RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR …TAHUN…
TENTANG NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 29 , Pasal 58 ayat (2), Pasal
62, Pasal 74 ayat (9), Pasal 78 ayat (2), Pasal 82 ayat (2), Pasal 83 ayat (5), dan
Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang Narkotika perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang
tentang Narkotika;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor…. Tahun… tentang Narkotika (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun….. Nomor…., Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor…….);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR …TAHUN … TENTANG NARKOTIKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
www.djpp.depkumham.go.id
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir
dalam Undang-Undang tentang Narkotika atau yang kemudian ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Kesehatan.
2. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk mengimpor narkotika dan
prekursor narkotika.
3. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk mengekspor narkotika dan
prekursor narkotika.
4. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika
dari satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana pengangkut apapun.
5. Pengangkut adalah orang yang bertanggungjawab atas pengoperasian sarana pengangkut
yang nyata-nyata mengangkut narkotika.
6. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan
melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean
dengan atau tanpa berganti sarana pengangkut.
7. Perlindungan oleh Negara adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik
maupun mental kepada korban, saksi, ahli, pelapor, penyelidik, penyidik pembantu,
penyidik, penuntut umum, hakim, dan keluarganya dari ancaman, gangguan, teror dan
kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
8. Prekursor narkotika adalah bahan kimia pemula yang dapat digunakan untuk proses
pembuatan narkotika.
9. Alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika
adalah alat-alat yang digunakan untuk membuat atau memproduksi narkotika dan/atau alat
lainnya yang dipergunakan untuk memasukkan narkotika ke dalam tubuh manusia.
10. Sarana Pengangkut adalah kendaraan/angkutan melalui laut, udara, dan darat yang dipakai
untuk mengangkut orang dan/atau barang.
11. Saat kedatangan sarana pengangkut adalah :
a. saat sarana pengangkut lego jangkar di perairan pelabuhan, untuk sarana pengangkut
melalui laut;
b. saat sarana pengangkut mendarat di landasan bandara udara, untuk sarana pengangkut
www.djpp.depkumham.go.id
melalui udara;
c. saat sarana pengangkut tiba di kantor pabean tempat pemasukan, untuk sarana
pengangkut melalui darat.
12. Harta kekayaan atau aset adalah uang dan semua benda bergerak atau benda tidak bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud juga dokumen - dokumen yang
menunjukan hak atas harta kekayaan atau aset tersebut atau bunga atau keuntungan yang
diperoleh dari harta kekayaan atau aset tersebut.
13. Notifikasi Pra Ekspor adalah pemberitahuan tertulis tentang eksportasi prekursor dari
negara pengekspor kepada negara pengimpor.
14. Penggunan akhir adalah Badan Usaha yang menggunakan prekursor sesuai dengan
peruntukannya dan dilarang memperjualbelikan atau memindahtangankan kepada siapa
saja.
15. Otoritas nasional adalah lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan pengaturan
narkotika, psikotropika, dan prekursor sebagaimana ditetapkan sesuai ketentian Pasal 12
konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika
dan Psikotropika, 1988.
BAB II
TRANSITO NARKOTIKA
Bagian Kesatu
Pemberitahuan dan Pengawasan
Pasal 2
(1) Negara pengekspor wajib memberitahukan transito narkotika kepada Pejabat Bea dan
Cukai dan Pejabat Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat
keterangan tentang:
a. nama dan alamat pengangkut;
b. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor;
c. nama sarana pengangkut dan nomor angkutan darat, penerbangan atau pelayaran;
d. negara pengekspor dan pengimpor;
e. lamanya transito narkotika;
f. tempat penyimpanan sementara narkotika; dan
g. nama, bentuk, jumlah, jenis, dan golongan narkotika.
www.djpp.depkumham.go.id
(3) Transito narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen
persetujuan ekspor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen
persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan negara pengimpor.
(4) Dokumen persetujuan ekspor narkotika dan dokumen persetujuan impor narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor narkotika.
d. negara asal impor narkotika.
Pasal 3
(1) Pengangkut yang melakukan transito narkotika di daerah pabean Indonesia wajib
memberitahukan narkotika yang ada dalam penguasaannya kepada Kepala Kantor Pabean
setempat.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan darat, pelabuhan laut, atau pelabuhan
udara.
Pasal 4
(1) Pejabat Bea dan Cukai wajib memeriksa pemberitahuan dan dokumen persetujuan ekspor
narkotika serta dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2.
(2) Penyimpanan narkotika dalam rangka transito narkotika hanya dapat dilakukan di tempat
penimbunan sementara yang berada di dalam kawasan pabean di pelabuhan darat,
pelabuhan laut, atau pelabuhan udara.
(3) Penyimpanan narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di ruang
khusus dan terpisah dari barang lainnya yang dikunci oleh pengusaha tempat penimbunan
sementara dan Pejabat Bea dan Cukai.
(4) Pengawasan terhadap narkotika yang berada di tempat penimbunan sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemberitahuan, dokumen persetujuan ekspor
narkotika dan dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 5
Terhadap narkotika yang ditimbun di tempat penimbunan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) berlaku ketentuan tentang barang tidak dikuasai, barang dikuasai
negara, dan barang menjadi milik negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Bagian Kedua
Pengemasan Kembali
Pasal 6
(1) Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya dapat dilakukan terhadap
kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan.
(2) Pengemasan kembali narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
dengan persetujuan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan Pengawasan Obat dan
Makanan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berdasarkan :
a. permohonan Pengangkut; dan
b. hasil pemeriksaan fisik oleh pejabat Bea dan Cukai yang disaksikan Pengangkut.
(4) Pengemasan kembali narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disegel oleh
pejabat Bea dan Cukai.
(5) Narkotika yang berada di bawah pengawasan pejabat Bea dan Cukai wajib dilakukan
pengujian laboratorium oleh laboratorium Bea dan Cukai dalam waktu paling lama 2 x 24
(dua kali dua puluh empat) jam, dan bila perlu dapat dilakukan pengujian kembali sebagai
perbandingan oleh laboratorium Badan Pengawasan Obat dan Makananan dalam waktu
paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam.
(5) Pengangkut wajib membuat berita acara pengemasan kembali narkotika disaksikan dan
ditandatangani oleh pejabat Bea Cukai dan bila mana perlu oleh petugas Badan
Pengawasan Obat dan Makanan.
(6) Hasil pengujian laboratorium wajib dilampirkan pada berita acara yang dibuat oleh
pengangkut.
Pasal 7
(1) Hasil pengawasan pengemasan kembali narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dibuat dalam bentuk Berita Acara Pengawasan Pengemasan Kembali Narkotika
dan sekurang-kurangnya memuat:
www.djpp.depkumham.go.id
a. nama dan jabatan pejabat Bea dan Cukai dan pejabat Badan Pengawasan Obat dan
Makanan yang melakukan pemeriksaan;
b. nama dan jabatan Pengangkut yang menyaksikan pemeriksaan;
c. jumlah kemasan yang rusak;
d. uraian kerusakan kemasan; dan
e. tempat penimbunan sementara.
(2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b dibuat dalam
bentuk Berita Acara Pemeriksaan dan sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan jabatan pejabat Bea dan Cukai dan pejabat Badan Pengawasan Obat dan
Makanan yang melakukan pemeriksaan;
b. nama dan jabatan Pengangkut yang menyaksikan pemeriksaan;
c. jumlah kemasan yang rusak;
d. uraian kerusakan kemasan; dan
e. tempat penimbunan sementara.
Pasal 8
Perubahan isi, berat, bentuk, jumlah, dan golongan narkotika yang dikemas kembali menjadi
tanggung jawab Pengangkut.
Pasal 9
Kemasan ulang hasil pengemasan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib diberi
label oleh Pengangkut yang sesuai dengan isi dokumen persetujuan ekspor dan dokumen
persetujuan impor.
Bagian Ketiga
Pergantian Sarana Pengangkut
Pasal 10
(1) Dalam hal terjadi pergantian sarana Pengangkut pada transito narkotika, pembongkaran
narkotika dilakukan pada kesempatan pertama oleh Pengangkut dengan disaksikan oleh
pejabat Bea dan Cukai.
(2) Pengangkut harus mengajukan pemberitahuan pabean (Dokumen Pelindung Untuk
Angkutan Lanjut) kepada pejabat Bea dan Cukai.
(3) Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan pada kesempatan pertama
www.djpp.depkumham.go.id
di dalam peti besi (kluis) atau tempat lain di dalam sarana pengangkut dengan disegel oleh
Pengangkut dan pemilik atau pemuatnya.
Bagian Keempat
Perubahan Negara Tujuan
Pasal 11
(1) Pengangkut transito narkotika dilarang mengubah negara tujuan.
(2) Perubahan negara tujuan wajib diberitahukan oleh pengangkut kepada pejabat Bea dan
Cukai dan pejabat Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan melampirkan kopi surat
persetujuan negara pengekspor dan surat persetujuan negara pengimpor baru, yang
keabsahannya wajib dibuktikan dengan menujukkan asli surat persetujuan negara
pengekspor dan surat persetujuan negara pengimpor baru.
Bagian Kelima
Pelanggaran Kewajiban
Pasal 12
(1) Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut narkotika dan barang di
atasnya.
(2) Atas permintaan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil tertentu Pengangkut wajib membuka sarana pengangkut atau bagiannya untuk
diperiksa.
(3) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) merupakan tanggung jawab :
a. Pengangkut, apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan; atau
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, apabila dari
hasil pemeriksaan tidak ditemukan adanya pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan.
(4) Dalam hal terdapat pelanggaran, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu segera melakukan penundaan pengangkutan
narkotika dan memproses lebih lanjut sesuai dengan peratuan perundang-undangan.
www.djpp.depkumham.go.id
(5) Dalam hal tidak terdapat pelanggaran, Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu segera mengizinkan Pengangkut dan sarana
pengangkut berikut barang yang ada di atasnya untuk meneruskan perjalanan.
BAB III
PENGAWASAN
Pasal 13
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan
narkotika.
Pasal 14
Dalam rangka pelaksanaan pencegahan, penanggulangan, pemberantasan, penyalahgunaan,
dan peredaran gelap narkotika, Badan Narkotika Nasional mengkoordinasikan pengawasan
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan lembaga sosial kemasyarakatan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan:
a. materi pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan;
b. pemberantasan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c. penelitian dan pengembangan;
d. terapi dan rehabilitasi; dan
e. kerja sama bilateral, regional, dan internasional.
BAB IV
SYARAT DAN TATA CARA PENYIMPANAN NARKOTIKA SITAAN
Bagian Kesatu
Tempat Penyimpanan
Pasal 15
(1) Narkotika dan prekursor narkotika sitaan wajib disimpan di Rumah Penyimpanan Barang
Sitaan Negara.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Dalam hal di daerah yang belum ada Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara,
penyimpanan narkotika dan prekursor narkotika sitaan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh
instansi sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.
(3) Tanggung jawab penyimpanan narkotika dan prekursor narkotika sitaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah pejabat pada instansi sesuai dengan tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan.
(4) Pejabat Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara dan pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) wajib melakukan penghitungan ( stock opname) secara periodik atau
mingguan.
(5) Penghitungan (stock opname) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaporkan kepada
atasan pejabat masing-masing.
Pasal 16
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Jaksa
Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani narkotika sitaan dari awal penyitaan sampai
persidangan pengadilan, adalah pejabat khusus yang diangkat atau ditunjuk atasannya
berdasarkan keahlian atau pendidikan khusus.
Pasal 17
(1) Dalam hal penyitaan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia, penyidik wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukan kepada Kepala
Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat)
jam terhitung sejak dilakukan penyitaan.
(2) Untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi, batas
penyerahan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja.
(3) Pemberitahuan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan pejabat yang terkait.
Pasal 18
(1) Dalam hal penyitaan dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, penyidik
wajib memberitahukan dan menyerahkan barang dan/atau narkotika dan prekursor
narkotika sitaan tersebut kepada Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
setempat dalam waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak dilakukan penyitaan.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi, batas waktu
penyerahan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja.
(3) Tembusan Berita Acara tentang pemberitahuan dan penyerahan barang dan/atau narkotika
dan prekursor narkotika sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Kepala Kejaksaan Negeri setempat dan pejabat yang terkait.
Pasal 19
Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menerima penyerahan barang
dan/atau narkotika dan prekursor narkotika sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib
melakukan penyegelan dan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan narkotika sitaan
oleh penyidik;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika;
d. identitas lengkap pejabat yang melakukan serah terima narkotika sitaan; dan
e. hasil tes laboratorium (lapangan/ulang).
Pasal 20
(1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
penyidik menyisihkan sebagian barang sitaan untuk diperiksa atau diteliti di
Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia, laboratorium Badan
Pengawas Obat dan Makanan, dan laboratorium Badan Narkotika Nasional, dan
dilaksanakan paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
dilakukan penyitaan.
(2) Contoh atau sampel narkotika dan prekursor narkotika sitaan yang diserahkan kepada
laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuatkan berita acara contoh
atau sampel barang sitaan yang kekurang-kurangnya memuat :
a. nama, jenis, sifat dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan penyerahan
contoh atau sampel;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika;
d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang menyerahkan
narkotika; dan
www.djpp.depkumham.go.id
e. tanda tangan pejabat laboratorium yang ditunjuk untuk meneliti dan memeriksa
contoh atau sampel narkotika sitaan.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan contoh atau sampel serta
pemeriksaan di laboratorium terhadap narkotika sitaan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Kepolisian, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Ketua Badan
Narkotika Nasional.
Pasal 21
Penyidik yang melakukan penyitaan narkotika atau yang diduga narkotika, dan/atau yang
mengandung narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada
hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.
Bagian Kedua
Syarat Penyimpanan Narkotika Sitaan
Pasal 22
(1) Tempat penyimpanan narkotika harus memenuhi syarat :
a. dinding tembok harus kuat dan mempunyai satu pintu dengan sistem pengamanan
elektronik;
b. langit-langit dan jendela dilengkapi jeruji dan lemari besi atau brankas untuk
menyimpan narkotika;
c. kunci elektronik tempat penyimpanan dan kode lemari besi dipegang oleh pegawai
yang diberikan tugas dan tanggung jawab dan tidak boleh ada orang masuk selain
petugas Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara; dan
d. terpisah dari barang sitaan lainnya.
(2) Tempat penyimpanan narkotika golongan I, narkoitka golongan II, dan narkotika golongan
III dipisah sesuai dengan bentuk fisik (sediaan) dan tingkat bahayanya:
a. narkotika sitaan dari golongan I yang berbentuk tanaman disimpan dalam wadah yang
tidak mudah rusak dan disegel.
b. narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III yang berbentuk
cairan maupun berbentuk serbuk disimpan dalam wadah yang memenuhi syarat
farmakope dan disegel.
www.djpp.depkumham.go.id
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengamanan narkotika sitaan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 23
(1) Narkotika dan prekursor narkotika sitaan yang disimpan merupakan barang sitaan yang
telah disita secara sah oleh Penyidik berdasarkan Pasal 74 (Rancangan) Undang-Undang
tentang Narkotika.
(2) Kecuali narkotika dan prekursor narkotika sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyimpanan dapat dilakukan terhadap barang sitaan narkotika dan prekursor narkotika
yang berasal dari temuan Penyidik yang belum diketahui tentang keterangan mengenai
pemilik atau yang menguasai barang sitaan narkotika tersebut.
(3) Narkotika dan prekursor narkotika sitaan yang akan disimpan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) harus disegel serta dibuat Berita Acara Penyitaan oleh Penyidik.
Pasal 24
(1) Narkotika dan prekursor narkotika sitaan yang disimpan harus segera ditentukan statusnya
oleh penyidik paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam berdasarkan hasil
penyidikan dan/atau hasil pemeriksaan laboratorium.
(2) Dalam hal narkotika dan prekursor narkotika sitaan ditetapkan sebagai barang bukti untuk
kepentingan peradilan, narkotika dan prekursor narkotika sitaan tetap disimpan sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 74 (Rancangan) Undang-Undang tentang Narkotika.
(3) Dalam hal barang sitaan yang diduga narkotika terbukti berdasarkan pengujian
laboratorium bukan merupakan narkotika, maka barang sitaan tersebut :
a. dikembalikan kepada pemilik atau penguasanya yang sah;
b. disita oleh negara; atau
c. dimusnahkan;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dibuat Berita Acara
oleh penyidik.
BAB V
PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN PREKURSOR
DAN ALAT-ALAT POTENSIAL
Bagian kesatu
Pengertian
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 25
Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana
narkotika ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah.
Pasal 26
Pengawasan prekursor dan alat-alat potensial bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan
prekursor dan alat-alat potensial dalam pembuatan narkotika atau narkotika secara ilegal.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 27
Ruang lingkup pengawasan prekursor dan alat-alat potensial dalam peraturan pemerintah ini
adalah personalia dan sarana yang berhubungan dengan impor, ekspor, produksi, distribusi,
dan penggunaan prekursor serta pemanfaatan alat-alat potensial.
Pasal 28
(1) Berdasarkan tingkat risiko penyimpangannya, Prekursor dikelompokkan menjadi:
a. Prekursor Tabel I yang teridiri atas :
1.Anhidrida asetat;
2. Kalium permanganat.
b. Prekursor Tabel II yang terdiri atas :
1. Aseton;
2. Asam Klorida;
3. Asam sulfat;
4. Etil eter;
5. Etil metil keton; dan
6. Toluen.
(2) Perubahan penggolongan prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
www.djpp.depkumham.go.id
Bagian Ketiga
Penanggung Jawab
Pasal 29
(1) Setiap sarana pengelola Prekursor Tabel I wajib memiliki seorang tenaga teknis sebagai
penanggung jawab yang bekerja purna waktu (full time).
(2) Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi industri farmasi atau kimia
adalah penanggung jawab produksi.
(3) Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi industri farmasi dan
pedagang besar bahan baku farmasi adalah seorang apoteker.
(4) Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi industri kimia dan importir
kimia adalah tenaga yang mempunyai keahlian di bidang kimia.
Bagian Keempat
Rencana Kebutuhan
Pasal 30
Importir dan pengguna akhir Prekursor Tabel I menyusun rencana kebutuhan tahunan dan
menyampaikannya kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Bagian Kelima
Produksi Prekursor
Pasal 31
Prekursor Tabel I hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi atau kimia yang memiliki ijin
usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Pasal 32
Prekursor Tabel I yang termasuk bahan baku farmasi hanya dapat diproduksi oleh industri
farmasi yang memiliki ijin usaha industri dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dan
memenuhi persyaratan sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Bagian Keenam
Impor dan Ekspor Prekursor
Paragraf 1
Umum
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 33
(1) Impor prekursor hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi atau kimia, pedagang besar
bahan baku farmasi, dan importir kimia yang memiliki ijin sebagai importir sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Industri farmasi atau kimia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperbolehkan
mengimpor prekursor untuk keperluan sendiri.
(3) Pedagang besar bahan baku farmasi dan importir kimia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat mengimpor prekursor atas pesanan tertulis dari pengguna akhir prekursor.
Paragraf 2
Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 34
(1) Importir Prekursor Tabel I wajib memiliki Surat Persetujuan Impor dari Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan setiap kali melakukan impor prekursor.
(2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
importir wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan:
a. Fotokopi Ijin Usaha Industri / Tanda Daftar Industri (TDI) bagi importir pengguna
prekursor atau fotokopi Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi importir terdaftar
prekursor;
b. Fotokopi Angka Pengenal Importir;
c. Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan;
d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. Rencana penggunaan prekursor untuk produksi 1 tahun terakhir atau pesanan tertulis
dari pengguna akhir prekursor yang ditandatangani penanggung jawab produksi;
f. Realisasi impor dan penggunaan/penyaluran prekursor terakhir; dan
g. Data lain yang diperlukan.
Pasal 35
(1) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan memberikan keputusan terhadap
permohonan Surat Persetujuan Impor dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
permohonan lengkap diterima.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Surat Persetujuan Impor
atau surat penolakan.
(3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari 7 (tujuh) rangkap, yang
terdiri dari:
a. rangkap pertama untuk importir;
b. rangkap kedua untuk INCB;
c. rangkap ketiga untuk otoritas nasional negara pengekspor;
d. rangkap keempat untuk Departemen Luar Negeri;
e. rangkap kelima untuk Balai Besar/ Balai POM setempat;
f. rangkap keenam untuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
g. rangkap ketujuh untuk arsip.
(4) Surat Persetujuan Impor berlaku untuk jangka waktu selama 3 (tiga) bulan setelah
dikeluarkan.
Pasal 36
(1) Eksportir Prekursor Tabel I wajib memiliki Surat Persetujuan Ekspor dari Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan setiap kali melakukan ekspor prekursor.
(2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
eksportir wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan dengan menggunakan format sesuai dengan Lampiran 5 ...
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan:
a. Fotokopi Ijin Usaha Industri / Tanda Daftar Industri (TDI) bagi importir pengguna
prekursor atau fotokopi Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) bagi importir terdaftar
prekursor;
b. Fotokopi Angka Pengenal Eksportir;
c. Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan;
d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. Surat persetujuan impor dari otoritas nasional negara pengimpor;
f. Data lain yang diperlukan.
Pasal 37
(1) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan memberikan keputusan terhadap
permohonan Surat Persetujuan Ekspor dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
permohonan lengkap diterima.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Surat Persetujuan Ekspor
atau surat penolakan.
(3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari 7 (tujuh) rangkap, yang
terdiri dari:
a. rangkap pertama untuk eksportir;
b. rangkap kedua untuk INCB;
c. rangkap ketiga untuk otoritas nasional negara pengimpor;
d. rangkap keempat untuk Departemen Luar Negeri;
e. rangkap kelima untuk Balai Besar/ Balai POM setempat;
f. rangkap keenam untuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
g. rangkap ketujuh untuk arsip.
Pasal 38
Ketentuan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 juga berlaku untuk
re-ekspor Prekursor Tabel I yang masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal.
Paragraf 3
Notifikasi Impor dan Ekspor
Pasal 39
(1) Eksportir Prekursor Tabel II wajib memiliki Notifikasi Pra Ekspor dari Menteri
Perdagangan setiap kali melakukan ekspor prekursor.
(2) Untuk memperoleh Notifikasi Pra Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) eksportir
wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri Perdagangan.
Pasal 40
(1) Menteri Perdagangan menyampaikan Notifikasi Pra Ekspor kepada pemerintah negara
pengimpor.
(2) Ekspor prekursor hanya dapat dilaksanakan setelah Notifikasi Pra Ekspor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh pemerintah negara pengimpor dengan menerbitkan
Notifikasi Pra Impor.
(3) Notifikasi Pra Ekspor dianggap telah disetujui oleh pemerintah negara pengimpor apabila
dalam waktu 3 (tiga) hari tidak diterbitkan Notifikasi Pra Impor.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 41
(1) Importir Prekursor Tabel II wajib memiliki Notifikasi Pra Impor setiap kali melakukan
impor prekursor.
(2) Notifikasi Pra Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Menteri
Perdagangan berdasarkan Notifikasi Pra Ekspor yang dikirimkan oleh pemerintah negara
pengekspor.
(3) Menteri Perdagangan mengeluarkan Notifikasi Pra Impor dalam tenggang waktu
tercantum dalam Notifikasi Pra Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Paragraf 4
Pengangkutan
Pasal 42
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang tetap berlaku bagi
pengangkutan Prekursor, kecuali ditentukan lain dalam peraturan pemerintah ini.
Pasal 43
(1) Setiap pengangkutan impor Prekursor Tabel I wajib dilengkapi dengan dokumen
persetujuan ekspor Prekursor yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Prekursor yang
dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Setiap pengangkutan ekspor wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor Prekursor
Tabel I yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan dan dokumen
persetujuan impor Prekursor yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 44
Pengangkutan Prekursor Tabel I wajib dilengkapi dengan dokumen yang lengkap dan sah.
Paragraf 5
Penandaan
Pasal 45
Pada kemasan Prekursor wajib mencantumkan penandaan sekurang-kurangnya:
a. Nama bahan kimia/prekursor;
b. Nama dan alamat Perusahaan yang memproduksi prekursor;
c. Nomor Chemical Abstracts Services (CS);
www.djpp.depkumham.go.id
d. Nomor Harmonized System (HS)
e. Sifat fisika atau kimia;
f. Cara penyimpanan;
g. Peringatan pengamanan;
h. Simbol/gambar tanda bahaya;
i. Informasi mengenai cara pengangkutan barang, label yang sah berisi informasi yang
lengkap dengan tulisan jelas dan mudah dibaca, tidak mudah luntur, tidak mudah rusak
karena air, gesekan, pengaruh udara atau sinar matahari.
Bagian Ketujuh
Pencatatan dan Pelaporan
Pasal 46
Setiap importir Prekursor Tabel I wajib menyampaikan laporan realisasi impor setiap kali
mengimpor paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya Prekursor kepada Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan dengan tembusan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dengan menggunakan format sesuai Lampiran.
Pasal 47
(1) Setiap industri farmasi atau kimia yang mengelola Prekursor Tabel I wajib membuat
catatan dan menyampaikan laporan tentang penerimaan/pemasukan dan penggunaan
prekursor kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan setiap bulan
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya.
(2) Setiap Pedagang Bahan Baku Farmasi atau importir kimia yang mengelola Prekursor
Tabel I wajib membuat catatan dan penyaluran prekursor dan menyampaikan laporan
tentang penerimaan/pemasukan dan penyaluran prekursor kepada Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan
berikutnya.
(3) Setiap pengguna akhir Prekursor Tabel I wajib membuat catatan dan menyampaikan
laporan tentang penerimaan/pemasukan dan penggunaan prekursor kepada Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan setiap bulan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan
berikutnya.
(4) Setiap produsen Prekursor Tabel I wajib membuat catatan dan menyampaikan laporan
tentang produksi dan distribusi prekursor kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan
www.djpp.depkumham.go.id
Makanan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya
(5) Catatan dan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) wajib
disimpan sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun.
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan Sarana
Pasal 48
(1) Dalam rangka pengawasan petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Satuan
Tugas Prekursor memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan sarana sesuai
dengan tugas, fungsi, dan kewenangan.
(2) Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk:
a. memasuki setiap tempat yang digunakan atau diduga digunakan dalam kegiatan
produksi, ekspor, impor, distribusi, penggunaan, penyimpanan, dan pengangkutan
prekursor untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh dan segala sesuatu
yang digunakan dalam kegiatan produksi, ekspor, impor, distribusi, penggunaan,
penyimpanan, dan pengangkutan prekursor;
b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau
patut diduga digunakan dalam pengangkutan prekursor serta mengambil dan
memeriksa contoh prekursor;
c. melakukan pemeriksaan terhadap kemasan dan penandaan prekursor;
d. melakukan pemeriksaan dokumen atau catatan lain yang memuat atau diduga memuat
keterangan mengenai kegiatan produksi, ekspor, impor, distribusi, penggunaan,
penyimpanan, dan pengangkutan prekursor, termasuk menggandakan atau mengutip
keterangan tersebut;
e. memerintahkan untuk memperlihatkan ijin usaha atau dokumen lain.
Pasal 49
(1) Pemeriksa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dilengkapi dengan surat tugas.
(2) Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya berisi:
a. nama petugas;
b. nama dan alamat tempat kegiatan yang akan dilakukan pemeriksaan;
c. alasan dilakukan pemeriksaan;
d. tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan pemeriksaan;
www.djpp.depkumham.go.id
e. keterangan lain yang dianggap perlu.
(3) Surat tugas pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Badan Pengawas Obat dan
Makanan ditandatangani oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Kepala Badan.
(4) Surat tugas pemeriksaan yang dilakukan oleh Satuan Tugas Prekursor ditandatangani
oleh Ketua Satuan Tugas Prekursor.
Pasal 50
Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pemeriksaan oleh pemeriksa
mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila pemeriksa yang bersangkutan tidak
dilengkapi dengan surat tugas.
Bagian Kesembilan
Penyidikan
Pasal 51
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya meliputi bidang pengawasan prekursor diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana di
bidang prekursor.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana
di bidang prekursor;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang prekursor;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang prekursor;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang prekursor;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang prekursor;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
www.djpp.depkumham.go.id
bidang prekursor;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
tentang adanya tindak pidana di bidang prekursor.
(3) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan menurut
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
BAB VI
GANTI RUGI NARKOTIKA YANG TELAH DIMUSNAHKAN
Pasal 52
(1) Pemerintah memberikan ganti rugi kepada pemilik narkotika sitaan yang telah
dimusnahkan.
(2) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti narkotika sitaan
tersebut diperoleh atau dimiliki secara sah.
Pasal 53
(1) Pemilik narkotika sitaan yang telah dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (1) atau ahli warisnya atau pihak lain yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan
ganti rugi.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri
Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, yang menyatakan narkotika sitaan tersebut terbukti diperoleh atau
dimiliki secara sah.
Pasal 54
Besarnya biaya ganti rugi paling sedikit Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang ditentukan hakim dalam isi putusan.
Pasal 55
Menteri Keuangan melaksanakan pemberian ganti rugi dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya penetapan pengadilan.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 56
(1) Pelaksanaan pemberian ganti rugi diberitahukan oleh Menteri Keuangan kepada Ketua
Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi dan/atau Ketua Mahkamah Agung yang
memutus perkara disertai tanda bukti pelaksanaan pemberian ganti rugi tersebut.
(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Jaksa, pemilik, atau pihak lain yang berkepentingan dari narkotika sitaan yang
dimusnahkan.
(3) Setelah menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan
Negeri mengumumkan pelaksanaan pemberian ganti rugi pada papan pengumuman
pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 57
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian ganti rugi kepada pemilik, ahli waris sah atau pihak lain
yang berkepentingan atas narkotika sitaan yang dimusnahkan melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, pemilik atau keluarga atau ahli warisnya dapat
melaporkan hal tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi,
dan/atau Ketua Mahkamah Agung.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera mengeluarkan penetapan untuk
memerintahkan Menteri Keuangan untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak penetapan tersebut diterima.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT, JAMINAN KEAMANAN
DAN PERLINDUNGAN, SYARAT DAN TATA CARA
PEMBERIAN PENGHARGAAN
Bagian Kesatu
Bentuk Peran Serta Masyarakat
Pasal 58
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam
membantu upaya pencegahan, penanggulangan, dan penegakan hukum terhadap tindakan
penyalahgunaan narkotika.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 59
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dilakukan dalam bidang :
a. pencegahan;
b. penegakan hukum;
c. rehabilitasi medis;
d. rehabilitasi sosial; dan
e. terapi tradisional dan keagamaan.
Pasal 60
(1) Anggota masyarakat dan/atau korporasi wajib melaporkan kepada kesatuan kepolisian
terdekat atau Badan Narkotika Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka
pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika. apabila
mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(2) Dalam hal tindak pidana narkotika berkaitan dengan kepabeanan maka informasi, laporan,
dan petunjuk dapat dilaporkan kepada pejabat Bea dan Cukai terdekat.
(3) Penyampain informasi, laporan dan petunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dapat dilakukan secara tertulis, lisan, atau melalui sarana komunikasi lainnya.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib ditindaklanjuti oleh
instansi yang menerima laporan.
Pasal 61
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Jaminan Keamanan dan Perlindungan
Pasal 62
Saksi, ahli, pelapor, penyelidik, penyidik pembantu, penyidik, jaksa/penuntut umum, hakim,
dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya, yang berkaitan dengan perkara tindak
pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika wajib diberi perlindungan oleh Negara
dalam hal adanya ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya baik sebelum,
selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 63
(1) Jaminan keamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan
dalam bentuk :
a. penjagaan;
b. pengawalan;
c. pengawasan;
d. perahasiaan identitas saksi, pelapor, dan petugas dalam penyamaran;
e. perahasiaan alamat rumah; atau
f. bentuk lain.
(2) Jaminan keamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 64
(1) Perlindungan terhadap saksi, ahli, pelapor dan keluarganya dilakukan berdasarkan :
a. inisiatif aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
b. permohonan dari saksi, ahli, atau pelapor.
(2) Perlindungan terhadap penyelidik, penyidik pembantu, penyidik, jaksa/penuntut umum,
hakim, petugas pemasyarakatan dan keluarganya dilakukan berdasarkan :
a. inisiatif dari aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
b. laporan kepada atasannya masing-masing.
(3) Permohonan atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf
b disampaikan kepada aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk
ditindaklanjuti.
Pasal 65
Setelah menerima permohonan atau laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1)
huruf b dan ayat (2) huruf b aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan :
a. klarifikasi atas kebenaran permohonan atau laporan; dan
b. identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.
Pasal 66
Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dihentikan apabila :
a. ada permohonan dari yang bersangkutan yang disetujui oleh aparat Kepolisian Negara
www.djpp.depkumham.go.id
Republik Indonesia;
b. yang dilindungi meninggal dunia; atau
c. berdasarkan pertimbangan aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa
perlindungan tidak diperlukan lagi.
Pasal 67
(1) Saksi, ahli, pelapor, penyelidik, penyidik pembantu, penyidik, jaksa/penuntut umum,
hakim, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya tidak dikenakan biaya atas
perlindungan yang diberikan kepadanya.
(2) Biaya yang berkaitan dengan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan pada anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Ketiga
Pemberian Penghargaan
Pasal 68
Setiap orang yang berjasa dalam pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan, dan peredaran
gelap narkotika dapat diberikan penghargaan.
Pasal 69
(1) Penghargaan diberikan dalam bentuk:
a. piagam;
b. premi; dan/atau
c. penghargaan lainnya.
(2) Penghargaan dalam bentuk premi diberikan berupa uang dari anggaran Badan Narkotika
Nasional, Badan Narkotika Propinsi, atau Badan Narkotika Kabupaten/Kota.
(3) Penghargaan dalam bentuk lainnya dapat diberikan oleh pihak yang berwenang dan/atau
pihak lain yang ingin berpartisipasi.
Pasal 70
(1) Penilaian terhadap jasa anggota masyarakat untuk menentukan penghargaan dilakukan
oleh Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi, atau Badan Narkotika
Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan :
a. besarnya pengaruh atau dampak dari jasa yang diberikan baik kuantitas maupun
kualitas terhadap upaya pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran
www.djpp.depkumham.go.id
gelap narkotika dalam masyarakat;
b. besarnya pengorbanan yang diberikan dan respons masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan dalam rangka pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan, dan peredaran
gelap narkotika;
c. tindakan yang dilakukan memiliki nilai strategis dan daya dorong yang besar dalam
upaya pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika
dimasa yang akan datang.
(2) Ketentuan mengenai besarnya premi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan
Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi, atau Badan Narkotika Kabupaten/Kota.
Pasal 71
Tata cara pemberian penghargaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Narkotika
Nasional.
BAB VIII
TATA CARA PENGGUNAAN HARTA KEKAYAAN ATAU
ASET YANG DIRAMPAS UNTUK NEGARA
Pasal 72
Seluruh harta kekayaan atau aset yang merupakan hasil tindak pidana narkotika dan tindak
pidana prekursor narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana narkotika
dan tindak pidana prekursor narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, dirampas untuk negara dan digunakan unutk
kepentingan pelaksanaan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika, upaya rehabilitasi medis dan sosial, serta
pemberian penghargaan kepada yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana
narkotika, tindak pidana prekursor narkotika dan tindak pidana pencucian uang yang
berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika.
Pasal 73
Seluruh harta kekayaan atau aset yang diramapas untuk Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72, diserahkan kepada Badan Narkotika Nasional atau Badan Narkotika
Propinsi atau Badan Narkotika Kabupaten / Kota, sesuai locus delicti atau tingkat
www.djpp.depkumham.go.id
penanganan perkara.
Pasal 74
Harta kekayaan atau aset yang dirampas berupa uang digunakan untuk kepentingan
pelaksanaan pencegahan, pemberatasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
dan prekursor narkotika upaya rehabilitasi medis dan sosial serta pemberian penghargaan,
dengan rincian :
a. Sejumlah 20 (dua puluh) % digunakan unutk kegiatan pencegahan dan 20 (dua puluh)
% untuk kegiatan rehabilitasi medis dan soisial.
b. Sejumlah 45 (empat puluh lima ) % unutk penyelidikan, penyidikan, penangkapan,
penggeledahan, pensitaan dan pemeriksaan tersangka dan barang bukti, yang dilakukan
oleh Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Indonesia dan penyidik pejabat Pegawai
Negeri Sipil.
c. Sejumlah 5 (lima) % untuk kegiatan bidang penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan,
dan 5 (lima) % untuk kegiatan bidang peradilan, yang dilakukan Pengadilan.
d. Sejumlah 5 (lima) % untuk pemberian penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam
mengungkap adanya tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika,
serta tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan
tindak pidana prekursor narkotika.
Pasal 75
(1) Harta kekayaan atau aset berbentuk benda tidak bergerak atau benda bergerak,
berwujud melalui penjualan lelang dikonversi dalam bentuk uang.
(2) Penjualan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas dilakukan oleh Panitia
yang ditunjuk oleh Ketua Badan Narkotika Nasional atau Ketua Badan Narkotika
Propinsi atau Ketua Badan Narkotika Kabupaten / Kota.
(3) Hasil penjualan lelang tersebut pada ayat (2) diatas diserahkan kepada Badan Narkotika
Nasional atau Badan Narkotika Propinsi atau Badan Narkotika Propinsi atau Badan
Narkotika Kabupaten / Kota, untuk dipergunakan sesuai Pasal 74.
Pasal 76
(1) Badan Narkotika Nasional atau Badan Narkotika Propinsi atau Badan Narkotika
Kabupaten / Kota membuat pertanggung jawaban keuangan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
www.djpp.depkumham.go.id
(2) Badan - badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengadakan pengawasan terhadap
instansi yang menerima dana tersebut dalam Pasal 75, tentang realisasi pemanfaatannya,
dan pertanggung jawaban keuangannya.
BAB IX
TINDAKAN ADMINISTRASI
Pasal 77
(1) Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berwenang melakukan tindakan
administratif terhadap pelanggaran ketentuan peraturan pemerintah ini dalam kegiatan
produksi, ekspor, impor, distribusi, penggunaan, penyimpanan, dan pengangkutan
prekursor Tabel I.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. perintah re-ekspor ke negara asal;
c. penghentian sementara kegiatan produksi dan/atau distribusi; atau
d. pencabutan atau rekomendasi pencabutan ijin.
(3) Apabila diketemukan cukup bukti bahwa telah terjadi tindak pidana di bidang prekursor
maka segera ditindaklanjuti dengan penyidikan.
BAB X
KETENTUAN LAIN
Pasal 78
Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah ini,
Prekursor Tabel I yang termasuk bahan baku farmasi juga tunduk kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 79
www.djpp.depkumham.go.id
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatanya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal……
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ……
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …
www.djpp.depkumham.go.id
RANCANGAN
PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN
TENTANG NARKOTIKA
I. UMUM
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan di sisi
lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.
Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang Narkotika mengamanatkan ketentuan
mengenai kegiatan transito narkotika, pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang
berhubungan dengan narkotika, peran serta masyarakat, jaminan keamanan dan
perlindungan, syarat dan tata cara pemberian penghargaan, syarat dan tata cara
penyimpanan narkotika yang disita, pelaksanaan pemberian ganti rugi, dan tata cara
penggunaan dan pengawasan prekursor dan alat-alat potensial yang dapat
disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Berdasarkan amanat tersebut, Peraturan Pemerintah ini mempunyai
lingkup pengaturan mengenai ketentuan-ketentuan tersebut.
Transito narkotika adalah kegiatan pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara
lain dengan melalui dan singgah di wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat
Kantor Pabean dengan atau tanpa berganti sarana pengangkut. Dalam rangka
pengawasan kegiatan transito narkotika Peraturan Pemerintah ini menentukan, antara
lain :
1. setiap negara pengekspor dan negara pengimpor narkotika wajib memberitahukan
transito narkotika kepada Pejabat Bea dan Cukai dan Pejabat Badan Pengawas Obat
dan Makanan;
2. pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika hanya dapat dilakukan
terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan
dengan persetujuan dan pengawasan Pejabat Bea dan Cukai dan Pejabat Badan
www.djpp.depkumham.go.id
Pengawas Obat dan Makanan;
3. apabila terjadi pergantian sarana pengangkut, pembongkaran narkotika dilakukan
pada kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh Pejabat Bea dan
Cukai dan Pejabat Badan Pengawas Obat dan Makanan;
4. terhadap pelanggaran kewajiban dalam transito narkotika, pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu berwenang
menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut narkotika dan barang di atasnya.
Pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika dilakukan
oleh Pemerintah dalam rangka pencegahan, penanggulangan, pemberantasan,
penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika di bawah koordinasi Badan Narkotika
Nasional.
Dalam rangka penyimpanan narkotika sitaan dalam rangka penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan, Peraturan Pemerintah ini memberdayakan
Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (RUPBASAN) sebagai tempat
penyimpanan narkotika sitaan. Hingga saat ini terdapat 30 RUPBASAN yang berada di
setiap provinsi di seluruh Indonesia.
Prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam proses pembuatan narkotika. Dalam Peraturan Pemerintah ini,
prekursor yang diatur dibatasi pada prekursor Tabel 1 sebagaimana ditentukan dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1988. Sedangkan alat-alat potensial yang
dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika, seperti alat-alat untuk
membuat atau memproduksi narkotika, alat madat, alat suntik, dan alat lainnya yang
dipergunakan untuk memasukkan narkotika ke dalam tubuh manusia. Dalam rangka
pengawasan, kegiatan mengimpor, mengekspor, dan memproduksi prekursor dan
alat-alat potensial lainnya dilakukan oleh pemerintah yang dalam Peraturan Pemerintah
ini dilakukan oleh :
1. Menteri Kesehatan;
2. Menteri Perindustrian;
3. Menteri Perdagangan; dan
4. Kepala Badan POM.
www.djpp.depkumham.go.id
Narkotika atau barang sitaan yang telah dimusnahkan berdasarkan penetapan Kepala
Kejaksaan Negeri atau tanaman narkotika yang dimusnahkan oleh Penyidik Pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia, apabila dikemudian hari terbukti berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diketahui diperoleh
atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang, atau ahli warisnya, atau pihak lain
yang berkepentingan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah. Besarnya ganti rugi
ditetapkan paling sedikit Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang ditentukan hakim dalam isi putusannya.
Dalam rangka membantu upaya pencegahan, penegakan hukum, dan penanggulangan
terhadap tindakan penyalahgunaan narkotika, masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk berperan serta. Peran serta tersebut dapat dilakukan dalam
bidang :
1. pencegahan;
2. penegakan hukum;
3. terapi; dan
4. rehabilitasi.
Dalam rangka menciptakan keamanan, terhadap saksi, ahli, pelapor, penyelidik,
penyidik, pembantu, penyidik, jaksa/penuntut umum, hakim, dan petugas
pemasyarakatan beserta keluarganya yang menangani perkara tindak pidana narkotika
diberikan perlindungan oleh negara. Jaminan keamanan dan perlindungan tersebut
berupa :
1. penjagaan;
2. pengawalan;
3. pengawasan;
4. perahasiaan identitas saksi, pelapor, dan petugas dalam penyamaran;
5. perahasiaan alamat rumah; atau
6. bentuk lain.
Kepada setiap orang yang berjasa dalam pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan,
dan peredaran gelap narkotika dapat diberikan penghargaan, dalam bentuk :
1. piagam;
2. premi; dan/atau
3. penghargaan lainnya.
www.djpp.depkumham.go.id
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengangkutan Narkotika pada Transito Narkotika dari Kawasan Pabean
dengan tujuan untuk diangkut lanjut dilakukan dengan menggunakan
Pemberitahuan Pabean (Dokumen Pelindung Untuk Angkut Lanjut)
yang diajukan oleh Pengangkut kepada Pejabat Bea dan Cukai (di
Kantor Pabean) yang mengawasi Kawasan Pabean tempat transit.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Pengawasan dilakukan dalam rangka upaya pencegahan, pemberantasan,
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.
Pengawasan dilakukan terhadap seluruh kegiatan baik yang dilakukan oleh
lembaga/instansi pemerintah maupun masyarakat.
Yang dimaksud dengan “lembaga/instansi Pemerintah” dalam Pasal ini adalah
lembaga/instansi Pemerintah yang terkait dengan kegiatan yang berhubungan
dengan Narkotika, antara lain, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial,
Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Departemen Pertahanan, Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Narkotika
Nasional.
Yang dimaksud dengan “masyarakat” dalam Pasal ini adalah perorangan,
kelompok, atau Lembaga Sosial Kemasyarakatan.
Pasal 14
Dalam melakukan pencegahan, penanggulangan, pemberantasan,
penyalahgunaan, dan peredaran gelap narkotika, instansi pemerintah
melaksanakan pengawasan sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ketentuan ini harus tetap mengacu pada peraturan yang dikeluarkan oleh
International Narcotics Control Board (INCB).
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 50
Cukup jelas.
.Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Huruf a
Peran serta masyarakat dalam bidang pencegahan berupa pemberian
penerangan, penyuluhan, membina keluarga sejahtera, menjalankan
pola hidup sehat, membina lingkungan bersih narkotika, pendidikan
keterampilan hidup, pendidikan keagamaan, pendidikan olah raga, dan
lain-lain.
Huruf b
Peran serta masyarakat dalam bidang penegakan hukum berupa
memberikan informasi kepada Badan POM atau Kesatuan Kepolisian
terdekat tentang adanya penyelewengan narkotika dari sumber resmi ke
pasaran gelap, melaporkan adanya tindak pidana narkotika,
menyerahkan tersangka pelaku tindak pidana narkotika yang tertangkap
tangan kepada Kesatuan Kepolisian terdekat, ikut serta mengamankan
lingkungan (RT, RW, sekolah, perguruan tinggi, pemukiman,
perkantoran dan lain-lain) yang terkait dengan tindak pidana narkotika.
www.djpp.depkumham.go.id
Huruf c
Peran serta masyarakat dalam bidang terapi berupa :
1. membantu terbentuknya tempat pelayanan terapi berbasis
masyarakat dalam bentuk :
a. rumah dampingan (out reach centre);
b. unit–unit pelayanan terapi dalam komunitas (community base
unit), yaitu :
- pendidikan disekolah, perguruan tinggi dan pesantren;
- keagamaan : di mesjid, di gereja, vihara dll.
- tempat kerja.
2. Membentuk tempat terapi non medis dengan metode tradisional dan
metode yang berhubungan dengan agama dan spiritual.
3. Membentuk tempat pelayanan terapi medis swasta di praktek
dokter, klinik, dan rumah sakit.
Huruf d
Peran serta masyarakat dalam bidang rehabilitasi berupa : pembentukan
tempat rehabilitasi sosial, membentuk kelompok-kelompok relawan
untuk purna rawat (after care), memberi kesempatan untuk magang di
tempat kerja, membangun rumah dampingan, membentuk kelompok
keluarga penunjang (family support group).
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
www.djpp.depkumham.go.id
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ….
www.djpp.depkumham.go.id