-
PERTENTANGAN PATI MATARAM: POLITIK DAN KEPENTINGAN ADIPATI JAYAKUSUMO DALAM PANDANGAN HISTORIOGRAFI
BABAD (1549-1600)
RINGKASAN SKRIPSI
Oleh:
Ragil Haryo Yudiartanto 07406241003
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
-
1
PERTENTANGAN PATI MATARAM: POLITIK DAN KEPENTINGAN ADIPATI JAYAKUSUMO DALAM PANDANGAN HISTORIOGRAFI
BABAD (1549-1600)
Oleh Ragil Haryo Yudiartanto dan Harianti
ABSTRAK
Pada masa awal pembentukan kerajaan Mataram Islam beberapa daerah berkonflik dengan Mataram Islam, salah satunya adalah Kadipaten Pati yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Mataram. Latar belakang kebijakan politik Adipati Jayakusumo sebagai penguasa Pati untuk berkonflik dengan Mataram adalah mempertahankan posisi penting Pati di daerah pesisir dan di Mataram yang diikat dengan perkawinan antara Panembahan Senopati dengan Ratu Waskitajawi dari Pati. Adipati Jayakusumo resah karena tindakan Panembahan Senopati dengan melakukan penggeseran posisi permaisuri dari Ratu Waskitajawi yang sebelumnya menduduki Ratu Bang Kulon kepada Ratu Madiun yaitu Retno Dumilah yang baru diambil permaisuri dan juga pralambang ditukarnya Kuda Juru Taman dengan Sapi Pragola. Kemungkinan ini merupakan pergeseran hegemoni antara daerah pesisir dengan pedalaman untuk mengembalikan hegemoni pedalaman ketika era Mataram Hindu yang berbasis pada kehidupan agraris yang dilakukan oleh Mataram Islam.
Kata Kunci: Babad Tanah Jawi, Babad Pati, Adipati Jayakusumo
A. Latar Belakang Masalah Pada masa Mataram dan sebelumnya, bentuk pemerintahan kerajaan yang
dipakai adalah monarki dimana raja memegang peranan penuh sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan. Pada saat itu juga sudah mengenal hirarki
birokrasi pemerintahan, dengan tetap raja sebagai penguasa tunggal dan tertinggi
(wisesa), raja dibantu oleh seorang mahamantri atau patih (sekretaris), panglima
(pemimpin angkatan perang), bendahara (mengurus perbendaharaan kerajaan),
dan muhibir (juru bicara yang menyiarkan semua peraturan kerajaan). Dilihat dari
segi historisnya melalui penceritaan babad bisa diketahui hubungan antara Pati
dan Mataram. Dimana Alas Mentaok yang dibuka oleh Pemanahan dan kemudian
menjadi Mataram dikuasai oleh anak Pemanahan yaitu Senopati yang kemudian
dikuasai turun menurun sedangkan Pati dibawah anak keturunan Ki Ageng
Penjawi. Yang menarik kemudian adalah pemberian Alas Mentaok ternyata
-
2
diberikan setelah 20 tahun setelah penyerahan Pati. Selanjutnya anak Ki Ageng
Penjawi yang perempuan diambil istri oleh Panembahan Senopati. Konflik Pati-
Mataram pecah pertama kali tahun 1600 M karena ternyata Panembahan Senopati
mengambil istri dari Madiun yaitu Retno Dumilah sehingga kemudian membuat
cemas Adipati Pati (Raden Jayakusumo) karena kedudukan kakak perempuannya
yaitu Ratu Waskitajawi atau Ratu Mas sebagai permaisuri Mataram terancam.
Ternyata sebelumnya dalam cerita Babad Pati, Raden Jayakusumo juga sempat
sakit hati karena Kuda Juru Taman ditukar dengan Sapi Pragola. Beberapa orang
menyakini bahwa ini merupakan semacam perlambang. Konflik kedua meletus
juga di era Sultan Agung dengan Adipati Pragola II pada tahun 1627 M
Kebijakan dan keputusan-keputusan penting dari Adipati Jayakusumo
mempunyai pengaruh penting terhadap kelanjutan dari Pati tersendiri termasuk
keputusan untuk berkonflik dengan Mataram.Menjadi ulasan menarik nantinya
adalah alasan pertentangan Pati dengan Mataram dan strategi yang dipakai
Jayakusumo untuk berkonfrontasi dengan Mataram dibawah Panembahan
Senopati.
B. BABAD DALAM PENULISAN SEJARAH INDONESIA 1. Fungsi Babad Sebagai Sumber Sejarah
Seiring perkembangan penulisan sejarah maka dewasa ini penggunaan
karya-karya sastra juga mulai dilakukan untuk membantu merekonstruksi
suatu peristiwa sejarah. Walaupun masih memiliki beragam kontroversi
mengenai penggunaan karya sastra dalam perekonstruksian sejarah, tetapi
sudah banyak sejarawan yang melakukannya. Babad yang merupakan salah
satu karya sastra kuno bisa menjadi sebuah sumber sejarah dalam
merekonstruksi sejarah.
Kata babad menurut kamus Van der Tuuk berarti usus atau isi perut.
Menurut keterangan I Gusti Ngurah Ketut Sangka, kata babad berarti jala atau
jaring ikan, yang mengandung makna jalinan ikatan keturunan dan keluarga
beserta uraian latar belakang kesejarahannya. Yang menarik sekali adalah
uraian babad menurut Hinzler, bahwa babad berarti garis hubung atau
-
3
jaringan yang mengikat suatu kerabat dan keturunannya dengan latar
belakang sejarah. Taufik Abdullah menyebut babad sebagai sejarah lokal,
yang mengandung pengertian kisah kelampauan dari suatu masyarakat di
wilayah geografi bertaraf lokal. Sasarannya adalah asal-usul, pertumbuhan,
dan perkembangan kelompok masyarakat setempat. Babad sendiri sering
digunakan untuk memberi nama salah satu jenis karya sastra di daerah Jawa,
Madura, Bali, dan Lombok yang dipandang banyak mengandung unsur-unsur
sejarah, sehingga babad dimasukkan dalam golongan jenis sastra sejarah1.
Salah satu hal yang dianggap oleh Berg cukup berpengaruh terhadap
karya-karya sastra sejarah tradisional adalah adanya kepercayaan tentang
kekuatan sakti yang menjadi pangkal dari berbagai peristiwa alam,
termasuk yang menyangkut kehidupan manusia. Kekuatan sakti ini
menampakkan diri dimana-mana dan pada setiap saat. I Gde Widja juga
menyinggung mengenai kekuatan sakti atau magis ini yang dilakukan
dengan tokoh-tokoh tertentu tersebut. Hal lain yang ada dalam karya sejarah
tradisional adalah kepercayaan tentang perbuatan magis atau sihir yang
dilakukan tokoh-tokoh tertentu2.
Mitos menurut Malinowski adalah cerita yang mempunyai fungsi
sosial. Suatu mitos katanya, adalah suatu cerita tentang masa lampau yang
berfungsi sebagai piagam untuk masa kini. Artinya, cerita itu menjalankan
fungsi menjustifikasi beberapa pranata yang ada di masa kini sehingga dapat
mempertahankan keberadaan pranata tersebut 3 . Mitos akan selalu
menghubungkan antara seseorang dengan penciptaan tentang keberadaan,
institusi, dan perilaku. Menghubungkan seorang tokoh dengan proses
penciptaan merupakan sebuah supremasi kekuasaan, dan dapat diartikan
1 Purwadi, Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik, Pustaka Alif, 2001, hlm. 1.
2 I Gde Widja, Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah,
Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1989, hlm. 69.
3 Peter Burke, Sejarah Dan Teori Sosial, Jakarta: Obor, 2003, hlm. 152.
-
4
sebagai sebuah pandangan sempit tentang tokoh tersebut. Tokoh tersebut
digambarkan seakan-akan sebagai perfect man atau orang yang sempurna.
Historiografi berupa babad berkembang dalam bentuk tembang
macapat dan ditulis dalam bahasa Sansekerta atau Jawa kuno. Naskah-naskah
ditulis ke dalam tembang: Kinanthi, Pucung, Asmarandhana, Mijil,
Maskumambang, Pangkur, Sinom, Dhandhanggula, Durma dan terkadang
Gambuh, Megatruh. Seperti syair-syair dari Persia, setiap tembang macapat
juga memiliki aturan-aturan terkait rima dan irama sendiri, contohnya Babad
Sembar dari Blambangan yang diawali dengan aturan tembang
Dhandhanggula memakai bahasa Jawa kuno.
Dalam penulisan babad terekam suatu periode yang disiratkan oleh
penulisnya yang sejatinya bukan sejarawan. Tetapi disini arti pentingnya
sejarawan yang memang benar-benar menekuni sejarah untuk membedah dan
menganalisis babad tersebut. Penulis-penulis sejarah khususnya dari Jawa
kental dengan istilah sanepa dimana seringkali fakta atau semacam kritikan
terhadap rezim penguasa dituliskan secara tersirat melalui penceritaan
maupun kidung.
Walaupun babad merupakan karya sastra tetapi babad memiliki
kedudukan penting dalam penulisan sejarah, karena merekam peristiwa-
peristiwa penting. Sekalipun babad tidak konsisten dibandingkan dengan
sumber-sumber dari Belanda, tetapi babad dipakai untuk mendapatkan sudut
pandang yang berbeda dari sumber Belanda. Tetapi dalam mengkaji babad
tidaklah dapat berdiri sendiri. Sebagai teks, babad harus dikaitkan dengan
teks-teks lainnya. Contohnya sumber-sumber Belanda dapat menunjukkan
konteks dunia nyata dimana babad ditulis dan konteks dunia nyata dari
apa yang dibicarakan oleh babad. Maka secara tidak langsung ini dapat
menyingkap struktur literaturnya juga.
Identifikasi terhadap teks dan interteks 4 didasarkan atas pemahaman
bahwa karya sastra merupakan gejala kedua sesudah bahasa. Teks yang baru
4 Interteks dapat didefinisikan sebagai hubungan atau jaringan antara satu
teks dengan teks-teks lainnya.
-
5
dibangun atas dasar teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya, sehingga
menghasilkan suatu peta umum dalam proses pembacaan. Dalam teori
interteks dibedakan antara kutipan, kerangka pemikiran, dan tiruan,
khususnya dengan plagiat. Fokus makna dan dengan demikian berbagai
definisi yang berkaitan dengan nilai, didasarkan atas kemampuan yang
dicapai dalam menemukan orisinalitas, sehingga karya benar-benar berbeda
dengan karya terdahulu.
2. Babad dipandang dalam segi Objektivitas Sejarah
Dalam penulisan babad sangat kental sekali dengan aroma fiksi.
Banyak sekali kisah ataupun cerita yang di luar akal sehat. Hal ini menjadi
perdebatan tersendiri dalam kalangan sejarawan. Menurut M.C. Ricklefs, ada
beberapa hal yang merupakan sumber dari perdebatan ini. Pertama-tama
masalahnya terletak pada anggapan dasar, bahwa apabila kita berbicara
tentang masalah sejarah haruslah kita berbicara soal fakta, dalam pengertian
seperti yang ditunjukkan oleh sumber-sumber yang berasal dari historiografi
Barat yang dianggap modern serta rasional5. Sedangkan di lain pihak, ada
tradisi penulisan sejarah bangsa-bangsa Asia yang semata-mata dilihat
sebagai penuh dengan mite atau legenda. Disamping itu, sumber yang kedua
yang tidak menimbulkan ketidaksepakatan itu, ialah adanya kecenderungan
terbatasnya pengetahuan ahli-ahli bahasa dan sastra Asia tentang masalah
sejarah, terutama menyangkut masalah metodologi dan sumber-sumber
sejarah. Kesalahpahaman lain yang menurut Ricklefs yang juga sering
diperlihatkan ahli sastra ialah kekurangpahaman mereka itu terhadap sumber-
sumber sejarah Barat sendiri serta metode kritik yang digunakan oleh para
sejarawan. Atas dasar kekurangpahaman ini mereka sering mengambil
kesimpulan, bahwa kalau berhadapan dengan sumber sejarah Barat (yang
ditulis orang Barat) seperti langsung bisa digunakan. Sedangkan kalau
5 I Gde Widja, Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran
Sejarah, Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1989, hlm. 70.
-
6
mereka berhadapan dengan sumber lokal harus melalui kritik yang sangat
ketat6.
Secara teoritik dan metodologis babad mempunyai banyak kelemahan,
terutama apabila dikaitkan dengan masalah temporal, spasial dan faktual.
Bagaimanapun juga, babad tetap bisa dipergunakan sebagai sumber sejarah,
karena di dalamnya mengandung beberapa peristiwa yang dapat disebut
sebagai peristiwa sejarah. Yang dibutuhkan oleh sejarawan untuk
menggunakan babad sebagai sumber sejarah adalah sumber pembanding.
Adanya sumber pembanding, terutama dari luar, maka tidak mustahil
beberapa peristiwa yang diceritakan dalam babad akan muncul sebagai fakta
sejarah7.
Dengan kajian filologi yang tepat, teks sastra (dalam hal ini hikayat
atau babad) yang penuh bumbu fantasi tidak disepelekan sedemikian rupa
sehingga tidak sama sekali mustahil baginya untuk menjadi bahan rujukan
kajian sejarah. Sebaliknya, hasil kajian sejarah yang melibatkan teks sastra
tidak lantas secara tepat menyajikan peristiwa sejarah yang sesungguhnya.
Teks sastra yang bersifat fiksional memiliki peluang menuangkan peristiwa-
peristiwa nyata yang tidak tercatat oleh sejarah dan sejarah juga berpeluang
memuat peristiwa-peristiwa fiksional yang seharusnya hanya terjadi dalam
teks sastra. Dalam kerangka kemungkinan itu, filologi dapat berperan dalam
memilah-milah informasi dalam teks sastra sehingga unsur fiksi dan non-
fiksinya menjadi jelas, dan demikian juga yang dapat diperankannya dalam
mengkaji teks sejarah.
Hal yang menarik juga apa yang dituliskan oleh Nancy K. Florida
mengenai tantangan yang pernah digunakan Ranggasasmita yang dituliskan
secara tersirat untuk mengakrabi teks kuno Jawa dengan suatu pengamatan
serius yang akan membangkitkan pemahaman kontemporer akan makna dan
muradnya. Sang Pujangga menantang pembacanya untuk untuk
6 Ibid, hlm. 71. 7 Ibid, hlm. 98.
-
7
mengupayakan pemaknaan, untuk belajar bahwa makna tekstual bukanlah
suatu pemberian transparan untuk dikonsumsi secara pasif belaka. Maka dia
pun menantang mereka untuk membaca dengan cara yang akan melibatkan
mereka secara aktif dalam pengadaan makna untuk memasuki dialog
dengan karya-karya masa silam yang nyaris terlupakan itu8.
3. Diantara Babad Tanah Jawi dan Babad Pati
Babad Tanah Jawi sendiri memiliki beragam jenis. Babad Tanah
Jawi Meinsma `87, naskah berasal dari Winter hasil karya R. Ng. Kartapraja.
Babad Tanah Jawi Macapat ditulis oleh Pangeran Adilangu dan Carik Bajra
pada jaman Kartasura sekitar abad 18 kemudian dibangun oleh Yasadipura.
Babad Tanah Jawi terbitan Panji Jayasubrata tahun 1917. Babad Tanah Jawi
terbitan Balai Pustaka tahun 1941 dari Lorl 786. Babad Tanah Jawi Edisi
Meinsma, Olthof, dan Ramlan menggambarkan Sejarah Tanah Jawa sampai
1647 Jawa atau 1722 Masehi, yang hanya memusatkan perhatian kepada
pusat-pusat pemerintahan kerajaan Jawa sampai dengan Kartasura. Babad
Tanah Jawi Macapat terbitan Jayasubrata (1917) dan Balai Pustaka (1941)
menceritakan sejarah tanah Jawa sampai pendirian kerajaan Surakarta.
Ras memberikan garis besar yang jelas tentang asal mula, fungsi, dan
kepengarangan Babad Tanah Jawi. Bagian utama dari studinya digunakan
untuk menganilisis bagian-bagian awal babad ini, dimana dia menunjukkan
bagaimana kompleksitas mitos, silsilah dan kisah-kisah pendirian, yang lolos
dari pemahaman ahli-ahli sebelumnya, berfungsi untuk menggarisbawahi
fungsi babad sebagai dokumen pengabsah dan sambil jalan dia menunjukkan
bahwa Pangeran Panjang Mas adalah penulis pertamanya sedangkan
Pangeran Adilangu I merupakan penulis keduanya.
Serat Babad Pati merupakan karya sastra yang menceritakan
tentang sejarah Pati dari abad XIII (sekitar tahun 1292) dan diakhiri dengan
peperangan antara Adipati Joyokusumo melawan Panembahan Senopati pada
8 Nancy K. Florida, Menyurat Yang Silam, Menggurat Yang Menjelang,
Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003, hlm. 2.
-
8
tahun 1600 M. Babad Pati ditulis oleh dua orang yang kemungkinan besar
mempunyai asal yang berbeda. Sesuai dengan yang terdapat dalam kata
pengantar yang ada dalam Babad Pati. Babad Pati ditulis dan disusun oleh
K.M Sosrosumarto dan Dibyosudiro yang kemungkinan berasal dari Sragen
dan Pati. Karya ini ada kemungkinan besar merupakan sebuah kumpulan dari
campuran legenda, naskah kuno Jawa yang berbentuk serat maupun babad,
dan cerita mitos. Berita Baron Sekeber sendiri kemungkinan besar adalah
saduran dari Serat Baron Sekender yang ditulis oleh Ngabehi Yudasara,
sedangkan cerita Rara Mendut yang ada dalam Babad Pati merupakan
saduran dari Serat Pranacitra yang ditulis oleh Rangga Janur yang sangat
populer dalam kalangan rakyat Jawa.
Babad Pati ditutup dengan sebuah nasehat dimana orang yang
terpengaruh denga pendapat yang tidak baik dan turut menjadi musyrik tidak
akan menjumpai keselamatan dan diperjelas dengan penjelasan bahwa Babad
Pati disusun pada tahun 1925. Jadi Babad Pati merupakan karya yang tidak
sezaman dengan sejarah Pati sendiri tetpai jauh dari terakhir peristiwa yang
dituliskan yaitu perang antara Adipati Joyokusumo dengan Panembahan
Senopati yang terjadi pada tahun 1600. Jadi ada rentang waktu 325 tahun.
C. HUBUNGAN ANTARA KADIPATEN PATI DAN MATARAM 1. Silsilah Raja Pati dan Mataram
Hubungan Pati dan Mataram tidak lepas hubungannya dari kisah Tiga
pembesar dari Selo yang membantu Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir
dalam melawan Adipati Arya Penangsang dari Jipang Panolan 9 . Tiga
pembesar dari Selo ini mempunyai hubungan kekerabatan.
Ki Ageng Selo dalam tulisan Babad Tanah Jawi Meinsma yang
bertanggal tahun 1662-1663 M, dianggap sebagai nenek moyang di pihak
9 Kadipaten Jipang Panolan ini terletak di Desa Jipang Kecamatan Cepu
yang letaknya persisi di pinggir Sungai Bengawan Solo.
-
9
ibu10. Ki Ageng Selo mempunyai tujuh orang anak, semua sudah menikah.
Satu bernama Nyai Ageng Luruh Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng
Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu,
bungsunya laki-laki namanya Kyai Ageng Ngenis. Sedangkan Ki Ageng Selo
sendiri merupakan anak dari Ki Ageng Getas Pandhowo dan Ki Ageng Getas
Pandhowo adalah anak dari Bondan Kejawan11 dan Dewi Nawangsih. Setelah
punya tujuh orang anak, Kyai Ageng Selo meninggal dunia. Kyai Ageng
Ngenis sudah punya seorang anak laki-laki bernama Pemanahan dan sudah
dinikahkan dengan putri pertama Nyai Ageng Saba. Yang bungsu bernama
Kyai Juru Mertani, saudara yang menjadi ipar. Kyai Ageng Ngenis
mengambil anak angkat seorang laki-laki yang masih keponakan bernama Ki
Penjawi, dipersaudarakan dengan Ki Pemanahan dan Ki Juru Mertani12.
Sementara Silsilah Ki Ageng Penjawi sendiri adalah sebagai berikut:
Raja Brawijaya V berputra Raden Bondan Kejawan. Raden Bondan Kejawan
mempunyai tiga putra yang bungsu putri bernama Rara Kasihan diperistri Ki
Ageng Ngerang. Pasangan antara Ki Ageng Ngerang13 dengan Rara Kasihan
ini menurunkan dua putra, yaitu Ki Ageng Ngerang II dan seorang putri
(diperistri Ki Ageng Sela). Ki Ageng Ngerang II mempunyai putra empat
yaitu Ki Ageng Ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V,
dan Pangeran Kalijenar. Ki Ageng Ngerang III mempunyai putra bernama
10 H.J De Graaf, Awal kebangkitan Mataram. Jakarta: Grafiti Pers, 1985,
hlm. 6. 11 Dalam Babad Tanah Jawi dan juga Babad Jaka Tingkir, serta naskah-
naskah Jawa lainnya bahwa Bondan Kejawan adalah putra dari Brawijaya V dan putri dari Wandhan (kemungkinan berasal dari darah Indonesia timur yang berwarna kulit hitam. Dikisahkan bahwa Bondan Kejawan ini dititipkan di Tarub.
12 Olthof, Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647,
Yogyakarta: Narasi, 2008, hlm. 60. 13 Ada beberapa makam yang dipercaya sebagai makam Ki Ageng
Ngerang yaitu di daerah Pakuwon (Juwana), Gabus, dan juga di Tambakromo terdapat makam Nyai Ageng Ngerang.
-
10
Penjawi. Dalam Babad Demak menyebut bahwa Ki Ageng Penjawi berasal
dari Ngerang yang diambil anak oleh Ki Ageng Ngenis.
Silsilah Ki Jurumertani sebagai berikut: putra Raden Bondan Kejawan
yang tertua adalah Ki Ageng Wanasaba. Ki Ageng Wanasaba berputra
Pangeran Made Pandan I. Pangeran Made Pandan I berputra Ki Ageng
Pakringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini
mempunyai empat putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Manggar, Putri, dan
Jurumertani.
Secara silsilah di atas hampir semua silsilah yang dituliskan dari silsilah
yang dibuat oleh juru kunci di Selo Grobogan, maupun dari Mataram hampir
sama. Yang membedakan nantinya justru ketika masuk setelah Pragola I
dimana terjadi kesimpangsiuran terhadap sosok Adipati Pragola II. Sumber
dari Radyopustaka Solo menuliskan bahwa Adipati Pragola II adalah putra
dari Pangeran Puger yang melakukan pemberontakan di Demak yang
kemudian diasingkan di Kudus, dan sangat berbeda yang dituliskan oleh
pencatat silsilah keturunan raja-raja Mataram dari Selo maupun yang
umumnya yang menyatakan bahwa Adipati Pragola II merupakan anak dari
Adipati Pragola I atau Raden Joyokusumo ini.
2. Geger Demak Pasca Turunnya Sultan Trenggono
Setelah era Raden Patah, Kerajaan Demak dipimpin oleh anak dari
Raden Patah yaitu Adipati Unus. Raden Patah sendiri mempunyai beberapa
putra, yang sering dikenal adalah Pangeran Adipati Unus, dan Raden
Trenggono. Waktu pemerintahan dari Adipati Unus sangatlah singkat yaitu
sekitar tiga tahun. Setelah Adipati Unus meninggal, kerajaan Demak
dipimpin oleh Sultan Trenggono. Sultan Trenggono merupakan adik dari
Adipati Unus dikarenakan Adipati Unus tidak mempunyai putra.
Diperkirakan dibawah pemerintahannya inilah Demak mencapai puncak
kejayaan. Setelah meninggalnya Sultan Trenggono, timbullah perpecahan di
Kerajaan Demak mengenai siapa yang pantas untuk mewarisi tahta kerajaan.
De Graaf menyatakan keheranannya dalam pengangkatan Jaka Tingkir
sebagai raja Pajang menggantikan tahta Demak. Pewaris sah kerajaan yaitu
-
11
Pangeran Arya, putra Trenggono, dikatakan tidak mau naik tahta dan memilih
untuk dengan sukarela menjadi Susuhunan yang keramat di Prawata, sebuah
Konflik antara Arya Penangsang dan Jaka Tingkir sebelumnya diawali
pasca meninggalnya Adipati Unus. Adipati Unus meninggal dunia tanpa
mempunyai putra mahkota. Kemudian penggantinya yang berhak adalah
Pangeran Sekar Seda Lepen. Tetapi kenyataannya kemudian yang
menggantikan tahta kerajaan adalah adiknya yaitu Raden Trenggono.
Sedangkan Pangeran Sekar Seda Lepen dibunuh oleh Pangeran Prawata putra
dari Raden Trenggono melalui utusannya yang bernama Ki Surayata setelah
melakukan ibadah shalat Jumat.
Seharusnya yang menduduki tahta Kerajaan kemudian adalah Arya
Penangsang selaku putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen. Tetapi yang
menduduki tahta justru adalah Raden Trenggono. Yang menjadi pertanyaan
adalah, apakah ini terkait dengan campur tangan Walisongo dalam
perpolitikan di Demak. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa itu
peranan Walisongo sangat lah kuat dalam berbagai lini.
Seperti yang diceritakan dalam Babad Tanah Jawi kemudian, Arya
Penangsang merencanakan untuk pembunuhan terhadap Pangeran Prawata
dengan mengirim utusan bernama Rangkud. Pada akhirnya Rangkud berhasil
membunuh Pangeran Prawata beserta istrinya walaupun kemudian dia juga
ikut meninggal.
Dalam Babad Tanah Jawi juga diceritakan peran dari penguasa Jepara
yaitu Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat sebagaimana diceritakan, juga
menuntut balas atas suaminya yaitu Pangeran Hadiri yang dibunuh oleh Arya
Penangsang. Ratu Kalinyamat melakukan tapa telanjang di bukit Danareja.
Ratu Kalinyamat tidak akan mengakhiri tapanya kalau Arya Penangsang
belum terbunuh. Berkat campur tangan dari Ki Ageng Pemanahanlah, Sultan
Pajang menyanggupi untuk membantu Ratu Kalinyamat untuk membalaskan
dendam terhadap diri Arya Penangsang.
Arya Penangsang kemudian dapat dibunuh pada pertempuran di Sungai
Bengawan Sore. Kekalahan Arya Penangsang akibat strategi yang diterapkan
-
12
oleh pasukan Pasukan Pajang segang pengatur strateginya adalah Ki Juru
Mertani. Sebelumnya Sultan Pajang mengeluarkan sayembara, barangsiapa
bisa membunuh Arya Penangsang, maka akan diganjar Tanah Pati dan Alas
Mentaok. Sayembara itu diikuti oleh ketiga Seselo yaitu Ki Ageng
Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Juru Mertani, kemudian ditambah dengan
Danang Sutawijaya yang masih muda. Strategi yang digunakan pertama kali
adalah mengirimkan surat tantangan yang digantungkan di satu daun telinga
gamel Arya Penangsang dan daun telinga yang satu dipotong. Hal ini
dilakukan untuk memancing Arya Penangsang yang mempunyai sifat
pemberang. Kemudian melepaskan kuda betina untuk menarik kuda gagak
rimang milik dari Arya Penangsang, dan selanjutnya adalah Arya Penangsang
dibunuh oleh Danang Sutawijaya dengan menggunakan tombak Kyai Plered.
Kemudian cerita berlanjut dengan pembagian hadiah Tanah Pati dengan
Alas Mentaok. Berdasarkan kesepakatan maka yang diaku sebagai pembunuh
Arya Penangsang adalah Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan
dengan cara mengeroyoknya. Hal ini dilakukan karena apabila laporannya
berterus terang kalau Danang Sutawijaya yang membunuh maka
dikhawatirkan hadiah tidak diberikan karena Danang Sutawijaya masih muda
dan merupakan anak angkat dari Sultan Pajang. Pembagian ini menimbulkan
teka-teki dari model pembagiannya. Yang satu merupakan sebuah kotapraja
dan satu masih berupa hutan. Terlebih lagi sesuai dengan garis keturunan Ki
Ageng Penjawi sudah sewajarnya berhak menduduki Pati karena leluhurnya
Ki Ageng Ngerang sudah berkedudukan di Pati dan mempunyai pengaruh
yang kuat. Alas Mentaok atau yang kemudian menjadi Mataram ini diberikan
setelah 20 tahun penyerahan Pati. Hal ini terkait dengan ramalan dari Giri
yang mengatakan bahwa Mataram akan menjadi Negara yang kuat di Jawa.
Berkat campur tangan Sunan Kalijagalah yang kemudian Mataram ini
diserahkan pada Ki Ageng Pemanahan.
3. Perkembangan Kadipaten Pati dan Mataram
Setelah kematian Ki Ageng Pemanahan, maka tampuk kekuasaan
Mataram diturunkan kepada anaknya yaitu Danang Sutawijaya atau kemudian
-
13
dikenal dengan nama Panembahan Senopati. Senopati diberikan waktu satu
tahun untuk membangun Mataram dan diperkenankan tidak menghadap
dahulu ke Sultan Pajang. Hal ini dimanfaatkan Panembahan Senopati untuk
membangun benteng di Kotagede. Beberapa kali Sultan Pajang berkirim
utusan ke Mataram karena teringat ramalan dari Sunan Giri. Tetapi
Panembahan Senopati tetap tidak mau menghadap sampai kemudian terjadi
tragedi Tumenggung Mayang dimana anak Tumenggung Mayang yaitu
Raden Pabelan mengganggu putri Sultan yang kemudian mendapat hukuman
dari Sultan Pajang. Tumenggung Mayang dihukum dibuang ke Semarang,
tetapi ditengah jalan Tumenggung Mayang diselamatkan oleh Panembahan
Senopati yang masih iparnya. Mengetahui ini Sultan Pajang murka dan
mengirim pasukan yang dipimpin Sultan Pajang sendiri untuk menggempur
Mataram.
Dalam pertempuran tersebut Mataram dibantu dengan alam. Gunung
Merapi meletus hebat dan menyebabkan ketakutan terhadap pasukan Pajang.
Pasukan Pajang pun mundur, dan kemudian Sultan Pajang dikabarkan sakit
karena jatuh dari gajah tunggangannya. Selama mundurnya pasukan Pajang
ini, Panembahan Senopati dengan pasukannya mengikuti dari belakang.
Sampai di Pajang, Panembahan Senopati berkemah di Mayang. Kemudian
Sultan Pajang meninggal dunia. Diceritakan dalam babad, bahwa
meninggalnya Sultan Pajang ini Karen dipukul Jin Juru Taman yang dikirim
oleh Panembahan Senopati.
Setelah Sultan Pajang meninggal, Pajang dipimpin oleh Adipati Demak
berkat campur tangan Sunan Kudus. Adipati Demak banyak sekali membawa
pngikutnya dari Demak yang menyebabkan rasa sakit hati terhadap rakyat
Pajang. Pangeran Benawa yang merupakan pewaris sah Pajang meminta
bantuan Panembahan Senopati untuk merebut Pajang. Berkat campur tangan
Panembahan Senopati ini Pajang berhasil dikuasai kembali. Tetapi
Panembahan Senopati tidak mau menjadi raja di Pajang dan dia hanya
berkenan memboyong pusaka kerajaan. Akhirnya Pangeran Benawa dijadikan
-
14
bupati di Pajang dan Panembahan Senopti menasbihkan diri menjadi raja
bergelar Panembahan di Mataram.
Sedangkan di Pati sendiri merupakan wilayah yang terletak di pesisir
dengan tumpuan ekonominya di perdagangan. Sudah sejak lama Pati bersaing
dengan Demak yang terletak di sebelah barat Selat Murya sedangkan Pati
terletak di sebelah timur dalam bidang perdagangan. Pati yang terletak
strtages juga mempunyai peranan penting dalam sejarah Jawa. Hubungan Pati
Mataram sendiri terbentu ketika pembesarnya Ki Ageng Penjawi dan Ki
Ageng Pemanahan tergabung dalam satu korps tamtama pasukan Demak.
Kemudian hubungan itu diperkuat dengan perkawinan politik antara Ratu
Waskitajawi yang merupakan anak Ki Ageng Penjawi dengan Panembahan
Senopati.
Hubungan Pati dan Mataram adalah hubungan antara Negara agung
dengan wilayah Pesisir. Dimana kadang Negara agung ini merasa kesulitan
dalam menjalin hubungan dengan wilayah pesisir yang jauh. Maka, negara
Agung ini melakukan kontrol yang ketat terhadap negara pesisir. Tidak jarang
juga digunakan cara kekerasan atau perkawinan seperti yang dilakukan
Panembahan Senopati dengan menikahi Ratu Waskitajawi.
Pati juga diceritakan beberapa kali membantu pasukan Senopati dari
Mataram untuk menyerang wilayah timur. Disini bisa terlihat bahwa Pati
memiliki peranan yang cukup kuat dalam politik Mataram. Sampai kemudian
Adipati beberapa kali ditunjuk sebagai senopati perang.
D. POLITIK DAN KEPENTINGAN ADIPATI JOYOKUSUMO DALAM PERTENTANGAN DENGAN MATARAM
1. Politik dan Kepentingan Adipati Jayakusumo Untuk Mempertahankan Posisi
Politiknya dalam Kerajaan Mataram
Dalam cerita Babad Tanah Jawi dan Babad Pati sendiri untuk penyebab
dalam pertentangan Pati ini ditulis berbeda. Adipati Jayakusumo merasa
kedudukan politis Pati terancam dengan digesernya permaisuri dari Pati yaitu
kakaknya sendiri. Sebelumnya juga telah terjadi ditukarnya kendaraan atau
-
15
tunggangan Adipati Jayakusumo dengan Sapi Pragola. Penulis cenderung
menganggap ini sebagai sebuah sanepa dari penulis Babad Pati sendiri untuk
menggambarkan kedudukan Pati dan Mataram dimana disini menekankan
hubungan daerah pusat sebagai raja dengan pemimpin tertingginya dan daerah
yang dipimpin oleh seorang adipati. Dilihat dari segi politis pertukaran ini
menandakan bahwa Pati haruslah di bawah Mataram atau beberapa sumber dan
cerita tutur tinular yang berkembang di Pati dikatkan bahwa sebutan Pragola
ini merupakan ejekan dari Panembahan Senopati untuk Adipati Jayakusumo.
Hal ini yang membuat sakit hati Adipati Jayakusumo yang kemudian dikenal
dengan nama Pragola sama dengan nama sapi yang diberikan oleh Panembahan
Senopati.
Perkembangan selanjutnya Adipati Jayakusumo ditempatkan oleh
Panembahan Senopati sebagai seorang senopati perangnya dalam penyerangan
ke wilayah Jawa Timur. Diceritakan Adipati Jayakusumo membantu dalam
penyerangan ke Madiun. De Graaf menengarai bahwa serangan ke Madiun ini
mempunyai titik strategis yang diperebutkan yaitu wilayah yang namanya
Warung. Wilayah ini dekat dengan Blora dan mengancam wilayah Pati dan
Madiun. Diceritakan bahwa Warung ini menjadi pos terdepan dalam
menghadapi Surabaya.
Dalam Babad Pati diceritakan bahwa Adipati Jayakusumo membantu
Panembahan Senopati dalam menumpas pembelotan yang dilakukan oleh
bupati-bupati Jawa Timur yang dikomandoi oleh Madiun. Dijelaskan juga
bahwa Jayakusumo berhasil membawa harta rampasan perang berupa dua
orang putri yang disebutnya sebagai putri boyongan dari Gunung Pandhan.
Sedangkan dalam Babad Tanah Jawi dalam serangan Ke Madiun berhasil
memboyong satu putri Madiun yang bernama Retno Jumilah yang kemudian
dijadikan istri oleh Panembahan Senopati. Pernikahan antara Panembahan
Senopati dan putri Madiun ini semakin membuat kecewa Adipati Jayakusumo.
Dan ini dituliskan dalam Babad Tanah Jawi sebagai berikut:
Pagi harinya Senopati hadir di hadapan bala-prajurit dan para bupati yang telah dikuasai. Adipati Pati tahu jika Senopati mengambil istri lagi. Sangat sakit hatinya lalu pamit dengan alasan Pati kedatangan musuh. Dicegah
-
16
tidak bisa, tetap kembali pulang. Senopati menemui Kyai Adipati Manda-Raka, Paman Adipati Pati itu pulang hanya alasan saja, sebenarnya ia ingin berbalik untuk memusuhi saya.14
Sementara itu Serat Kandha menceritakan pada hari persidangan agung
setelah perkawinan itu, Adipati Pati berangkat pulang tanpa berpamitan,
jengkel karena perkawinan itu diadakan dalam masa terjadinya banyak
pertumpahan darah. Senopati sambil menduga-duga alasan itu, membiarkannya
pergi15.
Pada akhirnya De Graaf coba mengeluarkan analisa mengenai sebab-
sebab perpecahan antara Pati dan Mataram. Dan analisanya condong ke arah
politis dimana Adipati Jayakusumo takut akan kekuasaan Senopati yang
setelah kemenangannya di Madiun berkembang melampaui batas. Atau
mungkin ia menduga bahwa saudara perempuannya, yang kawin dengan
Senopati, tergeser ke belakang sebagai akibat perkawinannya dengan putri
Madiun itu16.
Tergesernya putri Pati yaitu Ratu Waskitajawi secara politis akan
mempengaruhi posisi penting Pati terhadap Mataram. Pergerseran ini ditandai
dengan bergersernya posisi Ratu Bang Kulon yang pertama diduduki
Waskitajawi yang kemudian digeser dengan Retno Dumilah dari Madiun.
Karena apabila putri ini melahirkan putra maka putra ini akan menjadi raja
Mataram selanjutnya. Disini posisi Pati akan lebih terangkat dan mempunyai
posisi penting dalam pemerintahan di Mataram. Apabila posisi permaisuri
utama ini direbut maka Pati pun akan berkurang nilainya karena dimungkinkan
yang menjadi putra mahkota bisa dari istri yang lainnya.
14 Olthof, Babad Tanah Jawi: Mulai Dari Nabi Adam Sampi Tahun 1647.
Yogyakarta: Narasi, 2008, hlm.130. 15 H. J De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Panembahan
Senopati, Jakarta: Grafiti Pers,1986, hlm. 108. 16 Ibid, hlm. 122.
-
17
2. Kepentingan Adipati Jayakusumo Untuk Mempertahankan Pengaruhnya di
Daerah Pesisir
Jauh pada Abad ke-9 semasa kerajaan Mataram Hindu, pusat
khususnya di daerah Jawa masih berada di daerah pedalaman dengan tumpuan
ekonomi di pertanian. Kerajaan Mataram Hindu berkembang menjadi besar
yang terletak di Jawa Tengah Selatan. Kemudian pusat ini bergeser sedikit
demi sedikit ke Jawa Timur sampai kemudian Majapahit sebagai porosnya
yang juga terletak di pedalaman. Tumpuan ekonomi masih agraris dengan
tambahan adanya perdagangan karena Majapahit menguasai daerah-daerah
strategis untuk perdagangan. Pada Mataram Hindu ini, Jawa sudah sedemikian
majunya dengan tumpuan perdagangan beras. Tetapi kemudian setelah
pengaruh Islam, pusat berpindah ke daerah pesisir dengan Demak sebagai
pelopornya.
Kemudian setelah runtuhnya kerajaan Demak, pusat kemudian beralih
ke pedalaman dengan Pajang sebagai pelopornya. Hal ini menandai
berakhirnya pusat yang ada di pesisir dan kemudian beralih ke pedalaman.
Salah satu faktor mengapa kerajaan atau wilayah pesisir mengalami
kemerosotan pada abad 17-18 coba dijelaskan oleh De Graaf dan Pigeaud
sebagai berikut; Sebagai pusat lalu lintas perdagangan di daerah, dan sebagai
bandar singgah pedagang seberang, kerajaan-kerajaan pesisir bersaing dengan
tajam. Keturunan-keturunan penguasa biasanya karena perkawinan
berhubungan kerabat, namun persaingan selalu ada. Seorang penguasa akan
mengalami kesulitan dalam mengusahakan bawahan dan anggota-anggota
keluarganya agar bersedia mempertaruhkan jiwa raganya untuk membantu
seorang saingan jika diserang oleh musuh dari dalam atau luar negeri17.
Dalam tinjauan ekonomi ada indikasi bahwa pertentangan Pati dan
Mataram adalah merupakan konflik antara daerah pesisir dan pedalaman.
Sekitar Abad ke-14 sampai abad 17an, pusat perekonomian masih didaerah
17 H. J De Graaf dan T. H Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa.
Jakarta: Grafiti Pers, 1986, hlm. 298.
-
18
pesisir dengan Demak sebagai pusatnya. Daya tarik daerah sekitar Demak bagi
orang luar adalah beras. Walaupun luar areal sawah diduga tidak seperti
sekarang tetapi daerah-daerah Pajang, Mataram, Banyumas, Pekalongan,
maupun Pati telah merupakan daerah beras pada permulaan abad 16. Kecuali
itu di daerah-daerah tersebut bisa juga ditanami tebu, kopi maupun lada yang
sangat menarik bagi pedagang antar pulau waktu itu18. Pelabuhan-pelabuhan
yang maju di pantai utara Jawa mengekspor beras yang diambil di pedalaman
dan bahan makanan lainnya dari Jawa ke Nusantara, imbalannya tekstil India
dari Aceh dan Malaka serta rempah-rempah dari Maluku.19 Perdagangan Beras
ataupun penyaluran beras dari pedalaman, yang dijual ke orang asing yang
menyinggahi pelabuhan utara ini yang kemudian berpotensi untuk menjadi
persaingan dagang di wilayah pesisir utara Jawa.
Namun kewibawaan Pesisir di daerah-daerah ini tidak akan berlangsung
lama. Majapahit tidak akan bangkit kembali dari reruntuhan, tetapi sesudah
kematian Trenggono, tampil beberapa penguasa yang meskipun sudah masuk
agama Islam akan berusaha untuk mengembalikan pusat kegiatan di daerah
persawahan pedalaman. Selama empat puluh tahun, keadaan kacau dan
kesaksian-kesaksian tidak terlalu cocok satu sama lain. Dibawah pemerintahan
pengganti Sultan Trenggono, Prawata, yang tidak lama berkuasa, Demak tidak
lagi memegang hegemoni. Persekutuan yang terlalu luwes antara oligarki
dagang di pesisir meregang. Arya Penangsang penguasa Jipang mula-mula
mencoba merebut kekuasaan; lalu Jaka Tingkir di dekat Salatiga dan penguasa
Pajang, mengaku diri sebagai Sultan. Sementara itu Ki Ageng Pemanahan,
penguasa Mataram menetap di Kotagede pada tahun kira-kira 1577 dan
mengumpulkan sekelompok orang setia disekelilingnya. Ia meninggal kira-kira
tahun 1583 dan Senopati, anaknya, berjasa karena mengalahkan Pajang (1588)
dan mulai mengumpulkan negeri-negeri Jawa. Serentetan ekspedisi
18 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Daerah
Jawa Tengah, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, hlm. 72. 19 Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis II: Jaringan Perdagangan
Global Asia Tenggara 1450-1680, Jakarta: Obor, 1998, hlm. 377.
-
19
kewibawaan Mataram yang dalam abad berikutnya menjadi kekuasaan
terpenting di Jawa.
Secara garis besar penulis mencoba untuk merangkum penyebab
pertentangan Pati dan Mataram dari berbagai sumber adalah; pertama,
kecewanya Adipati Jayakusumo karena ditukarnya kuda Juru Taman dengan
Sapi Pragola, tetapi hal ini mungkin bisa dipertanyakan karena kemungkinan
besar kalau ini adalah sebuah perlambang kalau mengacu dari penceritaan
Babad Pati yang kebenaran sejarahnya masih perlu dipertanyakan. Kedua,
digesernya posisi permaisuri dari Pati karena Senopati memboyong lagi putri
dari Madiun. Ketiga, hasutan dari Ki Ageng Plangitan dan Ki Ageng Jambean
yang mengatakan Adipati Jayakusumo akan melakukan pemberontakan
terhadap Mataram. Keempat, nafsu berkuasa yang berlebihan dari
Panembahan Senopati yang mencoba menguasai sepenuhnya daerah pesisir.
Melihat hal itu, maka pertentangan Pati dan Mataram ini adalah bentuk
keputusan Adipati Jayakusumo dalam rangka Menjaga posisi dan peran
pentingnya di pesisir dari nafsu berkuasa Panembahan Senopati dari
Mataram.
E. PERANG PATI DENGAN MATARAM DAN DAMPAKNYA DALAM CERITA BABAD
1. Perang Pati dengan Mataram dalam Cerita Dua Babad
Dalam Babad Tanah Jawi dituliskan sebagai berikut. Perang Pati dan
Mataram diawali dengan dikirimnya utusan Pati yang bernama Patradita ke
Mataram untuk meminta kekuasaan atas semua tanah dusun di utara Gunung
Kendeng yang bertujuan untuk menghadang orang yang ingin menghadap di
Mataram, dan meminta tombak dan gagangnya sebanyak seratus buah yang
dikatakan untuk berperang padahal ini akan dipakai oleh Adipati Jayakusumo
untuk memberontak terhadap Mataram. Panembahan Senopati menyerahkan
tanah yang dimaksud, tetapi tombak hanya diberikan tombaknya saja tanpa
gagangnya. Panembahan Senopati ternyata sudah mengetahui maksud dari adik
iparnya yang ingin memusuhi Mataram. Kemudian Panembahan mengatakan
-
20
kepada Adipati Mandaraka bahwa Adipati akan membangkang. Adipati
Mandaraka pun menjadi sedih20.
Selanjutnya wilayah Kendeng utara pun dikuasai oleh Pati tetapi hanya
Demak saja yang membangkang21. Dikisahkan juga dalam Babad Tanah Jawi
bahwa pasukan dari Pati bertindak sangat kejam, sepanjang jalan menjarah
harta dan memboyong perempuan-perempuan di dusun-dusun yang dilaluinya.
Hal itu diketahun oleh Adipati Pajang dan segera memberitahu Senopati
Mataram, kalau Adipati Pati atau Jayakusumo berniat menyerang Mataram22.
Setelah mendengar laporan tersebut Panembahan Senopati mengutus
anaknya Pangeran Anom untuk melawan Adipati Pati. Panembahan Senopati
berpesan agar jangan dilawan dengan perang tetapi kalau terpaksa silahkan
untuk dilayani dengan perang juga. Adipati Mandaraka atau Ki Juru Mertani
memprotes keputusan ini karena Pangeran Anom tidak akan sanggup melawan
Adipati Pati. Panembahan Senopati menjelaskan ini adalah strateginya untuk
mengingatkan Adipati Pati jangan sampai melanjutkan marahnya terhadap
Mataram dengan mengirimkan Pangeran Anom yang masih keponakannya
sendiri.
Barisan Pati telah sampai di Mataram. Sementara barisan yang lainnya
yang lebih besar sudah sampai di Kemalon 23 . Kemudian Pangeran Anom
berhadapan dengan Adipati Pati, terjadi adu mulut diantara keduanya sehingga
membuat Pangeran Anom marah dan menyerang Adipati Pati. Adipati yang
jengkel kemudian melemparkan tombaknya yang mebuat pangeran Anom
20 Olthof, Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647,
Yogyakarta: Narasi, 2008, hlm. 135.
21 Seperti yang diceritakan oleh De Graaf dalam bukunya Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, bahwa sejak dahulu telah terjadi persaingan dagang antara Pati - Jepara yang terletak di sebelah timur Selat Murya dan Demak yang terlerak di sebelah barat Selat Murya mengenai tempat transit beras. Jadi bida ditarik kesimpulan bahwa perselisihan Pati dan Demak itu telah berlangsung sejak lama.
22 Ibid. 23 Daerah dekat dengan Klaten dan Desa Bayat.
-
21
pingsan dan segera Pangeran Anom dilarikan kembali ke Mataram. Adipati
Pati tetap berdiam di tempat itu yaitu dekat dengan Kali Dengkeng24.
Penembahan Senopati setelah mendapat laporan mengenai peristiwa
tersebut menjadi terkejut dan kemudian meminta ijin kepada istrinya untuk
menyerang Adipati Pati, adiknya sendiri. Istri Panembahan Senopati yaitu Ratu
Waskitajawi yang masih saudara kandung dari Adipati Pati mengijinkan karena
adiknya telah jahat melukai keponakannya sendiri25.
Panembahan Senopati segera menyiapkan dirinya untuk turun dalam
peperangan. Panembahan Senopati tiba di Prambanan malam hari. Kemudian
Panembahan Senopati beristirahat sejenak sembari menyiapkan barisannya
untuk menyerang pasukan Pati. Penyerangan terhadap Pati dilakukan larut
malam. Panembahan Senopati juga dibersamai oleh patihnya yaitu Ki Juru
Mertani atau Adipati Mandaraka. Selanjutnya pasukan Mataram mengobrak-
abrik pertahanan pasukan Pati. Pada waktu itu juga pusaka kerajaan
peninggalan Ki Ageng Selo yaitu Bende Kyai Bicak dipukul bertalu-talu yang
membuat bertambahnya semangat pasukan Mataram.
Diceritakan Pasukan Pati tidak siap untuk menerima serangan itu
sehingga dibuat kocar-kacir oleh pasukan Mataram. Bertepatan pada saat itu
Kali Dengkeng pun sedang meluap. Banyak pasukan Pati yang kemudian
memilih terjun ke sungai yang sedang banjir besar itu. Adipati Pati mundur dan
menyelamatkan diri kembali ke Pati. Kemudian Sang Adipati Pati meminta
bantuan kepada bupati-bupati yang dekat dengan Pati yaitu Tuban dan Lasem26.
Panembahan Senopati mengejar Adipati Pati sampai ke Pati. Di saat itu
pasukan dari Tuban dan Lasem melakukan pengintaian tetapi diketahui oleh
pasukan Mataram. Hal itu diketahui oleh pasukan Mataram dan sengaja
24 Kali Dengkeng ini terletak di Kabupaten Klaten dan juga melintasi wilayah Surakarta.
25 Ibid, hlm. 137.
26 Yasadipura I, Amir Rochkyatmo (al), Babad Tanah Jawi: Buku I, Jakarta: Amanah-Lontar, 2004, hlm. 65.
-
22
pasukan Mataram berteriak bila mengetahui hubungan antara Pati, Tuban, dan
Lasem, dan apabila hubungan itu masih dilanjutkan maka Tuban dan Lasem
juga akan dihancurkan. Maka, pasukan Lasem dan Tuban pun mundur yang
akhirnya membuat pasukan Pati hanya sendirian. Kemudian Pati pun diserang
oleh pasukan Mataram. Pasukan Pati pun kembali menelan kekalahan. Pasukan
Pati banyak yang tewas dan sisanya terjun ke sungai yang sedang banjir besar27.
Untuk nasib Adipati Pati sendiri tidak diketahui rimbanya, entah meninggal
ataupun selamat. Kekalahan Pati diberikan sengkalan 1551 J atau 1600 M28.
Dalam Babad Pati sendiri justru yang diceritakan adalah perang yang
terjadi di Pati. Pada waktu itu pasukan Pati sudah bersiap-siap di alun-alun.
Pasukan Pati dipimpin oleh Adipati Jayakusumo yang dibantu oleh putra
pangeran dan Ki Juru. Raden Jayakusumo tidak berniat untuk perang dan tidak
menyiapkan senjatanya pada saat itu. Beliau berkeberatan bila pasukannya
nanti langsung terlibat senjata. Dia meminta bahwa dialah nanti yang akan
berperang29.
Panembahan Senopati telah tiba di selatan Pati yang dialiri oleh Sungai
Juwana. Pasukan Mataram berhenti di desa Jetak30 dan menyiapkan diri untuk
berperang disana. Seyogyanya Panembahan Senopati akan berkirim utusan ke
Pati tetapi ditahan oleh Ki Juru Mertani. Ki Juru Mertani menyarankan untuk
menunggu sambil menyiapkan pasukan Mataram dan membunyikan meriam
27 Sungai di Pati yang setiap tahun rutin mengalami banjir adalah sungai
Juwana yang melintas di kecamatan Sukolilo, Kayen, dan juga Juwana. Satu-satunya sungai yang besar dan banjir tiap tahunnya. Mungkin yang dimaksudkan adalah Sungai Juwana atau nama lainnya adalah Silugonggo.
28 Olthof, Op. cit., hlm. 138.
29 KM. Sosrosumanto dan Dibyosudiro, Serat Babad Pati, Yogyakarta: NV. Mardimulyo (terbit dalam Bahasa Indonesia), 1980, hlm. 125.
30 Ada dua wilayah Jetak yang ada di Pati, yang pertama ada Jetak yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Wedari Jaksa. Wilayah ini ada di utara Sungai Juwana. Sedangkan yang paling memungkinkan adalah Jetak yang masuk wilayah kecamatan Pucakwangi yang terletak di selatan Sungai Juwana.
-
23
Kyai Kalantaka 31 terlebih dahulu. Adipati Jayakusumo yang mendengarkan
suara meriam tersebut akhirnya mengetahui kalau kakaknya Senopati telah
datang, Adipati Pati meminta terhadap pasukannya untuk perang tanding
dengan Senopati tanpa melibatkan pasukannya32.
Ketika Panembahan Senopati mendengar tantangan adiknya yaitu Adipati
Jayakusumo sangatlah senang dengan tantangan ini. Kemudian Panembahan
Senopati menombak adiknya. Yang ditombak seakan-akan memakai baju besi
saja, tombak itupun tidak mempan terhadap diri Adipati Jayakusumo.
Pertarungan dengan tombak dan saling tangkis itu berjalan sehari dan
kemudian malamnya selesai dan pasukannya dibubarkan. Di hari pertama
belum ada yang menang dan yang kalah33.
Hari kedua, pasukan Mataram bertambah banyak dengan perbandingan
satu banding seratus dibandingkan dengan Pasukan Pati. Tetapi pasukan
tersebut hanya menyoraki yang sedang bertempur yaitu Panembahan Senopati
melawan Adipati Jayakusumo. Pertempuran hari kedua memakai pedang dan
keris. Tidak ada yang mempan dalam pertarungan ini, hanya luka - luka saja
yang diterima kedua perwira ini. Ketika malam pertarungan berhenti.
Setelah tiga hari berperang tanding dan bertepatan dengan Kamis Pon,
maka mereka kemudian memutuskan untuk bertarung tanpa senjata. Terjadi
baku hantam pada pertarungan yang kesekian kalinya. Kemudian Panembahan
Senopati berseru untuk menghentikan pertarungan dan mandi di Sendang
31 Meriam sendiri menjadi pusaka yang dikeramatkan dalam kerajaan di
Jawa. Bukti dikeramatkannya meriam adalah diberikanya nama Kyai didepan nama meriamnya. Meriam digunakan selain untuk berperang juga untuk memperingati suatu upacara, seperti upacara penobatan raja, ataupun yang lainnya.
32 Ibid, hlm. 126. 33 Ibid, hlm. 127.
-
24
Sani34 . Ketika sedang mandi, Adipati Jayakusumo mendapat firasat bahwa
dalam perang tanding nanti dirinya akan kalah. Firasat tersebut berupa sinar
(tejo) yang memancar terus di dalam sumur saat Panembahan Senopati mandi,
tetapi sinar itu patah setelah dirinya masuk ke pemandian. Mendapat firasat
tersebut, Adipati Jayakusumo memerintahkan kepada Sutawanengpati untuk
membunuh seluruh isteri dan anaknya karena tidak rela bila nantinya Adipati
Jayakusumo kalah istri dan anak-anaknya diboyong ke Mataram35.
Panembahan Senopati kemudian meminta nasehat Kiai Juru Martani.
Dalam nasehatnya, Kiai Juru Martani mengatakan bahwa kelemahan orang Pati
adalah kalau mereka sesumbar (menunjukkan kesombongan atau menantang),
maka kesaktian yang dimiliki akan hilang. Setelah nantinya bersumbar,
Panembahan Senopati juga disarankan untuk meminta Adipati Pati untuk
melepaskan baju kerai besi (kere waja) Belanda yang merupakan sumber
kekuatan dari Adipati Pati36.
Keesokan harinya dengan bermodalkan wangsit yang diberikan Oleh
Kyai Juru Mertani, Panembahan Senopati menyongsong pertarungan hari itu
dengan naik kuda sambil memanggul tombak Kyai Plered. Diceritakan dalam
Babad Pati bahwa pada saat itu adalah hari Jumat Wage yang merupakan hari
sial untuk orang Pati. Untuk selanjutnya perang tandingpun segera dimulai
kembali. Babad Pati menceritakan peristiwa tersebut dengan Durma Pupuh
XXVII sebagai berikut:
Sang dipati nulya nitih kudanira, napas ules wajik, ngembat lawungira Ki Bedru namanira, sasirig madyaning jurit, wus ayun-ayunan, sang nata ngandika ris, Lah ta yayi sira glis andhisikana!, umatur
34 Sendang Sani sampai saat ini masih ada tempatnya. Ada mitos
menceritakan bahwa Sendang Sani adalah peninggalan Sunan Kalijaga dimana beliau mengutuk muridnya menjadi bulus (kura-kura) karena telah lancang memanfaatkan air yang ditemukan untuk mandi dan minum sebelum Sunan Kalijaga sendiri yang memakai air tersebut. Sendang Sani ini berbentuk telaga dan disekitar komplek ini juga terdapat situs pemakaman Adipati Pragola II. Lokasi Sendang Sani ini masuk Desa Tamansari, Kec. Tlogowungu, Pati.
35 Ibid, hlm. 128. 36 Ibid, hlm. 129.
-
25
ingkang rayi, Sumangga paduka, namani dhateng amba, Senapati angayati nanting kang tumbak, pan sarwi dipun tinggil. Pamrihira mantep tibanya kang tumbak, kenging jaja amuni, jumebles swaranya. Senapati ngandika, Layak adhi sira sekti, tan pasah tumbak, nganggo kere Walanda!. Sru Bramantya Dipati Jayakusumo, rasukan dipun wingkis, kang jaja tinggal katingal, sarwi sumbar mangkana Boten watak tiyang Pati, lamun nganggea kerene tyang walandi! Senapati wus awas pandulunira, jajanya katon kuning, lir kulit wanodya, lajeng sinogok tumbak, Kyai Plered ingkang manjing tumaneng jaja, Dipati dhawah nuli. (Sang Dipati segera naik kudanya yang berwarna kelabu agak kekuningan, sambil menarik tumbaknya Ki Bedru. Melompat-lompat dia di tengah-tengah medan laga. Sesudah berhadap-hadapan, raja berkata lembut, Adinda ... segeralah kau mulai!. Adiknya berkata, Silahkan paduka mengenai hamba dulu. Senapati lalu menarik serta mengangkat tombaknya ke atas, maksudnya agar supaya tepat jatuhnya. Tombak itu mengenai dada, berdenting suaranya. Senapati berkata, Adinda pantas engkau sakti dan tidak mempan dengan tombak, sebab engkau mengenakan baju kerai besi Belanda37! Dipati Jayakusumo sangat marah, pakaiannya disingsingkan hingga kelihatan dadanya, serta bersumbar demikian, Tidak patut jikalau orang Pati memakai baju kerai besi Belanda! Penglihatannya Senapati sudah waspada, lalu dadanya yang kelihatan kuning seperti kulit wanita itu ditusuk dengan tombaknya Kyai Plered. Tombak tersebut mengenai dada lalu Dipati jatuh)38.
Lambung sebelah kiri dari Adipati Pati luka dan jatuh dari kuda. Sebelum
meninggal Adipati Pati meminta air kepada Panembahan Senopati.
Panembahan Senopati memberikan air yang terbaik untuk mengantarkan
Adipati Pati ke gerbang kematian. Tetapi Adipati Pati tidak kunjung meninggal
dan akhirnya dia meminta untuk diberikan air perasan kotoran kuda karena dia
terbunuh di medan peperangan. Setelah meminum air perasan kotoran kuda itu,
Adipati Pati akhirnya meninggal dunia39.
Sedangkan di lain pihak pengikut Adipati Pati yang berjumlah enam
orang mengamuk. Mereka menerjang dan menyerang prajurit Mataram. Akan
tetapi perlawanan pengikut Adipati Jayakusumo sia-sia belaka sebab jumlah
37 Hal yang aneh adalah adanya baju kerai besi (kere waja) dari Belanda. Kerai besi atau baju zirah (pelindung dada terbuat dari baja), sama sekali belum dikenal orang Jawa diabad ke XV dan XVI. Baju besi ini baru ada di zaman VOC.
38 Ibid, hlm. 130. 39 Ibid, hlm. 131.
-
26
prajurit Mataram sangat banyak. Babad Pati menyebutkan bahwa
perbandingannya 1:100 prajurit.
Dikisahkan bahwa Sutawanenggita yang sedang mengamuk menghadapi
prajurit Mataram teringat akan perintah oleh Adipati Jayakusumo untuk
membunuh semua anak dan isteri sang adipati. Oleh karena itu Sutawanenggita
segera masuk ke istana kadipaten dan membunuh semua anak dan isteri
Adipati Jayakusumo. Hanya Raden Janaka yang masih berumur satu tahun
yang diselamatkan dan dibawa pergi ke sebuah gua oleh Sutawanenggita40.
Setelah Sampai di Pati, Panembahan Senopati menemukan Raden Arya
Penjaringan yang sedang tafakur di dalam mesjid. Ketika ditanya Raden Arya
Penjaringan ini sempat berbohong kalau dia tidak ikut berperang. Setelah
dibuka pakaiannya terdapat bekas luka yang menunjukkan bahwa Raden Arya
Penjaringan ikut perang, maka Raden Arya Penjaringan pun berterus terang
kalau Adipati Jayakusumo tidak berniat berperang tetapi hanya menanggapi
Panembahan Senapati. Ketika ditanyai keberadaan Ki Ageng Penjawi, Raden
Arya Penjaringan mengatakan bila Ki Ageng Penjawi telah meninggal dan
dimakamkan di Sani. Raden Arya Penjaringan berbohong karena telah
mendapat pesan kalau kuburan Ki Ageng Penjawi ini jangan sampai diketahui
oleh raja. Yang sebenarnya makam Ki Ageng Penjawi ada di Parenggantang41.
Kemudian Raden Arya ini ditunjuk oleh Senopati untuk menjadi pengganti dari
Raden Jayakusumo atau Adipati Pati. Kemudian Senopati melanjutkan ke
keraton dan menemui permaisuri dan istri-istri beserta anak-anak Adipati
Jayakusumo telah dibunuh oleh Sutawanengpati sesuai dengan pesan dari
Adipati Jayakusumo42.
40 Ibid. 41 Dan makam Penjawi pun sampai saat ini masih menjadi misteri
keberadaannya. Ada tiga lokasi makam yang dipercaya sebagai Makam Ki Ageng Penjawi yaitu di desa Randu kuning dan Desa Banaran, Mandiraja, Banjarnegara, tetapi disini disebut sebagai Ki Ageng Kedung Lumbu. Juru kunci disini mengatakan bahwa beliau berasal dari Pesantenan.
42 Ibid, hlm. 134.
-
27
Yang menarik adalah mengapa sampai makam Ki Ageng Penjawi harus
sengaja dibohongkan. Ada kemungkinan besar kalau Ki Ageng Penjawi pernah
sakit hati terhadap kebijakan ataupun tindakan dari anak turun Pemanahan.
Masih banyak kemungkinan-kemungkinan atau praduga-praduga sampai
Babad Pati menuliskan bahwa keberadaan makam Penjawi dibohongkan.
Dari penceritaan kedua babad di atas, sudah membuat fakta sejarah
bahwa Pati dan Mataram pernah berkonflik pada zaman Panembahan Senopati
atau awal pembentukan kerajaan Islam Mataram. Kedua babad juga mengamini
bahwa ada hubungan yang luar biasa atau juga kekerabatan antara penguasa
kedua wilayah ini. Disini sedikit kita bisa menarik kesimpulan bahwa memang
benar ini adalah konflik saudara yang diberikan bumbu muatan politis yang
kemungkinan besar memang dibiaskan.
Kalau kita coba bandingkan antara Babad Tanah Jawi dengan Babad Pati
ada sebuah kesamaan mengenai alur jalannya peperangan antara perang Raden
Jayakusumo dengan Panembahan Senopati dalam cerita Babad Pati dengan
perang antara Adipati Pragola dengan Sultan Agung. Ada beberapa hal yang
sama yaitu; pertama, perang diawali dari sebuah hasutan dalam Babad Tanah
Jawi yang melakukan Tumenggung Endranata dari Demak sedangkan Babad
Pati menuliskan Ki Ageng Jambean dan Ki Ageng Plangitan. Kedua,
mengenai tidak dihitamkannya gigi dari Adipati Pragola dan juga Raden
Jayakusumo ketika melakukan perang terhadap pihak Mataram dimana
ditafsirkan dalam Babad Pati merupakan tanda bahwa Adipati Jayakusumo
tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi Senopati, sedangkan dalam
Babad Tanah Jawi ditafsirkan bahwa Adipati Pragola tidak sempat
menghitamkan gigi. Ketiga. Adanya satu anak dari penguasa Pati yang
diselamatkan oleh orang kepercayaan dari penguasa Pati. Dalam Babad Tanah
Jawi anak itu bernama Raden Rangga dan Babad Pati menyebutkan namanya
Raden Janaka.
Melihat realitas tersebut, ada kemungkinan besar bahwa Babad Pati ada
kesalahan dalam penyaduran cerita dan kemungkinan ada semacam tujuan
pelegitimasian atas sebuah kekuasaan untuk menutupi sebuah aib perang
-
28
keluarga yang terjadi antara Pati dan Mataram. Cerita yang mendekati
kebenaran dalam fragmen sejarah pertentangan Pati dan Mataram ini adalah
cerita yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi, dimana pihak pati dahulu yang
melakukan serangan ke Mataram hingga kemudian Adipati Jayakusumo
menderita kekalahan telak. Dalam cerita Babad Pati terutama khusus dalam
fragmen cerita pertempuran antara Adipati Jayakusumo dan Panembahan
Senopati adalah suatu cerita yang kemungkinan besar adalah bentuk tiruan dari
Babad Tanah Jawi sendiri yang sudah mengalami penfasiran dan penambahan
sendiri sesuai dengan imajinasi dari penyusun Babad Pati ini.
2. Dampak Perang Pati dengan Mataram
Akhir dari pertentangan ini adalah kekalahan yang diderita oleh pihak
Pati. Kedua babad menceritakan hal tersebut. Banyak korban yang jatuh
terutama dari pihak Pati. Pertentangan di antara dua trah yang masih punya
hubungan saudara meninggalkan banyak misteri di dalamnya. Terlepas dari
situ, dimulai dari konflik ini Mataram sepenuhnya menguasai daerah pesisir.
Walaupun nanti terjadi pertentangan yang kedua.
Kematian atau lebih tepatnya kemisteriusan nasib dari Adipati
Jayakusumo menjadi akhiran dari jalannya cerita sejarah pertempuran antara
Pati dan Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bila nasib Adipati
Jayakusumo kurang begitu jelas atau tidak diketahui rimbanya, sedangkan di
Babad Pati diceritakan bahwa Adipati Jayakusumo meninggal di tangan
Panembahan Senopati.
Selama penyusuran misteri ini, Penulis mendapatkan fakta menarik, ada
beberapa tempat yang diklaim adalah tempat makam dari Adipati Jayakusumo.
Yang pertama terdapat di Gunung Pati, Semarang. Yang kedua adalah di Solo.
Hal ini menjadi penanda bahwa pengurangan hegemoni pesisir terutama Pati
coba dilakukan oleh pihak Mataram.
Menurut cerita rakyat yang beredar bahwa ketika terjadi penyerangan
Pati ke Mataram yang bertepatan dengan meletusnya Gunung Merapi, Adipati
Jayakusumo tidak kembali ke Pati tetapi beliau berkubu di Gunung Pati,
Semarang. Rencananya beliau akan mengumpulkan kembali pasukannya dan
-
29
akan melakukan serangan kembali. Tetapi sebelum melakukan rencananya
Adipati Jayakusumo meninggal dunia dan kemudian di makamkan di Gunung
Pati, Semarang. Makanya di tempat itu yang masuk wilayah Semarang
dinamakan Gunung Pati karena yang membuka wilayah tersebut merupakan
orang Pati yaitu Adipati Jayakusumo.
Diceritakan dalam Babad Pati kalau pengganti Adipati Pati adalah
Raden Arya Penjaringan, yaitu kakak ipar dari Adipati Pati. Sedangkan
menurut De Graaf sendiri berdasarkan kisah Babad Tanah Jawi yang
menggantikan Adipati Pati adalah anaknya yang kemudian bergelar Adipati
Pragola II. Sedangkan dalam tulisan yang dikeluarkan oleh Museum
Radyapustaka disebutkan bahwa yang diangkat menjadi bupati Pati dengan
nama Adipati Pragola II adalah putra dari Pangeran Puger. Pangeran Puger
sendiri adalah saudara dari Mas Jolang yang dibuang di Kudus karena
pemberontakan Demak dan kemudian memberontak lagi tahun 1627 M.
Manakah yang benar tentang sosok Pragola II ini?
Apa yang terjadi dengan Pati pada tahuntahun setelah pertentangan
pertama tahun 1600 sama sekali tidak jelas. Pada peta yang dibuat oleh orang
Belanda pada pelayaran pertama masih terdapat nama Pati, tetapi dalam teks
nama tersebut tidak ditemukan. Mungkinkah Pati disebut dengan nama cajaon
(Juwana?), tempat yang juga mempunyai raja sendiri, tetapi disitu pelayaran
sepi43.
Selama masa pemberontakan Demak tahun 1602 dan tahun-tahun
berikutnya, Pati tidak disebut dan rupanya tidak berperan penting. Mungkin
Pati dapat mempertahankan netralitasnya, karena dikelilingi tembok. Juga
musuh dari timur, ruparupanya mengabaikan dalam penyerbuan mereka
161644.
43 De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik dan Ekspansi Sultan
Agung, Jakarta: Grafiti Pers, 2002, hlm. 164. 44 Ibid, hlm 165.
-
30
DAFTAR PUSTAKA Sumber dari Buku:
Ankersmith, F. R. (1987). Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-Pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ardian Kresna. (2011). Sejarah Panjang Mataram, Menengok Berdirinya
Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Diva Press Bambang Purwanto. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesiasentris.
Yogyakarta: Ombak. Berg, C. C. (1985). Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Burke, Peter. (2003). Sejarah Dan Teori Sosial, Jakarta: Obor. Capt. R. P. Suyono. (2003). Peperangan Kerajaan di Nusantara, Penelusuran
Kepustakaan Sejarah. Jakarta: Gramedia. Djoko Suryo. (1992). Kisah Senopati-Ki Ageng Mangir Dalam Historiografi
Babad, dalam Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dudung Abdurahman. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Edi Sedyawati. (2010). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Florida, Nancy K. (2003). Menyurat Yang Silam, Menggurat Yang Menjelang,
Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial, Yogyakarta: Bentang Budaya
Gottschalk, Louis. (1985). Understanding History: A Primer Of Historical Method. A.b Nugroho Notosusanto. Mengeri Sejarah. Jakarta: UI Press.
Graaf, De (1985). Awal Kebangkitan Mataram: Masa Panembahan Senopati.
Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Graaf, De dan T.H. Pigeaud. (2001). Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hasan Shadily. (1984). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina
Aksara. Helius Sjamsuddin. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
-
31
Hm. Nasruddin Anshoriy Ch dan Dr, Dri Arbaningsih. (2008). Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus. Yogyakarta: Tiara Wacana.
I Gde Widja. (1989). Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
I.W. Pantja Sunjata dkk. (1992). Babad Kraton I, Sejarah Keraton Jawa sejak
Nabi Adam Sampai Runtuhnya Mataram. Yogyakarta: Djambatan. Jurusan Pendidikan Sejarah. (2006). Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi.
Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
KM. Sosrosumanto dan Dibyosudiro. (1980). Serat Babad Pati. Yogyakarta: NV.
Mardimulyo (terbit dalam Bahasa Indonesia). KRAT. Hamawinata Nitinagoro. (2011). Babad Keraton Mataram. Kendal:
Grafika Citra Mahkota. Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. ___________. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu.
Bagian II: Jaringan Asia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ______________. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu.
Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Mirriam Budiardjo. (2004). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. Moedjianto. (1987). Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius. Nyoman Kutha Ratna. (2010). Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi
dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Olthof. (2008). Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647.
(terj.). Yogyakarta: Narasi. Praba Hapsara dan Eva Banowati. (2009). Kisah-Kisah Lama dari Pati.
Semarang: UNNES Press.
-
32
Praba Hapsara. (2002). Menyingkap Tabir Misteri Sejarah Pati. Pati: Percetakan Pati.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. (1978). Sejarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Purwadi, (2001). Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik, Yogyakarta:
Pustaka Alif. _______. (2006). Panembahan Senopati. Yogyakarta: Tugu. _______. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu. R. Moh Ali. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKIS. Raden Ngabehi Marto Darmono. (.1989). Sejarah Pangiwa Sejarah Panengen.
Solo: Rekso Pustoko Raffles, Thomas Stamford. (2006). The History of Java. Yogyakarta: Narasi. Reid, Anthony. (2004). Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Remmelink, Willem. (2002). Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-
1743. Yogyakarta: Jendela. Ricklefs, M.C. (1991). Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. S. Margana. (2004). Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Sardiman A. M. (2004). Memahami Sejarah. Yogyakarta: BIGRAF Publishing. Sartono Kartodirdjo. (1992). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Shaw, Martin. (2001). Bebas dari Militer: Analisa Sosiologis Atas
Kecenderungan Masyarakat Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sidi Gazalba. (1981). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bharata Karya
Aksara. Slamet Muljana. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang.
-
33
Soedjatmoko, Mohammad Ali, G. J. Resink, G. McT. Kahin. (1995). Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Soemarsaid Moertono. (1985). Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa
Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sudibjo (alihaksara). (1980). Babad Tanah Jawi. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Daerah dan Indonesia. Tim Penyusun Hari Jadi Pati. (1994). Sejarah Hari Jadi Kabupaten Pati. Pati:
Percetakan Pati. Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Gramedia. Waty Somanto. (2005). Pedoman Teknik Penulisan Skripsi (Karya Ilmiah).
Jakarta: Bumi Aksara. Yasadipura I, Amir Rochkyatmo (al). (2004). Babad Tanah Jawi: Buku I, Jakarta:
Amanah-Lontar. Jurnal Harianti, dkk. 2008. Kisah Adipati Jayakusuma-Panembahan Senopati dalam
Historiografi Babad. Penelitian dalam Jurnal Istoria. Skripsi Sri Suliyati. (2001). Peranan Politik Kadipaten Pati Semasa Kerajaan Mataram
Islam Abad XVI-XVII. Unnes.
Majalah
Djoko Randukuning. (2011). Bedah Babad Pati (1), Perlambang Dibalik Legenda. Berita Pesisir Edisi: 01/1. 16-25 April 2011, hlm. 11.
Djoko Randukuning. (2011). Bedah Babad Pati (2), Selintas Fakta Diantara Legenda. Berita Pesisir Edisi: 02/ 11-22 Mei 2011, hlm. 11.
Ki Anderpati. (1989). Kuluk Kanigara lan Keris Rambut Pinutung, Majalah Panjebar Semangat.
S. Hartono Ki Dwidjo. (1989). Adipati Pragola lan Baron Van Sekeber, Majalah Djoko Lodhang.