PERAN RUMAH SAHABAT ANAK PUSPITA DALAM PEMBENTUKAN
SIKAP TOLERANSI BERAGAMA PADA ANAK BINAAN DI DURENSAWIT
JAKARTA TIMUR
Disusun Oleh;
ABDUL MAJID
NIM: 102051025581
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanki yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 Oktober 2008
ABDUL MAJID
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan bangsa ini penuh dengan dinamika konflik, baik itu konflik
masalah sosial, politik maupun budaya. Pada akhirnya sampai detik ini pun kita
masih saja mendengan kata konflik itu, apakah benar hal ini yang menjadikan
masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan?
Kita tidak akan rela kalau bangsa ini terus-menerus dirundung konflik,
bangsa yang kita sayangi ini sepatutnya harus kita jaga dengan sekuat tenaga. Kalau
semua anak bangsa sepakat bahwa musuh kita semua adalah kemiskinan,
kebodohan dan diskriminasi, tidak menonjolkan egoisme, kelompok atau golongan,
tentu bangsa ini akan penuh dengan cinta kasih. Masih banyak persoalan-persoalan
masyarakat yang perlu kita perhatikan, seperti kemiskinan yang masih kuat yang
mengakibatkan merebaknya anak jalanan di Indonesia. Hal ini menjadikan
persoalan yang komplek bagi bangsa ini. Hidup menjadi anak jalanan memang
bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka tidak dalam kondisi
yang tidak bermasa depan, jelas dalam keberadaan mereka tidak jarang menjadi
“masalah” bagi banyak pihak, baik itu keluarga maupun masyarakat dan negara.
Namun, perhatian terhadap anak jalanan atau anak yang kurang mampu tampaknya
belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita, mereka
merupakan amanah Allah SWT yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya,
sehingga tumbuh kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan
bermasa depan yang cerah.
Permasalahan anak jalanan atau anak kurang mampu dalam hal ekonomi
sehingga dia hidup di alam bebas tanpa adanya perhatian khusus dari orang tua
mereka yang pada akhirnya mererka hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Padahal kita juga tahu bahwa anak terlantar itu dijamin dan dipelihara oleh negara
sebagai mana tercantum dalam UUD 1945. Artinya pemerintah mempunyai
tanggung jawab terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak-anak terlantar,
termasuk anak jalanan. Pada hakekatnya hak-hak anak terlantar itu sama saja hak
asasinya sebagaimana hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum
dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Kepres RI No. 36
Tahun 1990 tentang pengesahan convention on the right of the child (pengesahan
tentang hak-hak anak). Anak-anak tersebut harus mendapat hak-haknya
sebagaimana layaknya anak-anak yang lain seperti halnya anak mempunyai hak
sipil dan kemerdekaan (civil right and freedoms), kemudian hak lingkungan
keluarga (family environment) kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and
welfare) pendidikan (education) serta perlindungan khusus (special protection)
Persoalan hak-hak di atas itu menjadi penting bagi kita semua untuk
memperhatikan dan banyak terlibat dalam hal itu, karena walau bagaimanapun anak
jalanan atau anak yang kurang mampu merupakan bagian dari anak bangsa ini yang
perlu dipelihara, dibina dan dibimbing. Nah, kemudian persoalan pendidikan dan
perlindungan anak yang menurut penulis adalah hal yang sangat urgent pada anak,
walaupun itu semua merupakan tanggung jawab orang tua, akan tetapi sampai hari
ini pun masih banyak orang tua-orang tua si anak yang menghadapi masalah sosial
seperti kemiskinan dan kebodohan. Makanya tidak disadari banyak para orang tua
yang tidak sanggup memenuhi fungsi sosialnya, dengan baik dalam mendidik,
melindungi dan mengarahkan anak-anak mereka. Kelompok masyarakat ini
kelompok kaum dhuafa yang ekonominya dan SDM (sumber daya manusia) sangat
lemah, jangankan untuk mengurusi persoalan pendidikan anak, bahkan untuk
makan sehari-hari pun mereka masih kesulitan. Nah, bagaimana fungsi sosial di
dalam masyarak kita sementara al-Qur’an pun menegaskan bahwa orang beriman
tidak boleh membiarkan anak-anak mereka dalam keadaan lemah. Seperti firman
Allah SWT dalam QS. An-Nisa 4:9
“Hendaknya (orang beriman) takut kepada Allah sekiranya mereka
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir
kesejahteraan anak-anak mereka oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka berkata dengan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa
4:9)
Al-Raghib Al-Asfahani dalam kitab Al Mufradat Al Fadh Al Qur’an
menjelaskan bahwa perkataan (dhiaf’an) memiliki beberapa pengertian sebagai
berikut:
Pertama: (dha’if fi al jism) yakni lemah secara fisik. Maksudnya
menerangkan bahwa orang-orang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak
mereka mempunyai fisik, tubuh dan badan yang lemah. Orang tua mereka harus
memperhatikan kualitas kesehatan anak-anak mereka dengan memberikan makanan
dan minuman yang bergizi. Bagi orang-orang yang beriman makanan dan minuman
yang bergizi itu selain memenuhi gizi yang seimbang seperti yang dirumuskan
empat sehat lima sempurna tetapi juga harus memperhatikan syarat halalan
thayyiban yakni halal secara fiqih dan berkualitas bagi kesehatan tubuh.1
Sesungguhnya di dalam Islam, anak adalah titipan Allah SWT yang harus
dijaga, masa kanak-kanak di dalam Islam digambarkan sebagai suatu keindahan di
dunia yang diliputi oleh kebahagiaan, cita-cita, cinta dan angan-angan. Perserikatan
bangsa-bangsa mulai menaruh perhatian terhadap nasib dan kesejahteraan anak-
anak dengan menetapkan tanggal 12 Nopember sebagai hari anak-anak. Namun
begitu perlu dikemukakan di sini bahwa perhatian Islam terhadap nasib dan
kesejahteraan anak-anak telah dimulai sejak 14 abad yang lalu.2
1 Al-Raghib Al Asfahani, Mu’jam Mufradat Al Fadh Al Qur’an. (Beirut: Dar al Fikr) h. 304-
306 2 Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam. (Pustaka
Sadra, 2004) hal. 7
Pada dasarnya Islam mempunyai pandangan terhadap sikap perilaku anak
jalanan. Bahwa sesungguhnya setiap orang itu mulia, kecuali jika dia telah
berperilaku tidak baik. Selama mereka berperilaku baik, seperti tidak mencuri,
menodong maka mereka tetap orang baik di mata agama.
Hal ini menjadi penting karena anak itu memiliki tugas utama yaitu untuk
belajar. Selain itu si anak dan orang tua harus disadarkan dengan tugas dan
kewajibannya masing-masing yaitu, si anak belajar dan orang tua mencari nafkah
untuk anak istrinya. Pertimbangan lainnya adalah, bahwa anak jalanan yang
meminta-minta misalnya, sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan
dengan norma agama, bahkan bisa merusak agama itu sendiri, khususnya agama
Islam. Kalau kita sadar bagaimana fungsi zakat sebagai lumbung kesejahteraan bagi
orang-orang yang kurang mampu. Di situ ada zakat fitrah yang setiap tahun seluruh
umat Islam wajib mengeluarkannya, kemudian ada zakat mal yang cukup besar
potensi dana tersebut yang datang dari umat Islam sendiri. Kenapa ini tidak dikelola
secara baik? Kalau umat Islam mengurus umatnya saja tidak bisa, bagaimana
menghadapi dakwah di tengah-tengah orang non muslim? Bersamaan dengan itu
orang-orang yang berkecukupan dalam segi materi (kaya) juga harus diingatkan,
bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menolong sesama. Sebaliknya para
mustahik (melalui amil yang professional), harus aktif mencari dana zakat tersebut
dan dikelola serta diberdayakan sebaik mungkin.
Adapun bentuk pembinaan terhadap anak jalanan atau anak kurang mampu
harus komprehensif dan semua pihak harus terlibat. Pihak pemerintah, masyarakat,
lembaga pendidikan, pondok pesantren, takmir masjid kemudian yang punya akses
pada kemasyarakatan semuanya harus aktif, turut mengontrol proses pembinaan
serta perkembangan anak tersebut. Selain itu pembinaan juga bukan hanya saja dari
sisi moral, akan tetapi harus juga bersifat jangka panjang. Misalnya seperti mereka
diberi bekal keterampilan baik itu skill maupun agama, sikap toleransi terhadap
sesama, dan yang pada akhirnya mereka dapat hidup mandiri dan terarah sesuai
cita-citanya masing-masing.
Selain itu pemerintah seharusnya mempunyai data base yang konkrit
menganai anak jalanan dan anak kurang mampu yang tersebar di seluruh penjuru
negeri ini. Sehingga mudah sekali ketika akan melakukan penataan serta
penanganannya. Jadi intinya untuk menanggulangi permasalahan anak jalanan atau
anak kurang mampu ini perlu kaki tangan pemerintah yaitu sebuah organisasi baik
yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri atau swasta bahkan perorangan yang
bisa mewadahi aktivitas mereka sudah barang tentu dengan berbagai fasilitas yang
memadai, seperti perlengkapan sarana pendidikan, lembaga ekonomi umat, balai
latihan kerja dan lain sebagainya. Bahkan jika perlu, libatkan pondok pesantren
yang tersebar di setiap daerah, atau mungkin perlu kerjasama dengan takmir masjid
yang sangat banyak, sehingga takmir masjid tugasnya bukan hanya ritual
menyelenggarakan ibadah, tetapi memiliki fungsi pembinaan yang bersifat sosial
seperti membina dan mendidik anak jalanan atau anak kurang mampu.
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dan untuk
membatasi permasalahan dalam skripsi ini agar tidak terlalu luas
pembahasannya serta jelas sasarannya, maka peneliti hanya membatasi
masalah tentang proses pembentukan sikap toleransi beragama pada anak
binaan.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada skripsi ini adalah:
a. Apakah peran Rumah Sahabat Anak Puspita mengajarkan sikap toleransi
beragama?
b. Bagaimana pola penanaman sikap toleransi beragama sejak dini pada anak
binaan yang dilakukan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita?
C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah peneliti rumuskan di atas,
maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu:
a. Untuk mengetahui model dakwah seperti apa yang diajarkan kepada anak-
anak bianaanya.
b. Untuk mengetahui bagaimana pola penanaman sikap toleransi beragama
sejak dini pada anak binaan.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Akademis
Sebagai wacana pemikiran dan khazanah referensi serta menjadi bahan
pustaka bagi mahasiswa khususnya dan berbagai kalangan umumnya.
Bagaimana kita dapat mengenal rumah sahabat anak yang akrab disebut
dengan rumah singgah anak jalanan atau anak kurang mampu yang di
dalamnya ditanamkan keterampilan dan diajarkan bertoleransi antar umat
beragama.
b. Kegunaan Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan sebuah lembaga sosial yang selalu
berperan aktif membantu pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa, yang
siap hidup rukun, antarsesama anak bangsa walaupun berbeda keyakinan demi
tujuan yang sama yaitu hidup sejahtera.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan, karena diawali dengan telaah bahan kepustakaan, undang-
undang dan peraturan yang terkait dengan anak dan keluarga. Hasil telaah
kepustakaan dijadikan sebagai kerangka pemikiran atau landasan teori dalam
operasionalisasi penelitian ini.
Dari segi data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis, penelitian ini juga
merupakan perpaduan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif, karena
mengandalkan pada kekuatan hasil wawancara, Focus Group Discussion (FGD),
studi dokumentasi, observasi dan dikombinasi dengan hasil olah statistik yang
didasarkan pada hasil penyebaran angket kepada responden.
Sumber penelitian ini pada dasarnya ada dua. Pertama adalah data pustaka
yang bersifat normatif. Data ini dihimpun dari literatur, buku-buku, jurnal-jurnal,
surat kabar-surat kabar, dokumentasi-dokumentasi, undang-undang, website, dan
sebagainya. Kedua adalah data lapangan yang bersifat empiris. Data ini
dikumpulkan melalui observasi, wawancara, FGD dan penyebaran angket kepada
responden.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik atau
instrumen sebagai berikut:
1. Studi Dokumentasi dan Pustaka
Berbagai dokumen penting mengenai penanganan anak jalanan, baik dari
Departemen Sosial maupun Pemerintah DKI, artikel dalam surat kabar,
tulisan dalam majalah atau jurnal, dan buku-buku yang relevan yang akan
dikaji, dipadukan dan dijadikan sebagai kerangka teori dari peneletian ini.
Program kerja instansi pemerintah dan organisasi sosial di masing-masing
wilayah mengenai penanganan masalah anak jalanan juga ditelaah secara
kritis dan mendalam guna diperoleh informasi kunci mengenai tingkat
partisipasi masyarakat dalam penanganan anak kurang mampu melalui
pemberdayaan masalah ekonomi.
2. Observasi Lokasi
Agar penelitian lapangan ini membuahkan hasil yang maksimal, dipandang
penting dilakukan obsevasi langsung terhadap objek penelitian, yaitu di
Rumah Sahabat Anak Puspita JL. Tegal Amba, Duren Sawit Jakarta Timur.
Obsevasi ini bertujuan untuk melihat “potret” kehidupan anak binaan dan
keluarganya, mobilitas sosial ekonomi masyarakat sekitar dan sebagainya,
sehingga hasil observasi ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam
pengumpulan data selanjutnya dan dalam mendalami persoalan anak binaan.
3. Angket
Sebenarnya penyebaran angket ini diperlukan hanya untuk mengungkap:
a. Pola Hidup Keluarga.
b. Pola Kerja Sehari-hari
c. Cara penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan pendidikan anak.
4. Wawancara dan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD)
Wawancara dan diskusi kelompok terfokus ini dilakukan secara terbatas,
baik kepada informan yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu keluarga dari
anak-anak binaan maupun informan pendukung, yaitu aparat kelurahan
setempat serta tidak lepas dari warga sekitar.
Adapun yang hendak diungkap dan diekplorasi dari informan adalah:
a. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam keluarga
b. Cara menyelesaikan masalah
c. Pola pengasuhan dan pendidikan anak
d. Pola interaksi sosial
e. Cita-cita masa depan yang diharapkan.
5. Prosedur dan Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan melalui empat instrumen tersebut akan
dianalisis dengan dua pendekatan, yaitu dengan pendekatan normatif
kualitatif dan pendekatan empiris kuantitatif.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, yaitu meliputi latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian,
dan sistematika penelitian
BAB II Kerangka Teoritis, yang meliputi pengertian peran, pengertian
aktivitas, bentuk aktivitas, proses pembentukan sikap, pengertian toleransi
beragama, upaya menumbuhkan toleransi beragama dan pengertian tentang anak.
BAB III Membahas Tentang Gambaran Umum RSA Puspita, meliputi
profil, visi dan misi, struktur organisasi, dan pola pembinaan.
Bab IV Analisis Tentang Peran Aktifitas Rumah Sahabat Anak Puspita
Dalam Pembentukan Sikap Toleransi Beragama Pada Anak Binaan meliputi,
analisis bentuk-bentuk aktivitas, analisis masalah anak bianaan, analisis hasil
aktivitas dan analisis tentang respon anak terhadap pola pembinaan.
BAB V Penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Peran dan Aktivitas
1. Pengertian Peran
Dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah beberapa tingkah yang
diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat dan harus
dilaksanakan.1
Peran tidak dapat dipisahkan dari status (kedudukan) walaupun
keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang
lainnya, karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya, peran
diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang berbeda, akan tetapi kelekatannya
sangat terasa sekali seseorang dikatakan berperan. Karena dia mempunyai status
(orang tersebut) mempunyai status dalam masyarakat, walaupun kedudukan itu
berbeda antara satu dengan yang lain, akan tetapi masing-masing dirinya
berperan dengan statusnya.
Sedangkan Gross, Mason dan A.W. Mc Eachern sebagaimana dikutip
oleh David Barry mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan
1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998), h. 667
yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu,2
harapan tersebut masih menurut David Barry, merupakan hubungan-hubungan
dari norma-norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan peranan-peranan itu
dapat ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat, artinya seseorang
diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam
pekerjaannya dan dalam pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Sarlito Wiraman Sarwono juga mengemukakan hal yang sama bahwa
harapan tentang peran adalah harapan-harapan yang lain pada umumnya tentang
perilaku-perilaku yang pantas, yang seyogyanya ditentukan oleh seseorang
yang mempunyai peran tertentu.3
Dari penjelasan tersebut di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang dimaksud
dengan peran merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan-keharusan yang
dilakukan seseorang karena kedudukannya. Di dalam status tertentu dalam suatu
masyarakat atau lingkungan di mana dia berada.
2. Pengertian Aktifitas
Kata aktivitas menganut pengertian tentang kegiatan, salah satu kegiatan
kerja yang dilaksanakan di tiap bagian perusahaan.3
2 David Barry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),
cet. Ke 3. h 99 3 Sarlito Wiranwono Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial (Jakarta: Rajawali, 1984), cet ke-
1,h. 235
3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
edisi ke-3, 2002). hal. 23
Sedangkan dalam kehidupan harian aktivitas berarti menjalankan
kegiatan rutinitas sehari-hari, misalnya saja seorang ibu yang setiap harinya
tidak pernah lepas dari pekerjaan membersihkan rumah, mengurus anak-
anaknya, atau seorang pelajar yang selalu menjalankan aktivitasnya rutinnya ke
sekolah, untuk belajar dan berkreasi. Itulah aktivitas yang tidak pernah bisa
lepas dari kehidupan manusia yang masih bernafas, berbeda dengan manusia
yang sudah tidak bernafas lagi.
Dari beberapa aktivitas atau kegiatan yang dilakukan di atas, bisa juga
berdampak positif atau negatif bagi pelakunya, karena menurut Samuel Soeltoe
sebenarnya aktivitas bukan hanya sekedar kegiatan, beliau memandang bahwa
aktivitas dipandang sebagai usaha mencapai atau memenuhi kebutuhan.
Salah satu kebutuhan manusia adalah menuntut ilmu untuk menjadi
pintar dan pandai, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka manusia harus
belajar dengan tekun melalui sekolah, majlis-majlis tempatnya ilmu atau juga
bisa dengan membaca buku. Ternyata untuk memenuhi satu kebutuhannya saja
manusia harus melakukan berbagai kegiatan atau melakukan berbagai aktivitas.4
B. Pembentukan Sikap
Kita pasti sering mendengar kata sikap, atau bahkan telah kerap
menggunakannya dalam percakapan keseharian. Mungkin kita sudah biasa ditanya
sikap kita terhadap sesuatu. Misalnya bagaimana sikap Anda dengan kekerasan
4 Samuel Soeitoe, Psikologi Pendidikan II (Jakarta: FEUI, 1982) h. 52
aparat polisi pada aksi demonstrasi di kampus UNAS (Universitas Nasional) Pasar
Minggu? Apa sikap Anda dengan pelacuran? Apa sikap Anda dengan korupsi para
pejabat kita? Bagaimana sikap Anda tentang masalah kemiskinan? kita mungkin
akan menjawabnya dengan pendapat berbeda untuk masing-masing kasus.
Saat ini kita mungkin menjadi pendukung partai tertentu, penggemar tokoh
tertentu, anggota klub penggemar tanaman hias, pecinta lingkungan, pecinta
demokrasi, atau yang lain. Kita bisa menjadi hal-hal tersebut karena adanya sikap
yang kita miliki.
Apa sebenarnya sikap? Sikap bisa kita artikan sebagai kecenderungan reaksi
penilaian terhadap segala sesuatu di dunia ini. Bisa saja sesuatu itu orang lain,
peristiwa atau masalah, ide-ide maupun suatu keadaan fisik. Di dalam sikap
terkandung aspek afeksi (emosi atau perasaan), aspek kognisi (keyakinan), dan
aspek perilaku (perilaku dalam bentuk nyata ataupun kecenderungan berperilaku).
Sebagai ilustrasi, ambil contoh sikap tentang minuman keras. Mula-mula
kita harus memiliki keyakinan tertentu tentang minuman keras, misalnya minuman
keras itu enak, merusak tubuh, mahal, teman saat stres, kadar alkohol tinggi bisa
memabukkan, diharamkan agama, atau lainnya (aspek kognisi). Lalu kita bisa
memiliki perasaan positif atau negatif terhadap minuman keras. Kita bisa menyukai
minuman keras atau tidak suka (aspek afektif). Kemudian, kita juga memiliki
kecenderungan perilaku tertentu terhadap minuman keras. Jika kita menyukainya
maka kita meminumnya, mengatakan bahwa minum-minuman keras itu baik,
bersedia mengeluarkan uang untuk membelinya, atau yang lain. Jika kita tidak
menyukainya maka kita tidak meminumnya, ikut operasi minuman keras, melarang
teman kita meminumnya, mengeluarkan artikel tentang bahaya minuman keras,
tidak mau mengeluarkan uang untuk membelinya dan sebagainya (aspek perilaku).
Jadi, belum sikap namanya jika kita hanya memiliki pendapat terhadap
sesuatu (misalnya miras itu haram). Namun jika kita memiliki perasaan tertentu
terhadap miras (misalnya tidak suka), dan bertindak tertentu terhadap miras
(misalnya tidak mau meminumnya), barulah pendapat itu merupakan sikap.
Proses Pembentukan Sikap
Bagaimana kita bisa memiliki sikap tertentu terhadap suatu hal?
Bagaimana anda menjadi pendukung partai, fans klub sepakbola Persebaya, fans
klub AC Milan, fans artis, pecinta binatang, penggemar tanaman hias, atau
semacamnya? Kita memperolehnya karena anda belajar untuk memilikinya.
Ada banyak jalur yang membuat kita bisa memiliki sikap tertentu. Bisa
karena pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh
kebudayaan, pengaruh media massa, pengaruh lembaga pendidikan/lembaga
agama, dan pengaruh emosional. Adapun proses pembentukan sikap adalah
melalui pembelajaran. Kita belajar untuk memiliki sikap tertentu. Bagaimana
caranya? Secara garis besar, orang belajar melalui pengkondisian klasik,
pengkondisian instrumental, pemodelan dan pengalaman langsung.
Pengkondisian klasik (classical conditioning). Inilah belajar berdasarkan
asosiasi. Jika sesuatu (stimulus) muncul maka kita berharap adanya sesuatu yang
lain (stimulus kedua) mengikutinya. Artinya, sesuatu diasosiasikan dengan yang
lain. Misalnya kita mula-mula bersikap netral terhadap anjing. Kita tidak
menyukainya, juga tidak membencinya. Namun kemudian kita tahu bahwa
penggemar anjing dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kelas sosial tinggi.
Maka kemudian kita jadi bersikap positif karena kita juga memandang positif
kelas sosial tinggi.
Sikap bisa muncul sejak kecil. Seorang anak pada awalnya bersikap netral
terhadap semua orang. Mereka memiliki sikap negatif atau positif karena
mempelajari sikap orang lain. Misalkan orangtuanya selalu menggerutu jika
bertemu dengan rombongan suporter sepakbola. Ia sering mengatai-ngatai negatif
suporter sepakbola. Nah, sang anak akan belajar untuk bersikap negatif juga
terhadap suporter sepakbola, karena suporter sepakbola diasosiasikan dengan hal-
hal negatif. Pendek kata, mengasosiasikan sesuatu dengan hal-hal negatif akan
membentuk sikap negatif dan mengasosiasikan sesuatu dengan ha-hal positif akan
membentuk sikap positif.
Pengkondisian instrumental (instrumental conditioning). Ini adalah prinsip
di mana sikap tertentu muncul karena adanya imbalan atas perilaku yang
diharapkan, dan adanya hukuman jika berperilaku tidak seperti yang diharapkan.
Misalnya di dalam rumah, kita diharapkan untuk bertindak tanpa kekerasan dalam
kondisi apapun. Maka, ketika kita melakukan kekerasan, kita akan dimarahi. Jika
kita tidak melakukan kekerasan, kita akan dipuji bahkan diberi hadiah.
Pemodelan (modeling). Inilah belajar melalui peniruan atau observasi.
Kita memiliki sikap tertentu karena mengamati dan meniru orang lain. Jika orang
lain bersikap positif terhadap minuman keras (meminumnya sering-sering), kita
juga bersikap positif (meminumnya juga). Boleh jadi kita meniru dari yang Anda
ketahui secara langsung, maupun secara tidak langsung melalui media massa atau
orang lain. Lagipula umumnya orang lebih banyak menerima pendapat, gagasan,
dan sikap orang lain daripada menghindarinya.
Pengalaman. kita menyukai bakso atau tidak dengan cara bagaimana?
Sudah tentu dengan cara mencicipi bakso. Kita menyukai kuliah yang diberikan
dosen tertentu dengan cara apa? Sudah pasti dengan cara mengikuti kuliahnya.
Banyak sikap muncul dari pengalaman yang dialami secara langsung. Namun
demikian, kadang orang hanya berasumsi belaka. Misalnya kita berasumsi bahwa
jika Anda pergi ke diskotik pasti akan tidak menyenangkan bagi kita. Oleh sebab
itu kita bersikap negatif terhadap diskotik. Padahal, jelas kita belum sekalipun
masuk diskotik.
C. Toleransi Beragama
1. Pengertian Toleransi
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, W. J. S Poerwadarminta
mengungkapkan bahwa toleransi berasal dari kata “toleran” yakni sikap atau
sifat tenggang rasa (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang lain atau yang
bertentangan dengan pendiriannya. Menurut Puis A. Partanto dan M. Dahlan
Al-Barry dalam kamus ilmiah populer mendefinisikan kata toleransi sebagai
sikap atau sifat menghargai, pembiaran. Sedangkan pengertian toleransi
menurut Abdullah bin Nuh dalam kamus baru, disebutkan bahwa toleransi
berawal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti menahan diri, sikap sabar,
membiarkan orang berpendapat lain, berhati lapang dan bertenggang rasa
terhadap orang yang berlainan pandangan atau agama. Sahibi Naim dalam
bukunya ”Kerukunan Antar Umat Beragama” menerangkan bahwa istilah
toleransi berasal dari bahasa Inggris yaitu; tolerance yang berarti sikap
membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa
melakukan persetujuan. Dalam bahasa Arab biasanya toleransi biasanya
disebut dengan “tasamuh” dari akar kata “samaha” yang berarti bersikap
membiarkan, murah hati, ramah, lunak dan berhati ringan.
Kamus Oxford mengartikan bahwa toleransi adalah kemampuan untuk
menenggang rasa atas keyakinan dan tindakan orang lain dan membiarkan
mereka melakukannya. Kamus tersebut juga menggambarkan toleransi
sebagai “kemampuan untuk menanggung penderitaan atau rasa sakit”.
Sedangkan dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi UNESCO menyatakan
bahwa toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas
keragaman budaya dunia yang kaya, berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-
cara menjadi manusia.5 Sebagaimana yang diutarakan Michael Walzer, dalam
buku On Toleration, pada dasarnya toleransi, dalam kehidupan bernegara
bangsa, dilandaskan pada pemenuhan hak-hak individu sebagai warga negara
tanpa memandang keanggotanya dalam suatu kelompok primordial tertentu.
Namun, Walzer mengingatkan bahwa hal ini berwajah ganda: pada
satu pihak ada pergulatan untuk masuk menjadi warga yang setara, pada pihak
lain —karena tuntutan hak-hak kelompok, khususnya kelompok minoritas,
untuk bersuara, memperoleh tempat, dan menjalankan politiknya— dapat juga
berarti pemisahan6
Pendapat senada juga diungkapkan Habermas. Menurutnya, Toleransi
mengandaikan sikap warga negara terhadap yang lainnya yang didasarkan
pada hak dan kewajiban yang sama. Sehingga tidak ada ruang bagi otoritas
tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang
dapat ditoleransi dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan
tanggung jawab senantiasa meniscayakan dalam konteks yang sama.
Sebagaimana yang dikutip Yudi Latif & Abdul'dubun 'Hakim,
Habermas juga menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional
dalam masyarakat demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara
positif baik etis maupun politis. Ia dipandang secara etis karena mengandaikan
5 Christelle Sadeghi dan Josiane Bechara, Toleransi, 17 Juli 2007, diakses pada
www.commongroundnews.org, pada 12 Maret 2008. 6 Sebagaimana yang dikutip Trisno S Sutanto, Melampaui Toleransi, Menerung bersama
Walzer, www.kompas.com, diakses pada 12 Maret 2008.
kebenaran dari yang lain. Ia dipandang secara politis karena mampu
membentuk konsensus rasional. Pemihakan ini adalah turunan dari gagasan
Habermas mengenai demokrasi konstitusional sebagai satu-satunya sistem
yang dapat mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka
pembentukan konsensus rasional.7
Dalam litelatur agama Islam, toleransi disebutkan dalam bahasa Arab
sebagai at-tasamuh. Toleransi merupakan salah satu di antara sekian ajaran
inti dalam Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain
seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal
(mashlahah ’ammah), keadilan (’adl).
Abd. Muqsith Ghazali –pakar ilmu fiqih dan ushul fiqh Islam–,
menjelaskan beberapa prinsip ajaran agama Islam di atas, meminjam bahasa
ushul fiqh, disebut sebagai qath’iyyat dan kulliyat. Maksudnya, sebagai ajaran
yang qath’iy, prinsip-prinsip itu tidak bisa dianulir atau dibatalkan dengan
nalar apapun. Dan sebagai kulliyat, ajaran tersebut bersifat universal dengan
melintasi waktu dan ruang (shalihatun li kulli zaman wa makan). Singkatnya,
prinsip-prinsip ajaran itu bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans-
keyakinan-agama.8
7 Yudi Latif & Abdul'dubun'hakim, Melampui Kosmopolitanisme Politik, www.kompas.com,
diakses pada 12 Maret 2008 8 Abd. Muqsith Ghazali, Cetak Biru Toleransi di Indonesia, www.islamlib.com, diakses pada
20 Maret 2008.
Sikap toleran tegas mengajarkan kepada umat Islam untuk
menghormati, menyayangi dan mengkasihi orang lain, tanpa melihat latar
belakang atau asal usulnya. Walaupun mempunyai perbedaan prinsip, ideologi
bahkan akidah.
Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, surat al-Hujarat ayat
13 yang berbunyi:
“Wahai manusia, kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan
dan kami ciptakan kamu dalam bentuk suku dan bangsa supaya kalian saling
kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
adalah yang paling takwa di antara kamu. Sungguh Allah Maha Tahu dan
Maha Waspada.” (QS. al-Hujurat: 13).
Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwasannya Sang Khaliq, telah
menghendaki penciptaan manusia beragam, tidak tunggal. Keberagaman
sengaja diciptakan sebagai media untuk saling mengenal, berdialog dan
bekerjasama. Karena hanya dengan saluran mengenali, berdialog dan bekerja
sama, akan memunculkan keindahan, kedamaian dan ketentraman, di alam
dunia ini.
Dalam buku “Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama”,
Alwi Shihab, menegaskan, ada dua komitmen penting dalam menumbuh
kembangan kehidupan antaragama guna menciptakan keharmonisan. Pertama,
toleransi, dan kedua, pluralisme.9
Dalam surat al-Anbiya: 107 yang berbunyi:
“Dan saya tidak mengutus (wahai Muhammad) kecuali sebagai kasih
sayang bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Juga mempertegas urgensi toleransi dalam kehidupan umat manusia.
Di dalam ayat itu, kata rahmatan secara linguistik berarti kelembutan dan
kepedulian (al-riqqah wa al-ta’aththuf). Selain itu berarti ampunan dan
rezeki. Berikutnya ada kata li al-alamin. Menurut Imam al-Razi, kasih sayang
Nabi Muhammad SAW tidak hanya bagi orang-orang muslim dan non
muslim, melainkan juga untuk agama dan dunia. Jadi Tuhan sesungguhnya
telah menggariskan dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar
menjadi rahmat dan pembawa kasih sayang bagi seluruh umat manusia.10
9 Alwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung; Mizan,
1997), h. 41.
10 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, (Jakarta: Fitra), h. 240-242
Mempertegas asumsi di atas, diungkapkan di dalam al-Qur’an, tentang
kebebasan untuk menentukan dan memilih agama sesuai dengan keyakinan
masing-masing, tanpa ada paksaan.
“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. al-Kafirun:
6)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan diberi petunjuk, orang
Nasrani, shabi’in, yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir serta
beramal saleh, maka bagi mereka pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada
ketakutan serta kekhawatiran atas mereka.” (QS. al-Baqarah:62).
Dua ayat terakhir secara eksplisit menerangkan setiap manusia
mempunyai kebebasan untuk memilih keyakinan dan ada jaminan atasnya.
Sebagai konsekuensinya orang lain juga wajib untuk menghormati, dan
menerima pilihan itu sebagai bentuk adanya keniscayaan keberagaman.
Dalam lintasan sejarah, dari praktik Nabi Muhammad SAW, bisa
dilihat bagaimana toleransi terhadap umat lain ditegakkan. Misalnya pada
tahun 628 H Nabi Muhammad SAW menurut A. Zahoor dan Z. Haq –
sebagaimana disebutkan oleh Robert Spencer– memberikan piagam prevelise
kepada biarawan Kristen dari Biara Santo Catherine. Dalam piagam itu, Nabi
berkata kepada umat Kristen, “Sesungguhnya aku, hamba, penolong, dan
pengikut-pengikutku berusaha untuk membela mereka, karena orang-orang
Kristen merupakan wargaku; dan demi Allah! Aku akan berjuang untuk
melawan setiap sesuatu yang dapat mengganggu mereka. Tidak ada
pemaksaan terhadap mereka.” Di samping itu Nabi Muhammad SAW juga
melarang merusak dan menghancurkan rumah ibadah mereka. Gereja-gereja
harus dihormati. Mereka juga tidak boleh dihalang-halangi untuk
memperbaiki gereja-gereja mereka atau kesucian perjanjian mereka. Dr.
Zahoor dan Haq menegaskan bahwa “Piagam yang memberikan hak-hak
istimewa ini telah dihormati dan diterapkan secara jujur oleh kaum muslim
sepanjang berabad-abad di seluruh negeri yang dikuasai.11
Demikian beberapa pengertian toleransi yang diartikan sebagai sifat
atau sikap menghargai atau membiarkan, akan tetapi pengertian toleransi yang
penulis maksud adalah toleransi beragama. Apabila dihubungkan dengan
masalah agama dan keyakinan yang dianut oleh seseorang atau kelompok,
maka kita harus membiarkan orang lain hidup dan menjalankan agama
menurut keyakinanya dengan tidak bersikap mencela dan memusuhinya.
Dalam toleransi di sini, mengandung pengertian kesediaan menerima
11 Robert Spencer, Islam Ditelanjangi, Penerjemah Mun’im Sirry, (Jakarta: Paramadina,
2003), h. 226-228.
pendapat yang berbeda-beda dan dapat menghargai agama dan keyakinan
orang lain serta memberikan kebebasan untuk menjalankan apa yang
dianutnya.
Dalam ajaran Islam, sikap dalam hidup beragama, di samping harus
yakin dengan agamanya sendiri, juga tidak boleh memaksakan keyakinan itu
kepada orang lain bahkan harus menghargai dan menghormati agama dan
keyakinan orang lain. Sikap inilah yang dikembangkan dan dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW. Sewaktu beliau di Madinah, ketika Islam
berkembang dalam masyarakat yang majemuk.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa toleransi
adalah sikap memberikan kebebasan kepada setiap orang yang berbeda baik
dalam pendapat, sudut pandang, agama dan keyakinan tanpa ada rasa benci
dan permusuhan atau pertentangan. Namun perlu adanya suatu pendekatan
dengan cara dialog atau bermusyawarah untuk saling memberikan
argumentasi dan informasi tentang apa yang diterima sebagai kebenaran,
sehingga tidak menimbulkan konflik.
2. Dasar dan Landasan Toleransi
Dasar dan landasan toleransi yang disepakati oleh orang Islam dalam
hal ini adalah sesuatu yang datang pada kita. Musthafa Al-Ba’i menjelaskan
bahwa dasar dan landasan toleransi adalah sebagai berikut:
a. Sesunguhnya agama-agama samawi itu berasal dari sesuatu yang satu
(QS. asy-Syura: 13)
b. Sesungguhnya para nabi adalah bersaudra tidak ada yang dilebihkan dari
segi risalah (utusan) dan diwajibkan bagi umat Islam untuk mengimani
merekan semua (QS. al-Baqarah: 136)
c. Akidah atau keyakinan tidak boleh dipaksakan tetapi harus ada
keridhoan (QS. al-Baqarah: 256 dan QS. Yunus: 99)
d. Tempat-tempat ibadah bagi semua agama samawiitu dimuliakan dan
wajib dilindungi atau dijaga seperti perlindungan terhadap masjid-
masjid umat Islam (QS. al-Hajj: 40)
e. Tidak diperkenankan kepada manusia untuk menghadapi atau
menanggapi perbedaan-perbedaan dalam agama itu dengan saling
membunuh di antara mereka atau saling bermusuhan, tetapi mereka
diwajibkan untuk saling tolong-menolong dalam melaksanakan
kebaikan dan memerangi kemungkaran (QS. al-Maidah: 4)
f. Saling menghormati antarsesama manusia dalam kehidupannya dan di
sisi Allah SWT diukur dengan ukuran kebaikan yang diberikan kepada
dirinya sendiri dan orang lain (QS. al-Hujurat: 13)
g. Bahwa perbedaan yang ada dalam agama-agama itu tidak merubah sikap
untuk berbuat kebaikan dan jalinan komunikasi atau dialog (QS. al-
Maidah: 4)
h. Perbedaan-perbedaan dalam agama boleh untuk didialogkan dengan cara
yang baik selama dalam batas-batas etika (QS. al-‘Ankabut: 46)
i. Bila terjadi pemaksaan kehendak dan keyakinan pada suatu umat maka
wajib ditentang, karena menolak atas pemaksaan atau suatu keyakinan
dapat menghindari fitnah atau malapetaka (QS. al-Mumtahanah:9)
j. Bila ada umat yang bermaksud memaksa seseorang untuk memeluk
suatu agama, namun tidak dapat merubah keyakinan orang tersebut,
maka wajib baginya menghargai dan menghormati kebebasan orang
tersebut untuk memegang teguh keyakinannya.
Melihat dari perspektif al-Qur’an di atas, maka dasar-dasar toleransi
yang bersumber dari firman Allah SWT ini, sangat penting dikembangkan dan
diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehingga dapat kita simpulkan
bahwa dalam kehidupan beragama, Islam membolehkan adanya kerjasama
dalam masalah perniagaan atau muamalah dengan cara yang adil dan
bijaksana dengan landasan saling menghormati hak-hak mereka masing-
masing tanpa adanya permusuhan dan perselisihan di antara mereka.
3. Aspek-Aspek Toleransi
Aspek-aspek toleransi menurut pandangan Islam adalah sebagai
berikut:
a. Toleransi Kehidupan Antar Umat Beragama
Al-Qur’an banyak memberikan petunjuk kepada umat Islam untuk bersikap
toleransi kepada penganut agama lain. Beberapa prinsip tersebut anta lain:
1) Tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama
2) Tidak mencaci maki sesembahan pemeluk agama lain
3) Islam tidak menghalangi pemeluk agama lain untuk melakukan ibadah
dan upacara keibadatan ritual agamanya.
4) Islam memerintahkan untuk selalu berbuat baik
5) Dialog dengan cara yang bijaksana dan arif
6) Islam tidak melarang untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
pemeluk agama lain.
Untuk merealisasikan hal tersebut hendaknya memiliki sikap:
1) Menghormati alam pikiran orang lain
2) Menghargai status sosial orang lain
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa sikap toleransi antarumat
beragama adalah bagaimana menjalin hubungan yang baik dalam lingkungan
umat beragama yang berbeda, misalnya perlindungan terhadap rumah ibadah
seharusnya mereka mendapatkan hak yang sama. Di sinilah prinsip keadilan
yang harus ditegakkan dalam mewujudkan kerukunan antarumat beragama.
Sebagimana dijelaskan dalan firman Allah SWT:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjdikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesunguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-
Hujurat: 13)
b. Toleransi kehidupan intern umat Islam
Beberapa prinsip ajaran Islam dalam menata kehidupan sesama muslim yang
dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 9-12 yang intinya sebagai berikut:
1) Prinsip perdamaian (islah)
2) Prinsip persatuan dan persaudaraan
3) Prinsip persamaan
4) Prinsip perasaan kasih sayang
Dengan demikian toleransi perlu dijalin dan bekerja sama dalam
mengembangkan sikap saling menghormati, serta bagaimana cara
menciptakan dan memelihara hubungan baik dengan umat seagama. Namun
perlu digarisbawahi bahwa Islam melarang adanya hubungan, kerjasama atau
tukar-menukar dalam hal akidah ibadah mahdah dengan pemeluk agama lain.
Prinsip ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. al-Kafirun: 1-6)
Dalam hal ini, perlunya toleransi dalam pergaulan hidup, baik intern umat
beragama maupun antarumat beragama. Toleransi dalam pergaulan hidup
antarumat beragama harus didasarkan kepada tiap agama menjadi tanggung
jawab pemeluk agama itu sendiri dan mempunyai bentuk ibadah dengan
sistem dan cara tersendiri.
Atas dasar itu, maka diperlukan sebuah toleransi dalam pergaulan antarumat
beragama. Di samping itu, diperlukan strategi penyebarluasan konsep teologi
kerukunan antarumat beragama yang disusun dalam dialog intensif oleh
pemuka agama. Harun Nasution menyatakan, sebagaimana yang dikutif
Muslih Musa dan Aden Widjan SZ bahwa konsep teologi kerukunan , yaitu:
1) Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain
2) Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama.
3) Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama.
4) Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan
5) Memusatkan usaha pada pembianaan individu dan masyarakat manusia
yang baik, yang menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteis.
6) Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada
toleransi beragama.
7) Menjauhi praktek serang menyerang antar agama.
Ketujuh uraian di atas merupakan nilai-nilai toleransi Beragama yang cukup
relevan untuk dikembangkan melalui lembaga pendidikan baik formal
maupun informal. Upaya untuk mensosialisasikan dan merealisasikannya
menjadi prioritas baik dalam proses belajar mengajar maupun pola interaksi
sehari-hari demi terciptanya hubungan yang sehat, harmonis.
4. Upaya Menumbuhkan Toleransi Beragama
Ada beberapa upaya untuk menumbuhkan toleransi beragama sejak
dini, yaitu dengan cara membimbing anak sedini mungkin untuk dikenalkan
dengan berbagai agama atau kepercayaan yang ada disekitarnya, anak-anak
diajarkan sejarah agama, karena di sekolah tidak cukup untuk menjelaskan
bagaimana proses keberagaman agama di Indonesia. Nah, hal ini yang
menjadi perhatian penuh para orang tua untuk mendidik, membina dan
mengarahkan sang anak supaya bisa menyikapi secara bijak terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada.
D. Anak
Berbicara mengenai pengertian anak selalu dikaitkan dengan batasan umur
anak itu sendiri. Dalam hal ini para ahli berbeda pendapat dalam menentukan
batasan umur seorang anak yang dihubungkan dengan kecakapannya. Berikut ini
beberapa pendapat tentang anak:
Agus Sujanto menyatakan bahwa, masa kanak-kanak, yaitu sejak lahir sampai
5 tahun, masa anak, yaitu umur 6 tahun sampai 12 tahun.13
Menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia anak merupakan “turunan kedua” turunan yang
dilahirkan dari dari sepasang pria dan wanita dalam sebuah ikatan perkawinan.14
Sehubungan dengan adanya berbagai pendapat tentang batasan umur
seorang anak, penulis setuju pada pendapat yang mengatakan batasan usia anak
adalah nol sampai 12 tahun. Masa anak sekolah (umur 6 – 12 tahun)
Banyak ahli menganggap masa ini sebagai masa tenang, atau masa laten,
di mana apa yang terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan
berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya.15
Dengan memasuki SD salah
satu hal penting yang perlu dimiliki anak adalah kematangan sekolah, tidak saja
meliputi kecerdasan dan keterampilan motorik, bahasa, tetapi juga hal lain, seperti
dapat menerima otoritas tokoh lain di luar orang tuanya, kesadaran akan tugas,
patuh pada peraturan dan dapat mengendalikan emosi-emosinya.
Pada masa anak sekolah ini, anak-anak membandingkan dirinya dengan
teman-temannya dimana ia mudah sekali dihinggapi ketakutan akan kegagalan
dan ejekan teman. Bila pada masa ini ia sering gagal dan merasa cemas, akan
tumbuh rasa rendah diri, sebaliknya bila ia tahu tentang bagaimana dan apa yang
13 (Agus Sujanto Psikologi Perkembangan.(Jakarta: Aksara Baru, 1982) cet. Ke.3. h.1
14 W.J.s. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), cet
ke-8, h. 38 15 Singgih D. Gunarsa, Yulia Singih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2003) cet ke-10, h. 13
perlu dikerjakan dalam menghadapi tuntutan masyarakatnya dan berhasil
mengatasi masalah didalam hubungan dengan teman dan prestasi sekolahnya,
akan timbul motivasi yang tinggi terhadap karya.
Dengan memasuki dunia sekolah dan mayarakat, anak-anak dihadapkan
pada tuntutan sosial yang baru, yang menyebabkan timbulnya harapan-harapan
atas diri sendiri (self-expectation) dan aspirasi-aspirasi baru, dengan lain
perkataan akan muncul lebih banyak tuntunan dari lingkungan maupun dari dalam
anak sendiri yang kesemuanya ingin dipenuhi. Beberapa keterampilan yang perlu
dimiliki anak pada tahap ini meliputi:
1. Keterampilan menolong diri sendiri (self-help skills)
2. Keterampilan bantuan sosial (social-help skills)
3. Keterampilan sekolah (school skills)
4. Ketrampilan bermain (play skills).16
Di dalam segi emosinya, nampak pada usia ini anak mulai belajar
mengendalikan reaksi emosinya dengan berbagai cara atau tindakan yang dapat
diterima lingkungannya.
Pada akhir masa sekolah, karena tujuan utama masa ini adalah diakui
sebagai anggota dari suatu kelompok, maka biasanya anak-anak cenderung lebih
senang memilih aturan-aturan yang ditetapkan kelompoknya daripada apa-apa
yang diatur oleh orang tuanya.
16 Ibid
Melalui pengasuhan di rumah dan pergaulan sosial sehari-hari anak belajar
bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bagaimana ia menentukan identitas diri
dan peran jenis kelaminnya, bagaimana ia melatih otonomi sikap mandiri dan
berinisiatif, bagaimana belajar mengatasi kecemasan dan konflik secara tepat,
bagaimana mengembangkan moral dan kata hati yang benar dan serasi.
Sedangkan dalam Islam memandang bahwa masa kanak-kana adalah masa
penentuan masa depan, dan di antara kewajiban generasi sekarang adalah
menanamkan berbagai kemungkinan tanggung jawab dalam mengemban
kepemimpinan secara sukses.17
Satu-satunya jalan untuk memperbaiki, mendidik
dan membangkitkan semangat generasi mendatang adalah kepedulian atau sikap
peduli terhadap anak sekarang, mendidik dengan pendidikan yang baik dan
memberikan bekal ilmu pengetahuan untuk mengarungi kehidupan nanti.
Betapa tinggi kepedulian Islam terhadap pendidikan anak, hal ini dapat
dibuktikan melalui sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Jabir bin
Samroh:
“Pendidikan atau bimbingan yang diberikan orang tua kepada anaknya
lebih baik dari bersedekah sejumlah satu sha’” (HR. Turmudzi).18
17 Muhammmad Athiyah al-Abrasy, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1996) h. 81
18 Muhammad Abdul Ar Rahman bin Abd Al Rahim Al Mubarakafuri, Tukhfah al Akhwazi
bin Syarh Jami Al Turmudzi, juz 6, (Beirut: Dar Al kutub al Ilmiyah, 1990) cet ke-1, h. 70
BAB III
GAMBARAN UMUM RUMAH SAHABAT ANAK PUSPITA
A. Profil Rumah Sahabat Anak Puspita
Dalam Konvensi Hak Anak dijelaskan bahwa anak memiliki beberapa hak
di antaranya: 1. Hak untuk kelangsungan hidup (Survival), yaitu anak berhak
melanjutkan hidupnya dengan mendapatkan fasilitas berupa pangan, sandang dan
papan. 2. Hak untuk tumbuh kembang (Development), yaitu anak berhak untuk
tumbuh dan berkembang secara normal, tidak mencari nafkah di jalan, tidak
tereksploitasi. 3. Hak mendapatkan perlindungan (Protection), yaitu anak
mendapatkan pelindungan dari tindak kekerasan fisik, kekerasan seksual dan
kekerasan lainnya, baik yang dilakukan keluarga maupun orang lain. 4. Hak
berpartisipasi dalam masyarakat (Participation), yaitu anak berhak ikut
berpartisipasi/berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbudaya dan
berbangsa. Oleh karena itulah rumah sahabat anak mencoba ikut andil dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa.12
Rumah Sahabat Anak Puspita adalah tempat berkumpul anak-anak yang
terlupakan. Hidup dari mencari sesuatu yang orang lain tidak butuhkan atau
menadah untuk belas kasihan dan bukan penuntutan hak sebagai anak bangsa
yang sebetulnya mempunyai hak seperti layaknya anak-anak lainnya yang
12 . Buletin dwi mingguan Sirumput edisi xxxv tahun 2005
terbilang mampu. Dan sering orang menyebut mereka dengan sebutan anak
jalanan.
Rumah Sahabat Anak Puspita berdiri pada tahun 1999 di Jl. Tegal Amba
No. 07 Duren Sawit Jakarta Timur, sampai saat ini mendampingi 88 anak
dampingan dan juga orang tua/keluarga anak di lokasi tempat berkumpulnya
sekelompok orang yang sehari-harinya penuh dengan keterbatasan dan dalam
kehidupan yang sangat keras.
Berawal dari ketertarikan dan keprihatinan dengan kehidupan warga
Ibukota Jakarta yang sangat terbelakang dari aspek sosial, budaya, etika, kultur,
ekonomi, dan politik. Yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat bebas dan
lepas dari semua nilai yang berlaku pada masyarakat pada umumnya, dan mereka
tidak terhitung sebagai sekelompok orang yang seharusnya mempunyai hak-hak
sebagaimana warga negara.2
Boleh orang bicara mereka adalah sampah masyarakat atau apapun
namanya, namun yang perlu diingat mereka adalah manusia sebagaimana halnya
manusia lain yang mempunyai harapan untuk lebih baik, walaupun hak-hak
mereka selama ini sering terlanggar.
Segudang probematika kehidupan di Ibukota Jakarta, masih adakah
secercah harapan untuk meraih apa yang menjadi cita-cita besar bangsa ini untuk
kehidupannya. Anak bangsa yang terlupakan oleh sistem negri tercinta ini
2. Hasil wawancara dengan relawan Puspita, Mei 2007
berteriak “Di planet apakah saya sekarang ini, kenapa perbedaan status
kehidupan menjadi kejam kepada kami.“
Dengan dasar inilah Rumah Sahabat Anak Puspita berdiri hingga saat ini,
walaupun dengan keterbatasan yang ada, dan akan terus berupaya bertahan
dengan sekuat tenaga untuk memperoleh apa yang menjadi cita-cita bersama
keluarga besar Rumah Sahabat Anak Puspita.
B. Visi, Misi Serta Program RSA Puspita
1. Visi
Rumah Sahabat Anak Puspita Memiliki visi :
a. Membebaskan dari kebodohan dan keterbelakangan.
b. Kemandirian untuk masa depan yang lebih baik.
c. Memperoleh hak-hak yang sesungguhnya sebagai warga negara Indonesia.
2. Misi
Misi yang diemban Rumah Sahabat Anak Puspita adalah:
a. Anak mendapatkan pendidikan yang layak.
b. Memperkaya kreatifitas anak.
c. Mampu beradaptasi dengan masyarakat luas yang tidak membedakan
kelompok, golongan, agama, ras, dan status sosial.
3. Program
Ada beberapa hal yang menjadi Program Rumah Sahabat Anak Puspita, di
antaranya:
a. Membeasiswakan anak ke sekolah formal.
b. Mengajarkan kerajinan tangan, musik, bahasa, dan pendidikan keagamaan.
c. Mengajarkan etika bersosialisasi dengan masyarakat luas.
d. Menampilkan anak dalam pentas-pentas kreasi dari hasil karya mereka.
e. Membuka jaringan kepada setiap elemen masyarakat baik yang formal
maupun non formal, yang berhubungan dengan kepentingan Rumah
Sahabat Anak Puspita.
f. Mencari dan mengupayakan sumber-sumber baik yang berupa materi atau
non materi.
4. Target
Target yang ingin dicapai oleh Rumah Sahabat Anak Puspita adalah:
a. Anak mendapatkan haknya memperoleh pendidikan yang layak.
b. Mengajarkan kerajinan tangan, musik, bahasa, dan pendidikan keagamaan.
c. Mengajarkan etika bersosialisasi dengan masyarakat luas.
d. Menampilkan anak dalam pentas-pentas kreasi dari hasil karya mereka.
e. Membuka jaringan kepada setiap elemen masyarakat baik yang formal
maupun non formal, yang berhubungan dengan kepentingan Rumah
Sahabat Anak Puspita.
f. Mencari dan mengupayakan sumber-sumber baik yang berupa materi atau
non materi.
C. Struktur Organisasi Rumah Sahabat Anak Puspita
Struktur Organisasi Rumah Sahabat Anak Puspita
Dewan Pembina : F. Welirang dan Prof. DR. KH. Said Agil Siroj.
MA
Dewan Pengawas : P. Soegiono. D. MBA, Anton Juardi
Ketua : Ali Qohar
Sekertaris : Syahrozi
Bendahara : Edy Saptaji
Divisi RSA : Syahrudin
Divisi Pendidikan : Ngatia
Divisi Seni dan Ketrampilan : Daniel
Divisi Buletin Sirumput : Muzakir
Divisi Puspita Printing : Riadin
Divisi Puspita Prodoction : Remo Yulianto
Divisi Wedding Organizer : Sarmada
D. POLA PEMBINAAN
Di dalam Rumah Sahabat Anak Pusita terdapat beberapa program yang
telah dijalankan oleh anak binaan, mereka dididik mandiri, agar kelak setelah
keluar dari Rumah Sahabat Anak Puspita mempunyai kemampuan untuk
membuka usaha sendiri, karena di dalam program Rumah Sahabat Anak Puspita
ini terdapat beberapa program yang bertujuan agar anak binaan mampu
mengembangkan kemampuannya untuk hidup lebih baik.
Di bawah ini terdapat program yang telah dijalani oleh anak binaan:
1. Pendidikan keagamaan
2. Biaya pendidikan gratis
3. Kesehatan
4. Keterampilan
5. KUBE
BAB IV
ANALISIS TENTANG PERAN AKTIVITAS RUMAH SAHABAT ANAK
PUSPITA DALAM PEMBENTUKAN SIKAP TOLERANSI BERAGAMA
PADA ANAK BINAAN
A. Analisis Bentuk-Bentuk Aktifitas
Rumah Sahabat Anak Puspita melakukan beberapa proses aktifitas,
tentunya melalui program-program yang dicanangkan setiap pertiga tahunan.
Adapun dalam pelaksanaan aktifitas Rumah Sahabat Anak Puspita, dalam
memberikan pembinaan kemandirian serta solusi terhadap masalah anak binaan,
dalam hal ini masalah keberlangsungan pendidikan formal bagi anak binaan. Dan
setelah melakukan perencanaan, kemudian para relawan Rumah Sahabat Anak
Puspita melaksanaan program tersebut melalui:
1. Pendidikan Agama
Program pendidikan agama sangat perlu ditanamkan sejak usia dini,
dalam hal ini Rumah Sahabat Anak Puspita tidak mengajarkan materi tentang
keislaman semata, akan tetapi para relawan mengajarkan tentang hubungan
antaragama, hubungan manusia satu dengan lainnya dan mengajarkan tentang
toleransi beragama, hal ini menjadi penting karena tidak ada masa depan
pluralisme jika anak-anak kita tidak diajarkan semangat toleransi dan
solidaritas. Pluralisme adalah tantangan bagi agama-agama, yang harus
direspon dengan arif dan bijak. Toleransi tidak hanya dibangun di antara
kelompok yang sama, melainkan di seluruh kelompok masyarakat, dalam
kedudukan apapun, dalam identitas apapun, dan di manapun. Pada semua
manusia, terutama anak-anak, harus ditanamkan sikap toleransi antar umat
beragama, sekaligus hidup beragama secara sungguh-sungguh.
Masa kritis bagi pengembangan kognitif, mental, dan moral anak-
anak, terjadi pada usia sekitar 6 sampai 15 tahun. Pada masa itu terjadi transisi
kognitif, wawasan anak kian luas, anak mulai memahami persoalan yang lebih
komplek. Anak seharusnya mulai belajar memahami apa yang dilihatnya
dengan logika, rasio, dan tidak lagi dengan fantasi, ilusi, apalagi mistik.
Sayangnya, televisi di Tanah Air bukanlah lingkungan dan tontonan yang
sehat untuk anak-anak masa kini.
Anak seharusnya mulai mampu melihat dan menilai sesuatu dari sudut
pandang yang berbeda, tidak hanya terpusat pada diri sendiri (egosentris).
Oleh karenanya, masa ini sungguh momentum yang tepat untuk menanamkan
nilai-nilai moral universal, seperti cinta kasih, perasaan kasihan, kejujuran,
empati, toleransi, keharmonisan, persaudaraan, kedamaian, pluralisme,
demokrasi, serta nilai-nilai moral agama yang ditanamkan orang tua.
Oleh karena itu, perlu penanaman nilai moral terhadap anak-anak
sedini mungkin. Nilai-nilai universal itu harus dimiliki oleh anak-anak
Indonesia yang hidup di dalam pluralisme (keragaman) lokal (Indonesia)
maupun global (keragaman dunia).
Akan tetapi, proses penanaman nilai bukanlah perkara mudah. Banyak
faktor yang turut berperan dalam proses pembentukan nilai dalam diri seorang
anak, mulai dari faktor pendidikan di keluarga hingga pendidikan formal di
sekolah.
Pendidikan agama lebih ditekankan kepada moral improvement. Bila
dalam paradigma lama, metode pengembangan misi agama lebih bersifat
emosional dan sering kurang jujur melihat agama-agama lain, dalam
paradigma baru yang perlu dikembangkan adalah metode kebijaksanaan
(hikmah), keteladanan (mauizhah hasanah), dan dialog (jadal bil ahsan).
Karena itu, pemaksaan, indoktrinasi, dan debat tidak mendapat tempat dalam
paradigma baru ini
Asumsi kita selama ini, penanaman dasar-dasar pendidikan agama
sebagai kerangka pembentukan watak dan sikap kepribadian, telah
dilaksanakan dengan intensif pada tingkat dasar, yang mungkin diteruskan
pada tingkat menengah dan perguruan tinggi. Namun, di tingkat manapun,
sebaiknya pendidikan agama harus lebih berorientasi untuk menumbuhkan
wawasan keagamaan dalam kaitan dengan religious intellectual building.
Oleh karenanya, selain mungkin lebih cocok disajikan dalam kelas-
kelas seminar dan evaluasi melalui karya tulis, materi kuliah agama itu
hendaknya bersifat perspektif. Misalnya, Islam dalam perspektif kebudayaan,
dalam perspektif sejarah, dalam perspektif perkembangan sains, dan lain
sebagainya.
Aspek lain dan yang paling penting dalam pendidikan agama, selain
kognitif, adalah psikomotoris dan afektif. Persoalannya, untuk perkembangan
jiwa anak, cara apa yang bisa menghidupkan dua hal itu. Di sinilah, mungkin
justru pentingnya mengembangkan bentuk-bentuk permainan psikologis yang
dapat merangsang pertumbuhan religiusitas anak dalam proses belajar-
mengajar agama.
Dalam menumbuhkan religiositas anak tersebut, bentuk-bentuk
kunjungan sosial, seperti ke rumah jompo, lokasi bencana alam, permukiman
kumuh, pusat-pusat pengembangan teknologi kontemporer, tentunya juga
bermanfaat. Ini adalah cara visual untuk “memberi pelajaran agama”, yang
sekaligus dapat menghidupkan rasa kepekaan sosial, rasa mencintai sains, dan
seterusnya.
Masalah pendidikan agama berkaitan dengan menanamkan nilai-nilai
dan penanaman adab bagi generasi penerus, maka sudah waktunya sistem
pendidikan guru agama juga harus mengandung aspek pandangan budaya.
Kalaupun hal itu sudah ada, porsinya harus ditambah. Dengan demikian,
pendidikan agama tidak sekadar proses belajar-mengajar agama, apalagi
dalam konsep schooling, tetapi lebih merupakan proses inkulturasi dan
akulturasi, yaitu proses memperadabkan generasi.
Islam adalah rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ajaran
Islam tidak diarahkan kepada eksklusivisme, seperti membenci agama lain,
merendahkan nonmuslim, atau memusuhi. Sikap pluralis jauh dari itu semua,
bahkan sebaliknya, mempromosikan toleransi dan kerja sama. Perbedaan
agama tidak menjadi penghalang bagi interaksi dan aksi.
Sejak awal (periode Rasul SAW), Islam senantiasa menganjurkan
untuk merangkul umat non muslim, bekerja sama membangun masyarakat.
Maka dengan sendirinya Islam mempromosikan perdamaian, bukan
kekerasan.
Selain itu, solidaritas merupakan jalan pencerahan bagi setiap ajaran
agama. Agama selayaknya berfungsi sebagai etika kehidupan sosial yang
menaungi segenap misi kemanusiaan sepanjang zaman.
Dalam sejarah Islam, pada suatu riwayat, pernah diceritakan tatkala
Hari Raya Idul Fitri, Nabi Muhammad SAW melihat anak kecil yatim piatu
berdiri sendirian. Raut mukanya sedih berusaha untuk menahan air mata dari
kegundahan. Anak itu melihat teman-teman seusianya sedang berhari raya,
bergembira, memakai baju baru pemberian orang tua, serta menikmati
hidangan hari raya dari ibunya.
Pada saat hari baik itu, anak itu merasakan alangkah sedih hatinya
ketika melihat orang lain bergembira dan serba kecukupan. Lalu, anak itu
melantunkan lagu kesedihan, “Teringat pada nasib diri sendiri, di mana Bapak
tempat meminta, di mana tempat Ibu mengadu, di mana tempat rumah untuk
pulang, tak ada jawab bagi semua itu.”
Ketika melihat anak itu, Nabi Muhammad menghampiri dan bertanya,
“Kenapa kamu berdiri sendirian di sini dan di mana rumahmu, Nak?” tanya
Muhammad. “Tidak ada, aku yatim piatu,” jawab anak kecil itu. Anak itu lalu
diam merasakan beban yang sangat mendalam. Hanya air matanya
bercucuran. Nabi Muhammad SAW meletakkan telapak tangan kanannya di
atas kepala anak yatim piatu itu. Dengan penuh cinta kasih, beliau bertanya,
“Bersediakah bila Aisyah menjadi Ibumu, Muhammad menjadi bapakmu, dan
tempat tinggalku jadi rumahmu?”
Anak itu merasakan kebahagiaan yang besar ketika mendengar
tawaran Nabi Muhammad SAW yang diucapkan spontan dan ikhlas.
Akhirnya, anak kecil itu merasa bukan yatim piatu lagi. Dia kembali
mempunyai ibu dan bapak. Anak itu menerima sesuatu yang tak ternilai
harganya. Kemudian Nabi Muhammad SAW pun tersenyum. Anak kecil itu
segera menghapus air matanya dan mengucap syukur dengan wajah gembira
dan senyum yang berseri-seri.
Cerita di atas merupakan sekadar contoh bagaimana membangun
solidaritas. Toleransi dan solidaritas kemanusiaan bukan sekadar mengakui
kemajemukan.
Kemajemukan memang sebuah realitas. Namun, pengakuan bahwa ada
realitas agama yang majemuk, belum tentu mencirikan penghormatan dan
sikap saling menghargai. Oleh sebab itu, semangat pluralisme adalah pertalian
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Sikap saling menghargai dan
saling memahami diwujudkan pula dalam kerja sama mengusung agenda-
agenda kemanusiaan.
Kehidupan beragama yang sangat rutin, bila tanpa keprihatinan yang
melahirkan tanggung jawab, toleransi, dan solidaritas sosial, akan terasa
hambar. Marilah kita kaum agama menjadi guru yang cerdas dan arif bagi
anak-anak generasi masa kini, menjadikan anak yakin dengan agamanya dan
orang lain juga yakin terhadap agama mereka. Seperti yang diungkapkan
Willy:13
“Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman yang ada di Rumah
Sahabat Anak Puspita, yang telah menerima saya dengan baik dan layaknya
satu keluarga. Padahal awalnya saya merasa minder dan sangat sedih karena
disekeliling saya semuanya muslim, akan tetapi setelah saya tinggal, saya
mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Saya selalu aktif dalam
melakukan kegiatan keagamaan saya tanpa ada yang mengejek atau mencela
walaupun saya satu-satunya anak non muslim yang hidup dalam komunitas
anak-anak muslim. Terima kasih Tuhan yang telah memberikan kedamaian
bagi saya dan teman-teman saya di Puspita”
2. Pemberian Biaya Pendidikan Gratis
Pada program pemberian biaya pendidikan secara gratis buat anak
binaan ini sudah sudah sejak tahun 2000-an dilakukan oleh Rumah Sahabat
Anak Puspita, perjalanan Rumah Sahabat Anak Puspita selama ini sudah
13. Hasil wawancara dengan Willy salah satu anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita
membina dan menamatkan anak binaannya tidak kurang dari 120-an anak, hal
ini sesuai dengan program dari Rumah Sahabat Anak tersebut.
Ada beberapa catatan bagi Rumah Sahabat Anak Puspita untuk anak
binaan yang mendapatkan biaya pendidikan gratis, dari mulai seragam, alat
kebutuhan menulis dan biaya sekolah, mereka (anak binaan) harus mengikuti
beberapa kegiatan di Rumah Sahabat Anak Puspita. Seperti mengaji, berdiskusi,
pelatihan dan belajar bersama. Nah, dari proses kegiatan yang dilakukan oleh
Rumah Sahabat Anak Puspita penulis melihat bahwa semuanya akan menjadi
faktor pendukung bagi kemanjuan sumber daya manusia dan perkembangan
otak para anak binaan.
Inilah data anak binaan Rumah Sahabat Anak Puspita Tahun 2007:
Tabel. Data sekolah anak yang dibiayai oleh Rumah Sahabat Anak Puspita yang
No Nama Pendidikan
1 Wahyuni SMEA BPS&K I Kelas X-AP-2
2 Taci Astiningsih SMEA BPS&K I Kelas X-AK-2
3 Fitriya SMAN 36 Kelas X
4 Nurjanah
SMP PGRI 20 Jakarta
5 I Irma Wati
SMEA Pusaka Kelas X-AK I
6 Putri Aspriyati SMA PR3 Kelas XI-IPA
7 Dian Alpiyani
SMP PGRI 20 Kelas IX
8 Masitoh
SMPN 96 Kelas VIII
9 Mirza Izzatu Rachmat SMPN 96 Kelas VIII
10 Ahmad Nur SMPN 6 Kelas IX
11 Muhammad Rohali SMPN 165 Jakarta, Kelas VIII
12 Tio Hara
SMK Teratai Putih Kelas X
13 Muhamad Zaenal
SMK Teratai Putih I Kelas X
14 William I Rettob Bonaventura Kelas XI IPA
15 Haman Prima Smp Budaya Kelas VII
16 Duryono STM Teratai Putih I
17 Dani Rianto SMP PGRI 20 Kelas IX
18 Abdul Ghafur
Madrasah HD Kelas IV
19 Joko Saputro SMEA BPSK Jakarta Kelas X Ak I
20 Usman Nur Ali
SMP Perguruan Rakyat 3 Kelas XI
21 Slamet Hendi Prastio
SMK Teratai Putih Jakarta Kelas X
22 Tommy Mts Hasanatu Daratain Kelas VIII
23 Fauzi SMK Budi Murni Kelas XI
Yuni adalah salah satu anak binaan yang dibiayai sekolahnya sekarang dia
sedang menempuh di sekolah menengah atas. Menurut Yuni “Saya pastinya senang
banget, karena saya bisa melanjutkan sekolah saya yang hampir putus karena tidak
adanya biaya untuk melanjutkan sekolah, saya sangat berterimakasih pada Rumah
Sahabat Anak Puspita karena telah membimbing saya dan membiayai sekolah
saya”14
Lain hal menurut Fitri: “Saya mendapatkan biaya pendidikan gratis dari
Puspita sejak kelas 2 SMP sekarang sudah kelas 2 SMA, alhamdulilah setelah saya
diajarin dan selalu belajar dengan teman-teman saya mendapatkan rengking bagus
terus, di SMA-nya pun saya masuk SMA Negeri dan sekarang selalu dapat ranking
1.”15
Pada program pemberian biaya pendidikan gratis ini memang Rumah Sahabat
Anak Puspita mempunyai maksud yang baik, yaitu “mencerdaskan kehidupan
bangsa” dan seperti visinya yaitu membebaskan dari kebodohan dan
keterbelakangan. Dimulai dari pendidikanlah generasi bangsa ini akan lebih
memperhatikan nasib bangsanya, mereka punya cita-cita dan mimpi besar untuk
membangun menjadi negeri yang besar dan berprestasi.
14 Wawancara pribadi penulis dengan Yuni yang mendapat biaya pendidikan gratis September
2007 15 Wawancara pribadi penulis dengan Fitri salah satu anak binaan yang mendapatkan biaya
pendidikan gratis September 2007
3. Program Kemandirian
Pada program kemandirian ini, Rumah Sahabat Anak Puspita melalui
usaha produktifnya yaitu seperti Puspita Printing, Cuci steam motor dan
jagung bakar. Pada program ini dilakukan atau dikerjakan oleh para alumni
Rumah Sahabat Anak Puspita. Kebanyakan dari mereka tidak mau bekerja di
perusahaan orang lain, meraka memilih bekerja sendiri atau bekerja pada
usaha Rumah Sahabat Anak Puspita itu sendiri. Karena mereka berpikir hal
ini akan membangun dan menjaga keberlangsungan usaha lembaga. Seperti
wawancara dengan beberapa anak yang memilih usaha di lingkungan Rumah
Sahabat Anak Puspita.
“Saya senang dengan percetakan, karena selama ini saya selalu dididik oleh
kakak-kakak pendamping untuk bisa mendesain berbagai macam gambar,
saya bisa merasakan manfaatnya ketika ada orang yang membutuhkan jasa
saya untuk membuat model sertifikat.”4
“Setiap sore menjelang sekitar jam lima sore setelah pulang sekolah, saya
sudah harus menyiapkan peralatan untuk jualan jagung bakar di samping
Rumah Sahabat Anak Puspita, alhamdulillah walau tidak banyak yang kami
jual hasilnya lumayan buat ongkos sekolah.”5
4 Wawancara pribadi penulis dengan Eko salah satu anak binaan Rumah Sahabat Anak
Puspita Desember 2007. 5 Wawancara pribadi penulis dengan Joko salah satu anak binaan Rumah Sahabat Anak
Puspita Desember 2007.
“Saya tidak malu untuk bekerja di lingkungan Rumah Sahabat Anak Puspita,
kami disediakan oleh Dinas Sosial DKI Jakarta mesin cucu steam motor, oleh
karena itu saya merawatnya dan saya jadikan usaha di lingkungan Rumah
Sahabat Anak Puspita, supaya bisa saling membantu”6
4. Program Ketrampilan
Sebagai rumah sahabat anak yang memiliki visi “kemandirian untuk
masa depan yang lebih baik” setidaknya visi Rumah Sahabat Anak Puspita
tersebut dibuat untuk menjadi motivasi tersendiri untuk Rumah Sahabat Anak
Puspita terhadap anak kurang mampu yang mereka bina, kelak setelah
diberikan program keterampilan yang diajarkan di dalam Rumah Sahabat
Anak Puspita, anak binaan akan dapat memiliki kemampuan atau
keterampilan untuk dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak
menuju arah yang positif.
Inilah beberapa keterampilan yang diajarkan oleh Rumah Sahabat
Anak Puspita pada anak binaan.
a. Pelatihan teknisi komputer
Pada pelatihan komputer ini dipandu oleh kakak-kakak relawan
dari Universitas Atmajaya. Ada 5 anak yang sangat berminat dan serius
dalam belajar teknisi komputer, mereka selalu asyik dalam latihan
6 Wawancara pribadi penulis dengan Jamaludin salah satu anak binaan Rumah Sahabat Anak
Puspita Desember 2007.
membongkar pasang beberapa perangkat komputer yang telah disediakan
oleh Rumah Sahabat Anak Puspita untuk praktek.
“Awalnya saya tidak mau pusing dengan banyaknya barang-barang
rongsokan di Puspita, lebih baik saya kiloin barang-barang itu, ternyata
barang-barang rongsokan itu milik mahasiswa Universitas Atmajaya
yang sedang praktek kerja lapangan di Rumah Sahabat Anak Puspita.
Setalah mereka datang dan berkenalan dengan kami, mereka
mengutarakan maksud dan tujuan mereka datang ke Rumah Sahabat Anak
Puspita, mereka mau mengajarkan bagai mana cara merakit komputer
atau merakit komputer, saya terus dibimbing dan diarahkan untuk bisa
merakit, tapi awalnya saya diberi pengetahuan materi dulu, saya dikasih
tahu yang namanya memory, hardisk dan perangkat-perangkat yang
lainnya. Alhamdulillah setelah saya serius dan tekun belajar akhirnya
sedikit demi sedikit saya sudah lumayan bisa merakit komputer. Dari hasil
belajar saya di Puspita saya sekarang bekerja di tempat penjualan
komputer di daerah Rawamangun Jakarta Timur”7
b. Menjahit
Pada keterampilan Rumah Sahabat Anak Puspita membuaka bordir
untuk umum, agar kelak anak binaan yang sudah mahir dapat bekerja di
kompeksi tersebut dan dapat mencari order sendiri kemudian dikerjakan
7 Wawancara pribadi penulis dengan Daniel salah satu anak binaan Puspita 25 September
2007
sendiri. yang ikut keterampilan ini ada 2 anak laki-laki dan 9 anak
perempuan pada keterampilan menjahit ini walaupun banyak
perempuannya tapi bagi dua anak laki-laki ini tidak menyurutkan
semangatnya untuk belajar. Seperti yang dikatakan Saprol.
“Saya dari dua anak laki-laki yang ikut pelatihan menjahit, saya tidak
merasa kecil hati ketika banyak dari peserta pelatihan menjahit itu
semuanya anak perempuan, karena rasa ingin belajar dan terus belajar,
maka saya selalu rajin dan giat dalam setiap latihan, cita-cita saya
menjadi desainer terkenal.”8
c. Membuat susu kacang ijo dan ice cream
Pada keterampilan ini para anak binaan dibimbing dan dilatih oleh
ibu yayasan Rumah Sahabat Anak Puspita untuk membuat susu kacang ijo
dan ice cream kemudian mereka memasarkannya. Pola pemasaran yang
mereka rintis adalah melalui warung-warung terdekat, kemudian yang
kedua mereka memasarkan hasil olahan yang mereka buat ke rumah-
rumah orang tua mereka tinggal, dan pada sore harinya mereka mengecek
sudah berapa yang ke jual. Dan ternyata pada keterampilan ini hasilnya
lumayan baik, karena dari semua yang mereka pasarkan 70 % itu laku
terjual.
8 Wawancara pribadi penulis dengan Saprol salah satu anak binaan Puspita 25 September
2007
“Membuat susu kacang kedelai awalnya tidak semudah yang kita
bayangkan, saya dan teman-teman terus belajar dan mencoba beberapa
racikan, yang pertama memang gagal, kami tidak putus asa sampai di
situ, kami terus mencoba untuk meracik kembali dan belajar dari
kekurangan yang pertama, setelah proses yang kedua hasilnya kurang
bagus karena terlalu banyak kedelai yang kami masukan sehingga terlalu
kental dan masih ada ampas kedelai yang kami olah. Kami terus belajar
dan belajar dan sampai akhirnya kami bisa membuat susu kacang kedelai
yang siap dipasarkan di lingkungan sekitar. Sebenarnya ide pembuatan
susu kacang kedelai yang kami olah adalah untuk mengisi liburan
panjang sekolah pada semesteran kemarin, daripada tidak ada kegiatan,
lebih baik kami berkreasi membuat susu kacang kedelai. Alhamdulillah
setelah susu kacang kedelai kami kemas, oh ia kami membuat susu kacang
kedelai itu mengolahnya jam 3 pagi loh. Kami bangun pagi mengolah dan
mengemasnya, setelah shalat subuh kami berlima berpencar berjualan di
pasar-pasar sekitar Kecamatan Duren Sawit, dan hasilnya cukup
memuaskan bagi kami sebagai pemula, sekitar 70 % susu kacang kedelai
yang kami buat itu terjual, bahkan ibu tetangga penjual gorengan juga
ikut berjualan susu kacang kedelai yang kami buat.” 9
9 Wawancara pribadi penulis dengan Chify salah satu anak binaan Puspita. Jakarta, September
2007
Sebenarnya masih banyak keterampilan yang bukan berbasis usaha
yang dilakukan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita ini, seperti pelatihan
photografer, pelatihan jurnalistik, pelatihan penyiar dan pelatihan
motivator. Dari berbagai macam program keterampilan yang diterapkan
oleh Rumah Sahabat Anak Puspita, semuanya didirikan memang
bertujuan untuk membina kemandirian anak binaan, kelak mereka dapat
hidup lebih baik dan di kemudian hari mereka mampu untuk hidup
mandiri dengan bermodalkan keterampilan yang diajarkan oleh Rumah
Sahabat Anak Puspita.
Visi dari Rumah Sahabat Anak Puspita adalah “membebaskan dari
kebodohan dan keterbelakangan dan menciptakan kemandirian untuk
masa depan yang lebih baik”
Untuk itu agar terciptanya misi dari Rumah Sahabat Anak Puspita
tidak pernah membedakan anak binaan yang satu dengan yang lainnya.
Hal ini supaya terciptanya hubungan sosial yang harmonis dan dengan
tujuan itu pula didirikanlah KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yaitu
program pemberdayaan perekonomian anak-anak binaan yang
mengembangkan pola usaha kolektif, di mana sesama anak binaan
mereka mengembangkan keterampilan yang mereka miliki, kemudian
bekerja sama untuk mengembangkannya.
Dengan terciptanya program keterampilan, para anak binaan
memiliki motivasi untuk dapat berusaha menjadi lebih maju, dan
mendirikan usaha bersama anak jalanan yang lain. Setelah melewati
beberapa keterampilan di atas, Rumah Sahabat Anak Puspita mengadakan
bimbingan kewirausahaan, yang dilakukan dengan tujuan:
1) Meningkatkan sikap mental hidup mandiri
2) Meningkatkan semangat kewirausahaan
3) Meningkatkan optimisme dan kepercayaan anak binaan
Secara lebih spesifik, bimbingan kewirausahaan yang diberikan
kepada anak bianaan dilakukan agar mereka dapat hidup mandiri, tidak
lagi menggantungkan hidup pada orang lain di jalanan, serta mempunyai
skill, bermental produktif, serta memiliki kesadaran, kesabaran, dan
semangat juang untuk maju dan memperbaiki keadaan.
B. Analisis Tentang Masalah Anak Binaan
Untuk dapat mendalami masalah anak binaan yang sedang dibahas, ada
beberapa tahapan yang harus diperhatiakan oleh para pekerja sosial. Masalah
kenapa anak bisa putus sekolah? Masalah yang dihadapi oleh anak disini sangat
kompleks, di samping faktor lingkungan yang dapat berpengaruh besar terhadap
tingkah laku anak, juga perekonomian keluarga yang sangat kurang, yang
akhirnya para orang tua rela membiarkan anaknya putus sekolah dan
menyarankan kerja di usia dini. Padahal usia 10-15 tahun usia yang paling rawan
dalam pembetukan karakter anak, di mana pada usia itu anak-anak perlu banyak
menerima kasih sayang dan perhatian penuh oleh orang tua mereka.
Rumah Sahabat Anak Puspita mempunya suatu tahapan, yang kiranya
berguna bagi pemetaan masalah anak binaan, yang mana tahapan ini bertujuan
untuk keberhasilan program pengentasan kebodohan anak-anak binaan. Tahapan
yang diterapkan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita, yaitu:
Perencanaan Analisis. Digunakannya perencanaan analisis ini agar para
pekerja sosial dapat mengkaji dan menganalisis pokok permasalahan yang sedang
dihadapi. Rumah Sahabat Anak Puspita menggunakan tahapan penjangkauan,
yaitu para relawan Puspita menentukan lokasi yang dijadikan target banyak anak
yang putus sekolah karma berbagai alasan ekonomi, seperti di daerah Tegal
Amba, Duren Sawit yang mana memang daerah itu dapat dikatakan kawasan
kumuh, kemudian para relawan mencoba ikut berbaur dengan masyarakat sekitar
dan ternyata banyak anak yang putus sekolah karena masalah ekonomi tersebut.
Hal inilah yang menjadikan rumah para relawan Rumah Sahabat Anak Puspita
tergugah hatinya untuk ikut andil dalam mencerdaskan para generasi penerus
bangsa.
Setelah ditentukan lokasi, para relawan kemudian mencoba untuk
mengidentifikasi kenapa anak-anak putus sekolah. Ternyata masalahnya bukan
hanya faktor ekonomi saja yang menjadikan anak putus sekolah, ada 9 anak yang
dijumpai oleh relawan bahwa mereka ternya bukan karena faktor ekonomi akan
tetapi faktor lingkungan, dimana banyak kakak-kakak di atas usia mereka juga
banyak yang tidak sekolah dan lebih asyik kerja. Dan akhirnya si anak ikut
terbawa olek kakak-kakaknya mereka punya anggapan bahwa sekolah itu
membuat pusing dan tidak punya uang.
C. Analisis Hasil Aktifitas
Program pengembangan masyarakat yang dijalankan oleh Rumah Sahabat
Anak Puspita adalah suatu model pembangunan sosial melalui anak binaan, untuk
meningkatkan taraf hidup anak binaan menjadi lebih baik, untuk itu para relawan
Rumah Sahabat Anak Puspita merencanakan dan melaksanakan sendiri program
yang telah ditetapkan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita kepada anak binaan,
guna dapat melihat tingkat keberhasilan pada anak binaan setelah menjalani
program tersebut.
Berdirinya program dalam Rumah Sahabat Anak Puspita tidak lepas dari
peran serta warga masyarakat sekitar yang selalu memberikan motivasi kepada
para relawan Rumah Sahabat Anak Puspita, hasil dari pembinaan terhadap anak
binaan dapat dilihat dari sejauh mana seorang anak dapat hidup mandiri dan
disiplin, serta sejauh mana mereka bebas dari ketergantungan pada orang lain.
Karena kemandirian merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan sikap,
karena kemandirian seseorang, dipengaruhi oleh sikap cara dan kepribadian yang
disiplin, serta mempunyai tekad untuk maju dan dapat berdiri sendiri. Dilihat dari
beberapa program keterampilan yang diberikan oleh Rumah Sahabat Anak
Puspita, tidak sedikit dari anak binaan yang mulai terlihat sedikit perubahan
menjadi lebih mandiri, mereka sudah bisa menjalankan usaha sendiri dari hasil
mengikuti keterampilan yang dilaksanakan di Rumah Sahabat Anak Puspita,
menurut Syahrudin salah satu relawan Puspita.
“Saya sangat senang sekali ketika ada beberapa anak dari sekian banyak anak
binaan di Rumah Sahabat Anak Puspita yang mau belajar menjahit sekitar ada
12 anak yang rajin mengikuti pelatihan menjahit, mereka sedikit demi sedikit
sudah mulai mahir dalam menjahit pada beberapa lipatan kain yang lumayan
susah, sekarang anak-anak sudah mendapatkan order jahitan yang lumayan buat
uang jajan sehari-harinya, dan satu hal lagi anak-anak juga belajar border,
mereka siap kalau ada pesanan untuk memborder pakaian atau mukena (alat
shalat buat perempuan).”10
“Saya juga sangat bangga sebagai relawan Puspita karena kekreatifan anak-
anak binaan yang kami bina selama bertahun-tahun, saya sangatbahagia ketika
meliat mereka ingin belajar dan terus belajar, seperti halnya mereka ingin
belajar membuat susu kacang ijo, susu kacang kedelai dan ice cream, kami sih
selaku relawan mencoba untuk selalu memfasilitasi kebutuhan anak-anak selama
itu baik bagi mereka, bagi kami why not. Ada satu hal yang saya sendiri baru
mengetahui racikan ice cream rasa alpukat, ternyata anak-anak itu tidak
menyediakan alpukat, akan tetapi meraka menggantikannya dengan tape
10 Wawancara Pribadi penulis dengan Syahrudin salah satu relawan Puspita. Jakarta, Oktober
2007
singkong dan sawi mereka olah sendiri dan ternyata hasil olahannya persis
seperti rasa alpukat asli.”11
Setelah diidentifikasi, para anak binaan ini sekarang sudah tidak lagi
bergantung pada orang lain mereka tidak lagi hidup di jalanan dan sedikit
banyaknya mereka tidak lagi bergantung pada orang tua mereka, mereka dapat
bekerja sendiri dengan motivasi-motivasi yang diberikan oleh para relawan dan
lingkungan Rumah Sahabat Anak Puspita, sekarang mereka giat belajar di
sekolah dan selebihnya di lingkungan Rumah Sahabat Anak Puspita.
Hasil pembinaan yang dilakukan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita itu
sangat memuaskan, karena dapat dilihat, bahwa anak binaan sudah meninggalkan
setelah masuk Rumah Sahabat Anak Puspita, mereka hidup dengan layak dan
lebih baik, mereka dapat melanjutkan sekolah yang sempat terputus di jalan.
D. Analisis Tentang Respon Anak Terhadap Pola Pembinaan
Program yang diterapkan Rumah Sahabat Anak Puspita dalam
pembinaannya, tentunya mendapatkan respon dari anak binaan itu tersendiri. Jika
dilihat dari hasil pembinaan yang dilakukan oleh Rumah Sahabat Anak pada anak
binaan, mayoritas dari mereka menyatakan respon positif yakni, mereka
berpendapat bahwa keterampilan yang diajarkan merupakan bekal hidup mereka
11 Wawancara pribadi penulis dengan Syahrozy salah satu pengurus atau relawan Puspita.
Jakarta, Oktober 2007
kelak, kemudian kasih sayang yang diberikan oleh para relawan juga yang
menjadikan semangat juang dan motivasi penuh untuk hidup lebih baik.
Masalah anak yang kurang beruntung dalam kehidupan ketiadaan
ekonomi yang menyebabkan mereka hidup di jalanan, mungkin fenomena ini
yang selalu kita lihat setiap hari. Seakan mereka hidup tidak ada aturan dan
semaunya, mereka hidup tidak dibekali dengan keahlian dan mereka hidup tidak
layak. Nah, karena itulah Rumah Sahabat Anak Puspita mencoba menjembatani
para dermawan untuk bisa ikut andil dalam masalah ini, para anak binaan sebelum
masuk Rumah Sahabat Anak Puspita tidak mempunyai keterampilan, akan tetapi
setelah mereka mengikuti kegiatan-kegiatan di Rumah Sahabat Anak ini mereka
mendapatkan keterampilan yang sangat berguna bagi mereka, para relawan
Rumah Sahabat Anak Puspita tidak memperbolehkan anak binaanya bekerja di
jalanan lagi, karena mereka yang sudah masuk itu wajib sekolah dan harus
mengikuti beberapa program Rumah Sahabat Anak, demi meningkatkan kualitas
SDM mereka.
Dari ikatan atau peraturan yang diterapkan oleh Rumah Sahabat Anak
mendapatkan respon positif dari anak binaan karena mereka tidak lagi hidup di
jalan, mereka bisa beraktifitas selain sekolah banyak lagi aktifitas-aktifitas yang
ada di Rumah Sahabat Anak seperti belajar musik dan yang lainnya, yang pada
akhirnya mereka menikmatinya dan tidak hidup di jalanan.
Dari hasil wawancara penulis dengan para relawan Rumah Sahabat Anak
Puspita, memang tidah semua anak binaan bisa hidup mandiri tanpa didampingi
dan dibiayai oleh Rumah Sahabat Anak, karena mereka yang tinggal di Rumah
Sahabat Anak masih dibiayai oleh Rumah Sahabat Anak baik biaya sekolah
maupun hidupnya. Akan tetapi mereka terus dididik dan dibekali dengan berbagai
keterampilan baik itu yang bersifat kewirausahaan maupun keterampilan berbasis
peningkatan sumber daya manusia.
Jika dikalkulasikan, dari 45 anak binaan ada sekitar 20% anak binaan yang
sudah dapat dikatakan mandiri, yaitu 9 anak, mereka dikatakan mandiri karena
mereka sudah lepas dari Rumah Sahabat Anak Puspita, yaitu mereka yang sudah
mempunyai penghasilan yang tetap dari keterampilan mereka, dan tentunya tidak
bergantung pada orang lain. Dapat dikatan mereka sudah dapat membiayai hidup
mereka sendiri. Sekarang sebagian dari mereka sudah dapat membantu dan
mengajarkan pada anak-anak binaan di Rumah Sahabat Anak.12
Para relawan Puspita berharap, para anak binaan yang sudah berhasil akan
menjadi motivasi untuk anak-anak binaan yang lainnya. Mereka diharapkan dapat
menjadi orang yang berhasil setelah mereka tidak lagi dibina dan dididik oleh
Rumah Sahabat Anak Puspita.
12 Wawancara pribadi penulis dengan Pak Ali Qohar selaku Ketua Puspita. Jakarta, Oktober
2007
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mempelajari dan menganalisa dari skripsi ini yang berjudul
“PERAN RUMAH SAHABAT ANAK PUSPITA DALAM PEMBENTUKAN
SIKAP TOLERANSI BERAGAMA PADA ANAK BINAAN” maka penulis
dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses pembinaan yang dilakukan oleh Rumah Sahabat Anak Puspita melalui
program pendidikan keagamaan yang tidak melulu mengajarkan keislaman
semata, akan tetapi Rumah Sahabat Anak Puspita melalui para relawannya
mengajarkan tentang hubungan manusia satu dengan lainnya dan mengajarkan
tentang toleransi beragama, hal ini menjadi penting karena tidak ada masa
depan toleransi keberagamaan jika anak-anak kita tidak diajarkan semangat
toleransi dan solidaritas. Toleransi beragama adalah tantangan bagi agama-
agama, yang harus direspon dengan arif dan bijak. Toleransi tidak hanya
dibangun di antara kelompok yang sama, melainkan di seluruh kelompok
masyarakat, dalam kedudukan apapun, dalam identitas apapun, dan di
manapun. Pada semua manusia, terutama anak-anak, harus ditanamkan sikap
toleransi antarumat beragama, sekaligus hidup beragama secara sungguh-
sungguh. Kemudian Rumah Sahabat Anak Puspita memberikan biaya
pendidikan gratis pada anak binaan dan beberapa keterampilan sangat
membantu memecahkan masalah yang dihadapi anak binaan, yaitu mereka
tidak dapat bersekolah karena tidak adanya biaya, dan dengan adanya Rumah
Sahabat Anak Puspita mereka sudah bisa bersekolah seperti layaknya anak-
anak yang lain pada umumnya. Pelatihan keterampilan yang diterapkan pada
anak binaan membawa dampak positif bagi anak binaan, mereka mempelajari
keterampilan komputer, menjahit,dan usaha susu kacang ijo serta pembuatan
ice cream yang mereka pasarkan di sekitar lingkungan Rumah Sahabat Anak
Puspita
2. Respon dari pembinaan Rumah Sahabat Anak Puspita terhadap kemandirian
anak binaan belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, karena para anak
binaan masih membutuhkan bantuan biaya dari RSA Puspita mereka yang
dikatakan berhasil adalah mereka yang sudah dapat membiayai hidupnya
sendiri dan tidak lagi bergantung sama Rumah Sahabat Anak. Tetapi
setidaknya Rumah Sahabat Anak Puspita sangat berperan penting bagi
keberhasilan anak binaan yang mereka bina. Dari hasil penelitian penulis, di
antara anak binaan sudah mempunyai penghasilan, walaupun hanya untuk
uang saku mereka, dan tentunya hal itu memberikan motivasi tersendiri untuk
anak binaan tersebut agar bisa membiayai hidup mereka sendiri dengan
penghasilan mereka.
B. SARAN SARAN
1. Keberhasilan seorang anak binaan tidak lepas dari pembinaan Rumah Sahabat
Anak Puspita, yang diharapkan di sini, adalah para relawan Rumah Sahabat
Anak Puspita mampu mendidik anak binaan dengan sebaik-baiknya karena
anak adalah aset bangsa yang harus diberdayakan, tentunya dengan para
pekerja sosial yang berpendidikan, serta program-program yang mendidik,
agar anak jalanan tidak bergantung pada Rumah Sahabat Anak, karena tujuan
Rumah Sahabat Anak mendidik untuk membebaskan dari kebodohan dan
keterbelakangan dan kembali untuk membangun masyarakat.
2. Dengan sarana dan prasarana seadanya di Yayasan Rumah Sahabat Anak
Puspita ini, perlu adanya pengembangan dan peningkatan, baik secara
pendidikan, olahraga, keterampilan dan kewirausahaan melalui kerjasama
dengan para pengusaha, maupun instansi-instansi terkait agar lebih
diintensifkan dalam memperjuangkan hak pendidikan anak baik moril
maupun materiil.
3. Para pengurus, relawan dan tenaga pengajar perlu adanya peningkatan
pemahaman ilmu tentang anak itu sendiri, agar dalam pelaksanaanya bisa
terarah dan sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Rumah Sahabat Anak
Puspita.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, Toleransi Nabi Muhammad dan Para Sahabatnya, (Solo:
Ramadhani, 1984)
Al Mubarakafuri, Muhammad Abdul Ar Rahman bin Abd Al Rahim, Tukhfah al
Akhwazi bin Syarh Jami Al Turmudzi, juz 6, (Beirut: Dar Al kutub al
Ilmiyah, 1990)
Al-Abrasy, Muhammmad Athiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996)
Al-Ba’i, Musthafa, Min Rawaa’I Hadaratina (Dam: Darul Irsad, 1968)
Al-Raghib Al Asfahani, Mu’jam Mufradat Al Fadh Al Qur’an. (Beirut: Dar al Fikr)
Arief, Armai, Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan Dalam Rangka Mewujudkan
Kesejahteraansosial Dan Stabilitas Nasional, dalam jurnal Fajar, LPM UIN
Jakarta, edisi 4 No.1, November 2002
Barry, David, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995)
Buletin Cilik, Cita-cita Anak Indonesia, edisi 005/Mei/2006
Christelle Sadeghi dan Josiane Bechara, Toleransi, 17 Juli 2007, diakses pada
www.commongroundnews.org, pada 12 Maret 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1998)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, edisi ke-3, 2002)
Depsos, Peta Permasalahan Anak Jalanan, www.depsos.gi.id, diakses pada 25
Oktober 2007
Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga Dirjen Pemberdayaan Sosial, Standarisasi
Pemberdayaan Peran Keluarga, Jakarta: Depsos, 2002
Ghazali, Abd. Muqsith, Cetak Biru Toleransi di Indonesia, www.islamlib.com,
diakses pada 20 Maret 2008.
Gunarsa, Singgih D, Yulia Singih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2003)
Latif, Yudi & Abdul Hakim, Melampui Kosmopolitanisme Politik,
www.kompas.com, diakses pada 12 Maret 2008
Mendatu, Achmanto, Apakah Sikap Itu? diakses pada smartpsikologi.blogspot.com,
diakses pada 25 Oktober 2007
Misrawi, Zuhairi, Al-Quran Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, (Jakarta: Fitra)
Moleong, Lexy.J Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2000)
Munadi, Yudhi, ‘” Toleransi Beragama pada Masa Rasulullah Saw di Madinah”
Penelitian Dosen, (Fakultas Tarbiyah, 2000)
Munawir, Imam Sikap Islam Terhadap Kekerasan, Damai, Toleransi dan Solidaritas,
(Surabaya: Bina Ilmu)
Naim, Sahibi, Toleransi dalam Pergaulan Antar Umat Beragama, (Jakarta: PT.
gunung agung. 1983) A.W. Munawir, Al-Munawir Kamus Bahasa Arab-
Indonesia, (yaogyakarta: PP. Al-Munawir, t.th)
Poerwadarminta, W.J.s, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1985)
Puis A. Partanto dan M Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola.
1994)
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2003)
Rahman, Fazlur Islam, terj. Ahsin Muhammda, (Bandung: Pustaka, 2001)
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tantangan Transformasi Intelektual, terj.
Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka 1985)
Rumah Sahabat Anak Puspita, diaksep pada, www.anakpuspita.blogspot.com, pada,
25 Desember 2007
Sarwono, Sarlito Wiranwono, Teori-Teori Psikologi Sosial (Jakarta: Rajawali, 1984)
Sebagaimana yang dikutip Trisno S Sutanto, Melampaui Toleransi, Menerung
bersama Walzer, www.kompas.com, diakses pada 12 Maret 2008.
Sihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung;
Mizan, 1997)
Sirumput, Buletin Dwi Mingguan, edisi xxxv tahun 2005
Sobur, Alex Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004)
Soeitoe, Samuel, Psikologi Pendidikan II (Jakarta: FEUI, 1982)
Sujanto, Agus, Psikologi Perkembangan.(Jakarta: Aksara Baru, 1982)
Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam.
(Pustaka Sadra, 2004)
W.J.S Poewadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1982)
Wirawan, Sarlito, Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1999).