Penilaian PerformaPengelolaan Perikananmenggunakan Indikator EAFMKajian Pada Perikanan Ikan Karang dan Ikan Tuna di Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara Ir. Halili, M.Sc. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari
Daftar Isi
1 Pendahuluan .............................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan dan Output Studi ..................................................................................................... 4
2 Sekilas Kondisi Perikanan Wakatobi ... ........................................................................................ 5
2.1 Perikanan Berbasis Ikan Karang .......................................................................................... 7
2.2 Perikanan Berbasis Ikan Tuna ........................................................................................... 11
2.3 Kawasan Taman Nasional Wakatobi.................................................................................. 14
3 Metode Penilaian Performa Indikator EAFM ............................................................................. 17
3.1 Pengumpulan data............................................................................................................ 17
3.2 Analisa Komposit .............................................................................................................. 23
4 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan ................................................................................... 27
4.1 Hasil Penilaian Tematik Pengelolaan Perikanan Berbasis Ikan Karang ................................ 27
4.1.1 Domain Sumberdaya Ikan ......................................................................................... 27
4.1.2 Domain Habitat dan Ekosistem ................................................................................. 31
4.1.3 Domain Teknis Penangkapan Ikan ............................................................................. 39
4.1.4 Domain Sosial ........................................................................................................... 43
4.1.5 Domain Ekonomi....................................................................................................... 46
4.1.6 Domain Kelembagaan ............................................................................................... 48
4.2 Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Sumberdaya Ikan Kabupaten Lembata ............ 53
4.2.1 Domain Sumberdaya Ikan ......................................................................................... 53
4.2.2 Domain Habitat dan Ekosistem ................................................................................. 58
4.2.3 Domain Teknis Penangkapan Ikan ............................................................................. 66
4.2.4 Domain Sosial ........................................................................................................... 69
4.2.5 Domain Ekonomi....................................................................................................... 72
4.2.6 Domail Kelembagaan ................................................................................................ 74
5 Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan ................................................................................. 80
5.1 Analisis Menggunakan Teknik Bendera...............................................................................80 5.1.1 Perikanan Berbasis Ikan Karang..............................................................................80 5.1.2 Perikanan Berbasis Ikan Tuna................................................................................86 6 Pembahasan.............................................................................................................................92 6.1 Metode dan Analisis EAFM..................................................................................................92 6.1.1 Metode EAFM.........................................................................................................92
6.1.2 Analisa Indikator EAFM..........................................................................................93 6.2 Performa Staus Perikanan Yang Diaji................................................................................100 6.2.1 Perikanan Berbasis Ikan Karang...........................................................................100 6.2.2 Perikanan Berbasis Ikan Tuna...............................................................................106 7. Kesimpulan dan Rekomendasi ................................................................................................ 113
7 Referensi ................................................................................................................................ 115
8 Lampiran ................................................................................................................................ 117
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan
undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Dalam konteks adopsi
hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk
proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum
dari peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas
sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga
dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial
ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001).
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum
mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi tersebut, di mana kepentingan
pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar
dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang
dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang
menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks ini lah,
pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan
(ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi
sangat penting.
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai : “an
ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking
account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of
ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within
ecologically meaningful boundaries”. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana
EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan
sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan
pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan,
informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia
dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu,
komprehensif dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain adalah : (1)
perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh
ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3
perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4)
prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata
kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Wakaobi sebagai wilayah kepulauan di Sulawesi Tenggara dikaruniai dengan
ekosistem perairan tropis memiliki karakterstik dinamika sumberdaya perairan, termasuk
di dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan ini tidak
terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah
menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan
yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi
masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup
bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran
model sederhana dari kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan
terpadu berbasis ekosistem menjadi sangat penting.
Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi Taman Nasional terletak pada
posisi geografis antara 50° 12´– 6° 10´ Lintang Selatan dan 123° 20´ - 124° 39´ Bujur
Timur. Wilayah timur berbatasan dengan Laut Banda, barat berbatasan dengan Pulau
Buton dan Laut Flores, utara berbatasan dengan laut Banda dan selatan berbatasan dengan
laut Flores. Secara keseluruhan Kabupaten Wakatobi memiliki luas daratan 823 km²,
dengan panjang garis pantai kurang lebih 315 km dan memiliki 30 pulau terdiri 10 pulau
terhuni dan 20 pulau tidak terhuni. Secara administrasi Kabupaten Wakatobi memiliki 5
Kecamatan dan 52 desa pantai dengan luas perairan diperkirakan 55.131 km².
TNW memiliki keistimewaan yang terletak pada keindahan bawah laut,
keanekaragaman biota laut dan terumbu karangnya, karena kawasan ini terletak di tengah
kawasan segitiga karang dunia. Tercatat sebanyak 396 jenis karang keras berterumbu
(scleractanian hermatripic), 10 spesies karang keras tak-berterumbu (scleractanian
ahermatripic), 28 genera karang lunak, dan 31 spesies karang fungi di TNW. Sebanyak
590 spesies ikan ditemukan di Wakatobi, bahkan hasil ekstrapolasi menggunakan Coral
Fish Diversity Index, diperkirakan ikan karang di Wakatobi mencapai 942 spesies (WWF-
TNC, 2003). Keanekaragaman jenis lamun juga termasuk tinggi dengan ditemukan 11
spesies lamun di perairan Wakatobi dari 12 spesies yang ada di Indonesia (Sahri dan
Subhan, in prep). Dengan demikian, tidak mengherankan jika dilihat dari keragaman hayati
lautnya, ukuran atau skala, serta kondisi terumbu karangnya, TNW termasuk dalam
prioritas tertinggi dalam pelestarian laut di Indonesia.
Sekitar 111.000 penduduk tinggal di Wakatobi (BPS Wakatobi, 2010), menjadikan
Wakatobi sebagai salah satu dari beberapa Taman Nasional di Indonesai dengan populasi
penduduk yang padat. Ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya laut sangat tinggi,
mengingat sebagian besar penduduknya adalah nelayan, baik sebagai mata pencaharian
utama maupun sampingan.
Kabupaten Wakatobi memiliki potensi sumberdaya perikanan baik ikan pelagis
maupun ikan demersal termasuk ikan karang didalamnya. Besarnya potensi tersebut telah
dimanfaatkan begitu lama dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di daerah ini hingga
saat ini belum terkelola dengan baik kondisi ini dibuktikan sangat minimnya dokumen-
dokumen pengelolaan sumberdaya perikanan yang tersedia untuk diakses oleh publik. Disi
lain adanya permintaan pasar yang begitu tinggi mendorong nelayan melakukan ekploitasi
secara tak terkendali sehingga pada akhirnya semakin menambah deretan permasalahan
dalam pengelolaan sumbedaya tersebut.
Informasi yang berkaitan dengan status pengelolaan perikanan tangkap khususnya
ikan pelagis besar (tuna) dan ikan karang di Kabupaten Wakatobi hingga saat ini masih
belum banyak terungkap hal ini disebabkan sinergitas antar pemangku kepentingan belum
berjalan dengan baik dan fokus kajian terhadap sumberdaya tersebut umumnya hanya
terfokus pada domain sumberdaya dan teknik penankapannya sedangkan domain yang lain
masih berjalan secara parsial. Oleh karena itu berdasarkan infromasi tersebut maka
pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan, Dirjen Tangkap
Direktort Sumerdaya Ikan bekerjasam denagn WWF Indonesia meginisiasi pengelolaan
perikanan melalui pendekatan ekosistem (EAFM) Sebagai implemtasi untuk mewujudkan
hal tersebut maka dilakukan pilot test pengelolaan sumberdaya perikana karang dan
perikanan tuna dengan metode EAFM dengan salah satu wilayah implementasinya di
Kabupaten Wakatobi.
1.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan kajian dan analisis pengelolaan
perikanan ikan karang dan ikan tuna melalui indikator-indikator pengelolaan perikanan
dengan pendekatan metode EAFM.
1.3 Output
Output dari studi ini memberikan gambaran awal pilot test mengenai penilaian
indikator EAFM pada pengelolaan perikanan ikan karang dan ikan tuna dan ekomendasi
pengeloaan perikanan di Kabupaten Wakatobi serta adanya rekomendasi perbaikan metode
dan analisa indikator EAFM .
2 SEKILAS KONDISI PERIKANAN WAKATOBI
Kegiatan perikanan di kabupaten Wakatobi merupakan sumber mata pencaharian
sebagian besar masyarakat pesisir. Kegiatan perikanan tangkap merupakan bidang
perikanan yang utama, sedangkan kegiatan budidaya laut yang menonjol hanyalah
budidaya rumput laut. Sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan adalah ikan-ikan pelagis
kecil seperti layang, kembung, selar, tongkol, kuweh, terbang, dan julung-julung, dan
pelagis besar seperti cakalang dan tuna, serta ikan demersal utamanya ikan-ikan karang.
Beberapa jenis hewan lunak seperti gurita dan teripang juga memberi kontribusi yang
cukup signifikan pada produksi perikanan. Produksi ikan laut di Kabupaten Wakatobi
diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Produksi bulanan perikanan laut Kabupaten Wakatobi Tahun 2010.
Bulan Jenis Hasil Laut (Ton)
Jumlah Ikan Pelagis Ikan Dasar Teripang Ikan
Sunu Gurita
(1) (2) (3) (4) (5) (6) Januari 200,3 130,5 0,24 6,5 0,6 Februari 210,5 99 0,38 4,5 0,5 Maret 327,2 167,5 0,37 9 1,8
April 386,7 308,9 0,5 8,3 2,1 Mei 354,1 195,8 0,58 8,6 1,2 Juni 279,4 154,8 0,65 6,1 1,8
Juli 252,9 142,5 0,46 5,5 0,8 Agustus 257 123,3 0,38 3,4 0,9 September 296,9 191,7 0,4 6,6 1,4
Oktober 364,3 200,1 0,43 9,8 0,7 November 333,7 284,7 0,5 9 2 Desember 382,2 203,1 0,41 7,5 1,5
Jumlah 3645,2 2201,9 5,3 84,8 15,3 5952,5
Tabel di atas memperlihatkan bahwa produksi ikan pelagis kecil memberi porsi
yang terbesar dalam produksi perikanan di wilayah ini. Penyumbang produksi terbesar
kedua adalah ikan demersal (ikan karang). Dua spesies biota ekosistem pesisir dan terumbu
karang yang memberi kontribusi yang signifikan yaitu Ikan sunu dan Gurita, sedangkan
komoditi ikan pelagis besar yang cukup signifikan adalah tuna. Ketiga spesies tersebut di
tangkap secara khusus oleh nelayan dan juga dipasarkan dengan alur pemasaran yang
khusus dengan target pasar antar pulau/antar wilayah bahkan ekspor.
Jumlah alat tangkap di Kabupaten Wakatobi tahun 2009 selengkapnya disajikan
pada Tabel 2 Alat tangkap pancing, jaring insang dan bubu merupakan jenis alat tangkap
yang dominan hampir di semua kecamatan. Ketiga jenis alat tangkap ini digunakan
terutama untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil yang bergerombol di perairan pantai
dan ikan-ikan karang. Termasuk dalam kategori pancing adalah pancing tonda untuk
penangkapan ikan tuna di perairan lepas pantai.
Tabel 2. Jumlah unit alat tangkap untuk penangkapan ikan karang di Kabupaten Wakatobi tahun 2009.
Sumber: CRITC DKP Kab. Wakatobi (2011)
Struktur armada penangkapan ikan di Kabupaten Wakatobi masih didominasi oleh
jukung dan bodi batang. Kedua jenis perahu inilah yang digunakan untuk mengoperasikan
pancing, jaring insang dan bubu untuk penangkapan ikan di perairan pantai dan terumbu
karang. Kapal-kapal berkapasitas >5GT sangat sedikit yang digunakan untuk penangkapan
ikan, sebagian besar digunakan untuk transportasi. Jumlah armada penangkapan
selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2009
JENIS KECAMATAN
JumlahWangi2 Wangsel Kaledupa Kalsel Tomia Tomtim Bnk Tg. Bnk
JUKUNG 108 159 113 75 74 47 39 29 644 PRH PAPAN 2 25 8 3 2 2 1 43 MOTOR TMPL 3 73 52 244 26 13 2 410 BODY BATANG 67 176 183 89 96 13 17 7 648 KAPAL < 5 GT 11 3 2 9 2 7 3 37 KAPAL 5-10 GT 32
2.1 Perikanan Berbasis Ikan Karang
Ikan karang merupakan komponen sumberdaya ikan yang sagat penting di
Kabupaten Wakatobi. Perikanan berbasis ikan karang di wilayah ini telah menjadi sumber
mata pencaharian utama masyarakat nelayan dari generasi ke generasi. Secara artisanal
penangkapan ikan karang dilakukan masyarakat pada area terumbu karang yang relatif
dekat dengan area-area pemukiman di pesisir pantai. Adapun perikanan komersial selain
memanfaatkan area terumbu karang yang dekat dengan area pemukiman/perkampungan
nelayan di sekeliling pulau-pulau utama (main island) juga secara intensif memanfaatkan
terumbu karang penghalang dan atol yang luas di sebelah Selatan (southern attols) serta
beberapa gosong karang dan atol luar di sebelah Timur (outer reef). Beberapa area
penangkapan ikan karang utama antara lain Karang Kapota, Karang Kaledupa, Karang
Tomia, Karang Koko dan Karang Koromaha.
Sejumlah 15 famili ikan ditemukan selama pemantauan kesehatan karang tahun
2011. Ikan kakak tua (famili Scaridae), ikan kakap (famili Lutjanidae) dan ikan kulit pasir
(famili Acanthuridae) merupakan 3 famili ikan yang mendominasi nilai biomassa
keseluruhan ikan, dengan persentase biomassa berturut-turut sebesar 24%, 21% dan 19%.
Berdasarkan kelompok fungsional ikan, famili Scaridae mendominasi 54% biomassa ikan
herbivora, sedangkan famili Lutjanidae mendominasi 45% biomassa ikan karnivora.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Total Herbivora Karnivora
Biom
assa
(kg.
ha-1
)
SphyraenidaeSiganidaeSerranidaeScombridaeScaridaeMyliobatidaeLutjanidaeLethrinidaeLabridaeKyphosidaeHaemulidaeEphippidaeCarangidaeCaesionidaeAcanthuridae
Gambar 1. Persentase biomassa rata-rata (kg.ha-1) ikan total semua famili, ikan herbivora
dan ikan karnivora hasil pemantauan tahun 2011 (Sumber: WWF 2011)
Biomassa rata-rata ikan total (semua famili) tertinggi ditemukan di zona larang
ambil-atol selatan sebesar 443.5 kg/ha dengan densitas sebesar 4331.7 ind/ha. Biomassa
dan densitas rata-rata ikan karang hasil pemantauan Tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar
2. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pada ketiga kelompok terumbu karang yang di
pantau, atol selatan atau terumbu karang penghalang memiliki biomassa dan densitas ikan
yang relatif lebih tinggi dibanding dua kelompok lainnya. Berdasarkan kategori zonasinya,
biomasa ikan total pada semua kelompok terumbu karang lebih tinggi pada zona larang
ambil dibandingkan dengan zona pemanfaatan. Demikian juga dengan densitas ikan total
menunjukkan nilai yang lebih tinggi di zona larang ambil dibandingkan dengan zona
pemanfaatan, kecuali pada tipe habitat karang luar, dimana densitas ikan total lebih tinggi
di zona pemanfaatan daripada di zona larang ambil
0100200300400500600
700800900
1000
No Take Use No Take Use No Take Use
Main Island Outer reef Sth Attols
Biom
assa
(kg.
ha-1
)
a
0
1000
2000
3000
4000
5000
No Take Use No Take Use No Take Use
Main Island Outer reef Sth Attols
Dens
itas (
ind.
ha-1
)
b
Gambar 2. Biomassa rata-rata (kg.ha-1±SE) dan densitas rata-rata (ind.ha-1±SE) ikan karang di TNW hasil pemantauan tahun 2011 (Sumber: Taman Nasional Wakatobi)
Perikanan karang di Kabupaten Wakatobi merupakan perikanan tertua dan sangat
familiar bagi nelayan setempat, namun teknologi penangkapan yang digunakan dari masa
ke masa hampir tidak berkembang. Alat tangkap seperti pancing, jaring insang, bubu, dan
panah masih mendominasi. Upaya modifikasi alat tangkap hanya dalam hal ukuran.
Modifikasi konstruksi dan metode operasi yang pernah tercatat adalah pada alat tangkap
pancing yang dikenal dengan “pancing kedo-kedo” untu menangkap ikan dan pancing
gurita namun penggunaannya masih terbatas pada komunitas nelayan tertentu.
Alat tangkap yang terlihat mengalami penurunan jumlah yang signifikan dalam
sepuluh tahun terakhir adalah sero. Penurunan ini sekaligus menggambarkan adanya
penurunan kelimpahan populasi ikan pada ekosistem pantai yang dangkal khususnya pada
area yang relatif dekat dengan kawasan perkampungan penduduk dimana sero biasanya
dipasang. Penurunan jumlah unit tersebut tentunya disebabkan oleh penurunan produksi
dari waktu ke waktu.
Alat tangkap yang sangat sederhana namun memiliki jumlah yang cukup besar
adalah panah. Penggunaan panah untuk menangkap ikan biasanya digunakan oleh nelayan-
nelayan artisanal yang menangkap ikan untuk konsumsi keluarga sendiri. Banyak pula
nelayan komersil yang mengoperasikan alat tangkap pancing, jaring maupun bubu yang
juga memiliki panah sebagai alat tangkap sampingan. Penggunaan panah sebagai alat
tangkap untuk perikanan komersil terutama pada penangkapan gurita. Pada penangkapan
gurita modifikasi terhadap pengoperasian alat tangkap panah dilakukan dengan
menggunakan atraktor berupa boneka berbentuk gurita berwarna hitam atau merah sebagai
alat bantu untuk memikat gurita agar keluar dari sarangnya.
Aktivitas penangkapan ikan karang di Perairan Kabupaten Wakatobi sesungguhnya
berlangsung sepanjang tahun. Musim penangkapan terutama dipengaruhi oleh musim
angin dan gelombang serta arus. Musim angin dan kondisi gelombang di Perairan
Wakatobi diuraikan pada Tabel 4. Dalam mengatasi pengaruh musim angin terhadap
aktivitas penangkapan ikan, nelayan melakukan perpindahan/pergiliran daerah
penangkapan atau bahkan pergiliran metode penangkapan. Oleh karena itu musim
penangkapan ikan biasanya bervariasi menurut jenis alat tangkap. Sebagai contoh
misalnya, penangkapan ikan kerapu sunu dengan alat tangkap pancing ulur di Karang
Kapota berlangsung dari bulan Nopember hingga April, faktor pembatasnya adalah
gelombang dan arus yang menyebabkan visibility menurun sehingga menyulitkan
pengoperasian pancing ulur yang saat pemancingan nelayan perlu melihat secara langsung
keberadaan ikan di dasar perairan.
Tabel 4. Musim Angin dan Kondisi Gelombang di Perairan Kabupaten Wakatobi
Rata-rata jumlah hasil tangkapan nelayan per hari dari masing-masing desa pesisir
yang mengelola perikanan karang bervariasi dengan kisaran 2-27 kg/hari. Sekitar 63%
desa-desa pesisir yang diobsevasi memiliki jumlah rata-rata tangkapan nelayan <5 kg/hari
dan hanya sekitar 11% yang mencapai 15 kg/hari. Variasi jumlah rata-rata tangkapan
nelayan dari masing-masing desa disajikan pada Gambar 3. Variasi ini berkaitan dengan
kelimphan sumberdaya ikan pada daerah penangkapan yang dapat diakses oleh masyarakat
nelayan di masing-masing desa. Dua desa di Kecamatan Tomia yakni Desa Lamanggau
dan Desa Runduma serta tiga desa di Kecamatan Wangi-wangi yakni Desa Longa, Desa
Wandoka dan Desa Wandoka Utara memiliki nilai rata-rata hasil tangkapan nelayan yang
relatif lebih tinggi. Nelayan Desa Lamanggau yang dihuni orang bajo mengakses karang
Tomia dan beberapa gosong karang di Sebelah Timur, nelayan Runduma mengakses
karang sekitar Pulau Runduma dan beberapa gosong karang disekitarnya, nelayan Desa
Longan dan Wandoka mengakses terumbu karang tepi di sebelah Utara Pulau Wangi-
wangi.
Gambar 3. Rata-Rata Jumlah Hasil Tangkapan Nelayan Ikan Karang dari SetiapDesa Pesisir di Kabupaten Wakatobi.
2.2 Perikanan Berbasis Ikan Tuna
Kepulauan Wakatobi merupakan sebuah kepulauan yang menjorok ke Laut Banda
sehingga daerah operasi nelayan untuk perikanan lepas pantai adalah perairan Laut Banda.
Perairan Laut Banda merupakan perairan yang subur yang disebabkan oleh adanya
penambahan makanan/zat hara (nutrient) dari darat ke laut dan terjadinya proses upwelling
di beberapa tempat. Kondisi seperti ini diduga merupakan daerah asuhan untuk jenis-jenis
ikan tuna dan cakalang dan juga mungkin memegang peranan penting sebagai basis
penambahan stok baru (rekruitment) ke perairan sekitarnya. Dengan kondisi perairan
seperti tersebut di atas maka, pemanfaatan sumber daya ikan tuna dan cakalang di perairan
laut Banda merupakan lapangan usaha yang potensial dalam mendukung perekonomian
daerah maupun devisa negara yang meliputi usaha penangkapan ikan tuna dan cakalang.
Dalam konteks Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI maka perairan
Wakatobi termasuk dalam WPP RI 714 yang meliputi Laut Banda dan teluk Tolo. Karena
itu untuk menggambarkan potensi perikanan tuna bagi nelayan Wakatobo dapat dilihat dari
potensi perikanan tuna di WPP RI 714. Secara terperinci dari 3 jenis tuna yang sering
tertangkap di Perairan Laut Banda, Uktolseja dkk dalam Widodo, dkk. (1998) melaporkan
bahwa TML untuk ikan madidihang (Thunnus alabacares), tuna mata besar (Thunnus
obesus) dan albakor (Thunnus allalunga), berturut-turut adalah 13.720 ton, 7.290 ton dan
150 ton. Potensi ikan pelagis kecil sebesar 132.000 ton dengan kepadatan rata-rata 1,2
ton/km2 (Merta, dkk dalam Widodo dkk, 1998)
Tabel 5. Kepadatan ikan (ind.1.000 m-3) pada berbagai strata kedalaman perairan di Laut Banda, bulan Oktober sampai dengn Nopember 2003
Sumber : Nurhakim, 2007.
Dari Tabel 5. ini terlihat bahwa sebaran vertikal biomassa tertinggi terdapat pada
kedalaman antara 25 sampai dengan 50 m. Pada kedalaman lebih dari 50 m, biomassa
semakin mengecil dengan bertambahnya kedalaman. Sebaran vertikal ikan tuna mata besar
umumnya berada pada lapisan massa air di sekitar termoklin (200 m sampai dengan 250
m), sedangkan ikan madidihang berada pada lapisan massa air yang lebih dangkal. Secara
horisontal, densitas ikan pada permukaan perairan membentuk 3 pemusatan isodepth yaitu
di bagian timur (130°–131° BT) dengan kelimpahan rata-rata 10 ind.1.000 m-3, bagian
tengah (129°–130° BT), dengan kelimpahan rata-rata 8 ind.1.000 m-3 dan bagian barat
(128°–129° BT) dengan kelimpahan rata-rata 11 ind.1.000 m-3 (Nurhakim, 2007)
Usaha penangkapan tuna di Wakatobi saat ini cukup berkembang dan bersifat
perikanan rakyat. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing tonda dan pancing ulur
yang dioperasikan oleh 1-3 orang nelayan per unit perahu. Dalam perkembangannya,
teknologi pancing tonda yang beroperasi di perairan Wakatobi telah terdiferensiasi menjadi
lima jenis sebagai bentuk inovasi nelayan dalam upaya memanfaatkan tingkah laku ikan,
menjangkau berrbagai swimming layer ikan dan spesies target yang lebih bervariasi.
Hanya satu diantara lima jenis tersebut yang dioperasikan dengan kapal dalam keadaan
bergerak. Kelima jenis pancing tonda tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Tipe Statis (dioperasikan dengan kapal dalam keadaan diam):
a. Pancing diberi umpan hidup seperti ikan terbang, cumi-cumi dan sebagainya.
b. Pancing diikatkan pada sendok yang terlipat sehingga memberikan gaya tenggelam
dan efek meliuk-liuk di dalam air
c. Pancing diberi umpan segar dan menggunakan batu sebagai alat bantu untuk
menurunkan pancing hingga kedalaman yang diinginkan dan selanjutnya batu akan
terlepas ketika dihentakkan.
d. Pancing diberi pemberat timah dan diberi plastik lentur sehingga menyerupai ekor
ikan.
2. Tipe Bergerak (dioperasikan dengan kapal dalam keadaan bergerak).
Pancing dipasangi umpan buatan yang umumnya menyerupai ikan terbang dan
digunakan layang layang untuk memberi efek seolah-olah umpan tersebut terbang dan
melompat-lompat di permukaan air.
Seorang nelayan biasanya menggunakan satu atau lebih dari metode-metode tersebut
tergantung pada kondisi ikan di daerah penangkapan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah
perlunya redesain kapal pancing tonda agar lebih sesuai dengan peruntukannya untuk
mengoperasikan kelima metode tersebut di atas.
Produksi tuna dari nelayan wakatobi dalam empat tahun terakhir memperlihatkan
trend peningkatan mskipun terjadi sedikit penurunan pada tahun 2010. Produksi tuna
Kabupaten Wakatobi tahun 2008-2011 diperlihatkan pada Gambar 4. Peningkatan produksi
tersebut didorong oleh peningkatan kapasitas tangkap akibat perbaikan metode
penangkapan dan peningkatan ukuran kapal khususnya pada nelayan di Pulau Wangi-
wangi. Modifikasi metode penangkapan sebagaimana diuraikan di atas mampu
meningkatkan laju tangkap sehingga ukuran kapal dapat diperbesar sehingga dapat
dioperasikan oleh 3 orang nelayan.
Gambar 4. Produksi Tuna Kabupaten Wakatobi Tahun 2008-2011.
Dari data produksi bulanan dapat dilihat kecenderungan musim penangkapan.
Musim penangkapan ikan tuna di wilayah ini sangat dipengaruhi oleh musim angin Barat
dan angin Timur serta pergeseran dalam pola ruaya tuna. Berdasarkan Gambar 5. terlihat
adanya kecenderungan puncak produksi pada bulan September hingga Desember
khususnya dalam 2 tahun terakhir. Pada periode inilah diduga menjadi periode musim
puncak penangkapan setiap tahunnya. Periode ini merupakan peralihan dari musim angin
Timur ke musim angin Barat.
Gambar 5. Trend Produksi Bulanan Tuna di Kabupaten Wakatobi Tahun 2009-2011.
Daerah penangkapan adalah perairan sekitar Kepulauan Wakatobi, nelayan
melakukan pergiliran darah penangkapan berdasarkan kondisi perairan. Daerah
penangkapan tuna oleh nelayan Wakatobi meliputi : Perairan Utara Pulau Wangi-wangi
hingga Selatan Pulau Boton, Perairan Barat Kepulauan Wakatobi hingga Pulau Batu Atas,
Perairan Timur Kepulauan Wakatobi hingga Pulau Runduma, dan Perairan Selatan
Kepulauan Wakatobi sekitar Pulau Binongko.
Hasil tangkapan dari para nelayan berupa cakalang dan tuna berukuran kecil
umumnya dipasarkan dalam bentuk utuh ke pasar-pasar lokal, sedangkan tuna berukuran
besar dipasarkan dalam bentuk loin kepada para pengumpul lokal. Selanjutnya pengumpul
lokal mengirim loin tuna kepada pengumpul di Kota Kendari untuk selanjutnya diteruskan
ke Kota Makassar. Harga di tingkat lokal saat ini berkisar Rp. 38.000-40.000 per kg.
Dalam meningkatkan jaminan pasar, pengumpul lokal biasanya membina beberapa nelayan
penangkap dalam bentuk bantuan modal, teknologi dan jaminan harga.
Rantai distribusi yang panjang berpotensi menyebabkan penurunan kualitas loin
tuna. Untuk mengatasi hal itu nelayan berupaya memulai rantai dingin lebih awal, yaitu
setelah ikan tertangkap nelayan langsung membelah dan membuat loin tuna dan diawetkan
dengan es sejak di atas perahu. Solusi lain yang dapat diupayakan adalah mendekatkan PPI
dengan daerah penangkapan, dalam hal ini dengan mendirikan PPI sesuai standar selain
sebagai tempat pemasaran juga sebagai penyediaan sarana produksi dan bahan pengawet
khususnya es, lokasi pembinaan dan pendataan produksi.
2.3 Kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi
Sejak tahun 1996, wilayah Kepulauan Wakatobi seluas 1.390.000 Ha ditetapkan
sebagai Taman Nasional oleh Kementrian Kehutanan untuk melindungi ekosistem laut dan
pesisirnya dengan tujuan dapat terus menyediakan kebutuhan bagi kepentingan perikanan,
ekowisata dan perlindungan pesisir khususnya terumbu karang. Kawasan Kepulauan
Wakatobi terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol serta perairan di sekitarnya. Tercatat
sebanyak 396 jenis karang keras berterumbu (scleractanian hermatripic), 10 spesies
karang keras tak-berterumbu (scleractanian ahermatripic), 28 genera karang lunak, dan 31
spesies karang fungi di TNW. Sebanyak 590 spesies ikan ditemukan di Wakatobi, bahkan
hasil ekstrapolasi menggunakan Coral Fish Diversity Index, diperkirakan ikan karang di
Wakatobi mencapai 942 spesies (WWF-TNC, 2003). Sejak tahun 2003 kawasan Wakatobi
secara administrasi menjadi Kabupaten Wakatobi dengan luasan yang sama dengan luas
kawasan TNW.
Sekitar 111.000 penduduk tinggal di Wakatobi (BPS Wakatobi, 2010),
menjadikan Wakatobi sebagai salah satu dari beberapa Taman Nasional di Indonesai
dengan populasi penduduk yang padat. Ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya
laut sangat tinggi, mengingat sebagian besar penduduknya adalah nelayan, baik sebagai
mata pencaharian utama maupun sampingan.
Pada masa lalu, terumbu karang di TNW mengalami pengrusakan yang luas
akibat praktek perikanan yang merusak. Ancaman terkini bagi kesehatan terumbu karang
dan perikanan berkelanjutan di TNW adalah perikanan illegal dan penangkapan berlebih,
serta penambangan karang dan pasir oleh masyarakat lokal untuk bahan bangunan.
Ledakan populasi biota mahkota berduri (COTs) yang merupakan predator karang tercatat
di TNW pada tahun 2007 (Purwanto et al, 2009). Terumbu karang juga mengalami
ancaman akibat penyakit karang dan oleh meningkatnya suhu permukaan laut sebagai
akibat dari perubahan iklim.
Rencana pengelolaan dan zonasi TNW telah direvisi tahun 2008 dan telah
diimplemantasikan oleh Balai TNW dengan dukungan dari TNC dan WWF. Zonasi baru
ini memungkinkan penggunaan kawasan untuk berbagai peruntukan seperti perikanan,
budidaya dan ekowisata. Zonasi yang baru terdiri dari 6 zona dengan 3 zona larang ambil
(Zona Inti, Zona Perlindungan Laut dan Zona Pariwisata), 2 zona pemanfaatan (lokal dan
umum), serta 1 zona khusus daratan yang diperuntukkan bagi pengembangan infrastruktur
untuk masyarakat dan pemerintah. Zona Inti merupakan kawasan yang sepenuhnya
dilindungi. Zona Perlindungan Bahari dan Pariwisata terlarang bagi kegiatan perikanan,
tetapi memungkinkan bagi pemanfaatan yang tidak merusak, seperti rekreasi penyelaman,
keduanya diperuntukkan untuk melindungi sumberdaya yang penting dan berfungsi
sebagai bank ikan. Zona Pemanfaatan Lokal yang sangat luas khusus diperuntukkan bagi
masyarakat lokal Wakatobi. Zona Pemanfatan Umum diperuntukkan bagi perikanan
pelagis laut dalam. Secara keseluruhan, zona larang ambil di Wakatobi hanya mencakup
3.7% dari total luas wilayah Wakatobi, namun demikian telah mencakup 37% dari habitat
penting seperti terumbu karang, mangrove dan lamun.
Zonasi TNW tersebut dibuat melalui serangkaian tahapan termasuk didalamnya
konsultasi public, namun zona inti yang merupakan zona dimana penangkapan dilarang
sepenuhnya masih dipandang terlalu kecil dibanding luas TNW secara keseluruhan.
Melalui Program COREMAP II telah difasilitasi pembentukan Daerah Perlindungan Laut
(DPL) di semua desa pesisir. DPL ini merupakan upaya perluasan zona larangan ambil (no
take zone), upaya meningkatkan kapasitas dukungan lingkungan terhadap rekruitmen
sumberdaya ikan di kawasan ini serta upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
konservasi lingkungan. Zonasi TNW dan sebaran DPL dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Peta Zonasi dan Sebaran Daerah Perlindungan Laut di Taman Nasional Laut Wakatobi (Sumber: Coremap II)
3 METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOR EAFM
3.1 Pengumpulan data
Lokasi pelaksanaan pilot test EAFM di laksanakan di Kabupaten Wakatobi dan
untuk pengumpulan data dilakukan mulai tanggal 20 April – 21 Mei 2012. Pengumpulan
data primer dilakukan melalui survei dan pengamatan langsung serta wawancara di
lapangan pada sejumlah responden yang berkaitan dengan aktivitas perikanan ikan karang
dan ikan tuna. Pengumpulan data sekunder perikanan yanng dimaksud lebih diprioritaskan
di Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Wakaobi, Balai Taman Nasional Wakatobi, WWF-TNC Wakatobi,
Konsorsium Mitra Bahari, Universitas Haluoleo. Data sekunder yang dikumpulkan berupa
Laporan Tahunan dan Statistik Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Wakatobi sejak tahun 2007 – 2010. Sedangkan data-data lain yang tidak dapat diperoleh
dari Dinas Kelautan dan Perikanan khususnya yang terkait dengan ketujuh domain EAFM
berupa laporan hasil-hasil penelitian yang telah di publish oleh WWF Wakatobi, KMB
Sultra, Universitas Haluoleo sejak tahn 2005 – 2011.
Pengumpulan data yang berkaitan dengan Domain Habitat dan Ekosistem
bersumber dari hasil-hasil penelitian baik telah terpublikasi dalam bentuk jurnal maupun
laporan-laporan penelitian dan dokumen yang relevan khusunya yang mengkaji mengenai
sumberdaya perikaan dan perairan pesisir dan laut Kabupaten Wakatobi.
Selain melakukan pengumpulan data sekunder tersebut, dilakukan pula
pengumpulan informasi melalui wawancara. Wawancara ini dibagi menjadi dua kelompok
yaitu wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kelembagaan
dan sebagai respondennya adalah Kepala Dinas, Kepala Bidang Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Kepala Bidang Pengawsan, Coremap II Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi,
Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, Camat dan Kepala Desa di lingkungan lokasi
target survei di Kabupaten Wakatobi.
Kelompok kedua yang menjadi responden adalah nelayan sebagai sumber
informasi dilapangan pada setiap desa nelayan atau penduduknya mayoritas sebagai
nelayan, dimana responden nelayan ini mewakili tiga kelompok nelayan yaitu nelayan ikan
tuna, nelayan ikan karang dan nelayan umum atau lainnya. Setiap kelompok nelayan di
tentukan respoden sejumlah 5 orang dan apabila dalam satu desa hanya ada satu kelompok
nelayan maka jumlah responden hanya 5 orang namun apabila ketiga kelompok nelayan
tersebut ada di desa target maka jumlah responden 15 orang. Jumlah nelayan tersebut
tersebar pada 8 Kecamatan 54 desa di Kabupaten Wakatobi. Pelaksanaan wawancara
tersebut didukung dan dilaksanakan oleh rekan-rekan dari WWF Kabupaten Wakatobi
yang dilaksanakan sejak tanggal 20 April – 21 Mei 2012. Adapun sebaran jumlah
responden pada setiap desa pesisir target tertera pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Jumlah Responden Berdasarkan Desa Nelayan Target Setiap Kecamatan Kecamatan Desa RTP Nelayan Jumlah Responden
Wangi-Wangi
1. Mola Bahari
219
15 2. Mola Nelayan Bakti 15 3. Mola Samaturu 15 4. Mola Selatan 15 5. Mola Utara 15 6. Kapota/Kollo 10
Wangi-Wangi Selatan
7. Wapia-pia
309
10 8. Waha 10 9. Koroe 10 10. Waelumu 10 11. Patuno 10 12. Sombu/Wandoka 10 13. Longa 10 14. Sousu 10 15. Matahora 10
Kaledupa dan Kaledupa Selatan
16. Sama Bahari
705
15 17. Mantigola 15 18. Tanomeha 10 19. Balasuna 10 20. Darawa 10 21. langge 10 22. Lentea 10 23. Lewuto 10 24. Peropa 10 25. Sombano 10
Tomia dan Tomia Timur
26. Lamanggau
326
15 27. Kolosoha 10 28. Onemay 10 29. Waha 10 30. Tongano Barat 10 31. Waitii 10 32. Waitii Barat 10 33. Kulati 10 34. Patipelong 10 35. Timu 10 36. Teemoane 10
Tomia dan Tomia Timur
37. Runduma 10 38. Patua 1/2 5 39. Tongano Timur 5 40. Kahianga 5 41. Wawo Timu 5 42. Dete 5
Binongko dan Togo Binongko
43. Lagongga
102
15 44. Kampo-Kampo 10 45. Jaya Makmur 10 46. Wali 10 47. Rukua 10 48. Palahidu 10 49. Makoro/Taipabu 10 50. Waloindi 10 51. Oihu 10 52. Sowa/Popalia 11 53. Palahidu Barat 5 54. Haka 5 Jumlah 1830 551
Adapun pengumpulan data untuk penilaian status indikator setiap domain yang
menjadi fokus penilaian ini, sebagai berikut :
a. Indikator Domain Sumberdaya Ikan Indikator Sumber data Kriteria
CPUE Baku (Standarize CPUE)
Kondisi Perikanan Di Wilaya Coremap II Kab. Wakatobi Tahun 2011 dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = CPUE baku menurun tajam 2 = CPUE baku menurun sedikit 3 = CPUE baku stabil atau meningkat
Ukuran Ikan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil
2 = trend ukuran relatif tetap 3 = trend ukuran semakin besar
Proporsi Ikan Yuwana (Juvenile) yang ditangkap
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = banyak sekali (> 60 %) 2 = banyak (30 – 60 %) 3 = sedikit (<30 %)
Komposisi Spesies Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dengan non-
target 3 = proporsi target lebih banyak
"Range Collapse" sumberdaya Ikan
DKP Kab. Wakatobi 2010 dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = semakin Sulit 2 = relatif tetap 3 = makin mudah 1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2 = fishing ground jauh 3 = fishing ground relatif tetap
jaraknya.
Spesies ETP Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = banyak tangkapan spesies ETP 2 = sedikit tangkapan spesies ETP 3 = tidak ada spesies ETP yang
tertangkap
b. Indikator Domain Habitat dan Ekosistem
Indikator Sumber data Kriteria
Kualitas perairan
Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.
Limbah yang reidentivikasi secara klinis, audio/visual 1 = tercemar 2 = tercemar sedang 3 = tidak tercemar Tingkat kekeruhan 1 = > 20 mg/m3 konsentrasi tinggi 2 = 10 – 20 mg/m3 konsentrasi sedang 3 = < 10 mg/m3 konsentrasi rendah Eutrofikasi 1 = konsentrasi klorofil a > 10 mg/m3 terjadi
eutrofikasi. 2 = konsentrasi klorofil a 1 - 10 mg/m3 potensi
terjadi eutrofikasi. 3 = konsentrasi klorofil a < 1 mg/m3tidak terjadi
eutrofikasi
Status lamun
Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.
1 = tutupan rendah, 29,9 % 2 = tutupan sedang, 30–49,9 %. 3 = tutupan tinggi 50 % 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1) 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
Status Mangrove
Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.
1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%;
2 = kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%;
3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%
1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1) 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) Kriteria Luasan : 1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal 1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi;
Status Terumbu Karang
Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.
1 = tutupan rendah, < 25 % 2 = tutupan sedang, 25 – 49,9 %. 3 = tutupan tinggi > 50 % 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1) 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
Habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling).
Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.
1 = tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak
dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan
dikelola dengan baik
Domain Habitat dan Ekosistem (lanjutan) ... Indikator Sumber data Kriteria
Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.
1 = produktivitas rendah; 2 = produktivitas sedang; 3 = produktivitas tinggi
Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim;
2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
c. Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan
Indikator Sumber data Kriteria
Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan) dan Laporan hasil pengawas perikanan
1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun
2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun
3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm
Fishing capacity dan Effort
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1
Selektivitas penangkapan
Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010 dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat
tangkap yang tidak selektif)
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal);
2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tdk sesuai dgn dokumen legal);
3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dgn dokumen legal
Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1= Kepemilikan sertifikat <50%; 2= Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%
d. Indikator Domain Ekonomi
Indikator Sumber data Kriteria
Kepemilikan aset Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)
Nilai Tukar Nelayan (NTN)
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = kurang dari 100, 2 = 100, 3 = lebih dari 100
Pendapatan rumah tangga (RTP)
Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = kurang dari rata-rata UMR, 2 = sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR
Domain Ekonomi (lanjutan) ...
Indikator Sumber data Kriteria
Saving rate Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
e. Domain Sosial Indikator Sumber data Kriteria
Partisipasi pemangku kepentingan
Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 %
Konflik perikanan
Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1= lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)
Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan
f. Domain Kelembagaan
Indikator Sumber data Kriteria Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)
Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)
1 = lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan;
2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non formal 1 = lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2 = lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3 = tidak ada informasi pelanggaran
Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Wawancara (DKP Kab., TNL Wakatobi dan Nelayan)
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap Elaborasi untuk poin 2 1 = ada tapi jumlahnya berkurang; 2 = ada tapi jumlahnya tetap; 3 = ada dan jumlahnya bertambah
Mekanisme Kelembagaan
Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan),
1 = tidak ada penegakan aturan main; 2 = ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3 = ada penegakan aturan main dan efektif 1 = tidak ada alat dan orang; 2 = ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3 = ada alat dan orang serta ada tindakan 1 = tidak ada teguran maupun hukuman; 2 = ada teguran atau hukuman; 3 = ada teguran dan hukuman
Domain Kelembagaan (lanjutan) ... Indikator Sumber data Kriteria Mekanisme Kelembagaan
Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan), dan
1 = tidak ada mekanisme kelembagaan; 2= ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3 = ada mekanisme kelembagaan dan berjalan
efektif 1 = ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2 = ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3 = ada keputusan dijalankan sepenuhnya
Rencana pengelolaan perikanan
Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan).
1 = belum ada RPP; 2 = ada RPP namun belum sepenuhnya
dijalankan; 3 = ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP, TNL Kab. Wakatobi dan Nelayan
1 = konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan);
2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 1 = terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung
Kapasitas pemangku kepentingan
Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP, TNL Kab. Wakatobi dan Nelayan
1 = tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan
3.2 Analisa Komposit
Penilaian indikator EAFM merupakan sebuah sistem multikriteria yang berujung
pada indeks komposit terkait dengan tingkat pencapaian sebuah pengelolaan perikanan
sesuai dengan prinsip EAFM. Dalam Pilot Test ini disajikan dua jenis “tools” yang
digunakan untuk mengubah indikator parsial menjadi indikator komposit yaitu (1). Teknik
Flag Modeling; dan (2) Teknik Rapfish (Direktorat SDI-KKP, WWF Indonesia dan
PKSPL-IPB, 2012).
3.2.1. Teknis Flag Modeling
Teknis Flag Modeling dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-criteria
analysis (MCA) di mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan
wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan
perikanan (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit dengan tahapan sebagai
berikut (Adrianto, Matsuda, and Sakuma, 2005) :
Tentukan kriteria untuk setiap indikator masing-masing aspek EAFM (habitat,
sumberdaya ikan, teknis penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan)
Kaji keragaan masing-masing WPP untuk setiap indikator yang diuji
Berikan skor untuk setiap keragaan indikator pada masing-masing WPP (skor Likert
berbasis ordinal 1,2,3)
Tentukan bobot untuk setiap indikator
Kembangkan indeks komposit masing-masing aspek untuk setiap WPP dengan model
fungsi :
CAi = f (CAni….n=1,2,3…..m)
Kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM pada masing-masing
WPP dengan model fungsi sebagai berikut :
C-WPPi = f (CAiy……y = 1,2,3……z; z = 11)
Dari tiap indikator yang dinilai, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis
komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk
model bendera (flag model) dengan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut
ini.
Tabel 7. Visualisasi Model Bendera untuk Indikator EAFM Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia
Nilai Skor Komposit Model Bendera Deskripsi
100-125 Buruk 126-150 Kurang Baik 151-200 Sedang 201-250 Baik 256-300 Baik Sekali
Template Flag Modeling ini diperoleh di Learning Center EAFM PKSPL-IPB dan WWF
Indonesia dalam bentuk file MS Excel.
3.2.2. Teknik Rapfish
RAPFISH menggunakan scoring yang sederhana dan mudah untuk atribut yang
luas dari berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan penilaian secara cepat dan
menggunakan biaya yang efektif pada bidang kelestarian sumberdaya perikanan serta
sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (Alder et al., 2000). Dalam
analisis RAPFISH, MDS digunakan untuk membangun peta yang menggambarkan
hubungan antar sejumlah objek berdasarkan tabel jarak antar beberapa objek (Manly, 1994
dalam Alder et al., 2000). Peta tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih dimensi, hanya
saja bila dimensi tersebut lebih dari tiga, maka akan kesulitan untuk menggambarkan dan
menginterpretasikannya.
MDS dalam RAPFISH didasarkan pada meta distantance, dalam aplikasi MDS
digunakan kuadrat jarak Euclidean (Gambar 7). Normalisasi nilai hasil skoring akan
digunakan terhadap Kuadrat Jarak Euclidean. Dalam analisis MDS, analisis tersebut
digunakan formula sebagai berikut :
Z = (x- )/
Keterangan : = adalah rata-rata (mean) = standar deviasi
Gambar 7. Tahapan Analisis Aplikasi MDS Dalam Teknik RAPFISH (Diadaptasi dari Alder et al., 2000 dalam Taryono, 2002).
Sedangkan untuk melakukan analisis dalam masing-masing dimensi analisis multivariat ke
dalam peta layang-layang, dapat diilustrasikan dalam Gambar 8.
Start
Review Atribut Dalam Beberapa
Kriteria dan Kategori
Penyusunan Nilai Skor dan Penentuan Titik Referensi
Nilai Tengah, Bad dan Good
Simulasi Monte Carlo Untuk Mengecek Ketidakpastian
dari Analisis
Analisis Leverage Untuk Mengidentifikasi
Anomali Atribut yang Dianalisis
Penilaian Kelestarian
Identifikasi Data dan Penentuan Jenis Perikanan
Berdasar Kriteria yang Ditentukan
Ordinasi MDS untuk Tiap Set Atribut, Rotasi Plot Ordinasi
Bad dan Good dalam Garis Horisontal
E tik a
E ko logisE k on om is
T ek nis
S osial
P erik anan A
P erik anan B
B ad
G oo dG oo d
Gambar 8. Analisis Multivariate dalam Teknik RAPFISH (Alder et al., 2000 dalam
Taryono, 2002).
Keseluruhan kelompok atribut tersebut merupakan satu indikator untuk setiap dimensi tertentu yang direpresentasikannya. Dengan teknik ordinasi horizontal, maka keseluruhan nilai masing-masing atribut akan diekstrak menjadi satu vektor skalar, yang merupakan titik dalam skala 0-100% pada aksis horizontal.
4 ANALISIS TEMATIK PENGELOLAAN PERIKANAN
4.1 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan Berbasis Ikan Karang
4.1.1 Domain Sumberdaya Ikan
Penilaian Domain Sumberdaya Ikan terbagi dalam 7 indikator penilaian yaitu
CPUE Baku, Ukuran ikan, Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Komposisi
spesies, Spesies ETP, "Range Collapse" sumberdaya ikan, dan Densitas/Biomassa untuk
ikan karang. Berdasarkan hasil analisis pemberian skor kriteria indikator-indikator domain
sumberdaya ikan dapat dilihat pada Tabel 9.
Penangkapan ikan karang di Kabupaten Wakatobi umumnya menggunakan
berbagai macam alat tangkap sehingga perhitungan CPUE dilakukan untuk setiap jenis
alat tangkap tersebut. Berdasarkan perhitungan CPUE ikan karang di Kabupaten Wakatobi
selama 3 tahun (2009 – 2011) secara umum menujunkan adanya penurunan CPUE untuk
setiap jenis alat tangkap namun untuk alat tangkap jaring isang CPUE pada tahun 2011
menunjukan adanya peningkatan (Gambar 9). Nilai CPUE yang tertinggi di tahun 2009
yaitu alat speargun (panah), pancing tangan dan jaring dan yang memiliki nilai rendah
adalah bubu dan tombak.
Gamabr 9. CPUE Ikan Karang Tahun 2009-2011di Kabupaten Wakatobi
Kondisi ini dapat dilihat berdasarkan produksi perkanan ikan karang sejak
tahun 2009 hngga 2011 menujunjukan adanya trend penurunan walaupun ada sebagian
lokasi mengalami peningkatan produksi seperti ditunjukan pada Gambar 10.
CPUE Tahun 2010
CPUE Tahun 2010
CPUE Tahun 2009
Tabel 9. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sumberdaya Ikan
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1. CPUE Baku CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandarisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan.
Logbook, Enumerator, Observer
1 = menurun tajam 2 = menurun sedikit 3 = stabil atau meningkat
2 40 1 (Killer Indicator)
80
2. Ukuran ikan - Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus)
Interview, Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis)
1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar
1 20 2 20
3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity).
Interview, Sampling program secara reguler
1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%)
2 15 3 30
4. Komposisi spesies
Jenis target dan non-target (discard dan by catch)
Logbook, observasi, interview 1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dgn non-target 3 = proporsi target lebih banyak
2 10 4 20
5. Spesies ETP Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES
Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview
1= banyak tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap
2 5 6 10
6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
SDI yang mengalami tekanan penangkapan akan "menyusut" biomassa-nya secara spasial sehingga semakin sulit / jauh untuk ditemukan/dicari.
Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview
1 = semakin sulit; 2 = relatif tetap; 3 = semakin mudah
2 10 5 20
1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2= fishing ground jauh 3= fishing ground relatif tetap jaraknya
2
TOTAL 1.86 100 180
Gambar 10. Trend Selisih Produksi Perikanan Karang Beberapa Lokasi Kabupaten Wakatobi Tahun 2009 – 2011
Berdasarkan informasi dan Gambar di atas maka Indikator CPUE Baku diberikan
skor 2 denga nilai 80 status kategori sedang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Coremap II Kabupaten Wakatobi (Creel, 20011) menunjukan adanya kecenderungan
penurunan CPUE untuk setiap alat tangkap selama tahun 2009 – 2011, namun ada alat
yang menunjukan CPUE yang fluktuaif (jaring insang dan pancing). Hal ini tergambar juga
adanya kecenderungan penurunan produksi di beberapa lokasi di Kabupaten Wakatobi.
Kondisi ini di sebabkan adanya upaya masyarakat mengejar target meningkatkan produksi
dengan menambah unit alat tangkap serta jumlah dan lamanya trip penangkapan.
Indikator ukuran ikan diberikan skor 2 pada kriterian status sedang dengan nilai 20.
Hasil analisis menunjukkan bahwa 52 % responden mengatakan bahwa ukuran hasil
tangkapan semakin menurun namun sebagain ada juga yang mengatakan semakin
meningkat (17 %) dan 30 % responden mengatakan bahwa ukuran hasil tangkapan relatif
sama selama 5 tahun terakhir.
Data yang yang berkaitan proporsi ikan yuwana yang tertangkap khususnya
indikator proporsi ikan yuwana tidak tersedia termasuk hasil wawancara, namun secara
kualitatif berdasarkan informasi hasil wawancara untuk indikator ukuran ikan karang maka
peluang tertangkapnya ikan yuwana semakin besar, hal ini berkaitan dengan adanya
kecenderungan penurunan ukuran ikan yang tertangkap maka maka akan memberikan
peluang yang lebih besar tertangkapnya juvenil oleh karena itu dapat diberikan skor 2.
Komposisi spesies ikan karang yang tertangkap selama tahun 2009 hingga tahun
2011 menggambarkan kecenderungan komposisi tangkapan hasil tangkapan ikan target
dan non target relatif sama, hal berkaitan dengan adanya berbagai macam alat tangkap
yang digunakan untuk menangkap ikan karang. Kondisi ini dapat memberikan gambaran
indikator komposisi spesies tangkapan di berikan skor 2 dengan nila 20
Berdasarkan hasil penelitian yang di laukan oleh Coremap II Wakatobi Tahun 2009
dan laporan tahunan DKP Kabupaten Wakatobi menunjukan tidak ada ikan hasil
tangkapan yang termasuk dalam kelompok ikan ETP. Naumn berdasarkan hasil wawancara
secara mendalam maka di peroleh infromasi bahwa masih ada sebagian kecil nelayan atau
masyarakat yang menangkap ikan napoleon kemudian di lakukan pembesaran untuk
selanjutnya menunggu pembeli. Maka berdasarkan kriteria pada ini kator spesies ETP
dapat diberi skor 2 dengan nilai 20 yaitu sedikit tangkapan spesies ETP;
Berdasarkan hasil wawancara kepada 307 nelayan ikan karang mengatakan bahwa
47 % kondsi mencari ikan 5 – 10 tahun terakhir relatif sama saja, 21 % mengatakan
semakin jauh, 18 % mengatakan semakin baik dan 18 % mengatakan tidak tahu.
Berdasarkan hal tersebut maka kondisi sumbedaya ikan dapat di berikan skor kriteria 2.
Sedankan lokasi fishing ground dari jumlah respoden ikan karang sebagaian besar
mengatakan bahwa lokasi penangkapan tidak berubah karena penangkpan ikan karang di
lakukan di area terumbu karang. Namun demikian sebagian kecil mengatakan bahwa lokasi
semakin jauh karena kebiasaan menangkap ikan yang sebelumnya dilakukan di sekitar
karang tepi pantai yang dekat daratan sudah berubah ke lokasi yang lebih jauh seiring
dengan tingginya keinginan untuk meningkatkan produksi, sehingga kondisi ini dapat di
berikan nilai kriteria 2.
Berdasarkan infomasi tersebut di atas maka indikator range of collapse sumberdaya
ikan dapat diberi skor 2 dengan nilai 20 atau status sedang. Senada dengan hal tersebut
TNC telah melakukan kajian selama tiga tahun (2009 – 2011) terhadap biomassa ikan
karang baik pada daerah pantai, atoll maupun lokasi konservasi (no take zone) menunjukan
adanya biamassa ikan karang yang berfluktuasi dan ada kecenderungan menurun antara
tahun 2010 dan 2011 pada ketiga kawasan tersebut. Kondisi biomassa ikan karang tersebut
dapat dilihat pada Gambar 11 berikut:
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
2009
2010
2011
2009
2010
2011
2009
2010
2011
2009
2010
2011
2009
2010
2011
2009
2010
2011
No Take Use No Take Use No Take Use
Main Island Outer reef Sth Attols
Dens
ity/h
a
SphyraenidaeSerranidaeScombridaeScariniMyliobatidaeLutjanidaeLethrinidaeLabridaeHaemulidaeEphippidaeDasyatidaeCarangidaeCaesionidaeAcanthuridae
Gambar 11. Biomassa rata-rata (kg.ha-1±SE) dari 17 famili ikan di TNW hasil pemantauan tahun 2009-2011
4.1.2 Domain Habitat
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain habitat dan
ekosistem yang meliputi Kualitas perairan, status lamun , status mangrove, status terumbu
karang, habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground,
upwelling), status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya, perubahan iklim
terhadap kondisi perairan dan habitat. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM
pada domain habitat dan ekosistem ditampilkan dalam Tabel 10.
Kabupaten Wakatobi merupakan daerah kepulauan dengan luas daratan sekitar 3 %
dari luas perairannya sekitar 97%. Selain itu letak Kabupaten Wakatobi yang berada di
bagian Tenggara jazirah Sulawesi dan diapit Laut Banda dan Laut Flores. Kodisi ini
meggambarkan bahwa pengaruh aktivitas pembangunan di daratan hanya berasal dari
daratan Kabupaten Wakatobi (sekitar 3%) luasnya, selain itu aktivitas pembangunan
khususnya industri yang dapat mempengaruhi kualatas perairan masih sangat kecil hal ini
didukung juga di daerah ini tidak terdapat sungai sehingga kualitas perairannya hingga
saat ini masih relatif baik. Selain itu keberadaan Kabupaten Wakatobi yang demikian maka
pergantian massa air sangat fluaktuatif karena adanya arus yang melewati daerah ini
sehingga proses sedimentasi sangat kecil. Kondisi tersebut dapat dilihat dari beberapa
parameter kualitas perairan seperti konsentrasi salinitas 32 – 34 ppm , DO 4 – 8,4 ppm,
suhu 27 - ,5 oC, TSS 1.12 mg/L, kecerahan hingga kedalaman 20 meter serta konsenrasi
plankton berkisar 8107 – 14186 ind/l (Bppeda Sultra, 2003: KMB Sultra 2009 dan 2011).
Tabel 10. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Habitat dan Ekosistem.
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1. Kualitas perairan
Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun)
Data sekunder, sampling, monitoring, >> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan)
1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar
3 20 1 60
Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan
Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU
3
Eutrofikasi >> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu)
1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan 3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi
3
2. Status lamun Luasan tutupan, densitas dan jenis Lamun.
Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT. >> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org)
1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50%
3 15 2 45
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
3
3. Status mangrove
Kerapatan, nilai penting, perubahan luasan dan jenis mangrove
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%
2 15 2 30
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
2
Lanjutan Domain Habitat dan Ekosistem
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal
1
1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi 3
4. Status terumbu karang
> Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover).
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara Survey : Transek (2 kali dalam setahun) Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan
1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi, >50%
2 15 2 37.5
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
3
5. Habitat unik/khusus (spawning ground, , upwelling).
Luasan, waktu, siklus, distribusi, larva drift, spill over, dan kesuburan perairan
Fish Eggs and Larva survey, GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi
1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik
2 15 3 30
6. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
Tingkat produktivitas perairan estuari
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara Survey : 2 kali dalam setahun Citra satelite dengan resolusi tinggi - minimal dilakukan 2 kali setahun dengan diikuti oleh survey lapangan
1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi
3 10 4 30
Lanjutan domain habitat dan ekosistem 7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring
> State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
2 10 5 25
> state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)
3
2.53 100 257,5
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian TNC/WWF Indonesia Tahun 2003
melaporkan bahwa dissolved oxygen 5.28 – 7.59 ppm, nitrate <1.00 – 22.46 ppt, nitrite
<1.00 – 4.20 ppt, pPhosphates 1.57 – 12.11 ppb, total suspended Solids 2.76 – 5.02 ppm,
Salinity 34.5 – 35.0 %o, pH 8.01 – 8.50, water temperature 26 - 29°C dan turbidity <1
NTU.
Berdasarkan informasi tersebut dan maka indikator penilaian untuk kualitas air
yang terdiri dari komponen limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual
(Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun), kemudian kekeruhan dan eutrofikasi, maka
perairan Kabupaten Wakatobi berada dibawah batas ambang baku mutu perairan dalam
KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan sehigga secara umum perairan
Kabupaten Wakatobi dapat di katakan tidak tercemar, kecerahan sangat inggi maka
kekeruhan rendah dan tidak berpotensi terjadi eutrofikasi karena tidak terdapat sungai
sehingga indikator kualitas perairan di berikan skor 3 dengan nilai 60.
Ekosistem padang lamun dapat di temukan di semua wilayah pesisir
KabupatenWakatobi. Berdasarkan hasil analisa citra satelit tahun 2004 Kabupaten
Wakatobi memiliki luas padang lamun sebesar 7.067,25 ha (Hardin, 2007). Hasil survei
yang dilakukan oleh Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tenggara tahun 2006 dilaporkan
bahwa jenis lamun yang telah berhasil diidentifikasi di perairan Pulau Kapota ada delapan
jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, H. uninervis,
Cymodocea rotundata, Thallasodendrum ciliatum, Halophila ovalis, dan H. minor. T.
hemprichii dan E. acoroides merupakan jenis lamun yang hampir ditemukan pada setiap
lokasi pengamatan.
Tingkat kesehatan padang lamun yang ditemukan di perairan Pulau Kapota tergolong
sangat baik, sebagaimana ditunjukan oleh nilai penutupan dan kepadatannya. Nilai tingkat
penutupan padang lamun di Pulau Kapota pada enam stasiun pengamatan berkisar 60 –
100% (umumnya 75% dan 80%). Kepadatan padang lamun yang ditemukan pada setiap
sub stasiun pengamatan di pulau ini berkisar 196 tunas/m2 - 768 tunas/m2. Berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004, padang lamun dengan
nilai penutupan > 60% dikategori sebagai padang lamun sehat/kaya. Selanjutnya KMB
Sultra, 2011 melaporkan bahwa padang lamun di sekitar Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Pulau Tomia yang tersebar di daerah intertidal di bagian belakang (backward) terumbu
karang juga terdiri dari delapan jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, H.
uninervis, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, dan H. Minor, Sringodium isoetifolium
dan Cyamodocea, sedangkan Thallasodendrum ciliatum tidak ditemukan. Sehingga
berdasarkan hasil kajian tersebut maka di Kabupaten Wakatobi terdapat 9 jenis lamun dari
13 jenis yang ada di Indonesia sehingga tergolong tinggi keanekaragamannya.
Nilai tingkat penutupan padang lamun pada kawasan DLP yang diamati di Pulau
Tomia berkisar 60 – 100% (umumnya 80% dan 100%). Kepadatan padang lamun yang
ditemukan pada setiap DPL pengamatan di pulau ini berkisar 208 tunas/m2 - 280 tunas/m2
sehingga dapat di katakan kondisi lamun di Pulau Tomia berada pada kategori sehat.
WWF-TNC 2011 melaporkan bawa keanekaragaman jenis lamun juga termasuk tinggi
dengan ditemukan 11 spesies lamun di perairan Wakatobi dari 12 spesies yang ada di
Indonesia
Oleh karena itu indikator status padang lamun di Kabpaten Wakatobi dengan
penutupan diatas 50 % dan keanakaragaman yang tinggi (11 jenis) maka nilai indikator
tersebut dapat di berikan skor 3 dengan nilai 45.
Ekosistem mangrove di Kabupaten Wakatobi sebagian besar hanya tedapat di
beberapa pulau saja, walaupun di seluruh pulau besar Kabupaten Wakatobi terdapat
tumbuhan mangrove namun konsentrasinya berbeda-beda dan sebagian hanya merupakan
bagian kecil pelengkap ekosisten pesisir. Keberadaan komunitas mangrove tertinggi
terpusat di Pulau Kaledupa dan sekitarnya seperti pulau Derawa, pulau Lentea. Sedangkan
di wilayah lain komunitas mangrove dapat di temukan di pulau Runduma, pulau Tomia,
Desa Wali (Binongko) dan pulauKapota (Wanci) (Anonim, 2009; KMB Sultra, 2006).
Hasil penelitian Jamili, (2010) melaporkan bahwa dari pengamatan komunitas
mangrove di Puau Kaledupa terdapat 6 jenis mangrove pada kategori pohon, 8 jenis
masing-masing pada kategori tiang, sapihan dan semai. Dan secara keseluruhan komunitas
mangrove di Pulau Kaledupa terdapat 20 jenis.
Selanjutnya Jamili (2010), melaporkan bahwa tingkat kerapatan mangrove pada
lokasi kajian di pulau Kaledupa, Hoga dan pulau Derawa pada kategori pohon dan tiang
menujunukan tingkat kerapat yang bervariasi dimana untuk pulau Kaledupa sebesar 1054 a
- 1829 pohon/ha, pulau Hoga sebesar 500 – 917 pohon/ha dan pulau Derawa sebesar 521
– 1010 pohon/ha sedangkan kerapatan kategori sapihan dan semai lebih tinggi lagi.
Kisaran kerapatan tersebut di bandingkan dengan kriteria skor kerapatan mangrove yaitu :
1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2 = kerapatan sedang 1000-1500
pohon/ha, tutupan 50-75%; dan 3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%,
maka kerapatan mangrove tersebut dalam kriteria sedang dengan skor 2.
Indeks keanekaragaman komunitas mangrove pada tiga lokasi tersebut pada kategori
pohon hingga kategori semai menunjukan bahwa di pulau Kaledupa berkisar 1,3 – 1,7;
pulau Hoga berkisar 0,59 – 1,41 dan di pulau Derawa berkisar 0,34 – 0,69 dengan rata-rata
kisaran sebesar 0,86 – 1,15 atau rata-rata indeks keanekragaman mangrove di lokasi kajian
sebesar 1,07. Jika nilai indeks tersebut dibandingkan dengan kriteria skor nilai indeks
keanekaragaman yaitu : 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 =
kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); dan 3 = keanekaragaman tinggi
(H’>9,97 atau H’>3), maka berdasarkan nilai indeks keanekaragaman rata-rata tersebut di
atas maka termasuk dalam kriteria keanekaragaman sedang. Sehubungan dengan uraian
tersebut maka Indeks Nilai Penting mangrove di Kabupaten Wakatobi khususnya di pulau
Kaledupa pada ketiga lokasi penelitian menunjukan INP sebesar 300 sehingg dapat di
kategorikan skor tinggi atau 3.
Informasi lain yang berkaitan komunitas mangrove di pulau Kaledupa menunjukan
bahwa sejak tahun 1960 hingga tahun 2007 telah terjadi eksploitasi sehingga secara
signifikan telah mengurangi luasan mangrove di wilayah ini. Terjadinuya degradasi
tersebut di sebabkan; konversi kawasan mangrove menjadi pemukiman, tanaman budidaya,
sarana umum dan pengambilan kayu bakau untuk bahan bakar dan kontruksi. Oleh karena
itu kriteria ini di beri skor rendah atau 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa indikator
status mangrove di Kabupaten Wakatobi yang meliputi kerapatan, keanekaragaman, luasan
dan INP secara keseluruhan dapat di berian nilai skor total 30.
Pengamatan kondisi karang di Kabupaten Wakatobi telah dilakukan oleh berbagai
lembaga baik LIPI, Perguruan Tinggi, LSM maupun instansi terkait (DKP, Balai Taman
Nasional). Berdasarkan keberadaan lokasi geografi ekosistem terumbu karang dan status
Kabupaten Wakatobi sebagai kawasan konservasi maka hasil penelitian tersebut secara
umum dapat di kelompokan dalam tiga wilayah (habitat) yaitu kondisi terumbu karang tepi
(main land), kondisi terumbu karang di luar pulau (outer land) dan kondisi terumbu karang
kawasan atol. Sedangkan berdasarkan status kawasan maka di fokuskan pada hasil
peneltian di kawasan pemanfaatan (use zone) dan kawasan perlidungan (no take zone).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh TNC-WWF yang mengamati kondisi terumbu
karang pada tahun 2009 – 2011 menunjukan kondisi terumbu karang sebagai berikut;
Tabel 11. Kondisi Terumbu Karang Pada Tipe habata dan Zona Tahun 2009 – 2011 di Kabupaten Wakatobi
Habitat Tipe Zona Kedlaman Penutupan/Tahun Rata-Rata
2009 2010 2011
Mainland
No Take 3 19.7 - 59.7 7.7 - 58.7 19 - 73 7.7 - 73 Use 18 - 53.7 10.7 - 33.3 10.3 - 42.7 10.3 - 53.7 No Take 10 11.7 - 76 16.3 - 54.7 16 - 41.7 11.7 - 76 Use 24.7 - 70.7 17.3 - 34.7 20.7 - 51.7 17.3 - 70.7
Outer reefs
No Take 3 8.0 - 62.7 4.0 - 66.3 8.0 - 59.7 8.0 - 66.3 Use 7.0 - 28.3 11.0 - 33.0 9.3 - 18.3 7.0 - 33.0 No Take 10 8.3 - 44.3 5.0 - 40.0 4.7 - 34.0 5.0 - 44.3 Use 9.7 - 40.2 5.7 - 37.0 9.3 - 32.3 5.7 - 40.2
Sth Attols
No Take 3 4.3 - 21.0 7.0 - 16.3 8.7 - 32.7 4.3 - 32.7 Use 5.0 - 18.3 2 - 11.3 3.3 - 17.7 2.0 - 18.3 No Take 10 22.3 - 29.7 12.7 - 15.7 12 - 33.7 12 - 33.7 Use 6.7 - 21.3 4.3 - 18.0 3.7 - 15 4.3 -21.3
Sumber : Adaptasi TNC-WWF, 2011
TNC-WWF, 2011 melaporkan bahwa Kondisi kesehatan karang sepanjang
pengamatan tahun 2009-2011 di TNW secara signifikan lebih tinggi di zona larang ambil
dibandingkan di zona pemanfaatan, dengan kondisi paling baik di habitat pulau utama.
Kondisi karang tahun 2011 lebih baik daripada tahun 2010 dengan kisaran bervariasi
masing-masing tipe habitat dan jenis zona dimana masih dijumpai kondisi penutupan
karang keras hingga di atas 70% khusunya pada zona yang di konsrvasi, namun demikian
sebagian masih dijumpai adanya penutupan di bawah 10 % khususnya pada zona
pemanfaatan dengan kedalaman pengamatan 3 meter karena pada kedlaman 3 meter
aktivitas dan akses masyarakat lebih mudah dan cukup inggi
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Coremap II Kabupaten Wakatobi
tahun 2010 untuk setiap desa Wilayah Coremap II di 8 kecamatan khusuya pada daerah
perlindungan laut memberikan gambaran bahwa rata-rata persentase penutupan karang
keras 37,42% namun ada juga dijumpai persentase penutupan karang keras diatas 70% dan
dibawah 20 %. Rata-rata persentase penutupan karang keras pada daerah perlindngan laut
di setiap kecamatan wiayah implementasi Coremap II Kabupaten Wakatobi secara detail
dapat dilihat pada Tabel 12
Tabel 12. Kondisi Penutupan Terumbu Karang di Wilayah Coremap Kabupaten Wakatobi
NO Kecamatan Tutupan Karang Keras (%)
1 Wangi-Wang- 38.72 2 Wang-Wangi Selatan 36.69 3 Kaledupa 27.9 4 Kaledupa Selatan 37.25 5 Tomia 49.43 6 Tomia Timur 33.92 7 Binomgko 33.38 8 Togo Binongko 38 Rerata 37.42
Sumber: Coremap II Kab. Wakatobi, 2010 Berdasarkan hasil survei tersebut dan dihubungkan dengan kriteria skor penutupan
karang keras hidup (live hard coral cover) yaitu : 1 = tutupan rendah, <25%; 2 = tutupan
sedang, 25-49,9%; dan 3 = tutupan tinggi, >50% maka tutupan karang keras hidup
cenderung di Kabupaten Wakatobi berada pada kriteria sedang dengan skor 2.
Di Kabupaten Wakatobi tercatat sebanyak 396 jenis karang keras berterumbu
(scleractanian hermatripic), 10 spesies karang keras tak-berterumbu (scleractanian
ahermatripic), 28 genera karang lunak, dan 31 spesies karang fungi di TNW. Kondisi ini
menggambarkan bahwa di Kabupaten Wakatobi memiliki keanekaragaman karang yang
tinggi (WWF-TNC, 2003). Berdasarkan kenyataan tersebut walaupun tidak melakukan
analisa ekologi maka keanekaragama karang tergolong tinggi sehingga dapat di berikan
skor 3. Secara keseluruhan status karang di Kabupaten wakatobi berdasarkan kriteria
persentase penutupan karang keras dan keanekaragaman maka dapat di berikan nilai 37,5.
Informasi indikator habitat khusus/unik yang berkaitan dengan daerah pemijahan
ikan di Kabupaten Wakatobi diperoleh berasarkan hasil wawancara dengan pihak DKP
Kabupaten Wakatobi dan nelayan mengatakan bahwa minimal terdapta 8 daerah pemijahan
yang telah teridentifikasi dan masih ada lagi yang diduga sebagai daerah pemijahan.
Keberadaan daerah pemijahan ikan tersebut walaupun telah ditetapkan di dalam dokumen
zonasi sebagai daerah inti (konservasi) namun belum di kelola dengan baik. Pemda
Wakatobi telah menginisiasi rancangan peraturan daerah untuk melindungi daerah
pemijahan tersebut. Oleh karen itu berdasarkan informasi tersebut maka indikator habitat
khusus dapat di berikan nilai 30.
Indikator produktivitas perairan di perairan Kabupaten Wakatobi belum banyak
terungkap kondisi ini disebabkan perairan tersebut belum ada indikasi adanya pencemaran.
Namun sebagai pendekatan untuk menggambarkan dan menentukan status produktivitas
perairan dilakukan melalui pendekatan parameter kualitas air yaitu pH perairan. Parameter
tersebut dapat membantu menggambarkan keproduktivitasan perairan. Berdasarkan Alaerts
dan Santika (1987), menyatakan bahwa pH air merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi produktivitas perairan. Suatu perairan dengan pH 5,5-6,5 termasuk perairan
yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan yang produktif,
perairan dengan pH 7,5-8,5 adalah perairan yang memiliki produktivitas yang sangat
tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari 8,5 dikategorikan sebagai perairan
yang tidak produktivitas lagi .
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh TNCWWF tahun 2003 maka
perairan Kabupaten Wakatobi memiliki pH berkisar pH 8.01 – 8.50. Sedangkan hasil
penelitian yang dialkukan Balai Taman Nasional Wakatobi pH perairan berkisar 8,2 – 8,3.
Berdasarkan informasi tersebut maka perairan Kabupaten Wakatobi cenderung pada
kategori sangat produktif sehingga indikator produktivitas perairan pada domain habitat ini
dapat di berikan nilai 30.
Pengkajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Wakatobi belum banyak
dilakukan, namun secara kualitatif dampak perubahan iklim sudah dapat di rasakan oleh
masyarakat yaitu adanya perubahan pola arus dan gelombang serta hujan yang sulit di
prediksi dan tidak teratur. Keberadaan infromasi yang demikian belum diikuti langkah-
langkah strategis untuk mengantisipasinya, oleh karenan itu kriteria ini dapat diberikan
skor 2. Sedangkan kriteria indikaor perubahan iklim yang didasarkan pada terumbu karang
di peroleh informasi dari Jumaidin, (2011) bahwa di kawasan daerah perlindungan laut
Waha telah terjadi bleaching pada bulan Juli 2010 dan pada bulan Maret 2011 namun
kondisi karang yang mengalami bleaching tersebut dapat mengalami recovery satu bulan
sehingga nkarang yang mengalami bleaching kurang dari 5%, maka kondisi karang yang
bleaching ini dapat diberi skor 2
4.1.3 Domain Teknik Penangkapan Ikan
Berdasarkan aspek teknis penangkapan ikan telah dirumuskan 6 (enam) indikator
utama, yakni: (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, (2)
modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) Fishing capacity dan
effort, (4) Selektivitas penangkapan, (5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan
ikan dengan dokumen legal, dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan
peraturan. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain teknik
penangkapan ikan ditampilkan dalam Tabel 13.
Berdasarkan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh KMB Sultra tahun 2010
bahwa pelanggaran yang terkait langsung dengan alat penangapan ikan yang terjadi sejak
tahun 2005 hingga 2010 dan di proses secara hukum mengalamai penurunan dimana pada
tahun 2005 terjadi sebanyak 14 kasus, tahun 2006 sebanyak 5 kasus, tahun 2007 sebanyak
2 kasus, 2008 sebanyak 4, tahun 2009 sebanyak 1 kasus dan tahun 2010 sebanyak 2 kasus.
Pelanggran tersebut telah di proses secara hukum oleh instansi terkait (kepolisian dn
kejaksaan). Secara ricni jenis pelanggaran yang terjadi sejak tahun 2000 hingga 2010 di
Kabupaten Wakatobi dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 1).
Tabel 14. Perkembangan Kasus destructive Fishing di Kabupaten Wakatobi
No Tahun Jumlah Kasus DP %
1 2000 1 2.33 2 2001 0 0.00 3 2002 0 0.00 4 2003 8 18.60 5 2004 6 13.95 6 2005 14 32.56 7 2006 5 11.63 8 2007 2 4.65 9 2008 4 9.30
10 2009 1 2.33 11 2010 2 4.65
Total 43 100.00 Sumber : KMB Sultra, 2010
Pada Tabel tersebut terlihat adanya kecenderungan penurunan kasus pelanggaran
yang dalam penggunaan alat penangkapan ikan yang terjadi di Kabupaten Wakatobi. Hal
ini disebabkan meningkatnya pemberdayaan masyarakat melalui SISWASMAS dan
POKWASMAS baik kelembagaannya maupun kapasitas pengurusnya serta peningkatan
kerjasama dengan instansi terkait/antar lembaga yaitu POLAIR dan Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Wakatobi serta Taman Nasional akatobi yang di fasilitasi Coremap II
sehingga indikator metode penankapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal dapat
di beri skor 3 dengan nilai 90.
Tabel 13. Hasil Analisis Komposit Indikator DomainTeknik Penangkapan Ikan.
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN
MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
Penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku.
Laporan hasil pengawas perikanan, survey
1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
3 30 1 (Killer Indicator)
90
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.
Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI
Sampling ukuruan ikan target/ikan dominan.
1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm
2 25 2 50
3. Fishing capacity dan Effort
Besarnya kapasitas dan aktivitas penangkapan
Interview, survey, logbook
1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1
0 15 3 0
4. Selektivitas penangkapan
Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan
Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey
1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)
3 15 4 45
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal
Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal.
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal
2 10 5 20
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan.
Sampling kepemilikan sertifikat
1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%
1 5 6 5
2,53 100 210
Penangkapan ikan karang khususnya kerapu, sunu dan kakap di Kabupaten
Wakatobi umumnya menggunkanan alat tangkap pancing, rawai, bubu, tombak/panah,
serok, lamba dan gillnet. Ikan Kakap (Lutjanus sp) dapat ditemukan pada habitatnya di
perairan pantai sampai kedalaman 100 m. Ukuran panjangnya dapat mencapai 90 cm,
umumnya 35-50 cm. Berdasarkan informasi dan pengamatan di lapangan bahwa ikan-ikan
tersebut tertangkap pada kisaran ukuran dibawah 50 cm, sehingga disimpulkan bahwa
indikator modifikasi alat tangkap ikan dan alat bantu penangkapan pada kriteria ukuran
ikan target apat diberikan pada skor 2 dengan nilai 50.
Informasi yang berhubungan dengan Indikator fishing capasity dan effort tidak
mendapatkan data dan informasi yang cukup untuk memberikan kesimpulanya pada
domain teknik penangkapan ikan, sehingga indikator ini tida dilakukan asessmen.
DKP Kabpaten Wakatobi tahun 2007 melaporkan bahwa alat tangkap ikan karang
(Sunu, kerapu dan kakap) yang gunakan nelayan Kabupaten Wakatobi berupa tombak,
panah rawai dasar, jaring insang dasar, bubu, sero, lamba dan pancing merupakan alat
tangkat yang tergolong selektif, sehingga indikator selektifitas penangkapan ikan karang
pada kriteria dapat diberikan skor 3 dengan nilai 45.
Kapal penangkap ikan karang di Kabupaten Wakatobi secara resmi terdaftar dan
diberi merek untuk setiap kapal agar memudahkan pendataan. Kapal tangkap tersebut
memiliki panjang maksimn 12 m dengan lebar 1,3 meter serta kapasitas muat kurang dari 5
GT. Berdasarkan laporan Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2009 tentang pendataan alat
tangkap bahwa kapal-kapal penangkap ikan karang tidak diwajibkan memiliki izin oprasi
oleh pemerintah sehingga pengawasannya tidak dilakukan secara intensif khususnya
bekaitan dengan dokumen yang berhubungan dengan spesifikasi alat tangkap. Sehingga
secara umum kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkap ikan karang dengan
dokumennya tidak dapat diverifikasi namun berdasarkan informasi tersebut maka indikator
ini dapat di berikan skor moderat atau 2 dengan nilai 20.
Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi
tahun 2009 tidak ditemukan data atau pelaporan jumlah kepemilikan sertifikat kecakapan
awak kapal perikanan termasuk kapal penangkap ikan karang, hal ini disebabkan kapal
penangkap ikan karang tidak diwajibkan untuk mengurus izin dalam melakukan operasi
penangkapan dan para nelayan tidak diwajibkan untuk memiliki sertifikat yang sesuai
dengan kualifikasi penangkapannya . Sehingga berdasarkan informasi tersebut maka
untuk kriteria ini dapat diberikan skor 1 dimana kepemilikan serifikasi kurang dari 50%
dengan nilai 5.
4.1.4 Domain Sosial
Terdapat 3 indikator penilaian untuk domain sosial yaitu partisipasi pemangku
kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge).
Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain sosial ditampilkan dalam
Tabel 15.
Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi dan secara kelembagaan di
kelola oleh Balai Taman Nasional Wakatobi. Pengelolaan kawasan tersebut melibatkan
banyak stakeholder maupun pemamngku kepentingan. Pemamngku kepentingan tersebut
baik daerah (Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kab.
Wakatobi) dan pusat (Dewan Perwakilan Rakyat, Kementrian Kelautan dan Perikanan RI,
Perguruan Tinggi (Universitas Haluoleo dan Konsorsium Mitra Bahari Prov.Sulawesi
Tenggara) serta lembaga non-pemerintah (WWF, TNC) muapun pihak swasta seperti
Wakatobi Dive Resort. Keberadaan lembaga tersebut menunjukan bahwa banyak
pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan termasuk
didalamnya pemanfaatan ikan karang. Keberadaan lembaga tersebut dalam aktivitasnya
belum terintegrasi tapi masih menjalankan tupoksi masing-masing sehingga kadang belum
sinergis apa yang dilakukan antar lembaga. Berdasarkan uraian di tersebut maka kriteria
skor untuk keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan karang
termasuk kategori moderat dan dalam skor 2 = 50 - 100 % dengan nilai 80.
Berdasarkan hasil wawancara dari 307 respnden nelayan ikan karang, hanya
nelayan karang di Pulau Kaledepa yang mengatakan pernah terjadi konflik antar nelayan
sekitar 10 kali pertahun. Konflik yang dimaksud adalah berkaitan dengan alat penangkapan
yang digunakan nelayan lain yang ditemui di laut dengan alat bantu bom atau bius
sehingga diantara mereka terjadi konflik namun bisa diselesaikan di tempat dan tidak
dilaporkan ke pihak pemerintah dan tidak tercatat pula. Sedangkan nelayan di pulau
lainnya mengatakan tidak ada konflik diantara nelayan. Dan berdasarkan wawancara
dengan pihak DKP mengatakan bahwa adanya pertentangan kebijakan khususnya aturan
yang berkaitan dengan larangan penggunaan kompresor secara umum namun dipihak lain
apabila penggunaannya tidak merusak maka di bolehkan.
Tabel 15. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sosial.
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN
MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1. Partisipasi pemangku kepentingan
Keterlibatan pemangku kepentingan
Recording partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan.
1 = kurang dari 50%; 2 40 1 80 2 = 50-100%; 3 = 100 %
2. Konflik perikanan
Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector.
Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim)
1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun
2 35 2 70
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)
Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan
Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan
2 25 3 50
2 100 200
Secara umum berdasarkan hasil studi yang dilakukan KMB Sultra tahun 2010
bahwa pelanggaran yang terjadi biasanya diikuti dengan konflik namum frekuensinya
semakin menurun sejak tahun 2005 – 2010 dari 14 kasus menjadi 2 kasus termasuk konflik
didalammnya. Selain itu juga terjadi konflik terkait dengan kebijakkan dimana pada zonasi
TNW ditetapkan sebagai daerah pemanfaatan tradisional yang mengacu pada undang-
undang konservasi sedang DKP Wakatobi pada daerah tersebut ditetapka sebagai daerah
perlindungan laut (DPL). Oleh karena itu indikator konflik perikanan yang berkaitan
dengan sumberdaya, kebijakan, fishing gear maupun antar sektor dapat diberikan skor 2
dengan nilai 70.
Keberadaan program Coremap II dan WWF-TNC serta lembaga pemerintah
lainnya di Kabupaten Wakatobi yang menerapkan konsep konservasi berbasis masyarakat
telah meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara lestari. Di Masyarakat Kabupaetn
Wakatobi terdapat beberapa kerifan lokal maupun pengetahuan lokal yang dapat
dimanfaatkan untuk mengelola termasuk memanfaatkan sumberdaya khususnya diwilayah
pesisir. Salah satunya adalah cara menentukan kapan waktu yang tepat untuk menangkap
ikan karang, dimana masyarakat dapat mengetahui pada waktu-waktu tertentu ikan karang
datang memijah di lokasi tersebut. Namun pengetahuan ini bisa sangat berbahaya karena
memungkinkan ikan yang tertangkap belum bertelur.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan ikan karang mengatakan bahwa
Infromasi yang berkaitan dengan pemanfaatan pengetahuan lokal ini hanya 28,6 % dan 58
% mengatakan tidak tahu sedangkan lainnya sekitar 13,4% mengatakan tidak
memanfaatkan pengetahun lokal tetapi berdasarkan kebiasaan yang telah lama dianut
lelehurnya. Keberadaan pengetahuan lokal tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan
laut di Kabupaten Wakatobi ini secara umum telah lama namun dengan kemajuan
pengetahuan dan teknologi hal-hal tersebut mulai terkikis dan belum terkelola dengan baik
oleh karena itu perlu adanya revitalisasi terhadap pengetahuan lokal maupun kearifan lokal
yang ada di masyarakat.
Berdasarkan informasi tersebut maka indikator pemanfaatan pengetahuan lokal
dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological
knowledge) diberikan status moderat dengan skor 2 dan nilai 50.
4.1.5 Domain Ekonomi
Aspek ekonomi ditetapkan 4 (empat) indikator utama, yakni: pendapatan rumah tangga perikanan (RTP), nilai tukar nelayan (NTN),
dan rasio tabungan, dan (4) kepemilikan aset. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain ekonomi ditampilkan dalam
Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Ekonomi.
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1. kepemilikan aset
perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat :aset usaha perikanan atau aset RT.
Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan
1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ;
2 35 1 70
2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)
2. Nilai Tukar Nelayan (NTN)
Rasio penerimaan terhadap pengeluaran.
Pengumpulan data NTN menggunakan sumber sekunder (BPS dan PUSDATIN) yang dikumpulkan setiap tahun
1 = kurang dari 100, 2 30 2 60
2 = 100, 3 = lebih dari 100
3. Pendapatan rumah tangga (RTP)
Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP
Arahan frekuensi survey (atau penggunaan note/catatan yang ada di lapangan, mis: pengumpul ikan) dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan
1= kurang dari rata-rata UMR,
2 20 3 40
2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR
4. Saving rate menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap income
Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan
1 = kurang dari bunga kredit pinjaman;
1 15 4 15
2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
1,5 100 185
Berdasarkan wawancara dengan 307 responenden ikan karang menunjukkan bahwa
nilai aset cenderung bertambah terlihat dari adanya perubahan posisi kerja yang
sebelumnya menjadi ABK saat ini memiliki kapal sendiri dan beberapa RTP lainya
memiliki aset rumah tangga berupa sepeda motor, kulkas, mesin cuci, generator, TV,
VCD/DVD, dan HP sera jenis bangunannya sudah permanen dan rata-rata memiiki sumber
listrik. Peningkatan aset tersebut dari 3 – 5 tahun terakhir berkisar antara 27,45 % - 70,82
% dengan rata-rata 49,14 %. Oleh karena itu berdasarkan kriteria pada indikator ini skor
dapat diberikan 2 dengan nilai 70 karena nila aset nilai aset rata-rata bertambah kurang
dari 50%).
Pengeluaran nelayan terbesar di Kabupaten Wakatobi adalah untuk keperluan
sekolah dan biaya hidup berkisar Rp 500.000 hingga Rp. 6.000.000 dengan pendapatan
antara Rp. 250.000 – Rp 7.000.000. Berdasarkan infromasi dari responden nelayan ikan
karang yang ada di Kabupaten Wakatobi mengatakan bahwa pendapatan lebih kecil bila
dibanding dengan pengeluaran (40.21 %), sebagian mengatakan pendapatan lebih besar
pengeluaran (24,61%) dan 35,18 % mengatakan antara pengeluaran dan pendapatan
nelayan sama saja. Berdasarkan informasi tersebut maka secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa indikator nilai tukuar nelayan (NTN) dapat diberikan skor 2 dengan
nilai 60.
Berdasarkan hasil wawancara nelayan penangkapan ikan karang yang dilakukan
sebnyak 307 responden maka dapat dikelompokan berdasarkan geografi pulau yaitu pulau
Wanci, pulau Kaledupa, pulau Tomia dan Pulau Binongko. Pendapatan bersih nelayan
ikan karang di Pulau Binongko berkisar Rp 250.000 – Rp. 500.000, nelayan Pulau Tomia
berkisar Rp. 600.000 – Rp. 7.000.000, nelayan karang di Pulau Kaledupa berkisar Rp.
250.000 – Rp 4.000.000 dan nelayan ikan karang di Pulau Wanci berkisar Rp. 250.000 –
Rp 2.500.000. Besarnya pendapatan tersebut bila dibandingkan dengan UMR regional
Sulawesi Tenggara sebesar Rp. 1.070.000 maka berada pada kisaran menengah atau
moderat dan berdasarkan kisaran dan rata-rata pendapatan nelayan ikan karang di
Kabupaten Wakatobi maka untuk kriteria skor mencapai 2 = sama besar dengan rata-rata
UMR regional.
Informasi yang berkaitan dengan saving rate tidak banyak terungkap, namun
sebagai pendekatan berdasarkan kisaran pendapatan dan pengeluaran yang sangat
bervariasi dan standar deviasi pendapatan yang tinggi maka dapat diduga bahwa
perbandingan antara selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan ikan karang
dengan pendapatannya rata-rata berkisar dibawah 10 % dimana bunga kredit di bank
setempat rata-rata 12,5 %. Kondisi ini dapat menggambarkan secara kasar tentang
indikator saving rate hanya dapat diberikan skor 1 dengan nilai 15
4.1.6 Domain Kelembagaan
Aspek kelembagaan telah dirumuskan 7 (tujuh) indikator utama, yakni: (1) kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan
yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (alat), (2) kelengkapan
aturan main dalam pengelolaan perikanan, (3) mekanisme kelembagaan, (4) rencana
pengelolaan perikanan, (5) tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan
perikanan, (6) kapasitas pemangku kepentingan dan (7) keberadaan otoritas tunggal
pengelolaan perikanan. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain
kelembagaan ditampilkan dalam Tabel 22.
Berdasarkan laporan tahunan DKP Kabupaten Wakatobi tahun 2011 mengatakan
bahwa pada tahun 2010 terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan perikanan yang telah di
tetapkan baik formal maupun tidak formal. Hal ini di perkuat pula dari hasil wawancara
dengan pihak DKP menyebutkan bahwa dalam setahun terkhir tercatat 8 pelanggaran,
yaitu: 1) Perijinan tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilakukan pembinaan serta
melengkapi dokumen sesuai kebutuhan, 2) Pelanggaran daerah penangkapan dengan
kategori ringan dan dilakukan pembinaan, 3) Cara penangkapan tidak ramah lingkungan
dengan kategori ringan (membawah kompresor kapal kurang dari 5 GT). Oleh karena itu
kriteria pelanggaran terhadap aturan perikanan dapat di kategorikan buruk dengan skor 1.
Sedangkan untuk pelangaran terhadap aturan non formal tidak ada informasi pelanggaran
dan kriteria ini dapat di berikan kategori baik dengan skor 3. Sehingga berdasarkan hal
tersebut maka indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-
formal diberikan nilai 50.
Berdasarkan wawancara dengan perangkap DKP Kabupaten Wakatobi bahwa RPP
belum ada, namun aturan-aturan lain khususnya secara nasional masih mendominasi
aturan untuk dijadikan rujukan dalam pengelolaan perikanan di Kab. Wakatobi yang
meliputi UU No 27 Tahun 2007, UU No 45 Tahun 2009, UU No 45 tahun 2007, UU No 45
tahun 2004, PP No 60 tahun 2009. Sedangkan aturan yang bersifat teknis dan operasional
Tabel 17. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Kelembagaan.
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)
Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal
Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya
1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
1 25 1 50
Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran
3
2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan
1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, 2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya 3) replikasi kearifan lokal
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap
2 22 2 61,6
Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah
3
Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya
Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1) ketersediaan alat, orang 2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman)
1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif
3
1= tidak ada alat dan orang; 3
2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan
1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman
3
Lanjutan .........
3. Mekanisme pengambilan keputusan
Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif
2 18 3 36
1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
2
4. Rencana pengelolaan perikanan
Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud
Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner: 1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah 2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat
1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
1 15 4 15
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
2 11 5 27.5
Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung
3
6. Kapasitas pemangku kepentingan
Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem
Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap: 1) Ada atau tidak, berapa kali 2) Materi
1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan
3 5 6 15
7. Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
Dengan adanya single authority akan meningkatkan efektivitas kelembagaan pengelolaan perikanan
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga
1= tidak ada single authority ; 2 = lebih dari satu authority; 3 = ada single authority
1 4 7 4
2.29 100 209,1
yang ada di Kabupaten Wakatobi meliputi; Perda Zonasi tahun 2007, Perda 15 dan 16
tahun 2005, serta aturan-aturan lainnya berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Raperda tentang
perlindungan darah pemeijahan. Berdasarkan kriteria skor maka termasuk dalam skor 2 =
ada tapi tidak lengkap.
Keberadaan dan kelengkapan aturan main pegelolaan perikanan di Kabupaten
Wakatobi sejak di canangkan sebagai Kawasan Taman Nasional pada tahun 1996 dan
sebagai daerah otomini sejak tahun 2003 telah mengalami perkembangan dan penambahan
aturan-aturan pengelolaan kawasan konservasi secara umum dan perikanan secara khusus
seperti tersebut diatas. Oleh karena itu kriteria jumlah aturan pada indikator tersebut dapat
di beri skor 3.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap perangkat DKP Wakatobi dan hasil
penelitian yang dilakukan KMB Sultra tahun 2010 terlihat bahwa setiap adanya
pelanggaran terhadap aturan-aturan perikanan selalu diikuti tindakan penegakan hukum
sesuai dengan aturan main yang berlaku baik pelanggaran kategori ringan maupun kategori
sedang hingga berat dengan tindakan mulai teguran hingga penahanan melalui proses
hukum. Oleh karena itu ketiga kriteria tesebut (penegakan aturan main, ketersediaan alat
dan tindakan dan adanya teguran dan hukuman) dapat diberikan skor 3.
Berdasarkan infromasi tersebut maka indikator kelengkapan aturan main dalam
pengelolaan perikanan secara umum walaupun rencana pengelolaan perikanan (RPP)
spesifik belum ada namun aturan-aturan umum yang berkaitan dengan pengeloaan
sumberdaya perikanan dan kelautan sudah ada seperti dijelaskan diatas oleh karena itu
status tersebut di Kabupaten Wakatobi dapat di kategorikan dalam keadaan baik dengan
nilai 61,5
Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan termasuk wilayah pesisir
setiap instansi melakukannya umumnya masih secara parsial dan masing-masing memiliki
mekanisme tersendiri dalam mengambil keputusan. Berdasarkan informasi dari DKP
Kabupaten Wakaobi bahwa apabila ada kegiatan atau permasalahan yang terkait
pemanfaatan sumberdaya perikanan maka dilakukan koordinasi dengna instansi terkait
seperti Balai Tman Nasional namun keputusan diserahkan pada lembaga yang terkait
langsung dengan tupoksinya. Mekanisme dan pengambilan keputusan hanya ada pada
instansi masing-masing dan komunikasi dilakukan melalui workshop, seminar atau
kegiatan lainnya sehingga mekanisme keputusan tidak berjalan dengan lancar dan akhirnya
berhubungan dengan keputusan yang akan diambil tidak berjalan dengan sepenuhnya.
Kondisi ini disebabkan juga belum terdapatnya rencana pengelolaan perikanan dalam
mengelolala sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Wakatobi. Oleh karena itu
berdasarkan hasil wawancara tersebut secara keseluruhan tergambar pula secara spesifik
bawa belum tergambar dari rekapan kuisioner tentang mekanisme pengambilan keputusan
dalam pengelolaan perikanan, namun dapat terlihat bahwa telah terbentuk wadah
(kelembagaan formal) yang mendukung mekanisme kelembagaan ditingkat masyarakat
dan selalu dibina/dipantau DKP Kabupaten Wakatobi yaitu kelompok masyarakat
pengawasan (Pokmaswas) sehingga indikator mekanisme pengambilan keputusan
diberikan status sedang dengan nilai 36.
Berdasarkan hasil wawancara bahwa di DKP Kabupaten belum memiliki RPP,
namun sebagai dokumen pendukung maka Kabupaten Waktobi telah memiliki dokumen
Zonasi yang didalamnya sudah termasuk pengelolaan perikanan. Sebagai pendukung
kegiatan pengelolaan perikanan salah satunya adalah berkaitan dengan penegakan aturan
yaitu pembentukan kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas). Berdasarkan hal
tersebut di atas dan dihubungkan dengan kriteria skor maka indikator ini dapat diberikan
skor 1( belum ada RPP) dengan nilai 15.
Berdasarkan hasil wawancara di DKP Kabupaten Wakatobi bahwa sinergi antar
lembaga telah berjalan m beleum efektif. Kondisi ini tergambar dari wawanara dan diskusi
bahwa doukumen hasil penangkapan dan tindakan pelanggaran pemanfaatan sumberdaya
perikanan hanya dijumpai pada instansi tertentu. Hal ini menggambarkan bahwa belum
berjalannya secara efektif komunikasi antara lembaga yang terkait. Oleh karena itu kriteria
ini menggambrkan pula tidak ada konflik antar lembaga sehingga dapat di beri skor 2.
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan staf DKP Kabupaten Wakatobi
bahwa dukungan pemerintah daerah terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan sangat besar. Hal ini tercermin dengan adanya visi Kabupaten Wakatobi yaitu;
“Surga Nyata di Bawah Laut” yang sifatnya menginkat setiap SKPD sehingga masing-
masing lambaga telah memiliki pemahaman yang tertuang pada tupoksi masing-masing
yang mendukung visi tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka kriteria kebijakan antar
lembaga dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang saling endukung
dapat diberi skor 3. Dan secara keseluruhan indikator tingkat sinergisitas kebijakan dan
kelembagaan pengelolaan perikanan di beri nilai 27,5.
Sejak adanya program Coremap II di Kabupaten Wakatobi maka pembentukan
SISWASMAS dan POWASMAS telah berjalan dengan baik dimana hingga tahun 2011
telah terbentu kelompok pengawas swadaya di setiap desa target Coremap. Keberadaan
kelompok-kelompok pengawas tersebut menurut staf DKP Kabupaten Wakatobi sangat
bermanfaat dalam mendukung pengwasan swakarsa di setiap wilayah perairan mereka.
Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka indikator kapasitas pemangku kepentingan
terjadi peningkatan dan berfungsi dengan baik sehingga kriteria ini dapat diberi skor 3
dengan nilai 15.
Keberadaan RPP hingga saat ini di Kabupaten Wakatobi belum terwujud sehingga
pengelolaan perikanan masih terikat didalam tupoksi dinas kelautan dan perikanan
sedangkan yang berkaitan dengan sumberdaya kelautan lainnya yang melibatkan antar
sektor dikoordinasikan oleh Bappeda Kabupaten namun masing-masing lembaga (SKPD)
memiliki kewenangan sendiri-sendiri. Berdasarkan informasi tersbut maka indikator
keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan diberikan skor 1 dengan nilai 4 karena
belum ditemukan adanya single authority ditingkat kabupaten dalam rencana pengelolaan
perikanan (RPP).
4.2 Analisis Tematik Perikanan Berbasis Perikanan Tuna
4.2.1 Domain Sumberdaya Ikan
Penilaian Domain Sumberdaya Ikan terbagi dalam 7 indikator penilaian yaitu
CPUE Baku, Ukuran ikan, Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Komposisi
spesies, Spesies ETP, "Range Collapse" sumberdaya ikan, dan Densitas/Biomassa untuk
ikan tuna. Berdasarkan hasil analisis pemberian skor kriteria setiap indikator-indikator
domain sumberdaya ikan dapat dilihat pada Tabel 18.
Nelayan ikan tuna di Kabupaten Waatobi melakukan penangkapan ikan
menggunakan alat tangkap pancing baik pancing tonda maupun pancing rawai (mini
longline). Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh WWF-TNC sejak tahun 2009
hingga 2011 tergambar bahwa perhitungan CPUE ikan tuna di Kabpaten Wakatobi selama
3 tahun (2009 – 2011) secara umum menujunkan adanya kecenderungan peningkatan
CPUE ikan tuna namun pada tahun 2010 ada sedikit penurunan CPUE ikan tuna dibanding
tahun 2009, sedangkan CPUE tahun 2011 menunjukan adanya peningkatan, dimana pada
pada tahun 2009 CPUE ikan tuna sebesar 58,37 ton, tahun 2010 sebesar 55, sedangkan
kondisi CPUE ikan tuna ada tahun 2011 meningkat menjadi 83,23 ton (Gambar 12 - 14).
Tabel 18. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sumberdaya Ikan
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1. CPUE Baku CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandarisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan.
Logbook, Enumerator, Observer
1 = menurun tajam 2 = menurun sedikit 3 = stabil atau meningkat
3 40 1 (Killer Indicator)
120
2. Ukuran ikan - Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus)
Interview, Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis)
1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar
2 20 2 40
3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity).
Interview, Sampling program secara reguler
1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%)
3 15 3 45
4. Komposisi spesies
Jenis target dan non-target (discard dan by catch)
Logbook, observasi, interview
1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dgn non-target 3 = proporsi target lebih banyak
3 10 4 30
5. Spesies ETP Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES
Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview
1= banyak tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap
3 5 6 15
6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
SDI yang mengalami tekanan penangkapan akan "menyusut" biomassa-nya secara spasial sehingga semakin sulit / jauh untuk ditemukan/dicari.
Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview
1 = semakin sulit; 2 = relatif tetap; 3 = semakin mudah
2 10 5 20
1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2= fishing ground jauh 3= fishing ground relatif tetap jaraknya
2
2.7 100
270
Demikian pula CPUE ikan tuna apabila dilihat perkembangan bulanan selama tiga tahun
yang memberikan gambaran bahwa terjadi fluktuasi CPUE secara umum terjadi pada
bulan Oktober hingga Desember.
Gambar 12. CPUE (ton) Ikan Tuna Tahun 2009 - 20011
Gambar 13. Kecenderungan CPUE Ikan Tuna Kabupaten Wakatobi Tahun 2009 – 2010
Gambar 14. Kecenderungan CPUE Ikan Tuna Kabupaten Wakatobi Tahun 2011
Kecenderungan lain yang dapat memperlihatkan peningkatan CPUE adalah adanya
peningkatan hasil tangkapan ikan tuna selama tiga tahun terakhir termasuk juga
kecenderungan adanya fluktuasi hasil tangkapan bulanan pada setiap tahunnya selama tiga
tahun yang dimaksud seperti terlihat pada Gambar 15 - 17 berikut
Gambar 15. Kecenderungan Hasil Tangkapan Ikan Tuna Tahun 2009 – 2011
Gambar 16. Fluktuasi Hasil Tangkapa Ikan Tuna Bulanan Pada Tahun 2009
Gambar 17. Fluktuasi Hasil Tangkapa Ikan Tuna Pada Tahun 2009 dan 2010
Berdasarkan informasi dan gambaran seperti telah dijelaskan di atas maka indikator
CPUE baku perikanan ikan tuna di Kabupaten Wakatobi dapat diberikan skor 3 dengan
kategori baik dan nilai 120. Adanya peningkatan tersebut disebabkan adanya permintaan
dan harga yang baik sehingga nelayan berusaha meningkatkan produksi dengan
memperluas jangkauan lokasi penangkapan ikan tuna.
Informasi yang terkait dengan ukuran ikan yang tertangkap khususnya panjangnya
tidak banyak terungkap secara kuantitatif namun berdasarkan hasil wawancara sebanyak
201 responden tentang persepsi masyarakat terhadap perkembangan ukuran ikan tuna
yang tertangkap mengatakan bahwa bahwa 50,9 % mengatakan bahwa selama 5 tahun
terakhir ukuran ikan tuna yang tertangkap cenderung sama saja, 20 % cenderung lebih
kecil, 18,2 % tidak tahu dan 10,9 % mengatakan ukuran hasil tangkapan cenderung
menurun. Berdasarkan informasi tersebut maka indikator ukuran ikan tuna di Kabupaten
Wakatobi dapat diberikan skor 2 dengan kategori sedang dengan nilai 40.
Data yang berkaitan proporsi ikan yuwana tuna yang tertangkap terindikasi bahwa
indikator proporsi ikan yuwana tuna tidak tersedia termasuk hasil wawancara, namun
secara kualitatif berdasarkan informasi hasil wawancara untuk indikator ukuran ikan tuna
maka peluang tertangkapnya ikan yuwana sangat kecil, hal ini berkaitan dengan adanya
kecenderungan harga jual dan permintaan pasar yang begitu tinggi dalam betuk tuna loin,
kondisi ini akan memberikan peluang yang lebih sedikit juvenil atau yuwana ikan tuna
yang tertangkap yang hanya di konsumsi lokal dengan harga yang sangat rendah, oleh
karena itu indikator ini dapat diberikan skor 3 dengan nilai 45.
Berdasarkan hasil wawancara pada responden dan staf DKP Kabupaten Wakatobi
yang berkaitan dengan komposisi spesies ikan tuna yang menjadi target penangkapan
selama 5 tahun terakhir menggambarkan bahwa tujuan penangkapan adalah ikan tuna
maka peralatan yang digunakan dirancang untuk menangkap ikan tuna sehingga ikan yang
tertangkap adalah dominan ikan tuna pula sedangkan ikan-ikan lain sangat sedikit.
Kondisi ini dapat disimpulkan dan memberikan gambaran indikator komposisi spesies
tangkapan proporsi target lebih besar dari pada non terget sehingga dapat di berikan skor 3
dengan nilai 30
Berdasarkan hasil wawancara terhadap 201 nelayan tuna menunjukan bahwa 80%
responden mengatakan tidak ada ikan yang dilindungi atau terancam punah (spesies ETP)
yang tertangkap sedangkan sisanya ada yang mengatakan kadang-kadang misalnya ikan
hiu dan ikan putih dapat tertangkap tetapi jarang sekali. Demikian pula informasi yang
diberikan oleh pihak DKP Kabupaten Wakatobi mengatakan bahwa tidak ada spesies ETP
yang tertangkap saat menangkap ikan tuna. Maka berdasarkan informasi tersebut kritria
ini dapat diberikan skor 3 dengan kategori baik dan diberi nilai 15 yaitu tidak ada
tangkapan spesies ETP;
Berdasarkan hasil wawancara kepada 201 nelayan ikan tuna mengatakan bahwa
sebagian besar tidak memberikan respon (mengatakan tidak tahu), 21,9 % mengatakan
kondisi mencarikan sama dengan tahun-tahun sebelumnya 10,2 % mengatakan semakin
sulit kondsi mencari ikan 5 – 10 tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut maka kondisi
sumbedaya ikan kriteria ini dapat di berikan skor 2. Sedankan lokasi fishing ground dari
jumlah respoden ikan tuna sebagaian besar (18,5%) mengatakan bahwa lokasi
penangkapan tidak berubah bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena
penangkapan ikan tuna dapat dilakukan pada jalur migrasi ikan tuna yang salah satunya
melewati perairan Kabupaten Wakatobi. Namun demikian sebagian kecil (10,2 %)
mengatakan bahwa lokasi semakin jauh karena kebiasaan menangkap ikan yang
sebelumnya dilakukan di sekitar perairan mereka sudah sulit menangkap ikan dan
melakukan pencarian pada fishing ground yang ke lokasi yang lebih jauh seiring dengan
tingginya keinginan untuk meningkatkan produksi, sehingga kondisi ini dapat di berikan
nilai kriteria 2. Berdasarkan infromasi tersebut maka indikator range of collapse
sumberdaya ikan tuna dapat di beri nilai 20.
4.2.2 Domain Habitat dan Ekosistem
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain habitat dan
ekosistem untuk menilai staus ikan tuna yang meliputi Kualitas perairan, status lamun ,
status mangrove, status terumbu karang, habitat unik/khusus (spawning ground, nursery
ground, feeding ground, upwelling), status dan produktivitas estuari dan perairan
sekitarnya, perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Berdasarkan hasil
analisis setiap indikator EAFM pada domain habitat dan ekosistem ditampilkan dalam
Tabel 19.
Kabupaten Wakatobi merupakan daerah kepulauan dengan luas daratan sekitar 3 %
dari luas perairannya sekitar 97%. Selain itu letak Kabupaten Wakatobi yang berada di
bagian Tenggara jazirah Sulawesi dan diapit Laut Banda dan Laut Flores. Kodisi ini
meggambarkan bahwa pengaruh aktivitas pembangunan di daratan hanya berasal dari
daratan Kabupaten Wakatobi (sekitar 3%) luasnya, selain itu aktivitas pembangunan
khususnya industri yang dapat mempengaruhi kualatas perairan masih sangat kecil hal ini
didukung juga di daerah ini tidak terdapat sungai sehingga kualitas perairannya hingga
saat ini masih relatif baik. Selain itu keberadaan Kabupaten Wakatobi yang demikian maka
pergantian massa air sangat fluaktuatif karena adanya arus yang melewati daerah ini
sehingga proses sedimentasi sangat kecil. Kondisi tersebut dapat dilihat dari beberapa
parameter kualitas perairan seperti konsentrasi salinitas 32 – 34 ppm , DO 4 – 8,4 ppm,
suhu 27 - ,5 oC, TSS 1.12 mg/L, kecerahan hingga kedalaman 20 meter serta konsenrasi
plankton berkisar 8107 – 14186 ind/l (Bppeda Sultra, 2003: KMB Sultra 2009 dan 2011).
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian TNC/WWF Indonesia Tahun 2003
melaporkan bahwa dissolved oxygen 5.28 – 7.59 ppm, nitrate <1.00 – 22.46 ppt, nitrite
<1.00 – 4.20 ppt, pPhosphates 1.57 – 12.11 ppb, total suspended Solids 2.76 – 5.02 ppm,
Salinity 34.5 – 35.0 %o, pH 8.01 – 8.50, water temperature 26 - 29°C dan turbidity <1
NTU.
Berdasarkan informasi tersebut dan maka indikator penilaian untuk kualitas air
yang terdiri dari komponen limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual
(Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun), kemudian kekeruhan dan eutrofikasi, maka
perairan Kabupaten Wakatobi berada dibawah batas ambang baku mutu perairan dalam
KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan sehigga secara umum perairan
Kabupaten Wakatobi dapat di katakan tidak tercemar, kecerahan sangat inggi maka
kekeruhan rendah dan tidak berpotensi terjadi eutrofikasi karena tidak terdapat sungai
sehingga indikator kualitas perairan di berikan skor 3 dengan nilai 60.
Ekosistem padang lamun dapat di temukan di semua wilayah pesisir
KabupatenWakatobi. Berdasarkan hasil analisa citra satelit tahun 2004 Kabupaten
Wakatobi memiliki luas padang lamun sebesar 7.067,25 ha (Hardin, 2007). Hasil survei
yang dilakukan oleh Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tenggara tahun 2006 dilaporkan
bahwa jenis lamun yang telah berhasil diidentifikasi di perairan Pulau Kapota ada delapan
jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, H. uninervis,
Cymodocea rotundata, Thallasodendrum ciliatum, Halophila ovalis, dan H. minor. T.
hemprichii dan E. acoroides merupakan jenis lamun yang hampir ditemukan pada setiap
lokasi pengamatan.
Tabel 19. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Habitat dan Ekosistem
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1. Kualitas perairan
Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun)
Data sekunder, sampling, monitoring, >> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan)
1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar
3 20 1 60
Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan
Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU
3
Eutrofikasi >> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu)
1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan 3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi
3
2. Status lamun Luasan tutupan, densitas dan jenis Lamun.
Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT. >> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org)
1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50%
3 15 2 45
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
3
3. Status mangrove
Kerapatan, nilai penting, perubahan luasan dan jenis mangrove
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%
2 15 2 30
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
2
Lanjutan Domain Habitat dan Ekosistem
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal
1
1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi 3
4. Status terumbu karang
> Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover).
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara Survey : Transek (2 kali dalam setahun) Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan
1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi, >50%
2 15 2 37.5
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
3
5. Habitat unik/khusus (spawning ground, , upwelling).
Luasan, waktu, siklus, distribusi, larva drift, spill over, dan kesuburan perairan
Fish Eggs and Larva survey, GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi
1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik
2 15 3 30
6. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
Tingkat produktivitas perairan estuari
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara Survey : 2 kali dalam setahun Citra satelite dengan resolusi tinggi - minimal dilakukan 2 kali setahun dengan diikuti oleh survey lapangan
1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi
3 10 4 30
Lanjutan domain habitat dan ekosistem 7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring
> State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
2 10 5 25
> state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)
3
2.53 100 257,5
Tingkat kesehatan padang lamun yang ditemukan di perairan Pulau Kapota tergolong
sangat baik, sebagaimana ditunjukan oleh nilai penutupan dan kepadatannya. Nilai tingkat
penutupan padang lamun di Pulau Kapota pada enam stasiun pengamatan berkisar 60 –
100% (umumnya 75% dan 80%). Kepadatan padang lamun yang ditemukan pada setiap
sub stasiun pengamatan di pulau ini berkisar 196 tunas/m2 - 768 tunas/m2. Berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004, padang lamun dengan
nilai penutupan > 60% dikategori sebagai padang lamun sehat/kaya. Selanjutnya KMB
Sultra, 2011 melaporkan bahwa padang lamun di sekitar Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Pulau Tomia yang tersebar di daerah intertidal di bagian belakang (backward) terumbu
karang juga terdiri dari delapan jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, H.
uninervis, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, dan H. Minor, Sringodium isoetifolium
dan Cyamodocea, sedangkan Thallasodendrum ciliatum tidak ditemukan. Sehingga
berdasarkan hasil kajian tersebut maka di Kabupaten Wakatobi terdapat 9 jenis lamun dari
13 jenis yang ada di Indonesia sehingga tergolong tinggi keanekaragamannya.
Nilai tingkat penutupan padang lamun pada kawasan DLP yang diamati di Pulau
Tomia berkisar 60 – 100% (umumnya 80% dan 100%). Kepadatan padang lamun yang
ditemukan pada setiap DPL pengamatan di pulau ini berkisar 208 tunas/m2 - 280 tunas/m2
sehingga dapat di katakan kondisi lamun di Pulau Tomia berada pada kategori sehat.
WWF-TNC 2011 melaporkan bawa keanekaragaman jenis lamun juga termasuk tinggi
dengan ditemukan 11 spesies lamun di perairan Wakatobi dari 12 spesies yang ada di
Indonesia
Oleh karena itu indikator status padang lamun di Kabpaten Wakatobi dengan
penutupan diatas 50 % dan keanakaragaman yang tinggi (11 jenis) maka nilai indikator
tersebut dapat di berikan skor 3 dengan nilai 45.
Ekosistem mangrove di Kabupaten Wakatobi sebagian besar hanya tedapat di
beberapa pulau saja, walaupun di seluruh pulau besar Kabupaten Wakatobi terdapat
tumbuhan mangrove namun konsentrasinya berbeda-beda dan sebagian hanya merupakan
bagian kecil pelengkap ekosisten pesisir. Keberadaan komunitas mangrove tertinggi
terpusat di Pulau Kaledupa dan sekitarnya seperti pulau Derawa, pulau Lentea. Sedangkan
di wilayah lain komunitas mangrove dapat di temukan di pulau Runduma, pulau Tomia,
Desa Wali (Binongko) dan pulauKapota (Wanci) (Anonim, 2009; KMB Sultra, 2006).
Hasil penelitian Jamili, (2010) melaporkan bahwa dari pengamatan komunitas
mangrove di Puau Kaledupa terdapat 6 jenis mangrove pada kategori pohon, 8 jenis
masing-masing pada kategori tiang, sapihan dan semai. Dan secara keseluruhan komunitas
mangrove di Pulau Kaledupa terdapat 20 jenis.
Selanjutnya Jamili (2010), melaporkan bahwa tingkat kerapatan mangrove pada
lokasi kajian di pulau Kaledupa, Hoga dan pulau Derawa pada kategori pohon dan tiang
menujunukan tingkat kerapat yang bervariasi dimana untuk pulau Kaledupa sebesar 1054 a
- 1829 pohon/ha, pulau Hoga sebesar 500 – 917 pohon/ha dan pulau Derawa sebesar 521
– 1010 pohon/ha sedangkan kerapatan kategori sapihan dan semai lebih tinggi lagi.
Kisaran kerapatan tersebut di bandingkan dengan kriteria skor kerapatan mangrove yaitu :
1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2 = kerapatan sedang 1000-1500
pohon/ha, tutupan 50-75%; dan 3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%,
maka kerapatan mangrove tersebut dalam kriteria sedang dengan skor 2.
Indeks keanekaragaman komunitas mangrove pada tiga lokasi tersebut pada kategori
pohon hingga kategori semai menunjukan bahwa di pulau Kaledupa berkisar 1,3 – 1,7;
pulau Hoga berkisar 0,59 – 1,41 dan di pulau Derawa berkisar 0,34 – 0,69 dengan rata-rata
kisaran sebesar 0,86 – 1,15 atau rata-rata indeks keanekragaman mangrove di lokasi kajian
sebesar 1,07. Jika nilai indeks tersebut dibandingkan dengan kriteria skor nilai indeks
keanekaragaman yaitu : 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 =
kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); dan 3 = keanekaragaman tinggi
(H’>9,97 atau H’>3), maka berdasarkan nilai indeks keanekaragaman rata-rata tersebut di
atas maka termasuk dalam kriteria keanekaragaman sedang. Sehubungan dengan uraian
tersebut maka Indeks Nilai Penting mangrove di Kabupaten Wakatobi khususnya di pulau
Kaledupa pada ketiga lokasi penelitian menunjukan INP sebesar 300 sehingg dapat di
kategorikan skor tinggi atau 3.
Informasi lain yang berkaitan komunitas mangrove di pulau Kaledupa menunjukan
bahwa sejak tahun 1960 hingga tahun 2007 telah terjadi eksploitasi sehingga secara
signifikan telah mengurangi luasan mangrove di wilayah ini. Terjadinuya degradasi
tersebut di sebabkan; konversi kawasan mangrove menjadi pemukiman, tanaman budidaya,
sarana umum dan pengambilan kayu bakau untuk bahan bakar dan kontruksi. Oleh karena
itu kriteria ini di beri skor rendah atau 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa indikator
status mangrove di Kabupaten Wakatobi yang meliputi kerapatan, keanekaragaman, luasan
dan INP secara keseluruhan dapat di berian nilai skor total 30.
Pengamatan kondisi karang di Kabupaten Wakatobi telah dilakukan oleh berbagai
lembaga baik LIPI, Perguruan Tinggi, LSM maupun instansi terkait (DKP, Balai Taman
Nasional). Berdasarkan keberadaan lokasi geografi ekosistem terumbu karang dan status
Kabupaten Wakatobi sebagai kawasan konservasi maka hasil penelitian tersebut secara
umum dapat di kelompokan dalam tiga wilayah (habitat) yaitu kondisi terumbu karang tepi
(main land), kondisi terumbu karang di luar pulau (outer land) dan kondisi terumbu karang
kawasan atol. Sedangkan berdasarkan status kawasan maka di fokuskan pada hasil
peneltian di kawasan pemanfaatan (use zone) dan kawasan perlidungan (no take zone).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh TNC-WWF yang mengamati kondisi terumbu
karang pada tahun 2009 – 2011 menunjukan kondisi terumbu karang seperti ditunjukan
pada Tabel 11 sebelumnya
TNC-WWF, 2011 melaporkan bahwa Kondisi kesehatan karang sepanjang
pengamatan tahun 2009-2011 di TNW secara signifikan lebih tinggi di zona larang ambil
dibandingkan di zona pemanfaatan, dengan kondisi paling baik di habitat pulau utama.
Kondisi karang tahun 2011 lebih baik daripada tahun 2010 dengan kisaran bervariasi
masing-masing tipe habitat dan jenis zona dimana masih dijumpai kondisi penutupan
karang keras hingga di atas 70% khusunya pada zona yang di konsrvasi, namun demikian
sebagian masih dijumpai adanya penutupan di bawah 10 % khususnya pada zona
pemanfaatan dengan kedalaman pengamatan 3 meter.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Coremap II Kabupaten Wakatobi
tahun 2010 untuk setiap desa Wilayah Coremap II di 8 kecamatan khusuya pada daerah
perlindungan laut memberikan gambaran bahwa rata-rata persentase penutupan karang
keras 37,42% namun ada juga dijumpai persentase penutupan karang keras diatas 70% dan
dibawah 20 %. Rata-rata persentase penutupan karang keras pada daerah perlindngan laut
di setiap kecamatan wiayah implementasi Coremap II Kabupaten Wakatobi secara detail
dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan hasil survei tersebut dan dihubungkan dengan
kriteria skor penutupan karang keras hidup (live hard coral cover) yaitu : 1 = tutupan
rendah, <25%; 2 = tutupan sedang, 25-49,9%; dan 3 = tutupan tinggi, >50% maka tutupan
karang keras hidup cenderung di Kabupaten Wakatobi berada pada kriteria sedang dengan
skor 2.
Di Kabupaten Wakatobi tercatat sebanyak 396 jenis karang keras berterumbu
(scleractanian hermatripic), 10 spesies karang keras tak-berterumbu (scleractanian
ahermatripic), 28 genera karang lunak, dan 31 spesies karang fungi di TNW. Kondisi ini
menggambarkan bahwa di Kabupaten Wakatobi memiliki keanekaragaman karang yang
tinggi (WWF-TNC, 2003). Berdasarkan kenyataan tersebut walaupun tidak melakukan
analisa ekologi maka keanekaragama karang tergolong tinggi sehingga dapat di berikan
skor 3. Secara keseluruhan status karang di Kabupaten wakatobi berdasarkan kriteria
persentase penutupan karang keras dan keanekaragaman maka dapat di berikan nilai 37,5.
Informasi indikator habitat khusus/unik yang berkaitan dengan daerah pemijahan
ikan di Kabupaten Wakatobi diperoleh berasarkan hasil wawancara dengan pihak DKP
Kabupaten Wakatobi dan nelayan mengatakan bahwa minimal terdapta 8 daerah pemijahan
yang telah teridentifikasi dan masih ada lagi yang diduga sebagai daerah pemijahan.
Keberadaan daerah pemijahan ikan tersebut walaupun telah ditetapkan di dalam dokumen
zonasi sebagai daerah inti (konservasi) namun belum di kelola dengan baik. Pemda
Wakatobi telah menginisiasi rancangan peraturan daerah untuk melindungi daerah
pemijahan tersebut. Oleh karen itu berdasarkan informasi tersebut maka indikator habitat
khusus dapat di berikan nilai 30.
Indikator produktivitas perairan di perairan Kabupaten Wakatobi belum banyak
terungkap kondisi ini disebabkan perairan tersebut belum ada indikasi adanya pencemaran.
Namun sebagai pendekatan untuk menggambarkan dan menentukan status produktivitas
perairan dilakukan melalui pendekatan parameter kualitas air yaitu pH perairan. Parameter
tersebut dapat membantu menggambarkan keproduktivitasan perairan. Berdasarkan Alaerts
dan Santika (1987), menyatakan bahwa pH air merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi produktivitas perairan. Suatu perairan dengan pH 5,5-6,5 termasuk perairan
yang tidak produktif, perairan dengan pH 6,5-7,5 termasuk perairan yang produktif,
perairan dengan pH 7,5-8,5 adalah perairan yang memiliki produktivitas yang sangat
tinggi, dan perairan dengan pH yang lebih besar dari 8,5 dikategorikan sebagai perairan
yang tidak produktivitas lagi .
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh TNCWWF tahun 2003 maka
perairan Kabupaten Wakatobi memiliki pH berkisar pH 8.01 – 8.50. Sedangkan hasil
penelitian yang dialkukan Balai Taman Nasional Wakatobi pH perairan berkisar 8,2 – 8,3.
Berdasarkan informasi tersebut maka perairan Kabupaten Wakatobi cenderung pada
kategori sangat produktif sehingga indikator produktivitas perairan pada domain habitat ini
dapat di berikan nilai 30.
Pengkajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Wakatobi belum banyak
dilakukan, namun secara kualitatif dampak perubahan iklim sudah dapat di rasakan oleh
masyarakat yaitu adanya perubahan pola arus dan gelombang serta hujan yang sulit di
prediksi dan tidak teratur. Keberadaan infromasi yang demikian belum diikuti langkah-
langkah strategis untuk mengantisipasinya, oleh karenan itu kriteria ini dapat diberikan
skor 2. Sedangkan kriteria indikaor perubahan iklim yang didasarkan pada terumbu karang
di peroleh informasi dari Jumaidin, (2011) bahwa di kawasan daerah perlindungan laut
Waha telah terjadi bleaching pada bulan Juli 2010 dan pada bulan Maret 2011 namun
kondisi karang yang mengalami bleaching tersebut dapat mengalami recovery satu bulan
sehingga nkarang yang mengalami bleaching kurang dari 5%, maka kondisi karang yang
bleaching ini dapat diberi skor 2.
4.2.3 Domain Teknik Penangkapan Ikan
Berdasarkan aspek teknis penangkapan ikan telah dirumuskan 6 (enam) indikator
utama, yakni: (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, (2)
modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) Fishing capacity dan
effort, (4) Selektivitas penangkapan, (5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan
ikan dengan dokumen legal, dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan
peraturan. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain teknik
penangkapan ikan ditampilkan dalam Tabel 20.
Berdasarkan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh KMB Sultra tahun 2010
bahwa pelanggaran yang terkait langsung dengan alat penangapan ikan yang terjadi sejak
tahun 2005 hingga 2010 dan di proses secara hukum mengalamai penurunan dimana pada
tahun 2005 terjadi sebanyak 14 kasus, tahun 2006 sebanyak 5 kasus, tahun 2007 sebanyak
2 kasus, 2008 sebanyak 4, tahun 2009 sebanyak 1 kasus dan tahun 2010 sebanyak 2 kasus.
Pelanggran tersebut telah di proses secara hukum oleh instansi terkait (kepolisian dn
kejaksaan). Secara ricni jenis pelanggaran yang terjadi sejak tahun 2000 hingga 2010 di
Kabupaten Wakatobi seperti tergambar pula pada perikanan karang dapat dilihat pada
Tabel 14 dan Lampiran 1.
Pada Tabel tersebut terlihat adanya kecenderungan penurunan kasus pelanggaran
yang dalam penggunaan alat penangkapan ikan yang terjadi di Kabupaten Wakatobi.
Tabel 20. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan INDIKATO
R DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKO
R BOBOT (%)
RANKING
NILAI
1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
Penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku.
Laporan hasil pengawas perikanan, survey
1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
3 30 1 (Killer Indicato
r)
90
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.
Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI
Sampling ukuruan ikan target/ikan dominan.
1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm
3 25 2 75
3. Fishing capacity dan Effort
Besarnya kapasitas dan aktivitas penangkapan
Interview, survey, logbook 1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1
0 15 3 0
4. Selektivitas penangkapan
Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan
Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey
1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)
3 15 4 45
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal
Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal.
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal
2 10 5 20
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan.
Sampling kepemilikan sertifikat 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%
1 5 6 5
2 100
235
Hal ini disebabkan meningkatnya pemberdayaan masyarakat melalui SISWASMAS dan
POKWASMAS baik kelembagaannya maupun kapasitas pengurusnya serta peningkatan
kerjasama dengan instansi terkait/antar lembaga yaitu POLAIR dan Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Wakatobi serta Taman Nasional akatobi yang di fasilitasi Coremap II
sehingga indikator metode penankapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal dapat
di beri skor 3 dengan nilai 90.
Penangkapan ikan tuna di Kabupaten Wakatobi di dominasi jenis yellow fin tuna
dan tuna albacore dengan menggunkanan alat tangkap pancing tonda maupun pancing
rawai dengan daerah penangkapan dilepas pantai hingga diatas 20 mil laut. Keberadaan
alat tangkap tuna ini tidak banyak dilakukan modifikasi karena alat tangkapnya cukup
sederhana dan disesuaikan dengan kapasitas kapal yang mereka gunakan maksimum
panjangnya 12 meter. Berdasarkan informasi dari nelayan penangkap tuna bahwa ukuran
panjang ikan yang umum ditangkap berkisar 90 – 120 cm. Penggunaan alat tangkap
pancing tidak berdampak negatif tehadap sumberdaya ikan tuna . Adanya fluktuasi hasil
tangkapan sangat terkait dengan kelimpahan yang ada tetapi bukan karena modifikasi alat
tangkap. Oleh karena itu berdasarkan informasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
indikator modifikasi alat tangkap ikan dan alat bantu penangkapan pada kriteria ukuran
ikan target dapat diberikan pada skor 3 dengan nilai 75.
Informasi yang berhubungan dengan Indikator fishing capasity dan effort tidak
mendapatkan data yang cukup untuk memberikan kesimpulan pada domain teknik
penangkapan ikan khususnya yang berhubungan dengan ikan tuna, sehingga indikator ini
tida dilakukan asesmen.
Berdasarkan hasil wawancara dan laporan DKP Kabupaten Wakatobi tahun 2007
mengatakan bahwa alat tangkap ikan tuna yang gunakan nelayan Kabupaten Wakatobi
adalah pancing yang merupakan alat tangkat yang tergolong selektivitasnya sangat tinggi,
sehingga indikator selektifitas penangkapan ikan tuna pada kriteria dapat diberikan skor 3
dengan nilai 45.
Kapal tangkap ikan tuna di Kabupaten Wakatobi memiliki panjang maksimum
12 m dengan lebar 1 meter serta kapasitas muat kurang dari 5 GT. Berdasarkan laporan
Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2009 tentang pendataan alat tangkap bahwa kapal-
kapal pengkap ikan tuna tidak perlu memilik izin dalam melakukan penangkapan oleh
pemerintah sehingga pengawasannya tidak dilakukan secara intensif khususnya bekaitan
dengan dokumen yang berhubungan dengan spesifikasi alat tangkap. Sehingga secara
umum kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkap ikan karang dengan dokumennya
tidak dapat diverifikasi namun berdasarkan informasi tersebut maka indikator ini dapat di
berikan skor moderat atau 2 dengan nilai 20.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak DKP dan laporan tahunan Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi tahun 2009 tidak ditemukan data atau
pelaporan jumlah kepemilikan sertifikat kecakapan awak kapal perikanan termasuk kapal
penangkap ikan tuna, hal ini disebabkan kapal penangkap ikan tuna tidak diwajibkan utuk
mengurus izin dalam melakukan operasi penangkapan dan para nelayan tidak diwajibkan
untuk memiliki sertifikat yang sesuai dengan kualifikasi penangkapannya. Sehingga
berdasarkan informasi tersebut maka untuk kriteria ini dapat diberikan skor 1 dimana
kepemilikan serifikasi kurang dari 50% dengan nilai 5.
4.2.4 Domain Sosial
Terdapat 3 indikator penilaian untuk domain sosial bagi domain sosial pengelolaan
ikan yaitu partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan
pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK,
traditional ecological knowledge). Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada
domain sosial ditampilkan dalam Tabel 21.
Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi dan secara kelembagaan di
kelola oleh Balai Taman Nasional. Pengelolaan kawasan tersebut melibatkan banyak
stakeholder maupun pemamngku kepentingan. Pemamngku kepentingan tersebut meliputi
lembaga baik daerah (Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Wakatobi dan Pemerintah
Daerah Kab. Wakatobi) dan pusat (Dewan Perwakilan Rakyat, Kementrian Kelautan dan
Perikanan RI, Perguruan Tinggi (Universitas Haluoleo dan Konsorsium Mitra Bahari
Prov.Sulawesi Tenggara) serta lembaga non-pemerintah (WWF, TNC) muapun pihak
swasta seperti Wakatobi Dive Resort. Keberadaan lembaga tersebut menunjukan bahwa
banyak pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan termasuk
didalamnya pemanfaatan ikan tuna. Keberadaan lembaga tersebut dalam aktifitasnya
belum terintegrasi tapi masih menjalankan tupoksi masing-masing sehing kadang belum
sinergis apa yang dilakukan lembaga yan dengan lembaga lainya. Berdasarkan uraian di
tersebut maka kriteria skor untuk keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan
perikan arang termasuk kategori moderat dan dalam skor 2 = 50 - 100 % dengan nilai 80.
Tabel 21. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sosial.
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
1. Partisipasi pemangku kepentingan
Keterlibatan pemangku kepentingan
Recording partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan.
1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 %
2 40 1 80
2. Konflik perikanan
Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector.
Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim)
1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun
2 35 2 70
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan
Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)
Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan
2 25 3 50
2 100
200
Berdasarkan hasil wawancara dari 201 responden nelayang ikan tuna, 90 %
responden yang mengatakan tidak pernah terjadi konflik antar nelayan yang menangkap
ikan tuna khususnya yang berkaitan dengan penggunaan alat penangkapan tuna yang
digunakan nelayan lain, yang ditemui di laut termasuk penggunaan. Sedangkan yang
terkait dengan kebijakan masih dijumpai adanya aturan yang dianggap tidak operasioal
khususnya penggunaan kompresor yang menimbulkan pertentangan antar sektor. Hal ini
didukung juga hasil wawancara dengan pihak DKP maupun pihak Taman Nasional yang
mengatakan bahwa kebijakan berkaitan dengan sumberdaya ikan masih ada yang perlu di
perbaiki sehingga tidak membingunkan petugas dilapangan dalam mengambil keputusan
atau penindakan. Selain itu juga terjadi konflik terkait dengan kebijakkan dimana pada
zonasi TNW ditetapkan sebagai daerah pemanfaatan tradisional yang mengacu pada
undang-undang konservasi sedang DKP Wakatobi pada daerah tersebut ditetapka sebagai
daerah perlindungan laut (DPL). Oleh karena itu indikator konflik perikanan yang
berkaitan dengan sumberdaya, kebijakan, fishing gear maupun antar sektor dapat diberikan
skor 2 dengan nilai 70.
Keberadaan program Coremap II dan WWF-TNC serta lembaga pemerintah
lainnya di Kabupaten Wakatobi yang menerapkan konsep konservasi berbasis masyarakat
telah meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya
pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari. Di Masyarakat Kabupaetn Wakatobi
terdapat beberapa kearifan lokal maupun pengetahuan lokal yang dapat dimanfaatkan
untuk mengelola termasuk memanfaatkan sumberdaya perikaan. Salah satunya adalah cara
menentukan kapan waktu yang tepat untuk menangkap ikan, dimana masyarakat dapat
mengetahui pada waktu-waktu tertentu untuk manangkap dan dapat memperkirakan
dimana lokasi-lokasi keberadaan ikan (jalur migrasi).
Keberadaan pengetahuan lokal tentang pengelolaan sumberdaya perikanant di
Kabupaten Wakatobi ini secara umum telah lama ada namun dengan kemajuan
pengetahuan dan teknologi hal-hal tersebut mulai terkikis dan belum terkelola dengan baik
oleh karena itu perlu adanya revitalisasi terhadap penetahuan lokal maupun kearifan lokal
yang ada di masyarakat. Berdasarkan informasi tersebut maka indikator pemanfaatan
pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan secara umum (termasuk di
dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) diberikan status moderat dengan skor 2
dan nilai 50.
4.2.5. Domain Ekonomi
Aspek ekonomi ditetapkan 4 (empat) indikator utama, yakni: pendapatan rumah tangga perikanan (RTP), nilai tukar nelayan
(NTN), dan rasio tabungan, dan (4) kepemilikan aset.
Tabel 16. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Ekonomi. INDIKAT
OR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKO
R BOBOT (%)
RANKING
NILAI
1. kepemilikan aset
perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat :aset usaha perikanan atau aset RT.
Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan
1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)
2 35 1 70
2. Nilai Tukar Nelayan (NTN)
Rasio penerimaan terhadap pengeluaran.
Pengumpulan data NTN menggunakan sumber sekunder (BPS dan PUSDATIN) yang dikumpulkan setiap tahun
1 = kurang dari 100, 2 = 100, 3 = lebih dari 100
2 30 2 60
3. Pendapatan rumah tangga (RTP)
Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP
Arahan frekuensi survey (atau penggunaan note/catatan yang ada di lapangan, mis: pengumpul ikan) dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan
1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR
2 20 3 40
4. Saving rate
menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap income
Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan
1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
2 15 4 30
2 100 200
Berdasarkan wawancara dengan 201 responenden nelayan ikan tuna menunjukkan
bahwa nilai aset cenderung bertambah dari 5 tahun terakhir. Kondisi ini terlihat dari
adanya kepemilikan kapal penangkap ikan tuna sendiri dan beberapa RTP lainya memiliki
aset rumah tangga berupa sepeda motor, kulkas, mesin cuci, generator, TV, VCD/DVD,
dan HP sera jenis bangunannya sebagian besar sudah permanen dan rata-rata memiiki
sumber listrik.. Data secara detail tentang persentasi penngkatan aset nelayan tuna di
Kabupaten Wakatobi belum tergambar dengan baik nanum berdasarkan infromasi yang di
peroleh maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan aset tersebut dari 3 – 5 tahun
terakhir berkisar antara 20 – 50 %. Hal ini disebabkan sebagian asetnya berkurang dan
sebagian meningkat seta adaya perubahan aset menjadi aset yang lain. Oleh karena itu
berdasarkan kriteria pada indikator ini skor dapat diberikan 2 dengan nilai 70 karena nila
aset rata-rata bertambah kurang dari 50%).
Pengeluaran nelayan tuna terbesar di Kabupaten Wakatobi adalah untuk keperluan
sekolah dan biaya hidup berkisar Rp 500.000 hingga Rp. 6.000.000 dengan pendapatan
antara Rp. 250.000 – Rp 7.500.000. Berdasarkan infromasi dari responden nelayan ikan
tuna yang ada di Kabupaten Wakatobi mengatakan bahwa pendapatan lebih kecil bila
dibanding dengan pengeluaran (51.43 %), sebagian mengatakan pendapatan lebih besar
pengeluaran (20,51%) dan 28,06 % mengatakan antara pengeluaran dan pendapatan
nelayan sama saja. Berdasarkan informasi tersebut maka dapat secara keselruhan dapat
disimpulkan bahwa indikator nilai tukuar nelayan (NTN) ika tuna di Kabupaten Wakatobi
dapat diberikan skor 2 dengan nilai 60.
Berdasarkan hasil wawancara nelayan penangkapan ikan tuna yang dilakukan
sebnyak 307 responden maka dapat dikelompokan berdasarkan geografi pulau yaitu pulau
Wanci, pulau Kaledupa, pulau Tomia dan Pulau Binongko. Pendapatan bersih nelayan
ikan tuna di Pulau Binongko berkisar Rp 250.000 – Rp. 2.500.000, nelayan ikan tuna di
Pulau Kaledupa berkisar Rp. 500.000 – Rp 7.500.000 dan nelayan ikan tuna di Pulau
Wanci berkisar Rp. 1.000.000 – Rp 5.000.000. Besarnya pendapatan tersebut bila
dibandingkan dengan UMR regional Sulawesi Tenggara sebesar Rp. 1.070.000 maka
berada pada kisaran menengah atau moderat dan berdasarkan kisaran dan rata-rata
pendapatan nelayan ikan tuna di Kabupaten Wakatobi maka untuk kriteria skor mencapai
2 = sama besar dengan rata-rata UMR regional.
Informasi yang berkaitan dengan saving ratio tidak banyak terungkap, namun
sebagai pendekatan berdasarkan kisaran pendapatan dan pengeluaran yang sangat
bervariasi dan standar deviasi yang tinggi maka dapat diduga bahwa perbandingan antara
selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan ikan tuna dengan
pendapatannya rata-rata berkisar dibawah 10 % dimana bunga kredit di bank setempat
rata-rata 12,5 %. Kondisi ini dapat menggambarkan secara kasar tentang indikator saving
ration hanya dapat diberikan skor 1 dengan nilai 15.
4.2.5 Domain Kelembagaan
Aspek kelembagaan sepertihalnya perikanan ikan karang telah dirumuskan 7
(tujuh) indikator utama, yakni: (1) kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal
maupun non-formal (alat), (2) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (3)
mekanisme kelembagaan, (4) rencana pengelolaan perikanan, (5) tingkat sinergisitas
kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, (6) kapasitas pemangku kepentingan
dan (7) keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan. Berdasarkan hasil analisis
setiap indikator EAFM pada domain kelembagaan ditampilkan dalam Tabel 22.
Berdasarkan laporan tahunan DKP Kabupaten Wakatobi tahun 2011 mengatakan
bahwa pada tahun 2010 terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan perikanan yang telah di
tetapkan baik formal maupun tidak formal. Hal ini di perkuat pula dari hasil wawancara
dengan pihak DKP menyebutkan bahwa dalam setahun terkhir tercatat 8 pelanggaran,
yaitu: 1) Perijinan tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilakukan pembinaan serta
melengkapi dokumen sesuai kebutuhan, 2) Pelanggaran daerah penangkapan dengan
kategori ringan dan dilakukan pembinaan, 3) Cara penangkapan tidak ramah lingkungan
dengan kategori ringan (membawah kompresor kapal kurang dari 5 GT). Oleh karena itu
kriteria pelanggaran terhadap aturan perikanan dapat di kategorikan buruk dengan skor 1.
Sedangkan untuk pelangaran terhadap aturan non formal tidak ada informasi pelanggaran
dan kriteria ini dapat di berikan kategori baik dengan skor 3. Sehingga berdasarkan hal
tersebut maka indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-
formal diberikan nilai 50.
Tabel 22. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Kelembagaan.
INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT
(%) RANKING NILAI
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)
Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal
Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya
1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
1 25 1 50
Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran
3
2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan
1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, 2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya 3) replikasi kearifan lokal
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap
2 22 2 61,6
Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah
3
Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya
Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1) ketersediaan alat, orang 2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman)
1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif
3
1= tidak ada alat dan orang; 3
2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan
1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman
3
Lanjutan .........
3. Mekanisme pengambilan keputusan
Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif
2 18 3 36
1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
2
4. Rencana pengelolaan perikanan
Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud
Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner: 1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah 2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat
1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
1 15 4 15
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
2 11 5 27.5
Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung
3
6. Kapasitas pemangku kepentingan
Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem
Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap: 1) Ada atau tidak, berapa kali 2) Materi
1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan
3 5 6 15
7. Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
Dengan adanya single authority akan meningkatkan efektivitas kelembagaan pengelolaan perikanan
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga
1= tidak ada single authority ; 2 = lebih dari satu authority; 3 = ada single authority
1 4 7 4
2.29 100 209,1
Berdasarkan wawancara dengan perangkap DKP Kabupaten Wakatobi bahwa RPP
belum ada, namun aturan-aturan lain khususnya secara nasional masih mendominasi
aturan untuk dijadikan rujukan dalam pengelolaan perikanan di Kab. Wakatobi yang
meliputi UU No 27 Tahun 2007, UU No 45 Tahun 2009, UU No 45 tahun 2007, UU No 45
tahun 2004, PP No 60 tahun 2009. Sedangkan aturan yang bersifat teknis dan operasional
yan ada di Kabupaten Wakatobi meliputi; Perda Zonasi tahun 2007, Perda 15 dan 16 tahun
2005, serta aturan-aturan lainnya berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Raperda tentang
perlindungan darah pemeijahan. Berdasarkan kriteria skor maka termasuk dalam skor 2 =
ada tapi tidak lengkap.
Keberadaan dan kelengkapan aturan main pegelolaan perikanan di Kabupaten
Wakatobi sejak di canangkan sebagai Kawasan Taman Nasional pada tahun 1996 dan
sebagi daerah otomini sejak tahun 2003 telah mengalami perkembangan dan penambahan
aturan-aturan pengelolaan kawasan konservasi secara umum dan perikanan secara khusus
seperti tersebut diatas. Oleh karena itu kriteria jumlah aturan pada indikator tersebut dapat
di beri skor 3.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap perangkat DKP Wakatobi dan hasil
penelitian yang dilakukan KMB Sultra tahun 2010 terlihat bahwa setiap adanya
pelanggaran terhadap aturan-aturan perikanan selalu diikuti tindakan penegakan hukum
sesuai dengan aturan main yang berlaku baik pelanggaran kategori ringan maupun kategori
sedang hingga berat dengan tindakan mulai teguran hingga penahanan melalui proses
hukum. Oleh karena itu ketiga kriteria tesebut (penegakan aturan main, ketersediaan alat
dan tindakan dan adanya teguran dan hukuman) dapat diberikan skor 3.
Berdasarkan infromasi tersebut maka indikator kelengkapan aturan main dalam
pengelolaan perikanan secara umum walaupun rencana pengelolaan perikanan (RPP)
secara spesifik belum ada namun aturan-aturan umum yang berkaitan dengan pengeloaan
sumberdaya perikanan dan kelautan sudah ada seperti dijelaskan diatas oleh karena itu
status tersebut di Kabupaten Wakatobi dapat di kategorikan dalam keadaan baik dengan
nilai 61,6
Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan setiap instansi melakukan
secara parsial dan masing-masing memiliki mekanisme tersendiri dalam mengambil
keputusan. Berdasarkan informasi dari DKP Kabupaten Wakaobi bahwa apabila ada
kegiatan atau permasalahan yang terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan maka
dilakukan koordinasi dengna instansi terkait seperti Balai Taman Nasional namun
keputusan diserah pada lembaga yang terkait langsung dengan tupoksinya. Mekanisme dan
pengambilan keputusan hanya ada pada instansi masing-masing dan komunikasi dilakukan
melalui workshop, seminar atau kegiatan lainnya sehingga mekanisme keputusan tidak
berjalan dengan lancar dan akhirnya berhubungan dengan keputusan yang akan dimabil
tidak berjalan dengan sepenuhnya. Kondisi ini disebabkan juga belum terdapatnya rencana
pengelolaan perikanan dalam mengelolala sumberdaya kelautan dan perikanan di
Kabupaten Wakatobi. Oleh karena itu berdasarkan hasil wawancara tersebut secara
keseluruhan tergambar pula bahwa secara spesifik belum tergambar dari rekapan kuisioner
tentang mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan, namun dapat
terlihat bahwa telah terbentuk wadah (kelembagaan formal) yang mendukung mekanisme
kelembagaan ditingkat masyarakat dan selalu dibina/dipantau DKP Kabupaten Wakatobi
yaitu kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas) sehingga Indikator mekanisme
pengambilan keputusan diberikan status sedang dengan nilai 36.
Berdasarkan hasil wawancara bahwa di DKP Kabupaten Wakatobi belum memiliki
RPP, namun sebagai dokumen pendukung maka Kabupaten Waktobi telah memiliki
dokumen Zonasi yang didalamnya sudah termasuk pengelolaan perikanan. Sebagai
pendukung kegiatan pengelolaan perikanan salah satunya adalah berkaitan dengan
penegakan aturan yaitu pembentukan kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas).
Berdasarkan hal tersebut di atas dan dihubungkan dengan kriteria skor maka indikator ini
dapat diberikan skor 1( belum ada RPP) dengan nilai 15.
Berdasarkan hasil wawancara di DKP Kabupaten Wakatobi bahwa sinergitas antar
lembaga telah berjalan namun belum efektif. Kondisi ini tergambar dari wawanara dan
diskusi bahwa doukumen hasil penangkapan dan tindakan pelanggaran pemanfaatan
sumberdaya perikanan hanya dijumpai pada instansi tertentu. Selain itu komunikasi antar
lembaga yang memilik kepentingan yang sama terhadap pengelolaan kelautan dan
perikanan sebagian besar hanya terlaksana pada saat ada pertemuan tingkat sektor yang
berupa seminar, workshop ataupun pelatihan. Hal ini menggambarkan bahwa belum
berjalannya secara efektif komunikasi antara lembaga yang terkait. Oleh karena itu kriteria
ini menggambrkan pula tidak ada konflik antar lembaga sehingga dapat di beri skor 2.
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan staf DKP Kabupaten Wakatobi
bahwa dukungan pemerintah daerah terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan sangat besar. Hal ini tercermin dengan adanya visi Kabupaten Wakatobi yaitu;
“Surga Nyata di Bawah Laut” yang sifatnya menginkat setiap SKPD sehingga masing-
masing lambaga telah memiliki pemahaman yang tertuang pada tupoksi masing-masing
yang mendukung visi tersebut. Berasarkan hal tersebut maka kriteria kebijakan antar
lembaga dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang saling mendukung
dapat diberi skor 3. Dan secara keseluruhan indikator tingkat sinergisitas kebijakan dan
kelembagaan pengelolaan perikanan di beri nilai 27,5.
Sejak adanya program Coremap II di Kabupaten Wakatobi maka pembentukan
SISWASMAS dan POWASMAS telah berjalan dengan baik dimana hingga tahun 2011
telah terbentu kelompok pengawas swadaya di setiap desa target Coremap dan diringi
dengan peningkatan kapasitas anggotanya mlalui kegiatan pelatihan-pelatihan. Keberadaan
kelompok-kelompok pengawas tersebut menurut staf DKP Kabupaten Wakatobi sangat
bermanfaat dalam mendukung pengwasan swakarsa di setiap wilayah perairan mereka.
Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka indikator kapasitas pemangku kepentingan
terjadi peningkatan dan berfungsi dengan baik sehingga kriteria ini dapat diberi skor 3
dengan nilai 15.
Keberadaan RPP hingga saat ini di Kabupaten Wakatobi belum terwujud sehingga
pengelolaan perikanan masih terikat didalam tupoksi dinas kelautan dan perikanan
sedangkan yang berkaitan dengan sumberdaya kelautan lainnya yang melibatkan antar
sektor dikoordinasikan oleh Bappeda Kabupaten namun masing-masing lembaga (SKPD)
memiliki kewenangan sendir-sendiri. Berdasarkan informasi maka indikator keberadaan
otoritas tunggal pengelolaan perikanan diberikan skor 1 dengan nilai 4 karena belum
ditemukan adanya single authority ditingkat kabupaten dalam pengelolaan perikanan .
5 ANALISIS KOMPOSIT PENGELOLAAN PERIKANAN
5.1 Analisa Menggunakan sistem Flag
5.1.1. Perikanan Berbasis Ikan Karang
Berdasarkan hasil pemberian nilai terhadap skor kriteria untuk domain sumberdaya
ikan terhadap penglolaan ikan karang pada keenam indikator penialaian yaitu CPUE baku,
ukura ikan, proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, komposisi spesies, spesies
ETP dan range collapse sumberdaya ikan. Penialaian status pada masing-masing indikator
Sumeradaya ikan dapat di lihat pada Tabel 23).
Tabel 23. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Sumberdaya Ikan
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
1. CPUE Baku 1 = menurun tajam 2 = menurun sedikit 3 = stabil atau meningkat
2 40 1 (Killer Indicator)
80
2. Ukuran ikan 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar
1 20 2 20
3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%)
2 15 3 30
4. Komposisi spesies
1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dgn non-target 3 = proporsi target lebih banyak
2 10 4 20
5. Spesies ETP 1= banyak tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap
2 5 6 10
6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
1 = semakin sulit; 2 = relatif tetap; 3 = semakin mudah
2 10 5 20
1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2= fishing ground jauh 3= fishing ground relatif tetap jaraknya
2
TOTAL 1.86 100 180
Berdasarkan hasil pemberian nilai berdasarkan kriteria skor untuk domain habitat
dan ekosistem untuk pengelolaan ikan karang pada ketujuh indikator penilaian yaitu
kualitas perairan, status lamun, . Status mangrove, Status terumbu karang, Habitat
unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling). Status dan
produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya dan Perubahan iklim terhadap kondisi
perairan dan habitat. Penialaian staus pada masing-masing indikator Sumeradaya
Ikandapat di loihat pada Tabel 24).
Tabel 24. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Habitat dan Ekosstem
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
1. Kualitas perairan 1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar
3 20 1 60
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU
3
1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan 3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi
3
2. Status lamun 1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50%
3 15 2 45
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
3
3. Status mangrove
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%;
2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%;
3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%
2
15 2 30
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)
2
1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal
1
1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi
3
4. Status terumbu karang
1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi, >50%
2
15 2 37.5 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1);
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
3
5. Habitat unik/ (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling).
1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik
2
15 3 30
6. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi
3
10 4 30
7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
> State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
2
10 5 25 > state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)
3
2.53 100 257,5
Berdasarkan hasil pemberian nilai pada skor kriteria untuk domain teknik
penangkapn ikan pada keenam indikator penialaian yaitu metode penangkapan ikan yang
bersifat destruktif dan atau ilegal, modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu
penangkapan. fishing capacity dan effort selektivitas penangkapan, kesesuaian fungsi dan
ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal dan sertifikasi awak kapal
perikanan sesuai dengan peraturan. Penilaian status pada masing-masing indikator domain
teknik peangkapan ikan dapat di lihat pada Tabel 25).
Tabel 25. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Teknik Penangkapan Ikan
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%)
RANKING NILAI
1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
3 30 1 (Killer Indicato
r)
90
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.
1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm
2 25 2 50
3. Fishing capacity dan Effort
1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1
0 15 3 0
4. Selektivitas penangkapan
1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)
3 15 4 45
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal
2 10 5 20
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%
1 5 6 5
1,83 100 210
Berdasarkan hasil pemberian nilai pada skor kriteria untuk domain sosial pada
ketiga indikator penilaian yaitu partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan
pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di
dalamnya TEK, traditional ecological knowledge). Penialaian status pada masing-masing
indikator Sosial dapat di loihat pada Tabel 26).
Tabel 26. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Sosial
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
1. Partisipasi pemangku kepentingan
1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 %
2 40 1 80
2. Konflik perikanan
1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun
2 35 2 70
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan
2 25 3 50
2 100 200
Berdasarkan hasil pemberian nilai berdasarkan kriteria skor untuk domain ekonomi
pada keempat indikator penialaian yaitu kepemilikan aset, nilai tukar nelayan (NTN),
pendapatan rumah tangga (RTP) dan saving rate. Penilaian status pada masing-masing
indikator sosial dapat di lihat pada Tabel 27).
Tabel 27. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Ekonomi
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
1. kepemilikan aset 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)
2 35 1 70
2. Nilai Tukar Nelayan (NTN)
1 = kurang dari 100, 2 = 100, 3 = lebih dari 100
2 30 2 60
3. Pendapatan rumah tangga (RTP)
1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR
2 20 3 40
4. Saving rate 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
1 15 4 15
1,75 100 185
Berdasarkan hasil pemberian nilai berdasarkan kriteria skor untuk domain
kelembagaan pada keempat indikator penilaian yaitu kepatuhan terhadap prinsip-prinsip
perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan
baik secara formal maupun non-formal (alat), kelengkapan aturan main dalam pengelolaan
perikanan, mekanisme kelembagaan, rencana pengelolaan perikanan, tingkat sinergisitas
kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, kapasitas pemangku kepentingan dan
keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan. Penilaian status pada masing-masing
indikator Sosial dapat di loihat pada Tabel 28).
Tabel 28. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Kelembagaan
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)
1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
1
25 1 50
Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran
3
2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap
2 18 3 36
Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah
3
1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main, tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif
3
1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan
3
1= tidak ada teguran & hukuman; 2= ada teguran atau hukuman;3=ada teguran & hukuman
3
3. Mekanisme pengambilan keputusan
1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif
2
18 3 36 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
2
4. Rencana pengelolaan perikanan
1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
1
15 4 15
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
2
11 5 27.5 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung
3
6. Kapasitas pemangku kepentingan
1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan
3 5 6 10
7. Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
1= tidak ada single authority ; 2 = lebih dari satu authority; 3 = ada single authority
1 4 7 4
2.86 100 209,51
Berdasarkan hasil analisis dan penilaian setiap domain yang berdasarkan kriteria
masing-masing indikator domain pada domain habitat & ekosistem, sumberdaya ikan,
teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan menunjukkan bahwa nilai
komposit tertinggi terdapat pada domian habitat dan ekosistem dan terendah adalah
domain sumberdaya ikan. Nilai komposit pada setiap domain secara detail dapat di lihat
pada Tabel 29 berikut:
Tabel 29. Nilai Komposit dan Deskripsi Perikanan Berbasis Ikan Karang Pada Setiap
Domain Yang di Nilai Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 180 Sedang Habitat & ekosistem 257.5 Baik Sekali Teknik Penangkapan Ikan 210 Baik Sosial 200 Sedang Ekonomi 185 Sedang Kelembagaan 209.1 Baik Aggregat 206.9 Baik
5.1.2. Perikanan Berbasis Ikan Tuna
Berdasarkan hasil pemberian skor dan nilai pada kriteria setiap indikator pada
Domain Sumberdaya ikan terhadap pengelolaan ikan tuna pada keenam indikator
penialaian yaitu CPUE, ukura ikan, proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap,
komposisi spesies, spesies ETP dan range collapse sumberdaya ikan. Penialaian status
pada masing-masing indikator sumeradaya ikan dapat di lihat pada Tabel 30).
Tabel 30. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Sumberday Ikan
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
1. CPUE Baku 1 = menurun tajam 2 = menurun sedikit 3 = stabil atau meningkat
3 40 1 (Killer Indicator)
120
2. Ukuran ikan 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar
2 20 2 40
3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%)
3 15 3 45
4. Komposisi spesies
1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dgn non-target 3 = proporsi target lebih banyak
3 10 4 30
5. Spesies ETP 1= banyak tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap
3 5 6 15
6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
1 = semakin sulit; 2 = relatif tetap; 3 = semakin mudah
2 10 5 20
1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2= fishing ground jauh 3= fishing ground relatif tetap jaraknya
2
2.7 100
270
Berdasarkan hasil pemberian nilai berdasarkan kriteria skor untuk domain habitat
dan ekosistem terhadap pengelolaan ikan tuna pada ketujuh indikator penilaian yaitu
kualitas perairan, status lamun, status mangrove, status terumbu karang, habitat
unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling), status dan
produktivitas estuari dan perairan sekitarnya dan perubahan iklim terhadap kondisi
perairan dan habitat. Penilaian status pada masing-masing indikator sumeradaya ikan
dapat di lihat pada Tabel 31).
Tabel 31. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Habitat dan Ekosistem
INDIKATOR KRITERIA SKOR
BOBOT (%)
RANKING NILAI
1. Kualitas perairan
1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar
3 20 1 60
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi ; 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU
3
1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan 3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi
3
2. Status lamun 1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50%
3 15 2 45
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
3
3. Status mangrove
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%
2 15 2 30
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
2
1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal
1
1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi
3
4. Status terumbu karang
1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi, >50%
2
15 2 37.5 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
3
5. Habitat unik/ khusus
1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik
2 15 3 30
6. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi
3 10 4 30
7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
> State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
2 10 5 25
> state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)
3
2.53 100 257,5
Berdasarkan hasil pemberian nilai kriteria skor untuk domain teknik penangkapan
ikan terhadap pengelolaan ikan tuna pada keenam indikator penilaian yaitu; metode
penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, modifikasi alat penangkapan
ikan dan alat bantu penangkapan, fishing capacity dan effort selektivitas penangkapan,
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal dan
sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Penilaian status pada masing-
masing indikator teknik penangkapan ikan dapat di lihat pada Tabel 32).
Tabel 32. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Teknik Penangkapan Ikan
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%)
RANKING NILAI
1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
3 30 1 (Killer Indicator)
90
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.
1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm
3 25 2 75
3. Fishing capacity dan Effort
1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1
0 15 3 0
4. Selektivitas penangkapan
1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)
3 15 4 45
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal
2 10 5 20
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%
1 5 6 5
2 100
235
Berdasarkan hasil pemberian nilai kriteria skor untuk domain sosial terhadap
pengelolaan ikan tuna pada ketiga indikator penilaian yaitu; partisipasi pemangku
kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge).
Penilaian status pada masing-masing indikator sosial dapat di lihat pada Tabel 33).
Tabel 33. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Sosial
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI
1. Partisipasi pemangku kepentingan
1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 %
2 40 1 80
2. Konflik perikanan 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun
2 35 2 70
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan
2 25 3 50
2 100
200
Berdasarkan hasil pemberian nilai kriteria skor untuk domain ekonomi terhadap
pengelolaan ikan tuna pada keempat indikator penialaian yaitu kepemilikan aset, nilai
tukar nelayan (NTN), pendapatan rumah tangga (RTP) dan saving rate. Penilaian status
pada masing-masing indikator Sosial dapat di lihat pada Tabel 34).
Tabel 34. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Ekonomi
INDIKATOR KRITERIA SKOR
BOBOT (%)
RANKING
NILAI
1. kepemilikan aset 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)
2 35 1 70
2. Nilai Tukar Nelayan (NTN)
1 = kurang dari 100, 2 = 100, 3 = lebih dari 100
2 30 2 60
3. Pendapatan rumah tangga (RTP)
1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR
2 20 3 40
4. Saving rate 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
2 15 4 30
2 100
200
Berdasarkan hasil pemberian nilai kriteria skor untuk domain kelembagaan pada
ketujuh indikator penialaian yaitu; kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal
maupun non-formal (alat), kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan,
mekanisme kelembagaan, rencana pengelolaan perikanan, tingkat sinergisitas kebijakan
dan kelembagaan pengelolaan perikanan, Kapasitas pemangku kepentingan dan
keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan. Penilaian status pada masing-masing
indikator kelembagaan dapat di lihat pada Tabel 35).
Tabel 35. Hasil Penilaian Status Pada Setiap Indikator Domain Kelembagaan
INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%)
RANKING NILAI
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)
1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
3 25 1 50
Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran
1
2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap
2 22 2 61,6
Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah
3
1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif
3
1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan
2
1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman
2
3. Mekanisme pengambilan keputusan
1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif
2 18 3 36
1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
2
4. Rencana pengelolaan perikanan
1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
1 15 4 15
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
2 11 5 27.5
1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung
3
6. Kapasitas pemangku kepentingan
1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan
3 5 6 15
7. Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
1= tidak ada single authority ; 2 = lebih dari satu authority; 3 = ada single authority
1 4 7 4
2.29 100 209.1
Berdasarkan hasil analisis dan penilaian setiap domain yang berdasarkan kriteria
masing-masing indikator domain pada domain habitat & ekosistem, sumberdaya ikan,
teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan menunjukkan bahwa nilai
komposit tertinggi terdapat pada domian habitat dan ekosistem dan sumberdaya ikan
dengan status sangat baik sedangkan nilai terendah adalah domain sosial dan ekonomi
dengan status sedang. Nilai komposit pada setiap domain secara detail dapat di lihat pada
Tabel 36 berikut:
Tabel 36. Nilai Komposit dan Deskripsi Perikanan Berbasis Ikan Tuna Pada Setiap Domain Yang di Nilai.
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 270 Baik Sekali Habitat & ekosistem 257.5 Baik Sekali Teknik Penangkapan Ikan 235 Baik Sosial 200 Sedang Ekonomi 200 Sedang Kelembagaan 209.1 Baik Aggregat 228.6 Baik
5.2 Analisa menggunakan sistem Multidimensional Scaling
6 PEMBAHASAN
6.1 Metode dan Analisa Indikator EAFM Yang Digunakan
6.1.1. Metode EAFM
Penerapan metode EAFM dalam menilai kondisi pengelolaan kawasan perikanan
atau unit perikanan sangat bermanfaat sehingga status kawasan perikanan atau unit
perikanan dapat di tentukan. Metode EAFM ini mudah dipahami karena indikatornya
sederhana dan sangat terukur untuk diimplementasikan sehingga mampu menggambarkan
kondisi pengelolaan perikanan yang ada dengan catatan apabila data untuk dianalisis
tersedia atau masih dapat diperoleh dari instansi terkait.
Pilot test dalam rangka melakukan penilaian status pengelolaan perikanan di
Kabupaten Wakatobi yang berbasis ikan karang dan ikan tuna dapat di lakukan dengan
menggunakan metode EAFM karena sebagian besar data dapat di peroleh dari berbagai
sumber yaitu; Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi,
hasil-hasil penelitian Coremap II Kabupaten Wakatobi, hasil-hasil penelitian Balai Taman
Nasional Kabupaten Wakatobi dan hasil-hasil peneltian yang dilakukan oleh praktisi
WWF-TNC, Staf pengajar Universitas, Mahasiswa, KMB Sultra maupun hasil-hasil
penelitian lainnya yang relevan.
Untuk mendapatkan informasi saat ini khususya data-data yang sifatnya kualitatif
maka dilakukan assessment dengan menggali informasi dari masyarakat di Kabupaten
Wakatobi melalui wawancara terhadap nelayan ikan karang dan nelayan ikan tuna dan
wawancara kepada pihak pemerintah yang meliputi; Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Wakatobi dengan menggunkan kuesioner.
Metode EAFM ini akan sangat mudah diterapkan dengan waktu yang relatif singkat
apabila semua data yang behubungan dengan setiap domain dan indikator yang akan dinilai
tersedia dengan personil atau organisasi pelaksana yang cukup kecil namun apabila
datanya sebagian besar belum tersedia maka akan cukup sulit dan butuh waktu yang lebih
lama serta organisasinya atau personilnya cukup banyak untuk diterapkan karena
melakukan pendataan untuk setiap domain dan indikatornya dengan membutuhkan
berbagai macam bidang ilmu atau keahlian. Selain itu mengingat keberadaan data statistik
perikanan dan data-data perikanan lainnya yang ada di setiap instansi terkait masih banyak
yang meragukan maka penerapan metode ini perlu di lakukan secara hati-hati dan harus di
dahului sosialisasi pada setiap instansi terkait serta diiringi dengan pembenahan data
khususnya dalam proses pengumpulan data sumberdaya perikanan di lapangan yang
seragam di seluruh Indonesia.
Pemanfaatan metode EAFM untuk melakukan assessmen dalam menilai status
sumberdaya perikanan tertentu perlu dikaji lebih jauh khususnya tiap-tiap indikator serta
rengkingnya pada masing-masing domain terutama sumberdaya perikanan yang memiliki
ruaya yang luas seperti ikan tuna, cakalang atau tenggiri dan sebagainya yang umumnya
berada jauh dari pantai. Kondisi ini akan berbeda dengan sumbedaya perikanan yang
ruayanya sempit seperti ikan karang dan ikan-ikan pelagis kecil yang umumnya berada
dekat dengan pantai.
6.1.2. Analisa Indikator EAFM
a. Domain Sumber Daya Ikan
Indikator CPUE Baku
Kriteria CPUE baku yang diterapkan agak sulit untuk diukur dan dapat membeikan
penafsiran yang berbeda-beda karena sifanya kualitatif. Oleh karena itu perlu di pikirkan
agar kriteria ini mudah terukur dengan menyebutkan batasan setiap kriteria misalnya
kisaran persentase penurunan atau peningkatanyaitu. Hal lain yang perlu dilakukan adalah
penentuan persyaratan responden yang menjadi narasumber dan salah satunya adalah
memiliki pengalaman sebagai nelayan minimal 15 tahun. Selain itu perlu dipikirkan agar
model pendataan di setiap instansi terkait harus dapat menggambarkan perubahan CPUE
perikanan yaitu jumlah produksi setiap jenis ikan harus disandingkan dengan jumlah alat
tangkap atau jumlah trip penangkapan untuk menangkap ikan tersebut sehingga mudah
melakukan analisis data untuk menilai CPUE.
Ukuran ikan
Indikator ukuran ikan secara kualitatif dapat diterapkan dengan baik namun alangka
baiknya bila bisa disinkronkan dengan data-data kuantitatif. Oleh karena itu pendataan
ukuran ikan yang selama ini dilakukan oleh instansi terkait hanya berupa data bobot (berat)
secara keseluruhan sehigga sulit menggambarkan ukuran ikan sehingga perlu dilakukan
model pendataan dengan menekankan ukurn panjang ikan agar penentuan skor kriteria ini
dapat digunakan secara efektif.
Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
Kriteria indikator ini dapat digunakan namun gambarannya sangat kualitatif hanya
didasarkan dari data interview yang relatif sulit menentukan persentasenya, sehingga data
ini lebih obyektif bila diperoleh dari survei/sampling pada nelayan dengan konsekuensi
waktu lebih lama. Disamping itu apabila pendataan ukuran ikan telah dilakukan dengan
baik oleh instansi terkait maka skor untuk menilai kriteria ini dapat dilakukan dengan baik.
Komposisi spesies
Batasan kriteria komposisi atau proporsi ikan target dan non target perlu di pertegas
dan dapat terukur dengan menyebutkan persentasenya. Yang tergambar di dalam
pelaksanaan EAFM ini masih berupa data kualitatif dan dapat menmbulkan penafsiran
yang berbeda namun secara umum skor kriteria ini dapat digunakan secara efektif
Indikator Spesies ETP
Kriteria pada indikator jumlah speseis ikan ETP di lapangan menimbulkan
penafsiran yang berbeda dan tidak operasional dimana bila yang tertangkap 1 jenis tetapi
jumlah individunya banyak maka penilaiannya sulit di kategorikan. Oleh karena itu kriteria
ini perlu dimodifikasi dan penekanannya pada jumlah individu dan bukan pada spesies
sehingga bisa operasional yaitu skor 1= banyak individu ETP (ETP > 3 individu), skor 2 =
sedikit individu ETP (ETP berksar 1 – 3) da skor 3= tidak ada ETP yang tertangkap.
Indikator "Range Collapse" sumberdaya ikan
Penilaian kriteria indikator ini bersifat kualitatif sehingga melalui wawancara
dengan nelayan mudah mendapatkan infomasi sehingga dapat digunakan secara efektif.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah nelayan yang menjadi sasaran interview
harus memiliki pengalaman atau telah menekuni bidang penangkapan ikan minimal 15
tahun dengan petimbangan bahwa nelayan tersebut mengetahui perkembangan perikanan
yang mereka lakukan selama ini.
b. Domain Habitat
Indikator Kualitas perairan
Krteria sub indikator pencemaran perairan harus ditentukan berdasarkan uji
laboratorium apabila secara visual ada indikasi adanya masukan bahan B3 ke perairan yang
berasal dari aktivitas disekitarnya atau kegiatan-kegiatan industri di pesisir dan laut. Tetapi
apabila indikasi tesebut tidak ada maka kita bisa langsung menyimpulkan bawa tidak ada
pencemaran. Selain itu berdasarkan definisi/penjelasan berkaitan dengan limbah yang
teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya &
beracun), dengan kriteria indikator 1= tercemar; 2=tercemar sedang; dan 3= tidak tercemar,
maka sumberdaya yang sangat berpengaruh adalah yang berada tidak jauh dari pantai
sedangkan sumberdaya yang berada di perairan lepas (ikan pelagis) dengan mobilitas yang
tinggi kriteria ini perlu di kaji ulang agar bobotnya lebih kecil.
Sub indikator tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan
relatif sulit dilakukan karena kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan
berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang
terdapat dalam air. Pada kriteria kekeruhan menggunakan satuan mg/m^3 merupakan
satuan kekeruhan sedangkan acuan yang ditetapkan menggunakan satuan NTU.
Kesulitannya adalah mengkonversi mg/m^3 ke NTU atau sebaliknya. Oleh karena itu
sebaiknya untuk laju sedimentasi harus mengunakan TSS (mg/m^3).
Sub indikator eutrofikasi kriterianya sangat efektfi digunakan dan tidak
menimbulkan intepretasi lain karena sifatnya kuantitatif dengan mengukur konsentrasi
klofil-a mellaui konsentrasi plankton di perairan yang dikaji.
Indikator Status lamun
Sub indikator tutupan lamun dengan kriteria skor yang telah di tetapkan dapat
digunakan secara efektif sedangkan keanekaragaman jenis lamun tidak efektif bila
menggunakan alat ukur indeks ekologi seperti indeks keanekaragaman Shanon-Wiener
atau indeks Simpson karena hasilnya akan rendah sehubungan dengan keberadaan lamun
di Indonesia hanya 12 jenis sehingga kriterianya perlu di modifikasi berdasarkan jumlah
spesies lamun yang ditemukan. Sub indikator ini kurang efektif bila digunakan untuk
menilai status sumberdaya perikanan pelagis yang jauh dari pantai maka rankingnya atau
bobotnya dibedakan dengan sumberdaya perikanan yang terkait langsung dengan lamun
Indikator Status Mangrove
Sub indikator tingkat kerapatan, perubahan luasan, keanekaragaman mangrove
dapat dan mudah diterapkan dengan kriteria yang ada dalam pengkajian ini khususnya
unuk menilai sumberdaya yang terkait dengan keberadaan mangrove (ikan karang) namun
untuk sumberdaya yang tidak terkait langsung atau yang hidup di laut lepas dan jauh dari
pantai (ikan tuna) maka bobot dan rankingnya perlu di kaji ulang. Sedangkan sub indikator
Indeks Nilai Penting (INP) perlu di pertegas apakah INP mangrove secara keseluruhan atau
INP setiap jenis mangrove yang ada di lokasi tersebut.
Indikator Status Terumbu Karang
Sub indikator Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover)
dengan kriteria yang telah ditetapkan dapat digunakan secara efektif dikarenakan metode
pegukuran kondisi karang yang digunakan secara umum sama. Selain itu data pendukung
sangat banyak dan mudah di akses. Sedangkan krieria nilai indek keanekaragaman jenis
karang sulit di lakukan karena sangat sulit menghitung junlah individu karang.
Kenakaragaman yang dimaksud dalam pilot test ini adalah bentuk pertumbuhan (life form)
yang tidak cocok diterapkan untuk menghitung keanekaragaman karena basisnya adalah
bukan spesies dan individu serta pengambilan sampel bukan berbasis luas tetap panjang
transek. Oleh karena itu sub indikator keanekaragaman karang perlu ditinjau ulang
sehingga lebih aplikatif untuk menilai status sumberdaya perikanan.
Indkator Habitat Unik/khusus.
Indikator ini dapat di lakukan analisis dengan mencari informasi dari masyarakat
atau dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Menentukan nilai dari kriteria skor
mengenai diketahui atau tidaknya habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground,
feeding ground, upwelling) dapat dilakukan dengan efektif.
Indikator Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
Dalam menentukan status dan produksi estuaria dan perairan yang terdefinisi dalam
kriteria skor yaitu : 1 = produktivitas rendah; 2 = produktivitas sedang; dan 3 =
produktivitas tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut perlunya penentuan parameter fisika
(misalnya : kecerahan, kekeruhan), kimia (misalnya pH, konsentrasi nitrat, atau fosfat) atau
biologi (kelimpahan/keanekaragaman plankton) perairan untuk menentukan keproduktifan
perairan estuaria tersebut. Selain itu bagi kawasan yang merupakan kepulauan dan tidak
terdapat sungai perlu di tentukan kriteria lain untuk menentukan status produktif rendah,
sedang dan tinggi.
c. Domain Teknik Penangkapan Ikan
Indikator Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
Penilaian kriteria dengan skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = frekuensi
pelanggaran > 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 5 - 10 kasus per tahun; dan 3
= frekuensi pelanggaran < 5 kasus per tahun. Berdasarkan skor kriteria tersebut perlu
ditentukan jumlah pelanggaran tingkat kecamatan, kawasan atau kabupaten termasuk level
pelanggaran (ringan, sedang dan berat), sehingga bobot pelanggaran dapat di lebih
proporsional.
Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
Indikator ini dapat di terapkan namun perlu di dukung oleh data penunjang
khsusunya yang berhubungan dengan Lenght of maturity dari jenis sumberdaya yang akan
dikaji. Sehingga kriteria skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = lebih dari 50% ukuran target
spesies < Lm; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm; dan 3 = <25% ukuran target spesies
< Lm mudah di lakukan. Untuk memenuhi data tersebut harus dilakukan sampling ukuruan
ikan target/ikan dominan namun dapat membutuhkan waktu yang relatif agak lama untuk
mendapatkan data tersebut..
Fishing capacity dan Effort
Indikator ini tidak dapat diterapkan disebabkan beberapa hal, yaitu; data dan
informasi yang mendukung untuk menilai kriteria ini tidak tersedia; indikator ini spesifik
bidang ilmu penangkapan sehingga perlu adanya exsecise agar dipahami semua yang
melalkukan metode EAFM ini.
Indikator Selektivitas penangkapan
Kriteria untuk menilai status indikator selektivitas penangkapan dengan skor yang
telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.
Indikator Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal.
Kriteria untuk menilai status indikator selektivitas penangkapan dengan skor yang
telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun demikian kapal yang digunakan
untuk menangkap ikan baik ikan karang maupun ikan tuna memiliki ukuran kurang dari 5
GT sehingga tidak memiliki dokumen dan izin dalam melakukan operasi penngkapan.
Indikator Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan..
Kriteria untuk menilai status indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai
dengan peraturan yang ada dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara
efektif. Namun demikian awak kapal yang menangkap ikan baik ikan karang maupun ikan
tidak memiliki dokumen atau sertifikat dalam melakukan operasi penangkapan ikan.
d. Domain Sosial
Indikator Partisipasi pemangku kepentingan
Kriteria untuk menilai status indikator partisipasi pemangku kepentingan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara
efektif. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan belum terekam dengan
baik.
Konflik perikanan
Kriteria untuk menilai status indikator konflik kepentingan dalam pengelolaan
sumberdaya ikan khususnya berkaitan dengan resources conflict, policy conflict, fishing
gear conflict, konflik antar sector dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan
secara efektif. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan belum terekam
dengan baik khususnya di DKP Kabupaten tetapi harus dicroscek dipihak penegak hukum..
Indikator Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan
(termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge). Kriteria untuk menilai status indikator Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological
knowledge). dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Informasi
ini umumnya hanya di peroleh melalui wawancara dengan nelayan sedang pada instansi
terkait tidak dapat diperoleh karena tidak terekam dengan baik.
e. Domain Ekonomi
Indikator Kepemilikan aset
Kriteria untuk menilai status indikator kepemilikan aset dalam dalam
memanfaatkan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan
secara efektif.
Nilai Tukar Nelayan (NTN)
Kriteria untuk menilai status indikator nilai tukar nelayan (NTN) dalam dalam
memanfaatkan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan
secara efektif.
Pendapatan rumah tangga (RTP)
Kriteria untuk menilai status indikator pendapatan rumah tangga perikanan (RTP)
dalam dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat
digunakan secara efektif.
Saving rate
Kriteria untuk menilai status indikator saving rate dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif jika
responden memberikan informasi tabungan dengan income mereka, namun sebagian besar
mereka enggan memberikan informasi tentang tabungan mereka.
f. Domain Kelembagaan
Indikator Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat).
Kriteria skor untuk menilai tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku
kepentingan WPP terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal dengan skor
yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun di KabupatenWakatobi
belum ada RRP sehingga penilaiannya dilakukan pendekaan dengan menggunakan aturan-
aturan pengeloaan sumberdaya perikanan yang terkait.
Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator kelengkapan dekumen
pengelolaan perikanan dan membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya
serta ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya dengan skor yang telah
ditentukan dapat digunakan secara efektif.
Mekanisme pengambilan keputusan
Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator ada atau tidak mekanisme
pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan dengan skor yang telah ditentukan
dapat digunakan secara efektif.
Rencana pengelolaan perikanan
Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator ada atau tidak rencana
pengelolaan perikanan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.
Namun di Kabupaten Wakatobi khususnya di WPP 714 belum ada RPP.
Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator tingkat sinergisitas
kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di Kabupaten
Wakatobi dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.
Kapasitas pemangku kepentingan
Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator seberapa besar frekuensi
peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis
ekosistem di Kabupaten Wakatobi dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan
secara efektif.
Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator keberadaan otoritas tunggal
pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di Kabupaten Wakatobi dengan skor yang telah
ditentukan dapat digunakan secara efektif, namun di lokasi ini belum ada otoritas tunggal
dalam pengeloaan perikanan.
6.2 Performa Perikanan Yang Dikaji
6.2.1. Perikanan Berbasis Ikan Karang
Berdasarkan hasil penilaian pada indikator setiap domain melalui pemberian nilai
pada kriteria maka performa perikanan berbasis ikan karang di Kabupaten Wakatobi
menunjukkan bahwa terdapat tiga pengelompokan berdasakan nilai komposit, yaitu
domain yang berkualifikasi sedang adalah Domain Sumberdaya Ikan, Domain Sosial dan
Ekonomi. Domain yang berkualifikasi baik dimiliki oleh Domain Teknik Penangkapan dan
Domain Kelembagaan, sedangkan domain yang termasuk dalam kualifikasi baik sekali
adalah Domain Habitat.
Hasil dari nilai komposit dari keenam domain tersebut diperoleh nilai agregat,
dimana nilai aggregat tersebut dibandingkan ke dalam lima rentang nilai (Tabel 7).
Berdasarkan nilai aggregat pada Tabel 29 yang mencapai 206,9, maka penilaian terhadap
perikanan berbasis ikan karang di Kabupaten Wakatobi termasuk dalam kategori status
baik.
Penilaian status keberlanjutan sumberdaya ikan karang menggunakan indeks
keberlanjutan yang ditetapkan berdasarkan enam domain, yaitu domain sumberdaya ikan,
habitat dan ekosistem, teknik penangkapan, sosial, ekonomi dan kelambagaan. Hasil
analisis memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan sebesar 69,12 pada skala
keberlanjutan 0 – 100 yang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan karang di Kabupaten Wakatobi masih
memperhatikan aspek-aspek sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan,
sosial, ekonomi dan kelembagaan secara terpadu (integrated) (Tabel 37).
Tabel 37. Penilaian Dimensi Status Keberlanjutan Sumberdaya ikan karang di Kabupaten Wakatobi
Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Aspek keberlanjutan Bobot Indeks
Pembobotan Sumberdaya Ikan 180 60.00 0.167 10.02 Habitat & ekosistem 257.5 85.83 0.167 14.33 Teknik Penangkapan Ikan 210 70.00 0.167 11.69 Sosial 200 66.67 0.167 11.13 Ekonomi 185 61.67 0.167 10.30 Kelembagaan 209.1 69.70 0.167 11.64 Total Indeks Gabungan 69.12 Kategori keberlanjutan Berkelanjutan
Sumber : Data Primer yang diolah (2012)
a. Domain Sumberdaya Ikan
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sumberdaya terhadap
performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor
terhadap ketujuh parameter domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar
keberlanjutan ikan karang pada domain sumberdaya ikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain sumberdaya
ikan karang sebesar 60 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk dalam kategori
berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama
dalam peningkatan status dan keberlanjutan domain sumberdaya ikan perikanan ikan
karang di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; CPUE baku,
proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, ukuran ikan, komposisi jenis dan range
collapse sumberdaya ikan (Gambar 18). Sedangkan indikator spesies ETP memilii
kontribusi yang kurang dalam peningkatan status domain sumberdaya ikan karang di
Kabupaten Wakatobi.
Gambar 18. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan dalam
Domain Sumberdaya ikan.
b. Domain Habitat dan Ekosistemnya
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain habitat dan ekosistem
terhadap performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator.
Pemberian skor terhadap ketujuh parameter indikator domain ini akan memberikan
gambaran seberapa besar keberlanjutan ikan karang pada domain tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain habitat dan
ekosistem untuk pengelolaan ikan karang sebesar 85,83 pada skala sustainabilitas 0 – 100,
yang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan domain
habitat dan ekosistem perikanan ikan karang di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan
prioritasnya adalah; (1) kualitas perairan,(2) status lamun, (3) status terumbu karang, (4)
Status mangrove, (5) habitat unik/khusus, (6) Status dan produktivitas Estuari dan
perairan sekitarnya dan (7) Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
(Gambar 19).
Gambar 19. Peran masing-masing indikator berdasarkan indeks pembobotan dalam
Domain Habitat dan Ekosistem.
c. Domain Teknik Penangkapan Ikan
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain teknik penangkapan
ikan terhadap performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak enam indikator.
Pemberian skor terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan
gambaran seberapa besar keberlanjutan ikan karang dari aspek teknik penangkapan ikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain teknik
penangkapan ikan untuk pengelolaan ikan karang sebesar 70 pada skala sustainabilitas 0 –
100, yang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan
ikan karang dari aspek domain teknik penangkapan ikan di Kabupaten Wakatobi sesuai
dengan urutan prioritasnya adalah; (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif
dan atau ilegal, (2) modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3)
selektivitas penangkapan, (4) kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan
dengan dokumen legal, (5) sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dan
(6) fishing capacity dan effort (Gambar 20). Dua indikator pada domain ini yang memiliki
paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain teknik pennagkapan dalam
pengelolaan dan keberlanjutan ikan karang adalah sertifikasi awak kapal perikanan sesuai
dengan peraturan dan fishing capacity dan effort dimana fishing capasity da effort
disebabkan tidak ada informasi yng cukup untuk dianalisis.
Gambar 20. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan dalam
Domain Teknik Penangkapan Ikan
d. Domain Sosial
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sosial terhadap
performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak tiga indikator. Pemberian skor
terhadap ketiga parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar keberlanjutan ikan karang dari aspek sosial.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain sosial untuk
pengelolaan ikan karang sebesar 66,67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk
dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor
pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan karang
dari aspek domain sosial di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya adalah;
(1) partisipasi pemangku kepentingan, (2) Konflik perikanan dan (3) pemanfaatan
pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK,
traditional ecological knowledge) (Gambar 21).
Gambar 21. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan dalam
Domain Sosial. e. Domain Ekonomi
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain ekonomi terhadap
performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak empat indikator. Pemberian skor
terhadap keempat parameter indikator domain ini akan membeikan gambaran seberapa
besar keberlanjutan ikan karang dari aspek ekonomi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain ekonomi
untuk pengelolaan ikan karang sebesar 61,67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang
termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi
faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan
karang dari aspek domain ekonomi di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan
prioritasnya adalah; (1) kepemilikan aset, (2) Nilai Tukar Nelayan (NTN), (3) Pendapatan
rumah tangga (RTP) dan (4) Saving rate (Gambar 22). Indikator pada domain ini yang
memiliki paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain ekonomi dalam
pengelolaan dan keberlanjutan ikan karang adalah saving rate nelayan ikan karang dimana
masyarakat belum sepenuhnya memberikan informasi tentang tabungan mereka.
Gambar 22. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan dalam
Domain Ekonomi. f. Domain Kelembagaan
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain kelembagaan terhadap
performa ikan karang di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor
terhadap ketujuh parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar keberlanjutan ikan karang dari aspek kelembagaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain kelembagaan
untuk pengelolaan ikan karang sebesar 69,70 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang
termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi
faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan
karang dari aspek domain kelembagaan di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan
prioritasnya adalah; (1) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (2)
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan
perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (lat), (3)
mekanisme pengambilan keputusan, (4) tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan
pengelolaan perikanan, (5) rencana pengelolaan perikanan, (6) kapasitas pemangku
kepentingan dan (7) keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan (Gambar 23). Tiga
indikator pada domain ini yang memiliki paling sedikit kontribusi dalam peningkatan
status domain kelembagaan dalam pengelolaan dan keberlanjutan ikan karang adalah
rencana pengelolaan perikanan dan kapasitas pemangku kepentingan serta keberadaan
otoritas tunggal pengelolaan perikanan disebabkan indikator ini belum banyk mendapat
perhatian dari pemangku kepentingan di Kabupaten Wakatobi.
.
Gambar 23. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan dalam Domain Kelembagaan.
6.2.2. Perikanan Berbasis Ikan Tuna
Berdasarkan hasil penilaian pada indikator setiap domain melalui pemberian nilai
pada kriteria maka performa perikanan berbasis ikan tuna di Kabupaten Wakatobi
menunjukkan bahwa terdapat tiga pengelompokan berdasakan nilai komposit, yaitu
domain yang berkualifikasi sedang adalah domain sosial dan domain ekonomi. Domain
yang berkualifikasi baik dimiliki oleh domain teknik penangkapan dan domain
kelembagaan, sedangkan domain yang termasuk dalam kualifikasi baik sekali adalah
domain sumberdaya ikan dan domain habitat dan ekosistem.
Hasil dari nilai komposit dari keenam domain tersebut diperoleh nilai agregat,
dimana nilai aggregat tersebut dibandingkan ke dalam lima rentang nilai (Tabel 7).
Berdasarkan nilai aggregat pada Tabel 36 yang mencapai 228,6, maka penilaian terhadap
perikanan berbasis ikan tuna di Kabupaten Wakatobi termasuk dalam kategori status baik.
Penilaian status keberlanjutan sumberdaya ikan tuna menggunakan indeks
keberlanjutan yang ditetapkan berdasarkan enam domain, yaitu domain sumberdaya ikan,
habitat dan ekosistem, teknik penangkapan, sosial, ekonomi dan kelambagaan. Hasil
analisis memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan sebesar 76,35 pada skala
keberlanjutan 0 – 100 yang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan tuna di Kabupaten Wakatobi masih
memperhatikan aspek-aspek sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan,
sosial, ekonomi dan kelembagaan secara terpadu (integrated), seperti terlihat pada Tabel
38 berikut.
Tabel 38. Penilaian Dimensi Status Keberlanjutan Sumberdaya ikan tuna di Kabupaten
Wakatobi
Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Aspek keberlanjutan Bobot Indeks
Pembobotan Sumberdaya Ikan 270 90.00 0.167 15.03 Habitat & ekosistem 257.5 85.83 0.167 14.33 Teknik Penangkapan Ikan 235 78.33 0.167 13.08 Sosial 200 66.67 0.167 11.13 Ekonomi 200 66.67 0.167 11.13 Kelembagaan 209.1 69.70 0.167 11.64 Total Indeks Gabungan 76.35 Kategori keberlanjutan Berkelanjutan
Sumber : Data Primer yang diolah (2012)
a. Domain Sumberdaya Ikan
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sumberdaya terhadap
performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak enam indikator. Pemberian skor
terhap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar
keberlanjutan ikan tuna pada domain sumberdaya ikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain sumberdaya
ikan untuk ikan tuna sebesar 90 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk dalam
kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor
pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan domain sumberdaya ikan
perikanan ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1)
CPUE baku, (2) proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, (3) ukuran ikan, (4)
komposisi jenis, (5) range collapse sumberdaya ikan dan (6) spesies ETP (Gambar 24).
Dua indikator pada domain ini yang memiliki paling sedikit kontrbusinya dalam
peningkatan status domain sumberdaya ikan untuk keberlanjutan pengelolaan ikan tuna
serta dalam peningkatan status domain sumberdaya ikan untuk ikan tuna di Kabupaten
Wakatobi.yaitu range collapse sumberdaya ikan dan dan spesies ETP.
Gambar 24. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks
pembobotan dalam Domain Sumberdaya ikan.
b. Domain Habitat dan Ekosistemnya
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain habitat dan ekosistem
terhadap performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator. Pemberian
skor terhadap ketujuh parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran
seberapa besar keberlanjutan pengelolaan ikan tuna pada domain tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain habitat dan
ekosistem untuk pengelolaan ikan tuna sebesar 85,83 pada skala sustainabilitas 0 – 100,
yang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan domain
habitat dan ekosistem perikanan untuk ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan
urutan prioritasnya adalah; (1) kualitas perairan,(2) status lamun, (3) status terumbu
karang, (4) Status mangrove, (5) habitat unik/khusus, (6) status dan produktivitas estuari
dan perairan sekitarnya dan (7) perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
(Gambar 25).
Gambar 25. Peran masing-masing indikator berdasarkan indeks
pembobotan dalam Domain Habitat dan Ekosistem.
c. Domain Teknik Penangkapan Ikan
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain teknik penangkapan
ikan terhadap performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak enam indikator.
Pemberian skor terhadap keenam parameter indikator domain ini akan membeikan
gambaran seberapa besar keberlanjutan pengelolaan ikan tuna dari aspek teknik
penangkapan ikan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain teknik
penangkapan ikan untuk pengelolaan ikan tuna sebesar 78,33 pada skala sustainabilitas 0 –
100, yang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan
ikan tuna dari aspek domain teknik penangkapan ikan di Kabupaten Wakatobi sesuai
dengan urutan prioritasnya adalah; (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif
dan atau ilegal, (2) modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3)
selektivitas penangkapan, (4) kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan
dengan dokumen legal, (5) sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dan
(6) fishing capacity dan Effort (Gambar 26). Dua indikator pada domain ini yang memiliki
paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain teknik penangkapan untuk
keberlanjutan dalam pengelolaan ikan tuna adalah sertifikasi awak kapal perikanan sesuai
dengan peraturan dan fishing capacity dan effort dimana fishing capasity dan effort
disebabkan tidak ada informasi yng cukup untuk dianalisis.
Gambar 26. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks
pembobotan dalam Domain Teknik Penangkapan Ikan
d. Domain Sosial
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sosial terhadap
performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak tiga indikator. Pemberian skor
terhadap ketiga parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar keberlanjutan pengelolaan ikan tuna dari aspek sosial.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain sosial untuk
pengelolaan ikan tuna sebesar 66,67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang termasuk
dalam kategori berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor
pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan pengelolaan ikan tuna dari
aspek domain sosial di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1)
partisipasi pemangku kepentingan, (2) konflik perikanan dan (3) pemanfaatan pengetahuan
lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional
ecological knowledge) (Gambar 27).
Gambar 27. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks
pembobotan dalam Domain Sosial.
e. Domain Ekonomi
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain ekonomi terhadap
performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak empat indikator. Pemberian skor
terhadap keempat parameter indikator domain ini akan membeikan gambaran seberapa
besar keberlanjutan pengelolaan ikan tuna dari aspek ekonomi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain ekonomi
untuk pengelolaan ikan tuna sebesar 61,67 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang
termasuk dalam kategori pengelolaan berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan
pengelolaan ikan tuna dari aspek domain ekonomi di Kabupaten Wakatobi sesuai dengan
urutan prioritasnya adalah; (1) kepemilikan aset, (2) Nilai Tukar Nelayan (NTN), (3)
Pendapatan rumah tangga (RTP) dan (4) Saving rate (Gambar 28). Indikator pada domain
ini yang memiliki paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain ekonomi
dalam pengelolaan dan keberlanjutan ikan tuna adalah saving rate nelayan ikan tuna
dimana masyarakat belum sepenuhnya memberikan informasi tentang tabungan mereka.
Gambar 28. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks
pembobotan dalam Domain Ekonomi. f. Domain Kelembagaan
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain kelembagaan terhadap
performa ikan tuna di Kabupaten Wakatobi sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor
terhadap ketujuh parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar pengelolaan ikan tuna dari aspek kelembagaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan domain kelembagaan
untuk pengelolaan ikan tuna sebesar 69,70 pada skala sustainabilitas 0 – 100, yang
termasuk dalam kategori pengelolaan berkelanjutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status dan keberlanjutan
pengelolaan ikan tuna dari aspek domain kelembagaan di Kabupaten Wakatobi sesuai
dengan urutan prioritasnya adalah; (1) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan
perikanan, (2) kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal
(lat), (3) mekanisme pengambilan keputusan, (4) tingkat sinergisitas kebijakan dan
kelembagaan pengelolaan perikanan, (5) rencana pengelolaan perikanan, (6) kapasitas
pemangku kepentingan dan (7) keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
(Gambar 29). Tiga indikator pada domain ini yang memiliki paling sedikit kontribusi
dalam peningkatan status domain kelembagaan dalam keberlanjutan pengelolaan ikan tuna
adalah rencana pengelolaan perikanan dan kapasitas pemangku kepentingan serta
keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan disebabkan indikator ini belum banyak
mendapat perhatian dari pemangku kepentingan di Kabupaten Wakatobi.
.
Gambar 29. Peran masing-masing indikator dalam berdasarkan indeks pembobotan dalam Domain Kelembagaan.
7 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Metode dan analisa indikator EAFM
Penggunaan metode EAFM mudah dipahami dengan indikator yang sederhana dan
mampu menggambarkan kondisi yang ada. Analisa menggunakan sistem Flag
mampu memberikan dekripsi kretria stastus wilayah yang dikaji.
Analisa menggunakan sistem Multidimensional Scaling - Teknik Rapfish,
merupakan analisa yang aplikatif dan informatif sehingga mampu menggambarkan
secara komprehensif domain-domain yang dinilai.
7.1.2 Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM
7.1.2.1. Perikanan Berbasis Ikan Karang
Penilaian terhadap perikanan berbasis ikan karang di Kabupaten Wakatobi
termasuk dalam kriteria baik.
Penilaian status keberlanjutan sumberdaya ikan karang menggunakan indeks
keberlanjutan diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 69,12 pada skala
keberlanjutan 0 – 100 yang termasuk dalam kategori berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya sumberdaya ikan karang di Kabupaten Wakatobi masih
memperhatikan aspek-aspek Habitat dan Ekosistem, Sumberdaya Ikan, Teknik
Penangkapan, Sosial, Ekonomi dan kelembagaan secara terpadu (integrated).
7.1.2.2. Perikanan Berbasis Ikan Tuna
Penilaian terhadap perikanan berbasis penangkapan ikan tuna di Kabupaten
Wakatobi termasuk dalam kriteria baik.
Penilaian status keberlanjutan sumberdaya ikan tuna menggunakan indeks
keberlanjutan diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 76,35 pada skala
keberlanjutan 0 – 100 yang termasuk dalam kategori berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya ikan tuna di Kabupaten Wakatobi masih memperhatikan
aspek-aspek Habitat dan Ekosistem, Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan,
Sosial, Ekonomi dan kelembagaan secara terpadu (integrated).
7.2 Rekomendasi Perlunya perbaikan panduan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan analisis
EAFM ditingkat (misalkan indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan dokumen legal dan indikator sertifikasi awak kapal
perikanan sesuai dengan peraturan),
Perlu kesepakatan tentang data sekunder yang digunakan (misalkan untuk indikator
CPUE baku), kebsahan data sekunder berupa statistik perikanan tangkap dari dinas
kelautan dan perikanan perlu ditinjau ulang.
Perlunya penetapan waktu yang ideal untuk penelitian EAFM, terutama bagi
enumerator dalam memperoleh data ukuran ikan, panduan mensyaratkan data
primer ukuran ikan dari pengukuran panjang total, sementara karena keterbatasan
waktu enumerator hanya mengandalkan informasi ukuran ikan dari wawancara
nelayan, ada kemungkinan data tersebut bias karena hanya merupakan pengakuan
nelayan.
Perlu adanya pembahasan dan penyempunaan metode dan bobot indikator EAFM
yang akan diterapkan untuk pada sumberdaya yang berbeda.
Perlu pemahaman lebih jauh bagi penggiat EAFM khsusnya di daerah tentang
metode analisis sistem Multidimensional Scaling - Teknik Rapfish.
8 REFERENSI Adrianto L, Abdulah H, Achmad F, Audillah A, Handoko AS, Imam M, Mukhlis K,
Sugeng HW, dan Yusli W., 2012. Modul Penilaian Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan (EAFM). Jakarta: Direktorat Sumberdaya Ikan, WWF-Indonesia, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.
Adrianto L, Arsyad AM, Ahhmad S, dan Dede IH., 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan di Indonesia. PT Penerbit IPB Press. Anonim, 2006. Studi basline ekologi Kabupaten Wakatobi. CRITC-LIPI. Jakarta Balai Taman Nasional Wakatobi, 2009. Buku Informasi Taman Nasional Wakatobi. Bau-
Bau Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Wakatobi. 2011. Statistik Perikanan 2010.
DKP Kab. Wakatobi. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Wakatobi. 2010. Laporan Tahunan 2009. DKP
Kab. Wakatobi. DKP Wakatobi, 2011. Kondisi perikanan wilayah coremap ii kabupaten wakatobi. Coral
reef information and training center (CRITC). Wangi-Wangi DKP Wakatobi, 2008. Pengembangan teknologi penangkapan ika ramah lingkungan.
Kerjasama Sciences Waatobi dan Coremap II Kabupaten Waatobi. DKP Wakatobi, 2008. Laporan hasil penyusunan dan penetapan daerah perlindungan laut
(DPL) COREMAP II Kabupaten Waatobi. DKP Wakatobi, 2008. Valuasi ekonomi sumberdaya terumbu karang Kabupaten Wakatobi
Provinsi Sulawesi Tenggara. Coral Reef Rehabilitation and Management Program - Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam. Wakatob
DKP Wakatobi, 2009. Pendataan Kapal, Perahu dan Alat Tangkap dan Kegiatan
Budidaya. PMU Coremap II Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wagi.
DKP Wakatobi, 2009. Penelitian tingkat Kabupaten. Coral Reef Rehabilitation and
Management Program - Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumberdaya Alam. Wangi-Wangi. Kerjasama DKP-CV. Wana Bahari Wakaobi.
Plagányi,E., 2003. Models for an ecosystem approach to fisheries.. FAO Fisheries
Technical Paper. University of Cape Town South Africa. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.
FAO, 1997. Fisheries Management .Technical Guidelines for Responsible Fisheries. Food
And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.
FAO, 2003. Fisheries Management . The ecosystem approach to fisheries. Technical Guidelines for Responsible Fisheries. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.
Fletcher, R., 2008. A Guide to implementing an Ecosystem approach to fisheries management (EAFM) for tuna fisheries of the Western and Central Pacfic Region. Pacific Islands Forum Fisheries Agency Honiara. Solomon Islands.
Gracia, S.M. and Cochrane, K.L 2005. Ecosystem Approach to Fisheries : A Review of
Implementation Guidelines. ICES Journal of Marine Sciences Hardin, 2007.evaluasi sistem zonasi terumbu karang taman nasional kepulauan wakatobi
(tnkw) dengan memanfaatkan teknologi inderaja. Jurusan ilmu kelautan Fakultas ilmu kelautan dan perikanan Universitas hasanuddin Makassar.
KMB Sultra, 2006. Identifikasi sumberdaya kawasan perlindugan laut di pulau
kapota kabupaten Wakatobi. Dinas Kelautan dan Perikanan Povinsi Sulawesi Tenggara Kendari
KMB Sultra, 2011. Pemantauan Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut (Dpl)Dan Sebaran Spasial Potensi Terumbu Karang Di Kawasan Kapontori Kabupaten Buton Dan Kawasan Tomia Kabupaten Wakatobi. Dinas Kelauan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari
WWF-TNC, 2003. Rapid Ecological Assessment Wakatobi National Park. Marine
Program, WWF Indonesia. Bali. Indnesia WWF-TCN-BTNW, 2010. Laporan monitoring Penambangan pasir di Wakatobi.
Kerjasama; WWF-TCN-BTNW Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wangi. WWF-TCN-BTNW, 2011. Laporan monitoring Penambangan pasir di Wakatobi. Laporan
Pemantauan Kesehatan Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi, Indonesia 2009-2011. Kerjasama; WWF-TCN-BTNW Kabupaten Wakatobi.
TNC-WWF, 2011. Laporan Pemantauan Kesehatan Terumbu Karang di Taman Nasional
Wakatobi, Sulawesi, Indonesia 2009-2011. Bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Wakatobi
Lampiran 1. Kompilasi Kasus Destructive Fisihing Diproses Secara Hukum Terjadi di Kabupaten Wakatobi Selama Tahun 2005 - 2010 No Kejadian Perkara Jenis
Pelanggaran Barang Bukti Pelaku Proses Hukum Keterangan
Wa tu Tempat Nama Asal Penyidik Kejaksaan Pengadilan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1 Rabu,
17-02-2010
Karang Kaledupa Kabupaten Wakatobi
Bius Ikan (Sianida)
- 4 kaleng alat semprot bius
- 2 kompresor - 15 ekor ikan kerapu
Dim bin Tamane, Tanumu bin Sahimu, Tauli bin Sugeng
Desa Horua Kec. Kaledupa-Wakatobi
Polres Wakatobi
Divonis 7 bulan Penjara dan denda Rp 200.000 pada tanggal 14 Juni 2010 di Pengadilan Negeri Bau-Bau
2 Rabu, 20-01-2010
Kabupaten Wakatobi
Handak dan memasuki Zona Inti TNKW
- Sampan, Kaca Selam dan Ikan
LaCong bin Maccing, Cs
Desa Mola Selatan, Kec, Wangi-Wangi Selatan, Wakatobi
Polres Wakatobi
Divonis 16 bulan Penjara pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
3 2009 Karang Kaledupa
Penangkapan Ikan menggunakan Bom dan Bius
- Bom -Bius
La Junta Desa Samabahari, Kec. Kaledupa
Polsek Kaledupa
TD TD Kasus diteruskan ke Polres Wakatobi
4 Jum’at, 15-12-2008
Perairan Desa Sama Bahari, Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - 1 buah sampan - 1botol bir bom ikan - 18 ekor ikan campuran
Juta bin Nawa Desa Sama Bahari Kec. Kaledupa-Wakatobi
Polres Wakatobi
TD TD TD
5 Jum’at, 15-12-2008
Perairan Desa Sama Bahari, Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - 1 buah sampan - 1botol bir bom ikan - 16 ekor ikan
campuran
Kuddi bin Diha Desa Sama Bahari Kec. Kaledupa-Wakatobi
Polres Wakatobi
TD TD TD
6 Selasa, 25-09-2008
Perairan Pulau Sumanga, Desa Liya Togo Kab. Wakatobi
Bom Ikan - 1 buah sampan - 1botol bir bom ikan - 18 ekor ikan
campuran
La Tagiga bin La Hasi
Desa Mola Selatan Kec. Wangi-Wangi Selatan- Wakatobi
Polres Wakatobi
Divonis 1 tahun dan 4 bulan Penjara pada tanggal 17 Maret 2008 di Pengadilan Negeri Bau-Bau
7 Kamis, 15-05-2008
Perairan Tomia, Kabupaten Wakatobi
Jual beli Ikan Napoleon
- 5ekor ikan napoleon
H. La Unu, S.Pd Kec Tomia Kaledupa-Wakatobi
Polres Wakatobi
TD TD
8 Selasa, 25-09-2007
Desa Mola Utara, Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Bahan peledak Sumardi bin Nemba Desa Mola Utara Kec. Wangi-Wangi Selatan- Wakatobi
Polres Wakatobi
Divonis 8 bulan Penjara pada tanggal 30 Januari 2008 di Pengadilan Negeri Bau-Bau
9 Kamis, 01-03-2007
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Bahan Peledak Suardin, S.Ag bin Maditarima, Cs
Desa Makoro Kec. Binongko - Wakatobi
Polres Wakatobi
Divonis 4 bulan Penjara pada di Pengadilan Negeri Bau-Bau
10 Jum’at, 24-11-2006
Perairan Pulau Runduma, Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - 161 kg ikan campuran - Uang Rp 400.000 hasil penjual ikan
Gedion, Roni, Bastom, Harlin, Yusran
Kel. Matabubu Kec. Poasia-Kendari
Polres Wakatobi
Divonis 1 tahun Penjara dan denda Rp 200.000 pada tanggal 30 Januari 2007 di Pengadilan Negeri Bau-Bau
11 Sabtu, 20-05-2006
Karang Anano, Desa Runduma, Kec. Tomia
Penangkapan Ikan dengan bom
TD Darlin Bin Pandu, ubir Bin Ubi, Aska Bin Kae
Darlin : Desa Maginti, Kec. Tikep, Kab. Muna; Subir dan Aska ; Desa Masudu, Kec. Poleang Timur, Kab. Bombana
Polres Wakatobi
TD TD Vonis penjara selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan
12 Sabtu, 20-05-2006
Perairan Onamo-Pulau Runduma, Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - 7 botol bir bom ikan - Handak
Supardin bin Basri, Desa Masaloka, Kec. Rumbia -: Bombana
Polres Wakatobi
Divonis 1 tahun dan 8 bulan Penjara pada tanggal 16 Agustus Januari 2006 di Pengadilan Negeri Bau-Bau
13 Sabtu, 20-05-2006
Perairan Onamo-Pulau Runduma, Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - 7 botol bir bom ikan
Sparmang, Aska, Muladi, Darlin,Maslin, Subir, Kuin, Thamrin,Nurleng, Supardin, Nawi, Poo, La Salidi, La Paul, Jas
3 kabupaten, yaitu: Bombana, Muna, dan Buton
Polres Wakatobi
Divonis 1 tahun dan 2 bulan Penjara pada tanggal 16 Agustus Januari 2006 di Pengadilan Negeri Bau-Bau
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
14 Senin, 24-04- 2006
Desa Mola Selatan Kabupaten Wakatobi
Jual Beli Penyu
- 7 ekor penyu H. Asmawi bin Muhamad Nur
Desa Mola Selatan Kec. Wangi-Wangi Selatan- Wakatobi
Polres Wakatobi
Divonis 10 bulan Penjara dan denda Rp 500.000 pada tanggal 8 Januari 2007 di Pengadilan Negeri Bau-Bau
15 Sabtu, 24-12-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Pupuk amonium nirat
La Njiu bin La Bandu
Kel. Wandoka Kec. Wangi-Wangi- Wakatobi
TD TD Divonis 7bulan Penjara pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
16 Rabu, 28 -11-2005
Perairan Kaledupa Kabupaten Wakatobi
Bius - 6 kaleng alat semprot bius - 2 kompresor - 4 ekor ikan kerapu
Hengky Hosanpoek Makassar- Sulsel
Polres Wakatobi
Divonis 4 bulan Penjara pada tanggal 16 Januari 2006 di Pengadilan Negeri Bau-Bau
17 Kamis, 29-09-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Handak - Bodi batang - Kompresor - Mesin Shanghai
Jono bin Opa, Cs Dsn Mantigola Ds Horuo Kec. Kaledupa-Wakatobi
TD TD Divonis 3bulan Penjara dan10 hari serta denda Rp 300.000,- pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
18 Kamis, 29-09-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Handak - Bodi batang - Kompresor - Mesin Shanghai
Jumardin bin Suleng
Desa Horuo Kec. Kaledupa-Wakatobi
TD TD Divonis 2 bulan Penjara dan20 hari serta denda Rp 300.000,- pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
19 Kamis, 29-09-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Handak - Bodi batang - Kompresor - Mesin Shanghai
La Mane bin Gunjang
Dsn Mantigola Ds Horuo Kec. Kaledupa-Wakatobi
TD TD Divonis 3 bulan Penjara dan denda Rp 200.000,- pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
20 Rabu, 28-09-2005
Perairan Karang Kapota, Kab. Wakatobi
Bius Ikan (Sianida)
Ikan - Kapal muatan 10 ton - Potasium sianida
Hengki Hosen, Poek bin Fredi Hosan, Ahmad bin Ahmad
Makassar Polres Wakatobi
Divonis 4 bulan Penjara di Pengadilan Negeri Bau-Bau
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
21 Sabtu, 13-08-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Pupuk amonium nirat
Amiruddin bin La Gamusu
Kel.Mandati II, Kec,. Wangi-Wangi Selatan-Wakatobi
TD TD Divonis 6 bulan Penjara pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
22 Senin, 20-06-2005
Karang Tomia, Kabupaten Wakatobi
Bius Ikan (Sianida)
- ?
Tabutti bin Tamali, Kullu bin Jahaling, Hasir bin Opang
Dusun Mantigola, Desa Horua, Kec. Kaledupa- Wakatobi
Polres Wakatobi
P19, Berkas dikembalikan ke Penyidik karena kurang BA, Penitipan BB, BA. Penolakan PH dan uji Labfor
23 Jum’at, 03-06-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Pupuk amonium nirat
Asihima bin La Agi Desa Keramat Kec. Taliabu Barat- Maluku Utara
TD TD Divonis 7 bulan Penjara pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
24 Kamis, 14-04-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Handak Hamsah bin La Tuli, Cs
Kel.Mandati II, Kec,. Wangi-Wangi Selatan-Wakatobi
TD TD Divonis 6 bulan Penjara pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
25 Kamis, 14-04-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Handak Udin alias Udiaka bin Unu, Cs
Kel.Mandati II, Kec,. Wangi-Wangi Selatan-Wakatobi
TD TD Divonis 6 bulan Penjara pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
26 Kamis, 14-04-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Handak Awaluddin alias La Awa bin H. Muis
Kel.Mandati II, Kec,. Wangi-Wangi Selatan-Wakatobi
TD TD Divonis 6 bulan Penjara pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
27 Kamis, 14-04-2005
Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - Handak Hamsah bin La Tuli, Cs
Kel.Mandati II, Kec,. Wangi-Wangi Selatan-Wakatobi
TD TD Divonis 6 bulan Penjara pada Pengadilan Negeri Bau-Bau
28 Rabu, 19-01-2005
Peraian Desa Numana Kabupaten Wakatobi
Bom Ikan - 1 buah sampan - 1botol bir bom ikan - 18 ekor ikan campuran
La Cong bin Macing Dan Dik bin La Cong
Desa Mola Selatan, Kec,. Wangi-Wangi Selatan-Wakatobi
Polres Wakatobi
Divonis 16 bulan Penjara pada tanggal 16 April 2005 di Pengadilan Negeri Bau-Bau