PERBANDINGAN PIJAT OKSITOSIN DENGAN BREAST CARE TERHADAP
KELANCARAN ASI PADA IBU POST SECTIO CAESAREA
DI RUANG ASTER RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KOTA BANDUNG
S K R I P S I
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai
Gelar Sarjana Keperawatan
Oleh :
SUHERNI
NIM: AK.2.16.041
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI KENCANA
B A N D U N G 2 0 1 8
ABSTRAK
Persalinan Sectio Caesarea semakin meningkat, salah satu dampak yang
terjadi akibat Sectio Caesarea adalah ibu dan bayi tidak bisa berinteraksi atau
rawat gabung dengan segera Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yang mengakibatkan
masalah pada proses menyusui serta produksi ASI yang sedikit atau tersumbat.
Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui perbandingan pijat oksitosin
dengan breast care terhadap kelancaran ASI pada ibu post SC di Ruang Aster
RSUD Kota Bandung.
Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan rancangan
two group post test design. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini
berjumlah 36 orang dengan dibagi 2 sampel yaitu 18 orang untuk intervensi pijat
oksitosin dan 18 orang untuk intervensi breast care. Instrument yang digunakan
adalah lembar observasi untuk mengetahui kelancaran ASI. Analisis data yang
dilakukan yaitu analisis univariat dan analisis bivariat menggunakan uji Mann
Whitney.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelancaran ASI pada ibu post SC
yang dilakukan pijat oksitosin sebagian besar lancar yaitu 15 orang (83,3%),
kelancaran ASI pada ibu post SC yang dilakukan breast care lebih dari
setengahnya tidak lancar yaitu 10 orang (55,6%) dan terdapat perbedaan yang
signifikan antara pijat oksitosin dengan breast care, p-value = 0,017 ≤ α (0,05).
Simpulan didapatkan bahwa kelancaran ASI lebih lancar dengan dilakukan
pijat oksitosin dibandingkan dengan breast care. Saran bagi rumah sakit
diharapkan bisa menerapkan pijat oksitosin sebagai SOP dalam memperlancar
pengeluaran ASI.
Kata kunci : Breast Care, Kelancaran ASI, Pijat Oksitosin
Referensi : 40 buku (2009-2017)
7 jurnal (2010-2017)
ABSTRACT
Sectio Caesarea delivery is increasing, one of the effects of Sectio
Caesarea is that the mother and baby cannot interact or take care to join
immediately with Early Breastfeeding Initiation (IMD) which results in problems
in the process of breastfeeding and little or clogged milk production. The purpose
of this study was to determine the comparison of oxytocin massage with breast
care to the smoothness of breast milk in post-SC mothers in the Aster Room in
Bandung City Hospital.
This research is a quasi-experimental study with two group post test
design. The number of samples used in this study amounted to 36 people, divided
into 2 samples, namely 18 people for oxytocin massage intervention and 18
people for breast care intervention. The instrument used is an observation sheet to
determine the smoothness of ASI. Data analysis was carried out namely
univariate analysis and bivariate analysis using Mann Whitney test.
The results showed that the smoothness of breastfeeding in post-SC
mothers who carried out oxytocin massage was mostly smooth, ie 15 people
(83.3%), the smoothness of breastfeeding in post-SC women who did breast care
was more than half that not smooth, ie 10 people (55.6% ) and there is a
significant difference between oxytocin massage with breast care, p-value = 0.017
≤ α (0.05).
The conclusion was that the smoothness of breast milk was more smooth
with oxytocin massage compared to breast care. Suggestions for hospitals are
expected to be able to apply oxytocin massage as an SOP to expedite ASI
expenditure.
Keywords : Breast Care, Smoothness of ASI, Oxytocin Massage
References : 40 books (2009-2017)
7 journals (2010-2017)
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillah segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas kekuatan dan
kesempatan yang diberikan kepada saya, sehingga skripsi dengan judul
“PERBANDINGAN PIJAT OKSITOSIN DENGAN BREAST CARE
TERHADAP KELANCARAN ASI PADA IBU POST SECTIO CAESAREA
DI RUANG ASTER RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA
BANDUNG”. Skripsi ini tidak dapat diselesaikaan tanpa kekuatan dan
kesempatan yang telah diberikan Allah SWT, serta bimbingan, arahan dan
dukungan yang sangat berarti dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti
mengucakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Yth :
1. H.Mulyana SH., M.Pd, M.Kes sebagai Ketua Yayasan Adhi Guna Kencana
Bandung.
2. R.Siti Jundiah, S.Kep., Ners., M.Kep Sebagai Ketua Stikes Bhakti Kencana
Bandung,
3. Yuyun Sarinengsih, S.Kep., Ners., M.Kep Sebagai Ketua Program Studi Ners
Stikes Bhakti Kencana Bandung
4. Inggrid Dirgahayu, S.Kp., M.KM sebagai pembimbing I yang telah
memberikan banyak motivasi, arahan, masukan dan bimbingan kepada saya
dalam menyelesaikan skripsi penelitian ini.
5. Denni Fransiska, S.Kp., M.Kep sebagai pembimbing II yang telah
memberikan arahan, masukan dan bimbingan kepada saya dalam penyelesaian
skripsi penelitian ini.
viii
6. Bapak dan Ibu dosen Stikes Bhakti Kencana Bandung yang telah memberikan
ilmu khususnya ilmu keperawatan.
7. Kepala Ruangan dan staf Ruang Aster RSUD Kota Bandung sehingga skripsi
penelitian ini dapat terselesaikan.
8. Orang tua, Suami dan Anak-anak tercinta yang selalu mendoakan,
memotivasi, mencurahkan kasih syang dan dukungan baik moril, materi dan
spiritual.
9. Seluruh teman-teman seperjuangan program studi Ners kelas ekstensi
angkatan tahun 2016 dan sahabat serta pihak lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu.
Semoga semua yang telah diberikan kepada saya mendapat balasan
kebaikan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Besar harapan saya semoga ilmu
yang saya dapatkan dari perkuliahan dan penelitian ini dapat berguna bagi
kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bidang keperawatan.
Bandung, September 2018
Peneliti
Suherni
ix
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAK ................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI ............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .................................................................................... ix
DAFTAR BAGAN ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 11
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka ..................................................................... 14
2.1.1 Sectio Caesarea ....................................................... 14
2.1.2 Laktasi .................................................................... 22
2.1.3 Perawatan Payudara (Breast care) .......................... 34
2.1.4 Pijat Oksitosin ......................................................... 37
2.1.5 Peran Perawat ......................................................... 39
x
2.2 Perbandingan Pijat Oksitosin Dengan Breast Care
Terhadap Pengeluaran ASI Pada Ibu Post SC ................... 40
2.3 Kerangka Konseptual .......................................................... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .................................................................... 44
3.2 Paradigma Penelitian ........................................................... 45
3.3 Variabel Penelitian .............................................................. 47
3.4 Hipotesis .............................................................................. 48
3.5 Definisi Konseptual ............................................................. 49
3.6 Definisi Operasional Variabel ............................................. 50
3.7 Populasi dan Sampel Penelitian .......................................... 51
3.8 Pengumpulan Data .............................................................. 54
3.9 Langkah-langkah Penelitian ................................................ 55
3.10 Pengolahan Data Analisa Data ............................................ 57
3.11 Etika Penelitian ................................................................... 61
3.12 Lokasi Dan Waktu Penelitian .............................................. 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian .................................................................. 64
4.2 Pembahasan ........................................................................ 67
4.3 Keterbatasan Penelitian ...................................................... 72
xi
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ............................................................................ 73
5.2 Saran ................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Definisi Operasional ........................................................................ 59
4.1 Distribusi Frekuensi Kelancaran Air Susu Ibu (ASI) pada Ibu
Post SC yang Dilakukan Pijat Oksitosin di Ruang Aster RSUD
Kota Bandung .................................................................................. 64
4.2 Distribusi Frekuensi Kelancaran Air Susu Ibu (ASI) pada Ibu
Post SC yang Dilakukan Breast Care di Ruang Aster RSUD Kota
Bandung ........................................................................................... 65
4.3 Perbandingan Antara Pijat Oksitosin dengan Breast Care
terhadap kelaNcaran Air Susu Ibu (ASI) pada Ibu Post SC di
Ruang Aster RSUD Kota Bandung ................................................. 66
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan Halaman
2.1 Kerangka Konsep ............................................................................ 43
3.1 Desain Two Group Post-Test Design ............................................... 44
3.2 Kerangka Penelitian ........................................................................ 47
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Informed Consent
Lampiran 2 : Lembar Observasi
Lampiran 3 : Data Hasil Penelitian
Lampiran 4 : Perhitungan Data Hasil Penelitian
Lampiran 5 : Lembar Bimbingan
1
BAB I-
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persalinan adalah pengeluaran proses hasil konsepsi (Janin dan
placenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui
jalan lahir atau jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan atau kekuatan
sendiri (Purnama, 2013). Persalinan normal adalah proses lahirnya janin
dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan
bayi yang pada umumnya berlangsung kurang dari 24 jam. Pada saat
persalinan tidak sedikit para ibu yang mengalami masalah sehingga dengan
terpaksa harus menggunakan persalinan dengan Sectio Caesarea (SC)
(Purnama, 2013).
Persalinan SC di lakukan bila ada indikasi yang di sebabkan oleh
faktor ibu dan faktor janin. Factor ibu diantaranya karena panggul sempit,
placenta previa, tumor pelvis yang menyebabkan obstruksi jalan lahir,
kelainan tenaga atau his, ruftur uteri imminent (Meangancam), kegagalan
persalinan, penyakit ibu (Eklampsia/ preeklampsi yang berat, DM, penyakit
jantung dan kanker cervical) Menurut (Ferrer, 2011). indikasi janin
dilakukannya SC antara lain karena janin besar, gawat janin, hidrocepallus,
presentasi bokong (Ferrer, 2011).
2
Di negara berkembang proporsi kelahiran dengan cara SC berkisar 21,
2% dari total kelahiran yang ada, sedangkan di negara maju hanya 2%. Badan
kesehatan dunia atau World health organization (WHO) Di setiap negara
tanpa membedakan negara maju dan negara berkembang persalinan SC 15 %
dari total persalinan yang ada sejak tahun 1985.
Pada tahun 2012 terdapat 23 juta kasus persalinan dengan tindakan SC
secara global di dunia (Molina et all, 2015). Di Indonesia presentasi operasi
SC sekitar 5-15% dirumah sakit pemerintah persalinan dengan SC 11%,
sedangkan sisanya persalinan dengan SC di rumah sakit swasta bisa lebih dari
30%. Menurut survey Demografi dan kesehatan Indonesia 2012, angka
kejadian SC di Indonesia 921.000 dari 4.039000 persalinan atau 22, 8% dari
seluruh persalinan. Persalinan dengan SC di Indonesia sebesar 9, 8% dari total
kelahiran Angka persalinan SC, sedangkan persalinan SC di provinsi Jawa
Barat sekitar 8% dari seluruh persalinan (Riskesdas, 2013). Di Bandung
persalinan dengan SC tahun 2017 mencapai 913 kasus (Rekam Medis Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Bandung, 2017).
Persalinan SC di lakukan satu sisi aman untuk ibu dan bayi tetapi ada
beberapa efek masalah yang di timbulkan dari tindakan SC tersebut. tindakan
SC akan menimbulkan beberapa masalah yang akan muncul pada klien baik
secara sosial, psikologi dan fisik (Bobak dkk, 2015; Mitayani, 2013;
Cunningham et all, 20114). persalinan SC secara efektif dapat mencegah
mortalitas dan morbilitas maternal dan perinatal (WHO Statemen on
Caesarean Section Rates, 2015).
I
3
Dampak secara sosial yang muncul pada post SC di antaranya dari segi
biaya akan lebih besar, ibu dan bayi tidak bisa berinteraksi atau rawat gabung
dengan segera. Dampak secara psikologi diantaranya klien dan bayinya
terpisah sehingga boundhing attachment menjadi terganggu, sedangkan
dampak secara fisik post SC diantaranya nyeri pada bekas sayatan, gatal pada
bekas jahitan, berpeluang infeksi pada luka, mobilisasi menjadi terbatas.
Melihat dampak yang di timbulkan dari tindakan SC tersebut maka di
butuhkan perawatan yang lebih komplek di bandingkan ibu yang bersalin
secara normal. Perawatan wanita setalah persalinan SC merupakan kombinasi
antara asuhan keperawatan bedah dan maternitas (Bobak dkk, 2015; Mitayani,
2013; Cunningham et all, 2014).
Dari uraian diatas terlihat bahwa dampak yang timbul akibat post SC
adalah ibu dan bayi tidak bisa berinteraksi atau rawat gabung dengan segera
Inisiasi Menyusui Dini (IMD), dan juga sebagian besar tidak dilakukan IMD
dikarenakan masih dalam program obat anastesi sehingga bayi dan ibu
terpisah mengakibatkan masalah pada proses menyusui serta produksi ASI
yang sedikit atau tersumbat. masalah ini sering di temui pada ibu pasca
bersalin.tersumbatnya saluran ASI dapat menyebabkan rasa sakit, bengkak,
dan payudara mengeras. Pada kondisi ini payudara tidak mengalami
pengosongan dengan baik sehingga air susu jadi menumpuk. Hal ini terjadi
bila bayi tidak dapat menghisap dengan baik saat awal menyusui. Jika hal ini
tidak segera di tangani hal ini bisa mengakibatkan demam pada ibu.
4
Tindakan IMD kalau tidak segera di lakukan dapat mengakibatkan
produksi ASI menurun karena kurangnya hisapan oleh bayi, kurangnya
hisapan bayi mengakibatkan kurangnya produksi ASI dan mengganggu
kelancaran produksi ASI. Pernyataan tersebut di dukung oleh penelitian
Hayaningsih pada tahun (2011) yang menyatakan kelancaran ASI ibu post SC
cenderung lebih lama di bandingkan ibu dengan persalinan spontan. Penelitian
yang dilakukan menunjukan bahwa tidak di lakukan IMD dapat
mengakibatkan produksi asi menurun karena rangsangan hisapan bayi
berkurang, penelitian serupa juga menunjukan penurunan hisapan bayi juga
menurunkan stimulasi hormone prolactin dan oksitosin, sedangkan hormone
prolactin dan oksitosin sangat berperan dalam kelancaran produksi asi
(Purnama, 2013)
Ibu yang mengalami pembiusan tidak mungkin dapat menyusui
bayinya diawal, karena ibu harus di pindahkan ke ruang RR. Walaupun saat
ini IMD dapat juga di lakukan di ruang operasi namun tidak semua rumah
sakit memiliki kebijakan yang serupa. Selain itu perasaan ibu yang tidak yakin
bisa memberikan ASI pada bayinya karena kondisinya akan menyebabkan
penurunan oksitosin sehingga ASI tidak dapat keluar segera setelah
melahirkan.
Produksi ASI yang cukup membantu ibu dalam proses menyusui
terutama di awal pasca kelahiran. Namun sering sekali ibu post SC
mengeluhkan ASI mereka sedikit dan tidak lancar di hari pertama kelahiran
dan hal ini membuat mereka berhenti menyusui bahkan lebih memilih
penggunaan susu formula (Baxter, 2012).
5
Di dukung oleh penelitian Hayaningsih (2011) yang menyatakan
kelancaran ASI ibu post SC cenderung lebih lama di bandingkan ibu dengan
persalinan spontan. Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa tidak di
lakukan IMD dapat mengakibatkan produksi asi menurun karena rangsangan
hisapan bayi berkurang, penelitian serupa juga menunjukan penurunan hisapan
bayi juga menurunkan stimulasi hormone prolactin dan oksitosin, sedangkan
hormone prolactin dan oksitosin sangat berperan dalam kelancaran produksi
asi (Purnama, 2013)
Penelitian yang dilakukan oleh Mardila (2014) mengenai pangaruh
perawatan payudara terhadap kelancaran ekskresi ASI pada ibu post partum di
rumah bersalin Mardi Rahayu Semarang didapatkan hasil bahwa dengan
dilakukan perawatan payudara dapat meningkatkan kelancaran ekskresi ASI
1-2x lebih besar.
Ibu yang mengalami tindakan SC tidak mengkin dapat segera
menyusui bayinya karena belum sadar akibat pembiusan. Bila keadaan ibu
membaik penyusuan dini dapat segera di mulai dengan bantuan keluarga
maupun perawat. Maka diperlukan perawatan selanjutnya pada Ibu adalah
dengan perawatan payudara.
Perawatan payudara dilakukan untuk memperlancar ASI dan untuk
menghindari kesulitan pada proses menyusui. Perawatan payudara di lakukan
dengan tiga gerakan sedangkan pijat oksitosin dilakukan dengan satu gerakan
membentuk bulatan kecil-kecil. Perawatan payudara selama menyusui di
6
lakukan untuk menjaga kebersihan dan memasage (memijat) payudara dapat
memperlancar ASI (Istiyani, 2013).
Sholichah pernah melakukan penelitian pada tahun (2011) di dukung
oleh Fitria (2012) juga pernah melakukan penelitian salah satu factor yang
memperlancar ASI adalah perawatan payudara dan pijat oksitosin. Perawatan
payudara yang benar memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan
produksi ASI dan Ibu dapat terhindar dari bahaya pembengkakan payudara
juga terhindar dari sumbatan saluran ASI (Bahiyatun, 2009). Bahwa salah satu
factor yang memperlancar produksi ASI yaitu dengan melakukan perawatan
payudara.
Perawatan payudara adalah perawatan yang di lakukan pada ibu nifas
umtuk memperlancar ASI dan untuk menghindari kesulitan pada proses
menyusui (Suharmi, 2010). Payudara adalah kelenjar yang terdapat di bawah
kulit, diatas otot dada, yang fungsinya memproduksi susu untuk nutrisi bayi
(Depkes RI, 2012).
Untuk meningkatkan produksi ASI yang lebih baik, maka di butuhkan
waktu 5 menit dalam satu hari (Saryono), Yaitu ; memelihara kebersihan
payudara agar terhindar dari infeksi, melenturkan dan menguatkan putting,
mencegah bendungan ASI atau mencegah pembengkakan payudara, untuk
mengetahui secara dini kelainan putting susu dan melakukan usaha untuk
mengatasinya, meningkatkan produksi ASI dengan merangsang kelenjar-
kelenjar air susu melaui pemijatan, (Saryono, 2014).
7
Salah satu intervensi yang dapat meningkatkan produksi ASI yaitu
dengan pijat ASI. Pijat ASI yang sering di lakukan dalam rangka
meningkatkan ketidaklancaran produksi ASI adalah Pijat oksitosin. Salah satu
tindakan yang dapat mempengaruhi peningkatan hormone laktasi adalah pijat
oksitosin yaitu suatu tindakan pemijatan sepanjang kedua sisi tulang belakang
hingga costa kelima sampai keenam atau sejajar payudara Ibu
(Mardiyaningsih, 2010 dan Budiarti, 2009).
Hasil penelitian Ummah (2014) pada 28 Ibu post partum normal, Ibu
yang mendapatkan perlakuan pijat oksitosin pengeluaran ASI lebih cepat yaitu
6, 21 jam setelah bayi lahir sedangkan Ibu yang tidak mendapat perlakuan
pijat oksitosin pengeluaran ASI yaitu 8, 93 jam setelah bayi lahir.
Berdasarkan penelitian Mardila (2014) waktu pelaksanaan untuk
perawatan payudara (breast care) yaitu dilakukan pada hari 2 atau 3 setelah
operasi dengan pelaksanaan intervensi selama 15-20 menit sebanyak 20-30
kali pengulangan setiap intervensi dan dilakukan cukup satu hari. Sedangkan
untuk pelaksanaan pijat oksitosin berdasarkan penelitian Indah (2017)
didapatkan pelaksanaan pijat okstisoin dilakukan selaam 3 menit dengan 3 kali
pengulangan setiap intervensi dan dilakukan cukup satu hari sebanyak 2 kali.
Hormon prolactin dilepas oleh kelenjar hipofise yang berguna
mengaktifkan sel-sel kelenjar payudara dalam proses pembuatan produksi
ASI, proses sekresi air susu dan mempertahankan produksi ASI setelah lahir.
Sedangkan hormone oksitosin berperan dalam pengeluaran dan penyemburan
8
air susu karena oksitosin mengakibatkan kontraksi sel mioepitel kelenjar
payudara sehingga ASI dapat keluar dari Duktus alveolus kedalam sinus yang
terdapat pada proksimal payudara (Hull, 2014). Sesuai penelitian Endah dan
Imas (2011) terhadap 60 ibu post partum adalah rata-rata pengeluaran
kolostrom pada ibu setelah mendapat perlakuan pijat oksitosin adalah 5, 3 cc
sedangkan ibu yang tidak mendapat perlakuan 0, 035 cc.
Dengan refleks prolactin bayi menghisap payudara dan menstimulasi
ujung syaraf. Syaraf inilah yang kemudian memerintahkan otak untuk
mengeluarkan hormone, yaitu hormone prolactin. Hormone prolactin
merangsang alveoli (Sel kelenjar) untuk menghasilkan lebih banyak air susu.
Menyusui dengan sering adalah cara terbaik untuk mendapatkan ASI lebih
banyak (Roesli, 2013).
Setelah bayi lahir adanya rangsangan isapan bayi pada puting susu
dan areola dapat merangsang ujung-ujung saraf sensoris yang berfungsi
sebagai rangsangan mekanik yang dilanjutkan melalui medulla spinalis
sehingga hipotahalamus akan menekan pengeluaran. Faktor yang
menghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya akan memacu faktor-faktor
yang memacu sekresi prolactin dan merangsang hipofisis anterior sehingga
prolactin keluar dan hormone ini akan merangsang sel-sel alveoli yang
berfungsi membuat air susu. Payudara tidak menyimpan susu tetapi
memproduksinya berdasarkan pemintaan, semakin besar permintaan maka
semakin banyak ASI yang di produksi (Roesli, 2013).
9
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terhadap kelancaran ASI
diantaranya faktor bayi yaitu faktor berat badan, reflek isap dan pelaksanaan
inisiasi menyusu dini; faktor ibu seperti umur kehamilan dan metode
perawatan untuk kelancaran ASI serta faktor lingkungan seperti adanya
dukungan petugas kesehatan, dukungan suami dan dukungan keluarga
(Nurliawati, 2010).
Berdasarkan studi pendahuluan yang di lakukan di RSUD Kota
Bandung pada bulan Januari sampai bulan Maret tahun 2018 data yang di
dapat dari Rekam Medis RSUD Kota Bandung sebanyak 212 ibu post SC.
Khususnya pada bulan Maret tahun 2018 ibu dengan post SC sebanyak 55
orang.
Dari hasil wawancara dengan bidan di Ruang Aster data yang di
dapatkan dari jumlah tersebut diatas yang mendapatkan perlakuan breast care
hanya yang mengeluh pembengkakan, ASI belum keluar atau sedikit.
Sehingga ibu memilih memberikan susu formula karena mereka khawatir
bahwa bayi mereka kelaparan. Ibu post SC tidak dapat memberikan ASI nya
dengan segera karena masih dalam pengaruh obat anastesi dan juga
dikarenakan ibu dan bayi di rawat terpisah mengakibatkan ASI masih keluar
sedikit, payudara bengkak dan mobilisasi ibu terganggu karena tidak segera
disusukan kepada bayi.
Menurut data yang di dapat dari perawat perinatologi biasanya bayi
dengan post SC di berikan susu formula tetapi sebelumnya di lakukan inform
concent terlebih dulu terhadap keluarga atau ibu, kecuali keluarga atau ibu
10
mau ASI eksklusif. Sedangkan untuk pijat oksitosin belum pernah di lakukan
oleh bidan di Ruang Aster. Dan data yang di dapatkan dari kepala Ruangan
Aster sebelumnya pijat oksitosin pernah di lakukan pada saat ada yang
penelitian saja, padahal pijat oksitosin waktu pelaksanaan lebih pendek
sehingga sisa waktunya bisa digunakan untuk kebutuhan lainnya.
Ibu dengan post SC bertemu dengan bayinya pada 6 jam post SC bila
bayi dan ibu stabil atau bagus. tetapi biasanya ibu dengan post SC bertemu
bayi nya pada hari kedua. Beberapa bidan di Ruang Aster juga mengatakan
bahwa bayi yang baru dilahirkan secara SC di monitoring terlebih dahulu di
Ruang Perinatologi dan bayi akan bertemu dengan ibunya jika ibu sudah sadar
atau bangun pasca operasi dan merasa siap untuk menyusui.
Sebagai gambaran hasil observasi payudara pada 5 orang pasien
primipara dan multipara produksi ASI berbeda untuk pasien primi dengan post
SC di dapatkan payudara tegang/bengkak, pembuluh darah terlihat, hitam
kemerahan pada daerah areola mamae, dan terasa nyeri, putting susu runcing.
daerah di sekitar areola mamae mengkilat, ASI keluar sangat sedikit pada saat
putting di pencet, pasien tampak cemas karena bayi menangis dan susah
menetek karena ASI yang keluar sangat sedikit. Sedang kan pada pasien multi
payudara kurang tegang/bengkak, menggantung, ada striae, putting susu
mendatar, areola tidak mengkilat, ASI keluar saat di pencet tanpa terasa sakit.
Upaya yang di lakukan untuk meningkatkan produksi ASI pada ibu
post SC oleh bidan RSUD Kota Bandung adalah dengan melakukan perawatan
11
payudara (Breast care) yang suda ada kebijakan atau Standar Operasional
Prosedur (SOP).
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik tentang untuk melakukan
penelitian perbandingan pijat oksitosin dengan breast care terhadap
kelancaran ASI pada ibu post SC di Ruang Aster RSUD Kota Bandung.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut, hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada perbedaan pijat
oksitosin dengan breast care terhadap kelancaran ASI pada ibu post SC di
Ruang Aster RSUD Kota Bandung?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi
perbandingan pijat oksitosin dengan breast care terhadap kelancaran
ASI pada ibu post SC di Ruang Aster RSUD Kota Bandung
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui kelancaran Air Susu Ibu (ASI) pada ibu post SC yang
dilakukan pijat oksitosin di Ruang Aster RSUD Kota Bandung.
2. Mengetahui kelancaran Air Susu Ibu (ASI) pada ibu post SC yang
dilakukan breast care di Ruang Aster RSUD Kota Bandung.
12
3. Mengetahui perbandingan antara pijat oksitosin dengan breast care
terhadap kelancaran Air Susu Ibu (ASI) pada ibu post SC di Ruang
Aster RSUD Kota Bandung.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Institusi Pendidikan Kesehatan
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberi konstribusi dalam
ilmu keperawatan tentang pijat oksitosin dan dapat menambah
informasi serta pengetahuan tentang pijat oksitosin terhadap
produksi ASI pada ibu post SC.
2. Peneliti lain
Hasil penelitian ini akan berguna sebagai bahan bagi penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan pijat oksitosin dan
breastcare terhadap pengeluaran ASI dengan menggunakan desain
dan metoda penelitian yang lainnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Rumah Sakit
Dengan mengetahui pengaruh pijat oksitosin terhadap pengeluaran
ASI dapat menjadikan pijat oksitosin sebagai suatu prosedur dalam
memberikan perawatan terhadap ibu post partum baik normal
maupun dengan SC.
13
2. Bagi Perawat Ruang Aster
Mampu mengidentifikasi perbandingan pijat oksitosin dan breast
care terhadap kelancaran Air Susu Ibu (ASI) pada ibu post sectio
caesarea di Ruang Aster RSUD Kota Bandung Tahun 2018.
3. Bagi Ibu Nifas
Ibu nifas bisa melaksanakan tindakan breast care maupun pijat
oksitosin sebagai teknik untuk memperlancar ASI.
4. Bagi Keluarga dan Masyarakat
Sebagai pengetahuan atau tambahan informasi baru bagi
masyarakat umum tentang berbagai tehnik yang dapat
mempercepat dan memperlancar keluarnya ASI setelah
melahirkan. Dengan tehnik yang tepat, efektif dan efisien akan
menjadikan salah satu faktor yang turut mendukung dalam
pemberian ASI ekslusif.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Sectio Caesarea
1. Pengertian
Sectio Caesarea (SC) didefinisikan sebagai lahirnya janin
melalui insisi di dinding abdomen (Laparatomi) dan dinding
uterus (Histerektomi) (Cunningham et all, 2014). SC adalah suatu
persalinan buatan dimana janin di lahirkan melalui suatu insisi
pada dinding depan perut dan dinding Rahim dengan sayat Rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono,
2013). SC adalah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat
badan diatas 500gram melalui sayatan pada dinding uterus yang
utuh (Gulardi & Wiknjosastro, 2012). Berdasarkan beberapa
pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Sectio
Caesarea adalah lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen
dengan berat janin diatas 500 gram.
2. Indikasi SC
a. Indikasi medis
Dalam proses persalinan terdapat tiga factor penentu
yaitu power (Tenaga mengejan dan kontraksi dinding otot perut
dan dinding Rahim), Passageway (keadaan jalan lahir),
pasanger (janin yang dilahirkan). Mula-mula indikasi SC
15
hanya karena ada kelainan passageway misalnya sempitnya
panggul, dugaan akan terjadinya trauma persalinan serius pada
jalan lahir atau pada anak, dan adanya infeksi pada jalan lahir
yang diduga bisa menular kepada anak, sehingga kelahiran
tidak bisa melalui jalan yang benar yaitu melalui vagina.
Akhirnya merambat ke faktor power dan passanger. Kelainan
power yang memungkinkan dilakukanya SC, misalnya
mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit
menahun lain yang mempengaruhi tenaga. Sedangkan kelainan
passanger diantaranya anak terlalu besar, anak dengan kelainan
letak jantung, primigravida diatas 35 tahun dengan letak
sungsang anak tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul,
dan anak menderita fetal distress syndrome (deyut jantung
janin kacau dan melemah.
Secara terperinci ada tujuh indikasi medis seorang ibu
yang harus menjalani SC, yaitu :
1) Jika panggul sempit, sehingga besar anak tidak
proporsional dengan ukuran panggul ibu disporporsi. Oleh
karena itu, penting untuk melakukan pengukuran panggul
pada waktu pemeriksaan kehamilan awal dengan tujuan
dapat memperkirakan apakah ibu masih dalam batas normal
atau tergolong sempit untuk dilalui bayi nantinya.
2) Pada kasus sudah terjadi gawat janin akibat infeksi,
misalnya, kasus ketuban pecah dini (KPD) sehingga bayi
16
banyi terendam cairan ketuban yang busuk atau bayi ikut
memikul demam tinggi. Bisa juga akibat ibu mengalami
eklamsia (Keracunan kehamilan), sehingga bayi ikut
terpengaruh akibat penderitaan ibu. Kondisi bayi-bayi
seperti ini termasuk gawat biasanya jiga dokter menilai
denyut jantung bayi lebih cepat dari biasa termasuk jika
terjadi lilitan tali pusat pada leher bayi.
3) Pada kasus plasenta terletak dibawah (plasenta previa).
Biasanya plasenta melekat dibagian tengah rahim akan
tetapi pada kasus plasenta previa letak plasenta dibagian
bawah sehingga menutupi liang rahim dan akhirnya bayi
tidak bisa keluar normal melalui liang rahim ibu.
4) Pada kasus kelainan letak, jiaka posisi anak dalam
kandungan letaknya melintang dan terlambat dikoreksi
selagi kehamilan belum tua (letak lintang kasep). Dalam
situasi ini, persalinan normal sudah tidak mungkin
dilakukan lagi, baik kepala atau kaki yang turun lebih
dahulu.
5) Jika terjadi kontraksi yang lemah dan tidak terkoordinasi
hal ini menyebabkan tidak ada kekuatan untuk mendorong
bayi keluar dari rahim (incoordinate uterine -action ).
6) Jika ibu menderita preeklamsia, yaitu jika selama
kehamilan muncul gejala darah tinggi, ada protein dalam air
17
seni, penglihatan kabur dan juga melihat bayangan ganda.
Pada eklamsia timbul gejala yang lebih berat lagi, yakni
gejala preeklamsia tersebut ibu mulai kejang-kejang tak
sadarkan diri.
7) Jika yang pernah di SC sebelumnya maka pada persalinan
berikut umumnya juga harus di SC karena takut terjadi
robekan Rahim. Namun sekarang tehnik SC adalah
dilakukan sayatan dibagian bawah Rahim sehingga
potongan pada otot Rahim tidak membujur lagi. Dengan
demikian bahaya Rahim robek akan lebih kecil
dibandingkan tehnik SC dulu yang sayatanya dibagian
tengah Rahim dengan potongan yang bukan melintang.
Persalinan lewat vagina pada ibu yang penah di SC dapat
dilakukan dengan catatan: persalinan harus dilakukan
dirumah sakit ibu sudah dirawat beberapa hari sebelum hari
persalinan (harapan partus), persalinan kala II yakni setelah
mules-mules timbul, yang berarti otot Rahim berkontraksi
dan tidak boleh berlangsung lama (Llewelllyn,D,2011)
b. Indikasi sosial
Selain indikasi medis terdapat indikasi non medis untuk
melakukan SC yaitu indikasi social. Persalinan Sc karena
indikasi social timbul karena adanya permintaan pasien
walaupun tidak ada masalah atau kesulitan untuk melakukan
18
persalinan normal. Indikasi sosial biasanya sudah direncanakan
terlebih dahulu untuk dilakukan tindakan tindakan SC atau
disebut dengan sektio caesarea elektif (Kasdu, 2013).
3. Keuntungan SC
Operasi SC lebih aman di pilih dalam menjalani proses
persalian karena telah banyak menyelamatkan jiwa ibu yang
mengalami kesulitan melahirkan. Bagi ibu yang paranoid terhadap
rasa sakit, maka SC adalah pilihan yang tepat dalam menjalani
proses persalinan, karena di beri anesthesia atau penghilang rasa
sakit (Fauzi, 2012).
4. Kerugian SC
Operasi SC merupakan prosedur medis yang mahal.
Prosedur anesthesia pada operasi bisa membuat anak ikut terbius,
sehingga anak tidak spontan menangis, keterlambatan menangis ini
mengakibatkan kelainan haemodinamika dan mengurangi apgar
skore. Ibu akan mendapat luka baru di perut dan kemungkinan
timbulnya infeksi bila luka operasi tidak di rawat dengan baik.
Gerak tubuh ibu menjadi sangat terbatas sehingga proses
penyembuhan luka akansemakin lama. Tindakan Sc biasanya di
anggap sebagai suatu penyiksaan bagi yang tidak memiliki
kebiasaan beristirahat lama di rumah sakit setelah melahirkan
(Fauzi, 2012).
19
5. Kontra Indikasi SC
Mengenai kontra indikasi, perlu di ketahui bahwa SC di
lakukan baik untuk kepentingan ibu maupun untuk kepentingan
anak, oleh sebab itu, SC tidak dilakukan kecuali dalam keadaan
terpaksa. SC tidak boleh dilakukan pada kasus- kasus seperti di
bawah ini :
a. Anak sudah mati dalam kandungan. Dalam hal ini, dokter
menilai apabila denyut jantung anak sudah tidak ada, ibu
sudahtidak merasakan adanya gerakan anak dan pencitraan
ultrasonografi (USG), atau Doppler, dan tidak ada lagi tanda-
tanda kehidupan dari anak tersebut.
b. Jika anak terlalu kecil untuk mampu hidup di luar rahim ibu.
c. Jika anak di kandungan ibu terbukti cacat, misalnya kepala
anak besar (Hydrocephalus), atau anak tanpa kepala
(Anencepalus).
d. Terjadi infeksi dalam kehamilan (Oxorn, 2011).
6. Komplikasi
Komplikasi SC menurut Rustam Mochtar (2002) antara lain:
a. Infeksi purperial (Nifas)
1) Ringan, dengan kenaikan suhu beberapa hari saja
2) Sedang, dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi di sertai
dehidrasi dan perut sedikit kembung.
20
3) Berat, dengan peritonitis, sepsis, dan ileusparalitik, infeksi
berat sering kita jumpai pada partus terlantar, sebelum
timbul infeksi nifas.
b. Perdarahan
1) Banyak pembuluh darah yang terputusdan terbuka
2) Antonia uteri
3) Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung
kemih bila reperitoialisasi terlalu tinggi
4) Kemungkinan rupture uteri spontan pada kehamilan
mendatang
7. Perawatan pasca bedah SC
Menurut Mochtar (2012) perawatan pasca bedah meliputi:
a. Perawatan luka insisi
Luka insisi di bersihkan dengan alcohol dan larutan betadin dan
sebagainya,lalu di tutup dengan kain penutupluka. Secara
periodic pembalut luka di ganti dan luka di bersihkan
b. Tempat perawatan pasca bedah
Setelah tindakan di kamar opearsi selesai, pasien di pindahkan
ke kamar khusus yang di lengkapi dengan alat pendingin kamar
selama bebrapa hari. Bila pasca bedah kondisi gawat segera
untuk di pindahkan ke unit darurat untuk perawatan bersama-
sama dengan unit anesthesia.
21
c. Pemberian cairan
Karena selam 24 jam pertamapasien puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perinfus harus cukup banyak dan
mengandung elektrolityang di perlukan, agar tidak terjadi
dehidrasi.
d. Nyeri
Nyeri pasca operasi merupakan efek smaping yang harus di
derita oleh mereka yang pernah mengalami operasi, termasuk
bedah SC. nyeri tersebut dapat di sebabkan oleh perlekatan-
perlekatan antar jaringan akibat operasi. Nyeri tersebut hamper
tidak mungkin di hilangkan 100%, ibu akan mengalami nyaeri
atau gangguan terutama bila ativitas berlebih atau melakukan
gerakan- gerakan yang tiba- tiba.
Sejak pertama pasien sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri
masih dirasakan di daerah operasi. Untuk mengurangi rasa
nyeri tersebut dapat di berikan obat- obat anti nyeri dan
penenang seperti suntikan pethidin dengan dosis 100- 150 mg
atau morfin sebanyak10-15mg atau secara perinfus
e. Mobilisasi
Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna
untukmembantu jalannya penyembuhan pasien. Mobilisasi
berguna untuk mencegah terjadinya thrombosis dan emboli.
Miring kekanan dan kekiri sudah dapat di mulaisejak 6-10 jam
22
setelah pasien sadar. latihan pernafasan dapat dilakukan pasien
sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar. Kemudian
posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk
selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien di
anjurkan belajar duduk selam sehari, belajar berjalan dan
berjalan sendiri pada hari ketiga sampai kelima pasca bedah sc.
8. Anesthesi pada SC
Ada beberapa anesthesia atau penghilang rasa akit yang
bisa di pilih untuk operasi SC,baik spinal maupun general. Pada
SC anesthesia spinal atau epidural yang lebih umum di gunakan,
sang ibu tetap sadar kala operasi. Anesthesia general bekerja jauh
lebih cepat, dan mungkin di berikan jika di perlukan proses
persalinan yang cepat (Gallagher, C. M, 2014).
2.1.2 Laktasi
1. Pengertian
Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui, mulai dari
ASI di produksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI.
Sementara itu, yang di maksud dengan manajemen laktasi adalah
suatu upaya yang di lakukan oleh ibu, ayah, dan keluarga untuk
menunjang keberhasilan menyusui.
23
2. Proses Pembentukan ASI
Proses pembentukan laktogen dimulai sejak kehamilan
yang meliputi beberapa proses yaitu:
a. Laktogenesis I
Laktogenesis I dimulai sejak pertengahan kehamilan, payudara
memproduksi kolostrum yaitu berupa cairan kental yang
kekuningan. Pada fase ini struktur dan lobus payudara
mengalami ploriferasi akibat pengaruh hormon. Pada saat itu
tingkat hormon progesteron yang tinggi mencegah produksi
ASI. Karena itu kadang-kadang pada ibu hamil sudah
mengeluarkan kolostrum, tetapi hal ini bukan indikasi sedikit
banyaknya produksi ASI setelah melahirkan.
b. Laktogenesis II
Laktogenesis II dimulai saat melahirkan dimana keluarnya
plasenta menyebabkan turunnya tingkat hormon progesteron,
esterogen dan human placental lactogen (HPL) secara tiba-tiba
namun hormon prolaktin tetap tinggi menyebabkan produksi
ASI secara maksimal. Perangsangan pada payudara
menimbulkan prolaktin dalam darah meningkat dan
menstimulasi sel dalam alveoli untuk memproduksi ASI. Fase
laktogenesis ini dimulai sekitar 30-40 jam setelah melahirkan
namun para ibu merasakan payudaranya penuh sekitar 50-73
jam atau 2-3 hari setelah melahirkan. Artinya produksi ASI
tidak langsung setelah melahirkan.
24
c. Laktogenesis III
Sistem kontrol hormon endokrin yang mengatur produksi ASI
selama kehamilan dan beberapa hari pertama melahirkan. Pada
laktogenesis III merupakan tahap ketika sistem autokrin
dimulai pada saat ASI mulai stabil, pada tahap ini ASI banyak
dikeluarkan dan payudara memproduksi ASI dengan banyak
pula. Pada tahap laktogenesis III apabila payudara dikosongkan
secara menyeluruh akan meningkatkan produksi ASI, sehingga
produksi ASI dipengaruhi oleh hisapan bayi atau seberapa
sering payudara dikosongkan (Astutik, 2014).
3. Hormon yang Mempengaruhi Pembentukan ASI
Beberapa hormon yang mempengaruhi pembentukan ASI yaitu:
a. Progesteron
Progesteron mempengaruhi pertumbuhan dan ukuran alveoli.
Tingkat hormon progesteron turun sesaat setelah melahirkan
sehingga menstimulasi produksi ASI secara besar- besaran.
b. Esterogen
Esterogen menstimulasi sistem saluran ASI untuk membesar.
Tingkat esterogen turun saat melahirkan dan tetap rendah untuk
beberapa bulan selama tetap menyusui. .
c. Prolaktin
Prolaktin berperan dalam membesarnya alveoli pada
kehamilan, dan merupakan hormon yang disekresikan oleh
25
glandula pituitary dan berperanan penting dalam produksi ASI.
Kadar hormon prolaktin meningkat saat kehamilan tetapi keja
hormon ini dihambat oleh hormon placenta. Lepasnya placenta
pada akhir proses persalinan hormon prolaktin diaktifkan.
Kadar hormon prolaktin paling tinggi adalah pada malam hari.
d. Oksitosin
1) Efek Oksitosin Pada Pengeluaran Air Susu
Oksitosin berperan peting pada proses laktasi, suatu peran
yang lebih dipahami daripada kemungkinan peranan
oksitosin dalam persalinan. Proses laktasi menyebabkan
timbulnya pengiriman air susu dari alveoli ke duktus
sehingga dapat diisap oleh bayi (Perinasia, 2011).
2) Tanda dan Sensasi Refleks Oksitosin Aktif
Tanda yang muncul pada ibu, yaitu :
a) Sensasi diperah atau gelenyar (tingling sensation) di
dalam payudara sesaat sebelum menyusui atau pada
waktu proses menyusui berlangsung
b) ASI mengalir dari payudara bila ibu memikirkan
bayinya, atau mendengar bayinya menangis
c) ASI menetes dari payudara sebelah, bila bayi menyusu
pada payudara yang lainnya
d) ASI memancar halus ketika bayi melepas payudara
pada waktu menyusui
26
e) Adanya nyeri yang berasal dari kontraksi rahim, kadang
diiringi keluarnya darah selama menyusui di minggu
pertama
f) Hisapan yang lambat, dalam dan tegukan bayi
menunjukan bahwa ASI mengalir ke dalam mulut bayi.
Membantu dan menghambat refleks oksitosin.
(Perinasia, 2011)
3) Hal-Hal yang Meningkatkan Hormon Oksitosin
Menurut hal-hal yang meningkatkan hormon oksitosin
adalah:
a) Ibu dalam keadaan tenang
b) Mencium dan mendengarkan celotehan bayi atau
tangisannya
c) Melihat dan memikirkan bayinya dengan perasaan kasih
dan sayang
d) Ayah menggendong bayi dan diberikan kepada ibu saat
akan menyusui dan menyendawakannya.
e) Ayah menggantikan popok dan memandikannya
f) Ayah bermain, menggendong, mendengarkan nyanyian,
dan membantu pekerjaan rumah tangga
g) Ayah memijat bayi.
4) Hal-hal yang Mengurangi Produksi Oksitosin
27
a) Ibu merasa takut jika menyusui akan merusak bentuk
payudara
b) Ibu bekerja
c) Ibu merasa khawatir produksi ASI nya tidak cukup
d) Ibu merasa kesakitan, terutama saat menyusui
e) Ibu merasa sedih, cemas, kesal, dan b ingung
f) Ibu merasa malu untuk menyusui
g) Suami atau keluarga k urang mendukung dan mengerti
ASI
5) Proses Pengeluaran ASI
Ketika bayi menghisap, beberapa hormon yang
berbeda bekerja sama untuk menghasilkan air susu dan
melepaskannya u ntuk diisap. Apabila bayi disusui, maka
gerakan menghisap yang berirama akan menghasilkan
rangsangan saraf yang terdapat pada glandula pituitaria
posterior, sehingga keluar hormon oksitosin. Hal ini
menyebabkan sel- sel miopitel di sekitar alveoli akan
berkontraksi dan mendorong ASI masuk dalam pembuluh
ampulla. Refleks ini dapat dihambat oleh adanya rasa sakit,
misalnya jahitan perineum. Dengan demikian, penting
untuk menempatkan ibu dalam posisi yang nyaman, santai,
dan bebas dari rasa sakit, terutama pada jam -jam me
nyusukan anak. Pengeluaran prolaktin dihambat oleh faktor
28
-faktor yang belum jelas bahannya, namun beberapa bahan
terdapat kandungan seperti dopamin, serotonin,
katekolamin, dan TSH yang ada kaitannya dengan
pengeluaran prolaktin. Pengeluaran oksitosin selain
dipengaruhi oleh isapan bayi, juga oleh reseptor yang
terletak pada duktus. Bila duktus melebar, maka secara
reflektoris oksitosin dikeluarkan oleh hipofisis. Jadi
peranan prolaktin dan oksitosin mutlak diperlukan.
Hormon oksitosin berfungsi mengencangkan otot
halus dalam rahim pada saat melahirkan dan setelahnya.
Dan setelah melahirkan oksitosin juga mengencangkan otot
halus di sekitar alveoli untuk memeras ASI menuju saluran
susu dan berperan dalam pelepasan ASI / letdown reflek.
e. Human placenta lactogen (HPL)
HPL di keluarkan oleh placenta sejak bulan kedua kehamilan,
dan berperan pada pertumbuhan payudara, puting dan areola
sebelum melahirkan dan pada bulan ke lima dan ke enam
kehamilan payudara siap memproduksi ASI (Astutik, 2014).
4. Refleks dalam Proses Laktasi
Selama kehamilan hormon prolaktin dari plasenta
meningkat tetapi ASI belum keluar karena pengaruh hormon
estrogen yang masih tinggi. Kadar estrogen dan progesteron akan
menurun pada saat hari kedua atau ketiga pasca persalinan,
29
sehingga pengaruh prolaktin lebih dominan dan pada saat inilah
mulai terjadi sekresi ASI. Dengan menyusukan lebih dini, terjadi
perangsangan pada putting susu, terbentuklah prolaktin oleh
hipofisis, sehingga sekresi ASI makin lancar. Pada proses laktasi
terdapat dua reflek yang berperan, yaitu refleks prolaktin dan
refleks aliran yang timbul akibat perangsangan puting susu
dikarenakan isapan bayi
a. Refleks Prolaktin
Akhir kehamilan hormon prolaktin memegang peranan
untuk membuat kolostrum, tetapi jumlah kolostrum terbatas
dikarenakan aktivitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan
progesteron yang masih tinggi. Pasca persalinan saat lepasnya
plasenta dan berkurangnya fungsi korpus luteum maka estrogen
dan progesteron juga berkurang.
Hisapan bayi akan merangsang puting susu dan kalang
payudara, karena ujung-ujung saraf sensoris yang berfungsi
sebagai reseptor mekanik. Rangsangan ini dilanjutkan ke
hipotalamus melalui medulla spinalis hipotalamus dan akan
menekan pengeluaran faktor penghambat sekresi prolaktin dan
sebaliknya merangsang pengeluaran faktor pemacu sekresi
prolaktin. Faktor pemacu sekresi prolaktin akan merangsang
hipofise anterior sehingga keluar prolaktin.
30
Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi
untuk membuat air susu. Kadar prolaktin pada ibu menyusui
akan menjadi normal 3 bulan setelah melahirkan sampai
penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada
peningkatan prolaktin walau ada isapan bayi, namun
pengeluaran air susu tetap berlangsung. Pada ibu nifas yang
tidak menyusui kadar prolaktin akan menjadi normal pada
minggu ke 2-3. Sedangkan pada ibu menyusui prolaktin akan
meningkat dalam keadaan seperti, stress atau pengaruh psikis,
anastesi, operasi dan rangsangan puting susu.
b. Refleks Aliran (let down reflex )
Rangsangan puting susu tidak hanya diteruskan sampai
ke kelenjar hifofisis depan tetapi juga ke kelenjar hipofisis
bagian belakang, yang mengeluarkan hormon oksitosin.
Hormon ini berfungsi memacu kontraksi otot polos yang ada di
dinding alveolus dan dinding saluran, sehingga ASI dipompa
keluar. Makin sering menyusui, pengosongan alveolus dan
saluran makin baik sehingga kemungkinan terjadinya
bendungan ASI makin kecil dan menyusui makin lancar.
Saluran ASI yang mengalami bendungan tidak hanya
mengganggu proses menyusui tetapi juga mudah terkena
infeksi.
31
Faktor-faktor yang meningkatkan let down adalah
melihat bayi, mendengarkan suara bayi, mencium bayi,
memikirkan untuk menyusui bayi. Faktor- faktor yang
menghambat reflek let down adalah stress, seperti: keadaan
bingung/ pikiran kacau, ta kut dan cemas.
c. Refleks dalam Mekanisme Isapan
Refleks yang penting dalam mekanisme hisapan bayi
adalah refleks menangkap (rooting refleks), refleks menghisap,
refleks menelan.
d. Refleks Menangkap (Rooting Refleks)
Timbul saat bayi baru lahir tersentuh pipinya, dan bayi
akan menoleh ke arah sentuhan. Bibir bayi dirangsang dengan
papilla mamae, maka bayi akan membuka mulut dan berusaha
menangkap puting susu.
e. Refleks Menghisap (Sucking Refleks)
Refleks ini timbul apabila langit- langit mulut bayi
tersentuh oleh puting. Agar puting mencapai palatum, maka
sebagian besar areola masuk ke dalam mulut bayi. Dengan
demikian sinus laktiferus yang berada di bawah areola, tertekan
antara gusi, lidah dan palatum sehingga ASI keluar.
f. Refleks Menelan (Swallowing Refleks)
Refleks ini timbul apabila mulut bayi terisi oleh ASI,
maka ia akan menelannya.
32
5. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran ASI
a. Berat badan janin
Bayi dengan berat badan lahir rendah ( BBLR) kurang
dari 2500 gr dalam pemenuhan ASI nya akan bermasalah
karena terlalu lemah dalam menghisap puting ibu dan cepat
lelah sebelum menyusui secara optimal (Richard. E, Robert M,
Kliegman dan Ann M Arvin, 1999). Bayi BBLR mempunyai
kemampuan menghisap ASI yang lebih rendah meliputi
frekuensi dan lama penyusuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan bayi dengan berat badan > 2500 gr yang akan
mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin
dalam produksi ASI. Bayi BBLR juga menyebabkan bayi
harus dirawat terpisah dari ibunya sehingga menyebabkan
frekuensi penghisapan bayi menjadi terhambat.
b. Reflek Isap
Bayi dengan BBLR mempunyai masalah dalam
pemenuhan breast feeding, berkaitan dengan perkembangan
fungsi oral motor yaitu koordinasi gerakan menghisap,
menelan dan bernafas yang belum matang (IDAI, 2013).
Kondisi reflek isap yang lemah akan membuat rangsangan
pada payudara menurun sehingga produksi Air Susu Ibu (ASI)
menurun (Nurliawati, 2010).
c. Inisiasi Menyusui Dini
33
Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yang dilakukan segera
sekitar 20-30 menit setelah lahir akan merangsang pengeluaran
hormon prolaktin dan oksitoksin yang berperan dalam proses
laktasi (IDAI, 2013). Penundaan laktasi di awal persalinan
dapat mempengaruhi produksi ASI hal ini dialami oleh ibu
post SC karena bayi harus di rawat terpisah dengan ibunya
sehingga letdown reflek tidak terjadi. (Nurliawati, 2010).
d. Umur kehamilan
Umur kehamilan yang belum matur menyebabkan bayi
lahir dengan berat badan yang rendah dan kemampuan reflek
isap/ fungsi oral motor yang rendah. Pada umur kehamilan
yang rendah nutrisi yang di butuhkan untuk metabolisme bayi
tinggi sehingga ASI di perlukan dalm memenuhi nutrisinya
(IDAI, 2010).
e. Metode Perawatan yang Melancarkan ASI
Metode perawatan yang melancarkan asi diantaranya
adalah perawatan payudara. Perawatan payudara dengan
melakukan pemijatan di daerah payudara dapat merangsang
hipotalamus melepaskan hormon prolaktin. Perawatan
payudara melancarkan sirkulasi darah dan memperbanyak
produksi ASI (Manuaba, 2010) tetapi bayi tidak akan
mendapat ASI cukup bila mengandalkan reflek pembentukan
ASI atau reflek prolaktin saja tetapi harus dibantu dengan
reflek oksitosin (Roesli, 2013). Pijatan oksitoksin dapat
34
merilekskan ketegangan otot dan menghilangkan stress
sehingga hormon oksitoksin yang berperan dalam proses
pengeluaran dan penyemprotan ASI karena hormon ini
merangsang sel mioepitel di sekitar alveolus berkontraksi dan
meneruskan aliran ASI menuju duktus meningkat (Guyton,
2012).
f. Dukungan suami, keluarga dan petugas kesehatan
Dukungan sosial terutama dari keluarga merupakan
faktor penting dalam proses laktasi karena mendorong ibu
untuk memberikan ASI kepada bayinya (Moody, 2015).
Dukungan keluarga juga akan mengurangi kekhawatiran ibu
sehingga hal ini juga memotivasi ibu untuk melakukan
pemberian ASI walaupun dengan di perah. (Nurliawati, 2010).
Dukungan suami akan memberikan rasa nyaman sehingga
dapat mempengaruhi produksi ASI (Sartono, 2012)
2.1.3 Perawatan Payudara (Breast care)
1. Pengertian perawatan payudara
Perawatan payudara adalah suatu kegiatan yang di lakukan
untuk merawat payudara pada ibu hamil dan ibu melahirkan
2. Tujuan Perawatan Payudara
a. Sebagai acuan dalam memberikan bantuan cara merawat
payudara pada ibu hamil dan ibu post partum.
35
b. Memberikan pelayanan keperawatan dan kebidanan yang sesuai
standar
3. Prosedur
a. Persiapan Alat
1) Handuk besar 2 buah
2) minyak kelapa atau baby oil
3) 2 buah baskom besar masing-masing berisi air hangat dan
air dingin
4) 2 buah waslap
b. Persiapan pasien
1) Pasien di beri penjelasan tentang hal-hal yang akan di
lakukan
2) Kaji adanya pembesaran payudara
3) Kaji adanya pembesaran ASI
4) Kaji keadaan putting susu
5) Kaji kebersihan payudara
c. Pelaksanaan
1) Petugas mencuci tangan sebelum melakukan tindakan
2) Posisi pasien duduk di kursi atau di tempat tidur
3) Lepaskan pakaian pasien berikut bra pasien
4) Pasang handuk di pundak dan di pangkuan pasien
5) Perawat berada di belakang pasien
36
6) Tuangkan minyak kelapa atau baby oil secukupnya di
telapak tangan petugas
7) Letakkan tangan petugas diantara payudara pasien
8) Mulai lakukan massage payudara dari bagian tengah keatas
melingkar kekiri
9) Tealapak tangan petugas di urutkan kearah depan dan
payudara di angkat
10) Telapak tangan kiri menopang payudara kiri, jari tangan sisi
kelingking mengurut payudara ke arah putting.
11) Telapak tangan kiri masih menopang payudara kiri,
kepalkan tangan dan lakukan pengurutan payudara ke arah
putting
12) Usaplah payudara mulai dari bagian atas kearah putting
susu dengan menggunakan ujung jari
13) Lakukan langkah 8-12 sebanyak 30 kali pada masing-
masing payudara
14) Setelah selesai massage, payudara di siram dengan air
hangat dan bergantian dengan air dingin kurang lebih 5
menit.
15) Kemudian kompres kedua payudara dengan air hangat
menggunakan air hangat.
16) Selanjutnya keringkan payudara pasien.
37
17) Rapihkan pasien dan kembalikan ke posisi aman.
18) Bereskan alat-alat cuci bersih dan simpan ketempat semula
19) Kaji respon pasien setelah di lakukan tindakan.
20) catat hal-hal yang ditemukan saat melakukan tindakan di
status pasien. (SOP RSUD Kota Bandung, 2018)
2.1.4 Pijat Oksitosin
1. Pengertian
Menjaga kebersihan dan kelancaran aliran ASI
2. Tujuan
a. Menjaga atau memperlancar ASI
b. Mencegah terjadinya infeksi
3. Indikasi
Ibu yang mempunyai bayi dan memberikan ASI secara eksklusif
4. Prosedur
a. Persiapan
1) Persiapan alat
a) Kursi
b) Meja
c) Minyak kelapa atau baby oil
d) BH khusus untuk menyusui
e) Handuk
2) Persiapan perawat
38
a) Menyiapkan alat dan mendekatkannya ke pasien
b) Membaca status pasien
c) Mencuci tangan
3) Persiapan Lingkungan
a) Menutup gorden atau pintu
b) Pastikan privasi pasien terjaga
c) Bantu ibu secara psikologis
d) Bangkitkan rasa percaya diri
e) Coba membantu mengurangi rasa sakit dan rasa takut
f) Bantu pasien agar mempunyai pikiran dan perasaa baik
tentang bayinya.
b. Pelaksanaan
1) Melepaskan baju ibu bagian atas
2) Ibu miring kekanan maupun kekiri lalu memeluk bantal
atau duduk di kursi dengan posisi tengkurap
3) Memasang handuk
4) Melumuru kedua tealapak tangandengan minyak atau baby
oil
5) Memijat sepanjang kedua sisi tulang belakang ibu dengan
menggunakan dua kepalan tangan membentuk melingkar
keci-kecil dengan kedua ibu jarinya
6) Menekan kuat kedua sisi tulang belakang membentuk
gerakan melingkar kecil-kecil dengan kedua ibu jarinya
7) Pada saat bersamaan memijat kedua sisi tulang belakang
kearah bawah dari leher kearah tulang belikat, selama2-3
menit.
39
8) Mengulang pemijatan hingga 3 kali
9) Membersihkan punggung ibu dengan waslap air hangat dan
dingin secara bergantian
c. Evaluasi
1) Menanyakan kepada ibu seberapa paham dan mengerti
tehnik refleksi oksitosin (Keperawatan payudara)
2) Evaluasi perasaan ibu
3) Simpulkan hasil kegiatan
4) Lakukan kontrak kegiatan selanjutnya
5) Akhiri kegiatan
6) Perawat cuci tangan
d. Dokumentasi
Catat hasil tindakan di catatan perawat (Tanggal, jam, paraf,
nama terang, kegiatan dan hasil pengamatan). (Depkes RI,
2013)
2.1.5 Peran Perawat
1. Peran Perawat dalam Keperawatan Maternitas
Suatu perilaku yang di harapkan, yang di akitkan dengan
standar, merefleksi tujuan dan di nilai yang di laksanakan pada
situasi tertentu.
2. Peran Perawat dalam Asuhan Keperawatan Maternitas
Peranan atau tingkah laku perawatan yang di harapkan dan
di nilai oleh masyarakat dalam memberikan pelayanan ibu dan bayi
baru lahir.
40
a. Sebgai pelaksana perawatan
b. Sebagai pendidik
c. Sebagai communikator
d. Sebagai penasehat (Counsellor)
e. Sebagi researcher
f. Sebagai pembela (Advokat)
g. Sebagai manajer
3. Lingkup Peran Maternitas
a. Membantu klien memperoleh kesehatannya
b. Membantu yang sehat memlihara kesehatannya
c. Membantu yang tidak bisa di sembuhkan untuk mencegah
masalah lebih lnjut.
2.2 Perbandingan Pijat Oksitosin Dengan Breast Care Terhadap
Pengeluaran ASI Pada Ibu Post SC
Pijat oksitosin salah satu intervensi yang di lakukan untuk
melancarkan produksi ASI pada ibu post partum termasuk ibu post partum
dengan SC. sebelum di lakukan pijat oksitosin perawat mengidentifikasi
payudara terlebih dahulu, kemudian mengatur posisi pasien sebelum di
lakukan pijat oksitosin dengan posisi berbaring miring atau duduk telungkup
di meja kursi.
Pijat oksitosin adalah pemijatan pada sepanjang tulang balakang
(vertebrae) sampai tulang Costae kelima-keenam dan merupakan usaha untuk
41
merangsang hormon prolaktin dan oksitosin setelah melahirkan (Biancuzzo,
2013, Indiyani, 2012, Yohmi & Roesli, 2013).
Pijat oksitosin ini di lakukan untuk merangsang refleks oksitosin dan
refleks letdown. Selain untuk merangsang letdown manfaat pijat oksitosin
adalah memberikan kenyamanan pada ibu, mengurangi bengkak
(Engorgement), mengurangi sumbatan ASI, merangsang pelepasan hormon
oksitosin, mempertahankan produksi ASI ketika ibu dan bayi sakit (Depkes
RI, 2012).
Hasil penelitian yang di lakukan oleh Siti Nur Endah dan Imas
Masdinarsah pada tahun 2011 dengan judul “ pengaruh pijat oksitosin
terhadap pengeluaran kolostrum pada ibu post partum di rumah sakit
Muhammadiyah Bandung” menunjukan waktu pengeluaran kolostrum
kelompok perlakuan rata-rata 5,8 jam, sedangkan lama waktu kelompok
kontrol adalah 5,89 jam.
Hasil lainnya di tunjukan dalam penelitian Eko Mardiyaningsih tahun
2011 dengan judul “Efektifitas kombinasi tehnik marmet dan pijat oksitosin
terhadap produksi ASI ibu post sectio caesarea di rumah sakit jawa tengah”
menunjukan ibu post sectio yang produksi ASI nya lancar yaitu 23 orang
sedangkan pada kelompok kontrol hanya 9 orang yang produksi ASI nya
lancar.
42
2.3 Kerangka Konseptual
Normalnya proses menyusui sudah dapat di mulai dengan segera
setelah bayi lahir namun pada ibu post SC belum bisa di lakukan IMD,
sehingga proses laktasi menjadi tertunda. Selain faktor dari ibu faktor dari
bayi juga mempengaruhi produksi ASI. Dimana kondisi ibu dan bayi dirawat
terpisah dapat mempengaruhi kelancaran ASI. Dukungan suami, keluarga,
petugas kesehatan serta pengetahuan ibu dan keluarganya berpengaruh
terhadap produksi ASI (IDAI, 2010).
Banyak factor yang berpengaruh terhadap produksi dan pengeluaran
ASI, pijat oksitosin merupakan salah satu cara yang dapat membantu ibu
merasa rileks dan hal tersebut dapat merangsang pengeluaran hormone
oksitosin yang berguna untuk kontraksi kelenjar susu sehingga produksi ASI
menjadi lancar (Mardiyaningsih, 2010). Produksi ASI yang meningkat dan
pengeluarannya yang lancar akan membuat ibu percaya diri dalam
memberikan ASI pada bayinya.
Produksi ASI yang cukup atau kurang dapat di ukur melalui puting,
tegangnya payudara ibu sebelum menyusui dan akan berkurang setelah
menyusu (Soetjiningsih, 2012). Pada penelitian ini karena post section
caesarea sehingga untuk mengetahui lancarnya pengerluaran ASI maka tanda-
tanda yang dirasakan apabila reflek oksitosin aktif maka setelah dilakukan
tindakan pijat oksitosin ibu akan merasa di peras atau tajam pada payudara
saat sebelum meneteki bayi atau selama meneteki, ASI mengalir pada
payudara sebelah lain jika bayi menetek pada payudara lainnya, nyeri karena
43
kontraksi Rahim, kadang dengan aliran darah, selama menetek dalam minggu
pertama ibu melahirkan dan isapan pelan dan dalam dari bayi serta bayi
terlihat ataupun terdengar menelan ASI merupakan tanda bahwa ASI
mengalir dalam mulut bayi. Begitu pula pada kelompok kontrol dilakukan
dengan observasi terhadap kelancaran ASI tetapi pada kelompok kontrol tidak
dilakukan intervensi pijat oksitosin.
44
Bagan 2.1
Kerangka Konseptual Perbandingan Pijat Oksitosin Terhadap Kelancaran
ASI Pada Ibu Dengan Sectio Caesarea
Sumber : Modifikasi dari Nurliawati (2010); Manuaba (2010); Guyton (2012)
Pijat Oksitosin
Breast Care
Pengeluaran ASI
Metode Perawatan
Payudara
Pemijatan di daerah
payudara
Merangsang
hipotalamus
Melepaskan hormon
prolaktin
Pemijatan tulang
belakang
Melepaskan hormon
oksitosin
Meraengsang sel mioepitel di
sekitar alveolus