Persepsi Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Palembang
Terhadap Peran Akuntan Forensik Sebagai Pendeteksi Kecurangan (Fraud)
(Studi kasus pada Universitas Bina Darma, Universitas Muhammadiyah, dan
STIE Musi Palembang)
Skripsi
(Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Strata Satu Fakultas Ekonomi
Universitas Bina Darma Palembang)
Oleh:
Moch Salman Azharie Saputra
10152017
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BINA DARMA
PALEMBANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semakin berkembangnya suatu negara maka akan mempengaruhi
perkembangan perekonomian negara tersebut. Baik dalam sektor swasta maupun
sektor publik. Dengan perkembangan perekonomian ini maka semakin banyak
ancaman terjadinya kecurangan (fraud). Di sektor swasta fraud yang biasa terjadi
yaitu kecurangan penyajian laporan keuangan sedangkan pada sektor publik fraud
yang sering terjadi yaitu korupsi. Di Indonesia praktik fraud cenderung memiliki
kesempatan yang lebih banyak terjadi karena negara Indonesia masih termasuk
negara berkembang.
Menurut MNC Media Research Polling, kasus di daerah berdasarkan data
Kemendagri, sepanjang 2004 hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I
dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus kriminal. Di antara kasus-kasus tersebut
kasus korupsi adalah kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2%.
Sepanjang periode itu pula, sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan kepala
daerah. Sementara itu KPK baru Menyelesaikan 37 dari 155 kasus yang ada.
Peran badan pemeriksaan keuangan dan badan pemberantasan korupsi
seperti BPK, BPKP, PPATK, dan KPK sangat membutuhkan bantuan dari
seorang akuntan forensik yang kompeten, karena di dalam diri seorang akuntan
forensik memiliki keahlian yang unik yaitu perpaduan antara ilmu akuntansi, ilmu
audit, dan ilmu hukum sekaligus.
Dengan adanya kesempatan yang begitu besar untuk terjadinya kecurangan
(fraud) maka dunia akuntansi di tuntut untuk melakukan praktik akuntansi yang
sehat dan audit yang berkualitas yang berguna untuk penyajian laporan keuangan.
Dalam hal ini para akuntan dituntut untuk memiliki kemampuan yang lebih
dalam bidang akuntansi yang didukung oleh pengetahuan luas di bidang ekonomi,
keuangan, perbankan, perpajakan, bisnis, teknologi, informasi, dan pengetahuan
di bidang hukum. Cabang ilmu yang dapat mendukung seorang akuntan untuk
menyelidiki dan mencegah fraud ini yaitu akuntansi forensik, akuntansi forensik
ini yaitu bagian dari disiplin akuntansi dengan pemeriksaan dan hukum pidana
(Charterji, 2009). Hal ini sangat dibutuhkan berhubungan dengan tindakan-
tindakan fraud bidang keuangan secara samar ataupun bahkan tidak dapat
dideteksi baik di perusahaan maupun di lembaga-lembaga pemerintahan. Akan
tetapi sumber daya manusia yang ahli dalam bidang ini haruslah lebih
diperhatikan lagi. Dalam hal ini Akuntan forensik dirasa tepat untuk
meminimalisasi kesempatan terjadinya fraud. Maka, dengan banyaknya terjadi
kecurangan (fraud) di Indonesia membuat akuntansi forensik menjadi peluang
karir yang menarik bagi para akuntan untuk digunakan sebagai alat pendeteksian
kecurangan (fraud).
Pada prinsipnya profesi akuntan telah di sebut dalam kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 179 ayat (1) yang berbunyi :
“Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran atau dokter atau
ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”. Oleh karena itu
orang yang sudah sangat paham terhadap profesi dokter yang disebut dalam
peraturan di atas yang dikenal dengan sebutan dokter ahli forensik namun, ahli
lainnya yang dalam peraturan di atas termasuk juga akuntan belum banyak dikenal
sebutannya sebagai akuntan forensik. Kata forensik itu sendiri berarti “dapat
diterima oleh hakim di pengadilan. Dari makna kata forensik ini maka menjadi
standar tinggi bagi seorang akuntan forensik selalu pegang dalam menjalankan
perannya.
Ilmu akuntansi forensik ini sendiri memberikan analisis akuntansi yang
dapat diterima dalam penyelesaian kasus baik pidana umum, maupun pidana
khusus seperti korupsi, pembalakan liar, penggelapan uang dan lain-lain. Dalam
ilmu akuntansi forensik ini menekankan pada tiga area utama yaitu dukungan
litigasi atau pendapat hukum dalam pengadilan, investigasi yaitu upaya
pembuktian di pengadilan dan ketentuan hukum, dan penyelesaian sengketa.
Menurut Lembaga Akuntan Forensik Indonesia (LAFI) akuntan forensik
harus memiliki suatu perasaan mendalam tentang etika dan perilaku etik
profesional, dan mampu membuat laporan yang kuat dan meyakinkan baik dalam
bentuk tulisan maupun verbal sebagai saksi ahli di persidangan pengadilan atau
proses persidangan hukum lainnya. Setiap saat, seorang akuntan forensik harus
mampu membawa suatu pola pikir profesional yang skeptis yang tetap
dipertahankan, dan karena itu dapat meyakinkan bahwa informasi yang dia
kerjakan akan selalu akurat dan objektif. Untuk menjadi seorang akuntan forensik
yang berkompeten LAFI mengadakan dua program pendidikan akuntan forensik
yakni Bersertifikat Akuntan Forensik (BAF) yang ditempuh dalam waktu 2-24
minggu dan Diploma Akuntan Forensik (DAF) yang dapat ditempuh dalam waktu
1-3 tahun masa belajar. Dua program ini memiliki dua metode pembelajaran yaitu,
belajar jarak jauh (melalui internet) dan belajar di dalam kelas seperti biasa
dilakukan pada proses belajar mengajar.
Dengan banyaknya terjadi kasus-kasus fraud di Indonesia khususnya di
Palembang maka peran seorang akuntan forensik semakin dibutuhkan. Persepsi
mahasiswa akuntansi dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana tanggapan
mahasiswa akuntansi tentang ilmu akuntansi forensik dan akuntan forensik itu
sendiri, mengingat betapa pentingnya peranan dari akuntan forensik dalam rangka
pendeteksian dan pencegahan kecurangan (fraud) yang sekarang marak terjadi di
Indonesia baik di sektor swasta maupun lembaga pemerintahan.
Sebagai pendeteksi fraud maka seberapa jauh peran akuntan forensik
dalam melakukan pendeteksian fraud?. Dalam penelitian ini penulis ingin
mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa akuntansi perguruan tinggi di
Palembang tentang peran akuntan forensik tersebut dalam mendeteksi suatu
kecurangan (fraud) itu sendiri. Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui
persepsi mahasiswa akuntansi di tiga perguruan tinggi Palembang yaitu
Universitas Bina Darma, Universitas Muhammadiyah, dan Universitas Sriwijaya
Palembang, dari persepsi mahasiswa akuntansi dari perguruan tinggi ini maka
akan diketahui persepsi masing-masing mahasiswa akuntansi terhadap peran
akuntan forensik dalam mencegah kecurangan.
Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul ”Persepsi Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi di
Palembang Terhadap Peran Akuntan Forensik Sebagai Pendeteksi
Kecurangan (Fraud)” (Studi kasus pada Universitas Bina Darma,
Universitas Muhammadiyah, dan STIE Musi Palembang).
1.2. Perumusan Masalah
Penelitian ini akan melakukan penilaian terhadap persepsi mahasiswa
akuntansi perguruan tinggi di palembang tentang peranan akuntan forensik
sebagai pendeteksi kecurangan (fraud).
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian maka penulis
merumuskan permasalahan bagaimana ”Persepsi Mahasiswa Akuntansi Perguruan
Tinggi di Palembang Terhadap Peran Akuntan Forensik Sebagai Pendeteksi
Kecurangan (Fraud)”?
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
Agar pembahasan ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari
permasalahan, maka penulis hanya membatasi pembahasan pada Persepsi
Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi di Palembang pada Universitas Bina
Darma, Universitas Muhammadiyah, dan STIE Musi Terhadap Peran Akuntan
Forensik Sebagai Pendeteksi Kecurangan (Fraud).
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan ini adalah untuk mengetahui
”Persepsi Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi di Palembang Terhadap Peran
Akuntan Forensik Sebagai Pendeteksi Kecurangan (Fraud)”.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dihasilkan penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Teoritis
Aspek teoritis memberikan kontribusi para pengajar dalam mengembangkan
kurikulum akuntansi forensik dengan secara empiris mengidentifikasi
pandangan tentang keahlian apa saja yang diperlukan oleh seorang akuntan
forensik, dan memberikan kontribusi bagi literatur tentang akuntansi forensik
melalui beberapa cara, antara lain: dengan membuka wawasan tentang
semakin pentingnya akuntan forensik serta memberikan kontribusi praktis
untuk peneliti berikutnya.
2. Praktis
Aspek praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perguruan tinggi
dan praktisi, dalam pengembangan ilmu akuntansi forensik agar dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai keahlian yang harus
dimiliki oleh akuntan forensik dalam melakukan praktiknya.
1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menyajikan laporan dalam 5 bab
yang terdiri dari :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini secara garis besar membahas tentang latar belakang,
perumusan masalah, ruang lingkup pembahasan, tujuan dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam bab ini dijelaskan tentang teori-teori yang digunakan penulis
dalam melakukan penelitian meliputi definisi akuntansi forensik,
definisi audit forensik, definisi kecurangan (Fraud) keahlian yang harus
dimiliki oleh akuntan forensik, penelitian terdahulu yang dapat menjadi
acuan penelitian, kerangka pemikiran, dan paradigma penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan dijelaskan mengenai objek penelitian yaitu mahasiswa
akuntansi di Universitas Binadarma, Universitas Muhammadiyah, dan
Universitas Sriwijaya, operasional variabel disini yaitu persepsi
mahasiswa dan peran akuntan forensik, sumber kualitatif dan kuantitatif
dengan jenis primer dan sekunder, teknik analisis data yang
menggunakan statistik dengan metode pengolahan data melalui uji
validitas, reliabilitas, homogenitas, dan hipotesis.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil dari analisis dan
pembahasan mengenai persepsi mahasiswa akuntansi perguruan tinggi
palembang terhadap peranan akuntan forensik terhadap pencegahan
kecurangan (fraud) melalui uji statistika dengan metode pengolahan data
melalui uji validitas, reliabilitas, homogenitas, dan hipotesis.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini penulis akan memberikan suatu kesimpulan dan saran dari
pembahasan pada bab IV.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Teori Atribusi
Minat Psikologi Sosial terhadap proses atribusi diawali dengan teori Fritz
Heider (1958) yang peduli tentang usaha kita untuk memahami arti perilaku orang
lain, khususnya bagaimana kita mengidentifikasi sebab-sebab tindakannya. Secara
umum, perilaku dapat disebabkan oleh daya-daya personal (personal forces),
seperti kemampuan atau usaha dan oleh daya-daya lingkungan (environmental
forces), seperti keberuntungan atau taraf kesukaran suatu tugas. Jika suatu
tindakan diatribusi sebagai daya personal, akibatnya akan berbeda dengan
tindakan yang diatribusi dengan daya lingkungan. Kita mengatribusi suatu
tindakan disebabkan daya personal, hanya jika orang yang kita persepsi tersebut
mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk melakukan dan berusaha
untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian, kita beranggapan bahwa
atribusi tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat kita gunakan untuk
meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Di sisi lain, jika kita
mengatibusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada hubungannya dengan sifat
orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat digunakan untuk meramalkan
tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
2.2. Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu
suatu stimulus yang diterima oleh individu melalui alat reseptor yaitu indera. Alat
indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Persepsi
merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian
diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang
diindera.
Dengan kata lain persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya
pesan atau informasi kedalam otak manusia. Persepsi merupakan keadaan
integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Apa yang ada dalam
diri individu, pikiran, perasaan, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif
berpengaruh dalam proses persepsi.
Menurut Kottler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses yang
digunakan seorang individu untuk memilih, mengorganisasikan, dan
menginterprstasi masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia
yang memiliki arti. Persepsi tidak hanya tergantung pada rangsangan fisik, tetapi
juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan
individu yang bersangkutan.
Sementara itu menurut Boyd, dkk (2001) definisi persepsi adalah “proses
dengan apa seseorang memilih, mengatur dan menginterprestasikan informasi”.
Kunci terpenting dalam persepsi adalah bahwa manusia menyimpan informasi
dalam bentuk hubungan asosiatif, dan hubungan asosiatif itu membantu manusia
menginterpretasikan dunia disekitarnya.
Menurut Schiffman & Kanuk (2007) persepsi adalah suatu proses seorang
individu dalam menyeleksi, mengorganisasikan, dan menterjamahkan stimulus-
stimulus informasi yang datang menjadi suatu gambaran yang menyeluruh.
Walgito (1993) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan
proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya
tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya,
motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu dalam
hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk dapat
mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai
penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu
terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan
perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan
pengamatan. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap
sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan
bertindak.
Gibson, dkk (1989) dalam buku Organisasi Dan Manajemen Perilaku,
Struktur; memberikan definisi persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan
oleh individu untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya (terhadap
obyek). Gibson juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses pemberian
arti terhadap lingkungan oleh individu. Oleh karena itu, setiap individu
memberikan arti kepada stimulus secara berbeda meskipun objeknya sama. Cara
individu melihat situasi seringkali lebih penting daripada situasi itu sendiri.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian persepsi
merupakan suatu proses penginderaan, stimulus yang diterima oleh individu
melalui alat indera yang kemudian diinterpretasikan sehingga individu dapat
memahami dan mengerti tentang stimulus yang diterimanya tersebut. Proses
menginterpretasikan stimulus ini biasanya dipengaruhi pula oleh pengalaman dan
proses belajar individu.
Menurut Gibson, dkk (1989) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi
seseorang dapat berupa :
1. Fisiologis. Informasi masuk melalui alat indera, selanjutnya informasi yang
diperoleh ini akan mempengaruhi dan melengkapi usaha untuk memberikan
arti terhadap lingkungan sekitarnya. Kapasitas indera untuk mempersepsi
pada tiap orang berbeda-beda sehingga interpretasi terhadap lingkungan juga
dapat berbeda.
2. Perhatian. Individu memerlukan sejumlah energi yang dikeluarkan untuk
memperhatikan atau memfokuskan pada bentuk fisik dan fasilitas mental
yang ada pada suatu obyek. Energi tiap orang berbeda-beda sehingga
perhatian seseorang terhadap obyek juga berbeda dan hal ini akan
mempengaruhi persepsi terhadap suatu obyek.
3. Minat. Persepsi terhadap suatu obyek bervariasi tergantung pada seberapa
banyak energi atau perceptual vigilance yang digerakkan untuk mempersepsi.
Perceptual vigilance merupakan kecenderungan seseorang untuk
memperhatikan tipe tertentu dari stimulus atau dapat dikatakan sebagai minat.
4. Kebutuhan yang searah. Faktor ini dapat dilihat dari bagaimana kuatnya
seseorang individu mencari obyek-obyek atau pesan yang dapat memberikan
jawaban sesuai dengan dirinya.
5. Pengalaman dan ingatan. Pengalaman dapat dikatakan tergantung pada
ingatan dalam arti sejauh mana seseorang dapat mengingat kejadian-kejadian
lampau untuk mengetahui suatu rangsang dalam pengertian luas.
6. Suasana hati. Keadaan emosi mempengaruhi perilaku seseorang, mood ini
menunjukkan bagaimana perasaan seseorang pada waktu yang dapat
mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menerima, bereaksi dan
mengingat.
2.3. Definisi Audit
Jasa audit mencakup pemerolehan dan penilaian bukti yang mendasari
laporan keuangan historis suatu entitas yang berisi asesrsi yang dibuat oleh
manajemen entitas tersebut. Akuntan publik yang memberikan jasa auditing
disebut dengan istilah auditor. Atas dasar audit yang dilakukan terhadap laporan
keuangan pihak akuntan publik mengeluarkan pendapat akuntan. Pendapat ini
menilai apakah laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang
material, posisi keuangan dan hasil usaha entitas sesuai dengan prinsip akuntansi
yang diterima umum.
Pengertian audit menurut Sukrisno Agoes (2004) yaitu suatu pemeriksaan
yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap
laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan
pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat
memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Menurut Arens dan Loebbecke (2003) audit adalah suatu proses
pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat
diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang yang
berkompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan
kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan
kompeten.
Menurut Messier (2006) adalah suatu prosessi stematis mendapatkan dan
mengevaluasi bukti-bukti secara objektifsehubungan dengan asersi atas tindakan
dan peristiwa ekonomi untukmemastikan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi
tersebut dan menetapkan kriteria serta mengkomunikasikan hasilnya kepada
pihak-pihakyang berkepentingan.
2.4. Konsepsi Auditing
Dalam setiap pelaksanaan audit, seorang auditor harus memperhatikan dan
menerapkan konsep-konsep utama dalam pekerjaan auditing. Ada beberapa ahli
yang mengemukakan beberapa konsep-konsep tersebut yaitu :
1. Menurut Messier, Glover, dan Prawwit (2006) beberapa konsep dari auditing
yaitu :
a. Proses Yang Sistematis (Systematic Proccess)
Proses yang sistematis menyatakan secara tidak langsung bahwa seharusnya
ada pendekatan terencana untuk melakukan audit, dimana auditing
merupakan rangkaian proses dan prosedur yang bersifat logis, terstruktur, dan
terorganisir.
b. Menghimpun dan Mengevaluasi Bukti Secara Objektif (Objectively,
Obtaining and Evaluating Evidence)
Auditor harus mencari dan mengevaluasi secara objektif, relevansi dan
validitas dari bukti-bukti yang telah dikumpulkan. Objektif berarti
mengungkapkan fakta apa adanya dan sebenar-benarnya, tidak bias, atau
tidak memihak dan tidak berprasangka buruk terhadap individu atau entitas
yang membuat representasi tersebut. Proses pengumpulan dan pengevaluasian
bukti-bukti merupakan aktivitas audit yang paling banyak dilakukan auditor,
walaupun tipe-tipe, kuantitas dan tingkat kepercayaan bukti bervariasi dalam
pelaksaan audit.
c. Asersi Tentang Berbagai Tindakan dan Kejadian Ekonomi (Assertation About
Economic Actions and Events)
Bukti-bukti yang dikumpulkan auditor harus berhubungan dengan pernyataan
tentang tindakan dan kejadian ekonomi. Auditor membandingkan bukti-bukti
yang telah dikumpulkan dengan pernyataan kegiatan ekonomi untuk menilai
derajat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan criteria yang telah
ditetapkan.
d. Menyampaikan Hasilnya Kepada Para Pemakai Yang Berkepentingan
(Communicating the Results to Interested Users)
Menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan
menekankan pada tipe pelaporan yang akan disediakan auditor kepada para
calon pemakai. Tipe-tipe komunikasi bervariasi tergantung pada tipe dan
tujuan audit. Untuk tipe-tipe audit, isi dan bentuk pelaporan bervariasi
tergantung pada keadaannya.
2. Menurut Arens, Elder, Beasley (2010) konsep penting dalam auditing adalah
sebagai berikut :
a. Informasi dan Kriteria Yang Ditetapkan (Information and Established
criteria)
Pelaksanaan audit didalamnya terkandung informasi-informasi yang berupa
bukti-bukti dan beberapa standar, dimana melalui kedua hal tersebut auditor
dapat mengevaluasi informasi. Auditor secara rutin melakukan audit akan
informasi, tidak hanya kuantitatif tapi juga kualitatif, termasuk laporan
keuangan perusahaan dan laporan pajak penghasilan individu. Auditor juga
melakuakan audit akan informasi subjektif, seperti efektifitas system
computer dan efisiensi operasional poroduksi. Kriteria untuk mengevaluasi
informasi tersebut bervariasi tergantung pada informasi yang akan diaudit.
b. Mengumpulkan dan Mengevaluasi Bukti (Accumulating and Evaluating
Evidence)
Bukti-bukti adalah informasi yang digunakan oleh auditor untuk menentukan
apakah informasi yang sedang diaudit sesuai dengan criteria yang telah
ditetapkan. Bukti-bukti dapat berupa pernyataan lisan para auditan,
komunikasi tertulis dari pihak luar, dan hasil pengamatan yang dilakukan
auditor.
c. Orang Yang Kompeten dan Tidak Memihak (Competent, Independent
Person)
Auditor harus memiliki kualifikasi dalkam mamahami criteria yang
digunakan dan harus kompeten dalam mengetahui tipe-tipe dan jumlah bukti-
bukti yang harus dikumpulkan, untuk menghasilkan kesimpulan yang tepat
setelah bukti-bukti tersebut diperiksa. Auditor juga harus memiliki sikap
mental independen. Jika pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti
dilakukan secara berat sebelah, maka pelaksanaan audit dikatakan tidak
memadai.
d. Pelaporan (Reporting)
Tahap Terakhir dalam proses auditing adalah penyiapan laporan audit, yang
merupakan komunikasi antara temuan auditor kepada pemakai yang
berkepentingan.
2.5. Jenis Audit
2.5.1. Audit Umum Keuangan
Kayo (2012:43) Audit umum keuangan adalah suatu review independen
yang terutama ditujukan untuk menilai kewajaran laporan keuangan secara
keseluruhan yang telah disajikan oleh manajemen. Audit ini lazimnya dilakukan
oleh pemeriksa yang berasal dari luar organisasi yang bersangkutan dan
dilaksanakan tidak terperinci. Audit ini harus dilakukan sesuai dengan SPAP dan
auditor memberikan pendapatnya atas laporan keuangan yang telah diaudit
tersebut.
Pembuatan opini terhadap laporan keuangan didasarkan pada kriteria :
a. Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan
b. Kecukupan pengungkapan
c. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan
d. Efektivitas sistem pengendalian intern.
Sukrisno Agus (2012) menyatakan audit laporan keuangan bertujuan untuk
menentukan apakah laporan keuangan secara keseluruhan yang merupakan
informasi terukur yang akan diverifikasi telah disajikan sesuai dengan kriteri
tertentu. Umumnya kriteria itu adalah prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Prisnip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia dimuat dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Pada tanggal 7 September 1994 Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) telah mngesahkan berlakunya kerangka dasar
penyusunan dan pelaporan keuangan dan PSAK.
2.5.2. Audit Operasional
Kayo (2012:44) menyatakan, audit operasional atau pemeriksaan
pengeloaan adalah suatu pemeriksaan yang independen, sistematis, selektif, dan
analitis untuk menilai bagaimana cara pengelolaan atau operasi suatu organisasi
diatur dan dilaksanakan dengan tujuan untuk membantu semua peringkat
manajemen dalam pelaksanaan tugas yang lebih baik dengan memberikan
informasi kelemahan yang dijumpai berikut usul-usul rekomendasi perbaikannya.
Agar audit manajemen/operasional dapat dicapai, maka audit tersebut
harus bersifat independen. Independensi yang diperlukan oleh auditor dalam audit
ini yaitu :
a. Bebas dari pengaruh pribadi atas pertanggungjawaban atas kegiatan unit yang
diauditnya.
b. Dapat mengembangkan program audit tanpa pengaruh yang tidak sepantasnya.
c. Dapat mengakses sepenuhnya bukti-bukti dan para karyawan pelaksana yang
diperlukan dalam kegiatan audit.
d. Data memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif.
e. Dapat memasukkan ke dalam laporan audit semua masalah yang dianggap
perlu.
Sukrisno Agoes (2012) menyatakan audit operasional merupakan
penelaahan atas bagian manapun dari prosedur dan metode operasi suatu
organisasi untuk menilai efisiensi dan efektifitasnya. Umumnya pada saat
selesainya audit operasional auditor akan memberikan sejumlah saran kepada
manajemen untuk memperbaiki jalannya operasi perusahaan. Pelaksanaan audit
operasional dan hasil yang dilaporkan lebih sulit untuk didefinisikan
dibandingkan dengan jenis audit lainnya. Efisiensi dan efektifitas operasi suatu
perusahaan jauh lebih sulit pengevaluasiannya secara objektif dibandingkan
dengan penerapan dan penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip
akuntansi yang diterima umum. Kriteria yang digunakan untuk evaluasi terukur
dalam audit operasional cenderung subjektif. Pada prakteknya, auditor operasional
cenderung memberikan saran perbaikan prestasi kerja dibandingkan melaporkan
keberhasilan prestasi kerja yang sekarang. Dalam hal ini, audit operasional lebih
merupakan konsultasi manajemen daripada audit.
2.5.3. Audit Ketaatan
Kayo (2012:44) audit ketaatan/kepatuhan berhubungan dengan kesesuaian
kegiatan yang telah dilaksanakan dengan kebijakan, peraturan, atau undang-
ungdang yang telah ditentukan sebelumnya. Audit dengan tujuan tertentu
bertujuan untuk memberikan kesimpulan atas sesuatu hal yang diperiksa. Audit
ini bisa bersifat eksiminasi, review, atau prosedur yang telah disepakati lebih
dahulu. Ruang lingkup audit ini yaitu meliputi pemeriksaan atas hal-hal di bidang
keuangan, pemeriksaan investigatif dan pemeriksaan atas sistem pengendalian
intern.
Sukrisno Agus (2012) menyatakan audit ketaatan bertujuan untuk
mempertimbangkan apakah klien telah mengikuti prosedur atau aturan yang telah
ditetapkan pihak yang memberikan otoritas lebih tinggi.
2.5.4. Audit Forensik
Awalnya di Amerika Serikat Audit forensik digunakan untuk menentukan
pembagian warisan atau mengungkap motif pembunuhan. Istilah audit forensik
tersebut bermula dari penerapan akuntansi untuk menyelesaikan atau
memecahkan masalah hukum. Di amerika profesi yang bergerak dibidang audit
forensik disebut aduitor forensik atau pemeriksa fraud bersertifikasi (Certified
Fraud Examiners/CFE) yang bergabung dalam Association of Certified Fraud
Examiners (ACFE).
Bologna (1989) dalam Kayo (2012:44), kata forensik berarti
menghubungkan atau dipergunakan dalam proses hukum, oleh sebab itu audit
forensik berarti aplikasi disiplin akuntansi dan audit pada masalah-masalah dalam
legalisasi, yang berkaitan dengan tindakan hukum.
Nunik Lestari (2005) mendefinisikan audit forensik adalah penerapan
disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum untuk
penyelesaian hukum di dalam atau diluar pengadilan, disektor publik maupun
privat. Audit forensik juga dapat diartikan sebagai audit yang akurat untuk tujuan
hukum atau audit yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses
pengadilan atau dalam proses peninjauan yudisial atau tinjauan administratif.
Audit forensik merupakan gabungan dari keahlian di bidang akuntansi, audit, dan
hukum. Hasil dari audit forensik dapat digunakan dalam proses pengadilan atau
bentuk hukum lainnya.
Akuntansi forensik menekankan pada tiga area utama yaitu:
1. Litigasi, dapat diartikan bahwa seorang akuntan forensik bertugas
memberikan pendapat hukum dalam pengadilan. Pendapat seorang akuntan
forensik ini sangat dibutuhkan oleh pengadilan dalam mengambil keputusan
untuk memvonis seseorang itu memang benar-benar melakukan kecurangan
atau tidak (Tuanakotta, 2010).
2. Investigasi, Investigasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai upaya
pembuktian, umumnya pembuktian berakhir di pengadilan dan ketentuan
hukum acara yang berlaku di Indonesia yaitu Kitab Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dengan langkah-langkah sebagai berikut: Analisis data yang
tersedia, ciptakan/kembangkan hipotesis berdasar analisis, uji hipotesis dan
terakhir perhalus atau ubah hipotesis berdasar pengujian (Tuanakotta, 2010).
Di dalam audit investigasi, teknik audit bersifat eksploratif, mencari ”wilayah
garapan” atau probing yang terdiri dari:
a. Memeriksa fisik (phisical examination) yaitu penghitungan uang tunai, kertas
berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya,
b. Meminta Konfirmasi (confirmation) dalam investigasi konfirmasi harus
dikolaborasidengansumberlain(substained),
c. Memeriksa dokumen (documentation) termasuk didalamnya dokumen digital,
d. Reviw analitikal (analytical review) tekhnik ini mengharuskan dasar atas
perbandingan yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi dan
berusahamenjawab terjadinyakesenjangan,
e. Meminta Informasi lisan atau tertulis dari yang diperiksa (inquiries of the
auditee) hal tersebut penting untuk pendukung permasalahan,
f. Menghitung Kembali (reperformance) tehknik ini dilakukan dengan mencek
kebenaran perhitungan (kali, bagi, tambah, kurang dan lain-lain) untuk
menjamin kebenaran angka,
g. Mengamati (observation) pengamatan ini lebih menggunakan intuisi auditor
apakah terdapat hal-hal lain yang disembunyikan.
3. Penyelesaian Sengketa, Sengketa biasa terjadi karena satu pihak merasa
haknya dikurangi atau dirampas oleh pihak lain.
Hak yang dikurangi atau dihilangkan itu dapat berupa (Tuanakotta,2010) :
a. Uang atau asset lain
b. Reputasi
c. Peluang bisnis
d. Gaya hidup
e. Hak-hak lain yang berhubungan dengan kegiatan bisnis.
Pemicu sengketa yaitu perbedaan penafsiran mengenai sesuatu yang sudah
diatur dalam perjanjian atau mengenai sesuatu yang memang belum diatur. Dalam
sengketa setiap pihak merasa pihak merekalah yang paling benar.
Faktor-faktor yang menentukan berhasil atau gagalnya penyelesaian sengketa ini
adalah sebagai berikut (Tuanakotta, 2010) :
a. Berapa besar konsekuensi keuangan pihak yang bersengketa
b. Seberapa jauh pertikaian pribadi
c. Apakah penyelesaian sengketa ini akan berdampak dalam penyelesaian kasus
serupa.
d. Seberapa besar dampak dari publisitas negative yang ditimbulkan
e. Seberapa besar beban emosional yang harus ditanggung
Sengketa antara dua pihak bisa diselesaikan dengan cara yang berbeda
apabila menyangkut dua pihak lain. Dua pihak yang bersengketa bisa
menyelesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa dua pihak
lainnya menyelesaikan melalui litigasi.
Secara umum, proses audit forensik terdiri dari empat tahapan menerima
permintaan audit, merencanakan investigasi, mengumpulkan bukti, dan diakhiri
dengan membuat laporan audit forensik. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa
audit forensik dilaksanakan atas dasar permintaan penyidik. Teknik yang
digunakan dalam audit forensik berbeda dengan audit pada umumnya yang
tersusun rapi dengan berbagai prosedur.
2.5.4.1 Gambaran Proses Audit Forensik
Berikut ini adalah gambaran proses audit forensik (Tuanakotta, 2010):
1. Identifikasi masalah
Dalam tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus yang
hendak diungkap. Pemahaman awal ini berguna untuk mempertajam analisa
dan spesifikasi ruang lingkup sehingga audit bisa dilakukan secara tepat
sasaran.
2. Pembicaraan dengan klien
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien terkait
lingkup, kriteria, metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan sebagainya.
Hal ini dilakukan untuk membangun kesepahaman antara auditor dan klien
terhadap penugasan audit.
3. Pemeriksaan pendahuluan
Dalam tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan
menganalisanya. Hasil pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan
menggunakan matriks 5W + 2H (who, what, where, when, why, how, and
how much). Investigasi dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal 4W + 1H
(who, what, where, when, and how much). Intinya, dalam proses ini auditor
akan menentukan apakah investigasi lebih lanjut diperlukan atau tidak.
4. Pengembangan rencana pemeriksaan
Dalam tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang dihadapi,
tujuan audit, prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap individu dalam
tim. Setelah diadministrasikan, maka akan dihasilkan konsep temuan. Konsep
temuan ini kemudian akan dikomunikasikan bersama tim audit serta klien.
5. Pemeriksaan lanjutan
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta melakukan
analisa atasnya. Dalam tahap ini lah audit sebenarnya dijalankan. Auditor
akan menjalankan teknik-teknik auditnya guna mengidentifikasi secara
meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud tersebut.
6. Penyusunan Laporan
Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit
forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan.
Poin-poin tersebut antara lain adalah:
1. Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.
2. Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan.
Oleh karena itu, jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut
disebut sebagai temuan.
3. Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya
mencakup sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud
tersebut.
2.5.4.2 Pendekatan Audit Forensik
Audit forensik dilakukan dengan pendekatan investigasi terhadap suatu
kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan suatu organisasi atau
perusahaan Kayo (2012). Dalam hal ini auditor mengumpulkan dan mengevaluasi
bukti-bukti akuntansi yang kompeten, relevan, dan cukup serta menggali modus
operandi penyimpangan dengan teknik wawancara kepada pihak-pihak terkait
sehingga ditemukannya penyimpangan yang berindikasi tindak pidana, sebab-
sebab hakiki penyimpangan, pihak-pihak yang harus bertanggung jawab serta
jumlah kerugian keuangan yang dialami oleh organisasi atau perusahaan yang
ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang berindikasi tindak pidana.
2.5.4.3 Aksioma Investigasi
Untuk seorang auditor forensik harus memahami tiga aksioma dalam
investigasi yaitu (Tuanakotta, 2010):
1. Sifat fraud yang selalu tersembunyi, tidak ada investigasi yang 100% dapat
mengungkapkan fakta yang sebenar-benarnya. Selain itu, umumnya
kecurangan tidak pernah berulang dalam arti tidak ada dua kecurangan yang
sama persis. Karena itu dibutuhkan kreativitas dan intuisi dalam
mengungkapkan penyimpangan yang dimaksud.
2. Pembuktian fraud secara timbal balik, tidak ada keyakinan absolut yang dapat
diberikan bahwa kecurangan tidak terjadi, auditor harus juga berupaya
membuktikan kecurangan telah terjadi. Demikian juga untuk mendapatkan
bukti bahwa kecurangan telah terjadi, auditor harus juga berupaya
membuktikan kecurangan tidak terjadi.
3. Hanya pengadilan yang menetapkan bahwa fraud memang terjadi, auditor
forensik hanya berupaya membuktikan terjadinya kecurangan, namun hanya
pengadilan yang mempunyai wewenang untuk menetapkan bahwa telah
terjadi perbuatan tindak pidana atau tidak dan apakaht erdakwa yang
melakukan tindak pidana atau tidak serta menetapkan besarnya kerugian
keuangan suatu organisasi atau perusahaan sebagai dampak dari tindak pidana
tersebut.
2.6. Jenis-Jenis Akuntan
2.6.1. Akuntan Publik Terdaftar
Nunik Lestari (2013:9) Kantor Akuntan sebagai auditor independen
bertanggungjawab atas audit laporan keuangan historis dari seluruh perusahaan
publik dan perusahaan besar lainnya. Di Indonesia penggunaan gelar akuntan
terdaftar diatur oleh Undang-Undang No. 34 tahun 1954. Persyaratan untuk
menjadi akuntan publik terdaftar diatur oleh Menteri Keuangan terakhir dengan
keputusan No. 763 tahun 1986.
2.6.2. Auditor Pajak
Nunik Lestari (2013) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada di
bawah Departemen Keuangan RI bertanggung jawab atas penerimaan negara di
sektor perpajakan dan penegakan hukum dalam pelaksanaan ketentuan
perpajakan. Aparat pelaksana DJP dilapangan adalah kantor pelayanan pajak dan
kantor pemeriksaan dan penyidikan pajak. Didalam kantor pemeriksaan dan
penyidikan pajak tersebut terdapatlah auditor-auditor khusus yaitu auditor pajak.
2.6.3. Auditor Intern
Nunik Lestari (2013) Auditor intern bekerja di suatu perusahaan untuk
melakukan audit bagi kepentingan manajemen perusahaan, seperti halnya auditor
pemerintah bagi kepentingan pemerintah. Tugas auditor intern bermacam-macam
tergantung atasannya. Untuk menjalankan tugasnya dengan baik maka auditor
intern harus berada diluar fungsi lini suatu organisasi, tetapi tidak terlepas dari
hubungan antara bawahan dan atasan lainnya. Auditor intern wajib memberikan
informasi berharga bagi manajemen untuk mengambil suatu keputusan yang
berkaitan dengan operasi perusahaan.
2.6.4. Akuntan Forensik
Nunik Lestari (2005) menyatakan bahwa akuntan forensik digunakan di
sektor publik maupun sektor privat, akan tetapi penggunaan akuntan forensik di
sektor publik lebih menonjol dibandingkan di sektor privat. Hal ini disebabkan
karena penyelesaian sengketa di sektor privat cenderung diselesaikan diluar
pengadilan. Akuntan forensik memiliki ciri-ciri yang sama dengan akuntan dan
auditor, yaitu harus tunduk pada kode etik profesinya.
Hopwood, Leiner, & Young (2008) dalam makalah ilmiah Sukesih (2012),
menyatakan bahwa Akuntan Forensik adalah Akuntan yang menjalankan kegiatan
evaluasi dan penyelidikan, dari hasil tersebut dapat digunakan di dalam
pengadilan hukum. Meskipun demikian Akuntan forensik juga mempraktekkan
keahlian khusus dalam bidang akuntansi, auditing, keuangan, metode-metode
kuantitatif, bidang-bidang tertentu dalam hukum, penelitian, dan keterampilan
investigatif dalam mengumpulkan bukti, menganalisis, dan mengevaluasi materi
bukti dan menginterpretasi serta mengkomunikasikan hasil dari temuan tersebut.
Akuntan forensik dituntut untuk memberikan bukti ahli dalam
persidangan. Bukti ahli ini nantinya akan berguna untuk pengambilan keputusan
dalam pengadilan. Akuntan forensik menginvestigasi segala sesuatu dari korupsi,
kecurangan pajak hingga pelanggaran hak cipta hingga fakta pengecekan untuk
kasus perceraian.
Untuk menjadi seorang akuntan forensik yang berkompeten LAFI
mengadakan dua program pendidikan akuntan forensik yakni Bersertifikat
Akuntan Forensik (BAF) yang ditempuh dalam waktu 2-24 minggu dan Diploma
Akuntan Forensik (DAF) yang dapat ditempuh dalam waktu 1-3 tahun masa
belajar. Dua program ini memiliki dua metode pembelajaran yaitu:
1. Belajar jarak jauh, proses pembelajaran ini menggunakan internet online
maupun offline. Materi-materi yang hendak dipelajari dikirimkan ke email
para peserta belajar.
2. Belajar dikelas yang digelar di berbagai kota besar di Indonesia setelah
peserta memenuhi syarat yang telah ditentukan.
2.6.4.1 Kualitas Yang Harus Dimiliki Akuntan Forensik
Nunik Lestari dalam karya ilmiahnya (2010) menyatakan ada beberapa
kualitas yang harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik yaitu sebagai berikut :
1. Kreatif : Kemempuan untuk melihat sesuatu yang orang lain mnganggap
situasi bisnis normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa
itu tidak perlu merupakan situasi bisnis normal.
2. Rasa Ingin Tahu : Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya
terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi.
3. Tidak Menyerah : Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun
fakta seolah-olah tidak mendukung, dan ketika daokumen atau informasi
sulit untuk didapat.
4. Akal Sehat : Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata.
Ada yang menyebutnya perspektif anak jalanan yang mengerti betul
kerasnya kehidupan.
5. Bussines Sense : Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis
sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi
dicatat.
6. Percaya Diri : Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita
sehingga kita dapat bertahan di bawah Cross Examination (pertanyaan
silang dari jaksa penuntut umum dan pembela).
2.6.4.2 Kompetensi Akuntan Forensik
Tujuan audit forensik untuk mengumpulkan bukti yang orientasinya
membantu pihak aparat penegak hukum, dengan cara mendekatkan bukti
akuntansi menjadi bukti yang dapat digunakan di pengadilan melalui penerapan
disiplin akuntansi dan auditing dalam wilayah disiplin hukum. Untuk dapat
mencapai maksud tersebut dibutuhkan seorang auditor yang memiliki kompetensi
yang unik, artinya disamping dia memiliki pengetahuan dasar di bidang akuntansi
dan auditing, administrasi pemerintahan, komuniasi memiliki keahlian tentang
standar audit, kebijakan, prosedur dan praktik-praktik audit, auditor forensik juga
harus memiliki keahlian yang memadai tentang lingkungan pemerintahan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.
Kayo (2012) menyatakan kompetensi akuntan forensik memiliki tiga dimensi
yaitu :
1. Pengetahuan Dasar
Seorang akuntan forensik harus memiliki pengetahuan dasar yang
memadai antara lain terkait dengan ilmu akuntansi, auditing, sistem administrasi
pemerintahan, komunikasi dan pemahaman tentang kecurangan yang terjadi
dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan memiliki pengetahuan dasar
tersebut, seorang akuntan forensik akan lebih percaya diri dan memudahkan
dalam memahami kasus yang sedang dihadapi terutama yang terkait dengan
rekayasa bukti-bukti dalam transaksi keuangan.
2. Kemampuan Teknis
Kemampuan teknis dalam pelaksanaan tugas audit akuntan forensik sangat
diperlukan. Akuntan forensik harus memiliki kemampuan untuk merencanakan
dan melaksanakan pekerjaannya dengan menggunakan keahlian profesionalnya
dengan cermat dan seksama dan secara hati-hati dalam setiap penugasan. Akuntan
forensik memiliki kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan
keterampilan teknis yang dituntut oleh profesi untuk melakukan dengan cermat
dan seksama, dengan maksud baik dan integritas, pengumpulan dan penilaian
bukti secara objektif.
Kayo (2012:28) menyatakan sesuai dengan hasil studi literatur dan praktik
audit yang umumnya dilakukan, konsep standar kompetensi audit forensik
mencakup semua aspek kemampuan menyelenggarakan tugas untuk membangun
wawasan yang tidak terbatas pada kemampuan secara sempit. Berdasarkan kajian
tersebut terdapat empat komponen kompetensi utama yang perlu dikembangkan
oleh profesi akuntan forensik yaitu :
a) Kemampuan mencegah dan mendeteksi fraud
b) Kemampuan melaksanakan audit forensik
c) Kemampuan memberikan pernyataan secara keahlian
d) Kemampuan melaksanakan penghitungan kerugian keuangan dan
penelusuran aset.
3. Sikap Mental
Sikap mental moral merupakan kondisi mental seseorang menjadi
pedoman perilakunya dalam pergaulan. Integritas moral diterapkan dalam
kehidupan sebagai sikap dan perilaku yang memancarkan nilai-nilai seperti
memiliki sifat jujur, egaliter, menghormati sesama, rela berkorban, mendahulukan
kepentingan umum dari kepentingan pribadi atau golongan dan senantiasa
membela kebenaran.
Sikap mental yang dimiliki oleh akuntan forensik sangat berguna dalam
pelaksanaan tugas audit forensik. Sikap mental memberikan pengaruh dalam
kelancaran dan kualitas audit forensik itu sendiri. Dalam setiap pelaksanaan audit
forensik auditor harus selalu menggunakan investigatif mentality dalam
pengumpulan bukti-bukti, menemukan bukti yang material, relevan, cukup dan
kompeten.
Kayo (2012:32) Menyatakan, Seorang akuntan forensik harus memiliki
sikap mental yang baik, akuntan forensik harus mampu bersikap independen,
objektif dan jujur dalam semua tindakannya harus dilakukan secara profesional
untuk mencari kebenaran. Independen dan kejujuran sangat diperlukan karena
bagaimanapun baiknya kinerja seorang auditor tetapi apabila hal itu dilakukan
dengan tidak independen dan jauh dari kejujuran maka hasil kerjanya tidak akan
memiliki makna yang berarti untuk mencapai keadilan.
2.6.4.3 Keahlian Akuntan Forensik
James (2008) dalam Sukesih (2012) sebagai dasar penelitian dengan
menggunakan 9 (sembilan) item kompentensi keahlian akuntansi forensik yang
sangat dibutuhkan yaitu :
1. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah analisis deduktif:
kemampuan untuk menganalisis kejanggalan yang terjadi dalam laporan
keuangan, yakni kejadian yang tidak sesuai dengan kondisi yang wajar.
2. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah pemikiran yang
kritis: kemampuan untuk membedakan antara opini dan fakta.
3. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah pemecahan
masalah yang tidak terstruktur: kemampuan untuk melakukan pendekatan
terhadap masing-masing situasi (khususnya situasi yang tidak wajar) melalui
pendekatan yang tidak terstruktur.
4. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah fleksibilitas
penyidikan: kemampuan untuk melakukan audit di luar ketentuan/prosedur
yang berlaku.
5. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah keahlian
analitik: kemampuan untuk memeriksa apa yang seharusnya ada (yang
seharusnya tersedia) bukan apa yang telah ada (yang telah tersedia).
6. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah komunikasi
lisan: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif secara lisan melalui
kesaksian ahli dan penjelasan umum tentang dasar-dasar opini.
7. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah komunikasi
tertulis: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan tulisan
melalui laporan, bagan, gambar, dan jadwal tentang dasar-dasar opini.
8. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah pengetahuan
tentang hukum: kemampuan untuk memahami proses-proses hokum dasar
dan isu-isu hukum termasuk ketentuan bukti (rules of evidence).
9. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah composure:
kemampuan untuk menjaga sikap untuk tetap tenang meskipun dalam situasi
tertekan.
2.6.4.4 Tugas Akuntan Forensik
Seorang akuntan forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam
pengadilan (litigation). Disamping tugas akuntan forensik untuk memberikan
pendapat hukum dalam pengadilan (litigation) ada juga peran akuntan forensik
dalam bidang hukum diluar pengadilan (non litigation) misalnya dalam membantu
merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengketa, perumusan
perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan / pelanggaran
kontrak (Kayo, 2012).
2.7. Fraud/Kecurangan
2.7.1. Definisi Fraud
International Standards on Auditing (ISA) seksi 240 menyatakan Fraud
adalah sebagai tindakan yang disengaja oleh anggota manajemen perusahaan,
pihak yang berperan dalam govermance perusahaan, karyawan atau pihak ketiga
yang melakukan pembohongan atau penipuan utnuk memperoleh keuntungan
yang tidak adil atau ilegal. Fraud juga didefinisikan sebagai kecurangan dalam
kaitannya dengan pelaporan keuangan. Seorang auditor berkepentingan untuk
menguji apakah satu tindakan yang mengandung fraud mengakibatkan salah saji
dalam pelaporan keuangan.
Kecurangan terjadi dalam laporan keuangan pada umumnya disebabkan
oleh lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Pengaruh lingkungan internal
umumnya terkait dengan lemahnya pengendalian internal, lemahnya perilaku etika
manajemen atau faktor likuiditas serta profitabilitas entitas yang bersangkutan.
Sedangkan pengaruh lingkungan eksternal umumnya terkait dengan kondisi
entitas secara umum, lingkungan bisnis secara umum, maupun pertimbangan
hukum dan perundang-undangan.
2.7.2. Jenis-Jenis Fraud
2.7.2.1 Fraud Red Flags
Havesi (2004) dalam Amirudin dan Sri Sundari (2006) Red flags
merupakan suatu kondisi yang janggal atau berbeda dengan keadaan normal.
Dengan kata lain, red flags adalah petunjuk atau indikator akan adanya sesuatu
yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut. Red flags tidak mutlak
menunjukkan apakah seseorang bersalah atau tidak, tetapi red flags ini merupakan
tanda-tanda peringatan bahwa fraud mungkin terjadi.
2.7.2.2 Fraud Laporan Keuangan
Amirudin dalam karya ilmiahnya (2006) menyatakan tujuan jangka pendek
suatu perusahaan adalah memaksimalkan laba, yaitu dengan cara meningkatkan
pendapatan atau menekan biaya/kewajiban. Atas dasar inilah perusahaan ingin
terlihat mempunyai kinerja yang baik. Kecurigaan fraud atas laporan keuangan
dapat dibangun dari dasar tersebut. Dengan kata lain, motif untuk melakukan
fraud berasal dari internal perusahaan.
Secara garis besar, terdapat tiga faktor resiko fraud yang berkaitan dengan
fraud dalam laporan keuangan, yaitu sebagai berikut :
1. Karakteristik manajemen yang berkaitan dengan kemampuan manajemen,
tekanan, sikap dan perilaku terhadap pengendalian intern dan proses
pelaporan keuangan.
2. Karakteristik industri yang berkaitan dengan kondisi ekonomi dan peraturan
yang berlaku.
3. Karakteristik operasional dan stabilitas keuangan yang meliputi sifat dan
kerumitan dari transaksi perusahaan serta kondisi keuangan perusahaan
Jika dikaitkan dengan pelakunya, fraud dalam pelaporan keuangan pada
umumnya dilakukan oleh manajemen, dan kondisi yang memungkinkan adanya
fraud yang harus diwaspadai yaitu :
1. Manajemen enggan menyediakan data untuk auditor eksternal.
2. Sering terjadi penggantian auditor eksternal.
3. Pengendalian intern perusahaan kurang memadai.
4. Terdapat banyak transaksi pada akhir tahun.
5. Terdapat dokumen yang hilang dan tidak dapat ditemukan.
6. Sering melakukan pergantian rekening bank.
7. Hutang yang diperpanjang terus menerus.
8. Tingkat perputaran karyawan tinggi.
9. Penjualan aktiva perusahaan dibawah harga pasar.
10. Adanya transaksi yang tidak masuk akal.
Menurut Ferdian & Na’im dalam karya ilmiahnya (2006), kecurangan
dalam laporan keuangan dapat meyangkut tindakan yang disajikan berikut ini :
1. Manipulasi, pemalsuan atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen
pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.
2. Representasi yang dalam atau penghilangan dari laporan keuangan,
peristiwa, transaksi atau informasi lain yang signifikan.
3. Salah penerapan secara sengaja atas prinsip akuntansi yang berkaitan
dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapannya.
Fraud dalam pelaporan keuangan biasanya juga berbentuk salah saji atau
kelalaian yang disengaja baik dalam jumlah maupun pengungkapan pos-pos
dalam pelaporan keuangan untuk menyesatkan pemakai informasi laporan
keuangan tersebut. Fraud laporan keuangan dapat dibedakan berdasarkan
sifatnya, yaitu sifat iklusif dan ekslusif. Fraud dianggap inklusif apabila laporan
keuangan mengandung transaksi atau nilai yang tidak benar. Fraud dianggap
eksklusif cenderung menghilangkan transaksi yang seharusnya dimasukkan dalam
laporan keuangan.
Faktor yang membedakan antara fraud dan kekeliruan adalah baik faktor
kesengajaan maupun ketidaksengajaan yang berakibat keterjadian salah saji di
dalam laporan keuangan. Ada dua tipe salah saji yang relevan dengan
pertimbangan auditor independen tentang fraud dalam audit atas laporan
keuangan, sebagai berikut :
1. Salah saji yang timbul dari fraud di dalam laporan keuangan, yaitu salah saji
atau penghilangan dengan sengaja jumlah satuan moneter atau
pengungkapan di dalam laporan keuangan untuk mengelabui pengguna
laporan keuangan.
2. Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva
(penyalahgunaan/penggelapan) berkaitan dengan pencurian aktiva entitas
yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prisnsip
akuntansi umum yang berlaku di Indonesia.
2.7.2.3 Fraud Terhadap Aset
Tan Kwang En (2010) Fraud terhadap aset dapat diartikan sebagai
penyalahgunaan aset perusahaan entah itu dicuri atau digunakan oleh orang yang
telah diberi wewenang untuk mengelola aset tersebut untuk keperluan pribadi
tanpa izin dari perusahaan. Fraud terhadap aset dapat dikelompokkan menjadi dua
yaitu :
1. Cash Misappropriation yaitu penyelewangan terhadap aset yang berupa kas
misalnya penggelapan kas, menggelapkan cek, menahan pembayaran
cek untuk vendor.
2. Non-Cash Misappropriation yaitu penyelewengan terhadap aset yang bukan
berupa kas misalnya menggunakan fasilitas perusahaan.
2.7.2.4 Korupsi
Tan Kwang En (2010) Korupsi dapat diartikan sebagai aktivitas seseorang
yang melakukan tipu daya untuk memanipulasi anggaran keuangan yang ada, dan
uang dari hasil tipu daya ini akan digunakan untuk kepentingan pribadinya sendiri
ataupun kelompoknya. Korupsi ini sendiri terbagi menjadi berbagai macam
diantaranya sebagai berikut :
1. Penyuapan, yaitu yang meliputi sumbangan, pemberian, penerimaan,
persembahan sesuatu yang bernilai dengan maksud untuk mempengaruhi
suatu tindakan/official act. Istilah official act mencakup penyuapan yang
dilakukan dengan maksud mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh
pegawai atau instansi pemerintah.
2. Konflik Kepentingan (Conflict of Interest), yang terjadi manakala seorang
pegawai, manajer, atau seorang eksekutif memiliki kepentingan ekonomi
atau kepentingan pribadi yang tersembunyi dalam suatu transaksi yang
bertentangan dengan perusahaan.
3. Economic Extortion, yang merupakan kebalikan dari penyuapan (bribery).
Dalam economic extortion, bukannya penjual yang menawarkan sesuatu
yang bernilai untuk mempengaruhi keputusan, melainkan
pegawai/karyawan perusahaan yang meminta pembayaran dari
penjual/vendor untuk suatu keputusan yang akan menguntungkan penjual
tersebut.
4. Illegal Gratuities, yang seperti halnya penyuapan, tetapi tidak dimaksudkan
untuk mempengaruhi keputusan yang akan dibuat, tetapi suatu imbalan yang
diberikan karena telah dibuatnya keputusan yang menguntungkan.
2.7.3. Cara Mendeteksi Fraud
Pendeteksian atau cara mengetahui adanya kecurangan (fraud) menjadi hal
yang paling penting untuk menjaga keberlangsungan suatu entitas. Dengan adanya
usaha pendeteksian ini maka diharapkan gejala kekurangan yang mungkin terjadi
dapat didiagnosa yang kemudian dilakukan tindakan yang menuju pada
pembenaran secara akuntansi.
ACFE (2004) menguraikan garis besar cara mendeteksi kecurangan
sebagai berikut :
2. Kecurangan Laporan Keuangan
Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi
melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut:
a. Analisis Vertikal
Yaitu teknik yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara item-item
dalam laporan laba rugi, neraca, atau laporan arus kas dengan
menggambarkannya dalam persentase.
b. Analisis Horizontal
Yaitu teknik untuk menganalisis persentase-persentase perubahan item
laporan keuangan selama beberapa periode laporan.
c. Analisis Rasio
Yaitu alat untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam laporan
keuangan. Sebagai contoh current ratio, adanya penggelapan uang atau
pencurian kas dapat menyebabkan turunnya perhitungan rasio tersebut.
2. Penyalahgunaan Aset
Variasi pendeteksian kecurangan jenis ini sangat beragam. Pemahaman
terhadap pengendalian intern atas pos-pos tersebut akan sangat membantu dalam
mendeteksi kecurangan. Metode-metode yang bias digunakan antara lain:
a. Analitical Review
Review atas berbagai akun yang mungkin menunjukkan ketidakbiasaan atau
kegiatan-kegiatan yang tidak diharapkan.
b. Stastitical Sampling
Melakukan sampling atas pos-pos tertentu yang dicurigai, misalnya
persediaan. Dokumen dasar pembelian dapat diuji secara sampling untuk
menentukan ketidakbiasaan, mettode deteksi ini akan efektif jika ada
kecurigaan terhadap satu atributnya, misalnya pemasok fiktif. Suatu daftar
PO BOX akan mengungkapkan adanya pemasok fiktif.
c. Vendor or Outside Complaints
Komplain/keluhan dari konsumen, pemasok, atau pihak lain merupakan alat
deteksi yang baik yang dapat mengarahkan auditor untuk melakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
d. Site Visite-Observation
Observasi ke lokasi biasanya dapat mengungkapkan ada tidaknya
pengendalian intern di lokasi-lokasi tersebut.
3. Korupsi
Kecurangan ini dapat dideteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang
jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak puas dan menyampaikan
complain ke perusahaan. Atas sangkaan terjadinya kecurangan ini kemudian
dilakukan analisis terhadap tersangka atau transaksinya.
2.8. Penelitian Terdahulu
NoNama
PenelitiJudul Penelitian
Variabel
PenelitianHasil Penelitian
1 Iprianto
(2009)
Persepsi
Akademisi dan
Praktisi Akuntansi
Terhadap Keahlian
Akuntan Forensik
Persepsi
akademisi
dan
praktisi
(X),
Keahlian
akuntan
forensik
(Y)
Terdapat perbedaan
yang signifikan
terhadap persepsi
akademisi dan praktisi
mengenai keahlian
seorang akuntan
forensik.
2 Aprilila
Rahmadiar,
Nurul
Persepsi
Mahasiswa
Akuntansi
Persepsi
mahasiswa
akuntansi
Tidak ada perbedaan
persepsi antara
mahasiswa akuntansi
Herawati,
Rindah
Febriana
(2012)
Mengenai
Akuntan Forensik
(X),
Akuntan
Forensik
(Y)
S1 dan S2 terhadap
peran akuntan
forensik.
Tabel 2.1 PenelitianTerdahulu
2.9. Kerangka Pemikiran
Ilmu akuntansi forensik memberikan analisis akuntansi yang dapat
diterima dalam penyelesaian kasus baik pidana umum, maupun pidana khusus
seperti korupsi, pembalakan liar, penggelapan uang dll. Dalam ilmu akuntansi
forensik ini menekankan pada tiga area utama yaitu dukungan litigasi atau
pendapat hukum dalam pengadilan, investigasi yaitu upaya pembuktian di
pengadilan dan ketentuan hukum, dan penyelesaian sengketa.
Menurut Lembaga Akuntan Forensik Indonesia (LAFI) akuntan forensik
harus memiliki suatu perasaan mendalam tentang etika dan perilaku etik
profesional, dan mampu membuat laporan yang kuat dan meyakinkan baik dalam
bentuk tulisan maupun verbal sebagai saksi ahli di persidangan pengadilan atau
proses persidangan hukum lainnya. Setiap saat, seorang akuntan forensik harus
mampu membawa suatu pola pikir profesional yang skeptis yang tetap
dipertahankan, dan karena itu dapat meyakinkan bahwa informasi yang dia
kerjakan akan selalu akurat dan objektif. Untuk menjadi seorang akuntan forensik
yang berkompeten LAFI mengadakan dua program pendidikan akuntan forensik
yakni Bersertifikat Akuntan Forensik (BAF) yang ditempuh dalam waktu 2-24
minggu dan Diploma Akuntan Forensik (DAF) yang dapat ditempuh dalam waktu
1-3 tahun masa belajar. Dua program ini memiliki dua metode pembelajaran yaitu,
belajar jarak jauh (melalui internet) dan belajar di dalam kelas seperti biasa
dilakukan pada proses belajar mengajar.
Akuntan forensik dalam menjalankan tugas menyelidiki kecurangan
dalam aktivitas keuangan yang mencurigakan dan fraud yang dilakukan oleh
perorangan maupun bisnis. Akuntan forensik juga menjalankan peran yang lebih
nyata dalam membantu pemerintah untuk mengevaluasi catatan akuntansi.
Sehingga peran akuntan forensik di dalam pemerintahan sangat penting dalam
mengevaluasi catatan akuntansi atau laporan realisasi anggaran pemerintahan.
Akuntan forensik semakin dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan finansial
perusahaan bersama shareholders dan lembaga pemerintah, untuk mencegah
terjadinya fraud dan kecurangan di dalam praktek akuntansi. Dengan demikian
akuntan forensik sangat berperan dalam pendeteksi dan pencegahan terjadinya
fraud di setiap kegiatan financial. Akuntan forensik biasanya telah memahami
ilmu hukum pidana dan hukum perdata serta telah memahami prosedur
pengadilan. Keahlian yang harus dikuasai oleh akuntan forensik adalah keahlian
dalam penyelidikan, termasuk teori, metode, dan pola pelanggaran fraud,
disamping itu juga akuntan forensik harus mampu berpikir secara kreatif untuk
mempelajari dan memahami taktik yang kemungkinan digunakan oleh pelaku
fraud. Selain itu, akuntan forensik harus mengkomunikasikan temuan secara jelas
dan terperinci dengan berbagai pihak, termasuk kepada orang-orang yang belum
terlalu mengetahui tentang akuntansi dan auditing.
James (2008) dalam Sukesih (2012) sebagai dasar penelitian dengan
menggunakan 9 (sembilan) item kompentensi keahlian akuntansi forensik yang
sangat dibutuhkan yaitu :
1. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah analisis deduktif:
kemampuan untuk menganalisis kejanggalan yang terjadi dalam laporan
keuangan, yakni kejadian yang tidak sesuai dengan kondisi yang wajar.
2. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah pemikiran yang
kritis: kemampuan untuk membedakan antara opini dan fakta.
3. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah pemecahan
masalah yang tidak terstruktur: kemampuan untuk melakukan pendekatan
terhadap masing-masing situasi (khususnya situasi yang tidak wajar) melalui
pendekatan yang tidak terstruktur.
4. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah fleksibilitas
penyidikan: kemampuan untuk melakukan audit di luar ketentuan/prosedur
yang berlaku.
5. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah keahlian
analitik: kemampuan untuk memeriksa apa yang seharusnya ada (yang
seharusnya tersedia) bukan apa yang telah ada (yang telah tersedia).
6. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah komunikasi
lisan: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif secara lisan melalui
kesaksian ahli dan penjelasan umum tentang dasar-dasar opini.
7. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah komunikasi
tertulis: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan tulisan
melalui laporan, bagan, gambar, dan jadwal tentang dasar-dasar opini.
8. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah pengetahuan
tentang hukum: kemampuan untuk memahami proses-proses hokum dasar
dan isu-isu hukum termasuk ketentuan bukti (rules of evidence).
9. Keahlian yang penting bagi seorang akuntan forensik adalah composure:
kemampuan untuk menjaga sikap untuk tetap tenang meskipun dalam situasi
tertekan.
Untuk mengetahui seberapa pentingnya peran seorang akuntan forensik
maka dunia akuntansi dirasa perlu untuk mengetahui persepsi mahasiswa
akuntansi terhadap peran akuntan forensik sebagai pendeteksi fraud, karena jika
mahasiswa akuntansi tidak memiliki persepsi terhadap peran akuntan forensik
maka dunia auditing akan kesulitan mendapatkan generasi baru yang ingin
menjadi seorang akuntan forensik, mengingat sangat dibutuhkannya peranan
akuntan forensik dalam pemberantasan kecurangan-kecurangan yang terjadi di
dalam dunia usaha baik sektor swasta maupun sektor publik.
Dari kerangka pemikiran ini penulis ingin mengetahui sejauh apa peran
seorang akuntan forensik dalam mendeteksi suatu kecurangan (fraud) dan
bagaimanakah persepsi dari mahasiswa akuntansi perguruan tinggi Palembang
terhadap peran akuntan forensik sebagai pendeteksi fraud itu sendiri.
Kerangka penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini secara
skematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Paradigma Penelitian
BAB III
OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Objek Penelitian
Persepsi Mahasiswa
Akuntansi
Peran Akuntan Forensik
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa ruang lingkup yang perlu
diperhatikan. Objek penelitian ini adalah mahasiswa akuntansi di tiga perguruan
tinggi di Palembang yaitu Universitas Bina Darma yang beralamat di Jln. Ahmad
Yani No 12 palembang, Universitas Muhammadiyah yang beralamat di Jln.
Jendral Ahmad Yani 13 Ulu Palembang dan STIE Musi yang beralamat di Jln.
Bangau No. 60 Palembang. Objek yang digunakan dalam penelitian ini sebatas
hanya dengan kuesioner yang mewakili persepsi mahasiswa terhadap peranan
akuntan forensik.
3.2. Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Melalui penelitian diharapkan dapat diketahui bagaimana persepsi
mahasiswa akuntansi Universitas Bina Darma, Universitas Muhammadiyah, dan
Universitas Sriwijaya Palembang terhadap peran akuntan forensik.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Sanusi (2011) menyatakan populasi adalah seluruh kumpulan elemen yang
menunjukkan ciri-ciri tertentu yang dapat digunakan untuk membuat kuisioner.
Jadi kumpulan elemen itu menunjukan jumlah, sedangkan ciri-ciri tertentu
menunjukkan karakteristik dari kumpulan itu. Populasi dalam penelitian ini yaitu
mahasiswa akuntansi di tiga universitas di Palembang yaitu Universitas Bina
Darma, Universitas Muhammadiyah, dan STIE Musi Palembang.
3.3.2. Sampel
Jika jumlah populasi terlalu banyak, maka digunakan sampling. Sampling
atau sampel berarti contoh, yaitu sebagian dari seluruh individu yang menjadi
objek penelitian (Sanusi, 2011). Sampel terdiri atas sejumlah anggota yang
dipilih dari populasi. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu
menggunakan metode Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel yang tidak
secara acak melainkan sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu. Penulis memilih tiga perguruan tinggi yaitu Universitas Bina Darma,
Universitas Muhammadiyah, dan STIE Musi karena program studi akuntansi di
tiga perguruan tinggi ini terakreditasi B. Dari uraian diatas maka dalam
menentukan jumlah sampel yang akan digunakan peneliti menggunakan pedoman
kasar (rules of thumb) yang dikemukakan oleh Roscoe dalam Sartika (2006),
yaitu:
1. Jumlah sampel yang tepat untuk penelitian adalah 30<n<500.
2. Jika sampel terbagi dalam beberapa subsampel, maka jumlah sampel minimum
untuk tiap subsampel adalah 30.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengambil sampel dari penelitian
ini yaitu masing-masing 30 sampel pada setiap populasi. Jadi jumlah keseluruhan
sampel adalah 90 responden.
3.4. Definisi dan Pengukuran Variabel
3.4.1. Definisi dan Operasional Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Persepsi Mahasiswa Akuntansi (Independen) Persepsi mahasiswa
akuntansi merupakan suatu proses dimana mahasiswa akuntansi dapat
mengatur dan mengintrepetasikan kesan-kesan sensoris mereka guna
memberikan arti bagi lingkungan mereka. (Robins, 2008).
2. Peran Akuntan Forensik (Dependen)
Peran akuntan forensik adalah perangkat tingkah laku yang diharapkan
dimiliki oleh seorang akuntan forensik yang berkedudukan di dalam
masyarakat (Harahap, 2007).
Tabel 3.1Operasional Variabel
No Variabel Definisi IndikatorSkala
Ukur
1 Variabel (X)
Persepsi
Mahasiswa
Akuntansi
Persepsi mahasiswa
akuntansi merupakan
suatu proses dimana
mahasiswa akuntansi
dapat mengatur dan
mengintrepetasikan
kesan-kesan sensoris
mereka guna
memberikan arti bagi
lingkungan mereka.
Fisiologis,
Perhatian,
Minat,
Kebutuhan
Searah,
Pengalaman
dan Ingatan,
Suasana
Hati.
(Gibson
Interval
(Robins, 2008). dkk, 1989)
2 Variabel (Y)
Peran Akuntan
Forensik
Peran akuntan forensik
adalah perangkat tingkah
laku yang diharapkan
dimiliki oleh seorang
akuntan forensik yang
berkedudukan di dalam
masyarakat (Harahap,
2007).
Pendeteksi
Fraud
Interval
3.4.2. Pengukuran Variabel Penelitian
Skala yang digunakan dalam penyusunan kuisioner penelitian ini adalah
skala Likert, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan
persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sanusi,
2011). Waktu menanggapi pertanyaan dalam skala Likert responden menentukan
tingkat persetujuan mereka terhadap suatu pertanyaan dengan memilih satu dari
pilihan yang tersedia. Dalam penelitian ini disediakan lima pilihan skala dengan
format seperti di bawah ini :
1. Jawaban sangat penting diberi skor 5.
2. Jawaban penting diberi skor 4.
3. Jawaban netral diberi skor 3.
4. Jawaban tidak penting diberi skor 2.
5. Jawaban sangat tidak penting diberi skor 1.
3.5. Jenis dan Sumber Data
3.5.1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut
(Sanusi, 2011) :
a. Data kualitatif, yaitu data non angka yang sifatnya deskriptif dalam bentuk
informasi tulisan (kuesioner) yang diperoleh dari mahasiswa-mahasiswa
akuntansi yang berkompeten memberikan informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian ini.
b. Data kuantitatif, yaitu data yang telah diolah dari jawaban kuesioner yang
telah dibagikan kepada responden yang penulis anggap berkompeten.
3.5.2. Sumber Data
Untuk melengkapi data yang digunakan maka penulis memperoleh data
yang bersumber dari (Sanusi, 2011) :
1. Data Primer, adalah data asli yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti untuk
menjawab masalah penelitian. Data primer dalam penelitian ini diperoleh
melalui wawancara dan kuisioner.
2. Data sekunder, adalah data yang telah dikumpulkan pihak lain, bukan oleh
peneliti. Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari dokumen instansi,
riset kepustakaan, artikel, dan internet.
3.6. Teknik Pengumpulan Data
3.6.1. Kuesioner
Menurut Sanusi (2011) kuesioner merupakan teknik pengumpulan data
yang tidak memerlukan kehadiran peneliti, namun cukup diwakili oleh daftar
pertanyaan yang sudah disusun secara cermat terlebih dahulu. Kuisioner
sebaiknyan disusun secara rapi dan jelas.
3.7. Uji Instrumen Penelitian
3.7.1. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Data
Mengingat pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner, maka kualitas
kuisioner dan kesanggupan responden dalam menjawab pertanyaan merupakan
hal yang sangat penting dalam penelitian ini. Apabila alat yang digunakan dalam
proses pengumpulan data tidak valid, maka hasil penelitian yang diperoleh tidak
mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu dalam
penelitian akan dimulai dengan pengujian validitas dan realibilitas terhadap daftar
pertanyaan yang digunakan dalam kuisioner.
3.7.1.1 Pengujian Validitas
Validitas suatu instrumen menunjukkan suatu alat ukur yang dapat
mengukur sejauh mana kebenaran alat itu untuk mengukur sesuatu yang
diperlukan atau seberapa kesahihannya (Priyatno, 2010). Model pengujian
menggunakan pendekatan Bivariate Pearson untuk menguji validitas pernyataan
kuesioner yang disusun dalam bentuk skala. Perhitungan ini akan dilakukan
dengan bantuan program SPSS 17. Hasil pengujian validitas menunjukkan hasil
positif pada level 0,01 dan 0,05.
3.7.1.2 Pengujian Reliabilitas
Reliabilitas atau keandalan suatu instrumen sebagai alat ukur dimaksudkan
untuk mengetahui sejauh mana kebenaran alat ukur tersebut cocok digunakan
sebagai alat ukur untuk mengukur sesuatu (Priyatno, 2010). Reliabilitas instrumen
diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran. Untuk
mencapai hal tersebut, dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan metode
cronbach alpa (α). Pengujian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS 17.
Koefisien cronbach alpa yang lebih besar dari 0,6 menunjukkan keandalan
instrumen.
3.8. Teknik Analisis Data
Analisis berikutnya adalah menguji pernyataan alat uji hipotesis. Uji
asumsi klasik ini meliputi uji Multikolinieritas, uji Heteroskedastisitas, dan uji
Auto Korelasi.
3.8.1. Uji Asumsi Klasik
Dalam penelitian ini penulis menggunakan uji asumsi klasik, uji asumsi
klasik ini digunakan sebagai prasyarat untuk menguji hipotesis dengan
menggunakan analisis regresi linier berganda. Penulis memilih menggunakan
analisis linier berganda karena dalam penelitian ini memiliki enam variabel bebas
(X) dan satu variabel terikat (Y). Uji asumsi klasik ini menggunakan tiga metode,
yaitu :
1. Uji Multikolinieritas
2. Uji Heteroskedastisitas
3. Uji Autokorelasi
3.8.1.1 Uji Multikolinieritas
Multikolinieritas adalah keadaan dimana terjadi hubungan linier yang
sempurna atau mendekati sempurna antar variable independen dalam model regresi
(Priyatno, 2010). Uji multikolinieritas digunakan untuk mengetahui ada atau
tidaknya hubungan linier antar variable independen dalam model regresi. Prasyarat
yang harus dipenuhi dalam model regresi adalah tidak adanya multikolinieritas. Pada
penelitian ini akan dilakukan uji multikolinieritas dengan melihat nilai Inflation
factor (VIF) pada model regresi. Menurut santoso (2001), pada umumnya jika VIF
lebih besar dari 5, maka variable tersebut mempunyai persoalan multikolinieritas
dengan variable bebas lainnya.
3.8.1.2 Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas Adalah keadaan dimana terjadi ketidaksamaan
varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi (Priyatno, 2010).
Uji heteroskedastisitas digunakan untuk megetahui ada atau tidaknya ketidaksamaan
varian dari residual pada model regresi. Prasyarat yang harus terpenuhi dalam model
regresi adalah tidak adanya masalah heteroskedastisitas. Dalam penelitian ini akan
dilakukan uji heteroskedastisitas dengan menggunakan uji Spearman’s rho, yaitu
mengkorelasikan nilai residual dengan masing-masing variable independen. Jika
signifikansi korelasi kurang dari 0,05 maka pada model regresi terjadi masalah
heteroskedastisitas.
3.8.1.3 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi adalah keadaan dimana terjadinya korelasi antara residual
pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi (Priyatno, 2010).
Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi yang terjadi
antara residual pada satu pengamatan dengan pengamatan lain. Prasyarat yang harus
terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi pada model regresi. Dalam penelitian ini
akan menggunakan uji Durbin-Watson (uji DW) dengan ketentuan sebagai berikut ;
1. Jika d lebih kecil dari dl atau lebih besar dari (4-dl), maka hipotesis nol ditolak,
yang berarti terdapat autokorelasi.
2. Jika d terletak antara du dan (4-du) maka hipotesis nol diterima, yang berarti
tidak ada autokorelasi.
3. Jika d terletak antara dl dan du atau diantara (4-du) dan (4-dl), maka tidak
menghasilkan kesimpulan yang pasti.
3.9. Regresi Linier Berganda
Analisis ini digunakan untuk memprediksikan nilai dari variabel
independen mengalami kenaikan atau penurunan dan untuk mengetahui arah
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-
masing variabel independen berhubungan positif atau negatif. Uji hipotesis pada
penelitian ini menggunakan Regresi Linear Berganda yang mengindikasikan enam
variable bebas dan satu variable terikat. Dengan demikian regresi linear berganda
dinyatakan dalam persamaan matematika sebagai berikut :
Y= a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + b5 X5 + b6 X6 +e
Di mana
Y = Peran Akuntan Forensik
X1 = Fisiologis
X2 = Perhatian
X3 = Minat
X4 = Kebutuhan yang searah
X5 = Pengalaman
X6 = Suasana hati
a = Konstanta
b1, b2, b3, b4, b5, b6 = Koefisien regresi
e = Variabel penggangu
3.9.1. Analisis Determinasi (R2)
Priyatno (2010) menyatakan bahwa Analisis Determinasi digunakan untuk
mengetahui persentase sumbangan pengaruh variabel independen secara serentak
terhadap variabel dependen. Koefisien ini menunjukkan seberapa besar persentase
variasi variabel independen yang digunakan dalam model mampu menjelaskan
variasi variabel dependen. Rumus untuk analisis determinasi ini yaitu:
(ryx1)2 + (ryx2)2 – 2.(ryx1).(ryx2).(rx1x2) R2 =
1 – (rx1x2)2
Keterangan:
R2 : Koefisien Determinasi
Ryx1 : Korelasi Sederhana X1 dengan Y
Ryx2 : Korelasi Sederhana antara X2 dengan Y
Rx1x2 : Korelasi Sederhana antara X1 dengan X2
3.9.2. Uji t
Duwi Priyatno (2010) menyatakan Uji t ini digunakan untuk mengetahui
apakah dalam model regresi variable independen (X1, X2,…..Xn) secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap variable dependen (Y). rumus t hitung pada
analisis regresi ini adalah :
bi t hitung = Sbi
Ket :
Bi : Koefisien regresi variable i
Sbi : Standar error variable i
Kriteria dalam pengujian ini adalah sebagai berikut (Priyatno, 2010) :
1. Ho diterima jika –t table ≤ t hitung ≤ t table
2. Ho ditolak jika –t hitung < -t table atau t hitung > t tabel
3.9.3. Uji F
Duwi Priyatno (2010) menyatakan Uji F ini digunakan untuk mengetahui
apakah variable independen (X1, X2,……Xn) secara bersama-sama berpengaruh
secara signifikan terhadap variable dependen (Y). F hitung dapat dicari dengan
rumus sebagai berikut :
R2/k F hitung = (1 – R2)/(n – k – 1)
Ket :
R2 : Koefisien determinasi
n : Jumlah data atau kasus
k : Jumlah variabel independen
Kriteria dalam pengujian ini adalah sebagai berikut (Priyatno, 2010) :
1. Ho diterima bila F hitung ≤ F table
2. Ho ditolak bila F hitung > F tabel