Download - Presentasi Kasus Medik - B20
Berkas Portofolio Kasus Medis
BAB I
ILUSTRASI KASUS
A. Identitas Pasien No. Rekam Medis: 527846
Nama : Tn. Y
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Sunda / Indonesia
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan
Tanggal pemeriksaan : 11 September 2013
B. Anamnesis ( Alloanamnesis / Autoanamnesis )
Keluhan Utama
Diare Kronis sejak 1 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan membawa rujukan dari klinik dengan hasil
pemeriksaan B20 dan ingin memulai pengobatan.
Keluhan pasien diawali dengan diare yang dirasakan sejak 1 bulan SMRS,
berwarna kuning, cair, tidak ada darah dan tidak disertai lendir, sebanyak 1
hingga 11 kali dalam sehari. Keluhan disertai dengan panas badan dan
meriang yang muncul hilang timbul, nafsu makan yang turun serta penurunan
berat badan secara drastis dalam 2 bulan terakhir.
Keluhan juga disertai dengan timbulnya rasa gatal berulang pada tangan
pasien, munculnya bercak putih pada bagian pinggir mulut, di sekitar bagian
dalam mulut, lidah dan langit – langit mulut sejak 2 minggu SMRS.
Riwayat nyeri disertai bintil berisi air disekitar batang tubuh disangkal.
Riwayat benjolan di sekitar leher, ketiak dan pangkal paha disangkal.
Riwayat batuk lama, sesak nafas, keringat malam dan riwayat TB paru
disangkal. Riwayat infeksi menular seksual diakui pada 5-6 tahun SMRS.
Riwayat pemakaian jarum suntik disangkal. Riwayat memiliki tato disangkal,
riwayat penggunaan jarum suntik dan obat – obatan disangkal, Pada riwayat
Berkas Portofolio Kasus Medis
aktivitas seksual didapatkan pasien memiliki 2 orang istri, dan sebelum
berkeluarga pasien memiliki riwayat berganti – ganti pasangan seksual pada
5-6 tahun SMRS.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
C. Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan.
Kesadaran : Compos mentis.
Tanda vital
- Tekanan Darah : 130/80 mmHg.
- Nadi : 84 x/menit.
- Suhu : 36,60C.
- Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit.
- Berat Badan : 62 kg.
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva Anemis - / -, Sklera Ikterik - / -
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-)
Oral Plaque (+) a.r perioral, lidah, palatum
Leher : Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening
Thoraks : Cor S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo VBS kanan=kiri, Ro - / -,
Wheezing - / -
Berkas Portofolio Kasus Medis
Abdomen : Dalam batas normal
Genitalia : Ulkus / luka (-), kutil (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+)
Tampak hiperpigmentasi generalisata
pada kedua lengan, sebagian besar
berbentuk bulat, sebagian timbul,
sebagian datar, multipel, diameter 1 -3
cm
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pemeriksaan Radiologi
Hb 12,8 g/dl Eritrosit 3,9 % Anti-HIV 1 Reaktif
Leukosi
t
8800
/mm
Ht 35,6 Anti-HIV 2 Reaktif
LED 35
mm/jam
Trombosit 387.000 /mm3 Anti-HIV 3 Reaktif
Basofil 0 % SGOT 42 U/L CD4
Absolut
33L
(N=410-1590)Eosinofi
l
0 % SGPT 56 U/L
Batang 1 % GDS 123 mg/dl CD4 % 4L
(N=31-60%)Segme
n
89 % Ureum 17 mg/dl
Limfosit 7 % Kreatinin 0,7 mg/dl HbsAg Negatif
Monosit 3 %
Berkas Portofolio Kasus Medis
Ekspertise:
Pulmo: Corakan bronkovaskular paru normal, hilus baik
Cor : CTI = 50%
Aorta Elongasi
Sinus dan diafragma naik
Kesan: Elongasi aorta
E. Diagnosis Kerja
B20 stadium III dengan infeksi oportunistik:
- Diare kronik
- Kandidiasis Oral
- Prurigo
F. Penatalaksanaan
Berkas Portofolio Kasus Medis
- Cotrimoxazole 1 x 960 mg
- Nystatin drop 4 x 1 ml
- Fluconazole 2 x 1 tab
- Kontrol Poli Pelangi
- Saran Pemeriksaan Lab Darah untuk CD4
G. Prognosis
Quo Ad vitam : Dubia ad malam
Quo Ad functional : Dubia ad malam
H. Perjalanan Penyakit
Berkas Portofolio Kasus Medis
Tanggal Keadaan pasien Laboratorium Tatalaksana
19/09/13 BB: 62 kg
S: Os merasakan bercak putih disekitar mulut berkurang. Frekuensi diare menurun 1 kali / hari. Lemas (+), Keringat dingin (+)
Cotrimoxazole 1 x 960 mg
Nystatin drop 4 x 1 ml
Fluconazole 2 x 1 tab
Kontrol Poli Pelangi
26/09/13 T: 120/80 mmHg
BB: 60 kg
S: -
(Sampel darah per 19/09/14)
CD4 Absolut: 33 sel/l
(N = 410 – 1590 sel/l)
CD4 %: 4%
(N = 31 – 60%)
Cotrimoxazole Forte 1 x 1 tab
Neurodex 1 x 1 tab
Ranitidin 2 x 1 tab
Lansoprazole 1 x 1 tab
11/10/13 T: 120/80 mmHg
BB: 61 kg
S: -
Informed Consent ARV
Duviral 2 x 1
Neviral 2 x1
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
18/10/13 T: 110/80 mmHg
BB: 62 kg
S: -
Duviral 2 x 1
Neviral 2 x1
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
25/10/13 T: 110/80 mmHg
BB: 62 kg
S: -
Duviral 2 x 1
Neviral 2 x1
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
08/11/13 T: 110/80 mmHg
BB: 65 kg
S: gusi bengkak (+)
Duviral 2 x 1
Neviral 2 x1
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
21/11/13 T: 110/80 mmHg
BB: 62 kg
S: Batuk, pilek, sakit tenggorokan, panas, lemas
Duviral 2 x 1
Neviral 2 x1
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
Tremenza 3 x 1
Paratusin 3 x 1
20/12/13 T: 100/70 mmHg
BB: 62 kg
S: -
Duviral 2 x 1
Neviral 2 x1
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
20/01/14 T: 120/70 mmHg
BB: 62 kg
Hb: 11,5 mg/dl Duviral 2 x 1
Neviral 2 x1
Berkas Portofolio Kasus Medis
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
AIDS (Acquired lmmunodeficiency Sydrome) adalah sindrom atau kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang diakibatkan oleh
HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun
1981 di Amerika Serikat dan sampai saat ini telah menyerang sebagian besar negara
didunia. Penyakit ini berkembang secara pandemi, menyerang baik negara maju maupun
negara yang sedang berkembang.
2.1 Definisi HIV / AIDS
AIDS dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus). Penyakit ini ditandai oleh infeksi oportunistik dan atau beberapa
jenis keganasan tertentu. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
HIV/AIDS dapat juga berupa sindrom akibat defisiensi imunitas seluler tanpa
penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik dan keganasan berakibat
fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh
dimana proses ini memerlukan proses panjang yaitu sekitar 5-10 tahun.
Penderita HIV akan dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukkan gejala
atau penyakit tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan
virus HIV atau tes darah menunjukkan jumlah CD4 < 200/mm3.
Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS tidak menular, yang berperan sebagai
agen penyakit adalah HIV yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh sehingga
mencapai masa AIDS. Virus ini terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan
Berkas Portofolio Kasus Medis
vagina, dan dapat menular melalui kontak darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain
konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak bisa menjadi media atau saluran penularan.
Seseorang yang baru saja terinfeksi HIV tidak akan menunjukan gejala khusus.
Berbulan-bulan atau bertahun - tahun seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa
menunjukkan gejala klinis yang khas namun akhirnya baru tampak pada tahap AIDS.
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu
sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman
dan tempat masuk kuman (port’d entrée).
Virus HIV terbukti menyerang sel Limfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya.
Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Banyak cara yang diduga menjadi
cara penularan virus HIV, namun hingga kini yang diketahui adalah melalui :
a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan
penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen
dan cairan vagina . Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada
pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks. Risiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV
cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap.
1) Homoseksual
Di dunia barat, tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40
tahun dari semua golongan usia. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku
seksual risiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif
menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan
mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan pada saat
berhubungan secara anogenital.
Berkas Portofolio Kasus Medis
2) Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
b. Transmisi Non Seksual
1) Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lain (alat tindik) yang terkontaminasi,
misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
2) Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun
1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena
darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Risiko tertular infeksi/HIV lewat
trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
c. Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan
sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah
2.2 Virus HIV
Penyebab AIDS adalah virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
HIV merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
lentivirinae, genus Lentivirus dan berdasarkan strukturnya merupakan virus RNA
(Ribonucleic Acid) dengan berat molekul 9,7 kb dan diamter sekitar 100nm.
HIV memiliki tonjolan eksternal yang terbentuk dari 2 protein utama yang
menyusun envelope HIV, yaitu gp120 yang terletak di bagian luar dan gp41 yang terletak di
Berkas Portofolio Kasus Medis
transmembran. Protein gp120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4+, sedangkan
gp41 berperan dalam proses internalisasi struktur atau fusi membran. Di antara
nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Di dalamnya terdapat 2 untai RNA
yang pada masing – masing untaiannya memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan
spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis
DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu). RNA
diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut yang terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus
dan dikelilingi kapsid selubung (envelope). Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik
untuk virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN).
Gambar 2.2.1 Struktur virus HIV
2.3 Peran Sel Limfosit T CD4+ dalam Sistem Imun
2.3.1 Limfosit
Limfosit merupakan bagian dari sel darah putih yang berjumlah sekitar 20 – 35%
dari seluruh jumlah leukosit yang beredar. Salah satu sifat penting dari limfosit adalah
motilitas limfosit yang dapat menembus dinding kapiler dan meninggalkan aliran darah lalu
bergerak bebas dalam jaringan ikat tubuh sehingga limfosit dapat ditemukan dalam
Berkas Portofolio Kasus Medis
pembuluh darah, pembuluh limfa atau jaringan ikat. Dapat pula ditemukan pada timus,
nodus limfatik, limpa dan jaringan limfoid pada mukosa saluran cerna, saluran napas dan
saluran kemih. Limfosit terdiri atas tiga tipe yaitu sel limfosit B (23%), sel limfosit T (65%),
dan NK cells (7%).
Limfosit B berasal dari sel induk sumsum tulang dan bertahan selama beberapa
bulan beredar melalui darah, nodus limfatik, limpa dan saluran limfatik secara berulang –
ulang. Peredaran tersebut yang dapat bertemu dan mengenali antigen yang pernah memasuki
tubuh. Identifikasi limfosit B dengan melihat antibodi atau imunoglobulin sebagai protein
membran integral pada permukaannya yang berfungsi sebagai sistem imun humoral.
Beberapa sitokin bekerja pada sel B sehingga dapat meningkatkan proliferasi dan
diferensiasi menuju sel yang dapat mensekresi imunoglobulin.
Limfosit T juga berasal dari sel induk sumsum tulang namun setelah memasuki
darah, sel T keluar dari peredaran darah untuk menuju dan menetap di Timus lalu
berproliferasi. Sel T bersifat sangat spesifik antigen, pada membran plasmanya terdapat
protein protein reseptor spesifik yanng terdiri atas dua rantai polipeptida ( dan ).
Diferensiasi sel T dalam timus menghasilkan populasi yang memaparkan reseptor
dengan kekhususan berbeda. Sel dengan reseptor yang dapat mengenali molekul MHC
individu itu sendiri akan mati di timus. Eliminasi sel reaktif tersebut berakibat tersisanya
populasi sel T matang yang hanya sanggup bereaksi dengan antigen asing yang berasal dari
luar tubuh. Selama diferensiasi, limfosit T juga memaparkan molekul permukaan antibodi
monoklonal dimana antibodi yang bereaksi dengan penanda yang sama akan dikelompokkan
ke dalam Cluster of Differentiation (CD). Diantaranya yang sering disinggung adalah CD4+
yang berfungsi sebagai sel T-helper dalam produksi antibodi yang mengenali MHC Class II
sedangkan CD8+ berfungsi sebagai sel T sitotoksik yang merupakan sel efektor dalam
respon sel untuk melisis antigen dan mengenali MHC Class I.
Berkas Portofolio Kasus Medis
Sel NK merupakan limfosit yang berukuran lebih besar dari limfosit pada umumnya,
berperan pada aktivitas sitotoksik non spesifik dalam melawan infeksi virus dan sel tumor.
2.3.2 Sel Limfosit T CD4+
CD4+ sangat umum digunakan untuk mengetahui tingkat sistem imun dari penderita
HIV / AIDS. Selain itu penghitungan CD4+ juga digunakan untuk menentukan terapi,
melihat respon terapi, serta penentuan pemberian profilaksis patogen oportunistik pada
penderita HIV / AIDS. Pemeriksaan jumlah limfosit T CD4+ dengan menggunakan flow
cytometri biasanya dilakukan secara berkala setiap 3 – 6 bulan sekali pada pasien HIV /
AIDS dan dianggap sangat bermanfaat dalam memprediksi perkembangan infeksi
oportunistik. Jumlah CD4+ sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pada
infeksi akut, tindakan operasi besar, maupun pemberian kortikosteroid. Namun hal ini
dianggap tidak signifikan pada penderita penyakit kronis seperti HIV / AIDS. Pemakaian
obat Anti Retro Viral (ARV) dapat meningkatkan jumlah CD4+ sebanyak 50 sel / mm3
dalam pemakaian 4 hingga 8 minggu kemudian meningkat sebanyak 50 – 100 sel / mm3
setiap tahunnya.
2.4 Patogenesis HIV / AIDS
Infeksi HIV terjadi saat HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper
dengan melekatkan dirinya pada protein permukaan CD4+. CD4+ berikatan dengan gp120
yang berupa glikoprotein yang terdapat pada selubung virus HIV. Setelah terjadi ikatan
maka RNA virus masuk kedalam sitoplasma sel dan berubah menjadi DNA dengan bantuan
enzim RT. Setelah terbentuk DNA, virus menerobos masuk kedalam inti sel. Dalam inti sel,
DNA HIV disatukan pada DNA sel yang terinfeksi dengan bantuan enzim integrase. Waktu
Berkas Portofolio Kasus Medis
sel yang terinfeksi menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan dan membuat bahan baku
untuk virus baru. Virus yang belum matang mendesak ke luar sel yang terinfeksi dengan
proses yang disebut budding atau tonjolan. Virus yang belum matang melepaskan diri dari
sel yang terinfeksi. Kemudian, virus baru menjadi matang dengan terpotongnya bahan baku
oleh enzim protease dan kemudian dirakit menjadi virus yang siap bekerja.
Gambar 2.4.1 Patogenesis Virus HIV
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk
menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk
menghancurkan HIV. Penyakit HIV/AIDS dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat
diatasi sempurna oleh respons imun adaptif dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid
perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa
jumlah virus di plasma dan jumlah sel CD4+ dalam darah.
Berkas Portofolio Kasus Medis
Setelah terjadi infeksi primer, sel dendrit di epitel akan menangkap virus kemudian
bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yaitu CCR5 yang
berperan dalam pengikatan HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV
ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel CD4+
melalui kontak langsung antar sel. Dari jaringan limfoid, HIV masuk ke dalam aliran darah
dan kemudian menginfeksi organ-organ tubuh.
Beberapa hari setelah paparan pertama HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak
dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai
sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik infeksi virus). Setelah terjadi penyebaran
infeksi HIV, terbentuk respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen
virus. Respons imun ini dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus yang
menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah terjadi infeksi akut dilanjutkan dengan fase kedua dimana kelenjar getah
bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem
imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul
manifestasi klinis infeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel
tidak mengandung HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi
dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang
dikenal dengan “ masa window period “
Kendati demikian, penghancuran sel CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung
dan jumlah sel CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat
menggantikan sel CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun
siklus infeksi virus, kematian sel dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya
menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Berkas Portofolio Kasus Medis
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan respons imun
terhadap infeksi tersebut menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Penyakit HIV berjalan ke fase akhir yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh
jaringan limfoid perifer, jumlah sel CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan
viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma,
kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal dan degenerasi susunan saraf pusat.
Gambar 2.4.1 Perjalanan Penyakit HIV dan Penurunan CD4 tanpa Antiretroviral
Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbeda-
beda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut sampai dengan
gambaran AIDS yang sempurna (full-blown AIDS). Kecepatan perkembangan penyakit
bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang
diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun.
2.5 Diagnosis HIV / AIDS
Diagnosis HIV positif dapat ditegakkan dari beberapa hal. Penentuan diagnosis awal
dapat dilihat dari riwayat penyakit-penyakit yang pernah diderita yang menunjukkan gejala
Berkas Portofolio Kasus Medis
HIV dan pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda infeksi oportunistik. Selain itu riwayat
pergaulan atau aktivitas seksual dapat membantu menegakkan diagnosa AIDS karena dapat
menjadi sumber informasi awal penularan penyakit.
Tabel 2.5.1 Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV
Selain itu, kelainan kulit merupakan gejala klinis yang mudah dikenali pada HIV /
AIDS. Kelainan tersebut dapat disebabkan oleh:
1. Infeksi Virus: Herpes Zooster (VZV), Verucca Vulgaris dan Condyloma Acuminata
(HPV), Oral Hairy Leukoplakia (EBV)
2. Infeksi Bakteri: Folikulitis, furunkulosis, impetigo, ektima
Berkas Portofolio Kasus Medis
3. Infeksi Jamur: Kandidiasis, Dermatofitosis
4. Infeksi Parasit: Scabies
5. Dermatitis non spesifik: Erupsi obat, Sindrom Steven Johnson, Seboroik dermatitis,
Psoriasis, Xerosis, Erupsi papular pruritik
6. Kanker: Sarkoma kaposi dan Limfoma Non Hodgkin
Gambar 2.5.1 Kelainan kulit pada HIV berhubungan dengan CD4 dan lama infeksi
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV selalu disertai dengan konseling pra tes
dan pasca tes serta informed consent. Untuk mendeteksi infeksi HIV, dapat dilakukan tes
langsung untuk mendeteksi virus HIV atau secara tidak langsung dengan cara mendeteksi
antibodi. Tes antibodi HIV lebih murah dan lebih cepat serta memiliki spesifitas yang setara
dibandingkan pemeriksaan langsung untuk mendeteksi virus HIV.
Pemeriksaan laboratorium infeksi HIV, terdiri atas tes A1. A2 dan A3. Tes inisial (A1)
biasanya menggunakan rapid test. Hasil A1 yang positif akan diperiksa ulang dengan
menggunakan tes yang memiliki prinsip dasar tes yang berbeda dan / atau menggunakan
preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama untuk meminimalkan adanya hasil positif
palsu, biasanya dengan cara Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) atau pemeriksaan
sejenis yang memiliki spesifisitas lebih tinggi dari rapid test yang pertama. Kemudian untuk
tes konfirmasi akhir (A3) dapat menggunakan Western Blot (WB), Indirect
Berkas Portofolio Kasus Medis
Immunofluorescence Assay (IFA) atau radio-immunoprecipitation assays (RIPA). Antibodi
biasanya terdeteksi dalam 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut
masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil
”negatif”, maka dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku berisiko.
Gambar 2.5.1 Bagan Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa
Berkas Portofolio Kasus Medis
Tabel 2.5.1 Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1
2.6 Penatalaksanaan HIV / AIDS
Setelah penderita dinyatakan terinfeksi HIV, maka selanjutnya dilakukan penilaian
stadium klinis, penilaian imunologis (pemeriksaan jumlah CD4+) dan penilaian virologi.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk
memulai terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi
oportunistik yang sudah dan sedang terjadi serta menentukan kombinasi ARV yang sesuai.
2.6.1 Stadium Klinis HIV / AIDS
Stadium Klinik HIV/ AIDS ditetapkan menurut CDC dan WHO. CDC melakukan
penentuan stadium klinik berdasarkan jumlah temuan CD4 dan disesuaikan dengan gejala
penderita. WHO menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS terdiri dari 4 stadium.
Tabel 2.6.1 Stadium klinik HIV/AIDS menurut jumlah CD4 berdasarkan CDC
Berkas Portofolio Kasus Medis
Tabel 2.6.2 Stadium klinik HIV/AIDS berdasarkan WHO
2.5.2 Penilaian Imunologi
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4
melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan
profilaksis IO dan terapi ARV. Rata rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100
Berkas Portofolio Kasus Medis
sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 – 100
sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4.+.
2.5.3 Penilaian Laboratorium
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan mutlak untuk
menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak
dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas
indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada
ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka
dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi
adanya kemungkinan gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.
2.5.4 Persiapan Lain
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan matang dengan konseling
kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya. Untuk ODHA yang
memulai ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan
Kotrimoksasol 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini bertujuan untuk mengkaji kepatuhan
pasien untuk minum obat,dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih
antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek
samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer yaitu
pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah
Berkas Portofolio Kasus Medis
diderita dan profilaksis sekunder yang merupakan pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi
HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit
(Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) dengan dosis TMP/SMZ
160/800mg per oral 1 tablet per hari atau TMP/SMZ 80/400 per oral 2 tablet per hari.
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut
sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK), selain dianjurkan bagi ODHA
dengan CD4 <200 namun juga bagi ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4)
termasuk perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu
hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium
klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil
harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
2.5.5 Tatalaksana Farmakologi
Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu
pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV),
pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai infeksi
HIV/AIDS dan pengobatan suportif.
a. Terapi antiretroviral (ARV)
Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang berfungsi
menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang
Berkas Portofolio Kasus Medis
diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease. Tujuan
terapi ARV diantaranya adalah:
1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV
2. Memperbaiki mutu hidup
3. Memulihkan dan memlihara fungsi kekebalan
4. Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam jangka waktu lama
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan, yaitu:
Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor (NRTI) merupakan analog nukleosida.
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama
proses transkripsi RNA virus pada DNA host. Analog NRTI akan mengalami
fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif mengganggu
transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi. Obat
yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine
(ZDV atau AZT), Emtricitabine (FTC), Zalcitabine (ddC), Didanosine (ddI),
Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir.
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) akan berikatan langsung
dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk
NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP), Delavirdine.
Protease Inhibitor (PI) bekerja dengan menghambat protease yang berfungsi
memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Dengan
pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi,
namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang termasuk
golongan PI antara lain Nelfinavir (NFV), Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV),
Fos-Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir (SQV).
Berkas Portofolio Kasus Medis
Pada penggunaan ARV, perlu diperiksa adanya ketersediaan pemeriksaan jumlah
CD4. Jika tidak tersedia maka didasarkan pada penilaian klinis.
Tabel 2.5.5.1 Waktu Pemberian Obat Antiretroviral
Namun, terdapat beberapa infeksi oportunistik yang perlu diredakan sebelum terapi ARV
dimulai seperti pada tabel berikut:
Tabel 2.5.5.2 Waktu Pemberian Obat Antiretroviral dengan Infeksi Oportunistik
Terapi Antiretroviral yang dianjurkan saat ini menggunakan kombinasi minimal tiga
obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load)
sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Panduan yang ditetapkan untuk pemilihan
Obat ARV Lini Pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI
Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan
membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya. Terapi lini pertama
Berkas Portofolio Kasus Medis
dapat juga mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit
untuk diperoleh. Maka terapi ARV dapat dimulai dengan salah satu dari kombinasi berikut:
AZT + 3TC +NVP Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine
AZT + 3TC +EFV Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP Tenofovir +Lamivudine / Emtricitabine + Nevirapine
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV Tenofovir +Lamivudine / Emtricitabine + Efavirenz
Tabel 2.5.5.3 Kombinasi terapi ARV lini pertama
Regimen lain yang dapat juga dipertimbangkan adalah regimen triple NRTI:
AZT + 3TC+ TDF
Regimen ini digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat berbasis
NNRTI, seperti pada koinfeksi TB/HIV terkait dengan interaksinya terhadap Rifampisin,
pad ibu hamil dan hepatitis terkait dengan efek hepatotoksik dari NVP / EFV / PI.
Tabel 2.5.5.4 Terapi ARV lini pertama
Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat
digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Selain itu
Berkas Portofolio Kasus Medis
dapat pula terjadi toksisitas terkait ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat,
sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis,
baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan
laboratorium. Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan
kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat
muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi
oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap
infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien
dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula
menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik.
Apabila setelah memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang tinggi tetapi
tidak terjadi respon terapi yang kita harapkan, maka perlu dicurigai kemungkinan terjadinya
Gagal Terapi. Kriteria gagal terapi menurut WHO menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria
klinis, imunologis dan virologis.
Berkas Portofolio Kasus Medis
Tabel 2.7.3 Langkah pertimbangan untuk mengganti terapi ARV
Terapi lini kedua digunakan bila pasien mengalami intoleransi berat terhadap NNRTI
(Efavirenz atau Nevirapine) atau pada kasus kegagalan terapi, yaitu dengan:
2 NRTI + Boosted-PI
Protease Inhibitor (PI) yang diperkuat oleh Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah 2 NRTI,
dengan pemilihan Zidovudine (AZT) atau Tenofovir (TDF) tergantung yang digunakan pada
lini pertama dan ditambah dengan 3TC. PI yang ada di Indonesia dan dianjurkan digunakan
adalah Lopinavir/ritonavir (LPV/r). Atau dapat pula diberikan:
Berkas Portofolio Kasus Medis
TDF atau AZT + 3TC +LPV/r
Efek samping ARV pun perlu diperhatikan karena dapat mengganggu kepatuhan
pengobatan. Efek samping yang cukup sering dijumpai, diantaranya:
b. Terapi Infeksi Oportunistik
Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS,
dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan
infeksi yang berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita,
sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita.
Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis dimana
pneumonia karena P.carinii merupakan infeksi oportunistik tersering, diikuti infeksi M
tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur.
Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita di rawat di rumah sakit
karena mungkin memerlukan bantuan ventilator. Obat pilihan adalah kotrimoksazol
intravena dosis tinggi selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan antibiotika
intravena, dapat melanjutkan terapi dengan antibiotika per oral untuk jika sudah
Berkas Portofolio Kasus Medis
memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg atau gradien arterial-
alveoler > 35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam 72 jam)
sebelum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi dan memperbaiki prognosis.
Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960
mg selama 21 hari.
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada infeksi
HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita. Penatalaksanaan
TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV. Umumnya
pengobatan OAT akan diberikan terlebih dahulu sebelum memulai ARV.
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin karena
rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yang memetabolisme PI
dan NNRTI, sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar
sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat.
Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini
dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya
berakibat tidak efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah
sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya
resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat
sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-
obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis serta
meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian bersama tidak direkomendasikan.
Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yang paling
sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang disebabkan Cytomegalovirus ini
ditandai dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan
bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul,
Berkas Portofolio Kasus Medis
berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontak seksual.
Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital; limfoma terutama
neoplasma sel limfosit B; keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan
melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.
Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon dapat dicoba, yang sebenarnya
ditujukan untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan.
Berkas Portofolio Kasus Medis
BAB III
DISKUSI
No Pertanyaan Jawaban
1 Berapa lama waktu inkubasi virus
HIV?
Dari waktu pajanan pertama virus HIV hingga
menghasilkan hasil yang positif di laboratorium,
akan dibutuhkan waktu sekitar 2 minggu hingga
3 bulan.
2 Bagaimana aturan minum obat
ARV?
Obat ARV diminum setiap hari seumur hidup,
satu kali dalam sehari dan dalam waktu yang
sama
3 Kapan harus melakukan penggantian
ARV lini pertama menjadi ARV lini
kedua?
Penggunaan ARV lini kedua dilakukan saat
ditemukan adanya indikasi gagal terapi dengan
ARV lini pertama. Kegagalan terapi dapat
dievaluasi dalam 6 bulan penggunaan ARV dan
dilihat berdasarkan kegagalan klinis, kegagalan
imunologis dan kegagalan virologis. Kegagalan
klinis diindikasikan saat ditemukannya kembali
infeksi oportunistik, kegagalan imunologis
dilihat berdasarkan penurunan CD4 seperti pada
awal pengobatan ataupun jumlahnya yang selalu
kurang dari 100 sel/mm3, sedangkan kegagalan
virologis dinilai berdasarkan jumlah viral load
lebih dari 5000 copies/ml
4 Seberapa sering harus melakukan
pemeriksaan CD4?
Pemeriksaan CD4 baiknya dilakukan setiap 6
bulan sekali, pada ODHA yang bergejala
maupun yang tidak
5 Bagaimanakah pemberian ARV
untuk profilaksis setelah pajanan?
Kapankah waktu yang paling baik?
Profilaksis setelah pajanan paling baik dilakukan
sebelum 3 jam dan maksimal 48 hingga 72 jam
setelah pajanan. ARV yang diberikan adalah
kombinasi AZT +3TC + EFV atau AZT + 3TC +
LPV/r diberikan selama 1 bulan.
Berkas Portofolio Kasus Medis
6 Setelah pemberian profilaksis setelah
pajanan, kapan harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk
memeriksa status HIV?
Pemeriksaan laboratorium untuk HIV dilakukan
dalam waktu 3 bulan setelah pajanan dan diulang
kembali pada 6 bulan setelah pajanan
7 Mengapa infeksi oportunistik yang
muncul pada setiap individu berbeda
– beda?
Tidak ada kekhususan dalam infeksi oportunistik
yang muncul pada setiap individu. Masing –
masing akan mengalami perjalanan stadium 1,
2 ,3 hingga 4. Penemuan infeksi oportunistik
pada saat diagnosis hanyalah berdasarkan
keluhan subjektif yang pasien rasakan dan hasil
anamnesis riwayat infeksi oportunistik
sebelumnya.
Berkas Portofolio Kasus Medis
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan bagi ODHA. Jakarta. 2006. Lang GK. Ophtalmology. New York :
Thieme. 2000.
2. Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007: Hal 1825-9
3. Yayasan Spiritia: Lembaran Informasi tentang HIV / AIDS untuk ODHA.
Jakarta. 2003.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana
Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI. 2012.
5. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Situasi HIV/AIDS di
Indonesia Tahun 1987 – 2006. Jakarta. 2006.
6. Fauci, A., Braunwald, E., Kasper, D., Hauser S., Longo., D., Jameson, J.,
Loscalzo. 2012. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th. Ed. USA:
McGraw – Hill.
7. UNAIDS Hari Aids Sedunia Report 2012. UNAIDS LI 2012. Kaiser Family
Foundation. (Diunduh pada 16 Februari 2014). Tersedia di:
http://www.amfar.org/about_hiv_and_aids/facts_and_stats/statistics__worldwide
8. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia 2012. (Diunduh pada 14 Februari
2014). Tersedia di: http://pppl.depkes.go.id/infopenyakit?id=67
Berkas Portofolio Kasus Medis
9 . Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds.Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
10. Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007: Hal 1825-9