1
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian yang berjudul PERDA-PERDA BERBASIS HUKUM ADAT: Studi
Formalisasi Hukum Adat Menjadi Peraturan Daerah, menjadi sangat menarik
dan penting untuk dilakukan. Akhir-akhir ini, istilah hukum adat, masyarakat hukum
adat, hukum lokal (local law)1 dan kearifan lokal (local wisdom)
2 telah kerap kali
muncul. Ketiga istilah tersebut secara konseptual sungguh berbeda, tetapi para
penulis dalam berbagai kajian hukum, khususnya hukum adat dan pendekatan sosio-
legal tampak menjadi campur aduk. Dalam beberapa literatur asing, seperti di
Amerika, Australia, Kanada dan Inggris penggunaan istilah hukum lokal merupakan
peraturan daerah yang disyahkan oleh pemerintahan negara-negara bagian bersifat
umum. Secara tegas di Negara-negara tersebut memisahkan hukum lokal dari hukum
kebiasaan (customary law) dan hukum kanonik (canonic law). Ciri utama hukum
lokal adalah peraturan daerah yang disyahkan oleh lembaga legislatif dan pemerintah
daerah sebagai akibat adanya aspirasi dari berbagai suku dan nilai-nilai budaya dan
keagamaan tertentu.3
Kekeliruan penggunaan istilah hukum adat dengan hukum lokal dijumpai dalam
beberapa tulisan ilmiah. Naskah desertasi tentang Sumber Daya Air, dan kearifan
lokal. Dalam desertasi itu, dikemukakan bahwa hukum adat adalah hukum lokal,
sementara kearifan lokal adalah bagian dari hukum adat. Padahal sudah amat jelas,
1 Konsep Hukum Lokal semula dipergunakan oleh para ahli antropologi hukum yang memaparkan tentang realita politik lokal
berusaha mengakomodir kehendak sebagian masyarakat untuk membuat Perda-perda yang berjiwakan hukum adat
melalui mekanisme lembaga legislatif di berbagai daerah. Noubert Roland, 1994, Legal Anthropology, London, The
Athlone Press, Hlm : 313-315 2 Lihat Sulistriyono, dalam karyanya “Sumber Daya Air: Tinjauan Terhadap Regulasi Pengaturan Sumber Daya Air “,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta, UGM 2011. 3 Lihat beberapa contoh hukum lokal di berbagai Negara dengan sistem hukum common law.
2
bahwa hukum lokal adalah peraturan-peraturan daerah yang proses dan mekanisme
pembuatannya menggunakan institusi lembaga legislatif daerah, (DPRD bersama
Kepala Daerah, Gubernur untuk tingkat provinsi, Bupati dan Wali Kota untuk tingkat
kabupaten). Penggunaan istilah yang rancu ini perlu dihindari dengan harapan
pemahaman penelitian berguna dalam menjelaskan suatu pengetahuan komprehensif,
baik terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan adat secara khusus maupun
perkembangan ilmu hukum pada umumnya. Realitas sosial menujukan bukti bahwa
perda-perda berbasis hukum adat telah tumbuh dan berkembang tidak dapat dicegah
meskipun pro-kontra di kalangan akademisi masih berlangsung.
Para pengajar hukum adat belum sepakat untuk menindakan lanjuti gagasan
tentang pentingnya pembentukan peraturan perundang-undangan yang melindungi
keberadaan hukum adat dan keberadaan masyarakat hukum adat secara tertulis
bersifat unifikatif. Mereka tidak setuju berdasarkan pada argumentasi bahwa
formalisasi hukum adat, dapat menghilangkan jati diri hukum adat itu sendiri.4
Hukum adat terdiri dari kaidah-kaidah, dan pedoman yang menuntun anggota
masyarakat untuk berpikir, bertingkah laku antara sesamanya dengan mengedepankan
pola interaksi sosial harmonis. Jika kemudian, masyarakat hukum adat di berbagai
daerah berkewajiban untuk mematuhinya peraturan hukum adat yang tertulis dan
unifikatif, ada kekhawatiran bahwa fungsi hukum adat ke depan menjadi lebih sempit
dan tidak fleksibel.
Pandangan pertama terdapat berbagai kelamahan, usulan memformalisasikan
hukum adat ke dalam suatu peraturan hukum tertulis terus berlangsung suatu
perdebatan. Meskipun proses formalisasi hukum adat dipandang telah bertentangan
4 Lihat beberapa pandangan para pengajar hukum adat, dalam suatu seminar Nasional “Urgensi Peraturan Perundang-Undangan
Hukum Adat”. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2007.
3
dengan keempat asas dalam hukum adat, seperti magis religious, kongkrit, kontan
dan fleksibel (mulur mungkret)5. Penggunaan istilah formalisasi atau positivisasi
sebagai wujud mengakomodir nilai-nilai dan kaidah-kadiah yang berlaku dalam
masyarakat ke dalam suatu sistem peraturan hukum moderen menuntut terpenuhi
syarat-syarat juridis formal. Praktek pembentukan Perda-perda Adat, selama ini tidak
jauh berbeda dengan pembuatan perda-perda lainnya. Usul inisiatif diajukan oleh
Pemerintah daerah atau Dewan Perwakilan Daerah (Provinsi atau Kabupaten/Kota),
dan diproses dengan mekanisme dan proedur beradasarkan UU No 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan adanya unifikasi terhadap
hukum adat, maka kecenderungan hukum adat yang berbhineka tersebut akan
mengalami pergeseran atau bahkan hilang dari kehidupan masyarakat.
Mereka percaya jika kedudukan hukum adat harus dipahami sebagai nilai-nilai
luhur dan norma-norma yang seharusnya menjiwai peraturan-peraturan tertulis
tersebut. Sebagaimana halnya UU No 5 Tahun 1960, tentang Pokok-Pokok Hukum
Agraria yang hingga kini tetap aktual dan berlaku. Karena itu, tidak mengherankan
jika banyak pihak yang menolak usulan perubahan atas UUPA tersebut. Padahal,
bukan tanpa argumen yang memadai ketika DPD RI mencoba mengusulkan
perubahan muatan materi UUPA tersebut. Upaya untuk menciptakan masyarakat
yang agraris sebagai tujuan UUPA tersebut tidak terwujud. Banyaknya petani yang
semakin kehilangan tanah garapannya karena berpindah kepada petani berdasi, dan
hilangnya status tanah-tanah adat, seperti tanah ulayat di Minangkabau dan tanah
tembawang di Kalimantan Barat adalah persoalan kelemahan internal UUPA
menyandarkan pembentukan pada hukum adat.
5 Beberapa pandangan tentang-tentang asas-asas dalam hukum adat yang dijadikan ciri utama yang membedakan dari sistem
hukum lainnya. Lihat pandangan Djojodiguno, Iman Sudiyat, Moh Koesnoe dan Hilman, Pengantar Hukum Adat,
Bandung.
4
Salah satu sebab terpinggirkannya hukum adat dan masyarakat hukum, di zaman
pemerintahan Orde Baru adalah disebabkan karena sistem pemerintahan pusat yang
sentralistik. Keberadaan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
dipandang oleh banyak pihak sebagai instrumen hukum yang menimbulkan
ketidakpuasan masyarakat. Disatu pihak, UU tersebut berupaya membuat
penyeragaman pemerintahan desa. Dipihak lain, justru UU tersebut telah
menimbulkan pemusnahan atas lembaga-lembaga adat. Karena itu, tidak
mengherankan jika Pemerintah Orde Baru telah memperlakukan masyarakat hukum
adat di berbagai daerah secara tidak adil6.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, judul penelitian ini bukan saja
menarik untuk diteliti dalam pendekatan antropologi hukum (alasan subyektif),
melainkan secara obyektif diperlukan dalam upaya menjelaskan kedudukan perda-
perda hukum adat dalam sistem hukum nasional, utamanya sejak terjadinya
reformasi politik dan hukum tahun 1998.
Alasan obyektif, bahwa penelitian terkait dengan perda-perda berbasis hukum
adat perlu dilakukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, secara
nasional kebutuhan untuk merumuskan hukum adat ke dalam bentuk formalisasi
hukum telah merupakan fakta sosial dan hukum yang tidak dapat dihindari. Asosiasi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI terus
memperjuangkan lahirnya RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Tidak
mungkin membiarkan hukum adat termarjinalkan, sebagai akibat dominasi sistem
pemerintahan yang sentralistik dan sistem hukum nasional yang abai terhadap
6 Konsep Keadilan tidak saja dimaksudkan sebagai putusan kebijakan dari badan-badan negara tingkat pusat ke Pemerintah
Daerah yang berkesesuian dengan hak-haknya, serta kewajibannya sesuai peraturan hukum. Dalam implementasinya,
keadilan menuntut prasyarat kesetaraan, kebenaran, keseimbangan dan kepuasan, baik secara individual, sosial atau
komunal dan bahwa juga kepuasan secara spiritual.
5
keberadaan hukum adat. Secara teoritis, kajian hukum adat cenderung mulai bergeser
dari sifatnya hukum adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law),
ke arah hukum positif yang sifatnya tertulis. Di beberapa tempat, tahun 1994, tercatat
bahwa Marbo Law, keputusan Mahkamah Agung di New South Wales Australia
memutuskan untuk mengakui kedudukan tanah-tanah adat masyarakat Aborigin.7
Fakta tersebut telah mendapatkan perhatian khusus di berbagai Universitas terkenal di
Eropa seperti Oxford University dan Manchester University, Amerika Serikat,
Harvard University, dan Monash University di Melbourne, Australia. Formalisasi
tersebut lebih menegaskan adanya kepastian hukum oleh karena dukungan dari
Konvensi Hukum Internasional, terkait dengan hak-hak masyarakat pribumi
(indigenous people rights) 1996 yang mewajibkan semua Negara untuk memberikan
perlindungan dan perlakukan yang seksama dan berkeadilan8.
Kedua, penelitian ini menjadi relevan oleh karena secara konstitusional
formulasi hukum adat ke dalam suatu peraturan daerah telah dijamin oleh Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945, bahwa hukum adat diakui dan dihormati sepanjang masih
berlaku, tidak bertentangan dengan NKRI dan diatur dengan peraturan perundang-
undangan.9 Sejalan dengan itu, pemerintah Indoesia secara konsisten telah
mengejowantahkan amanah konstitusionalitas tersebut tidak kurang dua belas (12)
UU sektoral seperti UU Kehutanan, UU Sumber daya Alam, UU Pertambangan, UU
Mineral dan Batubara, dan UU Sumber Daya Air. Adapun juridis yang relevan
adalah Pasal 18 ayat 5 yang memberikan Hak Konstitusional bagi daerah-daerah
untuk melakukan pembangunan seluas-luasnya.
7 Lihat Introduction toward Australian Legal Systems. Sydney, Butterwoths. 1986. 8 Lihat Convention on International Labour Organization 1984. 9 Lihat Draft “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat”. Jakarta. DPD RI. 2009.
6
Namun, dalam implementasinya belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
hukum adat sebagaimana mestinya. Inkonsistensi antara perintah UUD 1945 dan UU
Sektoral umumnya terjadi realisasi kebijakan pemerintahan pusat dalam bidang
pertambangan di daerah-daerah. Selain itu, inkonsistensi juga dapat terjadi sebagai
akibat tumpang tindih pengaturan dan kewenangan dan konflik kepentingan antara
kementerian yang satu dengan yang lain.
Ketiga, secara sosiologis dan antropologis di Indonesia, bentuk formalisasi
hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat bukan hanya sekedar diperdebatkan
oleh para ahli dan pengajar hukum adat, tetapi telah menjadi fakta hukum atau norma
hukum empirik dalam bentuk perda-perda hukum adat. Kegagalan untuk
memperjuangkan UU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di tingkat nasional,
justru banyak Peraturan-Peraturan Daerah berbasis hukum adat lahir di berbagai
daerah, baik Perda Adat yang disyahkan di tingkat Pemerintahan Provinsi maupun
Pemerintahan Kabupaten /atau Kota. Terjadinya kebangkitan dan berbagai
persekutuan masyarakat hukum adat, maupun kebangkitan hukum keagamaan di
daerah-daerah, menunjukkan geliat pembangunan hukum lokal (Peraturan-Peraturan
Daerah yang dijiwai semangat hukum yang hidup dalam masyarakat) di berbagai
daerah10
.
Sejak tahun 1999 sd 2009, tidak kurang dari 106 Perda-perda adat telah disahkan
hampir 27 provinsi di seluruh Indonesia. Persoalan menarik dalam studi ini bukan
sekedar persoalan apakah lahirnya perda-perda berbasis adat ini didasarkan kepada
perintah dari suatu undang-undangan tertentu. Ataukah perda-perda adat tersebut
lahir disebabkan karena adanya kekosongan hukum sebagai akibat undang-undang
10 Konsep Hukum Lokal semula dipergunakan oleh para ahli antropologi hukum yang memaparkan tentang realita politik lokal
berusaha mengakomodir kehendak sebagian masyarakat untuk membuat Perda-perda yang berjiwakan hukum adat
lokal. Noubert Roland, 1994, Legal Anthropology, London, The Athlone Press, hlm 313-315.
7
sektoral tidak mengatur dengan tegas bagaimana pengakuan dan penghormatan secara
kongkrit melainkan karena kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan daerah tidak
berfungsi memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat
hukum adat. Apakah dengan lahirnya perda-perda adat tersebut telah berfungsi efektif
dalam memberikan kepastian hukum dan kamanfaatan bagi masyarakat ataukah justru
lebih dari itu telah menimbulkan dampak negatif terhadap aspek pembangunan
nasional, di berbagai daerah. Ketiga, dari segi kemanfaatan, penelitian ini penting
karena terbatasnya informasi akademik terkait dengan bagaimana pertumbuhan
hukum adat yang telah berkembang. Dari pengkajian awal, sejak tahun 1999 sampai
dengan 2011, tidak kurang dari 106 Perda-perda adat yang telah dibuat disekitar 27
Provinsi dan puluhan Kabupaten. Beberapa Provinsi yang banyak menerbitkan Perda
adat antara lain Sumatera Barat, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Maksud dan alasan lain yang mendorong lahirnya perda-perda adat yaitu,
masyarakat di daerah merasa khawatir akan kehilangan nilai-nilai adat yang selama
ini dipandang sebagai norma-norma yang paling dipatuhi, juga akibat transformasi
sosial dan politik. Gregory Acciaioli mengakui bahwa gelombang Perda Adat terkait
dengan dorongan otonomi daerah mendorong timbulnya legislasi daerah untuk
wilayah hukum adat. 11
Berbagai perda adat yang diklaim sebagai hukum lokal antara
lain ada empat (4) kelompok Perda adat, (1) Perda adat yang terkait dengan hak-hak
adat, (2) Perda Perlindungan Hak atas Tanah Ulayat, (3) Perda tentang Lembaga
Adat, dan (4) Perda tentang Pelestarian Lembaga Adat dan Peradilan Adat. Bahwa di
beberapa daerah di Papua, keberadaan hukum pidana tidak berlaku kecuali pencurian.
11 “Land claims by The Customary Society Movement”. Greg Acciaioli. Ground of Conflict, Idioms of Harmony : Custom,
Religion and Nationalism in Violence Avoidance at The Lindu Plain, Central Sulawesi. Indonesia 27 October 2010.
8
Sebab, kasus-kasus pembunuhan umumnya diselesaikan secara adat12
. Selain itu,
yang tidak menggembirakan menurut Endang S, pembuatan Perda Adat tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Perda yang ada, sepertinya menuliskan kembali apa yang
selama ini telah berlaku. Padahal yang diperlukan dari Perda tersebut adalah
melindungi dan memperkuat pemberlakuannya, tanpa ada duplikasi UU lainnya13
.
1.1. Rumusan Masalah
Dari landasan pemikiran tersebut di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk
menjawab rumusan masalah sebagai berikut.
1) Mengapa jaminan perlindungan juridis konstitusional terkait dengan
pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 18B ayat (2) dan Undang-undangn sektoral lainnya belum
berhasil diimplementasikan dalam masyarakat hukum adat?
2) Apakah pertumbuhnya hukum lokal yang mengemuka dalam peraturan-
peraturan daerah berbasis hukum adat di berbagai daerah di Indonesia
merupakan bentuk formalisasi dan sekaligus kompensasi atas kekosongan
hukum akibat pengakuan dan penghormatan sebagaimana diatur dalam UU
sektoral belum inkonsisten dengan implementasi kebijakan pembangunan
nasional yang direalisasikan di berbagai daerah ?
3) Bagaimana bentuk formalisasi hukum yang hidup (living law) dalam
masyarakat yang dijowantahan dalam perda-perda berbasis hukum adat telah
berkesesuaian dengan mekanisme dean prosedur yang diatur dalam Undang-
12 Hasil diskusi dari Prof. DR. Endang Sumiarni. SH., MH. 13 Hasil diskusi informal dan kajian awal pengusul dengan mahasiswa dan CLDS FH UII.
9
undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia??
1.2. Maksud dan Tujuan
Program penelitian pustaka ini dilakukan dengan maksud dan tujuan sebagai
berikut :
1) Memperoleh pengetahuan komprehensif tentang formalisasi hukum yang
hidup (living law) dalam masyarakat menjadi peraturan-peraturan daerah,
sebagai bentuk kompensasi atas kekosongan peraturan hukum yang
inkonsisten dengan kebutuhan masyarakat hukum adat.
2) Untuk mengidentifikasi berbagai faktor pengaruh belum efektifnya
perlindungan hak-hak konstitusional terhadap pengakuan dan penghormatan
masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan UU
sektoral lainnya.
3) Melakukan penilaian terhadap mekanisme dan prosedur lahirnya hukum lokal
yang terdiri dari Perda-Perda berbasis hukum adat (perlindungan atas hukum
adat, lembaga hukum adat, pelestarian hukum adat dan masyarakat hukum
adat) yang berkesesuaian dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
1.3. Kerangka Teori dan Konsep
Untuk mencapai maksud dan tujuan di atas, penelitian ini menggunakan
kerangka teori dan konsep yang dipandang memiliki keterkaitan dengan persoalan
yang akan dijelaskan dalam penelitian ini.
10
Pertama, konsep hukum adat dan masyarakat hukum adat. Hukum adat dalam
penelitian ini dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah, atau hukum hukum kebiasan
(cutomary rules), terdiri dari putusan-putusan kepala adat, yang tumbuh dan
berkembang dari kesadaran masyarakat, yang sebagian besar tidak tertulis, dipatuhi
dan mengikat masyarakat dibarengi dengan sanksi-sanksi sosial. Dalam
pertumbuhannya hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang didukung oleh
semangat zaman suatu masyarakat (volkgeist) dan ditempatkan dalam sistem hukum
suatu negara, atau lebih dikenal sebagai hukum non-negara (non-state law). Sifat atau
karakter dari hukum adat sebagai living law tersebut, selain norma-norma tersebut
tumbuh dan dari proses internalisasi masyarakar lokal, seperti hukum kebiasaan
(customary law) atau hukum adat (Indonesia), dan juga suatu norma hukum
keagamaan tertentu, yang mengikat masyarakat dan tidak dibentuk oleh lembaga
formal dan tidak wujudkan secara tertulis (unwritten law) hal ini juga tidak terlepas
dari ketidak pedulian hakim-hakim di pengadilan atas hukum yang hidup dalam
masyarakat14
.
Kedua, masyarakat hukum adat adalah sekumpulan masyarakat yang hidup di
suatu tempat didasarkan kepada adanya kesamaan garis ketuturunan (geneologis) dan
kesamaan wilayah (geografis), diatur oleh suatu hukum kebiasaan yang mengikat,
dipimpin oleh suatu kepala adat yang kharismatik, dan mampu menyelesaikan
sengketa adat yang dihadapi masyarakatnya. Karena itu, Van Vollen Hoven, Ter
Haar dan Joyodiguno menegaskan bahwa hukum adat merupakan cabang hukum
mandiri (an independent branch of law) yang ditandai oleh adanya kehidupan
bersama, atas dasar kesamaan leluhur (genekologis), memiliki tujuan bersama yang
14 Justice Louis D. Brandels, The Living Law, www. cardozolawreview.com/index.php?option=com_content
11
diatur oleh hukum tidak tertulis. Karena itu, setidaknya keberadaan masyarakat
hukum adat di Indonesia terdiri dari 19 persekutuan hukum adat seperti Gayo, Karo
dan lainnya15
.
Ketiga, hukum lokal (Local Law) adalah peraturan-peraturan yang dibuat
berdasarkan prosedur dan mekanisme birokrasi pemerintahan di tingkat daerah
dimana lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan masyarakat mengusulkan dan
menyepakati adanya kebijakan politik dan hukum yang diwujudkan dalam bentuk
Perda, tetapi muatan materinya dipengaruhi oleh adanya hukum yang hidup dalam
masyarakat, baik berupa hukum kebiasaan setempat atau hukum adat maupun hukum
suatu agama tertentu. Karena itu, Perda-perda tidak akan dapat disebut sebagai
hukum lokal manakala isunya tidak mengandung unsur-unsur, baik nilai maupun
norma hukum adat yang ada disuatu daerah. Adapun cakupannya bisa aspek perdata
atau pidana adat yang ada disuatu daerah. Adapun cakupannya bisa aspek perdata
atau pidana adat. disebagian daerah di Indonesia, pengadilan mencoba menjadikan
hukum adat sebagai sumber hukum material bagi kasus-kasus yang bersifat
keperdataan. Tentu saja hal tersebut sangat tergantung kesadaran hukumnya.
Sebagaimana halnya hukum adat yang berlaku di Afrika Selatan. Diakui bahwa
terdapat bukti konkrit apakah adat dapat diadopsi pengadilan mendasarkan pada
keahlian hukum adat Xhosa. Pengadilan mengakui bahwa hukum adat tumbuh dan
berkembang selama dua dekade membolehkan hukum adat dijadikan sumber hukum
bagi putusan di pengadilan, khususnya dalam hukum keluarga16
Keempat, formalisasi hukum adalah cara memformulasikan kaidah-kaidah
hukum kebiasaan ke dalam peraturan hukum tertulis, yang berlaku di suatu daerah
15Ter Haar, The Adat Law, Netherland, The Hauge, 1974. 16 Lihat Joan Church, The Place of Indegenous Law in a Mixed Legal System and a Society in Tranfsormation : A South Africa
Experience. ANZLH – Journal, 2005, 103.
12
tertentu, dibuat dan disyahkan pemerintah daerah bersama DPRD guna menciptakan
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilaan berdasarkan UU No 12 tahun 2011
untuk menjawab persoan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat setempat di era
otonomi daerah. Kepastian hukum dalam arti adanya suatu peraturan hukum dalam
bentuk Perda Hukum Adat yang dapat dijadikan pedoman untuk mengatur tingkah
laku masyarakat dan sekaligus pedoman bagi penegak hukum ketika terdapat
sengketa. Adapun unsur keadilan dalam perda berbasis hukum mencakup adanya
kebebasan (liberty) keberimbangan (fairness), adanya kesamaan peluang dan
kesempatan (equal opportunity), peraturan yang mengandung kebenaran (what is the
right to do)17
. Adapun kemanfaatan hukum adalah bahwa peraturan daerah tersebut
mengandung parameternya terpenuhinya kepuasan atau kebahagiaan untuk sebagian
besar sebagian besar warga (the greatest happiness for the greatest number).
Dengan demikian, maka penelitian ini akan menjelaskan fenoena perda-perda
berbasis hukum adat sesuai kerangka teori, konsep dan definisi operasional tersebut
di atas, untuk mengukur kesesuaian antara hukum yang hidup (living law) dalam
masyarakat, sebagai hukum lokal yang diformalisasikan ke dalam Perda-Perda Adat
sesuai asas-asas pembentukan peraturan hukum sebagaimana diatur leh UU no 12
tahun 2011.
1.4. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini kualitaif dengan cara mengumpulkan bahan-bahan dan
metode penelitian sebagai berikut :
17 John Rawlls. Theory of Justice, Cambridge, Harvard University Press. 1972. Lihat juga, Michael Sandel, Justice: What’s The
right Thing To do, New York, United States of America, Farrar, Straus and Girox, 2009.
13
1) Metode Pengumpulan bahan-bahan hukum Primer dan Sekunder Penelitian
ini dilakukan dengan melakukan menelusuran informasi dan keterangan dari
bahan-bahan hukum di Perpustakaan (Library Research). Adapun obyek
yang ditelusuri adalah berbagai pengumpulan informasi dan dan keterangan
tentang hukum adat dan masyarakat hukum adat berdasarkan pada dokumen
hukum antara lain UUD 1945, HAM dan Peraturan Perundang-undangan, dan
peraturan relevan sejenis lainnya. Melakukan pelacakan seluas mungkin
terhadap berbagai Perda Adat melalui internet, khususnya website di Tingkat
Provinsi, Kabupaten dan Kota.
2) Pendekatan Socio-Legal (Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum)
Pencarian informasi dan keterangan melalui berbagai karya tulis dari para ahli
hukum yang tersedia di perpustakaan dan memberikan tambahan kekayaan
keterangan atas hubungan antara hukum adat sebagai living law menuju pada
penjelasan adanya perubahan pemikiran ke mahzab hukum yang berorientasi
pada ajaran hukum positivisme. Suatu fenomena baru yang menujukan mulai
adanya kesadaran baru akan pentingnya Negara mengakui adanya hukum di
luar hukum masyarakat yang diakomodir menjadi system hukum yang
positivistik.
3) Analisis Data. Adapun keterangan atau data akan dianalisis berdasarkan
kepada ketiga rumusan masalah tersebut dengan melakukan analisis terhadap
norma-norma hukum dan teori yang memayunginya Perda-Perda yang muatan
materinya perlindungan terhadap hukum adat, institusi masyarakat hukum
adat, dan pelestarian hukum adat dan pranata sosial lainnya. Selain itu,
analisis dilakukan terhadap peran institusi-institusi hukum di tingkat daerah
14
dan seberapa jauh masyarakat daerah memberikan respon positif terhadap
produk hukum lokal yang telah disepakati tersebut. Terakhir, analisis akan
ditujukan kepada fenomena bagaimana sikap respon Pemerintah Pusat baik
bentuk positif (memberikan dukungan) atau negatif (membatalkan) terhadap
perkembangan dan pertumbuhan hukum lokal.
15
BAB II
PERLINDUNGAN DAN PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM
ADAT DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM
NASIONAL
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang prinsip-prinsip hukum umum yang relevan
dipergunakan sebagai pedoman utama dalam mengarahkan proses pembentukan RUU-
PHMA. Dalam hal ini, prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum bukanlah norma-
norma kongkrit, melain kan merupakan pikiran-pikiran dasar bersifat umum dan
merupakan latar belakang dari peraturan hukum yang kongkrit yang terdapat dalam setiap
sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum
dalam peraturan kongkrit tersebut18.
Sedangkan kerangka teori dimaksudkan sebagai preposisi-preposisi tentang
kebenaran akademik yang merupakan hasil pengujian antara hipotesis dengan fakta-fakta
yang medukung atau menolak, yang dapat dipergunakan sebagai kaca mata, atau
instrumen untuk memberikan pengukuran atas adanya fakta-fakta yang terjadi di
lapangan. Apakah teori yang dipergunakan tersebut berkesesuaian dan konsisten,
misalnya terkait dengan hubungan sebab akibat, atau keajegan-keajegan sosial yang
dijadikan pegangan atau pedoman dalam pembangunan suatu masyarakat19.
Beberapa prinsip hukum yang relevan dikemukakan dan menjadi landasan utama
dalam merumuskan norma-norma hukum kongkrit dalam pengaturan perlindungan hak-
hak masyarakat adat antara lain adalah sebagai berikut.
18 Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta, Liberty. 1986:33. 19 Jawahir Thontowi, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung.PT. 2007:33
16
2.1. MHA Dalam Hukum Internasional
Istilah masyarakat adat mulai mendunia, setelah pada tahun 1950-an ILO, sebuah
badan dunia di PBB mempopulerkan isu “indigenous peoples”. Setelah dihembuskan
oleh ILO sebagai isu global di lembaga PBB, World Bank (Bank Dunia) juga mengadopsi
isu tersebut untuk proyek pedanaan pembangunan di sejumlah negara, melalui kebijakan
OMP (1982) dan OD (1991), terutama di negara-negara ketiga, seperti di Amerika Latin,
Afrika, dan Asia Pasifik. Mencuatnya isu masyarakat adat berawal dari berbagai gerakan
protes masyarakat asli “native peoples” di Amerika Utara yang meminta keadilan
pembangunan, setelah kehadiran sejumlah perusahaan trans-nasional di bidang
pertambangan beroperasi di wilayah kelola mereka, dan pengembangan sejumlah wilayah
konservasi oleh pemerintah AS dan Kanada20.
Sementara itu, di Indonesia sendiri, pengertian dan istilah masyarakat adat sudah
sejak lama dikenal dalam realitas kehidupan sosial-budaya. Bahkan sejak Van
Vollenhoven membagi Indonesia dalam 19 (sembilan belas) lingkungan hukum adat,
kendati pembagian ini diragukan keabsahannya, namun tetap saja memperlihatkan bahwa
di lingkungan masyarakat Indonesia tradisionil telah dikenal adanya komunitas
kehidupan kemasyarakatan yang disebut sebagai masyarakat adat.
Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang pernah di gagas oleh seorang pujangga
Kerajaan Majapahit, Empu Tantular dan kemudian diimplementasikan oleh Patih Gadjah
Mada dalam mempersatukan wilayah Nusantara, menunjukkan bahwa identitas dan
keberadaan Masyarakat Adat memang telah mewarnai pola kehidupan masyarakat
Indonesia tradisionil. Dengan demikian, jauh hari sebelum ILO mempopulerkan isu
20 Azmi Siradjudin AR, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Instrumen Hukum Nasional dalam
http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/
17
“indigenous peoples” di Indonesia sudah dijumpai masyarakat adat dengan berbagai
ragam corak kehidupan sosial budayanya.
Jika ditinjau dari aspek kemunculannya, maka sumber keberadaan masyarakat
adat ini dapat dirunut berdasarkan pandangan Aristoteles yang mengemukakan bahwa
manusia adalah zoon politicon. Manusia akan selalu mencari manusia yang lain untuk
hidup bersama dan berorganisasi. Bagi manusia hidup bersama itu merupakan gejala
yang biasa. Disamping keinginan kodrati untuk hidup bersama tersebut, manusia juga
mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok seperti mahluk hidup yang lain.
Menurut Maslow sebagaimana dikutip oleh Bimo Walgito, kebutuhan manusia
itu sifatnya hirarkhis. Artinya suatu kebutuhan akan timbul bila kebutuhan yang lebih
rendah telah terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu adalah :
a. The physiological needs, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisiologis, dan
kebutuhan-kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling kuat di antara
kebutuhan-kebutuhan lain.
b. The safety needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan rasa aman.
c. The belongingness and love needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan
dengan orang lain. Merupakan kebutuhan sosial.
d. The esteem needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan penghargaan, termasuk
rasa harga diri, rasa dihargai.
e. The needs for self-actualization, yaitu kebutuhan untu mengaktualisasikan diri,
kebutuhan untuk ikut berperan21
.
Dari pandangan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa kebutuhan-kebutuhan
manusia pada dasarnya dapat digolongkan menjadi :
21 Bimo Walgito, 2002, Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Ed. 1. Cet.1. Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 2.
18
a. Kebutuhan yang bersifat fisologis, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan
dengan jasmaniah, kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan
eksistensinya sebagai makhluk hidup misalnya kebutuhan akan makan, minum,
seksual, dan udara segar.
b. Kebutuhan yang bersifat psikologik, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan segi
psikologis, misalnya kebutuhan rasa aman, rasa pasti, kasih sayang, harga diri
dan aktualisasi diri.
c. Kebutuhan yang bersifat sosial, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan interaksi
sosial, kebutuhan akan berhubungan dengan orang lain, misalnya kebutuhan
berteman dan kebutuhan bersaing.
d. Kebutuhan yang bersifat religi, yaitu kebutuhan-kebutuhan untuk berhubungan
dengan kekuatan-kekuatan yang ada di luar diri manusia. Kebutuan untuk
berhubungan dengan sang Pencipta.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas tidaklah berdiri sendiri-sendiri, melainkan
saling berkait antara satu dengan yang lain. Setiap kebutuhan-kebutuhan tersebut tentu
memerlukan pemenuhan. Berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut di
atas, maka keberadaan masyarakat adat berkaitan dengan kebutuhan fisologis (kebutuhan
yang bersifat jasmaniah yakni kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk
mempertahankan eksistensinya sebagai mahluk hidup), kebutuhan psikologis (kebutuhan
rasa aman, rasa pasti, harga diri, dan aktualisasi diri), kebutuhan sosial (berteman dan
bermasyarakat), kebutuhan religi (didasari oleh kepercayaan sesuai dengan ajaran agama
atau religiusitas yang dianut oleh indvidu yang bersangkutan).
Dari kebutuhan-kebutuhan inilah manusia sebagai individu juga membutuhkan
individu lain untuk saling menguatkan dan saling memenuhi. Agar tidak terjebak dalam
19
konsep Homo homini lupus sebagaimana pernah diungkapkan oleh Thomas Hobbes maka
masyarakat harus terikat dengan kesepakatan sosial ”social contract”. peraturan hukum,
Dalam tingkat sederhana kontrak sosial ini merupakan basis lahirnya peraturan hukum
yang bilamana dikaitkan dengan fungsi kenegaraan disebut konstitusi. Peraturan hukum
dasar yang menajdi acuan warga negara dan negara dalam menentukan lahirnya suatu
negara, pendirian lembaga-lembaga pemerintahan, hak dan keajiban warga negara dan
pemerintahan Dalam konstitusi juga secara umum diatur tentang hak-hak dasar dan
kebebasan dasar masyarakat. Oleh karena konstitusi, sebagai The Supreme Law of The
Land, memuat ketentuan bersifat umum dan tidak rinci, maka setiap pasal memerlukan
penjabaran lebih rinci dalam peraturan lebih rendah yaitu undang-undang. Dalam konteks
inilah UU Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat diperlukan terkait dengan amanah
yang ada dalam pasal 18/b UUD 1945.
Harus diakui dan tidak dapat diragukan lagi bahwa mayoritas penduduk di
Negara Republik Indonesia terdiri dari masyarakat adat, yang tersebar di seluruh penjuru
nusantara. Mereka sudah ada ribuan tahun jauh sebelum Negara RI lahir dan terdiri dari
beraneka ragam suku, sub suku, bahasa, adat istiadat, serta hukum adat, yang berbeda
satu sama lain disetiap komunitasnya. Mereka juga telah mempunyai dan menguasai
wilayah-wilayah adat dengan nama yang berbeda-beda, misal: Mukim di Aceh, Nagari di
Sumatera Barat, Wanua di Katu, Lembang di Toraja, dan lain sebagainya. Untuk
mengatur hubungan timbal balik antar sesama warganya mereka telah mempunyai aturan
berikut sanksi yang harus dipatuhi oleh segenap warganya. Secara struktural, masyarakat
adat ini juga telah memiliki kelembagaan adat yang relatif mapan dan mampu
mengontrol seluruh aspek kehidupan warga di dalam komunitasnya masing-masing,
dengan nama dan gelar yang sangat beragam, misalnya: Mangku, Patih, Rangkai,
20
Patinggi, Demung, Kecik, Sei Batin, Singa, Timanggong, dan lain sebagainya. Dengan
demikian, setiap komunitas masyarakat adat telah “berdaulat” atas wilayah adatnya
masing-masing22.
Dari pendekatan historis dan budaya Von Savigny dan Eugene Ehrlich,
mengelompokkan fenomena hukum seperti itu sebagai Living Law (hukum yang hidup
dalam masyarakat) yang merupakan fenomena dunia23. Sehingga bilamana kajian naskah
akademik ini hanya mengacu pada kerangka teoritik paham positivisme, maka yang
terjadi bukan harmonisasi, tetapi kontradiksi. Sebab, upaya untuk membuat kebijakan
terhadap kajian hukum adat sesungguhnya tidak sejalan dengan karakter hukum adat
yang tidak tertulis (unwritten law) bukankah upaya tersebut diandang sebagai pelecehan
terhadap hukum adat24.
Dalam konstruksi yang demikian itu, pemerintah kolonial, baik Belanda, Inggris
dan Jepang yang pernah memerintah/menjajah negeri-negeri nusantara ini tidak pernah
berani mengusik kedaulatan masyarakat adat di wilayah adatnya masing-masing. Bahkan
pemerintah kolonial juga telah memberi otonomi seluas-luasnya kepada Masyarakat
Adat25. Sehubungan dengan hal ini, Amrah Muslimin mengungkapkan bahwa
sungguhpun Pemerintah Belanda terutama menjalankan dekonsentrasi akan tetapi dalam
daerah kesatuan-kesatuan yang berdasarkan hukum adat, telah berjalan otonomi asli,
yaitu :
1. Daerah-daerah Swapraja, yaitu daerah-daerah yang diperintah oleh raja-raja yang
telah mengakui kedaulatan Pemerintah Belanda atas daerah-daerah mereka, baik
22 H. Nazarius, Bentuk dan Keberadaan Institusi Adat, Makalah disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh ICRAF
dalam rangka Konggres II AMAN II di Lombok, tanggal 21 September 2003. hlm. 1. 23 Kajian Intensif tentang The Living Law Theory dapat dibaca dalam karya Roger Cotterrell, Introduction to Sociology of Law,
Sydney Butterworth, 1973:115 24 Abdurrahman, Kertas Kerja Beberapa Pemikiran tentang Rancangan UU Hukum Adat. Seminar Sehari tentang Relevankah
Hukum Adat Dituangkan dalam UU. Diselenggarakan oleh Bagian Hukum Adat, Magister Kenotariatan FH UGM,
Selasa 19 Desember 2006 25 Ibid.
21
atas dasar kontrak panjang (Kasunanan Solo, Kasultanan Yogyakarta dan Deli),
maupun atas dasar pernyataan pendek (Kasultanan Goa, Bone, dsb);
2. Desa, Marga, Huta, Kuria, Nagari dan sebagainya, yakni suatu kesatuan hukum
adat yang mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan hukum adat26.
Persoalan otonomi komunitas masyarakat adat bukanlah persoalan baru. Kajian
Parsudi Suparlan tentang Orang Sakai pada masa Kerajaan Siak Indrapura dan studi Selo
Soemardjan tentang masyarakat desa di dalam Kesultanan Yogyakarta menunjukkan
bahwa dalam era kesultanan dan kerajaan-kerajaan masa lampau persoalan otonomi
komunitas masyarakat adat ini telah disadari oleh pemerintahan sultan dan raja-raja pada
masa itu. Hal ini tentu berkaitan erat dengan soal keutuhan wilayah dan masyarakat
dalam kesultanan dan kerajaan bersangkutan27.
Menurut ajaran catur praja Van Vollenhoven, otonomi mencakup aktivitas
membentuk perundangan sendiri (zelfwetgeving), melaksanakan sendiri (zelffuitvoering),
melakukan peradilan sendiri (zelfrechtspraak), dan melakukan tugas kepolisian sendiri
(zelf-politie)28. Dalam pemahaman catur praja inilah eksistensi teori otonomi bagi
masyarakat adat dapat dilihat dari nilai-nilai yang terdapat dalam komunitas hidup
mereka. Contohnya nilai yang masih tetap dianut oleh seluruh anggota komunitas Ngata
Toro. Dalam komunitas Ngata Toro dikenal adanya lembaga Dan Hintuvi Ngata di Batak
Sumatera Utara, yaitu kelembagaan tertinggi yang merepresentasikan seluruh kelompok
kepentingan dalam Ngata dan oleh karena itu harus menaungi seluruh Ngata secara adil.
Ukurannya adalah seluruh keputusan Hintuvu Libu Ngata menyangkut hajat hidup
seluruh Ngata harus dilakukan dalam sebuah musyawarah bersama seluruh masyarakat
26 Amrah Muslimin, dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Otonomi Daerah, Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998, hlm. 45. 27 Jopi Peranginangin, Mengukur Kekuatan Untuk Merebut Kedaulatan Masyarakat Adat, dalam
http://www.ymp.or.id/content/view/221/1/. 28 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6.
22
Ngata Toro. Karena itu pula dalam penggambaran oleh masyarakat Toro, Hintuvu Libu
Ngata dilukiskan sebagai atap rumah dan seluruh isi rumah adalah struktur pelaksana
keputusan yang telah diambil oleh Hintuvu Libu Ngata29.
Jika pendapat ini kita letakkan dalam kontek masyarakat adat, maka prinsip
otonomi bagi komunitas masyarakat ini dapat diterangkan. Pertama; membentuk
perundangan sendiri. Komunitas Masyarakat adat ini dalam kenyataannya telah ribuan
tahun mampu membentuk perundangan sendiri (hukum) atau aturan hidup bersama,
walau pada umumnya bersifat tidak tertulis, yakni hukum adat. Ini pula menunjukkan
kecenderungan bahwa norma-norma adat yang dapat dibuat dan disepakati tidak ada
larangan untuk ditulis dan tampaknya sangat tergantung pada kemampuan masyarakat
untuk mengaktualisasikan norma tersebut pada tahap lebih kongkrit.
Terbentuknya hukum adat yang berlaku bagi suatu komunitas masyarakat adat
tentunya melalui proses panjang, yakni dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat adat
dan dilakukan secara terus menerus. Kemudian dalam kondisi tertentu kebiasaan yang
dilakukan berulang-ulang ini meningkat menjadi tradisi, dan pada akhirnya tradisi
tersebut mendapatkan muatan religious magis sehingga mengikat dan jika tidak dipatuhi
akan terkena sanksi adat. Disinilah hukum adat bagi komunitas masyarakat adat
menampakkan eksistensinya. Lebih tegas, ketika tidak ada pembedaan antara dimensi
rasional, sekuler dengan dimensi rasa, rohaniah dan spiritual.30
Kedua; melaksanakan sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, masyarakat adat
melaksanakan seluruh aturan-aturan hidup bersama yang tidak tertulis dan dipatuhi
sebagai sesuatu yang mengikat dalam rangka kehidupan bersama untuk mencapai
ketertiban. Oleh karena kehidupan masyarakat adat itu masih lintas wilayah dan daerah
29 Jopi Peranginangin, Op.Cit. 30 Retno Lukito, Hukum Sekuler dan Hukum Sakral, 2008
23
yang berdekatan maka kepatuhan dan kesadaran masyarakat akan peraturan-peraturan
tersebut sangat tinggi. Proses internalisasi nilai-nilai dan norma dalam ranah waktu,
tempat, dan anggota masyarakat berada dalam satu ikatan yang utuh. Ketiga; melakukan
peradilan sendiri, nampak dari adanya peradilan adat yang pada umumnya
mengejawantah dalam bentuk musyawarah (di Jawa sering disebut rembug desa) di
dalam masyarakat adat jikalau terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum adat, dan
musyawarah ini dipimpin oleh pemuka-pemuka masyarakat adat yang bersangkutan.
Selain di Jawa ada rembug desa, juga adat badamai di Kalimantan Selatan, rungun di
Karo Batak, abadji atau madeceng di Bugis Makasar adalah bentuk-bentuk institusi adat
yang masih berlaku.
Keempat, melakukan tugas kepolisian sendiri. Di dalam pemahaman seperti ini,
arti kepolisian tidak harus disamakan dengan Kepolisian yang dikenal selama ini.
Kepolisian disini mengandung makna sebagai aparat adat yang memiliki tugas menjaga
ketertiban dan keamanan komunitas masyarakat adat, salah satu contoh yang dapat dilihat
sampai saat ini adalah keberadaan Pecalang di Bali atau Jogoboyo di Jawa.
Dari deskripsi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat
memang sejak semula sudah menerapkan teori otonomi. Dan penerapan teori otonom ini
semakin nyata ketika komunitas masyarakat adat mempergunakan hak-hak komunitas
dalam pengelolaan berbagai sumber daya alam seperti hak ulayat. Dengan demikian, jika
otonomi daerah kemudian diterjemahkan dalam pengertian kemandirian, maka bagi
masyarakat adat kemandirian ini telah tertanam dalam kearifan-kearifan lokal yang telah
mereka miliki selama bertahun-tahun.
Kendatipun demikian, Sebuah studi kolaboratif antara Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), ICRAF dan Forest Peoples Programme pada 2002 – 2003
24
menemukan juga beberapa persoalan penting dalam hal hubungan antara masyarakat adat
dan Negara, khususnya dalam hal tanah dan sumber daya alam. Temuan-temuan dalam
studi ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
(a) dalam soal pengakuan oleh Negara terhadap keberadaan masyarakat adat
ditekankan perlunya pengakuan atas wilayah adat;
(b) adanya self-governance bagi komunitas-komunitas masyarakat adat, dalam
konteks perluasan Otonomi Daerah menjadi Otonomi Komunitas khususnya
berkaitan dengan sistem pemerintahan dan peradilan;
(c) Otonomi komunitas ini tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
(d) perlunya perluasan otonomi dalam beberapa sektor seperti pendidikan yang perlu
memberi ruang yang lebih luas bagi penerapan sistem pendidikan lokal dengan
segala muatan kearifan lokalnya31.
Memperhatikan temuan-temuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
konsep teori otonomi dalam prinsip hukum perlindungan hak-hak masyarakat adat, pada
hakikatnya juga dapat merujuk pada pandangan Leopold Pospisil yang mengatakan
bahwa hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai
dengan living law yang sebagai inner order dari masyarakat mencerminkan nilai-nilai
yang hidup di dalamnya32. Eigen Eirlich mengawali tinjauannya tentang “The Living
Law” hukum dari aspek sejarah dan kebudayaan masyarakat masa lalu mematuhi, aturan-
aturan, yang kebiasaan, tradisi dan daya ikat tanpa tertulis tetapi ia hidup dalam
masyarakat.Penegasan ini menunjukkan bahwa pembentuk hukum (termasuk di
dalamnya adalah UU) diwajibkan untuk senantiasa memandang hukum yang hidup di
dalam masyarakat sebagai referensi utama.
Hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, bersumber pada apa yang
dikemukakan oleh Von Savigny filsuf aliran hukum historis dengan sebutan volksgeist
(jiwa bangsa) yang dimanifestasikan dalam nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh
31 Jopi Peranginangin, ibid. 32 Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hlm. 79.
25
masyarakat bangsa itu sendiri. Jika pandangan seperti ini diterapkan dalam konteks
otonomi masyarakat adat di Indonesia, maka volksgeist itu jelas berbeda antara kelompok
masyarakat adat yang satu dengan lainnya. Pencerminan volksgeist ini, nampak jelas
dalam hukum adat sebagai perwujudan kristalisasi nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk
Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pembentukan sistem hukum Indonesia tentu
bersumber dari “roh” otonomi masyarakat adat tersebut. Seiring dengan itu, pandangan
Von Scholten menjadi relevan untuk dijadikan tolok ukur pemikiran hukum di Indonesia.
Sebab, hukum bukan sekedar hasil karya logika manusia semata, tetapi juga ada unsur-
unsur ruhaniyah yang menentukan kepatuhan masyarakat terhadap hukum33.
Dalam Keputusan Konggres Masyarakat Adat No. 2/KMAN/1999 tentang
Deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), antara lain menyatakan :
1. Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi landasan kehidupan
Masyarakat Adat yang utama;
2. Adat Nusantara ini sangat majemuk, karena itu tidak ada tempat bagi kebijakan
negara yang berlaku seragam sifatnya;
3. Jauh sebelum negara berdiri, Masayarakat Adat di Nusantara telah terlebih dahulu
mampu mengembangkan suatu sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan
dan dipahami sendiri. Oleh sebab itu negara harus menghormati kadaulatan
Masyarakat Adat ini.
4. Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari mahluk manusia, oleh sebab itu warga
Masyarakat Adat juga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut
nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk itu seluruh tindakan negara yang keluar dari
kepatutan kemanusiaan universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang
dipahami oleh Masyarakat Adat harus segera diakhiri.
5. Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan, Masyarakat Adat
Nusantara wajib untuk saling bahu membahu demi terwujudnya kehidupan
Masyarakat Adat yang layak dan berdaulat.34
Keputusan Konggres tersebut di atas, menunjukkan bahwa teori otonomi yang
dimaksud dalam konteks kehidupan Masyarakat Adat tidak lain adalah kedaulatan atau
33 Lihat Van Scholten dalam Ilmu Hukum, Karya Terjemahan Arief Sirdharta, Bandung Alumni, 1987. 34 Rosnidar Sembiring, Kedudukan Hukum Adat Dalam Era Reformasi, dalam http://library.usu. ac.id/download/ fh/perdata-
rosnidar.pdf
26
kemandirian dalam mengelola suatu sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan
dipahami sendiri oleh suatu komunitas Masyarakat Adat.
Menurut penelusuran Azmi Siradjudin35, jika ditinjau dari realitas sosial-budaya
yang ada di Indonesia, secara garis besar entitas masyarakat adat dapat dikelompokkan ke
dalam 4 (empat) tipologi; Pertama, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh
berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup
seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan mereka tetap
eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga
kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonal mereka.
Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai seperti komunitas To Kajang (Kajang
Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten.
Kedua, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara
dan menerapkan adat istiadat, tapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya
hubungan “komersil” dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, umpamanya
pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul dan Suku Naga, kedua-duanya berada di Jawa
Barat.
Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai,
gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam
yang unik, tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun
pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama
dan kedua tadi. Komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara lain
Dayak Penan di Kalimantan, Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro
di Papua Barat, Krui di Lampung, dan Haruku di Maluku.
35 Azmi Siradjudin, Op.Cit.
27
Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan
sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang
ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatra Utara. Dalam
konteks ini masyarakat Dayak di dataran pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Barat
merupakan contoh yang relevan tentang tatanan kehidupan masyarakt suku Dayak yang
harmonis antara lain karena mereka mengandalkan pola hidup mereka pada hutan, air dan
sungai. Sehingga pemikiran mereka masih menggunakan pola peladang yang sebagian
masih berpindah-pindah.
Berdasarkan 4 (tipologi) entitas masyarakat adat tersebut di atas, maka substansi
(isi) otonomi bagi masing-masing entitas masyarakat adat tersebut meliputi otonomi
dalam bidang pengelolaan dan pelestarian lingkungannya dengan kearifan lokal,
memelihara dan menerapkan adat istiadat secara ketat, dan pengembangan sistem
pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian, walaupun ditinjau dari tipologi
Masyarakat Adat tersebut dijumpai adanya perbedaan antara satu dengan yang lain,
namun tetap saja dapat ditarik kesimpulan bahwa otonomi masyarakat adat ini tidak lain
adalah kemandirian komunitas masyarakat adat dalam mengatur dan mengurus berbagai
aspek kehidupan sosial kemasyarakatan yang sudah sejak lama melekat dan membeku
yang keberadaannya tidak atas dasar pemberian (toekennen) tetapi sesuatu yang dibiarkan
tumbuh (toelaten) atau diberi pengakuan (erkennen)36.
Sementara itu Masyarakat Adat Indonesia yang tergabung dalam Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memberikan definisi Masyarakat Adat sebagai
komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun yang hidup di wilayah
geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya dan
36 Bandingkan dengan Bagir Manan, Suatu Kaji Ulang Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, Majalah Pro Justitia No. 2
Tahun IX April 1991, hlm. 18.
28
sosial yang khas37. Sedangkan menurut ahli hukum adat Ter Haar, masyarakat hukum
adat merupakan masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah (territorial), keturunan
(geneologis), serta wilayah dan keturunan (territorial-geneologis), sehingga terdapat
keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lain38.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat ditarik pemahaman bahwa
karakteristik otonomi yang berada dalam lingkup Masyarakat Adat tidak lain
menyangkut kesamaan sistem nilai yang di dasarkan pada aspek kewilayahan maupun
keturunan, sehingga mengakibatkan substansi dari otonomi masyarakat adat tersebut
berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Lahirnya UU PHMA, selain beruapaya untuk
memberikan kepatuhan hukum atas perlindungan kelangsungannya juga berupaya untuk
memelihara kebhinekaannya di tingkat lokal.
Akhir-akhir ini kata adat dan masyarakat adat sering dikaitkan dengan isu
konflik sosial baik yang terjadi antar sesama warga (horizontal conflict) atau dengan
pengusaha dan penguasa daerah (vertical conflict). Konflik cenderung semakin
menguat ketika Masyarakat Hukum Adat (MHA) tergusur dari tanah-tanah ulayat,
sebagai hak milik kolektif mereka. Situasi konflik yang derita MHA ini menjadi
menarik oleh karena hukum yang sejajar dengan hukum agama (Islam), sebagai
sumber hukum nasional. Tetapi perlakuan yang disediakan pemerintah pusat tidak
sama sebagaimana cabang hukum agama.
Hukum adat yang sejajar dengan hukum Islam dan hukum warisan Belanda
yang berlaku di Indonesia, terakomodir dalam hukum nasional. Menurut pandangan
Karl Von Verbach, hukum adat merupakan jiwa bangsa atau volkgeist, dan
merupakan bagian dari perkembangan sejarah dan karakter budaya suatu masyarakat.
37 http://www.aphi-net.com/konflik_lisman_v115/pdf/_300masy-FINALE.pdf 38 Ibid.
29
Seminar nasional yang diselenggarakan BPHN dan Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pada tahun 1997, menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum
Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik
Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama39
. Iman Sudiyat,
mendefinisikan keberadaan hukum adat yang bersifat kongkrit tersebut dibuktikan
dengan peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah Raja, adalah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum
(dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht and authority) serta pengaruh yang
dalam pelaksanaanya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi sepenuh hati.40
Namun perkembangan hukum adat tidak seiring dengan nasib cabang hukum
lainnya. Di berbagai tempat, nasib masyarakat adat terbukti telah terpinggirkan
(marginalized). Hal ini bukan karena tidak adanya pengakuan formal dari segi UUD
1945 dan UU Sektoral lainnya, melainkan justru karena tidak adanya pedoman utama
terkait prosedur dan mekanisme penghormatan dan pengakuan MHA secara lebih
operasional di lapangan. Pada saat ini, konflik sosial timbul dimana masyarakat adat
yang memiliki tanah-tanah ulayat telah terampas. Pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, telah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada investor, namun
kebijakan tersebut telah menjadi pemicu timbulnya konflik tersebut.
Investor yang telah memilik izin usaha pertambangan (IUP), terkadang
umumnya akomodatif dengan nilai-nilai masyarakat setempat. Dalam situasi tersebut,
masyarakat adat seringkali tersinggung ketika pembukaan lahan tanpa memberitahu
masyarakat adat, sikap investor kurang perduli dengan nilai-nilai masyarakat adat
atau kearifan lokal, karena investor telah memiliki IUP dan bukti-bukti formal
39 Hilman Hadikusumah, 2003, Pengantar Hukum Adat 40 Sudiyat Iman 2000, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta, Liberty, hlm : 34.
30
lainnya tetapi juga tidak adanya koordinasi antara investor, pemerintah daerah dengan
masyarakat adat di lapangan. Tidak sedikit, tanah-tanah adat yang tumpang tindih
dengan tanah perkebunan dan kehutanan yang berakhir dengan konflik..
Mulai dari kasus Freeport di Papua, kasus konflik tanah di Mesuji termasuk
protes masyarakat di Pelabuhan Sape di Bima Nusa Tenggara Barat sekitar Januari
2012, ada kaitannya dengan penguasaan tanah adat dan lembaga adat. Sebagai suatu
hasil penelitian kepustakaan (library research) tulisan ini memfokuskan pada status
MHA dan model pengakuan serta penghormatannya sebagaimana dilakukan di
Australia dan New Zealand
Untuk menjawab persoalan tersebut, perlu dirumuskan persoalan sebagai
berikut. Apakah keberadaan MHA mendapatkan perlindungan dalam hukum
internasional,HAM, dan UUD 1945 di Indonesia? Kedua, mengapa perlindungan
terhadap MHA dan hak-hak tradisionalnya tidak efektif? Ketiga, bagaimana
pengalaman praktis perlindungan MHA di New Zealand dan Australia dapat
dijadikan model bagi pemerintah Indonesia?
Tulisan ini diasumsikan bahwa MHA tidak pernah akan dapat berfungsi
efektif sebagai subyek hukum pemegang hak dan kewajiban, jika jaminan
konstitusional dan yuridis formal tidak di dukung oleh mekanisme dan prosedur
dilakukan oleh institusi yang berwenang dan legitimit dalam mengeluarkan putusan
tentang status hukum MHA.
2. 2. MHA Dalam Hukum Nasional
Keberadaan MHA sangat bergantung pada pemenuhan unsur-unsur dalam
hukum adat mencakup adanya wilayah adat, penduduk yang memiliki hubungan
31
kekerabatan (geologis), adanya pemimpin, kepala adat, atau aturan tidak tertulis yang
di patuhi, dan tersedia forum penyelesaian sengketa adat.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah hak-hak Masyarakat Hukum Adat adalah (1) kewenangan atas wilayah
masyarakat hukum adat, dan hak milik atas tanah yang berasal dari hak adat
dibuktikan melalui (a) secara tertulis, surat tanah, surat waris, peta, laporan sejarah,
dokumen serah terima, (b) alat pembuktian lisan (pengakuan masyarakat secara lisan
tentang kewenangan atas wilayah adat tertentu/kepala adat, (c) alat pembuktian
secara fisik (kuburan nenek moyang, teras sering bekas usaha tani, bekas perumahan,
kebun buah-buahan, tumbuhan exotic hasil budidaya, peninggalan sejarah dunia,
gerabah dan prasasti.
Sedangkan Kewenangan Kelembagaan Adat dilakukan dengan beberapa
kemungkinan (a) pengakuan masyarakat adat oleh masyarakat adat itu sendiri (b)
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat oleh lembaga yudikatif berdasarkan
berdasarkan keputusan pengadilan (c) pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh
suatu Dewan Masyarakat Adat yang dipilih oleh Masyarakat Adat. (3) Kewenangan
atas pola pengelolaan sumber daya hutan didasarkan pada pengetahuan asli yang ada
dan tumbuh di masyarakat dengan segala norma-norma yang mengatur batasan-
batasan dan sanksi.
Keberadaan MHA tidak luput dari perlindungan hukum yang selalu
berkembang sesuai dengan konstitusi yang hidup (living constitution) dalam
masyarakat. Suatu konstitusi atau hukum dasar yang benar-benar hidup dalam
masyarakat tidak hanya terdiri dari naskah yang tertulis saja, akan tetapi juga meliputi
32
konvensi-konvensi. Undang-undang Dasar 1945 menganut paham ini41
dan selalu
dapat mengikuti perkembangan zaman. Karena UUD tersebut selain dapat dilakukan
perubahan, revisi juga penyempurnaan sebagaimana kedudukan dan fungsi hukum
adat dengan jelas diakui keberadaan dalam Hukum Dasar di Indonesia sebagai hukum
dasar tidak tertulis.
Sadar atau tidak, Indonesia mengakui adanya sistem hukum adat, sistem
hukum Islam dan sistem hukum warisan Belanda, menjadi sumber hukum nasional.
Keanekaragaman hukum (legal pluralism), secara substantif pluralisme hukum secara
umum didefinisikan sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum
bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama.
Keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan
sosial, menjadikan adanya sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial.
Sejak tahun 1998, semangat era reformasi telah berdampak positif terhadap
posisi tawar Masyarakat adat. Karena itu, Konggres Asosiasi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) tidak setuju untuk menyamakan masyarakat Hukum Adat
sebagai masyarakat terasing atau penebang liar. Menurut mereka masyarakat adat
adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)
di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,
budaya, sosial, dan wilayah sendiri (AMAN 1999)42
. Kecenderungan masyarakat adat
sebagaimana tertuang dalam resolusi KMN, lahir sebagai adanya perubahan-
perubahan besar dalam sistem kekuasaan pemerintahan daerah yang desentralistik.
41 Living constitution dalam UUD 1945, dapat dilihat dalam tulisan Amir Siregar, diakses dari
http://amisiregar.multiply.com/journal/item/29/Politik_Hukum 42 Acciaioli Gregory, 2001, Memberdayakan kembali Kesenian Totua, Revitalisasi Adat Masyarakat To Lindu di Sulawesi
Tengah. Antroplogi Indonesia, hlm : 61.
33
Tuntutan gerakan masyarakat adat, status dan kewenangan telah jelas tertuang dalam
Pasal 18 B ayat (2) dan 28 I ayat (3).
Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan secara jelas “Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”.
Dan di pihak lain, untuk kepentingan ke depan, pengakuan dan penghormatan
terhadap otonomi komunitas (desa) dimaksudkan untuk menjawab masa depan
terutama merespon proses globalisasi, yang ditandai oleh proses liberalisasi
(informasi, ekonomi, teknologi, budaya, dan lain-lain) dan munculnya pemain-
pemain ekonomi dalam skala global.
Definisi Pasal 18 B ayat (2) secara lebih lengkap dikemukakan bahwa
masyarakat hukum adat adalah (1) sekumpulan warga memiliki kesamaan leluhur
(geneologis), (2) tinggal di suatu tempat (geografis), (3) memiliki kesamaan tujuan
hidup untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai dan norma-norma, (4)
diberlakukan sistem hukum adat yang dipatuhi dan mengikat (5) dimpimpin oleh
kepala-kepala adat (6) tersedianya tempat dimana administrasi kekuasaan dapat
dikoordinasikan (7) tersedia lembaga-lembaga penyelesaian sengketa baik antara
masyarakat hukum adat sesama suku maupun sesama suku berbeda
kewarganegaraan.43
Adapun Pasal 28 I ayat (3) menegaskan bahwa Identitas budaya
dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
43 Jawahir Thontowi, Hukum Adat sebagai Living Law dalam Masyarakat Indonesia, Makalah disampaikan dalam Seminar
Sehari, Bagian Hukum Adat dan Program Notariat FH UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2006.
34
Lebih dari sepuluh (10) UU nasional bersifat sektoral telah memberikan
jaminan akan pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya,
termasuk di dalamnya hak ulayat tanah, hak ulayat air, hak ulayat hutan, hak ulayat
atas temat mengembala, dan hak-hak tradisional lainnya. Adapun UU tersebut adalah
(1). UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, (2). UU
No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, (3). UU No 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (4). UU No 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, (5). UU No 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, (6). UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan (7). UU
No 24 Tahun 2003 tentang MK, (8). UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, (9). UU No 14 Tahun 1985 tentang MA RI, dan (10). UU No 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hampir kesemua UU Sektoral memberikan
perlindungan bersifat “copy paste” dari Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Tampak
berbeda, jaminan tersebut adalah yang termaktub dalam Pasal 63 ayat (1), UU No.32.
tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup. “Pemerintah bertugas dan
berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan diikuti Pasal 63 ayat
(2), untuk tingkat proinsi, ayat (3) untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota44
.
2. 3. Kelemahan MHA di Tingkat Nasional
Sepanjang perundang-undangan yang mengatur tentang masyarakat hukum
adat belum ada ataupun belum jelas diatur dalam UU, maka perlu disiapkan peraturan
44 Purba Bantu. 2011:3, Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat Suku Sakai, Desertasi
Doktor Pasca Sarjana, FH UII.
35
daerah yang dapat menyelesaikan permasalahan hak-hak Masyarakat Adat di
wilayahnya secara sementara. Adapun peraturan daerah yang harus dipersiapkan
bersifat pengakuan, pembenaran atau penerimaan sehingga peran yang selama ini
dijalankan oleh Departemen Kehutanan harus dikosongkan dari wilayah masyarakat
adat. Begitu pula peraturan provinsi dan kabupaten tersebut harus dapat memberikan
hak pemajuan kepada msayarakat adat sehingga masyarakat tidak ”dikonservasikan”
tetapi tetap diterima sebagai masyarakat adat yang mempunyai hak untuk
menentukan arah pemajuan hidupnya secara dinamis.
Asep Yunan Firdaus, justru pesimis untuk melihat keberadayaan masyarakat
hukum adat. Disatu pihak, dia mengakui bahwa pemerintah telah mengeluarkan
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan masyarakat
hukum adat dan hutan adat, tapi tidak merumuskan syarat dan tata cara yang singkat
dan sederhana untuk keperluan pengakuan keberadaan hak masyarakat lokal. UU
tersebut hanyalah mempertahankan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Apabila diminta untuk mengakui keberdaan hutan adat, Departemen Kehutanan
selalu berdalih bahwa proses harus didahului oleh pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat oleh Pemda. Melihat model pengaturan dalam perundang-undangan
dalam dampak-dampak penerapan peraturan pada sektor kehutanan, nampak jelas
bahwa sebenarnya keberadaan masyarakat (hukum) adat serta hak ulayat yang
dimiliknya sudah dikebiri45
.
Pelemahan status dan fungsi MHA tersebut tidak lepas dari persyaratan yang
diamanahkan oleh Pasal 18 B (1) UUD 1945, bahwa pengakuan dan penghormatan
terhadap MHA dapat dilakukan jika masih berlaku, tidak bertentangan dengan nilai-
45 Firdaus Asep Yunan. ’Hak-Hak Masyarakat Adat’ (Indegeneous People’s Rights) 2007
36
nilai NKRI. Hingga kini, upaya pemerintah pusat untuk mengatur perlindungan MHA
melalui UU tidak pernah ada. Sekiranya UU sektoral memberikan jaminan, itupun
sebatas peraturan hukum dalam teks semata. Rikardo Simarmata justru melihat
berbagai faktor penghambat pengimplementasian dari adanya pengakuan
perlindungan hak-hak dasar masyarakat adat. (1), menonjolnya simbolisasi terutama
dalam kancah politik, lembaga adat, upacara, pakaian, dan gelar adat mendominasi
simbol masyarakat adat. (2) penyelesaian konflik atas tuntutan pengembalian tanah-
tanah adat, tidak bisa dilakukan karena kelompok yang menuntut belum dapat
ditetapkan sebagai masyarakat hukum adat, (3). Pemda tidak melakukan pengukuhan
tanah ulayat dan masyarakat hukum adat karena tidak mengalokasikan anggaran
tersendiri. Peniadaan anggaran ini memang disengaja karena takut resiko dikritik,
dipersoalkan bahkan digugat oleh kelompok masyarakat, (4) bagi sebagian
pemerintah, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dikonotasikan sebagai
gerakan pemisahan diri46
.
Namun, sayang kesemua UU tersebut belum secara operasional memberikan
jaminan bagi kelangsungan dan pelestarian MHA di berbagai daerah. Menurut Greg
Acciaioli pengaturan dan penghormatan MHA dalam berbagai UU tidak pernah
terealisasi secara konkret. Selain tidak ada peraturan pelaksana seperti peraturan
pemerintah, juga pedoman dan mekanisme pengakuan MHA tidak pernah dibuat.
Kecenderungan tersebut membiarkan MHA tanpa prosedur dan mekanisme yang jelas
adalah upaya membiarkan MHA tidak memiliki kedaulatan yang semestinya.47
46 Ricardo Simarmata. Perlindungan Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat Dalam Per-UU Nasional: Catatan Kritis. Dosen
Pengajar HAM di Indonesia. PUSHAM UII, kerjasama dengan Norsk Senter for Menneskerettigehetr Norwegian Centre for Human Rights. Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007
47 Acciaioli Gregory L. Loc.Cit, hlm : 61.
37
Nasib masyarakat hukum adat sampai saat ini belum mengalami perubahan
signifikan. Pertama, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat
sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945 belum
dapat diimplementasikan, dan karena itu MHA belum memperoleh manfaat nyata.
Kedudukan MHA subyek hukum (legal standing) bukan saja tidak memiliki
kewenangan untuk menguasai sesuatu hak milik, tetapi juga mereka tidak dapat
berperkara di pengadilan. Padahal, UU No 24 tahun 2002 tentang Mahkamah
Konstitusi memberikan peluang pada MHA untuk dapat berperkara di Mahkamah
Konstitusi RI. Dalam beberapa kasus, MHA mengajukan pengujian materiel (judicial
review) UU terhadap UUD 1945 pada MK RI. Namun tidak satupun ada yang
diterima usulan uji materiel mereka). Bukan saja unsur-unsur hukum adat antara yang
satu dengan yang lain tidak mudah dipersatukan, juga belum ditemukan metode
penentuan MHA apakah secara komulatif seluruh syarat wajib dipenuhi atau wajib
alternatif, hanya sebagian syarat yang terpenuhi.
Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI mengatakan bahwa sukarnya
menentukan MHA sebagai legal standing karena tidak adanya satu kesatuan
pemahaman karena sifat hukum adat, disebabkan tiap daerah berbeda-beda. Jika
dalam suatu kasus, misalnya, unsur-unsur MHA dipandang telah memliki syarat yang
ditentukan, belum tentu syarat-syarat yang telah dibuat tersebut memiliki kecocokan
dengan kasus yang ada di tempat lain. Sampai saat ini, menentukan syarat-syarat
MHA, sebagai subyek hukum masih mengalami kesulitan.
Peluang lahirnya 109 Perda-Perda Adat di berbagai daerah di Indonesia
memang terkesan menggembirakan mengingat semangat otonomi daerah tidak
sekedar berkaitan dengan peningkatan peran pemerintahan daerah dalam aspek politik
38
dan ekonomi atau keuangan daerah. Tetapi juga berimbas pada lahirnya Peraturan-
Peraturan Daerah, baik secara umum maupun secara khusus yang berbasis hukum
adat. Dalam beberapa kasus Perda Adat tentang Kedudukan Masyarakat Baduy di
Kecamatan Cikeusik, kabupaten Pandeglang Provinsi Banten, dan Perda tentang
Tanah Toa, di Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan juga terlindungi secara efektif.
(Terdapat Perda-Perda Adat yang dapat berlaku efektif di berbagai daerah masing-
masing, namun kondisi demikian ini hanya berlaku terbatas pada wilayah-wilayah
yang luas tanah dan jumlah pendudukanya tidak begiktu banyak.
Namun, Perda-Perda Adat yang tumbuh berkembang di sekitar 27 Provinsi
bukan sekedar tidak dapat berfungsi efektif memberikan kepuasan bagi upaya
mensejahterakan masyarakat daerah, tetapi justru Perda-Perda Adat kontra-produktif.
Tidak sedikit dari sebagian masyarakat adat menolak penggunaan tanah-tanah yang
telah diberikan izin Kuasa Pertambangan (KP) dari Menteri Kehutanan. Konflik
antara masyarakat adat dengan pemerintah daerah di Provinsi Lampung, akibat para
investor yang telah memiliki KP tidak dapat menggunakan karena mendapatkan
hadangan dari sebagian oknum masyarakat. Dalam suatu diskusi di bulan Ramadhan
6 Jumat, Agustus 2011 di Universitas Negeri Lampung, Bandar Lampung, Bapak
Gubernur menyampaikan persoalan pelik agar para akademisi dapat membantu
memecahkan persoalan atas klaim beberapa kepala adat yang menghambat
penggunaan dan pemanfaatan lahan untuk kepentingan usaha pertambangan batubara
dan lainnya.
Adapun beberapa faktor yang menghambat aktualisasi MHA antara lain
sebagai berikut. Pertama, Aktualisasi bukan sekedar membangkitkan sesuatu nilai
atau norma adat yang sudah usang dan kuno, tapi lebih pada upaya untuk
39
mengembalikan menyegarkan kembali peran dan fungsi masyarakat hukum adat ke
dalam jati dirinya, dengan mencegah kepunahan nilai-nilai adat melalui upaya
formalisasi nilai-nilai dan norma-norma adat ke dalam peraturan hukum tertulis
sebatas persoalan pengakuan dan penghormatan.48
Kedua, reaktualisasi dalam bentuk pengakuan diberikan oleh pemerintah
pusat secara konkrit. Dengan konsistensi dan komitmen untuk menindak lanjuti teks
yuridis ke dalam upaya mengakomodir adanya mutual simbiosis antara kepentingan
atau manfaat negara terhadap masyarakat hukum adat, sebagai basis lahirnya negara-
bangsa Indonesia. Sedangkan bentuk penghormatan terhadap masyarakat hukum adat
wajib dianugrahkan sebagaimana jaminan negara untuk tidak memperlakukan
masyarakat hukum adat diskriminatif, melainkan patuh pada asas equality before the
law, meskipun masyarakat hukum adat tergolong minoritas.
Untuk memberdayakan MHA, tidak lain harus dilakukan identifikasi
terhadap berbagai faktor filosofis, sosiologis, historis, politis, dan juga yuridis yang
dapat menetapkan MHA sebagai subyek hukum (legal standing) yang dapat
menguasai dan melakukan tindakan hukum di pengadilan dan beracara di MK RI.
Upaya untuk mereaktulisasikan MHA telah mendapatkan dukungan dari masyarakat
internasional melalui kebijakan meratifikasi Konvensi internasional ke dalam sistem
hukum nasionalnya dari tingkat Hukum Dasar. Sehingga negara melalui UU
diwajibkan mengakomodir perlindungan hak-hak masyarakat adat. Sebagaimana
halnya, tanah Hak Ulayat Nagari di Minangkabau49
, dan sejenisnya di tempat lain.
48 Acciaioli Gregory Minako Sakai, Regional Responses To Resrgence of Adat Movements in Indonesia. In Beyond Jakarta:
Regional Autonomy and Local Societies in Indonesia. Minako Sakai (ed), Crawford House Publishing. Adelaide. 2002
49 Akmal, 2007, Eksistensi, Hak dan Dasar Hukum Masyarakat Hukum Adat Provinsi Sumatra Barat., dalam Mengurai
Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi-Perspektif). Kata Pengantar Artidjo Alkostar, Yogyakarta, Penerbit
Pusham UII, hlm: 446.
40
Namun, dorongan tersebut belum cukup memadai untuk mengaktualisasikan MHA
jika prosedur dan mekanisme pengakuan dan penghormatan tidak legitimit.
Pertumbuhan Perda-Perda Adat kontroversial sebagai terobosan hukumdan
sejenisnya tidak dapat dicegah. Adanya kekosongan peraturan perundang-undangan
di tingkat pusat, berakibat pengakuan dan penghormatan terhadap MHA dalam
tingkat implementasi sangat lemah. Sehingga mendorong hadirnya nilai-nilai
demokrasi (partisipasi membuat perda adat) di tingkat daerah. Namun, karena
kurangnya koordinasi dan sinkronisasi, perda-perda yang lahir menimbulkan masalah
baru. Perda-Perda Bermasalah, baik karena kaburnya muatan materinya Perda atau
karena persoalan prosedur dan mekanisme yang tidak dipatuhi secara tepat dan
benar50
.
Keberadaan masyarakat hukum adat ini dapat dinilai sangat strategis. Untuk
meningkatkan pemberdayaannya, perlu kiranya diadakan inventarisasi secara
nasional. Meskipun UU Pemerintah daerah telah mengakui penentuan masyarakat
hukum adat tidak terlalu tepat memberikan kewenangan itu kepada pemerintah
daerah tanpa pedoman substantif yang dapat dijadikan pegangan menyeluruh. Jika
mati hidup suatu masyarakat hukum adat sepenuhnya diserahkan kepada regulasi
setingkat kabupaten dan kota tanpa rambu-rambu yang jelas, tentulah cukup besar
resikonya. Tanpa adanya pedoman substantif yang menyeluruh dapat terjadi
diskriminasi terhadap masyarakat adat hanya karena pembedaan penafsrian yang
dilakukan pemda51
.
50 Zuhroh Siti dan Eko Prasojo, 2010, Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusinya . Ombak, Jogyakarta dan
The Habibie Center. 51 Asshiddiqie Jimly, Op.Cit, hlm : 821.
41
BAB III
PROSEDUR DAN MEKANISME FORMALISASI PERDA ADAT
Dalam bab ini akan dikemukakan tentang prosedur mekanisme formalisasi
peraturan daerah berdasarkan hukum adat. Adapun maksud dan tujuan dari bab ini
adalah memberikan jawaban atas perumusan masalah ketiga, yaitu bagaimana
formalisasi hukum adat menjadi suatu peraturan daerah yang memiliki status
sederajat dengan sistem hukum nasional, hukum Islam dan hukum warisan Belanda.
Dari 109 Perda Adat tersebut, maka pembahasannya dikelompokan menjadi
(1) Hak inisiatif perda adat; (2) Jenis-jenis perda adat; (3) Perda adat tanah ulayat dan
hak-hak adat; (4) Perda lembaga adat; (5) Perda pemberdayaan adat, dan (7) Perda
adat penanganan sengketa.
3. 1. Prosedur, Mekanisme dan Pengesahan Perda Adat
Sejak era reformasi bergulir pada tahun 1998, banyak peraturan perundang-
undangan yang lahir untuk mengakui keberadaan dan hak-hak Masyarakat Hukum
Adat (MHA) dan pengaturan terhadap hak-hak tradisional adat. Pengaturan dan
pengakuan terhadap hukum adat tersebut, tertuang dalam UU Kehutanan, UU
Pertambangan, UU SDA dan UU Perkebunan. Namun, prosedur dan mekanisme
pengakuan sehingga masyarakat adat dapat berfungsi dan memainkan peranan atas
hak-hak tradisionalnya, tampaknya belum ada. Sebagaimana halnya UU tentang
Perlindungan Masyarakat Adat barulah sekedar wacana. Namun, diberbagai daerah
terbukti telah berkembang pengaturan tentang Peraturan daerah tentang adat.
42
Sejak tahun 1999 sampai dengan 2011, terdapat sekitar 109 perda adat.
Keterlibatan penuh dari masyarakat dari saat proses perumusan/perancangan hingga
tahap pengesahan dan implementasi suatu peraturan daerah terkait pengakuan hukum
atas hak-hak tradisional masyarakat adat menjadi sangat menarik. Dalam
pembentukan perda adat, komunitas MHA diberi kesempatan dan terlibat langsung
serta memberikan pengawasan, tidak sekedar dalam bentuk sosialisasi maupun public
hearing, tetapi juga secara aktif dilibatkan dalam menentukan muatan materinya.
Untuk sampai pada tujuan pembuatan perda adat, dibutuhkan kebersamaan dan
kekuatan masyarakat yang kuat nan solid untuk senantiasa mengawal kebijakan-
kebijakan. termasuk implementasi pengakuan hukum hak-hak MHA yang
dimaksudkan sebagai upaya meredam dinamika negatif persekutuan antara Negara
dengan Pengusaha.
Pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat,
tidak dapat dilepaskan dari pengaturan hukumnya. Polemik mengenai keberadaan
MHA ditenggarai bersumber karena tidak adanya produk hukum atau peraturan
perundangan yang mengatur mengenai keberadaan MHA tersebut. Produk hukum
perundang-undangan yang mengatur mengenai adat ini, hanya tampak sebagai
minoritas dari sistem hukum yang tamak dan tidak berpihak kepada MHA. Atau
dalam kata lain, keberadaan masyarakat adat sebagai masyarakat asli suatu daerah
menjadi terpinggirkan dan semakin tergerus keberadaannya.
Pengaturan tentang MHA telah tertuang dalam Pasal 18B ayat (2), pengakuan
bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya dan juga dalam BAB XA tentang Hak Azasi Manusia
pada pasal 28I ayat (3) tentang pengakuan identitas budaya dan hak masyarakat
43
tradisional. Pasal-pasal tersebut tampak adanya pengakuan atas keberadaan
Masyarakat Adat dan tatanan adatnya dan memberikan peluang bahwa sangat
dimungkinkan pengaturannya melalui undang-undang. Namun, dalam tingkat
implementasinya belum tampak adanya kemauan politik dari Pemerintah Pusat untuk
memperjuangkan eksistensinya, MHA memerlukan perangkat hukum atau produk
perundangan untuk menjadi bukti nyata pengakuan hak-hak tradisionalnya. Sebagai
pengesahannya, perwujudan dari pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan
MHA di Indonesia, dibentuklah Peraturan Daerah Adat, yang secara khusus mengatur
mengenai kebiasaan, tradisi, hak-hak adat, serta kebudayaan adat secara lokal dari
setiap MHA di Indonesia.
Di tingkat lapangan, proses pembuatan Peraturan Daerah Adat tersebut,
hampir kebanyakan menemukan kendala. Ketidakpedulian wakil rakyat untuk
menyuarakan hak dan kepentingan masyarakat adat adalah seperti dalam proses
pembuatan Peraturan Daerah tentang Hak Ulayat Kabupaten Sintang. DPRD
setempat berargumentasi bahwa ketiadaan dana menjadi alasan, sebagaimana halnya
keraguan akan kepastian hukum setelah adanya perda. Hak-hak masyarakat atas tanah
yang didasarkan atas hak ulayat belum ada jaminan kepastian hukum dan jaminan
keadilan. Hal ini menjadi berbahaya, mengingat Perda tersebut adalah kebutuhan
kekinian52
.
Diakui bahwa perkembangan masyarakat desa hutan dewasa ini sebagai
dampak interaksi sosial, ekonomi dan budaya dengan berbagai pihak; juga berakibat
pada perubahan tata nilai dan perilaku, dimana sebagian diantaranya dirasa tidak lagi
mencerminkan tata nilai dan perilaku masyarakat hukum adat. Akibat perubahan
52 Victor Emanuel. Akademisi : Pemerintah Tidak Serius Garap Perda Ulayat, diakses dari http://www.kalimantan-
news.com/berita.php?idb=11149
44
status masyarakat adat juga dapat menimbulkan berbagai persoalan yang bermuara
pada terjadinya konflik-konflik sosial, baik konflik horisontal maupun konflik
vertikal. Karena itu, Forum diskusi sepakat untuk mendesak pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar segera mengeluarkan peraturan
pelaksana yang mengatur tentang kepastian dan kejelasan keberadaan masyarakat
hukum adat beserta hak ulayatnya. Misalnya, kepastian status dan fungsi suatu
kawasan hutan serta peran dan kedudukan setiap stakeholder dalam kegiatan
pengelolaan hutan perlu diatur secara tegas.
Terdapat beberapa contoh proses pembentukan Perda Adat dengan hak
inisiatif DPRD yang antara lain :
a) Inisiatif pengajuan perda oleh Kesatuan Adat Banten Kidul dibantu Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sukabumi mengenai Konflik
Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak (TNGHS) dan masyarakat adat di
Kabupaten Sukabumi53
. Dalam kasus ini, organisasi MHA di Banten Kidul
telah memainkan peranan dalam menginisiasi Perda Adat. Tentu saja, peran
DPRD dan Pemerintah tidak dapat diabaikan.
b) 10 Rancangan Peraturan Adat (Perdat) Kabupaten Kampar, diusulkan oleh
Lembaga Adat Kabupaten Kampar. Rancangan Perda Adat tersebut, (1)
Ranperda tentang musik acara pesta pernikahan, (2) tempat makan acara
pernikahan, (3) wajib berpakaian muslim dalam acara pesta pernikahan, (4)
harus pulang mamak bagi orang luar yang akan menikah, (5) wajib berjilbab
dan haram bercelana ketat bagi kaum perempuan, (6) minuman keras, (7) wirid
persukuan disetiap kenegeraian, (8) surat hak ulayat sebelum terbit SKT desa,
53 Warga Adat Terus Perjuangkan Hak Ulayat, diakses dari
http://www.dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenuKiri=&idBerita=1286
45
(9) bangunan Pemda atau swasta harus melambangkan ciri khas adat Kampar,
serta (10) memfungsikan kembali hukum adat dan denda adat di masyarakat54
.
Dari sepuluh Perda Adat di Kabupaten Kampar, peran lembaga adat tidak saja
terbatas pada kepentingan MHA dan budaya lokal seperti kesenian, tetapi juga
tampak jelas terkait dengan upaya mengartikulasikan kebutuhan perlindungan
terhadap hukum Islam. Menariknya, baik DPRD maupun Bupati tidak menolak,
justru memberikan persetujuan atas lahirnya Perda-perda adat tersebut.
c) Di Kutai Barat, inisiasi pembuatan Perda No. 18 Tahun 2002 Tentang
Kehutanan Kabupaten Kutai Barat datang dari masyarakat bersama pemda.
Pemda dalam hal ini betul-betul melibatkan publik dengan membentuk tim
penyusun yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pembangunan Kehutanan
Daerah (KK-PKD) yang terdiri atas anggota perwakilan dinas-dinas pemda,
ornop, akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh adat.55
Sedangkan dalam proses
pembentukan atas lahirnya Perda adat di Kabupaten Kutai Barat, berpangku
pada empat pilar. Selain peran masyarakat adat, akademisi dan Ornop, juga
DPR dan jajaran aparat Pemerintah daerah.
Mengacu pada kenyataan penyusunan Raperda yang dilakukan selama ini,
keterlibatan publik atau masyarakat jelas merupakan suatu keharusan, meski bukan
merupakan kewajiban hukum. Jika pun ada pelibatan publik, hal tersebut cenderung
hasil dari pendekatan dan terkadang ‘tekanan’ dari publik – baik itu ornop maupun
masyarakat yang berkepentingan langsung terhadap peraturan tersebut. Namun
demikian, dalam pelibatan publik ini masih belum ada jaminan apa yang menjadi
aspirasi masyarakat akan tertulis dalam produk final Perda dapat diimplementasikan.
54 Lembaga Adat Rancang 10 Perda, diakses dari http://pekanbaru.tribunnews.com/2010/11/02/lembaga-adat-rancang-10-perda 55 Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek. Manual PHR oleh Q-Bar, LBBT, RMI, PPSHK Kalbar,
Komite HAM Kaltim, LP2S, YBJ Bantaya, ptPPMA, HuMa. Dikutip dari http://www.huma.or.id
46
Penyusunan peraturan daerah yang lebih menekankan pada proses teknisnya, dan
bukan pada substansi sehingga kepentingan yang dibawa oleh Perda tersebut belum
tentu bermanfaat. Pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan malah tidak diikutkan
sebagai indikator timbulnya pertentangan. Hal ini pada akhirnya tidak jarang
melahirkan konflik yang berkepanjangan dan berakibat menjadi penghambat dalam
pengimplementasiannya.
Ketidakpaduan pandangan terkait dengan rancangan Perda adat antara
lembaga adat dan pihak terkait lainnya, timbul bukan saja disebabkan karena
ketidakpahaman masyarakat (meskipun partisipasi masyarakat telah diatur dalam UU
No 10 Tahun 2009). Tetapi juga disebabkan oleh kemampuan yang minim dan
elitisme pembuat peraturan di tingkat daerah turut menyumbang sempitnya ruang
partisipasi bagi publik. Penyelenggaraan dengan birokrasi model lama masih
mendominasi, sehingga proses penyusunan peraturan yang seharusnya dimungkinkan
melibatkan publik lebih terbuka, tetapi justru tidak terjadi. Karena itu, tidak jarang
jika isi raperda tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Konsekuensi dari lemahnya pemahaman masyarakat adat dan pemerintah
daerah dalam memahami UU No 10 tahun 2009, berakibat dalam setiap pembuatan
perda tidak memiliki Naskah Akademik, perumusan teknis ke dalam Pasal, serta
prosedur uji publik dan proses pengesahannya tidak mengikuti prosedur yang
seharusnya. Dengan demikian, hak inisiatif pembuatan Perda Adat pada dasarnya
bervariasi. Akan tetapi peran MHA atau lembaga-lembaga adat tampak dominan.
Keberhasilan pembentukan perda tidak luput selain dari DPRD, Bupati, juga
organisasi LSM. Hadirnya dukungan tersebut juga ditentukan oleh motif-motif terkait
kepentingan (hutan, ajaran agama, dan lainnya).
47
3. 2. Jenis Perda-perda Adat
Dari 109 Perda berkaitan dengan pengaturan adat, (1) Peraturan Daerah Adat
yang dibuat Pemerintah tingkat Provinsi sebanyak 20 Perda (18.34%); (2) Perda Adat
oleh Pemerintah tingkat Kabupaten sebanyak 85 Perda (77.98%); dan 4 Perda
(3.66%) dibuat oleh Pemerintah tingkat Kota.
Tabel 1. Pembuatan Perda Adat Provinsi, Kabupaten dan Kota.
No Regio Pemerintahan Perda Jumlah Perda Persentase
1 Provinsi 20 18.34%
2 Kabupaten 85 77.98%
3 Kota 4 3.66%
Total 109
Adapun Pemerintah daerah provinsi sebagai penyumbang Perda adat
terbanyak (1) Sumatera Barat sebanyak 19 Perda (17.59%); (2) Provinsi Kalimantan
Tengah dengan jumlah 9 Perda (8.33%); (3) Provinsi Lampung dengan jumlah 8
Perda (7.41%); (4) Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Sulawesi Selatan dengan
jumlah masing-masing 7 Perda Adat (6.48%); (5) Provinsi Jambi, Provinsi Maluku
dan Provinsi Papua dengan jumlah masing-masing 6 Perda Adat (5.56%), Provinsi
Sumatera Selatan dengan menerbitkan 5 Perda Adat (4.63%); dan (6) Provinsi NAD
dan Kepulauan Bangka Belitung dengan 4 Perda Adat (3.70%). Provinsi Jawa Barat
dan Nusa Tenggara Timur dengan 3 Perda Adat (2.78%). Provinsi Riau, Bengkulu,
Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan
Provinsi Maluku Utara dengan diterbitkannya masing-masing sebanyak 2 Perda Adat
(1.85%). (7) Sedang Provinsi yang paling minim memberlakukan Perda Adat adalah
48
Provinsi Jawa Timur, Banten, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Barat, dan Provinsi Papua Barat dengan besaran pemberlakuan Perda Adat masing-
masing 1 Perda (0.93%).
Tabel 2. Perda Adat berdasarkan Regio Provinsi diundangkan.
Interval Regional Perda Jumlah Perda Persentase
I Sumatera Barat 19 17.59%
II
Kalimantan Tengah
Lampung
9
8
8.33%
7.41%
III
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Jambi
Maluku
Papua
7
7
6
6
6
6.48%
6.48%
5.56%
5.56%
5.56%
IV
Sumatera Selatan
NAD
Kep. Bangka Belitung
Jawa Barat
Nusa Tenggara Timur
5
4
4
3
3
4.63%
3.70%
3.70%
2.78%
2.78%
V
Riau
Bengkulu
Jawa Tengah
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Barat
2
2
2
2
2
1.85%
1.85%
1.85%
1.85%
1.85%
49
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
Jawa Timur
Banten
Bali
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat
Papua Barat
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1.85%
1.85%
0.93%
0.93%
0.93%
0.93%
0.93%
0.93%
0.93%
VI Sumatera Utara
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
D. I. Yogyakarta
Sulawesi Utara
Gorontalo
0
0
0
0
0
0
0%
0%
0%
0%
0%
0%
TOTAL 109 Perda
Hasil Penelitian Februari 2012
Berdasarkan pada 6 (enam) interval kelompok Provinsi yang mengeluarkan
Perda adat, telah mengindikasikan pada lahirnya karakter masyarakat yang masih
memiliki komitmen tinggi dan bahkan terendah terhadap kesadaran hukum adat.
Pertama, Provinsi Sumatera Barat tergolong daerah yang memiliki kesadaran
hukum adat tertinggi menunjukan bahwa pemahaman masyarakat terhadap kaidah
adat Basandi Sara dan Syara bersandi Kitabullah masih tetap relevan. Tentu saja
meskipun penelitian ini belum sampai pada melihat terjadinya perubahan, atau
pengaruh budaya modern. Keterlibatan masyarakat, pemerintah daerah, DPRD dalam
50
pembuatan perda adat merupakan bukti pengejawantahan dari kesadaran adat
tersebut.
Fakta bahwa hilangnya peran Nagari, tergesernya kepemilikan hak tanah
ulayat, dan lainnya menunjukan hubungan korelasi dengan kemungkinan Masyarakat
Minangkabau untuk mengembalikan peran adat dalam konteks masyarakat dan
pemerintahan modern. Tuntutan agar aparat Nagari menjadi Pegawai Negeri Sipil
membuktikan kecenderungan MHA di Sumatera Barat untuk di modernisasikan.
Kedua, kelompok interval kedua provinsi yang banyak mengeluarkan Perda
Adat yaitu Kalimantan Tengah dan Lampung. Di kedua provinsi ini, perda ada yang
disahkan bukan saja timbul merupakan hasil dari kesadaran masyarakat adat,
pemerintah daerah, Gubernur dan DPRD, tetapi juga masyarakat dan kelompok LSM
lainnya. Muatan materi yang terkait dengan obyek hukum adat, lembaga adat dan
kewenangannya, juga terkait dengan pengelolaan hutan (hutan adat), tanah ulayat
atau tanah tembawang, juga dengan tradisi seni budaya merupakan ciri-ciri utama
yang berfungsi mencegah terjadinya pemusnahan atas obyek-obyek adat yang
cenderung tergeser oleh proses modernisasi. Krisis penebangan hutan di Kalimantan
Tengah dan di Lampung akibat tanah-tanah digunakan kelapa sawit merupakan fakta
yang dapat menggusur hilangnya hak-hak adat atas tanah.
Ketiga, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Jambi, Papua dan Maluku
tergolong daerah-daerah yang memiliki komitmen menengah (moderate) terhadap
hukum adat. Komitmen tersebut ditandai oleh adanya kesepahaman masyarakat,
pemerintah daerah dan LSM terhadap hukum adat, juga karena mereka merasa bahwa
sebagian nilai-nilai adat masih perlu dipertahankan dalam upaya mencegah
modernisasi dan demobilisasi. Tentu saja selain obyek yang dilindungi oleh Perda
51
Adat terkait dengan nilai-nilai budaya lokal, tanah dan hutan, juga masalah moralitas
menjadi kepedulian masyarakat di Sulawesi dengan tradisi Siri’nya (budaya malu),
peran perda adat dapat melindungi terlestarikannya nilai-nilai adat. Sebagaimana
halnya di Jambi dan Kalimantan Timur, hak ulayat tanah dan hutan menjadi ciri dari
perda adat.
Keempat dan kelima, tergolong daerah-daerah yang menempatkan perda adat
tetap penting untuk diadakan dalam upaya mencegah timbulnya pengikisan adat,
tradisi dan budaya lokal, yang obyek-obyeknya tersebut berkesesuaian dengan
kategori pertama, kedua dan ketiga. Namun, moderniasasi yang terjadi di daerah-
daerah tersebut tampaknya telah menjadi faktor penting dalam memudahkan
masyarakat terhadap nilai-nilai adat. Tiadanya klaim tanah adat, hukum adat,
termasuk lembaga-lembaga adat adalah memberikan pembenaran teoritis, akan
pentingnya perangkat nilai modern dipergunakan dalam kehidupan masyarakat.
Misalnya, masyarakat Bali, Jawa Timur dan Banten tergolong provinsi yang
mengesahkan Perda-perda adat. Hal ini sama dengan Sulawesi Tengah, Papua Barat,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Namun, dapat dipahami mengapa keempat
provinsi ini rendah komitmennya terhadap persoalan hukum adat, mengingat sistem
pemerintahan belum berlangsung lama, sehingga tidak dapat dipandang nilai-nilai
modern di keempat provinsi tersebut telah menggeser nilai-nilai adat atau boleh jadi
nilai-nilai adat masih terasa kuat peranannya, sehingga pengaruh nilai modern belum
dirasakan dampaknya terhadap masyarakat adat dan hukum adat lainnya.
Pada interval terakhir, dimana tidak ada pembentukan Perda adat yaitu
Provinsi Sumatera Utara, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, D.I.Yogyakarta, Sulawesi
Utara, dan Gorontalo. Kekosongan terkait persoalan hukum adat tidak berarti
52
Provinsi-provinsi tersebut mengacuhkan keberadaan masyarakat adatnya. Sebagai
contoh, di Provinsi D.I.Yogyakarta kebaradaan masyarakat hukum adat ada dan
masih hidup didalam kehidupan bermasyarakat. Namun, hukum adat yang berlaku
adalah sebatas hukum adat tidak tertulis. Selain itu, tidak terlepas pula dari
tergerusnya keberadaan masyarakat adat seperti yang terjadi pada masyarakat adat
Betawi, sebagai masyarakat asli di DKI Jakarta.
Tabel 3. Perda Adat berdasarkan Tahun diundangkan
Interval Tahun Perda Jumlah Perda Persentase
I 2000 dan 2001 28 24.35%
II 2008 19 16.52%
III 2007 14 12.17%
IV 2003 dan 2006 6 5.22%
V 2009 4 3.48%
VI 1998-1999, 2002, 2004, dan 2005
2010 dan 2011
2
1
1.74%
0.87%
Total 109 Perda
Berdasarkan produktivitas diundangkannya Peraturan Daerah di 27 Provinsi di
Indonesia, dengan merujuk pada interval tertinggi pemberlakuan Perda Adat adalah
Tahun 2000 sebanyak 28 Perda Adat (24.35%) dengan regio tingkat pembentukan
adalah 25 Perda tingkat Kabupaten, 1 Perda tingkat Provinsi, dan 1 Perda tingkat
Kota. Trend tertinggi adalah pemberlakuan Perda Adat mengenai Pelestarian Adat
Istiadat dan Lembaga Adat. Kecenderungan meningkatnya pemberlakuan Perda Adat
tersebut tidak lain karena timbulnya sengketa adat yang timpang tindih. Melalui
53
pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat yang hidup dan
berkembang demi mewujudkan masyarakat hukum adat yang berbudaya dan
sejahtera. Selain itu, agar kultur kebudayaan dan sejarah yang sudah ada seperti
negara-negara yang sudah maju tetap terjaga dan terlestarikan dengan baik.56
Pemberlakuan dengan interval tertinggi juga dapat dilihat di tahun 2001
sebanyak 28 Perda Adat (24.35%) mengacu pada pembuatan 27 Perda tingkat
Kabupaten dan 1 Perda tingkat Provinsi. Kecenderungan tingginya produktivitas
pemberlakuan Perda Adat di tahun 2001 ini adalah masih mengenai Pelestarian Adat
Istiadat dan Lembaga Adat, pengaturan mengenai Pemerintahan Nagari, Lembaga
Adat Kebudayaan Aceh, dan Kademangan di Kabupaten Kapuas. Serta tidak kalah
pentingnya diberlakukan pada tahun tersebut mengenai pemberlakuan Perda
Kabupaten Lebak Banten mengenai Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy, dan Perda
Provinsi Kalimantan Tengah tentang Penanganan Dampak Konflik Etnik yang terjadi
akibat terjadinya konflik sosial antar suku di Kalimantan.
Di tingkat interval menengah pemberlakuan Perda Adat di Indonesia, adalah
tren meningkatnya kembali jumlah pemberlakuan Perda Adat di tahun 2008 dengan
jumlah total sebanyak 19 Perda Adat (16.52%). Sebanyak 5 Perda Adat tingkat
Kabupaten, 12 Perda Adat tingkat Provinsi, dan 2 Perda Adat tingkat Kota. Tren
meningkatnya pemberlakuan Perda Adat di tahun tersebut adalah diterbitkannya
beberapa Perda Adat di Provinsi Papua, sebagai imbas dari adanya Otonomi Khusus
Provinsi Papua dengan diberlakukannya Perda tentang Hak Ulayat, Perda tentang
peradilan adat di papua, tentang pelaksanaan tugas dan wewenang Majelis Rakyat
Papua (MRP), dan Perda mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban MRP. Di pihak
56 Lihat http://buanasumsel.com/dewan-pemangku-adat-dan-pembina-dilantik/
54
lain, pemberlakuan mengenai pemanfaatan tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat,
pemberlakuan beberapa Perda Adat mengenai Pemerintahan Nagari di Kabupaten
Provinsi Sumatera Barat dan Kota Ambon. Namun, pada tahun tersebut
pemberlakuan Perda Adat juga masih didominasi Perda Adat mengenai
pemberdayaan, pelestarian, dan perlindungan adat istiadat dan lembaga adat.
Peningkatan tren pemberlakuan Perda Adat pada tahun 2008 tersebut, tidak
terlepas dari banyaknya pemberlakuan Perda Adat pada tahun 2007 dengan sebanyak
14 Perda Adat (12.17%). Pada tahun 2007, sebanyak 13 Perda tingkat Kabupaten dan
1 Perda tingkat Provinsi diberlakukan. Tren pemberlakuan Perda Adat didominasi
tentang Pemerintahan Nagari, Kelembagaan Adat Marga, Kademangan, dan Lembaga
Adat Melayu Jambi. Timbulnya berbagai permasalahan adat dalam pengelolaan
sumber daya alam dan eksistensi masyarakat adat di Sumatera Barat, menjadi dasar
yang kuat atas tumbuhnya Perda-perda Nagari tersebut.
Perkembangan Perda Adat yang cenderung mengalami kenaikan dan
penurunan selama masa reformasi ini, ditunjukan dengan minimnya dan jaraknya
interval antara produktivitas pemberlakuan Perda Adat disetiap tahunnya. Sejak
meningginya tren pemberlakuan Perda Adat pada tahun 2000-2001, berikutnya tidak
diikuti dengan perkembangan positif dalam perkembangan Perda Adat di Indonesia.
Tahun 2002 hingga 2006, perkembangan Perda Adat di Indonesia cenderung
menurun drastis dibanding tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari grafik yang
statis antara tahun tersebut, dengan maksimal pemberlakuan Perda Adat sebanyak 2
Perda (1.74%) dan 6 Perda (5.22%).
Penurunan angka tersebut juga terjadi sejak tahun 2009 hingga 2011.
Meskipun tidak banyak diberlakukan, sebanyak 4 Perda Adat (3.48%) diundangkan
55
pada tahun 2009. Namun, tren tersebut tidak dapat dilanjutkan dengan baik pada
tahun berikutnya dengan maksimal diundangkan Perda Adat sebanyak 1 Perda
(0.87%) antara tahun 2010-2011. Sebuah kemunduran yang sangat drastis bagi
perlindungan dan pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, suatu telaah
hukum dan kemanusiaan yang sudah seharusnya menjadi ciri ke-bhinekaan bangsa
Indonesia mengingat keragaman budaya dan juga masyarakat lokal yang tidak
terlindungi oleh produk perundang-undangan.
Tabel 4. Perda Adat berdasarkan Jenisnya.
No Kategori Perda Jumlah Perda Persentase
3 Pelestarian, Pengembangan, dan
Pemberdayaan Adat Istiadat.
52 47.71%
2 Lembaga Adat. 35 32.11%
5 Pengaturan Perangkat dan Tata
Lembaga Adat.
10 9.17%
1 Hak-hak Adat dan Tanah Ulayat. 9 8.26%
4 Prosesi Perkawinan, Pernikahan dan
Rumah Adat.
2 1.83%
6 Penyelesaian Sengketa Adat 1 0.92%
Total 109
Kajian mengenai Peraturan Daerah (Perda) mengenai Adat di Indonesia
dikategorikan menjadi 6 bagian. Pertama, Peraturan Daerah yang mengatur mengenai
Pelestarian, Pengembangan dan Pemberdayaan Adat Istiadat menjadi Perda yang
bernuansa Adat terbanyak dengan jumlah 52 Perda (47.71%). Kedua, Perda tentang
56
pengaturan Lembaga Adat sebanyak 35 Perda (32.11%). Ketiga, Perda tentang
pengaturan Tata Pemerintahan Adat sebanyak 10 Perda (9.17%). Keempat, Perda
tentang pengaturan Hak-hak Adat dan Tanah Ulayat sebanyak 9 Perda (8.26%).
Kelima, Perda mengenai Prosesi Perkawinan dan Rumah Adat dengan 2 Perda
(1.83%), dan Perda mengenai penyelesaian sengketa adat sebanyak.
Hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh sebanyak 9 Perda (8.26%)
dari 109 Perda adat yang berkaitan dengan pengaturan tanah ulayat dan hak-hak adat
selama masa Reformasi (1998 – sekarang) di Indonesia. Tanah ulayat adalah bidang
tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat
hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana
kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut
dengan wilayah yang bersangkutan57
.
3. 3. Perda Adat di Tingkat Provinsi.
3. 3. 1. Hak Ulayat dan Hak Perorangan MHA di Papua.
Di Papua selain mengatur tentang hak ulayat bersama, juga diatur hak atas
tanah untuk perorangan. Hak tersebut diatur dengan Perda Khusus Papua No 23
Tahun 2008, bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan
warga masyarakat hukum adat atas tanah memiliki keterbatasan. Selama ini,
57 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_ulayat
57
pemanfaatannya telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan
struktur penguasa, pemilikan dan penggunaan, kurangnya daya dukung lingkungan,
peningkatan konflik dan kurang diperhatikannya kepentingan masyarakat adat/lokal
dan kelompok masyarakat rentan lainnya. Adapun Pengakuan, penghormatan,
perlindungan, pemberdayaan dan pengembangan hak ulayat masyarakat hukum adat
dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah merupakan suatu
keniscayaan. Namun, implementasi dari penghormatan dan pengakuan tersebut
kurang jelas. Karena itu, pengakuan dan penghormatannya perlu dituangkan dalam
Peraturan Daerah khusus tentang hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak
perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah.
Dalam pengaturannya, Hak Ulayat dan Hak Perorangan warga masyarakat
hukum adat dijelaskan secara terpisah dalam Perda Khusus ini. Hak ulayat atas
kepemilikan tanah lebih khusus adalah sebagai hak persekutuan yang dipunyai
masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah
beserta segala isinya.58
Sedangkan pengertian Hak Perorangan warga masyarakat
hukum adat dalam kepemilikan atas tanah adalah hak yang dipunyai oleh warga
masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidupnya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah beserta segala
isinya.
Untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat
dan atau hak perorangan di Provinsi Papua, dilakukan yaitu oleh Panitia Peneliti
terdiri dari Para pakar hukum adat, Lembaga adat/tetua adat atau penguasa adat yang
58 Pasal 1 ayat (6) Peraturan Daerah Khusus Papua No 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak
Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
58
berwenang atas hak ulayat dan atau hak perorangan warga dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pejabat dari Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Pejabat dari Bagian Hukum Kantor
Bupati/Walikota dan Pejabat dari instansi terkait lainnya. Panitia tersebut ditetapkan
berdasarkan oleh Keputusan Bupati/Walikota atau oleh Keputusan Gubernur untuk
sebuah penelitian hak ulayat yang meliputi lintas kabupaten/kota59
.
Penelitian mengenai keberadaan tanah hak ulayat atau hak perorangan warga
masyarakat adat tersebut meliputi:
a. Tatanan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan serta stuktur penguasa adat yang masih ditaati oleh
warganya;
b. Tata cara pengaturan, penguasaan dan penggunaan hak ulayat masyarakat
hukum adat atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah
berdasarkan hukum adat asli masyarakat hukum adat yang bersangkutan;
c. Penguasa adat yang berwenang mengatur peruntukan dan penggunaan
serta penguasaan hak ulayat masyarakat hukum adat atau hak perorangan
warga masyarakat hukum adat atas tanah;
d. Batas-batas wilayah yang diakui sebagai hak ulayat masyarakat hukum
adat atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah
ditentukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan60
.
Kemudian berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan tersebut,
bupati/walikota atau gubernur menetapkan ada atau tidaknya hak ulayat masyarakat
hukum adat atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah melalui
keputusan bupati/walikota atau gubernur. Pengakuan terhadap hak ulayat belum
didasarkan pada penetapan bidang tanah, lebih didasarkan pada pengakuan hak ulayat
oleh masing-masing suku sehingga berpotensi timbulnya dualisme pengakuan hak
tanah ulayat pada bidang tanah yang sama. Sebagai konsekuensi dari pemberian
59 Lihat Victor Mambor, Mengakui atau Menihilkan Masyarakat Adat?, diakses dari http://tabloidjubi.com/arsip-edisi-
cetak/jubi-utama/3730-mengakui-atau-menihilkan-masyarakat-adat 60 Lihat Sulasi Rongiyati, 2007, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Investasi di Provinsi Papua, Jakarta, Pusat Pengkajian
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, hlm : 11.
59
otonomi khusus Papua yang menempatkan penghargaan pada masyarakat adatnya,
maka peraturan dan mekanisme pengakuan terhadap hak tanah ulayat rakyat Papua
harus dilakukan secara tegas dan jelas. Terkait dengan kepastian hukum, pemerintah
juga perlu mengedepankan upaya sertifikasi hak tanah ulayat di Papua.
Dalam Perda Khusus Provinsi Papua tersebut, diatur mengenai penyelesaian
sengketa hak ulayat. Penyelesaian yang dipergunakan atas sengketa tanah adalah
dengan menggunakan penyelesaian secara adat, penyelesaian sengketa melalui forum
penyelesaian sengketa masyarakat adat, dan terakhir melalui pengadilan atau diluar
pengadilan (arbitrase, negosiasi, maupun mediasi).61
Mengenai penyelesaian sengketa
adat melalui hukum adat, maka diselesaikan berdasar pada hukum adat setempat. Jika
para pihak yang bersengketa tunduk pada hukum adat berlainan dan memilih
penyelesaian secara hukum adat, maka penyelesaian tersebut dilakukan oleh forum
penyelesaian sengketa antar masyarakat hukum adat dan atau melibatkan para ahli
mengenai hukum-hukum adat kedua belah pihak62
. Secara umum, penyelesaian
sengketa melalui peradilan adat dilaksanakan secara musyawarah melibatkan tokoh-
tokoh adat setempat dengan harapan dicapai penyelesaian terbaik dan adil. Mengingat
dalam prakteknya upaya penyelesaian melalui pengadilan jarang memenangkan
tuntutan masyarakat (ulayat) karena dasar hukum dan alat bukti yang dimiliki oleh
mereka lemah.63
61 Peraturan Daerah Khusus Papua No 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Op.Cit, Pasal 14. 62 Peraturan Daerah Khusus Papua No 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Op.Cit, Pasal 14. 63 Sulasi Rongiyati, Op.Cit, hlm : 14.
60
3. 3. 2. Perlindungan dan Pembinaan Kebudayaan Asli Papua.
Peraturan Daerah Provinsi Papua No 16 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan
Pembinaan Kebudayaan Asli Papua, diundangkan sebagai akibat dari timbulnya
pergeseran dan perubahan nilai akibat transformasi budaya luar yang masuk dan tidak
selaras dengan nilai-nilai adat budaya asli Masyarakat Hukum Adat Papua.
Beragam karya seni budaya asli masyarakat Papua belakangan ini mulai
terancam punah. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat nanti seni
budaya masyarakat Papua itu hilang begitu saja karena tidak adanya regenerasi.
Dalam perkembangan masyarakat, sebagian sub kebudayaan tersebut telah mengalami
akulturasi dan inkulturasi. Ada beberapa budaya asli Papua yang mengalami
pergeseran. Contohnya, di Genyem Kabupaten Jayapura, warga asli Papua telah
mengubah pola makan papeda dengan tahu. Bahkan, ketika digelar Festival Danau
Sentani di Jayapura, kelihatan pelaku kesenian dan gelar budaya warga Papua adalah
orang-orang tua yang sudah uzur usianya64
. Oleh karena kebudayaan asli Papua
merupakan kekayaan bangsa Indonesia, maka harus ada upaya sistimatis dan terencana
untuk melakukan perlindungan, pembinaan dan pengembangan terhadap
kebudayaan tersebut.
Propinsi Papua memiliki keaneka ragaman budaya yang merupakan suatu
potensi yang besar selain potensi alamnya, untuk itu perlu perhatian baik dari segi
pembinaan maupun segi pelestariannya. Dengan memahami hakekat kebudayaan orang
asli Papua serta menyadari perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin pesat
maka untuk melindungi dan membina kebudayaan asli Papua diundangkan Peraturan
64 Lihat Ami Herman, Karya Seni Budaya Papua Terancam Punah. Diakses dari http://taadeers.blogspot.com/2011/03/karya-
seni-budaya-papua.html
61
Daerah Provinsi Papua No 16 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan Pembinaan
Kebudayaan Asli Papua.
Penjelasan secara khusus yang terdapat dalam muatan Perda Provinsi Papua
tersebut diantaranya adalah :
1. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia
yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan atau orang yang
diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.
2. Kebudayaan asli Papua adalah hasil cipta, karsa dan karya orang asli Papua
yang hidup dan berkembang secara turun temurun dalam lingkungan
masyarakat adat.
3. Perlindungan kebudayaan adalah upaya untuk menjaga, memelihara
dan menegakkan kebudayaan asli Papua.
4. Pembinaan kebudayaan adalah upaya untuk mempertahankan dan
melestarikan kebudayaan orang asli Papua.
5. Pengembangan kebudayaan adalah upaya untuk menumbuhkembangkan
dan menyebarluaskan kebudayaan orang asli Papua sesuai dengan
perkembangan masyarakat65
.
Didalam ketentuan Perda Provinsi Papua dipaparkan bahwa upaya perlindungan
atas kebudayaan asli papua diberikan oleh Pemerintah Daerah. Kebudayaan asli Papua
merupakan hasil cipta, karsa dan karya orang asli Papua, perlindungan atas
kebudayaan asli Papua dilakukan terhadap :
a. Bahasa dan sastra.
b. Sistem peralatan hidup dan teknologi.
c. Sistem mata pencaharian hidup.
d. Organisasi sosial dan sistem kekerabatan.
e. Sistem pengetahuan.
f. Kesenian.
g. Kepercayaan66
.
Aspek-aspek kebudayaan tersebut di atas melambangkan jati diri orang asli
Papua dan tersebar mengikuti wilayah geografis Tanah Papua meliputi : zona
ekologi pesisir pantai, hutan bakau dan rawa, zona ekologi dataran rendah, zona ekologi
65 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Provinsi Papua No 16 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan Pembinaan
Kebudayaan Asli Papua. 66 Ibid, Pasal 2 ayat (2)
62
kaki gunung dan zona ekologi pegunungan. Atas dasar zona-zona tersebut,
kebudayaan asli Papua dikelompokan dalam 7 (tujuh) wilayah sub kebudayaan yaitu:
1. Kebudayaan Saireri.
2. Kebudayaan Tabi.
3. Kebudayaan La Pago.
4. Kebudayaan Me Pago.
5. Kebudayaan Bomberai.
6. Kebudayaan Anim Ha.
7. Kebudayaan Doberai67
.
Upaya perlindungan, pembinaan dan pengembangan dimaksud menjadi
kewajiban dari pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat adat,
dan orang-perorangan serta penduduk di Provinsi Papua. Upaya perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan melalui :
a. inventarisasi dan dokumentasi;
b. Pengakuan
c. Pendaftaran
d. Legalisasi
e. Pengumuman
f. litigasi68
.
Upaya pembinaan kebudayaan asli Papua, seperti yang dipaparkan di
dalam Perda Provinsi Papua antara lain dilakukan dengan cara :
a. Pesta budaya.
b. Festival seni.
c. Lomba-lomba.
d. Karnaval.
e. Pameran dan pergelaran budaya.
f. Penyuluhan kebudayaan.
g. Pelatihan kebudayaan.
h. Temukarya kebudayaan.
i. Penampilan nuansa budaya Papua pada fasilitas umum milik pemerintah,
swasta dan masyarakat.
j. Pemuatan materi kebudayaan asli Papua dalam kurikulum muatan
lokal pada semua jenjang pendidikan, dan
67 Lihat Peta Suku Bangsa di Tanah Papua, Kerjasama Dinas Kebudayaan Provinsi Papua, Jurusan Antropologi Universitas
Cendrawasih, Summer Institute of Linguistic (SIL), Dewan Adat Papua (DAP), dan Badan Pusat Statistik (BPS),
Jayapura, Desember 2008, hlm : 12. 68 Op.Cit, Pasal 2 ayat (2)
63
k. Kegiatan upaya pembinaan lainnya69
.
Sedangkan kegiatan dan upaya dalam melakukan pengembangan kebudayaan
asli Papua dilakukan melalui :
a. Pusat-pusat kebudayaan.
b. Sanggar-sanggar kebudayaan.
c. Sanggar-sanggar seni.
d. Penetapan dalam muatan kurikulum lokal pada semua jenjang
pendidikan.
e. Pelatihan, seminar dan lokakarya.
f. Latihan-latihan dan kursus-kursus kebudayaan.
g. Media massa.
h. Misi kebudayaan.
i. Perfilman.
j. Pasar seni, dan
k. Kegiatan upaya pengembangan lainnya70
.
Upaya perlindungan, pembinaan dan pengembangan kebudayaan asli Papua
tersebut, tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyarakat. Masyarakat yang
meliputi orang-perorangan, masyarakat adat, seniman, budayawan, pihak swasta dan
lembaga masyarakat lainnya turut berperan serta baik secara mandiri maupun
difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Peranan masyarakat dalam upaya-upaya
tersebut sesuai pengaturannya dalam Perda Provinsi Papua ini mencakup :
a. Pemeliharaan benda-benda budaya.
b. Penguatan kebudayaan asli.
c. Seleksi transformasi kebudayaan luar.
d. Penyediaan informasi dan data, dan
e. Bentuk lainnya71
.
Sebagai timbal balik atas upaya perlindungan, pembinaan dan
pengembangan kebudayaan asli Papua, apresiasi positif yang dilakukan Pemerintah
69 Op.Cit, Pasal 4 ayat (3). 70 Op.Cit, Pasal 5 ayat (2). 71 Op.Cit, Pasal 9 ayat (2).
64
Daerah dilakukan dengan memberikan penghargaan kepada setiap orang, kelompok
atau lembaga yang berjasa dalam upaya-upaya berkaitan kebudayaan asli Papua.
Orang, kelompok atau lembaga yang berjasa antara lain adalah :
a. Pencipta lagu-lagu daerah.
b. Penata tari daerah.
c. Pemerhati serta pelaku seni dan budaya yang berjasa terhadap
pengembangan kebudayaan asli Papua.
d. Orang yang berjasa dalam upaya perlindungan, pembinaan dan
pengembangan kebudayaan asli Papua72
.
Dalam pengaturannya, Pemerintah Daerah dan masyarakat melakukan
pengawasan dan pengendalian terhadap perlindungan, pembinaan dan
pengembangan kebudayaan asli Papua. Selain itu, diatur pula mengenai larangan dan
sanksi pidana. Larangan-larangan yang termuat dalam Perda Provinsi Papua tersebut
mencakup :
a. Melakukan pembiaran, menghilangkan dan merusak benda cagar budaya
dan benda budaya lainnya.
b. Menghilangkan dan atau merusak nilai-nilai budaya asli, dan
c. Menyediakan informasi dan data palsu terkait dengan perlindungan,
pembinaan dan pengembangan kebudayaan.
Ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran yang terjadi terkait upaya
perlindungan, pembinaan, dan pengembangan kebudayaan asli Papua seperti yang
termuat dalam Perda Provinsi Papua tersebut antara lain :
a. Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a diancam pidana
kurungan paling lama 5 (lima) bulan atau denda paling banyak Rp
20.000,000,- (dua puluh juta rupiah).
b. Barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 19 huruf b diancam pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
c. Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 19 huruf c diancam pidana
72 Lihat Penjelasan Pasal 12 ayat (1) Perda Provinsi Papua No 16 Tahun 2008.
65
kurungan paling lama 2 (dua) bulan dan denda paling banyak Rp
10.000,000,- (sepuluh juta rupiah)73
.
3. 3. 3. Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya di Sumatera Barat.
Perda No 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya disahkan
pada tanggal 1Juli 2008. Adapun intinya tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat
hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan pemanfaatannya berdasarkan pada
ketentuan hukum adat setempat yang berlaku di Provinsi Sumatera Barat.
Pengertian mengenai hak ulayat yang diatur dalam Perda Adat tersebut adalah
sebagai hak penguasaan dan hak milik atas bidang tanah beserta kekayaan alam yang
ada diatas dan didalamnya dikuasai secara kolektif oleh masyarakat hukum adat di
Propinsi Sumatra barat. Sedangkan mengenai pengertian tanah ulayat adalah tanah
pusaka beserta sumber daya alam yang terdapat diatasnya yang diperoleh secara turun
temurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.74
Hak-
hak tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat tidak hanya mencakup pada tanah, hutan,
dan sungai, termasuk pertambangan. Di Minangkabau (Sumatera Barat) terdapat
aturan tentang pengelolaan ulayat termasuk pertambangan yang harus dipatuhi oleh
orang-orang yang ingin memanfaatkan ulayat sumberdaya tambang. Aturan adat
dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) tersebut berbunyi : Karimbo Babungo
Kayu, Ka Sungai Babungo Pasia, Kaladang Babungo Ampiang, Katanah Babungo
Ameh. Pepatah adat ini menggariskan bahwa setiap pemanfaatan SDA dalam teritorial
Minangkabau harus memberikan kontribusi kepada masyarakat adat setempat75
.
73 Op.Cit, Pasal 20, 21, dan 22. 74 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Pasal 6 dan 7. 75 Refles, 2012, Kegiatan Pertambangan Emas Rakyat dan Implikasinya Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di
Kenagarian Mundam Sakti Kecamatan IV Nagari, Kabupaten Sijunjung, Artikel Pasca Sarjana Universitas Andalas,
hlm : 7-8.
66
Jenis-jenis dan pembagian tanah ulayat sesuai yang diatur didalam Perda
tersebut terbagi menjadi (1) Tanah Ulayat Nagari, (2) Tanah Ulayat Suku, (3) Tanah
Ulayat Rajo, dan (4) Tanah Ulayat Kaum.76
Sedangkan beberapa istilah adat yang
penting lainnya adalah Penghulu, Mamak Kepala Waris, dan Kerapatan Adat Nagari
sebagai unsur terpenting dalam budaya adat di Sumatera Barat sebagai tokoh-tokoh
adat yang memiliki kewenangan dalam urusan-urusan adat.
Adapun proses penyerahan hak ulayat sebagai proses pemindahan atau
pengalihan hak penguasaan atas sebidang tanah adat, melalui musyawarah dan
mufakat yang dilakukan oleh Ninik Mamak, Penghulu-penghulu Suku, Mamak
Kepala Waris, dan anak kemenakan. Kesepakatan tersebut mengikat pihak-pihak bila
sesuai dengan ketentuan hukum adat yang dituangkan dalam perjanjian yang dibuat
oleh Pejabat Negara Pembuat Akta Tanah.
Manfaat pengaturan tanah ulayat di Provinsi Sumatera Barat adalah dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat, dengan kaidah saling
menguntungkan dan berbagi resiko yang disebut adat diisi limbago dituang.
Sedangkan tujuan dari pengaturan tanah ulayat tersebut adalah untuk melindungi
keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat
untuk kelangsungan hidup masyarakat adat secara berkesinambungan turun temurun
dan tidak terputus77
.
Menyangkut penyelesaian sengketa yang terjadi atas tanah ulayat di Provinsi
Sumatera Barat tersebut, diselesaikan oleh KAN berdasarkan ketentuan adat
bajanjang naiak batanggo turun dan dengan jalan perdamaian melalui musyawarah
mufakat. Dalam hal penyelesaian melalui keputusan KAN tidak dapat diterima oleh
76 Op.Cit, Pasal 8, 9, 10, dan 11. 77 Ibid, Pasal 3.
67
pihak yang bersengketa, dapat diteruskan perkaranya ke Pengadilan Negeri. Dalam
putusannya di tingkat Pengadilan Negeri, keputusan KAN dapat dijadikan
pertimbangan atau pedoman bagi hakim78
.
Mamak Waris adalah nama jabatan dalam suatu kaum yang bertugas
memimpin seluruh anggota kaum dan mengurus, mengatur, mengawasi serta
bertanggung jawab atas hal-hal pusaka kaum. Kedudukan Mamak Kepala Waris
dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Mamak kepala waris mempunyai kewenangan untuk mengurus,
mengatur, mengawasi dan bertanggungjawab atas harta pusaka tinggi
kaum. Dalam konteks ini seorang mamak dalam kedudukannya selaku
Mamak Kepala Waris yang akan mengelola atau mengatur pengelolaan
harta pusaka kaumnya, misalnya saja jika ada tanah pusaka yang tidak
terpelihara, maka kepala waris menganjurkan supaya tanah-tanah itu
dapat dimanfaatkan, begitu juga jika keadaan masih memungkinkan
mamak kepala waris mengajak anak kemenakannya untuk menaruko guna
mendapatkan tanah baru sebagai penambah tanah-tanah yang telah ada.
Selain itu seorang Mamak Kepala Waris juga mengatur hasil dari harta
pusaka dan menjaga kelestariannya dan berdaya upaya untuk
memanfatkannya bagi anggota kaum.
b. Seorang mamak kepala waris dapat mewakili kaum urusan keluar dan
bertindak kedalam untuk dan atas nama kaum, demikian juga pengertian
segala sesuatu adalah ditangan mamak kepala waris.
c. Sebagai pemimpin kaum yang bertanggung jawab sepenuhnya atas
keselamatan dan kesejahteraan anggota kaum dengan pemanfaatan harta
pusaka tinggi tersebut.
d. Sebagai penengah dan orang yang akan menyelesaikan suatu pertikaian
yang terjadi di antara anggota kaum baik masalah pribadi dalam
pergaulan sehari-hari maupun masalah harta pusaka.
e. Wakil kaum dalam peradilan, umpama sebagai tergugat atau sebagai
penggugat.
f. Wakil kaum dalam melakukan transaksi atas tanah pusaka kaum setelah
dapat persetujuan dari semua anggota kaum umpama menjual dan
menggadaikan tanah pusaka.
g. Wakil kaum dalam hal pendaftaran tanah pusaka, karena tanah pusaka itu
harus didaftarkan atas nama mamak kepala waris.
h. Wakil kaum dalam kerapatan suku.
78 Ibid, Pasal 12 ayat (1,2, dan 3).
68
i. Penanggung jawab keluar dalam upacara adat dalam kaum.
j. Penganggung jawab atas pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB)
atas tanah pusaka kaum79
.
3. 3. 4. Penyelenggaraan Kehidupan Adat di Aceh.
Ketentuan tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat diundangkan dalam
rangka mengisi keistimewaan Aceh, dan melakukan pembinaan, pengembangan dan
pelestarian terhadap penyelenggaraan kehidupan adat diatur dalam Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Aceh No 7 Tahun 2000. Perda tersebut wajib dijadikan
pegangan dan pedoman dalam penyelenggaraan Hukum Adat dan Adat Istiadat di
Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam Perda tersebut selain ditegaskan mengenai
obyek adat, hak dan kewajiban, juga diatur tentang tujuan, fungsi dan
implementasinya.
Fungsi umum Adat Istiadat adalah mewujudkan hubungan yang harmonis
dalam kehidupan masyarakat berlandaskan kepada Adat Bak Po teu Meurehom,
Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Resam bak Laksamanan, Hukum
ngon Adat lagee Zat ngon Sifeut. Arti dari istilah tersebut adalah adat dipegang Raja,
hukum yang berkaitan dengan keagamaan mengikuti fatwa yang diputuskan ulama
Syiah Kuala, kanun dipegang oleh Putro Phang (maksudnya adalah perempuan,
istilah tersebut merujuk pada istri Sultan Iskandar Muda yang berasal dari Pahang),
reusam dari Laksamana, adat dengan syariat atau adat dengan hukum, diibaratkan
bagai zat dengan sifat80
.
79 Lihat Harmita Shah, 2006, Kedudukan Mamak Kepala Waris dalam Harta Pusaka Tinggi: Studi di Nagari Matur Mudiak
Kecamatan Matur Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro,
hlm : 110-111. 80 Diartikan dari beberapa sumber online.
69
Beberapa istilah yang terdapat dalam Peraturan Daerah Aceh tersebut antara
lain. (1) Mukim adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah
Istimewa Aceh yang terdiri dari beberapa Gampong yang mempunyai batas-batas
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, (2) Imum Mukim adalah Kepala
Mukim dan Pemangku Adat di Kemukiman, (3) Tuha Lapan adalah suatu Badan
Kelengkapan Gampong dan Mukim yang terdiri dari unsur Pemerintah, unsur Agama,
unsur Pimpinan Adat, Pemuka Masyarakat, unsur cerdik pandai, unsur
pemuda/wanita dan unsur Kolompok Organisasi Masyarakat, (4) Gampong adalah
suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
yang terendah dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, (5) Keuchik
adalah orang yang dipilih dan dipercaya oleh masyarakat serta diangkat oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk memimpin Pemerintahan Gampong, (6)
Tuha Peut adalah suatu badan kelengkapan Gampong dan Mukim yang terdiri dari
unsur Pemerintah, unsur Agama, unsur Pimpinan Adat, unsur Cerdik Pandai yang
berada di Gampong dan Mukim yang berfungsi memberi nasehat kepada Keuchik dan
Imum Mukim dalam bidang Pemerintahan, Hukum Adat, Adat Istiadat dan
kebiasaan-kebiasan masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa di Gampong dan
Mukim, (7) Imum Meunasah adalah orang yang memimpin kegiatankegiatan,
masyarakat di Gampong yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan
Syariat Islam, (8) Keujruen Blang adalah orang yang membantu Keuchik di bidang
pengaturan dan penggunaan irigasi untuk persawahan, (9) Panglima Laot adalah
orang yang memimpin Adat Istiadat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang
penangkapan ikan di lain termasuk mengatur tempat/areal penangkapan ikan, dan
Penyelesaian sengketa, (10) Peutua Seuneubok adalah orang yang memimpin dan
70
mengatur ketentuan-ketentuan tentang pembukaan dan Penggunaan lahan untuk
perladangan/perkebunan, (11) Haria Peukan adalah orang yang mengatur ketertiban,
keamanan dan kebersihan pasar serta mengutip retribusi pasar gampong, dan (12)
Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengatur tambatan kapal/perahu, lalu
lintas keluar dan masuk kapal perahu di bidang angkutan laut, danau dan sungai.
Tujuan diundangkannya Perda ini adalah untuk membakukan, mendorong,
menunjang dan meningkatkan partisipasi masyarakat guna kelancaran
penyelenggaraan adat istiadat dan hukum adat di daerah. Selain itu, tujuan adat
pemberlakuan Perda Adat ini adalah untuk membentuk manusia berakhlak mulia,
bermartabat dan berbudaya.81
Fungsi kehidupan Adat guna melaksanakan dan
mengefektifitaskan adat istiadat dan hukum adat untuk membina kemasyarakat82
.
Didalam perkembangannya hukum adat di Aceh, tidak dapat terlepaskan dari
ajaran Agama Islam. Hal ini dapat ditinjau pada pengertian falsafah Adat bersendi
syara’, syara’ bersendi adat, yang menunjukkan bahwa perilaku kehidupan
masyarakat mengacu pada tatanan hukum adat dan ajaran agama Islam. Keduanya
tidak boleh dipisahkan karena begitu melekat dalam jiwa nasionalis masyarakat Aceh.
Pada umumnya penyelenggaraan Peradilan adat dilakukan oleh Lembaga Gampong
dan Mukim. Penyelenggara peradilan adat tersebut pelaksanaannya diserahkan
kepada Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peuet, dan Ulee Jurong. Peradilan pada
tingkat Mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan dalam
Jurisdiksi adat di Aceh. Perkara-perkara pidana berat atau sengketa-sengketa yang
tidak dapat diselesaikan pada tingkat Mukim, akan diselesaikan oleh lembaga
Peradilan Negara sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan yang
81 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No 7 Tahun 2000. Pasal 7. 82 Ibid, Pasal 8.
71
berlaku.Jenis penyelesaian sengketa dan sanksi : Nasehat, Teguran, Pernyataan maaf
di hadapan orang banyak di Meunasah atau Masjid diikuti dengan acara Peusijuk,
Denda, Ganti kerugian, Dikucilkan oleh masyarakat Gampong, Dikeluarkan dari
masyarakat Gampong, Pencabutan Gelar Adat, dan lain-lain bentuk sanksi sesuai adat
setempat83
.
Selain mengatur mengenai penyelesaian sengketa dalam kehidupan adat,
dalam Perda Adat Aceh tersebut juga mengatur mengenai metode pemberdayaan adat
83 Ibid. Pasal 19.
72
istiadat dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :Penataran Adat bagi Pemerintahan
Gampong dan Mukim, Memasukkan kehidupan adat dalam Kurikulum Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah, Mempelajari dan menghormati dasar-dasar adat
Aceh dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat bagi Aparat Pemerintah yang
berasal dari luar daerah dan bertugas di Aceh84
.
Implementasi pelaksanaan kehidupan adat yang berkembang di Aceh selalu
berbarengan dengan ajaran Islam. Adat Aceh ada disebabkan adanya hukum Islam
yang mulai diterapkan di Aceh. Hukum Islam di sini cenderung bersifat fiqhiyyah,
yaitu sebuah syara’ yang diterjemahkan sehingga aplikasinya benar-benar nyata. Dan
ini menjadi sebuah hukum positif yang berfungsi untuk menjaga dan mengatur
tatanan kehidupan individual dengan Tuhan dan sesama masyarakat. Hukum positif
ini tetap bernuansa religi, sehingga ketundukan terhadap hukum ini juga ketundukan
terhadap Allah.
Kemudian adat yang notabene dikuasai oleh Sultan juga mengatur perilaku
individu dengan Tuhan dan bersosialisasi ke dalam strata sosial lain. Posisinya tetap
berada dalam ruang lingkup hukum positif di mana pelakunya selain harus tunduk
kepada Tuhan juga harus tunduk kepada hukum itu sendiri (Sultan). Selama hukum
adat tidak menyimpang dari hukum Islam, hukum adat itu tetap dipergunakan oleh
masyarakat Aceh.
Dengan diberlakukannya Perda Adat tentang Kehidupan Adat Aceh tersebut,
diharapkan bahwa penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh dapat terus terselenggara
dengan baik. Selain diharapkan pula bahwa keberagaman adat istiadat dalam
kehidupan adat masyarakat Aceh dapat terus eksis dan berkembang.
84 Ibid, Pasal 22, 23, dan 24.
73
3. 3. 5. Perda Prosesi Perkawinan Adat dan Pakaian Penganten Adat Belitong.
Kebudayaan yang istimewa dari Masyarakat Adat Belitung untuk
melestarikan dan menjaga tradisi adat istiadat diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Belitung No 3 Tahun 2003 tentang Prosesi Perkawinan dan Pakaian
Penganten Adat Belitong.
Upacara adat biasanya di dasari oleh sebuah kepercayaan, upacara yang
dilakukan oleh masyarakat adat di Indonesia dimaksudkan untuk mendapatkan
sebuah kebaikan atau menghindarkan diri dari malapetaka dalam kehidupan
masyarakat yang melakukannya. Dalam kajian berikut ini, dibahas mengenai
Peraturan Daerah yang mengatur mengenai Prosesi Perkawinan secara Adat. Sebagai
bahan kepustakaan, Kajian penelitian ini bersumber dari Peraturan Daerah Kabupaten
Belitung No 3 Tahun 2003 Tentang Prosesi Perkawinan dan Pakaian Penganten Adat
Belitong.
Kata Perkawinan Adat Belitong terdiri dari 3 (tiga) kata, yaitu : Perkawinan,
Adat, dan Belitong. Kata Perkawinan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
(KUBI) mempunyai pengertian Pernikahan. Sedangkan kata Adat mempunyai
pengertian aturan, perbuatan, dan sebagainya yang lazim diturut atau dilakukan sejak
dahulu kala dan kata Belitong berasal dari Belitung yang merupakan sebuah
Kabupaten. Jadi perkawinan adat Belitong dapat diartikan sebagai pernikahan yang
lazim diturut atau dilakukan sejak zaman dahulu di Belitung. Selain itu, yang menjadi
kajian menarik dari keistimewaan prosesi pernikahan adat bukan hanya karena hanya
Perda Kabupaten Belitung saja yang diakui dalam hukum tertulis, tetapi juga karena
pada pelaksanaannya dikenal sistem kekerabatan Parental dimana kebiasaan umum
74
pada pernikahan secara adat ditempat lainnya (lelaki meminang perempuan) dapat
dilakukan sebaliknya menurut adat Belitong.
Isi dan muatan dari perda tersebut menerangkan secara rinci mengenai
mekanisme pelaksanaan upacara perkawinan adat. Tata urutan pelaksanaan
pernikahan adat Belitong antara lain sebagai berikut :
1. Meminang. Berdasarkan sistem kekeluargaan, masyarakat Belitung
menganut sistem kekeluargaan bilateral atau Parental, artinya keluarga
tersebut siapa saja orangnya yang memiliki keturunan dan kelahiran
dengan ibu atau dengan ayah, termasuk keluarga besar ibu dan ayah.
Sehingga meminang dalam adat Belitung dapat dilakukan oleh pihak laki-
laki ataupun pihak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
keluwesan dalam menentukan peminangan pada masyarakat adat
Belitung.
2. Panitia Gawai, adalah panitia yang secara adat menyelenggarakan
upacara perkawinan. Terdiri dari : Tukang ngundang (pengundang),
Tukang nerimak tamu (orang yang menerima tamu), Tukang tanak nasik
(orang yang memasak nasi), Tukang masak aik (orang yang memasak
air), Tukang ngambik aik (orang yang mengambil air), Tukang perikse
sajian (orang yang memeriksa hidangan), Tukang ngelepaskan sajian
(orang yang meletakan hidangan), Tukang nyuci piring (orang yang
mencuci piring), Tukang berebut lawang (orang yang berebut
lawang/pintu), Tukang jage jajak (orang yang menjaga kue), Tukang
ngantar makanan penganten (orang yang mengantar makanan pengantin),
Tukang bearak (orang yang mengantar pengantin), Tukang ngambelek
75
penganten/umak bapak penganten (orang yang menjemput pengantin/ibu
bapak pengantin), Panggong (kepala juru masak pada waktu hajatan
perkawinan), dan Mak Inang (perias pengantin).
3. Selamatan Gawai, tata cara adat ini diadakan pada hari kamis sebelum
hari pelaksanaan, dilakukan oleh Dukun kampong dengan maksud agar
pelaksanaan berjalan lancar.
4. Akad Nikah. Menurut adat Belitong, prosesi ini dilakukan pada malam
Jum’at di rumah pihak perempuan. Calon mempelai laki-laki dibawa oleh
keluarganya ke pihak mempelai perempuan dengan diarak.
5. Khatam Al-Qur’an, upacara ini dimulai oleh Dukun kampong yang
pelaksanaannya dilakukan sebelum upacara pernikahan dilakukan.
6. Berebut Lawang, adalah prosesi yang harus dilalui pihak laki-laki
sebelum menemui mempelai perempuan. Prosesi ini berlaku tiga tahap
(diantara tiga pintu/lawang), pertama kepada Tukang tanak nasik dengan
maksud filosofis bahwa seorang lelaki yang hendak berumah tangga
harus sudah siap memberi makan istrinya. Kedua, kepada Pengulu gawai,
yang bermakna seorang lelaki yang hendak berumah tangga, selain siap
memberi nafkah istri juga harus siap mengatur rumah tangganya. Ketiga,
kepada Mak inang memiliki makna bahwa selain memberi nafkah istri,
mengatur rumah tangga, juga harus sudah siap untuk memberi pakaian
istrinya. Dari prosesi ini, dapat dimaknai bahwa seorang lelaki yang
sudah siap berumah tangga harus sudah siap untuk memberi sandang,
pangan dan papan bagi istrinya.
76
7. Bejamu, maksud dari prosesi ini adalah menjamu, atau jamuan yang
dilakukan kepada rombongan dari mempelai laki-laki yang terdiri dari
kedua orang tua dan sanak saudara berserta handai taulan. Acara bejamu
ini seringkali disertai dengan kesenian tradisional Belitung seperti
beregong, beripat, betiong, berinai, begambus, dan lainnya.
8. Mandik Besimbor. Prosesi mandik besimbor adalah prosesi siraman
terhadap kedua mempelai, yang diikuti dengan prosesi melangkahi tujuh
lembar benang sebanyak tiga kali, dan prosesi menginjak telur.
9. Beranjuk dan Mulangan Runut. Kedua prosesi tersebut adalah bagian
dari upacara adat dimana acara penganten beranjuk dimaksudkan dengan
menyelenggarakan pesta pernikahan di kediaman pihak laki-laki.
Sedangkan prosesi mulangan runut adalah prosesi yang dilakukan selepas
tiga hari setelah pelaksanaan prosesi beranjuk, kedua orang tua penganten
lelaki mengantarkan kedua penganten ke rumah orang tua penganten
perempuan.
10. Nyembah atau Silaturahmi Keluarga. Secara garis besar, prosesi ini
dimaksudkan sebagai perkenalan silaturahmi kepada keluarga besar
masing-masing. Tujuan dari prosesi ini agar kedua pengantin saling
mengenal seluruh anggota keluarga yang sebelumnya kurang dikenal,
mempererat persaudaraan, dan rasa menghormati kepada keluarga yang
lebih tua.
Selain mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan upacara perkawinan
secara adat, dalam perda tersebut juga berisikan pemaparan mengenai pakaian adat
yang digunakan dalam upacara perkawinan adat Belitung. Menurut Masyarakat
77
Hukum Adat Belitong, kata Pakaian diartikan sebagai barang apa saja yang dipakai
(baju, celana, dan sebagainya). Kata Penganten diartikan sebagai orang yang
melangsungkan perkawinannya. Dengan demikian Pakaian Penganten Adat Belitong
dapat diartikan sebagai barang yang dipakai pada saat mempelai melangsungkan
prosesi perkawinan yang lazim diturut atau dilakukan sejak zaman dahulu di
Belitung.
Pakaian penganten adat Belitong yang dijabarkan dalam Perda Adat tersebut
antara lain :
1. Pakaian Upacara Akad Nikah,
2. Pakaian Mandik Berias,
3. Pakaian Betangas atau Mandik Uap,
4. Pakaian Bepacar Inai,
5. Pakaian Khatam Al-Qur’an,
6. Pakaian Penganten Besanding,
7. Pakaian Bejamu,
8. Pakaian Mandik Besimbor,
9. Pakaian Beranjuk85
.
Prosesi Perkawinan Adat Belitong yang diatur menjadi Perda Adat mencakup
seluruh rangkaian kegiatan perkawinan secara berurutan berdasarkan Adat Belitong.
Kebiasaan adat yang dituangkan dalam Peraturan Daerah No 3 Tahun 2003 tersebut,
dijadikan pedoman dan landasan hukum bagi setiap pelaksanaan Prosesi Perkawinan
dan Pakaian Penganten masyarakat Adat Belitong.
3. 3. 6. Perda Lembaga Adat Melayu Jambi di Provinsi Jambi
Perda Provinsi Jambi No 5 Tahun 2007 menjadi dasar eksistensi Masyarakat
Adat Melayu yang selama ini telah ada dan berkembang didalam kehidupan
masyarakat mendapatkan jaminan kepastian hukum dari Pemerintah daerah.
85 Lihat Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten Belitung No 3 Tahun 2003 tentang Prosesi Perkawinan dan Pakaian Penganten
Adat Belitong.
78
Berdasarkan hasil kajian dari Perda Provinsi Jambi tersebut, muatan perda
tersebut mendefiniskan sebagai berikut :
1. Adat istiadat Melayu Jambi adalah seperangkat nilai, kaidah dan
kebiasaan yang tumbuh dan berkembang sejak lama bersamaan dengan
pertumbuhan masyarakat dalam Provinsi Jambi yang merupakan bagian
dari Rumpun Melayu.
2. Lembaga Adat Melayu Jambi adalah suatu organisasi kemasyarakatan
yang dibentuk oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
mempunyai wilayah tertentu, dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan
berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal
yang berkaitan dengan adat istiadat Melayu Jambi86
.
Dalam pelaksanaannya, Lembaga Adat Melayu Jambi diselenggarakan
berdasarkan pada asas Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan nilai-nilai agama yaitu adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan
Kitabullah yang dijunjung tinggi dalam masyarakat. Selain itu, Lembaga Adat
Melayu Jambi bertujuan :
a. membina kerukunan dan rasa aman dalam hidup dan kehidupan
masyarakat di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.
b. menghimpun dan mendayagunakan potensi adat istiadat untuk membantu
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pelaksanaan pembangunan.
c. mengembangkan dan meneruskan nilai-nilai luhur adat istiadat kepada
generasi penerus melalui ketahanan keluarga.
d. mengkaji sejarah dan hukum adat dalam rangka memperkaya khazanah
budaya daerah serta membantu penyusunan sejarah dan pembinaan
hukum nasional87
.
Susunan organisasi lembaga adat, terbagi dalam tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan di tingkat Desa/kelurahan. Dalam memberikan
putusan, Lembaga Adat Melayu Jambi yang lebih tinggi tingkatannya menjadi
pedoman bagi lembaga yang lebih rendah beserta perangkat bawahannya dengan
mendasarkan pada adat istiadat setempat.
86 Peraturan Daerah Provinsi Jambi No 5 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi, Pasal 1 butir i dan k. 87 Ibid, Pasal 3
79
Dalam pelaksanaannya, Lembaga Adat Melayu Jambi sesuai tingkatannya
memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut :
a. menggali dan mengembangkan adat istiadat Melayu Jambi dalam upaya
melestarikan kebudayaan daerah Jambi guna memperkaya khasanah
kebudayaan bangsa.
b. mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dan berhubungan dengan
adat istiadat Melayu Jambi.
c. menyelesaikan perselisihan dan perkara adat sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. menginventarisir, mengamankan, memelihara dan mengurus serta
memanfaatkan sumber kekayaan yang dimiliki oleh Lembaga Adat
Melayu Jambi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
e. membantu pemerintah dalam melaksanakan dan memelihara hasil
pembangunan pada segala bidang, terutama pada bidang sosial
kemasyarakatan dan sosial budaya.
f. memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang
menyangkut harta kekayaan masyarakat hukum adat pada setiap tingkat
Lembaga Adat Melayu Jambi berkenaan dengan perselisihan dan perkara
adat;
g. melaksanakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat isdiadat
Melayu Jambi dalam rangka memperkaya, melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan daerah pada khususnya dan kebudayaan
nasional pada umumnya;
h. menjaga, memelihara dan memanfaatkan ketentuan-ketentuan adat
istiadat Melayu Jambi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
untuk kesejahteraan masyarakat88
.
Berbeda dengan pengaturan dalam Perda regional dibawahnya (merujuk pada
Perda Kabupaten Bungo tentang masyarakat adat Datuk Sinaro Putih), dalam Perda
Provinsi Jambi ini tidak dijelaskan secara rinci mengenai bentuk kelembagaan adat.
Sehingga dapat ditarik suatu simpulan bahwa kelembagaan adat melalui tingkat
provinsi di Jambi, tidak diatur dengan pasti bentuk kelembagaannya.
88 Ibid, Pasal 5 dan 6.
80
3. 3. 7. Perda Kedamangan di Kalimantan Tengah
Masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki kesadaran yang
tinggi terkait erat dengan tanggung jawab untuk tetap memelihara, melestarikan,
mengembangkan, memberdayakan dan menjunjung tinggi Hukum Adat, adat-istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mengandung nilai-nilai positif sebagai
budaya warisan leluhur. Kesadaran tersebut dimaksud sebagai upaya memperkuat
karakter, identitas, jati diri, harkat dan martabat dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Kesadaran tersebut tidak lain merupakan jawaban tepat atas fenomena, bahwa
kesetiaan terhadap hukum adat, adat-istiadat dan kebiasaan dalam masyarakat,
kenyataannya cenderung memudar sebagai akibat kuatnya terpaan arus modernisasi
dan globalisasi. Apabila fenomena ini dibiarkan, maka dikuatirkan dapat melemahnya
karakter, goyahnya jati diri, kaburnya identitas, turunnya harkat dan martabat dan
tercabutnya akar budaya.
Lembaga Kedamangan sebagai lembaga adat Dayak yang ada sejak lama, kini
tetap sebagai lembaga sentral atau lembaga utama yang ada di garis depan dalam
mengayomi masyarakat. Dalam Perda tersebut dijabarkan pengertian Kedamangan
sebagai suatu Lembaga Adat Dayak yang memiliki wilayah adat, kesatuan
masyarakat adat dan hukum adat dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang
terdiri dari himpunan beberapa desa / kelurahan / kecamatan / Kabupaten dan tidak
dapat dipisah-pisahkan89
.
Maksud dan Tujuan Kedamangan antara lain :
1. untuk mendorong upaya pemberdayaan Lembaga Adat Dayak agar
mampu membangun karakter Masyarakat Adat Dayak melalui upaya
89 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah,
Pasal 1 ayat (25).
81
pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan adat istiadat, kebiasaan-
kebiasaan dan menegakkan hukum adat dalam masyarakat demi
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat,
menunjang kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan dan kelangsungan
pembangunan serta meningkatkan Ketahanan Nasional dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. upaya pemberdayaan Lembaga Adat Dayak mampu mendorong,
menunjang dan meningkatkan partisipasi Masyarakat Adat Dayak guna
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,
dan pembinaan masyarakat di daerah, terutama di desa/kelurahan
sehingga Masyarakat Adat Dayak setempat merasa dihargai secara utuh
sehingga terpanggil untuk turut serta bertanggung jawab atas rasa
keadilan, kesejahteraan dan kedamaian hidup masyarakat dan
lingkungannya90
.
Secara berjenjang, Kelembagaan Kedamangan Adat Dayak di Kalimantan
Tengah diselenggarakan dengan tugas dan fungsi sebagai berikut :
a. Lembaga adat dayak tingkat nasional adalah Majelis Adat Dayak
Nasional yang merupakan Lembaga Adat Dayak tertinggi, yang
mengemban tugas sebagai lembaga koordinasi, sinkronisasi, komunikasi,
pelayanan, pengkajian dan wadah menampung dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat dan semua tingkat Lembaga Adat Dayak;
b. Lembaga adat dayak tingkat provinsi adalah Dewan Adat Dayak Provinsi
dengan tugas pokok melaksanakan program kerja sebagai tindak lanjut
program kerja Majelis Adat Dayak Nasional, menjalankan fungsi
koordinasi dan supervisi terhadap seluruh Dewan Adat Dayak Kabupaten/
Kota di wilayah Kalimantan Tengah;
c. Lembaga adat dayak tingkat kabupaten/kota adalah Dewan Adat Dayak
Kabupaten/ Kota dengan tugas pokok melaksanakan program kerja
sebagai tindak lanjut program kerja Dewan Adat Dayak Provinsi,
menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap seluruh Dewan
Adat Dayak Kecamatan dan lembaga Kedamangan di wilayahnya;
d. Lembaga-lembaga adat dayak tingkat kecamatan adalah :
1. Dewan Adat Dayak Kecamatan dengan tugas pokok melaksanakan
program kerja sebagai tindak lanjut program kerja dewan Adat Dayak
Kabupaten/Kota serta menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi
terhadap seluruh Dewan Adat Dayak tingkat Desa/Kelurahan.
2. Kedamangan yang dipimpin oleh Damang Kepala Adat sekaligus
sebagai Ketua Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat tingkat
kecamatan
90 Ibid, Pasal 2 (ayat 1 dan 2).
82
e. Lembaga-lembaga adat dayak tingkat desa/kelurahan adalah :
1. Dewan Adat Dayak Desa/Kelurahan dengan tugas pokok dan fungsi
melaksanakan program kerja Dewan Adat Dayak Kecamatan.
2. Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat Desa/Kelurahan91
.
Adat Dayak bersama seluruh kearifan lokalnya. Bahkan dalam mengemban
tugas berat namun mulia tersebut didukung penuh oleh Masyarakat Adat Dayak
melalui Dewan Adat Dayak provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan, desa/kelurahan.
Dipaparkan pula mengenai tugas dan fungsi Dewan Adat Dayak, antara lain
sebagai berikut :
1. Menegakkan hukum adat dan menjaga wibawa lembaga adat
Kedamangan.
2. Membantu kelancaran pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila diminta oleh pejabat yang
berwenang.
3. Menyelesaikan perselisihan dan atau pelanggaran adat, dimungkinkan
juga masalah-masalah yang termasuk dalam perkara pidana, baik dalam
pemeriksaan pertama maupun dalam sidang penyelesaian terakhir
sebagaimana lazimnya menurut adat yang berlaku.
4. Berusaha untuk menyelesaikan dengan cara damai jika terdapat
perselisihan intern suku dan antara satu suku dengan suku lain yang
berada di wilayahnya.
5. Memberikan pertimbangan baik diminta maupun tidak diminta kepada
pemerintah daerah tentang masalah yang berhubungan dengan tugasnya.
6. Memelihara, mengembangkan dan menggali kesenian dan kebudayaan
asli daerah serta memelihara benda-benda dan tempat-tempat bersejarah
warisan nenek moyang.
7. Membantu pemerintah daerah dalam mengusahakan kelancaran
pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama bidang adat
istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat.
8. Mengukuhkan secara adat apabila diminta oleh masyarakat adat setempat
para pejabat publik dan pejabat lainnya yang telah dilantik sebagai
penghormatan adat.
9. Dapat memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-
hal yang menyangkut adanya persengketaan atau perkara perdata adat jika
diminta oleh pihak yang berkepentingan.
10. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Dayak,
dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan
91 Ibid, Pasal 4 ayat (1 dan 2)
83
kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Dayak pada
khususnya.
11. Mengelola hak-hak adat, harta kekayaan adat atau harta kekayaan
Kedamangan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kemajuan
dan taraf hidup masyarakat ke rah yang lebih baik.
12. Menetapkan besarnya uang sidang, uang meja, uang komisi, uang jalan,
dan lap tunggal dalam rangka pelayanan /penyelesaian kasus dan atau
sengketa oleh Kerapatan Mantir Perdamaian Adat, baik tingkat
kecamatan maupun tingkat desa/kelurahan.
13. Mengurus, melestarikan, memberdayakan dan mengembangkan
adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, hukum adat dan lembaga
kedamangan yang dipimpinnya.
14. Menegakkan hukum adat dengan menangani kasus dan atau sengketa
berdasarkan hukum adat dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir.
15. Sebagai penengah dan pendamai atas sengketa yang timbul dalam
masyarakat berdasarkan hukum adat92
.
Selain mengatur tentang mekanisme pemilihan, penetapan, dan masa kerja
Kedamangan di Kalimantan Tengah tersebut, dalam Perda Adat ini juga dijelaskan
pengaturan mengenai pengertian :
1. Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah
Kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai
berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan
luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik
bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat.
2. Tanah Adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun temurun
yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris
sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya
dengan Hak Ulayat.
3. Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh
dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat
berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya maupun tanah
kosong belaka.
4. Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak perorangan
untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan sumber daya alam dan
atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di atas tanah yang berada di dalam
hutan di luar tanah adatmenjadi tanah adat bersama, dan tanah adat
perorangan93
.
92 Ibid, Pasal 8 dan Pasal 9. 93 Lihat penjelasan tersebut dalam Pasal 1 ayat (19, 20, 21, dan 22)
84
Organisasi adat seperti Kerapatan Mantir/Let94
yang bermakna sebagai
perangkat adat pembantu Damang, Organisasi Barisan Pertahanan Masyarakat Adat
Dayak95
sebagai organisasi masyarakat adat Dayak mempertahankan eksistensinya,
serta membantu Damang dalam menegakkan hukum adat.
Dibahas pula dalam Perda Adat Kedamangan tersebut mengenai
pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat istiadat, kebiasaan adat, hukum
adat, dan lembaga adat. Beserta penyelesaian sengketa dan pemberlakuan sanksi adat
bagi pelanggar hukum adat Dayak96
.
Dalam penyelesaian sengketa adat yang telah diputuskan oleh Damang Kepala
Adat melalui Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan adalah bersifat
final dan mengikat para pihak, namun apabila para pihak sepakat berkehendak untuk
mencari keadilan melalui peradilan umum atau hukum nasional (undang-undang),
maka itu menjadi hak para pihak, tetapi Keputusan Peradilan Adat yang telah diambil
dapat menjadi bahan pertimbangan hakim.
Adapun, beberapa jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Kerapatan
Mantir/Let Perdamaian Adat baik di tingkat Desa/Kelurahan maupun di tingkat
Kecamatan adalah sebagai berikut :
1. Nasehat/teguran secara lisan dan/atau tertulis.
2. Pernyataan permohonan maaf secara lisan dan /atau tertulis.
3. Singer (nama lain) untuk denda maupun ganti rugi.
94 Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah perangkat adat pembantu Damang atau gelar bagi anggota Kerapatan
Mantir Perdamaian Adat di tingkat kecamatan dan anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan,
berfungsi sebagai peradilan adat yang berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam menegakkan hukum adat
Dayak di wilayahnya. Lihat Pasal 1 ayat 26. 95 Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak adalah sub-organisasi Majelis Adat Dayak Nasional, Dewan Adat Dayak
Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa/Kelurahan yang mempunyai tugas khusus untuk mengawal perjuangan
Masyarakat Adat Dayak mempertahankan keberadaannya, membantu tugas Damang dalam menegakkan hukum adat dan mengantisipasi gangguan terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di daerah perbatasan. Lihat
Pasal 1 ayat 33. 96 Dalam perda tersebut, yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati
nurani masyarakat dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial
budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Lihat penjelasan arti Hukum Adat Dayak dalam Pasal
1 ayat 17.
85
4. Dikucilkan dari masyarakat adat desa/kelurahan, yaitu pihak pelanggar
adat tidak diperbolehkan ikut dalam seluruh kegiatan adat untuk jangka
waktu tertentu.
5. Dikeluarkan dari masyarakat Desa, yaitu memutuskan semua hubungan
sosial dan adat antara masyarakat adat dengan pihak pelanggar dalam
jangka waktu tidak terbatas.
6. Pencabutan gelar adat.
7. Dan lain-lain bentuk sanksi sesuai dengan hukum adat setempat97
.
Tata cara penyelesaian sengketa dan tata cara menjatuhkan sanksi adat oleh
Damang Kepala Adat melalui Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat, dilakukan
sesuai dengan hukum adat Dayak yang berlaku di wilayah kedamangan masing-
masing.
3. 3. 8. Perda Pakraman Bali
Desa Pakraman yang telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad di
Provinsi Bali, sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai oleh ajaran
agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Bali. Keberadaan Desa Pakraman,
diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman.
Keberadaan Desa Pakraman98
telah memberikan kontribusi berharga terhadap
kelangsungan kehidupan masyarakat adat dan pembangunan di segala bidang
terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Sehingga
keberadaannya perlu untuk dilesetarikan dan diberdayakan.
Pembahasan mengenai kelembagaan adat yang hidup berkembang didalam
masyarakat adat Bali, didasarkan pada pola kehidupan bermasyarakat yang menganut
97 Ibid, Pasal 32. 98 Pengertian DesaPakraman adalah kesatuan masyarakat hokum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan
desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Lihat Ketentuan Umum Perda No 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman, Pasal 1 ayat 4.
86
ajaran agama Hindu. Beberapa pengertian dan istilah adat dalam budaya masyarakat
Bali seperti :
1. Awig-awig, adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau
krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan
Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa
pakraman dan banjar pakraman masing-masing.
2. Prajuru Desa Pakraman, adalah pengurus desa pakraman dan banjar
pakraman di Provinsi Bali.
3. Banjar Pakraman, adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian
desa pakraman.
4. Krama desa/Krama Banjar, adalah mereka yang menempati karang desa
pakraman/karang banjar pakraman dan atau bertempat tinggal diwilayah
desa/banjar pakraman atau ditempat lain yang menjadi warga desa
pakraman/banjar pakraman.
5. Krama pengempon/pengemong adalah krama desa pakraman/karma
banjar pakraman yang mempunyai ikatan lahir dan batin
terhadap kahyangan yang berada di wilayahnya serta bertanggung
jawab terhadap pemeliharaan, perawatan, dan pelaksanaan kegiatan-
kegiatan upacara di kahyangan tersebut.
6. Krama penyungsung adalah krama desa pakraman/krama banjar pakraman
yang mempunyai ikatan batin terhadap suatu kahyangan dan atau ikut
berpartisipasi dalam pemeliharaan, perawatan, dan pelaksanaan kegiatan-
kegiatan upacara berupa dana punia.
7. Palemahan desa pakraman adalah wilayah yang dimiliki oleh desa
pakraman yang terdiri atas satu atau lebih palemahan banjar pakraman
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
8. Tanah ayahan desa pakraman adalah tanah milik desa pakraman yang
berada baik di dalam maupun di luar desa pakraman.
9. Paruman desa/banjar pakraman adalah paruman permusyawaratan atau
permufakatan krama desa pakraman/banjar pakraman yang
mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam desa pakraman/banjar pakraman.
10. Paruman alit adalah sidang utusan prajuru desa pakraman sekecamatan
yang mempunyai kekuasaan tertinggi di kecamatan.
11. Paruman madya adalah sidang utusan paruman prajuru desa pakraman
se kabupaten/kota yang mempunyai kekuasaan tertinggi di kabupaten/kota.
12. Paruman agung adalah sidang utusan prajuru desa pakraman se-Bali yang
mempunyai kekuasaan tertinggi di Propinsi.
13. Pacalang adalah satgas (satuan tugas) keamanan tradisional masyarakat
Bali yang mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban
wilayah, baik ditingkat banjar pakraman dan atau di wilayah desa
87
pakraman99
.
Desa Pakraman mempunyai tugas :
a. Membuat Awig-awig.
b. Mengatur krama desa.
c. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa.
d. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala
bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan
kemasyarakatan.
e. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan mengembangkan
kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada
khususnya, berdasarkan "paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-
sabayantaka" (musyawarah-mufakat);
f. mengayomi krama desa100
.
Selain memiliki fungsi tugas tersebut diatas, Desa Pakraman memiliki
kewenangan antara lain :
a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya
dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai
dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat.
b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan
pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri
Hita Karana.
c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman101
.
Dalam menjalankan keberadaan desa pakraman, pelaksanaannya dilakukan
oleh pemimpin adat yang disebut prajuru. Seorang prajuru dipilih dan ditetapkan
oleh krama desa pakraman menurut aturan yang ditetapkan dalam awig-awig desa
pakraman masing-masing. Tugas-tugas prajuru antara lain :
a. Melaksanakan awig-awig.
b. mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan di desa pakraman, sesuai
dengan sastra agama dan tradisi masing-masing.
c. mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat;
99 Ibid, Ketentuan Umum Pasal 1 100 Ibid, Pasal 5. 101 Ibid, Pasal 6.
88
d. mewakili desa pakraman dalam bertindak untuk melakukan perbuatan
hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas persetujuan paruman
desa;
e. mengurus dan mengatur pengelolaan harta kekayaan desa pakraman;
f. membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa pakraman.
Selain mengatur mengenai fungsi dan wewenang Desa Pakraman, dalam
produk perundangan tersebut juga menjelaskan dan merincikan mengenai :
1. Harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maupun
yang akan ada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material
dan inmaterial serta benda-benda yang bersifat religious magis yang
menjadi milik desa pakraman.
2. Pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh prajuru
desa sesuai dengan awig-awig desa pakraman masing-masing.
3. Setiap pengalihan/perubahan status harta kekayaan desa pakraman harus
mendapat persetujuan paruman.
4. Pengawasan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh krama
desa pakraman.
5. Tanah desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman tidak dapat
disertifikatkan atas nama pribadi.
6. Tanah desa pakraman dan tanah milik desa pakraman bebas dari pajak bumi
dan bangunan102
.
Kelembagaan adat lain adalah Majelis Desa Pakraman, yang merupakan
sarana perkumpulan antar Desa Pakraman di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, dan
provinsi. Majelis Desa Pakraman mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :
a. Mengayomi adat istiadat.
b. Memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik
perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah-
masalah adat.
c. Melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman sesuai dengan aturan-
aturan yang ditetapkan.
d. Membantu penyuratan awig-awig.
e. Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
102 Ibid, Pasal 9.
89
f. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat
dan agama untuk kepentingan desa pakraman.
g. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan
pada tingkat desa.
h. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan,
kabupaten/kota dan provinsi103
.
Dalam pembahasan ini, tidak dapat dilupakan pula keberadaan dan fungsi
Pacalang atau Langlang menjalankan tugas-tugas keamanan di wilayah kehidupan
desa pakraman dalam hubungan pelaksanaan tugas adat dan agama. Keberadaan
Pacalang diangkat dan diberhentikan oleh Desa Pakraman berdasarkan Paruman desa.
Penyelesaian sengketa adat dan agama Hindu didalam masyarakat adat Bali
diselesaikan melalui suatu lembaga peradilan desa pakraman yang disebut Sabha
Kertha. Sengketa-sengketa adat meliputi sengketa perkawinan, perceraian, waris,
pengangkatan anak. Lembaga peradilan adat (Sabha Kertha) tersebut diadakan secara
berjenjang yaitu :
a. Penyelesaian sengketa pada tingkat pertama dilakukan oleh Kertha Desa
(pelaksanaan pada tingkat desa/kelurahan/kecamatan), terdiri dari 3
sampai 5 orang hakim perdamaian desa yang dipilih melalui paruman.
b. Penyelesaian sengketa pada tingkat kedua dilakukan oleh Kertha Madya
(pelaksanaan pada tingkat kabupaten/kota), terdiri dari 7 sampai 9 orang
hakim perdamaian Madya yang dipilih melalui paruman.
c. Penyelesaian sengketa pada tingkat terakhir dilakukan oleh Kertha Agung
(pelaksanaan pada tingkat provinsi dan keputusannya bersifat mengikat
dan harus dijalankan), terdiri dari 9 sampai 11 orang hakim perdamaian
Agung yang dipilih melalui paruman.
103 Ibid, Pasal 16.
90
Hakim perdamaian pada masing-masing tingkatan dipilih dari para prajuru,
tokoh adat/agama dan tokoh masyarakat lainnya yang memahami hukum adat dan
hukum agama.
Pemahaman Desa Pakraman sebagai pengemban fungsi keagamaan disamping
pengemban fungsi adat dan kebudayaan adalah sangat penting, selalu mengingatkan
kita semua agar ajaran Agama Hindu di Bali senantiasa dijadikan nilai yang utama
dalam kehidupan dan pelaksanaan sistem adat. Upaya perlindungan terhadap tanah
adat pada masyarakat desa pakraman di Bali, telah dijabarkan sebelumnya dalam
Pasal 9 ayat (5) bahwa tanah desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman
tidak dapat disertifikasikan atas nama pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa
pengambilalihan atas pemanfaatan tanah adat di Bali tidak dapat dilakukan oleh pihak
asing.
Penguatan hubungan antara desa adat dengan tanahnya itu, kemudian
dibuatkan aturan yang kemudian disuratkan dalam awig-awig yang melarang adanya
pengalihan hak atau jual beli tanah druwe (milik) desa kepada orang yang bukan
sebagai krama desa setempat, juga dilarang untuk menggunakan tanah dimaksud,
kecuali dipergunakan sesuai dengan tujuan (petisi) seperti yang tercantum dalam
awig-awig dan memperoleh persetujuan melalui paruman desa104
.
Tanah dalam kebudayaan Bali merupakan pelaba pura. Artinya, tanah
merupakan dana abadi untuk membiayai keberlanjutan tempat suci pura. Dengan
menjual tanah, orang Bali pada akhirnya kehilangan tanah. Juga kehilangan tradisi
adat, kebudayaan, bahkan upacara keagamaan.
104 I Made Suwitra, 2010, Dampak Konversi dalam UUPA Terhadap Status Tanah Adat di Bali, Jurnal Hukum UII No 1 Vol 17,
hlm : 103-118.
91
Kenyataannya saat ini, semakin banyak terdapat tanah-tanah adat yang telah
berpindah kepemilikan kepada orang asing. Kecenderungan yang terjadi ketika
pengalih fungsian penguasaan atas tanah adat, lebih dikarenakan krama tamiu (warga
pendatang) tidak melakukan upaya komunikasi (rembug) dan tanpa sepengetahuan
desa adat, namun perizinannya telah diterbitkan oleh Pemda setempat. Perda No 3
Tahun 2001 ini memberi celah bagi krama tamiu (warga pendatang) mendapat hak
atas pawongan dan palemahan, tanpa kewajiban parahyangan. Padahal, logika
hukum adat Bali justru mempersyaratkan kewajiban memikul tanggung jawab
parahyangan-lah yang menyebabkan seseorang sebagai warga adat berhak atas
pawongan dan palemahan, bukan sebaliknya sebagaimana logika dari Perda No 3
Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman105
. Selain itu ketidak jelasan status hukum tanah
komunal mendorong terjadinya pengalihan kepemilikan tanah, sehingga memicu
terjadinya konflik. Beberapa contoh konflik pertanahan di Bali antara lain :
1. Kasus konflik pertanahan di Desa Sumber Klampok Kecamatan
Gerokgah Kabupaten Buleleng.
2. Kasus konflik tanah Desa Selasih Kabupaten Tingkat II Gianyar.
3. Kasus konflik tanah di Desa Pecatu Kabupaten Badung.
4. Kasus konflik tanah pembangunan Garuda Wisnu Kencana.
5. Kasus konflik tanah Bali Nirwana Resort.
6. Kasus konflik tanah pembangunan Pulau Serangan.
7. Kasus pembangunan Kawasan Nusa Penida.
8. Kasus tanah Setra di Bandara Ngurah Rai.
9. Kasus konflik Tanah Sawangan106
.
Pemberlakuan Perda Adat Bali tersebut, lebih dimaksudkan sebagai upaya
pembangunan budaya Bali, mewujudkan pelestarian kebudayaan, sehingga
terciptanya kebudayaan yang mampu menyaring secara selektif nilai-nilai budaya
asing. Sekiranya akan sangat penting mengingat dilain sisi Provinsi Bali tidak lagi
105 Gde Widyatmika, Direktur LBH Denpasar, Majalah Gumi Bali SARAD. 106 Lihat Sukri Abdurrachman, Konflik Pertanahan Vertikal Pada Kawasan Pariwisata di Bali,
92
menjadi Provinsi dengan homogenitas suku tertentu, melainkan saat ini sudah terdiri
dari bermacam-macam suku yang datang. Dilain itu pengaruh kebudayaan asing dari
luar yang tidak selalu sejalan dengan kebudayaan bangsa timur, akan menjadi salah
satu faktor mengikis dan menyurutnya kebiasaan-kebiasaan adat yang telah lama
hidup dalam masyarakat.
3. 3. 9. Perda Pemberdayaan, Pelestarian, dan Pengembangan Adat Istiadat.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh sebanyak 52
Perda (47.71%) dari 109 Perda adat yang berkaitan dengan pelestarian,
pengembangan, dan pemberdayaan adat istiadat selama masa Reformasi (1998 –
sekarang) di Indonesia.
Adat istiadat atau hukum adat sebenarnya masih sangat kental mewarnai
kehidupan masyarakat desa. Bahkan masyarakat atau komunitas tertentu di kota-
kotapun banyak yang masih membawa kebiasaan dan menerapkan adat istiadat dari
desa atau kampung halaman mereka masing-masing. Sampai di kota atau daerah
perantauan ikatan kekerabatan dalam budaya yang dimiliki masih dipertahankan107
.
Namun, kecenderungan terkikisnya keberadaan adat istiadat dan kelembagaan adat
menjadi pemicu diterbitkannya payung hukum untuk melestarikan, melindungan dan
mengembangkan keberadaan adat istiadat dan lembaga adat di seluruh Indonesia.
107 Lihat Abraham Raubun, Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa,
TERPADU, Media Komunikasi Pembangunan Desa Terpadu, Vol 1, 2011.
93
3. 3. 10. Pelestarian, Pengembangan, dan Pemberdayaan Adat Istiadat di
Provinsi Jawa Barat
Munculnya penerapan Perda Pelestarian, Pengembangan dan Pemberdayaan
Adat Istiadat di Region Jawa Barat diawali dari diundangkannya Peraturan Daeah
Kabupaten Cianjur No 15 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta
Pengembangan Adat Istiadat Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat.
Perda tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan peranan nilai-nilai adat
istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat dalam menunjang
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, kelangsungan pembangunan dan
peningkatan ketahanan nasional serta turut serta dalam upaya mendorong
kesejahteraan warga masyarakat. Selain daripada itu, penerapan Perda Kabupaten
Cianjur tersebut adalah untuk meningkatkan sumber daya manusia dan membentuk
suatu organisasi kemasyarakatan yang mengarah kepada tatanan kehidupan suatu
masyarakat yang tidak merubah nilai, kaidah dan kepercayaan untuk menunjang
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat.
Beberapa istilah dan pengertian yang termuat dalam Perda Kabupaten Cianjur,
antara lain :
1. Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan keyakinan sosial
yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat desa dan atau kesatuan masyarakat lainnya serta
nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat
sebagaimana terwujud dalam berbagai pola kelakuan yang merupakan
kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat setempat.
2. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat adalah pola-pola kegiatan atau perbuatan
yang dilakukan oleh para warga masyarakat yang merupakan sebuah kesatuan
hukum tertentu yang pada dasarnya dapat bersumber pada hukum adat atau
adat istiadat sebagaimana diakui keabsahannya oleh warga masyarakat
tersebut dan oleh warga masyarakat lainnya.
3. Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan baik yang sengaja
dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam
94
sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum
adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam
hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus
dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan
mengacu kepada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
4. Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adat istiadat itu tumbuh,
hidup dan berkembang sehingga menjadi penyangga keberadaan adat istiadat
yang bersangkutan.
5. Hak adat adalah hak untuk hidup di dalam memanfaatkan sumber daya yang
ada dalam lingkungan warga masyarakat yang berdasarkan hukum adat yang
berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu108
.
Tidak dijelaskan secara spesifik bentuk kelembagaan adat dalam Perda
Kabupaten Cianjur tersebut. Lembaga adat berkedudukan sebagai wadah organisasi
permusyawaratan/permufakatan kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pemuka-
pemuka adat lainnya yang berada di luar susunan organisasi pemerintah. Dalam
pelaksanaannya, lembaga adat yang dimaksud dalam Perda Kabupaten Cianjur
mempunyai tugas antara lain :
a. Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada Pemerintah serta
menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
b. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah
serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan
Pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan masyarakat.
c. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara
kepala adat/pemangku adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat
Pemerintah di daerah109
.
Kedudukan organisasi kelembagaan adat berdasarkan Perda Kabupaten
Cianjur tersebut, ditetapkan oleh Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan
Desa. Lembaga adat di Kabupaten Cianjur adalah sebagai mitra Pemerintahan Desa.
108 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur No 15 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian
serta Pengembangan Adat Istiadat Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat. 109 Ibid, Pasal 5 ayat (2).
95
Pada region yang sama (Provinsi Jawa Barat), sejak diundangkannya Perda
Kabupaten Cianjur tersebut, diikuti pula oleh penerapan Peraturan Daerah Kabupaten
Garut No 22 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta
Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat.
Namun, muatan perda tersebut identik dengan muatan dalam Perda Kabupaten
Cianjur. Kecenderungan lahirnya perda-perda identik di Indonesia ini, dapat dijumpai
dalam pembahasan mengenai Perda Pelestarian, Pemberdayaan dan Pengembangan
Adat Istiadat berdasarkan hasil dari penelitian ini.
3. 3. 11. Pelestarian, Pengembangan, dan Pemberdayaan Adat Istiadat Provinsi
Lampung
Pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dapat ditemui
Peraturan Daerah Provinsi Lampung No 2 Tahun 2008 Tentang Pemeliharaan
Kebudayaan Lampung. Masyarakat adat Lampung yang terdiri dari Ruwa Jurai yaitu
Jurai Adat Pepadun dan Jurai Adat Saibatin. Prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-
hari menunjukkan suatu corak keaslian yang khas dalam hubungan sosial
antarmasyarakat Lampung yang disimpulkan dalam 5 prinsip yakni :
1. Piil Pesenggiri, berasal dari bahasa Arab fiil yang berarti perilaku, dan
pesenggiri maksudnya keharusan bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri,
serta tahu kewajiban. Pada filsafat piil tampak nilai-nilai yang tersirat begitu
luhur seperti tercantum dalam kitab hukum adat Kuntara Abung dan Kuntara
Raja Niti, kedua kitab tersebut banyak berisi aturan perikelakuan seseorang,
cara berpakaian, aturan perkawinan, serta hukum pidana adat dan hukum
perdata adat.
2. Sakai Sambayan, mengandung makna dan pengertian yang luas, termasuk
diantaranya tolong menolong, bahu membahu, dan saling memberikan sesuatu
kepada pihak lain yang memerlukan dalam hal ini tidak terbatas pada sesuatu
yang sifatnya materi saja, tetapi juga dalam arti moral termasuk sumbangan
tenaga, pemikiran, dan lain sebagainya.
96
3. Nemui Nyimah, berarti bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak
baik terhadap orang dalam satu klan maupun di luar klan dan juga terhadap
siapa saja yang berhubungan dengan mereka. Jadi selain bermurah hati
dengan memberikan sesuatu yang ada padanya kepada pihak lain, juga sopan
santun dalam bertutur kata terhadap tamu mereka.
4. Nengah Nyappur, adalah tata cara pergaulan masyarakat Lampung dengan
sikap membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum, agar berpengetahuan
luas dan ikut berpartisipasi terhadap segala sesuatu yang sifatnya baik dalam
pergaulan dan kegiatan masyarakat yang dapat membawa kemajuan dan selalu
bisa menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman.
5. Bejuluk Beadek, adalah didasarkan kepada titei gemattei yang diwarisi secara
turun temurun secara adat dari zaman nenek moyang dahulu, tata cara
ketentuan pokok yang selalu dipakai diikuti (titei gemattei) diantaranya adalah
ketentuan seseorang selain mempunyai nama juga diberi gelar sebagai
panggilan terhadapnya dan bagi seseorang baik pria maupun wanita jika sudah
menikah diberi adek (beadek) yang biasanya pemberian adek ini dilakukan
atau dilaksanakan didalam rangkaian upacara atau waktu pelaksanaan
perkawinan/pernikahan110
.
Pengembangan dan perlindungan adat yang dimaksud dalam Perda Adat
Lampung tersebut lebih menekankan pada budaya yang meliputi :
1. Bahasa daerah adalah bahasa Lampung yang disesuaikan dengan wilayah
keadatannya yang digunakan sehari-hari sebagai sarana komunikasi dan
intcraksi antar anggota masyarakat dari suku-suku atau kelompok-kelompok
etnis di daerah-daerah dalam wilayah Provinsi Lampung.
2. Sastra daerah adalah sastra yang diungkapkan dalam bahasa daerah baik lisan
maupun tulisan.
3. Aksara daerah adalah aksara Lampung Khaganga yaitu sistim ortografi hasil
masyarakat daerah yang meliputi aksara dan sistim pengaksaraan untuk
menuliskan bahasa daerah.
4. Kesenian adalah kesenian tradisional masyarakat adat Lampung yaitu nilai
estetika hasil perwujudan kreatifitas daya cipta, rasa, karsa dan karya yang
hidup secara turun-temurun dalam mayarakat Lampung.
5. Kepurbakalaan adalah semua tinggalan budaya masyarakat masa lalu yang
bercorak pra sejarah, Hindu-Budha, Islam maupun kolonial.
6. Tinggalan budaya adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak yang
menjadi warisan budaya.
7. Kesejarahan adalah dinamika peristiwa yang terjadi di masa lalu dalam
berbagai aspek kehidupan dan hasil rekonstruksi peristiwa-peristiwa tersebut,
110 http://t-indonesia.com/kolom/wforum.cgi?no=3306&reno=3290&oya=3290&mode=msgview&list=new
97
serta peninggalan-peninggalan masa lalu dalam bentuk pemikiran ataupun
teks tertulis dan tradisi lisan.
8. Nilai tradisional adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang amat
penting dan berguna dalam hidup dan kehidupan manusia yang tercermin
dalam sikap dan perilaku yang selalu berpegang teguh pada adat istiadat.
9. Museum adalah lembaga yang menyelenggarakan pengumpulan,
penyimpanan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia, alam dan
lingkungannya.
10. Lembaga Adat adalah Lembaga Adat Lampung yaitu organisasi
kemasyarakatan yang karena kesejarahan atau asal usulnya memuliakan
hukum adat dan mendorong anggota-anggotanya untuk melakukan kegiatan
pelestarian serta pengembangan adat budaya Lampung.
11. Pakaian Daerah adalah pakaian Adat Lampung yaitu perangkat Pakaian Adat
serta baju telukbelanga dan pakaian yang memberikan corak nilai-nilai
kebesaran budaya Lampung.
12. Budaya Daerah adalah budaya masyarakat Lampung yaitu sistem nilai yang
dianut oleh komunitas/kelompok masyarakat Daerah, yang diyakini akan
dapat memenuhi harapan-harapan warga- masyarakatnya dan di dalamnya
terdapat nilai-nilai, sikap serta tata cara masyarakat yang diyakini dapat
memenuhi kehidupan warga masyarakatnya111
.
Perda Adat Provinsi Lampung dibuat bertujuan untuk mendayagunakan secara
optimal nilai-nilai budaya Lampung, dan bertujuan melindungi, melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai dan keberadaan kebudayaan daerah. Selain itu,
pemeliharaan kebudayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian dalam
melindungi, melestarikan, menghargai budaya, dan meningkatkan ketahanan sosial
dan budaya masyarakat adat Lampung.
Peran serta masyarakat dalam usaha pemeliharaan, pembinaan dan
pengembangan seluruh aspek kebudayaan Lampung juga menjadi muatan
perundangan tersebut. Selain kelembagaan adat yang bersumber dari organisasi
kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang telah tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat.
111 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Provinsi Lampung No 2 Tahun 2008 Tentang Pemeliharaan Kebudayaan
Lampung.
98
Lembaga adat dalam Perda Provinsi Lampung adalah sebagai wadah
organisasi permusyawaratan/permufakatan kepala adat/pemangku adat/petua-petua
adat/pemuka-pemuka adat lainnya baik yang ada maupun yang berkedudukan diluar
organisasi Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan
Kelurahan/Desa atau Tiuh, Pekon112
dan Kampung. Lembaga adat tersebut memiliki
tugas antara lain sebagai berikut :
a. Menampung dan menyalurkan aspifasi/pendapat masyarakat kepada
Pemerintah.
b. Menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul dalam masyarakat yang
berkenaan dengan hukum adat dan adat istiadat.
c. Melestarikan, mengembangkan dan memberdayakan Kebudayaan Lampung
pada umumnya dan khususnya hal-hal yang berkenaan dengan adat istiadat
Lampung.
d. Memberdayakan masyarakat dalam rangka menunjang peningkatan
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat
di daerah.
e. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara
kepala adat/pemangku adat/petua-petua adat/pemuka-pemuka adat lainnya
dengan aparatur pemerintahan di daerah113
.
Selain itu, kelembagaan adat dalam pengaturannya di Perda Provinsi
Lampung memiliki kewenangan dan kewajiban yaitu :
a. Mewakili masyarakat adat keluar apabila menyangkut hal-hal yang berkenaan
dengan kepentingan masyarakat adat;
b. Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan;
c. Menyelesaikan berbagai perselisihan yang menyangkut perkara-perkara adat
istiadat sepanjang penyelesaian dimaksud tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Menunjang pemerintah daerah dalam peningkatan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. pembangunan dan kesejahteraan masyarakat serta
pemeliharaan kebudayaan Lampung;
112 Pekon adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dengan Sistem Pemerintahan
Nasional dan beberapa di Daerah Kabupaten. Lihat penjelasannya dalam ketentuan umum Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat No 14 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat. 113 Op.Cit, Pasal 19.
99
e. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya adat istiadat dan
kemajemukan adat istiadat serta kebudayaan daerah;
f. Menegaskan makna dan hakekat adat dan budaya sebagai kekuatan lokal yang
hidup seeara dinamis dasn menciptakan kondisi yang dapat inenjamin tetap
terpeliharanya kebhinekaan masyarakat adat dalam memperkokoh persatuan
dan kesatuan bangsa114
.
Dalam Perda Provinsi Lampung ini juga diatur mengenai penjatuhan sanksi
administratif dan ketentuan pidana sebagai upaya penegakan hukum atas
perlindungan, pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan di Provinsi Lampung.
Penjatuhan sanksi administratif diberikan apabila suatu bangunan publik, gedung
yang sudah ada maupun yang akan dibangun tidak menggunakan ornamen khas
lampung berupa siger115
, jung kain kapal, dan tugu. Sanksi administratif dapat
berupa:
a. Teguran lisan.
b. Peringatan tertulis.
c. Penundaan pemberian layanan publik116
.
Sedangkan penjatuhan sanksi pidana diberikan apabila terjadi pelanggaran
oleh masyarakat yang tidak mendaftarkan, dalam hal ini menyimpan atas temuan
kepurbakalaan dan benda tinggalan budaya. Penjatuhan pidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah,-)117
.
Mengenai produk juridis terkait pelestarian, pengembangan dan
pemberdayaan adat istiadat di Provinsi Lampung. Sejak tahun 2000, telah
diundangkan beberapa Perda di tingkat Kabupaten. Hasil yang didapat selama
114 Ibid, Pasal 21. 115 Siger adalah topi adat pengantin wanita Lampung. Menara Siger berupa bangunan berbentuk mahkota terdiri dari sembilan
rangkaian yang melambangkan sembilan macam bahasa di Lampung. Menara Siger berwarna kuning dan merah,
mewakili warna emas dari topi adat pengantin wanita. Bangunan ini juga berhiaskan ukiran corak kain tapis khas Lampung.
116 Op.Cit, Pasal 27 ayat (2). 117 Op.Cit, Pasal 28 ayat (2).
100
penelitian menunjukan beberapa Perda tingkat kabupaten telah diundangkan jauh
sebelum diundangkannya Perda Provinsi, beberapa Perda terkait yang diperoleh
selama penelitian ini antara lain :
1. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat No 14 Tahun 2000 Tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Tengah No 11 Tahun 2000 Tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat.
3. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur No 32 Tahun 2000 Tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat Kabupaten Lampung Timur.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Utara No 13 Tahun 2000 Tentang
Pelestarian, Pengembangan dan Pemberdayaan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat.
5. Peraturan Daerah Kabupaten Tanggamus No 28 Tahun 2000 Tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat.
6. Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No 35 Tahun 2000 Tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat serta Lembaga Adat.
7. Peraturan Daerah Kabupaten Tulang Bawang No 16 Tahun 2001 Tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat.
8. Peraturan Daerah Provinsi Lampung No 2 Tahun 2008 Tentang Pemeliharaan
Kebudayaan Lampung118
.
Namun, seperti halnya produk hukum Kabupaten Cianjur yang telah
dipaparkan sebelumnya. Kecenderungan produk hukum bermuatan identik antara satu
dengan lainnya tetap terjadi di Regional Lampung. Hal tersebut adalah sebagai upaya
penyeragaman dan sebagai penguatan keberadaan adat istiadat di Provinsi Lampung.
118 Hasil penelitian dan pengkajian data peneltian CLDS FH UII 2012.
101
3. 3. 12. Pelestarian, Pengembangan, dan Pemberdayaan Adat Istiadat di
Provinsi Jambi.
Pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat
dimotori dengan terbitnya Perda Kabupaten Jabung Barat No 7 Tahun 2001. Dalam
Perda Adat tersebut dipaparkan bahwa ditujukan untuk pengembangan sumber daya
manusia, pelestarian kebudayaan, dan menciptakan kebudayaan daerah yang
menunjang kebudayaan nasional, serta peningkatan peran lembaga adat dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dalam Perda Kabupaten Jabung Barat No 7 Tahun 2001 tersebut, mengatur
mengenai mekanisme pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan
lembaga adat, yang dilakukan bersama-sama dengan Organisasi atau Lembaga Adat
oleh :
a. Bupati Tanjung Jabung Barat.
b. Camat di wilayah Kecamatan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
c. Kepala Desa/Kepala Kelurahan di wilayah Desa/Kelurahan Kabupaten
Tanjung Jabung Barat.
d. Kepala Adat/Pemangku Adat/Tetua Adat atau Pemimpin/Pemuka-pemuka
Adat di wilayah adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat119
.
Implementasi atas upaya pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat
istiadat yang dilakukan diatas, dituangkan dalam kebijakan dan atau langkah-langkah
berbentuk Keputusan Bupati Tanjung Jabung Barat dan Peraturan perundang-
undangan lain yang berdaya guna dan berhasil guna dengan berpedoman kepada
Peraturan Daerah ini setelah dimusyawarahkan dengan Pemimpin atau pemuka adat.
119 Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat No 7 Tahun 2001 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan
Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Pasal 2.
102
Upaya pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan terhadap adat-
istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan Lembaga Adat dalam Perda Kabupaten
Tanjung Jabung Barat ini, diarahkan menuju terciptanya :
a. Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya melalui penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan Kemasyarakatan
yang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
b. Terwujudnya pelestarian Kebudayaan Daerah, baik dalam upaya memperkaya
Kebudayaan Daerah maupun dalam rangka memperkaya khasanah
Kebudayaan Nasional.
c. Terciptanya Kebudayaan Daerah yang menunjang Kebudayaan Nasional yang
mengandung nilai-nilai luhur dan beradab sehingga mampu menyaring secara
selektif terhadap nilai-nilai budaya asing yakni menerima yang positif dan
menolak yang negatif.
d. Terkondisinya suasana yang dapat mendorong peningkatan peranan dan
fungsi adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan Lembaga Adat
dalam upaya:
1) Meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia dalam memperkuat
jati diri dan kepribadian bangsa.
2) Meningkatkan sikap kerja keras, disiplin dan tanggung jawab sosial,
menghargai prestasi, berani bersaing, maupun bekerja sama dan
menyesuaikan diri serta kreatif, untuk memajukan diri pribadi secara
sosial dan memajukan masyarakat.
3) Mendukung dan berpartisipasi aktif dalam menunjang kelancaran
penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan pada semua tingkatan Pemerintah di Daerah terutama di
Desa/Kelurahan120
.
Pengertian yang terkandung didalam Perda Kabupaten Tanjung Jabung Barat
terkait Lembaga Adat adalah, sebuah organisasi Kemasyarakatan, baik yang sengaja
dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang didalam sejarah
masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu
dalam wilayah hukum dan hak atau harta kekayaan didalam wilayah hukum tersebut,
serta berhak dan berwenang untuk mengatur mengurus dan menyelenggarakan
120 Ibid, Pasal 5.
103
berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan mengaju pada adat istiadat
dan hukum adat yang berlaku. Dengan tugas sebagai berikut :
a. Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta
menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat;
b. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat-istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah
serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan
Pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan Kemasyarakatan;
c. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara
Kepala Adat/Pemangku Adat/Tetua Adat dan Pimpinan atau Pemuka Adat
dengan Aparat Pemerintah di daerah.
Terkait dengan susunan organisasi kelembagaan adat, terdiri dari :
1. Pembina
2. Penasehat.
3. Pengurus, yang terdiri dari :
a. Ketua dan wakil ketua.
b. Sekretaris umum dan wakil sekretaris.
c. Bendahara dan wakil bendahara.
d. Seksi-seksi, yaitu :
- Seksi Organisasi dan kaderisasi
- Seksi Sejarah dan Kepurbakalaan
- Seksi Hukum Adat
- Seksi Pembangunan
- Seksi Pengerahan Sarana
- Seksi Lingkungan hidup, Pelestarian Sumber Daya Alam dan
Keluarga Berencana
- Seksi Kesenian dan Kebudayaan
- Seksi Peranan Wanita
- Seksi Kesejahteraan Rakyat dan Pembinaan Agama121
.
121 Ibid, Pasal 9. Jumlah seksi yang terdapat dalam struktur organisasi kelembagaan adat tersebut, dapat ditambah atau dikurangi
sesuai kebutuhan.
104
Ketua Lembaga Adat berdasar pada Perda Tanjung Jabung Barat, dipilih
setiap 5 (lima) tahun sekali dan dapat dipilih kembali untuk masa jabatan lima tahun
berikutnya. Pemilihan Ketua Lembaga Adat dilakukan oleh Musyawarah Adat Desa
dengan Pengesahan Bupati melalui rekomendasi Lembaga Adat Kecamatan. Ketua
Lembaga Adat memiliki kewajiban untuk memberikan laporan kerja setiap tahun
kepada Pemerintah Kabupaten, dan memberikan laporan pertanggung jawaban sekali
dalam lima tahun kepada Bupati. Bila dalam pelaksanaan kerja Ketua Lembaga Adat
tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik maka atas usulan para anggota adat
dengan persetujuan Bupati, dapat diberhentikan. Hal-hal lain yang menjadi alasan
pemberhentian Ketua Lembaga Adat :
a. Meninggal dunia;
b. Sakit keras berkepanjangan;
c. Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku dan atau norma yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat adat122
.
Sejalan dengan diterapkannya Perda Kabupaten Tanjung Jabung Barat terkait
pembinaan dan pengembangan adat istiadat, di Kabupaten Batang Hari diterbitkan
Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari No 6 Tahun 2008 Tentang Pembinaan dan
Pengembangan Adat dan Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam. Dengan
berfalsafah pada Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (Adat yang
bersendikan pada Syara’, dan Syara’ yang bersendikan pada Kitabullah), penerapan
Perda Kabupaten Batang Hari ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan
adat dan lembaga adat Bumi Serentak Bak Ragam dalam menunjang kelancaran
122 Ibid, Pasal 12.
105
kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta memperkuat
ketahanan nasional.
Adat Bumi Serentak Bak Regam adalah seperangkat nilai-nilai, kaidah-kaidah
dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang sejak lama bersamaan dengan
pertumbuhan masyarakat dalam Kabupaten Batang Hari123
. Adat Bumi Serentak Bak
Regam yang tumbuh dan berkembang sepanjang masa tersebut telah memberikan ciri
khas bagi suatu daerah yang dalam skala lebih besar telah memberikan identitas pula
bagi Bangsa Indonesia.
Dalam muatan Perda Kabupaten Batang Hari tersebut, pengertian Lembaga
Adat Serentak Bak Regam adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang dibentuk
oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus
serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan Adat Bumi Serentak Bak Regam
Kabupaten Batang Hari124
. Seperti halnya beberapa Perda-perda terkait pada
pembahasan sebelumnya, perda mengenai pemberdayaan, pelestarian dan
pengembangan Adat Bumi Serentak Bak Regam ini tidak menjabarkan lembaga adat
dan bentuk penyelesaian konflik/perkara adat. Melainkan secara identik memiliki
muatan sama dengan Perda-perda pelestarian, perlindungan dan pengembangan adat
istiadat lainnya.
Pembinaan dan Pengembangan Adat dan Lembaga adat Bumi Serentak Bak
Regam bertujuan :
a. Membina kerukunan dan rasa aman dalam hidup dan kehidupan masyarakat di
Bumi Serentak Bak Regam;
123 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari No 6 Tahun 2008 Tentang Pembinaan dan Pengembangan
Adat dan Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam. 124 Ibid, Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (9).
106
b. Menghimpun dan menghidupkan potensi adat untuk membantu pemerintah
dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan;
c. Mengembangkan dan meneruskan nilai-nilai luhur adat kepada generasi
penerus melalui ketahanan keluarga;
d. Menggali sejarah dan hukum adat dalam rangka memperluas khazanah
budaya daerah serta membantu penyusunan sejarah dan pembinaan hukum125
.
Kedudukan dan wilayah Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam :
a. Lembaga Adat Serentak Bak Regam tingkat berkedudukan di ibukota
Kabupaten Batang Hari dan merupakan Lembaga Adat tertinggi dalam
Kabupaten Batang Hari.
b. Lembaga Adat Serentak Bak Regam tingkat Kecamatan/Kelurahan
berkedudukan di Kecamatan/Kelurahan dan merupakan Lembaga Adat
tertinggi di Kecamatan/Kelurahan yang bersangkutan.
c. Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam tingkat Desa berkedudukan di
Desa dan merupakan Lembaga Adat Tertinggi di Desa yang bersangkutan126
.
Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam mempunyai tugas :
a. Menggali dan mengembangan adat bumi serentak bak regam dalam upaya
melestarikan kebudayaan daerah Kabupaten Batang Hari guna memperkaya
khasanah kebudayaan bangsa;
b. Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dan berhubungan dengan
adat serentak bak regam;
c. Menyelesaikan perkara-perkara perdata adat di daerah Kabupaten Batang Hari
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
belaku; dan
d. Mengiventarisir, mengamankan, memelihara dan mengurus serta
memanfaatkan sumber-sumber kekayaan yang dimiliki oleh lembaga adat
bumi serentak bak regam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat127
.
Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam mempunyai fungsi :
a. Membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pembangunan di
segala bidang, terutama dibidang sosial kemasyarakatan dan sosial budaya.
b. Memberi kedudukan hukum menurut adapt terhadap hal-hal yang menyangkut
harga kekayaan masyarakat hukum adat di tiap-tiap tingkat lembaga adat
bumi serentak bak regam guna kepentingan hubungan keperdataan adat, juga
dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata adat dan pidana adat.
125 Ibid, Pasal 3. 126 Ibid, Pasal 4. 127 Ibid, Pasal 5.
107
c. Melaksanakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat istiadat bumi
serentak bak regam di daerah Kabupaten Batang Hari, dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah pada
khususnya dan kebudayaan nasional pada umumnya.
d. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan ketentuan-ketentuan adat Kabupaten
Batang Hari yang hidup dan berkembang dalam masyarakat untuk
kesejahteraan masyarakat128
.
Mengacu pada kenyataan bahwa Adat Bumi Serentak Bak Regam yang telah
tumbuh dan berkembang sepanjang zaman tersebut ternyata dapat memberikan andil
yang cukup besar terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, baik dalam masa perjuangan mencapai kemerdekaan maupun dalam
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Bagi Daerah Kabupaten Batang Hari hal
ini antara lain tercermin dari fungsi dan peranan yang telah dilaksanakan oleh
Lembaga-Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam di Marga, Mendapo dan
Kampung.
Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah tidak mengatur adanya Marga, Mendapo dan Kampung, akan tetapi mengakui
adanya kesatuan masyarakat hukum adat, Adat yang masih hidup dalam masyarakat
sepanjang dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Adat
Bumi Serentak Bak Regam telah memberikan ciri bagi suatu daerah dan dapat
menjadi salah satu soko guru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut
perlu dibina, dipelihara dan dilestarikan sebagai upaya memperkaya khasanah budaya
bangsa, memperkuat ketahanan nasional dan untuk mendukung kelangsungan
pembangunan nasional, khususnya pembangunan di Kabupaten Batang Hari. Untuk
itu dipandang penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari tentang
Pembinaan dan Pengembangan Adat Bumi Serentak Bak Regam, diharapkan dapat
128 Ibid, Pasal 6
108
diperoleh dasar hukum yang kuat bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan
pembinaan dan pengembangan adat istiadat Bumi Serentak Bak Regam.
3. 3. 13. Qanun Aceh No 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat
dan Adat Istiadat
Kehidupan adat pada masyarakat Aceh telah berlangsung sejak lama, dan
berkembang dalam kehidupan masyarakatnya hingga sekarang dengan nilai-nilai
budaya, norma adat, dan Syariat Islam. Pembinaan dan pengembangan kehidupan
adat tersebut, perlu dilaksanakan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi
berikutnya sehingga dapat memahami nilai-nilai adat dan budaya yang berkembang
dan hidup dalam masyarakat adat Aceh. Sebagai implementasi dari pembinaan
kehidupan adat istiadat tersebut, maka diundangkanlah Qanun Aceh No 9 Tahun
2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
Beberapa istilah dalam pemaparan Qanun Aceh tersebut antara lain adalah :
1. Wali Nanggroe adalah pemimpin lembaga adat Nanggroe yang independen
sebagai pemersatu masyarakat, berwibawa dan berwenang membina dan
mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat dan adat
istiadat, pemberian gelar/derajat dan pembina upacara-upacara adat di Aceh
serta sebagai penasehat Pemerintah Aceh.
2. Adat adalah aturan perbuatan dan kebiasaan yang telah berlaku dalam
masyarakat yang dijadikan pedoman dalam pergaulan hidup di Aceh.
3. Hukum Adat adalah seperangkat ketentuan tidak tertulis yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki sanksi apabila dilanggar.
4. Adat-istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi
pendahulu yang dihormati dan dimuliakan sebagai warisan yang sesuai
dengan Syariat Islam.
5. Kebiasaan adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan secara berulang kali
untuk hal yang sama, yang hidup dan berkembang serta dilaksanakan oleh
masyarakat.
6. Pemangku Adat adalah orang yang menduduki jabatan pada lembaga-lembaga
adat.
109
7. Reusam atau nama lain adalah petunjuk-petunjuk adat istiadat yang berlaku di
dalam masyarakat.
8. Upacara adat adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan
norma adat, nilai dan kebiasaan masyarakat adat setempat129
.
Berbeda dengan mayoritas corak kehidupan adat di Indonesia, masyarakat
adat Aceh memiliki corak kehidupan adat yang berpedoman pada nilai-nilai Islami.
Hal tersebut didasarkan pada asas :
a. Keislaman,
b. Keadilan,
c. Kebenaran,
d. Kemanusiaan,
e. Keharmonisan,
f. Ketertiban dan keamanan,
g. Ketentraman,
h. Kekeluargaan,
i. Kemanfaatan,
j. Kegotong-royongan,
k. Kedamaian,
l. Permusyawaratan, dan
m. Kemaslahatan umat.130
Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat, dimaksudkan
untuk membangun kehidupan harmonis dan seimbang yang diridhoi oleh Allah SWT,
dalam hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan rakyat
dengan pemimpinnya. Selain itu, pembinaan dan pengembangan kehidupan adat
bertujuan untuk :
a. Menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis.
b. Tersedianya pedoman dalam menata kehidupan bermasyarakat.
c. Membina tatanan masyarakat adat yang kuat dan bermanfaat.
d. Memelihara, melestarikan dan melindungi khasanah-khasanah adat, budaya,
bahasa-bahasa daerah dan pusaka adat.
e. Merevitalisasi adat, seni budaya dan bahasa yang hidup dan berkembang di
Aceh, dan
f. Menciptakan kreativitas yang dapat memberi manfaat ekonomis bagi
kesejahteraan masyarakat131
.
129 Ketentuan Umum Qanun Aceh No 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. 130 Ibid, Pasal 3. 131 Ibid, Pasal 5.
110
Didalam pelaksanaannya, tanggung jawab untuk memelihara,
mengembangkan, melindungi, dan melestarikan kehidupan adat tersebut dilakukan
oleh Wali Nanggroe. Majelis Adat dan lembaga-lembaga adat lainnya melakukan
pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat sesuai dengan Syariat
Islam.132
Hal tersebut untuk menjamin agar pelaksanaan adat dan adat istiadat tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam. Pelaksanaan pembinaan dan
pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat, dilaksanakan melalui :
a. Lingkungan keluarga.
b. Jalur pendidikan.
c. Lingkungan masyarakat.
d. Lingkungan kerja, dan
e. Organisasi sosial kemasyarakatan133
.
Kegiatan-kegiatan adat yang termasuk dalam lingkup pembinaan,
pengembangan dan pelestarian adat antara lain dalam hal :
a. Tatanan adat dan adat istiadat.
b. Arsitektur Aceh.
c. Ukiran-ukiran bermotif Aceh.
d. Cagar budaya.
e. Alat persenjataan tradisional.
f. Karya tulis ulama, cendikiawan dan seniman.
g. Bahasa-bahasa yang ada di Aceh.
h. Kesenian tradisional Aceh.
i. Adat perkawinan.
j. Adat pergaulan.
k. Adat bertamu dan menerima tamu.
l. Adat peutamat dareuh (Khatam Al-Quran).
m. Adat mita raseuki (berusaha).
n. Pakaian adat.
o. Makanan/pangan tradisional Aceh.
p. Perhiasan-perhiasan bermotif Aceh.
132 Ibid, Pasal 8. 133 Ibid, Pasal 9 ayat (2)
111
q. Kerajinan bermotif Aceh.
r. Piasan tradisional Aceh, dan
s. Upacara-upacara Adat lainnya134
.
Terkait dengan sengketa adat, penyelesaian dilaksanakan dan diselesaikan
terlebih dahulu secara adat di Gampong. Gampong dilaksanakan oleh tokoh-tokoh
adat yang terdiri atas Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peut, Sekretaris Gampong,
dan Ulama, Cendekiawan dan tokoh adat lainnya di Gampong. Sengketa/perselisihan
adat dan adat istiadat meliputi:
a. Perselisihan dalam rumah tangga;
b. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c. Perselisihan antar warga;
d. Khalwat meusum;
e. Perselisihan tentang hak milik;
f. Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g. Perselisihan harta sehareukat;
h. Pencurian ringan;
i. Pencurian ternak peliharaan;
j. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k. Persengketaan di laut;
l. Persengketaan di pasar;
m. Penganiayaan ringan;
n. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
o. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p. Pencemaran lingkungan (skala ringan);
q. Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r. Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat135
.
Sanksi adat yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat antara
lain :
a. Nasehat.
b. Teguran.
c. Pernyataan maaf.
d. Sayam136
.
e. Diyat.
f. Denda.
134 Ibid, Pasal 12 ayat (1). 135 Ibid, Pasal 13 ayat (1). 136 Sayam adalah perdamaian persengketaan/perselisihan yang mengakibatkan keluar darah (roe darah) yang diformulasikan
dalam wujud ganti rugi berupa penyembelihan hewan ternak dalam sebuah acara adat. Lihat Penjelasan Qanun Aceh.
112
g. Ganti kerugian.
h. Dikucilkan oleh masyarakat gampong.
i. Dikeluarkan dari masyarakat gampong.
j. Pencabutan gelar adat, dan
k. Sanksi lain sesuai dengan adat setempat137
.
Aturan khusus lainnya dalam pelaksanaan sanksi adat adalah bahwa keluarga
pelanggar adat ikut bertanggung jawab atas terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan
kepada anggota keluarganya. Dan pemberlakuan Qanun Aceh ini tidak mengubah
ketentuan-ketentuan juridis terdahulu sepanjang tidak bertentangan, sesuai dengan
ketentuan peralihan yang terkandung didalam Qanun Aceh No 9 Tahun 2008.
3. 3. 14. Perda Penanganan Sengketa Adat (Konflik Etnik)
Dilatar belakangi konflik di tahun 2001, sejarah konflik yang terjadi antara
warga Dayak dan Madura hingga menimbulkan kerusuhan dan tragedi besar di bumi
Kalimantan. Pertikaian tersebut timbul karena disatu sisi timbulnya kesenjangan
sosial antara warga pendatang (Madura) dengan warga adat asli (Dayak).
Konflik yang timbul bermuara pada ‘pembangunan’ yang dipromosikan rejim
Suharto selama tiga puluh tahun lebih. Sumber-sumber daya alam, termasuk hutan
dan tambang Kalimantan diberikan kepada elite bisnis yang berkuasa sebagai konsesi.
Pemilik adat - masyarakat adat Dayak - secara sistematis ditolak hak-haknya atas
tanah dan sumber daya alam. Mereka tidak punya jalan untuk menempuh langkah
hukum dalam mempertahankan hak-hak mereka karena, berdasarkan undang-undang
Indonesia, hutan merupakan milik negara138
.
Akibat dari konflik yang terjadi itu mengakibatkan lebih dari 500 korban jiwa,
dengan lebih dari 100.000 warga pendatang (Madura) kehilangan tempat
137 Ibid, Pasal 16 ayat (1). 138 Down To Earth (DTE) Nr 49, Mei 2001.
113
tinggalnya.139
Tidak diragukan lagi bahwa imbas dari konflik yang terjadi akan
semakin meluas jika tidak segera ditindak lanjuti dan diselesaikan, walaupun
benturan budaya antara warga pendatang dan warga asli.
Adanya rasa aman dan nyaman merupakan kebutuhan dasar bagi umat
manusia. Kebutuhan ini mendorong semua unsur masyarakat untuk
memperjuangkannya dengan cara dan peran masing-masing. Maka menciptakan rasa
aman adalah tugas semua unsur masyarakat. Tetapi bila terjadi ”perebutan peran” dan
sering memakai kekerasan dengan akibat warga masyarakatlah yang menjadi korban
di tengah perseteruan dan inilah cikal bakal terjadi atau terulangnya konflik140
.
Pembahasan mengenai pengaturan dampak konflik dari Perda ini, terdiri dari
mekanisme penanganan penduduk akibat dampak konflik etnik, rekonsiliasi sebagai
pemulihan keadaan dampak konflik, rehabilitasi bagi penduduk dampak konflik, serta
pengertian istilah adat dan kelembagaannya.
Berdasar pada falsafah adat Belum Bahdat141
dan falsafah dimana bumi
dipijak, disitu langit dijunjung, sebagai dampak dari adanya konflik antar etnis yang
terjadi. Maka diperlukan dasar hukum kuat untuk mengembalikan dan menstabilkan
kehidupan secara berdampingan antara masyarakat secara damai. Dalam
pelaksanaannya, mekanisme rehabilitasi dan rekonsiliasi dampak konflik etnik di
Kalimantan Tengah dilakukan oleh pemerintah setempat dengan pertimbangan
Damang (Kepala Adat) dilakukan secara bertahap.
139 Lihat id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit 140 Ahmad Ridwan, Refleksi Sepuluh Tahun Konflik Sambas.
Lihat : http://achmadridwan.blogspot.com/2009/01/tiga-waktu-tiga-peristiwa.html 141 Falsafah hidup masyarakat Kalimantan Tengah yang bermakna bahwa manusia itu hidup berada pada suatu tempat
menjunjung tinggi etika dan estetika antara adat istiadat masyarakat setempat. Lihat Profile Provinsi Kalimantan
Tengah, diakses dari http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/62/kalimantan-tengah
114
Pemberlakuan Perda Penanganan Dampak Konflik Etnik ini, ditujukan untuk
menciptakan kembali kehidupan antara masyarakat adat Dayak dengan Suku Madura
secara damai. Selain mencegah timbulnya kembali konflik etnik di Kalimantan
Tengah, maka pemberlakuan Perda ini juga menjadi payung hukum yang kuat atas
keberlangsungan kehidupan secara damai.
Beberapa pengaturan istilah yang terkandung didalam Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah No 9 Tahun 2001 Tentang Penanganan Penduduk
Dampak Konflik Etnik, antara lain sebagai berikut :
a. Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik adalah Upaya normalisasi
kehidupan penduduk daerah, yang terkena dampak konflik etnik baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk menciptakan kehidupan secara
harmonis dan sejahtera.
b. Rekonsiliasi adalah kesepakatan kedua pihak berkonflik untuk memulihkan
keadaan agar kembali dapat hidup rukun dan damai, saling menghargai dalam
suasana kebersamaan.
c. Rehabilitasi adalah pemulihan keadaan semula dalam bentuk pelayanan sosial,
pembinaan mental dan bantuan penyediaan pemukiman kembali (Relokasi)
dan transmigrasi bagi penduduk dampak konflik.
d. Damang Kepala Adat adalah Pimpinan Adat dari satu Kedamangan yang
diangkat/pilih berdasarkan hasil pemilihan, oleh beberapa
Desa/Kelurahan/Kecamatan yang termasuk wilayah Kedamangan.
e. Kedamangan adalah kesatuan masyarakat adat dalam Propinsi Kalimantan
Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa Desa/Kelurahan/Kecamatan yang
mempunyai wilayah tertentu, yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
f. Adat Istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan keyakinan
sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbahan dan
perkembangan masyarakat Desa dan satuan masyarakat lainnya serta nilai
atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat sebagaimana
terwujud dalam berbagai pola nilai kelaluan yang mempertahankan kebiasaan
- kebiasaan dalam kehidupan masyarakat setempat.
g. Majelis Adat adalah Dewan Adata yang mengemban tugas tertentu dibidang
pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-
kebiasaan masyarakat, Lembaga Adat dan Hukum Adat di daerah.
h. Masyarakat Adat adalah masyarakat Kalimantan Tengah yang menggunakan
norma adat sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat.
i. Hukum Adat adalah Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
j. Penduduk adalah penduduk Kalimantan Tengah.
115
k. Etnik adalah etnik Dayak, etnik Madura dan etnik lainnya sebagai penduduk
Kalimantan Tengah142
.
Dalam Perda Provinsi Kalimantan Tengah tersebut diatur mengenai
mekanisme pengembalian penduduk akibat konflik etnik, diantaranya melalui
pendataan dan pendaftaran penduduk. Proses pengembalian penduduk dilakukan
berdasarkan pada syarat-syarat yang tercantum dalam Perda tersebut sebagai berikut :
a. Sanggup hidup rukun, berdampingan secara damai.
b. Diakui dan diterima keberadaannya oleh masyarakat lingkungannya dan
Masyarakat Adat.
c. Wajib dan sanggup mentaati nilai-nilai budaya serta adat istiadat setempat dan
meninggalkan budaya kekerasan143
.
Terkait pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan pengembalian
penduduk akibat dampak konflik etnik, kegiatan tersebut diatur melalui Keputusan
Gubernur dan bertujuan untuk menjaga kelancaran mobilisasi penduduk di daerah.
Penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Tengah ini, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengecualian terhadap pelanggaran falsafah Belum Bahadati
dan falsafah dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung dikenakan sanksi sesuai
hukum adat144
.
Dengan diundangkannya Perda Provinsi Kalimantan Tengah ini, diharapkan
mampu menciptakan kembali suasana aman kedua belah pihak yang terlibat dalam
konflik etnik. Serta, penerapan payung hukum ini merupakan manifestasi dalam
142 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 9 Tahun 2001 Tentang Penanganan Penduduk
Dampak Konflik Etnik. 143 Ibid, Pasal 8 ayat (2) 144 Ibid, Pasal 13 ayat (1 dan 2).
116
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945.
3. 3. 15. Perda Nagari di Sumatera Barat
Sejak diberlakukan pertama kali di Kabupaten Solok pada tahun 2001 dengan
lahirnya Perda Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari,
kehidupan masyarakat di Sumatera Barat kembali kepada sistem pemerintahan
terendah yang bernama Pemerintahan Nagari. Perubahan nagari ke desa, dan
sekarang kembali lagi ke nagari, adalah sebuah perubahan yang memperlihatkan
dinamika dari perkembangan sejarah pemerintah di tingkat bawah yang terjadi di
Ranah Minang, Sumatera Barat. Perubahan nagari ke desa dan kemudian kembali ke
nagari bukan hanya sekadar perubahan nama, tetapi juga sistem, orientasi, dan
filosofinya145
. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan desa sebagai
pengganti pemerintahan nagari ternyata tidak dapat melaksanakan fungsi-fungsinya
dengan baik. Kinerja pemerintahan desa dinilai kurang memuaskan dan jauh dari
harapan. Masyarakat misalnya mengalami kesulitan berurusan dengan aparat
pemerintahan desa karena jam kantor dan kehadiran aparatnya tidak teratur,
administrasi pemerintahan sering terbengkalai, dan pemerintahan desa dinilai kurang
mampu menggerakan potensi yang ada di Nagari146
.
Adanya otonomi daerah memunculkan ide untuk mengembalikan sistem
pemerintahan di Sumatera Barat kepada sistem pemerintahan nagari. Sehingga di
daerah Sumatera Barat timbul suatu istilah yang dikenal dengan konsep “kembali ke
145 Pemikiran Mochtar Naim, anggota DPD RI Sumatera Barat, dalam Kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari, diakses dari
http://www.cimbuak.net/content/view/346/7/ 146 Online Library, Institut Pertanian Bogor, hlm : 62. Diakses dari
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40612/Bab%203%202006asm.pdf?sequence=4
117
nagari”. Disebut dengan “kembali” karena memang di Sumatera Barat pernah
menggunakan suatu sistem pemerintahan nagari yang pernah jaya dan memiliki
kesatuan dengan nilai sistem yang demokrasi dengan musyawarah dan mufakat
“bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” serta didasari oleh falsafah “Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam
Takambang Jadi Guru”147
.
Dalam penelitian ini, didapat hasil yang menunjukan sebagai pioneer lahirnya
Perda-perda Pemerintahan Nagari di beberapa kabupaten dan termasuk Perda
Provinsi di Sumatera Barat selama era Reformasi (1999-2011), yaitu :
1. Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang
Pemerintahan Nagari.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman No 16 Tahun 2001 Tentang
Pemerintahan Nagari.
3. Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No 17 Tahun 2001 Tentang
Pemerintahan Nagari.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Solok Selatan No 4 Tahun 2005 Tentang
Pemerintahan Nagari.
5. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
6. Peraturan Daerah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung No 5 Tahun 2007
Tentang Pemerintahan Nagari.
7. Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman No 8 Tahun 2007 Tentang
Pemerintahan Nagari
8. Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan No 8 Tahun 2007 Tentang
Pemerintahan Nagari.
9. Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota No 10 Tahun 2007
Tentang Pemerintahan Nagari.
10. Peraturan Daerah Kabupaten Agam No 12 Tahun 2007 Tentang
Pemerintahan Nagari.
11. Peraturan Daerah Kabupaten Dharmasraya No 2 Tahun 2008 Tentang
Pemerintahan Nagari.
12. Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar No 4 Tahun 2008 Tentang
Nagari.
147 Online Library Universitas Sumatera Utara, hlm : 1-2. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17737/4/Chapter%20I.pdf
118
13. Peraturan Daerah Kabupaten Dharmasraya No 4 Tahun 2009 Tentang
Pembentukan dan Penataan Nagari.
14. Peraturan Daerah Kabupaten Padang Pariaman No 5 Tahun 2009 Tentang
Pemerintahan Nagari148
.
Berdasarkan kajian kepustakaan, beberapa istilah yang menjadi unsur-unsur
Pemerintahan Nagari adalah :
1. Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-
batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau
(Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera
Barat.
2. Pemerintahan Nagari adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari dan Badan Permusyawaratan
Nagari berdasarkan asal usul Nagari di wilayah Propinsi Sumatera Barat
yang berada dalam sistim Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3. Wali nagari adalah pimpinan Pemerintahan Nagari.
4. Jorong atau dengan nama lain yang setingkat dan terdapat dalam Nagari
adalah bagian dari wilayah Nagari.
5. Badan Permusyawaratan Nagari yang selanjutnya disebut BAMUS
NAGARI adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintah nagari sebagai unsur penyelenggaraan
Pemerintahan Nagari.
6. Lembaga Kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintahan
Nagari dalam memberdayakan masyarakat.
7. Kerapatan Adat Nagari yang selanjutnya disebut KAN adalah Lembaga
Kerapatan dari Ninik Mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun
temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat serta
menyelesaian perselisihan sako dan pusako.
8. Anak Nagari adalah warga masyarakat yang ada di nagari dan di rantau.
Inilah anak-nagari nan dari rantau.
9. Harta Kekayaan Nagari adalah harta benda yang telah ada atau yang
kemudian menjadi milik dan kekayaan nagari baik bergerak maupun tidak
bergerak.
10. Ulayat Nagari adalah harta benda dan kekayaan nagari diluar ulayat
kaum dan suku yang dimanfaatkan untuk kepentingan anak nagari.
148 Hasil penelitian dan pengolahan data peneliti CLDS FH UII, 2012.
119
11. Wilayah Nagari, meliputi wilayah hukum adat dengan batas-batas
tertentu yang sudah berlaku secara turun temurun dan dan diakui
sepanjang adat.
12. Badan Perwakilan Nagari yang selanjutnya disebut dengan BPN adalah :
Badan Perwakilan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat yaitu
Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai dan Bundo Kanduang serta
Pemuda yang ada di Nagari yang berfungsi sebagai Badan Legislatif
Nagari.
13. Majelis Tungku Tiga Sajarangan adalah Lembaga permusyawaratan
permufakatan Adat dan syarak yang berfungsi memberikari pertimbangan
kepada Pemerintahan Nagari supaya tetap kansisten menjaga dan
memelihara penerapari “Adat Basamdi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah” di Nagari149
.
Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia150
. Saat ini terdapat 648
Nagari yang tersebar di Sumatera Barat, antara lain :
1. Kabupaten Agam terdiri dari 16 kecamatan dan 82 nagari.
2. Kabupaten Dharmasraya terdiri dari 11 kecamatan dan 52 nagari.
3. Kabupaten Lima Puluh Koto terdiri dari 13 kecamatan dan 79 nagari.
4. Kabupaten Padang Pariaman terdiri dari 17 kecamatan dan 60 nagari.
5. Kabupaten Pasaman terdiri dari 12 kecamatan dan 32 nagari.
6. Kabupaten Pasaman Barat terdiri dari 11 kecamatan dan 19 nagari.
7. Kabupaten Pesisir Selatan terdiri dari 12 kecamatan dan 76 nagari.
8. Kabupaten Sijunjung terdiri dari 8 kecamatan dan 60 nagari dan 1 desa.
9. Kabupaten Solok terdiri dari 14 kecamatan dan 74 nagari.
10. Kabupaten Solok Selatan terdiri dari 7 kecamatan dan 39 nagari.
11. Kabupaten Tanah Datar terdiri dari 14 kecamatan dan 75 nagari151
.
Setiap Nagari di Provinsi Sumatera Barat sesuai pengaturannya diharuskan
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
149 Istilah-istlah terkait Pemerintahan Nagari tersebut, dapat dilihat pada Ketentuan Umum Peraturan Daerah Provinsi Sumatera
Barat No 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, dan Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4
Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari.
150 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Nagari 151 Armen Zulkarnain, Daftar Nagari di Sumatera Barat, hasil rangkuman diakses dari
http://armenzulkarnain.wordpress.com/2010/08/17/daftar-nagari-di-sumatera-barat-2,
120
a. Merupakan kesatuan masyarakat Hukum Adat.
b. Mempunyai beberapa suku.
c. Mempunyai batas-batas wilayah yang jelas.
d. Mempunyai harta kekayaan sendiri152
.
Syarat-syarat tersebut diatas juga dijadikan bahan acuan suatu Nagari dihapus
atau digabungkan dengan Nagari lainnya. Hal ini dilakukan berdasarkan Keputusan
Bupati setelah mendapatkan persetujuan DPRD, dengan mempertimbangkan usulan
dari Wali-wali Nagari yang merupakan aspirasi masyarakat. Mengenai pemekaran
Nagari, hal tersebut dapat dilakukan dengan berdasarkan pada syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Penduduk berjumlah paling sedikit 3500 (tiga ribu lima ratus) jiwa atau
mempunyai 700 (tujuh ratus) Kepala Keluarga.
b. Mempunyai batas-batas wilayah yang jelas.
c. Luas wilayah yang terjangkau secara berdaya guna untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang memungkinkan untuk dilakukan
komunikasi antar Jorong yang ada.
d. Tersedianya sarana dan prasarana untuk sebuah Nagari.
e. Tersedianya sumber-sumber ekonomi untuk mata pencaharian
masyarakat153
.
Disamping memenuhi syarat-syarat diatas untuk mencapai kehidupan
bernagari berdasarkan falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah,
pembentukan harus memenuhi faktor-faktor sebagai berikut:
a. babalai-bamusajik;
b. balabuah-batapian;
c. basawah-baladang;
d. babanda-babatuan;
e. batanaman nan bapucuak;
152 Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari, Pasal 2. 153 Ibid, Pasal 5.
121
f. mamaliaro nan banyao;
g. basuku-basako;
h. niniak mamak nan ampek suku;
i. baadat-balimbago;
j. bapandam pakuburan;
k. bapamedanan;
l. kantua nagari.
Kewenangan Nagari mencakup :
a. Urusan Pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Nagari.
b. Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang
diserahkan pengaturannya kepada Nagari.
c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan atau
Pemerintah Kabupaten/Kota.
d. Urusan Pemerintahan lainnya yang oleh Peraturan Perundang-undangan
diserahkan kepada Nagari154
Sesuai pengaturannya dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2
Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, struktur Pemerintah Nagari
terdiri dari Wali Nagari dan Perangkat Nagari yang mencakup Sekretaris Nagari dan
perangkat lainnya155
. Sedangkan pengaturan di dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari, ditambahkan bahwa yang
dimaksud sebagai perangkat lainnya adalah unsur staf (unsur pelayanan) disebut
Sekretariat Nagari, unsur pelaksana teknis lapangan, dan unsur wilayah disebut
Kepala Jorong.
Dalam menjalankan Pemerintahan Nagari, seorang Wali Nagari memiliki
tugas dan kewajiban antara lain :
a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintah Nagari.
b. Membina kehidupan masyarakat Nagari.
154 Ibid, Pasal 8. 155 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari, Pasal 6.
122
c. Membina perekenoinian Nagari.
d. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Nagari.
e. Mendamaikan perselisihan masyarakat di Nagari.
f. Mewakili Nagarinya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk
kuasa hukumnya.
g. Mengajukan Rancangan Peraturan Nagari dan bersama Badan Perwakilan
Nagari.
h. Menetapkannya sebagai Peraturan Nagari.
i. Mendukung kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di
Nagari yang bersangkutan156
.
Wali Nagari dipilih langsung oleh dan dari Anak Nagari warga Negara
Republik Indonesia yang memenuhi pesyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun
dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Wali
Nagari pada dasarnya bertanggung jawab pada rakyat Nagari yang prosedur
pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati melalui Camat. Kepada BPRN,
Wali Nagari wajib memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban dan kepada
rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabanya, namun tetap
memberikan peluang kepada masyarakat melalui BPRN untuk menanyakan dan/atau
meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
dimaksud.
Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN)/Badan Perwakilan Nagari
atau dengan nama lain BAMUS Nagari berfungsi menetapkan Peraturan Nagari
bersama Wali Nagari, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Disamping
itu BPRN mempunyai fungsi :
a. Mendukung kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di
Nagari yang bersangkutan sepanjang menunjang kelancaran
pembangunan.
b. Legislasi yaitu, merumuskan dan menetapkan Peraturan Nagari.
156 Op.Cit, Pasal 37.
123
c. Pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan
Nagari, anggaran pendapatan dan belanja Nagari serta Keputusan Wali
Nagari.
d. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, yaitu menangani dan
menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau
instansi yang berwenang157
.
Kerapatan Adat Nagari berkedudukan sebagai lembaga perwakilan
permusyawaratan masyarakat adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun
temurun sepanjang adat. Dalam pelaksanaannya, KAN mempunyai tugas antara lain :
a. memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Nagari dan
BPRN dalam melestarikan nilai-nilai adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah di Nagari.
b. memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Nagari dan
BPRN dalam penyusunan dan pembahasan Peraturan Nagari.
c. membentuk lembaga-lembaga unsur masyarakat adat yaitu Unsur Alim
Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan Pemuda.
d. mengurus, membina dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan
adat sehubungan dengan sako, pusako dan syara’.
e. mengusahakan perdamaian dan memberikan nasehat-nasehat hukum
terhadap anggota masyarakat yang bersengketa terhadap sesuatu yang
dipersengketakan dan pembuktian lainnya menurut sepanjang adat dan
atau silsilah keturunan/ranji.
f. mengusahakan perdamaian dan memberikan nasehat-nasehat hukum dan
keputusan yang sifatnya final terhadap anggota masyarakat yang
bersengketa terhadap sako dengan pembuktian menurut sepanjang adat
dan atau silsilah keturunan/ranji.
g. membentuk majelis penyelesaian sengketa sako, pusako dan syara’ yang
bersifat ad hock.
h. membuat kode etik, yang berisikan pantangan, larangan, hak dan
kewajiban Niniak Mamak sesuai dengan adat salingka nagari.
i. mengembangkan kebudayaan anak Nagari dalam upaya melestarikan
kebudayaan Daerah dalam rangka memperkaya khasanah kebudayaan
nasional.
j. membina masyarakat hukum adat Nagari menurut adat basandi syara’,
syara’ basandi kitabullah.
k. melaksanakan pembinaan dan mengembangkan nilai-nilai adat
minangkabau dalam rangka mempertahankan kelestarian adat Nagari.
l. bersama Pemerintahan Nagari menjaga, memelihara dan memanfaatkan
kekayaan Nagari untuk kesejahteraan masyarakat Nagari158
.
157 Op.Cit, Pasal 79.
124
Selain itu, KAN juga mempunyai fungsi yang antara lain:
a. Sebagai lembaga penyelenggara urusan adat di Nagari.
b. Sebagai lembaga yang mengurus dan mengelola adat salingka Nagari.
c. Sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan adat di Nagari.
d. Sebagai lembaga pembinaan, pengembangan, perlindungan terhadap
unsur Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, Pemuda Nagari dan
unsur lainnya di salingka Nagari.
e. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang
menyangkut harta kekayaan masyarakat guna kepentingan hubungan
keperdataan adat, juga dalam hal adanya persengketaan sako, pusako dan
syara’ di Nagari.
f. Bersama Pemerintahan Nagari meningkatkan kualitas hubungan perantau
dengan Nagari159
.
Anggota Majelis Tungku Tigo Sajarangan adalah terdiri Niniak Mamak, unsur
KAN Alim ulama dan cadiak pandai. Keanggota Majelis Tungku Tigo Sajarangan
ditentukan atau dipilih oleh Wali Nagari dan Badan Perwakilan Nagari serta
Kerapatan Adat Nagari (KAN). Keanggotaan Majelis Tungku Tigo Sajarangan
disahkan secara administratif dengan Keputusan Bupati atas usul Wali Nagari dan
Hasil kesepakatan Wali Nagari dengan Badan Perwakilan Nagari serta KAN.
Selain mengatur mengenai kelembagaan/organisasi pada Pemerintahan
Nagari, dipaparkan pula mengenai Harta Kekayaan Nagari yang meliputi :
a. Pasar nagari.
b. Tanah lapang atau tempat rekreasi nagari.
c. Balai, Mesjid dan/atau Surau nagari.
d. Tanah, hutan, sungai, kolam dan /atau laut yang menjadi ulayat nagari.
e. Bangunan yang dibuat oleh Pemerintah Nagari dan atau anak nagari
untuk kepentingan umum.
f. Harta benda dan kekayaan lainnya160
.
Harta kekayaan Nagari yang dikelola oleh pihak lain, setelah masa
pengelolaannya berakhir dikembalikan kepada Nagari. Sedangkan Harta Kekayaan
Nagari yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah
158 Op.Cit, Perda Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001, Pasal 87. 159 Op.Cit, Pasal 88. 160 Op.Cit, Perda Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007, Pasal 16.
125
Kabupaten/Kota dapat diatur kembali pemanfaatannya dengan memperhatikan
kepentingan nagari.
Dengan diberlakukannya kembali pemerintahan nagari di Sumatera Barat, dan
ditegaskan pula didalam Perda Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Nagari. Maka dengan itu keberadaan Pemerintahan Desa
dan Kelurahan yang berada di Kabupaten, harus segera menyesuaikan menjadi sistim
Pemerintahan Nagari selambat-lambatnya adalah rentang waktu 2 (dua) tahun setelah
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat ini diundangkan.
3. 4. Perda Adat di Tingkat Kabupaten dan Kota
3. 4. 1. Tanah Ulayat di Kabupaten Kampar.
Hak dan tanah ulayat di Kabupaten Kampar diatur melalui Perda Kabupaten
Kampar No 12 Tahun 1999 tentang Tanah Ulayat di Kabupaten Kampar. Pengertian
Masyarakat Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki harta
ulayat secara turun temurun di Daerah, berbentuk persekutuan, nagari, perbatinan,
desa, kepenghuluan dan kampung. Sedangkan Hak Tanah Ulayat, yaitu merupakan
salah satu harta milik bersama suatu masyarakat adat, yang mencakup suatu kesatuan
wilayah berupa lahan pertanahan, tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang
hidup liar diatasnya161
.
Beberapa istilah adat yang penting dijelaskan dalam Perda Adat Kampar. (1)
Kerapatan Adat, yaitu suatu wadah atau organisasi persidangan para ninik mamak
atau warga yang dituahkan dan ditauladani secara turun temurun dalam suatu
masyarakat adat.162
(2) Pemangku Adat (Ninik Mamak, Batin), yaitu orang yang
161 Pasal 1 butir (g dan h) Perda Kabupaten Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat. 162 Ibid, Pasal 1 butir (i).
126
dinobatkan atau diangkat oleh persukuannya dan atau kaumnya untuk memimipin
persukuan atau kaumnya sendiri, yang telah dikukuhkan atau dinobatkan secara sah
oleh persekutuannya sesuai dengan hukum adat setempat.163
(3) Penghulu suku atau
Pemangku Adat yang menguasai Tanah Ulayat adalah para Penghulu Suku yang
memegang Hak Tanah Ulayat masing-masing164
.
Perda Adat juga mengatur tentang Hak dan Fungsi Tanah Ulayat sebagai
berikut :
- Hak Tanah Ulayat dan Hak-hak serupa dari Masyarakat-masyarakat
Hukum Adat sepanjang Hak tersebut menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa menurut ketentuan Hukum Adat yang berlaku di
setiap tempat.
- Fungsi Hak Tanah Ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota persekutuan dan masyarakat yang bersifat sosial dan
ekonomis165
.
Dalam pengaturan hak ulayat tersebut, dijelaskan mengenai tata cara
penggunaan, kepemilikan dan larangan dalam mengelola tanah ulayat. Bahwa tanah
ulayat dalam penggunaan dan pemanfaatannya, diatur oleh Kerapatan Adat melalui
suatu keputusan pengelolaan tanah ulayat. Ketetapan Kerapatan Adat dibuat
merupakan hasil kesepakatan musyawarah bersama seluruh anggota Kerapatan Adat,
yang berlaku mengikat kepada semua masyarakat adat166
.
Hak penguasaan atas tanah ulayat, dibuat atas nama Gelar Pemangku Adat
yang berhak untuk itu dan sesuai dengan ketentuan hukum adat setempat. Sedangkan
sertifikasi hak kepemilikan tanah ulayat diproses sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku167
.
163 Ibid, Pasal 1 butir (j). 164 Ibid, Pasal 1 butir (k). 165 Ibid, Pasal 2 ayat (1 dan 2). 166 Ibid, Pasal 5 ayat (1,2, dan 3). 167 Ibid, Pasal 6 ayat (1 dan 2).
127
Selain mengatur mengenai tata cara pengelolaan dan penguasaan atas tanah
ulayat di Kabupaten Kampar, juga diatur mengenai larangan dalam kepemilikannya.
Misalnya, tanah ulayat adat dilarang untuk dipindah hak kepemilikannya kecuali
untuk kepentingan pembangunan di daerah. Perpindahan hak tersebut adalah
kehendak dari seluruh warga masyarakat adat berdasarkan ketentuan hukum adat
yang berlaku. Pengecualian terhadap larangan perpindahan kepemilikan tanah ulayat
tersebut, hanya berlaku berdasarkan ketetapan Kerapatan Adat.168
Kewajiban
pengawasan terhadap penggunaan dan kepemilikan tanah ulayat, dilakukan oleh
setiap Pemangku Adat dan warga masyarakat adat169
.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak
Tanah Ulayat menjelaskan pula pengertian kelembagaan dan pemangku adat.
Penghulu Suku dalam hal tugas, fungsi dan wewenangnya dalam pengelolaan hak
tanah ulayat di Kabupaten Kampar. Penghulu Suku, memiliki tugas pokok untuk
menyelenggarakan pemerintahan, kesejahteraan dan keamanan di dalam masing-
masing persekutuan di bidang hukum adat. Selain berfungsi membantu pemerintah
dalam bidang kemasyarakatan, Penghulu Suku juga berfungsi mengurus dan
mengatur urusan dalam hukum adat, mengatur ketentuan hukum adat menyangkut
tanah ulayat dalam persekutuan guna kepentingan keperdataan adat, juga Penghulu
Suku bertugas menjaga, memelihara, dan memanfaatkan tanah ulayat untuk
kesejahteraan anggota persekutuan170
.
Tanah adat yang disebut Tanah Soko mempunyai kedudukan penting dalam
masyarakat adat Kampar. Tanah adat tersebut tidak boleh diperjualbelikan atau
digadaikan secara mudah, mengingat Tanah Soko digunakan sebagai tempat mengadu
168 Ibid, Pasal 7 ayat (1 dan 2). 169 Ibid, Pasal 8. 170 Ibid, Bab III Pasal 9, 10, dan 11.
128
keluarga yang satu perut, baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain itu, tanah soko
adalah tanah yang ditinggalkan oleh nenek untuk cucu, terutamanya cucu perempuan
(mengacu sistem kekerabatan matrilinial). Berdasarkan hukum adat Kampar, tanah
soko baru dapat diperjual belikan atau digadaikan dengan mengacu pada empat pasal.
Pertama, mayat artinya orang sakit keras yang lama dan tidak ada dana untuk
mengobatinya. Kedua, mendanai anak perempuan yang lambat menikah. Ketiga
dandang pamboli nyangou, paghampe pamboli joghio yang artinya membayar denda
anak kemenakan yang melakukan kejahatan. Dan keempat rumah besar yang
ketirisan, maksudnya adalah memperbaiki atau membuat rumah tempat berkumpul
semua keluarga. Ketentuan adat tersebut wajib berdasar musyawarah dan mufakat
antara Mamak Soko dan semua keluarga dalam garis keturunan ibu, dan diketahui
Penghulu Suku serta empat Penghulu Suku171
.
Ketentuan menyangkut hak tanah ulayat di Kabupaten Kampar yang sedang
dalam proses pengalihan kepemilikannya diterbitkan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan dan hukum adat yang berlaku. Dalam hal ini meliputi
inventarisasi tanah ulayat masing-masing masyarakat adat, dan sertifikasi atau
pemutihan kepemilikan tanah ulayat172
.
Mengenai penyelesaian sengketa dalam kasus kepemilikan tanah ulayat di
Kabupaten Kampar ini, dibentuk Badan Penyelesaian Permasalahan dan Pemutihan
Tanah Ulayat Daerah. Lembaga tersebut beranggotakan Pihak Pemerintah Daerah,
dan Pemangku Adat dan Tokoh Masyarakat Adat173
. Peraturan Daerah Kabupaten
171 Lihat Kedudukan Tanah Soko dalam Adat Kampar, akses dari http://bidikonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=644&Itemid=42 172 Op.Cit, Pasal 14 ayat (1 dan 2). 173 Op.Cit, Pasal 15 ayat (1 dan 2).
129
Kampar No 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat ini mulai berlaku diundangkan
sejak tanggal 28 Februari 2002.
3. 4. 2. Perda Tanah Ulayat di Masyarakat Hukum Adat Baduy.
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No 32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan
Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy merupakan ketentuan hukum adat yang khusus.
Kekhususan perda tersebut utamanya ditentukan oleh dua ciri utama. Pertama, Perda
Adat Baduy mengatur tanah adat Baduy yang mencakup satu desa Baduy Dalam.
Sedangkan ciri kedua, perda tersebut mengatur hubungan antara penduduk satu desa
Baduy Dalam dengan berbagi pemilikan masyarakat atas tanah, lingkungan, tata nilai
dan adat istiadatnya. Karena itu, Perda Adat Baduy berbeda sekali dengan Perda adat
yang berlaku dibeberapa tempat lain, seperti Sumatera Barat dan Aceh.
Pembahasan mengenai Perda ini dijadikan pembahasan tersendiri mengingat
keberadaan Masyarakat Adat Baduy yang memang memiliki corak spesial dalam
bingkai kesatuan Negara Republik Indonesia. Masyarakat Adat Baduy terikat oleh
tatanan hukum, suatu persekutuan hukum yang mengakui dan menerapkan ketentuan
hukum dalam kehidupan. Memiliki sifat ulayat serta memiliki hubungan dengan
wilayahnya tersebut. Hak Ulayat dalam Perda Adat Kabupaten Lebak adalah
kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat, atas
wilayah tertentu, merupakan lingkungan hidup para warganya, untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul akibat hubungan, secara lahiriah
dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut
130
dengan wilayah yang bersangkutan.174
Sedangkan Tanah Ulayat adalah bidang tanah
yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Hutan adat dalam masyarakat Baduy dibedakan menjadi empat jenis meliputi :
leuweung kolot (hutan tua), leuweung ngora (hutan muda), leuweung reuma (semak
belukar lebat bekas huma), dan jami (semak belukar).175
Tanah adat ulayat Suku
Baduy mencakup wilayah yang terbagi untuk pemukiman, lahan pertanian dan hutan
lindung. Wilayah yang dipergunakan sebagai pemukiman seluas 24.5 ha, lahan
pertanian seluas 2.585 ha terbagi menjadi lahan produktif dan lahan tidur (bera).
Sedangkan wilayah hutan lindung seluas 2.492 ha176
.
Ladang pertanian masyarakat Baduy dibedakan menjadi enam jenis yakni :
1. Huma Serang merupakan ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah
Baduy Dalam. Hasil pertanian pada huma ini hanya dipergunakan untuk
kepentingan upacara adat.
2. Huma Puun merupakan ladang yang diperuntukan khusus milik puun
Baduy Dalam.
3. Huma Tangtu adalah ladang yang dikelola oleh warga masyarakat Baduy
Dalam.
4. Huma Tuladan adalah ladang komunal di Baduy Luar yang hasilnya untuk
keperluan desa.
5. Huma Panamping adalah ladang yang dikelola oleh warga masyarakat
Baduy Luar.
6. Huma Urang Baduy yaitu ladang di luar wilayah Baduy yang dikerjakan
orang Baduy Luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga
masing-masing177
.
Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Desa
Kanekes Kedamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri
kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum. Keberadaan
174 Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Pasal 1
ayat (4). 175 Garna, J, Tangtu Telo Jaro Tujuh : Kajian Struktural Masyarakat Baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia, Ph.D
Thesis, Bangi : University Kebangsaan Malaysia, 1987. 176 Lihat Suripto, Mengatasi Bahaya Global Warming. Studi Kasus : Kearifan Lokal Suku Badui – Banten – Indonesia, hlm : 6. 177 Ibid, hlm : 7-8.
131
mereka sebagai masyarakat hukum adat telah berlangsung lama secara turun temurun,
dengan melestarikan kehidupan masyarakatnya secara adat. Penduduk masyarakat
Baduy berjumlah 10.879 jiwa, laki-laki 5.465 jiwa dan perempuan 5.414, berdasarkan
Data Sensus Penduduk Desa Kanekes tanggal 28 Pebruari 2008. Dilihat dari tahun-
tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk sangat pesat sebesar 1.79 % per tahun.
Seiring pertumbuhan warga yang pesat, perubahan lahan tempat tinggal (teritorial)
pun terus menerus berkembang meluas. Dalam Peraturan Daerah No. 23 Tahun 2001
berdasarkan posisi, dalam dan luar, tempat tinggal warga, secara administratif
masyarakat Baduy dibagi menjadi dua: Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat
Baduy Dalam yang berjumlah 1.053 jiwa menempati tanah yang didiami tiga
kampung: Cikeusik, Cikertawa dan Cibeo. Masyarakat Baduy Luar yang berjumlah
9.826 jiwa menempati tanah yang didiami 57 kampung dan 5 babakan (pemekaran
kampung)178
.
Penetapan mengenai Wilayah Hak Ulayat Masyarakat Baduy dibatasi
terhadap tanah-tanah di wilayah Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak. Wilayah Hak Ulayat Masyarakat Baduy tersebut dituangkan dalam peta dasar
pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi yang sesuai. Dalam
fungsi peruntukannya, lahan terhadap hak ulayat Masyarakat Baduy diserahkan
sepenuhnya kepada Masyarakat Baduy.179
Adapun pemimpin tertinggi pada
masyarakat Baduy disebut Puun, yakni Puun Sahadi, Puun Kiteu dan Puun Kiasih,
setelah Puun pemimpin berikutnya adalah Jaro, Jaro terbagi atas dua yakni Jaro Adat
dan Jaro Pamarentah, Jaro Adat ada 7 yang disebut dengan Jaro Tujuh, secara
178 Lihat Maskur Wahid, 2010, Sunda Wiwitan Baduy : Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten, Banjarmasin,
Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke – 10, hlm : 3. 179 Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Op.Cit,
Pasal 2, 3, dan 4.
132
hierarki Jaro Adat Baduy dalam lebih tinggi kedudukannya dari pada Jaro
Pamarentah dalam kepemimpinan adat. Sedangkan Jaro Pamarentah adalah Jaro
yang dipilih oleh Puun dan para pemuka adat, baik Baduy dalam maupun Baduy
Luar, adalah sebagai penghubung antara masyarakat Baduy dengan Pemerintah
Daerah yang manyangkut masalah-masalah kependudukan, pemerintahan, adat
istiadat dan kelestariannya, maupun hal lain yang menyangkut kepentingan
pemerintah maupun kepentingan masyarakat Baduy180
.
Terdapat beberapa pengecualian terhadap Hak Ulayat Masyarakat Baduy
Dalam dan Baduy Luar, yaitu meliputi bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai oleh
perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut UUPA; dan
merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi
Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan yang berlaku.
Sanksi hukum untuk pelanggaran atas tindakan atau kegiatan yang
menggangu, merusak dan menggunakan lahan ulayat Masyarakat Baduy diancam
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda maksimal Rp.
5.000.000,-(lima juta rupiah). Selain itu, kewenangan dalam penyidikan atas
pelanggaran terhadap tanah ulayat Masyarakat Baduy dilaksanakan oleh Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di Pemerintah Daerah.
Sebagai wujud dari pengakuan atas hak Masyarakat Hukum Adat Baduy dan
untuk menghindari perselisihan hak ulayat tersebut, maka tanah ulayat tersebut tidak
diperkenankan upaya pensertifikasian atas kepentingan perorangan. Hal ini
dimaksudkan karena tanah ulayat tidak dapat dimiliki oleh perorangan, melainkan
180 Lihat Drs. Abdullah, Sepintas Tentang Masyarakat Baduy : Perjalanan ke Tanah Leluhur – Badui. Diakses dari
http://hlasrinkosgorobogor.wordpress.com/tag/budaya-baduy/
133
untuk kepentingan seluruh masyarakat adat Baduy, dalam hal ini sebagai lahan
beraktivitas (bertani).
3. 4. 3. Perda Masyarakat Adat Datuk Sinaro Putih di Kabupaten Bungo.
Pengakuan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi Jambi,
yaitu adanya pengakuan terhadap Lembaga Adat Melayu Jambi dan Masyarakat
Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo diatur dalam
Peraturan Daerah No 3 Tahun 2006. Peraturan Daerah ini dibentuk, guna
memgukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat dimaksud. Peraturan Daerah ini
mencakup tentang bentuk dan kedudukan masayarakat hukum adat, kelembagaan
masyarakat adat, wilayah adat, pola kekerabatan, sistim pewarisan, prinsip-prinsip
dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, serta kewenangan masyarakat
hukum adat.
Keberadaan masyarakat hukum adat ini tidak hanya dilaksanakan dalam hal
pelaksanaan upacara-upacara perkawinan atau keagaamaan saja, namun juga dalam
kehidupan kehari-hari yang meliputi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
desa.
Pemberlakuan lembaga adat di Provinsi Jambi tersebut, berdasarkan pada
adanya nilai-nilai dan kearifan tradisional yang melekat kuat dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari sebagai sebuah komunitas masyarakat hukum adat, yang
pemberlakuannya didasarkan pada Perda Kabupaten Bungo No 3 Tahun 2006.
Keberadaan masyarakat hukum adat Datuk Sinato Putih, adalah sebuah ikatan
kesatuan masyarakat hukum adat secara turun temurun. Ikatan kemasyarakatan
tersebut, sesuai dengan falsafah adat seinduk bak ayam seumpun bak serei (Satu
134
induk laksana ayam, satu rumpun bagaikan serai). Clifford Geerz mendefinisikan
ikatan primordial tersebut sebagai “perasaan yang lahir dari yang dianggap ada dalam
kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga,
tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa atau
dialek tertentu, serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu181
.
Kelembagaan masyarakat hukum adat Datuk Sinaro Putih terdiri dari :
1. Pimpinan adat dan perangkatnya,
2. Tuo Negeri, adalah perangkat kelembagaan masyarakat hukum adat
yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah ditingkat masyarakat.
3. Pegawai Syara’, adalah perangkat kelembagaan adat yang bertugas
melaksanakan syari’at Islam dalam Kesatuan Adat Datuk Sinaro Putih.
4. Tuo Tengganai, adalah perangkat kelembagaan adat yang secara turun
temurun bertugas di bidang kesehatan dan bencana dalam wilayah
Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih.
5. Dubalang, adalah perangkat kelembagaan adat yang mengurusi hal-
hal yang berkaitan dengan masalah keamanan masyarakat hukum adat.
6. Monti rajo, adalah perangkat kelembagaan adat yang bertugas
membantu melakukan komunikasi dan menyampaikan informasi
kepada masyarakat.
7. Manggung/jonang, adalah perangkat kelembagaan adat yang bertugas
untuk melakukan pelayanan dalam acara-acara adat
8. Rumah godang tigo taipah182
.
Struktur kelembagaan tersebut, dipimpin oleh seorang pemimpin adat
tertinggi dengan istilah adat setempat Datuk Sinaro Putih, dibawahi oleh :
1. Datuk Rangkayo Mulio, adalah Nenek Moyang Masyarakat Desa
Baru Pelepat dan Dusun Lubuk Telau yang diberikan kewenangan
untuk menjadi pimpinan Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih
dalam wilayah Desa Baru Pelepat dan Dusun Lubuk Telau, Datuk
Rangkayo Mulio berkedudukan di Desa Baru Pelepat, kekuasaanya
diwariskan secara turun temurun sampai generasi saat ini.
2. Tiang Panjang, adalah nenek moyang masyarakat Desa Batu Kerbau
yang diberi kewenangan oleh Datuk Sinaro putih untuk memegang
kekuasaan sebagai pimpinan adat di bagian wilayah desa batu kerbau,
181 Lihat Musri Nauli, Makna Pemberian Gelar Adat Melayu Kepada SBY, diakses dari
http://www.jambiekspres.co.id/opini/20838-makna-pemberian-gelar-adat-melayu-kepada-sby.html 182 Peraturan Daerah Kabupaten Bungo No 3 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan
Pelepat Kabupaten Bungo. Pasal 1 dan Pasal 5.
135
kedudukan sebagai Datuk tiang panjang diwariskan secara turun
temurun sampai generasi saat ini183
.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, pimpinan adat dan perangkatnya
mempunyai wewenang sesuai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat hukum
adat Datuk Sinaro Putih. Kewenangan tersebut mencakup kewenangan dalam
mengatur keseluruhan wilayah hukum adat, meliputi ilir lubuk tekalak, mudik muara
sikapeh kecil184
.
Pola kekerabatan yang terdapat dalam kelembagaan adat Datuk Sinaro Putih,
terbagi dalam kelompok kecil yang disebut suku. Suku-suku yang terdapat dalam
masyarakat adat tersebut antara lain :
1. Suku Tanjung.
2. Suku Jambak.
3. Suku Sikumbang.
4. Suku Melayu.185
Keberadaan suku-suku yang diakui tersebut dapat berubah sesuai waktu dan
perkembangan masyarakat adat dimasa mendatang.186
Suku-suku yang terdapat dalam
masyarakat hukum adat Datuk Sinaro Putih, ditarik berdasarkan garis keturunan
pihak perempuan. Representasi kaum perempuan tersebut terwujud dari kelembagaan
Bundo Kanduang, dimana kaum perempuan dalam masyarakat adat Datuk Sinaro
Putih wajib dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan adat.187
Mengenai pola
pewarisan secara adat di Datuk Sinaro Putih, terdiri dari :
1. Harta Pusaka Tinggi, adalah harta yang dimiliki secara komunal oleh
kaum, suku atau semua masyarakat hukum adat dan diwariskan secara
kolektif oleh dan kepada masyarakat hukum adat.
183 Ibid, Pasal 1 dan Pasal 5. 184 Ibid, Pasal 15. 185 Ibid, Pasal 24 ayat (2). 186 Ibid. Pasal 24. 187 Ibid. Pasal 25.
136
2. Harta Pusaka Rendah, adalah harta yang dimiliki oleh perseorangan
atau individu dalam masyarakat hukum adat dan diwariskan dengan
menggunakan sistem pewarisan dalam ketentuan Syari’at Hukum
Islam188
.
Dalam masyarakat hukum adat Datuk Sinaro Putih, tidak hanya para
pemimpin adat yang memiliki kewenangan. Tetapi juga, bagi masyarakat adatnya itu
sendiri antara hak dan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat hukum adat,
meliputi :
1. Hak melakukan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di wilayah
adat sesuai hukum adat yang berlaku.
2. Hak melakukan pemungutan atas pemanfaatan sumberdaya alam yang
ada di wilayah desanya sesuai hukum adat yang berlaku untuk
keperluan pembangunan desa (ka ayik babungo pasir, ka daerk
babungo kayu).
3. Hak mendapatkan perlindungan terhadap adat dan hukum adat yang
berlaku.
4. Kewajiban kampung ba tuo, antau badatuk, alam barajo (kehidupan
desa diatur sesuai dengan tingkat pemerintahan adat yang berlaku di
desa).
5. Kewajiban menyelesaikan perselisihan (kusuik diselesaikan, keruh
diperjernih).
6. Kewajiban memelihara dan melestarikan adat istiadat dan hukum adat
(dak lapuk dek hujan, dak lekang dek paneh)189
.
Selain pengaturan mengenai kelembagaan adat dan tata adatnya, dalam
masyarakat adat Datuk Sinaro Putih juga menerima asimilasi masyarakat luar untuk
menjadi masyarakat adat sepenuhnya dengan cara adat Malokok. Proses malokok
dilakukan dengan prosesi yang disebut “nasi putih kuah kuning” yang dihadiri oleh
ninik mamak nan salapan. Hal ini memungkinkan semua orang yang berasal dari luar
masyarakat adat untuk mendapatkan hak dan kewajiban yang sama seperti halnya
masyarakat keturunan Datuk Sinaro Putih.
188 Ibid, Pasal 27 dan 28. 189 Ibid, Pasal 29 dan 30.
137
Dalam masyarakat adat Datuk Sinaro Putih, dikenal adanya Peradilan Adat.
Prinsip dari pemberlakuan peradilan adat tersebut adalah kusuik diselesaikan, keruh
dijernihkan, mangapiang sampai katampulu, berenang sampai katapian, boruok
dirimbo disusukan, anak dipangku dilepaskan, nan bona indak diasak, layu dibubuik
mati, induk posoko bona, bapak posoko koreh. Arti dari prinsip peradilan adat
tersebut adalah semua permasalahan harus diselesaikan seadil-adilnya melalui
musyawarah mufakat190
.
Lembaga adat dalam masyarakat Datuk Sinaro Putih, dikenal dengan
Musyawarah Adat Dusun (MAD) atau Kerapatan Adat Dusun (KAD) atau Lembaga
Adat Dusun (LAD). Lembaga ini dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat untuk
menghidupkan nilai-nilai adat dalam masyarakat. Lembaga ini berfungsi sebagai
Peradilan Adat Dusun191
.
Hukum adat yang berlaku terdiri dari 4 (empat) tingkatan, yaitu :
- Tingkat Nan Duo Boleh
- Tingkat Pucuk Nan Duo Boleh Tapak Nan Duo Lapan
- Nan Duo Lapan Ditengah, dan
- Pucuk Nan Duo Lapan.192
Dalam penyelesaian sengketa adat, sidang adat dilakukan sebagai upaya
penyelesaiannya. Sidang adat tersebut dipimpin oleh Tuo Negeri, dengan
mengumpulkan Ninik Mamak, Cerdik Pandai, Alim Ulama, Tuo Tengganai, dan
Pemimpin untuk menyelesaikan permasalahan adat yang terjadi.193
Peradilan adat
190 Ibid, Pasal 31 ayat (1 dan 2). 191 Pembentukan lembaga ini sesuai dengan ketentuan Pasal 211 UU No 32 Tahun 2004. Lihat Hasantoha Adnan, et al., 2008,
Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi (ed), Center for International Forestry Research (CIFOR), hlm : 148.
192 Ibid, Pasal 32 ayat (1). 193 Ibid, Pasal 33 ayat (3 dan 4).
138
Datuk Sinaro Putih mengenal pembedaan kasus Pidana, didasarkan atas kasus
pertengkaran, menghina didepan umum, pencemaran nama baik, pembunuhan, hamil
diluar nikah, dan berzina.
Keputusan penyelesaian tersebut menghasilkan musyawarah yang diputuskan
oleh majelis adat. Pelaksanaan dan implementasi putusan atas sengketa adat tersebut,
dilaksanakan selambatnya 7 (tujuh) hari sejak diputuskan, dengan masa pertimbangan
tertentu selama 14 hari. Dan jika dalam masa selama tersebut tidak dapat
dilaksanakan, maka penyelesaiannya diserahkan kepada hukum formal yang
berlaku194
.
Dengan berlakunya perda adat tersebut, secara juridis masyarakat hukum adat
Datuk Sinaro Putih mendapatkan pengakuan atas eksistensinya. Hal ini tentunya
sangat baik, mengingat kearifan lokal dan budaya asli masyarakat adat sudah
selayaknya mendapatkan jaminan atas eksistensinya dalam bingkai kenegaraan
Indonesia.
3. 4. 4. Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat di Kabupaten Banggai
Pemberdayaan, pelestarian, pengembangan adat istiadat di Banggai
didasarkan pada pelaksanaan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Adat istiadat dan lembaga adat diakui keberadaannya dan mempunyai peranan dalam
kehidupan masyarakat luas dan tumbuh berkembang di daerah. Peraturan Daerah
Kabupaten Banggai No 1 Tahun 2008 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian,
Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai menjadi sumber hukum
194 Ibid, Pasal 34 dan Pasal 35.
139
daerah. Muatan dan penjelasan yang terkait adat istiadat dan lembaga adat Banggai
yaitu :
1. Adat Banggai adalah adat banggai yang meliputi adat banggai, adat
balantak dan adat saluan serta adat lainnya yang telah ada dan diakui
oleh masyarakat adat.
2. Kebiasaan – kebiasaan masyarakat adalah pola kegiatan atau perbuatan
yang dilakukan oleh masyarakat, merupakan sebuah kesatuan hukum
tertentu yang pada dasarnya dapat bersumber pada hukum adat atau
adat istiadat sebagaimana diakui keabsahannya oleh warga masyarakat
tersebut dan oleh masyarakat lainnya.
3. Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan baik yang
sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan
berkembang didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau
dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum
dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut,
serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan
enyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan
dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku195
.
Pengundangan Perda Kabupaten Banggai ini dimaksudkan dalam upaya
pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat yang adalah untuk
meningkatkan peran nilai-nilai adat istiadat dalam menunjang kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan, kelangsunagn pembangunan dan peningkatan
ketahanan nasional serta mendorong kesejahteraan masyarakat setempat. Selain itu,
dipaparkan pula tujuan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat
dalam Perda Kabupaten Banggai yang antara lain :
a. Pemberdayaan adat istiadat bertujuan untuk meningkatkan sumber daya
manusia dengan membentuk suatu wadah lembaga yang mengarah pada
peningkatan tatanan kehidupan suatu masyarakat dengan tidak merubah
nilai, kaidah atau norma dan kegiatan sosial.
b. Pelestarian adat istiadat bertujuan untuk mempertahankan nilai-nilai,
kaidah atau norma-norma dan kegiatan sosial yang telah mengakar
dalam suatu masyarakat dan dapat menunjang kelangsungan
Pembangunan dan Ketahanan Nasional.
195 Lihat Ketentuan Umum Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No 1 Tahun 2008 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian,
Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat.
140
c. Pengembangan adat istiadat bertujuan untuk meningkatkan peran dan
fungsi Lembaga adat serta dapat melestarikan adat istiadat di desa guna
menunjang kelancaran pembangunan dan ketahanan nasional196
.
Pengaturan lembaga adat dalam Perda Kabupaten Banggai ini, juga tidak jauh
berbeda keidentikannya dengan beberapa pembahasan Perda terkait pelestarian adat
istiadat yang telah dipaparkan dibagian awal. Kelembagaan adat Banggai adalah
sebagai wadah atau organisasi permusyawaratan / permufakatan Adat yang berada
diluar organisasi Pemerintahan serta mempunyai tugas :
a. Menampung dan Menyalurkan aspirasi masyarakat adat kepada
Pemerintah.
b. Menyelesaikan permasalahan adat istiadat dan kebiasaan – kebiasaan
masyarakat di wilayahnya.
c. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat serta
kebiasaan-kebiasaan masyarkat.
d. Menciptakan hubungan yang demokratis, harmonis dan ojektif antara
masyarakat, perangkat adat dengan aparat Pemerintah Daerah197
.
Adapun perangkat adat sebagaimana tersebut diatas dipimpin oleh seorang
ketua adat dengan sebutan Tomundo dan dibantu perangkat adat kecamatan yang
dipimpin oleh Bosanyo/Bosano atau sebutan lain serta perangkat adat desa/kelurahan
di Pimpin oleh Kapitan/Tonggol atau sebutan lain.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, lembaga adat mempunyai fungsi
melaksanakan kegiatan-kegiatan pendataan dalam rangka membantu pemerintah
menyusun kebijaksanaan dan strategi untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan dan pembinaan kemasyarakatan. Selain itu, diatur pula mengenai hak
dan wewenang lembaga adat di Kabupaten Banggai, antara lain :
a. Mewakili masyarakat adat keluar, yakni dalam hal-hal yang
menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat.
b. Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat198
untuk
meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat adat kearah yang
196 Ibid, Pasal 6. 197 Ibid, Pasal 8.
141
lebih layak dan lebih baik sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut masalah adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku199
.
Kelembagaan adat sesuai pengaturannya dalam Perda Kabupaten Banggai
berkewajiban untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Membantu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam
pemanfaatan hak-hak adat dan harta kekayaan lembaga adat dengan
memperhatikan kepentingan adat setempat.
b. Memelihara Stabilitas Nasional yang sehat dan dinamis serta dapat
membantu aparat pemerintah, terutama pemeritah Desa / Kelurahan
dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pembinaan kemasyarakatan.
c. Menciptakan Suasana yang dapat menjamin terpeliharanya
kebhinekaan masyarakat adat dalam rangka persatuan dan kesatuan
bangsa200
.
Dalam usaha melestarikan adat istiadat serta memperkaya khasanah budaya
masyarakat, Aparatur Pemerintah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk
membina dan mengembangkan adat istiadat yang hidup dan bermanfaat dalam
Pembangunan dan Ketahanan Nasional.
3. 4. 5. Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Kabupaten Aceh Tengah
dan Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat.
Perda Lembaga Adat Kebudayaan (LAKA) di Aceh diatur dengan Perda
Kabupaten Aceh Tengah No 33 Tahun 2001. Perda tersebut menjelaskan bahwa
Lembaga Kebudayaan dan Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang
dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu
198 Harta kekayaan adat adalah termasuk didalamnya benda-benda cagar budaya berupa benda-benda bergerak atau tidak
bergerak, merupakan peninggalan yang mewakili masa gaya / kekhasan dari adat banggai misalnya peninggalan bidang
kesenian dan situs budaya yang mempunyai nilai sejarah serta perlu dijaga kelestarianya. Lihat penjelasan Perda Kabupaten Banggai No 1 Tahun 2008.
199 Ibid, Pasal 10. 200 Ibid, Pasal 11.
142
dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan
mengurus yang berkaitan dengan Adat Gayo.201
LAKA adalah suatu badan
independent yang melaksanakan tugas kebudayaan, dan sebagai mitra Pemerintah
Daerah dan DPRD. LAKA di Kabupaten Aceh Tengah mempunyai tugas untuk
memberi masukan, pertimbangan dan nasehat dalam setiap pembentukan kebijakan
daerah sesuai Syariat Islam dan Adat. Sesungguhnya, LAKA, sebagai lembaga adat
tidak sekedar menjadi lembaga adat, tetapi juga berkaitan dengan upaya untuk
melindungi ajaran Islam di Kabupaten Aceh Tengah.
Seperti halnya LAKA di Kabupaten Aceh Tengah, pada tahun 2008 secara
keseluruhan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menerbitkan Qanun Aceh No 10
Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dengan maksud membina nilai-nilai budaya,
norma adat, dan aturan sesuai dengan nilai Islami. Pemberlakuan Qanun Aceh
tersebut juga sebagai wujud dari pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh di
bidang adat istiadat yang didasarkan pada UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pengertian Qanun di Aceh, sama pengertiannya dengan Perda LAKA
Kabupaten Aceh Tengah. Dengan kata lain, LAKA merupakan pengejawantahan dari
Perda Provinsi Aceh disebut Qanun. Qanun Aceh yang memaparkan beberapa istilah-
istilah kelembagaan adat seperti :
1. Majelis Adat Aceh, adalah sebuah majelis penyelenggara kehidupan
adat di Aceh yang struktur kelembagaannya sampai tingkat gampong.
2. Lembaga Wali Nanggroe, adalah lembaga kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya.
3. Mukim, adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang
terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas
201 Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Tengah No 33 Tahun 2001 tentang Lembaga Adat Kebudayaan (LAKA) Kabupaten Aceh
Tengah. Pasal 1 butir b
143
wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum mukim atau nama lain dan
berkedudukan langsung di bawah camat.
4. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang
berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain
yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
5. Imeum Mukim, adalah kepala Pemerintahan Mukim.
6. Imeum Chik, adalah imeum masjid pada tingkat mukim orang yang
memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan
dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan syari’at Islam
7. Keuchik atau nama lain merupakan kepala persekutuan masyarakat
adat gampong yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan
gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta menjaga
keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
8. Tuha Peut Gampong atau nama lain adalah unsur pemerintahan
gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong.
9. Tuha Peut Mukim atau nama lain adalah alat kelengkapan mukim yang
berfungsi memberi pertimbangan kepada imeum mukim.
10. Tuha Lapan atau nama lain adalah lembaga adat pada tingkat mukim
dan gampong yang berfungsi membantu imeum mukim dan keuchik
atau nama lain.
11. Imam Meunasah atau nama lain adalah orang yang memimpin
kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan
bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syari’at Islam
12. Keujruen Blang atau nama lain adalah orang yang memimpin dan
mengatur kegiatan di bidang usaha persawahan.
13. Panglima Laot atau nama lain adalah orang yang memimpin dan
mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan.
14. Peutua Seuneubok atau nama lain adalah orang yang memimpin dan
mengatur ketentuan adat tentang pembukaan dan penggunaan lahan
untuk perladangan/perkebunan.
15. Haria Peukan atau nama lain adalah orang yang mengatur ketentuan
adat tentang tata pasar, ketertiban, keamanan, dan kebersihan pasar
serta melaksanakan tugas-tugas perbantuan.
16. Syahbanda atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur
ketentuan adat tentang tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan
masuk kapal/perahu di laut, danau dan sungai yang tidak dikelola oleh
Pemerintah.
17. Pawang Glee atau Pawang Uteun atau nama lain adalah orang yang
memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan
pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan202
.
202 Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Bab I, Pasal 1 ayat (10 – 27).
144
Sedikit perbedaan muatan LAKA berdasar Perda Kabupaten Aceh Tengah
dengan Qanun Aceh adalah terdapatnya unsur Dewan Paripurna Adat yang bertugas
memonitor, merumuskan usulan pertimbangan, bimbingan, nasehat serta saran
kepada Pemerintah Daerah dan DPRD melalui ketua LAKA, serta menetapkan Fatwa
dibidang Hukum Adat Istiadat dan Kebudayaan.203
Dewan Paripurna LAKA terdiri
dari Cendikiawan Muslim dan Ahli Adat Gayo dengan beranggotakan sebanyak-
banyaknya 9 (sembilan) orang.204
Selain itu, LAKA juga terdiri dari beberapa Komisi
antara lain :
1. Komisi Fatwa Hukum Adat, Adat Istiadat dan Kebiasaan.
2. Komisi Penelitian, Pengembangan, Pendidikan dan Pengajaran.
3. Komisi Pemberdayaan Perempuan, Keluarga dan Pengembangan
Generasi Muda, Lingkungan Hidup.
4. Komisi Sosial dan Publikasi.205
Lembaga Adat, sesuai dalam Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 antara lain
memiliki kewenangan sebagai berikut :
1. Menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban
masyarakat.
2. Membantu Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan.
3. Mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat.
4. Menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
5. Menerapkan ketentuan adat.
6. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan.
7. Mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. dan
8. Menegakkan hukum adat206
.
203 Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Tengah No 33 Tahun 2001 Tentang Lembaga Adat Kebudayaan (LAKA) Aceh Tengah.
Pasal 14. 204 Ibid, Pasal 15 ayat (1 dan 2). 205 Ibid, Pasal 18. 206 Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Op.Cit, Pasal 4.
145
Lembaga adat Aceh berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan
penyelesaian masalah atau perkara sosial kemasyarakatan.207
Seperti halnya LAKA di
Kabupaten Aceh Tengah, Lembaga Adat yang diatur dalam Qanun Aceh tersebut
juga bersifat otonom dan independen sebagai mitra pemerintah sesuai tingkatannya.
Selain itu, lembaga-lembaga adat di Aceh dapat berperan serta dalam proses
perumusan kebijakan pemerintah setempat yang sesuai dengan wewenang masing-
masing lembaga adat.
3. 4. 6. Perda Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat
Kesultanan Ternate.
Nilai-nilai adat istiadat Kesultanan Ternate sebagai kepribadian bangsa dan
daerah yang perlu diberikan pengakuan, perlindungan dan pelestarian sekaligus
diberdayakan diatur dalam Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan
Ternate. Kedudukan masyarakat adat Kesultanan Ternate sebagai masyarakat adat
terikat oleh tatanan sebagai warga perlu menerapkan ketentuan persekutuan
hukumnya.
Adapun isi dan muatan tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Ternate No
13 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat
Kesultanan Ternate. Dalam Perda tersebut obyek yang diatur tidak sekedar mengenai
hak-hak ulayat semata, tetapi juga peran Sultan Ternate dalam proses dan mekanisme
pembabatan dan pembukaan hutan. Obyek materi yang diatur adalah sebagai berikut :
207 Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Op.Cit, Pasal 2 ayat (1).
146
1. Pengaturan Hak Ulayat adat sebagai hak adat dimana disepakati oleh
masyarakat setempat dan diakui oleh sultan.
2. Cucatu adalah pemberian oleh sultan atas sebidang tanah mengingat
pengabdian masyarakat /soa atau orang yang mengabdi pada sultan.
3. Jurami adalah bekas tanah olahan oleh masyarakat atau perorangan yang
diakui hak pemiliknya.
4. Rubah Banga adalah proses pembukaan lahan baru yang dilakukan oleh
masyarakat atau perorangan yang diakui hak pemiliknya.
5. Benda-benda bersejarah / benda pusaka adalah benda peninggalan yang
masih dipelihara yang memiliki nilai historis.
6. Tolagumi adalah proses pembukaan lahan baru yang diberikan dengan
tanda ikatan tali pada pohon dimana diakui keberadaan oleh masyarakat
setempat sebagai hak milik masyarakat atau perorangan yang membuka
lahan tersebut208
.
Berdasarkan pemberlakuan Perda keberadaan hak-hak adat masyarakat adat
Ternate diakui dan dilindungi Pemerintah Daerah ditingkat Kota Ternate. Pengakuan
dan perlindungan sebagaimana dimaksud, berdasarkan adat istiadat yang hidup
berkembang di Kesultanan Ternate.
Gencarnya pembangunan dan membanjirnya investasi lokal dan nasional,
keberadaan hak-hak ulayat terutama kepemilikan tanah-tanah adat tersebut
tersingkirikan secara sistematis. Masyarakat adat bahkan tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan penting berkaitan dengan esksitensi hak-hak ulayat tersebut.
Dalam konteks seperti ini, pelanggaran dan pemenuhan hak-hak dasar sebagai warga
negara adalah salah satu titik yang paling bermasalah dalam pelaksanaan
pembangunan. Hingga saat ini hak-hak ulayat berupa tanah-tanah adat yang ada di
wilayah kesultanan Ternate tidak mendapat pengakuan secara legal formalisitik oleh
pemerintah daerah. Salah satu indikatornya ialah, hingga saat ini belum ada peraturan
daerah (Perda) yang mengatur secara jelas kesatuan hukum masyarakat adat di
208 Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat
Kesultanan Ternate. Pasal 1.
147
wilayah kesultanana Ternate. Akibatnya masyarakat adat selalu berada dalam posisi
dilematis dan lemah dalam memperjuangkan hak-hak mereka209
.
Adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat hukum adat
Kesultanan Ternate, antara lain adalah :
1. Adat se Atorang merupakan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku secara
turun temurun yang membentuk tata nilai yang dilaksanakan oleh
masyarakat;
2. Istiadat se Kabasaran merupakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat
dihormati dan dijunjung tinggi nilai-nilai kebesarannya;
3. Ghalib se Lukudi merupakan pengakuan eksistensi manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan ia tidak bisa hidup seorang
diri namun sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan satu sama
lain;
4. Cing se Cingari merupakan sikap dan perbuatan itu harus ditaati dan
dipelihara untuk kepentingan bersama;
5. Bobaso se Rasai merupakan tenggang rasa dan saling menghormati satu
sama lain dan menyadari sebagai makhluk ciptaan Tuhan;
6. Ngale se Cara merupakan sikap dan perbuatan yang memberikan manfaat
baik pada diri sendiri maupun kepada sesama manusia;
7. Sere se Duniru merupakan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam bentuk
kesenian tradisional yang dipelihara secara turun temurun210
.
Selain mengenai adat istiadat, diatur pula mengenai kedudukan Pemangku
Adat tertinggi yaitu Kolano atau Sultan. Segala keputusan (Idin Sultan) ditaati dan
dituruti secara turun temurun oleh masyarakat adat. Kedudukan Sultan Ternate dalam
struktur kekuasaan pemerintahan adalah sebagai raja atau penguasa. Puncak hirarki
ditempati oleh Sultan yang memiliki hak otoritas tradisional yang telah diterimanya
sebagai hak turun temurun. Pribadi raja adalah sebagai pemilik kekuasaan di seluruh
209 Lihat King Faisal Marsaoly, Adat Se-Atorang; Bukan Pepesan Kosong. Diakses dari
http://hukumodanpemerintahan.blogspot.com/2009/04/adat-se-atorang-bukan-pepesan-kosong_30.html?zx=dbb4ca54010423be
210 Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat
Kesultanan Ternate . Op.Cit, Pasal 3.
148
kesultanan, tercermin dalam struktur administrasi dengan sistem politik
patrimonial211
.
Tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan memberikan kewenangan perdata
kepada yang menguasainya. Oleh karena itu proses pendaftaran hak-hak atas tanah
tersebut ditempuh melalui konversi hak (penegasan hak) jika memiliki cucatu, dan
tanah-tanah yang dikuasai tanpa memiliki cucatu diproses melalui pengakuan hak.
Selain itu, perorangan, baik secara individu maupun bersama-sama, dimungkinkan
sebagai subyek hak atas tanah, sehingga tidak menimbulkan persoalan dalam
pengaturan penguasaan hak atas tanah oleh perorangan. Pada kenyataannya, telah
banyak tanah-tanah Kesultanan Ternate yang diberikan kepada Pemerintah Daerah
Maluku Utara dan Pemerintah Kota Ternate, oleh karena itu penyelesaian hak atas
tanah tersebut perlu dilakukan sesuai ketentuan Hukum Tanah Nasional yang berlaku.
Demikian pula terhadap tanah-tanah yang diberikan oleh Kedaton Ternate kepada
perorangan212
.
Dalam Perda Adat Kota Ternate, juga mengatur mengenai tanah adat sebagai
tanah masyarakat adat Kesultanan Ternate yang diakui dan dilindungi dan diakui
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Hak-hak atas tanah tersebut, terdiri dari :
1. Raki Kolano adalah sebidang tanah yang umumnya ditanami sagu dan
bambu. Pemanfaatannya atas izin Sultan, tidak dapat dimiliki secara
pribadi dimaksudkan untuk kepentingan bersama warga213
2. Raki Jo Ou adalah hak penguasaan tanah yang diberikan/dikuasai khusus
oleh keluarga/keturunan Sultan.214
211 Lihat Sejarah Sosial Kesultanan Ternate, 2010, Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Lektur
Keagamaan, Jakarta, hlm : 238. 212 Lihat Masyhud Asyhari, Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate dalam Perspektif Tanah Nasional. Mimbar Hukum Vol 20
No 2. Juni 2008. hlm : 193-410. 213 Ibid. hlm : 356. 214 Lihat Rinto Taib, Endriatmo Soetarto, dan Fredian Tonny, 2010, Transformasi Identitas Gerakan dari “Petani” menjadi
“Masyarakat Adat” : Upaya Memahami Konflik Pembangunan Bandara Sultan Babullah di Ternate Maluku Utara,
Solidaty : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, hlm : 6.
149
3. Aha Kolano adalah hak kepemilikan atas tanah Kolano (Sultan),
penguasaannya hanya bersifat publik, oleh karenanya Sultan tidak
mempunyai tanah secara pribadi215
.
4. Aha Jo Ou.
5. Kaha Soa (hak marga) adalah hak bersama (ulayat) yang diberikan kepada
suatu komunitas yang secara hukum tata negara adat diakui wilayah
hukum dan teritorial Soa (kelompok kekerabatan).
6. Kaha Cocato adalah bidang tanah yang diperoleh karena pemberian
langsung Kolano (Sultan). Hak penguasaan tanah ini diberikan kepada
orang-orang yang telah berjasa dalam menjalankan tugas-tugas kerajaan.
7. Kaha Jorame adalah hak seseorang atau sebidang tanah yang pernah
diusahakan dan telah ditanam dengan tanaman musiman seperti kacang,
jagung, ubi, pisang, dll. Hak penguasaan tanah ini terjadi karena orang
yang membuka lahan telah meninggalkan atau tidak melakukan
penanaman dan menyebabkan tumbuhnya pohon-pohon diatas
tanah/lahan.216
Penting juga dicatat bahwa selain mengatur mengenai tanah adat, diatur pula
mengenai perlindungan terhadap bangunan dan benda-benda bersejarah Kesultanan
Ternate. Pemeliharaan, perlindungan dan pengakuan keberadaannya oleh Pemerintah
Daerah dilindungi dalam Perda Adat ini sebagai aset bersejarah Kesultanan Ternate.
Dalam Perda adat Ternate tersebut, mekanisme dan pengaturan mengenai
perselisihan sengketa atas pengelolaan sumber daya alam, termasuk tanah adat,
bangunan dan benda-benda bersejarah tidak dirujuk dalam sebuah forum
penyelesaian. Konflik atau persengketean yang timbul sesuai aturan dalam perda
tersebut diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan
memperhatikan hukum adat yang berlaku217
.
Ringkasnya bahwa segala bentuk kebudayaan, adat istiadat, dan
keanekaragaman budaya dalam Masyarakat Hukum Adat Kesultanan Ternate, Perda
Adat ini diakui dan dilindungi Pemerintah Kota Ternate. Serta dilestarikan dan
215 Masyhud Asyhari, Op.Cit, hlm : 355-356. 216 Rinto Taib, Endriatmo Soetarto, dan Fredian Tonny, Op.Cit, hlm : 6-7. 217 Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak Adat dan Budaya Masyarakat Adat
Kesultanan Ternate . Op.Cit, Pasal 6.
150
dikembangkan dalam setiap bentuk kegiatan kebudayaan yang berlaku pada
masyarakat adat Kesultanan Ternate.
151
BAB IV
PENUTUP
4. 1. Kesimpulan
Sebagaimana telah dibahas di depan dalam menjawab permasalahan, maka
penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
a. Masyarakat hukum adat yaitu sekelompok/sekumpulan masyarakat yang
memiliki kesamaan asal usul keluarga (genealogis) dan kesamaan wilayah
(geologis) yang tinggal di suatu tempat dengan tujuan yang sama didukung
oleh adanya hukum adat, lembaga adat, pemimpin dan forum penyelesaian
sengketa adat.Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat
(MHA) telah dijamin dalam UUD NRI 1945 Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28
I ayat (3). Eksistensi MHA tersebut diperkuat ketika UU Sektoral seperti UU
No. 5 tahun 1960 tentang UUPA, UU pertambangan, UU sumber daya alam.
Namun sebagaimana dirumuskan Snouck Hurgronje dan Ter Haar, MHA yang
terdiri dari sembilan belas (19) komunitas terbukti mengalami perkembangan
mengingat beberapa hasil penelitian terbukti MHA begitu banyak jumlahnya
sebagaimana ditemukan di daerah provinsi Lampung, juga dalam penjelasan
UUD 1945 sebelum di amandemen.
b. Formalisasi hukum adat sebagai hukum yang hidup (living law) dalam
masyarakat Indonesia telah menjadi realitas sosial yang telah berlangsung
lama. Disatu pihak, ada pandangan yang melihat bahwa hukum adat sebagai
suatu sistem hukum tidak perlu menjadi hukum resmi, atau diformulasikan.
Sebab, jika hukum adat diformulasikan secara tertulis akan berakibat kontra
152
produktif akan berakibat mengurangi kesadaran masyarakat terhadap hukum
adat. Di pihak lain, ada pandangan yang melihat pentingnya hukum adat
diformulasikan secara tertulis, melalui mekanisme dan prosedur lembaga
legislatif daerah (DPRD), baik tingkat pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten dan kota mengingat kondisi hukum adat yang saat ini
cenderung termarjinalkan oleh hadirnya peraturan hukum, baik yang
berbentuk undang-undang maupun perda yang berbenturan dengan hak-hak
tradisional masyarakat hukum adat. Formulasi hukum adat ke dalam peraturan
tertulis terjadi seiring dengan tuntutan otonomi daerah melalui prosedur dan
mekanisme sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2004 juncto UU No.
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ada
sekitar 109 Perda Adat di tingkat provinsi dan kabupaten serta kota
merupakan bukti formalisasi hukum adat secara tertulis yang obyek normanya
terdiri dari perlindungan, pelestarian hukum adat sebagai wujud dan
penghormatan serta pengakuan terhadap obyek-obyek dan lembaga-lembaga
adat. Hal ini ditandai dengan mekanisme hak inisiatif DPRD dan/atau
pemerintah provinsi atau kabupaten/kota, dan juga masyarakat hukum adat
dan LSM yang peduli pada persoalan MHA dan Hak-hak konstitusionalnya.
c. Efektivitas Perda baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota
telah memiliki daya ikat yang dipatuhi dan telah menjadi dasar hukum yang
digunakan penegak hukum di tingkat daerah. Ada perbedaan antara perda
tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, adalah bahwa Perda- perda di
tingkat provinsi, obyek pengaturannya tidak terbatas pada aspek-aspek hukum
perdata dan juga hukum publik. Perda atau Qanun di Aceh terkait norma adat
153
dan kesusilaan, serta perda adat di Kalimantan Barat terkait dengan
penyelesaian konflik suku membuktikan adanya perbedaan dengan prinsip
dasar NKRI. Namun, hal ini dipandang sebagai upaya untuk mengakomodir
keanekaragaman hukum termasuk adanya kekhususan dan perbedaan di
beberapa komunitas masyarakat hukum adat. Sementara itu, perda-perda adat
di tingkat kabupaten/kota, umumnya lebih berkaitan dengan obyek hukum
adat bersifat kebendaan, tanah, pakaian adat, upacara adat, dan lembaga adat.
Posisi perda adat di tingkat kabupaten dan kota tampak lebih kuat mengingat
obyek pengaturannya telah berkesesuaian dengan prinsip-prinsip NKRI.
Hanya saja perda-perda tersebut tampak tumpang tindih mengingat formulasi
norma tersebut seharusnya lebih menguatkan pada upaya-upaya memberikan
perlindungan atas keberadaan hukum adat yang begitu banyak jumlahnya di
berbagai daerah di Indonesia.
4. 2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penelitian ini merekomendasikan
sebagai berikut. Pertama, penting untuk ditindak lanjuti adanya penelitian yang
lebih mengarahkan dan tajam pada upaya menjawab status MHA sebagai legal
standing yang lejitimit, diakui dan dihormati sebagai subyek hak. Selama ini
kedudukan mengapa MHA belum dikategorikan sebagai badan hukum (legal
standing ) yang legitimit karena tidak adanya kepastian hukum tentang syarat-
syarat yang wajib dipenuhi, termasuk tidak adanya lembaga atau badan negara
yang secara authority mengeluarkan putusan hukum yang legitimit terhadap
MHA. Kedua, tidak kalah pentingnya adalah merekomendasikan agar adanya
kepastian hukum dalam membuat pedoman stnadar pembentukan Perda berbasis
154
adat yang nantinya berfungsi tidak saja dapat mensingkronkan antara produk
perda adat dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi juga
berupaya agar Perda-perda adat ke depan berfungsi menguatkan tegaknya
prinsip-prinsip NKRI.
Ketiga, penting untuk ditindaklanjuti penelitian terkait Perda-perda adat yang
lahir dan dibentuk melalui prosedur dan mekanisme legislatif daerah
merupakapan hukum pengganti yang memenuhi kepastian hukum minimum
masyarakat lokal mengingat sampai hari ini amanah Pasal 18 ayat (2) UUD 1945
belum terwujud, yakni MHA wajib diatur dengan undang-undang.
155
Daftar Pustaka
Abdurrachman, Sukri, Konflik Pertanahan Vertikal Pada Kawasan Pariwisata di
Bali.
Abdurrahman, Kertas Kerja Beberapa Pemikiran tentang Rancangan UU Hukum
Adat. Seminar Sehari tentang Relevankah Hukum Adat dituangkan dalam
UU. Diselenggarakan oleh Bagian Hukum Adat, Magister Kenotariatan FH
UGM, Selasa 19 Desember 2006.
Acciaioli, Greg, Ground of Conflict, Idioms of Harmony : Custom, Religion and
Nationalism in Violence Avoidance at The Lindu Plain, Central Sulawesi.
Jurnal Internasional, Indonesia 27 October 2010.
Acciaioli Gregory L. Memberdayakan kembali Kesenian Totua, Revitalisasi Adat
Masyarakat To Lindu di Sulawesi Tengah. Antroplogi Indonesia. Tahun
XXV. No 65. Mei Agustus 2001. hal 61)
Acciaioli Gregory Minako Sakai, Regional Responses To Resrgence of Adat
Movements in Indonesia. In Beyond Jakarta: Regional Autonomy and
Local Societies in Indonesia. Minako Sakai (ed), Crawford House
Publishing. Adelaide. 2002
Acciaiolli Gregory. ”From Acknowledgment to Oprationalization of Indegeneous
Sovereignty: Reconceptualizaing The Scope and Significance of
Masyarakat Adat in Contemporary Indonesia)
Adnan, Hasantoha, et al., Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era
Desentralisasi (ed), Center for International Forestry Research (CIFOR),
2008.
156
Asshiddiqie Jimly. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Op-cit 2008. Hal: 821
Asyhari, Masyhud, Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate dalam Perspektif Tanah
Nasional. Mimbar Hukum Vol 20 No 2. Juni 2008.
Bosko, Rafael Edy, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumber
Daya Alam, ELSAM, Jakarta, 2006.
Caportorti, B, Study on The Rights of Persons Belonging to Ethnic, Religious and
Linguistic Minorities of 1977, UNP Sales No. E. 91. XIV. 2, 1977.
Church, Joan, The Place of Indegenous Law in a Mixed Legal System and a Society in
Tranfsormation : A South Africa Experience. ANZLH – Journal, 2005,
103.
Down To Earth (DTE) Nr 49, Mei 2001.
Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Hukum
Masyarakat Adat, Jakarta, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
(DPD RI), 2009.
Firdaus Asep Yunan. ’Hak-Hak Masyarakat Adat’ (Indegeneous People’s Rights)
2007
Friedman, Lawrence, Sistem Hukum, Budaya Hukum dalam Major Legal System,
1982.
Garna, J, Tangtu Telo Jaro Tujuh : Kajian Struktural Masyarakat Baduy di Banten
Selatan Jawa Barat Indonesia, Ph.D Thesis, Bangi : University
Kebangsaan Malaysia, 1987.
Hadikusuma Hilman. Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni,. Bandung,
1980
Haar, Ter, The Adat Law, Netherland, The Hauge, 1997.
157
Handoyo, B Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998.
Kolig Erich. Romancing Culture: Policies of Recongnition and Indigeneous People in
Australia and New Zealand. 50th
Anniversary Symposium, Perth,
December 2006. hal: 17
Martua Sirait, Chip Fay, dan A Kusworo. “Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Hukum
Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur?”. Makalah
disampaikan dalam Acara Seminar Perencanaan Tata Ruang Secara
Patisipatif oleh WATALA dan BAPPEDA, 11 Oktober di Bandar
Lampung.
Nazarius, H, Bentuk dan Keberadaan Institusi Adat, Makalah disampaikan dalam
Seminar yang diselenggarakan oleh ICRAF dalam rangka Konggres II
AMAN II di Lombok, 21 September 2003.
Penelitian Akmal. Eksistensi, Hak dan Dasar Hukum Masyarakat Hukum Adat
Provinsi Sumatra Barat., dalam Mengurai Kompleksitas Hak Asasi
Manusia (Kajian Multi-Perspektif). Kata Pengantar Artidjo Alkostar.
Penerbit Pusham UII. Yogyakarta. 2007. hal: 446 ),
Peta Suku Bangsa di Tanah Papua, Kerjasama Dinas Kebudayaan Provinsi Papua,
Jurusan Antropologi Universitas Cendrawasih, Summer Institute of
Linguistic (SIL), Dewan Adat Papua (DAP), dan Badan Pusat Statistik
(BPS), Jayapura, Desember 2008.
Purba Bantu. 2011:3, Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Konstitusional
Masyarakat Hukum Adat Suku Sakai, Desertasi Doktor Pasca Sarjana, FH
UII.
158
Raubun, Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan
Masyarakat dan Desa, TERPADU, Media Komunikasi Pembangunan Desa
Terpadu, Vol 1, 2011.
Rawlls, John, Theory of Justice, Cambridge, Harvard University Press, 1972.
Refles, Kegiatan Pertambangan Emas Rakyat dan Implikasinya Terhadap Kondisi
Sosial Ekonomi Masyarakat di Kenagarian Mundam Sakti Kecamatan IV
Nagari, Kabupaten Sijunjung, Artikel Pasca Sarjana Universitas Andalas,
2012.
Rongiyati, Sulasi, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Investasi di Provinsi Papua,
Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal DPR RI, 2007.
Rouland, Norbert, Legal Anthropology, London, The Athlone Press, 1994.
Sandel, Michael, Justice: What’s The right Thing To do. United States of America,
New York, Farrar, Straus and Girox, 2009.
Sejarah Sosial Kesultanan Ternate, Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan
Diklat, Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta 2010.
Shah, Harmita, Kedudukan Mamak Kepala Waris dalam Harta Pusaka Tinggi: Studi
di Nagari Matur Mudiak Kecamatan Matur Kabupaten Agam Provinsi
Sumatera Barat, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro,
2006.
Simarmata Ricardo. Perlindungan Hak-Hak Dasar Masyarakat Adat Dalam Per-UU
Nasional: Catatan Kritis. Dosen Pengajar HAM di Indonesia. PUSHAM
UII, kerjasama dengan Norsk Senter for Menneskerettigehetr Norwegian
Centre for Human Rights. Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007
159
Suripto, Mengatasi Bahaya Global Warming. Studi Kasus : Kearifan Lokal Suku
Badui – Banten – Indonesia.
Sudiyat Iman Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar Liberty, Yogyakarta. 2000.
hal 34.)
Usop, H.K.M.A. M, Perubahan UUD 1945 tentang Kebudayaan dan Adat sebagai
Dasar bagi RUU Adat, Jakarta, 20 Januari 2007.
Wahid, Maskur, Sunda Wiwitan Baduy : Agama Penjaga Alam Lindung di Desa
Kanekes Banten. Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke – 10.
Banjarmasin 2010.
Watson, Alan, Society and Legal Change, Edinburgh, Scotish Academic Press.
Widyatmika, Gde, Direktur LBH Denpasar, Majalah Gumi Bali SARAD.
Zuhroh Siti dan Eko Prasojo. Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan
Solusinya . Ombak, Jogyakarta dan The Habibie Center 2010
Makalah
Thontowi, Jawahir, Hukum Adat sebagai Living Law dalam Masyarakat Indonesia,
Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari, Bagian Hukum Adat dan
Program Notariat FH UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2006.
_______,Urgensi Undang-Undang Masyarakat Adat, Yogyakarta, 2007.
Disampaikan dalam Rapat Pandangan Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Hukum Masyarakat Adat, DPD RI, Jakarta, 2007.
160
Jurnal Ilmiah
Suwitra, I Made, Dampak Konversi dalam UUPA Terhadap Status Tanah Adat di
Bali, Jurnal Hukum UII No 1 Vol 17, 2010.
Taib, Rinto, Endriatmo Soetarto, dan Fredian Tonny, Transformasi Identitas Gerakan
dari “Petani” menjadi “Masyarakat Adat” : Upaya Memahami Konflik
Pembangunan Bandara Sultan Babullah di Ternate Maluku Utara,
Solidaty : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi
Manusia, Agustus 2010.
Thonowi, Jawahir, Komunitas Hukum Lokal Perspektif HAM dan Hukum Nasional,
UNISIA No. 57/XX/VIII/III/2005:237-253.
Penelitian
Thontowi, Jawahir, Penelitian Antropologi Budaya Tentang Pengembangan Sumber
Daya Manusia di Pusat Pengembangan Perbatasan di Kecamatan
Sajingan Besar, Kabupaten Sambas. Kalimantan Barat, diselenggarakan
berkat kerjasama CLDS FH UII dengan Bappeda Kabupaten Sambas.
2008.)
Naskah Akademik
Naskah Akademik, Rancangan Undang-undang Perlindungan Hukum Masyarakat
Adat
161
Website :
Ahmad Ridwan, Refleksi Sepuluh Tahun Konflik Sambas. Diakses dari
http://achmadridwan.blogspot.com/2009/01/tiga-waktu-tiga-peristiwa.html
Ami Herman, Karya Seni Budaya Papua Terancam Punah. Diakses dari
http://taadeers.blogspot.com/2011/03/karya-seni-budaya-papua.html
Armen Zulkarnain, Daftar Nagari di Sumatera Barat. Diakses dari
http://armenzulkarnain.wordpress.com/2010/08/17/daftar-nagari-di-sumatera-barat-2,
Brandels, Justice Louis D, The Living Law. Dalam
http://www.cardozolawreview.com/index.php?option=com_content
Drs. Abdullah, Sepintas Tentang Masyarakat Baduy : Perjalanan ke Tanah Leluhur –
Badui. Diakses dari http://hlasrinkosgorobogor.wordpress.com/tag/budaya-baduy/
http://buanasumsel.com/dewan-pemangku-adat-dan-pembina-dilantik/
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit
http://id.wikipedia.org/wiki/Nagari
http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah_ulayat
http://tindonesia.com/kolom/wforum.cgi?no=3306&reno=3290&oya=3290&mode=msgview&list=ne
w
Kedudukan Tanah Soko dalam Adat Kampar. Diakses dari
http://bidikonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=644&Itemid=42
King Faisal Marsaoly, Adat Se-Atorang; Bukan Pepesan Kosong. Diakses dari
http://hukumodanpemerintahan.blogspot.com/2009/04/adat-se-atorang-bukan-pepesan-
kosong_30.html?zx=dbb4ca54010423be
Lembaga Adat Rancang 10 Perda. Diakses dari
http://pekanbaru.tribunnews.com/2010/11/02/lembaga-adat-rancang-10-perda
162
Mochtar Naim, anggota DPD RI Sumatera Barat, dalam Kembali ke Sistem
Pemerintahan Nagari. Diakses dari http://www.cimbuak.net/content/view/346/7/
Musri Nauli, Makna Pemberian Gelar Adat Melayu Kepada SBY. Diakses dari
http://www.jambiekspres.co.id/opini/20838-makna-pemberian-gelar-adat-melayu-kepada-
sby.html
Online Library Universitas Sumatera Utara. Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17737/4/Chapter%20I.pdf
Online Library, Institut Pertanian Bogor. Diakses dari
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40612/Bab%203%202006asm.pdf?
sequence=4
Peranginan, Jopi, Mengukur Kekuatan Untuk Merebut Kedaulatan Masyarakat Adat,
Dalam http://www.ymp.or.id/content/view/221/1.
Profile Provinsi Kalimantan Tengah. Diakses dari http://www.depdagri.go.id/pages/profil-
daerah/provinsi/detail/62/kalimantan-tengah
Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek. Manual PHR oleh Q-
Bar, LBBT, RMI, PPSHK Kalbar, Komite HAM Kaltim, LP2S, YBJ
Bantaya, ptPPMA, HuMa. Diakses dari http://www.huma.or.id
Sembiring, Rosnidar, Kedudukan Hukum Adat dalam Era Reformasi, Dalam
http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-rosnidar.pdf
Siradjudin AR, Azmi, Pengakuan Masyarakat Adat dalam Instrumen Hukum
Nasional. Dalam http://www.ymp.or.id/content/view/107/35/
Victor Emanuel. Akademisi : Pemerintah Tidak Serius Garap Perda Ulayat. Diakses
dari http://www.kalimantan-news.com/berita.php?idb=11149
163
Victor Mambor, Mengakui atau Menihilkan Masyarakat Adat?. Diakses dari
http://tabloidjubi.com/arsip-edisi-cetak/jubi-utama/3730-mengakui-atau-menihilkan-
masyarakat-adat
Warga Adat Terus Perjuangkan Hak Ulayat. Diakses dari
http://www.dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenuKiri=&idBerita=1286
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat
http://amisiregar.multiply.com/journal/item/29/Politik_Hukum
F.von Benda-Beckmann, 1999:6 (http://www.gudangmateri.com/2011/06/pluralisme-
hukum-dalam-pandangan.html)
IWGIA, 2008, “Indigenous Issues”, diakses pada tanggal 27 November 2008 dari
http://www.iwgia.org/sw153.asp
Peraturan Perundang-undangan :
Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Tengah No 33 Tahun 2001 tentang Lembaga Adat
Kebudayaan (LAKA) Kabupaten Aceh Tengah.
Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No 1 Tahun 2008 Tentang Pemberdayaan,
Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat.
Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari No 6 Tahun 2008 Tentang Pembinaan dan
Pengembangan Adat dan Lembaga Adat Bumi Serentak Bak Regam.
Peraturan Daerah Kabupaten Belitung No 3 Tahun 2003 tentang Prosesi Perkawinan
dan Pakaian Penganten Adat Belitong.
Peraturan Daerah Kabupaten Bungo No 3 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum
Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo.
164
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur No 15 Tahun 2000 Tentang Pemberdayaan dan
Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat Kebiasaan-kebiasaan
Masyarakat dan Lembaga Adat.
Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat.
Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Barat No 14 Tahun 2000 Tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat.
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas
Hak Ulayat Masyarakat Baduy.
Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari.
Peraturan Daerah Kabupaten Solok No 4 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari.
Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat No 7 Tahun 2001 Tentang
Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Peraturan Daerah Khusus Papua No 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas
Tanah.
Peraturan Daerah Kota Ternate No 13 Tahun 2009 tentang Perlindungan Hak-hak
Adat dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate.
Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No 7 Tahun 2000.
Peraturan Daerah Provinsi Jambi No 5 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat Melayu
Jambi.
165
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 Tentang
Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 9 Tahun 2001 Tentang
Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik.
Peraturan Daerah Provinsi Lampung No 2 Tahun 2008 Tentang Pemeliharaan
Kebudayaan Lampung.
Peraturan Daerah Provinsi Papua No 16 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan
Pembinaan Kebudayaan Asli Papua.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Nagari.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Nagari.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat
dan Pemanfaatannya.
Qanun Aceh No 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat.
Qanun Aceh No 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat.
166
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pembuatan Perda Adat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Tabel 2. Perda Adat Berdasarkan Regio Provinsi diundangkan
Tabel 3. Perda Adat Berdasarkan Tahun diundangkan
Tabel 4. Perda Adat Berdasarkan Jenisnya