PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP OBAT-OBATAN TRADISIONAL
KARO MELALUI REZIM PENGETAHUAN TRADISIONAL
(Skripsi)
OREN BASTA ANUGERAH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP OBAT-OBATAN TRADISIONAL
KARO MELALUI REZIM PENGETAHUAN TRADISIONAL
Oren Basta Anugerah
Indonesia kaya akan pengetahuan obat tradisional dan tanaman obat yang berjumlah
kurang lebih 9.606 spesies tanaman obat. Sebagian besar masyarakat asli masih
tergantung pada pengetahuan obat tradisional sebagai bagian integral dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Mereka melestarikan pengetahuannya dengan
mengalihkannya dari generasi ke generasi. Namun dengan berjalannya waktu
banyaknya pihak-pihak yang melakukan tindakan pemanfaatan pengetahuan obat
tradisional dengan mengesampingkan keberadaan dan hak-hak masyarakat
tradisional. Berdasarkan hal-hal tersebut maka dirumuskan permasalahan hukum
mengenai perlindungan hukum terhadap obat-obatan tradisional menurut Rezim Hak
Kekayaan Intelektual, perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional
mengenai obat-obatan tradisional Karo, dan faktor-faktor penghambat perlindungan
obat-obatan tradisional menurut Hak Kekayaan Intelektual.
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan normatif-terapan. Pengumpulan
data dalam penulisan penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka dan studi
dokumen. Data yang diperoleh dikelola menggunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa: (1) Bahwa setiap bentuk Hak
Kekayaan Intelektual merupakan hasil kreativitas manusia dalam berbagai wujud dan
berguna dalam kehidupannya, maka sudah jelas bahwa pengetahuan obat-obatan
tradisioanl merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual di dalam Pengetahuan
Tradisional. (2) Perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisonal mengenai obat-
obatan tradisional masyarakat Karo melalui pengintegrasian secara parsial
Pengetahuan Obat Tradisional (POT) sebagai salah satu bentuk Hak Kekayaan
Intelektual (HKI). (3) Faktor-faktor penghambat perlindungan obat-obatan tradisional
menurut pengetahuan tradisional yaitu: persepsi masyarakat yang tidak merasa
keberatan apabila produk mereka ditiru oleh pihak lain (dalam hal ini HKI sebagai
fungsi sosial); aspek kepemilikan pengetahuan tradisional; tindakan
misappropriation; terbatasnya data, dokumentasi dan informasi
mengenai Pengetahuan Obat Tradisional (POT); dan tidak adanya regulasi khusus
yang mengatur mengenai perlindungan Pengetahuan Obat Tradisional (POT).
Saran yang dapat penulis berikan adalah (1) perlunya regulasi khusus yang mengatur
mengenai perlindungan Pengetahuan Obat Tradisional (POT), baik itu di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah; (2) pemerintah khususnya pemerintah daerah harus
meningkatkan pengawasan terhadap tindakan penelitian yang dilakukan oleh pihak
asing yang melakukan penelitian sehingga tidak terjadi tindakan misappropriation;
(3) perlunya menggalakkan kesadaran peningkatan kesehatan melalui obat-obatan
tradisional.
Kata kunci: Perlindungan Hukum, Obat-Obatan Tradisional, Pengetahuan
Tradisional
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP OBAT-OBATANTRADISIONAL
KARO MELALUI REZIM PENGETAHUANTRADISIONAL
Oleh
OREN BASTA ANUGERAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal
3Desember 1995, sebagai anak pertama dari pasangan Bapak
Simon Barjona Perangin-angin dan Ibu Sempakata Br.
Sinuraya. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-
kanak di TKK Xaverius Way Halim Bandar Lampung pada
Tahun 2001-2002, Sekolah Dasar di SD Xaverius 3 Way Halim Bandar Lampung
pada Tahun 2002-2008, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SMP Xaverius 4
Bandar Lampung pada Tahun 2008-2011, dan Sekolah Menengah Atas di SMA
Fransiskus Bandar Lampung pada Tahun 2011-2014. Tahun 2014 penulis
terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur
Seleksi Ujian Mandiri Lokal (UML).
Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif sebagai paralegal pada Bidang
Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH FH Unila) yang menjadi penyelenggara
bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Dalam kegiatan kemahasiswaan,
Penulis pernah mengikutiperlombaan Peradilan Semu NMCC NAMLE IV dan
mendapat Predikat Juara I. Selain itu penulis aktif dalam organisasi Unit Kegiatan
Mahasiswa Fakultas (UKM-F) Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH), oraganisasi
Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA), dan organisasi Forum Mahasiswa Hukum
Kristen (Formahkris) sejak tahun 2014.
x
MOTO
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah
dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan
dengan ucapan syukur.
(Filipi 4:6)
Jangan sia-siakan kesalahan, dapatkan pelajaran dan pengalaman dari
kesalahan tersebut
(Robert Kiyosaki)
xi
PERSEMBAHAN
Dengan Segala Kerendahan Hati Kupersembahkan Karya Kecilku kepada:
Kedua Orang Tuaku
Bapak Simon Barjona Perangin-angin dan Ibu Sempakata Br. Sinuraya
Terimakasih untuk Kasih Sayang, Dukungan, Pengorbanan serta Doa yang tiada
hentinya untuk anakmu menantikan keberhasilanku
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan
kasish karuniaNya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul Penyelesaian Sengketa Online Marketplace Antara Penjual dan Pembeli
Melalui Online Dispute Resolution. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan,
petunjuk dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
2. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
3. Ibu Rohaini, S.H., M.H., Ph.D., selaku dosen pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, saran serta masukkan
dalam penulisan skripsi ini;
4. Ibu Dewi Septiana, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukkan, bantuan dan saran
dalam penulisan skripsi ini;
5. Bapak Prof. Dr. I Gede AB Wiranata, S.H., M.H. selaku dosen pembahas I yang
telah memberikan kritik, saran dan masukkan yang membantu penulis dalam
memperbaiki skripsi ini;
6. Ibu Yulia Kusuma Wardani, S.H., L.LM, selaku dosen pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran dan masukkan yang membantu penulis dalam
memperbaiki skripsi ini;
7. Ibu Rilda Murniati, S.H., M.Hum, selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing dan membantu penulis dalam proses perkuliahan;
8. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
memberikan dedikasi segenap ilmunya kepada penulis, serta bantuan teknis dan
administratif yang diberikan kepada penulis selama kuliah;
9. Forum Mahasiswa Hukum Kristen (Formahkris): Abram, Bangkit, Christoffer,
Frans, Cindy, Elsadday, Ruth, Wafer, Nita Verena, Melva, Maria, Yoan dan
teman, abang, kakak, adek yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
membantu sejak awal menjadi mahasiswa baru hingga sekarang;
10. Pance Squad: Daniel Gibson M. Nababan, S.H., Dhanty Novenda Sitepu, Ega
Gamalia Sitompul, Hotdo Nauli Banjarnahor, S.H., Korin Suryani Sirait, Oren
Basta Anugerah, Nika Lova Surbakti, S.M., Ruth Thresia Mika Pratiwi, S.H.,
Vera Polina Ginting, S.H., Yosef Caroland Sembiring, S.H.;
11. Untuk Marina Simanungkalit terima kasih buat semangat, waktu dan doa dalam
penyelesaian skripsi ini;
12. ABBAS: Alfa, Alvin, Aldi, Anjas, Kristo, Darwin, Dolly, Firman, Gani, Ivan,
Jonathan, Oren, Rico, Sahat, Timbul, Yoshua, Yudistira;
13. Calon SH: Moza, Jody, Bima, Iam, Naim, Andey, Arif, Erick, Imam, Alan;
14. Teman-teman fakultas hukum angkatan 2014 dan Hima Perdata 2014, serta
anggota KKN Buyut Baru: Astri, Aziz, Bulan, Othi, Tata, Dini atas 40 hari
bersamanya;
15. Untuk segenap pembaca, terimakasih atas waktunya untuk membaca karya
ilmiah penulis;
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah membantu dalam
penyelesaian karya ilmiah ini, terimakasih.
Karya ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna, namun penulis berharap semoga
skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis dalam
mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, 25 Oktober 2018
Penulis,
Joshua Purba
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ v
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... vi
MOTO .......................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................ viii
SANWACANA ............................................................................................ ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................
5
E. Kegunaan Penelitian .......................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Perlindungan Hukum ............................................................. 7
B. Tinjauan Umum Pengetahuan Tradisional ...................................... 10
1. Pengertian dan Lingkup Pengetahuan Tradisional ..................... 10
2. Subjek Pengetahuan Tradisional ................................................ 15
3. Objek Pengetahuan Tradisional ................................................. 16
4. Perlindungan Hukum terhadap Obat-Obatan ............................. 17
C. Lingkup Pengetahuan Tradisional dalam Hak Kekayaan
Intelektual ....................................................................................... 26
D. Kerangka Pikir ................................................................................ 30
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Tipe Penelitian ............................................... 34
B. Pendekatan Masalah ........................................................................ 35
C. Data dan Sumber Data .................................................................... 36
D. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 37
E. Metode Pengolahan Data ................................................................ 38
F. Analisis Data ................................................................................... 39
4
C. Ruang Lingkup ................................................................................ 4
D. Tujuan Penelitian ............................................................................
5
2
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Terhadap Obat-Obatan Tradisional
Menurut Rezim Hak Kekayaan Intelektual ..................................... 41
1. Pengetahuan Obat-obatan Tradisional menurut Rezim
Hak Paten ……………….......................................................... 42
2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan
Obat-obatan Tradisional Indikasi Geografis…………………... 48
B. Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional
Mengenai Obat-Obatan Tradisional Masyarakat Karo ................... 55
1. Perlindungan Hukum terhadap Pengetahuan Obat Tradisional
Karo Menurut Rezim Indikasi Geografis …............................. 57
2. Obat Tradisional Karo sebagai Obat
Alternatif Masyarakat Karo ...................................................... 62
3. Pengobatan Tradisional Karo dijadikan
sebagai Kearifan Lokal ............................................................. 64
C. Faktor-Faktor Penghambat
Perlindungan Obat-Obatan Dalam Rezim HKI .............................. 68
V. PENUTUP
A. Simpulan ......................................................................................... 76
B. Saran ............................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya alam hayati yang berlimpah
dan beraneka ragam baik di darat maupun di perairan, yang bermanfaat baik bagi
umat manusia maupun lingkungannya. Indonesia menjadi salah satu negara
dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dan disebut dengan negara mega
biodiversity.1 Sumber daya hayati bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia
dalam konteks hubungan manusia dengan lingkungan, misalnya sebagai bahan
pangan, sandang, dan papan. Sumber daya alam hayati memiliki potensi ekonomi
untuk meningkatkan taraf kesejahteraan manusia dan masyarakat. Selain itu,
keanekaragaman hayati merupakan sumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi
yang bermanfaat dalam pengembangan budaya dan identitas bangsa.
Keanekaragaman hayati terdapat dalam tiga tingkat, yaitu keanekaragaman hayati
pada tingkat genetik, tingkat spesies, dan tingkat ekosistem.2
Dalam bentuk
produk, keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomi
1Berdasarkan data yang dihimpun oleh Direktorat Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Indonesia merupakan negara yang meiliki tingkat
keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 di dunia setelah Brazil. Data ini didasarkan pada nilai
keanekaragaman flora dan fauna (diversity value) dan nilai endemis dari keberadaan flora dan
fauna tersebut (endemism value). Lihat: BAPPENAS, Indonesian Biodiversity Strategy and Action
Plan 2003-2020 (IBSAP), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta,
2003, hlm. 19. 2Miranda Risang Ayu, Harry Alexander dan Wina Puspitasari, Hukum Sumber Daya Genetik,
Pengetahuan Tradisional dan Exspresi Budaya Tradisinal di Indonesia, Bandung: PT Alumni,
2014, hlm. 1.
2
tinggi di antaranya adalah hasil hutan, baik dari spesies-spesies kayu maupun non
kayu, hasil-hasil dari spesies kayu maupun non-kayu, hasil-hasil dari spesies
satwa liar, umbi-umbian, untuk meningkatkan mutu tanaman atau hewan untuk
ketahanan pangan, dan spesies tumbuhan atau hewan penghasil obat-obatan.
Indonesia kaya akan pengetahuan obat tradisional dan tanaman obat. Berkaitan
dengan pengetahuan obat dan pengobatan misalnya, masyarakat asli Indonesia
mempunyai pengetahuan obat dan pengobatan yang lebih banyak bila
dibandingkan dengan suku-suku Thailand.3 Demikian juga dengan tanaman obat
sebagai bahan baku, terdapat 9.606 spesies tanaman obat di negeri ini. Namun
demikian dalam kenyataannya, selama krisis ekonomi, harga obat melambung
hingga dua sampai tiga kali lipat. Bahkan hingga saat ini harga obat masih tetap
mahal dan merupakan barang “lux” bagi sebagian besar masyarakat.
Obat dan kesehatan adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian untuk mendapatkan obat yang
murah juga merupakan hak asasi. Pasal 14 Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun
2009 tentang kesehatan menegaskan bahwa Pemerintah bertanggung jawab
3Masyarakat asli Mentawai di Siberut mempunyai pengetahuan 233 spesies tanaman
yangbisa digunakan sebagai ramuan obat untuk mengobati 129 penyakit. Suku Apokayan di
Kalimantan mempunyai pengetahuan sekitar 213 spesies tanaman obat dan Suku Dani di Papua
mengetahui 193 jenis tanaman obat. Sebaliknya kelompok etnis “Tai Lue” di sebelah Utara
Thailand hanya mempunyai pengetahuan 225 tanaman obat saja untuk mengobati berbagai jenis
penyakit. Ary S. Suhandi, Dessy Anggraeni, dkk. 2002. Conservation Concession Reconciliatory
Effort between the Demand of Increasing Local Revenue and Ecosystem Protection in the Process
of Power Devolution: A Case Study From Siberut Island, Sumatra, Final Report, Jakarta:
Conservation International Indonesia, hlm. 48.
3
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Salah satu upaya kesehatan tersebut terkait dengan penyediaan obat.
Sebagian besar masyarakat asli masih tergantung pada pengetahuan obat
tradisional sebagai bagian integral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka
melestarikan pengetahuannya dengan mengalihkannya dari generasi ke generasi.
Mereka mengatur cara-cara pemilikan, penggunaan dan pengalihan pengetahuan
itu sesuai dengan kaedah-kaedah adat yang mereka taati. Namun demikian
walaupun Undang-Undang Kesehatan mengetahui peranan arti penting obat dan
pengobatan tradisional namun undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai
perlindungan pengetahuan obat tradisional. Demikian juga Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman
Hayati juga tidak secara tegas mengatur tentang hal tersebut.Hingga saat ini
belum ada ketentuan hukum positif yang mengatur tata kelola perlindungan
pengetahuan obat tradisional.
Pada umumnya penggunaan obat tradisional masyarakat Karo menurut Setiana
BR Bangun mencapai 80%. Penggunaan obat tradisional sebagai penunjang obat
medis yang mempercepat proses penyembuhan. Pengetahuan obat tersebut berasal
dari nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke-
generasi. Bahan yang digunakan dalam pembuatan obat tentunya berasal dari
wilayah Karo, yang masih berlimpah sehingga mudah untuk didapatkan dan juga
bahan tersebut aman karena dibuat secara alami tanpa bahan kimia. Obat
tradisional Karo yang terbuat dari ramuan bahan tumbuhan sudah terbukti
berkhasiat berdasarkan pengalaman-pengalaman turun temurun, maka perlu
4
dikembangkan untuk mencapai pengobatan yang lebih bermutu dan dikenal di
seluruh masyarakat Indonesia maupun diluar Indonesia.
Mengingat pentingnya kepastian hukum agar pemanfaaatan warisan budaya agar
tidak di eksploitasi yang mengeyampingkan keberadaan dan hak-hak masyarakat
tradisional, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang penulis tuangkan
dalam judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP OBAT-OBATAN
TRADISIONAL KARO MELALUI REZIM PENGETAHUAN
TRADISIONAL.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap obat-obatan tradisional menurut
Rezim Hak Kekayaan Intelektual?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual
mengenai obat-obatan Tradisional Karo?
3. Apakah faktor-faktor penghambat perlindungan obat-obatan tradisional dalam
Rezim Hak Kekayaaan Intelektuan?
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian penelitian ini adalah Hukum Perdata khususnya Hak
Kekayaan Intelektual terhadap obat-obatan tradisional Karo. Kajian penelitian ini
adalah mengkaji tentang perlindungan hukum terhadap obat-obatan tradisional
menurut hukum kesehatan, perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional
5
mengenai obat-obatan tradisional Karo, serta faktor-faktor penghambat
perlindungan obat-obatan tradisional menurut pengetahuan tradisional.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui perlindungan terhadap obat-obatan tradisional menurut Rezim
Hak Kekayaan Intelektual.
2. Mengetahui perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual
mengenai obat-obatan tradisional masyarakat Karo.
3. Mengetahui dan memahami faktor-faktor penghambat perlindungan obat-
obatan tradisional menurut Hak Kekayaan Intelektual.
E. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Diharapkan memberi sumbangan pemikiran dalam pengetahuan ilmu pengetahuan
hukum, khususnya Hukum Kekayaan Intelektual dalam kaitannya dengan
Pengetahuan Tradisional terhadap obat-obatan tradisional di Indonesia, serta guna
menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah. Diharapkan hasil
penulisan ini dapat memberikan kontribusi akademis mengenai gambaran
perlindungan hukum terhadap Perlindungan Hukum Terhadap Obat-obatan
Tradisional di Indonesia Melalui Rezim Pengetahuan Tradisional.
6
2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum bagi
Penulis khususnya mengenai Pengembangan Obat-obatan Tradisional di
Indonesia.
b. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi
mahasiswa Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
c. Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini
bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori
oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut
aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang
bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan.
Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan
dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan
melalui hukum dan moral.4
Fritzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan
kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk
menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan
hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat
4Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 53.
8
yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur
dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.5
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan
perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga
prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum
kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.6
Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan
hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang
mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan
keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga
peradilan.7
Sesuai dengan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum adalah
melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan
menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Selain itu
berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
5Ibid, hlm. 54.
6Ibid, hlm. 55.
7Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya: 1987.hlm.29.
9
Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi.
Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam
ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian-
pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni
Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum
agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan
juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.8
Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian
meragukan keberadaan hukum. Hukum harus memberikan perlindungan terhadap
semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang memiliki
kedudukan yang sama dihadapan hukum. Aparat penegak hukum wajib
menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka secara tidak
langsung pula hukum akan memberikan perlindungan pada tiap hubungan hukum
atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh hukum.
Perlindungan hukum dalam hal ini sesuai dengan teori interprestasi hukum
sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa interpretasi atau
penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup
kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh
hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat
diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit.
Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-
8Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. hlm. 38
10
Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan ketentuan
yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri.9
Penafsiran sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum
(rechtsvinding),berangkat dari pemikiran, bahwa pekerjaan kehakiman memiliki
karakter logikal. Interpretasi atau penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan
yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat
mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi
ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.10
B. Tinjauan Umum Pengetahuan Tradisional
1. Pengertian dan Konsep Pengetahuan Tradisional
Beberapa istilah dalam literatur yang membahas pengetahuan tradisional, antara
lain yaitu pengetahuan lokal (local knowledge), pengetahuan asli (indigeneous
community) dan pengetahuan tradisional (traditional knowledge) sendiri. Namun
dari ketiga istilah ini pada hakikatnya memiliki prinsip yang sama-sama terfokus
pada pengetahuan yang telah dikenal lama pada suatu komunitas masyarakat
tertentu disuatu negara.11
Masih terdapat banyak perbedaan tentang pendefinisian dari pengetahuan
tradisional dalam perbincangan internasional. Istilah tradisional knowledge
dalam sebuah kamus hukum nasional adalah pengetahuan yang dimilki oleh
masyarakat daerah atau tradisi yang sifatnya turun temurun, yang meliputi bidang
9Ibid, hlm. 39.
10Ibid, hlm. 40.
11Suyud Margono, Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Mencari Konstruksi Hukum
Kepemilikan Komunal Terhadap Pengetahuan dan Seni Tradisional dalam Sistem Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) di Indonesia, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2015, hlm. 179.
11
seni, tumbuhan, arsitektur, dan lain sebagainya.12
Pengetahuan tradisional adalah
istilah umum yang mencangkup ekspresi kreatif, informasi, dan how know yang
secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengindentifikasi unit
sosial.13
Dari pengertian di atas nampak bahwa lahirnya pengetahuan obat-obatan
tradisional (POT) melibatkan proses “mencipta” atau mengkreasikan bahan-bahan
yang disediakan oleh alam menjadi media penyembuhan. Sehingga, jika dikaitkan
dengan pengertian HKI yang menyatakan bahwa setiap bentuk Hak Kekayaan
Intelektual merupakan hasil kreativitas manusia dalam berbagai wujud dan
berguna dalam kehidupannya maka sudah jelas bahwa pengetahuan obat-obatan
tradisional merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual.
Terdapat berbagai macam definisi pengetahuan tradisional dalam literatur, baik
yang diusulkan oleh organisasi internasional maupun oleh para sarjana dan ahli.
Beberapa diantaranya adalah:
World Intellectual Property Organization (WIPO)14
mendefinisikan pengetahuan
tradisional sebagai berikut :
“ Knowledge, know-how, skill and practices that are developed, sustained
and passed on from generation within a community, often forming part of it’s
cultural or spiritual identity”
“ Pengetahuan, tahu-bagaimana yang dapat dikembangkan keterampilan dan
praktik, berkelanjutan dan diteruskan dari generasi ke generasi dalam
komunitas, sering membentuk bagian dari strategi identitas budaya atau
spiritual”
12
M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, 2009 hlm. 613. 13
Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2005, hlm. 26. 14
World Intellectual Property Organization, diakses http://www.wipo.int/tk/index.html,
diakses tanggal 02 November 2017, pkl 18:09 WIB.
12
Sementara The Director of United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO)15
juga mendefinisikan pengetahuan tradisional sebagai
berikut:
“ The indigenous people of the world possess on immense knowledge of their
environments, based on centuries of living close to nature. Living in and from
the richness and variety of complex ecosystems, they have an understanding
of the properties of plants and animals, the functioning of ecosystems and the
techniques for using and managing them that is particular and often detailed.
In rural communties in developing countries, locally occurring species are
relied on for many-sometimes all-foods, medicines, fuel, building materials
and other products. Equally, people’s knowledge and perceptions of the
environment, and their relationships with it, are often important elements of
cultural identity.”
“Masyarakat pribumi mempengaruhi dunia dengan penyebarluasan
pengetahuan dari lingkungannya, berdasarkan kedekatan zaman kehidupan
terhadap alam. Hidup pada dan dari kesempurnaan dan varietas keberagaman
ekosistem, mereka memiliki sebuah pemahaman dari kekayaan akan tanaman
dan tumbuhan, fungsi dari ekosistem dan cara untuk menggunakan dan
mengatur mereka adalah hal yang penting dan harus diperhatikan. Dalam
masyarakat pedalaman dimasyarakat berkembang, kemudian spesies secara
lokal dipercaya dalam beberapa kali pada segala jenis makanan, obat-obatan,
minyak, material bangunan dan produk-produk lainnya. Secara merata,
pengetahuan masyarakat da persepsi dari lingkungannya, dan hubungannya
dengan hal itu, sering kali menjadi elemen yang penting dari identitas
budaya.”
Di samping definisi-definisi yang diberikan oleh organisasi-organisasi
internasional, kita dapat merujuk juga pada definisi yang diberikan oleh para
sarjana dan ahli. Diantaranya sebagaimana disebutkan oleh Peter Jaszi. Dengan
merujuk pada definisi-definisi pengetahuan tradisional yang telah ada
sebelumnya, Peter Jaszi secara umum mendefinisikan pengetahuan tradisional
sebagai pengetahuan yang dihasilkan dari aktivitas intelektual yang
dikembangkan berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang lalu, yang
15
Native Science Organization, Traditional Knowledge Systems in the Arctic, diakses dari
http://www.nativescience.org/html/traditional_knowledge.html, diakses tanggal 02 November
2017, pkl 18:35 WIB.
13
memiliki sifat dinamis dan karakter yang selalu berubah berdasarkan kebutuhan
dan perubahan masyarakat. Sejalan dengan Peter Jaszi, J. Janewa mendefinisikan
pengetahuan tradisional sebagai hasil dari aktivitas intelektual yang diturunkan
antar generasi, dan berhubungan dengan kelompok masyarakat tertentu.
Pengetahuan ini menekankan pada akumulasi dan transmisi pengetahuan antar
generasi.16
Sementara itu masyarakat asli sendiri memiliki pemahaman sendiri yang
dimaksud dengan pengetahuan tradisional yaitu:17
1) Pengetahuan tradisional merupakan hasil pemikirn praktis yang
didasarkan atas pengajaran dan pengalaman dari generasi ke generasi.
2) Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan di daerah
perkampungan.
3) Pengetahuan tradisional tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual, budaya, dan bahasa dari
masyarakat pemegang. Hal ini merupakan way of life. Pengetahuan
tradisional lahir dari semangat untuk bertahan.
4) Pengetahuan tradisional memberikan kredibilitas pada masyarakat
pemegangnya.
Pengetahuan obat tradisional merupakan bagian penting dari pengetahuan
tradisional di samping ekspresi budaya tradisional seperti lagu-lagu dan karya
seni. Bahkan diantara sekian banyak bentuk pengetahuan tradisional pengetahuan
16
Rohaini, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui
Pengembangan Sui Generis Law”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 9 No.4, Oktober-
Desember 2015, hlm. 431. 17
Budi Agus Riswandi, Op.Cit, hlm. 29.
14
obat-obatan tradisional adalah yang perlu saling serius mendapat perhatian
mengingat besarnya nilai ekonomi yang terkandung di dalamnya sehingga rentan
terhadap tindakan misappropriation.
Sebagai contoh, akhir-akhir ini marak terjadi biopiracy atau pembajakan
keanekaragaman hayati dari pengetahuan obat-obatan tradisional Indonesia seperti
dipatenkannya tanaman brotowali yang sudah dikenal lama sebagai obat
tradisional Indonesia oleh pengusaha asal Jepang18
Mengenai pelanggaran
semacam ini perangkat HKI yang tersedia tidak mempunyai ketentuan yang cukup
kuat untuk menindak para pelaku. Mengingat adanya sistem pendaftaran ”first to
file” yang dianut sebagian besar negara anggota WTO termasuk Indonesia.
Masalah yang paling mendasar adalah adanya beda persepsi mengenai
kemampuan rezim HKI dalam melindungi POT antara negara berkembang dengan
negara maju. Dalam pandangan masyarakar adat, rezim HKI dianggap tidak
memadai sebagai kerangka perlindungan POT mengingat sifat penguasaan HKI
yang individualistik justru bertentangan dengan sifat kepemilikan Pengetahuan
Tradisional termasuk POT yang collective ownership.
Dalam hal ini sesuai dengan apa yang saya temukan di lapangan saat melakukan
penelitian Pengetahuan Tradisional sendiri yaitu dalam bentuk obat-obatan
tradisional yang berasal dari Tanah Karo, Sumatera Utara. Masyarakat asli dari
tanah Karo ini termasuk dalam Suku Batak Karo yang mana Suku Batak Karo
sendiri termasuk dalam 1 dari 5 Suku Batak yang ada di Sumatera Utara. Suku
18
Wiradirdja Imas Rosidawati,”Konsep Perlindungan Pengetahuan Tradisional Berdasarkan
Asas Keadilan Melalui Sui Generis Intellectual Property System.”Jurnal Hukum IUS QULA
IUSTUM Vol 20, no. 2 (2013):Hlm. 166.
15
Batak yang lain anatara lain ada Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Pakpak,
Batak Mandailing/ Angkola.
2. Subjek Pengetahuan Tradisional
Berdasarkan hukum positif Indonesia dikenal dua subyek hukum yaitu manusia
(natuurlijke person) dan badan hukum (rechtpersoon). Secara umum, terdapat
beberapa pihak yang dimungkinkan menjadi subyek pemegang hak milik atas
pengetahuan tradisional, yaitu
a. Masyarakat adat merupakan pemilik utama atas pengetahuan tradisional;
b. Pemerintah (Pusat dan Daerah): Pemerintah bukan pemilik hak pengetahuan
tradisional, tetapi mempunyai kewajiban untuk mengelola dan
melindunginya;
c. Pihak ketiga: Perlindungan pengetahuan tradisional dengan sistem positif
menghendaki keterbukaan dalam pemanfaatannya, dengan syarat
pemanfaatan oleh pihak ketiga, tetapi tetap memperhatikan kepentingan
pemilik hak (Pejabat Pemegang Komitmen pada Dasisiten Deputi Daya Saing
Iptek Kementerian Riset dan Teknologi).19
Dalam hal ini subjek hukum yang dimaksud disini adalah manusia
(natuurlijke person) yang tergolong dalam masyarakat adat asli dari Tanah
Karo, Sumatera Utara yang bernama Setianna Br Bangun. Setianna Br
bangun disini sebagai peracik obat-obatan tradisional yang berasal dari suku
Karo. Ia juga yang terjun langsung untuk menjual hasil obat-obatan
tradisional yang ia buat sendiri.
19
Suyud Margono, Op.Cit, hlm. 186.
16
3. Objek Pengetahuan Tradisional
Pengertian yang banyak dipakai berasal dari WIPO yakni terdiri dari: agriculture
knowledge, evironment knowlege, dan medical knowledge, tetapi belum sempurna
karena tidak mencangkup hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang
manufaktur tradisional. Mengingat banyaknya know-how masyarakat adat di
bidang industri. Misalnya, perbuatan makanan tradisional, alat-alat rumah tangga
untuk kehidupan sehari-hari, bahkan industri tekstil. Ruang lingkup pengetahuan
tradisional dapat dikategorikan menjadi lima kelompok besar yaitu:20
a. Pengetahuan Agrikultural (biodiversity);
hasil dari interaksi antara sumber daya genetik, lingkungan dan sistem
manajemen dan praktik yang digunakan oleh petani
b. Pengetahuan Pengelolaan Lingkungan (environmental);
tanda yang menunjukkan asal suatu barang yang karena faktor lingkungan
(faktor alam atau faktor manusia dan kombinasi dari keduanya telah
memberikan ciri dri kualitas tertentu dari barang yang dihasilkan).
c. Pengetahuan Obat-Obatan;
Pengetahuan Obat-obatan termasuk di dalamnya obat dan penyembuhannya
d. Pengetahuan Manufaktur;
Suatu pengetahuan yang mengaplikasikan mesin, peralatan dan tenaga kerja
dan suatu medium proses untuk mengubah bahan mentah menjadi barang jadi
yang memiliki nilai jual.
e. Pengetahuan EBT (expression of folklore).
20
Ibid, hlm. 187.
17
EBT adalah Ekspresi Budaya Tradisional, karya intelektual di bidang
pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan
tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas
atau masyarakat tertentu.
Sesuai dengan Objek yang saya kaji disini adalah termasuk dalam
Pengetahuan Obat-obat dalam bentuk Obat-obatan Tradisional. Bagaiamana
dia sebagai peracik sekaligus penjual Obat-obatan tradisional yang terletak di
daerah Pusat Pasar Kabanjahe Tanah Karo, Sumatera Utara. Pengetahuan
pembuatan obat-obatan ini sudah secara turun temurun diperoleh. Pada
umumnya pada obat-obatan tradisional bahannya diperoleh dari tanaman-
tanaman seperti rempah-rempah tanpa bahan kimia.
4. Perlindungan Hukum terhadap Obat-Obatan Tradisional
Hukum mengatur hubungan hukum yang terdiri atas ikatan-ikatan antara individu
dan masyarakat dan antara individu itu sendiri. Ikatan-ikatan ini tercermin pada
hak dan kewajiban.21
Dalam usahanya mengatur, hukum menyesuaikan
kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat dengan sebaik-
baiknya; berusaha mencari keseimbangan antara memberi kebebasan kepada
individu dan melindungi masyarakat terhadap kebebasan individu. Mengingat
masyarakat itu terdiri atas individu-individu yang menyebabkan terjadinya
interaksi, sehingga akan selalu terjadi konflik atau ketegangan dengan
21
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007,
hlm. 40.
18
kepentingan masyarakat. Hukum berusaha menampung ketegangan atau konflik
ini sebaik-baiknya.22
Hukum sebagai sistem norma yang berlaku bagi masyarkat Indonesia, senantiasa
dihadapkan pada perubahan sosial yang sedemikian dinamis seiring dengan
perubahan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual,
sosial maupun politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap
perkembangan masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau
menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah, sesungguhnya alam
pikiran manusia Indonesia.23
Hukum harus mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat. Bentuk
perlindungan hukum berupa jaminan hak dan kewajiban dari subjek hukum.
Upaya perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional hingga saat ini
belum pernah diatur secara jelas. Kepemilikan terhadap suatu properti tertentu
lebih mudah bila dikaitkan dengan konsep kekayaan intelektual. Bukan berarti
keduanya memiliki kesamaan konseptual tentang dasar kepemilikan atas properti,
tetapi hanya karena pengaturan kekayaan intelektual sudah lebih dulu ada dan
mudah dalam proses penerapannya karena hanya menyangkut satu individu saja,
padahal sudah jelas keduanya sangat berbeda.24
Sedangkan ide tentang kepemilikan kekayaan intelektual sediri bersumber dari
gagasan John Locke pada bukunya “The second Treatise of Governance” yang
lahir sebagai akibat dari pemaksaan kepemilikan yang dilakukan raja atas aset
22
Ibid, hlm. 42. 23
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Binacipta:Jakarta, 1976, hlm. 6. 24
http://budaya-indonesia.org/laci/NCHSL diakses tanggal 10 Oktober 2017, pkl. 08.00 WIB.
19
rakyatnya. Karena sifatnya yang berorientasi pada individu, ide kepemilikan
pribadi dirasakan kurang pas jika dijadikan pijakan untuk melindungi kekayaan
budaya disamping secara natural budaya bersifat komunal, dinamis, dan
diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, kepemilikan budaya lebih
tepat jika berdasar pada konsep kepemilikan kolektif bukan kepemilikan individu.
Sifat kepemilikan HKI yang “absolut dan mutlak” yakni hak eksklusif yang
diberikan oleh negara kepada pencipta, inventor, pendesain ataupun penemuan
lainnya untuk menguasai sendiri ataupun memberikan hak kepada pihak lain
untuk memanfaatkan karyanya. Lebih jauh, hak eksklusif memiliki muatan
ekonomi dan moral. Secara ekonomi, pemegang HKI berhak atas kompensasi atas
eksploitasi komersil invensinya. Sedangkan secara moral, pemegang HKI berhak
atas pengakuan dan penghargaan atas dirinya sebagai inventor atau pencipta.
Disamping itu terdapat muatan sosial dalam bentuk penyebarluasan, pengayaan
dan dukungan yang berguna bagi pengembangan sumber daya manusia.
Pengaturan kepemilikan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional
di Indonesia, sebagaimana terefleksikan dalam Pasal 10, Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada kenyataannya belum
memuat batasan-batasan yang dapat dikategorikan sebagai pengetahuan dan
ekspresi budaya tradisional yang perlu dilindungi, bentuk perlindungan yang
dilakukan, serta kewenangan regulator dalam mengatur penggunaan pengetahuan
tradisional dan eskpresi budaya tradisional.
Sedangkan dalam lingkup internasional, WIPO (World Intellectual Property
Organization), sebuah lembaga dunia yang mengatur kekayaan intelektual,
20
berusaha mengakomodasi upaya-upaya perlindungan pengetahuan tradisional dan
ekspresi budaya tradisional dengan membuat sebuah draft perlindungan
pengetahuan tradisional dan ekspresi tradisional. Namun, upaya tersebut tidak
mencukupi kebutuhan perlindungan dan pengembangan budaya tradisional bagi
negara-negara yang memiliki keragaman budaya yang tinggi, seperti Indonesia.
Perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dapat
dilakukan dengan cara menyerahkan kepemilikan ekspresi budaya tradisonal
kepada negara. Dengan harapan akan menumbuhkan rasa kepemilikan bersama
sehingga kita dapat terhindar dari proses disintegrasi bangsa. Perlindugan yang
dilakukan oleh negara nantinya akan bersifat mengatur perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional.25
Perlindugan hukum di Indonesia terhadap Pengetahuan Tradisional, jika dilihat
dari kesatuan perundang-undangan tentang hak kekayaan intelektual hanya
terdapat 2 undang-undang yang secara eksplisit maupun tak langsung
menyebutkan mengenai pengetahuan tradisional, yaitu :
1) Undang-Undang Hak Cipta yaitu UU No. 19 tahun 2002, Pasal 10 yang
menyatakan bahwa : (1) Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan
pra sejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. (2) a) Hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat,
dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, dan karya seni
lainnya dipelihara dan dilindungi oleh negara; b) Negara memegang hak cipta
25
Suyud Margono, Op.Cit, hlm. 235.
21
atas ciptaan tersebut pada ayat (2) a) terhadap luar negri. (3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2) Undang-Undang Perlindugan Varietas Tanaman/PVT (UU No. 29 Tahun
2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman) yaitu terdapat pada Pasal 7
yang menyebutkan sebagai berikut : Varietas lokal milik masyarakat dikuasai
oleh negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah berkewajiban memberikan
panamaan tergadap varietas lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3), serta instansi yang diberi tugas untuk melaksanakannya,
diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Demikian dapat diketahui bahwa pengaturan obat-obatan herbal dan tekstil
tradisional sebagai pengetahuan tradisional dalam sistem hukum HKI di Indonesia
minim sekali. Ketiga perundang-undangan diatas yang secara ekspelisit maupun
implisit menyebut tentang pengetahuan tradisional tidaklah cukup akomodir untuk
melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat lokal pemilik pengetahuan
tradisional. Pasal-pasal dari ketiga perundang-undangan tersebut terlalu abstrak
dalam pelaksanaannya sehingga membutuhkan peraturan pelaksaannya yang lebih
konkret atau suatu undang-undang khusus yang mengaturnya.
Dilihat dari perkembangannya, pada zaman dahulu orang banyak menggunakan
obat tradisional yang kini lebih dikenal dengan nama obat-obatan herbal terutama
dari tumbuh-tumbuhan untuk mengobati berbagai penyakit. Di Indonesia orang
menyebutnya dengan jamu.
22
Obat nabati merupakan obat yang berasal dari tanaman yang aktivitas dan efeknya
berbeda-beda, contohnya obat yang diisolasi dari obat nabati :
1) Efedrin : Ephedra vulgaris
2) Atropin : Atropa belladona
3) Morfin : Papaver somnifera
4) Digoksin : Digitalis lanata
5) Vinblastin : Vinca rosae
Obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan dalam
fungsi biologis melalui proses kimia. Sedangkan definisi yang lengkap, obat
adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan: (1) pengobatan, peredaan,
pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, kelainan fisik atau gejala-gejalanya
pada manusia atau hewan; atau (2) dalam pemulihan, perbaikan atau perubahan
fungsi organik pada manusia atau hewan. Obat merupakan bahan yang disintesis
di dalam tubuh (misalnya: hormon, vitamin D) atau merupakan bahan-bahan
kimia yang tidak disentesis di dalam tubuh.26
Obat adalah bahan atau zat yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral maupun
zat kimia tertentu yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit,
memperlambat proses penyakit dan atau menyembuhkan penyakit. Obat ada yang
bersifat tradisional seperti, jamu, obat herbal dan ada yang telah melalui proses
kimiawai atau fisika tertentu serta telah diuji khasiatnya. Yang terakhir inilah
yang lazim dikenal sebagai obat. Obat harus sesuai dosis agar efek terapi atau
khasiatnya bisa kita dapatkan.27
26
http://www.ptpharpos.co.id/article.php?&m=Article&raid=17&lg diakses tanggal 2
September 2017 pkl. 14.00 WIB. 27
http://farmasi-istn.blogspot.com/2008/01/pengertian-obat.html diakses tanggal 2 September
2017 pkl 15.09 WIB.
23
Pada permulaan abad 20 obat-obatan sintesis makin maju pesat yaitu obat yang
berasal dari sintesis zat kimia. Sampai dengan sekarang kebanyakan orang lebih
memilih obat kimia dibanding obat dari alam, karena obat kimia lebih cepat
reaksinya daripada obat alam, tetapi obat kimia lebih banyak menimbulkan efek
samping dibanding obat alam.28
Pengertian obat dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu obat modern dan obat
tradisional. Obat modern adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan
untuk melakukan pengobatan yang berfungsi untuk mencegah, menghilangkan,
mengurangkan atau menyembuhkan suatu penyakit, luka, kelainan badaniah,
rohaniah serta memperelok badan dan anggota badan. Obat modern berasal dari
produk kimiawi/ sintetik yang berkhasiat dan keamanannya telah terbukti secara
ilmiah. Semuanya harus didasarkan pada hasil penelitian dan harus bisa
dipertanggung-jawabkan secara rasional melalui kaidah keilmuan.
Obat tradisional, di negara Indonesia yang dalam bahasa sehari-hari dikenal
dengan istilah jamu. Jamu adalah obat jadi atau obat terbungkus yang berasal dari
bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan atau sediaan galeniknya atau
campuran bahan-bahan tersebut yang belum ada klinisnya dan penggunaanya
untuk kesehatan hanya berdasarkan pengalaman. Obat tradisional atau jamu
berasal dari alam dan khasiatnya belum dibuktikan secara ilmiah. Selama ini,
penggunaannya hanya didasarkan pada data empirik semata, yaitu data
pengalaman seseorang yang telah mengalami penyembuhan setelah minum jamu.
Sekalipun banyak orang meyakini khasiat jamu, tetapi kalangan dokter belum bisa
28
http://dprayetno.wordpress.com/sejarah-dan-perkembangan-obat/ diakses tanggal 2
September 2017 pkl. 15.20 WIB.
24
menganggapnya sebagai obat layaknya obat modern. Oleh karena itu, jamu oleh
kalangan kesehatan modern dikategorikan sebagai kelompok sarana pengobatan
alternatif. Di luar negri obat tradisional yang berasal dari tumbuhan disebut
sebagai medical herbs.29
Pengertian obat tradisional berdasarkan Peraturan Menteri kesehatan
No.246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan
Pendaftaran Obat Tradisional, Pasal 1 menyatakan bahwa: Obat tradisional adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang secara
tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Menurut penelitian masa kini, meskipun obat-obatan tradisional yang
pengolahannya masih sederhana (tradisional) dan digunakan secara turun-temurun
berdasarkan resep nenek moyang adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan
setempat, memang bermanfaat bagi kesehatan dan kini digencarkan
penggunaannya lebih mudah dijangkau masyarakat, saat ini banyak digunakan
karena menurut beberapa penelitian tidak terlalu menyebabkan efek samping,
karena masih dapat dicerna oleh tubuh.
Obat tradisional biasanya merupakan obat-obatan yang diolah secara tradisional,
turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau
kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional.
Menurut penelitian masa kini, selain obat modern obat-obatan tradisional juga
29
www.depkes.go.id diakses tanggal 3 September 2017 pkl. 08.00 WIB.
25
bermanfaat bagi kesehatan, dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih
mudah dijangkau masyarakat, baik harga maupun ketersediaanya.
Obat tradisional pada saat ini banyak digunakan karena menurut beberapa
penelitian tidak terlalu menyebabkan efek samping, karena masih dapat dicerna
oleh tubuh. Beberapa pengusahaan mengolah obat-obatan tradisional yang
dimodifikasi lebih lanjut. Bagian dari obat tradisional yang dapat dimanfaatkan
adalah akar, rimpang, batah, buang, daun dan bunga. Bentuk obat tradisional yang
banyak dijual pasar dalam bentuk kapsul, serbuk, cari, simplisia dan tablet.30
Di negara China31
, sudah sejak dahulu kala telah dikenal obat-obatan
tradisionalnya. Obat-obatan tradisional China ini menjadi sangat terkenal dan
berkembang dengan cara lebih pesat semenjak epidermi SARS pada tahun 2003.
Obat-obatan tradisional China ini yang juga dinamakan Traditional Chinese
Medicine (TCM) oleh Peter Genea32
dikemukakan bahwasannya negara China
selain banyak mengekspor bahan-bahan dasar (raw materials) untuk produksi
TCM berbasis pharmasi, juga mengimpor produk-produk pharmasi yang
sophisticated dengan harga tinggi dari negara-negara tetangganya seperti Korea
dan Jepang, dan juga dari negara-negara Amerika Serikat dan Eropa.
30
http://id.wikipedia.org/wiki/Obat_tradisional diakses tanggal 3 September 2017 pkl. 09.20
WIB. 31
Dalam dua dekade terakhir, pengobatan dengan menggunakan obat-obatan tradisional maju
dengan sangat pesat, terutama karena adanya anggapan pengobatan tradisional dengan
menggunakan sumber daya herbal lebih aman daripada menggunakan bahan kimia. Menurut Guru
Besar Ilmu Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Muchtan Sujatno
dikemukakan bahwa pengobatan dengan cara tradisonal Cina terutama dengan obat-obat berasal
dari sumber daya herbalnya sangat mendunia. Hal ini disebabkan terhadap obat-obatan tradisional
berasal dari sumber daya herbal yang sangat melimpah di Cina, telah dilakukan uji praktik dan
klinik dengan hasil yang sangat memuaskan bagi pengobatan suatu penyakit, tanpa menggunakan
bahan-bahan kimia. 32
Peter Genea, (et.al), Intellectual Property Law in China, Mac Planck Institute for Foreign
and International Patent, Copyright and Competition Law, Kluwer Law International, 2005, hlm.
31-33.
26
Sistem perlindungan kekayaan intelektual pada dewasa adalah sakit untuk
mendapatkan perlindungan bagi produk industri TCM. Mengenal hal ini Peter
Genea menjelaskan sebagai berikut :
An intellectual property protection system especially shaped to meet the
needs of the TCM industry is difficult to establish, however. Patent protection
is only partially applicable, as it only awards innovative achievements but not
the effort of preserving traditional knowledge. Moreover, the strict
technicality princaple stipulated by the PA is a notable obstacle to the patient
protection of TCM, which is often practiced by way of non-patenable medical
treatment.
C. Lingkup Pengetahuan Tradisional dalam Hak Kekayaan Intelektual
Pengertian Pengetahuan Tradisional dapat ditemukan dalam Article 8(j)
Traditional Knowledge, Innovations and Practices Introduction yang menyatakan
bahwa:
“Pengetahuan tradisional merujuk pada pengetahuan, inovasi dan praktik dari
masyarakat asli dan lokal di seluruh dunia. Dikembangkan dari pengalaman
melalui negara-negara dan diadaptasi ke budaya lokal dan lingkungan,
pengetahuan tradisional ditransmisikan secara lisan dari generasi ke generasi.
Hal itu menjadi kepemilikan secara kolektif dan mengambil bentuk cerita,
lagu, folklore, nilai-nilai budaya, keyakinan, ritual, hukum masyarakat,
bahasa daerah dan praktik pertanian mencakup pengembangan spesies
tumbuhan dan keturunan binatang. Pengetahuan tradisional utamanya
merupakan praktik alamiah, secara khusus seperti dalam wilayah pertanian,
perikanan, kesehatan, hortikultural dan kehutanan.”33
33
M.Syamsudin Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual Dan Budaya Hukum
(Jakarta: Rajawali Pers, 2005). hlm. 27.
27
Pengertian di atas memberi gambaran bahwa pengetahuan tradisional terbagi
menjadi 2 (dua) bagian besar yakni mencakup pengetahuan tradisional terkait
keanekaragaman hayati dan ekspresi budaya tradisional. Keanekaragaman hayati
berupa Sumber Daya Genetik (SDG) merupakan karakter tumbuhan atau hewan
yang dapat diwariskan, dapat bermanfaat atau berpotensi untuk dimanfaatkan oleh
manusia, yang mengandung kualitas yang dapat memberikan nilai ekologi,
genetik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan pendidikan, budaya, rekreasi dan
estetika keanekaragaman hayati tersebut dan komponennya. Sehingga termasuk
dalam SDG adalah hewan, tumbuhan dan mikrobiologi yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia dalam dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Contoh
misappropriation SDG dapat kita temukan pada kasus Beras Basmati India yang
dipatenkan oleh perusahaan Amerika, pematenan pohon Neem (India) sebagai
obat anti serangga oleh perusahaan Jepang atau pematenan tumbuh-tumbuhan asli
Indonesia seperti brotowali, cabe jawa, sambiloto dan lain-lain sebagai bahan
kosmetik oleh perusahaan Shiseido-Jepang.
Penjelasan di atas memberi gambaran bahwa perpaduan antara pengetahuan
tradisional dengan sumber daya genetika mengandung nilai komersial tinggi yang
dapat menghasilkan produk atau proses tertentu. Sehingga, maraknya tindakan
Biopiracy atau pembajakan pengetahuan tradisional berbasis SDG oleh pihak
eksternal (di luar masyarakat pemangku pengetahuan) membawa kerugian berlipat
ganda bagi pemilik pengetahuan. Khususnya terkait dengan pembagian
keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari penggunaanya. Dalam hal ini
terdapat kekhawatiran akan adanya“legalisasi” terselubung dari bio-piracy dalam
28
rezim HKI modern khususnya melalui ketentuan Paten dan Perlindungan Varietas
Tanaman (PVT).34
Secara substantif pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat diartikan
sebagai “Hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual
manusia”. Penggambaran ini pada dasarnya memberikan kejelasan bahwa HKI
memang menjadikan karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan
intelektual manusia sebagai inti dan objek pemahaman mengenai hak atas
kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Berkaitan dengan sifat substantif hakekat perlindungan HKI tersebut, seiring
dengan Pasal 27 (2) dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights), menyebutkan bahwa:
“Everyone has the right to the protect of the moral and material interest
resulting from any scientific, literary, or artistic production of which he/she is
the author”.
“Setiap orang memiliki hak untuk melindungi moral dan kepentingan materi
yang dihasilkan dari setiap ilmu, sastra atau seni produksi yang ida ciptakan.”
Dikatakan sebagai kemampuan intelektual manusia karya-karya di bidang ilmu
pengetahuan, seni sastra, ataupun teknologi memang dilahirkan atau dihasilkan
oleh manusia melalui kemampuan intelektualnya, melalui daya cipta, rasa dan
karsanya. Karya-karya seperti ini, penting untuk dibedakan dari jenis kekayaan
lain yang juga dapat dimiliki manusia, tetapi juga tidak tumbuh atau dihasilkan
oleh intelektualitas manusia. Misalnya kekayaan yang diperoleh dari alam, seperti
34
Wahyu Sasongko, “Indikasi Geografis, Rezim Hki Yang Bersifat Sui Generis”, Jurnal
Media Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Vol 19, no. 1 (2012): Hlm. 101-102.
29
tanah dan atau tumbuhan berikut hak-hak kebendaan lain yang diturunkan. Dari
segi ini, tampak mudah dipahami sebagaimana Intelectual Property Right (IPR)
yang berbeda dengan real property.35
Menurut Anne Fitzgerald, karya-karya intelektual tersebut, apakah dibidang ilmu
pengetahuan, atau seni, sastra, atau teknologi, dilahirkan dengan pengorbana,
menjadikan karya yang dihadirkan tersebut menjadi bernilai. Apalagi dengan
manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat
menumbuhkan konsep kekayaan (property) terhadapat karya-karya intelektual itu
bagi pemiliknya.36
35
Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai HKI di Indonesia, CV. Novindo Pustaka:
Jakarta, 2006, hlm. 21. 36
Suyud Margono, Op. Cit, hlm. 2
30
D. Kerangka Pikir
Penjelasan terhadap bagan kerangka pikir di atas yaitu bahwa pengetahuan
tradisional sebagai aset bangsa contohnya Obat-obatan tradisional yang dapat
diberdayakan potensinya secara ekonomis.Potensi pengetahuan tradisional yang
memiliki keuntungan ekonomis yang secara faktual banyak dimanfaatkan oleh
negara-negara maju antara lain Amerika Serikat dan Jepang untuk industri obat-
obatan dan kosmetika tanpa adanya pembagian keuntungan (benefit sharing)
dengan Indonesia. Amerika Serikat dan Jepang menjadi contoh negara yang
melakukan biopiracy dan missapppropriation terhadap pengetahuan tradisional
Indonesia.
Terdapat 14 obat penting yang dipatenkan di Amerika Serikat berasal dari
tumbuhan Indonesia antara lain “tapak dara” yang berguna bagi penyembuhan
kanker. Sementara Jepang mematenkan obat-obatan dan kosmetika yang
Pengetahuan Tradisonal
Obat-Obatan Tradisional
Perlindungan Hukum Hambatan
31
bahannya diperoleh dari keanekaragaman dan pengetahuan tradisonal di
Indonesia.
Pemanfaatan pengetahuan tradisional atas kekayaan hayati tersebut perlu
dilakukan untuk mendapatkan manfaat ekonomis bagi masyarakat lokal yang
memiliki pengetahuan tersebut untuk mencegah tindakan pencurian (biopiracy)
dan penyalahgunaan (missappropriation) pengetahuan tradisional masyarakat
lokal indonesia oleh pihak asing, dalam hal ini negara-negara maju yang telah
memiliki dan mengembangkan bioteknologi. Namun demikian, bahwa rezim HKI
yang diatur di dalam perundang-undangan Indonesia merupakan hasil desakan
negara-negara maju yang tidak mengakui adanya hak milik komunal atas
pengetahuan tradisional dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pengetahuan terbatas mengenai pengakuan hak komunal (masyarakat lokal)
Indonesia dapat dijumpai di dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT), hak atas foklor di dalam UU No. 19
Tahun 2002 dan hak atas indikasi geografis di dalam UU No. 15 Tahun 2001.
Indonesia belum memiliki undang-undang sui generis yang mengatur
perlindungan dan pemanfaatan pengetahuan tradisional. Sementara kekayaan
pengetahuan tradisional Indonesia begitu melimpah dan beragam di antaranya
pengetahuan tradisional yang terkait dengan sumber daya genetik, pertanian,
ilmiah, lingkungan obat-obatan, kosmetika, ekpresi foklor di bidang musik, tari,
lagu, kerajinan tangan, unsur-unsur bahasa, dan benda budaya yang bergerak
lainnya yang dimiliki oleh daerah secara beragam.
32
Pemanfaatan yang seimbang dan berkelanjutan dengan mendasarkan pada
potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah, maka akan menghasilkan efektifitas
dan efisiensi pemanfaatan pengetahuan tradisional yang dapat mendukung
pengembangan daerah khusunya dan pembangunan Indonesia secara keseluruhan.
Belum jelasnya pengaturan perlindungan kesimpangsiuran pemahaman produk
budaya tradisional dan proses pendaftaran hak cipta atas pengetahuan tradisional
yang berbeda dengan pengaturan dalam sistem HKI seperti hak cipta, merek,
paten, dan desian industri. Selain itu juga disebabkan kurangnya perhatian berupa
inventarisasi dan publikasi seni budaya Indonesia yang semestinya didaftarkan di
lembaga internasional yang memberikan perhatian serta perlindungan hak
kekayaan tradisional dan budaya agar tidak diklaim pihak lain.
Kepemilikan hak atas folklor, dikuasi negara untuk mencegah segala bentuk
eksploitasi atau pemnfaatan pihak asing, tentunya kita semua wajib memelihara
dan melestarikan, meski proses pendafatrannya belum ada pengaturannya.
Berdasarkan problematika terhadap ketidaksesuaian konsep antara karya dan
pengetahuan tradisional (traditional knowledge) yang merupakan wilayah
kepentingan publik (common heritage) dan perlindungan HKI yang menganut
paham individualisme, eksklusif dan monopolistik masalah dalam Pengkajian ini
menjadi menarik dan perhatian peneliti untuk mengkaji kembali eksistensi apakah
konsep penerapan kepemilikan bersama atas karya dan pengetahuan tradisional
tersebut menyebabkan dilanggaranya asas kepemilikan HKI diperoleh sejak
pengetahuan dan teknologi tradisional (traditional knowledge) tersebut pertama
kali dipublikasikan (publication) dan diberikan wewenang kepemilikannya oleh
33
Negara (grant by goverment authoritative) untuk menggunakan Hak
Eksklusifnya.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika,
dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara
sistematis, metodologis, dan konsisten berarti tidak ada hal yang bertentangan
dalam kerangka tertentu. Sistematis artinya menggunakan sistem tertentu,
metodologis artinya menggunakan metode atau cara tertentu dan konsisten berarti
tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu. Penelitian sangat
diperlukan untuk memperoleh data yang akurat sehingga dapat menjawab
permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan dapat mempertanggung
jawabkan kebenarannya.37
Penelitian hukum merupakan proses kegiatan berpikir dn bertindak logis, metodis,
dan sistematis mengenai gejala yuridis, peristiwa hukum, atau fakta empiris yang
terjadi, atau yang ada di sekitar kita untuk direkonstruksi guna mengungkapkan
kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan.38
A. Jenis Penelitian dan Tipe Penelitian
Hal yang penting untuk diketahui dalam melakukan sebuah penelitian adalah jenis
dan tipe penelitian yang akan digunakan. Berikut ini adalah pemaparan penulis
mengenai jenis dan tipe penulisan yang akan digunakan penulis.
37
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung:PT Citra Aditya Bakti,
2004, hlm 2. 38
Ibid, hlm. 3.
35
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif-terapan, yaitu penelitian hukum
yang mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif
(perundang-undangan) dan kontak secara faktual pada setiap peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah
ditentukan.39
Pengkajian ini akan melihat sistem komunal dalam penerapan dan
melindungi pengetahuan tradisional, dengan menyertakan beberapa hasil
kesepakatan internasional.
b. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah tipe penelitian
hukum deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan
untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang
berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis
yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.40
B. Pendekatan Masalah
Sesuai dengan jenis penelitian yaitu hukum normatif-terapan, maka pendekatan
masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif-terapan. Untuk
menggunakan pendekatan normatif-terapan, terlebih dahulu merumuskan masalah
dan tujuan penelitian, kemudian masalah dan tujuan tersebut dirumuskan secara
rinci, jelas, dan akurat. Pendekatan normatif-terapan adalah pendekatan dengan
mempertimbangkan titik tolak penelitian ini tentang konsep kepemilikan bersama
terhadap asas-asas dan norma hukum Kebendaan dan Hak Kekayaan Intektual
39
Ibid, hlm. 53. 40
Ibid, hlm. 50.
36
dimana kepemilikan bersifat individual dan pengetahuan tradisional yang asas
kepemilikannya bersifat bersama (kolektif) kemudian dengan melakukan studi
komparasi berupa perbandingan hukum anatara negara-negara berkembang yang
menerapkan sistem komunal dalam menerapkan dan melindungi pengetahuan
tradisional. Pendekatan normatif-terapan dengan cara melihat kenyatan-keyataan
hukum yang ada dilapangan yang berpa sikap, perilaku, dan pendapat hukum para
subjek penelitian tentang pokok permasalahan dalam penelitian ini. Dengan
pendekatan terapan ini diharapkan agar tergambar kondisi sebenarnya tentang
urgensi adanya perlindungan terhadap pengembangan obat-obatan Tradisional di
Indonesia melalui rezim Pengetahuan Tradisional.
C. Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder41
dengan rincian sebagai berikut :
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertaama
dengan demikian data primer adalah data yang diperoleh dengan melakukan studi
lapangan seperti melakukan wawancara terkait dengan permasalahan yang
diteliti.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang meliputi
bahan-bahan dokumentasi, tulisan ilmiah, buku-buku, dan sumber-sumber tertulis
lainnya. Data sekunder ini antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-
41
Mukti Fajar dan Yulianto Achamad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 156-158.
37
buku hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya yang
dalam penelitian ini antara lain:
1) Bahan Hukum Primer (bahan hukum yang mengikat), yaitu:
a) Perjanjian TRIPS;
b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United
Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati);
c) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten;
d) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis;
e) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer berupa, bahan pustaka, seperti dokumen resmi, buku,
majalah, jurnal, hasil penelitian, dan makalah yang berkaitan dengan
kebijaksanaan perlindungan Pengetahuan Tradisional.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang dapat menjelaskan baik
bahan hukum primer mapun bahan hukum sekunder, seperti : Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, media cetak dan website.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan untuk memecahkan masalah yang
ada sehingga data-data tersebut harus benar-benar dapat dipercaya dan akurat.
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui langkah-langkah
sebagai berikut.
a. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam
penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data
38
sekunder dengan cara membaca, menelaah dan mengutip peraturan perundang-
undangan, buku-buku, dan literatur yang berkaitan dengan perlindungan
pengetauan tradisional.
b. Studi Dokumen
Studi Dokumen dilakukan dengan mengkaji dokumen resmi institusional yang
berupa surat keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 , Surat Edaran No. PN.03.4.41.411.02.14.574
tanggal 06 Februari 2014 tentang Registrasi Ulang Obat Tradisional dan
Suplemen Kesehatan dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian.
c. Studi Wawancara
Studi wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan pihak yang terlibat
langsung dengan permasalahan yang diteliti guna mencapai tujuan tertentu, yang
dilakukan dengan kegiatan wawancara kepada responden penelitian sebagai usaha
mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam skripsi, antara lain :
1. Dra. Adelia Sinuraya, Apt., sebagai Plh. Kepala Badan Pemeriksaan Obat
dan Makanan Provinsi Lampung;
2. Zakiah Kurniati, S. Farm, Apt, M. Sc., sebagai Plh. Kepala Badan
Pemeriksaan Obat dan Makanan Provinsi Sumatera Utara;
3. Produsen dan Penjual obat-obatan tradisonal Karo Ibu Setiana BR Bangun.
E. Metode Pengolahan Data
Tahap-tahap pengolahan daa dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:42
a. Pemeriksaan Data (editing)
42
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm.90.
39
Pembenaran apakah data yang terkumpul melalui studi pustaka, dokumen, dan
studi putusan sudah dianggap lengkap, relevan, jelas, tidak berlebihan, dan tanpa
kesalahan.
b. Penandaan Data (coding)
Pemberian tanda pada data yang diperoleh, baik berupa penomoran ataupun
penggunaan tanda atau simbol atau kata tertentu yang menunjukkan
golongan/kelompok/klasifikasi data menurut jenis dan sumbernya, dengan tujuan
untuk menyajikan data secara sempurna, memudahkan rekonstruksi serta analisis
data.
c. Penyusunaan/Sistematika Data (constructing/systematizing)
Kegiatan menabulasi secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda itu
dalam bentuk tabel-tabel yang berisi angka-angka dan presentase bila data itu
kuantitatif, mengelompokkan secara sistematis data yang sudah diedit dan diberi
tanda itu menurut klasifikasi data dan urutan masalah bila data itu kualitatif.
F. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
kualitatif, yaitu menganalisis data yang berupa bahan-bahan hukum dan bahan-
bahan pustaka. Analisis dilakukan dengan penafsiran terhadap data hasil
penelitian. Hasil analisis disajikan secara sederhana dan sistematis.
Hasil analisis diuraikan ke dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak
tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan
40
pemahaman hasil analisis, kemudian ditarik kesimpulan sehingga diperoleh
gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang dibahas.43
43
Ibid, hlm. 127.
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dan diuraikan,
maka dapat disimpulkan yaitu
1. Perlindungan hak paten atas pengetahuan tradisional khususnya tentang obat
tradisional di Indonesia masih terdapat perbedaan substansial dalam konsep
tentang pengetahuan tradisionalnya. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sendiri
dibangun untuk melindungi author (pencipta atau inventor) sebagai individu
atas hasil kreasi originalnya dan bentuk perlindungan dari hak Indikasi
geografis Obat Tradisional Karo di Indonesia hanya sebatas Undang-undang
Merek Dan Indikasi Geografis Nomor 20 Tahun 2016. Hak Indikasi
Geografis sangat penting sebagai payung hukum terhadap suatu produk jika
memang sudah terdaftar sebagai Hak Indikasi Geografis dalam sistem Hak
Kekayaan Intelektual di Indonesia tentu akan mendapatkan proteksi atas hak-
hak dan kewajiban terhadap barang yang di daftarkan sebagai barang Indikasi
Geografis. Termasuk terhadap bentuk dari perlindungan Hak Indikasi
Geografis sesuai dengan kaidah hukum di Indonesia.
2. Pengakuan negara dalam pengakuan hak indikasi geografis dapat dilihat dari
pendaftaran hak indikasi geografis itu sendiri, jika memang sudah terdaftar
maka secara otomatis akan mendapatkan pengakuan, demikian pula dengan
77
masyarakat karo jika memang sudah terjadi pendaftaran dan diakui sebagai
hak indikasi geografis maka akan dengan hal itu pula menjadi hak ekslusifitas
terhadap masyarakat karo dengan mendapatkan pengakuan dan perlindungan
baik dari segi hal ekonomis dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan
Obat Tradisional Karo.
3. Faktor-faktor penghambat perlindungan obat-obatan tradisional menurut
pengetahuan tradisional yaitu: persepsi masyarakat yang tidak merasa
keberatan apabila produk mereka ditiru oleh pihak lain (dalam hal ini HKI
sebagai fungsi sosial); aspek kepemilikan pengetahuan tradisional; tindakan
misappropriation; terbatasnya data, dokumentasi dan informasi mengenai
Pengetahuan Obat Tradisional (POT); dan tidak adanya regulasi khusus yang
mengatur mengenai perlindungan Pengetahuan Obat Tradisional (POT).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas penulis memberikan saran yang sekiranya dapat
dijadikan suatu wacana untuk mengadakan pembaharuan hukum sebagai berikut:
1. Perlunya sosialisasi HKI pada semua kalangan terkait, seperti aparat penegak
hukum, pelajar, masyarakat pemakai, dan yang tak kalah pentingnya adalah
kalangan pers karena dengan kekuatan tinta kalangan jurnalis upaya
kesadaran akan pentingnya HKI akan relatif lebih mudah terwujud.
78
2. Bentuk dari pengakuan negara terhadap hak indikasi geografis terhadap suatu
produk lokal sangat penting bagi pengakuan produk itu sendiri, demikian
dalam hal ini peneliti juga menyarankan bahwa jika memang selama ini Obat
Tradisional Karo belum terakui sebagai hak indikasi geografis dari
masyarakat karo, maka Kementerian Hukum dan Ham dalam hal ini
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual semestinya berperan aktif
untuk terjun ke masyarakat yang sebelumnya belum memahami hak indikasi
geografis dan memberikan pengakuan terhadap hak indikasi geografis jika
memang sudah memenuhi kriteria sebagai bagian bentuk dari indikasi
geografis.
3. Perlunya menggalakkan kesadaran peningkatan kesehatan melalui obat-
obatan tradisional sehingga dapat menumbuh kembangkan kesadaran akan
pentingnya pengetahuan obat tradisional.
79
Lampiran :
UD. GIRIK
80
SURAT REKOMENDASI PENYEHAT TRADISIONAL
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ary S, Suhandi, dkk. 2002. Conservation Concession Reconciliatory Effort
between the Demand of Increasing Local Revenue and Ecosystem
Protection in the Process of Power Devolution: A Case Study From Siberut
Island, Sumatra, Final Report. Jakarta: Conservation International
Indonesia.
Budi, Agus Riswandi. 2015.Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djumhana, Muhammad. 2006. Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Damian, Eddy. 2010.Hukum Hak Cipta.Bandung: PT Alumni.
Fajar, Mukti dan Achamad, Yulianto. 2010.Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Genea, Peter, (et.al). 2005.Intellectual Property Law in China, Mac Planck
Institute for Foreign and International Patent. Kluwer Law International.
Copyright and Competition Law.
Harahap, Zairin. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta. Raja
Grafindo Persada.
Jimmy P dan M.Marwan. 2009.Kamus Hukum. Surabaya: Reality Publisher.
Kesowo, Bambang. 2006.Pengantar Umum Mengenai HKI di Indonesia. Jakarta:
CV. Novindo Pustaka.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1976.Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional. Jakarta: Binacipta.
.M. Hadjon, Phillipus.1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia.
Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Margono,Suyud. 2015. Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Mencari
Konstruksi Hukum Kepemilikan Komunal Terhadap Pengetahuan dan Seni
Tradisional dalam Sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia.
Bandung: Pustaka Reka Cipta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung:PT Citra
Aditya Bakti.
Purwaningsih, Endang. 2005. Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights
Kajian Hukum Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual Dan Kajian
Komparatif Hukum Paten. Bogor: Ghalia Indonesia.
Risang Ayu, Miranda, dkk. 2014. Hukum Sumber Daya Genetik, Pengetahuan
Tradisional dan Exspresi Budaya Tradisinal di Indonesia. Bandung: PT
Alumni.
Raharjo, Satjipto. 2000.Ilmu Hukum. Bandung.PT. Citra Aditya Bakti.
Sudikno, Mertokusumo. 2007.Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
--------------------. 2009.Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya bakti.
Sardjono, Agus. 2011. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional.
Bandung: Penerbit PT Alumni.
Sutedi, Adrian. 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Perundang-Undangan
Perjanjian TRIPS;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati);
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis;
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;
Jurnal
Adhimiharja, Kusnaka. 2007.Jenis Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor
Serta Karakteristiknya, hlm. 1.
Darwan, Prinst dan Prinst Darwin, 1986. Sejarah dan Kebudayaan Karo. Bandung
: CV. Yrama, 198
Rohaini, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui
Pengembangan Sui Generis Law”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Volume
9 No.4, Oktober-Desember 2015.
Sasongko, Wahyu “Indikasi Geografis, Rezim Hki Yang Bersifat Sui Generis”,
Jurnal Media Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Vol 19, no. 1
(2012).
Rosidawati, Wiradirdja Imas,”Konsep Perlindungan Pengetahuan Tradisional
Berdasarkan Asas Keadilan Melalui Sui Generis Intellectual Property
System.”Jurnal Hukum IUS QULA IUSTUM Vol 20, no. 2 (2013).
Daulay, Zainul “Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional
Masyarakat Asli Tentang Obat Di Indonesia,”Jurnal Media Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Vol 19, no. 2 (2012).
Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta. Raja
Grafindo Persada, 2001.
Skripsi
Roseva Sari Br Bangun, “Kuning” Pada Masyarakat Karo (Studi
Antropologi Kesehatan di Desa Bunuraya, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten
Karo), Medan: Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
2009, hlm. 4.
Salmen Sembiring, Pengetahuan dan Pemanfaatan Metode Pengobatan
Tradisional Pada Masyarakat Desa Suka Nalu Kecamatan Barus Jahe,Medan:
Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2013, hlm. 1.
Tesis
Fitri Hidayat. Perlindungan Indikasi Geografis Terhadap Produk Potensi Indikasi
Geografis Di Indonesia, Tesis tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, 2011.
Internet
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fd1bd073c3a6/perlindungan-
indikasi-geografis-aset-nasional-dari-pendaftaran-oleh-negara-lain