miokard memiliki 2 puncak (bifasik). Puncak pertama disebabkan oleh keluarnya cTnT
bebas dari sitosol. Puncak kedua terjadi karena pelepasan cTnT yang terikat pada miofibril.
Oleh sebab itu, pelepasan cTnT secara sempurna berlangsung lebih lama, sehingga jendela
diagnostiknya lebih besar dibanding pertanda jantung lainnya (Tarigan, 2003).
Berat dan lamanya iskemia miokard menentukan perubahan miokard yang reversible
atau irreversible. Pada iskemia miokard, glikolisis anaerob dapat mencukupi kebutuhan
fosfat energi tinggi dalam waktu relatif singkat. Penghambatan proses transportasi yang
dipengaruhi ATP dalam membran sel menimbulkan pergeseran elektrolit, edema sel dan
hilangnya integritas membran sel. Dalam hal kerusakan sel ini, mula-mula akan terjadi
pelepasan protein yang terurai bebas dalam sitosol melalui transpor vesikular. Setelah itu
terjadi difusi bebas dari isi sel ke dalam interstisium yang mungkin disebabkan rusaknya
seluruh membran sel. Peningkatan kadar laktat intrasel disebabkan proses glikolisis. pH
intrasel menurun dan kemudian diikuti oleh pelepasan dan aktifasi enzim-enzim proteolitik
lisosom. Perubahan pH dan aktifasi enzim proteolitik menyebabkan disintegrasi struktur
intraseluler dan degradasi protein terikat. Manifestasinya adalah jika terjadi kerusakan
miokard akibat iskemia, cTnT dari sitoplasma dilepaskan ke dalam aliran darah. Keadaaan ini
berlangsung terus menerus selama 30 jam sampai persediaan cTnT sitoplasma habis. Bila
terjadi iskemia yang persisten, maka sel mengalami asidosis intraseluler dan terjadilah
28
proteolisis yang melepaskan sejumlah besar cTnT terikat ke dalam darah. Masa pelepasan
cTnT ini berlangsung 30-90 jam, lalu perlahan-lahan kadarnya turun (Tarigan, 2003).
Peningkatan kadar cTnT terdeteksi 3-4 jam setelah jejas miokard. Kadar cTnT
mencapai puncak 12-24 jam setelah jejas. Peningkatan terus terjadi selama 7-14 hari
(Ramrakha, 2006). cTnT tetap meningkat kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB. cTnT
membutuhkan waktu 5-15 hari untuk kembali normal (Samsu, 2007). Diagnosis infark
miokard ditegakkan bila ditemukan kadar cTnT dalam 12 jam sebesar ≥0.03 μg/L, dengan
atau tanpa disertai gambaran iskemi atau infark pada lembaran EKG dan nyeri dada
(McCann, 2009).
III. Hubungan Antara Gagal Jantung dengan Infark Miokard
Gagal jantung kiri merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah
infark miokardium. Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan
menurunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormalitas gerakan dinding, dan mengubah
daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk
mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel
meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan jantung sebelah kiri. Kenaikan tekanan
ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonali. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paru
melebihi tekanan onkotik vaskular maka terjadi proses transudasi ke dalam ruang interstisial.
Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-paru akibat perembesan cairan ke
dalam alveoli.
Penurunan volume sekuncup akan menimbulkan respon simpatis kompensatorik.
Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat untuk mempertahankan curah
jantung. Terjadi vasokonstriksi perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi
aliran darah dari organ–organ yang tidak vital seperti ginjal dan kulit demi mempertahankan
perfusi organ–organ vital. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung
kanan, sehingga akan meningkatkan kekuatan kontraksi (sesuai hukum jantung Starling).
Pengurangan aliran darah ginjal dan laju fltrasi glomerulus akan mengakibatkan pengaktifan
sistem renin-angiotensin-aldosteron, dengan terjadinya retensi natrium dan air oleh ginjal. Hal
ini akan lebih meningkatkan aliran balik vena.
Manifestasi klinis gagal jantung mencerminkan derajat kerusakan miokardium dan
kemampuan serta besarnya respon kompensasi. Berikut adalah hal-hal yang biasa ditemukan
pada gagal jantung kiri :
1. Gejala dan tanda : dispneu, oliguria, lemah, lelah pucat, dan berat badan bertambah
2. Auskultasi : ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi jantung dan ketidaklenturan
ventrikel waktu pengisian cepat).
29
3. EKG : takikardia
4. Radiografi dada : kardiomegali, kongesti vena pulmonalis, redistribusi vaskular ke lobus
bagian atas.
Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat meningkatnya
tekanan vaskular paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain secara tak langsung melalui
pembuluh paru tersebut, disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh langsung terhadap fungsi
ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimiawinya. Kedua ventrikel mempunyai satu
dinding yang sama (yaitu septum interventrikularis) yang terletak dalam perikardium. Selain
itu, perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya cadangan noreprinefrin miokardium
selama gagal jantung dapat merugikan kedua ventrikel. Yang terakhir, infark ventrikel kanan
jelas merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal jantung kanan. Kongesti vena sistemik
akibat gagal jantung kanan bermanifestasi sebagai pelebaran vena leher, hepatomegali, dan
edema perifer.
30
DAFTAR PUSTAKA
Alpert, J.S., Kristian, T., MD, Allan S. J., Harvey D.W., 2010. A Universal Definition of
Myocardial Infarction for the Twenty-First Century. AccessMedicine from McGraw-Hill.
Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/716457 [Accessed 22 Juli 2014]
Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In:
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450
Chou, T., 1996. Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric: Myocardial
Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed. Pennsylvania: W.B.
Saunders Company.
Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: non-drug management.
BMJ;320:366-9.
Gillespie ND. 2005. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older
patient. British Medical Bulletin;75 and 76: 49- 62.
Indrawati E. 2009. Hubungan antara penyakit jantung coroner dengan angka mortalitas
gagal jantung akut di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005-2006.
Jakarta Fakultas Kedokteran Indonesia; 1-2
Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: pathophysiology.
BMJ;320:167-70
Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. 2000. ABC of heart failure: aetiology. BMJ;320:104-7
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia
McCann, C.J., et al. 2009. Novel Biomarkers in Early Diagnosis of Acute Myocardial
Infarction Compared With Cardiac Troponin T. European Heart Journal. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/585554_2 [Accessed 22 Juli 2014]
M.R. Cowie. 1999. Incidence and aetiology of heart failure. European Jornal No.20, 421-8
Article No. euhj.1998.1280. Terdapat dalam: http://www.idealibrary.com
Ramrakha, P., Hill, J., 2006. Oxford Handbook of Cardiology: Coronary Artery Disease. 1st
ed. USA: Oxford University Press
Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007. Diagnosis dan
tatalaksana praktis gagal jantung akut.
Santoso, M., Setiawan, T., 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran.
Available from: http://ojs.lib.unair.ac.id/index.php/CDK/article/view/2860 [Accessed 22 Juli
2014]
Sylvia, A price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.
31
Tarigan, E., 2003. Hubungan Kadar Troponin-T dengan Gambaran Klinis Penderita
Sindroma Koroner Akut. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Available from: http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-elias%20tarigan.pdf
[Accessed 22 Juli 2014]
Tedjasukmana, P., Karo-karo, S., Kaunang, D.R., Lukito, A.A., Tobing, D.P., Erwinanto,
Yamin, A., 2010. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut: Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI, 4-5
32